fh.unram.ac.id · Web viewAdapun kedudukan suami dalam perkawinan yaitu menjadi imam sekaligus...

23

Click here to load reader

Transcript of fh.unram.ac.id · Web viewAdapun kedudukan suami dalam perkawinan yaitu menjadi imam sekaligus...

Page 1: fh.unram.ac.id · Web viewAdapun kedudukan suami dalam perkawinan yaitu menjadi imam sekaligus pelindung dalam rumah tangga sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa

i

I. PENDAHULUAN

Dalam istilah bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “Kawin”

yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami

atau beristeri. Perkawinan juga disebut pernikahan yang berasal dari kata

“Nikah” yang menurut bahasa artinya perjanjian antara laki-laki dan perempuan

untuk bersuami isteri.

Perkawinan yang dalam istilah agama Islam disebut “Nikah” adalah

melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-

laki dengan wanita unuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah

pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan

suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan

ketentraman dengan cara yang diridhoi Allah.1

Pelaksanaan perkawinan di Indonesia selalu beragam, diantaranya yaitu

perkawinan yang tidak dicatat. Perkawinan yang tidak dicatat adalah perkawinan

yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat saja dan tidak dicatat

melalui proses perundng-undangan yang berlaku. Berkembang perbedaan

pendapat masyarakat tentang perkawinan yang tidak dicatat ini, ada yang

berpendapat bahwa perkawinan tersebut sah, dan ada pula yang menyatakan tidak

sah.

1 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm.8

Page 2: fh.unram.ac.id · Web viewAdapun kedudukan suami dalam perkawinan yaitu menjadi imam sekaligus pelindung dalam rumah tangga sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa

ii

Perkawinan yang tidak dicatat memang masih terjadi di Indonesia, meski

telah dibuat aturan tentang perkawinan dan pencatatannya, perkawinan yang tidak

dicatat ini sulit untuk diawasi oleh pihak yang berwenang. Ini karena perkawinan

itu dilakukan berdasarkan adat istiadat masyarakat setempat serta dilangsungkan

di hadapan tokoh agama sebagai penghulunya. Masalah pencatatan perkawinan

ini kurang diperhatikan oleh sebagian kalangan masyarakat, dikarenakan

kurangnya pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat tentang arti pentingnya

suatu pencatatan perkawinan.

Perkawinan yang tidak dicatat ini memang menimbulkan perbedaan

pendapat di kalangan masyarakat. Persoalannya akan berakibat apabila terjadi

suatu permasalahan terutama dalam hal putusnya perkawinan, mereka akan

dihadapkan pada suatu kesulitan untuk membuktikan perkawinan yang telah

dilakukan itu, dan juga akan berakibat pada kedudukan perkawinan itu sendiri

serta akibat hukumnya baik terhadap suami, istri, anak, dan harta kekayaannya.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi adalah: 1. Bagaimana

keabsahan perkawinan yang tidak dicatat menurut Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam?, 2. Bagaimana akibat hukum

perkawinan yang tidak dicatat terhadap kedudukan suami, istri, anak dan harta

kekayaannya menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi

Hukum Islam?

Page 3: fh.unram.ac.id · Web viewAdapun kedudukan suami dalam perkawinan yaitu menjadi imam sekaligus pelindung dalam rumah tangga sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa

iii

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk: 1. Untuk mengetahui keabsahan

perkawinan yang tidak dicatat menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

dan Kompilasi Hukum Islam. 2. Untuk mengetahui akibat hukum perkawinan

yang tidak dicatat menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi

Hukum Islam. Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1.

Manfaat teoritis adalah Merupakan salah satu syarat untuk menyelesikan studi

pada Strata Satu (S1) program studi ilmu hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Mataram, Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan

kontribusi pengembangan ilmu hukum pada umumnya, dan hukum perkawinan

pada khususnya serta dapat digunakan sebagai landasan penelitian selanjutnya

dalam bidang ilmu penelitian. 2. Manfaat praktis yaitu diharapkan dapat

memberikan masukan pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang

Hukum Perkawinan.

Jenis penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum

Normatif adalah penelitian yang menggunakan sumber bahan kepustakaan.

Pendekatan yang digunakan untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini

adalah Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach), Pendekatan

Konseptual (Conceptual Approach), dan Pendekatan Perbandingan (Comparative

Approach).

Page 4: fh.unram.ac.id · Web viewAdapun kedudukan suami dalam perkawinan yaitu menjadi imam sekaligus pelindung dalam rumah tangga sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa

iv

II. PEMBAHASAN

A. Keabsahan Perkawinan Yang Tidak Dicatat Menurut Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam

Sebagaian besar masyarakat menganggap bahwa perkawinan yang tidak

dicatat itu tetap sah sepanjang perkawinan itu dilakukan menurut hukum masing-

masing agama dan kepercayaan mereka dan telah terpenuhinya rukun serta syarat

perkawinan. Sesuai bunyi Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan dan Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam.

Inilah yang menjadi dasar sebagian besar masyarakat dalam menganggap

sahnya suatu perkawinan, meski terdapat aturan yang menyebutkan tiap-tiap

perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku, akan tetapi

aturan tersebut tidak serta-merta membuat perkawinan itu tidak sah, melainkan

aturan tersebut bertujuan untuk menjamin ketertiban perkawinan bagi

masyarakat. Seperti yang tercantum dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 5 ayat (1) Kompilasi Hukum

Untuk mendapakan bukti perkawinan yang otentik agar mendapat

perlindungan hukum atas perkawinanyang tidak tercatat, maka upaya yang dapat

dilakukan oleh mereka yang melakukan perkawinan tersebut adalah dengan cara

mengajukan permohonan pengesahan perkawinan atau Itsbat Nikah ke

Page 5: fh.unram.ac.id · Web viewAdapun kedudukan suami dalam perkawinan yaitu menjadi imam sekaligus pelindung dalam rumah tangga sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa

v

Pengadilan Agama, sesuai dengan bunyi Pasal 7 ayat (2) Kompilasi Hukum

Islam yaitu:

“Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama”

Dalam hal perkawinan yang tidak dicatat ini, dapat dilakukan Itsbat

Nikah, karena adanya keraguan tentang keabsahan suatu perkawinan. Setelah

dilangsungkan Itsbat Nikah tersebut, maka status perkawinan yang pernah

dilakukan menjadi perkawinan yang tercatat yang dibuktikan dengan akta nikah.

B. Akibat Hukum Perkawinan Yang Tidak Dicatat Terhadap Kedudukan

Suami, Istri, Anak Dan Harta Kekayaannya Menurut Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

1. Kedudukan Suami ; Kedudukan suami isteri menurut Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam telah dijelaskan secara

tegas bagaimana hak dan kewajiban antara suami dan isteri. Dalam Pasal 30

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa:

“Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”.

Sedangkan menurut Pasal 77 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan

bahwa:

a) Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat;

Page 6: fh.unram.ac.id · Web viewAdapun kedudukan suami dalam perkawinan yaitu menjadi imam sekaligus pelindung dalam rumah tangga sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa

vi

b) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.

c) Suami isteri wajib memelihara kehormatannya.d) Jika suami isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat

mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.

Sejak dilangsungkannya perkawinan, maka sejak saat itu menjadi

tetaplah kedudukan laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai isteri, dan

sejak saat itu pula suami dan isteri memperoleh hak-hak dan kewajiban-

kewajiban tertentu dalam ikatan perkawinan.2

Meski akibat yang timbul dari perkawinan yang tidak dicatat terhadap

suami hampir tidak ada dampak yang mengkhawatirkan, akan tetapi hal itu

tidak melepaskan suami dari kedudukn dan tanggung jawabnya sebagai kepala

keluarga dalam rumah tangga. Dalam Islam seorang yang sudah menjadi

suami isteri yang sah, tetap memiliki hak dan kewajiban masing-masing.

Menurut hukum Islam suami dan isteri dalam membina keluarga/rumah tangga harus berlaku dengan cara yang baik (ma’ruf), sebagaimana Allah SWT berfirman: ‘Dan bergaullah dengan mereka (para isteri) dengan cara yang baik’, kemudian dalam Hadis Tarmizi, Rasulullah SAW mengatakan ‘orang mukmin yang lebih sempurna imannya adalah yang terbaik ahlaknya, dan sebaik-baiknya anda adalah yang sangat baik kepada isteri’. Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis itu, maka kewajiban utama suami dalam membina keluarga/rumah tangga adalah berbuat sebaik mungkin kepada isteri.3

2 Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di Indonesia, Bina Cipta, Yogyakarta, 1976, hlm. 55.3 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm.107

Page 7: fh.unram.ac.id · Web viewAdapun kedudukan suami dalam perkawinan yaitu menjadi imam sekaligus pelindung dalam rumah tangga sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa

vii

Banyak dalil baik dari Al-Qur’an dan Hadis yang mempertegas posisi

suami dalam rumah tangga antara lain hak memimpin rumah tangga itu ada

ditangan suami. Adapun kedudukan suami dalam perkawinan yaitu menjadi

imam sekaligus pelindung dalam rumah tangga sebagaimana firman Allah

dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa Ayat 34 yang artinya:

"Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya”.

Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menegaskan tentang kedudukan

masing-masing orang adalah penanggung jawab, sebagaimana sabda beliau

yang artinya:4

"Setiap dari kalian adalah penanggung jawab, dan masing-masing akan ditanya tentang tanggungjawabnya. Penguasa adalah penanggung jawab atas rakyatnya, dan akan ditanya tentangnya. Suami menjadi penanggung jawab dalam keluarganya, dan akan ditanya tentangnya. Isteri adalah penanggung jawab di rumah suaminya, dan akan ditanya tentang tanggung jawabnya. Pembantu bertanggung jawab atas harta tuannya dan akan ditanya tentangnya," (Ibnu Umar berkata: dan saya kira Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga berkata): "Dan anak adalah penanggung jawab atas harta bapaknya dan akan ditanya tentangnya, dan setiap kalian adalah penanggung jawab, dan masing-masing akan ditanya tentang tanggung jawabnya".

Syari’at Islam memberikan suami hak yang besar atas isterinya. Nabi

Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda yang artinya:5 

4 HR. Al-Bukhari, No. 893, dan Muslim, No.48285 HR. Abu Dawud, No. 2142, At-Tirmidzi, No.1192, dan Ibnu Majah No.1925.

Page 8: fh.unram.ac.id · Web viewAdapun kedudukan suami dalam perkawinan yaitu menjadi imam sekaligus pelindung dalam rumah tangga sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa

viii

"Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya akan aku perintahkan para isteri untuk sujud kepada para suami mereka, karena besarnya hak yang Allah berikan kepada para suami atas mereka"

2. Kedudukan Isteri ; Undang-undang Perkawinan mengatakan bahwa

kedudukan isteri itu seimbang dengan suami sebagaimana dalam Pasal 31

Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 79 Ayat (2)

Kompilasi Hukum Islam yang merumuskan:

“Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat”.

Seorang isteri juga memiliki kewajiban, sesuai bunyi Pasal 83 Ayat (1)

dan Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, diantara kewajibannya yaitu:

(1) Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami didalam yang dibenarkan oleh hukum Islam.

(2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.

Mengenai kedudukan isteri, Islam sangat menjunjung tinggi harkat dan

martabat kaum wanita, karena wanita yang paling berperan didalam

kehidupan rumah tangga, dan pada diri wanita mempunyai peran ganda dalam

kehidupan rumah tangga yaitu mengandung, melahirkan, mendidik, mengasuh

dan membesarkan. Sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam di

riwayatkan oleh Imam Muslim yang artinya:

“Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah”

Page 9: fh.unram.ac.id · Web viewAdapun kedudukan suami dalam perkawinan yaitu menjadi imam sekaligus pelindung dalam rumah tangga sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa

ix

Menurut syari’at Islam, isteri memiliki hak yang seimbang dengan

suami seperti firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 228

yang artinya:

“Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami, mempunyai kelebihan diatas mereka”.

Ayat ini menentukan adanya kedudukan yang seimbang antara suami

dengan isteri dalam hal hak dan kewajibannya, meskipun seorang suami

memiliki kelebihan diatas istrinya. Demikianlah Islam memandang tentang

seorang isteri.

3. Kedudukan Anak ; Menurut Riduan Syahrani dalam bukunya “Seluk-

beluk dan Asas-asas Hukum Perdata”, bahwa anak yang dilahirkan diluar

perkawinan yang sah adalah bukan anak yang sah, sehingga membawa

konsekuensi dalam bidang pewarisan. sebab anak yang dilahirkan diluar

perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

keluarga ibunya.6

seperti yang dijelaskan dalam Pasal 43 Ayat (1) Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:

6 Riduan Syahrani, Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Cet II, Alumni, Bandung, 1989, hlm.100-101

Page 10: fh.unram.ac.id · Web viewAdapun kedudukan suami dalam perkawinan yaitu menjadi imam sekaligus pelindung dalam rumah tangga sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa

x

“Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya”.

Akan tetapi, dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi

No.46/PUU-VIII/2010, yang memutuskan bahwa anak yang dilahirkan diluar

perkawinan mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya jika

dapat dibuktikan secara medis dan teknologi.

Mahkamah Konstitusi memberikan putusan diantaranya Pasal 43 Ayat

(1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai berikut:

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”,tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”;

Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan dikabulkan karena hubungan anak

dengan seorang laki-laki sebagai bapaknya tidak semata-mata karena adanya

ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya

hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapaknya.

Dengan demikian, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum.

Page 11: fh.unram.ac.id · Web viewAdapun kedudukan suami dalam perkawinan yaitu menjadi imam sekaligus pelindung dalam rumah tangga sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa

xi

4. Kedudukan Harta Kekayaan ;

Pengertian harta tersebut diatas dapat diuraikan sebagai berikut: a. Harta Bersama ; Harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh sesudah suami-istri berada dalam hubungan perkawinan, atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Dan harta bersama dikuasai oleh suami dan istri, sehingga baik suami maupun istri memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk memperlakukan harta mereka dengan persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 ayat (1) UUP). b. Harta Bawaan ; Harta Bawaan yaitu harta benda yang telah dimiliki masing-masing suami-istri sebelum mereka melangsungkan perkawinan. Harta bawaan dikuasai oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami atau istri. Artinya, seorang istri atau suami berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (Pasal 36 ayat (2) UUP). c. Harta Perolehan ; Harta perolehan adalah harta benda yang hanya dimiliki secara pribadi oleh masing-masing pasangan (suami istri) setelah terjadinya perkawinan. Seperti halnya harta bawaan, harta ini juga menjadi milik pribadi masing-masing pasangan, baik suami maupun istri, sepanjang tidak ditentukan hal lain dalam perjanjian perkawinan, harta ini berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya (Pasal 87 ayat 2 KHI).

Dalam hal penyelesaian sengketa harta, timbul suatu persoalan

hukum yaitu mengenai harta yang berasal dari perkawinan yang tidak dicatat,

jika terjadi sengketa harta dari perkawinan tersebut, maka para pihak yang

bersangkutan menemukan kesulitan dalam menentukan ketentuan hukum

mana yang berlaku terhadap penyelesaian sengketa harta dari perkawinan

yang tidak dicatat tersebut.

Senada dengan itu, Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

menyatakan bahwa:

Bila terjadi sengketa harta akibat putusnya suatu perkawinan, maka diselesaikan sesuai dengan ketentuan hukum masing-masing pihak, dalam hal ini ketentuan hukum agama, hukum adat, atau menurut hukum yang disepakati kedua belah pihak.

Page 12: fh.unram.ac.id · Web viewAdapun kedudukan suami dalam perkawinan yaitu menjadi imam sekaligus pelindung dalam rumah tangga sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa

xii

III. PENUTUP

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka

dapat ditarik suatu kesimpulan, yaitu: 1. Bahwa keabsahan perkawinan yang

tidak dicatat ini tetap dikatakan perkawinan yang sah secara Hukum Islam

maupun Hukum Negara. Karena telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan,

sedangkan dari segi hukum Negara perkawinan itu telah memenuhi Pasal 2 Ayat

(1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Hanya saja perkawinan itu dianggap

tidak pernah terjadi karena tidak adanya bukti otentik yang menyatakan

perkawinan itu pernah terjadi. Tetapi terdapat upaya yang bisa dilakukan bagi

mereka yang melakukan perkawinan yang tidak dicatat ini untuk mendapatkan

bukti perkawinan yang mereka lakukan yaitu dengan cara mengajukan

permohonan pengesahan perkawinan atau Itsbat Nikah ke Pengadilan Agama.

Sesuai dengan bunyi Pasal 7 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. Maka dengan

upaya yang dilakukan tersebut, perkawinan yang pernah dilakukan menjadi

perkawinan yang tercatat. 2. Bahwa dalam perkawinan yang tidak dicatat ini

memang menimbulkan akibat hukum baik terhadap suami, isteri, anak dan harta

kekayaan mereka. Adapun akibat hukum dari perkawinan itu ialah tidak adanya

kepastian hukum dari perkawinan itu sendiri, perkawinan tersebut tidak diakui

olah Negara dan tidak berhak mendapat perlindungan hukum atas

perkawinannya itu. Namun setelah dilangsungkan Itsbat, maka status perkawinan

Page 13: fh.unram.ac.id · Web viewAdapun kedudukan suami dalam perkawinan yaitu menjadi imam sekaligus pelindung dalam rumah tangga sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa

xiii

yang tidak dicatat tersebut sama dengan perkawinan yang tercatat. Sedangkan

menurut hukum Islam kedudukan mereka tetap diakui serta hak dan kewajiban

mereka tetap ada sepanjang perkawinan yang dilaksanakan telah memenuhi

rukun dan syarat nikah. Sedangkan mengenai harta kekayaan dalam perkawinan

yang tidak dicatat ini, jika perkawinan tersebut putus baik karena perceraian

ataupun karena kematian, maka dalam hal penyelesaian sengketa harta tersebut

tidak dapat diselesaikan secara hukum Negara (litigasi), melainkan diselesaikan

sesuai dengan ketentuan hukum masing-masing pihak, dalam hal ini ketentuan

hukum agama, hukum adat, atau menurut hukum yang disepakati kedua belah

pihak. Sesuai dengan Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974.

Saran

Setelah memberikan kesimpulan, penyusun ingin mengajukan saran-

saran sebagai berikut: 1. Perlu menjadi perhatian dan pertimbangan khusus

bagi yang akan melakukan perkawinan, hendaknya sebelum melangsungkan

perkawinan terlebih dahulu memberitahukan keinginannya untuk

melangsungkan perkawinan kepada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam hal ini

Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang Islam, dan Kantor Catatan Sipil bagi

yang Non-Islam. Karena jika perkawinan tersebut tidak dilakukan sesuai dengan

prosedur perundang-undangan yang berlaku maka akan menimbulkan dampak

nigatif terhadap perkawinan tersebut. 2. Perlu dilakukan penyuluhan maupun

sosialisasi yang berlanjut terutama tentang kseadaran hukum masyarakat akan

pentingnya pencatatan perkawinan dan tentang dampak perkawinan yang tidak

Page 14: fh.unram.ac.id · Web viewAdapun kedudukan suami dalam perkawinan yaitu menjadi imam sekaligus pelindung dalam rumah tangga sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa

xiv

dicatat. 3. Perlu dilakukan yudicial review (uji materi) oleh Pemerintah dan DPR

yang berkompeten dalam hal ini melakukan revisi terhadap Pasal-pasal dalam

Undang-Undang Perkawinan sehingga ditetapkan sebagai pedoman maupun

acuan dalam malakukan perkawinan.

Page 15: fh.unram.ac.id · Web viewAdapun kedudukan suami dalam perkawinan yaitu menjadi imam sekaligus pelindung dalam rumah tangga sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa

xv

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahan, Sabiq,2009.

Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm.107

Hamid, Zahry, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di

Indonesia, Bina Cipta, Yogyakarta, 1976.

HR. Abu Dawud, No. 2142, At-Tirmidzi, No.1192, dan Ibnu Majah No.1925.

HR. Al-Bukhari, No. 893, dan Muslim, No.4828

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1999.

Syahrani, Riduan, Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Cet II, Alumni, Bandung, 1989.