Format Laporan
-
Upload
adilharaalcitamesa -
Category
Documents
-
view
26 -
download
1
description
Transcript of Format Laporan
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. Mikrobakterium ini ditularkan melalui
percikan dahak di udara, sehingga seorang penderita TB paru merupakan sumber
penyebab penularan TB paru pada populasi di sekitarnya. Gejala utama TB paru
adalah batuk berdahak selama dua sampai tiga minggu atau lebih disertai gejala
tambahan lainnya.(1)
Sekitar 75% penderita TB paru adalah kelompok usia produktif secara
ekonomis (15 – 50 tahun). Diperkirakan seorang penderita TB paru dewasa akan
kehilangan rata-rata waktu kerjanya tiga sampai empat bulan dalam satu tahun.
Hal ini berakibatkan pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya
sekitar 20% – 30%. Selain merugikan secara ekonomis, TB paru juga memberikan
dampak buruk lainnya secara sosial seperti dikucilkan oleh masyarakat sekitar.(1)
TB paru telah menginfeksi lebih dari sepertiga penduduk dunia. Pada akhir
abad 20 ini di seluruh negara terdapat peningkatan jumlah kasus baru TB paru,
dan 95% dari kasus terdapat di negara berkembang termasuk Indonesia.(2)
Berdasarkan Global Tuberculosis Report tahun 2013 ditemukan 8,6 juta kasus
baru TB paru, dengan 1,1 juta kematian di dunia. Data ini juga menyebutkan pada
tahun 2011 – 2012 Indonesia menempati urutan keempat setelah India, Cina dan
2
Afrika Selatan, dengan perkiraan jumlah kasus yaitu 690.000 kasus (289 per
100.000 penduduk), dengan kematian 64.000 kasus (27 per 100.000 penduduk).(3)
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di Indonesia tahun 2013
menyatakan bahwa Nusa Tenggara Timur (NTT) menempati urutan kedelapan
kasus TB paru tertinggi di Indonesia.(4) TB paru Basil Tahan Asam (BTA) positif
merupakan urutan kedelapan pola penyakit terbanyak di rumah sakit pada pasien
rawat jalan Provinsi NTT tahun 2012. Kasus TB di NTT tahun 2011 sebanyak
4.173 kasus BTA positif dengan Case Detection Rate (CDR) sebesar 41,5%,
diobati sebanyak 886 kasus dengan kesembuhan mencapai 719 kasus atau 81,2%,
ini artinya angka kesembuhan TB paru BTA positif berada di bawah target tahun
2011 yaitu sebesar 85%. Sedangkan pada tahun 2012 jumlah kasus TB paru BTA
positif sebanyak 3.961 kasus dengan CDR sebesar 38,5%, diobati sebanyak 4.295
kasus dengan kesembuhan sebesar 2.806 atau 65,3% dan ini juga artinya angka
kesembuhan TB paru BTA positif berada di bawah target yang ingin dicapai tahun
2012 yakni sebesar 86%. Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) termasuk
urutan kedua kabupaten di NTT yang memiliki kasus TB paru BTA positif
terbanyak setelah Kabupaten Belu, dengan jumlah 305 kasus tahun 2011, tahun
2012 sebanyak 333 kasus(5) dan tahun 2013 sebanyak 266 kasus.(6)
Berdasarkan Data Dinas Kesehatan Kabupaten TTS tahun 2013, terdapat 28
puskesmas di Kabupaten TTS. Setiap puskesmas memiliki jumlah kasus TB paru
BTA positif yang bervariasi, diantaranya adalah puskesmas Nulle yang
merupakan puskesmas dengan kasus TB paru BTA positif terbanyak yaitu 38
kasus.(6) Berdasarkan data-data prevalensi kasus TB paru di Kabupaten TTS, TB
3
paru masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Kabupaten TTS. Hal ini
dikarenakan kasusnya mengalami fluktuasi setiap tahunnya dan penyakit ini dapat
menyebabkan dampak yang negatif karena penyakit ini sangat mudah menular.
Menurut Kemenkes RI 2009 penyebab utama meningkatnya beban masalah
TB paru adalah kemiskinan pada kelompok masyarakat, dan perubahan
demografik akibat meningkatnya penduduk dunia.(7) Sedangkan menurut Profil
Kesehatan TTS 2011 penyebab meningkatnya masalah TB paru adalah kondisi
sanitasi ventilasi perumahan yang tidak sehat, perilaku penderita, padatnya
penghuni rumah, kontak serumah dengan penderita TB paru dan peran keluarga
dan masyarakat dalam membantu untuk proses penemuan, pengobatan dan
penyembuhan.(8)
Menurut Naben, dkk pada tahun 2013, ada hubungan antara kebiasaan
tinggal di rumah etnis timor, luas lubang ventilasi, keberadaan ventilasi silang,
jenis dinding rumah, jenis lantai rumah dan kepadatan hunian rumah dengan
kejadian TB paru di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Penelitian ini hanya
melihat hubungan kebiasaan tinggal di rumah etnis Timor dengan faktor risiko TB
paru khususnya dari segi lingkungan. Penelitian ini terfokus pada rumah etnis
Timor, sehingga penelitian ini belum bisa digunakan sebagai acuan untuk
kabupaten lainnya di NTT.(9)
Menurut Bachtiar, dkk pada tahun 2012 tindakan memiliki hubungan
signifikan dengan kejadian TB paru, sedangkan pengetahuan, sikap, jenis lantai,
kepadatan hunian, kelembaban, ventilasi dan suhu tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan kejadian TB paru di Kota Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat
4
(NTB). Penelitian ini menyimpulkan bahwa lingkungan tidak memiliki hubungan
dengan kejadian TB paru.(10) Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian
lainnya yang menunjukkan adanya hubungan antara lingkungan dengan TB paru.
(11,12,13,14,15,16) Hal ini mungkin dikarenakan keadaan rumah di daerah penelitian
kebanyakan telah memenuhi syarat rumah sehat, sedangkan di daerah
penelitiannya lainnya keadaan rumah masih belum memenuhi syarat rumah sehat.
Menurut pengamatan peneliti pada bulan Februari tahun 2014, kemungkinan
penyebab meningkatnya beban masalah TB paru di Kabupaten TTS adalah
kondisi lingkungan dalam dan luar rumah yang sangat mendukung untuk
terjadinya penyakit TB paru. Keadaan rumah di Kabupaten TTS belum memenuhi
syarat rumah sehat. Sebagian besar keadaan rumah penduduk masih tergolong
rumah yang tidak sehat, yaitu lantai rumah masih berupa tanah atau semen yang
berdebu dan menyebabkan rumah menjadi lembab, tidak memiliki ventilasi yang
cukup dan tidak memiliki pencahayaan yang baik sehingga rumah menjadi pengap
dan menyebabkan terbentuknya lingkungan yang nyaman untuk perkembangan
bakteri Mycobacterium tuberculosis penyebab TB paru.
Banyak penelitian yang menunjukkan ada atau tidaknya hubungan antara
lingkungan dengan kejadian TB paru. Kondisi lingkungan rumah penduduk
khususnya di TTS yang tidak memenuhi syarat rumah sehat dapat mendukung
pertumbuhan dan penularan kuman penyebab TB paru. Kondisi rumah yang tidak
memenuhi syarat rumah sehat terdiri dari kepadatan penghuni rumah yang tinggi,
suhu, kelembaban, pencahayaan, luas ventilasi dan jenis lantai rumah yang buruk,
serta adanya riwayat kontak. Penularan TB paru yang terus menyebar dapat
5
meningkatkan jumlah kejadian TB paru dan dapat menyebabkan produktivitas
penderita menurun serta merugikan dari segi ekonomi.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti akan melakukan penelitian tentang
“Hubungan Faktor Lingkungan Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di
Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2014.”
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis hubungan faktor
lingkungan rumah dengan kejadian TB paru di Kabupaten TTS.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Menganalisis hubungan antara kepadatan penghuni rumah dengan
kejadian TB paru di Kabupaten TTS.
2. Menganalisis hubungan antara suhu ruangan dengan kejadian TB paru di
Kabupaten TTS.
3. Menganalisis hubungan antara kelembaban rumah dengan kejadian TB
paru di Kabupaten TTS.
4. Menganalisis hubungan antara luas ventilasi rumah dengan kejadian TB
paru di Kabupaten TTS.
5. Menganalisis hubungan antara intensitas pencahayaan rumah dengan
kejadian TB paru di Kabupaten TTS.
6. Menganalisis hubungan antara jenis lantai rumah dengan kejadian TB
paru di Kabupaten TTS.
7. Menganalisis hubungan antara kontak serumah dengan kejadian TB paru
di Kabupaten TTS.
6
1.3 Manfaat Penelitian
1.3.1 Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman dalam pelaksanaan
penelitian di lapangan, khususnya dalam mengetahui hubungan lingkungan
rumah dengan kejadian TB paru.
1.3.2 Bagi Instansi Terkait (Puskesmas dan Dinas Kesehatan)
Sebagai bahan pertimbangan bagi program pemberantasan penyakit TB paru
terutama untuk menentukan kebijakan dalam perencanaan, pelaksanaan
serta evaluasi program.
1.3.3 Bagi Masyarakat
a. Sebagai bahan bacaan dan bahan sosialisasi bagi masyarakat untuk
menambah pengetahuan masyarakat tentang penyakit TB paru terutama
tentang hubungan faktor lingkungan dengan TB paru.
b. Menambah kewaspadaan dini masyarakat terhadap sebaran penyakit TB
paru sehinga masyarakat dapat berperan aktif dalam penanggulangan
penyakit ini.
1.3.4 Bagi Institusi (Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana)
Dapat dijadikan sebagai tambahan pustaka untuk memperkaya kajian,
khususnya mengenai kajian faktor risiko lingkungan kejadian TB paru.
7
BAB 2
MASALAH YANG DITELITI
2.1 Pembahasan
2.1.1 Tuberkulosis Paru
1. Definisi Tuberkulosis
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, TB adalah penyakit
menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium
tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya.(1) Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
(PDPI), TB adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis kompleks dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting di Indonesia.(17)
Terdapat tiga kategori TB paru yaitu kategori satu terdiri dari pasien baru
TB paru BTA positif, pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif dan pasien
TB ekstra paru, kategori dua terdiri dari pasien TB paru BTA positif yang telah
diobati sebelumnya yaitu pasien kambuh, pasien gagal dan pasien dengan
pengobatan setelah putus berobat, kategori tiga terdiri dari pasien pada tahap akhir
intensif dari pengobatan kategori satu dan kategori dua.(1,18)
Definisi TB paru yang akan dipakai pada penelitian ini adalah infeksi yang
disebabkan oleh kuman TB paru (Mycobacterium tuberculosis) pada kategori satu
dengan hasil pemeriksaan BTA positif.
2. Kuman Tuberkulosis
8
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang satu
sampai empat mikron dan tebal 0,2 – 0,5 mikron, mempunyai sifat khusus yaitu
tahan terhadap asam pada pewarnaan BTA.(19) Kuman TB cepat mati dengan sinar
matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap
dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman dapat dormant atau tertidur lama
selama beberapa tahun.(20)
3. Cara Penularan Tuberkulosis
Sumber penularannya adalah penderita TB dengan BTA positif. Pada waktu
batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan
dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan
dahak. Umumnya penularan terjadi di ruangan dengan keadaan yang gelap dan
lembab, dimana percikan dahak dapat bertahan selama beberapa jam. Ventilasi
dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat
membunuh kuman.(1)
4. Faktor Risiko Tuberkulosis
Teori John Gordon mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu agen (agent), pejamu (host), dan lingkungan
(environment).(21,22)
a. Agen
Agen adalah penyebab yang esensial yang harus ada. Agen yang
menyebabkan penyakit TB paru adalah Mycobacterium tuberculosis.
Agen ini dipengaruhi oleh pathogenitas, infektifitas dan virulensi.(21)
b. Pejamu
9
Pejamu adalah manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan
arthropoda yang dapat memberikan tempat tinggal yang nyaman untuk
perkembangan agen. Pejamu untuk kuman TB paru yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah manusia. Beberapa faktor pejamu yang
mempengaruhi penularan penyakit TB paru adalah umur, jenis kelamin,
kekebalan/imunitas/daya tahan tubuh, merokok dan pengetahuan
c. Lingkungan
Faktor Lingkungan berperan penting dalam penularan TB paru, terutama
lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat rumah sehat. Lingkungan
rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar
terhadap status kesehatan penghuninya.(21,24) Faktor lingkungan rumah
yang berpengaruh terhadap kejadian TB paru adalah kepadatan hunian,
suhu ruangan, kelembaban rumah, luas ventilasi rumah, intensitas
pencahayaan, jenis lantai rumah dan kontak serumah. (8,11,20,22,23,24,25,26)
5. Klasifikasi Tuberkulosis
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena yaitu
TB paru dan TB ekstra paru.
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis yaitu TB
paru BTA positif dan TB paru BTA negatif.(1)
6. Gejala Tuberkulosis
Gejala utama penderita TB paru adalah batuk berdahak selama dua sampai
tiga minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun,
10
berat badan menurun, lemah (malaise), berkeringat malam hari tanpa kegiatan
fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.(1)
7. Diagnosis Tuberkulosis
Semua suspek TB diperiksa tiga spesimen dahak dalam waktu dua hari,
yaitu SPS. Diagnosis TB paru pada o rang dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA
melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.
Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan
sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak
dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.
Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga
sering overdiagnosis.(1)
8. Pengobatan Tuberkulosis
a. Jenis OAT yaitu Isoniazide (INH), Rifampicin/Rifampin (RIF),
Pyrazinamide (PZA), Streptomycin (STM) dan Ethambutol (EMB).
b. Prinsip pengobatan
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan
pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly
Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
11
Pengobatan TB diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap awal (intensif)
dan tahap lanjutan.
c. Panduan OAT kategori satu yang digunakan di Indonesia
Kategori satu, diberikan untuk pasien baru yaitu pasien baru TB paru
BTA positif, pasien TB paru BTA negatif foto toraks postif dan pasien
TB ekstra paru. Pada tahap intensif obat-obatan diberikan setiap hari
selama 56 hari (2 H R Z E). Obat-obatan terdiri dari Isoniazid (H),
Rifampicin (R), Pyrazinamide (Z), dan Ethambutol (E). Kemudian
diteruskan ke tahap lanjutan yang terdiri dari: Isoniazid (H) dan
Rifampicin (R), diberikan tiga kali seminggu selama empat bulan (4 H3
R3).(1,11)
2.1.2 Faktor Lingkungan Rumah
Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam penularan, terutama
lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat. Lingkungan rumah merupakan
salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan
penghuninya.(21,24) Faktor lingkungan rumah yang berpengaruh terhadap kejadian
TB paru adalah kepadatan hunian, suhu ruangan, kelembaban rumah, luas
ventilasi rumah, intensitas pencahayaan, jenis lantai rumah dan kontak serumah.
(8,11,20,22,23,24,25,26)
1. Kepadatan Penghuni Rumah
Kepadatan penghuni dapat mempercepat terjadinya penularan penyakit
terutama penyakit menular lewat udara atau secara droplet infection misalnya
penyakit TB paru. Semakin padat, maka penularan penyakit semakin mudah dan
12
cepat. Kepadatan penghuni rumah adalah perbandingan antara luas lantai rumah
dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah. Persyaratan kepadatan hunian
untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m2 per orang. Syarat rumah
sehat berdasarkan Departemen Kesehatan adalah 9 m2 per orang, sedangkan
untuk kamar tidur 3 m2 per orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang,
kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun. Apabila ada anggota
keluarga yang menderita penyakit TB paru sebaiknya tidak tidur dengan anggota
keluarga lainnya.(25)
2. Suhu Ruangan
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, suhu udara
nyaman antara 18oC – 30oC.(7) Suhu ruangan adalah temperatur udara dalam
ruangan yang diukur dengan menggunakan termometer ruangan dalam satuan
derajat celcius. Percikan dahak yang mengandung kuman Mycobacterium
tuberculosis dapat bertahan di udara pada suhu kamar atau sekitar 31oC – 37oC
selama beberapa jam.(11,20)
3. Kelembaban Rumah
Kelembaban adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam ruangan,
diukur pada tempat dimana penghuni menghabiskan sebagian besar waktunya di
rumah dengan menggunakan alat hygrometer. Menurut Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, kelembaban udara yang memenuhi syarat rumah
sehat adalah 40% - 70%. Salah satu media yang paling baik bagi pertumbuhan
mikro-organisme seperti bakteri yang dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara
adalah rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat rumah
13
sehat. Kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung
menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadapi mikro-organisme.
Seperti halnya dengan bakteri lain, bakteri Mycobacterium tuberculosis akan
tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air
membentuk lebih dari 80% volume sel bakteri dan merupakan hal yang esensial
untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri.(11,26)
4. Luas Ventilasi Rumah
Kriteria rumah sehat harus memiliki ventilasi atau lubang angin. Ventilasi
berfungsi untuk menjaga aliran udara di dalam rumah tetap segar,
mempertahankan keseimbangan suhu, kelembaban dan oksigen bagi penghuninya
dan sebagai tempat masuknya cahaya matahari yang berfungsi untuk membunuh
bakteri-bakteri penyebab penyakit seperti Mycobacterium tuberculosis.(27) Luas
ventilasi rumah adalah perbandingan antara luas lubang angin yang dapat masuk
kedalam rumah dan luas lantai dikalikan 100% dengan menggunakan rol meter.
(11,31) Menurut indikator pengawasan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat
rumah sehat adalah ≥ 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak
memenuhi syarat rumah sehat adalah < 10% luas lantai rumah.(32)
Luas ventilasi rumah yang < 10% dari luas lantai akan mengakibatkan
berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida
yang bersifat racun bagi penghuni rumah. Selain itu, ventilasi yang tidak cukup
menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan dan menjadi media yang baik
untuk tumbuh dan berkembangbiaknya bakteri-bakteri patogen seperti kuman TB.
(20)
14
5. Intensitas Pencahayaan
Intensitas pencahayaan adalah pencahayaan yang berasal dari sinar
matahari, diukur pada tempat dimana penghuni menghabiskan sebagian besar
waktunya di rumah dengan menggunakan lux meter. Menurut Keputusan Menteri
Kesehatan, syarat intensitas pencahayaan adalah ≥ 60 lux dan tidak menyilaukan.
(11,20,32)
Cahaya matahari selain berguna untuk menerangi ruangan juga mempunyai
daya untuk membunuh bakteri. Hal ini telah dibuktikan oleh Robert Koch. Kuman
TB dapat bertahan hidup bertahun-tahun lamanya dan mati bila terkena sinar
matahari , sabun, lisol, karbol dan panas api. Rumah yang tidak masuk sinar
matahari mempunyai resiko menderita TB tiga sampai tujuh kali dibandingkan
dengan rumah yang dimasuki sinar matahari.(28)
Cahaya matahari masuk ke dalam rumah melalui jendela atau genteng kaca.
Diutamakan sinar matahari pagi mengandung sinar ultraviolet yang dapat
mematikan kuman. Oleh sebab itu, rumah dengan standar pencahayaan yang
buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian TB.(31)
6. Jenis Lantai Rumah
Lantai adalah tempat berpijak di dalam rumah yang diukur dengan kondisi
kedap air (dilapisi semen atau tegel/ubin/keramik/teraso) atau tidak kedap air
(tanah) dari lantai terluas di dalam rumah. Lantai tanah cenderung menimbulkan
kelembaban sehingga berpengaruh terhadap proses kejadian TB. Pada musim
panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya
bagi penghuninya.(11,20)
15
7. Kontak Serumah
Kontak serumah adalah adanya keluarga serumah yang sudah diketahui
menderita TB paru BTA positif.(34) Kontak serumah dengan penderita TB
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya TB paru karena penularan TB paru
lewat percikan dahak sehingga mudah menyebar di dalam rumah.(29)
2.2 Kendala yang dihadapi
Dalam melakukan penelitian tentunya ada banyak tantangan dan kendala
yang peniliti hadapi. Kendala-kendala yang dialami yaitu :
1. Data jumlah kasus di Puskesmas berbeda dengan data di Dinas Kesehatan.
2. Sulit menemukan rumah penderita dikarenakan adanya petugas TB yang
tidak mengetahui letak rumah dan tidak bisa mengantar peneliti.
3. Rumah pasien berjauhan sehingga menempuh perjalanan yang cukup jauh
untuk sampai di pusat kesehatan.
16
BAB 3
UPAYA PEMECAHAN
3.1.1 Kriteria Inklusi
1. Bertempat tinggal di Kabupaten TTS.
2. Bersedia menjadi responden dengan menandatangani persetujuan setelah
penjelasan (informed consent).
3. Berusia 15 – 50 tahun.
4. Kondisi rumah tidak mengalami perubahan satu tahun terakhir.
5. Untuk kelompok kasus tercatat sebagai penderita TB paru BTA positif
yang dinyatakan berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopik sediaan
sputum di laboratorium puskesmas periode Januari 2013 - Agustus 2014.
6. Untuk kelompok kontrol adalah :
a. Bertempat tinggal di Kabupaten TTS.
b. Tidak menderita TB paru.
c. Tidak tinggal serumah dengan kelompok kasus.
d. Memiliki karakter minimal yang sama dengan kelompok kasus.
e. Berusia setara atau selisih usia maksimal lima tahun dengan kelompok
kasus.
f. Kondisi rumah tidak mengalami perubahan satu tahun terakhir.
3.7.2 Kriteria Eksklusi
1. Dalam keadaan sakit atau tidak bisa ditemui.
2. Menderita TB ekstra paru dan HIV
3.2 Alur Penelitian dan Cara Kerja
17
3.2.1 Alur Penelitian
Skema 3.8.1 Alur Penelitian
3.2.2 Cara Kerja
1. Sumber data
Data yang dikumpulkan dibedakan menjadi dua, yaitu data primer dan
data sekunder. Data primer pengumpulannya dilakukan dengan
menggunakan lembar observasi dengan metode observasi langsung dan
pengukuran tentang faktor risiko lingkungan rumah dengan kejadian TB
paru BTA positif. Data sekunder yaitu data registrasi pasien yang tercatat
sebagai penderita TB paru BTA positif serta data yang dikumpulkan dari
dokumentasi gambar dan hasil–hasil pencatatan yang diperoleh dari
Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten TTS, meliputi angka
morbiditas dan mortalitas akibat TB paru.
2. Alat penelitian/instrumen penelitian
Penentuan Populasi
Teknik sampling dan penentuan besar sampel
Persetujuan setelah penjelasan
Skoring Analisis Data Penyajian data dalam laporan hasil penelitian
Data Izin observasi lingkungan responden dengan menggunakan lembar observasi dan alat ukur.
Pemilihan sampel sesuai kriteria inklusi
Izin Penelitian
18
a. Alat tulis yang digunakan untuk mencatat dan melaporkan hasil
penelitian.
b. Kertas dan komputer.
c. Lembar observasi terstruktur sebagai panduan pengamatan dan
pengukuran untuk mendapatkan data.
d. Alat pengukuran berupa termometer, hygrometer, lux meter dan rol
meter.
e. Peralatan penunjang
3.3 Analisis Data
3.3.1 Pengumpulan Data
Setelah data penelitian terkumpul dan lengkap, kemudian dilakukan
langkah-langkah sebagai berikut :
1. Editing
Setelah data terkumpul dilakukan editing untuk mengecek kelengkapan data,
kesinambungan data dan keseragaman data untuk menjamin validitas data.
2. Coding
Pemberian kode dan skor terhadap observasi dan pengukuran yang
dilakukan, hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam pengolahan data.
3. Tabulating
Pembuatan tabel untuk variabel yang akan dianalisis.
4. Entry Data
Memasukkan data-data ke dalam program komputer
3.3.2 Jenis Pengolahan Data
19
Data dianalisis dan diinterpretasi dengan menggunakan program komputer
dengan tahapan sebagai berikut :
1. Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini
hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel
yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.(37)
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan dan
kekuatan hubungan antara dua variabel penelitian, yaitu variabel bebas dan
variabel terikat. Uji statistik yang digunakan adalah chi square, karena
sampel independen dan data yang dianalisis dalam bentuk kategori berskala
nominal dan ordinal. Hasil uji statistik menyimpulkan bahwa apakah
hubungan antara dua variabel bermakna atau tidak bermakna.(36)
Untuk menginterpretasikan hubungan risiko pada penelitian ini digunakan
OR. Besar kecilnya nilai OR menunjukkan besarnya keeratan hubungan
antara dua variabel yang diuji.(37) Interpretasi OR sebagai berikut:
a. Bila nilai OR = 1 berarti variabel yang diduga faktor resiko tersebut tidak
ada pengaruhnya dalam terjadinya efek atau dengan kata lain ini bersifat
netral (≠asosiasi).
b. Bila nilai OR > 1 dan rentang interval kepercayaan tidak mencakup
angka 1, berarti exposure tersebut merupakan faktor resiko terjadinya
efek.
20
c. Bila nilai OR < 1 dan rentang interval kepercayaan tidak mencakup
angka 1 berarti exposure yang diteliti dapat mengurangi terjadinya efek
(faktor pencegah).(24)
3. Analisis Multivariat
Analisis multivariat bertujuan untuk mengetahui variabel bebas yang paling
berpengaruh terhadap timbulnya kejadian TB paru. Uji statistik yang
digunakan adalah regresi logistik dengan melihat hasil analisis bivariat yang
mempunyai nilai p < 0,25.
21
3.4 Kerangka Operasional dan Rancangan Anggaran
3.4.1 Kerangka Operasional
Kegiatan 2014 2015
Bulan Bulan
4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
Penyusunan Proposal
Seminar Proposal
Kaji Etik
Pengumpulan data
Pengolahan Data
Analisis Data
Penyusunan Laporan
Seminar Hasil
Ujian Skripsi
Jadwal kegiatan penelitian
3.4.2 Rancangan Anggaran
No Uraian Volume Biaya Satuan Total Biaya1 Kertas A4 2 Rim Rp 35.000 Rp 70.0002 Tinta Printer Black 1 Botol Rp 45. 000 Rp 45.0003 Tinta Printer Color 1 Botol Rp 45. 000 Rp 45.0004 Foto copy 400 lbr Rp 150 Rp 60.000
22
5 Percetakan danpenjilidan proposal
Rp 50.000
6 Percetakan danpenjilidan skripsi
Rp 300.000
7 Termometer 1 buah Rp 90.000Lux meter 1 buah Rp 240.000Hygrometer 1 buah Rp 100.000Rol meter 1 buah Rp 50.000
8 Lain- lain Rp 500.000Total Biaya Rp 1.550.000
23
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum
4.1.1 Letak Geografis
Kabupaten TTS merupakan salah satu wilayah di Propinsi NTT yang
terletak antara 9o26’- 10o10’ lintang selatan dan 124o49’01”- 124o04’00” bujur
timur. Bagian utara berbatasan dengan Kabupaten TTU, bagian barat berbatasan
dengan Kabupaten Kupang, bagian selatan dengan Laut Timor dan bagian timur
dengan Kabupaten Belu.
Gambar 4.1.1 Peta Batas Wilayah Kabupaten TTS
24
4.1.2 Luas Wilayah
Luas wilayah Kabupaten TTS sekitar 3.955,36 km2, yang keseluruhannya
berupa daratan. Wilayah TTS banyak memiliki tekstur perbukitan, wilayah
daratan di TTS yang memiliki kemiringan dari batas ambang 0° - 3° adalah
berjumlah sekitar 7,74% dari total luas daerah Kabupaten TTS. Sedangkan areal
dengan tingkat kemiringan 3° - 40° didalam wilayah Kabupaten TTS adalah
sekitar kurang lebih 57,86%. Sedangkan sisanya yang berjumlah 34,40% dari total
luas wilayah Kabupaten TTS ini adalah yang memiliki tingkat kemiringan diatas
40°.
Secara administrasi, terdapat 32 kecamatan yang terdiri dari 278 desa dan
12 kelurahan di Kabupaten TTS. Dari 278 desa yang ada, 23 desa berada di pesisir
dan 255 desa bukan di pesisir. Dari 32 kecamatan yang ada, untuk lokasi
penelitian terdiri dari tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Mollo Utara, Kecamatan
Amanuban Selatan dan Kecamatan Amanuban Barat.
4.1.3 Kependudukan
Berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2013 dari Badan Pusat Statistik
(BPS) Kabupaten TTS, jumlah penduduk Kabupaten TTS adalah 451.922 orang
yang terdiri atas 222.490 laki-laki dan 229.432 perempuan. Jumlah ini mengalami
kenaikan sebesar 0,72 persen dari hasil proyeksi jumlah penduduk tahun 2012
yaitu 448.693 orang.
Uraian 2012 2013
25
Jumlah Penduduk (jiwa) 448.693 451.922
Pertumbuhan Penduduk (%) 0,60 0,72
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 113 114
Sex Ratio (L/P)(%) 97 97
Jumlah Rumah Tangga (juta) 111.939 112.446
% Penduduk menurut kelompok umur
0-14 tahun 36,77 39.32
15-64 tahun 58,12 55,90
>65 tahun 5,11 4,78
Tabel 4.1.3 Indikator Kependudukan Kabupaten TTS.
4.1.4 Tingkat Pendidikan
Sesuai data tahun 2013, persentase penduduk berumur 10 tahun keatas
menurut status pendidikan adalah penduduk yang belum atau tidak pernah sekolah
sebanyak 11,07%, masih bersekolah 25,09% dan tidak bersekolah lagi 63,84%.
Sedangkan menurut kemampuan membaca dan menulis adalah dapat membaca
dan menulis sebanyak 86,53% dan buta huruf 13,47%. Secara umum, tingkat
pendidikan penduduk di Kabupaten TTS masih relatif rendah dan keadaan
penduduk ini merupakan suatu masalah yang berpengaruh terhadap tingkat
pengetahuan masyarakat terhadap kesehatan.
4.1.5 Pelayanan Kesehatan
Kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Peningkatan derajat
kesehatan masyarakat perlu ditunjang dengan ketersediaan fasilitas kesehatan
yang terjangkau dengan pelayanan yang memadai dan mudah diakses oleh
masyarakat. Jumlah sarana pelayanan kesehatan di Kabupaten TTS sebanyak 2
26
buah Rumah Sakit (RS), 93 Puskesmas atau Pustu, 105 Poskesdes atau Polindes
yang tersebar di desa atau kelurahan. Jumlah tenaga kesehatan di Kabupaten TTS
tahun 2013 pada seluruh unit pelayanan kesehatan adalah sebanyak 527 orang.
4.1.6 Perumahan
Selama dua tahun terakhir terjadi peningkatan persentase rumah tangga
dengan jenis lantai bukan tanah yaitu dari 35,26% tahun 2012 menjadi 35,78%
tahun 2013. Sedangkan untuk jenis dinding sebanyak 23,91% rumah tangga telah
menggunakan dinding permanen. Untuk jenis atap, sebagian besar telah tinggal
menggunakan atap layak yaitu 60,88%. Dan untuk penerangan 51,07% rumah
tangga telah menggunakan listrik sebagai sumber penerangan utama.
Pada tahun 2013 di Kabupaten TTS sebanyak 88,31% penduduk memiliki
rumah tinggal dengan luas ≥ 20 m2 sedangkan penduduk yang memiliki rumah
tinggal < 20 m2 hanya sekitar 11,69% yang umumnya adalah masyarakat di
pedesaan yang lebih memilih tinggal di rumah bulat (ume kebubu).
4.2 Karakteristik Responden
4.2.1 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin
Jumlah subyek penelitian ada 66 orang terdiri dari 33 kasus dan 33 kontrol.
Tabel menunjukan bahwa jenis kelamin laki-laki pada kelompok kasus sebanyak
15 (45,5%) dan kelompok kontrol sebanyak 16 (48,5%), demikian juga pada jenis
kelamin perempuan proporsinya pada kelompok kasus sebanyak 18 (54,5%) dan
pada kelompok kontrol sebanyak 17 (51,5%).
4.2.2 Distribusi Responden Menurut Golongan Umur
Tabel 4.2.2 Distribusi Responden Menurut Golongan Umur
Kelompok Umur Subyek Penelitian Total
27
Kasus Kontrol
N % N % N %
15 - 26 15 45,5 12 36,4 27 40,9
27 - 38 11 33,3 14 42,4 25 37,9
39 - 50 7 21,2 7 21,2 14 21,2
Jumlah 33 100,0 33 100,0 66 100,0
Tabel diatas menunjukkan bahwa proporsi umur responden yang paling banyak
pada kelompok umur 15 - 26 tahun yaitu 27 orang (40,9%). Pada kelompok kasus,
umur responden yang paling banyak adalah 15 – 26 tahun yaitu 15 orang (45,5%).
Pada kelompok kontrol, umur responden yang paling banyak adalah 27 – 38 tahun
yaitu 14 orang (42,4%).
4.2.3 Distribusi Responden Menurut Tempat Penemuan Kasus TB Paru
BTA Positif
Tabel 4.2.3 Distribusi Responden Menurut Tempat Penemuan Kasus TB Paru
BTA Positif
Nama Puskesmas Kasus BTA Positif
N %
Noemuke 1 3,0
Nulle 31 94,0
Kapan 1 3,0
Jumlah 33 100,0
28
Tabel diatas menunjukkan wilayah Puskesmas Nulle merupakan Puskesmas
dengan penemuan kasus terbanyak yaitu 31 kasus (94%), sedangkan Puskesmas
Noemuke dan Puskesmas Kapan masing-masing hanya terdapat 1 kasus (3%).
4.2.4 Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan
Tabel 4.2.4 Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan Subyek Penelitian Total
Kasus Kontrol
N % N % N %
Tidak Sekolah 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Tidak Tamat SD 0 0,0 1 3,0 1 1,5
Tamat SD 13 39,4 11 33,3 24 36,4
Tamat SMP 5 15,2 7 21,2 12 18,2
Tamat SMA 13 39,4 14 42,4 27 40,9
Akademi/PT 2 6,1 0 0,0 2 3,0
Jumlah 33 100,0 33 100,0 66 100,0
Tabel diatas menunjukkan bahwa proporsi tingkat pendidikan responden paling
banyak adalah tamat SMA yaitu 27 orang (40,9%). Pada kelompok kasus, tingkat
pendidikan responden yang paling banyak adalah tamat SD dan tamat SMA yaitu
masing-masing 13 orang (39,4%), pada kelompok kontrol tingkat pendidikan
yang paling banyak adalah tamat SMA yaitu 14 orang (42,4%).
4.2.5 Distribusi Responden Menurut Jenis Pekerjaan
Tabel 4.2.5 Distribusi Responden Menurut Jenis Pekerjaan
Jenis Pekerjaan Subyek Penelitian Total
29
Kasus Kontrol
N % N % N %
PNS/ABRI 1 3,0 0 0,0 1 1,5
Pegawai Swasta 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Wiraswasta 0 0,0 2 6,1 2 3,0
Pensiunan 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Pelajar/Mahasiswa
3 9,1 1 3,0 4 6,1
Petani 9 27,3 12 36,4 21 31,8
Buruh 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Tidak Bekerja/IRT
17 51,5 16 48,5 33 50,0
Lainnya 3 9,1 2 6,1 5 7,6
Jumlah 33 100,0 33 100,0 66 100,0
Tabel diatas menunjukkan bahwa berdasarkan jenis pekerjaan, proporsi jenis
pekerjaan responden paling banyak adalah tidak bekerja/IRT yaitu 33 orang
(50%). Pada kelompok kasus, jenis pekerjaan responden paling banyak adalah
tidak bekerja/IRT yaitu 17 orang (51,5%). Pada kelompok kontrol, jenis pekerjaan
responden yang paling banyak adalah tidak bekerja/IRT yaitu 16 orang (48,5%).
4.3 Analisis Faktor Risiko
Deskripsi variabel penelitian ditunjukkan dari hasil distribusi frekuensi dari
masing-masing variabel penelitian. Pengelompokan ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan dari masing-masing variabel yang akan diteliti dengan
kejadian TB paru pada orang yang berumur 15 - 50 tahun yang dianalisis dengan
30
menggunakan tiga tahap yaitu tahap pertama menggunakan analisis univariat,
kemudian tahap kedua dicari hubungannya dengan kejadian TB paru dengan
menggunakan analisis bivariat, sedangkan tahap ketiga apabila proporsi variabel
bebas menunjukkan adanya perbedaan antara kasus dan kontrol dengan melihat
significant (p < 0,25), maka dilanjutkan dengan menggunakan analisis multivariat.
4.3.1 Analisis Univariat
Faktor lingkungan rumah yang berhubungan dengan kejadian TB paru.
Kepadatan penghuni rumah dalam penelitian ini adalah perbandingan
antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah.
Pada kasus yang tidak memenuhi syarat (< 9 m2 per orang) sebesar 81,8%,
sedangkan pada kontrol yang tidak memenuhi syarat kesehatan lebih kecil
yaitu sebesar 51,5%. Kepadatan penghuni rumah pada kasus yang
memenuhi syarat (≥ 9 m2 per orang) sebesar 18,2%, sedangkan pada kontrol
lebih besar yaitu 48,5%.
Suhu ruangan adalah temperatur udara dalam ruangan yang diukur
dengan menggunakan termometer ruangan dalam satuan derajat celcius.
Berdasarkan pengukuran dengan termometer, yang tidak memenuhi syarat
(31oC – 37oC) pada kasus sebesar 6,1%, sedangkan pada kontrol lebih besar
yaitu 15,2%. Suhu ruangan yang memenuhi syarat (< 31oC dan > 37oC) pada
kasus sebesar 93,9% dan pada kontrol 84,8%.
Kelembaban rumah adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam
ruangan, diukur pada tempat dimana penghuni menghabiskan sebagian
besar waktunya di rumah dengan menggunakan alat hygrometer.
31
Berdasarkan pengukuran hygrometer pada kasus yang tidak memenuhi
syarat (< 40% dan > 70%) sebesar 81,8%, sedangkan pada kontrol lebih
kecil yaitu 48,5%. Kelembaban yang memenuhi syarat (40% - 70%) pada
kasus sebesar 18,2%, sedangkan pada kontrol lebih besar yaitu 51,5%.
Luas Ventilasi adalah perbandingan antara luas lubang angin yang
dapat masuk kedalam rumah dan luas lantai dikalikan 100% dengan
menggunakan rol meter. Pada kasus yang tidak memenuhi syarat ( < 10%
dari luas lantai) sebesar 78,8%, sedangkan pada kontrol sebesar 54,5%.
Luas ventilasi yang memenuhi syarat ( ≥ 10% dari luas lantai) sebesar
21,2%, sedangkan pada kontrol sebesar 45,5%.
Intensitas pencahayaan adalah pencahayaan yang berasal dari sinar
matahari, diukur pada tempat dimana penghuni menghabiskan sebagian
besar waktunya di rumah dengan menggunakan lux meter. Berdasarkan
pengukuran pada kasus yang tidak memenuhi syarat ( < 60 Lux) sebesar
72,7%, sedangkan pada kontrol lebih kecil yaitu 33,3%. Intensitas cahaya
yang memenuhi syarat ( ≥ 60 Lux) pada kasus sebesar 27,3% dan pada
kontrol 66,7%.
Jenis lantai adalah tempat berpijak di dalam rumah yang diukur
dengan kondisi kedap air (dilapisi semen atau tegel/ubin/keramik/teraso)
atau tidak kedap air (tanah) dari lantai terluas di dalam rumah. Berdasarkan
pengamatan fisik langsung, yang tidak memenuhi syarat (tidak kedap air)
pada kasus sebesar 45,5%, sedangkan pada kontrol lebih kecil yaitu 27,3%.
32
Jenis lantai yang memenuhi syarat (kedap air) pada kasus sebesar 54,5%
dan pada kontrol sebesar 72,7%.
Kontak serumah adalah adanya keluarga serumah yang sudah
diketahui menderita TB paru BTA positif. Pada kasus yang memiliki kontak
serumah sebesar 75,8%, sedangkan pada kontrol sebesar 51,5%. Pada kasus
yang tidak memiliki kontak serumah sebesar 24,2% dan pada kontrol
48,5%.
33
Tabel 4.3.1 Hasil Analisis Univariat Faktor Lingkungan Rumah dengan Kejadian TB
Paru di Kabupaten TTS Tahun 2014
No Jenis Pekerjaan Subyek Penelitian
Kasus Kontrol
N % N %
1. Kepadatan penghuni1. < 9 m2 per orang2. ≥ 9 m2 per orang
276
81,818,2
1716
51,548,5
2 Suhu ruangan1. 31oC – 37oC2. < 31oC dan > 37oC
231
6,193,9
528
15,284,8
3Kelembaban rumah1. < 40% dan > 70%2. 40% - 70%
276
81,818,2
1617
48,551,5
4 Luas ventilasi1. < 10% dari luas
lantai2. ≥ 10% dari luas
lantai
267
78,821,2
1815
54,545,5
5 Intensitas pencahayaan1. < 60 Lux2. ≥ 60 Lux
249
72,727,3
1122
33.366,7
6 Jenis lantai1. Tidak kedap air2. Kedap air
1518
45,554,5
924
27,372,7
7 Kontak serumah1. Ada2. Tidak ada
258
75,824,2
1716
51,548,5
34
Selanjutnya data tersebut di analisis dengan uji chi-square dan uji
regresi logistik untuk mengetahui hubungan masing-masing variabel
dengan kejadian TB paru.
4.3.2 Analisis Bivariat
1. Hubungan kepadatan penghuni rumah dengan kejadian TB paru
Proporsi rumah yang kepadatan penghuni rumahnya < 9 m2 (tidak
memenuhi syarat) lebih sedikit pada kelompok kontrol (51,5%) dibanding
pada kelompok kasus (81,8%). Secara statistik hasil analisa menunjukkan p
= 0,009 dan OR = 4,235 dengan CI 95% = 1,385 < OR < 12,947 sehingga
bermakna karena p < 0,05 dengan demikian dapat dinyatakan bahwa
kepadatan penghuni rumah merupakan faktor risiko kejadian TB paru atau
ada hubungan antara kepadatan penghuni rumah dengan kejadian TB paru.
Tabel 4.3.2.1 Distribusi Kepadatan Penghuni Rumah dengan Kejadian TB
Paru di Kabupaten TTS Tahun 2014
Kepadatan penghuni rumah
Subyek Penelitian
Kasus Kontrol
N % N %
< 9 m2 per orang
≥ 9 m2 per orang
276
81,818,2
1716
51,548,5
OR = 4,235 CI 95% = 1,385<OR<12,947 p = 0,009
2. Hubungan suhu ruangan dengan kejadian TB paru
Proporsi suhu ruangan 31oC – 37oC (tidak memenuhi syarat) lebih
banyak pada kelompok kontrol (15,2%) dibanding pada kelompok kasus
35
(6,1%). Secara statistik hasil analisa menunjukkan p = 0,427 dan OR =
0,361 dengan CI 95% = 0,065 < OR < 2,013 sehingga tidak bermakna
karena p > 0,05 dengan demikian dapat dinyatakan bahwa suhu ruangan
bukan merupakan faktor risiko kejadian TB paru atau tidak ada hubungan
antara suhu ruangan dengan kejadian TB paru.
Tabel 4.3.2.2 Distribusi Suhu Ruangan Rumah dengan Kejadian TB Paru di
Kabupaten TTS Tahun 2014
Suhu ruangan
Subyek Penelitian
Kasus Kontrol
N % N %
31oC – 37oC < 31oC dan > 37oC
231
6,193,9
528
15,284,8
OR = 0,361 CI 95% = 0,065<OR<2,013 p = 0,427
3. Hubungan kelembaban rumah dengan kejadian TB paru
Proporsi kelembaban rumah < 40% dan > 70% (tidak memenuhi syarat)
lebih banyak pada kelompok kasus (81,8%) dibanding pada kelompok
kontrol (48,5%). Secara statistik hasil analisa menunjukkan p = 0,004 dan
OR = 4,781 dengan CI 95% = 1,564 < OR < 14,616 sehingga bermakna
karena p < 0,05 dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kelembaban
rumah merupakan faktor risiko kejadian TB paru atau ada hubungan
kelembaban rumah dengan kejadian TB paru.
Tabel 4.3.2.3 Distribusi Kelembaban Rumah dengan Kejadian TB Paru di
Kabupaten TTS Tahun 2014
36
Kelembaban rumah
Subyek Penelitian
Kasus Kontrol
N % N %
< 40% dan > 70%40% - 70%
276
81,818,2
1617
48,551,5
OR = 4,781 CI 95% = 1,564<OR<14,616 p = 0,004
4. Hubungan luas ventilasi dengan kejadian TB paru
Proporsi luas ventilasi < 10% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat)
lebih banyak pada kelompok kasus (78,8%) dibanding pada kelompok
kontrol (54,5%). Secara statistik hasil analisa menunjukkan p = 0,037 dan
OR = 3,095 dengan CI 95% = 1,051 < OR < 9,113 sehingga bermakna
karena p < 0,05 dengan demikian dapat dinyatakan bahwa luas ventilasi
merupakan faktor risiko kejadian TB paru atau ada hubungan luas ventilasi
dengan kejadian TB paru.
Tabel 4.3.2.4 Distribusi Luas Ventilasi dengan Kejadian TB Paru di Kabupaten TTS
Tahun 2014
Luas ventilasi
Subyek Penelitian
Kasus Kontrol
N % N %
< 10% dari luas lantai
≥ 10% dari luas lantai
267
78,821,2
1815
54,545,5
OR = 3,095 CI 95% = 1,051<OR<9,113 p = 0,037
5. Hubungan intensitas pencahayaan dengan kejadian TB paru
37
Proporsi intensitas pencahayaan < 60 Lux (tidak memenuhi syarat)
lebih banyak pada kelompok kasus (72,7%) dibanding pada kelompok
kontrol (33,3%). Secara statistik hasil analisa menunjukkan p = 0,001 dan
OR = 5,333 dengan CI 95% = 1,859 < OR < 15,301 sehingga bermakna
karena p < 0,05 dengan demikian dapat dinyatakan bahwa intensitas
pencahayaan merupakan faktor risiko kejadian TB paru atau ada hubungan
intensitas pencahayaan dengan kejadian TB paru.
Tabel 4.3.2.5 Distribusi Intensitas Pencahayaan dengan Kejadian TB Paru di
Kabupaten TTS Tahun 2014
Intensitas pencahayaan
Subyek Penelitian
Kasus Kontrol
N % N %
< 60 Lux ≥ 60 Lux
249
72,727,3
1122
33,366,7
OR = 5,333 CI 95% = 1,859<OR<15,301 p = 0,001
6. Hubungan jenis lantai dengan kejadian TB paru
Proporsi jenis lantai tidak kedap air lebih banyak pada kelompok kasus
(45,5%) dibanding pada kelompok kontrol (27,3%). Secara statistik hasil
analisa menunjukkan p = 0,125 dan OR = 2,222 dengan CI 95% = 0,795 <
38
OR < 6,211 sehingga tidak bermakna karena p > 0,05 dengan demikian
dapat dinyatakan bahwa jenis lantai bukan merupakan faktor risiko kejadian
TB paru atau tidak ada hubungan jenis lantai dengan kejadian TB paru.
Tabel 4.3.2.6 Distribusi Jenis Lantai dengan Kejadian TB Paru di Kabupaten TTS
Tahun 2014
Jenis lantai
Subyek Penelitian
Kasus Kontrol
N % N %
Tidak kedap airKedap air
1518
45,554,5
924
27,372,7
OR = 2,222 CI 95% = 0,795<OR<6,211 p = 0,125
7. Hubungan kontak serumah dengan kejadian TB paru
Proporsi adanya kontak serumah lebih banyak pada kelompok kasus
(75,8%) dibanding pada kelompok kontrol (51,5%). Secara statistik hasil
analisa menunjukkan p = 0,041 dan OR = 2,941 dengan CI 95% = 1,031 <
OR < 8,394 sehingga bermakna karena p < 0,05 dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa kontak serumah merupakan faktor risiko kejadian TB
paru atau ada hubungan kontak serumah dengan kejadian TB paru.
Tabel 4.3.2.7 Distribusi Kontak Serumah dengan Kejadian TB Paru di Kabupaten
TTS Tahun 2014
Kontak serumah
Subyek Penelitian
Kasus Kontrol
N % N %
Ada 25 75,8 17 51,5
39
Tidak ada 8 24,2 16 48,5
OR = 2,941 CI 95% = 1,031<OR<8,394 p = 0,041
Tabel 4.3.2 Hasil Perhitungan Analisis Bivariat dengan Uji Chi-Square Faktor
Lingkungan Rumah dengan Kejadian TB Paru di Kabupaten TTS
Tahun 2014
No Faktor risiko OR 95% CI Nilai p
Keterangan
1.2. 3.4.5. 6. 7.
Kepadatan penghuni Suhu ruanganKelembaban rumahLuas ventilasiIntensitas pencahayaanJenis lantaiKontak serumah
4,2350,3614,7813,0955,3332,2222,941
1,385<OR<12,9470,065<OR<2,0131,564<OR<14,6161,051<OR<9,1131,859<OR<15,301,795<OR<6,2111,031<OR<8,394
0,0090,4270,0040,0370,0010,1250,041
SigTidak sig
SigSigSig
Tidak sigSig
4.3.3 Analisis Multivariat
Pada tahap berikutnya data tersebut di analisis secara bersama-sama dengan
analisis multivariat untuk mengetahui adanya hubungan antara faktor lingkungan
rumah dengan kejadian TB paru. Analisis bivariat dari masing-masing variabel
faktor risiko yang mempunyai angka kemaknaan dengan nilai ρ-value < 0,05
adalah kepadatan penghuni rumah, kelembaban rumah, luas ventilasi, intensitas
pencahayaan dan kontak serumah.
Analisis multivariat dapat dilakukan jika hasil analisis bivariat menunjukkan
nilai ρ-value < 0,25, dengan demikian semua variable dapat dimasukkan dalam
analisa multivariat karena p < 0,25.
40
Adapun hasil analisis multivariat faktor lingkungan rumah dengan kejadian
TB paru adalah sebagaimana tabel 4.3.3 di bawah ini :
Tabel 4.3.3 Hasil Analisis Multivariat Uji Regresi Logistik Beberapa Faktor
Lingkungan Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru di
Kabupaten TTS Tahun 2014
No Faktor risiko B Nilai p OR 95% CI
1.2. 3.4.
Kepadatan penghuniKelembaban rumahIntensitas pencahayaanKontak serumah
1,6741,2291,7811,081
0,0160,0640,0060,091
5,3323,4185,9382,948
1,368<OR<20,7880,932<OR<12,5331,680<OR<20,9900,841<OR<10,334
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. 2011;
2. Widagdo. Masalah dan Tatalaksana Penyakit Infeksi Pada Anak. Jakarta: Sagung Seto; 2011.
3. World Health Organization. Global Tuberculosis Report [Internet]. 2013 [cited 2014 Apr 11]. Available from: http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/91355/1/9789241564656_eng.pdf?ua=1
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia. RISET KESEHATAN DASAR. 2013;
5. Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2012.
6. Dinas Kesehatan Kabupaten Timor Tengah Selatan. Data Kasus Tuberkulosis Paru Kabupaten Timor Tengah Selatan. 2013.
7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/MENKES/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Jakarta; 2009.
8. Dinas Kesehatan Timor Tengah Selatan. Profil Kesehatan Timor Tengah Selatan. 2011.
9. Naben AX, Suhartono, Nurjazuli. Kebiasaan Tinggal di Rumah Etnis Timor Sebagai Faktor Risiko Tuberkulosis Paru. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 2013;12.
10. Bachtiar I, Ibrahim E, Ruslan. Hubungan Perilaku Dan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian TB Paru Di Kota Bima Provinsi NTB. Universitas Hasanuddin. 2012;
11. Ruswanto B. Analisis Spasial Sebaran Kasus Tuberkulosis Paru Ditinjau Dari Faktor Lingkungan Dalam Dan Luar Rumah Di Kabupaten Pekalongan. Universitas Diponegoro Semarang. 2010;
12. Campbell M. What Tuberculosis did for Modernism: The Influence of a Curative Environment on Modernist Design and Architecture. Medical History. 2005;(49):463 – 488.
42
13. Tornee S, Kaewkungwal J, Fungladda W, Silachamroon U, Akarasewi P, Sunakorn P. The Association Between Environmental Factors and Tuberculosis Infection Among Household Contacts. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2005;36:221 – 224.
14. Siddiqui MS, Fakih HAM, Burney WA, Iftikhar R, Khan N. Environmental and Host-Related Factors Predisposing to Tuberculosis in Karachi. 2011;1(1):13–8.
15. Ho M-J. Sociocultural aspects of tuberculosis: a literature review and a case study of immigrant tuberculosis. Social science & medicine (1982) [Internet]. 2004 Aug [cited 2014 May 1];59(4):753–62. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15177832
16. Marra CA, Marra F, Cox VC, Palepu A, Fitzgerald JM. Factors influencing quality of life in patients with active tuberculosis. Health and quality of life outcomes [Internet]. 2004 Jan [cited 2014 May 1];2:58. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=526389&tool=pmcentrez&rendertype=abstract
17. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnostik dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2006; Available from: http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html
18. Israr YA, Christopher AP, Julianti R, Tambunan R, Hasriani A. Tuberkulosis Paru. Universitas Riau. 2009;
19. Soedarto. Penyakit Menular di Indonesia. Jakarta: Sagung Seto; 2009.
20. Suryo J. Herbal Penyembuh Gangguan Sistem Pernapasan. Yogyakarta: B First; 2010.
21. Fatimah S. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah Yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru Di Kabupaten Cilacap (Kecamatan Sidareja, Cipari, Kedungreja, Patimuan, Gandrungmangu, Bantarsari) Tahun 2008. Universitas Diponegoro Semarang. 2008.
22. Harian J. Epidemiologi Kebidanan [Internet]. Jakarta: Universitas Gunadarma; 2006. Available from: http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/epidemiologi_kebidanan/bab2-konsep_dasar_timbulnya_penyakit.pdf
23. Notoatmodjo S. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta; 2011.
24. Notoatmodjo S. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta: Rineka Cipta; 2003.
43
25. Kementerian Permukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia. Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat. Jakarta; 2002.
26. Gould D, Brooker C. Mikrobiologi Terapan untuk Perawat. Jakarta: EGC; 2003.
27. Junias MS. Kesehatan Lingkungan Pemukiman. Ratu J, editor. Kupang: Undana Press; 2013.
28. Atmosukarto, Soewati S. Pengaruh Lingkungan Pemukiman dalam Penyebaran Tuberkulosis. 9th ed. Jakarta: Media Litbang Kesehatan; 2000.
29. Akbar. Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian TBC Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Bolangitang Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Universitas Gorontalo. 2010;
30. Wulandari S. Hubungan Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru. Unnes Journal of Public Health. 2011;
31. Ruchban NF. Hubungan Kondisi Fisik Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango Tahun 2012 [Internet]. 2012 [cited 2014 May 24]. Available from: http://eprints.ung.ac.id/5783/
32. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Jakarta; 1999.
33. Putra NR. Hubungan Perilaku dan Kondisi Sanitasi Rumah dengan Kejadian TB Paru di Kota Solok Tahun 2011. Universitas Andalas Padang. 2011.
34. Sidhi DP. Riwayat Kontak Tuberkulosis Sebagai Faktor Risiko Hasil Uji Tuberkulin Positif [Internet]. 2010 [cited 2014 May 24]. Available from: http://eprints.undip.ac.id/28997/1/Dwi_Purnomo_Sidhi_Tesis.pdf
35. Pertiwi RN, Wuryanto MA, Sutiningsih D. Hubungan Antara Karakteristik Individu, Praktik Hygiene Dan Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Tuberculosis Di Kecamatan Semarang Utara Tahun 2011. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2012;1:435–45.
36. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar - Dasar Metodologi Penelitian Klinis. 4th ed. Jakarta: Sagung Seto; 2011.
37. Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2012.
44