epistaksis

download epistaksis

of 23

description

faktor penyebab epistaksis

Transcript of epistaksis

BAB I

PENDAHULUAN

Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari biasanya. Hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Rongga hidung kita kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian depan, tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua, terdapat anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian belakang juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang cukup besar antara lain dari arteri sphenopalatina. Kejadian epistaksis pada populasi umum adalah sulit untuk memastikan karena sebagian besar episode resolvewith pengobatan konservatif diri dan tidak dilaporkan. Pasien yang mencari pengobatan medis untuk epistaksis biasanya terbagi dalam dua kategori umum yaitu mereka yang memiliki beberapa episode kecil dan mereka yang memiliki episode berkepanjangan tunggal parah yang tidak akan berhenti. Para mantan pasien biasanya adalah anak atau orang dewasa muda yang memiliki perdarahan septal anterior. Pasien terakhir cenderung menjadi dewasa yang lebih tua dengan asal posterior perdarahan dan masalah kesehatan.Epistaksis terjadi lebih sering pada pria dibandingkan dengan pasien perempuan (58% versus 42%). Juselius juga mencatat kejadian yang lebih tinggi epistaksis pada pasien yang lebih tua, karena 71% dari pasiennya lebih besar dari 50 tahun. Juga, epistaksis lebih sering terjadi di bulan-bulan dingin tahun, menunjukkan link dengan kelembaban ambien menurun dan insiden yang lebih tinggi dari infeksi saluran pernapasan atas. Untuk menentukan etiologi dari epistaksis, hal ini berguna untuk memisahkan penyebab lokal dan sistemik.Epistaksis adalah suatu perubahan dari hemostasis normal dalam hidung. Hemostasis dikompromikan oleh kelainan mukosa, patologi kapal, atau gangguan koagulasi. Pemahaman kami tentang patofisiologi dan pengobatan epistaksis telah meningkat secara drastis selama abad terakhir. Kebanyakan episode epistaksis hanya menjadi gangguan kepada pasien dan dirawat di rumah. Hanya sebagian kecil pasien yang dilihat oleh tenaga medis. Kebanyakan pasien mencari bantuan medis yang mudah diobati dan dilepaskan. Sebuah subset yang lebih kecil pasien dengan epistaksis akan memiliki kambuh terus-menerus, dan lain-lain dapat hadir dengan pendarahan berpotensi mengancam nyawa atau komplikasi. Pasien-pasien ini mungkin memerlukan evaluasi segera, pengakuan etiologi, dan memulai pengobatan untuk menghindari hipotensi, hipoksia, anemia, aspirasi, atau kematian. Epistaksis berulang dapat mewakili okultisme kondisi medis atau bedah. Bab ini menyajikan topik epistaksis dari sudut pandang pragmatis. Evaluasi pasien dengan epistaksis dan pertimbangan diagnosa diferensial yang tepat dan etiologi yang mendasari okultisme dibahas. Metode tradisional dan inovatif teknik yang lebih baru ditinjau dan dibandingkan untuk efektivitas, risiko, kenyamanan pasien, dan biaya.BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG

Anatomi 1. Hidung Luar

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior).

Gambar 1. Anatomi hidung luarHidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasalis), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor, 3) beberapa pasang kartilago alar minor dan 4) tepi anterior kartilago septum.Ada dua pengatur otot-otot alar ; dilator (dilator naris, m. Procerus, caput angulare) dan konstriktor (m. Nasalis, depressor septi). Semua menerima innervasi persarafan dari saraf kranial VII.2

Gambar 2. Hidung tampak ventral

Gambar 3. Hidung tampak inferior

2. Hidung Dalam

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

Gambar 4. Anatomi Hidung Dalam3.

Batas Rongga Hidung

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lemoeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa= saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Dibagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.

Gambar 5. Rongga hidung

4.Suplai Darah (Vaskularisasi Hidung)

Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. Etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna.Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.

Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.

Gambar 6. Pembuluh Darah Hidung5.Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N. V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum.Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.

Gambar 7. Persarafan HidungFungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

6.Sinus Paranasal

Gambar 8. Sinus ParanasalAda delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung. Anatominya dapat dijelaskan sebagai berikut:

Sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrium highmore) dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior.

Sinus paranasal terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang bulan IV dan tetap berkembang selama masa kanak-kanak, jadi tidak heran jika pada foto rontgen anak-anak belum ada sinus frontalis karena belum terbentuk. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus sfenoid.

a. Sinus Maksilaris

Sinus maksilaris merupakan sinus paranasalis yang terbesar. Sinus ini sudah ada sejak lahir dan mencapa ukuran maksimum (+ 15 ml) pada saat dewasa. Dari segi klinis yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maxilla adalah Dasar sinus maksilaris berhubungan dengan gigi P1, P2, M1, dan M2. Ostium sinus maksilaris lebih tinggi dari dasarnya. Sinus maksilaris (antrum of highmore) adalah sinus yang pertamaberkembang. Struktur ini pada umumnya berisi cairan pada kelahiran. Pertumbuhan dari sinus ini adalah bifasik dengan pertumbuhan selama 0-3 tahun dan 7-12 tahun.Sepanjang pneumatisasi kemudian menyebar ke tempat yang rendah dimana gigi yang permanen mengambil tempat mereka. Pneumatisasinya dapat sangat luas sampaiakar gigi hanya satu lapisan yang tipis dari jaringan halus yang mencakup mereka.

Cabang dari a. maksilaris interna mendarahi sinus ini. Termasuk infraorbita, cabang a. sfenopalatina, a. palatina mayor, v. aksilaris dan v. jugularis system duralsinus. Sedangkan persarafan sinus maksila oleh cabang dari n.V.2 yaitu n. palatina mayor dan cabang dari n. infraorbita.Ostium sinus maksilaris terletak di bagian superior dari dinding medial sinus. Intranasal biasanya terletak pada pertengahan posterior infundibulum etmoid, atau disamping 1/3 bawah processus uncinatus. Ukuran ostium ini rata-rata 2,4 mm tapi dapat bervariasi. 88% dari ostium sinus maksilaris bersembunyi di belakangprocessus uncinatus sehingga tidak bisa dilihat secara endoskopi.b. Sinus Ethmoidalis

Sinus etmoid adalah struktur yang berisi cairan pada bayi yang baru dilahirkan. Selama masih janin perkembangan pertama sel anterior diikuti oleh selposterior. Sel tumbuh secara berangsur-angsur sampai usia 12 tahun. Sel ini tidakdapat dilihat dengan sinar x sampai usia 1 tahun. Septa yang ada secara berangsur-angsur menipis dan pneumatisasi berkembang sesuai usia. Sel etmoid bervariasi dan sering ditemukan di atas orbita, sfenoid lateral, ke atap maksila dan sebelah anteriordiatas sinus frontal. Peyebaran sel etmoid ke konka disebut konka bullosa.

Dinding anterior dibentuk oleh prosesus uncinatus, dinding medial dibentukoleh prosesus frontalis os maksila dan lamina papyracea.

c. Sinus Frontalis

Sinus frontalis sepertinya dibentuk oleh pergerakan ke atas dari sebagianbesar sel-sel etmoid anterior. Os frontal masih merupakan membran pada saatkelahiran dan mulai mengeras sekitar usia 2 tahun. Perkembangan sinus mulai usia 5tahun dan berlanjut sampai usia belasan tahun.

Sinus frontalis mendapatkan perdarahan dari a.oftalmika melalui a.supraorbitadan supratrochlear. Aliran pembuluh vena melalui v.oftalmica superior menuju sinuskavernosus dan melalui vena-vena kecil di dalam dinding posterior yang mengalir kesinus dural. Sinus frontalis dipersarafi oleh cabang n V.1. secara khusus, nervus-nervus ini meliputi cabang supraorbita dan supratrochlear.d. Sinus Sfenoidalis

Sinus sfenoidalis sangat unik karena tidak terbentuk dari kantong ronggahidung. Sinus ini dibentuk dalam kapsul rongga hidung dari hidung janin. Tidakberkembang sampai usia 3 tahun. Usia 7 tahun pneumatisasi telah mencapai sela turcica. Sinus mencapai ukuran penuh pada usia 18 tahun.

Atap sinus sfenoid diperdarahi oleh a.ethmoid posterior, sedangkan bagian lainnya mendapat aliran darah dari a.sfenopalatina. Aliran vena melalui v.maksilaris ke v.jugularis dan pleksus pterigoid. sinus sfenoid dipersarafi oleh cabang n V.1 danV.2. n.nasociliaris berjalan menuju n.etmoid posterior dan mempersarafi atap sinus. Cabang-cabang n.sfenopalatina mempersarafi dasar sinus.Fisiologi hidungFungsi hidung ialah untuk jalan napas, alat pengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, sebagai indra penghidu, untuk resonansi suara, turut membantu proses bicara dan refleks nasal.

a. Sebagai Jalan Napas

Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sam seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian akan melaui nares anterior dan sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.

Gambar 11. Proses Inspirasib. Pengatur Kondisi Udara

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir (mucous blanket). Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi keadaan sebelumnya.Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37 oC.c. Sebagai Penyaring Dan Pelindung

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dandilakukan oleh : rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, serta palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Faktor lain ialah enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang disebut lysozyme.d. Indra Penghidu

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.e. Resonansi Suara

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).

f. Proses Bicara

Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran darah.g. Refleks Nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.EPIKTASISDefinisi

Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang hampir 90% dapat berhenti sendiri. Epistaksis merupakan perdarahan spontan yang berasal dari dalam hidung. Epistaksis dapat terjadi pada segala umur, dengan puncaknya terjadi pada anak-anak dan orang tua. Kebanyakan kasus ditangani pada pelayanan kesehatan primer dan kecil kemungkinan pasien dibawa ke rumah sakit atau ke spesialis THT. Walaupun kebanyakan kasus yang terjadi ringan dan bersifat self-limiting, ada beberapa kasus yang berat dan mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang serius. Penting sekali mencari asal perdarahan dan menghentikannya, di samping perlu juga menemukan dan mengobati penyebab yang mendasarinya.Etiologi

Penyebab epistaksis dapat dibagi menjadi penyebab lokal (misalnya, trauma, iritasi mukosa, abnormalitas septum, penyakit inflamasi, tumor), penyebab sistemik (misalnya, kelainan darah, arteriosklerosis, herediter hemorrhagic telangiectasia), dan penyebab idiopatik. Trauma lokal adalah penyebab paling umum, diikuti oleh trauma wajah, benda asing, hidung atau sinus infeksi, dan inhalasi berkepanjangan udara kering. Anak-anak biasanya dengan epistaksis karena iritasi lokal atau infeksi saluran pernapasan atas.

Dalam sebuah penelitian retrospektif kohort 2405 pasien dengan epistaksis (3666 jumlah episode), Purkey et al menggunakan analisis multivariat untuk mengidentifikasi serangkaian faktor risiko epistaksis. Kemungkinan epistaksis ditemukan meningkat pada pasien dengan rhinitis alergi, sinusitis kronis, hipertensi, hematologi keganasan, koagulopati, atau, seperti yang disebutkan, herediter hemorrhagic telangiectasia. Para peneliti juga menemukan peningkatan epistaksis berkaitan dengan usia yang lebih tua dan cuaca dingin.

Trauma

Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Trauma yang disebabkan dari mengorek hidung berulang dapat menyebabkan ulserasi mukosa septum anterior dan perdarahan. Keadaan ini sering pada anak-anak. Benda asing hidung yang menyebabkan trauma lokal (misalnya, nasogastric dan tabung nasotrakeal) sebagai respon untuk kasus yang jarang terjadi epistaksis.

Trauma wajah dan hidung umumnya menyebabkan epistaksis. Jika perdarahan adalah dari laserasi mukosa kecil, biasanya terbatas. Namun, hasil trauma wajah yang luas dalam pendarahan parah membutuhkan pembalutan (dengan tampon) hidung. Pada pasien epistaksis yang terlambat mungkin menandakan adanya aneurisma traumatis.

Pasien yang menjalani operasi hidung harus memperingatkan potensi epistaksis. Seperti trauma hidung, pendarahan dapat berkisar dari ringan (karena laserasi mukosa) hingga berat (karena rusaknya pembuluh darah besar).

Cuaca kering

Kelembaban rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis yang lebih menonjol di daerah beriklim kering dan saat cuaca dingin karena dehumidification dari mukosa hidung dengan sistem pemanas rumah

Obat-obatan Obat nasal topikal seperti antihistamin dan kortikosteroid dapat menyebabkan iritasi mukosa. Terutama bila diterapkan langsung ke septum hidung bukannya dinding lateral, dapat menyebabkan epistaksis ringan. Obat-obatan seperti obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) yang juga sering. Kelainan septum Deviasi septum dan septal spurs dapat mengganggu aliran udara hidung normal, menyebabkan kekeringan dan epistaksis. Biasanya daerah perdarahan terletak anterior sampai ke bagian septal spurs pada kebanyakan pasien. Pada pinggir perforasi septum sering terjadi pengerasan kulit dan merupakan sumber umum dari epistaksis Peradangan Bakteri, virus, dan alergi rinosinusitis menyebabkan peradangan mukosa dan dapat menyebabkan epistaksis. Perdarahan pada kasus ini biasanya ringan dan sering bermanifestasi sebagai kotoran hidung (goresan darah). Penyakit granulomatosis seperti sarkoidosis, Wegener granulomatosis, tuberkulosis, sifilis, dan rhinoscleroma sering menyebabkan krusta dan mukosa rapuh dan mungkin menjadi penyebab epistaksis berulang. Bayi dengan gastroesophageal reflux ke dalam hidung mungkin sering epistaksis sekunder peradangan.

Tumor Tumor jinak dan ganas dapat bermanifestasi sebagai epistaksis. Pasien yang terkena dengan tanda-tanda dan gejala sumbatan hidung dan rhinosinusitis, sering unilateral. Intranasal rhabdomyosarcoma, meskipun jarang, sering dimulai di hidung, orbital, atau daerah sinus pada anak-anak. Angiofibroma hidung remaja pada laki-laki remaja dapat menyebabkan hidung pendarahan sebagai gejala awal. Kelainan darah Koagulopati bawaan harus dicurigai pada individu dengan riwayat keluarga yang positif, mudah memar, atau perdarahan berkepanjangan dari trauma ringan atau operasi. Contoh gangguan perdarahan kongenital termasuk hemofilia dan penyakit von Willebrand. Koagulopati dapat bersifat primer (karena penyakit) atau sekunder (karena perawatan). Di antara koagulopati diperoleh lebih umum adalah trombositopenia dan penyakit liver dengan pengurangan konsekuensial dalam faktor koagulasi. Bahkan tanpa adanya penyakit liver, alkoholisme juga telah dikaitkan dengan koagulopati dan epistaksis. Antikoagulan oral predisposisi epistaksis.

Kelainan pembuluh darah Penyakit pembuluh darah arteriosklerosis dianggap sebagai alasan untuk prevalensi lebih tinggi untuk epistaksis pada orang tua. Hemoragik herediter telangiectasia (HHT, juga dikenal sebagai sindrom Osler-Weber-Rendu) adalah penyakit autosomal dominan berhubungan dengan perdarahan berulang dari kelainan vaskular. Kondisi ini dapat mempengaruhi pembuluh mulai dari kapiler arteri, menyebabkan pembentukan telangiectasias dan malformasi arteriovenous. Pemeriksaan patologis dari lesi ini mengungkapkan kurangnya jaringan elastis atau otot di dinding pembuluh darah. Akibatnya, perdarahan dapat terjadi dengan mudah dari trauma ringan dan cenderung untuk tidak berhenti secara spontan. Berbagai sistem organ seperti pernapasan, pencernaan, dan sistem urogenital mungkin terlibat. Epistaksis pada tiap individu berbeda tingkat keparahannya tapi hampir semua berulang.Kelainan pembuluh darah lainnya yang mempengaruhi untuk epistaksis termasuk neoplasma vaskular, aneurisma, dan endometriosis.

Migrain Anak-anak dengan sakit kepala migrain memiliki insiden yang lebih tinggi untuk epistaksis berulang daripada anak-anak yang tanpa penyakit. Pleksus kiesselbach, yang merupakan bagian dari sistem trigeminovaskular, terlibat dalam patogenesis migrain.

Hipertensi Hubungan antara hipertensi dan epistaksis sering disalahpahami. Pasien dengan epistaksis sering disertai dengan tekanan darah tinggi. Epistaksis lebih sering terjadi pada pasien hipertensi, mungkin karena kerapuhan pembuluh darah dari penyakit lama. Hipertensi jarang menjadi penyebab langsung dari epistaksis. Lebih umum, epistaksis dan kecemasan terkait menyebabkan kenaikan akut tekanan darah. Oleh karena itu, terapi harus difokuskan pada pengendalian perdarahan dan mengurangi kecemasan sebagai sarana utama penurunan tekanan darah. Sebuah studi oleh Sarhan dan Algamal, yang termasuk 40 pasien dengan epistaksis dan 40 kontrol, melaporkan bahwa jumlah serangan epistaksis lebih tinggi pada pasien dengan riwayat hipertensi, tetapi para peneliti tidak dapat menentukan apakah ada hubungan yang pasti antara epistaksis dan tekanan darah tinggi. Mereka menemukan, bagaimanapun, bahwa kontrol epistaksis lebih sulit pada pasien hipertensi; pasien yang sistolik tekanan darah lebih tinggi pada presentasi cenderung perlu manajemen dengan kemasan, perangkat balon, atau kauterisasi. Batuk berlebihan menyebabkan hipertensi vena hidung dapat diamati di pertusis atau cystic fibrosis.

Gangguan hormonal Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena pengaruh perubahan hormonal. Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi di pembuluh darah yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh termasuk di hidung yang menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh dan akhirnya terjadinya epistaksis. Penyebab idiopatik Penyebab epistaksis tidak selalu mudah diidentifikasi. Sekitar 10% pasien dengan epistaksis tidak memiliki penyebab yang dapat diidentifikasi bahkan setelah evaluasi menyeluruh.

Patofisiologi1) Epikstaksis anterior

Kebanyakan berasal dari peksus kisselbach di septum bagian anterior, tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha inferior. Pleksus kisselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak-anak.

Gambar-9: Epistaksis anterior

2) Epistaksis posterior

Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, aterosklerosis atau dengan penyakit kardiovaskuer karena pecahnya arteri sfenopalatina.

Gambar-10: Epistaksis posterioGambaran klinis Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung. Perhatikan ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang banyak mengeluarkan darah. Perlu diketahui bahwa epistaksis seringkali merupakan suatu gejala atau manifestasi penyakit lain. Maka diperlukan anamnesis mendalam untuk mengetahui penyakit atau penyebab sebenarnya dari perdarahan tersebut.Mula-mula pada anamnesis harus ditanyakan secara spesifik mengenai beratnya perdarahan, frekuensi, lamanya perdarahan dan riwayat perdarahan hidung sebelumnya.

Selain itu tanyakan tentang adakah riwayat trauma hidung/ mukasebelumnya, riwayat kelainan darah, riwayat hipertensi dan riwayat pemakaian obat antikoagulan sebelumnya, serta ditanyakan pula tentang gejala-gejala lain yang dirasakan hidung kemudian kelainan pada kepala dan leher seperti pembesaran kelenjar getah bening. Hal ini bertujuan untuk mengetahui penyebab terjadinya perdarahan pada hidung.

Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjangPemeriksaan fisik

Pemeriksaan hidung diperlukan untuk membantu dalam mengeggakan diagnosis. Adapun pemeriksaan hidung yang dapat dilakukan adalah :1) Bentuk luar hidung diperhatikan apakah ada deviasi atau depresi tulang hidung. Adakah pembengkakan ddaerah hidung dan sinus paranasal. Dengan jari dapat dipalpasi adanya krepitasi tulang hidung pada fraktur os nasal atau rasa nyeri tekan pada peradangan hidung dan sinus paranasal.2) Memeriksa rongga hidung bagian dalam Rhinoskopi anteriorUntuk melihat rongga hidung bagian depan dapat dilakukan dengan pemeriksaan rhinoskopi anterior. Dalam pemeriksaan ini, diperlukan speculum hidung. Pada anak dan bayi kadang-kadang tidak diperlukan. Otoskop dapat dipergunaka untuk melihat bagian dalam hidung terutama untuk mencari benda asing. Speculum dimasukan kedalam lubang hidung dengan hati-hati dan dibuka setelah speklum berada didalam dan waktu mengeluarkannya janga ditutup terlebih dahulu saat masih berada didalam, supaya bulu hidung tidak terjepit. Vestibulum hidung, septum terutama anterior, konka inferior, konka media, konka superior serta meatus sinus para nasal dan keadaan mukosa hidung harus diperhatikan. Begitu pula rongga hidung sisi yang lain. Terkadan rongga hidung ini sempit karena adanya edema mukosa. Pada keadaan ini untuk melihat organ-organ yang disebutkan diatas menjadi lebih jelas perlu dimaskan tampon kapas adrenalin pantokain beberapa menit untuk mengurangi edema mukosa dan menciutkan konka, sehingga rongga hidung lebih lapang.

Rhinoskopi posterior

Untuk meihat bagian belakang hidung dilakukan pemeriksaan rinoskopi posterior sekaligus untuk mlihat keadaan nasofaring. Untuk melakukan pemeriksaan rinoskop posterior diperlukan spatula lidah dan kaca nasofaring yang telah dihangatkan dengan api lampu spirtus untuk mencegah udara pernapasan mengembun pada kaca. Sebelum aca ini dimasukkan, suhu kaca di tes terlebih dahulu dengan menempelkannya pada kuit belakang tangan kiri pemeriksa. Pasien diminta membuka mulut supaya uvula terangkat ke atas dan kaca nasofaring yang mengadap keaas dimasukan melakui mulut, kebawah uvula dan sampai nasofaring. Setelah kaca berada di nasofaring pasien dimita bernapas biasa melalui hidung, uvula akan turun kembali dan rongga nasofaring terbuka. Mula-mula diperhatikan bagian belakang septum nasi dan koana. Kemudian kaca diputar kelateral sedikit untuk melihat konka superior, konka media dan konka inferior serata meatus superior dan meatus media. Kaca diputar lebih ke lateral lagi sehingga dapat diidentifikasi torus tubarius, muara tuba eustasius dan fossa rossenmule, kemudian kaca diputar ke sisi lainnya. Nasofaring lebih jelas terlihat bila pemeriksaan dilakukan dengan memakai nasofaringoskop atau endoskopi.Pemeriksaan penunjang Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI

Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi.

Skrining terhadap koagulopati

Penatalaksanaan epistaksis

Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, cari sumber perdarahan, hentikan perdarahan, cari penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan.

Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikanlah keadaan umumnya, nadi, pernapasan srta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu kelainan tersebut. Jika terjadi epistaksis besar kemungkinan akan terjadi sumbatan jalan napas akibat bekuan darah, maka perlu dibersihkan terlebih dahulu sumbatan jalan napas tersebut.

Untuk dapat menghentikan perdarahan, perlu dicari dari mana asal sumber perdarahannya. Alat-alat yang diperlukan untuk mencari sumber perdarahan adalah head lamp (lampu kepala), spekulum hidung dan alat penghisap untuk menghisap darah atau mengeluarkan bekuan darah yang menyumbat jalan napas.

Pasien dengan epistaksis diperiksa pada keadaan duduk, biarkan darah mengalir keluar dari hidug sehingga darah bisa dimonitor jumlah dan asal keluarnya. Jika keadaan umum pasien lemah, maka posisikan pasien setengah duduk atau dibaringkan dengan kepala yang agak ditinggikan. Darah harus dicegah untuk tidak masu kedalam saluran napas bawah.

Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hiudng dari darah dan keuan darah dengan bantuan alat penghisap. Kemudian pasang tampon sementara berupa kapas yang dibasahi dengan adrenalin 1/5.000-1/10.000 dan pantocain atau lidocain 2% dimasukan kedalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi nyeri yang dirasakan penderita pada saat dilakukan tindakan selanjutnya. Tampon dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah terjadi vasokontriksi biasanya baru dapat diihat darimana perdarahan berasal ( bagian anterior atau posterior Perdarahan Anterior

Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian depan. Apabila perdarahan tidak berhenti dengan sendirinya, maka untuk menghentkan perdarahan hidung perlu ditekan selama 10-15 menit.

Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat berasal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka perlu dilakukan pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian pelumas ini agar tampon mudah dimasukan dan tidak menimbulkan perdarahan kembali pada saat tampon dicabut. Tampon dipertahankan selama 2 x 24 jam. Jika perdarahan masih belum berhenti, maka tampon baru harus dipasang kembali.

Perdarahan Posterior

Perdarahan pada bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari asal perdarahannya dengan pemeriksaan rhinoskopi anterior.

Untuk menanggulali perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini dibuat dari 3 kasa yang dipadatkan kemudian dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Kemudian tampon diikat dengan 3 utas benang, 2 buah pada satu sisi dan 1 buah pada sisi yang berlawanan.

Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan kateter karetyang dimasukna dari lubang hidung samai tampak orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang tamon Bellocq, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk agar dapat melawati palatum mole dan masuk ke dalam nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi. Bila terjadi perdarahan hebat pada kedua sisi hidung, maka tampon dapat dipasang pada kedua sisi.Komplikasi dan Pencegahannya

Kompilkasi yang dapat terjadi sebagai akibat dari epsitaksis atau sebagai dampak dari usaha tubuh untuk homeostasis. Akibat perdarahan yang hebat dapat terjad aspirasi darah ke dalam saluran napas bagian bawah, syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian.

Akibat pecahnya pembuluh darah maka besar kemungkinannya pecahnya pembuluh darah itu menjadi port d entery infeksi, sehingga perlu diberikan antibiotik. Pemasangan tampon dapat menyebabkan sinusitis, otitis media septikemia ataupun toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung dan seteah 2-3 hari tampon harus dilepas dan diganti bila perdarahan masih terjadi.

Hemotimpanum akibat mengalirnya darah ke dalam tuba eustachius dan air mata berdarah (bloody tears) akibat mengalirnya darah secara etrograd melalui duktus nasilakrimalis.

Mencegah perdarahan berulang

Setelah perdarahan diatasi sementara dengan pemasangan tampon, selanjutnya perlu dicari penyebab perdarahannya. Perlu dilakukan pemeiksaan laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal, gula darah, hemostasis. Pemerikaan foto polos atau CT scan jika dicurigai perdarahan akibat sinusitis. Konsul penyakit dalam atau IKA bila dicurigai ada kelainan sistemik.