Farmakoterapi Studi Kasus
-
Upload
putri-nur-handayani -
Category
Documents
-
view
129 -
download
0
description
Transcript of Farmakoterapi Studi Kasus
Paper Farmakoterapi
“Analisis Kasus Hipertensi”
Disusun Oleh :
Kelompok 2 - Farmasi V D
Rian Hidayat 1111102000096
Vina Fauziah 1111102000100
Putri Nur Handayani 1111102000104
Ahmad Fauzi 1111102000105
Anissa Tiana S. P. 1111102000107
Khairunnisa 1111102000113
Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2013
Activity 1. Hypertension Medication Review
1. Identify the most appropriate JNC 7 (Seventh Report of the Joint National Commite on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure) first-line drug
class for each of the patient vignettes below.
Patient Vignettes First-line Drug Class Tinjauan
A 60-year old white man with a history of STEMI BP= 144/82 mmHg, HR= 80 beats/minute
1. Lifestyle modification*
(target BP <130/80 mmHg)
2. Beta blocker
- Stage 1 hypertension- STEMI (ST-elevation
myocardial infarction)
A 48-year-old African American woman with stable stage 4 CKD BP= 136/78 mmHg , HR = 72 beats/minute
1. Lifestyle modification*
(target BP <130/80 mmHg)
2. ACE Inhibitor dan ARB
- Prehypertension- Stage 4 CKD (chronic
kidney desease)
A 55-year-old white woman discharged after a cerebrovascular accident BP=158/92 mmHg, HR= 80 beats/ minute
1. Lifestyle modification*
(target BP <130/80 mmHg)
2. Obat diuretik gol. Tiazide dan ACE inhibitor
- Stage 1 hypertension- Cerebrovascular accident
A-32 year-old African American man with no comorbid conditions BP= 150/88 mmHg, HR= 80 beats/minute
1. Lifestyle modification*
(dicoba sampai 12 bulan dan target BP<140mmHg)
2. Obat diuretik gol. Tiazide
- Stage 1 hypertension- Tanpa disertai penyakit
Keterangan
1. Lifestyle modification
- Diet rendah garam.
- Jika merokok maka berhenti merokok.
- Jika mengkonsumsi alkohol maka berhenti untuk mengkonsumsi alcohol.
- Aktivitas fisik yang teratur.
- Penurunan berat badan jika pasien dengan berat badan berlebih.
2. Obat diuretik golongan tiazide
- Bukti penelitian bahwa obat ini efektif untuk hipertensi ringan hingga sedang.
- Bekerja dengan menghambat transport bersama (symport) Na-Cl di tubulus distal
ginjal, sehingga ekskresi Na+ dan Cl- meningkat.
3. Obat ACE inhibitor
- Vasodilator yang paling sesuai pada gagal jantung karena menurunkan resistensi arteri
maupun vena dengan mencegah peningkatan angiotensin II (vasokonstriktore).
- Meningkatkan ekstkresi Na+ dan H2O, menurunkan volume darah darah dan
mengurangi aliran balik vena ke jantung.
- Retensi kalsium.
4. ARB (Angiotensin Receptor Blocker)
Dosis awal harus dikurangi 50% pada pasien yang sudah dapat diuretik, yang kekurangan
cairan, atau sudah tua sekali karena risiko hipotensi, dapat menyebabkan hiperkalemia
pada pasien dengan penyakit ginjal kronis atau pasien yang juga mendapat diuretik
penahan kalium, antagonis aldosteron, atau ACE Inhibitor, dapat menyebabkan gagal
ginjal pada pasien dengan renal arteri stenosis, tidak menyebabkan batuk kering seperti
ACE Inhibitor, jangan digunakan pada perempuan hamil.
5. Beta blocker
- Penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan
curah jantung.
- Hambatan sekresi renin di sel-sel jukstaglomeruler ginjal dengan akibat penurunan
produksi angiotensin II.
- Efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan sensitivitas barir
reseptor , perubahan aktivitas neuron adrenergik perifer dan peningkatan biosintesis
prostasiklin.
Activity 2: Hypertension Case
Patient A, a 45-year-old white man (100kg), present to the cardiovascular clinic for his initial
screening. He has a 30-pack/year history of tobacco use and does not drink alcohol. His vital
signs today include blood pressure (BP) average of two readings) 138/82 mmHg and heart
rate (HR) 74 beats/minute. His laboratorium result include sodium 144mEq/L, potassium 4.2
mEq/L, blood urea nitrogen (BUN) 12 mg/dl, and serum creatinine (SCr) 1.0 mg/dL. A
fasting lipid panel reveals total cholesterol 239 mg/dL, high-density lipoprotein 50 mg/dL,
and triglycerides 140 mg/dL.
2. Calculate this patient’s 10-year cardiovascular risk.
Jika dilihat dari BP-nya termasuk ke dalam jenis prehipertensi. Jika dilihat dari berat
badan dan gaya hidupnya termasuk ke dalam jenis hipertensi primer. Pasien kemungkinan
akan mengalami diabetes melitus tipe 2 yang mengakibatkan terbentuknya plak
aterosklerosis, sehingga terjadilah jantung koroner.
3. Recommended treatment.
Terapi non farmakologi : lifestyle modification, olahraga dan diet.
Terapi farmakologi : - First line : ß-bloker
- Second line: ACE inhibitor,CCB dan diuretik
Activity 3 : Hyperlipidemia Medication Review
4. Compare and contrast each agent on the basis of its lipid-lowering
properties.
Medicati
ons
LD
L
HD
LTG Mekanisme kerja
Fenofibrat - - + + - -
-
Mengurangi tingkat lipogenesis di dalam hati dan
juga bekerja dengan cara berikatan dengan
reseptor peroxisome proliferator-activated receptor
(PPARs) yang mengatur transkripsi gen.
Simvastat
in
- - - + + - -
-
Menghambat sintesis kolesterol dalam hati, dengan
menghambat enzim HMG CoA reduktase.
Niacin - - + + - -
-
Menghambat mobilisasi dari asam lemak bebas dari
jaringan adipose peripheral menuju hati, sehingga
dapat mengurangi sintesis VLDL (LDL dan TG).
Kolestipol - - + + Mengikat asam empedu untuk menganggu sirkulasi
kembali enterohepatik dari asam empedu. Hati di
stimulasi untuk mengubah kolesterol hepatoselular
menjadi asam empedu.
Ezetimibe - - + - - Menghambat absorpsi kolesterol dan sitosterol
dalam usus. Obat ni efektif menurunkan LDL dan
kolesterol total.
Keterangan : + + + = kenaikan lipid >25% - - - = penurunan
lipid >25%
+ + = kenaikan lipid 5-25% - - = penurunan lipid 5-25%
+ = kenaikan lipid <5% - = penurunan lipid
<5%
Kesimpulan :
Bila dilihat dari tabel diatas, simvastatin merupakan salah satu obat yang
paling poten atau ampuh untuk menyembuhkan penyakit hiperlipidemia,
karena LDL yang diturunkan oleh obat tersebut >25% dan HDL yang
dinaikkan sekitar 5-25%, walaupun TG yang diturunkan >25%. Mekanisme
kerja obat ini dengan cara menghambat sintetis kolesterol yang
merupakan lipid plasma utama dalam hati dan menghambat enzim HMG
CoA reduktase yang merupakan enzim penghasil kolestrol. Sehingga
sintesis kolestrol dapat dihambat.
Activity 4 : Hiperlipidemia Case
Patient A, a 45-year-old white man (100kg), present to the cardiovascular clinic for his initial
screening. He has a 30-pack/year history of tobacco use and does not drink alcohol. His vital
signs today include blood pressure (BP) average of two readings) 138/82 mmHg and heart
rate (HR) 74 beats/minute. His laboratorium result include sodium 144mEq/L, potassium 4.2
mEq/L, blood urea nitrogen (BUN) 12 mg/dl, and serum creatinine (SCr) 1.0 mg/dL. A
fasting lipid panel reveals total cholesterol 239 mg/dL, high-density lipoprotein 50 mg/dL,
and triglycerides 140 mg/dL.
5. Calculate this patient’s low-density-lipoptotein.
LDL = Total kolesterol – HDL – (TG/5)
= 239 mg/dL – 50 mg/dL – (140/5)
= 239 – 50 – 28 = 161 mg/dL
Kesimpulan :
Pasien tersebut memiliki kadar LDL yang cukup tinggi karena kadar LDL normal < 100
mg/dL sedangkan pasien pada kasus ini kadar LDLnya mencapai 161 mg/dL
6. Recommended an appropriate lipid lowering plan for this patient/
Pengobatan non farmakologi :
- Pasien dianjurkan makan-makanan rendah kolesterol (<300 mg/hari), rendah
lemak total (<30% dari kalori), rendah lemak jenuh (< 10% dari kalori).
- Olahraga.
- Life style modification.
Pengobatan farmakologi:
- Untuk kasus ini obat yang dapat digunakan adalah golongan statin dan bile acid
karena statin dan bile acid dapat menurunkan LDL dan kolesterol tetapi tidak
mempengaruhi kadar TG dan HDLnya.
- Pola lipoproteinnya termasuk ke dalam golongan IIa, sehingga obat yang cocok
adalah statin dan bile acid (cholestyramine).
- Statin memiliki efek yang salah satunya dapat menurunkan resiko CHD sehingga
lenih cocok untuk pasien dengan kondisi seperti ini.
- Penurunan LDL 61/160 x 100 % = 38 %
- Dari hasil diatas maka obat yang digunakan yaitu alorvastatin (lipitor) 10mg per
hari dan simvastatin 20mg/hari.
KASUS FARMAKOTERAPI
KASUS 1
Nama pasien : Bapak Lgw
Umur pasien : 47 tahun, BB 70 kg
Keluhan : Sakit kepala, dua minggu yang lalu periksa ke dokter dengan tekanan
darah 150/90 mmHg disarankan perubahan kualitas hidup namun
tidak membaik.
Kondisi sosial : Tidak merokok.
Tekanan darah : 155/95 mmHg Nadi : 70 x/menit
Jantung/paru : Dalam batas normal
Laboratorium
Kolesterol : 150 Normal 110-200 mg/dL
Trigliserida : 100 Normal 30-160 mg/dL
GDN : 100 Normal 70-110 mg/dL
Kreatinin : 1,12 Normal 0,5-1,5 md/dL
Diagnosa : Hipertensi golongan I tanpa faktor resiko lain.
Manajemen pengobatan!
o Famakologis :
Digunakan antihipertensi diuretik golongan tiazid.
Diuretik sering diberikan sebagai terapi hipertensi golongan pertama. Terapi diuretik
dengan dosis rendah aman dan efektif untuk menghindari stroke, gagal jantung kongestif,
dan mortalitas. Tetapi, diuretik harus dihindari untuk pengobatan hipertensi pada pasien
dengan hiperglikemi.
Diuretik bekerja dengan meningkatkan ekskresi natrium, air, dan klorida sehingga
menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Maka dari itu, akan terjadi penurunan
curah jantung dan tekanan darah. Selain itu, beberapa diuretik juga dapat menurunkan
resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya.
-Tiazid-
Tiazid bekerja dengan cara menghambat transport bersama (symport) Na-Cl di
tubulus distal ginjal, sehingga terjadi peningkatan eksresi Na+ dan Cl-.
Obat dari golongan tiazid yang biasanya digunakan untuk hipertensi ringan atau
sedang ini adalah hidroklorotiazid (HCT). Hidrokortisoltiazid digunakan sebagai obat
tunggal untuk pengobatan hipertensi ringan atau sedang dosisnya 12,5 mg/hari dan dosis
maksimalnya < 25 mg/hari melalui oral.
Efek hipotensi dari golongan tiazid baru terlihat setelah 2-3 hari dan mencapai
maksimum setelah 2-4 minggu. Karena itu, perlu dilakukan peningkatan dosis tiazid
dengan interval waktu yang tidak kurang dari 4 minggu.
Efek samping dari antihipertensi golongan tiazid ini dapat menimbulkan hipokalemia
dan hiperurikemi pada 70% pasien dan hiperglikemi pada 10% pasien. Selain itu
golongan tiazid dapat menimbulkan hiponatremia, hipomagnesemia, hiperkalsemia, dan
dapat menghambat eksresi asam urat dari ginjal.
o Non farmakologis :
Tidak dianjurkan melakukan terpai non farmakologis karena hipertensi yang diderita
oleh pasien merupakan jenis hipertensi tanpa faktor resiko lain.
KASUS 2
Nama : Nyonya KS
Umur : 32 tahun BB 65 kg
Keluhan : Kaki bengkak sejak tiga tahun yang lalu. Tekanan darah 150/100 mmHg
pada kehamilan I pada minggu ke-25.
Riwayat penyakit terdahulu : Hipertensi negatif.
Laboratorium
GD puasa : 100 Normal 70-110 mg/dL
Proteinurea : +
Diagnosa : Hipertensi pada kehamilan (pre eclampsia ringan).
Manajemen pengobatan!
Sebelum membahas pengobatannya, akan sedikit disinggung mengenai penyebab kaki
bengkak pada pasien tersebut. Kaki membengkak dapat terjadi karena pengaruh TD yang
tinggi dan dapat juga dipengaruhi karena pasien menderita proteinurea.
o Farmakologis :
Digunakan antihipertensi α-bloker golongan metildopa atau vasodilator
golongan hidralazin.
α-bloker
α-bloker selektif bekerja dengan cara menghambat reseptor α1. Hambatan reseptor
tersebut menyebabkan vasodilatasi di arteriol dan venula sehingga menurunkan resistensi
perifer. Di samping itu, venodilatasi menyebabkan aliran balik vena berkurang yang
selanjutnya menurunkan curah jantung. Sedagkan, α-bloker non selektif kurang efektif
sebagai antihipertensi karena hambatan reseptor α-2 di ujung saraf adrenergik akan
meningkatkan penglepasan norepinefrin dan meningkatkan aktivitas simpatis.
-Metildopa-
Metildopa merupakan prodrug yang dalam SSP menggantikan kedudukan DOPA
dalam sintesis katekolamin dengan hasil akhir α-metilnorepinefrin. Dan efek
hipertensinya diduga lebih disebabkan karena stimulasi reseptor α-2 di sentral sehingga
mengurangi sinyal simpatis ke perifer. Metildopa menurunkan resistensi vaskular tanpa
banyak mempengaruhi sinyal simpatis ke perifer.
Dosis efektif metildopa minimal adalah 2 x 125 mg/hari dan dosis maksimal sebesar 3
g/hari.Efek maksimal dari metildopa akan tercapai saat 6-8 jam setelah pemberian oral
atau intravena.
Pemakaian metildopa jangka panjang dapat menyebabkan retensi air sehingga efek
antihipertensinya semakin berkurang. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian diuretik.
Efek samping dari metildopa yang paling sering terjadi adalah sedasi, hipotensi
postural, pusing, mulut kering, dan sakit kepala. Efek samping lain adalah depresi,
gangguan tidur, impotensi, kecemasan, penglihatan kabur, dan hidung tersumbat.
Penghentiaan mendadak konsumsi metildopa dapat menimbulkan fenomena rebound
berupa peningkatan TD mendadak. Cara mengatasinya adalah dengan diberikan
metildopa kembali atau obat lain.
Catatan:
Apabila dikaitkan dengan hasil laboratorium yang menyatakan bahwa pasien
mengalami proteinurea ringan (proteinurea +1), tetapi penggunaan metildopa tidak akan
berpengaruh terhadap aliran darah ginjal dan fungsi ginjal. Metildopa juga dinyatakan
aman untuk pengobatan hipertensi pada kehamilan karena tidak mengganggu keselamatan
janin.
Vasodilator
Vasodilatasi bekerja dengan cara merelaksasi otot polos vaskular, yang menurunkan
resistensi dan menyebabkan penurunan tekanan darah.
-Hidralazin-
Hidralazin menyebabkan vasodilatasi langsung, yang bekerja terutama pada arteri dan
arteriol. Vasodilatasi yang terjadi menimbulkan reflek kompensasi yang kuat berupa
peningkata kekuatan dan frekuensi denyut jantung, peningkatan renin, dan norepinefrin
plasma. Hidralazin juga menurunkan tekanan berbaring dan berdiri. Karena lebih selektif
bekerja pada arteriol, maka hidralazin jarang menimbulkan hipotensi ortostatik.
Hidralazin tidak digunakan sebagai antihipertensi tunggal karena takifilaksis akibat
retensi cairan dan reflek simpatis akan mengurangi khasiatnya.
Dosis hidralazin yang diberikan pada pasien dengan eklampsia adalah sebesar 20-40
mg dan dosis maksimalnya sebesar 200 mg/hari melalui intramuskular atau intravena.
Efek samping hidralazin menimbulkan sakit kepala, mual, flushing, hipotensi, takikardia,
palpitasi, angina pektoris.
o Non farmakologis :
Dapat dilakukan dengan menjaga pola hidup, pola makan, dan manajemen stress,
seperti kontrol kehamilan teratur, diet cukup (protein, rendah karbohidrat, lemak, dan
garam), makan dengan gizi seimbang, cukup olahraga, dan cukup tidur. Dengan
memperhatikan hal-hal tersebut tidak hanya hipertensi yang dapat berkurang melainkan
proteinurea ringan yang dialami pasien juga dapat disembuhkan.
KASUS 3
Nama : Bapak JK
Umur : 35 tahun BB 50 kg
Keluhan : Sering sakit kepala dengan tekanan darah 150/95 mmHg.
Riwayat penyakit terdahulu : Bapak JK juga seorang penderita asma. Obat yang diminum
neonapacin.
Diagnosa : Hipertensi golongan I dengan riwayat asma pada penderita.
Manajemen pengobatan!
Sebelum membahas pengobatannya, akan sedikit disinggung mengenai penyebab sakit
kepala pada pasien tersebut. Penyebabnya adalah konsumsi neonapacin karena obat asma
tersebut tidak disarankan untuk pasien dengan hipertensi.
Menurunkan tekanan darah ke kondisi normal <140/90 mmHg tetapi tidak mengganggu
gejala asma yang diderita.
o Farmakologis :
Untuk kasus ini, pasien dapat diberikan antihipertensi β-bloker selektif dengan
dosis yang sangat rendah.
Cara kerja dari antihipertensi β-bloker adalah dengan memblok β-adrenoreseptor
sehingga dapat menurunkan tekanan darah.
Obat dari jenis β-bloker selektif yang dapat digunakan adalah atenolol, betaxolol,
bisoprolol, dan metoprolol. Penggunaan antihipertensi β-bloker selektif adalah melalui
oral dalam bentuk tablet atau kapsul.
β-Bloker Selektif
Dosis
Awal
(mg/
hari)
Dosis Awal
Maksimal
(mg/hari)
Frekuensi
PemberianSediaan
Atenolol 25 100 1 xTab. 50 mg, 100
mg
Bisoprolol 2,5 10 1 x Tab. 5 mg
Metoprolol
- Biasa 50 200 1-2 xTab. 50 mg, 100
mg
- Lepas
lambat100 200 1 x Tab. 100 mg
Catatan:
Pada kenyataannnya, pasien hipertensi golongan satu dengan riwayat penyakit asma tidak
diperbolehkan mengkonsumsi antihipertensi α/β-bloker karena β-bloker dapat menyebabkan
peningkatan obstruksi bronkus dan reaktivitas jalan nafas dan resistensi efek agonis β-
reseptor melalui inhalasi maupun oral.
Penggunaan cardioselective β-bloker harus dilakukan uji coba antara 4 sampai 6 minggu.
Selama waktu ini, pasien harus melacak serangan asma, kesulitan bernafas biasa, atau
perubahan lain dalam pernapasan/ pola/ usaha dan melaporkan masalah dengan dokter.
Jika pasien mengalami masalah serius (sangat meningkatkan jumlah serangan, kesulitan
bernapas sering), beta blocker harus dihentikan. Dan walaupun uji coba berjalan dengan baik,
harus dipastikan kesiagaan inhaler bantuan serta obat lain atau perawatan lain yang telah
ditentukan dokter. Selama pengobatan, asma (atau penyakit saluran napas lainnya) akan
memerlukan pemantauan, sehingga pasien harus mencari perawatan medis segera untuk
setiap masalah pernapasan serius.
o Non farmakologis :
Menciptakan keadaan rileks untuk mengontrol sistem saraf yang akhirnya dapat
menurunkan tekanan darah.