Final
-
Upload
billy-untu -
Category
Documents
-
view
231 -
download
3
description
Transcript of Final
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma kepala (sering disinonimkan dengan cidera kepala, cidera kranioserebral,
dan cidera otak) dapat mengakibatkan luka pada kulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, robekan selaput otak, kerusakan pembuluh darah baik intra maupun
ekstraserebral, hingga kerusakan jaringan otak.1
Trauma kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian maupun
kecacatan; bahkan merupakan penyebab kematian dan kecacatan nomor satu pada
orang dewasa muda dan anak-anak. Di Amerika Serikat (AS) diperkirakan
terdapat 17 – 25 orang per 100.000 penduduk mengalami trauma kepala atau
sekitar 1,6 juta orang per tahun. Sekitar 250.000 korban dibawa ke rumah sakit
setiap tahunnya. Dari jumlah itu, lebih kurang 60.000 korban meninggal dan dari
yang hidup, sekitar 70.000 – 90.000 orang mengalami defisit neurologis permanen
(seperti kelumpuhan dan gangguan fungsi luhur).1
Trauma kepala merupakan keadaan gawat darurat sehingga perlu segera
ditangani. Trauma timbul akibat adanya gaya mekanik yang secara langsung
menghantam kepala. Akibatnya dapat terjadi fraktur tulang tengkorak, kontusio
serebri, laserasi serebri, dan perdarahan intrakranial seperti subdural hematom,
epidural hematom, atau intraserebral hematom. Trauma kepala ini dapat
menimbulkan terjadinya kelainan neurologi pada saat awal kejadian, timbulnya
kecacatan pada kemudian hari.2
Subdural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang
paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak.3 Otak di tutupi oleh tulang
tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh pembungkus yang di
sebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena, dan
membentuk periosteum tabula interna. Ketika seorang mendapat benturan yang
hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak
mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh darah.4
Subdural hemato]m adalah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan
araknoid. Subdural hematom disebakan oleh trauma otak yang menyebabkan
1
robeknya vena di dalam ruang araknoid. Pembesaran hematom karena robeknya
vena memerlukan waktu yang lama, sehari sampai beberapa minggu.4
Perdarahan subdural bisa memberikan gambaran klinis yang bervariasi.
Jika ekstravasasi terjadi secara cepat, otak pasien tidak atrofi, dan terdapat bentuk
trauma kepala yang lain, maka gangguan neurologis akan terlihat jelas dan
progresifitasnya cepat. Sebaliknya, pada perdarahan subdural dengan ekstravasasi
yang terjadi perlahan, pasien dengan otak yang atrofik, dan tidak ada penyulit lain,
gambaran klinisnya sangat ringan bahkan dapat asimptomatik. Hal ini sering
menjadi gambaran klinis perdarahan subdural kronik. Seringkali, saat gambaran
klinis menjadi jelas, pasien sendiri sudah melupakan kapan dia pernah mengalami
trauma kepala. Hal ini tidak mengherankan karena selain perlangsungannya yang
lama, seringkali trauma yang terjadi bersifat sangat ringan.1
Gambaran klinis yang paling banyak ditemui pada perdarahan subdural
kronik adalah gangguan kesadaran/tingkah laku. Walaupun demikian, tidak jarang
ditemukan juga hemiparesis. Nyeri kepala dan riwayat trauma kepala minor yang
ringan juga sering ditemukan pada anamnesis. Pada suatu penelitian ditemukan
bahwa sekitar 24% pasien usia tua dengan perdarahan subdural kronik ternyata
menggunakan antiplatelet atau antikoagulan.4
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan
araknoid. Perdarahan subdural dapat berasal dari: Ruptur Bridging vein yaitu vena
yang berjalan dari ruangan subaraknoid atau korteks serebri melintasi ruangan
subdural dan bermuara di dalam sinus venosus dura mater, Robekan pembuluh
darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid.2,3
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural
(di antara duramater dan arakhnoid). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya
vena-vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat
vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada
permukaan otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral
hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi bridging
veins. Perdarahan subdural juga menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan
kerusakan otak dibawahnya berat.5
3
Gambar :Subdural hematoma
Perdarahan subdural yang disebabkan karena perdarahan vena, biasanya
darah yang terkumpul hanya 100-200 cc dan berhenti karena tamponade hematom
sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan
terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang
kaya dengan pembuluh darah sehingga dapat memicu lagi timbulnya perdarahan-
perdarahan kecil dan membentuk suatu kantong subdural yang penuh dengan
cairan dan sisa darah. Subdural hematome dibagi menjadi 3 fase, yaitu akut,
subakut dan kronik. Dikatakan akut apabila kurang dari 72 jam, subakut 3-7 hari
setelah trauma, dan kronik bila 21 hari atau 3 minggu lebih setelah trauma.8
B. INSIDENS DAN EPIDEMIOLOGI
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdahan epidural, kira-
kira 30% dari cedera otak berat. Perdarahan ini sering terjadi akibat robekan
pembuluh darah atau vena-vena kecil di permukaan korteks serebri.2
Hematoma subdural akut telah dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien
dengan cedera kepala berat, tergantung pada studi. Kejadian tahunan hematoma
subdural kronis telah dilaporkan 1-5,3 kasus per 100.000 penduduk. Penelitian
yang lebih baru telah menunjukkan insiden yang lebih tinggi, mungkin karena
teknik pencitraan yang lebih baik. Perbedaan jenis kelamin dan usia-terkait dalam
4
insiden. Secara keseluruhan, hematoma subdural lebih sering terjadi pada pria
dibandingkan pada wanita, dengan rasio laki-perempuan sekitar 3:1. Pria juga
memiliki insiden yang lebih tinggi hematoma subdural kronis. Rasio laki-
perempuan telah dilaporkan menjadi 2:1.3
Insiden subdural hematoma kronis tampaknya tertinggi di kelima melalui
dekade ketujuh kehidupan. Satu studi retrospektif melaporkan bahwa 56% kasus
berada di pasien dalam dekade kelima dan keenam mereka, studi lain mencatat
bahwa lebih dari setengah dari semua kasus terlihat pada pasien yang lebih tua
dari 60 tahun. Insiden tertinggi, 7,35 kasus per 100.000 penduduk, terjadi pada
orang dewasa berusia 70-79 tahun.9
C. ETIOLOGI
Keadaan ini timbul setelah cedera/trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural.
Perdarahan sub dural dapat terjadi pada: 2
Trauma kapitis
Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau
putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh
terduduk.
Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah
terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada
orangtua dan juga pada anak - anak.
Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan
subdura.
Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan
subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor
intrakranial.
Pascaoperasi (kraniotomi, CSF shunting)
Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.
Faktor risiko untuk hematoma subdural kronis meliputi berikut ini: 7
alkoholisme kronis
epilepsi
5
koagulopati
kista arachnoid
Terapi antikoagulan (termasuk aspirin)
Penyakit kardiovaskular (misalnya, hipertensi, arteriosclerosis)
Trombositopenia
diabetes mellitus
Penyebab akibat Trauma kapitis yang terjadi karena geseran atau putaran
otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk, pecahnya
aneurisma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruang subdural (yang
terletak antara duramater dan araknoid), dan gangguan pembekuan darah
Penyebab yang predominan pada umumnya ialah kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh dan perkelahian merupakan penyeba terbanyak, sebagian
kecildisebabkan kecelakaan olahraga dan kecelakaan industry. Pada penderita
cedera kepala berat tanpa lesi massa (mass lesion) 89% disebabkan kecelakaan
kendaraan bermotor dan 24% dari kasus perdarahan subdural akut disebabkan
kecelakaan bermotor. Penderita epilepsy memiliki factor resiko yang meningkat
untuk mendapat perdarahan subdural akut dan lesi intracranial lainnya. 38% dari
perdarahan intracranial mendapat kecelakaan selama serangan epilepsy dan 85%
dari perdarahan intracranial ini adalah perdarahan subdural atau perdarahan
epidural. Penderita perdarahan subdural akut sebanyak 22% dari 366 penderita
cedera kepala berat. 10
D. ANATOMI OTAK4
1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau
kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan
pericranium.
6
Gambar . SCALP
7
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan
oksipital. Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi
oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai
bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa
media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak
dan serebelum.
Gambar . Calvaria
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri
atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu
8
ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-
pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis
superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan
dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan
darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini
dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak antara duramater
dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang
kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea
media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
Persarafan duramater ini terutama berasal dari cabang n.trigeminus, tiga
saraf servikalis bagian atas, bagian servikal trunkus simpatikus dan n.vagus.
resptor – reseptor nyeri dalam dura mater diatas tentorium mengirimkan impuls
melalui n.trigeminus, dan suatu nyeri kepala dirujuk ke kulit dahi dan muka.
Impuls nyeri yang timbul dari bawah tentorium dalam fossa kranialis posterior
berjalan melalui tiga saraf servikalis bagian atas, dan nyeri kepala dirujuk
kebelakang kepala dan leher.
Banyak arteri mensuplai duramater, yaitu; arteri karotis interna, arteri
maxillaries, arteri paringeal asenden, arteri occipitalis dan arteri vertebralis. Dari
segi klinis, yang paling penting adalah arteri meningea media, yang umumnya
mengalami kerusakan pada cedera kepala. Arteri meningea media berasal dari
arteri maxillaries dalam fossa temporalis, memasuki rongga kranialis melalui
foramen spinosum dan kemudian terletak antara lapisan meningeal dan endosteal
duramater. Arteri ini kemudian terletak antara lapisan meningeal dan endosteal
duramater. Arteri ini kemudian berjalan ke depan dank e lateral dalam suatu
sulkus pada permukaan atas squamosa bagian os temporale. Cabang anterior
(frontal) secara mendalam berada dalam sulkus atau saluran angulus antero –
inferior os parietale, perjalanannya secara kasar berhubungan dengan garis gyrus
presentralis otak di bawahnya. Cabang posterior melengkung kearah belakang dan
mensuplai bagian posterior duramater. Vena –vena meningea terletak dalam
lapisan endosteal duramater. Vena meningea media mengikuti cabang – cabang
9
arteri meningea media dan mengalir kedalam pleksus venosus pterygoideus atau
sinus sphenoparietalis. Vena terletak di lateral arteri.
Sinus – sinus venosus dalam rongga kranialis terletak diantara lapisan- lapisan
duramater. Fungsi utamanya adalah menerima darah dari otak melalui vena – vena
serebralis dan cairan serebrospinal dari ruang – ruang subarachnoidea melalui villi
arachnoidalis. Darah dalam sinus – sinus duramatr akhirnya mengalir kedalam
vena – vena jugularis interna dileher. Vena emissaria menghubungkan sinus
venosus duramater dengan vena – vena diploika kranium dan vena – vena kulit
kepala. Sinus Sagitalis Superior menduduki batas atas falx serebri yang terfiksasi,
mulai di anterior pada foramen caecum, berjalan ke posterior dalam sulkus di
bawah lengkungan kranium, dan pada protuberantia occipitalis interna berbelok
dan berlanjut dengan sinus transverses. Dalam perjalanannya sinus sagitallis
superior menerima vena serebralis superior. Pada protuberantia occipitalis interna,
sinus sagitallis berdilatasi membentuk sinus konfluens. Dari sini biasanya
berlanjut dengan sinus transverses kanan, berhubungan dengan sinus transverses
yang berlawanan dan menerima sinus occipitalis.
Sinus sagitalis inferior menduduki tepi bawah yang bebas dari falx serebri,
berjalan kebelakang dan bersatu dengan vena serebri magna pada tepi bebas
tentorium cerebelli membentuk sinus rektus. Sinus rekrus menempati garis
persambungan falx serebri dengan tentorium serebelli, terbentuk dari persatuan
sinus sagitalis inferior dengan vena serebri magna, berakhir membelok kekiri
membentuk sinus transfersus. Sinus transverses merupakan struktur berpasangan
dan mereka mulai pada protuberantia occipitalis interna. Sinus kanan biasanya
berlanjut dengan sinus sagitalis superior, dan bagian kiri berlanjut dengan sinus
rektus. Setiap sinus menempati tepi yang melekat pada tentorium serebelli,
membentuk sulkus pada os occipitalis dan angulus posterior os parietale. Mereka
menerima sinus petrosus superior, vena – vena serebralis inferior, vena – vena
serebellaris dan vena – vena diploika. Mereka berakhir dengan membelok ke
bawah sebagai sinus sigmoideus. Sinus sigmoideus merupakan lanjutan langsung
dari sinus tranversus yang akan melanjutkan diri ke bulbus superior vena jugularis
interna. Sinus occipitalis merupakan suatu sinus kecil yang menempati tepi falx
serebelli yang melekat, ia berhubungan dengan vena – vena vertebralis dan
10
bermuara kedalam sinus konfluens. Sinus kavernosus terletak dalam fossa
kranialis media pada setiap sisi corpus os sphenoidalis. Arteri karotis interna,
dikelilingi oleh pleksus saraf simpatis, berjalan kedepan melalui sinus. Nervus
abdusen juga melintasi sinus dan dipisahkan dari darah oleh suatu pembungkus
endothelial. Sinus petrosus superior dan inferior merupakan sinus –sinus kecil
pada batas – batas superior dan inferior pars petrosus os temporale pada setiap sisi
kranium. Setiap sinus kavernosus kedalam sinus transverses dan setiap sinus
inferior mendrainase sinus cavernosus kedalam vena jugularis interna.
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah
luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang
potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid
yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala.
3.Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan
menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak
juga diliputi oleh pia mater.
Gambar . Meningen
11
4. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan
serebellum.
Gambar 5. Lobus-lobus Otak
(www.pshycoloyimania.com)
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam
proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam
fungsi koordinasi dan keseimbangan.
12
Gambar . Sclap, meningen dan falx cerebri
5. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral
melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju
ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio
arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS
dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS
dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok
populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS
per hari.
13
Gambar . Cairan cerebrospinalis
(www.hydroassoc.org)
6. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang
infratentorial (berisi fosa kranii posterior)
E. PATOFISIOLOGI4,10
Otak dan medulla spinalis terbungkus dalam tiga sarung membranosa yang
konsentrik. Membran yang paling luar tebal, kuat dan fibrosa disebut duramater,
membrane tengah tipis dan halus serta diketahui sebagai arachnoidea mater, dan
membrane paling dalam halus dan bersifat vaskuler serta berhubungan erat
dengan permukaan otak dan medulla spinalis serta dikenal sebagai piamater
Duramater mempunyai lapisan endosteal luar, yang bertindak sebagai
periosteum tulang – tulang kranium dan lapisan bagian dalam yaitu lapisan
meningeal yang berfungsi untuk melindungi jaringan saraf dibawahnya serta
saraf-saraf cranial dengan membentuk sarung yang menutupi setiap saraf kranial.
14
Sinus venosus terletak dalam duramater yang mengalirkan darah venosa dari otak
dan meningen ke vena jugularis interna dileher.
Pemisah duramater berbentuk sabit yang disebut falx serebri, yang terletak
vertical antara hemispherium serebri dan lembaran horizontal, yaitu tentorium
serebelli, yang berproyeksi kedepan diantara serebrum dan serebellum, yang
berfungsi untuk membatasi gerakan berlebihan otak dalam kranium
Arachnoidea mater merupakan membran yang lebih tipis dari duramater
dan membentuk penutup yang longgar bagi otak. Arachnoidea mater
menjembatani sulkus-sulkus dan masuk kedalam yang dalam antara
hemispherium serebri. Ruang antara arachnoidea dengan pia mater diketahui
sebagai ruang subarachnoidea dan terisi dengan cairan serebrospinal. Cairan
serebrospinal merupakan bahan pengapung otak serta melindungi jaringan saraf
dari benturan mekanis yang mengenai kepala.
Piamater merupakan suatu membrane vaskuler yang menyokong otak
dengan erat. Suatu sarung pia mater menyertai cabang – cabang arteri arteri
serebralis pada saat mereka memasuki substansia otak. Secara klinis, duramater
disebut pachymeninx dan arachnoidea serta pia mater disebut sebagai
leptomeninges
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat
terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan
vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena
robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat
bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi
otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena pada tempat di
mana mereka menembus duramater. Perdarahan yang tidak terlalu besar akan
membeku dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula.
Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan
mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena peningkatan TIK.
15
Gambar : lapisan pelindung otak
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral.
Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak
mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan
robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan
sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar
sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi
perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan
terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.
Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang
peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh
sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural
kronik.
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial
dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh
efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase
ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains
tekanan intra cranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran
hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme
kompensasitersebut.
Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral
berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi
16
transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat
terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh
meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik,
didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu
dibandingkan dengan daerah otak lainnya. Terdapat 2 teori yang menjelaskan
terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan
bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan meningkatkan
kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan
akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural
hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan
pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori
Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di
dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel
darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang
yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor
angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural
kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan
vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari
koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari
fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya SDH. 6
Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat timbulnya
gejala- gejala klinis yaitu:4
1. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma. Biasanya
terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan
perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran
dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi
melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi
hiperdens.
2. Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma.
Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan
17
darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di
sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau
hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah
dan resorbsi dari hemoglobin.
3. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan
kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu
ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas,
bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural
apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan
darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena
hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan
sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik,
didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang
lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan
arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada
selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis
dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini
protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari
hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan
baru yang menyebabkan hematom.
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap
cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan
menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma
subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada
gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens.
F. GEJALA KLINIS11
1. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai
48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan
neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi
batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan
18
pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan
dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
2. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48
jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural
akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan
subdural.
Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma
kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita
memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat
kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan
meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita
mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap
rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan
intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi
unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang
otak.
3. Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan
bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah
satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat
dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah
dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang
mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam
hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan
lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya,
menambah ukuran dan tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi
pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan
ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak
dihiraukan. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah
19
besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural
yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural
yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan
melalui pembedahan.
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian
motorik (misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu).
Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu
pada lobus frontalis bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi
tubuh yangberlawanan.
20
Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada
ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya
mengelai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang
nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa
menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang
mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian
penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar
dan kejam; penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibatperilakunya. Lobus
parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan
berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan
dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan
posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya.
Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa
pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan
hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini
disebut apraksia) dan untuk menentukan arah kiri-kanan.
Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam
mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa
mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik
(misalnya bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau
mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari
lainnya. Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan
mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami
suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta
menghasilkan jalur emosional.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan
terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis
sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar
maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan
bahasanya.
21
Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan
mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat
kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.
Mekanisme biasa yang menghasilkan hematoma subdural akut adalah
dampak berkecepatan tinggi ke tengkorak. Hal ini menyebabkan jaringan otak
untuk mempercepat atau memperlambat relatif terhadap struktur dural tetap,
merobekpembuluhdarah.
Seringkali, pembuluh darah robek adalah pembuluh darah yang
menghubungkan permukaan kortikal otak ke sinus dural (disebut vena bridging).
Pada orang lanjut usia, pembuluh darah bridging mungkin sudah meregang karena
atrofi otak (penyusutan yang terjadi dengan usia).
Atau, sebuah kapal kortikal, baik vena atau arteri kecil, bisa rusak oleh
cedera langsung atau laserasi. Sebuah hematoma subdural akut karena arteri
kortikal pecah dapat berhubungan dengan cedera kepala hanya kecil, mungkin
tanpa lukamemarotakterkait.
Telah menegaskan bahwa cedera otak utama yang terkait dengan
hematoma subdural memainkan peran utama dalam kematian. Namun, hematoma
subdural yang paling diperkirakan akibat dari vena bridging robek, sebagaimana
dinilai oleh operasi atau otopsi. Selain itu, tidak semua hematoma subdural
berhubungan dengan cedera parenkim difus. Seperti disebutkan sebelumnya,
banyak pasien yang menderita lesi ini mampu berbicara sebelum kondisi mereka
memburuk-skenario yang tidak mungkin pada pasien yang mengalami kerusakan
menyebar.
Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau
menghancurkan saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling
otak. Bisa terjadi kerusakan pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan
hebat. Perdarahan, pembengkakan dan penimbunan cairan (edema) memiliki efek
yang sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan massa di dalam tengkorak.
Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa
merusak atau menghancurkan jaringan otak.
Karena posisinya di dalam tengkorak, maka tekanan cenderung
mendorong otak ke bawah, otak sebelah atas bisa terdorong ke dalam lubang yang
22
menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan ini disebut dengan herniasi.
Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang otak melalui lubang
di dasar tengkorak (foramen magnum) kedalam medulla spinalis. Herniasi ini bisa
berakibat fatal karena batang otak mengendalikan fungsi fital (denyut jantung dan
pernafasan).
Cedera kepala yang tampaknya ringan kadang bisa menyebabkan
kerusakan otak yang hebat. Usia lanjut dan orang yang mengkonsumsi
antikoagulan, sangat peka terhadap terjadinya perdarahan di sekeliling otak.
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif.
Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di
belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau
telinga. Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti. Setiap orang memiliki
kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala
yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala.
Gejala yang sering tampak :6
Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
Bingung
Penglihatan kabur
Susah bicara
Nyeri kepala yang hebat
Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.
Mual
Pusing
Berkeringat
Pucat
Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese
atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah
tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan
bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil
23
kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak
menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala
respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi
rostrocaudal batang otak. 9
Pemeriksaan fisik pasien dengan trauma kepala harus menekankan
penilaian status neurologis dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS).
Pemeriksaan neurologis awal memberikan dasar penting yang harus digunakan
untuk mengikuti kursus klinis pasien. Ketika direkam dalam bentuk skor GCS,
juga memberikan informasi prognostik penting.
Pasien dengan cedera kepala serius sering diintubasi cepat dan diberikan
perawatan yang berorientasi trauma. Namun, karena signifikansi prognostik,
pemeriksaan neurologis singkat dihitung dengan menggunakan GCS merupakan
komponen penting dari penilaian sekunder dan membutuhkan waktu kurang dari 2
menit untuk menyelesaikan. GCS ini berfokus pada kemampuan pasien untuk
menghasilkan pidato dimengerti, membuka mata, dan ikuti perintah. Selama
pemeriksaan awal, pasien harus dinilai untuk kemampuan untuk membuka mata
spontan atau sebagai respons terhadap suaraataurasasakit4Gambaran klinis pasien
dengan hematoma subdural akut tergantung pada ukuran hematoma dan tingkat
cedera otak parenkim terkait.
Gejala yang berhubungan dengan hematoma subdural akut meliputi:11
Sakit kepala
Mual
Kebingungan
Perubahan kepribadian
Penurunan tingkat kesadaran
Kesulitan berbicara
Perubahan lain dalam status mental
Gangguan penglihatan atau penglihatan ganda
Kelemahan
Pemeriksaan neurologis untuk hematoma subdural kronis dapat menunjukkan
salah satu dari berikut 11
24
Perubahan status mental
Papilledema
Hyperreflexia atau refleks asimetri
Hemianopsie
Hemiparesis
Disfungsi saraf kranial ketiga atau keenam
F. DIAGNOSIS
Adanya gejala neurologis merupakan langkah pertama untuk mengetahui
tingkat keparahan dari trauma kapitis. Kemampuan pasien dalam berbicara,
membuka mata dan respon otot harus dievaluasi disertai dengan ada tidaknya
disorientasi (apabila pasien sadar) tempat, waktu dan kemampuan pasien untuk
membuka mata yang biasanya sering ditanyakan. Apabila pasiennya dalam
keadaan tidak sadar, pemeriksaan reflek cahaya pupil sangat penting dilakukan.4
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
Anamnesis
Dari anamnesis di tanyakan adanya riwayat trauma kepala baik dengan
jejas dikepala atau tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangan
kesadaran atau pingsan. Jika ada pernah atau tidak penderita kembali pada
keadaan sadar seperti semula. Jika pernah apakah tetap sadar seperti semula atau
turun lagi kesadarannya, dan di perhatikan lamanya periode sadar atau lucid
interval. Untuk tambahan informasi perlu ditanyakan apakah disertai muntah dan
kejang setelah terjadinya trauma kepala. Kepentingan mengetahui muntah dan
kejang adalah untuk mencari penyebab utama penderita tidak sadar apakah karena
inspirasi atau sumbatan nafas atas, atau karena proses intra kranial yang masih
berlanjut. Pada penderita sadar perlu ditanyakan ada tidaknya sakit kepala dan
mual, adanya kelemahan anggota gerak sesisi dan muntah-muntah yang tidak bisa
ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yang sedang diderita, obat-obatan yang
sedang dikonsumsi saat ini, dan apakah dalam pengaruh alkohol. 4,6
25
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang
mencakup jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan tekanan darah atau
nadi (circulation) yang dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan nafas harus
dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau obstruksi, bila perlu dipasang orofaring
tube atau endotrakeal tube lalu diikuti dengan pemberian oksigen. Hal ini
bertujuan untuk mempertahankan perfusi dan oksigenasi jaringan tubuh.
Pemakaian pulse oksimetri sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi O2.
Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan memantau apakah terjadi
hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Jika terjadi
hipotensi atau syok harus segera dilakukan pemberian cairan untuk mengganti
cairan tubuh yang hilang. Terjadinya peningkatan tekanan intrakranial ditandai
dengan refleks Cushing yaitu peningkatan tekanan darah, bradikardia dan
bradipnea. 6
Pemeriksaan neurologik yang meliputkan kesadaran penderita dengan
menggunakan Skala Koma Glasgow, pemeriksaan diameter kedua pupil , dan
tanda-tanda defisit neurologis fokal. Pemeriksaan kesadaran dengan Skala Koma
Glasgow menilai kemampuan membuka mata, respon verbal dan respon motorik
pasien terdapat stimulasi verbal atau nyeri. Pemeriksaan diamter kedua pupil dan
adanya defisit neurologi fokal menilai apakah telah terjadi herniasi di dalam otak
dan terganggunya sistem kortikospinal di sepanjang kortex menuju medula
spinalis.
Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial
meliputi GCS, lateralisasi dan refleks pupil. Hal ini dilakukan sebagai deteksi dini
adanya gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus)
adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Adanya trauma
langsung pada mata membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit.
26
Gambar. Glasgow Coma Scale
Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin, elektrolit,
profil hemostasis/koagulasi.
b. Foto tengkorak
Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk memperkirakan adanya
SDH. Fraktur tengkorak sering dipakai untuk meramalkan kemungkinan adanya
perdarahan intrakranial tetapi tidak ada hubungan yang konsisten antara fraktur
tengkorak dan SDH. Bahkan fraktur sering didapatkan kontralateral terhadap
SDH.
c. CT-Scan3
Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila disangka terdapat suatu
lesi pasca-trauma, karena prosesnya cepat, mampu melihat seluruh jaringan otak
dan secara akurat membedakan sifat dan keberadaan lesi intra-aksial dan ekstra-
aksial.
1) Perdarahan Subdural Akut
Perdarahan subdural akut pada CT-scan kepala (non kontras) tampak
sebagai suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit
sepanjang bagian dalam (inner table) tengkorak dan paling banyak terdapat pada
konveksitas otak di daerah parietal. Terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit di
27
daerah bagian atas tentorium serebelli. Subdural hematom berbentuk cekung dan
terbatasi oleh garis sutura. Jarang sekali, subdural hematom berbentuk lensa
seperti epidural hematom dan biasanya unilateral.
Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan
gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT
window width. Pergeseran garis tengah (midline shift) akan tampak pada
perdarahan subdural yang sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada midline
shift harus dicurigai adanya massa kontralateral dan bila midline shift hebat harus
dicurigai adanya edema serebral yang mendasarinya.
Perdarahan subdural jarang berada di fossa posterior karena serebelum
relatif tidak bergerak sehingga merupakan proteksi terhadap ’bridging veins’ yang
terdapat disana. Perdarahan subdural yang terletak diantara kedua hemisfer
menyebabkan gambaran falks serebri menebal dan tidak beraturan dan sering
berhubungan dengan child abused.
2) Perdarahan Subdural Subakut
Di dalam fase subakut perdarahan subdural menjadi isodens terhadap
jaringan otak sehingga lebih sulit dilihat pada gambaran CT. Oleh karena itu
pemeriksaan CT dengan kontras atau MRI sering dipergunakan pada kasus
perdarahan subdural dalam waktu 48 – 72 jam setelah trauma kapitis. Pada
gambaran T1-weighted MRI lesi subakut akan tampak hiperdens. Pada
pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal akan tampak jelas
dipermukaan otak dan membatasi subdural hematoma dan jaringan otak.
Perdarahan subdural subakut sering juga berbentuk lensa (bikonveks) sehingga
membingungkan dalam membedakannya dengan epidural hematoma. Pada alat
CT generasi terakhir tidaklah terlalu sulit melihat lesi subdural subakut tanpa
kontras.
3) Perdarahan Subdural Kronik
Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat mudah dilihat
pada gambaran CT tanpa kontras. Sekitar 20% subdural hematom kronik bersifat
bilateral dan dapat mencegah terjadi pergeseran garis tengah. Seringkali,
hematoma subdural kronis muncul sebagai lesi heterogen padat yang
28
mengindikasikan terjadinya perdarahan berulang dengan tingkat cairan antara
komponen akut (hyperdense) dan kronis (hipodense).
d. MRI (Magnetic resonance imaging)
Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk
mengidentifikasi perdarahan ekstraserebral. Akan tetapi CT-scan mempunyai
proses yang lebih cepat dan akurat untuk mendiagnosa SDH sehingga lebih
praktis menggunakan CT-scan ketimbang MRI pada fase akut penyakit. MRI baru
dipakai pada masa setelah trauma terutama untuk menetukan kerusakan parenkim
otak yang berhubungan dengan trauma yang tidak dapat dilihat dengan
pemeriksaan CT-scan. MRI lebih sensitif untuk mendeteksi lesi otak
nonperdarahan, kontusio, dan cedera axonal difus. MRI dapat membantu
mendiagnosis bilateral subdural hematom kronik karena pergeseran garis tengah
yang kurang jelas pada CT-scan. 8
Gambar . MRI pada SDH
G. DIAGNOSIS BANDING4
1. Epidural Hematom
Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang
paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Perdarahan terjadi diantara
durameter dan tulang tengkorak. Perdarahan ini terjadi karena terjadi akibat
robeknya salah satu cabang arteria meningea media, robeknya sinus venosus
durameter atau robeknya arteria diploica. Robekan ini sering terjadi akibat
adanya fraktur tulang tengkorak. Gejala yang dapat dijumpai adalah adanya suatu
29
lucid interval (masa sadar setelah pingsan sehingga kesadaran menurun lagi), tensi
yang semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah tinggi, nadi yang
semakin bertambah lambat, hemiparesis, dan terjadi anisokori pupil.
Diagnosis diferensial dari hematoma subdural akut trauma adalah sama
dengan bahwa untuk setiap trauma, lesi massa intrakranial. Ini termasuk
hematoma intraserebral dan luka memar.
Karena tentu saja variabel dan presentasi, termasuk kurangnya sering
riwayat trauma kepala, sebanyak 72% kasus hematoma subdural kronis salah
didiagnosis di era pra-computed tomography (CT). Sebelum ketersediaan CT,
misdiagnoses umum meliputi:
Dementia
Stroke
Transient ischemic attack
Tumor
Subarachnoid hemorrhage
Meningitis
Encephalitis
2. Hematoma Subarachnoid
Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh
darah di dalamnya.
H. PENATALAKSANAAN11
Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH,
tentu kita harus memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya.
Didalam masa mempersiapkan tindakan operasi, perhatian hendaknya ditujukan
kepada pengobatan dengan medikamentosa untuk menurunkan peningkatan
tekanan intrakrania (PTIK). Seperti pemberian manitol 0,25 gr/kgBB, atau
furosemid 10 mg intravena, dihiperventilasikan.
Tindakan Tanpa Operasi
30
Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang)
dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan
terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang
kemudian dapat mengalami pengapuran. Servadei dkk merawat non operatif 15
penderita dengan SDH akut dimana tebal hematoma < 1 cm dan midline shift
kurang dari 0.5 cm. Dua dari penderita ini kemudian mendapat ICH yang
memerlukan tindakan operasi. Ternyata dua pertiga dari penderita ini mendapat
perbaikan fungsional. Croce dkk merawat nonoperatif sejumlah penderita SDH
akut dengan tekanan intrakranial (TIK) yang normal dan GCS 11 – 15. Hanya 6%
dari penderita yang membutuhkan operasi untuk SDH. Penderita SDH akut yang
berada dalam keadaan koma tetapi tidak menunjukkan peningkatan tekanan
intrakranial (PTIK) yang bermakna kemungkinan menderita suatu diffuse axonal
injury. Pada penderita ini, operasi tidak akan memperbaiki defisit neurologik dan
karenanya tidak di indikasikan untuk tindakan operasi.
Beberapa penderita mungkin mendapat kerusakan berat parenkim otak
dengan efek massa (mass effect) tetapi SDH hanya sedikit. Pada penderita ini,
tindakan operasi/evakuasi walaupun terhadap lesi yang kecil akan merendahkan
TIK dan memperbaiki keadaan intraserebral.
Pada penderita SDH akut dengan refleks batang otak yang negatif dan
depresi pusat pernafasan hampir selalu mempunyai prognosa akhir yang buruk
dan bukan calon untuk operasi.
Tindakan Operasi
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala-
gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan
pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan
tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan
circulation (ABCs). Tindakan operasi ditujukan kepada:
a. Evakuasi seluruh SDH
b. Merawat sumber perdarahan
c. Reseksi parenkim otak yang nonviable
d. Mengeluarkan ICH yang ada.
31
Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah:
a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan > 10 mm atau
pergeseran midline shift > 5 mm pada CT-scan
b. Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK
c. Pasien SDH dengan GCS < 9, dengan ketebalan perdarahan < 10 mm dan
pergeeran struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS > 2 poin
antara saat kejadian sampai saat masuk rumah sakit
d. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau didapatkan pupil dilatasi
asimetris/fixed
e. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau TIK > 20 mmHg.
Gambar . Tindakan operatif pada SDH (Kraniotomi)
Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist
drill craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk
perdarahan sub dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik
ini menunjukan komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural
kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika
pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis,
reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang
kembali.
Trepanasi atau burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secara
cepat dengan lokal anestesi. Pada saat ini tindakan ini sulit untuk dibenarkan
karena dengan trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma yang
32
biasanya solid dan kenyal apalagi kalau volume hematoma cukup besar. Lebih
dari seperlima penderita SDH akut mempunyai volume hematoma lebih dari 200
ml.
Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah
yang invasif dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Hampir semua ahli
bedah saraf memilih kraniotomi luas. Luasnya insisi ditentukan oleh luasnya
hematoma dan lokasi kerusakan parenkim otak. Lubang bor yang pertama dibuat
dilokasi dimana di dapatkan hematoma dalam jumlah banyak, dura mater dibuka
dan diaspirasi sebanyak mungkin hematoma, tindakan ini akan segara
menurunkan TIK. Lubang bor berikutnya dibuat dan kepingan kranium yang lebar
dilepaskan, duramater dibuka lebar dan hematoma dievakuasi dari permukaan
otak. Setelah itu, dimasukkan surgical patties yang cukup lebar dan basah
keruang subdural, dilakukan irigasi, kemudian surgical patties disedot (suction).
Surgical patties perlahan – lahan ditarik keluar, sisa hematoma akan melekat pada
surgical patties, setelah itu dilakukan irigasi ruang subdural dengan memasukkan
kateter kesegala arah. Kontusio jaringan otak dan hematoma intraserebral
direseksi. Dipasang drain 24 jam diruang subdural, duramater dijahit rapat.
Usaha diatas adalah untuk memperbaiki prognosa akhir SDH, dilakukan
kraniotomi dekompresif yang luas dengan maksud untuk mengeluarkan seluruh
hematoma, merawat perdarahan dan mempersiapkan dekompesi eksternal dari
edema serebral pasca operasi. Pemeriksaan pasca operasi menujukkan sisa
hematoma dan perdarahan ulang sangat minimal dan struktur garis tengah kembali
lebih cepat ke posisi semula dibandingkan dengan penderita yang tidak dioperasi
dengan cara ini. Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari
perdarahan subdural kronik sudah mulai berkurang.
Trepanasi atau kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala
yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif.
Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil
anisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis
merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana
sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial. Indikasi Operasi, yaitu:
Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
33
Adanya tanda herniasi/ lateralisasi
Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT
scan kepala tidak bisa dilakukan.
Gambar . Burr Hole
Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya.
Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau
kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
Setelah operasipun kita harus tetap berhati hati, karena pada sebagian
pasien dapat terjadi perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh darah yang baru
terbentuk, subdural empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-
tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk mengembang
kembali dan terjadinya reakumulasi dari cairan subdural. Maka dalam hal ini
hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus ditiadakan. Serial
skening tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan.
Follow-up
34
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik
dan untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
I. Komplikasi
Setiap tindakan medis pasti akan mempunyai resiko. Cedera parenkim
otak biasanya berhubungan dengan subdural hematom akut dan dapat
meningkatkan tekanan intrakranial. Pasca operasi dapat terjadi rekurensi atau
masih terdapat sisa hematom yang mungkin memperlukan tindakan pembedahan
lagi. Sebanyak sepertiga pasien mengalami kejang pasca trauma setelah cedera
kepala berat. Infeksi luka dan kebocoran CSF bisa terjadi setelah kraniotomi.
Meningitis atau abses serebri dapat terjadi setelah dilakukan tindakan intrakranial4
Pada pasien dengan subdural hematom kronik yang menjalani operasi
drainase, sebanyak 5,4-19% mengalami komplikasi medis atau operasi.
Komplikasi medis, seperti kejang, pneumonia, empiema, dan infeksi lain, terjadi
pada 16,9% kasus. Komplikasi operasi, seperti massa subdural, hematom
intraparenkim, atau tension pneumocephalus terjadi pada 2,3% kasus.7,9
Residual hematom ditemukan pada 92% pasien berdasarkan gambaran CT
scan 4 hari pasca operasi. Tindakan reoperasi untuk reakumulasi hematom
dilapaorkan sekitar 12-22%. Kejang pasca operasi dilaporkan terjadi pada 3-10%
pasien. Empiema subdural, abses otak dan meningitis telah dilaporkan terjadi pada
kurang dari 1% pasien setelah operasi drainase dari hematoma subdural kronis
(SDH). Pada pasien ini, timbulnya komplikasi terkait dengan anestesi, rawat inap,
usia pasien, dan kondisi medis secara bersamaan.
J. Prognosis
Tidak semua perdarahan subdural bersifat letal. Pada beberapa kasus,
perdarahan tidak berlanjut mencapai ukuran yang dapat menyebabkan kompresi
pada otak, sehingga hanya menimbulkan gejala-gejala yang ringan. Pada beberapa
kasus yang lain, memerlukan tindakan operatif segera untuk dekompresi otak. 10
Tindakan operasi pada hematoma subdural kronik memberikan prognosis
yang baik, karena sekitar 90 % kasus pada umumnya akan sembuh total.
Hematoma subdural yang disertai lesi parenkim otak menunjukkan angka
mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat dapat mencapai sekitar 50 %.
35
Pada penderita dengan perdarahan subdural akut yang sedikit (diameter <
1 cm), prognosanya baik. Sebuah penelitian menemukan bahwa 78% dari
penderita perdarahan subdural kronik yang dioperasi (burr-hole evacuation)
mempunyai prognosa baik dan mendapatkan penyembuhan sempurna. Perdarahan
subdural akut yang sederhana (simple SDH) ini mempunyai angka mortalitas lebih
kurang 20%.
Perdarahan subdural akut yang kompleks (complicated SDH) biasanya
mengenai parenkim otak , misalnya kontusio atau laserasi dari serebral hemisfer
disertai dengan volume hematoma yang banyak. Pada penderita ini mortalitas
melebihi 50% dan biasanya berhubungan dengan volume subdural hematoma dan
jauhnya midline shift. Akan tetapi, hal yang paling penting untuk meramalkan
prognosa ialah ada atau tidaknya kontusio parenkim otak.
Angka mortalitas pada penderita dengan perdarahan subdural yang luas
dan menyebabkan penekanan (mass effect) terhadap jaringan otak, menjadi lebih
kecil apabila dilakukan operasi dalam waktu 4 jam setelah kejadian. Walaupun
demikian bila dilakukan operasi lebih dari 4 jam setelah kejadian tidaklah selalu
berakhir dengan kematian.
Pada kebanyakan kasus SDH akut, keterlibatan kerusakan parenkim otak
merupakan faktor yang lebih menentukan prognosa akhir (outcome) daripada
tumpukan hematoma ekstra axial di ruang subdural.
Menurut Jamieson dan Yelland derajat kesadaran pada waktu akan
dilakukan operasi adalah satu-satunya faktor penentu terhadap prognosa akhir
(outcome) penderita SDH akut. Penderita yang sadar pada waktu dioperasi
mempunyai mortalitas 9% sedangkan penderita SDH akut yang tidak sadar pada
waktu operasi mempunyai mortalitas 40% - 65%. Tetapi Richards dan Hoff tidak
menemukan hubungan yang bermakna antara derajat kesadaran dan prognosa
akhir. Abnormalitas pupil, bilateral midriasis berhubungan dengan mortalitas yang
sangat tinggi. Seelig dkk melaporkan pada penderita SDH akut dengan kombinasi
refleks okulo-sefalik negatif, relfleks pupil bilateral negatif dan postur deserebrasi,
hanya mempunyai functional survival sebesar 10%. 6
BAB III
LAPORAN KASUS
36
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny JP
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : Sukur, 28 Juni 1960
Usia : 54 tahun
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Sukur Lingkungan VI
Pekerjaan : IRT
Status : Menikah
Tanggal Masuk RS : 11 Maret 2015
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis.
KELUHAN UTAMA
Penurunan kesadaran karena terjatuh
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Penurunan kesadaran karena terjatuh dialami penderita sejak 6 jam sebelum
masuk rumah sakit. Awalnya pasien sedang berjalan karena kurang hati-hati
penderita terpeleset sehingga kepala membentur lantai. Pasien tidak ada muntah,
demam tidak ada, sakit kepala sebelum terjatuh tidak ada. Kemudian pasien
dibawa ke RSU Prof. dr. R.D. Kandou Manado
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pasien didiagnosis Parkinson sejak 2 tahun yang lalu. Dan sekarang dalam terapi
Parkinson, riwayat hipertensi (+) sejak 6 tahun yang lalu (TD sistolik 140 mmHg)
Riwayat asma, diabetes mellitus, kolesterol, asam urat dan penyakit jantung
disangkal
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
37
Tidak terdapat riwayat penyakit serius, riwayat hipertensi dan diabetes mellitus
dalam keluarga disangkal.
RIWAYAT KEBIASAAN
Pasien tidak memiliki kebiasaan mengkonsumsi alkohol dan merokok
RIWAYAT ALERGI
Pasien menyangkal adanya riwayat alergi obat-obatan.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Kesadaran : Compos mentis (GCS 14: E3M6V5)
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Keadaan Gizi : Baik
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 96 x /menit, reguler, kuat angkat.
Pernapasan : 24 x / menit, reguler
Suhu : 36,5 0C
Status Internis
Kepala : Normosefali,
R. Parietal S. Hematom ukuran 5x5cm
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-. Pupil isokor 3 mm/3 mm,
RCL: +/+, RCTL: +/+, mata cekung (-)
Telinga : Bentuk normal, tanda deformitas (-), sekret (-), perdarahan (-)
Hidung : Bentuk normal, septum nasi di tengah, sekret (-).Mulut : Bentuk normal, deviasi bibir (-),bibir sianosis (-). Mukosa rongga
mulut merah tanpa massa, Hygiene baik, lidah kotor (-).
Leher :
Inspeksi : simetris, pergerakan baik.Palpasi : pembesaran kelenjar getah bening (-), deviasi trakea (-).
Jantung :
38
Inspeksi : Pulsasi ichtus kordis tidak terlihat.
Palpasi : Ictus kordis teraba pada sela iga ke 5, garis
midklavicula.
Perkusi : Batas jantung kanan di sela iga V garis sterna kanan. Batas jantung kiri di sela iga VI garis midklavikula kiri.
Auskultasi : SISII normal, murmur -, gallop -.
Paru :
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Fremitus kanan dan kiri sama.
Perkusi : Sonor di semua lapangan paru Auskultasi : SN vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen :
Inspeksi : Dinding abdomen simetris, tidak terlihat adanya
massa atau luka.
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Punggung : Tampak normal
Ekstremitas atas : Tidak ada deformitas, akral teraba hangat, parese
(-)
Ekstremitas bawah : Tidak ada deformitas, parese (-)
Genitalia dan Anus : Tidak terdapat kelainan.
DIAGNOSA SEMENTARA
Comotio cerebri
PEMERIKSAAN PENUNJANG
39
CT Scan Kepala
6
Kesan : SDH temporoparietal sinistra
Laboratorium
Pemeriksaan Pasien Referensi
Hemoglobin (g/dl) 10.7 11.5 – 16.5
Hematokrit (%) 33.6 37.0 – 47.0
Eritrosit (106/μL) 4.01 4.70 – 6.10
Leukosit (103/μL) 10.840 H 4000 – 10000
Platelet (103/μL) 361 150 - 450
MCV (fl) 84 80-100
MCH (pg) 27 27 – 35
MCHC (g/dl) 32 30 - 40
Ureum (mg/dl) 18 10 – 40
Kreatinin (mg/dl) 0,6 0.5 – 1.5
GDS (mg/dl) 88 70 – 125
Natrium (mmol/l) 146 135 – 153
Kalium (mmol/l) 3,49 3.50 – 5.30
Klorida (mmol/l) 106.8 98.0 – 109.0
DIAGNOSA KERJA
40
SDH temporoparietal sinistra
TATALAKSANA
O2 2 L/m
Elevasi kepala 300
IVFD Ringer Fundin
IVFD NaCl 0,9% 20 tetes per menit + ketorolac 3 amp + nerubion 1 amp
Ceftriaxone inj 2x1 gr IV (ST)
Ranitidin inj 2x1 IV
Neurolin inj 2x1 IV
PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
FOLLOW UP
12 Maret 2015
S : Nyeri kepala (-)
O : KU: sedang, Kesadaran: CM, GCS E4M6V5, TD: 140/90 mmHg, N: 96
×/menit, Rr: 20 ×/menit, SB: 36.50C
Jantung: S1/S2 normal, gallop (-), murmur (-). Pulmo: SN vesikuler,
rhonki -/-, wheezing -/-.
A : SDH temporoparietal sinistra
P : O2 2 L/m
Elevasi kepala 300
IVFD Ringer Fundin
IVFD NaCl 0,9% 20 tetes per menit + ketorolac 3 amp + nerubion 1 amp
Ceftriaxone inj 2x1 gr IV
Ranitidin inj 2x1 IV
Neurolin inj 2x1 IV
41
13 Maret 2015
S : Nyeri kepala (-)
O : KU: sedang, Kesadaran: CM, GCS E4M6V5, TD: 130/80 mmHg, N: 88
×/menit, Rr: 22 ×/menit, T: 36.40C
Jantung: S1/S2 normal, gallop (-), murmur (-). Pulmo: SN vesikuler,
rhonki -/-, wheezing -/-.
Pupil isokor, parese (-)
A : SDH temporoparietal sinistra
P : O2 2 L/m
Elevasi kepala 300
IVFD Ringer Fundin
IVFD NaCl 0,9% 20 tetes per menit + ketorolac 3 amp + nerubion 1 amp
Ceftriaxone inj 2x1 gr IV
Ranitidin inj 2x1 IV
Neurolin inj 2x1 IV
14 Maret 2015
S : Nyeri kepala (-)
O : KU: sedang, Kesadaran: CM, GCS E4M6V5, TD: 160/90 mmHg, N: 92
×/menit, Rr: 22 ×/menit, T: 36.50C
Jantung: S1/S2 normal, gallop (-), murmur (-). Pulmo: SN vesikuler,
rhonki -/-, wheezing -/-.
Pupil isokor, parese (-)
A : SDH temporoparietal sinistra
P : O2 2 L/m
Elevasi kepala 300
IVFD Ringer Fundin
IVFD NaCl 0,9% 20 tetes per menit + ketorolac 3 amp + nerubion 1 amp
Ranitidin inj 2x1 IV
Neurolin inj 2x1 IV
15 Maret 2015
42
S : Nyeri kepala (-)
O : KU: sedang, Kesadaran: CM, GCS E4M6V5, TD: 140/80 mmHg, N: 90
×/menit, Rr: 20 ×/menit, T: 36.30C
Jantung: S1/S2 normal, gallop (-), murmur (-). Pulmo: SN vesikuler,
rhonki -/-, wheezing -/-.
Pupil isokor, parese (-)
A : SDH temporoparietal sinistra
P : O2 2 L/m
Elevasi kepala 300
IVFD Ringer Fundin
IVFD NaCl 0,9% 20 tetes per menit + ketorolac 3 amp + nerubion 1 amp
Ranitidin inj 2x1 IV
Neurolin inj 2x1 IV
16 Maret 2015
S : Nyeri kepala (-)
O : KU: sedang, Kesadaran: CM, GCS E4M6V5, TD: 140/90 mmHg, N: 80
×/menit, Rr: 22 ×/menit, T: 36.50C
Jantung: S1/S2 normal, gallop (-), murmur (-). Pulmo: SN vesikuler,
rhonki -/-, wheezing -/-.
Pupil isokor, parese (-)
A : SDH temporoparietal sinistra
P :
O2 2 L/m
Elevasi kepala 300
IVFD Ringer Fundin
IVFD NaCl 0,9% 20 tetes per menit + ketorolac 3 amp + nerubion 1 amp
Ranitidin inj 2x1 IV
Neurolin inj 2x1 IV
RESUME
43
Pasien diantar keluarga ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran karena
terjatuh. Penurunan kesadaran dialami penderita sejak 6 jam sebelum masuk
rumah sakit. Awalnya pasien sedang berjalan karena kurang hati-hati penderita
terpeleset sehingga kepala membentur lantai. Pasien tidak ada muntah, demam
tidak ada, sakit kepala sebelum terjatuh tidak ada. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan GCS 14, dengan hematom ukuran 5x5cm pada regio parietal sinistra.
Pada pemeriksaan CT scan kepala kesan subdural hematom. Pemeriksaan
laboratorium menunjukan leukositosis Pemeriksaan lain dalam batas normal.
Selanjutnya pasien diberi pengobatan O2 2L/m, IVFD Ringer Fundin, IVFD NaCl
0,9% 20 tetes per menit + ketorolac 3 amp + nerubion 1 amp, Ceftriaxone inj 2x1
gr IV, Ranitidin inj 2x1 IV, Neurolin inj 2x1 IV. Pasien dirawat di irina A4.
BAB IV
44
PEMBAHASAN
Pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai seorang perempuan, umur
54 tahun, pasien diantar keluarga ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran
karena terjatuh sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit. Awalnya pasien sedang
berjalan karena kurang hati-hati penderita terpeleset sehingga kepala membentur
lantai. Pada pemeriksaan fisik ditemukan GCS 14, dengan hematom ukuran
5x5cm pada regio parietal sinistra. Pada pemeriksaan CT scan kepala kesan
subdural hematom. Pemeriksaan laboratorium menunjukan leukositosis
Pemeriksaan lain dalam batas normal. Pasien didiagnosis dengan subdural
hematom. Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang.
Trauma kepala (sering disinonimkan dengan cidera kepala, cidera
kranioserebral, dan cidera otak) dapat mengakibatkan luka pada kulit kepala,
fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, kerusakan pembuluh darah baik
intra maupun ekstraserebral, hingga kerusakan jaringan otak. Kecelakaan lalu
lintas merupakan penyebab trauma tumpul kepala terbanyak.4 Penyebab lain
adalah kecelakaan kerja, jatuh, kekerasan rumah tangga, kecelakaan olahraga, dll.
Banyak gejala yang muncul bersamaan pada saat terjadi cedera kepala. Gejala
yang sering tampak yaitu penurunan kesadaran, bisa sampai koma, bingung,
penglihatan kabur, susah bicara, nyeri kepala yang hebat, keluar cairan darah dari
hidung atau telinga, nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala,
mual, pusing, berkeringat, pucat, pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi
melebar.1 Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif.
Subdural hematome dibagi menjadi 3 fase, yaitu akut, subakut dan kronik.
Dikatakan akut apabila kurang dari 72 jam, subakut 3-7 hari setelah trauma, dan
kronik bila 21 hari atau 3 minggu lebih setelah trauma.8 Dari anamensis
didapatkan pasien terpeleset dan terjatuh, kepala membentur lantai dan pasien
mengalami penurunan kesadaran sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit
sehingga pada pasien ini diklasifikasikan dalam subdural hematoma akut.
Berdasarkan mekanismenya, trauma kepala dibagi atas trauma tumpul kepala dan
trauma tembus kepala. Trauma tumpul dibagi atas kecepatan tinggi (tabrakan
45
kendaraan bermotor) dan kecepatan rendah (terjatuh, dipukul).1 Trauma tembus
disebabkan oleh peluru atau tusukan. Pada pasien ini dikategorikan sebagai
trauma tumpul kecepatan rendah karena jatuh.
Pemeriksaan fisik pasien dengan trauma kepala harus menekankan
penilaian status neurologis dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS).
Pemeriksaan neurologis awal memberikan dasar penting yang harus digunakan
untuk mengikuti perkembangan klinis pasien. Ketika direkam dalam bentuk skor
GCS, juga memberikan informasi prognostik penting. Pemeriksaan neurologis
singkat dihitung dengan menggunakan GCS merupakan komponen penting untuk
menilai secara kuantitatif derajat kesadaran dan dipakai secara umum dalam
mendeskripsikan beratnya suatu trauma kepala. Berdasarkan nilai GCS, maka
trauma kepala dengan nilai GCS 14 – 15 diklasifikasikan sebagai trauma/cidera
kepala ringan, GCS 9 – 13 trauma/cidera kepala sedang dan GCS 3 – 8
trauma/cidera kepala berat.1 Pada pasien ini GCSnya 14, dikategorikan dalam
trauma kepala ringan. Pada regio parietal sinistra didapatkan hematom ukuran
5x5cm. Perdarahan subdural umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena
jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil
sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan
pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena
yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum
gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi
perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan
terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.
Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang
peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh
sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural.11
Untuk lebih memastikannya dilakukan pemeriksaan CT scan kepala. Pada
pemeriksaan CT scan kepala tampak perdarahan subdural regio temporoparietal
sinistra. Perdarahan subdural adalah perdarahan yang terjadi pada ruang potensial
antara dura mater dan araknoid. Perdarahan ini paling sering diakibatkan oleh
rupturnya vena-vena jembatan (bridging veins) di permukaan korteks otak atau
sinus sagitalis setelah suatu cidera kepala. Gambaran klasik suatu perdarahan
46
subdural adalah lesi berbentuk bulan sabit antara tabula interna tulang tengkorak
dan parenkim otak. Perdarahan ini biasanya ditemukan di permukaan otak namun
dapat juga dibentuk di ruang interhemisfer atau sepanjang tentorium.5
Pada pasien ini ditata laksana secara konservatif. Kepala-leher-punggung
dielevasi 300. Oksigen diberikan sesuai kebutuhan. Oksigen dapat diberikan
langsung karena dipikirkan pada masa akut kebutuhan oksigen jaringan
meningkat maka dalam perawatan pemberian oksigen harus disesuaikan dengan
kebutuhan. Pasien dipasang jalur intravena (iv line). Untuk resusitasi diberikan
cairan Ringer Fudin, dan NaCl 0,9%. Untuk rumatan (maintanance), cairan
diberikan sesuai kebutuhan. Diberikan antibiotik ceftriaxone karena ada
leukositosis. Adapun diberikan obat-obatan simptomatik seperti ketorolac,
sohobion. Dan diberikan pula neuroprotekror seperti neurolin. Pasien perdarahan
subdural yang kesadarannya stabil atau membaik, tidak ada tanda-tanda defisit
neurologis fokal, CT scan tidak memperlihatkan efek massa yang besar dan
sisterna ambiens normal, dapat diobservasi dan pada pasien ini perlu dilakukan
CT scan serial untuk melihat ada tidaknya perburukan.1
Untuk pencegahan komplikasi dilakukan tindakan alih baring untuk
mencegah decubitus, menjaga kelembaban kulit, meminimalisasi gesekan, dan
menjamin kecukupan nutrisi. Rehabilitasi dilakukan sedini mungkin dalam
perawatan. 1
DAFTAR PUSTAKA
47
1. Mawuntu AH. Penurunan kesadaran pada trauma kepala. Manado. 2012. P 1-33
2. American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala. Dalam :Advanced Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia. Komisi trauma IKABI, 2004.
3. Tanaka Y, Ohno K. Chronic subdural Hematoma – An up to date concept. J Med Dent Sci. 2013:60;55-61
4. Wim de jong; Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC. 2004
5. Hoyt DB. Coimbra R. Management of acute trauma. In : Beauchamp, Fvers, Mattox. Textbook of surgery. Sandiego US. Saunders. 2008.
6. Laveque JC, Hoff J. Neurosurgery. In : Mulholland MW, Lillemoe KD, Doherty GM, Maier RV, Upchurch GR. Greenfield surgery : scientific principle and practice. 4th ed. Michigan US. Lippincott Williams & Wilkins. 2006. p 2044-71
7. Turner DA. Neurological evaluation of a patient with head trauma. Dalam : Neurosurgery 2nd edition. New York: McGraw Hill, 1996.
8. Gennarelli TA, Meaney DF. Mechanism of Primary Head Injury. Dalam: Neurosurgery 2nd edition. New York : McGraw Hill, 1996.
9. Peter R. Head injury. In : Cuschieri A, Grace PA, Darzi A, Borley N, Rowley DI. Clinical surgery. 2nd ed. Oxford UK. Blackwell Publishing; 2003. P 195-209
10. Franciose RJ, Truama. In : Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE. Principles of surgery. 8th ed. Mc Graw Hill. 2007.
11. Bullock MR, Chesnut R, Ghajar J, Gordon D, Hartl R, Newel D. et al. Surgical management of acute subdural hematomas. Neurosurgery. 2006 58:S2-1-S2-3. www.neurosurgery-online.com
48