Skripsi Final
description
Transcript of Skripsi Final
i
PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DENGAN CARA MEDIASI
DI PENGADILAN NEGERI SLEMAN
PenulisanHukum ini disusun
Sebagai syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum S1
Pada Fakultas Hukum Universitas Janabadra
Disusun Oleh:
Nama : Fatkhul Mujib
NIM : 111100087
Program Studi : IlmuHukum
Bagian : Hukum Acara
KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
KOPERTIS WILAYAH V YOGYAKARTA
UNIVERSITAS JANABADRA
FAKULTAS HUKUM
YOGYAKARTA
2015
ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DENGAN CARA MEDIASI
DI PENGADILAN NEGERI SLEMAN
Disusun Oleh:
Nama : Fatkhul Mujib
NIM : 111100087
Program Studi : IlmuHukum
Bagian : Hukum Acara
DisahkanpadaTanggal : 13 Maret 2015
DosenPembimbing,
Puji Puryani , S.H., M.Hum.
Mengetahui,
DekanFakultasHukum
UniversitasJanabadra Yogyakarta
EkoNurharyanto, S.H., M.Hum
iii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI
PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DENGAN CARA MEDIASI
DI PENGADILAN NEGERI SLEMAN
Disusun Oleh:
Nama : Fatkhul Mujib
NIM : 111100087
Program Studi : IlmuHukum
Bagian : Hukum Acara
PenulisanHukum ini telah diuji dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji
PadaTanggal : Maret 2015
Penguji
Ketua
..............................
Anggota Anggota
............................ ................................
Mengetahui,
DekanFakultasHukum
UniversitasJanabadra Yogyakarta
EkoNurharyanto, S.H., M.Hum.
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Saya yang bertandatangan dibawah ini:
Nama : FATKHUL MUJIB
NIM : 111100087
Jurusan : Hukum / Hukum Acara
Alamat : : Sucen Kidul RT02/RW02,Sucen,Salam,Magelang
dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah dengan judul:
PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DENGAN CARA MEDIASI DI
PENGADILAN NEGERI SLEMAN
adalah merupakan hasil karya saya sendiri yang belum pernah dipublikasikan
baik secara keseluruhan maupun sebahagian, dalam bentuk jurnal, working paper
atau bentuk lain yang dipublikasikan secara umum. Karya ilmiah ini sepenuhnya
merupakan karya intelektual saya dan seluruh sumber yang menjadi rujukan
dalam karya ilmiah ini telah saya sebutkan sesuai kaidah akademik yang berlaku
umum, termasuk para pihak yang telah memberikan kontribusi pemikiran pada
isi, kecuali yang menyangkut ekspresi kalimat dan disain penulisan.
Demikian pernyataan ini saya nyatakan secara benar dengan penuh tanggung
jawab dan integritas.
Yogyakarta,10 Maret 2015
Yang membuat pernyataan,
( FATKHUL MUJIB)
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelasaikan skripsi dengan judul “Penyelesaian Sengketa Perdata Dengan
Cara Mediasi di Pengadilan Negeri Sleman.”
Adapun maksud dari penyusunan skripsi ini adalah untuk memenuhi
syarat guna menyelesaikan Program Studi Strata Satu (S1) pada Fakultas Hukum
Universitas Janabadra Yogyakarta
Mengingat keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis, sehingga
dalam pembuatan skripsi ini tidak sedikit bantuan, petunjuk, saran-saran maupun
arahan dari berbagai pihak, oleh karena itu dengan kerendahan hati dan rasa
hormat penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Bapak Dr Ir Suharjanto MSCE , selaku Rektor Universitas Janabadra
Yogyakarta
2. Bapak Eko Nurharyanto,SH, M.Hum selak Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Janabadra Yogyakarta
3. Bapak Ambar Setyawacana, SH.MH, selaku Ketua Wakil Dekan I dan
Dosen Wali Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta
4. Ibu Hartanti, SH.M.H, Selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Uniersitas
Janabadra
5. Ibu Puji Puryani SH,M.Hum Selaku Dosen Pembimbing dan Kepala
Jurusan Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Janabadra yang telah
memberikan petunjuk, dorongan, serta semangat dalam pembuatan skripsi
ini.
6. Bapak Rochmad, SH Selaku Ketua Pengadilan Negeri Sleman yang telah
memberikan ijin atas terlaksananya Penelitian ini.
7. Ibu Indaryanti, SH. Kepala Bagian Hukum Pengadilan Negeri Sleman
yang telah memberikan banyak data dan informasi dalam penelitian ini.
8. Bapak Edward Saragih, SH, MH selaku advokat yang bersedia
memberikan keterangan dan data dalam penelitian ini
9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta
vi
10. Seluruh Staf dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Janabadra
Yogyakarta.
11. Susi Nurhayati, Mahdavika, Najwa, Isteri dan Anak-anaku yang selalu
memberikan dorongan dan semangat atas terselesainya penelitian ini.
12. Keluarga dan Saudara-saudaraku yang selalu memberi kritik dan saran
atas terselesaikanya penelitian ini.
13. Teman teman angkatan 2011 Fakultas Hukum Universitas Janabdra
Yogyakarta
Penulis hanya dapat mendoakan mereka yang telah membantu dalam
segala hal yang berkaitan dengan pembuatan skripsi ini semoga diberikan balasan
dan rahmat dari Allah SWT. Selain itu saran, kritik dan perbaikan senantiasa
sangat diharapkan. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi
pihak yang membutuhkan.
Yogyakarta, ..April 2015
Penulis
vii
ABSTRAK FATKHUL MUJIB, 11110087 , PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DENGAN CARA MEDIASI OLEH PENGADILAN NEGERI SLEMAN. Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta, Penulisan Hukum (Skripsi), 2015. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa perdata dengan cara mediasi di Pengadilan Negeri Sleman, akibat hukum bagi kedua belah pihak sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Sleman, Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer, sumber data sekunder dan sumber data tersier. Tekhnik pengumpulan data yang digunakan adalah tekhnik wawancara,studi dokumen bahan pustaka dalam hal ini bahan pustaka yang berupa buku-buku,peraturan perundang-undangan dan sumber lain yang berhubungan dengan penelitian ini.Tekhnik analisis data yang digunakan adalah tekhnik analisis data kualitatif dengan menggunakan metode interaktif. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa perdata dengan cara mediasi yang di lakukan oleh Pengadilan Negeri Sleman melalui dua tahap yaitu tahap pra mediasi dan tahap mediasi. Pada tahap pra mediasi dipimpin oleh majelis hakim pemeriksa parkara mulai dari sidang pertama kemudian menunda persidangan dan menyuruh agar para pihak melakukan mediasi .Majelis hakim menunda waktu persidangan untuk memberikan kesempatan pada para pihak melakukan mediasi dan memilih seorang mediator untuk membantu proses mediasi . Para pihak dalam hal ini menggunakan mediator dari dalam Pengadilan Negeri Sleman. Langkah-langkah yang dilakukan oleh mediator dalam tahap mediasi adalah meminta agar para pihak menghadap mediator, menentukan jadwal pertemuan, melakukan kaukus, mempertemukan kedua belah pihak, melaporkan hasil mediasi kepada majelis hakim pemeriksa perkara. Akibat hukum bagi kedua belah pihak dalam melakukan mediasi disini yaitu inkracht van gewijsde yang berbentuk akta perdamaian, tidak dapat diajukan gugatan baru, dapat dieksekusi, tidak ada upaya hukum lain. Dalam pelaksanaan mediasi di Pengadilan Negeri Sleman masih terdapat banyak hambatan – hambatan di antaranya adalah Dari Para Pihak, Kuasa Hukum, Pihak Ketiga, dan kurangya pemahaman masyarakat. Mediasi adalah cara yang baik untuk menyelesaikan sengketa karena dapat menyelesaikan sengketa dengan lebih adil.
viii
DAFTAR ISI
Halaman Judul .........................................................................................................i
Halaman Pengesahan Dosen Pembimbing .......................................................... .ii
Lembar Pengesahan Penguji..................................................................................iii
Lembar Perrnyataan Keaslian Karya Tugas Akhkir................. ............................iv
KATA PENGANTAR ......................................................................................... v
Daftar Pustaka ..................................................................................................... x
BAB I ................................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ................................................................................... 5
1. Secara teoritis .................................................................................... 6
2. Secara Praktis .................................................................................... 6
E. Metode Peneletian ................................................................................... 6
1. Jenis Penelitian .................................................................................. 7
2. Sifat Penelitian .................................................................................. 7
F. Sumber Data ............................................................................................ 8
1. Sumber Data Primer .......................................................................... 8
2. Sumber Data Sekunder ...................................................................... 8
G. Prosedur Pengumpulan Data .................................................................... 9
1. Iventarisasi ........................................................................................ 9
2. Wawancara ........................................................................................ 9
3. Dokumentasi ................................................................................... 10
ix
H. Penelitian Lapangan............................................................................... 10
1. Lokasi Penelitian ............................................................................. 10
2. Cara Pengambilan Sampel ............................................................... 10
I. Analisa Data .......................................................................................... 11
BAB II .............................................................................................................. 12
A. Tinjauan Tentang Sengketa .................................................................... 12
1. Tinjauan Umum Tentang Sengketa .................................................. 12
2. Makna Sengketa Dalam Perspektif Sosial dan Hukum ..................... 13
3. Cara – Cara Penyelesaian Sengketa.................................................. 15
B. Sengketa Perdata ................................................................................... 18
1. Pengertian Sengketa Perdata ............................................................ 18
2. Penyelesaian Sengketa Perdata ........................................................ 20
3. Penyelesaian Dengan Litigasi Proses ............................................... 20
1. Penyelesaian Sengketa Non Litigasi................................................. 24
C. Mediasi .................................................................................................. 27
1. Pengertian Tentang Mediasi ............................................................. 27
2. Prinsip – Prinsip Mediasi ................................................................. 28
3. Dasar Hukum Mediasi ..................................................................... 29
4. Tujuan Mediasi ................................................................................ 30
5. Proses Mediasi ................................................................................. 31
D. Tinjauan Tentang Mediator .................................................................... 34
1. Pegertian Mediator .......................................................................... 34
2. Fungsi Mediator .............................................................................. 34
3. Peran mediator dalam proses mediasi............................................... 35
x
BAB III ............................................................................................................. 37
A. Diskripsi Wilayah Secara Umum .......................................................... 38
1. Wilayah ........................................................................................... 38
2. Sejarah ............................................................................................ 39
3. Sosial Budaya .................................................................................. 40
B. Diskripsi Lembaga Secara Umum .......................................................... 41
1. Sejarah Lembaga ............................................................................. 41
2. Tugas Pokok Dan Dungsi ................................................................ 43
3. Prosedur Beracara Perdata di PN. Sleman ........................................ 43
BAB IV ............................................................................................................. 55
A. Pelaksanaan Mediasi di P.N Sleman ..................................................... 55
1. Proses Mediasi ( Telaah Kasus ) ...................................................... 55
2. Analisa Terhadap Proses Mediasi .................................................... 63
B. Hambatan Pelaksanaan Mediasi di P.N Sleman ...................................... 71
C. Upaya Mediasi Menjadi Pilihan Hukum Bagi Masyarakat .................... 76
BAB V .............................................................................................................. 78
A. Kesimpulan ........................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA
AN.Susanti. (2007). Naskah Akademis Mediasi. Jakarta: Mahkamah Agung.
xi
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. (1995). Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
Edward Saragih, S. M. (2015, 2 26). Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Negeri
Sleman.
F. von Benda-Beckman. (1989). From The Law of Primitive Man to Social-Legal
Study of. Majalah Antropologi Sosial dan Budaya , 67-75.
Goodpaster, Garry. (1989). Panduan Negosiasi . Seri Dasar Hukum Ekonomi 9.
Gunawan Wijaya. Alternative Penyelesaian Sengketa. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Indaryanti, S. (2015, 2 23). Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Negeri Sleman.
(F. Mujib, Pewawancara)
Koentjoroningrat. (1981). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press.
Krisna Harahap. (2006). Hukum Acara Perdata. Bandung: PT.Grafiti Utami.
Kusumo, S. M. (2010). Hukum Acara Perdata. Yogyakarta: Universitas
Atmajaya .
Lovenheim, 1996. (1996). How to Mediate Your Dispute. Berkeley: Nolo-Press.
Mahkamah Agung .RI. (2008). PERMA NO 1 Tahun 2008. Mahkamah Agung
.RI.
Moore, Sally F. (1978.). Law As Process, An Anthropological Approach.
London: Routledge & Kegan Paul Ltd.
Muchammad Zainudin. (2008). Tesis Hukum Dalam Mediasi. Surabaya:
Universitas Airlangga.
Muh Nazir. (1988). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Muhammad Jamin. (Surakarta). Mekanisme Alternative Penyelesaian Sengketa.
1995: Universitas Sebelas Maret.
xii
Ridwan Syahrani. (2000). Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
Roberts, Simon. (1979). Order and Disputes, An Intriduction to Lagal
Anthropology. Harmondworth, England,: Penguin Books .
Soerjono Soekanto. (2006). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press.
Staatblad. (1941). HIR Herziene Inlandsch Reglement .
Staatblad. (1927). Rechtsreglement Buitengewesten.
Sudikno Merto Kusumo. (2010). Hukum Acara Perdata. Yogyakarta: Universitas
Atmajaya.
Sudikno Mertokusumo. (2002). Hukum Acara Perdata. Yogyakarta: Liberty.
Suyud Margono. (2010). Penyelesaian Sengketa Bisnis. Bogor: Galia Idonesia.
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sejak awal lahirnya adalah sebagai makhluk sosial (ditengah
keluarganya). Makhluk yang tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain.
Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Menurut kodrat alam, manusia dimana-mana dan dizaman apapun
selalu hidup bersama, hidup berkelompok-kelompok.Aristoteles (384-322
sebelum masehi), seorang ahli fikir yunani menyatakan dalam ajaranya, bahwa
manusia adalah ZOON POLITICON, artinya pada dasarnya manusia adalah
makhluk yang ingin selalu bergaul dengan berkumpul dengan manusia, dari sifat
suka bergaul dan bermasyarakat itulah manusia dikenal sebagai makhluk sosial.
Interaksi antar manusia yang berlangsung secara terus – menerus dilakukan dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidup. Namun mengingat kepentingan manusia
sangat banyak dan beragam, di dalam melakukan interaksi satu sama lain manusia
selalu dihadapkan pada potensi – potensi untuk terjadi sengketa. Hal ini dapat
terjadi karena kepentingan manusia tidak jarang saling bertentangan satu dengan
yang lainnya.
Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi di mana ada pihak yang
merasa dirugikan oleh pihak lain. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan
apabila terjadi conflict of interest. Pihak yang merasa dirugikan akan
menyampaikan ketidak puasannya kepada pihak kedua, apabila pihak kedua dapat
2
menanggapi dan memuaskan pihak pertama, selesailah konflik tersebut,
sebaliknya jika reaksi pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau
memiliki nilai – nilai yang berbeda, akan terjadilah apa yang dinamakan
sengketa.
Jika di dalam masyarakat terjadi sengketa yang tidak dapat diselesaikan
dengan jalan muswarah, maka pihak yang dirugikan haknya dapat mengajukan
gugatan melalui lembaga pengadilan. Pihak ini disebut penggugat. Gugatan
diajukan ke pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa tersebut
(Sudikno Mertokusumo, 2010:84). Di dalam perkara perdata di kenal adanya
adagium “justice delayed is jutice denied” yang artinya keadilan tidak dapat di
sangkal dan di tunda.
. Tetapi di dalam praktiknya proses perkara di pengadilan pada umumnya
lambat dan memakan waktu yang bertahun- tahun ,sehingga terjadi pemborosan
waktu ( waste of time ) dan pemeriksaan bersifat formal ( formalistic ) dan tekhnis
( technically ).
Adanya hak para pihak untuk tidak hadir seringkali di manfaatkan untuk
mengulur – ulur waktu .Dalam proses yang demikian akan berakibat pada
mahalnya biaya yang harus di keluarkan sehingga tercapainya peradilan yang
sederhana,cepat dan berbiaya ringan sangat sulit di capai. Hal lain yang terjadi di
dalam proses litigasi adalah putusan menang kalah ( win lose ), dimana perasaan
menang kalah tidak akan memberikan kedamaian salahsatu pihak dan justru dapat
menimbulkan dendam dan konflik baru. Pada sisi lain keterbatasan jumlah hakim
3
dan menumpuknya perkara perdata di pengadilan juga memberikan dampak pada
lambatnya proses perkara perdata di pengadilan.
Dalam rangka mewujudkan proses sederhana, cepat dan murah. Pasal
130HIR yang mengatur upaya perdamaian masih dapat diintensifkan.
Caranya,mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur perkara. Peraturan
MahkamahAgung No 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan
mewajibkan terlebih dahulu ditempuh upaya perdamaian dengan bantuan
mediator. Paling lama sehari setelah sidang pertama para pihak harus memilih
mediator yang dimiliki oleh Pengadilan dan yang tidak tercantum dalam daftar
Pengadilan. Apabila tidak tercapai kesepakatan mengenai mediator tersebut maka
wajib menunjuk mediator dari daftar yang disediakan oleh Pengadilan saja.
Apabila hal tersebut tidak juga berhasil, dalam jangka satu hari kerja berdasarkan
penetapan, Ketua majelis berwenang menunjuk seorang mediator.Proses mediasi
harus selesai dalam jangka waktu paling lama 40 hari kerja sejak pemilihan atau
penetapan penunjukan mediator. Seandainya mediator berasal dari luar
lingkungan pengadilan jangka waktu tersebut diperpanjang menjadi 30 hari.
Apabila mediasi berhasil, kesepakatan lengkap dengan klausula pencabutan
perkara atau pernyataan perkara telah selesai disampaikan dalam sidang. Majelis
Hakim kemudian akan mengkukuhkan kesepakatan itu sebagai akta perdamaian.
Tetapi apabila gagal adalah tugas mediator untuk melaporkannya secara tertulis
kepadaMajelis Hakim. Konsekuensi kegagalan tersebut memaksa Majelis Hakim
melanjutkan proses perkara (Krisna Harahap,2008:62)
4
Mediasi sebagai salah satu penyelesain alternatif sengketa selama ini
belaum diketahui dan dikenal oleh masyarakat pada umumnya dan juga belum
dikenal dalam suatu wacana hukum di Indonesia.Tidak semua Pengadilan yang
menerapkan atau menggunakan medasi. Dengan adanya ketentuan dalam pasal
130 ayat (1) HIR atau pasal 154 ayat (1) RBg tersebut, maka jelas hakim
mempunyai peranan yang aktif untuk mengusahakan penyelesaian secara damai
untuk perkara perdata yang diperiksanya. Dalam kaitannya ini hakim haruslah
dapat memberikan suatu pengertian bahwa penyelesaian perkara dengan cara
perdamaian merupakan suatu cara penyelesaian yang lebih baik dan bijaksana
daripada diselesaikan dengan cara putusan pengadilan, baik di pandang dari segi
hukum masyarakat maupun dipandang dari segi waktu, biaya dan tenaga yang
digunakan (H.Ridwan Syahrani,2000:66).
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk menyusun skripsi
dengan judul“ PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DENGAN CARA
MEDIASI OLEH PENGADILAN NEGERI SLEMAN“.Hal ini penting agar
dapat di ketahui bagaimana proses penyelesaian sengketa perdata dengan mediasi,
hambatan dan upaya memaksimalkan mediasi di masa datang agar mediasi
menjadi alternative pillihan hukum dalam penyelesaian sengketa.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka untuk memfokuskan penelitian
maka penulis menentukan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah proses penyelesaian sengketa perdata dengan cara mediasi
oleh Pengadilan Negeri Sleman ?
5
2. Faktor – faktor apa yang menjadi hambatan pada proses mediasi perkara
perdata di Pengadilan Negeri Sleman.
3. Bagaimana sebaiknya upaya mengoptimalkan proses mediasi di
Pengadilan Negeri sebagai alternatife penyelesaian sengketa di masa
depan
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas maka
tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengkaji bagaimana proses penyelesaian perkara perdata melalui
mediasi di Pengadilan Negeri Sleman.
2. Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam
proses penyelesaian perkara perdata melalui mediasi di Pengadilan Negeri
Sleman.
3. Untuk menganalisis upaya-upaya apa saja yang harus di lakukan dalam
proses mediasi penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Negeri Sleman
menjadi alternatife penyelesaian sengketa di masa yang akan datang.
D. Manfaat Penelitian
Dalam suatu penelitian, terdapat suatu manfaat penelitian. Selain
bermanfaat bagi penulis, diharapkan juga bisa bermanfaat bagi semua pihak dan
tentunya mempunyai manfaat yang dianggap positif. Manfaat penelitian dibagi
menjadi dua yaitu secara teoritis dan secara praktis. Adapun penjelasannya
sebagai berikut :
6
1. Secara teoritis
1) Menghasilkan suatu penjelasan tentang Penyelesaian Sengketa Perdata
dengan cara mediasi yang oleh Pengadilan Negeri Sleman.
2) Menghasilkan suatu penjelasan tentang faktor-faktor yang menjadi
penghambat di dalam proses mediasi penyelesaian perkara perdata di
Pengadilan Negeri Sleman.
3) Memberikan saran dan masukan bagaimana mengoptimalkan mediasi
perkara perdata di Pengadilan Negeri Sleman agar menjadi pilihan
penyelesaian sengketa di masa yang akan datang ?
2. Secara Praktis
1) Mengembangkan pola pikir, penalaran dan pengetahuan bagi penulis
dalam menyusun suatu penulisan hukum
2) Sebagai salah satu syarat dalam meraih gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Janabadra Jogjakarta
E. Metode Peneletian
Metodologi adalah pengetahuan tentang berbagai cara kerja yang
disesuaikan dengan objek studi ilmu yang bersangkutan. Dengan kata lain
metodelogi itu menjelaskan tata cara dan langkah yang akan ditempuh untuk
mencapai tujuan penelitian (Koentjaraningrat.1981:61).
Menurut Soerjono Soekanton metode penelitian dapat dirumuskan dengan
kemungkinan sebagai berikut :
1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian.
7
2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan.
3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur (Soerjono Soekanto
2006: 5).
Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penulisan hukum ini
adalah penelitian hukum empiris, atu non doktrinal yang bersifat deskriptif.
Suatu penelitian diskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti
mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya (Soerjono
Soekanto, 1986:10).
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dimana data yang
diperoleh nantinya tidak berbentuk angka tetapi berupa kata-kata. Penelitian
deskriptif yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang
seteliti mungkin tentangmanusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya.
Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat
memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru
(Soerjono Soekanto, 2006:10) Dalam penelitian ini di deskripsikan tentang
proses penyelesaian sengketa perdata dengan cara mediasi oleh Pengadilan
Negeri Sleman
8
F. Sumber Data
Sumber data adalah tempat didapatkannya data yang
diinginkan.Pengetahuan tentang sumber data merupakan hal yang sangat penting
untuk diketahui agar tidak terjadi kesalahan dalam memilih sumber data yang
sesuaidengan tujuan penelitian.Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua
sumber data yaitu data Primer dan data Sekunder
1. Sumber Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan
secara langsung pada obyek penelitian yang dilakukan di Pengadilan Negeri
Sleman melaui wawancara dari beberapa sumber yang terkait dengan penyelsaian
sengketa perdata dengan cara mediasi di Pengadilan Negeri Sleman.
2. Sumber Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang dipergunakan dalam menjawab
permasalahan yang ada dalam penelitian ini melalui studi kepustakaan. Data
sekunder merupakan data utama yang digunakan dalam penulisan ini. Penulis
dalam penelitian ini menggunakan 3(tiga) bahan hukum sebagai berikut:
1. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat dan dalam penelitian ini bahan hukum yang di
gunakan adalah ; Undang-Undang Dasar 1945, HIR, Rbg, Perma No.1
Tahun 2008
9
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum Sekunder Bahan adalah bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder
diperoleh dengan cara studi dokumen, mempelajari permasalahan dari
buku-buku, literatur, makalah dan kamus hukum dan bahan-bahan lainnya
yang berkaitan dengan materi ditambah lagi dengan kegiatan pencarian
data menggunakan internet
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi
tentang bahan hukum primer dan skunder. Bahan hukum tersier berupa
Kamus Hukum, Kamus Bahasa Inggris, Kamus Bahasa Belanda
G. Prosedur Pengumpulan Data
1. Iventarisasi
Berupa kegiatan pendahuluan yang bersifat mendasar untuk melakukan
penelitian hukum dari tipe-tipe yang lain. Sebelum dapat diketemukan
norma hukum in concreto atau ditemukan teori-teori tentang proses
kehidupan hukum, haruslah diketahui lebih dahulu apa saja yang termasuk
ke dalam hukum positif yang sedang berlaku.
2. Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian
dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau
pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan
10
alat yang dinamakan interview guid (Muh Nazir,1988:234). Metode
wawancara dilakukan dengan tanya jawab secara lisan dengan para pihak
yang terkait dalam penyelesaian sengketa
3. Dokumentasi
Dokumentasi adalah mencari data berupa catatan, transkip, buku, surat
kabar, agenda dan sebagainya (Arikunto, 1988:236). Dokumentasi yang
dimaksud adalah mengambil jumlah data berupa berkas mediasi dalam
perkara perdata di Pengadilan Negeri Sleman Peneliti mencari data dari
beberapa dokumen yang berupa buku register perkara perdata, buku
register mediasi, berita acara mediasi, hasil-hasil mediasi.
H. Penelitian Lapangan
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Sleman. Peneliti memilih
lokasi tersebut karena di Pengadilan Negeri Sleman terdapat perkara perdata yang
perlu untuk di ketahui bagaimana mediasi di lakukan baik itu mengenai
perceraian, perbuatan melawan hukum, atau wanprestasi
2. Cara Pengambilan Sampel
Penentuan sampel merupakan suatu proses dalam memilih suatu bagian
yang representatif dari seluruh populasi. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro,
populasi adalah seluruh objek atau seluruh unit yang akan diteliti, atau dapat
dikatakan populasi merupakan jumlah manusia yang mempunyai karakteristik
sama. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pihak yang terlibat dalam
11
proses mediasi penyelesaian sengketa perdata di Pengadilan Negeri Sleman.
Penelitian ini tidak meneliti populasi secara keseluruhan, mengingat sangat
banyaknya populasi yang ada dan tersebar di wilayah hukum Pengadilan Negeri
Sleman, oleh karena itu perlu dipilih sampel untuk dijadikan responden dengan
cara menggunakan teknik non random sampling. Teknik atau cara pengambilan
sampel dengan non random sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan ciri
tertentu yang di anggap mempunyai hubungan erat dengan ciri populasi dan sesuai
dengan tujuan penelitian. Dalam non random sampling ini tidak semua subjek
atau individu dari populasi mendapat kemungkinan (probabilitas) yang sama
untuk dijadikan anggota sample.
I. Analisa Data
Analisa data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan analisa Deskriptif Kualitatif ,data yang diperoleh baik dari studi
kepustakaan maupun dari penelitian lapangan akan dianalisis secara deskriptif
kualitatif.
Analisis deskriptif kualitatif adalah metode analisis data dengan
mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan
menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori-teori,
asas-asas, dan kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan
sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Sengketa
1. Tinjauan Umum Tentang Sengketa
Studi-studi mengenai sengketa dan budaya penyelesaian sengketa dalam
masyarakat sederhana (tribal society) maupun masyarakat modern (civilized
society), sengketa antar individu dalam suatu kelompok (intra-group conflict)
atau antar kelompok (inter-group conflict) telah banyak dilakukan oleh para pakar
ilmu sosial dengan menggunakan pendekatan antropologi hukum (Gluckman,
1956; Nader & Todd, 1978; Hoebel, 1968; Moore, 1978; Pospisil, 1971;
Bohanan, 1967; Spradley, 1987; Scott, 1993; Lev, 1972; Peluso, 1992).
Konklusi dari studi-studi tersebut secara umum menyatakan bahwa
sengketa merupakan fenomena sosial yang bersifat semesta (universal) dan
melekat (inherent) dalam kehidupan masyarakat, dalam pergaulan sosial antar
individu maupun antara individu dengan kelompok, sehingga tidak mungkin suatu
masyarakat kalis atau dapat menghindari konflik dalam dinamika kehidupan
sosial. Yang dapat dilakukan adalah bagaimana konflik tersebut harus dikelola
(managed), dikendalikan (controlled), dan diselesaikan (settled) secara bersama
dengan bijak dan damai, agar tidak berkembang menjadi kekerasan, anarkhi, atau
destruktif, menimbulkan disintegrasi atau mengancurkan sendi-sendi hubungan
sosial dalam kehidupan masyarakat (Coser, 1968; Nader, 1978).
13
2. Makna Sengketa Dalam Perspektif Sosial dan Hukum
Sengketa merupakan suatu fenomena sosial yang bersifat universal, dan
menjadi bagian yang integral serta esensial dalam kehidupan masyarakat. Karena
itu, konflik tidak perlu dilihat sebagai gejala patologis yang bersumber dari
tingkah-laku abnormal, atau indikasi dari suatu kekacauan dalam dinamika
kehidupan masyarakat, karena setiap komunitas masyarakat mempunyai kapasitas
untuk menciptakan norma-norma dan mekanisme-mekanisme tersendiri untuk
menyelesaikan sengketa yang muncul dalam pergaulan sosial warga masyarakat
(Nader, 1968; Coser, 1968; Roberts, 1979, Moore, 1978).
Dari perspektif antropologi hukum, fenomena sengketa mempunyai
makna ganda, yaitu : di satu sisi sengketa mempunyai makna negatif --
menimbulkan perpecahan atau disintegrasi suatu kehidupan sosial, melemahkan
kohesi sosial, atau menimbulkan kerusakan suatu sistem hubungan sosial dalam
masyarakat. Tetapi, di sisi lain sengketa juga memiliki makna positif dalam
mempertahankan integrasi sosial, memperkokoh ikatan sosial, dan memberi
kontribusi untuk mengembalikan keseimbangan hubungan sosial antar individu
atau kelompok dalam masyarakat. Yang disebutkan terakhir akan dapat terwujud
apabila pihak-pihak yang bersengketa secara bersama-sama dapat mengelola,
mengendalikan, dan menyelesaiakn sengketa yang dihadapi secara dewasa, bijak,
dan damai, dengan atau tanpa mengundang kehadiran pihak ketiga (Gluckman,
1956).
Secara umum dikatakan bahwa terjadinya sengketa dalam masyarakat bersumber
dari persoalan-persoalan seperti berikut :
14
1. Penguasaan, pemanfaatan dan distribusi sumber daya alam yang menjadi
pendukung kehidupan manusia (natural resource control and
distribution);
2. Ekspansi batas wilayah kehidupan suatu kelompok masyarakat
(teritoriality expantion);
3. Kegiatan ekonomi masyarakat (economic activities); dan
4. Kepadatan penduduk (density of population).
Karena itu, dalam perspektif antropologi hukum, konflik yang terjadi dalam
masyarakat paling tidak dapat dikategorisasi menjadi 3 macam, yaitu : (1)
Konflik kepentingan (conflict of interests); (2) Konflik nilai-nilai (conflict of
values); dan (3) Konflik norma-norma (conflict of norms).
Dalam hubungan ini, Nader dan Todd (1978) menyatakan bahwa pada dasarnya
sengketa yang terjadi dalam masyarakat melalui tahapan-tahapan (stages of
conflict) seperti berikut :
1. Pada tahap pertama, sengketa berawal dari munculnya keluhan-keluhan
(grievance) dari salah satu pihak terhadap pihak yang lain (individu atau
kelompok), karena pihak yang mengeluh merasa hak-haknya dilanggar,
diperlakukan secara tidak wajar, kasar, dipersalahkan, diinjak harga
dirinya, dirusak nama baiknya, dilukai hatinya, dll. Kondisi awal seperti
ini disebut sebagai tahapan pra-konflik (pre-conflict stage) yang
cenderung mengarah kepada konfrontasi yang bersifat monadik (monadic).
2. Pada tahap kedua, apabila kemudian pihak yang lain menunjukkan reaksi
negatif berupa sikap yang bermusuhan atas munculnya keluhan-keluhan
15
dari pihak yang pertama, maka kondisi ini meningkat eskalasinya menjadi
situasi konflik (conflict stage), sehingga konfrontasi antar pihak-pihak
berlangsung secara diadik (diadic).
3. Pada tahap ketiga, apabila kemudian konflik antar pihak-pihak tersebut
ditunjukkan dan bawa ke arena publik (masyarakat), dan kemudian
diproses menjadi kasus perselisihan dalam institusi penyelesaian sengketa
tertentu dengan melibatkan pihak ketiga, maka situasinya telah meningkat
menjadi sengketa (dispute stage), dan sifat konfrontasi antar pihak-pihak
yang berselisih menjadi triadik (triadic).
3. Cara – Cara Penyelesaian Sengketa
Setiap bentuk masyarakat di mana pun dan kapan pun pada dasarnya
mempunyai kemampuan untuk menciptakan norma-norma dan mekanisme-
mekanisme serta membangun institusi-institusi tertentu untuk menyelesaikan
setiap sengketa yang muncul dalam masyarakat (Moore, 1978). Masyarakat
memberi makna sengketa sebagai bagian dari dinamika kehidupan sosial, dan
makna sengketa yang diberikan masyarakat juga sangat tergantung pada nilai-
nilai, kepercayaan, dan norma-norma yang dianut, serta bentuk-bentuk institusi
sosial yang dibangun untuk menyelesaikan sengketa (Roberts, 1978).
Sistem nilai, norma, politik, ekonomi, dan keyakinan sangat
mempengaruhi pilihan bentuk institusi dan model-model penyelesaian sengketa
dalam masyarakat. Institusi penyelesaian sengketa yang dikenal dalam masyarakat
paling tidak ada 2 (dua) macam, yaitu :
16
1. Institusi penyelesaian sengketa yang bersifat tradisional, yang bersumber
dari sistem politik dan hukum rakyat dan berlangsung secara tradisional
(folk institutions);
2. Institusi penyelesaian sengketa yang dibangun dari sistem politik dan
hukum negara (state institutions).
Dalam kondisi masyarakat yang masih sederhana dan subsisten, di mana
relasi antar individu, hubungan kekerabatan dan kelompok masih kuat, maka
pilihan institusi untuk menyelesaikan sengketa diarahkan kepada institusi-institusi
penyelesaian sengketa yang bersifat kerakyatan (folk institutions), karena institusi
penyelesaian sengketa yang bersifat tradisional bermakna sebagai institusi penjaga
keteraturan sosial (social order) dan dimaksudkan untuk pengembalian
keseimbangan magis dalam masyarakat. Karena itu, makna penyelesaian sengketa
melalui institusi tradisional dengan mengacu pada hukum rakyat (folk law) lebih
ditujukan untuk mengembalikan hubungan sosial yang terganggu dan lebih dari
itu mengembalikan keseimbangan magis dalam masyarakat (win-win solution)
Sedangkan, sengketa yang terjadi dalam masyarakat yang kompleks dan modern,
di mana relasi sosial lebih bersifat individualistik, berorientasi pada perekonomian
pasar, cenderung diselesaikan melalui institusi penyelesaian sengketa yang
formal dengan mengacu pada hukum negara (state institution) yang bercirikan
legalistik. Institusi peyelesaian sengketa yang mengacu pada hukum negara
dikenal sebagai pengadilan (court institution), yang digerakkan oleh hakim-hakim
pengadilan (judges), dengan menerima, memeriksa dan memutuskan suatu
17
sengketa untuk menyatakan pihak yang satu menang dan pihak yang lain kalah
dalam sengketa tersebut (win-lose solution) (F. von Benda-Beckmann, 1986).
Sedangkan, model-model penyelesaian sengketa yang dikenal dalam masyarakat
sederhana maupun kompleks (modern) pada pokoknya adalah :
1. Negosiasi, melalui proses kompromi antara pihak-pihak yang bersengketa,
tanpa mengundang kehadiran pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa
yang terjadi di antara mereka.
2. Mediasi, melalui kesepakatan antara pihak-pihak untuk melibatkan pihak
ketiga (mediator) dalam penyelesaian sengketa, walau hanya berfungsi
sebatas perantara (go-between) yang bersifat pasif, karena inisiatif untuk
mengambil keputusan sebagai wujud penyelesaian sengketanya tetap
didasarkan pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa.
3. Arbitrasi, melalui kesepakatan untuk melibatkan pihak ketiga yang disebut
arbitrator sebagai wasit yang memberi keputusan dan keputusan tersebut
harus ditaati dan dilaksanakan oleh pihak-pihak yang bersengketa.
4. Ajudikasi, sebagai model penyelesaian sengketa melalui institusi
pengadilan yang keputusannya mengikat pihak-pihak yang bersengketa
(Roberts, 1978).
Namun demikian, selain model-model penyelesaian sengketa seperti di atas,
dalam masyarakat dikenal juga model-model penyelesaian sengketa seperti :
1. Tindakan kekerasan (coersion), sebagai aksi yang bersifat unilateral
dengan mengandalkan kekuatan fisik dan kekerasan, seperti melakukan
18
tindakan hukum sendiri (self-helf) atau dalam bentuk perang antar suku
(warfare).
2. Tindakan membiarkan saja (lumping it), yang dilakukan oleh salah satu
pihak dengan tidak menanggapi keluhan, gugatan, tuntutan pihak yang
lain, atau mengabaikan sengketa yang terjadi dengan pihak yang lain.
3. Tindakan penghindaran (avoidance), yang dilakukan salah satu pihak
dengan menghindari sengketa dengan pihak lain, karena sejak awal
sengketa yang bersangkutan merasa secara sosial, ekonomi, politik, dan
psikologis merasa sudah tidak berdaya untuk menghadapi pihak yang lain.
Dengan demikian, tindakan menghindari sengketa diipandang paling aman
dan menguntungkan tidak saja bagi diri sendiri, tetapi juga bagi keluarga
dan kerabat, dalam rangka menjaga hubungan sosial yang bersifat jangka
panjang (Nader & Todd, 1978
B. Sengketa Perdata
1. Pengertian Sengketa Perdata
Dalam penelitian ini penulis meneliti tentang Penyelesaian Sengketa
Perdata Dengan Cara Mediasi di Pengadilan Negeri Sleman sehingga perlu di
definisikan mengenai sengketa perdata.
Untuk dapat memberikan definisi sengketa perdata perlu di ketahui
terlebih dahulu apa itu arti dari hubungan perdata. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia arti dari hubungan perdata adalah formal yg mengatur hak, harta benda,
dan hubungan antara orang atas dasar logika; dan material yg mengatur hak, harta
benda, hubungan antar orang atas dasar kebendaan; sehingga dengan demikian
19
dapat di ambil pengertian bahwa hubungan perdata adalah hubungan hukum
(rechtsrelatie) yaitu hubungan antara subjek hukum yang akibatnya diatur oleh
hukum yang dapat menimbulkan hak atau meleyapkan hak.
Hak-hak menurut sifatnya dapat dibagi dalam dua golongan besar yaitu :
1. Hak Absolut / mutlak , yaitu kekuasaan yang diberikan oleh hukum
kepada subjek hukum untuk berbuat sesuatu atau bertindak sesuatu dengan
memperhatikan kepentingannya. Hak absolut tersbut berupa Hak
kepribadian / hak diri pribadi,yaitu hak atas dirinya sendiri atau pribadi
yang diberi hukum kepada seseorang. Misalnya :
a. Misalny;Hak atas nama atau kehormatan, Hak tentang kecakapan dan
berwenang untuk bertindak dalam hukum.
b. Hak Kekeluargaaan, yaitu hak yang tibul akibat hubungan
keluarga.Misalnya, hak suami istri hak alimentasi/nafkah. hak merital
suami,dsb.
c. Hak kekayaan, yaitu hak-hak yang timbul dalam lapangan harta kekayaan
(vermogens recht). Hak atas kekayaan yang absolut ini disebut hak-hak
kebendaan (zakelijke rechten)
2. Hak Relatif / nisbi yaitu kekuasaan yang diberi hukum kepada subjek
hukum tertentu untuk berbuat, tidak berbuat sesuatu kepada subjek hukum
tertentu.
Dari penjelasan di atas dapat di tarik pengertian sengketa perdata adalah
konflik yang terjadi antar subjek hukum yang di dalamnya terdapat perselisihan
ataupun konflik hak – hak keperdataan.
20
2. Penyelesaian Sengketa Perdata
Dalam penelitian ini penulis fokus pada bagaimana mekanisme
penyelesaian sengketa perdata di Indonesia, mekanisme penyelesaian sengketa
tersebut telah di atur dalam sistim Hukum Negara ataupun yang secara tradisional
telah menjadi sisitem yang pakai dalam kelompok masyarakat.
Sebagaimana telah di bahas di atas, pada prinsipnya penyelesaian sengketa dapat
di lakukan dengan caraNegosiasi, Mediasi, yang bersengketa, Arbitrasi ,
Ajudikasi, Beracara di Pengadilan ( Litigasi Proses ).
Dalam penyelesaian sengketa perdata proses – proses tersebut di kenal dalam dua
bentuk yaitu Litigasi Proses dan Alternatife Penyelesaian Segketa ( APS ).
3. Penyelesaian Dengan Litigasi Proses
Litigasi adalah merupakan proses gugantan atas sautu sengketa yang di
ritualisasikan yang menggantikan konflik sesungguhnya, dimana para pihak
memberikan kepada seorang pengambil keputusan ( Hakim ) atas dua pilihan yang
bertentangan( Suyud Margono,2010:17)Dalam beracara di pengadilan di atur
dengan Hukum Acara.Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang
mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan
perantaraan hakim. (Sudikno Mertokusumo ,2010:2) . Proses beracara pidana di
pengadilan adalah sebagai berikut :
a. Pandaftaran Gugatan
Tiap – tiap proses perdata di muka pengadilan ( landrad ) mulai setelah di
ajukan surat – guagat oleh penggugat atau kuasanya kepada pengadilan Kepala
21
Pengadilan Negeri dalam daerah Hukum tempat tergugat bertempat tinggal hal ini
di atur dalam pasal 118 HIR, Jika surat gugatan telah dibuat dan telah memenuhi
syarat formal (Lihat pasal 121 ayat (4) HIR, 145 Rbg, Zegelverordening 1921),
maka surat gugatan tersebut haruslah didaftarkan ke panitera pengadilan di
wilayah pengadilan yang ingin dituju untuk mendapatkan nomor perkara dan oleh
panitera kemudian akan diajukan kepada ketua pengadilan negeri. Disarankan
bagi anda yang masih awam dengan hukum untuk mengkonsultasikan terlebih
dahulu surat gugatan anda kepada ahli hukum sebelum didaftarkan. Hal tersebut
sangat berguna untuk efisiensi waktu dan biaya penyelesaian perkara. Karena
apabila surat gugatan anda lemah dan tidak memenuhi syarat, maka lawan anda
dapat mengajukan eksepsi. Dan bila ternyata eksepsi tersebut diterima, maka
kemungkinan besar perkara anda akan dinyatakan “Niet Onvakelijkverklaard”
(tidak dapat diterima) oleh majelis Hakim, yang dapat menyebabkan waktu dan
biaya anda akan terbuang percuma karena harus mengajukan gugatan baru lagi.
b. Pengajuan Gugatan
Langkah selanjutnya adalah mengajukan gugatan di tempat yang tepat.
Untuk menentukan pengadilan yang tepat untuk mengadili perkara yang diajukan,
maka haruslah berdasarkan kompetensi absolute dan kompetensi relative yang ada
sehingga perkara perdata tersebut dapat segera cepat ditangani. Bila salah
mengajukan gugatan maka dapat menyebabkan gugatan “Niet
Onvakelijkverklaard” (tidak dapat diterima) oleh pengadilan
22
c. Persiapan Sidang
Dengan surat penetapan, Hakim yang menangani perkara akan
menentukan hari sidang dan melalui juru sita akan memanggil para pihak agar
menghadap ke pengadilan pada hari yang telah ditetapkan. Apabila Penggugat
tidak hadir pada persidangan pertama maka Penggugat dianggap menggugurkan
gugatan yang telah dibuat. Dan apabila Tergugat yang tidak hadir pada
persidangan, setelah terlebih dahulu dipanggil tiga kali oleh juru sita, maka
gugatan Penggugat dapat dikabulkan dengan putusan verstek.
d. Persidangan
Susunan persidangan perdata yang lazim adalah sebagai berikut :
Sidang Pertama Pada sidang pertama Hakim akan membuka persidangan dengan
menanyakan identitas para pihak, kemudian mengusahakan dan menghimbau para
pihak untuk melakukan mediasi/perdamaian. Bila mediasi tidak tercapai maka
persidangan akan dilanjutkan ke tahap berikutnya. Namun bila mediasi tercapai
maka akan dibuat akta perdamaian dan persidangan selesai.
Sidang Kedua Pada sidang kedua agendanya adalah penyerahan jawaban dari
pihak Tergugat atas gugatan dari pihak Penggugat. Jawaban dibuat rangkap 3
(tiga) untuk Penggugat, Hakim, dan arsip Tergugat sendiri.
Sidang Ketiga Agenda sidang ketiga adalah penyerahan Replik. Replik adalah
tanggapan Penggugat terhadap jawaban dari Tergugat.
Sidang Keempat Agenda sidang keempat adalah penyerahan Duplik. Duplik
adalah tanggapan Penggugat terhadap Replik.
23
Sidang Kelima Agenda sidang kelima adalah acara pembuktian oleh pihak
Penggugat terhadap dalil-dalil (posita) yang telah ia kemukakan sebelumnya
untuk menguatkan gugatanya.
Sidang Keenam Agenda sidang keenam adalah acara pembuktian oleh pihak
Tergugat untuk menguatkan jawabanya.
Sidang Ketujuh Agenda sidang ketujuh adalah penyerahan kesimpulan oleh para
pihak sebagai langkah akhir untuk menguatkan dalil masing-masing sebelum
hakim menjatuhkan putusan.
Sidang Kedelapan Agenda sidang kedelapan adalah putusan Hakim.
e. Eksekusi
Eksekusi adalah pelaksanaan putusan hakim dalam sengketa perdata. Setelah
Hakim membacakan putusan dan membagikannya kepada para pihak, maka saat
itu jugalah putusan tersebut berlaku dan dapat dilaksanakan eksekusi. Terdapat 3
(tiga) jenis pelaksanaan putusan eksekusi :
Eksekusi untuk membayar sejumlah uang ( pasal 196 HIR dan pasal 208Rbg)
Eksekusi untuk melakukan suatu perbuatan ( pasal 225 HIR dan pasal 259 Rbg)
Eksekusi Riil ( pasal 1033 Rv)
f. Upaya Hukum
Apabila saat menerima putusan terdapat salah satu pihak yang merasa
tidak puas terhadap hasil putusan yang ada, maka pihak tersebut dapat melakukan
upaya hukum. Terdapat 4 (empat) upaya hukum, yaitu : Banding Kasasi
Peninjauan Kembali (PK)
24
1. Penyelesaian Sengketa Non Litigasi
a. Arbitrase
Lembaga arbitrase melalui tenaga ahli sebagai pengganti Hakim
berdasarkan Undang-Undang mengganti dan memutus suatu sengketa antar pihak-
pihak yang berselisih. Arbitrase merupakan suatu penyelesaian sengketa diluar
Pengadilan, oleh para wasit yang dipilih kedua belah pihak untuk bersengketa.
Untuk menyelesaikan melalui jalur hukum yang putusannya diakui sebagai
putusan terakhir dan mengikat. Syarat utama agar putusan dapat diselesaikan
melalui badan abritrase adalah adanya persetujuan pihak-pihak yang bersengketa
bahwa sengketa mereka akan diselesaikan melalui arbitrase maka pada posisi
tersebut berlaku asas pancta sun servada .
Hakikat dari arbitrase adalah para wasit yang di pilih kedua telah pihak
untuk bersengketa. Untuk menyelesaikan melalui jalur hukum yang putusannya
diakui sebagai putusan terakhir dan mengikat. Syarat utama agar putusan dapat
diselesaikan melalui badan arbitrase adalah adanya persetujuan pihak-pihak yang
bersengketa bahwa sengketa mereka akan diselesaikan melalui arbitrase. Hakikat
dari arbitrae adalah yurisdiksi (Krisna Harahap, 2008:148)
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa (Sudikno Mertokusumo,2002: 57)
25
b. Alternatif penyelesaian sengketa
Sengketa atau konflik merupakan bagian dari proses interaksi antar
manusia. Setiap individu atau pihak yang mengalami sengketa akan berusaha
menyelesaikannya menurut cara-cara yang dipandang paling tepat. Secara
dikotomi cara-cara penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh itu meliputi dua
kemungkinan, yaitu melalui penegakan hukum formal oleh lembaga peradilan
atau proses diluar peradilan yang mengarah pada pendekatan kompromi
(Muhammad Jamin,1995:32).
Pada awal pengembangan Alternative Dispute Resolution (ADR) muncul
pola pikir perlunya pengintegrasian komponen ADR ke dalam undang-undang
mengenai arbitrase. Pemikiran tersebut dimaksudkan untuk menjadikan ADR
sebagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang dapat
berkembang pesat dan sesuai dengan tujuannya.
Pembentukan ADR sebagai alternatif penyelesaian sengketa tidak cukup
dengan dukungan budaya musyawarah atau mufakat dari masyarakat, tetapi perlu
pengembangan dan pelembagaan yang meliputi perundang-undangan untuk
memberikan landasan hukum dan pembentukan asosiasi profesi atau jasa
profesional (Suyud Margono, 2004: 106). Pengertian Alternatif Penyelesaian
Sengketa ditur dalm pasal 70 Undang-Undang No 30 Tahun 1999 tentang
arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa menentukan bahwa terhadap
putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila
putusan-putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
26
1) Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
2) Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,
yang disembunyikan oleh pihak lawan.
3) Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu dalam
penyelesaian sengketa.
Kesepakatan di luar Pengadilan juga diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung
No 1 Tahun 2008 (PERMA) pasal 23 yaitu sebagai berikut
1) Para pihak dengan bantuan mediator besetifikat yang berhasil
menyelesaikan sengketa di luar Pengadilan dengan kesepakatan
perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut ke
Pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akata perdamaian dengan
cara mengajukan gugatan.
2) Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus di sertai
atau dilampiri dengan kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen
yang membuktikan ada hubungan hujum para pihak dengan obyek
sengketa.
3) Hakim di hadapkan para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan
perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan
perdamaian tersebut memenuhi syaratsyarat sebagai berkut :
a) Sesuai kehendak para pihak;
b) Tidak bertentangan dengan hukum;
c) Tidak merugikan pihak ketiga;
27
d) Dapat dieksekusi;
e) Dengan itikad baik
C. Mediasi
1. Pengertian Tentang Mediasi
Pengertian mediasi Menurut pendapat Moore C.W dalam naskah
akademis mediasi, mediasi adalah interensi terhadap suatu sengketa atau
negoisasi oleh pihak ketiga yang dapat diterima, tidak mempunyai kewenangan
untuk mengambil keputusan dalam memantu para pihak yang berselisih dalam
upaya mencari kesepakatan secara sukarela dalam menyelesaikan permasalahan
yang disengketakan (Susanti A.N,2007:1). Mediasi adalah upaya para pihak
yangbersengketa untuk menyelesaikan sengketa melalui perundingan dengan
bantuan pihak lain yang netral (Muhammad Jamin,1995:32). ). Kesimpulan
mediasi apabila diuraikan mengandung unsur- unsur sebagai berikut:
1) Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan asas
kesukarelaan melalui suatu perundingan.
2) Mediator yang terlibat bertugas membantu para pihak yang bersengketa
untuk mencari penyelesaian,
3) Mediator yang terlibat harus diterima oleh para pihak yang bersengketa.
4) Mediator tidak boleh memberi kewenangan untuk mengambil
keputusan selama perundingan berlangsung.
5) Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesimpulan
yang dapat diterima dari pihak-pihak yang bersengketa (Gunawan Widjaja
,2004:59).
28
2. Prinsip – Prinsip Mediasi
Prinsip-prinip mediasi yang digunakan pada dasarnya adalah sebagai
berikut:
1) Kewajiban partisipasi seluruh pihak dalam prose mediasi.
2) Upaya maksimal untuk mencapai mufakat.
3) Penggunaan pendekatan rekturisasi dengan pola best commerciaal
practice.
4) Menghormati hak-hak para pihak yang terkait.
Dari penjelasan diatas dapat dijelaskan tentang karakteristik dari prinsip
dalam suatu mediasi yaitu :
a. Accessible
Setiap orang yang membuthkan dapat menggunakan mediasi, tidak ada
suatu prosedur yang kaku dalam kaitannya dengan karakteristik antara
mediasi yang satu dengan yang lainnya.
b. Voluntary
Setiap orang yang mengambil bagian dalam proses mediasi harus sepakat
dan dapat memutuskan setiap saat apabila ia menginginkan mereka
tidak dapat memaksa untuk dapat menerima suatu hasil mediasi apabila
dia merasa hasil mediasi tidak menguntungkan atau memuaskan dirinya.
c. Confidential
Para pihak ingin merasa bebas untuk menyatakan apa saja dan menjadi
terbuka untuk kepentingan mediasi.
29
d. Fasilitative
Mediasi merupakan kreatifitas dan pendekatan pemecahan masalah
terhadap persoalan yang dihadapi dan bergantung pada mediator untuk
membantu para pihak mencapai kesepakatan dengan tetap dan tidak
dapat memihak (Muchamad Zainudin,2 :2008)
3. Dasar Hukum Mediasi
Dasar hukum mediasi adalah Undang-Undang No.4 Tahun 2004 pasal 16
ayat (2) tentang kekusaan kehakiman yang berbunyi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata
dengan cara perdamaian. Undang- Undang No 30 Tahun 1990 tentang
arbitrese dan alternatif penyelesaian sengketa, yang lebih mempertegas
keberadaan lembaga mediasi sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa.
Menurut ketentuan dari peraturan Mahkamah Agung bahwa setelah
dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan prosedur mediasi di Pengadilan
berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No 2 Tahun
2003 ternyata ditemukan beberapa permasalahan yang bersumber dari
Peraturan Mahkamah Agung Tersebut, sehingga Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia No 2 Tahun 2003 direvisi dengan maksud untuk lebih
mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses berperkara diPengadilan.
Sehingga PeraturanMahkamah agung No 2 Tahun 2003 diubah menjadi
Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di
Pengadilan (Perma No 1 Tahun 2008).
30
4. Tujuan Mediasi
Mediasi mempunyai suatu tujuan-tujuan. Adapun tujuan dari mediasi
adalah sebagai berikut:
1) Mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima oleh para
pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.
2) Merupakan sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan
perundingan atau negosiasi.
3) Mediasi lazimnya terjadi setelah para pihak yang bersengketa melakukan
negosiasi (dan gagal mencapai kesepakatan). Karena itu sering dinyatakan
bahan mediasi adalah merupakan suatu negosiasi dengan melibatkan
pihak ketiga yang memiliki pengetahuan tentang prosedur negosiasi
yang efektif dan berfungsi membantu para pihak yang bersengketa
mengkoordinasikan negoisinya agar berjalan efektif dan efisien.
Tujuan mediasi dalam hal ini dibagi menjadi dua bagian yaitu tujuan
utama dan tujuan tambahan. Yang dimaksud dengan tujuan utama yaitu
membantu mencarikan jalan keluar atau alternative penyelesaian atas sengketa
yang timbul diantara para pihak yang disepakati dan dapat diterima oleh para
pihak yang bersengketa.
Dengan demikian proses negosiasi adalah proses yang forward looking
dan bukan backward looking. Yang hendak dicapai bukanlah mencari
kebenaran dan atau dasar hukum yang diterapkan namun kepada penyelesaian
masalah.´ the goal is not truth finding or low imposing but problem
solving´(Lovenheim, 1996: 1.4).
31
Sedangkan untuk tujuan tambahan disini yaitu dengan melalui proses
mediasi diharapkan dapat dicapai terjalinnya komunikasi yang lebih baik
diantara para pihak yang bersengketa dan menjadikan para pihak yang
bersengketa dapat mendengar, memahami alasan atau penjelasan atau
argumentasi yang menjadi dasar atau pertimbangan pihak lain. Dengan adanya
pertemuan tatap muka, diharapkan dapat mengurangi rasa marah atau
bermusuhan antara pihak-pihak yang satu dengan yang lainnya´( Lovenheim,
1996: 1.4).
5. Proses Mediasi
Dalam suatu mediasi dijelaskan tentang tahap-tahap proses mediasi
sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung berlangsung No 1 Tahun 2008 pada
bab III pasal 13 tentang penyerahan resume perkara dan lama proses mediasi
sebagai berikut:
1) Dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah para pihak menunjuk
mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan
resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator.
2) Dalam waktu paling sedikit 5 hari kerja setelah para pihak gagal memilih
mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara
kepada hakim mediator yang ditunjuk.
3) Proses mediasi berlangsung paling lama 40 hari keja sejak mediator
dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim
sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (5) dan (6).
32
4) Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu proses mediasi dapat
dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi.
5) Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan
perkara.
6) Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat
dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi
Proses mediasi dalam hal ini di bagi menjadi dua tahap yaitu pra
mediasi dan tahap mediasi, yang mana sudah diatur dalam PERMA No 1
Tahun 2008 yaitu :
a. Pra Mediasi
Pada hari sidang yang telah ditentukan yang telah ditentukan oleh
kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk melakukan
mediasi. Kehadiran dari pihak turut Tegugat tidak menghalangi
pelaksanaan mediasi, sehingga hakim melalui kuasa hukum atau
langsung kepada para pihak mendorong para pihak untuk berperan
langsung atau aktif dalam proses mediasi.kuasa hukum para pihak
berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif
dalam proses mediasi. Hakim wajib menunda proses persidangan perkara
untuk memberikan kesempatan kepadan para pihak menempuh mediasi
dan hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam perma ini kepada
para pihak yang bersengketa
33
b. Tahap Mediasi
Ketika para pihak sepakat untuk melakukan proses mediasi, yang mana
para pihak berkehendak untuk mencapai kesepakatan penyelesaian atas
sengketanya. Mediasi akan berjalan dengan kondisi-kondisi sebagai
berikut :
1) Mediator adalah seorang fasilitator yang akan membantu para pihak
untuk mencapai kesepakatan yang dikehendaki oleh para pihak.
2) Mediator tidak memberi nasehat atau pendapat hukum.
3) Para pihak yang bersengketa dapat meminta pendapat par ahli baik
dari sisi hukum lainnya selama proses mediasi berlangsung.
4) Mediator tidak dapat bertindak sebagai penasehat hukum terhadap
salah satu pihak dalam kasus yang sama ataupun yang berhubungan
dan ia juga tidak dapat bertindak sebagai arbiter atau kasus yang sama.
5) Para pihak paham agar proses mediasi dapat berjalan dengan baik
maka diperlukan proses komunikasi yang terbuka dan jujur,
selanjutnya segala bentuk negosiasi dan pernyataan baik tertulis
maupun lisan yang dibuat dalam proses mediasi akan diperlukan
sebagai informasi yang bersifat tertutup dan rahasia
Kovach ( Kimberlee K Kovach dalam Suyud Margono, 2004 :64)
membagi proses mediasi ke dalam 9 tahapan berikut :
1) Penataan atau pengaturan awal.
2) Pengantar atau pembukuan oleh meditor,
3) Pernyataan pembukan oleh para pihak,
34
4) Pengumpulan informasi,
5) Identifikasi masalah, penyusunan agenda dan kaukus,
6) Membangkitkan pilihan-pilihan pemecahan masalah
7) Melakukan tawar-menawar,
8) Kesepakatan,
9) Penutupan,
D. Tinjauan Tentang Mediator
1. Pegertian Mediator
Pengertian Mediator menurut Muchammad Zainudin adalah pihak
ketiga yang terlibat dalam suatu proses negosiasi atas permintaan para pihak
secara sukarela dan harus bersikap netral (Muchammad Zainudin,2008 :4).
Menurut Peraturan Mahkmah Agung No 1 Tahun 2008 mediator adalah pihak
netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari
berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus
atau menyelesaikan sebuah penyelesaian (PERMA NO 1 TAHUN 2008).
2. Fungsi Mediator
Mediator sebagai penengah dalam suatu proses mediasi mempunyai
fungsi tersendiri sebagai seorang mediator. Fungsi yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
1) Memperbaiki kelancaran komunikasi antara para pihak yang biasanya
ada hambatan dan sekat-sekat pikologis.
35
2) Mendorong terciptanya suasana yang kondusif untuk memulai negosiasi
yang fair.
3) Secara tidak langsung mendidik para pihak atau memberi wawasan
tentang proses dan substansi negosiasi yang sedang berlangsung.
4) Mengklarifikasi masalah-masalah substansial dan kepentingan masing-
masing para pihak.
3. Peran mediator dalam proses mediasi
Berbagai peran mediator dalam proses mediasi secara deskripsi meliputi:
1) Mengontrol proses dan menegaskan aturan dasar.
2) Mempertahankan struktur dan momentum dalam negosiasi
3) Menumbuhkan dan mempertahankan kepercayaan diantara para pihak.
4) Menerangkan proses dan mendidik para pihak dalam komunikasi yang
baik.
5) Menguatkan suasana komunikasi.
6) Membantu para pihak untuk menghadap situasi dan keanyataan.
7) Memfasilitas creatif problem-solving diantara para pihak.
8) Mengakhiri proses bilamana sudah tidak lagi produktif.
Berkaitan dengan fungsi dan peran mediator yang sangat penting dalam
proses mediasi di Pengadilan Negeri, Mahkamah Agung diharapkan dapat
segera mengadakan pelatihan-pelatihan untuk para hakim di Pengadilan Negeri di
daerah-daerah, sehingga para hakim yang menjadi moderator mendapat wawasan
yang cukup untuk untuk melaksanakan mediasi, para hakim mediator diharapkan
untuk mempelajari lebih dalam mengenai mediasi.
36
Mengingat waktu yang digunakan untuk mediasi dengan moderator dari
dalam pengadilan hanya 22 hari, maka diharapkan para hakim mediator dapat
menyusun strategi yang tepat sehingga lebih bisa memanfaatkan waktu dengan
baik.
Dalam proses sebuah mediasi, mediator menjalankan peran untuk
menengahi para pihak yang bersengketa. Peran ini diwujudkan melalui tugas
mediator yang secara aktif membantu para pihak dalam memberi
pemahamannya yang benar tentang sengketa yang mereka hadapi dan
memberikan alternative, solusi yang terbaik bagi penyelesaian sengketa yang
harus dipatuhi. Prinsip ini kemudian menuntut mediator adalah orang yang
memiliki pengetahuan yang cukup luasa tentang bidang-bidang terkait yang di
persengketakan oleh para pihak (kabarbbas.wordpress.com). Selain itu peran
mediator adalah membantu para pihak untuk mencapai kesepakatan, antara lain
dengan cara penyampaian saran- saran substantif tentang pokok sengketa.
Menurut pendapat dari Gary Goodspaster dalam bukunya ”Panduan
Negosiasi dan Mediasi” menyimpulkan peran penting mediator adalah:
1) Melakukan diagnosa konflik
2) Indentifikasi masalah serta kepentingan-kepentingan kritis
3) Menyusun agenda
4) Mempelancar dan mengendalikan komunikasi
5) Mengajar para pihak dalam proses dan keterampilan tawarmenawar
6) Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting
7) Penyelesaian masalah untuk menciptakan pilihan-pilihan
37
8) Diagnosis sengketa untuk memudahkan penyelesian. (Gery Goodspaster,
1999:253).
BAB III
DISKRIPSI OBEK PENELITIAN
38
A. Diskripsi Wilayah Secara Umum
1. Wilayah
Penelitian ini di lakukan di Pengadilan Negeri Sleman yang berda pada
wilayah Administrasi kabupaten Sleman. Kabupaten Sleman, terletak di Daerah
Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Ibukota di Sleman. Kabupaten ini berbatasan
dengan Provinsi Jawa Tengah di utara dan timur, Kabupaten Gunung Kidul,
Kabupaten Bantul, dan Kota Yogyakarta di selatan, serta Kabupaten Kulon Progo
di barat. Sleman dikenal sebagai asal buah salak pondoh. Berbagai perguruan
tinggi yang ada di Yogyakarta sebenarnya secara administratif terletak di wilayah
kabupaten ini, diantaranya Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri
Yogyakarta, Universitas Islam Negeri (IAIN Sunan Kalijaga) Yogyakarta,
Universitas Islam Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Universitas
Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta, Universitas Atmajaya Yogyakarta,
dan STIE YKPN Yogyakarta.
Pusat pemerintahan di Kabupaten Sleman, yang berada di jalur utama
antara Yogyakarta - Semarang. Dengan Pendapatan Asli Daerah Rp.
52.978.731.000,- (2005) Kabupaten Sleman merupakan Kabupaten Terkaya di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bagian utara kabupaten ini merupakan
pegunungan, dengan puncaknya Gunung Merapi di perbatasan dengan Jawa
Tengah, salah satu gunung berapi aktif yang paling berbahaya di Pulau Jawa.
Sedangkan di bagian selatan merupakan dataran rendah yang subur. Di antara
sungai-sungai besar yang melintasi kabupaten ini adalah Kali Progo (membatasi
39
kabupaten Sleman dengan Kabupaten Kulon Progo), Kali Code, dan Kali Tapus
(sumber: Wikipedia Indonesia).
Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Sleman, berbatas:
1. Sebelah Utara : Gunung Merapi
2. Sebelah Timur : PN. Klaten (Kabupaten Klaten)/PN. Boyolali
(Kabupaten Boyolali)
3. Sebelah Selatan : PN. Yogyakarta (Kota Yogyakarta)/ Bantul
(Kabupaten Bantul)
4. Sebelah Barat : PN Mungkid (Kabupaten Magelang)/PN.
Wates (Kabupaten Kulon Progo).
2. Sejarah
Keberadaan Kabupaten Sleman dapat dilacak pada Rijksblad No. 11
Tahun 1916 tanggal 15 Mei 1916 yang membagi wilayah Kasultanan Yogyakarta
dalam 3 Kabupaten, yakni Kalasan, Bantul, dan Sulaiman (yang kemudian disebut
Sleman), dengan seorang bupati sebagai kepala wilayahnya. Dalam Rijksblad
tersebut juga disebutkan bahwa kabupaten Sleman terdiri dari 4 distrik yakni :
Distrik Mlati (terdiri 5 onderdistrik dan 46 kalurahan), Distrik Klegoeng (terdiri 6
onderdistrik dan 52 kalurahan), Distrik Joemeneng (terdiri 6 onderdistrik dan 58
kalurahan), Distrik Godean (terdiri 8 onderdistrik dan 55 kalurahan). Berdasarkan
Perda No.12 Tahun 1998, tanggal 15 Mei tahun 1916 akhirnya ditetapkan sebagai
hari jadi Kabupaten Sleman.
40
Menurut Almanak, hari tersebut tepat pada Hari Senin Kliwon, Tanggal 12
Rejeb Tahun Je 1846 Wuku Wayang.Beberapa tahun kemudian Kabupaten
Sleman sempat diturunkan statusnya menjadi distrik di bawah wilayah Kabupaten
Yogyakarta. Dan baru pada tanggal 8 April 1945, Sri Sultan Hamengkubuwono
IX melakukan penataan kembali wilayah Kasultanan Yogyakarta melalui
Jogjakarta Koorei angka 2 (dua). Penataan ini menempatkan Sleman pada status
semula, sebagai wilayah Kabupaten dengan Kanjeng Raden Tumenggung
Pringgodiningrat sebagai bupati. Pada masa itu, wilayah Sleman membawahi 17
Kapenewon/Kecamatan (Son) yang terdiri dari 258 Kalurahan (Ku). Ibu kota
kabupaten berada di wilayah utara, yang saat ini dikenal sebagai desa Triharjo.
Melalui Maklumat Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5
tahun 1948 tentang perubahan daerah-daerah Kelurahan, maka 258 Kelurahan di
Kabupaten Sleman saling menggabungkan diri hingga menjadi 86 kelurahan/desa.
Kelurahan/Desa tersebut membawahi 1.212 padukuhan (sumber: Wikipedia
Indonesia).
3. Sosial Budaya
Penduduk Kabupaten Sleman sebagian merupakan pendatang dari
berbagai daerah maupun propinsi, ini disebabkan Kabupaten Sleman memiliki
banyak perguruan tinggi, khususnya Universitas Gajah Mada dan tempat-tempat
wisata. Sehingga masyarakat Kabupaten Sleman bisa digolongkan menjadi
masyarakat perkotaan, pedesaan dan pegunungan. Namun ini tidak menjadikan
masyarakat Kabupaten Sleman menjadi terpecah-pecah tetapi tetap menjunjung
persatuan dan tidak meninggalkan tradisi yang sudah ada sejak dulu misalnya
41
gotong-royong, kesenian daerah, upacara adat dll. Ini bisa dibuktikan dengan
keadaan penduduk Kabupaten Sleman yang senantiasa tercipta kondisi yang aman
dan nyaman. Kabupaten Sleman sendiri merupakan Kabupaten yang paling
menonjol di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
B. Diskripsi Lembaga Secara Umum
1. Sejarah Lembaga
Awal berdirinya Pengadilan Negeri sleman tahun 1972 yang pada waktu itu
terletak di jalan Magelang Km. 5 dusun Kuru Tegal Kelurahan Sinduadi Mlati
Sleman, dan menyewa pada rumah penduduk yaitu di rumah Orang tua Bapak
Wandi, hal ini berlangsung sampai dengan tahun 1976.
Pada hari selasa kliwon tanggal 3 agustus 1976 gedung Pengadilan negeri
Sleman diresmikan berdiri diatas tanah seluas 2730 M2 yang terletak di jalan
Beran (sekarang jl. Merapi), Kelurahan Tridadi, Kecamatan Sleman, Yang kala itu
menempati Gedung seluas 500 M2 yang terdiri dua lantai dimana hanya ada dua
ruang sidang (ruang sidang atas dan ruang sidang bawah)dan diresmikan oleh
Direktur Jenderal Pembinaan Badan Peradilan umum Departemen Kehakiman
Bapak SOEROTO.,SH, dengan didukung 20 orang personel dengan ketua pada
saat itu Bapak OEMAR SANUSI.,SH, Panitera Bapak SOEPONO,BcHK; dan 5
orang hakim.
Sebelum Tahun 1972 wilayah hukum Pengadilan Negeri Sleman masih bergabung
menjadi satu dengan wilayah hukum Pengadilan Negeri Yogyakarta yang pada
saat itu Pengadilan Negeri Yogyakkarta terletak di Jln. Trikora (sekarang untuk
kantor BAPAS).
42
Dengan diresmikannya Gedung Pengadilan Negeri Sleman pada Tahun
1976, maka wilayah Hukum Pengadilan Negeri Sleman adalah seluruh wilayah
Kabupaten sleman yang terdiri dari 86 Kelurahan/desa; 17 kecamatan yang
menjadi cakupan wilayah hukum Pengadilan Negeri sleman sampai dengan
sekarang.
Perjalanan Pengadilan Negeri Sleman sejak 1972 - 1976 (peresmian),
sampai dengan saat ini mengalami perkembangan-perkembangan yang mengarah
pada suatu kemajuan baik dilihat dari segi fisik gedung.Sejak 1976 telah dan
selalu mengalami perubahan, diman pada tahun 1978 ada perluasan penambahan
gedung seluas 222 M2, yaitu ada penambahan 1 Ruang sidang dan Ruang Panitera
Pengganti;pada tahun 1983 ada perluasan gedung lagi yaitu dibangunnya gedung
sebelah barat satu lantai seluas 550 M2, sehingga terdapat empat ruang sidang dan
pada saat itu Klas Pengadilan Negeri Sleman adalah klas II, hal ini berlangsung
sampai dengan tahun 1999, dan pada tahun 1999 Pengadilan Negeri Sleman
diusulkan untuk kenaikan klas oleh ketua Pengadilan Negeri Sleman pada waktu
itu Bapak HARJOTO,SH, dan sesuai SK Menkeh RI no : 03.AT.01.05.TH 1999
Pengadilan Negeri Sleman menjadi Pengadilan Negeri Klas IB dan diresmikan
pada bulan Juli Tahun 2000.
Dalam perjalanan perkembangan fisik gedung Pada Tahun 2007, fisik
gedung telah menyesuaikan dengan rencana Prototype gedung peradilan sesuai
ketetapan Mahkamah Agung RI dan disempurnakan dalam tahun anggaran 2012
dan tahun 2012 sehingga gedung Pengadilan Negeri Sleman sempurna sesuai
Prototype yang ditentukan.
43
2. Tugas Pokok Dan Dungsi
Pengadilan Negeri Sleman selaku salah satu kekuasaan kehakiman di
lingkungan Peradilan Umum mempunyai tugas dan kewenangan sebagaimana
disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, dalam Pasal 50
menyatakan : Pengadilan Negeri bertugas dan berwewenang memeriksa, memutus
dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama, dalam
Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan : Pengadilan dapat memberikan
keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum kekpada instansi
pemerintah didaerahnya, apabila diminta dan selain bertugas dan kewenangan
tersebut dalam Pasal 50 dan 51, Pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan
lain atau berdasarkan Undang-Undang.
3. Prosedur Beracara Perdata di PN. Sleman
a. Para Pihak
Dalam perkara perdata setidaknya ada 2 (dua) pihak, yakni pihak
Penggugat dan pihak Tergugat. Tetapi dalam hal-hal tertentu secara kasuistis ada
pihak Turut Tergugat. Penggugat adalah orang atau pihak yang merasa dirugikan
haknya oleh orang atau pihak lain (Tergugat). Tergugat adalah orang atau pihak
yang dianggap telah merugikan hak orang atau pihak lain (Penggugat), sedangkan
Turut Tergugat adalah orang atau pihak yang tidak berkepentingan langsung
dalam perkara tersebut, tetapi ada sangkut pautnya dengan pihak atau obyek
perkara yang bersangkutan.
44
Selain pihak Penggugat, Tergugat dan Turut Tergugat dalam hal-hal
tertentu secara kasuistis terdapat pihak ketiga yang berkepentingan yang turut
campur atau mencampuri (intervensi) ke dalam sengketa yang sedang berlangsung
antara Penggugat dan Tergugat, dalam bentuk voeging (menyertai), tussenkomst
(menengahi) dan vrijwarin garantie (penanggungan/pembebasan).
Baik Penggugat, Tergugat, Turut Tergugat maupun Pihak Ketiga yang
berkepentingan, kesemuanya merupakan subyek hukum yang terdiri dari orang
perseorangan (natuurlijk persoon) dan badan hukum (rechtspersoon).
b. Pembuatan dan Penyusunan Surat Gugatan
Surat gugatan merupakan dasar bagi hakim untuk memeriksa, mengadili
dan memutus perkara perdata, oleh karena itu surat gugatan tidak boleh cacat
hukum, atau dengan kata lain surat gugatan haruslah sempurna. Surat gugatan
yang tidak sempurna berakibat tidak menguntungkan bagi pihak Penggugat,
karena hakim akan menjatuhkan putusan bahwa gugatan dinyatakan tidak dapat
diterima (niet onvankelijk verklaard).
HIR maupun R.Bg hanya mengatur tentang cara mengajukan gugatan,
sedangkan tentang persyaratan mengenai isi gugatan tidak mengaturnya.
Persyaratan mengenai isi gugatan dapat diketemukan dalam Pasal 8 No.3 Rv yang
pada pokoknya berisikan :
1) Identitas Para Pihak
45
Di dalam surat gugatan harus diuraikan secara jelas, tegas dan lengkap
identitas dari masing-masing pihak, baik Penggugat, Tergugat maupun Turut
Tergugat, yang menyangkut tentang nama lengkap, jenis kelamin, usia, agama,
pekerjaan dan alamat tempat tinggal (domicili). Kesalahan dalam menentukan
identitas pihak dapat berakibat gugatan salah alamat (error in subjecto)
2) Posita/Fundamentum Petendi
Posita atau fundamentum petendi adalah uraian-uraian yang menjadi dasar
dan alasan diajukannya gugatan maupun tuntutan. Penggugat dalam menyusun
gugatan harus menguraikan secara jelas tentang obyek sengketa, hubungan hukum
(korelasi yuridis) antara subyek dan obyek sengketa, alas hak yang dijadikan dasar
dan alasan untuk menuntut obyek sengketa, kerugian-kerugian yang timbul (bila
ada) harus diperinci. Surat gugatan yang disusun secara tidak jelas atau kabur
(obscuur libel), berakibat hakim akan menjatuhkan putusan bahwa gugatan
dinyatakan tidak dapat diterima
3) Tuntutan (Petitum)
Tuntutan atau petitum adalah segala sesuatu yang oleh Penggugat diminta
(dituntut) dan diharapkan akan dikabulkan dalam putusan hakim. Oleh karena itu
tuntutan yang diajukan oleh Penggugat harus jelas dan tegas dengan mendasarkan
pada posita yang ada. Berdasarkan Pasal 178 HIR, hakim dalam putusannya
dilarang mengabulkan hal-hal yang tidak dituntut oleh Penggugat (Asas Ultra
Petita).
46
c. Penandatanganan Surat Gugatan
Surat gugatan yang telah dibuat dan disusun oleh Penggugat harus
ditandatangani sendiri oleh Penggugat atau Kuasa Hukumnya, apabila Penggugat
bermaksud mewakilkan kepada orang lain. Surat gugatan tidak perlu dibubuhi
meterai, oleh karena berdasarkan Pasal 164 HIR, surat gugatan bukan merupakan
alat bukti, tetapi justru nantinya yang harus dibuktikan di persidangan. Meterai
diperlukan untuk pengajuan alat bukti tertulis (surat), artinya terhadap alat bukti
tertulis (surat) yang akan diajukan sebagai alat bukti di persidangan, harus difoto
copy kemudian ditempeli meterai 6000 dan ditandatangani oleh pejabat pos yang
berwenang untuk itu (nachzegelen).
Apabila Penggugat bermaksud mewakilkan kepada orang lain, maka
pembuatan atau penyusunan dan penandatanganan surat gugatan dapat dilakukan
oleh orang lain yang ditunjuk atas dasar pemberian kuasa. Surat yang dipakai
dasar bagi Penggugat atau Tergugat/Turut Tergugat untuk mewakilkan kepada
orang lain yang ditunjuk dalam penanganan perkara perdata disebut surat kuasa
khusus.
Orang lain yang ditunjuk oleh Penggugat atau Tergugat/Turut Tergugat
untuk mewakili kepentingannya di pengadilan dibedakan antara yang memiliki
hubungan keluarga dengan Penggugat atau Tergugat/Turut Tergugat dan yang
tidak memiliki hubungan keluarga. Orang lain yang memiliki hubungan keluarga
dengan Penggugat atau Tergugat/Turut Tergugat dan ditunjuk untuk mewakili
kepentingan Penggugat atau Tergugat/Turut Tergugat di pengadilan berkedudukan
sebagai pemegang atau penerima kuasa dan kuasa yang telah diterima tersebut
47
dinamakan kuasa insidentil. Sedangkan orang lain yang tidak memiliki hubungan
keluarga dengan Penggugat atau Tergugat/Turut Tergugat, berdasarkan UU No.18
tahun 2003, Tentang Advokat yang boleh bertindak untuk mewakili kepentingan
Penggugat atau Tergugat/ Turut Tergugat hanya Advokat.
d. Biaya Perkara
Berperkara di pengadilan pada asasnya dikenakan biaya perkara, kecuali bagi
mereka yang termasuk golongan tidak mampu yang dibuktikan dengan surat
keterangan tidak mampu dari pejabat yang berwenang untuk itu (Kepala
Desa/Lurah dan direkomendasi oleh Camat) dapat berperkara secara Cuma-Cuma
(prodeo).
Adapun biaya perkara yang harus dipersiapkan dan dibayar oleh Penggugat atau
melalui Kuasa/Kuasa Hukumnya meliputi:
1) panjar atau porskot biaya perkara (gugatan)
2) biaya peletakan sita jaminan (conservatoir beslag), bila diminta/diajukan
biaya Pemeriksaan Obyek Sengketa (Pemeriksaan Setempat), apabila yang
menjadi obyek sengketa berupa benda tetap/tidak bergerak.
e. Tahap Pengajuan dan Pendaftaran Surat Gugatan
Surat gugatan yang telah ditandatangani oleh Penggugat atau Kuasa
Hukumnya dimasukkan untuk didaftarkan di Kepaniteraan Perdata Pengadilan
Negeri yang memiliki yurisdiksi (kompetensi absolut dan relatif) untuk
memeriksa, mengadili dan memutus perkara (sengketa) yang diajukan dan
sekaligus mendaftarkan surat kuasa khusus, apabila dalam perkara tersebut
48
Penggugat mewakilkan kepada orang lain, baik kuasa insidentil ataupun kuasa
yang diberikan oleh Advokat, dengan membayar biaya panjar perkara dan biaya
pendaftaran surat kuasa
Penggugat atau Kuasa Hukumnya menerima SKUM (Surat Kuasa Untuk
Membayar) dan kwitansi pembayaran panjar perkara dari Bendahara Pengadilan
Negeri yang bersangkutan
Penggugat atau Kuasa Hukumnya menerima kembali 1 (satu) bendel surat
gugatan yang telah dibubuhi Nomor Register Perkara yang telah diparaf oleh
Panitera Kepala atau pejabat lain yang ditunjuk untuk itu.
f. Tahap Persidangan
Ketua Pengadilan Negeri setelah membaca surat gugatan dan kelengkapan
berkas lainnya, menunjuk dan menetapkan Majelis Hakim yang akan memeriksa,
mengadili dan memutus perkara yang bersangkutan. Kemudian Panitera Kepala
menunjuk dan menetapakan Panitera Pengganti dalam perkara yang bersangkutan
yang bertugas mencatat semua fakta persidangan dalam Berita Acara Sidang.
Majelis Hakim yang telah ditunjuk dan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri
menetapkan hari sidang pertama dan memerintahkan Panitera Kepala untuk
memanggil pihak-pihak dalam perkara tersebut
Panitera Kepala memerintahkan Jurusita Pengganti untuk melakukan
pemanggilan terhadap para pihak dalam perkara tersebut (Penggugat,
Tergugat/Turut Tergugat) agar hadir pada hari, tanggal dan waktu sebagaimana
yang terurai dalam Surat Panggilan (Relaas) tersebut.
49
Jurusita Pengganti menyampaikan Surat Panggilan Sidang kepada
Penggugat atau Kuasa Hukumnya dan Tergugat maupun Turut Tergugat dengan
disertai surat gugatan. Surat Panggilan tersebut dapat disampaikan melalui Kepala
Desa atau Lurah setempat, bila pihak yang dipanggil tidak ada di tempat, dengan
permintaan agar Kepala desa atau Lurah tersebut meneruskan dan menyampaikan
Surat Panggilan tersebut kepada pihak yang tidak ada di tempat tersebut.
Pada hari, tanggal dan waktu sebagaimana terurai dalam Surat Panggilan
yang telah diterima oleh para pihak, Majelis Hakim yang telah ditunjuk dan
ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri membuka sidang dan mempersilahkan
para pihak memasuki ruang sidang. Apabila ada pihak yang belum hadir, maka
melalui Panitera Pengganti memerintahkan Jurusita Pengganti untuk memanggil
lagi pihak yang tidak hadir. Pada sidang berikutnya setelah para pihak dalam
perkara tersebut hadir semua (lengkap), ataupun ada pihak yang tidak hadir tanpa
dasar dan alasan yang sah, walaupun telah dipanggil secara patut, layak dan
cukup, maka para pihak melalui majelis hakim tersebut sepakat untuk memilih
dan menentukan mediator untuk melakukan mediasi.
g. Sidang Mediasi
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan
untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
Prosedur mediasi diatur dalam PERMA No.1 Tahun 2008 yang mewajibkan setiap
perkara gugatan yang diajukan ke Pengadilan pada saat sidang pertama yang
dihadiri kedua belah pihak Penggugat dan Tergugat untuk menempuh upaya
damai melalui mediator.
50
Jangka waktu untuk menyelesaikan sengketa dengan mediasi melalui
mediator selama 40 hari dan dapat diperpanjang selama 14 hari atas permintaan
para pihak . Mediator dapat dipilih oleh para pihak dari daftar mediator yang telah
bersertifikasi dan memilih tempat pertemuan diluar gedung Pengadilan Negeri
sesuai kesepakatan atas biaya para pihak. Apabila tidak ada mediator bersertifikasi
di luar Pengadilan Negeri, para pihak dapat memilih mediator di Pengadilan
Negeri yang telah ditunjuk dan sesuai ketentuan PERMA No.1 Tahun 2008 dapat
dipilih salah satu Hakim Anggota Majelis sesuai kesepakatan para pihak.
Apabila tercapai kesepakan perdamaian maka kedua belah pihak dapat
mengajukan rancangan draf perdamaian yang nantinya disetujui dan ditanda
tangani kedua belah pihak untuk dibuatkan Akta Perdamaian yang mengikat
kedua belah pihak untuk mematuhinya dan melaksanakannya. Jika dalam proses
mediasi para pihak diwakili kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara
tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai. Dan sengketa keduabelah
pihak berakhir dengan perdamaian.
Sebaliknya jika mediator tidak berhasil mencapai kesepakatan damai bagi
kedua belah pihak, maka dengan disertai Berita Acara tentang tidak tercapainya
perdamaian, mediator melalui Panitera Pengganti mengembalikan dan
menyerahkan kembali Berkas Perkara tersebut kepada Majelis Hakim.
Selanjutnya Majelis Hakim memerintahkan para pihak atau Kuasa Hukumnya
untuk hadir pada sidang berikutnya guna dilanjutkan pemeriksaan terhadap
perkara yang bersangkutan dengan membacakan gugatan, jawaban, replik duplik,
pembuktian, pemeriksaan obyek sengketa (pemeriksaan setempat) bilamana
51
obyek sengketanya benda tetap dan dipandang perlu, kesimpulan dan putusan.
Walaupun mediator tidak berhasil mendamaikan para pihak, dalam proses
pemeriksaan perkara selanjutnya Majelis Hakim tetap memberikan kesempatan
para pihak untuk menyelesaikan sengketanya secara damai sesuai ketentuan pasal
130 HIR
h. Sidang Lanjutan Dalam Hal Perdamaian Tidak Tercapai
1) Persidangan Tanpa Kehadiran Tergugat
Pada hari persidangan yang telah ditetapkan ternyata Tergugat atau Para Tergugat
tidak hadir tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil dengan patut dan sah,
tidak juga menunjuk seorang kuasa untuk hadir mewakilinya, maka sidang
dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan tanpa kehadiran Tergugat dengan
terlebih dahulu menanyakan kepada penggugat apakah ada perubahan terhadap
gugatannya atau tetap pada gugatan yang telah diajukannya tersebut
a. Pembuktian Pihak Penggugat
Karena Tergugat tidak hadir di persidangan meskipun telah dipanggil
dengan patut dan sah maka Tergugat dianggap tidak menggunakan hak-
haknya untuk menjawab atau membantah semua dalil-dalil gugatan
Penggugat, sehingga proses penyelesaian perkara berjalan sepihak
(contradictoir), tidak ada jawab menjawab, replik, duplik, dan
pemeriksaan langsung dilanjutkan dengan acara pembuktian, berupa
pengajuan alat bukti, yakni bukti-bukti tertulis atau surat berupa foto copy
dicocokkan dengan aslinya, dibubuhi meterai cukup diberi tanda sesuai
52
jumlah surat bukti yang diajukan misalnya P.1 s/d P.10. Selain bukti
berupa surat tersebut, dapat diajukan pula bukti saksi dan ahli sesuai
kebutuhan untuk membuktikan posita gugatan Penggugat.
b. Putusan Verstek
Pasal 125 HIR/149 R.Bg, menentukan bahwa apabila pada hari sidang
yang telah ditentukan, Tergugat tidak hadir dan lagi pula tidak menyuruh
orang lain untuk hadir sebagai wakilnya, padahal ia telah dipanggil dengan
patut maka gugatan itu diterima dengan putusan di luar hadirnya Tergugat
(verstek), kecuali kalau ternyata Pengadilan Negeri berpendapat bahwa
gugatan Penggugat tersebut bersifat melawan hak atau tidak beralasan
hukum. Apabila gugatan Penggugat diterima dan dikabulkan, maka atas
perintah Ketua Pengadilan Negeri diberitahukan isi putusan itu kepada
Tergugat yang dikalahkan dan diterangkan kepadanya bahwa Tergugat
berhak mengajukan perlawanan (verzet) dalam tempo 14 hari setelah
menerima pemberitahuan. Jika putusan itu tidak diberitahukan kepada
Tergugat sendiri, perlawanan masih diterima sampai pada hari ke 8
sesudah peneguran (anmaning) seperti yang tersebut dalam pasal 196
HIR/207 R.Bg atau dalam hal tidak hadir sesudah dipanggil dengan patut,
sampai pada hari ke 14 (R.Bg) dan hari ke 8(HIR) sesudah dijalankan surat
perintah seperti tersebut dalam pasal 208 R.Bg/197 HiR. Jika telah
dijatuhkan putusan verstek untuk kedua kalinya,maka perlawanan
selanjutnya yang diajukan oleh Tergugat tidak dapat diterima.
2) Persidangan Dengan Dihadiri Oleh Para Pihak
53
Dengan tidak tercapainya perdamaian melalui mediasi, persidangan
dilanjutkan dengan pembacaan gugatan dan Tergugat ataupun Turut tergugat
mengajukan Jawaban yang isinya dapat berupa
Tuntutan Provisionil
a. Eksepsi atau tangkisan
b. Jawaban mengenai pokok perkara d. Gugatan Balik (Rekonpensi)
c. Permohonan petitum putusan.
Eksepsi atau tangkisan mengenai kompetensi (kewenangan) relatif harus diajukan
segera pada permulaan persidangan dan tidak akan diperhatikan kalau Tergugat
telah menjawab pokok perkaranya. Untuk eksepsi kompetensi (kewenangan)
absolute dapat diajukan setiap saat dalam pemeriksaan perkara itu dan hakim
karena jabatannya secara ex officio harus pula menyatakan bahwa tidak
berwenang mengadili perkara tersebut. Setelah Tergugat mengajukan jawabannya
dan selanjutnya pengajuan
Replik oleh Penggugat dan Duplik oleh Tergugat, hakim akan meneliti
secara seksama apabila diajukan eksepsi tentang kewenangan mengadili yang
bersifat relatif atau absolut, akan terlebih dahulu diputus dengan putusan sela,
sebelum memeriksa pokok perkaranya. Apabila eksepsi tersebut beralasan hukum
dan Pengadilan Negeri menyatakan tidak berwenang mengadili maka pemeriksaan
pokok perkaranya tidak dilanjutkan dan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima,
sebaliknya jika eksepsi tidak beralasan hukum dan ditolak maka pemeriksaan
pokok perkara dilanjutkan dengan pembuktian dari Pihak Penggugat dan Tergugat
maupun Turut Tergugat, baik berupa bukti tertulis (surat) maupun bukti saksi, ahli
54
dan bilamana dipandang perlu dilakukan pemeriksaan terhadap obyek sengketa
(Pemeriksaan setempat), apabila obyek sengketanya berupa benda tidak bergerak
atau benda tetap.
Apabila dari serangkaian tahapan atau proses jawab- menjawab, Replik,
Duplik dan pembuktian dari masing- mamsing pihak telah selesai, maka para
pihak mengajukan dapat mengajukan kesimpulan dan pada akhirnya mohon
putusan.
Apabila Penggugat mampu membuktikan seluruh dalil-dalil gugatannya
maka gugatan Penggugat akan dikabulkan seluruhnya dan apabila terbukti
sebagian, maka gugatan Penggugat akan dikabulkan sebagian serta menolak
gugatan selain dan selebihnya. Sebaliknya apabila Tergugat mampu mematahkan
dalil-dalil gugatan Penggugat, maka gugatan Penggugat akan ditolak seluruhnya.
Demikian pula apabila gugatan Penggugat kabur dan secara formil tidak
memenuhi syarat, maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk
verklaard).
55
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Mediasi di P.N Sleman
1. Proses Mediasi ( Telaah Kasus )
Dalam penelitian ini peneliti mengambil sampel dari perkara perdata di
Pengadilan Negeri Sleman yaitu perkara dengan No register : 49/ Pdt. G / 2008 /
PN.Slmn. Dari telaah terhadap perkara tersebut penulis membandingkan dengan
aturan formal yang berlaku yaitu HIR, Rbg dan Perma No1. Tahun 2008,
sehingga dari pembandingan tersebut dapat di ketahui bagaimana pelaksanaan
mediasi di laksanakan di Pengadilan Negeri Sleman di lakukan dan apakah ada
kesesuaian antara pelaksanaan ( Das Sein ) dengan aturan ( Das Solen ).
Guna memperoleh data pelaksanaan mediasi pada perkara No register :
49/ Pdt. G / 2008 / PN.Slmn, penulis melakukan wawancara dengan
Indaryanti,S.H. Kepala Bagian Hukum Pengadilan Negeri Sleman. Dari hasil
wawancara tersebut di terangkan proses mediasi yang di lakukan pada perkara
tersebut dengan berdasarkan dari risalah sidang, akan tetapi dalam hal ini penulis
tidak dapat mendapatkan dokumen tersebut karena tidak untuk di publikasikan,
pihak Pengadilan Negeri Sleman hanya bisa memberikan dokumen berupa Surat
Penetapan Mediator, Laporan Hasil Mediasi dan Akta Perdamaian Hasil Mediasi.
Perkara ini di awali dengan masuknya surat gugatan ke pengadilan Negeri
Sleman kemudian setelah di teliti mengenai syarat formalnya di Register oleh
Pengadilan Negeri Sleman dengan Nomor Register 49/ Pdt. G / 2008 /
56
PN.Slmn.Untuk selanjutnya di lakukan pemeriksaan awal oleh Hakim Pemeriksa.
Kronologi prosesnya adalah sebagai berikut
a. Tahap Pra Mediasi
Pada tahap ini peroleh data tentang pokok – pokok proses mediasi pada
perkara No. Register 49/ Pdt. G / 2008 / PN.Slmn . Kronologi prosesnya adalah
sebagai berikut :
a. Gugatan perkara perdata dengan No register : 49/ Pdt. G / 2008 / PN.Slmn
di masukan dengan tanggal 15 mei 2008, para pihak berdomisili hukum
di wilayah kabupaten Sleman, surat gugatan tersebut di terima dan di
register oleh Pengadilan Negeri Sleman pada tanggal 21 mei 2008 dengan
No register 49/ Pdt. G / 2008 / PN.Slmn
b. Setiap perkara perdata yang masuk di Pengadilan Negeri Sleman sebelum
memasuki proses persidangan Hakim pemeriksa wajib menganjurkan para
pihak untuk melakukan mediasi terlebih dahulu.
c. Hakim pemeriksa perkara No. 49 / Pdt.G/2008/PN.Slmn menerangkan
pada kedua belah pihak, bahwa setiap penyelesaian sengketa perdata harus
melalui mediasi terlebih dahulu. Majelis hakim juga menjelaskan bahwa
untuk penetapan mediator hanya dibutuhkan waktu paling lama dua hari
kerja.
d. Dalam hal penunjukan dan penetapan mediator Ketua Majelis Hakim
menjelaskan bahwa Pengadilan Negeri Sleman menyediakan mediator -
mediator yang nantinya dapat dipergunakan untuk membantu proses
penyelesaian perkara perdata dengan cara mediasi.
57
e. Majelis Hakim memberikan penjelasan bahwa untuk mediator dapat
dipilih sendiri dari luar Pengadilan atau dari dalam Pengadilan,untuk
mediator dari dalam Pengadilan, yang menentukan adalah Majelis Hakim.
f. Apabila para pihak ingin menggunakan mediator dari dalam Pengadilan
Negeri Sleman, maka para pihak tidak dipungut biaya sama sekali
sedangkan apabila para pihak menggunakan mediator dari luar Pengadilan
Negeri Sleman maka para pihak dipungut biaya sesuai dengan perkara
yang ditangani. Para pihak diberi pilihan oleh Majelis Hakim apakah untuk
mediator akan ditentukan sendiri atau menggunakan mediator yang sudah
ditentukan oleh Majelis Hakim .
g. Majelis hakim menerangkan bahwa nama – nama Mediator Pengadilan
Negeri Sleman dapat di lihat di daftar Hakim Mediator apabila para pihak
ingin menggunakan mediator dari dalam Pengadilan Negeri Sleman.
h. Pada saat hari sidang yang telah ditentukan ternyata para pihak tidak dapat
memilih mediator, maka para pihak melaporkan kegagalanya kepada
majelis hakim dan para pihak meminta agar majelis hakim dapat
membantu dalam memilih mediator.
i. Majelis Hakim menanyakan lagi, untuk mediator apakah akan di tentukan
sendiri atau dipilih oleh Ketua Majelis Hakim. Para pihak sepakat untuk
menyerahkan semuanya kepada Hakim Pemeriksa termasuk dalam
memilih mediator yang sudah ditentukan oleh Majelis Hakim.
j. Pada hari sidang berikutnya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman
menetapkan Riyanto A, SH. (Hakim Pengadilan Negeri Sleman) sebagai
58
mediator dalam menangani perkara perdata Nomor : 49 /
Pdt.G/2008/PN.Slmn. Untuk selanjutnya hakim pemeriksa menyerah
resume perkara kepada Hakim Mediator yang telah di tunjuk.
k. Majelis Hakim memperkenalkan sdr Riyanto A,SH. kepada kedua belah
pihak sebagai mediator dalam pokok perkara Nomor:49/Pdt.G/2008/PN.
Slmn untuk menyelesaikan sengketa.
l. Majelis hakim memberikan penjelasan bahwa batas waktu yang diberikan
untuk proses mediasi adalah empat puluh hari kerja, kemudian setelah
empat puluh hari kerja majelis hakim langsung menentukan hari sidang
untuk mendengarkan laporan dari mediator. Majelis Hakim setelah selesai
memberikan penjelasan kemudian menyerahkan perkara tersebut ke
mediator sepenuhnya untuk diusahakan perdamaian melalui mediasi.
b. Tahap Proses Mediasi
Dalam tahap ini resume dan berkas perkara di serahkan kepada mediator
untuk di lakukan proses mediasi, dalam hal ini Hakim pemeriksa tidak lagi
terlibat dalam proses mediasi hingga mediator menyerahkan laporan mediasi yang
di lakukan dengan tenggat waktu sesuai yang telah di tetapkan.
Dalam menindaklanjuti hal ini Hakim mediator telah melakukan proses
mediasi sebagai berikut :
1) Proses Penentuan Jadwal Pertemuan
Dalam hal ini pertemuan dibuat dalam rangka pelaksanaan mediasi,
pertemuan di sepakati di lakukan di ruang mediasi Pengadilan Negeri
59
Sleman dan para pihak di berikan penjelasan bahwa petemuan ini tidak
boleh melebihi dari 40 hari kerja. Proses mediasi harus selesai paling lama
40 hari kerja. Hal ini seseuai dengan Peraturan Mahkamah Agung No 1
Tahun 2008 pasal 15 ayat (1) yang berbunyi Mediator wajib
mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk
dibahas dan disepakati. Dari hasil kesepakatan antara mediator dan para
pihak, maka telah disepakati untuk mengadakan suatu pertemuan setiap
minggunya dan tidak boleh melebihi dari 40 hari kerja.
2) Melakukan Kaukus
Kaukus adalah suatu pertemuan yang dilakukan oleh mediator yang mana
pertemuan ini dilakukan secara terpisah antara Penggugat dan Tergugat.
Pertemuan ini dilakukan terpisah dan waktu yang berbeda karena untuk
mendengarkan pendapat dari kedua belah pihak. Pertemuan ini dilakukan
di ruangan yang sama yaitu ruang mediasi Pengadilan Negeri Sleman.
Mediator pada awalnya bertanya pada Penggugat permasalahan apa yang
sedang dihadapi saat ini. Dalam proses tersebut masing- masing pihak
menceritakan hal – hal yang terkait dengan perkara, hakim mendengarkan
para pihak dan memberikan saran penyelesaian dengan cara damai, dengan
memberikan penjelasan tentang kelebihan dan kelemahan penyelesaian
perkara dengan persidangan di pengadilan maupun dengan cara mediasi.
3) Mempertemukan Kedua Belah Pihak
Setelah terjadi kesepakatan para pihak melalui hakim Mediator. Hakim
mediator mempertemukan kedua pihak di ruangan mediasi P.N Sleman .
60
Dalam perkara ini pertemaun di lakukan sebanyak lima kali dengan
agenda mencari penyelesaian kasus sengketa tanah Nardi Sarjono sebagai
penggugat dengan Amat Rokimin sebagai tergugat yang di wakili oleh
kuasa hukum Banyu T Nugroho, SH. Dari beberapa kali pertemuan
tersebut akhirnya di sepakati cara damai oleh kedua belah pihak dan hasil
kesepakatan tersebut di serahkan kepada hakim mediator. Hasil dari
kesepakatan antara kedua belah pihak dibaca oleh mediator untuk
diperiksa apakah ada kesalahan dalam hasil kesepakatan tersebut. Apabila
ada suatu kesalahan maka mediator menjelaskan kesalahan apa yang ada
dalam kesepakatan tersebut. Mediator juga berorientasi sesuai dengan ilmu
pengetahuannya untuk menunjukan suatu hasil kesepakatan yang
sebenarnya yang ada dalam suatu proses penyelesaian sengketa dengan
cara mediasi, setelah para pihak mengetahui hasil kesepakatan yang benar
maka para pihak masing-masing menandatangani hasil kesepakatan
tersebut.
c. Melaporkan Hasil Mediasi
Mediator setelah menyelesaikan tugasnya dalam menyelesaikan mediasi
melaporkan hasil mediasi kepada Hakim Pemeriksa perkara perdata Nomor :
49/Pdt.G/2008/PN. Slmn, laporan tersebut berupa laporan tertulis, dan juga
melampirkan hasil kesepakatan kedua belah pihak yang telah ditanda tangani para
pihak. Apabila mediasi tersebut tidak berhasil maka tetap harus dilaporkan
kepada majelis hakim dalam memeriksa perkara tersebut dengan cara tertulis.
61
Sebelum memberikan laporan kepada majelis Hakim Pemeriksa mediator
memberikan penjelasan kepada para pihak jika mediasi gagal dilakukan, kedua
belah pihak masih bisa melakukan perdamaian dalam persidangan, Hasil laporan
mediator di kembalikan lagi kepada mediator untuk di musnahkan atau dapat juga
di jadikan arsip oleh hakim mediator.
Majelis hakim tidak tahu menahu tentang hasil laporan mediator sebelum
diserahkan ke majelis hakim. Dalam hal ini mediator tidak bisa menjadi saksi
dalam perkara yan ditangani dan tidak bisa di mintai pertanggung jawaban.
d. Akibat Hukum
Sebelum membacakan putusan Majelis Hakim menjelaskan kepada para
pihak bahwa perkara ini akan di putus dengan putusan damai setelah para pihak
bersepakat untuk melakukan perdamaian sebagaimana hasil laporan yang di
sampaikan oleh mediator.
Majelis Hakim juga menjelaskan akibat hukum dari putusan damai ini
yang pada pokoknya adalah sebagai berikut :
1) In Kracht Van Gewijsde (mempunyai kekuatan hukuk tetap)
Akta perdamaian yang mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu sama
dengan putusan hakim. Bagi para pihak diharuskan menyerahkan sesuatu
atau diharuskan untuk membayar suatu jumlah tertentu, apabila tidak mau
dengan sukarela memenuhi kewajiban hukumnya maka eksekusi dilakukan
menurut cara yang biasa. Biasanya hal ini ditunjukan dengan kata-kata
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
62
ESA”, dengan adanya kekuatan hukum tersebut apabila para pihak tidak
mau melaksanakan apa yang di perintahkan dalam suatu akta perdamaian
tersebut maka para pihak tersebut langsung mendapatkan sanksi berupa
eksekusi secara paksa (putusan dengan cara paksa). Hal ini berarti apabila
hasil dari suatu mediasi tidak di buatkan suatu akta perdamaian maka salah
satu pihak tersebut jelas tidak mau melaksanakannya dengan cara sukarela.
Oleh sebab itu mediator Pengadilan Negeri Sleman mengupayakan dan
mendorong agar para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan
perkara ini secara damai, maka hasil perdamaian tersebut dicatat dalam
akta perdamaian dan kemudian dilakukan suatu tindakan mediasi yang
dilakukan oleh majelis hakim yang memeriksa parkara tersebut.
2) Tidak dapat di ajukan gugatan baru
Apabila dalam hal ini akta perdamaian sudah dibuat, maka para pihak
tidak mungkin atau tidak dapat mengajukan gugatan baru lagi atas suatu
perkara yang sama dalam suatu pengadilan. Hal ini sama sekali tidak
bertentangan dengan hukum acara perdata apabila hal itu tetap dilakukan.
Dalam hal ini berarti dalam Pengadilan Negeri Sleman apabila para pihak
ingin mengajukan gugatan baru maka dalam hal ini tidak diperkenankan
lagi untuk mengajukan gugatan baru lagi, sehingga gugatan tersebut tidak
bias diterima dalam suatu Pengadilan yang manapun .
e. Tidak ada upaya Hukum lain
Apabila suatu perkara sudah masuk dalam Pengadilan Negeri dan sudah
dilakukan mediasi, maka perkara tersebut tidak bisa dilakukan upaya
63
hukum atau tidak boleh mengajukan permohonan banding, kasasi maupun
peninjauan kembali. Hal ini berati dalam pokok perkara Nomor :
49/Pdt.G/2008/PN.Slmn para pihak yang telah dibuatkan akta perdamaian
tidak diperkenankan atau tidak dapat melakukan upaya hukum lagi baik
upaya hukum biasa atau upaya hukum luar biasa. sehingga para pihak
sudah jelas kalau gugatan tersebut tidak ada upaya hukum lain
3) Dapat di lakukan Eksekusi
Suatu putusan dapat di eksekusi apabila para pihak disini tidak dapat
melakukan sesuatu, terutama dalam hal ini adalah pihak yang kalah dalam
melakukan suatu perundingan, pihak yang kalah tersebut dihukum untuk
membayar sejumlah uang kepada pihak yang menang.
Sesuai dengan Akta Perdamaian pokok Perkara Nomor :49 / Pdt.G/ 2008/
PN.Slmn yang menyebutkan bahwa kedua belah pihak telah sepakat untuk
berdamai dan para pihak telah sepakat untuk mengakhiri sengketa tersebut
sesuai dengan akta perdamaian yang disepakti bersama dan kedua belah
pihak sepakat dalam membagi dua biaya perkara tersebut atau biaya -
biaya perkara yang timbul di tanggung oleh kedua belah pihak. Dan
Perkara denganNomor :49/Pdt.G/2008/PN.Slmn dianggap sudah selesai
dengan cara damai.
2. Analisa Terhadap Proses Mediasi
Dari uraian proses pelaksanaan mediasi di atas penulis melakukan analisa
dengan cara membandingkan antara proses dengan aturan yang mengatur
64
bagaimana seharusnya mediasi di laksanakan dalam hal ini HIR, Rbg dan Perma
No.1 tahun 2008.
Analisa terkait dengan proses mediasi perkara dengan Nomor : 49/ Pdt.G/
2008 /PN.Slmn mulai dari proses pendaftaran gugatan hingga penentuan mediator
Pengadilan Negeri Sleman dan putusan damai yang telah di sepakati para pihak.
f. Analisa terhadap Tahap Pra Mediasi
1) Pada Tahap Gugatan
Dalam pasal 118 Reglemen Indonesia ( Hukum Acara Perdata ) di atur
bahwa tiap – tiap proses perkara perdata di muka pengadilan harus di
dahului dengan adanya surat gugat oleh penggugat kepada Ketua
Pengadilan Negeri dalam daerah Hukum tergugat dimana tergugat
bertempat tinggal. Dalam perkara dengan Nomor 49/ Pdt.G/ 2008
/PN.Slmn para pihak bertempat tinggal di wilayah Kabupaten Sleman
yang merupakan wilayah Hukum Pengadilan Negeri Sleman, sehingga
pada proses ini tidak ada pertentangan dengan Hukum Acara Perdata .
2) Dalam Hal Penganjuran Mediasi
Majelis Hakim dalam hal ini sebagai Pemeriksa Perkara Perdata No. 49 /
Pdt.G/2008/PN.Slmn., telah memenuhi syarat yang terdapat dalam pasal 2
Ayat (1), (2), (3) dan (4) Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 200
(PERMA). Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun
2008 (PERMA menyebutkan bahwa Peraturan Mahkamah Agung ini
hanya berlaku untuk mediasi yang terkait dengan proses berperkara di
Pengadilan. Pasal (2) Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008
65
(PERMA) menyebutkan bahwa Setiap hakim, mediator dan para pihak
wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang
diatur dalam peraturan ini. Pasal (3) Peraturan Mahkamah Agung No 1
Tahun 2008 (PERMA) menyebutkan bahwa Tidak menempuh prosedur
mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap
ketentuan pasal 130 HIR dan atau pasal 154 Rbg yang mengakibatkan
putusan batal demi hukum Pasal (4) Peraturan Mahkama Agung No 1
Tahun 2008 (PERMA) menyebutkan bahwa Hakim dalam pertinbangan
putusan perkara wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan
telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama
mediator untuk perkara yang bersangkutan.
3) Dalam Penentuan Mediator
Dalam proses penentuan mediator dari data- data yang di peroleh yang
pada pokoknya hakim menjelaskan kepada para pihak perlunya memilih
mediator, di sediakanya hakim mediator oleh Pengadilan Negeri Sleman,
tata cara penunjukan mediator hingga penetapan mediator telah sesuai
dengan Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 (PERMA) pasal 7
ayat (6) yang berbunyi Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam
perma ini kepada para pihak yang bersengketa.dan dijelaskan pula dalam
Peraturan Mahkmah Agung No 1 Tahun 2008 (PERMA) pasal 10 ayat (1)
yang berbunyi Penggunan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya.
Majelis hakim disini menjelaskan bahwa dalam pemilihan hakim mediator
yang dipilih dari dalam Pengadilan Negeri Sleman tidak dipungut biaya
66
sedikitpun, sebaliknya apabila para pihak menggunakan jasa mediator dari
luar Pengadilan Negeri maka para pihak tersebut dibebankan biaya sesuai
dengan pokok perkara yang ditangani berdasarkan hasil kesepakatan
bersama.
Hakim pemeriksa juga menjelaskan untuk menentukan dan
menetapkan mediator hanya dibutuhkan waktu paling lama dua hari kerja.
Mengenai penetapan pada penunjukan mediator dalam pokok perkara
Nomor : 49 / Pdt.G/2008/PN.Slmn dengan tanggal penetapan 18 Juli 2007
. Hal ini seseai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008
(PERMA) pasal 11 ayat (4) berbunyi Jika setelah jangka waktu maksimal
sebagaimana dimaksud ayat (1) terpenuhi, para pihak tidak dapat
bersepakat memilih mediator yang dikehedaki.
g. Analisa Terhadap Pelaksanaan Mediasi
1) Penentuan Waktu
Dalam hal ini pertemuan dibuat dalam rangka pelaksanaan mediasi
mengenai waktu , kesemua pertemuan dilakukan di ruang mediasi yang di
Pengadilan Negeri Sleman . Petemuan ini tidak melebihi dari 40 hari
kerja. Proses mediasi harus selesai paling lama 40 hari kerja. Hal ini
seseuai dengan Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 pasal 15
ayat (1) yang berbunyi Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal
pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati. Dari
hasil kesepakatan antara mediator dan para pihak, maka disepakati untuk
67
mengadakan suatu pertemuan setiap minggunya dan tidak boleh melebihi
dari 40 hari kerja
2) Dalah Hal Kaukus
Dalam proses ini hakim mediator telah mengatur waktu untuk bertemu
dengan masing-masing pihak secara sendiri sendiri, hal ini di lakukan
untuk memperoleh keterangan terkait dengan pokok perkara dan menjajaki
kemungkinan-kemungkinan yang dapat di lakukan para pihak agar perkara
ini bisa di selesaikan dengan cara damai, dan kemudian membuat
kesepakatan untuk mempertemukan para pihak guna membicarakan
bagaimana cara terbaik menyelesaikan perkara sehingga ini tidak
bertentangan dengan apa yang di maksud dalam Peraturan Mahkmah
Agung No 1 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa mediator adalah
pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna
mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa
menggunakan cara memutus atau menyelesaikan sebuah penyelesaian
(PERMA NO 1 TAHUN 2008).
3) Dalam Hal Mempertemukan Para Pihak
Dalam tahap ini Mediator mempertemukan para pihak setelah terlebih
dahulu di sepakati dalam kaukus, mediator memediasi para pihak untuk
membicarakan pokok perkara, dan memberikan gambaran setiap pilihan
hukum berikut semua konsekwensinya.
1) Mediator tidak terlibat dalam pembicaraan pokok perkara tetapi lebih
berperan menjebatani kedua belah pihak. Tidakan mediator dalam
68
perkara ini telah benar dan tidak menyimpang dari prinsip, fungsi
mediator yaitu :
a) Memperbaiki kelancaran komunikasi antara para pihak yang
biasanya ada hambatan dan sekat-sekat pikologis.
b) Mendorong terciptanya suasana yang kondusif untuk memulai
negosiasi yang fair.
c) Secara tidak langsung mendidik para pihak atau memberi
wawasan tentang proses dan substansi negosiasi yang sedang
berlangsung.
d) Mengklarifikasi masalah-masalah substansial dan kepentingan
masing-masing para pihak.
4) Dalam hal tercapainya kesepakatan mediasi
Dalam perkara Nomor : 49/ Pdt.G/ 2008 /PN.Slmn, Hakim mediator hanya
memfasilitasi para pihak untuk bermusyawarah terkait perkara yang di
ajukan dengan tujuan tercapainya perdamian, setelah melalui beberapa
pertemuan akhirnya perkara ini di sepakati damai.Kemudian hasil
kesepakatan tersebut di serahkan kepada hakim mediator dan kemudian
mediator membacakan hasil kesepakan tersebut kepada para pihak. Hal ini
sudah sesuai tercantum dalam Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun
2008 (PERMA) pasal 17 ayat (3) yang berbunyi Sebelum para pihak
menandatangani kesepakatan, mediator memeriksa materi kesepakatan
perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang bertentangan dengan
69
hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat itikad itidak
baik
5) Dalam Hal Menyampaikan Hasil Mediasi
Mediator setelah menyelesaikan tugasnya dalam menyelesaikan mediasi,
kemudian mediator disini melaporkan kepada majelis hakim dalam
pemeriksa perkara dengan Nomor : 49/Pdt.G/2008/PN.Slmn menyerahkan
hasil laporan tersebut berupa laporan tertulis, dan juga melampirkan hasil
kesepaktan kedua belah pihak yang telah ditanda tangani para pihak
setelah proses mediasi berhasil dilakukan. Ketentuan melaporkan hasil
mediasi ini di atur dalam Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008
(PERMA) dalam pasal 18 ayat (1) yang berbunyi jika setelah batas waktu
maksimal 40 (empat puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal
13 ayat (3), para pihak tidak mampu menghasilkan kesepakatan atau
karena sebab-sebab yang terkandung dalam pasal 15, mediator wajib
menyatakan secara tertulis bahwa proses telah gagal dan memberitahukan
kegagalan kepada hakim sehingga dalam hal ini Hakim mediator telah
sesuai prosedur.
Setelah menerima hasil mediasi Hakim Pemeriksa perkara Nomor :
49/Pdt.G/2008/PN.Slmn kemudian memutus perkara tersebut dengan
putusan damaia dan di tuangkan dalam akta perdamaian sehingga putusan
damai tersebut memiliki kekuatan hukum tetap, kemudian hakim
menyerahkan kembali hasil mediasi tersebut kepada Hakim Mediator. Hal
ini telah sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008
70
(PERMA) pasal 18 ayat (2), pasal 19 ayat (1), (2), (3) dan ayat (4). Pasal
18 ayat (2) berbunyi Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut,
hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara
yang berlaku. Pasal 19 ayat (1), (2) ,(3) dan (4) Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2008 berbunyi :
a) Jika para pihak gagal mencapai kesepaktan, pernyataan dan
pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan
sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang
bersangkutan atau perkara lain.
b) Catatan mediator wajib dimusnahkan
c) Mediator tidak boleh diminta menjadi saksi dalam proses
persidanan perkara yang bersangkutan.
d) Mediator tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana maupun
perdata atas isi kesepakatan perdamaian hasil proses mediasi.
e) Akibat Hukum bagi kedua belah pihak
6) Dalam Hal Putusan Mediasi
Dari proses mediasi perkara perdata Nomor : 49/Pdt.G/2008/PN.Slmn. telah
mencapai kesepakatan damai, kemudian kesepakatan ini di tuangkan dalam
akta perdamian, sehingga kesepakatan damai para pihak menjadi memiliki
Akibat hukum segai berikut :
a) In Kracht Van Gewijsde (mempunyai kekuatan hukuk tetap)
Akta perdamaian yang mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu
sama dengan putusan hakim
71
b) Tidak Dapat Diajukan Gugatan Baru Lagi di karenakan dalam
hal ini akta perdamaian sudah dibuat, maka para pihaktidak
mungkin atau tidak dapat mengajukan gugatan baru lagi atas
suatuperkara yang sama
c) Tidak Ada Upaya Hukum Lain karena perkara ini telah du putus
damai oleh pengadilan , maka perkara tersebut tidak bisa
dilakukan upaya hukum atau tidak boleh mengajukan
permohonan banding, kasasi maupun peninjauan kembali.
B. Hambatan Pelaksanaan Mediasi di P.N Sleman
Sesuai dengan PERMA NO 1 TAHUN 2008 yang mewajibkan hakim
terlebih dahulu menyarankan mediasi di dalam menyelesaikan sengeta perdata
kepada para pihak namun dalam praktiknya masih sangat sulit untuk di lakukan
di Pengadilan Negeri Sleman. Indrayani, S.H. Kepala Bagian Hukum Pengadilan
Negeri Sleman dalam wawancara yang di lakukan pada tanggal 26 Februari 2014
menjelaskan bagaimana proses mediasi di lakukan di Pengadilan Negeri Sleman.
Penyelesaian sengketa perdata dengan jalan mediasi di Pengadilan Negeri
Sleman sangat jarang berhasil meskipun setiap perkara perdata yang masuk harus
melalui tahapan mediasi sebelum perkara di sidang demikain karena proses
beracara di Pengadilan Negeri Sleman mengacu pada Hukum Acara dimana
proses mediasi telah di ntegrasikan di dalam peroses beracara di pengadilan
dengan Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008.
Dari perkara yang masuk di Pengadilan Negeri Sleman hanya sekitar 1 %
yang berhasil di putus dengan cara mediasi. Hal – hal yang menjadikan mediasi
72
jarang berhasil di Pengadilan Negeri Sleman menurut Indrayani, S.H adalah para
pihak mengajukan gugatan ke pengadilan Negeri Sleman karena memang niat
awalnya ingin di putus melalui pengadilan karena upaya damai di luar pengadilan
tidak menemui kesepakatan, selain hal tersebut banyak juga perkara yang sudah di
proses di pengadilan telah mencapai perdamian di luar sidang dan proses yang
sedang berjalan di cabut gugatanya, untuk perkara yang berhasil damai di luar
pengadilan tentu saja tidak di putus damai oleh hakim dengan akta perdamain
sehingga Pengadilan Negeri Sleman tidak memiliki catatan tentang hal tersebut.
Tidak jarang perkara yang sudah di cabut di daftarkan kembali karena
kesepakatan damai yang terjadi di luar proses pengadilan tidak memiliki kekuatan
hukum yang mengikat sehingga masih dapat di lakukan upaya hukum lain.
Hambatan dalam pelaksanaan prosedur mediasi relatif tidak ada karena
semua itu telah di atur secara detil dalam Perma No 1 tahun 2008 dan menjadi
acuan dalam pelaksanaan mediasi di Pengadilan Negeri Sleman
Responden lain yang di jadikan sumber informasi dalam penelitian ini
adalah Edward Saragih,S.H.,MH seorang Advokat yang sedang menangani
perkara perdata di Pengadilan Negeri Sleman memberikan beberapa keterangan
terkait dengan bagaimana dan kenapa proses mediasi jarang terjadi pada kliennya
Edward Saragih, S.H, MH menerangkan bahwa alasan klien enggan
menyelesaikan perkaranya dengan mediasi di karenakan tidak adanya titik temu
di dalam usaha tercapainya perdamaian sebelum perkara di ajukan ke pangadilan
dan beranggapan putusan pengadilan akan lebih memberikan kepastian hukum,
kebanyakan klien menjalani mediasi di pengadilan hanya sebatas sebagai
73
formalitas karena hal tersebut sudah menjadi bagian dari proses beracara di
Pengadilan,sehingga dengan demikian menjadi sulit bagi para pihak untuk dapat
mencari jalan tengah atas penyelesaian sengketa karena para pihak tidak
menghendaki adanya proses mediasi sejak perkara mereka di ajukan ke
pengadilan.
Faktor lainya adah adanya sifat Negatif Para Pihak karena tidak jarang
salahsatu pihak atau keduanya cenderung memiliki sifat negatif misalnya :
1) Sifat tingginya harga diri masing-masing pihak
2) Sifat merasa paling benar sehingga tidak mau mengalah
3) Sifat mau menang sendiri
4) Sifat kekhawatiran dengan adanya mediasi mengakibatkan tidak
terpenuhinya seluruh keinginan yang di tuntut oleh para masing-
masing pihak.
Sebagai Advokat upaya mediasi sudah sering di anjurkan kepada klien
namun kadang klien cenderung memilih untuk menyelesaikanya melalui
pengadilan dengan berbagai alasan, apalagi untuk kasus utang - piutang jauh lebih
sulit. sementara pihaknya sebagai advokat bertugas mewakili kepentingan klien.
Sebagai advokat Edward Saragih, S.H, M.H memiliki pengalaman tentang
bagaimana berbelitnya dan berlarutnya penyelesaian sengketa perdata secara
litigasi. Dalam kasus yang di tangani saat ini perkara sudah di mulai sejak 1983,
meskipun sudah di putus menang namun hingga hari ini masih saja kesulitan
untuk melakukan eksekusi, dengan pengalaman tersebut saya selalu sarankan dan
74
memotivasi klien untuk menyelesaikan perkaranya dengan mediasi ,dan sebagai
advokat saya lebih senang jika klien bersedia untuk melakukan mediasi
Selain faktor sifat negatif tidak jarang pengaruh pihak ketiga juga berperan
mempengaruhi para pihak untuk tidak menyelesaikan sengketannya dengan
mediasi. Advokat sebagai kuasa hukum masing-masing pihak dalam satu sisi
dapat berperan positif dengan mendorong dan memotivasi klien untuk
menyelesaian sengketa dengan mediasi, tetapi dapat juga berperan negatif dengan
cara menghalangi klienya mengadakan mediasi.
Kurangnya pemahaman PERMA No1 Tahun 2008 juga merupakan
hambatan yang cukup memberikan pengaruh, sehingga masyarakat tidak tahu
tentang manfaat mediasi dan mereka lebih memilih menyelesaikan sengketa
dengan cara litigasi. Jika di pahami lebih dalam sebenarnya PERMA No 1 Tahun
2008 sebagai suatu peraturan hukum telah memiliki tiga macam kekuatan yaitu,
kekuatan yuridis, sosiologis dan filosofis.
Menurut hasil wawancar dengan para hakim mediator kegagalan mediasi
lebih disebabkan oleh para pihak yang berkonflik, dan faktor-faktor penyebabnya
1) Pemahaman yang minim akan mediasi;
2) Para pihak bersikukuh pada pendapatnya bahwa pengadilan benteng
terakhir dari perjuangannya, maka kalau di pengadilan harus menang;
3) Para pihak memandang mediasi sebagai formalitas saja karena wajib
dilakukan;
4) Faktor gengsi, walaupun setuju untuk mediasi akan tetapi tetap tidak
mau kalah (kemenangan lah yang dikehendaki, apalagi oleh karena
75
telah memiliki bukti-bukti yang diyakini benar sehingga pasti
menang). Jikalau kalah dalam mediasi dipandang memalukan,
bermediasi berarti kalah, oleh karena kalaupun menjalani mediasi tetap
berjuang untuk menang
5) Wakil pihak yang bersengketa tidak memahami pokok persoalannya;
6) Wakil merasa lebih terhormat jika bisa memperjuangkan kliennya
mencapai kemenangan, yang mewakilkan mudah dipengaruhi
pendiriannya oleh wakil sehingga berubah pendiriannya dari semula
menghendaki perdamaian kemudian berubah menginginkan
kemenangan.
7) Pihak yang mewakilkan menyerahkan sepenuhnya kepada wakil apa
yang akan dilakukannya, dan pihak yang mewakilkan mudah
dipengaruhi oleh wakil sehingga berubah pendirian dari semula
menginginkan perdamaian menjadi menghendaki kemenangan.
8) Wakil bermain mata dengan mediatornya.
9) Wakil tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya
dan menempatkan kepentingan pribadinya di atas kepentingan
kliennya.
Dari beberapa data keterangan yang di peroleh di atas penulis menilai
bahwa faktor yang menjadi hambatan pelaksanaan mediasi di Pengadilan Negeri
Sleman bukan terjadi pada proses pelaksanaanya akan tetapi lebih di karenakan
pada orangnya yaitu bisa karena sifat negatif para pihak, pengaruh pihak ketiga
76
dan pemahaman yang minim tentang manfaat mediasi, mediasi di anggap sebagai
formalitas beracara di pengadilan saja.
C. Upaya Mediasi Menjadi Pilihan Hukum Bagi Masyarakat
Dari hasil pembahasan di atas di ketahui bahwa sebenarnya Perma No1.
Tahun 2008 tentang pengintegrasian mediasi ke dalam proses penyelesaian
sengkete perdata adalah sebuah terobosan hukum guna menghindari terjadinya
berlarutnya penyelesaian sengketa di pengadilan, selain itu hal tersebut juga di
maksudkan untuk mengurangi penumpukan perkara di pengadilan karena proses
beracara perdata memakan banyak waktu dan prosedur yag harus dilalui
sementara jumlah perkara yang masuk semakin hari semakin banyak.
Namun demikian pada prakteknya mediasi belum bisa diterima oleh
masyarakat karena banyak faktor dan masih berpikir bahwa dengan di putus oleh
Hakim semua kepentingan haknya dapat terpenuhi dan beranggapan bahwa
menempuh mediasi hanyalah sebagai formalitas di Pengadilan.
Bahwa hambatan yang timbul cenderung terjadi pada pihak pihak yang
berperkara namun demikian perlu di upayakan cara agar mediasi dapat menjadi
alternative penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri Sleman :
1) Pengadilan Negeri Sleman perlu mendorong optimalisai pelaksanaan
mediasi dengan memberikan intensif dan reward bagi hakim mediator
yang berhasil menjalankan tugas mediasi, sehingga dengan demikain akan
meningkatkan kinerja Hakim mediasi di dalam menjalankan tugasnya.
2) Perlunya menambah jumlah Hakim Mediator
77
3) Perlunya peran serta advokat di dalam pelakanaan mediasi di dalam
mewakili klien serta pemahaman advokat tidak pada persepsi menang-
kalah dalam perkara tetapi lebih mengedepankan keadilan yang dapat di
terima oleh semua pihak.
4) Perlunya kampanye tentang mediasi, manfaat dan kelebihanya di dalam
menyelesaikan perkara dengan cara penyuluhan maupun melalui media
tulisan - tulisan mapun himbuan terutama di lingkungan Pengadilan Negeri
Sleman.
78
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan peneltian ini penulis menyimpulkan bahwa dua hal
pokok permasalahan tentang pelaksanaan mediasi di Pengadilan Negeri Sleman
,hambatan dan upaya ke depan agar mediasi dapat menjadi pilihan hukum bagi
masyarakat untuk mengurangi berlarutnya penyelesaian sengketa serta
penumpukan perkara di pengadilan di peroleh kesimpulan bahwa pelaksanaan
mediasi di Pengadilan Negeri Sleman telah memenuhi prosedur yang di atur
dalam Perma No.1 Tahun 2008. Di antara peoses – proses tersebut adalah dalam
tahap pednaftaran gugatan telah memenuhi kompetensi relatif sebagaimana di atur
dalam pasal 118 HIR .
Dalam Hal Penganjuran Mediasi Hakim Pemeriksa di Pengadilan Negeri
Sleman telah memenuhi ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung
No 1 Tahun 2008 (PERMA menyebutkan bahwa Peraturan Mahkamah Agung ini
hanya berlaku untuk mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan.
Pasal (2) Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 menyebutkan bahwa
Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian
sengketa melalui mediasi yang diatur dalam peraturan ini. Dalam Hal Penjelasan
Prosedur Mediasi dan Penentuan Mediator.
Dalam proses penentuan mediator dan tatacara penunjukan mediator
hingga penetapan mediator telah sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung No 1
Tahun 2008 pasal 7 ayat (6) yang berbunyi Hakim wajib menjelaskan prosedur
79
mediasi dalam perma ini kepada para pihak yang bersengketa.dan dijelaskan pula
dalam Peraturan Mahkmah Agung No 1 Tahun 2008 pasal 10 ayat (1) yang
berbunyi Penggunan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya. Dalam Hal
Penentuan Waktu Mediasi
Dalam Hal Tercapainya Kesepakatan, Menyampaikan Hasil Mediasi
Kepada Hakim Pemeriksa, Tentang Penyerahan Kembali Hasil Mediasi Kepada
Mediator Hal ini telah sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun
2008 pasal 18 ayat (2), pasal 19 ayat (1), (2), (3) dan ayat (4). Jika para pihak
gagal mencapai kesepaktan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses
mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan
perkara yang bersangkutan atau perkara lain. Mediator tidak boleh diminta
menjadi saksi dalam proses persidanan perkara yang bersangkutan dari
serangkaian proses pelaksanaan mediasi dipengadilan Negeri Sleman
dilaksanakan dengan dua tahap yaitu tahap pra mediasi dan tahap pelaksanaan
mediasi.
Dari perkara yang masuk di Pengadilan Negeri Sleman hanya sekitar 1 %
yang berhasil di putus dengan cara mediasi.Sikap kekhawatiran dengan adanya
mediasi mengakibatkan tidak terpenuhinya seluruh keinginan yang di tuntut oleh
para masing-masing pihak. Selain faktor sifat negatif tidak jarang pengaruh pihak
ketiga juga berperan mempengaruhi para pihak untuk tidak menyelesaikan
sengketannya dengan mediasi.
Menurut hasil wawancara dengan para hakim mediator kegagalan mediasi
lebih disebabkan oleh para pihak yang berkonflik, dan faktor-faktor penyebabnya
80
adalah Pemahaman yang minim tentang mediasi,Wakil pihak yang bersengketa
tidak memahami pokok persoalannya, Pihak yang mewakilkan menyerahkan
sepenuhnya kepada wakil apa yang akan dilakukannya, dan pihak yang
mewakilkan mudah dipengaruhi oleh wakil sehingga berubah pendirian dari
semula menginginkan perdamaian menjadi menghendaki kemenangan.
B. Saran
Dari hasil pembahasan di atas di ketahui bahwa sebenarnya Perma
No.1Tahun 2008 tentang pengintegrasian mediasi ke dalam proses penyelesaian
sengkete perdata adalah sebuah terobosan hukum guna menghindari terjadinya
berlarutnya penyelesaian sengketa di pengadilan,dan penumpukan perkara,
prakteknya mediasi belum bisa diterima oleh masyarakat karena banyak faktor
,perlu upayakan cara agar mediasi dapat menjadi pilihan hukum bagi masyarakat
dengan cara sebagai berikut ;
Kejaksaan Agung perlu mendorong optimalisai pelaksanaan mediasi di
pengadilan dengan memberikan intensif dan reward bagi hakim mediator yang
berhasil menjalankan tugas mediasi, sehingga dengan demikain akan
meningkatkan kinerja Hakim mediasi di dalam menjalankan tugasnya;Perlunya
menambah jumlah Hakim Mediator di Lembaga Pengadilan dan menerbitkan
aturan tentang tatacara dan acuan bagi mediator dalam menjalankan tugasnya.;
Perlunya peran serta advokat di dalam pelakanaan mediasi di dalam
mewakili klien serta pemahaman advokat tidak pada persepsi menang- kalah
81
dalam perkara tetapi lebih mengedepankan keadilan yang dapat di terima oleh
semua pihak;
Perlunya kampanye tentang mediasi, manfaat dan kelebihanya di dalam
menyelesaikan perkara dengan cara penyuluhan maupun melalui media tulisan -
tulisan di lingkungan pengadilan