Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

119
Farmakokinetika Klinis Azizah Nasution 2015

Transcript of Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

Page 1: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

Farmakokinetika Klinis

Azizah Nasution

2015

Page 2: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

USU Press

Art Design, Publishing & Printing

Gedung F

Jl. Universitas No. 9, Kampus USU

Medan, Indonesia

Telp. 061-8213737; Fax 061-8213737

Kunjungi kami di:

http://usupress.usu.ac.id

USU Press 2015

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak,

menyalin, merekam sebagian atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa

atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

ISBN 979 458 785 0

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Farmakokinetika Klinis / Azizah Nasution – Medan: USU Press, 2015

ix, 106 p.; ilus.: 24 cm

Bibliografi

ISBN: 979-458-785-0

Dicetak di Medan, Indonesia

Page 3: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

iii

Prakata Tubuh manusia merupakan sistem yang sangat komplek yang mana

proses biologi, fisiologi, dan biokimia berpengaruh terhadap

pergerakan dan kerja obat di dalam tubuh. Proses-proses ini

dikelompokkan menjadi absorpsi, distribusi, metabolisme, dan

eksresi. Ilmu yang mempelajari tentang perubahan jumlah obat di

dalam tubuh dengan pertambahan waktu dikenal sebagai

farmakokinetika. Konsep farmakokinetika telah lama diaplikasikan

di bidang farmasi baik dalam rangka pengembangan obat baru

maupun di bidang klinis. Farmakokinetika klinis merupakan ilmu

yang mempelajari aplikasi konsep farmakokinetika untuk

mengoptimalkan efek pengobatan.

Pasien penderita penyakit kronik seperti hipertensi, diabetes

mellitus dan epilepsy harus memakan obat setiap hari seumur

hidupnya. Disamping itu ada juga pasien yang hanya menggunakan

dosis tunggal untuk menghilangkan rasa sakit seperti sakit kepala.

Cara bagaimana obat digunakan disebut regimen dosis (Dosage

regimen). Lama pengobatan dan regimen dosis tergantung kepada

tujuan pengobatan yaitu apakah untuk penyembuhan, pengurangan

rasa sakit atau pencegahan.

Umumnya obat dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan

seperti mual, mulut kering, iritasi saluran pencernaan dan

hipertensi. Selain itu dosis obat yang terlalu besar akan

mengakibatkan akumulasi di dalam tubuh yang selanjutnya

menghasilkan efek toksik. Sebaliknya pemberian obat dengan dosis

yang terlalu rendah tidak akan menghasilkan efek pengobatan yang

sesuai dengan yang diinginkan. Oleh karena itu, untuk

mendapatkan pengobatan yang optimal, maka perlu pemahaman

yang baik tentang konsep farmakokinetika klinis. Untuk mencapai

pengobatan optimal, ” Drug of Choice” yang sesuai harus dipilih.

Keputusan hasil pemilihan tersebut mengimplikasikan diaganosis

penyakit secara tepat, pengetahuan tentang kondisi klinik pasien,

pemahaman farmakoterapetika, serta pemahaman konsep

farmakokinetika klinis. Sebagai contoh, seorang penderita asma

akut terpaksa dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan

pengobatan. Tim medis sepakat untuk memberi terapi dengan

Page 4: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

iv

teofilin secara infus intravena kecepatan konstan. Rentang terapi

obat adalah 10 – 20 mcg/ml plasma. Berapa kecepatan infus yang

harus diberikan untuk mendapatkan konsentrasi tersebut di atas?

Prinsip-prinsip farmakokinetika klinis yang mencakup proses

absorpsi, distribusi, metabolisme dan eksresi obat di dalam tubuh

dan parameter-parameternya, konsep pemberian obat intravena dan

per oral baik dosis tungggal maupun dosis ganda serta aplikasinya

dalam pengobatan pasien, akan dibahas dalam bab-bab berikut ini.

Buku ini terdiri dari 10 bab. Dalam bab satu dijelaskan tentang

perbedaan antara biofarmasi, farmakokinetika, farmakokinetika

klinis, dan farmakodinamika. Bab dua membahas tentang

penggolongan obat berdasarkan rute pemberian. Dalam bab tiga

dibahas tentang pengertian, konsep dasar pengaturan efek terapi,

serta perhitungan parameter-parameter farmakokinetika untuk

pemberian intravena dosis tunggal. Kemudian dalam bab empat

dibahas tentang pemberian obat secara infus, prinsip steady state,

faktor yang mempengaruhi selama obat diberikan, dan aplikasi

parameter farmakokinetika untuk menghitung besarnya dosis baik

secara infus maupun kombinasi intravena dan infus. Selanjutnya,

bab lima membahas pemberian obat secara ekstravaskular, faktor-

faktor yang mempengaruhi absorpsi, kinetika absorpsi, hubungan

antara waktu dengan konsentrasi serta interpretasinya untuk

mendapatkan parameter-parameter farmakokinetika. Seterusnya

dalam bab enam dibahas prinsip dan parameter farmakokinetika

dosis berganda, faktor-faktor penentu pengaturan dosis dan

interval, untuk pemberian intravaskular dan ekstravaskular. Dalam

bab tujuh dibahas tentang kinetika dan fator penentu jumlah

metabolit di dalam tubuh, interpretasi serta implikasi klinik.

Kemudian dalam bab delapan dibahas tentang keanekaragaman

respons serta strategi untuk mengoptimalkan terapi. Dalam bab

sembilan dibahas tentang penggunaan obat pada pasien dengan

gangguan ginjal, perubahan fisiologi, perubahan farmakokinatika

dan farmakodinamika serta pendekatan yang dapat dilakukan untuk

mengoptimalkan terapi. Terahir adalah bab sepuluh yaitu

membahas tentang prinsip penggunaan obat pada pasien dengan

gangguan hatiserta faktor-faktor yang harus dipertimbangkan.

Page 5: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

v

Dalam buku ini juga dibahas tentang contoh-contoh soal sebagai

pelatihan dan untuk mempermudah pemahaman dan aplikasi

konsep farmakokinetika klinis dalam pengoptimalan penggunaan

obat.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah

memberikan motivasi, saran dan kritikan yang membangun demi

penyelesaian dan penyempurnaan buku ini.

Semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca.

Azizah Nasution

Page 6: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

vi

Daftar Isi Prakata ............................................................................................. iii

Daftar Isi ......................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN ........................................................ 1

BAB II PENGGOLONGAN OBAT DAN KONSEP

PENGATURANRESPONS ........................................ 3

2.1 Penggolongan Obat ................................................................ 3

2.1.1 Pemberian Intravaskular ................................................ 3

2.1.2 Pemberian Ekstravaskular ............................................. 3

2.2 Contoh-contoh Soal ............................................................... 7

BAB III PENGERTIAN DAN PERHITUNGAN

PARAMETER PARAMETER

FARMAKOKINETIKA ........................................... 10

3.1 Pemberian Obat Secara Intravena ......................................... 10

3.1.1. Volume Distribusi (V) ............................................ 10

3.1.2. Konstanta Kecepatan Eliminasi (k) ......................... 11

3.1.3. Waktu Paruh ............................................................. 17

3.1.4. Proporsi Obat Tereliminasi ....................................... 17

3.1.5. Clearance Total (Cl) ................................................. 18

3.1.6. Clearance Renal dan Clearance Ekstrarenal ............. 20

3.2 Contoh-contoh Soal .............................................................. 22

BAB IV PEMBERIAN INFUS DENGAN

KECEPATAN KONSTAN ...................................... 30

4.1 Prinsip Steady State ............................................................. 30

4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Steady State ................ 30

4.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsentrasi Obat

Selama Infus Diberikan ....................................................... 32

4.4 Waktu yang Dibutuhkan untuk Mencapai Steady State ....... 32

4.5 Kombinasi Intravena Bolus dan Infus .................................. 33

4.6 Konsentrasi Obat di dalam Plasma Setelah Infus

Dihentikan ............................................................................ 35

4.7 Estimasi Parameter Farmakokinetika ................................... 36

4.8 Contoh-contoh Soal .............................................................. 37

Page 7: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

vii

BAB V PEMBERIAN OBAT EXTRAVASCULAR ........... 40

5.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Absorpsi ....................... 40

5.1.1. Ketersediaan Hayati Per Oral .................................... 42

5.1.2. Kinetika Absorpsi ..................................................... 42

5.1.3. Hubungan antara Waktu dengan Konsentrasi

Obat ........................................................................... 43

5.1.4. Analisis Parameter-parameter Farmakokinetika ...... 44

5.2 Contoh-contoh Soal ............................................................. 47

BAB VI PRINSIP PENGATURAN PEMBERIAN

DOSIS GANDA ......................................................... 48

6.1 Pendekatan Pengaturan Dosis dan Interval Pemberian

Obat ...................................................................................... 48

6.1.1 Pendekatan Empiris .................................................. 48

6.1.2 Pendekatan Kinetika ................................................. 49

6.1.3 Faktor-faktor Penentu Pengaturan Dosis dan

Interval ...................................................................... 49

6.2 Akumulasi Obat ................................................................... 50

6.3 Interpretasi Kinetika ............................................................. 51

6.3.1 Interval Pemberian dan Akumulasi Obat .................. 51

6.3.2 Jumlah Maksimum dan Minimum Obat di

dalam Tubuh ............................................................. 53

6.3.3 Jumlah Rata-Rata Obat Di Dalam Tubuh Pada

Steady State ............................................................... 54

6.3.4 Konsentrasi Rata-Rata Obat Di Dalam Plasma

Pada Steady State ...................................................... 55

6.3.5 Indeks Akumulasi ..................................................... 56

6.3.6 Kecepatan Akumulasi Sampai Dicapai Steady

State ........................................................................... 56

6.3.7 Hubungan antara Dosis Muatan dengan Dosis

Pertahanan ................................................................. 57

6.4 Contoh-contoh Soal .............................................................. 58

BAB VII KINETIKA METABOLIT ....................................... 61

7.1 Proses Metabolisme Obat ..................................................... 61

7.2 Faktor-faktor Penentu Jumlah Metabolit di dalam

Tubuh .................................................................................... 62

7.2.1 Kecepatan Metabolisme Sebagai Penentu

Jumlah Metabolit ...................................................... 64

7.2.2 Kecepatan Eliminasi Metabolit Sebagai Penentu ..... 65

Page 8: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

viii

7.2.3 Konsentrasi Metabolit di dalam Plasma ................... 66

7.2.4 Interpretasi Data Metabolit ....................................... 66

7.3 Implikasi Terapi .................................................................... 67

7.3.1 Prodrug tidak aktif dan metabolit aktif ..................... 67

7.3.2 Obat Aktif dan Metabolit Tidak Aktif ...................... 68

7.4 Contoh-contoh Soal .............................................................. 68

BAB VIII KEANEKARAGAMAN RESPONS ........................ 70

8.1 Ketidaksesuaian Penggunaan Obat ....................................... 70

8.2 Genetik .................................................................................. 71

8.3 Toleransi (ketergantungan) .................................................. 74

8.4 Penyakit ................................................................................ 75

8.5 Usia dan Berat Badan ........................................................... 75

8.6 Formulasi .............................................................................. 77

8.7 Rute Pemberian .................................................................... 78

8.8 Interaksi Obat ...................................................................... 78

BAB IX PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN

DENGAN GANGGUAN GINJAL .......................... 81

9.1 Penyakit Ginjal Kronik ......................................................... 81

9.2 Perubahan Farmakokinetika dan Farmakodinamika ............ 82

9.2.1 Perubahan Farmakokinetika ..................................... 82

9.2.1.1 Perubahan absurpsi obat ........................................... 82

9.2.1.2 Perubahan distribusi obat .......................................... 82

9.2.1.3 Perubahan metabolisme dan eksresi ......................... 83

9.2.2 Perubahan Farmakodinamika ................................... 84

9.3 Penyesuaian Dosis untuk Pasien dengan Gangguan

Ginjal .................................................................................... 84

9.3.1 Therapeutic Drug Monitoring ................................... 84

9.3.2 Pendekatan Praktis .................................................... 86

9.4 Contoh-contoh Soal .............................................................. 87

BAB X PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN

DENGAN GANGGUAN HATI ............................... 90

10.1 Fungsi dan Gangguan Hati ................................................... 90

10.2 Patofisiologi dan Manifestasi Klinik .................................... 91

10.3 Perubahan Farmakokinetika dan Farmakodinamika

Obat ...................................................................................... 91

10.4 PerubahanAliran Darah di Hati ............................................ 91

10.5 Penentuan Fungsi Hati .......................................................... 93

Page 9: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

ix

10.6 Strategi Penyesuaian Dosis ................................................... 94

10.6.1 Obat dengan Extraction Ratio Tinggi ....................... 94

10.6.2 Obat dengan Extraction Ration Menengah ............... 95

10.6.3 Obat dengan Extraction Ratio dan Ikatan

Protein Rendah .......................................................... 95

10.6.4 Obat dengan Extraction Ratio dan Ikatan

Protein Tinggi ........................................................... 95

10.7 Contoh-contoh Soal .............................................................. 96

DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 99

LAMPIRAN-LAMPIRAN .......................................................... 102

LAMPIRAN I - DAFTAR SINGKATAN .................................. 102

LAMPIRAN II - PARAMETER FARMAKOKINETIKA,

REGIMEN DOSIS DAN FARMAKODINAMIKA

BERBAGAI OBAT..................................................................... 104

INDEKS ....................................................................................... 108

Page 10: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id
Page 11: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

1

BAB I

PENDAHULUAN

Disiplin ilmu biofarmasi, farmakodinamika, farmakokinetika, dan

farmakokinetika klinis sangat erat hubungannya dan sering

dipertukarkan antara yang satu dengan lainnya. Biofarmasi

mempelajari hubungan antara sifat fisika kimia obat dan bentuk

sediaannya dengan efek biologik setelah diberikan kepada manusia

ataupun hewan. Jadi, konsep biofarmasi banyak diaplikasikan

dalam rangka pengembangan obat baru. Kajian biofarmasi bersifat

semi kuantitatif.

Berbeda dengan biofarmasi, kajian farmakokinetika bersifat

kuantitatif. Farmakokinetika berasal dari perkataan pharmacon (=

obat) dan kinetics (=sesuatu yang berubah dengan pertambahan

waktu). Jadi, farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari

perubahan-perubahan jumlah obat di dalam tubuh dengan

bertambahnya waktu. Farmakokinetika juga dapat didefinisikan

sebagai ilmu yang mempelajari proses absorpsi, distribusi,

metabolisme dan eksresi obat yang dihitung secara kuantitatif

berdasarkan konsep matematika serta diaplikasikan untuk

menghitung besarnya dosis dan interval pemberian obat.

Farmakokinetika juga didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari

apa yang dilakukan oleh tubuh terhadap obat . Selain biofarmasi,

konsep farmakokinetika juga penting diaplikasikan dalam rangka

pengembangan obat baru.

Aplikasi konsep farmakokinetika untuk menentukan besarnya dosis

dan interval pemberian obat untuk individu sehingga diperoleh

terapi yang rasional disebut sebagai farmakokinetika klinis. Cara

bagaimana obat digunakan, berapa besarnya dosis dan interval

pemberian serta lama penggunaan disebut regimen dosis (Dosage

regimen). Lama pengobatan dan regimen dosis tergantung kepada

tujuan pengobatan yaitu apakah untuk penghilang rasa sakit,

pencegahan ataupun penyembuhan penyakit.

Page 12: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

2

Berbeda dengan farmakokinetika, farmakodinamika adalah ilmu

yang mempelajari apa yang dilakukan oleh obat terhadap tubuh

atau ilmu yang mempelajari mekanisme kerja obat.

Farmakodinamika menghubungkan konsentrasi obat di dalam

plasma dengan respons terapi, sedangkan farmakokinetika

menghubungkan antara dosis obat dengan konsentrasi obat di

dalam plasma. Dengan demikian mudah dipahami bahwa

farmakokinetika mempunyai hubungan yang erat dengan

farmakodinamika.

Aplikasi konsep farmakokinetika klinis merupakan salah satu

pendekatan yang harus dilakukan untuk menghindari kemungkinan

terjadinya efek toksik, meminimalkan efek samping obat, serta

mengoptimalkan terapi. Pemahaman tentang prinsip-prinsip

farmakokinetika yang mencakup proses absorpsi, distribusi,

metabolisme dan eksresi obat di dalam tubuh dan parameter-

parameternya, perubahan nilai parameter farmakokinetika akibat

kondisi klinik pasien, keberadaan obat lain serta metabolit perlu

dipahami agar dapat diaplikasikan untuk merancang regimen dosis

yang rasional, sebagaimana akan dibahas dalam bab-bab berikut

ini.

Page 13: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

3

BAB II

PENGGOLONGAN OBAT DAN

KONSEP PENGATURAN

RESPONS

2.1. Penggolongan Obat

Berdasarkan cara pemberiannya, obat dapat dikelompokkan

menjadi dua golongan yaitu obat yang diberikan secara

intravaskular (intravena) dan ekstravaskular yaitu dimasukkan ke

dalam tubuh tidak secara langsung ke dalam pembuluh darah.

2.1.1 Pemberian Intravaskular

Pemberian intravaskular artinya obat langsung dimasukkan ke

dalam pembuluh darah vena atau arteri. Dalam hal ini tidak ada

proses absorpsi obat, maka semua obat (dosis yang diberikan) yang

ada dalam sediaan masuk ke dalam tubuh.

2.1.2 Pemberian Ekstravaskular

Pemberian secara ekstravaskular meliputi rute per oral, sublingual,

buccal, intramuscular, subcutan, transdermal, dan rectal. Sebelum

memasuki sirkulasi sistemik, obat harus terlebih dahulu diabsorpsi

oleh tubuh. Pada pemberian ekstravaskular, biasanya obat yang

masuk ke dalam tubuh tidak mencapai 100%. Hal ini disebabkan

oleh berbagai faktor diantaranya bentuk sediaan, ionisasi obat, pKa

obat, pH cairan tubuh, luas permukaan zat berkhasiat terlarut yang

berkontak dengan dinding organ tubuh seperti dinding saluran

pencernaan, koefisien partisi, dan waktu pengosongan lambung.

Page 14: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

4

Secara skematis, peristiwa yang dialami oleh obat di dalam tubuh

setelah diberikan secara intravena dan per oral dapat dilihat pada

Gambar 2.1. Dari skema tersebut dapat dilihat bahwa obat yang

diberikan secara intravena langsung memasuki sirkulasi sistemik

dan tidak mengalami peristiwa absorbsi. Jadi, seluruh obat yang

diberikan masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Berbeda dengan

pemberian obat secara intravaskular, obat yang diberikan per oral,

terlebih dahulu mengalami peristiwa absorpsi ke dalam sirkulasi

sistemik. Di dalam darah, baik obat yang diberikan secara intravena

maupun per oral akan berikatan secara reversible dengan protein

plasma dalam bentuk senyawa kompleks yang mengadakan

kesetimbangan (equilibrium) dengan obat bebas. Obat-obat yang

bersifat asam berikatan dengan albumin, sedangkan obat-obat yang

bersifat basa berikatan dengan alpha acid glycoprotein (AAG).

Obat bebas di dalam darah akan didistribusikan ke dalam jaringan

tubuh termasuk yang mengandung reseptor dan organ

pengmetabolisme yang selanjutnya metabolit yang dihasilkan akan

dieksresikan. Obat dengan reseptor membentuk senyawa kompleks

sehingga menyebabkan respons farmakologi. Berdasarkan teori

penempatan (occupational theory), besarnya respons yang

dihasilkan sebanding dengan konsentrasi obat yang berikatan

dengan reseptor. Dengan demikian konsentrasi obat pada reseptor

perlu dimonitor agar efek terapi yang diinginkan tercapai. Namun

pendekatan ini tidak mungkin dilaksanakan karena tidak praktis.

Contohnya adalah reseptor digoxin terdapat di dalam myocardium.

Sampel obat tidak mungkin dapat diambil dari jaringan ini.

Konsentrasi obat di dalam plasma, urin, saliva, dan cairan lainnya

dapat diukur. Perubahan konsentrasi obat di dalam plasma

merupakan gambaran perubahan konsentrasi obat pada reseptor dan

jaringan lainnya. Peninggian konsentrasi obat di dalam plasma

mengakibatkan peninggian konsentrasi obat di jaringan lainnya.

Dengan perkataan lain, konsentrasi obat yang berikatan dengan

reseptor ini sebanding dengan konsentrasi obat bebas yang ada di

dalam plasma. Jadi, pengaturan respons dapat dilakukan dengan

mengatur konsentrasi obat di dalam plasma.

Respons yang dihasilkan suatu saat akan menurun akibat

penurunan jumlah obat di dalam tubuh karena peristiwa

metabolisme dan eksresi. Dengan demikian konsep dasar

Page 15: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

5

pengaturan respons farmakologi ialah menjaga agar konsentrasi

obat selalu berada dalam rentang terapi.

Gambar 2.1. Skematis nasib obat di dalam tubuh

Rentang terapi adalah batasan konsentrasi obat di dalam serum

yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek pengobatan tanpa efek

toksik yang signifikan. Sungguhpun rentang terapi merupakan

konsentrasi efektif untuk kebanyakan pasien, namun konsentrasi

terapi dapat bervariasi dari pasien yang satu ke pasien lainnya

(individual variability). Kadang-kadang pasien tertentu

membutuhkan kadar obat sedikit lebih rendah atau lebih tinggi dari

rentang terapi untuk menghasilkan efek pengobatan yang optimal

(optimal efficacy). Rentang terapi berbagai obat tercamtum pada

Tabel 2.1. Seperti tercantum pada Tabel 2.1 rentang terapi obat-

obat tersebut bervariasi dari 0.006 sampai 400 mcg/ml.

Efek terapi optimal dapat diperoleh dengan mempertahankan agar

konsentrasi obat tetap berada dalam rentang terapi dengan

mengatur besarnya dosis dan interval pemberian (kecepatan

masuknya obat ke dalam tubuh) yang berdasarkan kepada besarnya

eliminasi obat. Karena struktur kimia berbagai kelompok obat

Obat dalam

Jaringan

Obat dalam

Cairan Tubuh

Obat

per oral

Respon

Farmakologi

(pengobatan)

[Obat][Protein] Obat Bebas

(di dalam darah)

Obat

pada

Reseptor

Komplek

Obat

Reseptor

Eksresi

Organ pengmetabolisme:

metabolit

Metabolisme

Absorpsi

Obat

Intravena

Page 16: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

6

berbeda satu sama lainnya, maka akan menghasilkan parameter

farmakokinetika yang berbeda-beda pula sehingga dosis dan

interval pemberian akan berbeda.

Tabel 2.1 Rentang terapi berbagai obat

No Nama Obat Terapi Rentang

Terapi

(mcg/ml)

1 Acatazolamide Glaucoma 10-30

2 Digitoxin Congestive Heart

Failure

0,01-0,02

3 Digoxin Congestive Heart

Failure

0,0006-0,002

4 Gentamycin Infeksi bakteri Gram

negative

1-10

5 Lidocain Ventricular Arithmia 1,2-5,6

6 Lithium Depresi 0,04-1,4

(mEq/L)

7 Nortriptyline Depresi endogen 0,05-0,14

8 Phenobarbital Epilepsi 10-25

9 Phenytoin Epilepsi 10-20

10 Procainamide Ventricular Arithmia 4-8

11 Propranolol Angina Pectoris 0,01-0,1

12 Quinidine Cardiac Arithmia 3-6

13 Theophylline Asthma 6-20

14 Warfarin Thrombo embolic

diseases

1-4

15 Salicylic Acid Pain & Aches 20-100

Rheumatoid arthritis 100-300

Rheumatic Fever 250-400

Page 17: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

7

2.2. Contoh-contoh Soal

1. Ilmu yang mempelajari perubahan jumlah obat di dalam tubuh

dengan pertambahan waktu disebut:

a. Farmakokinetika

b. Farmakodinamika

c. Bioavailabilitas

d. Farmakogenetik

2. Farmakodinamika adalah ilmu yang mempelajari tentang:

a. Apa yang dilakukan oleh tubuh terhadap obat

b. Apa yang dilakukan oleh obat terhadap tubuh

c. Menghubungkan antara dosis dengan konsentrasi obat

didalam plasma

d. Tidak ada jawaban yang benar

3. Farmakokinetika berbeda dengan biofarmasi yaitu:

a. Kajian farmkokinetika lebih bersifat kuantitatif

dibandingkan dengan kajian biofarmasi

b. Kajian biofarmasi lebih bersifat kuantitatif dibandingkan

dengan kajian farmakokinetika

c. Hanya kajian farmakokinetika yang dapat diaplikasikan

dalam pengembangan obat baru

d. Tidak ada jawaban yang benar

4. Strategi pengaturan efek terapi dapat dilakukan dengan:

a. Menentukan kadar obat pada reseptor

b. Mnghitung jumlah obat di dalam plasma

c. Mengatur konsentrasi obat di dalam plasma

d. Tidak ada jawaban yang benar

5. Obat yang diberikan secara intravena mempunyai nilai

bioavailabilitas:

a. > 100%

b. < 100%

c. 1

d. Tidak ada jawaban yang benar

Page 18: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

8

6. Obat yang diberikan per oral mempunyai nilai bioavailabilitas:

a. > 100%

b. < 100%

c. 1

d. Tidak ada jawaban yang benar

7. Setelah memasuki sirkulasi sistemik, obat yang bersifat asam:

a. Berikatan secara reversibel dengan protein plasma

b. Berikatan secara irreversibel dengan protein plasma

c. Berikatan dengan protein plasma dan akan didistribusikan

ke dalam organ-organ lain

d. Tidak ada jawaban yang benar

8. Di dalam plasma, obat yang bersifat basa berikatan dengan:

a. Albumin

b. AAG

c. Globulin

d. Tidak ada jawaban yang benar

9. Respons yang dihasilkan oleh suatu obat akan menurun

sebagai akibat dari:

a. Distribusi obat ke dalam jaringan

b. Metabolisme

c. Metabolisme dan eksresi

d. Tidak ada jawaban yang benar

10. Yang dimaksud dengan rentang terapi suatu obat adalah:

a. Konsentrasi obat yang menghasilkan efek maksimal dan

meniadakan efek samping

b. Konsentrasi obat yang meniadakan efek toksik

c. Konsentrasi obat yang menghasilkan efek terapi optimal

d. b dan c benar

Page 19: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

9

Jawaban:

Jawaban yang benar untuk soal nomor 1 sampai dengan 10

adalah sebagai berikut:

1. a

2. b

3. a

4. c

5. c

6. b

7. a

8. b

9. c

10. d

Page 20: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

10

BAB III

PENGERTIAN DAN

PERHITUNGAN

PARAMETER-PARAMETER

FARMAKOKINETIKA

Seperti telah diuraikan dalam Bab II bahwa pengaturan respons

terapi dilakukan dengan mengatur kecepatan masuknya obat ke

dalam tubuh yang berdasarkan kepada kecepatan eliminasi. Terkait

dengan hal tersebut, parameter-parameter farmakokinetika yang

menentukan besarnya jumlah obat di dalam tubuh dan kecepatan

eliminasi serta berperan penting dalam menentukan regimen dosis

perlu dipahami terlebih dahulu. Parameter-parameter tersebut

meliputi:

Volume Distribusi (V)

Konstanta Kecepatan Eliminasi (k)

Waktu paruh (t ½)

Persen eliminasi dalam hubungan dengan t ½

Cleareance (bersihan):

- Clearance Total (Cl)

- Clearance Renal (ClR)

- Clearance Extra Renal (ClER)

3.1. Pemberian Obat Secara Intravena

3.1.1 Volume Distribusi (V)

Pendekatan sederhana tentang pemahaman volume distribusi dapat

dijelaskan setelah obat dengan dosis tertentu diberikan secara

intravena (iv). Obat akan didistribusikan oleh sirkulasi darah ke

dalam organ-organ tubuh sebagaimana telah diuraikan pada Bab II.

Page 21: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

11

Setelah distribusi sempurna (kesetimbangan atau equilibrium

dicapai), maka jumlah obat (A) di dalam tubuh berhubungan

dengan konsentrasi obat di dalam plasma (C) seperti dituliskan

dalam persamaan (1) dan (2):

A = V.C ................…………….…………………..(1)

V = A/C …………………………………………....(2)

Berdasarkan persamaan (2), maka mudah dipahami bahwa volume

distribusi:

merupakan perbandingan antara jumlah obat di dalam tubuh

dengan konsentrasi di dalam plasma atau darah

merupakan volume plasma atau darah yang dibutuhkan

untuk memberi gambaran distribusi obat di dalam tubuh

setelah kesetimbangan dicapai

merupakan indikator besarnya distribusi obat ke dalam

cairan tubuh dan jaringan serta gambaran/indikasi obat di

dalam tubuh

jarang berhubungan dengan ukuran tubuh

berhubungan dengan ikatan protein

Obat yang bersifat polar cenderung memiliki volume

distribusi yang kecil. Sebaliknya, obat yang bersifat non-

polar cenderung mempunyai volume distribusi yang besar.

Semakin besar volume distribusi obat, semakin sedikit

jumlah obat yang berada di dalam plasma.

3.1.2 Konstanta Kecepatan Eliminasi (k)

Konstanta kecepatan eliminasi merupakan salah satu parameter

metabolisme dan eliminasi obat. Konstanta kecepatan eliminasi

ditentukan dengan mengaplikasikan konsep persamaan order

reaksi. Dalam hal ini tubuh dianggap mengikuti model satu

kompartemen terbuka dengan asumsi bahwa:

tubuh merupakan suatu system yang homogen

obat masuk ke dalam sirkulasi darah, tanpa proses absorpsi

distribusi obat berlangsung dengan cepat dan homogen

eliminasi obat merupakan proses reaksi order pertama

Page 22: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

12

Dengan demikian kecepatan eliminasi obat berbanding lurus

dengan jumlah obat di dalam tubuh sebagaimana dijelaskan berikut

ini:

Setelah kesetimbangan dicapai, kecepatan eliminasi adalah sebagai

berikut:

dt

dA = k.A

k = A

dtdA /

A = Jumlah obat di dalam tubuh.

Perubahan jumlah obat di dalam tubuh dapat dituliskan dengan

persamaan (3).

dt

dA= - kA ……………….…………. (3)

Bila persamaan (3) diintegralkan, maka akan diperoleh persamaan

(4) dan (5):

A = Ao e –kt

…………………………...(4)

V. C = V. Co e –kt

…………………………...(5)

Setelah obat diberikan secara intravena, jumlah obat di dalam

tubuh saat t = 0 (Ao) adalah sama dengan dosis obat. Persamaan (5)

dapat disederhanakan menjadi persamaan (6).

C = Co e-kt

…………………………...(6)

Persamaan (6) menunjukkan konsentrasi obat di dalam tubuh

menurun secara eksponensial setelah diberikan secara intravena

bolus seperti tertera pada Gambar 3.1.

Ao ( = Dosis ) k

t = 0

Fungsi

A, t

Page 23: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

13

Gambar 3.1. Plot konsentrasi versus t

Umumnya analisis parameter-parameter farmakokinetika dan

konsentrasi obat dapat dengan mudah dilakukan dengan

menggunakan persamaan garis lurus. Persamaan (6) dapat ditulis

menjadi persamaan (7):

In C = In Co – kt ………………………...…(7)

Persamaan (7) merupakan persamaan garis lurus yang mana apabila

diplot ln C versus waktu (t), maka akan diperoleh garis lurus seperti

tertera pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2. Plot ln C versus t

Cara lain untuk menganalisis data adalah dengan memplot

konsentrasi versus waktu di atas kertas grafik semilog. Contoh

kertas grafik semilog adalah seperti dicantumkan pada Gambar 3.3.

C

t

lnC

t

C0

Page 24: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

14

Kertas grafik semilog merupakan kertas grafik yang mana

pembagian skala sumbu y sudah disesuaikan dengan nilai

logaritma. Pembagian skala sumbu x adalah merata. Jadi istilah

semilog bermakna bahwa hanya satu sumbu yang sudah

disesuaikan dengan nilai logaritma. Bila diplot nilai konsentrasi

aktual versus waktu di atas kertas grafik ini, maka akan diperoleh

garis lurus. Keunggulan pemanfaatan kertas grafik semilog

dibandingkan dengan kertas grafik biasa adalah lebih efisien waktu

karena tidak diperlukan lagi untuk menghitung nilai logaritma dari

masing-masing konsentrasi sebelum diplot terhadap masing-masing

waktu yang bersangkutan.

Page 25: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

15

Gambar 3.3. Kertas grafik semilog

Siklus

ketiga

Siklus

pertama

Siklus

kedua

Page 26: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

16

Contoh kertas grafik semilog pada Gambar 3.3 adalah kertas grafik

3 siklus. Nilai sumbu y adalah fleksibel, tergantung kepada rentang

konsentrasi obat yang akan diplot. Bila nilai y terendah adalah 1

(perpotongan antara sumbu y dan sumbu x), maka nilai paling

tinggi pada siklus petama adalah 10. Selanjutnya angka 2 pada

siklus kedua adalah 20 dan angka paling tinggi pada siklus ini

adalah 100.

Dari persamaan (7) dapat dipahami bahwa:

konstanta kecepatan eliminasi merupakan slope dari

persamaan linier tersebut dan dapat dibaca dari grafik.

konstanta kecepatan eliminasi merupakan fraksi obat yang

dieliminasi dari dalam tubuh setiap unit waktu. Contoh:

Suatu obat mempunyai nilai k sebesar 0,3 jam-1

. Nilai ini

bermakna bahwa 30 persen dari jumlah obat yang berada di

dalam tubuh dieliminasi setiap jam. Satuan k untuk reaksi

order pertama adalah waktu-1

.

Bila k diketahui, maka jumlah obat yang tinggal di dalam

tubuh untuk waktu tertentu setelah diberikan secara

intravena (iv) dapat diketahui.

Misalkan suatu obat diberikan secara intravena dengan dosis

sebesar 1000 mg. Obat tersebut mempunyai nilai k = 0,1 jam-1

.

Jumlah obat yang tinggal dan dieliminasi setiap jam dapat dihitung

dan hasilnya adalah seperti tertera pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Perubahan jumlah obat di dalam tubuh (dosis =

1000mg; k = 0,1 jam-1

)

Waktu Jumlah Tereliminasi (mg) Jumlah yang tinggal di

dalam tubuh (mg)

0 0 1000

1 100 900

2 90 810

Dua konsep penting yang perlu dipahami, yaitu:

proporsi obat tereliminasi adalah konstan

kecepatan eliminasi menurun dengan pertambahan waktu

Page 27: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

17

3.1.3 Waktu Paruh (t1/2)

Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan sehingga konsentrasi

obat tinggal setengah dari konsentrasi sebelumnya. Berdasarkan

persamaan (7) yaitu:

In C = In Co – kt

maka waktu paruh (t1/2) dicapai pada konsentrasi (C) = 2

Co, bila

disubtitusikan ke dalam persamaan (7), maka:

In 2

Co = In Co – k t1/2

k t1/2 = In 2, maka waktu paruh dapat dituliskan

dengan persamaan (8).

t1/2 = k

o 693, ………………………………...…(8)

Waktu paruh:

merupakan ukuran bagaimana obat dieliminasi dari

dalam tubuh

tidak tergantung kepada dosis

tidak tergantung kepada cara pemberian obat

spesifik untuk setiap obat

merupakan faktor penentuan dalam perhitungan dosis

obat

3.1.4 Proporsi Obat Tereliminasi

Proporsi obat tereliminasi dapat dihubungkan dengan waktu paruh

obat. Dari persamaan (4):

A = Ao e –kt

Proporsi yang tinggal (P) di dalam tubuh adalah:

P = Ao

A = e

–kt

Page 28: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

18

Misalkan n = jumlah t1/2 yang dilalui setelah obat diberikan secara

intravena.

n = 2/1t

t; t = n t1/2; k =

2/1

693,0

t

P = e –kt

P = e – 0,693/t ½ x n t ½

= e - 0,693 n

= (1/2) n

P = (1/2)n ……………..…………………….(9)

Dengan demikian, apabila diketahui waktu paruh obat, maka

proporsi yang tinggal di dalam tubuh dan proporsi tereliminasi

dapat dihitung. Proporsi obat yang tinggal di dalam tubuh dan

proporsi tereliminasi dihubungkan dengan waktu paruh tercantum

dalam Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Proporsi obat yang tinggal di dalam tubuh dan

tereliminasi dihubungkan dengan waktu paruh

t ½ kumulatif (n) P (proporsi yang

tinggal di dalam

tubuh)

Proporsi

tereliminasi

0

1

2

3

4

1

0,5

0,25

0,125

0,0625

0

0,5

0,75

0,875

0,9375

3.1.5 Clearance Total (Cl)

Clearance total merupakan volume obat per satuan waktu

(misalnya ml/menit) yang dikeluarkan oleh tubuh. Ada 2 cara yang

dapat digunakan untuk menghitung nilai clearance obat, yaitu:

a. Menghubungkan kecepatan eliminasi obat dengan konsentrasi

obat di dalam plasma yang dapat dituliskan sebagai berikut:

Kecepatan = Cl x konsentrasi obat di dalam plasma............(10)

eliminasi

Dari persamaan (3)

dt

dA = kA = k V C …………………………….(11)

Page 29: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

19

Persamaan (10) = persamaan (11)

Cl . C = k V C

Jadi:

Cl = kV ………………………………….(12)

b. Menghubungkan dosis dengan Luas Daerah Dibawah Kurva

(LDDK) atau Area Under the concentration-time Curve

(AUC)

Dari persamaan (11):

dt

dA = k V C

dt

dA = Cl. C

Ao

o dA = Cl

t

o

Cdt

Maka akan diperoleh persamaan (13):

Ao = Dosis = Cl x A U C ………………….(13)

Nilai clearance dapat dihitung dengan mengaplikasikan

persamaan (13) karena dosis yang diberikan diketahui dan

AUC dari Gambar 3.4 dapat dihitung dengan menggunakan

Trapezoidal Rule (rumus trapezium).

Gambar 3.4. Plot konsentrasi versus t

C

AUC

t

Page 30: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

20

3.1.6 Clearance Renal dan Clearance Ekstrarenal

Ginjal (renal) merupakan organ utama pengeliminasi obat. Peranan

renal dalam proses eliminasi dapat dipisahkan dari proses-proses

ekstrarenal (hepatic metabolisme, biliary excretion) dengan

menganalisis jumlah obat yang muncul di dalam urin pada interval

waktu tertentu. Konstanta kecepatan eliminasi adalah jumlah dari

konstanta kecepatan eliminasi renal dan konstanta kecepatan

eliminasi ekstrarenal seperti dituliskan pada persamaan (14).

K = kR + kER ………………………………….(14)

KR = Konstanta kecepatan eliminasi renal.

KER = konstantan kecepatan eliminasi ekstrarenal.

Untuk obat yang dieliminasi berdasarkan reaksi order pertama,

kecepatan munculnya obat di dalam urin:

dt

dAu = kR. A ………………………………….(15)

A = jumlah obat di dalam tubuh.

Karena A = Ao e –kt

Maka akan diperoleh prsamaan (16):

dt

dAu = kR. Ao.e

–kt…………………………….(16)

Persamaan (16) dapat dirubah menjadi persamaan linier

sebagaimana dituliskan pada persamaan (17) berikut:

In dt

dAu= (InkR Ao ) – kt ..…………………….(17)

Bila diplot ln dAu/dt versus waktu, maka akan diperoleh garis lurus

seperti tertera pada Gambar 3.5.

Page 31: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

21

Gambar 3.5. Plot ln dAu/dt versus t

Berdasarkan persamaan (17) maka:

Intercept = kR . Dosis ………………….(18)

Karena dosis yang diberikan diketahui dan nilai intercept dapat

dibaca dari grafik, maka nilai konstanta renal dapat dihitung

dengan menggunakan persamaan (18). Selanjutnya, konstanta

ektrarenal dapat dihitung dengan persamaan (14).

k = kR + kER

kER = k – kR

Clearance renal: ClR = kR . V

Clearance ekstrarenal: ClER = kER . V

Fraksi obat yang diekskresikan dalam bentuk tidak berubah (fu)

adalah:

fu = CCl

CClR

.

. =

Cl

ClR = k

kR .............................(19)

Parameter fu ini dibutuhkan untuk menghitung fungsi ginjal dalam

perhitungan dosis untuk pasien dengan gangguan ginjal yang akan

dibahas pada Bab IX.

Indt

dAu

t

Intercept = kR.A0 = KR.Dosis

Page 32: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

22

Parameter farmakokinetika berbagai obat dapat dilihat pada

Lampiran II.

3.2. Contoh-contoh Soal

1. Suatu obat dieliminasi dari tubuh melalui proses

metabolisme (km = 0.2 jam-1

)

dan ekskresi renal (kR = 0.15 jam-1

).

Hitunglah :

a. t1/2

b. Fraksi obat tidak berubah di dalam urin (fu)

c. t1/2 pada pasien gagal ginjal

d. t1/2 bila terjadi induksi enzim (dalam hal ini km

menjadi dua kali lipat)

Jawab:

a. Perhitungan waktu paruh obat

Konstanta kecepatan eliminasi:

k = km + kR = 0,2 jam -1

+ 0,15 jam-1 = 0,35 jam-1

Maka:

t1/2 = jam 9,1jam 35,0

693,0693,01-

k

b. Fraksi obat tidak berubah di dalam urin

fu = k

k R =35,0

15,0= 0,43

c. Pada pasien gagal ginjal kR = 0, maka eliminasi obat

hanya melalui proses metabolisme, maka:

t1/2 = jam 5,3jam 2,0

693,01-

e. Bila terjadi induksi enzim (km dua kali lipat), maka:

Km = 2 x 0,2 jam-1

= 0,4 jam-1

Dengan demikian, maka konstanta kecepatan eliminasi obat

adalah sebagai berikut:

k = km + kR = 0,4 + 0,15 = 0,55

sehingga:

t1/2 = jam 26,1jam 55,0

693,01-

Page 33: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

23

2. Suatu obat diberikan secara intravena bolus sebanyak 100

mg kepada pasien dengan t1/2 = 8 jam; Cl = 2 1iter/ jam.

Hitunglah konsentrasi obat pada saat t = 0 (Co) dan

konstanta kecepatan eliminasi (k).

Jawab:

Diketahui Dosis (D) = 100 mg; t1/2 = 8 jam; Cl = 2

1iter/jam, maka:

k = 2/1

693,0

t = 1-jam 0866,0

jam 8

693,0

Cl = k V V = liter 1,23jam 0866,0

2

1-

jaml

k

Cl

V = liter / mg 33,4liter 23,1

mg 100

V

DC

C

Do

o

3. Bila suatu obat dengan dosis 250 mg diberikan secara

intravena dan diperoleh konsentrasi obat di dalam plasma

pada saat t = 0 adalah 25 mg / liter. Delapan jam kemudian

konsentrasi obat di dalam plasma menurun menjadi

6.25 mg/liter.

Hitunglah:

a. waktu paruh obat (t1/2)

b. clearance ( Cl )

c. bila konsentrasi efektif minimum adalah 10 mg/liter,

kapan konsentrasi ini dicapai?

Jawab:

a. Perhitungan waktu paruh obat

Diketahui C = 6,25 mg / l, Co = 25 mg / liter dan t =

8 jam,

C = Co . e-kt

log C = log Co 303,2

kt

log 6,25 = log 25 303,2

8k

k = 0,17 jam-1

Page 34: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

24

t1/2 = k

693,0= 0,693/0,17jam

-1 = 4,08 jam

b. Perhitungan clearance obat

Cl = kV: V = liter 10liter / mg 25

mg 250

oC

D

Cl = 0,17 jam -1

x 10 liter = 1,7 liter jam-1

c. Perhitungan waktu yang dibutuhkan sehingga dicapai

konsentrasi efektif minimum (10 mg/liter)

log C = log Co - 303,2

kt

C = 10 mg / liter

Co = 25 mg / liter

k = 0,17 jam-1

log 10 = log 25 303.2

tjam 17.0 -1

, jadi t = 5,3 jam, artinya

konsentrasi efektif minimum dicapai 5,3 jam setelah

obat diberikan. Jadi waktu tersebut adalah saat

berkhirnya efek optimal obat.

4. Data di bawah ini adalah konsentrasi rata-rata LSD (

lysergic acid diethylamide, suatu senyawa halusinogenik) di

dalam darah sebagai fungsi waktu setelah diberikan

dengan dosis 2 mcg / kg berat badan secara intravena

terhadap 5 orang pasien.

Waktu

(jam)

Konsentrasi

(ng / ml)

0.16

0.33

0.50

1.00

2.00

4.00

8.00

9.5

7.4

6.3

5.3

4.2

2.9

1.2

Page 35: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

25

Misalkan tubuh bersifat sebagai model satu kompartemen

terbuka dan berat badan (BB) rata-rata pasien adalah 75 kg.

Hitunglah:

a. Volume distribusi

b. Waktu paruh

c. Clearance total

Jawab:

a. Perhitungan volume distribusi obat

Dosis = 2 mcg / kg ; BB = 75 kg

Gambarkan grafik hubungan antara konsentrasi dan waktu

di atas kertas semilog, maka akan diperoleh kurva seperti

tertera pada Gambar 3.6, maka dari grafik dapat dibaca

bahwa Co = 6.5 ng / ml

V = Dosis/Co = (75x 2 mcg)/(6,5 ηg/ml) = 22,9 liter = 23 liter

b. Dari Grafik akan diperoleh nilai t1/2 = 3,3 jam

c. Perhitungan nilai clearance total

Cltotal = kV

K = 0,693/t1/2 = 0,693/3,3 jam = 0,21jam-1

Cltotal = kV = 0,21 jam-1

x 23 liter = 4,8 liter per jam

Page 36: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

26

Gambar 3.6. Plot data konsentrasi versus waktu

Page 37: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

27

5. Data di bawah ini obat yang diekskresikan dalam bentuk

tidak berubah melalui urine setelah diberikan 100 mg secara

intravena.

Selang

Waktu

(jam)

Volume

Urine

(ml)

Konsentrasi

( mg / ml )

Jumlah

V x C

(mg)

t

(jam)

Jumlah/

t Atau

DAu/dt

Mid

point

Waktu

(jam)

0 - 1

1 - 3

3 - 5

5 - 9

100

150

100

200

0.25

0.18

0.12

0.035

25

27

12

7

1

2

2

4

25

13.5

6

1.75

0.5

2

4

7

Diketahui volume distribusi obat (V) = 100 liter

Hitunglah:

a. Waktu paruh obat (t1/2)

b. Konstanta Kecepatan Eliminasi (k)

c. Konstanta Kecepatan ekskresi renal (k R)

d. Clearance renal (Cl R)

e. Fraksi obat tidak berubah di dalam urin (fe)

Jawab:

a. Untuk mendapatkan waktu paruh obat, maka terlebih dahulu

digambarkan grafik ln dt

dAU versus t. Jadi karena akan

digunakan kertas grafik semilog, maka dt

dAU langsung diplot

terhadap waktu sehingga akan diperoleh kurva seperti tertera

pada Gambar3.6

Berdasarkan persamaan:

ln dt

dAU = ln (kR . Dosis) – kt

Dari grafik akan diperoleh t1/2 = 1,7 jam

b. k = jam 7.1

693.0

t

693.0

2/1

= 0,4076 jam-1

Page 38: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

28

Gambar 3.6. Plot kecepatan eksresi versus waktu

1 4 7

.

.

.

.

31mg/jam

Waktu (jam)

Kece

pa

tan

ek

sresi

(d

AU

/dt)

(m

g/j

am

)

1

0,1

10

1,7jam

Page 39: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

29

c kR . Dosis = intercept = 31 mg / jam

kR x 100 mg = 31 mg / jam kR = 0,31 jam-1

d. Cl R = k R . V

= 0.31 jam-1

x 100 liter = 31 liter / jam

e. fe = %05.76jam 4076.0

jam 31.01-

-1

k

kR

Cl total = kV = 0.4076 jam-1

x 100 l = 40,76 liter/jam.

Page 40: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

30

BAB IV

PEMBERIAN INFUS DENGAN

KECEPATAN KONSTAN

4.1. Prinsip Steady State

Steady state (SS) atau kondisi tunak adalah suatu keadaan yang

mana tidak terjadi perubahan jumlah atau konsentrasi obat di dalam

tubuh dengan bertambahnya waktu. Bila kecepatan masuknya

(input rate) obat ke dalam tubuh adalah konstan (order nol)

sedangkan kecepatan eliminasi (output rate) adalah eksponensial,

maka obat akan terakumulasi sampai kondisi tunak dicapai.

Dengan demikian steady state dapat dipertahankan apabila

kecepatan infus dipertahankan.

4.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi SteadyState

Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah obat di dalam tubuh

selama infus diberikan dapat dijelaskan berdasarkan prinsip

farmakokinetika seperti tertera pada Gambar 4.1 berikut:

Gambar 4.1. Plot jumlah obat di dalam tubuh versus t

R k

A

………………………….. SS: R = k A

A

t

Page 41: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

31

R = Kecepatan pemberian infus

A = Jumlah obat dalam tubuh dalam waktu t

K = Konstanta kecepatan eliminasi untuk reaksi order pertama

Selama infus diberikan, kecepatan perubahan jumlah obat di dalam

tubuh dengan pertambahan waktu (dA/dt) adalah selisih antara

kecepatan pemberian dengan kecepatan eliminasi, maka:

dt

dA= Kecepatan pemberian infus - kecepatan eliminasi

dt

dA = R – kA …….………..……………………(1)

Pada kondisi tunak (steady state) tidak ada perubahan jumlah obat

di dalam tubuh dengan adanya pertambahan waktu atau:

dt

dA = 0

Maka:

R = k Ass

Atau jumlah obat pada steady state (Ass) dapat dituliskan sebagai

berikut:

Ass = k

R ………….......................................(2)

Dari persamaan (2), jelaslah bahwa jumlah obat pada steady state:

Berbanding lurus dengan kecepatan pemberian infus

Berbanding terbalik dengan konstanta kecepatan eliminasi

Persamaan (2) dapat ditulis sebagai berikut:

Css V = k

R Atau Css =

kV

R

Css = Cl

R ...................... ……………..………….(3)

Dari persamaan (3) dapat diambil kesimpulan bahwa:

semua obat yang diinfuskan dengan kecepatan yang sama

dan mempunyai clearance yang sama, akan mencapai

steady state yang sama

Page 42: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

32

peninggian kecepatan infus dengan faktor X akan

menghasilkan peninggian konsentrasi Steady State dengan

faktor yang sama

4.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsentrasi Obat

Selama Infus Diberikan

Dari persamaan (1) diketahui bahwa:

dt

dA = R – kA

A = k

R (1- e

-kt)…………………………………………...(4)

A = Jumlah obat di dalam tubuh selama pemberian infus

Mengingat bahwa jumlah (A) adalah hasil kali antara volume (V)

dengan konsentrasi (C), maka:

VC = k

R(1 – e

-kt)

atau C = kV

R (1 – e

-kt); Css =

kV

R

Maka akan diperoleh persamaan (4):

C = Css (1 – e-kt

)………………………………………...(4)

Konsentrasi obat selama infus diberikan:

Berbanding lurus dengan kecepatan pemberian infus

Berbanding terbalik dengan konstanta kecepatan eliminasi

Berbanding terbalik dengan volume distribusi

4.4. Waktu yang Dibutuhkan untuk Mencapai Steady State

Misalkan n adalah jumlah waktu paruh yang dilalui setelah infus

diberikan, maka: n = 2/1t

t atau t = n t ½; k =

2/1

693,0

t

Page 43: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

33

Bila nilai k dan t disubtitusikan ke dalam persamaan (4), maka akan

diperoleh:

C = Css [1 – e-0,693/ t

½ . n t

½ ]

C = Css ( 1 – e -0,693 n

) = Css (1 – ( ½ ) n)

Fraksi steady state dapat dihitung dengan persamaan (5):

C/Css = 1 – (1/2)n .......……….………………………..(5)

Bila n = 1: Css

C = 1 – (1/2) = 0,50

Bila n = 2: Css

C = 1 – (1/2)

2 = 0,75

Bila n = 3: Css

C = 1 – (1/2)

3 = 0,88

Bila n = 3.3: Css

C = 1 – (1/2)

3.3 = 0,90

Praktisnya, steady state dianggap dicapai dalam waktu 3.3 t ½

setelah obat diberikan atau 90 % SS.

Dari persamaan (5):

Css

C= 1 – (1/2)

n

Dengan demikian waktu yang dibutuhkan untuk mencapai steady

state (SS):

Hanya tergantung kepada t1/2

Tidak tergantung kepada dosis atau kecepatan pemberian

infus

Semakin singkat waktu paruh obat semakin cepat steady state

dicapai.

4.5. Kombinasi Intravena Bolus dan Infus

Seperti telah diuraikan pada bagian 4.4 bahwa steady state hanya

ditentukan oleh waktu paruh obat. Semakin panjang waktu paruh

obat, maka semakin lama waktu yang diperlukan agar dicapai

Page 44: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

34

steady state. Dengan demikian, obat yang mempunyai waktu paruh

panjang tidak praktis apabila hanya diberikan secara infus

kecepatan konstan saja, karena membutuhkan waktu yang lama

sampai diperoleh efek pengobatan. Kombinasi pemberian intravena

bolus dengan infus kecepatan konstan seperti tertera pada Gambar

4.2 sering dilakukan agar efek pengobatan segera diperoleh dan

dipertahankan.

Gambar 4.2. Plot konsentrasi versus waktu untuk rute infus

dan intravena

Dalam hal ini, pemberian intravena bolus berperan sebagai dosis

muatan (loading dose, LD), sedangkan pemberian infus kecepatan

konstan berperan sebagai dosis pertahanan (maintenance dose,

MD).

Dosis muatan dihitung dengan menggunakan rumus:

LD = Css.V

Dosis pertahanan dihitung dengan menggunakan rumus:

MD = Cl.Css

……………………………

……………..

Infus

C

t

intavena

Page 45: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

35

4.6. Konsentrasi Obat di dalam Plasma Setelah Infus

Dihentikan

Profil konsentrasi obat di dalam plasma setelah infus dihentikan

adalah sama dengan profil konsentrasi obat setelah diberikan secara

intravena seperti tertera pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3. Plot konsentrasi versus jumlah t ½

setelah infus dihentikan

C = Konsentrasi obat di dalam plasma

Selama infus diberikan, maka:

C = Css (1 – e –kt

)

Setelah infus dihentikan, maka:

C = Css e –kt

…………………………………...(6)

………………………… Css

C

Jumlah t ½

Setelah

infus dihentikan

Page 46: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

36

4.7. Estimasi Parameter Farmakokinetika

Parameter farmakokinetika dapat dianalisis berdasarkan kepada

persamaan (4):

C = Css ( 1 – e –kt

)

C = Css - Css e –kt

In ( Css - C) = In Css – kt……………………...(7)

Persamaan (7) merupakan persamaan linier, bila ln (Css - C) diplot

terhadap waktu (t), maka akan diperoleh garis lurus seperti tertera

pada Gambar 4.4.

Gambar 4.4. Plot ln (Css - C) versus t

K = Slope dari ln (Css – C) versus t

t 1/2 = k

693,0

Cl T = Css

R R = ClT . Css

V = k

Cl

…………………………. Intercept = Css

Ln (Css – C) …………… Slope = -k

t

Page 47: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

37

4.8. Contoh-contoh Soal

1. 5 Fluorouracil mempunyai t1/2 = 7,5 menit. Kapan dicapai

konsentrasi tunak (Css)?

Jawab:

Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi tunak

adalah 3,3 t1/2 = 3,3 x 7,5 menit = 25 menit.

2. Phenobarbital mempunyai t1/2 = 5 hari. Kapan dicapai

konsentrasi tunak (Css)?

Jawab:

Konsentrasi tunak dicapai setelah 3,3 x 5 hari = 16,5 hari

3. Hitunglah loading dose dan maintenance dose theophylline

yang dibutuhkan untuk memperoleh dan mempertahankan

konsentrasi di dalam darah sebesar 10 mcg/ml. Diketahui

volume distribusi (V) = 0,5 1iter/kg ; t1/2 = 8 jam.

Jawab:

Loading dose = Css V

= 10 mcg/ml x 0,5 1iter/kg = 5 mg/kg

K = 2/1

693,0

t=

jam8

693,0 = 0,087 jam

-1

Cl = kV = 0,087 jam-1

x 0,5 1iter/kg = 0,04 1iter/kg jam

Maintenance dose = Cl . Css

= 0,04 1iter/kg jam x 10 mg/liter

= 0,4 mg/kg jam

4. Pada pasien dengan kebiasaan merokok, clearance theophylline

biasanya meningkat sampai 1.5 – 2 kali dibandingkan dengan

pasien yang bukan perokok, karena nicotine yang terdapat

dalam rokok menginduksi kerja enzim cytochrome P450

sehingga mempercepat metabolisme obat. Apakah penyesuaian

dosis dibutuhkan untuk pasien tersebut?

Page 48: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

38

Jawab:

Dosis untuk pasien dengan kebiasaan merokok perlu

disesuaikan. Kecepatan pemberian infuse untuk pasien perokok

tersebut adalah 1,5 x 0,4 mg/kg jam sampai 2 x 0,4 mg/kg jam

atau 0,6 mg/kg jam sampai 0,8 mg/kg jam.

5. Suatu obat diberikan secara infus dengan kecepatan konstan

(R = 300 mcg/menit) selama 60 menit. Hubungan antara

konsentrasi obat dan waktu adalah seperti tertera pada Tabel

4.1.

Tabel 4.1. Hubungan antara konsentrasi dan waktu setelah obat

diinfuskan

Waktu

(menit)

Konsentrasi

Dalam Plasma

( mcg / 100 ml )

(CSS – C)

10

20

30

40

50

60

23

35

42

48

50

51.8

28.8

16.8

9.8

3.8

1.8

0

Konsentrasi steady state (Css) dicapai pada akhir pemberian

infus.

a. Hitunglah k dan V

b. Berapa konsentrasi obat setelah 20 menit infus dihentikan ?

c. Jika kecepatan infus 600 mcg / menit, berapa konsentrasi

obat setelah

20, 40 dan 60 menit infuse diberikan?

d. Berapa dosis muatan yang dibutuhkan untuk memperoleh

70 mcg / 100 ml dengan segera dan berapa kecepatan

pemberiaan infus untuk mempertahankan konsentrasi ini?

Jawab:

a. R = 300 mcg / menit, CSS = 51,8 mcg / ml

Dari grafik diperoleh t1/2 = 10 menit

k = 1-

2/1

menit 0693,0menit 10

693,0693,0

t

Page 49: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

39

R = CSS x Cl Cl = mlmcg

menitmcg

100/8,51

/300

= 579 ml/menit

V = liter 8,4 ml 98,8354menit 0693,0

menit / ml 5791-

k

Cl

b. C = CSS . e-kt

C20 = 51,8 mcg / 100 ml x e- 0,693 x 20 menit

= 0,518 mcg / ml x e-1,386

= 0,518 mcg / ml

e – 1,386

C20 = 9988,3

/518,0 mlmcg = 0,1295 mcg/ml

c. Jika kecepatan pemberian infus (R) = 600 mcg / menit

maka konsentrasi obat dalam plasma akan menjadi

600/300 (dua kali lipat). Jadi:

Konsentrasi setelah 20 menit obat diinfuskan adalah 70

mcg / 100 ml

Konsentrasi setelah 40 menit obat diinfuskan adalah 96

mcg / 100 ml.

Konsentrasi setelah 60 menit obat diinfuskan adalah

103.6 mcg / 100 ml.

d. Dosis muatan yang dibutuhkan untuk memperoleh

konsentrasi 0.70 mcg / ml dengan segera = CSS x V = 0,70 mcg / ml x 8355 ml

= 5848,5 mcg

= 5,85 mg.

Dosis pertahanan:

R = Cl x Css = 579 ml / menit x 0,70 mcg / ml = 405,3

mcg / menit.

Page 50: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

40

BAB V

PEMBERIAN OBAT

EXTRAVASCULAR

Salah satu cara pemberian ekstravaskular yang paling sering

dilakukan untuk menghasilkan efek sistemik adalah per oral karena

dapat dilakukan oleh pasien sendiri tanpa bantuan perawat ataupun

dokter. Berikut ini akan dibahas faktor-faktor yang mempengaruhi

kecepatan dan besarnya absorpsi yang meliputi kinetika absorpsi,

ketersediaan hayati (F), hubungan antara waktu dengan

konsentrasi, analisis parameter-parameter farmakokinetika

(konstanta kecepatan absorpsi, konstanta kecepatan eliminasi,

konsentrasi maksimum dan waktu yang diperlukan agar dicapai

konsentrasi maksimum) setelah obat diberikan per oral.

5. 1. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Absorpsi

Untuk obat yang diberikan per oral, absorpsi saluran

pencernaan ke dalam sirkulasi sistemik merupakan persyaratan

(prerequisite) agar obat didistribusikan ke organ-organ tubuh

termasuk reseptor, selanjutnya dihasilkan efek pengobatan.

Keterlambatan atau kehilangan sebagian obat selama proses

absorpsi dapat mengakibatkan penurunan ketersediaan hayati obat

dan keanekaragaman respons, bahkan kadang-kadang

menimbulkan kegagalan terapi. Tahapan yang terlibat dalam

proses absorpsi setelah obat diberikan per oral tertera pada Gambar

5.1.

Page 51: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

41

Gambar 5.1. Tahapan yang terlibat dalam proses absorpsi obat

Umumnya obat diberikan per oral dalam bentuk padat, seperti

tablet dan kapsul. Karena obat padat tidak dapat diabsorpsi melalui

membran, maka obat tersebut harus terlebih dahulu larut.

Kecepatan dan besarnya disolusi tergantung kepada sifat fisika

kimia, proses produksi obat, dan faktor fisiologi tubuh. Di samping

senyawa aktif, senyawa lain yang ditambahkan untuk

meningkatkan stabilitas, mempermudah proses pembuatan, dan

meningkatkan penerimaan pasien (patient acceptability) dapat

mempengaruhi disolusi senyawa aktif serta efek terapi.

Setelah berlangsung proses disolusi, selanjutnya obat diabsorpsi ke

dalam sirkulasi sistemik melalui membran dengan fasilitas yang

berbeda. Sifat fisika kimia obat, membran, faktor-faktor fisiologi

seperti pH cairan pada absorption site (pH lambung dan usus),

waktu pengosongan lambung serta banyaknya aliran darah

setempat merupakan faktor penentu absorpsi. Beberapa obat

mudah melewati membran, namun absorpsi kecil karena sifatnya

tidak stabil di dalam cairan pencernaan ataupun dimetabolisme oleh

mikroflora usus, enzim epitel serta hati. Seluruh faktor-faktor yang

telah dijelaskan tersebut di atas menentukan besarnya nilai

ketersediaan hayati obat.

Page 52: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

42

Obat yang berada di dalam sirkulasi sistemik, selanjutmya

didistribusikan ke organ-organ tubuh termasuk reseptor, kemudian

dihasilkan efek pengobatan. Besarnya respons yang dihasilkan

ditentukan oleh obat yang berikatan dengan reseptor. Semakin

banyak obat yang berikatan dengan reseptor, semakin tinggi

respons yang dihasilkan.

5.1.1. Ketersediaan Hayati Per Oral

Ketersediaan hayati (F) per oral merupakan fraksi obat yang masuk

ke dalam sirkulasi sistemik setelah diberikan dengan dosis tertentu

per oral dibandingkan dengan fraksi yang masuk ke dalam sirkulasi

sitemik setelah diberikan secara intravena dengan dosis yang sama.

Nilai F dapat dihitung persamaan berikut:

F = AUCpo/AUCiv

AUCpo = Area under the concentration-time curve atau luas

daerah di bawah kurva setelah diberikan per oral.

AUCiv = Area under the concentration-time curve atau luas

daerah di bawah kurva setelah diberikan intravena.

Nilai F biasanya lebih kecil dari satu.

5.1.2. Kinetika Absorpsi

Absorpsi obat per oral ke dalam tubuh manusia selalu dianggap

mengikuti kinetika order pertama, seperti halnya absorpsi

ekstravaskular lainnya, maka dapat dituliskan sebagai berikut:

Kecepatan absorpsi = ka . Aa ...........................................………(1)

ka = konstanta kecepatan absorpsi

Aa = jumlah obat yang akan diabsorpsi.

Kekuatan penggerak absorpsi adalah perbedaan konsentrasi obat

pada absorption site (Ca) dengan konsentrasi obat tak terikat di

dalam darah arteri (Cu).

Kecepatan absorpsi = p . A (Ca – Cu) ..………(2)

Page 53: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

43

p = konstanta permiabilitas

A = Luas permukaan saluran pencernaan.

Distribusi dan eliminasi obat yang telah diabsorpsi menjamin

supaya nilai Cu jauh lebih kecil dari Ca, sehingga persamaan (2)

dapat ditulis menjadi:

Kecepatan absorpsi = p . A . Ca..................……(3)

Bila diasumsikan bahwa volume cairan pada absorption site (Va)

selalu konstan, maka persamaan (3) dapat ditulis sebagai berikut:

Kecepatan absorpsi =

Va

A p . A ..……………(4)

Dari persamaan (4) dapat dilihat bahwa kecepatan absorpsi

mengikuti reaksi order pertama yang mana konstanta kecepatan

absorpsi ditentukan oleh konstanta permiabilitas obat, luas area

saluran pencernaan, serta volume cairan pada absorption site.

Sungguhpun absorpsi dibatasi oleh kecepatan disolusi sebagaimana

dirumuskan dalam persamaan (1), namun kecepatan absorpsi masih

mengikuti reaksi order pertama. Hal ini disebabkan karena disolusi

merupakan fungsi luas permukaan partikel terlarut yang mana

menurun secara eksponensial. Sebagai mana halnya proses reaksi

order pertama lainnya, absorpsi obat dapat digambarkan dalam

waktu paruh.

t1/2 absorpsi = ka

693.0 .............................…….(5)

Bila persamaan (1) diintegralkan, maka:

Aa = F . Dose . e-ka . t

...………………………(6)

5. 1.3. Hubungan antara Waktu dengan Konsentrasi Obat

Kecepatan perubahan jumlah obat di dalam tubuh merupakan

selisih antara kecepatan absorpsi dengan kecepatan eliminasi yang

dapat ditulis sebagai berikut:

Kecepatan perubahan jumlah = kecepatan absorpsi – kecepatan eliminasi

obat di dalam tubuh

Page 54: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

44

C . Cldt

dAa

dt

dA

dt

dA ka. Aa – k . A ……………………………..……(7)

Bila persamaan (7) diintegralkan, maka:

A =)(

..

kka

kaDF

(e

-kt - e

-ka.t)

Mengingat bahwa jumlah adalah hasil kali antara volume dengan

konsentrasi (A = V.C), maka:

C = k) - (ka V

ka . D . F (e

-kt - e

-ka.t)………...............................(8)

Konsentrasi obat di dalam plasma (C) dapat dihitung pada waktu

tertentu setelah diberikan per oral dengan menggunakan persamaan

(8).

5.1.4. Analisis Parameter-Parameter Farmakokinetika

Bila konsentrasi obat di dalam plasma (C) diplot terhadap waktu (t)

di atas kertas grafik semilog, maka akan diperoleh kurva hubungan

antara konsentrasi obat di dalam plasma dengan waktu seperti

tertera pada Gambar 5.1. Secara umum kurva per oral dapat dibagi

menjadi 2 fase yaitu fase absorpsi dan fase eliminasi. Fase absorpsi

yaitu saat terjadi peninggian konsentrasi dengan pertambahan

waktu seperti dapat dilihat pada Gambar 5.1. Kondisi ini terjadi

karena obat dominan berada pada saluran pencernaan yang

mengakibatkan kecepatan absorpsi lebih besar dari kecepatan

eliminasi. Konsentrasi maksimum (Cmax) obat di dalam plasma

dicapai saat kecepatan absorpsi sama dengan kecepatan eliminasi.

Selanjutnya pada fase eliminasi terjadi penurunan konsentrasi

dengan pertambahan waktu karena obat sudah dominan berada di

dalam tubuh. Jadi, pada kondisi ini kecepatan absorpsi lebih kecil

Page 55: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

45

dari kecepatan eliminasi yang dapat diamati dari penurunan kurva.

Gambar 5.1. Plot konsentrasi obat terhadap waktu

Waktu paruh obat dan konstanta kecepatan eliminasi dapat

ditentukan dari fase eliminasi obat. Waktu paruh absorpsi obat dan

konstanta kecepatan absorpsi dapat dihitung dengan menggunakan

metode residual dengan melakukan tahapan berikut:

a) Data diplot di atas kertas grafik semilog sehingga diperoleh

kurva C

b) Fase eliminasi kurva C diekstrapolasikan ke sumbu y, maka

diperoleh kurva C

c) Hitung perbedaan konsentrasi antara C dengan C pada fase

absorpsi, lalu diplot di atas kertas grafik yang sama sehingga

diperoleh kurva C –C

d) Waktu paruh absorpsi dapat dibaca dari kurva C – C

Misal:

lk) - (ka V

ka . D . F maka C = I (e

-k.t - e

–ka.t) ........................(9)

Secara umum konstanta kecepatan absorpsi (ka) lebih besar dari

konstanta kecepatan eliminasi (k). Pada saat waktu (t) sama dengan

tidak terhingga (~), maka:

Waktu (t)

2.0

0.8

0.4

0.2

0.1 2 4 6 8 10 12 14 16

CC

C

C

Cmax

Page 56: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

46

e-ka.t

= 0

C = I e-kt

……………………..…(10)

Persamaan (10) dapat ditulis menjadi persamaan (11) yaitu:

ln C = ln I - kt ……………………..…(11)

Konstanta kecepatan eliminasi obat (k) dan waktu paruh obat dapat

dihitung dari persamaan tersebut di atas.

Bila persamaan (10) dikurangi dengan persamaan (9) maka:

C - C = I e-kt

- I ( e-kt

- e–ka.t

)

= I e-kt

- I e-kt

+ e–ka.t

C - C = I e–ka.t

In ( C – C ) = 1n I - ka . t………………......(12)

Pada saat t = 0, maka:

e–ka.t

= 1

e-kt

= 1

maka :

( C – C ) = 0

Sehingga konsentrasi maksimum obat di dalam tubuh (Cmax)

dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (13) sebagai

berikut:

Cmax = maxk.t -e .V

DF …………………………..(13)

Waktu yang dibutuhkan agar dicapai konsentrasi maksimum dapat

dihitung dengan persamaan (14).

tmax = k - ka

(ka/k) In …………………………..(14)

Page 57: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

47

5.2. Contoh-contoh Soal

1. Aminophyllin sebanyak 600 mg (setara dengan theophylline 520

mg) diberikan per oral kepada seorang pasien dengan berat

badan 70 kg. Rentang terapi theophylline adalah 10–20 mg/liter,

k = 0.11 jam-1

, V = 0,5 L/kg BB, ka = 0.8 jam-1

dan F = 1.0.

Ditanya:

a) Konsentrasi obat di dalam plasma 6, 8 dan 12 jam setelah

pemberian obat.

b) Berapa konsentrasi maksimum obat di dalam plasma?

Jawab:

a. Konsentrasi obat di dalam plasma 6 jam setelah diberikan

adalah:

C6 = k) - (ka V

ka . D . F(e

-kt - e

-ka.t)

= (1x520)/35 L x 0,8jam-1/(0,8jam-1- 0,11jam-1)(e-0,11x6 – e0,8x6)

= 520/35L x 0,8/0,69 (e-0,66

– e-4,8

)

= 416 mg/24,15 L(1/1,9348 – 1/121,5)

= 416 mg/24,15L(0,517 – 0,008)

= 416 mg/24,15L x 0,509 = 8,77 mg/L

Dengan cara yang sama, konsentrasi obat di dalam plasma:

8 jam setelah diberikan adalah 7,02 mg/L

12 jam setelah diberikan adalah 4,599 mg/L

b. Konsentrasi maksimum obat di dalam plasma dapat

dihitung sebagai berikut:

tmax = k - ka

(ka/k) In= ln (0,8/0,11)/(0,8-0,11) =

ln7,273/(0,69) = 1,984/0,69 = 2,875

Cmax = maxk.t -e .V

DF = (520 mg/35 L) x e

-0,11 x 2,875

= (520 mg/35L) x e-0,31625

= 520 mg/(35L x 1,37197)

= 520 mg/48,01845

= 10,83 mg/L

Page 58: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

48

BAB VI

PRINSIP PENGATURAN

PEMBERIAN DOSIS GANDA

Dalam bab ini diuraikan pendekatan pengaturan dosis dan interval

pemberian obat, penentuan kecepatan dan besarnya akumulasi

setelah obat diberikan dengan dosis dan interval tertentu,

penentuan regimen dosis obat berdasarkan t½, F, interval pemberian

& CI (untuk eliminasi reaksi order pertama), penentuan parameter

farmakokinetika obat dari data pasien serta pemberian obat dosis

berganda, konsep perhitungan konsentrasi minimum dan

maksimum obat serta pemberian obat dengan dosis berganda.

6.1. Pendekatan Pengaturan Dosis dan Interval Pemberian

Obat

Pertanyaan berapa banyak obat harus diberikan dan berapa

frekuensinya untuk tujuan terapi bukan hal yang sederhana. Pada

prinsipnya ada 2 pendekatan yang telah dilakukan yaitu:

1. Pendekatan empiris

2. Pendekatan kinetika

6.1.1. Pendekatan Empiris

Pendekatan empiris dilakukan dengan menghubungkan respons

dengan dosis yang diberikan untuk mengoptimalkan terapi. Efek

samping dan efek toksik yang mungkin ditimbulkan oleh obat

harus dipertimbangkan. Berdasarkan pengalaman pengamatan

terhadap sejumlah pasien, dengan informasi yang cukup, maka

regimen dosis yang hampir akurat dapat ditentukan. Kelemahan

Page 59: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

49

pendekatan ini yaitu memerlukan biaya yang lebih besar dan waktu

yang lebih lama, bahkan kadang-kadang terjadi efek toksik.

6.1.2. Pendekatan Kinetika

Pendekatan kinetika yaitu berdasarkan kepada hipotesis bahwa

respons pengobatan dan efek toksik berhubungan dengan jumlah

obat di dalam tubuh dan konsentrasi obat di dalam plasma.

Pendekatan ini lebih akurat dibandingkan dengan pendekatan

empiris. Berdasarkan data farmakokinetika dosis tunggal, maka

kadar obat di dalam tubuh dapat diprediksi ketika akan diberikan

dengan dosis berganda. Kesesuaian regimen dosis tertentu

selanjutnya dapat dievaluasi dalam hal lamanya obat di dalam

tubuh dan hubungan yang diketahui antara kadar obat, respons

terapi dan efek toksik. Selanjutnya regimen dosis diatur

berdasarkan respons terapi yang dihasilkan. Aplikasi prinsip-

prinsip farmakokinetika penting untuk menghitung dosis dan

interval yang tepat dengan segera dan berfungsi untuk

mengevaluasi regimen dosis yang diberikan.

6.1.3. Faktor-faktor Penentu Pengaturan Dosis dan Interval

Agar diperoleh efek terapi yang optimal, maka dalam pengaturan

dosis dan interval obat yang rasional harus dipertimbangkan faktor-

faktor yang berhubungan erat dengan efek terapi. Faktor-faktor

tersebut meliputi aktivitas-toksisitas, farmakokinetika, faktor

klinik, toleransi, faktor genetik, serta interaksi obat. Semua faktor

ini saling berhubungan satu sama lain. Untuk mempertahankan

jumlah obat di dalam tubuh, dosis muatan dan dosis pertahanan

harus diberikan pada interval tertentu untuk menjaga agar jumlah

obat berada di atas konsentrasi efektif minimum dan di bawah

konsentrasi yang menghasilkan efek samping dan toksik. Pada Bab

2, Tabel 1 tercantum rentang terapi (batasan antara konsentrasi

efektif minimum dan konsentrasi efektif maksimum) berbagai obat.

Parameter farmakokinetika pemberian intravaskular dan

ekstravaskular telah dibahas pada Bab-bab terdahulu. Faktor-faktor

Page 60: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

50

aktivitas-toksisitas, klinik, toleransi, genetik serta interaksi obat

akan dibahas secara mendetail dalam Bab VIII.

6.2. Akumulasi Obat

Umumnya obat yang akan diberikan kepada pasien sering ditulis

dalam dosis dan interval tertentu, misalnya10 mg per hari atau 25

mg tiga kali sehari. Kadar obat di dalam tubuh berfluktuasi dan

meningkat sampai dicapai konsentrasi tunak (steady state

concentration). Contoh situasi yang paling sederhana dapat dilihat

pada Gambar 6.1. Dari gambar terlihat bahwa interval pemberian

menentukan besarnya akumulasi, tetapi bukan waktu untuk

mencapai steady state. Kurva A adalah profil yang diperoleh

setelah obat diberikan secara intravena 2 kali setiap satu waktu

paruh, sementara kurva B diperoleh setelah obat yang sama

diberikan secara intravena dengan dosis yang sama setiap satu

waktu paruh. Dari kurva tersebut dapat diamati dan dipahami

bahwa semakin panjang interval pemberian, maka semakin besar

fluktuasi konsentrasi dan semakin rendah konsentrasi obat di

dalam plasma. Yang dimaksud dengan fluktuasi konsentrasi adalah

perbedaan antara konsentrasi steady state maksimum (Cssmax) dan

konsentrasi steady state minimum (Cssmin). Hal ini perlu

diperhatikan dan dipertimbangkan terutama untuk obat yang

mempunyai rentang terapi sempit seperti digitoxin, digoxin,

lithium, dan propanolol.

Page 61: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

51

Gambar 6.1. Fluktuasi jumlah obat di dalam tubuh

dengan dosis yang berbeda

6.3. Interpretasi Kinetika

6.3.1. Interval Pemberian dan Akumulasi Obat

Pengaruh dosis dan interval pemberian terhadap akumulasi obat

dapat dijelaskan sebagai berikut:

Misalnya obat diberikan secara intravena dengan dosis 100 mg dan

interval pemberian sama dengan waktu paruh. Bila diplot hubungan

antara jumlah obat di dalam tubuh versus waktu (dalam hal ini

sebagai sumbu y adalah jumlah obat di dalam tubuh dan sumbu x

adalah waktu paruh), maka akan diperoleh kurva sebagai berikut:

Waktu (waktu paruh)

A

B

Cssmax

Cssmin

Page 62: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

52

Gambar 6.2. Pengaruh dosis dan interval pemberian terhadap

akumulasi obat

Berdasarkan Gambar 6.2, maka dapat dijelaskan bahwa:

1. Setelah interval I, pada saat t = 0, jumlah maksimum obat di

dalam tubuh (Ab1max) sama dengan dosis yaitu 100 mg.

Sebelum masuk interval II, maka jumlah minimum obat di

dalam tubuh (Ab1min) sama dengan (½ x Ab1max = 50

mg).

2. Setelah pemberian II, maka jumlah maksimum obat di

dalam tubuh (Ab2max) sama dengan (½ x Ab1max) +

dosis = 50 mg + 100 mg = 150 mg. Sebelum masuk interval

III, maka jumlah minimum obat di dalam tubuh (Ab2min)

sama dengan (½ x Ab2max) = ½ x 150mg = 75 mg.

3. Dengan cara yang sama, maka akan diperoleh Ab3max =

100mg + 75 mg = 175 mg; Ab3min = ½ x 175 mg = 87,5

mg; Ab4max = 87,5 mg + 100 mg = 187,5 mg; Ab4min = ½

x 187,5 mg = 93,75 mg; Ab5max = 93,75 mg + 100 mg =

193,75 mg; Ab5min = ½ x 193,75 mg = 96,875 mg.

4. Demikian seterusnya, maka akan diperoleh:

Abss max = 2 Dosis

Abss min = 1 dosis

Berdasakan uraian tersebut di atas dapat dimengerti bahwa

semakin pendek interval pemberian obat dengan dosis yang sama,

Jumlah t1/2

I : Ab1max setelah 100 mg obat di

diberikan

II : Ab1min

III : Ab2max setelah pemberian II

dengan dosis yang sama.

IV : Ab2min

V : Ab3max setelah pemberian III

Jum

lah

ob

at

di

dala

m t

ub

uh

V

II IV

III

I

Page 63: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

53

semakin tinggi akumulasi. Hal yang penting diketahui adalah

apakah jumlah obat maksimum di dalam tubuh berada dalam batas

yang aman atau telah mengakibatkan efek toksik. Konsep

perhitungan jumlah maksimum dan minimum obat di dalam tubuh

akan dijelaskan berikut ini.

6.3.2. Jumlah Maksimum dan Minimum Obat di Dalam Tubuh

Misalkan sejumlah obat (=Dose) diberikan secara intravena dengan

interval pemberian (τ). Setelah setiap pemberian, maka:

Fraksi obat yang tinggal pada waktu t adalah e-kt

.

Fraksi obat yang tinggal pada akhir interval pemberian (τ) adalah

e-kτ

.

Jumlah obat di dalam tubuh setelah pemberian ke N dapat dihitung.

Bila waktu = 2τ, maka fraksi yang tinggal = e-2kτ

. Jumlah obat di

dalam tubuh setelah pemberian dosis berganda adalah total dari

jumlah yang tinggal dari setiap pemberian terdahulu.

Misal:

e-kτ

= r

Maka, jumlah maksimum obat setelah pemberian ke 4 adalah:

Ab 4 max = Dose . (1 + r + r2 + r

3)

Jumlah maksimum obat di dalam tubuh setelah pemberian ke N

adalah:

Ab N max = Dose. (1 + r + r2 ……+ r

N-2 + r

N-1) ...........…..(1)

Persamaan tersebut dikalikan dengan r, akan diperoleh:

Ab N max . r = Dose. (1 + r + r2

……+ rN-2

+ rN-1

+ rN)..............(2)

Bila persamaan (2) dikurangi dengan persamaan (1), maka akan

diperoleh persamaan:

Ab N max . (1 – r) = Dose. (1 – rN)

Page 64: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

54

Ab N max = Dose . )1(

)1(

r

r N

Ab N max = Dose . )1(

)1(

k

Nk

e

e

Ab N max =

)2/1(1

)2/1(1 n

D ..…………………….…..(3)

2/1/ t

D = Dose

N = jumlah pemberian

τ = interval pemberian

Jumlah minimum obat di dalam tubuh:

AbN, min =

)2/1(1

)2/1(1 n

D )

21( ...………………...(4)

Jumlah maximum obat di dalam tubuh pada Steady State:

Abss, max = )2/1(1

1D ...………………………..(5)

Jumlah minimum obat di dalam tubuh pada Steady State:

Abss, min =

)2/1(max,)2/1()2/1(1

)2

1(AbssD ....(6)

6.3.3. Jumlah Rata-Rata Obat Di Dalam Tubuh Pada Steady

State

Pada steady state kecepatan masuknya obat ke dalam tubuh

(input) sama dengan kecepatan eliminasi (output), artinya jumlah

obat yang dieliminasi sama dengan jumlah obat yang diabsorbsi

seperti ditulis pada persamaan (7).

Page 65: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

55

D/ = k Abav …………………………………...(7)

D = dosis

= interval pemberian

Abav = jumlah rata-rata obat di dalam tubuh

k = konstanta kecepatan eliminasi =

21

693,0

t

D/ =

21

693,0

t Abav

Maka akan diperoleh persamaan (8):

Abav = 1,44 t1/2 (D/ ) ..............................................(8)

6.3.4 Konsentrasi Rata-Rata Obat Di Dalam Plasma Pada

Steady State

Mengingat bahwa konsentrasi (C) adalah jumlah per volume (V

Ab)

serta absorbsi diasumsikan berlangsung cepat, maka berdasarkan

persamaan (5), konsentrasi obat maksimum pada kondisi tunak

(Css, max) adalah sebagai berikut:

Css, max = ))2/1(1(

1V

FD...........................................(9)

Dengan cara yang sama berdasarkan persamaan (6) konsentrasi

obat minimum pada kondisi tunak (Css, min) adalah sebagai

berikut:

Css, min = ))2/1(1(

)2/1(

V

= Css, max )2/1( ..………………………….(10)

Dari persamaan (7):

FD/τ = k. Abav, maka:

FD/τ = k. V.Cav, sehingga:

FD / CavCl. ………………………………….(11)

Page 66: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

56

Dengan demikian, konsentrasi rata-rata obat di dalam

plasma (Cav) adalah sebagai berikut:

V

FDtCav

)/(44,1 2/1

………………………………….(12)

6.3.5. Indeks Akumulasi

Indeks akumulasi atau accumulation ratio (RAC) dapat diperoleh

dengan menghubungkan jumlah maksimum dan jumlah minimum

obat pada steady state dengan jumlah setelah pemberian dosis

tunggal:

RAC = min,

min,

)2/1(1

1

max

max.

Abl

Abss

Abl

Abss

6.3.6. Kecepatan Akumulasi Sampai Dicapai Steady State

Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai steady state

tergantung kepada waktu paruh obat (yaitu sebesar 3,3 t1/2)

dan tidak tergantung kepada frekuensi pemberian obat.

)2/1(1max,

max,

min

min

Abss

Ab

Abss

Ab NN

RAC = FD

Abav

RAC = Ratio akumulasi

F = Biovailabilitas

D = Dosis

= Interval pemberian

Abav = k

FD /

1,44 t1/2 /

Page 67: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

57

6.3.7. Hubungan antara Dosis Muatan dengan Dosis

Pertahanan

Bila absorbsi obat berlangsung sangat cepat, maka profil

hubungan antara konsentrasi (C) dengan waktu (t) atau jumlah obat

di dalam tubuh (Ab) dengan waktu (t) setelah obat diberikan per

oral dapat diasumsikan sama dengan profil setelah obat diberikan

secara intravena. Selama satu interval (1τ) pada steady state,

jumlah pada saat t = 0 adalah sama dengan Abss maksimum, maka:

Jumlah tersisa pada 1 Abss, max. e-kτ

Jumlah yang hilang pada 1 Abss, max – Abss max . e-kτ

= Abss, max (1-e-kτ

)

Dosis pertahanan atau maintenance dose (MD) yang harus

diberikan untuk mempertahankan konsentrasi tunak harus sama

dengan jumlah obat yang hilang pada satu interval yaitu:

FMD = Abss, max (1- e-kτ

)

Yang mana:

MD = Maintenance Dose pada steady state

F = ketersediaan hayati absolut

Ketersediaan hayati obat ekstravaskular, berbeda antara yang satu

dengan lainnya karena perbedaan sifat fisika kimia obat dan faktor

fisiologi. Biasanya nilai ketersediaan hayati obat yang diberikan

secara ekstravaskular adalah lebih kecil dari 1. Jadi, agar segera

dicapai jumlah maksimum steady state, maka faktor ketersediaan

hayati (F) harus dimasukkan ke dalam perhitungan dosis muatan

sebelum obat diberikan kepada pasien menggunakan persamaan

berikut:

LD = Abss, max/F

MD = LD (1- e-kτ

)

LD = )1( )ke

DM

Gambar 6.3 menunjukkan 2 regimen yang berbeda. Pada regimen

A, faktor ketersediaan hayati dimasukkan ke dalam pehitungan

Page 68: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

58

dosis muatan (LD = 500 mg), dosis pertahanan (MD) adalah 250

mg. Berdasarkan Gambar 6.3 pada regimen A jelas terlihat bahwa

jumlah obat di dalam tubuh langsung berada dalam kondisi tunak

dengan efek terapi yang diharapkan. Berbeda dengan regimen A,

pada regimen B faktor ketersediaan hayati tidak dimasukkan ke

dalam perhitungan dosis muatan. Pada regimen B, dosis muatan

sama dengan dosis pertahanan yaitu 250 mg. Sebagai

konsekuensinya yaitu diperlukan waktu yang lebih lama sampai

dicapai kondisi tunak sebagaimana terlihat pada Gambar 6.3. Jadi

pada regimen B diperlukan waktu sekitar 3 sampai 4 waktu paruh

sampai dicapai steady state.

Berdasarkan uraian tersebut di atas jelaslah bahwa bila efek terapi

optimal ingin dicapai dengan segera, maka faktor ketersediaan

hayati harus diperhitungkan dalam pemberian dosis muatan.

Gambar 6.3. Profil pemberian obat dengan regimen yang berbeda

Setelah Steady State dicapai selanjutnya kurva A akan sama

dengan kurva B seperti ditunjukkan pada Gambar 6.3.

6.4. Contoh-contoh Soal

1. Suatu obat diberikan dengan dosis 30 mg per hari dan

mengakumulasi di dalam tubuh sampai dicapai jumlah rata-

rata dalam keadaan tunak sebesar 300 mg. Obat diabsorpsi

segera dengan sempurna. Ditanya:

a. Waktu paruh obat

Page 69: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

59

b. Jumlah maksimum (Abmax) dan jumlah minimum

(Abmin) obat pada kondisi tunak apabila diberikan 300

mg per minggu

c. Dosis muatan yang diperlukan agar dicapai konsentrasi

tunak dengan segera

Jawab:

a. Perhitungan waktu paruh obat:

Rac = Abavg/(F.Dose) = 300 mg/(1x 30 mg) = 10

Rac = 1,44 (t1/2/τ)

10 = 1,44 (t1/2/1)

t1/2 = 6,9 hari = 7 hari

b. Berdasarkan konsep, maka jumlah maksimum dan

minimum obat pada kondisi tunak apabila diberikan

300 mg per minggu adalah:

Abmax = 2 x dosis = 2 x 300 mg =600 mg

Abmin = Dosis = 300 mg

c. Dosis muatan yang diperlukan agar dicapai konsentrasi

tunak dengan segera adalah 300 mg

2. Chlorpropamide diberikan kepada seorang pasien penderita

diabetes dengan dosis 250 mg per hari. Bila bioavailabilitas

obat = 1 dan waktu paruh obat = 36 jam, berapa jumlah

rata-rata obat di dalam tubuh pada kondisi tunak?

Jawab:

(F.D)/τ = k. Abavg

Abavg = 1,44 t1/2 (D/ )

= 1,44. 36 jam (250 mg/24 jam) = 540 mg

3. Paracetamol diberikan kepada seorang pasien dengan dosis

500 mg tiga kali sehari. Waktu paruh obat adalah 8 jam.

Hitung jumlah paracetamol rata-rata di dalam tubuh.

Jawab:

Abavg = 1,44 t1/2 (D/ )

= 1,44. 8 jam (500 mg/8 jam) = 729 mg

4. Seorang pasien (laki-laki, berat badan = 70 kg) masuk ke

sebuah rumah sakit karena mengalami infeksi bakteri.

Page 70: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

60

Dokter akan memberi terapi ciprofloxacin tablet. Diketahui

waktu paruh ciprofloxacin adalah 6 jam, volume distribusi

0,25L/kg berat badan, bioavailabilitas adalah 0,5, dan

rentang terapi adalah 3 - 6 mcg/ml. Berapa dosis dan

interval pemberian ciprofloxacin tablet agar diperoleh efek

terapi yang optimal?

Jawab:

Pengaturan besarnya dosis dan interval pemberian obat

adalah berdasarkan kepada kecepatan eliminasi obat.

Parameter kecepatan eliminasi obat adalah clearance dan

konsentrasi obat di dalam plasma.

k =0,693/t1/2 = 0,693/6 jam = 0,12 jam-1

V = 70 kg x 0,25L/kg = 17,5 L

Maka:

Cl = k x V = 0,12 jam-1

x 17,5 L = 2,1L/jam = 2100 ml/jam

Perhitungan kecepatan pemberian obat:

F .D/τ = Cl .Css

Bila Css yang dipilih adalah 4 mcg/ml, maka:

0,5 D/τ = 2100 ml/jam x 4 mcg/ml = 8400 mcg/jam

D/τ = 16800 mcg/jam

Perhitungan interval pemberian maksimum (τmax):

τmax = 1,44 t1/2 lnCmax/Cmin

= 1,44. 6 jam ln 4/3= 1,44. 5 jam (ln 6 – ln 3)

= 8,64 jam ( 1,792 – 1,099) = 8,64 jam .0,693 =

5,988 jam

Bila interval pemberian yang dipilih adalah 6 jam, maka:

D (dosis) = 6 jam x 16800 mcg/jam = 100800 mcg = 100,8 mg

Jadi dosis ciprofloxacin tablet yang harus diberikan adalah

100,8 mg/6 jam.

Sediaan tablet ciprofloxacin yang ada di pasaran adalah

tablet ciprofloxacin 250 mg dan 500 mg, maka yang dipilih

adalah tablet ciprofloxacin 250 mg. Dosis ciprofloxacin

dibulatkan menjadi 125 mg/6 jam (1/2 tab/6 jam).

Page 71: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

61

BAB VII

KINETIKA METABOLIT

Metabolit obat merupakan salah satu aspek yang harus dikaji,

karena dapat menyebabkan perubahan respons farmakologi.

Kemungkinan pertama yaitu metabolit dapat menghasilkan respons

farmakologi yang sama dengan respons farmakologi obat asalnya

sehingga meningkatkan efeknya, seterusnya dapat menimbulkan

efek toksik terhadap pasien. Kemungkinan lain yaitu metabolit

dapat bersifat tidak aktif secara farmakologi, namun bersifat

sebagai inhibitor, memperpanjang ataupun memperbesar efek

pengobatan. Selain itu metabolit juga dapat mempengaruhi

disposisi (metabolisme) obat dengan cara menggeser ikatan antara

molekul obat dengan protein plasma ataupun jaringan sehingga

mempengaruhi efek terapi. Dalam Bab ini akan dibahas tentang

berbagai metabolit, faktor-faktor penentu jumlah metabolit di

dalam tubuh, serta implikasinya terhadap terapi.

7.1. Proses Metabolisme Obat

Umumnya proses metabolisme obat dapat berlangsung

secara oksidasi, reduksi, hidrolisis, konjugasi, hidrasi, dan

kondensasi terutama berlangsung di hati yaitu di Endoplasmic

reticulum. Tujuan proses metabolisme adalah untuk mengubah obat

menjadi bentuk yang lebih polar sehingga mudah dieksresi.

Sebagian kecil metabolisme dapat berlangsung pada organ lainnya

seperti ginjal, membrane saluran pencernaan, sirkulasi darah dan

kulit. Jumlah metabolit yang terbentuk tergantung kepada

kecepatan masing-masing jalur metabolisme. Pada Tabel 7.1

tercantum beberapa contoh obat dengan metabolit yang

menghasilkan efek terapi:

Page 72: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

62

Tabel 7.1. Berbagai obat dengan metabolit aktif Obat yang

Diberikan

Metabolit Obat yang

diberikan

Metabolit

Acetylsalicylic acid

Amitriptylin

Chlordiazepoxide

Codein

Diazepam

Isosorbide dinitrate

Salicylic acid

Nortriptyline

Desmethyl

chlordiazepoxide

Morphin

Desmethyl

diazepam

Isosorbide 5-

mononitrate

Lidocaine

Meperidine

Phenylbutazone

Prednisone

Primidone

Procainamide

Propranolol

Desethyl

lidocaine

Nor meperidine

Oxyphenbutazone

Prednisolone

Phenobarbital

N-Acethyl

procainamide

4-Hydroxy

Propanolol

7. 2. Faktor-Faktor Penentu Jumlah Metabolit di dalam

Tubuh

Untuk mengkaji jumlah metabolit di dalam tubuh, setelah

diberikan secara intravena dosis tunggal, dapat dijelaskan

berdasarkan skema seperti tertera pada Gambar 7.1. Obat di dalam

tubuh (A) menghasilkan sejumlah metabolit (Am) yang

mempunyai kecepatan konstanta metabolisme (k), serta metabolit

yang dihasilkan dieliminasikan dalam bentuk tidak berubah (Ame).

Metabolisme eliminasi metabolit

A Am Ame

(k) (km)

Gambar 7.1. Skematis pembentukan metabolit

yang mana:

A = jumlah obat di dalam tubuh

Am =jumlah metabolit di dalam tubuh

Ame = jumlah metabolit yang dieliminasi

Page 73: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

63

Kedua tahap di atas yaitu proses metabolisme obat dan eliminasi

metabolit dapat dicirikan sebagai reaksi order pertama yang

mempunyai konstanta berturut-turut k dan km. Kecepatan

perubahan jumlah metabolit di dalam tubuh dapat ditulis sebagai

berikut:

Kecepatan perubahan = kecepatan pembentukan – kecepatan eliminasi Metabolit di dalam tubuh

= k . A - km . Am

Kecepatan pembentukan metabolit (kA) juga merupakan kecepatan

masuknya metabolit ke dalam sirkulasi darah.

km . Am = kecepatan eliminasi metabolit.

Jumlah tahapan yang terlibat di dalam eliminasi metabolit tidak

begitu penting, akan tetapi yang penting adalah di tahapan mana

berlangsung paling lambat. Sebagai contoh adalah tahapan

metabolisme seperti tertera pada Gambar 7.1. Jumlah metabolit

yang dihasilkan ditentukan oleh proses yang paling lambat

berlangsung diantara kedua tahap tersebut. Untuk memperjelas

pemahaman tentang prinsip tersebut dapat dilihat dari skema

metabolisme obat A seperti dicantumkan pada Gambar 7.2.

Gambar 7.2. Skema metabolism obat A. Konstanta kecepatan

metabolisme dinyatakan dalam jam-1

.

Berdasarkan Gambar 7.2 dapat dilihat bahwa ada 3 tahap dalam

proses metabolisme obat A menjadi metabolit D. Tahap penentu

kecepatan metabolisme obat A menjadi metabolit D ditentukan

oleh metabolisme metabolit B menjadi menjadi metabolit C yaitu

sebesar 0.05 jam-1

.

A B D C

0,1 0,05 0,2

Page 74: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

64

7.2.1. Kecepatan Metabolisme Sebagai Penentu Jumlah

Metabolit

Jumlah metabolit di dalam tubuh akan ditentukan oleh kecepatan

metabolisme apabila:

1. Waktu paruh eliminasi obat lebih panjang dari waktu

paruh metabolit.

2. Jumlah obat di dalam tubuh lebih banyak dibanding

dengan jumlah metabolit

3. Kecepatan eliminasi metabolit hampir sama dengan

kecepatan pembentukannya, sehingga:

Km . Am ≈ k A

Maka,

Am = k/km . A

4. Jumlah metabolit di dalam tubuh sebanding dengan

jumlah obat. Bila diplot hubungan antara konsentrasi

dengan waktu, akan diperoleh kurva seperti tertera pada

Gambar 7.3. Pada kurva terlihat seolah-olah waktu paruh

metabolit sama dengan waktu paruh obat. Namun

sebenarnya apabila metabolit diberikan secara tunggal,

akan mempunyai waktu paruh yang lebih singkat

dibanding dengan waktu paruh obat sendiri.

Gambar 7.3. Hubungan antara konsentrasi dengan waktu

I = obat di dalam tubuh; II = metabolit di dalam tubuh; III = obat

pada lokasi absorpsi

t

konse

ntr

asi

I

II

III

Page 75: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

65

Contoh situasi dimana kecepatan metabolisme obat sebagai faktor

penentu pembentukan metabolit adalah pemberian tolbutamide

secara intravena. Tolbutamide merupakan salah satu antidiabetes.

Obat ini dimetabolisme melalui oksidasi menjadi metabolit aktif

yaitu hydroxytolbutamide. Di dalam tubuh, hampir seluruh

tolbutamide diubah menjadi metabolit yaitu mendekati 100%.

Clearance hydroxytolbutamide lebih besar (kira-kira 20 kali lipat)

dibandingkan dengan clearance tolbutamide. Karena volume

distribusi tolbutamide dan hydroxytolbutamide hampir sama yaitu

0,15 – 0,30 liter, maka oksidasi tolbutamide menentukan eliminasi

hydroxytolbutamide. Metabolit ini segera diieksresikan dari dalam

tubuh, maka dengan demikian metabolit ini tidak begitu penting

dipertimbangkan dalam terapi.

7.2.2. Kecepatan Eliminasi Metabolit Sebagai Penentu

Kondisi-kondisi berikut ini mengimplikasikan bahwa jumlah

metabolit ditentukan oleh kecepatan eliminasi:

1. Waktu paruh eliminasi metabolit lebih panjang dari waktu

paruh obat.

2. Metabolit mengakumulasi di dalam tubuh.

3. Faktor penentu jumlah metabolit adalah eliminasi metabolit.

Plot hubungan antara konsentrasi metabolit dan obat versus waktu

adalah sebagaimana tertera pada Gambar 7.4.

Gambar 7.4. Plot konsentrasi metabolit versus waktu.

I = metabolit di dalam tubuh; II = obat pada lokasi absorpsi;

III = obat di dalam tubuh

ko

nse

ntr

asi I

b

o

li

t

M

II

I III

t

Page 76: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

66

Contoh obat yang mempunyai pola seperti tertera pada Gambar 7.4

adalah acetohexamide diberikan per oral. Obat ini juga merupakan

antidiabetes. Metabolit aktifnya yaitu hydroxyhexamide dieliminasi

jauh lebih lambat dibanding dengan acetohexamide. Jadi walaupun

saat hampir seluruh acetohexamide dieliminasi, namun efek

antidiabetik hydroxyhexamide masih lama berlangsung.

7. 2. 3. Konsentrasi Metabolit di dalam Plasma

Umumnya jumlah metabolit di dalam tubuh tidak dapat dihitung

karena volume distribusinya tidak dapat diketahui. Namun,

konsentrasi metabolit di dalam plasma (C) dapat diukur, maka nilai

clearance (Cl) dapat dihitung dengan mengaplikasikan persamaan

berikut:

Kecepatan Eliminasi = Cl x C

Nilai clearance metabolit dapat dijadikan sebagai indikator

akumulasi metabolit di dalam tubuh. Sebagai contoh adalah

glutethimide (suatu sedatif hipnotik). Overdosis glutethimide dapat

mengakibatkan koma. Penanggulang pasien koma akibat overdosis

glutethimide merupakan kasus yang rumit karena tidak ada korelasi

antara konsentrasi glutethimide dengan lamanya respons. Lamanya

koma lebih dari yang diperkirakan. Keadaan ini dapat dijelaskan

melalui pengkajian akumulasi metabolitnya yaitu 4-hydroxy

glutethimide. Metabolit ini mempunyai nilai clearance yang lebih

kecil dari clearance glutethimide sehingga mengakumulasi di

dalam darah, akibatnya bersifat toksik.

7.2.4. Interpretasi Data Metabolit

Pada berbagai kasus seperti keracunan obat, jumlah obat yang

masuk dan diabsorpsi ke dalam tubuh tidak diketahui. Dalam hal

ini, interpretasi metabolit dapat dilakukan dengan mengaplikasikan

metode area.

Page 77: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

67

Kecepatan perubahan metabolit di dalam tubuh = Clm x C – Cl(m)

x C(m)

Dalam hal ini

Clm = Clearance obat melalui metabolisme

Cl(m) = Clearance total metabolit

C = Konsentrasi obat di dalam plasma

Cm = Konsentrasi metabolit di dalam plasma

Bila persamaan tersebut diintegralkan antara nol sampai dengan

tidak terhingga, maka akan diperoleh:

drug

met

Area

Area =

)(mCl

Clm

Karena Clm = fm x Cl

fm = fraksi obat yang dimetabolisme

Cl = Clearance obat

Maka:

drug

met

Area

Area= fm x

)(mCl

Clearance

Mengingat nilai fm tidak dapat melampaui satu, maka clearance

metabolit akan lebih kecil dari satu.

7. 3. Implikasi Terapi

Implikasi terapi kinetika metabolit tergantung kepada aktivitas obat

dan metabolitnya. Dalam hal ini dapat terjadi beberapa

kemungkinan:

7.3.1 Prodrug tidak aktif dan metabolit aktif

Pada kondisi seperti ini, mulai kerja obat lebih cepat dicapai serta

menghasilkan efek yang lebih besar apabila diberikan per oral

dibanding dengan pemberian parenteral. Sebagai contoh adalah

Page 78: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

68

propranolol (merupakan antihipertensi beta blocker) dimetabolisme

di hati. Salah satu dari metabolit aktifnya adalah 4

hydroxypropanolol. Obat dengan nilai ketersediaan hayati (F) yang

kecil artinya menghasilkan metabolit yang lebih banyak.

7.3.2 Obat aktif dan metabolit tidak aktif

Pada kondisi ini dibutuhkan dosis obat per oral yang lebih besar

dibanding dengan dosis intravena untuk menghasilkan efek yang

sama.

7.4. Contoh-contoh soal

1. Obat A dimetabolisme menjadi metabolit B dengan nilai k =

0,15 jam-1

. Selanjutnya metabolit B dimetabolisme menjadi

metabolit C dengan nilai k = 0.04 jam-1

. Tahap berikutnya

metabolit C dimetabolisme menjadi molekul D dengan nilai k

= 0.3 jam-1

. Ditanya:

a. Berapa konstanta kecepatan perubahan obat A menjadi

metabolit D?

b. Berapa waktu paruh obat A?

Jawab:

a. Konstanta kecepatan perubahan obat A menjadi metabolit

D adalah 0,04 jam-1

.

b. Waktu paruh obat A = 0,693/0,04jam-1

= 17,33 jam.

2. Jelaskan kenapa acetohexamide diberikan peroral mempunyai

efek yang lebih lama dibandingkan dengan tolbutamide

diberikan secara intravena dengan dosis yang sama.

Jawab:

Metabolit kedua obat ini sama-sama memiliki efek untuk

menurunkan kadar gula darah. Metabolit aktif dari acetohexamide

yaitu hydroxyhexamide mempunyai nilai clearance yang lebih kecil

dibandingkan dengan acetohexamide sendiri. Sementara metabolit

aktif dari tolbutamide yaitu hydroxytolbutamide mempunyai nilai

Page 79: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

69

clearance yang lebih besar dibandingkan dengan clearance

tolbutamide. Berdasarkan kedua nilai clearance metabolit-metabolit

tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tidak semua obat yang

diberikan secara intravena menghasilkan efek yang lebih lama

dibandingkan dengan obat yang diberikan per oral. Jadi nilai

clearance metabolit aktif harus menjadi bahan pertimbangan dalam

pemilihan obat.

Page 80: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

70

BAB VIII

KEANEKARAGAMAN RESPONS

Secara umum manusia dapat dianggap sama, namun perbedaan

respons terhadap obat dapat terjadi akibat berbagai faktor sehingga

menyebabkan kerja obat tidak efektif, bahkan kadang-kadang

menimbulkan efek toksik. Oleh karena itu pendekatan pengaturan

pemberian obat secara individu sering dilakukan untuk mencegah

ketidak efektifan dan efek toksik obat. Pada Bab ini akan dibahas

sumber utama penyebab keanekaragaman respons yang meliputi

ketidaksesuaian penggunaan obat, genetik, toleransi, keberadaan

penyakit, umur dan berat badan, jenis kelamin, formulasi, rute

pemberian, serta interaksi obat serta pendekatan-pendekatan yang

dapat dilakukan untuk mengoptimalkan terapi.

8. 1. Ketidaksesuaian Penggunaan Obat

Penyebab utama keanekaragaman respons adalah ketidak sesuaian

penggunaan obat. Sebagai contoh adalah penggunaaan obat pada

waktu yang tidak tepat, meniadakan obat yang diperlukan,

menggunakan obat yang tak diperlukan, menghentikan terapi

sebagai akibat karena pasien telah merasa sembuh ataupun terjadi

efek samping yang tak dapat diterima oleh pasien. Contoh yang

paling nyata adalah terjadinya resistensi bakteri terhadap

antibiotika akibat kurangnya dosis dan lama penggunaan sehingga

untuk membunuh bakteri yang bersangkutan dibutuhkan antibiotika

yang lebih kuat. Untuk mencegah hal tersebut pasien perlu diberi

konseling menyangkut akibat negatif yang akan terjadi

apabila obat tidak digunakan dengan benar.

Page 81: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

71

8. 2. Genetik

Faktor keturunan (genetik) kadang-kadang merupakan penyebab

timbulnya keanekaragaman respons terhadap obat walaupun

diberikan dengan dosis yang sama. Ilmu yang mempelajari

pengaruh faktor genetik terhadap respons obat disebut

farmakogenetika. Pada Tabel 8.1 tertera beberapa kondisi genetik

yang mempengaruhi farmakokinetika obat.

Salah satu faktor genetic yang mengakibatkan keanekaragaman

respons terhadap obat adalah polimorfis enzim pengmetabolisme.

Contohnya adalah N-acetyltransferase (enzim hati) yang berperan

dalam proses konjugasi mengkatalisis N-asetilasi (biasanya

deaktivasi) dan O-asetilasi (umumnya aktivasi) karsinogen

arilamine dan amin heterosiklik. Individu yang termasuk ke dalam

penotipe slow acetylator bila diberikan isoniazide, sulfonamide,

procainamide, dan hydralazine selalu mengalami efek toksik. Oleh

karena itu perlu diwaspadai terhadap gejala-gejala efek toksik obat

tersebut bila diberikan kepada kelompok pasien ini.

Sementara pasien dengan penotipe fast acetylator dapat mengalami

respons sub-level terapi (tidak ada dihasilkan respons terapi) bila

diberikan dengan dosis yang sama seperti yang diberikan kepada

pasien dengan penotipe slow acetylator. Bila isoniazide dosis

normal diberikan kepada pasien dengan penotipe slow asetilator

akan dapat mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Berbagai studi

telah membuktikan bahwa semakin ke Utara tempat tinggal

penduduk dunia, semakin rendah frekuensi penotipe slow

asetilator. Kondisi ini mungkin disebabkan oleh pola makanan dan

lingkungan.

Page 82: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

72

Tabel 8.1. Keanekaragaman farmakokinetika akibat kondisi genetik

Kondisi Respons Abnormal

enzim dan

lokasi

Frekuensi Contoh Obat

Slow dan

fast asetilasi

Slow acetylator

dapat

mengakibatkan

efek toksik

Fast acetylator

dapat

mengakibatkan

efek subterapi

N-Acetyltrans-

ferase di hati

40-70%

populasi USA

adalah slow

acetylator; 10-

20% penduduk

Jepang dan

Eskimo Canada

adalah fast

acetylator

INH,

procainamide,

hydralazine,

sulfonamida

Hidrolisis

succinylcholi

ne lambat

Sesak nafas

berkepanjangan

Pseudocholinest

erase di dalam

plasma

Beberapa

kondisi gen

abnormal

Succinylcholi

ne

Perbedaan

kemampuan

enzim dalam

metabolisme

Perbedaan

efikasi terapi

Polimorfis

CYP2C19

Frekuensi

kejadian

mencapai 23%

pada penduduk

Oriental

Proton pump

inhibitors:

omeprazole,

lansoprazole,

pantoprazole

Contoh lainnya adalah defisiensi enzim pseudocholinesterase.

Enzim ini berperan dalam metabolisme berbagai obat seperti

succinylcholine. Defisiensi pseudocholinesterase mengakibatkan

keterlambatan hidrolisis succinylcholine, seterusnya pasien tak

dapat bergerak dan bernafas. Tindakan berupa ventilasi mekanik

perlu dilakukan sampai seluruh succinylcholine dieksresikan dari

dalam tubuh.

Pada Tabel 8.2 tercantum beberapa kondisi genetik yang

mempengaruhi farmakodinamika obat. Sebagai contoh adalah

warfarin. Obat ini umum digunakan sebagai antikoagulan oral.

Besarnya respons yang dihasilkan sangat bervariasi antara pasien

yang satu dengan lainnya dan ditentukan oleh enzim

pengmetabolisme obat ini yaitu enantiomer CYP2C9 menjadi

senyawa inaktif yaitu 7-hydroxywarfarin. Sejumlah pasien sensitif

terhadap warfarin walaupun diberikan dengan dosis yang rendah.

Page 83: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

73

Berikutnya adalah defisiensi enzyme glucose-6 phosphate

dehydrogenase (G6PD). Pasien dengan defisiensi enzyme G6PD

dapat mengalami hemolisis apabila diberikan primaquine. Glucose-

6 phosphate dehydrogenase berperan mengontrol pengaliran karbon

melalui jalur pentose phosphate, menghasilkan nicotinamide

adenine dinucleotide phosphate (NADPH) untuk biosintesis

reduktif, dan menstabilkan oksidasi-reduksi di dalam sel agar

gluthation berada dalam bentuk tereduksi. Ketidaktersediaan

gluthation dalam bentuk terduksi akan mengoksidasi gugus fungsi

sulfahydroxyl dari hemoglobin, selanjutnya terjadi hemolisis.

Obat yang bersifat oksidan seperti acetanilide dimetabolisme oleh

enzim CYP450 menjadi radikal bebas yang mengakibatkan

terbentuknya methemoglobin. Defisiensi enzim methemoglobin

reductase (cytochrome b5 reductase) mengganggu pengubahan

methemoglobin menjadi hemoglobin sehingga kadar

methemoglobin tinggi (>1%) di dalam darah. Kondisi ini disebut

methemoglobinemia. Gejala-gejala antara lain sakit kepala,

dispnea, lemah, kebingungan, irama jantung tak normal, delirium

(mengigau), dan coma.

Contoh lain adalah angiotensin converting enzyme (ACE)

inhibitors, antagonis β-adrenoreceptor, β-agonis, dan inhibitor

selektif serotonin reuptake masing-masing dapat menghasilkan

respons yang berbeda (tidak ada respons, respons parsial, ataupun

reaksi yang tidak dikehendaki) walaupun diberikan kepada pasien

dengan dosis yang sama.

Berdasarkan Tabel 8.2, maka keanekaragaman respons akibat

faktor genetik perlu menjadi perhatian dan bahan pertimbangan

dalam mengatur regimen dosis obat secara individu sehingga dapat

diperoleh efek optimal dan dihindari efek negative penggunaan

obat.

Page 84: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

74

Tabel 8.2. Keanekaragaman farmakodinamika akibat kondisi

genetik Kondisi Respons Abnormal

enzim dan

lokasi

Frekuensi Contoh

Obat

Resisten

warfarin

Resisten terhadap

antikoagulasi

Perubahan

reseptor dan

enzim di hati

dengan

peninggian

afinitas terhadap

vitamin K

Sering warfarin

Obat yang

menginduksi

hemolitik

anemia

Hemolisis Defisiensi G6PD Terjadi

pada

daerah

endemi

malaria

Acetanilide,

primaquine,

chlorampheni

col

Analog

vitamin K

Defisiensi

methemoglobin

reductase

Methemoglobinemia Defisiensi

methemoglobin

reductase

Sekitar 1

% adalah

carier

heterozy

Got

Acetanilide,

primaquine,

benzocaine

Hipertermia

malignan

Peninggian

temperatur tubuh

yang tidak

terkontrol

Tidak diketahui Sekitar 1

dalam

20.000

pasien

yang

dianestesi

Berbagai

anestetika

8.3. Toleransi (ketergantungan)

Toleransi ialah suatu kondisi yang mana efektivitas obat berkurang

apabila diminum terus menerus. Salah satu faktor yang dapat

mengakibatkan toleransi adalah peristiwa farmakokinetika yaitu

mengakibatkan penurunan konsentrasi obat yang dicapai dengan

dosis tertentu, contohnya adalah peninggian metabolisme obat.

Selain itu, juga dapat terjadi toleransi farmakodinamika yaitu

konsentrasi obat yang sama pada reseptor menunjukkan penurunan

efek akibat dikonsumsi terus menerus. Contohnya adalah opiate

yang digunakan untuk pengobatan nyeri kronik.

Page 85: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

75

8. 4. Penyakit

Penyakit merupakan salah satu sumber keanekaragaman respons.

Sebagai contoh adalah penyakit ginjal kronik (PGK), gangguan

hati, gangguan sirkulasi darah, gangguan thyroid dan

gastrointestinal serta keberadaan penyakit lebih dari satu. Agar

diperoleh respons sesuai dengan yang diharapkan maka dosis lazim

perlu dimodifikasi untuk pasien yang bersangkutan. Pada Bab IX

akan dibahas pendekatan farmakokinetika klinis untuk penanganan

penyakit ginjal kronik dan gangguan hati.

8. 5. Usia dan Berat Badan

Penuaan (senescence) merupakan sumber keanekaragaman respons

obat. Perubahan farmakokinetika obat termasuk penurunan

clearance renal dan hepatik, peningkatan volume distribusi obat

yang bersifat hidrofob, yang selanjutnya memperpanjang waktu

paruh obat. Dengan demikian diperlukan penyesuaian dosis untuk

kelompok pasien tersebut. Perubahan farmakodinamika termasuk

perubahan sensitivitas pasien terhadap kelompok obat tertentu

seperti antikoagulan, obat-obat kardiovaskular dan psikotropika.

Salah satu aspek dari proses penuaan adalah berat badan. Berat

badan meningkat cepat dari usia anak-anak sampai pancaroba,

selanjutnya setelah usia 50 tahun berat badan akan menurun secara

perlahan-lahan. Kandungan air rongga tubuh, massa otot, aliran

darah, dan fungsi organ berhubungan dengan berat badan. Oleh

karena itu volume distribusi, clearance dan regimen dosis juga

berhubungan erat dengan berat badan. Sebagai contoh, pasien

dengan berat badan tidak normal (berlebihan) memerlukan dosis β-

lactams yang lebih tinggi dari dosis untuk pasien dengan berat

badan normal untuk mencapai konsentrasi yang sama. Bila terjadi

penyimpangan respons, penyesuaian dosis hanya diperlukan bila

berat badan menyimpang 30% lebih dari berat normal.

Periode-periode pertumbuhan serta strategi yang dapat dilakukan

untuk mengoptimalkan terapi pada masing-masing kelompok usia

diuraikan berikut ini:

Page 86: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

76

1) Bayi Baru Lahir (Neonate) yaitu usia di bawah 2 bulan

Bayi baru lahir dengan berat badan 3,18 kg umumnya hanya

membutuhkan dosis sebanyak 12,5 % dari dosis dewasa,

karena organ-organ tubuh masih dalam pertumbuhan.

2) Bayi (Infant) yaitu usia antara 2 bulan sampai dengan 1 tahun

dengan berat badan 4,54 – 9,98 kg dengan alasan yang sama

seperti point 1) membutuhkan dosis sekitar 15-25 % dari dosis

dewasa.

3) Anak-anak yaitu usia antara 1 sampai dengan 12 tahun dengan

berat badan 9,98-35,52 kg membutuhkan dosis sebanyak 25-75

% juga disebabkan karena fungsi organ belum sempurna.

4) Pancaroba (Adolescent) yaitu usia antara 12 sampai dengan 20

tahun. Dosis obat untuk kelompok usia ini adalah sebesar

perbandingan antara usia dengan dewasa (n/20) dikalikan

dengan dosis dewasa.

5) Dewasa (Adult) yaitu usia 20 tahun ke atas. Untuk kelompok

pasien ini, regimen dosis obat sesuai dengan yang

direkomendasikan di literatur, kecuali terdapat faktor-faktor

tertentu yang mempengaruhi farmakokinetika dan

farmakodinamika obat.

6) Usia Lanjut (Elderly) yaitu usia 70 tahun ke atas.

Penuaan ditandai dari gangguan fungsi proses yang menghasilkan

integrasi fungsional antara sel dan organ. Dengan demikian dapat

terjadi kegagalan untuk mempertahankan homeostatis pada kondisi

stres fisiologi. Penurunan kemampuan homeostasis ini

menghasilkan pengaruh yang berbeda terhadap sistem pengaturan

di antara subjek, sehingga keanekaragaman individu semakin

meningkan dengan pertambahan usia. Perubahan farmakokinetika

termasuk penurunan clearance renal dan hepatik, peninggian

volume distribusi obat hidrofob seterusnya memperpanjang waktu

paruh obat. Perubahan farmakodinamika melibatkan perubahan

sensitivitas terhadap beberapa kelas obat seperti antikoagulan, obat-

Page 87: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

77

obat cardiovaskular dan psikotropik. Dengan demikian penyesuain

dosis untuk obat-obat tersebut perlu dilakukan apabila akan

diberikan kepada kelompok pasien usia lanjut.

Penuaan menghasilkan perubahan yang signifikan terhadap struktur

dan fungsi jantung termasuk penurunan elastisitas aorta dan arteri.

Kondisi ini mengakibatkan peninggian tekanan darah arteri,

selanjutnya meningkatkan tahanan terhadap tekanan ventrikular

kiri, selanjutnya terjadi hipertropi ventrikular kiri (left ventricular

hypertropy) dan interstitial fibrosis. Penurunan relaksasi miokardial

juga terjadi.

Massa ginjal dan nefron berkurang sejalan dengan pertambahan

usia. Aliran darah ginjal dan glomerular filtration rate (GFR) juga

menurun dengan pertambahan usia. Seterusnya kemampuan ginjal

untuk mengeksresikan berbagai senyawa dari dalam tubuh juga

menurun. Penyesuaian dosis untuk pasien dengan gangguan ginjal

akan dibahas secara mendetail pada Bab IX.

Selain itu, penuan juga berpengaruh terhadap sistim saluran

pencernaan. Perubahan utama adalah penurunan sekresi asam

lambung dan pepsin sebagai akibat perubahan sel-sel yang

memproduksi enzim. Peningkatan usia juga mengakibatkan

penurunan absorpsi berbagai senyawa diantaranya gula, kalsium,

dan besi oleh usus halus. Produksi enzim lipase dan trypsin oleh

pankreas menurun secara drastis.

Peningkatan usia juga berhubungan dengan penurunan volume dan

perubahan struktur hati, penurunan aliran darah, dan produksi

enzim hati. Pertimbangan dan pengaturan dosis pada pasien dengan

gangguan hati akan dibahas pada Bab X.

8. 6. Formulasi

Formulasi dan proses yang digunakan untuk memproduksi obat

dapat mempengaruhi kecepatan pelepasan zat aktif, sehingga

mempengaruhi kecepatan dan jumlah obat yang masuk ke sirkulasi

Page 88: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

78

sistemik. Obat yang tidak dirancang dan dievaluasi dengan baik

dapat mengakibatkan keanekaragaman respons saat digunakan.

Obat yang dirancang dengan baik dapat meminimalkan perbedaan

pelepasan in vivo obat. Proses produksi yang dikontrol dengan baik

serta berpedoman kepada Cara Pembuatan Obat yang Baik

(CPOB), akan dapat menghasilkan obat yang seragam dari batch ke

batch dan dari lot ke lot sehingga akan menghasilkan pelepasan dan

absorpsi obat yang seragam yang selanjutnya menghasilkan efek

yang seragam pula.

8. 7. Rute Pemberian

Perbedaan rute pemberian bukan hanya mempengaruhi konsentrasi

lokal dan sistemik tetapi juga dapat mempengaruhi konsentrasi

metabolit sistemik. Kesemua ini dapat menimbulkan perbedaan

respons obat sebagaimana telah dibahas dalam bab VII tentang

kinetika metabolit.

8. 8. Interaksi Obat

Penggunaan polifarmasi selalu dilakukan untuk mengobati pasien

yang menderita lebih dari satu penyakit atau meningkatkan efek

terapi. Namun, kombinasi obat sering menimbulkan interaksi yang

dapat terjadi secara farmakokinetika ataupun farmakodinamika.

Hasil interaksi tersebut dapat menurunkan efek farmakologi

ataupun menimbulkan efek toksik. Contoh-contoh interaksi obat

tertera pada Tabel 8.3.

Interaksi absorpsi dapat meningkatkan ataupun menurunkan

absorpsi obat. Metoclopramide per oral mempercepat pengosongan

lambung. Jadi obat-obat yang diberikan bersamaan dengan

metoclopramide akan lebih cepat memasuki area usus,

konsekuensinya adalah peningkatan absorpsi obat. Sebaliknya

obat-obat yang memperlambat pengosongan lambung akan

menurunkan absorpsi obat. Bila terjadi percepatan absorpsi obat

Page 89: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

79

maka penurunan dosis perlu dipertimbangkan dan bila terjadi

penurunan absorpsi maka dosis perlu ditungkatkan.

Faktor berikutnya adalah adanya obat yang menginhibisi dan

menginduksi enzim hati ataupun membentuk komplek dengan obat

lain. Sebagai contoh inhibitor kuat adalah cimetidine. Bila obat-

obat yang dimetabolisme di hati diberikan bersamaan dengan

cimetidine akan mengakumulasi di dalam tubuh, selanjutnya dapat

mengakibatkan efek toksik. Dalam hal ini dosis obat yang

dipengaruhi harus diturunkan. Sebaliknya bila terjadi induksi

enzim, maka eksresi obat semakin cepat sehingga kadar obat di

dalam tubuh dan efeknya cepat turun. Bila terjadi induksi enzim,

maka dosis obat harus dinaikkan agar diperoleh efek yang

diinginkan.

Selain itu, penggeseran ikatan obat dengan protein juga akan

mengakibatkan peninggian kadar obat bebas di dalam plasma dan

jaringan tubuh yang seterusnya juga dapat menghasilkan efek

toksik. Contohnya adalah phenylbutazone menggeser asam salisilat

dari ikatan protein plasma. Asam salisilat adalah metabolit aktif

dari acetyl salicylic acid. Strategi yang perlu dilakukan untuk

mengatasi masalah tersebut adalah menurunkan dosis acetyl

salicylic acid saat phenylbutazone diberikan kepada pasien.

Interaksi lainnya yang dapat terjadi adalah peninggian ataupun

penurunan reabsorpsi obat dan metabolit akibat perubahan pH urin.

Perubahan pH urin akan mengakibatkan perubahan jumlah obat

yang tidak terionisasi dan terionisasi pada tubule. Peninggian

jumlah obat yang tidak terionisasi akan mengakibatkan peninggian

reabsopsi melalui tubule, seterusnya dapat meningkatkan efek

farmakologi. Sebaliknya peninggian jumlah obat yang terionisasi

akan mempercepat eliminasi obat, kemudian akan menurunkan

efek farmakologi.

Kesemua faktor tersebut harus dipertimbangkan dan diantisipasi

agar diperoleh efek maksimal dan dicegah efek toksik serta

sublevel terapi.

Page 90: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

80

Tabel 8.3. Interaksi beberapa Obat dan kosekuensinya Parameter Interaktan dan Respons Mekanisme

Kecepatan

absorpsi

1. kecepatan absorpsi

acetaminophen ditingkat oleh

metoclopramide

2. kecepatan absorpsi lidocaine

diurunkan oleh epinephrine

Metoclopramide

mempercepat pengosongan

lambung

Epinephrine mengurangi

aliran darah ke lokasi injeksi

subcutan dan intramuscular.

Availabilitas Ketersediaan hayati metoprolol

ditingkatkan oleh cimetidine

ketersediaan hayati tetracycline

Ca menurun

Cimetidine menghambat

metabolisme metoprolol

Kompl. Ca Tetracycline

Yang tak larut

Volume

distribusi

Volume distribusi salicylic acid

meningkatkan

Volume distribusi Digoxin

menurun

Phenylbutazone menggeser

asam salisilat dari ikatan

protein plasma.

Quinidine menggeser digoxin

dari ikatan dengan jaringan

Renal

clearance

Renal clearance salicylic acid

ditingkatkan oleh bicarbonate

Renal clearance benzylpenicillin

diturunkan

Peninggian pH urin oleh

bicarbonate menurunkan

reabsorpsi tubular dari

salicylate.

Probenecid menghambat

sekresi penicillin.

Page 91: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

81

BAB IX

PENGGUNAAN OBAT

PADA PASIEN DENGAN

GANGGUAN GINJAL

9.1 Penyakit Ginjal Kronik

Ginjal merupakan organ utama pengeliminasi berbagai senyawa

dari dalam tubuh termasuk obat dan metabolitnya. Eliminasi obat

dan metabolitnya berkurang pada pasien dengan PGK dan akan

mengakibatkan akumulasi di dalam tubuh selanjutnya dapat

mengakibatkan berbagai masalah terhadap pasien termasuk efek

toksik. Oleh karena itu dosis obat untuk pasien dengan gangguan

ginjal perlu disesuaikan dengan fungsi ginjal.

Fungsi ginjal dapat ditentukan dengan menganalisis berbagai

indikator yaitu inulin, Blood Urea Nitrogen (BUN), dan creatinine.

Inulin merupakan senyawa eksogen (suatu polysaccharide), jadi

kurang bermanfaat untuk penentuan rutin Glomerular Filtration

Rate (GFR). Blood Urea Nitrogen merupakan hasil akhir

metabolisme protein di dalam tubuh. Peninggian BUN merupakan

indikator adanya gangguan ginjal. Blood Urea Nitrogen mudah

ditentukan, namun mempunyai beberapa kelemahan yaitu terjadi

reabsorpsi secara signifikan sehingga kadarnya tergantung kepada

urine flow rate . Selain itu produksi urea oleh hati tidak konstan.

Creatinine merupakan senyawa endogen yang mudah ditentukan

dan memberikan hasil yang lebih akurat sehingga nilai creatinine

clearance yang diperoleh umumnya sudah dapat dijadikan sebagai

indikator GFR.

Oleh karena itu, agar diperoleh efek terapi yang optimal, maka

dosis obat perlu disesuaikan berdasarkan creatinine clearance

terutama obat dengan rentang terapi yang sempit dan obat keras

Page 92: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

82

lainnya. Sebagai contoh adalah dosis gentamisin untuk infeksi

pleural (membran serous dari paru) pada pasien gagal ginjal harus

dikurangi agar tidak terjadi akumulasi yang berlebihan dan efek

toksik.

9.2 Perubahan Farmakokinetika dan Farmakodinamika

Perubahan farmakokinetika dan farmakodinamika obat pada pasien

dengan gangguan ginjal dapat diuraikan sebagai berikut:

9.2.1 Perubahan Farmakokinetika

9.2.1.1 Perubahan absorpsi obat

Besarnya absorpsi obat pada pasien dengan gangguan ginjal

dipengaruhi oleh bukan saja gangguan pencernaan seperti mual dan

muntah, akan tetapi perubahan pH di saluran pencernaan yang

dialami oleh pasien sebagai akibat peninggian ureum di dalam

saliva dan pemberian obat seperti histamine H2-inhibitor. Untuk

obat yang bersifat basa, peninggian pH akan menurunkan

konsentrasi obat tak teionisasi di dalam saluran pencernaan, yang

selanjutnya akan menurunkan absorpsi, bioavailabilitas, dan efek

terapi.

9.2.1.2 Perubahan distribusi obat

Volume distribusi obat pada pasien dengan gangguan ginjal dapat

meningkat, menurun ataupun tidak berubah. Peninggian volume

distribusi dapat terjadi sebagai akibat penurunan ikatan antara obat

dengan protein, kompetisi obat terhadap protein, dan akumulasi

cairan di dalam tubuh. Selain itu, hipoalbuminemia selalu dialami

oleh pasien dengan gangguan ginjal karena terganggu produksi

albumin oleh ginjal. Kondisi ini dapat mengakibatkan penurunan

ikatan antara obat yang bersifat asam dengan protein (seperti

cefazolin, furosemide, gentamycin, and phenytoin) yang seterusnya

meningkatkan kadar obat bebas di dalam darah, meningkatkan

distribusi obat ke dalam organ-organ lain, ikatan jaringan, efek,

pada akhirnya meningkatkan toksisitas.

Pasien dengan PGK sering diberi polifarmasi sehingga dapat

mengakibatkan masalah terkait penggunaan obat termasuk interaksi

Page 93: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

83

obat. Salah satu diantaranya ialah penggeseran suatu ikatan obat

dengan protein plasma akibat berkompetisi dengan obat lain

terhadap protein plasma. Sebagai contoh yaitu phenylbutazone

menggeser asam salisilat dari ikatan protein plasma. Kondisi ini

akan meningkatkan konsentrasi dan volume distribusi asam

salisilat. Strategi yang dapat dilakukan adalah mengatur dan

menurunkan dosis asam salisilat saat phenylbutazone diberikan

kepada pasien. Selain hal tersebut, penumpukan cairan tubuh juga

dapat meningkatkan volume distribusi obat yang bersifat hidrofil

(seperti β-lactams) yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kadar

obat berada di bawah level terapi. Disamping itu, kondisi ini

merupakan faktor pemicu terjadinya resistensi bakteri terhadap

golongan β-lactam tersebut. Pemilihan terhadap dosis lazim

maksimum dan monitoring konsentrasi obat bebas adalah penting

untuk menyelesaikan masalah ini.

9.2.1.3 Perubahan metabolisme dan eksresi

Obat yang dieksresikan dari organ-organ pengeliminasi dapat

berupa metabolit ataupun dalam bentuk tidak berubah. Umumnya

obat dimetabolisme di hati melalui berbagai rute. Clearance

beberapa obat menurun sebagai akibat penurunan aliran darah ke

hati pada pasien dengan gangguan ginjal dengan kondisi infeksi

berat. Obat yang memiliki kerja vasokonstriksi seperti dopamine

dan epinephrine juga mengurangi aliran darah ke hati. Selain itu

beberapa obat dapat menginduksi ataupun menghambat aktivitas

enzim di hati, yang selanjutnya mempengaruhi nilai clearance obat-

obat tertentu. Semua perubahan metabolisme dan eksresi ini

berdampak terhadap efek farmakologi obat.

Umumnya obat-obatan dan metabolitnya dieksresikan melalui

ginjal, sebagian kecil juga dieksresikan melalui organ-organ lain

seperti GIT, kulit, saliva, dan cairan mata. Pada pasien dengan

gangguan ginjal, kemampuan ginjal untuk mengeliminasi senyawa-

senyawa dari dalam tubuh menurun. Perhatian harus difokuskan

terhadap obat dan metabolitnya karena dapat mengakumulasi di

dalam tubuh, selanjutnya meningkatkan respons dan menimbulkan

efek toksik sebagai akibat penurunan fungsi ginjal. Sebagai contoh,

allopurinol yang diberikan kepada pasien dengan gangguan ginjal

untuk mengobati batu asam urat, dimetabolisme menjadi inhibitor

xanthine oxidase (oxypurinol). Contoh lain adalah metabolit aktif

Page 94: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

84

dari cefotaxime yang dikenal sebagai desacetyl cefotaxime.

Perhatian harus difokuskan terhadap obat-obat yang secara

ekstensif dieksresikan dalam bentuk tidak berubah melalui ginjal

seperti cephalosporins, penicillins, and ranitidine. Dalam hal ini

untuk mencegah efek toksik, maka dosis obat harus diturunkan

berdasarkan kepada fungsi ginjal.

9.2.2 Perubahan Farmakodinamika

Efek farmakodinamika obat dapat berubah sebagai akibat

perubahan biokimia dan fisiologi pasien dengan gangguan ginjal.

Sehubungan dengan permasalahan ini, maka untuk

mengoptimalkan terapi, dosis obat terutama yang bersifat

nefrotoksik dan rentang terapi sempit yang diberikan kepada pasien

dengan gangguan ginjal harus disesuaikan berdasarkan kepada

fungsi ginjal.

9.3 Penyesuaian Dosis untuk Pasien dengan Gangguan Ginjal

Ada 2 pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan

terapi yaitu therapeutic drug monitoring (TDM) dan pendekatan

praktis berdasarkan kepada fungsi ginjal.

9.3.1 Therapeutic drug monitoring

Therapeutic drug monitoring merupakan proses penggunaan

konsentrasi obat di dalam plasma agar diperoleh efek terapi yang

diinginkan. Pendekatan ini dapat diaplikasikan untuk beberapa obat

termasuk antibiotika. Ada beberapa criteria obat yang sesuai dalam

pelaksanaan TDM. Pertama, karakteristik farmakokinetika dan

farmakodinamika obat harus jelas. Kemudian obat yang akan

dimonitor mempunyai rentang terapi sempit dan waktu paruh

singkat. Selain itu korelasi antara dosis obat dan respons sulit

diprediksi serta tidak mempunyai titik akhir klinis yang jelas

seperti golongan aminiglikosida dan vancomycin.

Page 95: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

85

Konsep dasar pendekatan ini dapat diuraikan sebagai berikut:

Konsentrasi obat bebas di dalam plasma seperti aminoglikosida

mempunyai korelasi yang baik dengan konsentrasi obat bebas di

dalam reseptor. Berdasarkan teori reseptor, efek farmakologi

dicapai dengan adanya interaksi antara obat bebas dengan reseptor

pada lokasi obat bekerja. Besarnya efek farmakologi yang

dihasilkan tergantung kepada konsentrasi obat bebas yang

berinteraksi dengan reseptor. Konsentrasi obat bebas di dalam

serum sebanding dengan obat yang berinteraksi dengan reseptor

pada lokasi obat menimbulkan efek. Dengan demikian, pengaturan

konsentrasi obat di dalam darah agar tetap berada dalam rentang

terapi merupakan konsep untuk mempertahankan efek terapi.

Pasien dengan gangguan ginjal mengalami penurunan eksresi obat

yang selanjutnya akan mengakibatkan akumulasi dan efek toksik

terhadap organ-organ tubuh. Oleh karena itu, penyesuaian dosis

melalui TDM diperlukan untuk mencegah efek yang tidak

diinginkan tersebut. Berikut ini adalah langkah-langkah

pelaksanaan TDM:

1) Pengukuran fungsi ginjal

Persamaan Cockcroft-Gault (C-G) umum digunakan untuk

menghitung fungsi ginjal seperti ditulis berikut ini:

Untuk jenis kelamin laki-laki:

Clcr (ml/min) = ((140 – age) BW)/(72 x Scr) …………...(1)

Untuk jenis kelamin perempuan:

Clcr (ml/min) = ((140 – age) BW)/(72 x Scr) x 0.85 …...(2)

kf = Clcr (RI)/Clcr(nl).................................................................…………...(3)

2) Penentuan clearance obat pada pasien dengan gangguan

ginjal (ClRI )

ClRI = Clnl [1 – fe . (1 - kf )] ..........…………………...(4)

3) Perhitungan kecepatan pemberian obat

F.D/τ = Cl . Css …………………...(5)

4) Penentuan interval pemberian maksimum (τmax)

τmax = 1.44t1/2. ln Cmax/Cmin …………………...(6)

5) Pemilihan interval pemberian

6) Monitoring kadar obat di dalam plasma, respons, dan tanda-

tanda keracunan

7) Penyesuaian dosis apabila masih diperlukan

Page 96: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

86

dimana:

Clcr = Creatinine clearance; age=usia pasien; BW = body weight

(berat badan); Scr = konsentrasi serum creatinine; Clcr(RI) =

Creatinine clearance pada penderita PGK; Clcr(nl) = Creatinine

clearance pada pasien dengan fungsi ginjal normal; kf = kidney

function (fungsi ginjal); fe = fraksi obat tidak berubah yang

dieksresikan melalui urin; Clnl = clearance obat pada penderita

PGK; Clnl = clearance obat pada pasien dengan fungsi ginjal

normal; F = bioavailabilitas; D/τ = kecepatan pemberian obat; Css

= konsentrasi efektif obat; t1/2= waktu paruh obat; Cmax =

konsentrasi obat maksimum (upper limit of therapeutic window);

Cmin = konsentrasi obat minimum (lower limit of therapeutic

window); τmax = interval pemberian obat maksimum.

9.3.2 Pendekatan praktis

Pendekatan praktis dapat dilakukan untuk menyesuaikan dosis obat

apabila data ataupun acuan tidak tersedia. Dalam hal ini prinsip

penyesuaian dosis obat didasarkan kepada perbandingan antara

clearance obat pada penderita PGK dengan clearance obat pada

pasien dengan fungsi ginjal normal (Q) sebagaimana ditulis pada

persamaan berikut ini:

Q = [(kf x fe) + (1- fe) x (140- age) x weight in kg0.7

]/1660…...(7)

Persamaan (7) dapat disederhanakan menjadi persamaan (8) untuk

obat yang mempunyai ikatan rendah dengan protein plasma (<25%)

dan dieksresikan dalam bentuk tidak berubah lebih besar atau sama

dengan 70 % seperti cefadroxyl dan ceftazidime.

Cl(ri)/ Cl(nl) = Q = [1 – fe (1 – kf)] ..………………….(8)

Metode untuk mengaplikasikan nilai Q dalam penyesuaian dosis

dapat dilakukan dengan pengurangan dosis seperti ditulis dalam

persamaan (9), penyesuaian interval pemberian sebagaimana

ditulis dalam persamaan (10) ataupun modifikasi antara interval

pemberian obat dan dosis seperti ditulis dalam persamaan (11):

Page 97: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

87

DRI = Q x DN ………………..………………….(9)

τRI = τN/Q ………………..………………...(10)

DRI = (DN x Q x τRI )/ τN.................…..………………...(11)

9.4 Contoh-contoh Soal

1. Seorang pasien (laki=laki, usia 46 tahun, berat badan 55 kg)

didiagnosis menderita PGK dengan nilai serum creatinin

sebesar 25,2 mg/dL. Pasien juga mengalami infeksi yang

ditandai dari kadar leukosit darah sebesar 13,1(103)/mm

3.

Penanganan infeksi dilakukan dengan terapi ciprofloxacin

tablet. Diketahui: bioavailabilitas ciprofloxacin = 0,7- 0,8;

volume distribusi = 1-2 L/kg berat badan; waktu paruh = 4

jam; rentang terapi = 3,4-4,3 ng/ml plasma; dieksresikan dalam

bentuk tidak berubah melalui urin sebesar 40-65%. Berapa

dosis dan interval pemberian ciprofloxacin untuk pasien

tersebut? Jelaskan langkah-langkah yang harus dilaksanakan

dalam TDM.

Jawab:

Creatinine clearance pada pasien dengan fungsi ginjal normal

dan tidak mormal:

ClCr pasien = (140 – umur) BB/72 x Scr

= (140 – 46) 55 kg / 72 x 25,2 mg/dL = 2,85 ml/men

Kadar serum creatinin normal = 0,6 – 1,2 mg/dL = 0,9mg/dL

ClCr normal = (140 – umur)BB/72 x Scr

= (140 – 46) 55kg / 72 x 0,9mg/dL = 79,78 ml/men

Penentuan fungsi ginjal:

KF = CrCl (ri) / CrCl (nl) = 2,85 ml/men / 79,78 ml/menit =

0.036

Penentuan clearance pada pasien dengan PGK:

Clearance obat utk pasien dengan fungsi ginjal normal:

k = 0,693/ t ½ = 0,693/4 jam = 0,17 jam-1

Cl(nl) = k.V

= 0,17 jam-1

. 2 L/kg . 55 kg = 18,7 L/jam

Page 98: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

88

Clearance obat untuk pasien penderita penyakit ginjal kronik

adalah sebagai berikut:

Cl (ri) = Cl(nl) {1-fe. (1 – KF)}

= 18,7 L/jam {1-0,5 (1 – 0,036 )}

= 9,7 L/jam = 161 ml/men

Berdasarkan persamaan (5):

F x D/τ = Cl xCss

0,8 . D/τ = 9,7 L/jam . 4 ng/ml

0,8 . D/τ = 9700 ml/jam.4 ng/ml

D/τ = 48,5 mcg/jam = 50 mcg/jam

Penentuan interval maximum

t1/2 ciprofloxacin adalah antara 4.4–12.6 jam untuk dewasa

dengan Clcr ≤ 30 mL/minute. Bila nilai t1/2 adalah 12 jam,

maka:

τmax = 1.44 t1/2 . ln Cmax/Cmin = 1,44 . 12 jam .ln4,3/3,4

=1.44 . 12 jam . (1,5 – 1,2) = 5,18 jam

Alternatif interval pemberian obat adalah 6, 8, 12 atau 24 jam

Bila interval pemberian yang dipilih adalah 12 jam, maka:

Dosis pertahanan = 12 jam . 50 mcg/jam = 600 mcg = 0.6 mg

Dosis muatan = V x Css /F

= 55000 s/d 110000 ml x 4 ng/ml / 0,8 = 250 s/d 500 mg

Dosis muatan sebesar 250 sampai dengan 500 mg adalah

rasional dan sesuai dengan dosis produk yang ada di pasaran.

Prediksi kecepatan eliminasi obat hanya sekitar 600 mcg

/12jam.

Laksanakan monitoring, pengambilan sampel darah, penentuan

kadar obat, dan interpretasi data. Bila diperlukan, sesuaikan

dosis.

2. Bila pada soal 9.5.1 pendekatan TDM tidak dapat

dilaksanakan, maka pendekatan praktis merupakan alternatif

dalam pengaturan dosis ciprofloxacin untuk pasien tersebut.

Hitunglah dosis dan interval pemberian ciprofloxacin untuk

pasien tersebut di atas. Diketahui bahwa dosis ciprofloxacin

Page 99: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

89

untuk pasien dengan fungsi ginjal normal adalah 250 mg/12

jam.

Jawab:

Cl (ri)/ Cl(nl) = 9.7 L/jam/ 18.7 L/jam = 0.518 = 0.5

Bila dosis disesuaikan, maka:

DRI = Q x DN = 0.5 x 250 mg = 125 mg

Maka:

Dosis ciprofloxacin untuk pasien tersebut adalah 125 mg/12

jam

Bila interval diperpanjang, maka:

τRI = τn/Q = 12 jam/0.5 = 24 jam

Jadi, dosis ciprofloxacin untuk pasien tersebut adalah 250

mg/24 jam

Perhitungan ini sesuai dengan saran di Handbook of Clinical

Drug Data: Clcr < 30 ml/min ada 2 alternatif:

- Dosis dikurangi 50 %

- Interval diperpanjang

Page 100: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

90

BAB X

PENGGUNAAN OBAT

PADA PASIEN DENGAN

GANGGUAN HATI

Pada Bab ini akan dibahas tentang fungsi dan gangguan hati,

patofisiologi serta manifestasi klinik pada gangguan hati. Pada Bab

ini juga akan dibahas tentang eliminasi obat, clearance, extraction

ratio, pengaruh gangguan hati terhadap farmakokinetika dan

farmakodinamika obat, penentuan fungsi hati serta pendekatan

yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan pemberian obat pada

pasien dengan gangguan hati.

10.1 Fungsi dan Gangguan Hati

Hati merupakan organ utama pengmetabolisme obat melalui

berbagai rute yaitu oksidasi, reduksi, hidrolisis, dan konjugasi.

Sintesis enzim hati tergantung kepada asupan protein. Penurunan

asupan protein dalam waktu yang berkepanjangan akan

mengakibatkan gangguan metabolisme. Di pihak lain, asupan

protein yang tinggi dapat menginduksi enzim. Rokok yang

mengandung nicotine menginduksi kerja enzim cytochrome P450

sehingga mempercepat metabolisme obat di hati seperti

chlordiazepoxide, chlorpromazine, diazepam dan theophylline.

Gangguan hati seperti hepatic cirrhosis akan mengakibatkan

kerusakan sel-sel hati, sebagai konsekuensinya adalah gangguan

produksi berbagai enzim di hati seperti cytochrome P450. Kondisi

ini memperlambat metabolisme obat sehingga nilai clearance akan

menurun, seterusnya mengakibatkan akumulasi obat di dalam

tubuh dan efek toksik. Untuk mencegah terjadinya efek toksik,

maka perlu penyesuaian dosis obat berdasarkan keadaan fungsi

hati pasien.

Page 101: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

91

10.2 Patofisiologi dan Manifetasi Klinik

Gangguan hati terutama hepatic cirrhosis, mengakibatkan berbagai

perubahan patofisiologi di dalam hati. Pertama, gangguan hati

dapat mengakibatkan perubahan farmakokinetika obat. Disamping

itu, nodule abnormal (kelenjar dengan dengan konsistensi padat

dan dapat diketahui dengan meraba) dapat terbentuk pada pasien

cirrhosis. Selanjutnya pembentukan nodul ini mengakibatkan

penurunan aliran darah ke hati serta penurunan metabolisme obat.

Perubahan fungsi hati dan perkembangan penyakit cirrhosis

bervariasi dari pasien yang satu dengan lainnya tergantung kepada

etiologi cirrhosis.

Varises esophagial, edema (penumpukan air di dalam jaringan),

ascites (akumulasi cairan di antara rongga peritoneal), gangguan

fungsi parenchymal, dan hepatic encephalopathy mempengaruhi

farmakokinetika dan farmakodinamika obat. Konsekuensi

perubahan farmakokinetika dan farmakodinamika obat tersebut

adalah akumulasi dan efek toksik sehingga dosis obat harus

disesuaikan.

10.3 Perubahan Farmakokinetika dan Farmakodinamika

Obat

Gangguan sirkulasi darah seperti shock, hipertensi, dan gagal

jantung dapat dikarakterisasikan dari berkurangnya perfusi vaskuler

ke salah satu atau beberapa bagian tubuh. Karena aliran darah dapat

mempengaruhi absorpsi, distribusi dan eliminasi obat maka tidak

mengherankan bahwa parameter farmakokinetika obat dapat

berubah pada pasien gangguan sirkulasi darah.

10.4 Perubahan Aliran Darah di Hati

Kecepatan munculnya obat di suatu organ pengeliminasi

merupakan hasil kali antara aliran darah (Q) dengan konsentrasi

obat yang memasuki daerah arteri (CA).

Kecepatan munculnya obat di organ = Q . CA……...(1)

Page 102: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

92

Kecepatan obat meninggalkan daerah vena merupakan hasil kali

aliran darah (Q) dengan konsentrasinya pada daerah vena (CV)

Kecepatan obat meninggalkan vena = Q .CV ………(2)

Kecepatan ekstraksi obat adalah selisih antara kecepatan

munculnya obat di organ dengan kecepatan obat meninggalkan

vena yaitu:

Kecepatan ekstraksi obat = Q.CA – Q.CB = Q (CA – CV)

Dengan demikian, perbandingan antara konsentrasi obat yang

terekstraksi (dieliminasi) dengan konsentrasi mula-mula atau

Extraction ratio (E) dapat dihitung sebagai berikut:

E = {Q (CA – CV)/CA}/ (Q . CA) = (CA – CV)/CA

Nilai E berkisar antara 0 dan 1.

Bila tak ada obat yang dieliminasi, maka nilai E = 0

Bila tak ada obat yang keluar dari organ, maka nilai E = 1

Extrction ratio berbagai obat tertera pada Tabel 10.1

Tabel 10.1 Obat dengan Extraction Ratio yang Berbeda Extraction Ratio

Tinggi (> 0.7) Menengah (0.3-0.7) Rendah (< 0.3)

Isoproterenol

Isosorbid dinitrate

Lidocaine

Meperidine

Midazolam

Morphine

Nitroglycerin

Propranolol

Verapamil

Aspirin

Codeine

Ciprofloxacin

Diltiazem

Nifedipine

Nortriptyline

Omeprazol

Quinidine

Ranitidine

Simvastatin

Carbamazepine

Diazepam

Digitoxin

Indomethacin

INH

Phenobarbital

Phenytoin

Procainamide

Salicylic acid

Theophylline

Tolbutamide

Clearance = Blood flow . Extraction ratio ...............…………(5)

Aliran darah rata-rata ke hati adalah sekitar 1.35 liter/menit.

Page 103: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

93

Pada Tabel 10.2 ditunjukkan hubungan antara aliran darah,

clearance (Cl) dan extraction ratio (E).

Tabel 10.2. Hubungan antara Aliran Darah, Clearance (Cl) dan

Extraction ratio Kategori

Extraction

ratio obat

Perubahan

aliran darah

Extraction

ratio

Clearance obat

Tinggi peningkatan Tidak berubah Meningkat

penurunan Tidak berubah Menurun

Rendah peningkatan Menurun Tidak berubah

penurunan Meningkat Tidak berubah

Seperti tercantum pada Tabel 10.2, perubahan aliran darah ke hati

tidak berpengaruh terhadap obat dengan extraction ratio tinggi

sehingga berdasarkan persamaan (5) agar sama antara ruas kiri dan

kanan, maka akan terjadi perubahan nilai clearance obat. Untuk

obat dengan extraction ratio rendah, tidak terjadi perubahan

clearance obat dengan perubahan aliran darah. Namun untuk obat

dengan extraction ratio rendah, peninggian aliran darah akan

menurunkan extraction ratio, sebaliknya penurunan aliran darah

akan menurunkan extraction ratio.

10.5 Penentuan Fungsi Hati

Child-Pugh classification mengelompokkan gangguan hati ke dalam 3

kategori yaitu ringan, menengah, dan berat berdasarkan kepada skor

indikator kimia dan biokimia seperti tertera pada Tabel 10.3.

Tabel 10.3. Pengkategorian gangguan hati Indikator Kimia/biokimia 1 point 2 points 3 points

Serum bilirubin (mg/dL) <2 2-3 >3

Serum albumin (g/dL) >3.5 2.8-3.5 <2.8

Prothrombin time (s >

control)

<4 4-6 >6

Encephalopathy (grade) Tidak ada 1 or 2 3 or 4

Ascites Tidak ada Ringan Menengah

Page 104: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

94

Bila total skor yang diperoleh adalah antara 5-6 poin, maka

gangguan hati termasuk ke dalam kategori ringan, sedangkan 7-9

poin termasuk kategori menengah. Bila total skor yang diperoleh

adalah antara 10-15 poin, maka gangguan hati dikategorikan ke

dalam kelompok berat.

Child-Pugh score tidak dapat sepenuhnya memberi gambaran Cl

(hepatic) atau farmakodinamika obat untuk kelompok pasien ini.

10.6 Strategi Penyesuaian dosis

Urgensi penyesuaian dosis tergantung kepada besarnya nilai ER

(tinggi, rendah, ataupun menengah). Semakin tinggi nilai ER dari

suatu obat, semakin perlu dipertimbangkan aliran darah dalam

penentuan farmakokinetika obat. Obat yang mempunyai nilai ER

tinggi, mempunyai nilai clearance hepatic yang diatur oleh aliran

darah serta tidak sensitive terhadap perubahan ikatan obat dengan

komponen darah dan aktivitas enzim.

Pendekatan praktis dengan mempertimbangkan ER dan pengaruh

ikatan obat dengan albumin serta penyesuaian dosis dapat dapat

dilakukan untuk merasionalkan terapi sebagai berikut:

10.6.1 Obat dengan Extraction Ratio Tinggi

Obat dengan extraction ratio tinggi antara lain adalah imipramine,

promethazine, lovastatine, chlorpromazine, midazolam, metoprolol,

propranolol, sidenafil, dan verapamil. Efek liver cirrhosis

ketersediaan hayati meningkat karena pengurangan aliran darah ke

hati dan penurunan eliminasi obat.

Strategi yang dapat dilakukan bila obat diberikan per oral adalah

dengan menurunkan dosis muatan dan dosis pertahanan. Bila tidak

disebut lain, maka bioavailabilitas obat per oral dianggap 100%.

Dosis muatan dan dosis pertahanan, masing-masing dihitung

sebagai berikut:

Dosis = (Dosis normal x Fnormal)/100

Page 105: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

95

10.6.2 Obat dengan Extraction Ratio Menengah

Yang termasuk ke dalam kelompok obat dengan extraction ratio

menengah antara lain ciprofloxacin, diltiazem, erythromycin,

simvastatin, haloperidol, dan omeprazole. Liver cirrhosis

mengakibatkan penurunan clearance hepatic (Clhep) yg ditentukan

oleh Q, metabolisme hepatik, dan ikatan dengan albumin.

Pendekatan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

Dosis muatan dipilih pada rentang yg rendah. Dosis pertahanan

untuk gangguan hati kategori ringan dan menengah berturut-turut

sebesar 50% dan 25% dari dosis normal. Untuk gangguan hati

kategori berat, direkomendasikan agar dipilih obat yang

metabolismenya melalui konjugasi, bukan melalui enzim CYP.

10.6.3 Obat dengan Extraction Ratio dan Ikatan Protein

Rendah

Paracetamol, doxycline, metronidazole, metoclopramide,

carbamazepine, phenobarbital, diphenhydramine, alprazolam,

clobazam, theophyllyne, methylprednisone, prednisone, dan INH

termasuk ke dalam kategori obat dengan extraction ratio rendah

(≤90%). Gangguan hati tidak terlalu berpengarug terhadap

bioavailabilitas obat-obat ini. Dosis pertahanan disesuaikan seperti

dilakukan untuk obat dengan extraction ratio menengah yaitu 25%

dari dosis normal. Diutamakan juga agar memilih obat yang

metabolismenya melalui konjugasi, bukan melalui enzim CYP.

10.6.4 Obat dengan Extraction Ratio dan Ikatan Protein

Tinggi

Beberapa obat seperti chlordiazepoxide, diazepam, prednisolone,

rifampicin ceftroaxone, clindamycin, tolbutamide, phenytoin,

gemfibrozil, lansoprzole, chlordiazepoxide, diazepame,

prednisolone, dan rifampicin mempunyai extraction ratio yang

rendah dan ikatan protein yang tinggi (>90%). Bioavailabilitas

dalam hal ini ditentukan oleh enzym pengmetabolisme, dan kadar

albumin. Pemberian kelompok obat-obat ini kepada pasien dengan

Page 106: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

96

cirrhosis sebaiknya disertakan dengan pemantauan kadar obat

bebas.

Bila terjadi gangguan perfusi pada saluran pencernaan, agar

diperoleh respons segera, maka sebaiknya obat diberikan secara

intravena. Pengaturan dosis secara individu direkomendasikan

apabila pasien menderita lebih dari satu jenis penyakit. Misalnya

pasien dengan penyakit jantung yang juga menderita hipertiroid

memerlukan digoxin dengan dosis yang lebih tinggi untuk

meningkatkan efisiensi terapi. Hipertiroid mengakibatkan

peninggian produksi hormon kelenjar tiroid yang selanjutnya akan

meningkatkan metabolisme digoxin.

10.7 Contoh-contoh Soal

1. Ciprofloxacin tablet 250 mg diberikan kepada pasien dengan

gangguan fungsi hati. Berat badan pasien adalah 70 kg.

Konsentrasi obat pada arteri adalah 5 ng/ml. Setelah obat

melintasi hati bersama sirkulasi darah, konsentrasi pada vena

adalah 2 ng/ml. Berapa extraction ratio (ER) ciprofloxacin?

Bila diketahui aliran darah ke hati (liver blood flow atau Q)

adalah 1.5 L/men, berapa hepatic clearance ciprofloxacin pada

pasien tersebut?

Jawab:

ER = (CA - Cv)/ CA= (5 mcg/ml – 2 mcg/ml)/5 mcg/ml

= 0,6

Clhepatic = Q . ER = 1,5 L/men . 0,6 = 0,9 L/men

2. Apabila ER ciprofloxacin = 0.6, maka obat ini termasuk ke

dalam kelompok obat dengan intermediate ER. Diketahui

bahwa dosis ciprofloxacin tablet untuk pasien normal adalah

250-500 mg/12 jam. Rentang terapi ciprofloxacin adalah 3.4-

4.3 ng/ml plasma. Metabolisme berlangsung di hati.

Pertanyaan:

Apakah dosis muatan saja atau dosis prtahanan atau kedua

duanya perlu disesuaikan?.

Page 107: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

97

Jawab:

Seperti telah dijelaskan bahwa obat dengan kelompok ER

menengah, untuk pasien gangguan hati, dosis awal per oral

harus dipilih dosis normal terendah dan dosis pertahanan harus

disesuaikan berdasarkan farmakokinetik obat sesuai kondisi

pasien tersebut.

Dosis awal:

Dosis awal yang direkomendasi adalah dosis normal terendah

yaitu 250 mg.

Perhitungan dosis pertahanan:

Pilih Cp antara 3.4-4.3 ng/ml, maka yang dipilih adalah 4

ng/ml

Cl total (normal) = 18.7 L/jam

MD = (Cl x Cp)/F = (0.9 L/men x 4 ng/ml)/0.7 = 0.9 L/men x

4 mcg/L = 5.14 mcg/men = 308.64 mcg/jam = 3703.68

mcg/12jam = 3.704 mg/12jam.

3. Konsentrasi verapamil pada arteri seorang pasien adalah 200

mcg/ml. Setelah obat melintasi hati bersama sirkulasi darah,

konsentrasi verapamil pada vena adalah 50 mcg/ml. Berapa ER

verapamil tersebut?

Jawab:

ER = (CA - CV)/ CA= (200 mcg/ml – 50 mcg/ml)/200 mcg/ml

= 0,75

4. Jelaskan secara singkat hubungan antara ER suatu obat dengan

besarnya dosis yang harus diberikan kepada pasien cirrhosis.

Jawab:

Semakin tinggi nilai ER dari suatu obat, semakin perlu

dipertimbangkan aliran darah dalam penentuan

farmakokinetika obat. Obat yang mempunyai nilai ER tinggi,

mempunyai nilai clearance hepatic yang diatur oleh aliran

darah serta tidak sensitif terhadap perubahan ikatan obat

dengan komponen darah dan aktivitas enzim.

Page 108: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

98

5. Hasil uji laboratorium seorang pasien cirrhosis adalah sebagai

berikut: serum bilirubin (mg/dL), 3; serum albumin (g/dL), 3;

protrombin time (detik), 3: encelopathy (grade), 2; ascites,

ringan. Tentukan kategori pasien cirrhosis tersebut berdasarkan

keparahannya (ringan, menengah atau berat).

Jawab:

Indikator Kimia/biokimia Points

Serum bilirubin (mg/dL) 3 2

Serum albumin (g/dL) 3 2

Prothrombin time (s > control) 3 1

Encephalopathy (grade) 2 2

Ascites Ringan 2

Total point 9

Berdasarkan keparahannya, maka pasien cirrhosis tersebut

termasuk ke dalam kategori menengah

6. Bila kepada pasien cirrhosis tersebut pada soal no.5 akan diberi

terapi paracetamol tablet, berapa dosis awal dan dosis

pertahanan paracetamol yang saudara rekomendasikan?

Jawab:

Paracetamol termasuk ke dalam kelompok obat dengan

extraction ratio menengah, maka:

Dosis awal paracetamol adalah 500 mg.

Dosis pertahanan paracetamol adalah 25% dari dosis normal

yaitu:

25% x 500 mg = 125 mg.

Page 109: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

99

DAFTAR PUSTAKA

1. American Society of Health System Pharmacists. Cited Dec4th

2014 at www.ashp.org/.../p2418.

2. Anderson, P. O., Knoben, J. E., & Troutman, W. G. (2002).

Handbook of clinical drug data (Tenth ed.): McGraw-Hill

Medical.

3. Burton, M. E., Shaw, L. M., Schentag, J. J., & Evans, W. E.

(2006). Applied pharmacokinetics and pharmacodynamics:

principles of therapeutic drug monitoring: Lippincott Williams

& Wilkins.

4. DasGupta, R., Glass, J., & Olsburgh, J. (2010). Kidney

disorders. Arch Intern Med, 170(22), 2021-2027.

5. Delco, F., Tchambaz, L., Schlienger, R., Drewe, J., &

Krähenbühl, S. (2005). Dose adjustment in patients with liver

disease. Drug Safety, 28(6), 529-545.

6. Eichelbaum, M., Ingelman-Sundberg, M., & Evans, W. E.

(2006). Pharmacogenomics and individualized drug

therapy. Annu. Rev. Med., 57, 119-137.

7. Eyler, R. F., & Mueller, B. A. (2011). Antibiotic dosing in

critically ill patients with acute kidney injury. Nature Reviews

Nephrology, 7(4), 226-235.

8. Gibaldi, M. 1984. Biopharmaceutics and Clinical

Pharmacokinetics. Lea & Febiger, Pholadelphia.

9. Goodman, L.S. and Gilman, A. 1983. The Pharmacological

Basis of Therapeutics, 7th

ed. Macmillan Publishing, New

York.

Page 110: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

100

10. http://ghr.nlm.nih.gov/condition/pseudocholinesterase, diasses

Februari 25, 2015

11. http://poisoncontrol.utah.edu/healthpros/utox/Vol5_No2.pdf,

diasses Maret 3, 2015

12. http://www.medscape.com/viewarticle/444804_4, diasses

Februari 25, 2015

13. Levey, A. S., Coresh, J., Balk, E., Kausz, A. T., Levin, A.,

Steffes, M. W., et al. (2003). National Kidney Foundation

Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,

Classification, and Stratification. Annals of Internal Medicine,

139(2), 137-147.

14. Makoid, M. C. 1996. Basic Pharmacokinetics.

15. Mangoni, A. A., & Jackson, S. H. (2004). Age‐related changes

in pharmacokinetics and pharmacodynamics: basic principles

and practical applications. British journal of clinical

pharmacology, 57(1), 6-14.

16. Matzke, G. R., Aronoff, G. R., Atkinson, A. J., Bennett, W.

M., Decker, B. S., Eckardt, K. U., et al. (2011). Drug dosing

consideration in patients with acute and chronic kidney

disease—a clinical update from Kidney Disease: Improving

Global Outcomes (KDIGO). Kidney International, 80(11),

1122-1137.

17. Pai, M. P., & Bearden, D. T. (2007). Antimicrobial dosing

considerations in obese adult patients. Pharmacotherapy: The

Journal of Human Pharmacology and Drug Therapy, 27(8),

1081-1091.

18. Rowland, M., and Tozer, T.N. 1989. Clinical

Pharmacokinetics : Concepts and Applications, 2nd Ed, 1989,

Chapter 2, 8, 9, dan 10.

Page 111: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

101

19. Rowland, M., & Tozer, T.N. (2011). Clinical

pharmacokinetics/pharmacodynamics (4th ed.): Lippincott

Williams and Wilkins.

20. Verbeeck, R. K. (2008). Pharmacokinetics and dosage

adjustment in patients with hepatic dysfunction. European

journal of clinical pharmacology, 64(12), 1147-1161.

Page 112: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

102

LAMPIRAN I

DAFTAR SINGKATAN

AAG Alpha Acid Glycoprotein

ACE Angiotensin Converting Enzyme

AUC Area Under the concentration-time Curve

BB Berat Badan

BUN Blood Urea Nitrogen

Cl Clearance

ClR Clearance Renal

ClER Clearance Extrarenal

G6PD Glucose-6 Phosphate Dehydrogenase

g gram

GFR Glomerular Filtration Rate

im intramuscular

INH Isonicotinehydrazide

inj injeksi

iv intravena

ISK Infeksi Saluran Kemih

kg kilogram

L Liter

LSD Lysergic Acid Diethylamide

LD Loading Dose

mcg microgram

MD Maintenance Dose

men menit

Page 113: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

103

mEq milliEquivalent

mg milligram

ml milliliter

mm millimeter

NADPH Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate

ng nanogram

PGK Penyakit Ginjal Kronik

po per oral

SS Steady State

tab tablet

TDM Therapeutc Drug Monitoring

TI Therapeutic Index

ISK Infeksi Saluran Kemih

Page 114: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

104

Farmako

kine

tika Klin

is

LAMPIRAN II

PARAMETER FARMAKOKINETIKA, REGIMEN DOSIS

DAN FARMAKODINAMIKA BERBAGAI OBAT

Nama Obat Khasiat Dosis Lazim Rentang

Terapi

(mcg/ml)

T1/2 (jam) Vd (L/kg) Mekanisme

Ampisilin Bakterisida 250-500 mg/6 jam (po)

1-2 g/6 jam (iv)

3 1,5 0,23 Menghambat sintesis dinding

sel bakteri

Cefotaxime inj Bakterisida Clcr:

*50-100 ml/men 1-2

g/4-8 jam

*10-50 ml/men 1-2 g/6-

12 jam

* < 10 ml/men

1 g/ 8-12 jam

*normal:

Infeksi menengah-berat:

1-2g/8jam (iv,im)

Infeksi berat:

2g/6-8 jam (iv)

- 1-1,5 0,25 Menghambat sintesis dinding

sel mikroba

Cimetidine Gastirc ulcer *Menghilangkan

gejala:200 mg/12 jam

(po)

*benign gastric

ulcer/duodenal

ulcer:400mg/12 jam (po)

0,5-0,9 2 1 Menghambat kerja histamin

pada reseptor histamin H2 sel-

sel parietal sehingga efektif

dalam menghambat sekresi

asam lambung

Page 115: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

Farmako

kine

tika Klin

is

105

Farmako

kine

tika Klin

is

Nama Obat Khasiat Dosis Lazim Rentang

Terapi

(mcg/ml)

T1/2 (jam) Vd (L/kg) Mekanisme

Ciprofloxacin Bakterisida ISK:

250 mg/12 jam (po)

Diare disertai infeksi:

500mg/12 jam (po)

3,4-4,3 5 1,8 Menginhibisi enzim

pensintesis DNA bakteri

Codein

Analgetik narkotik

dengan antitussive

Antitussive:

Dewasa: 7,5-20 mg/4-6

jam (po)

-

3-4 2-3,5 Menekan pusat batuk.

Deksametason

inj

Analgetik steroid 5 – 10 mg/ hari - 3 0,82 Menghambat fosfolipase

dalam sintesis prostaglandin

Digoxin Terapi gagal

jantung

0,125-0,25/hari po atau

iv

0,0006-

0,002

0,5-1 (fase

α); 39±13

(fase β)

7-8 Meningkatkan kontraktilitas

dengan menghambat pompa

sodium/potassium ATPase

Etambutol tab Anti bakteri (Anti

Tuberkulosis)

Clcr :

*50-100 ml/men: 15-25

mg/kg BB/24 jam

* 10-50 ml/ men: 5-15

mg/kg BB/24 jam

*< 10 ml/ men:

5 mg/kg BB/24 jam

- 4 0,8

Menghambat sintesis RNA

bakteri

Gentamycin Bacterisida 3-5 mg/kg BB/hari (iv) 2 0,22 Berpenetrasi melalui dinding

sel dan mengikat diri pada

ribosom bakteri

Page 116: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

106

Farmako

kine

tika Klin

is

Nama Obat Khasiat Dosis Lazim Rentang

Terapi

(mcg/ml)

T1/2 (jam) Vd (L/kg) Mekanisme

Isoniazid tab Anti bakteri (Anti

Tuberkulosis)

Clcr:

* 50-100 ml/men: 300

mg/24 jam

*10-50 ml/men: 300 mg

/24 jam

*< 10 ml/men: 300 mg/

24-28 jam

- 4,5 0,6 Menghambat biosintesis asam

mikolat dinding sel mikro

bakteri

Metoclopramide Antiemetika Post operative:

10-20 mg/6 jam (im)

- 5,5 ± 0,5 3,4 ± 1,3 Memperkuat motilitas dan

pengosongan lambung

Metronidazol Antiprotozoa 250-75mg/hari

(tab)

- 6-10 0,85±0,25 Menghambat sintesis asam

nukleat bakteri

Phenobarbital Terapi epilepsy

Sedatif

15-18 mg/kgBB (iv)

kalau diperlukan

30-120mg/hari (po)

dibagi menjadi 2 atau 3

kali sehari

10-25 48-120 0,61±0,05 Menekan sensoris dan motor

cortex, serebellum (bagian

dari otak yang

mengkordinasikan dan

mengatur aktivitas otot)

Phenytoin Terapi epilepsi LD: 10-15mg/kgBB

MD: 100mg/8 jam (iv

atau po)

10-20 26-40 (pada

saat

konsentrasi di

dalam plasma

10-20

mcg/ml)

0,83±0,2 Membantu efflux Na+ dan

menurunkan influx Na+ di

dalam motor cortex neurons

sehingga menstabilkan

membrane neuron

Page 117: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

Farmako

kine

tika Klin

is

107

Farmako

kine

tika Klin

is

Nama Obat Khasiat Dosis Lazim Rentang

Terapi

(mcg/ml)

T1/2 (jam) Vd (L/kg) Mekanisme

Pirazinamid Anti bakteri (Anti

Tuberkulosis)

20-30 mg/kg BB setiap

24 jam

- 9,2 0,7 Dalam tubuh dihidrolisis oleh

enzim pirazinamidase menjadi

asam pirazinoat yang bersifat

tuberkulostatika pada media

yang bersifat asam

Rifampisin Antibiotika Clcr:

* 50-100 ml/men 10

mg/kg BB/24 jam

*10-50 ml/men 10

mg/kg BB/24 jam

* < 10 ml/men 10 mg/kg

BB/24 jam

Propilaksis:

600mg/24jam (po,iv)

- 3,5 0,97 Menghambat DNA dan RNA

polimerase dari mikrobakteria

Theophylline Bronchodilator

Pulmonary

vasodilator

LD:5-7mg/kgBB (iv

atau po)

MD:0,4-0,6mg/kgBB

(iv)

0,48-0,72mg/kgBB (po)

8-20 8 ± 2 (bukan

perokok)

4,4 ± 1

(perokok)

0,5- 0,7 Relaksasi smooth muscles

Tramadol Analgetik non-

opioid

Kronik: 25 mg po setiap

pagi

Akut: 50-100 mg/6 jam

(po)

Maksimum 400mg/hari

- 6-8 2,5-3

Menduduki reseptor nyeri di

susunan saraf pusat sehingga

menghambat sensasi nyeri dan

respon terhadap nyeri

Page 118: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

Farmakokinetika Klinis

108

INDEKS

A

absorpsi obat, 3, 41, 43, 45, 78, 82

acetanilide, 73

acetohexamide, 66, 68

akumulasi obat, 51, 52, 90

albumin, 4, 82, 93, 94, 95, 98

alpha acid glycoprotein, 4

analisis parameter-parameter

farmakokinetika, 13, 40

angiotensin converting enzyme, 73

ascites, 91, 98

B

berat badan, 24, 25, 47, 59, 70, 75, 76,

86, 87

biofarmasi, 1, 7

Blood Urea Nitrogen, 81, 102

C

cefotaxime, 84

Child-Pugh classification, 93

cimetidine, 79, 80

ciprofloxacin, 60, 87, 88, 89, 95, 96

clearance metabolit, 66, 67, 69

creatinine, 81, 86

creatinine clearance, 81

cytochrome P450, 37, 90

D

digoxin, 4, 50, 80, 96

dosis berganda, 48, 49, 53

E

edema, 91

ekstrarenal, 20, 21

extraction ratio, 90, 93, 94, 95, 96, 98

extraction ratio menengah, 95, 98

extraction ratio rendah, 93, 95

extraction ratio tinggi, 93, 94

F

faktor-faktor fisiologi, 41

farmakodinamika, 1, 2, 72, 74, 75, 76,

78, 82, 84, 90, 91, 94

farmakogenetika, 71

farmakokinetika, 1, 2, 6, 7, 10, 22, 30,

36, 48, 49, 71, 72, 74, 75, 76, 78, 82

fase absorpsi, 44, 45

fase eliminasi, 44, 45

fast acetylator, 71, 72

formulasi, 70

fungsi ginjal, 21, 81, 83, 84, 85, 86, 87

fungsi hati, 90, 91, 96

G

gangguan fungsi parenchymal, 91

gangguan ginjal, 21, 77, 81, 82, 83, 84,

85

gangguan hati, 75, 77, 90, 91, 93, 94,

95, 97

gangguan sirkulasi darah, 75, 91

genetik, 49, 50, 70, 71, 72, 73, 74

gentamycin, 82

glucose-6 phosphate dehydrogenase, 73

glutethimide, 66

gluthation, 73

H

hemolisis, 73

hepatic cirrhosis, 90, 91

hepatic encephalopathy, 91

hydroxyhexamide, 66, 68

I

Indeks Akumulasi, 56

infus, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 38, 39

interaksi obat, 49, 50, 70, 78, 83

interpretasi metabolit, 66

Intravena Bolus dan Infus, 33

Isoniazid, 106

K

keanekaragaman respons, 40, 70, 71,

73, 75, 78

kecepatan absorpsi, 40, 42, 43, 44, 45,

80

Page 119: Farmakokinetika Klinis - repository.usu.ac.id

Farmakokinetika Klinis

109

Kecepatan Akumulasi, 56

kecepatan eliminasi, 10, 11, 12, 16, 18,

20, 22, 23, 30, 31, 32, 40, 43, 44, 45,

46, 54, 55, 60, 63, 65, 88

kertas grafik semilog, 13, 16, 27, 44, 45

Ketersediaan Hayati Per Oral, 42

kinetika metabolit, 67, 78

konsentrasi obat maksimum, 55, 86

konsentrasi obat minimum, 55

Konsentrasi Obat Selama Infus

Diberikan, 32

konstanta kecepatan eliminasi

ekstrarenal, 20

M

metabolisme obat, 37, 61, 63, 65, 74,

90, 91

metabolit, 2, 4, 61, 62, 63, 64, 65, 66,

67, 68, 78, 79, 83, 84

metabolit aktif, 62, 65, 67, 68, 79, 84

methemoglobin reductase, 73, 74

metoclopramide, 78, 80, 95

metode residual, 45

N

nasib obat, 5

nicotinamide adenine dinucleotide

phosphate, 73

P

pemberian ekstravaskular, 40

pemberian intravaskular, 49

pendekatan praktis, 84, 88

pengaturan dosis dan interval obat, 49

pengaturan respons, 4, 5, 10

penuaan, 75

penyakit, 1, 70, 75, 78, 88, 91, 96

persamaan garis lurus, 13

Phenobarbital, 6, 37, 62, 92, 106

Phenytoin, 6, 92, 106

polimorfis enzim pengmetabolisme, 71

proses metabolisme, 22, 61, 63

pseudocholinesterase, 72, 100

R

regimen dosis, 1, 2, 10, 48, 49, 73, 75,

76

rentang terapi, 5, 8, 49, 50, 60, 81, 84,

85, 87

Rifampisin, 107

S

slow acetylator, 71, 72

Steady state, 30

succinylcholine, 72

T

teori penempatan, 4

theophylline, 37, 47, 90

therapeutic drug monitoring, 84, 99

toleransi, 49, 50, 70, 74

U

usia, 75, 76, 77, 86, 87

V

volume distribusi, 10, 11, 25, 27, 32,

37, 60, 65, 75, 76, 82, 83, 87

W

waktu paruh, 17, 18, 22, 23, 27, 32, 33,

43, 46, 50, 51, 56, 58, 59, 60, 64, 65,

68, 75, 76, 84, 86, 87

Waktu paruh absorpsi, 45

warfarin, 72, 74