ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS...

97
10 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 10 – 16 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525 Vol. 16, No. 1: 10 – 16, Maret 2016 ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS B315 TERHADAP RALSTONIA SOLANACEARUM KENTANG Nur Prihatiningsih & Heru Adi Djatmiko Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Kampus Karangwangkal Jl. Dr. Suparno Purwokerto 52123 E-mail: [email protected] ABSTRACT Enzyme amylase as an antagonist component of Bacillus subtilis B315 against potato Ralstonia solanacearum. One of the antagonist mechanism of Bacillus subtilis B315 is that it produced secundary metabolites. Enzyme amylase is produced by B. subtilis B315 as a secondary metabolite. The aims of the research were: (1) to test mechanism of antagonistics by B. subtilis B315 against potato Ralstonia solanacearum and (2) to detect antibiosis activity of B. subtilis B315. The research was conducted in the Laboratory of Plant Protection Agriculture Faculty and Laboratory of Integrated Research of Jenderal Soedirman University from April to October 2014. The research method is an experimental with growing double layer of B. subtilis B315 in YPGA medium and Ralstonia solanacearum in water agar. This research used a Completely Randomized Design with 3 treatments and 8 replications. The treatments were B. subtilis B1, B. subtilis B46 and B. subtilis B315. The activity of antibiosis was tested by amylase activity enzyme and than it was analyzed using FTIR (Fourier Transform-infra Red). Result of the research showed that B. subtilis B315 could suppress R. solanacearum growth with 14 mm inhibition zone. Antibiosis activity of B. subtilisB315 as biological agents was showed by the production of amylase enzyme by activity of 0,802 unit/ml. Analysis by FTIR was showed by the production of compound group of alkane, aldehyde, ketones, carboxylic acid, esther, amina, and amida. Key words: amylase, Bacillus subtilis B315, Ralstonia solanacearum ABSTRAK Enzim amilase sebagai komponen antagonis Bacillus subtilis B315 terhadap Ralstonia solanacearum kentang. Salah satu mekanisme antagonistik dari Bacillus subtilis B315 adalah antibiosis yaitu dihasilkannya metabolit sekunder. Beberapa contoh metabolit sekunder adalah enzim amilase, protease, chitinase dan lipase. Tujuan penelitian ini adalah: (1) menguji mekanisme antagonistik B. subtilis B315 terhadap R. solanacearum kentang dan (2) mendeteksi aktivitas antibiosis dari B. subtilis B315. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Perlindungan Tanaman Fakultas Pertanian Unsoed dan di Laboratorium Riset Terpadu Unsoed dari bulan April sampai dengan Oktober 2014. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental dengan menumbuhkan secara berlapis B. subtilis B315 dalam medium YPGA dan R. solanacearum dalam agar air. Rancangan yang digunakan adalah acak lengkap dengan 3 perlakuan dan 8 ulangan. Perlakuan 1 adalah B. subtilis B1, perlakuan 2 adalah B. subtilis B46 dan perlakuan 3 adalah B. subtilis B315. Pengujian aktivitas antibiosis dilakukan dengan mengamati aktivitas enzim amilase dan selanjutnya mengekstrak B. subtilis B315 dengan etil asetat, untuk mendeteksi enzim yang dihasilkan yang dianalisis dengan FTIR (Fourier Transform-infra Red). Hasil penelitian menunjukkan bahwa B. subtilis B315 mampu menekan pertumbuhan R solanacearum dengan zona hambatan 14 mm. Aktivitas antibiosis B. subtilis B315 sebagai agensia hayati ditunjukkan dengan dihasilkannya enzim amilase dengan aktivitas 0,802 unit/ml. Hasil analisis dengan FTIR menunjukkan bahwa B. subtilis B315 menghasilkan senyawa kelompok alkana, aldehid, keton, asam karboksilat, ester, amina, dan amida. Kata kunci: amilase, Bacillus subtilis B315, Ralstonia solanacearum PENDAHULUAN Bacillus subtilis mewakili bakteri Gram positif sebagai contoh mikroba antagonis yang berperan sebagai agensia pengendali hayati. B. subtilis adalah bakteri antagonis yang diketahui mampu mengendalikan beberapa patogen baik jamur maupun bakteri, dengan cara menghambat pertumbuhannya (Chen et al., 2012). Bakteri patogen yang telah diketahui terhambat pertumbuhannya oleh B. subtilis adalah Xanthomonas oryzae pv. oryzae dan Ralstonia solanacearum (Agustiansyah et al., 2013).

Transcript of ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS...

Page 1: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

10 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 10 – 16J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525Vol. 16, No. 1: 10 – 16, Maret 2016

ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONISBACILLUS SUBTILIS B315 TERHADAP

RALSTONIA SOLANACEARUM KENTANG

Nur Prihatiningsih & Heru Adi Djatmiko

Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Kampus KarangwangkalJl. Dr. Suparno Purwokerto 52123

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Enzyme amylase as an antagonist component of Bacillus subtilis B315 against potato Ralstonia solanacearum. One of theantagonist mechanism of Bacillus subtilis B315 is that it produced secundary metabolites. Enzyme amylase is produced by B.subtilis B315 as a secondary metabolite. The aims of the research were: (1) to test mechanism of antagonistics by B. subtilisB315 against potato Ralstonia solanacearum and (2) to detect antibiosis activity of B. subtilis B315. The research wasconducted in the Laboratory of Plant Protection Agriculture Faculty and Laboratory of Integrated Research of JenderalSoedirman University from April to October 2014. The research method is an experimental with growing double layer of B.subtilis B315 in YPGA medium and Ralstonia solanacearum in water agar. This research used a Completely RandomizedDesign with 3 treatments and 8 replications. The treatments were B. subtilis B1, B. subtilis B46 and B. subtilis B315. Theactivity of antibiosis was tested by amylase activity enzyme and than it was analyzed using FTIR (Fourier Transform-infraRed). Result of the research showed that B. subtilis B315 could suppress R. solanacearum growth with 14 mm inhibition zone.Antibiosis activity of B. subtilisB315 as biological agents was showed by the production of amylase enzyme by activity of0,802 unit/ml. Analysis by FTIR was showed by the production of compound group of alkane, aldehyde, ketones, carboxylicacid, esther, amina, and amida.

Key words: amylase, Bacillus subtilis B315, Ralstonia solanacearum

ABSTRAK

Enzim amilase sebagai komponen antagonis Bacillus subtilis B315 terhadap Ralstonia solanacearum kentang.Salah satu mekanisme antagonistik dari Bacillus subtilis B315 adalah antibiosis yaitu dihasilkannya metabolit sekunder.Beberapa contoh metabolit sekunder adalah enzim amilase, protease, chitinase dan lipase. Tujuan penelitian ini adalah: (1)menguji mekanisme antagonistik B. subtilis B315 terhadap R. solanacearum kentang dan (2) mendeteksi aktivitas antibiosisdari B. subtilis B315. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Perlindungan Tanaman Fakultas Pertanian Unsoed dan diLaboratorium Riset Terpadu Unsoed dari bulan April sampai dengan Oktober 2014. Metode penelitian yang digunakanadalah eksperimental dengan menumbuhkan secara berlapis B. subtilis B315 dalam medium YPGA dan R. solanacearumdalam agar air. Rancangan yang digunakan adalah acak lengkap dengan 3 perlakuan dan 8 ulangan. Perlakuan 1 adalah B.subtilis B1, perlakuan 2 adalah B. subtilis B46 dan perlakuan 3 adalah B. subtilis B315. Pengujian aktivitas antibiosisdilakukan dengan mengamati aktivitas enzim amilase dan selanjutnya mengekstrak B. subtilis B315 dengan etil asetat,untuk mendeteksi enzim yang dihasilkan yang dianalisis dengan FTIR (Fourier Transform-infra Red). Hasil penelitianmenunjukkan bahwa B. subtilis B315 mampu menekan pertumbuhan R solanacearum dengan zona hambatan 14 mm. Aktivitasantibiosis B. subtilis B315 sebagai agensia hayati ditunjukkan dengan dihasilkannya enzim amilase dengan aktivitas 0,802unit/ml. Hasil analisis dengan FTIR menunjukkan bahwa B. subtilis B315 menghasilkan senyawa kelompok alkana, aldehid,keton, asam karboksilat, ester, amina, dan amida.

Kata kunci: amilase, Bacillus subtilis B315, Ralstonia solanacearum

PENDAHULUAN

Bacillus subtilis mewakili bakteri Gram positifsebagai contoh mikroba antagonis yang berperansebagai agensia pengendali hayati. B. subtilis adalahbakteri antagonis yang diketahui mampu mengendalikan

beberapa patogen baik jamur maupun bakteri, dengancara menghambat pertumbuhannya (Chen et al., 2012).Bakteri patogen yang telah diketahui terhambatpertumbuhannya oleh B. subtilis adalah Xanthomonasoryzae pv. oryzae dan Ralstonia solanacearum(Agustiansyah et al., 2013).

Page 2: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Prihatiningsih & Djatmiko Enzim Amilase sebagai Komponen Antagonis 11

Mekanisme pengendalian oleh B. subtilis sebagaiaktivitas langsung yaitu antibiosis, parasitisme danpenginduksi ketahanan tanaman terhadap patogen sertakompetisi langsung (Janisiewicz et al., 2000).Mekanisme antibiosis terlihat dengan terbentuknya zonahambatan, yang menunjukkan adanya suatu senyawayang dihasilkan sebagai metabolit sekunder dan berfungsisebagai aktivitas antibiosis. Senyawa tersebut berupaenzim, toksin, dan antibiotik (Prihatiningsih & Djatmiko,2014). Menurut Morikawa (2006), B. subtilismensekresikan enzim amilase, protease, pullulanase,chitinase, xylanase, dan lipase.

Penyakit layu bakteri disebabkan oleh Ralstoniasolanacearum yang menyerang hampir 200 spesiestanaman dan lebih dari 50 famili (Hayward, 1991).Penyebaran penyakit layu bakteri sangat luas, karenapatogennya mempunyai kisaran inang luas, termasukpatogen tular tanah. Hal inilah yang menyebabkanpenyakit layu bakteri sulit dikendalikan (Hayward, 1991;Muthoni et al., 2010). Semula nama bakteri layu iniadalah Pseudomonas solanacearum, namun sejaktahun 1995 disebut Ralstonia solanacearum (Yabuuchiet al., 1995). Penyakit layu bakteri pada tanamankentang merupakan penyakit penting kedua setelahhawar daun oleh jamur Phytophthora infestans didaerah tropis dan sub-tropis (Champoiseau et al., 2010).Kerugian hasil karena penyakit layu bakteri dapatmencapai 50–100%, dan dapat menyebabkan kematiantanaman (Muthoni et al., 2010).

Tujuan penelitian ini adalah (1) mengujimekanisme antagonistik B. subtilis B315 terhadap R.solanacearum kentang dan (2) mendeteksi aktivitasantibiosis dari B. subtilis B315.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilaksanakan diLaboratorium Perlindungan Tanaman Fakultas Pertaniandan Laboratorium Riset Terpadu Unsoed selama 6 bulanyaitu mulai April sampai dengan Oktober 2014.

Isolat Bakteri B. subtilis dan R. solanacearum.Isolat B. subtilis yang digunakan adalah B. subtilis B1,B46 dan B315. B. subtilis B1 diisolasi dari rizosfer padi,sedangkan B46 dan B315 diisolasi dari rizosfer tanamankentang sehat. R. solanacearum yang digunakanberasal dari tanaman kentang layu. Media yangdigunakan untuk memelihara isolat bakteri B. subtilisadalah YPGA (yeast pepton glucose agar) dan YP(yeast pepton) cair, dan untuk R. solanacearum adalahCPG-TTC (casamino acid pepton glucosa-triphenyl

tetrazolium chloride) (Lelliot & Stead, 1987; Goto,1992).

Pengujian Penghambatan B. subtilis in vitro.Pengujian penghambatan B. subtilis terhadap R.solanacearum in vitro dilakukan dengan perlakuan 3isolat B. subtilis B1, B46 dan B315 menggunakanmetode yang dikemukakan oleh Ghosh et al. (2007)dengan dua lapis medium. Perlakuan ini diulang 8 kalimenggunakan Rancangan Acak Lengkap.

Aktivitas Antibiosis B. subtilis B315 terhadap R.solanacearum. Setelah pengujian in vitro diketahuibahwa B. subtilis mampu menghambat pertumbuhanR. solanacearum, maka selanjutnya dilakukan ujiamilase dengan menggoreskan koloni B. subtilis B315pada medium hidrolisis pati (Lelliot & Stead, 1987).Analisis enzim amilase yang dihasilkan B. subtilis B315dilakukan setelah mendapatkan persamaan regresi darinilai absorbansi larutan standar glukosa. Aktivitas enzimamilase dihitung berdasarkan persamaan regresi linearlarutan standar glukosa dengan memasukkan nilaiabsorbansi sampel, lama inkubasi dan jumlah enzim yangdigunakan. Kemudian aktivitas enzim amilase dihitungberdasarkan inkubasi selama 30 menit dan diukur denganspektrofotometri pada panjang gelombang 275 nm.Selanjutnya dilakukan ekstraksi dengan etil asetat untukmelihat senyawa apa yang dihasilkan oleh B. subtilsB315 sebagai karakter aktivitas antibiosis (Kumar etal., 2009).

B. subtilis B315 ditumbuhkan pada medium YPcair digojog selama 3 hari dengan kecepatan 250 rpm,kemudian disentrifuse pada suhu 4 oC selama 15 menit.Supernatan bebas sel yang diperoleh diekstrak denganetil asetat, kemudian diuapkan dengan vacum rotaryevaporator pada suhu 77 oC. Crude extract kemudiandideterminasi gugus fungsinya sebagai senyawaantibakteri dengan FTIR (Fourier Transform Infra-red Spectrum) pada bilangan gelombang 4000-1200(cm-1). Deteksi gugus fungsi dilakukan dengan FTIRyang menunjukkan aktivitas B. subtilis B315 sebagaimekanisme antibiosis dalam pengendalian patogen,seperti metode yang dilakukan oleh Kumar et al. (2009)untuk mendeteksi senyawa antifungal yang dihasilkanoleh B. subtilis MTCC-8114.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penghambatan pertumbuhan R. solanacearumoleh B. subtilis B315 dapat dilihat dalam Tabel 1. Tigaisolat B. subtilis menunjukkan perbedaan sangat nyata

Page 3: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

12 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 10 – 16

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada ujiNewman-Keuls 5%.

pada penghambatan terhadap R. solanacearum.Bacillus subtilis B315 menunjukkan penghambatanterbaik terhadap R. solanacearum dengan zonahambatan 14 mm.

Zona hambatan yang terbentuk menunjukkanbahwa mekanisme B. subtilis sebagai agensia hayatiadalah antibiosis (Gambar 1). Hasil pengamatan ujiantibiosis B. subtilis B315 terhadap R. solanacearummenunjukkan zona hambatan terbesar 14 mm(Prihatiningsih & Djatmiko, 2014). Hasil penelitianKumar et al. (2009) menunjukkan bahwa B. subtilisMTCC-8114 yang diisolasi dari sampel tanahmenunjukkan zona hambatan 14–16 mm dengan metodeinokulasi spot.

Zona terang yang terbentuk di sekitar goresan B.subtilis B315 pada medium hidrolisis pati ditunjukkandalam Gambar 2. Menurut Das et al. (2011), B. subtilismampu menghasilkan enzim alfa amilase. Dikatakanbahwa bakteri yang menghasilkan enzim amilasetergantung pada tipe strain, komposisi medium, metodekultivasi, pertumbuhan sel, nutrisi yang dibutuhkan, ionlogam, pH, suhu, waktu inkubasi, termostabilitas sertaterjaga dari kontaminasi selama fermentasi.

Senyawa yang dihasilkan B. subtilis B315 dapatterdeteksi setelah kultur B. subtilis bebas sel diekstrakdengan etil asetat. Analisis enzim amilase yang dihasilkanB. subtilis B315 berdasarkan persamaan regresi darinilai absorbansi larutan standar glukosa (Gambar 3).

Gambar 1. Penghambatan B. subtilis B315 terhadap R. solanacearum

Gambar 2. Zona terang di sekitar koloni B. subtilis B315 pada uji hidrolisis pati

Tabel 1. Penghambatan pertumbuhan R. solanacearum oleh B. subtilis

Perlakuan B. subtilis Zona hambatan terhadap R. solanacearum (mm)

B1 5,0 cB46 12,6 bB315 14,0 a

Page 4: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Prihatiningsih & Djatmiko Enzim Amilase sebagai Komponen Antagonis 13

Hasil perhitungan enzim amilase menunjukkan aktivitassebesar 0,802 unit/ml setiap 30 menit dengan panjanggelombang 275 nm (Tabel 2).

Menurut Barus et al. (2013), Bacillus sp.menghasilkan amilase dari tape (fermentasi cassava)dengan aktivitas berkisar 4,8–29,1 unit/ml pada suhu37 oC. Bacillus sp. terdistribusi secara luas dan baikdigunakan sebagai agens pemacu pertumbuhan tanaman(PGPR), dan umumnya ada di rizosfer. Bacillus sp.meningkatkan pertumbuhan tanaman denganmelenyapkan atau mengendalikan patogen denganaktivitas antimikrobial yang unik termasuk menghasilkanantibiotik (Awais et al., 2007) dan toksin (Mukry et al.,2010), serta enzim hidrolisis seperti α-amylase dan β-galactosidase yang dapat meningkat pada substrat sepertijagung, gandum, dan beras dibandingkan dengan medium

yang komersial (Konsoula & Liakopoulou-Kyriakides,2007).

Enzim ini selain berguna dalam industri ternyatamampu meningkatkan pertahanan tanaman terhadapserangan nematoda, jamur dan bakteri patogen bahkanterhadap insekta. Aktivitas B. subtilis antara lain sebagaipelarut fosfat, pengoksidasi elemen sulfur menjadi sulfat,aktivitas selulase dan amilase mampu menghambatjamur Fusarium oxysporum 25–34% danBotryodiplodia theobromae 100% (Swain & Ray,2009). Perhitungan enzim amilase dilakukan denganterlebih dahulu menentukan persamaan regresiabsorbansi glukosa standar (Gambar 3).

Enzim amilase adalah enzim yang dapat diperolehdari tanaman, binatang maupun mikroba yang berperandalam metabolisme karbohidrat. Diantara mikroba,

SampelNilai absorbans

λ 660 nm

X (Nilai aktivitas amilase)dari persamaan regresi a)

(unit/ml)

X (Nilai aktivitasamilase) dari rumus

(unit/ml) : 0,18 b)

X (Nilai aktivitasamilase)c) : 30 x 2

(unit/ml)

1 0,703 2,8278 11,717 0,781

2 0,720 2,8875 12,048 0,803

3 0,734 2,9367 12,327 0,822

Rata-rata 0,802

Tabel 2. Nilai aktivitas enzim amilase B. subtilis B315

a) Nilai X diperoleh dari persamaan regresi Y = -0,1015 + 0,2845 X; b) Dibagi 0,18 karena satu unit aktivitas enzimamilase didefinisikan sebanyak 0,18 mg gula pereduksi (1 μmol) yang dibebaskan per ml enzim pada kondisipercobaan; c) Nilai aktivitas amilase: 30 karena diinkubasi selama 30 menit, dikalikan 2 karena enzim yang dipakai0,5 ml.

Gambar 3. Regresi absorbansi glukosa standar

Page 5: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

14 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 10 – 16

Bacillus sp. digunakan secara luas karena menghasilkanα-amylase dan termostabil (Sankaran & Ravikumar,2011). Fungsi enzim amilase dalam pengendalianpenyakit tanaman adalah sebagai inhibitor, yangmelimpah pada sayuran, umbi dan serealia dan secaraefisien meningkatkan ketahanan tanaman terhadappatogen seperti jamur (Rekha & Padmaja, 2002).

Fungsi enzim dalam pengendalian penyakittanaman adalah sebagai mekanisme antibiosis yangdapat menghambat dan atau mematikan patogen yangdisebut dengan bakteriostatik dan bakterisidal (Goto,1992). Enzim yang dihasilkan oleh tanaman misalnyaenzim α-amilase yang dihasilkan oleh tanamanPhaseolus vulgaris dapat berfungsi untuk meningkatkanresistensi terhadap serangan hama penggerekCallosobruchus maculatus dan penggerek padakacang C. chinensis (Franco et al., 2002). Selanjutnyadikatakan bahwa tanaman dapat menghasilkan senyawauntuk pertahanan antara lain antibiotik, alkaloid, terpen,glikosida atau proteic seperti chitinase, β-1-3 glukanase,

lektin, arselin, visilin, systein dan enzim penghambat.Enzim inhibitor (penghambat) dapat merusak sistempencernaan insekta, cairan pencernaan α-amilase danproteinase. B. subtilis menghasilkan enzim amilase danselulase, pelarut fosfat, pengoksidasi sulfur, pemacupertumbuhan tanaman dan pengendali hayati (Swain &Ray, 2009).

Analisis ekstrak B. subtilis B315 dengan FTIRmenunjukkan bilangan gelombang dan nilai transmitandapat dilihat pada Gambar 4, yang menunjukkan nilaidaerah bilangan gelombang dengan gugus fungsi yangterbentuk oleh B. subtilis B315 dan dimasukkan kedalam kelompok senyawa yang dihasilkan menurutSkoog et al. (1998 dalam Bambang, 2011).

Berdasarkan spektrum FTIR dan hasil analisisgugus fungsi dari B. subtilis B315, maka jenis gugusfungsi menurut bilangan gelombang adalah seperti tersajipada Tabel 3. Gugus fungsi alkana (C-H) pada bilangangelombang 2981,18 cm-1, gugus fungsi aldehid, keton,asam karboksilat, dan ester (C=O) pada bilangan

Gambar 4. Spektrum FTIR dari ekstrak B. subtilis B315

Tra

nsm

itan

s (%

)

Bilangan gelombang (cm-1)

Tabel 3. Gugus fungsi dan senyawa yang dihasilkan oleh B. subtilis B315 berdasarkan bilangan gelombangyang dianalisis dengan FTIR

Bilangan gelombang (cm-1) Gugus fungsi Senyawa Intensitas

2981,18 C-H Alkana Kuat1736,30 C=O Aldehid, Keton, Asam Karboksilat, Ester Kuat1373,70 C-H Alkana Kuat1235,28 C-O Amina, Amida Kuat

Page 6: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Prihatiningsih & Djatmiko Enzim Amilase sebagai Komponen Antagonis 15

gelombang 1736,30 cm-1 dan gugus fungsi alkana (C-H) pada bilangan gelombang 1373,70 cm-1, serta gugusfungsi amina, amida (C-N) pada bilangan gelombang1235,28 cm-1.

SIMPULAN

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapatdisimpulkan bahwa B. subtilis B315 dapat menghambatR. solanacearum secara in vitro dengan zonahambatan 14 mm. B. subtilis B315 menghasilkan enzimamilase sebagai mekanisme antibiosis dengan aktivitas0,802 unit/ml. B. subtilis B315 menghasilkan senyawakelompok alkana, aldehid, keton, asam karboksilat, ester,amina, dan amida.

SANWACANA

Ucapan terima kasih disampaikan kepadaDirektorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas dana yangdiberikan melalui Hibah Penelitian Desentralisasi padaskim Penelitian Fundamental pada tahun 2014.

DAFTAR PUSTAKA

Agustiansyah, Ilyas S, Sudarsono, & Machmud M. 2013.Karakterisasi rizobakteri yang berpotensimengendalikan bakteri Xanthomonas oryzae pv.oryzae dan meningkatkan pertumbuhan tanamanpadi. J. HPT Tropika 13(1): 42–51.

Awais M, Shah AA, Hameed A, & Hasan F. 2007.Isolation, identification and optimization ofbacitracin produced by Bacillus sp. Pak. J. Bot.39(4): 1303–1312.

Bambang. 2011. Instrumen FTIR dan membaca spektraFTIR. (On-line) http:// www.anekakimia.blogspot.com /2011/06. Diakses tanggal 23Oktober 2014.

Barus T, Kristani A, & Yuliandi A. 2013. Diversity ofamylase-producing Bacillus spp. from “Tape”(fermented cassaca). Hayati J. Biosciences20(2): 94–98.

Champoiseau PG, Jones JB, Momol TM, Pingsheng J,Allen C, Norman DJ, & Caldwell K. 2010.Ralstonia solanacearum Race 3 biovar 2causing brown rot of potato, bacterial wilt oftomato and southern wilt of geranium .American Phytopathological Society. Madison,WI.

Chen Y, Yan F, Chai Y, Liu H, Koiter R, Losick R, &Guo J. 2012. Biocontrol of tomato wilt diseaseby Bacillus subtilis isolates from naturalenvironments depends on conserved genesmediating biofilm formation. EnvironmentalMicrobiology. Society for Microbiology andBlackwell Publishing Ltd.

Das S, Singh S, Sharma V, & Soni ML. 2011.Biotechnological applications of industriallyimportant amylase enzyme. Int. J. Pharm Bio.Sci. 1(2): 486–496.

Franco OL, Rigden DJ, Melo FR, & Grossi-de-Sa MF.2002. Plant α-amylase inhibitor and theirinteraction with insect α-amylases Structure,function and potential for crop protection. FEBSJ. 269: 397–412.

Ghosh S, Sinha A, & Sahu C. 2007. Isolation of putativeprobionts from the intestines of Indian mayorcarps. Isr. J. Aquacult.-Bamid. 59(3): 127–132.

Goto M. 1992. Fundamentals of Bacterial PlantPathology. Academic Press, INC. New York.

Hayward AC. 1991. Biology and epidemiology ofbacterial wilt caused by Pseudomonassolanacearum. Annu. Rev. Phytopathol. 29: 65–87.

Janisiewicz WJ, Tworkoski TJ, & Sharer C. 2000.Characterizing the mechanism of biological controlof postharvest diseases on fruits with a simplemethod to study competition for nutrients.Phytopathology 90(11): 1196–1200.

Konsoula Z & Liakopoulou-Kyriakides M. 2007. Co-production of α-amylase and β-galactosidase byBacillus subtilis in complex organic substrates.Bioresource Technol. 98(1): 150–157.

Kumar A, Saini P, & Shrivastava JN. 2009. Productionof peptide antifungal antibiotic and biocontrolactivity of Bacillus subtilis. Indian J. Exp. Biol..47(1): 57–62.

Lelliot RA & Stead DE. 1987. Methods for theDiagnosis of Bacterial Diseases of Plant.British Society for Plant Pathology by BlackwelScientific Publication, Melbourne.

Morikawa M. 2006. Beneficial biofilm formation byindustrial bacteria Bacillus subtilis and relatedspecies. J. Biosci. Bioeng. 101(1): 1–8.

Page 7: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

16 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 10 – 16

Mukry SN, Ahmed A, & Khan SA. 2010. Screeningand partial characterization of hemolysins fromBacillus sp.: strain S128 & S144 are hemolysinB (HBL) producers. Pak. J. Bot. 42(1): 463–472.

Muthoni J, Mbiyu MW, & Nyamongo DO. 2010. Areview of potato seed systems and germplasmconservation in Kenya. J. Agr. Food Information11(2): 157–167.

Prihatiningsih N & Djatmiko HA. 2014. KarakterBacillus subtilis B315 sebagai antibakteriRalstonia solanacearum dan antijamurColletotrichum sp. Seminar NasionalPengendalian Penyakit pada TanamanPertanian Ramah Lingkungan. Tanggal 20September 2014. PFI Joglosemar di FakultasPertanian UGM Yogyakarta.

Rekha MR & Padmaja G. 2002. Alpha-amylase inhibitorchanges during processing of sweet potato andtaro tubers. Plant Food Hum. Nutr. 57: 285–294.

Sankaran K & Ravikumar S. 2011. Enhanced productionand immobilization of alpha amylase usingrecombinant Bacillus subtilis (MTCC 2423). Int.J. Curr. Res. 2(1): 176–181.

Swain MR & Ray RC. 2009. Biocontrol and otherbeneficial activities of Bacillus subtilis isolatedfrom cowdung microflora. Microbiol. Res.164(2): 121–130.

Yabuuchi E, Kosako Y, Yano I, Hotta H, & NishiuchiY. 1995. Transfer of two Burkholderia and anAlcaligenes species to Ralstonia gen. nov.:proposal of Ralstonia pickettii (Ralston, Palleroniand Dondoroff 1973) comb. nov., Ralstoniasolanacearum (Smith 1896) comb. nov. andRalstonia eutropha (Davis 1969) comb. nov.Microbiol. Immunol. 39(11): 897–904.

Page 8: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Sa’diyah et al. Heritabilitas, Nisbah Potensi, dan Heterosis Ketahanan Kedelai 17J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525Vol. 16, No. 1: 17 – 24, Maret 2016

HERITABILITAS, NISBAH POTENSI, DAN HETEROSISKETAHANAN KEDELAI (Glycine max [L.] Merrill)

TERHADAP SOYBEAN MOSAIC VIRUS

Nyimas Sa’diyah, Hasriadi Mat Akin, Ria Putri, Risa Jamil, & Maimun Barmawi

Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas LampungJl. Prof. Soemantri Brodjonegoro No. 1 Bandar Lampung 35145

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Heritability, potential ratio, and heterosis of soybean (Glycine max [L.] Merrill) resistance to soybean mosaic virus. Theuse of soybean cultivars with resistance to SMV is a way for controlling soybean mosaic disease. The objective of thisresearch was to estimate the disease severity, the narrow sense heritability, potential ratio and heterosis of resistance characterand number of pithy pods, number of healthy seeds, and healthy seeds weight per plant of ten F

1 populations of soybean

crossing result to SMV infection. The experiment was arranged in a randomized complete block design in two replications.Observed characters were disease severity, number of pithy pods, number of healthy seeds, and healthy seeds weight perplant. The result of this research showed that 1) the crossing combinations those which were resistant to SMV (lower diseaseseverity) were Yellow Bean x Tanggamus, Tanggamus x Orba, and Tanggamus x Taichung, 2) the narrow sense heritability ofdisease severity was included in medium criteria, 3) number of pithy pods belonged to high criteria, and 4) number of healthyseeds and healthy seeds weight per plant were included in low criteria. The crossing combinations that had low estimationvalue of heterosis and heterobeltiosis of resistance to SMV infection were Yellow Bean x Taichung, Bean x Tanggamus andTanggamus x B3570. Disease severity or resistance to SMV is influenced by genetic and environmental factors.

Key words: heterosis, narrow sense heritability, potential ratio, resistance, soybean, soybean mosaic virus

ABSTRAK

Heritabilitas, nisbah potensi, dan heterosis ketahanan kedelai (Glycine max [L.] Merrill) terhadap soybean mosaic virus.Penggunaan kultivar kedelai yang tahan terhadap serangan SMV merupakan salah satu cara pengendalian penyakit mosaikkedelai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keparahan penyakit, besaran nilai duga heritabilitas arti sempit (h2), besarannilai nisbah potensi (hp) dan heterosis karakter ketahanan serta karakter jumlah polong bernas, jumlah biji sehat, dan bobot bijisehat per tanaman sepuluh populasi F

1kedelai hasil persilangan terhadap infeksi SMV. Percobaan ditata dalam rancangan

kelompok teracak sempurna dengan dua ulangan. Karakter yang diamati ialah keparahan penyakit (KP), karakter jumlah polongbernas, jumlah biji sehat, dan bobot biji sehat per tanaman. Hasil penelitian menunjukkan kombinasi persilangan yang tahan(tingkat keparahan penyakit rendah) terhadap SMV yaitu Yellow Bean x Tanggamus, Tanggamus x Orba, dan Tanggamus xTaichung, nilai heritabilitas arti sempit karakter keparahan penyakit termasuk ke dalam kriteria sedang, karakter jumlah polongbernas kriteria tinggi, jumlah biji sehat, dan bobot biji sehat per tanaman kriteria rendah. Kombinasi persilangan yang memilikinilai duga heterosis dan heterobeltiosis rendah untuk ketahanan terhadap infeksi SMV yaitu Yellow Bean x Taichung, YellowBean x Tanggamus, dan Tanggamus x B3570. Keparahan penyakit atau ketahanan terhadap SMV dipengaruhi oleh faktorgenetik dan lingkungan.

Kata kunci: heritabilitas artis empit, heterosis, kedelai, ketahanan, nisbah potensi, soybean mosaic virus

PENDAHULUAN

Kedelai (Glycine max [L.] Merril) merupakansalah satu komoditas utama setelah padi dan jagung.Komoditas ini memiliki kegunaan yang beragam.Menurut data dari Badan Pusat Statistika 2012, produksitanaman kedelai terus turun dari 851.286 ton menjadi783.158 ton. Rendahnya produktivitas kedelai diIndonesia karena petani kurang menguasai teknik

budidaya kedelai dan masalah serangan hama danpenyakit tanaman. Berdasarkan hasil survei penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus tanaman kedelai diIndonesia, soybean mosaic virus (SMV) merupakanvirus paling penting kedua setelah soybean stunt virus(SSV) (Andayanie, 2009). Penyakit yang disebabkanoleh soybean mosaic virus (SMV) dapatmengakibatkan penurunan hasil kedelai yang tinggi, yaitu25,48–93,84% (Andayanie, 2012).

Page 9: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

18 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 17 – 24

Penggunaan kultivar kedelai yang tahan terhadapserangan SMV merupakan salah satu cara pengendalianpenyakit yang murah, mudah, aman, dan efektif.Penyediaan kultivar yang tahan dapat dikembangkanmelalui teknik pemuliaan tanaman. Salah satu teknikpemuliaan tanaman konvensional adalah melaluikegiatan hibridisasi yang bertujuan untuk membentukkeragaman genetik yang selanjutnya akan diseleksiuntuk menghasilkan genotipe yang memiliki ketahananterhadap infeksi SMV.

Seleksi suatu karakter yang diinginkan akan lebihberarti jika karakter tersebut mudah diwariskan. Mudahtidaknya pewarisan suatu karakter dapat diketahui daribesaran nilai heritabilitasnya. Aksi gen suatu sifattanaman hasil persilangan dapat diketahui dengan melihatnisbah potensinya. Nisbah potensi menunjukkanpengaruh aksi gen hasil persilangan kedua tetua padaketurunannya. Nilai heritabilitas suatu sifat tergantungpada tindak gen (aksi gen) yang mengendalikan sifattersebut (Jain, 1982). Jika heritabilitas dalam arti sempitsuatu sifat bernilai tinggi, maka sifat tersebut dikendalikanoleh aksi gen aditif pada kadar yang tinggi. Sebaliknya,jika nilai heritabilitas dalam arti sempit bernilai rendah,maka sifat tersebut dikendalikan oleh aksi gen non-aditif(dominan atau epistasis) pada porsi yang tinggi (Suprapto& Kairudin, 2007). Karakter tersebut tidak mudahdiwariskan dari tetua kepada keturunannya.

Selain itu, seleksi juga tergantung pada beberapaparameter genetik yang digunakan sebagaipertimbangan agar seleksi efektif yaitu besaran nilaikeragaman genetik, heritabilitas, pola segregasi, jumlahgen dan aksi gen serta heterosis (Barmawi, 2007).Heterosis adalah peningkatan karakter F

1dibandingkan

dengan karakter terbaik induknya (Welsh, 1991).Pendugaan heterosis dilakukan dengan dua cara yaitu1) mid parent heterosis (MP), yaitu penampilan hibrida(F

1) dibandingkan penampilan rata-rata tetuanya dan 2)

high parent heterosis (HP)/heterobeltiosis yaitupenampilan hibrida (F

1) dibandingkan penampilan rata-

rata tetua terbaiknya (Fehr, 1987).Berdasarkan kriteria keparahan penyakit, nilai

duga heritabilitas arti sempit, nisbah potensi, dan heterosistersebut maka akan diseleksi hasil persilangan yang akandilanjutkan untuk generasi selanjutnya. Oleh karena itu,penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keparahanpenyakit, besaran nilai duga heritabilitas arti sempit,besaran nilai nisbah potensi dan heterosiskarakterketahanan serta karakter jumlah polong bernas pertanaman, jumlah biji sehat per tanaman, dan bobot bijisehat per tanaman. Sepuluh populasi F

1kedelai hasil

persilangan terhadap infeksi SMV.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilaksanakan dikebun percobaan Fakultas Pertanian, UniversitasLampung dari bulan Februari sampai dengan Juli 2013.Perbanyakan virus dilakukan di lahan depanLaboratorium Benih Fakultas Pertanian UniversitasLampung.

Sumber Inokulum. Sumber inokulum SMV yangdigunakan dalam penelitian ini diperoleh dari sepuluhpopulasi F

1 hasil persilangan dialel setengah dan lima

tetua kedelai (Yellow Bean, Tanggamus, Orba, B 3570,dan Taichung) yang merupakan benih hasil persilanganyang dilakukan oleh Dr. Maimun Barmawi. Benih yangdigunakan sebanyak 350 benih. Untuk inokulasi virusdigunakan: zeolit, buffer fosfat pH 7, akuades, alkohol70%, Peubah yang diamati adalah tingkat keparahanpenyakit (KP), Jumlah polong bernas per tanaman,jumlah biji sehat per tanaman, dan bobot biji sehat pertanaman

Rancangan Perlakuan. Rancangan perlakuan yangdigunakan yaitu rancangan perlakuan tunggal tidakterstruktur yang disusun dalam rancangan kelompokteracak sempurna. Homogenitas ragam dengan ujiBartlett dan kemenambahan model dengan uji Tukey.Setelah data memenuhi asumsi, data dianalisis ragamuntuk menduga daya gabung umum dan daya gabungkhusus (Tabel 1).

Rumus mencari nilai heritabilitas arti sempit:

dengan:h2 = hetitabilitas arti sempit = varians aditif = 2 ; = {1/(p+2)} x (KNT

dgu - KNT

dgk)

= varians dominansi = (KNTdgk

- KNTgalat

) = varians lingkungan= KNT

galat

Rumus mencari nilai nisbah potensi menurut Suprapto& Kairudin (2007):

dengan:hp = nilai nisbah potensi atau derajat dominansi genF = rata-rata nilai F

1

HP = nilai rata-rata tetua tertinggiMP = nilai tengah kedua tetua

MP-HP

MP-Fhp

)(h 2

E2D

2A

2A2

2E

2g 2

g2D

2A

Page 10: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Sa’diyah et al. Heritabilitas, Nisbah Potensi, dan Heterosis Ketahanan Kedelai 19

Tabel 1.Sidik ragam untuk rancangan persilangan dialel setengah (metode 2) (Singh & Chaudhary, 1979)

r = ulangan; p = jumlah tetua; = varians lingkungan; = varians dominansi; dan = varians genetik.

Sumber keragamanDerajat

kebebasanKuadrat nilai

tengahKuadrat tengah harapan

Kelompok r-1Persilangan ½ (p[p+1]) -1Daya gabung umum p-1 KNTdgu σe2 + σD2 + (p+2)σg2Daya gabung khusus p(p-1)/2 KNTdgk σe2 + σD2Galat (r-1)( ½ (p[p+1]) -1) KNTgalat σe2

Gejala heterosis masing-masing variabel yangdiamati dihitung menurut Fehr (1987); Rubiyo &Sudarsono (2011) sebagai berikut :

1) Heterosis rata-rata tetua (mid parent heterosis)

dengan:hMP = heterosis rata-rata tetua (heterosis)µF

1= nilai tengah hibrida

µMP = nilai tengah kedua tetua =

2) Heterosis rata-rata tetua tertinggi/Heterobeltiosis(high parent heterosis)

dengan:hHP = heterosis rata-rata tetua tertinggi

(heterobeltiosis)µF

1= Nilai tengah hibrida

µHP = Nilai tengah tetua tertinggi (high parent)

Inokulasi virus dilakukan 7 sampai 10 hari setelahtanam (daun tripoliat sudah muncul). Tingkat keparahanpenyakit diamati pada minggu keempat setelah inokulasidan dilakukan terhadap sepuluh daun per tanaman sertadihitung dengan rumus (Barmawi, 2007):

dengan:KP = Keparahan penyakit (%)N = Jumlah sampel yang diamatiZ = Nilai skor tertinggin = Jumlah sampel untuk katagori seranganv = Nilai skor untuk katagori serangan

%100μMP

μMP-μF(%)hMP

1

2

PP 21

%100μHP

μHP-μF(%)hHP

1

%100ZN

v)(nKP

Gejala penyakit dibagi menjadi 4 skor (Akin, 2006)yang masing-masing artinya:skor 0 = Tidak bergejalaskor 1 = Klorosis dan tulang daun memucatskor 2 = Gejala mosaik dengan klorosis pada tulang

daun dan permukaan daunskor 3 = Gejala mosaik berat dan terjadi

pembengkokkan pada permukaan daun, daunmelengkung ke bawah atau ke atas

skor 4 = Malformasi daun

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keparahan Penyakit. Varietas Orba dan populasi F1

hasil persilangan Yellow bean x B 3570 memiliki nilaikeparahan penyakit (KP) tertinggi berturut-turut 46,22%dan 32%, sedangkan nilai keparahan penyakit terendahditampilkan oleh Tanggamus dan populasi F

1 hasil

persilangan Yellow Bean x Tanggamus dengan nilai KPberturut-turut 25,15% dan 24,38%. Berdasarkan kategoriketahanan dapat dilihat Tanggamus termasuk kategoritahan, Yellow Bean, B 3570, dan Taichung agak tahan,sedangkan Orba agak rentan. Populasi F

1 hasil persilangan

Yellow Bean x Tanggamus, Tanggamus x Orba, danTanggamus x Taichung termasuk ke dalam kategoritahan, sedangkan kombinasi persilangan yang laintermasuk ke dalam kategori agak tahan (Tabel 2).

Varietas Orba termasuk ke dalam kategori agakrentan. Hal ini menunjukkan bahwa varietas Orbamerupakan varietas yang cocok untuk pertumbuhan danperkembangan SMV terutama untuk virus tersebutbereplikasi yang didukung dengan kondisi lingkungantanaman yang tidak memberikan respon untukmenghambat virus tumbuh dan berkembang. Penyebabmengapa tanaman dapat menimbulkan reaksi rentanadalah karena terjadinya penurunan permeabilitas selaputsel tanaman sehingga fotosintat yang dihasilkan tanamantidak bisa disalurkan ke bagian-bagian lain tanaman.

Page 11: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

20 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 17 – 24

Selain itu, penurunan aktivitas enzim, penurunankandungan klorofil pada daun, dan perubahan hasil reaksifiksasi CO

2yang seharusnya menghasilkan karbohidrat,

akan tetapi menghasilkan asam organik untuk sintesisprotein virus (Akin, 2006).

Tetua Tanggamus dan populasi F1 hasil persilangan

Yellow Bean x Tanggamus, Tanggamus x Orba danTanggamus x Taichung memiliki nilai tingkat keparahanpenyakit terendah, sehingga termasuk ke dalam kategoritahan. Keadaan ini menunjukkan bahwa varietasTanggamus, populasi F

1 hasil persilangan Yellow Bean x

Tanggamus, Tanggamus x Orba, dan Tanggamus xTaichung mampu menghambat pertumbuhan danperkembangan virus yang menginfeksinya. Tanamandapat dikatakan tahan apabila tanaman hanya mengalamisedikit infeksi atau infeksi yang terbatas. Tanaman yangtahan mampu menghambat replikasi virus danmelokalisasi virus, sehingga virus tidak tersebar ke bagianlain. Mekanisme ketahanan tanaman terhadap virusberupa penghambatan perpindahan virus jarak dekat danjarak jauh. Perpindahan jarak dekat merupakanperpindahan antar sel yang berdekatan yang terjadimelalui plasmodesmata, sedangkan perpindahan jarakjauh merupakan perpindahan dari satu organ tanamanke organ yang lain melalui sistem pembuluh (Akin, 2006).

Heritabilitas Arti Sempit. Nilai duga heritabilitas artisempit untuk karakter keparahan penyakit adalah 0,32termasuk ke dalam kriteria sedang. Machfud &

Sulistyowati (2009) menyatakan bahwa heritabilitas artisempit yang termasuk ke dalam kriteria sedangmenunjukkan faktor lingkungan dan faktor genetikmemiliki pengaruh yang sama. Berarti karakterketahanan dikendalikan oleh aksi gen aditif dan non-aditif pada porsi yang hampir sama (Suprapto &Kairudin, 2007).

Untuk karakter jumlah polong bernas per tanamanmemiliki nilai duga h2 sebesar 0,60 yang termasuk kedalam kriteria tinggi, hal ini menunjukkan faktor genetiklebih berpengaruh dibandingkan faktor lingkungan.Artinya karakter ini mudah diwariskan dari tetua kepadaketurunannya. Karakter jumlah biji sehat per tanamandan bobot biji sehat per tanaman heritabilitas arti sempitberturut-turut adalah 0,20; dan 0 yang termasuk dalamkriteria rendah (Tabel 3). Kondisi ini mengindikasikanbahwa jumlah biji sehat dan bobot biji sehat per tanamanlebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan dibandingkandengan faktor genetiknya. Hal ini mendukung penelitianBarmawi (2007) tentang ketahanan kedelai terhadapcowpea mild mottle virus yang menyatakan nilai dugaheritabilitas dalam arti sempit yang rendah berindikasibahwa varians genetik aditif untuk karakter tersebutadalah rendah, sebaliknya ragam genetik non-aditif tinggi,sehingga karakter tersebut tidak mudah diwariskan daritetua kepada keturunannya.

Nisbah Potensi. Nilai nisbah potensi (hp) untukkarakter tingkat keparahan penyakit populasi F

1 hasil

Varietas/persilangan Rerata keparahan penyakit (%)* Kategori ketahanan*

Yellow Bean 26,82 Agak tahanTanggamus 25,15 TahanOrba 46,22 Agak rentanB 3570 31,25 Agak tahanTaichung 31,66 Agak tahanYellow Bean x Tanggamus 24,38 TahanYellow Bean x Orba 29,22 Agak tahanYellow Bean x B 3570 32,00 Agak tahanYellow Bean x Taichung 28,13 Agak tahanTanggamus x Orba 25,25 TahanTanggamus x B 3570 26,16 Agak tahanTanggamus x Taichung 24,84 TahanOrba x B 3570 27,75 Agak tahanOrba x Taichung 28,53 Agak tahanB 3570 x Taichung 28,13 Agak tahan

Tabel 2. Keparahan penyakit lima tetua kedelai dan sepuluh populasi F1 yang terinfeksi SMV

*Sangat tahan= 1-10%; Tahan= 11–25%; Agak tahan= 26–35%; Agak rentan= 36–50%; Rentan= 51–75%; danSangat rentan= 75–100%.

Page 12: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Sa’diyah et al. Heritabilitas, Nisbah Potensi, dan Heterosis Ketahanan Kedelai 21

Tabel 3. Heritabilitas arti sempit untuk karakter keparahan penyakit, jumlah polong bernas, jumlah biji sehat, danbobot biji sehat

Variabel Heritabilitas (h2) Kriteria

Keparahanpenyakit 0,32 sedangJumlah Polong Bernas 0,60 TinggiJumlah Biji Sehat 0,20 RendahBobot Biji Sehat 0 Rendah

Kisaran nilai heritabilitas menurut Mendez-Natera et al. (2012) sebagai berikut: Tinggi: h > 0,5; Sedang: 0,2 < h< 0,5; Rendah: h > 0,2.

persilangan Yellow Bean x Tanggamus (hp = -1,91),Tanggamus x Taichung (hp = -1,09), Orba x B 3570(hp = -1,47), Orba x Taichung (hp = -1,43), dan B 3570x Taichung (hp = -16,04) (Tabel 4). Hal ini menunjukkanbahwa karakter keparahan penyakit pada populasi F

1

persilangan di atas dikendalikan oleh aksi gen yangbersifat over dominan negatif. Keadaan inimengindikasikan bahwa zuriat hasil persilangan akanmenghasilkan tingkat keparahan penyakit yang lebihrendah dibandingkan dengan tetuanya (ketahanannyalebih tinggi). Sebaliknya pada hasil persilangan YellowBean x B 3570, memiliki nilai (hp = 1,34) termasukdalam kriteria over dominan positif. Berarti zuriat yangdihasilkan akan memiliki tingkat keparahan penyakityang lebih tinggi daripada tetuanya (ketahanannya lebihrendah) (Tabel 4).

Populasi F1 hasil persilangan Yellow Bean x Orba

memiliki nilai (hp = -0,75) dan Yellow Bean x Taichung(hp = -0,46) (Tabel 4). Kondisi ini menunjukkan bahwakarakter keparahan penyakit pada populasi F

1 tersebut

dikendalikan oleh aksi gen dominan sebagian negatif.Dengan demikian, populasi F

1 hasil persilangan Yellow

Bean x Orba dan Yellow Bean x Taichung akanmenghasilkan keparahan penyakit yang berada diantarakedua tetuanya namun lebih dipengaruhi oleh tetua yangpaling tahan. Populasi F

1 hasil persilangan Tanggamus

x Orba memiliki nilai (hp = -0,99) (Tabel 4). Keadaanini mengindikasikan bahwa adanya aksi gen dominanlengkap negatif yang mengendalikan karakter keparahanpenyakit. Akibatnya, populasi F

1 hasil persilangan Yellow

Bean x Orba akan menghasilkan ketahanan yang samadengan tetuanya yang tahan.

Tingkat keparahan penyakit menunjukkan bahwapopulasi F

1 hasil persilangan Yellow Bean x Tanggamus,

Tanggamus x Orba, dan Tanggamus x Taichung adalahhasil persilangan yang ketahanannya termasuk kedalam kategori tahan (Tabel 2). Dilihat dari nilai hp untukkarakter keparahan penyakit, ketiga populasi F

1 tersebut

masing-masing termasuk ke dalam kriteria overdominan negatif, dominan lengkap negatif, dan over

Varietas/persilangan Rerata keparahan penyakit (%)* Kategori ketahanan*

Yellow Bean 26,82 Agak tahanTanggamus 25,15 TahanOrba 46,22 Agak rentanB 3570 31,25 Agak tahanTaichung 31,66 Agak tahanYellow Bean x Tanggamus 24,38 TahanYellow Bean x Orba 29,22 Agak tahanYellow Bean x B 3570 32,00 Agak tahanYellow Bean x Taichung 28,13 Agak tahanTanggamus x Orba 25,25 TahanTanggamus x B 3570 26,16 Agak tahanTanggamus x Taichung 24,84 TahanOrba x B 3570 27,75 Agak tahanOrba x Taichung 28,53 Agak tahanB 3570 x Taichung 28,13 Agak tahan

dominan negatif. Dengan demikian, zuriat yangkarakternya dikendalikan oleh aksi gen over dominannegatif akan menghasilkan ketahanan yang lebih tahandari pada kedua tetuanya, sedangkan karakter yangdikendalikan oleh aksi gen dominan lengkap negatif akanmenghasilkan ketahanan yang sama dengan tetuanyayang tahan.

Populasi F1 hasil persilangan Yellow Bean x

Tanggamus untuk karakter jumlah polong bernas pertanaman, jumlah biji sehat per tanaman, dan bobot bijisehat per tanaman memiliki nilai hp > 1, sehinggakarakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen overdominan positif. Akibat pengaruh aksi gen yang bersifatover dominan positif, maka zuriat hasil persilangan akanmenghasilkan jumlah polong bernas, jumlah biji sehat,dan bobot biji sehat per tanaman akan lebih banyakdibandingkan dari kedua tetuanya (Sriwidarti, 2011).

Populasi F1 hasil persilangan Tanggamus x Orba

untuk karakter jumlah biji sehat, dan bobot biji sehat pertanaman memiliki nilai hp< -1. Keadaan ini menunjukkanbahwa karakter-karakter tersebut dipengaruhi oleh aksigen over dominan negatif. Berarti zuriat hasil persilanganakan menghasilkan jumlah biji sehat lebih sedikit, danbobot biji sehat yang lebih ringan daripada keduatetuanya. Karakter jumlah polong bernas per tanamanmemiliki nilai hp > 0 karena karakter tersebut dipengaruhiefek dominan sebagian positif. Dengan demikian,penampilan F

1 hasil persilangan untuk karakter tersebut

akan berada diantara kedua tetuanya.Populasi F

1 hasil persilangan Tanggamus x

Taichung memiliki nilai hp > 1 untuk karakter jumlahpolong bernas per tanaman. Oleh karena itu, karaktertersebut dikendalikan oleh aksi gen over dominan positif,sehingga zuriat hasil persilangan akan menghasilkanjumlah polong bernas per tanaman yang lebih banyakdari tetuanya. Karakter bobot biji sehat dipengaruhi olehaksi gen over dominan negatif. Dengan demikian,zuriatnya akan menampilkan bobot yang lebih rendah daritetuanya. Aksi gen dominan sebagian positif didugamengendalikan karakter jumlah biji sehat per tanaman.

Page 13: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

22 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 17 – 24

Hal ini mengindikasikan bahwa penampilan zuriat hasilpersilangan untuk karakter tersebut akan beradadiantara kedua tetuanya.

Heterosis. Hasil penelitian nilai duga heterosis padakarakter keparahan penyakit menunjukkan bahwapopulasi F

1 Tanggamus x Orba (-29,24 dan -45,37%),

Orba x B3570 (-28,36 dan -39,36%), dan Orba xTaichung (-26,37 dan -38,27%) menghasilkan nilaiheterosis (rerata tetua) dan heterobeltiosis (rerata tetuaterbaik) tertinggi dibandingkan dengan populasi F

1

kombinasi persilangan lainnya (Tabel 5). Hal ini dapatdiartikan bahwa kombinasi persilangan tersebutmenghasilkan peningkatan ketahanan untuk keparahanpenyakit yang melebihi rerata tetua dan rerata tetuaterbaiknya masing-masing berkisar 26,73–29,24% dan38,27–45,37%. Penelitian ini sejalan dengan hasilpenelitian Rubiyo & Sudarsono (2011) pada tanamankakao, yang menyatakan bahwa semakin negatif nilaiheterosis maka semakin besar pula pewarisan ketahananyang dihasilkan dari kombinasi persilangan yangbersangkutan.

Terjadinya mekanisme heterosis menurut Sleper& Poehiman (2006) dan Fehr (1987), karena adanyaakumulasi gen-gen dominan yang unggul dalam suatugenotipe tanaman yang menyebabkan munculnyafenomena heterosis, sedangkan penampilan gen-genresesifnya akan tertutupi. Dengan demikian, berdasarkanpendapat ini, terjadinya heterosis merupakan aksi daninteraksi gen-gen dominan yang unggul yang terkumpuldalam satu genotipe F

1hasil persilangan kedua tetuanya

(Rubiyo & Sudarsono, 2011).Pada penelitian ini, jumlah polong bernas,

kombinasi persilangan Yellow Bean x Tanggamus,Tanggamus x B3570, Tanggamus x Taichung, dan Orbax Taichung merupakan kombinasi persilangan dengannilai heterosis dan heterobeltiosis tinggi. Pertambahanjumlah polong bernas yang melebihi rerata tetua danrerata tetua terbaiknya berkisar 25,54–79,41% dan13,65–32,54% (Tabel 3). Pada karakter jumlah bijisehat, kombinasi persilangan Yellow Bean x Tanggamusdan Tanggamus x B3570 memiliki nilai heterosis danheterobeltiosis yang tinggi. Pertambahan jumlah biji sehatyang melebihi rerata tetua dan rerata tetua terbaiknyamasing-masing berkisar 46,95–88,22% dan 13,56–63,75% (Tabel 5). Pada karakter bobot biji sehatkombinasi persilangan yang memiliki nilai heterosis danheterobeltiosis tinggi yaitu Yellow Bean x Tanggamus,Tanggamus x B3570, dan Orba x Taichung.Pertambahan bobot biji sehat yang melebihi rerata tetuadan tetua terbaiknya masing-masing berkisar 45,39–169,81% dan 13,59–169,75% (Tabel 5).

Tabel 4. Nilai duga nisbah potensi untuk karakter keparahan penyakit, jum

lah polong bernas, jumlah biji sehat, dan bobot biji sehat

YB

= Y

ellow B

ean; TG

= T

anggamus; O

= O

rba; B =

B 3570; dan T

C =

Taichung. Nilai nisbah potensi aditif/tidak ada dom

inansi apabila hp = 0,00; dom

inansebagian positif apabila 0 <

hp < ; dom

inan sebagian negatif apabila -1 < hp <

0; dominan lengkap positif atau dom

inan lengkap negatif apabila (hp = 1 atau hp=

-1); over dominan positif atau over dom

inan negatif apabila (hp > 1 atau hp <

-1) (Suprapto & K

airudin, 2007)

Page 14: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Sa’diyah et al. Heritabilitas, Nisbah Potensi, dan Heterosis Ketahanan Kedelai 23

Tabel 5. Nilai duga heterosis rata-rata tetua (%) dan heterosis rata-rata tetua tertinggi (%) untuk karakter keparahanpenyakit, jumlah polong bernas, jumlah biji sehat, dan bobot biji sehat

Persilangan

Keparahanpenyakit

? Polongbernas

? Biji sehat Bobot biji sehat

hMP hHP hMP hHP hMP hHP hMP hHP

Y. Bean x Tanggamus -6,20 -9,12 25,54 13,65 46,95 13,56 43,59 13,59Y. Bean x Orba -19,99 -36,78 -8,37 -36,10 -99,96 -99,97 -99,76 -99,81Y. Bean x B3570 10,21 2,40 -6,04 -22,90 -41,33 -49,04 -53,33 -55,92Y. Bean x Taichung -3,81 -11,17 30,52 -11,20 43,31 -4,12 17,31 -7,94Tanggamus x Orba -29,24 -45,37 20,30 -10,60 -45,61 -56,46 -52,16 -52,67Tanggamus x B3570 -7,23 -16,29 47,77 32,32 88,22 63,75 74,96 44,74Tanggamus x Taichung -12,57 -21,56 79,41 29,67 -50,07 -59,57 -58,25 -58,70Orba x B3570 -28,36 -39,96 -53,48 -62,40 -99,83 -99,88 -99,85 -99,88Orba x Taichung -26,73 -38,27 38,42 32,54 -1,10 -2,59 169,81 169,75B3570 x Taichung -10,59 -11,17 13,18 -11,50 -99,76 -99,83 -99,26 -99,39

hMP = heterosis rata-rata tetua, hHP = heterosis rata-rata tetua tertinggi/heterobeltiosis

DAFTAR PUSTAKA

Akin HM. 2006. Virologi Tumbuhan. Kanisius,Yogyakarta.

Andayanie WR. 2009. Pengelolaan benih bebas Soybeanmosaic virus (SMV). J. Agritek. 10(1): 1–11.

Andayanie WR. 2012. Diagnosis penyakit mosaik(Soybean mosaic virus) terbawa benih kedelai. J.HPT Tropika 12(2): 185–191.

Badan Pusat Statistik. 2012. Data Produksi TanamanKedelai. Katalog BPS 521, Jakarta.

Barmawi M. 2007. Pola segregasi dan heritabilitas sifatketahanan kedelai terhadap Cowpea mild mottlevirus populasi Willis x Mlg 2521. J. HPT Tropika7(1): 48–52.

Fehr WR. 1987. Heretability. In: Fehr WR (Ed.).Principles of Cultivar Development, Theory andTechnique Volume 1. pp. 95–105. MacmillanPublishing Company, New York.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan,ternyata kombinasi persilangan Yellow Bean xTanggamus merupakan kombinasi persilangan yangkonsisten memiliki peningkatan yang lebih tinggi darirerata tetua dan rerata tetua terbaiknya untuk karakterketahanannya lebih tinggi dibandingkan dengan tetuanya(keparahan penyakit yang lebih rendah), jumlah polongbernas, jumlah biji sehat, dan bobot biji sehat pertanaman). Oleh karena itu, kombinasi persilangan YellowBean x Tanggamus dapat dikembangkan untukmemperoleh nomor-nomor harapan yang berpotensitinggi dan tahan terhadap soybean mosaic virus.

SIMPULAN

Kombinasi persilangan yang tahan (keparahanpenyakit rendah) terhadap SMV yaitu Yellow Bean xTanggamus, Tanggamus x Orba, dan Tanggamus xTaichung. Heritabilitas arti sempit untuk karakterkeparahan penyakit termasuk ke dalam kriteria sedang,karakter jumlah polong bernas per tanaman kriteria tinggi,jumlah biji sehat per tanaman, dan bobot biji sehat pertanaman termasuk ke dalam kriteria rendah. Kombinasipersilangan yang memiliki nilai duga heterosis danheterobeltiosis rendah untuk ketahanan terhadap infeksiSMV yaitu Yellow Bean x Taichung, Yellow Bean xTanggamus, dan Tanggamus x B3570. Keparahanpenyakit atau ketahanan terhadap SMV dipengaruhi olehfaktor genetik dan lingkungan.

SANWACANA

Penulis mengucapkan terima kasih kepada HibahStrategis Nasional Ditjen Dikti Depdiknas atas bantuandana yang diberikan pada penelitian ini dan kepada rekan-rekan teknisi kebun percobaan Fakultas PertanianUniversitas Lampung atas bantuan yang telah diberikanselama penelitian ini berlangsung.

Page 15: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

24 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 17 – 24

Jain JP. 1982. Statistical Techniques in QuantitativeGenetics. Tata McGraw-Hill Publishing CompanyLimited, New Delhi.

Machfud M & Sulistyowati E. 2009. Pendugaan aksigen dan daya waris ketahanan kapas terhadapAmrasca biguttula. J. Littri. 15(3): 131–138.

Mendez-Natera JR, Rondon A, Hernandes J, & Merazo-Pinto JF. 2012. Genetic studies in upland cotton.III. Genetic parameters, correlation and pathanalysis. Sabrao J. Breed. Genet. 44(1): 112–128.

Rubiyo, Trikoekoesoemaningtyas, & Sudarsono. 2011.Pendugaan daya gabung dan heterosis ketahanantanaman kakao (Theobroma cacao L.) terhadappenyakit busuk buah (Phytophthora palmivora).J. Littri. 17(3): 124–131.

Singh RK & Chaudhary BD. 1979. BiometricalMethods in Quantitative Genetic Analysis.India Kalyani Publisher, New Delhi.

Sleper DA & Poehiman JM. 2006. Breeding FieldCrops. Fifth edition. Blackwell, Ames.

Sriwidarti. 2011. Pola pewarisan karakter kualitatif dankuantitatif kacang panjang (Vigna sinensis var.sesquipedalis L.) keturunan testa coklat x hitam.Tesis. Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Suprapto & Kairudin NMD. 2007. Variasi genetik,heritabilitas, tindak gen dan kemajuan genetikkedelai (Glycine max Merrill) pada ultisol. J. IlmuPertanian Indones. 9(2): 183–190.

Welsh JR. 1991. Dasar-Dasar Genetika danPemuliaan Tanaman. Terjemahan Johanes P.Mogea. Erlangga, Jakarta.

Page 16: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Martanto et al. Evaluasi Ketahanan terhadap Penyakit Kudis 35J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525Vol. 16, No. 1: 35 – 41, Maret 2016

EVALUASI KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT KUDISDAN PRODUKSI BEBERAPA KULTIVAR UBIJALAR

Eko Agus Martanto1, Adelin Tanati1, & Samen Baan2

1Laboratorium Hama Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Papua2Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Papua

Jl. Gunung Salju, Amban, Manokwari, Papua Barat 98314E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Evaluation of scab disease resistance and production on sweet potato cultivars. This study was aimed to determine theresistance of local sweet potato cultivars to scab disease in West Papua and the cultivar production. Research was carried outfor 6.5 months starting in April 2014. Evaluation of resistance of local sweet potato cultivars and production was designedusing a randomized complete block design (RCBD) with three replications. The treatment consists of six local cultivars, namelyMouwebsi, Kuyage-2, Bonsasarai, Inanwatan-4, Wonembai, and Abomourow. There was no inoculation treatment on the fieldbecause Papua was endemic region to the scab disease. Data analysis was performed using analysis of variance (ANOVA),followed by DMRT test at level of 95%. Cultivars tested had different responses to the long tendrils of parameters and numberof branches. The intensity of the disease in Bonsasarai cultivars was 31.7% (moderately resistant), while in Mouwebsi was13.75%, Wonembai 8.33%, Kuyage-2 0.42%, Abomourow and Inanwatan-4, 0% categorized as resistant cultivars. The tuberweight of Abomourow (4.55 ton/ha) was higher than that of Mouwebsi (3.80 ton/ha), Wonembai (3.62 ton/ha), Bonsasarai(2.28 ton/ha), and Inanwatan-4 (1.12 ton/ha).

Key words: production, resistance, scab, sweet potatoes

ABSTRAK

Evaluasi ketahanan terhadap penyakit kudis dan produksi beberapa kultivar ubijalar. Penelitian ini bertujuan untukmengetahui ketahanan kultivar ubijalar lokal terhadap penyakit kudis di Papua Barat dan produksinya. Penelitian dilakukanselama 6,5 bulan dimulai sejak bulan April 2014. Evaluasi ketahanan beberapa kultivar ubijalar lokal dan produksinya dirancangdengan menggunakan rancangan acak kelompok yang perlakuannya diulang tiga kali. Perlakuan terdiri dari enam kultivarubijalar lokal antara lain Mouwebsi, Kuyage-2, Bonsasarai, Inanwatan-4, Wonembai, dan Abomourow. Tidak ada perlakuaninokulasi di lapangan karena Papua merupakan daerah endemik penyakit kudis. Data dianalisis dengan menggunakan analisisvarian, jika perlakuan berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji DMRT pada tingkat kepercayaan 95%. Penelitian menunjukkanbahwa setiap kultivar yang dicoba mempunyai tanggapan yang berbeda pada parameter panjang sulur dan jumlah cabang.Panjang sulur dan jumlah cabang meningkat hingga pengamatan ketiga, pada pengamatan keempat ada yang menurun danada yang meningkat. Intensitas penyakit kultivar Bonsasarai sebesar 31,7% dikategorikan kultivar agak tahan, sementaraintensitas penyakit kultivar Mouwebsi 13,75%, Wonembai 8,33%, Kuyage-2 0,42%, Inanwatan-4 dan Abomourow, 0%dikategorikan kultivar tahan. Bobot umbi kultivar Abomourow 4,55 ton/ha lebih tinggi daripada kultivar Mouwebsi 3,80 ton/ha, Wonembai 3,62 ton/ha, Bonsasarai 2,28 ton/ha dan Inanwatan-4 1,12 ton/ha.

Kata kunci: ketahanan, penyakit kudis, produksi, ubijalar

PENDAHULUAN

Ubijalar (Ipomoea batatas (L.) Lamb.)merupakan salah satu sumber pangan yang cukuppotensial dalam mengatasi ketergantungan terhadapberas (Amir, 1988). Selain itu ubijalar juga menjaditanaman pangan strategis dalam pengembangan industribahan makanan (Roosda et al., 2013).

Papua mempunyai potensi persediaan bahanpangan lokal yang sangat besar, terutama ubi-ubiansebagai makanan pokok. Kurang lebih 60% pendudukmenanam ubijalar dan memanfaatkannya sebagaimakanan pokok, terutama mereka yang tinggal di daerahPegunungan Arfak di Kabupaten Manokwari, serta disekitar danau Wisel di Kabupaten Paniai dan LembahBaliem di Kabupaten Jayawijaya (Samori et al., 1998).

Page 17: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

36 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 35 – 41

Jumlah penduduk Papua kurang lebih 2,2 juta jiwa denganpertumbuhan penduduk sebesar 3,14% per tahun. Jumlahpenduduk yang terus bertambah mengakibatkankebutuhan terhadap pangan meningkat. Ubijalardiharapkan dapat menjadi salah satu substitusi pangannon beras terhadap pertumbuhan dan perkembanganjumlah penduduk yang semakin meningkat (Ayomi &Mampioper, 2008).

Secara garis besar ubijalar dapat dimanfaatkanuntuk keperluan bahan pangan, pakan ternak dan bahanindustri. Sebagian besar ubijalar digunakan untukkonsumsi, baik sebagai makanan pokok maupun sebagaimakanan sampingan. Selain mengandung pati dan gula,ubijalar juga mengandung mineral dan vitamin yang tinggimisalnya zat besi dan betakaroten. Betakaroten banyakdijumpai pada umbi yang berwarna kuning yang sangatmembantu dalam penanggulangan kekurangan vitaminA pada anak-anak. Menurut Amir (1990), konsumsiubijalar yang paling besar ada di daerah Irian jaya dengan169,2 kg/kapita/tahun, diikuti Nusa Tenggara 32,2 kg/kapita/tahun, sedang di Jawa hanya 9,2 kg/kapita/tahun.

Di Indonesia ubijalar menduduki posisi keempatsetelah padi, jagung, dan ubi kayu sebagai bahan pangan.Berdasarkan perolehan kalori ubijalar mengandung 27,9g karbohidrat, 1,8 g protein, 0,7 g lemak dan 123 g kalori.Kandungan protein dan mineral daun ubijalar cukup tinggidan sangat baik untuk sayuran (Wargiono, 1980).

Produktivitas ubijalar yang ditanam petani diPapua Barat masih sangat rendah, yaitu 10,30 ton/ha(BPS, 2009). Sementara potensi produktivitas nasionaldapat mencapai 20-40 ton/ha (BPS, 2012). Rendahnyaproduktivitas tersebut disebabkan oleh penerapan teknikbudidaya yang minim, tingkat kesuburan tanah yangmemang rendah dan infeksi penyakit kudis.

Penyakit kudis merupakan penyakit utama padatanaman ubijalar. Penyebaran penyakit kudis dijumpaipada hampir semua negara yang membudidayakantanaman ubijalar antara lain adalah Malaysia, Jepang,Indonesia, Meksiko, dan Brazil (Semangun, 1991).Kerugian yang ditimbulkan pada tanaman yang terinfeksipenyakit kudis berupa penurunan produksi umbi 20-50%pada klon ubijalar yang rentan (Ramsey et al., 1988).

Berbagai kultivar ubijalar lokal telah ditemukandengan berbagai keunggulan yang berbeda, sepertiberdaya hasil tinggi, tetapi rentan terhadap seranganpenyakit kudis. Berdasarkan permasalahan di atas makapenelitian ubijalar untuk mengetahui ketahanan danproduksi yang dihasilkan masih sangat relevan untukdilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuiketahanan beberapa kultivar ubijalar lokal terhadappenyakit kudis di Papua Barat dan produksi yangdihasilkan.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian dilaksanakan di SatuanPemukiman (SP) II Prafi Kabupaten Manokwari, yangdilaksanakan mulai bulan April sampai dengan bulanOktober 2014.

Perbanyakan Setek Ubijalar. Enam kultivar ubijalarmasing-masing ditanam pada petakan tanah seluas 4 x4 m, setiap kultivar ditanam 30 setek pucuk. Setekkultivar ubijalar diperoleh dari PSUS (Pusat Studi Ubi-ubian dan Sagu) Universitas Negeri Papua. Kultivaryang diperbanyak tersebut antara lain ubijalar kultivarMouwebsi, Kuyage-2, Bonsasarai, Inanwatan-4,Wonembai, dan Abomourow. Perbanyakan ini perluwaktu 3 bulan, diharapkan dalam waktu tersebutdiperoleh sekitar 200 setek pucuk untuk keperluan tanamdi lapangan.

Uji Ketahanan dan Produksi Kultivar Ubijalar.Percobaan ini dilakukan dengan menggunakanrancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 ulangan.Perlakuan terdiri atas 6 kultivar lokal, yaitu Mouwebsi,Kuyage-2, Bonsasarai, Inanwatan-4, Wonembai, danAbomourow sehingga diperoleh 18 satuan percobaan.Percobaan dilakukan selama 3,5 bulan, dan tiap satuanpercobaan berupa petak dengan ukuran 2 x 3 m. Selamapenelitian tidak dilakukan inokulasi patogen karenaPapua merupakan daerah endemik penyakit kudisubijalar.

Parameter yang diamati meliputi panjang sulur,jumlah cabang, jumlah umbi per tanaman, bobot umbiper tanaman, bobot umbi per petak, dan intensitaspenyakit kudis. Parameter diamati 4 minggu setelahtanam, diulang sebanyak 4 kali dengan selangpengamatan 3 minggu. Intensitas penyakit dihitungdengan persamaan sebagai berikut:

dengan:IP = Intensitas Penyakitni = Banyaknya tanaman dari kategori seranganvi = Nilai skala dari tiap kategori seranganN = Jumlah tanaman yang diamatiV = Nilai skala tertinggi

Kategori serangan yang dipakai adalah menurutZuraida et al. (1992) yang dimodifikasi sebagai berikut:0 = Sulur sehat, tidak ada infeksi1 = Bercak pada daun, tangkai daun dan sulur > 0- 20%

%100

VN

)v(nIP

ii

Page 18: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Martanto et al. Evaluasi Ketahanan terhadap Penyakit Kudis 37

2 = Bercak pada daun, tangkai daun dan sulur >20- 40%3 = Bercak pada daun, tangkai daun dan sulur >40-60%4 = Bercak pada daun, tangkai daun dan sulur >60-80%5 = Bercak pada daun, tangkai daun dan sulur >80%

Berdasarkan hasil perhitungan intensitas penyakit,Martanto (2004) kemudian mengelompokkan ke dalamtingkat ketahanan sebagai berikut: 0-20% = Tahan> 20-40% = Agak tahan> 40-60% = Agak rentan> 40-100% = Rentan

Analisis Data. Analisis data dilakukan denganmenggunakan Analisis Varians (ANOVA), apabilaperlakuan berpengaruh nyata maka dilanjutkan denganDMRT pada taraf 95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Panjang Sulur. Hasil analisis menunjukkan bahwapanjang sulur kultivar yang diamati berbeda nyata padapengamatan pertama sampai pengamatan terakhir (ke-4). Pada pengamatan pertama sampai ketiga, sulur yangterpanjang pada kultivar Inanwatan-4 (V4) dan yangterpendek pada kultivar Wonembai (V5). Padapengamatan terakhir (ke-4), sulur terpanjang padakultivar Mouwebsi (V1) sebesar 336,9 cm, sedangpanjang sulur terpendek tetap pada kultivar Wonembaisebesar 151,27 cm (Tabel 1).

Jumlah Cabang. Hasil analisis menunjukkan bahwajumlah cabang kultivar yang diamati tidak berbeda nyatapada pengamatan pertama, kemudian berbeda nyatapada pengamatan kedua sampai pengamatan terakhir(ke-4). Pada pengamatan kedua jumlah cabang kultivarBonsasarai (8,87) berbeda dengan kultivar Mouwebsi

(5,07), dan Kuyage-2 (5,37). Pada pengamatan ketigaterjadi penambahan dan penurunan jumlah cabang padasetiap kultivar yang dicoba. Pada pengamatan ke-4,jumlah cabang kultivar Kuyage-2 (9,43) berbeda nyatadengan jumlah cabang kultivar Inanwatan-4 (6,27),Bonsasarai (7,07), Wonembai (5,00) dan Abomourow(5,53) (Tabel 2).

Intensitas Penyakit Kudis. Gejala penyakit kudisdapat terlihat pada daun, tulang daun dan daun. Padadaun yang terinfeksi (terutama pada tulang daun) tampakbercak yang berwarna lembayung, kemudian menjadikuning, coklat kekuningan, coklat kemerahan danakhirnya menjadi coklat kehitaman. Pada batang yangterinfeksi tampak bercak warna coklat. Bercak dapatmeluas dan akan bersatu dengan bercak yang lain. Hasilpengamatan menunjukkan bahwa pada pengamatanpertama dan kedua gejala penyakit kudis belumditemukan pada semua kultivar yang dicoba. Padapengamatan ketiga, gejala penyakit kudis hanya dijumpaipada kultivar Bonsasarai dengan intensitas penyakitsebesar 0,83%. Pada pengamatan keempat, intensitaspenyakit kultivar Bonsasarai menjadi 31,7% lebih tinggidibanding kultivar Mouwebsi (13,75%), Wonembai(8,33%) dan Kuyage-2 (0,42%). Pada pengamatankeempat ini masih ada kultivar yang belum ditemukangejala penyakit kudis yaitu kultivar Inanwatan-4 danAbomourow (Tabel 3). Gejala penyakit kudis beberapakultivar yang dicoba dapat dilihat pada Gambar 1.

Jumlah Umbi Per Tanaman, Bobot Umbi PerTanaman dan Bobot Umbi Per Petak KultivarUbijalar. Hasil analisis menunjukkan bahwa adaperbedaan yang nyata pada jumlah umbi per tanaman,bobot umbi per tanaman dan bobot umbi per petak darikultivar yang dicoba. Jumlah umbi per tanaman yangpaling banyak dijumpai pada kultivar Wonembai (3,57)

Tabel 1. Panjang sulur kultivar ubijalar yang diamati

Angka-angka yang diikuti dengan huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan Uji JarakBerganda Duncan pada aras 5%.

PerlakuanPanjang sulur (cm) pada pengamatan ke....

I II III IV

V1 (Mouwebsi) 104,36 b 168,87 bc 252,60 bc 336,90 aV2 (Kuyage-2) 113,00 ab 191,30 b 191,30 bcd 203,77 cdV3 (Bonsasarai) 133,67 a 182,97 bc 284,63 ab 272,30 bV4 (Inanwatan-4) 115,70 ab 230,17 a 368,50 a 247,10 bcV5 (Wonembai) 52,67 c 84,13 d 109,83 d 151,27 dV6 (Abomourow) 97,23 b 162,53 c 156,23 cd 163,30 d

Page 19: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

38 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 35 – 41

Gambar 1. Gejala penyakit kudis pada beberapa kultivar ubijalar. (A) Kultivar Mouwebsi (V1); (B) Kultivar Kuyage-2 (V2); (C) Kultivar Bonsasarai (V3); (D) Kultivar Wonembai (V5)

Tabel 2. Jumlah cabang kultivar ubijalar yang diamati

Angka-angka yang diikuti dengan huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan Uji JarakBerganda Duncan pada aras 5%.

Tabel 3. Intensitas penyakit kultivar ubijalar yang diamati

Angka-angka yang diikuti dengan huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan Uji JarakBerganda Duncan pada aras 5%.

PerlakuanIntensitas penyakit (%) pada pengamatan ke....

I II III IV

V1 (Mouwebsi) 0 0 0 13,75 abV2 (Kuyage-2) 0 0 0 0,42 bV3 (Bonsasarai) 0 0 0,83 31,70 aV4 (Inanwatan-4) 0 0 0 0,00 bV5 (Wonembai) 0 0 0 8,33 abV6 (Abomourow) 0 0 0 0,00 b

PerlakuanJumlah cabang pada pengamatan ke....

I II III IV

V1 (Mouwebsi) 4,23 5,07 b 6,37 ab 7,90 abV2 (Kuyage-2) 3,72 5,37 b 6,60 ab 9,43 aV3 (Bonsasarai) 3,35 8,87 a 6,13 ab 7,07 bcV4 (Inanwatan-4) 3,47 7,50 ab 6,37 ab 6,27 bcV5 (Wonembai) 4,10 7,27 ab 9,90 a 5,00 cV6 (Abomourow) 4,23 7,47 ab 5,00 b 5,53 c

A B

DC

Page 20: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Martanto et al. Evaluasi Ketahanan terhadap Penyakit Kudis 39

dan yang tidak menghasilkan umbi adalah kultivarKuyage-2 (0). Berdasarkan bobot umbi per tanamanmaka bobot umbi yang paling berat ada pada kultivarAbomourow (341,7 g/tanaman), di bawahnya adalahkultivar Wonembai (285,47 g/tanaman) dan yang palingrendah adalah kultivar Kuyage-2 (0 g/tanaman). Bobotumbi per petak yang paling besar adalah kultivarAbomourow (2,73 kg/petak), kemudian di bawahnyakultivar Wonembai (2, 28 kg/petak) dan yang palingrendah/tidak menghasilkan adalah kultivar Kuyage-2 (0kg/petak) (Tabel 4).

Ubijalar yang diteliti ditanam pada tanah gemburdan dibuat guludan serta menggunakan setek pucuksehingga pertumbuhan vegetatif dan pembentukanumbinya maksimal. Hendroatmodjo (1990) menyatakanbahwa penggunaan setek pucuk antara 25-30 cm akanmempercepat perkembangan umbi daripada setektengah atau pangkal. Wargiono (1980) menyatakanbahwa ubijalar yang tidak ditanam di atas guludanmenyebabkan hasil umbi kecil-kecil karena batangmenjalar ke segala jurusan dan setiap akar pada bukuyang berhubungan dengan tanah membentuk umbi yangkecil-kecil.

Panjang sulur dan jumlah cabang merupakanvariabel penting dalam mengamati pertumbuhantanaman karena berhubungan dengan jumlah daun yangterbentuk. Kultivar Mouwebsi mempunyai panjang sulurtertinggi dan kultivar Abomourow dengan panjang sulurterendah. Hal ini karena setiap kultivar memilikikarakteristik yang berbeda terhadap panjang sulurtanaman ubijalar. Kebanyakan kultivar mempunyaibatang menjalar yang cukup panjang tetapi ada jugakultivar yang tajuknya merumpun, batangnya lebihpendek dan tumbuh lebih tegak (Fajriani et al., 2012).

Panjang sulur dan jumlah cabang meningkathingga pengamatan ketiga, kemudian pada pengamatankeempat ada yang menurun dan ada yang meningkat.

Hal ini dipengaruhi oleh perubahan tanaman dari fasevegetatif ke fase generatif dimana pada fase generatifpertumbuhan panjang sulur pada tanaman berhenti. Sari(2008) menyatakan bahwa pada fase pembentukan danpengisian umbi berlangsung cepat maka pertumbuhanbatang dan daun berkurang. Hal ini diperkuat olehpendapat Hahn & Hozyo (1996) yang mengatakanbahwa ada hubungan terbalik antara pertumbuhan daundan umbi. Semakin besar umbi, produksi cabang dandaun menurun dan secara bertahap berhenti.

Pada variabel intensitas penyakit didapatkanbahwa pada pengamatan pertama dan kedua semuakultivar belum menunjukkan gejala penyakit kudis, barupada pengamatan ketiga ada gejala di kultivar Bonsasaraidengan intensitas penyakit yang masih kecil (0,83%).Lambatnya gejala yang terjadi karena selama penelitianmemang tidak dilakukan inokulasi patogen penyebabpenyakit kudis karena Papua merupakan daerahendemik penyakit kudis. Pada pengamatan keempat,kultivar Bonsasarai menunjukkan kultivar yang palingpeka karena intensitas penyakitnya yang paling besar,sementara kultivar Inanwatan-4 dan Abomourow belummenunjukkan gejala. Berdasarkan besarnya intensitaspenyakit yang terjadi, ketahanan kultivar Bonsasaraidikategorikan agak tahan, sementara lima kultivar lainnyatermasuk kultivar yang tahan terhadap penyakit kudis.

Pada pengamatan terakir, daun kultivarBonsasarai, Wonembai dan Mouwebsi yang terinfeksitampak berkerut dan mengecil, dan jumlah bercak ditulang daun pada sisi bawah juga banyak. Bercak dapatmeluas dan akan bersatu dengan bercak yang lain,sehingga pada tangkai daun yang terinfeksi seolah-olahtertutup bercak tersebut. Kenampakan gejala padakultivar Kuyage-2 berbeda dengan gejala yang terjadipada ketiga kultivar yang lainnnya. Daun yang terinfeksitidak berkerut dan mengecil, gejala tampak kecil danhalus pada tangkai daun (Gambar 1). Penyakit kudis

Tabel 4. Jumlah umbi per tanaman, bobot umbi per tanaman dan bobot umbi per petak ubijalar yang dicoba

Angka-angka yang diikuti dengan huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan Uji JarakBerganda Duncan pada aras 5%.

Perlakuan Jumlah umbi per tanaman Bobot umbi per tanaman (g) Bobot umbi per petak (kg)

V1 (Mouwebsi) 2,27 b 285,47 ab 2,28 abV2 (Kuyage-2) 0,00 c 0,00 d 0,00 dV3 (Bonsasarai) 2,63 b 170,87 bc 1,37 bcV4 (Inanwatan-4) 2,40 b 83,37 cd 0,67 cdV5 (Wonembai) 3,57 a 270,87 ab 2,17 abV6 (Abomourow) 2,30 b 341,70 a 2,73 a

Page 21: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

40 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 35 – 41

SIMPULAN

Setiap kultivar yang dicoba mempunyai tanggapanyang berbeda pada parameter panjang sulur dan jumlahcabang. Panjang sulur dan jumlah cabang meningkathingga pengamatan ketiga, pada pengamatan keempatada yang menurun dan ada yang meningkat.Intensitaspenyakit kultivar Bonsasarai sebesar 31,7%dikategorikan kultivar agak tahan, sementara intensitaspenyakit kultivar Mouwebsi 13,75%, Wonembai 8,33%,Kuyage-2 0,42%, Inanwatan-4 dan Abomourow 0%dikategorikan kultivar tahan. Bobot umbi kultivarAbomourow 4,55 ton/ha lebih tinggi daripada kultivarMouwebsi 3,80 ton/ha, Wonembai 3,62 ton/ha,Bonsasarai 2,28 ton/ha dan Inanawatan-4 1,12 ton/ha.

SANWACANA

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepadapemerintah melalui DP2M Ditjen DIKTI atas dana yangdiberikan pada tahun 2014 sehingga penelitian ini dapatdilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Amir M. 1988. Masalah penyakit kudis (Elsinoëbatatas) pada ubijalar dan cara pengendaliannya.Dalam: Paiki FA & Matanubun H (Eds.).Prosiding Seminar Ubi-ubian Irian Jaya. pp.153–162. Manokwari, 27-29 Juli 1988.

Amir M. 1990. Studies of sweet potato (E. batatas) inIndonesia. The International Workshop onIntegrated Management of Diseases and Pestof Tuber Crops. pp. 1–5. Bhubaneswar, India.October 21-27, 1990

Ayomi C & Mampioper DA. 2008. Konsumsi-pangan-lokal-di-papua-rendah. http://tabloidjubi.wordpress.com /2008/04/28. Diakses tanggal 24Nopember 2013.

BPS. 2009. Kabupaten Manokwari Dalam Angka.Badan Pusat Statistik Kabupaten Manokwari.

BPS. 2012. Harvest Area, Production and Yield ofPotatoes. www.bps.go.id. Diakses tanggal 24Nopember 2013.

Fajriani N, Boer D, Suliartini NWS, Sadirmantara IGR,& Suaib. 2012. Heritabilitas sifat agronomi pentingbeberapa klon ubijalar lokal yang dibudidayakandapat menurunkan produksi ubijalar. Di

dapat menurunkan produksi ubijalar. Di Indonesiaproduksi umbi klon ubijalar rentan yang terserangpenyakit kudis mengalami penurunan hingga 30% (Amir,1988).

Perbedaan serangan tiap kultivar ini selaindidukung oleh ketahanan yang berbeda, juga disebabkanperbedaan jumlah cabang tiap kultivar. Walaupun jumlahcabang kultivar Bonsasarai tidak sebanyak kultivarKuyage-2 tetapi daun yang terbentuk hampir samabanyak dan lebat sehingga menyebabkan iklim mikro disekitar tanaman mendukung perkembangan patogen.Hal ini sesuai pendapat Zadoks & Schein (1979) yangmenyatakan bahwa iklim mikro merupakan syaratpenting untuk siklus infeksi, dari melekatnya sporasampai penyebaran spora.

Jumlah umbi per tanaman dari kultivar yang ditelitibervariasi, dari kultivar yang tidak menghasilkan samasekali (Kuyage-2) sampai kultivar Wonembai denganjumlah umbi yang paling banyak (3,57). Semua petakkultivar Kuyage-2 tidak ada yang menghasilkan umbiwalaupun pertumbuhan vegetatif tanamannya baikseperti kelima kultivar yang lainnya. Tidak dihasilkannyaumbi pada kultivar ini karena (1) kultivar Kuyage-2berasal dari Wamena yang merupakan dataran tinggi,yang biasanya panen pada umur tanaman 5-6 bulan.Lokasi penelitian ada pada dataran rendah dan waktupanen dilakukan pada umur tanaman 3,5 bulan.Berdasarkan ketinggian tempat yang berbeda dan waktupanen yang lebih cepat menyebabkan saat panen belumterbentuk umbi, (2) ubijalar kultivar Kuyage-2 dalampemanfaatannya diduga bukan diambil umbinya tetapihanya diambil daunnya sebagai sayur.

Jumlah umbi per tanaman kultivar Wonembaipaling banyak tetapi bobot umbi per tanaman bukan yangyang paling besar dan hanya menduduki peringkat keduasetelah kultivar Abomourow walaupun jumlah umbipertanamannya lebih rendah daripada kultivarWonembai. Hal ini membuktikan bahwa umbi kultivarAbomourow lebih besar daripada kultivar Wonembai.Pertumbuhan umbi tergantung dari laju pertumbuhanyang direfleksikan melalui produksi bahan kering umbi.Hal ini sesuai dengan pendapat Wargiono dan Tuherkih(1986) dalam Legiawati (1995) yang menyatakan bahwapertumbuhan umbi tergantung pada aktivitas fotosintesisatau laju asimilasi.

Bobot umbi per tanaman merepresentasikanbobot umbi per petak. Bobot umbi kultivar Abomourow2,73 kg/petak (4,55 ton/ha) lebih tinggi daripada kultivarWonembai 2,28 kg/petak (3,80 ton/ha), Mouwebsi 2,17kg/petak (3,62 ton/ha), Bonsasarai 1,37 kg/petak (2,28ton/ha) dan Inanawatan-4 0,67 kg/petak (1,12 ton/ha).

Page 22: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Martanto et al. Evaluasi Ketahanan terhadap Penyakit Kudis 41

Hahn SK & Hozyo Y. 1996. Ubi Manis. Dalam:Goldsworthy PR & NM Fisher. FisiologiTanaman Budidaya Tropik. Gadjah MadaUniversity Press, Yogyakarta.

Hendroatmodjo KH. 1990. Distribusi bahan kering danhasil tiga kultivar ubijalar berasal dari stek yangberbeda. Penel. Palawija 5(1): 48–59.

Legiawati RI. 1995. Pertumbuhan dan perkembangantanaman ubijalar sebagai kriteria penetapan umurpanen optimum. Skripsi. Institut Pertanian Bogor,Bogor.

Martanto EA. 2004. Interaksi Inang Patogen padaPenyakit Kudis Ubijalar (Elsinoe batatas).Disertasi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Ramsey MD, Vawdrey LL, & Hardy J. 1988. Scab(Sphaceloma batatas) a new disease of sweetpotato in Australia; fungicide and cultivarevaluation. Aust. J. Exper. Agric. 28(1): 137–141.

Roosda AA, Waluyo B, Wibisono T, & Kurniawan A.2013. Peran nyata hortikultura, agronomi danpemuliaan terhadap ketahanan pangan. SeminarNasional 3 in One Hortikultura, Agronomi danPemuliaan. pp. 7–13, Universitas Brawijaya,Malang 21 Agustus 2013.

Samori P, Paiki FA, & La Musadi. 1998. Kajian terhadappenyakit kudis Elsinoe batatas pada berbagaikultivar dan sistem budidaya ubijalar di LembahBaliem Wamena. Hyphere, J. Ilmiah Ubi-ubiandan Sagu 3(1): 1–7.

Sari FCW. 2008. Analisis Pertumbuhan Ubijalar (Ipomeabatatas L.) dan Tanaman Nenas (Ananas comosus(L.) Merr) dalam Sistem Tumpang Sari. Skripsi.Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Semangun H. 1991. Penyakit-Penyakit TanamanPangan di Indonesia. Gadjah Mada UniversityPress, Yogyakarta.

Wargiono J. 1980. Ubijalar dan Cara BercocokTanamnya. Lembaga Pusat Penelitian Pertanian.Bogor.

Zuraida N, Bari A, Wattimenna CA, Amir M, &Soenaryo R. 1992. Pengaruh penanamancampuran klon ubijalar terhadap penyakit kudisdan hasil. Penel. Pert. 12(3): 119–121.

Zadoks JS & Schein RD. 1979. Epidemiology andPlant Diseases Management. Oxford UniversityPress, New York.

Indonesia, di desa-desa pinggiran kota Kendari.Berkala Penel. Agron. 1(2): 156–163.

Page 23: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

42 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 42 – 50 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 16, No. 1: 42 – 50, Maret 2016

KELIMPAHAN DAN KEKAYAAN ARTROPODA PREDATORPADA TANAMAN PADI YANG DIAPLIKASI BIOINSEKTISIDA

BACILLUS THURINGIENSIS

Fila Sunariah1, Siti Herlinda2,3, Chandra Irsan2,3, & Yuanita Windusari4

1Program Studi Pengelolaan Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya, Palembang2Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya, Indralaya

3Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan Suboptimal (PUR-PLSO), Universitas Sriwijaya Palembang4Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sriwijaya Palembang

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Abundance and species richness of the predatory arthropods on paddy treated with Bacillus thuringiensis bioinsecticide.Application of bioinsecticide from bacterial entomopathogen has not been reported yet that can decrease abundance andspecies richness of predatory arthropods, such as spiders and predatory insects. This research was aimed to analyze theabundance and species richness of predatory arthropods paddy fields applied by B. thuringiensis bioinsecticide on paddy infresh swamp area. Areas observed were 2 ha paddy field’s at Situ Bagendit variety. Predatory arthropods inhabiting canopywere sampled using sweep but soil dwelling arthropods were trapped using pitfall traps. The result showed that abundanceof spiders inhabiting canopy decreased significantly after B. thuringiensis bioinsecticide application on paddy compared tocontrol without bioinsecticide but the abundance of predatory insects were not significantly affected by the bioinsecticide.Application of the bioinsecticide did not significantly affect the abundance and species richness of soil dwelling predatoryarthropods, such as spiders and predatory insects.

Key words: abundace, arthropod, paddy, species richness

ABSTRAK

Kelimpahan dan kekayaan spesies artropoda predator pada tanaman padi yang diaplikasikan bioinsektisida Bacillusthuringiensis. Aplikasi bioinsektisida berbahan aktif bakteri belum banyak dilaporkan berdampak buruk terhadap kelimpahandan keanekaragaman spesies artropoda predator, seperti laba-laba dan serangga predator. Penelitian ini bertujuan untukmenganalisis kelimpahan dan keanekaragaman spesies artropoda predator pada tanaman padi sawah lebak yang diaplikasikanbioinsektisida B. thuringiensis dan tanpa yang diaplikasikan bioinsektisida B. thuringiensis. Lahan yang diamati yaitu lahanpadi sawah lebak yang ditanami varietas Situ Bagendit seluas 2 ha. Artropoda predator penghuni tajuk diamati menggunakanjaring serangga, sedangkan penghuni permukaan tanah menggunakan lubang jebakan. Dari hasil penelitian didapatkan bahwakelimpahan laba-laba penguni tajuk menurun secara signifikan setelah aplikasi B. thuringiensis pada tanaman padi dibandingkantanpa aplikasi (kontrol), namun untuk kelimpahan serangga predator penghuni tajuk tidak terpengaruh oleh aplikasi bioinsektisidatersebut. Aplikasi B. thuringiensis tidak berpengaruh nyata terhadap kekayaan spesies atropoda predator penghuni tanah,laba-laba dan serangga predator. Dengan demikian, aplikasi B. thuringiensis tidak menurunkan kelimpahan dan kekayaanspesies artropoda predator yang menghuni di permukaan tanah dan serangga predator tajuk.

Kata kunci: artropoda, kekayaan spesies, kelimpahan, padi

PENDAHULUAN

Ekosistem sawah telah banyak dilaporkanmemiliki kelimpahan dan kekayaan spesies artropodamusuh alami yang tinggi (Herlinda et al., 2004; Wilyuset al., 2013; Herlinda et al., 2015b). Tingginya kekayaanspesies artropoda musuh alami dapat meningkatkankestabilan ekosistem sehingga tidak didominasi oleh

fitofag (Latoantja et al., 2013), namun banyak faktoryang dapat menyebabkan ketidakstabilan ekosistemsawah, misalnya aplikasi insektisida sintetik yang terbuktibanyak menyebabkan kematian artropoda musuh alami(Herlinda et al., 2008; Udiarto et al., 2012), misalnyapenurunan kelimpahan dan keanekaragaman spesiesartropoda permukaan tanah dari Famili Lycosidae,Lyniphiidae, Carabidae, dan Formicidae pada ekosistem

Page 24: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Sunariah et al. Kelimpahan dan Kekayaan Spesies Artropoda Predator 43

sawah akibat aplikasi deltametrin (Winasa & Rauf,2005).

Selain aplikasi insektisida sintetik, saat ini mulaibanyak aplikasi bioinsektisida dilakukan untukmengendalikan serangga hama, misalnya aplikasi jamurentomopatogen dari Beauveria bassiana (Herlinda,2010; Hasyim, 2006) dan bakteri entomopatogen, sepertiBacillus thuringiensis (Uhan & Sulastrini, 2008). B.thuringiensis telah banyak dilaporkan dapatmengendalikan serangga hama ordo Lepidoptera, sepertiCrocidolomia pavonana (Uhan & Sulastrini, 2008).Serangga hama lainnya yang dapat dikendalikan olehB. thuringiensis adalah wereng coklat (Bernal et al.,2002), Rhopalosiphum padi (Raps et al., 2001), danpenggerek batang padi (Mulyaningsih et al., 2009).Dengan telah banyaknya informasi keefektifan B.thuringiensis untuk mengendalikan serangga hama padi,perlu juga informasi apakah aplikasi bakteri tersebutdapat menurunkan kelimpahan dan kekayaan spesiesartropoda predator hama padi. Penelitian ini bertujuanuntuk menganalisis kelimpahan dan kekayaan spesiesartropoda predator pada tanaman padi yang diaplikasikanB. thuringiensis.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilaksanakan di lahanpadi sawah lebak, Kecamatan Pemulutan, KabupatenOgan Ilir, Sumatera Selatan. Penelitian ini dimulai sejakbulan Mei hingga Agustus 2014.

Luas sawah yang diamati adalah 2 ha, setiap 1ha dibagi menjadi 4 subpetak dengan ukuran 10 x 10 m.Varietas yang digunakan adalah varietas Situ Bagendit.Lahan tersebut dalam 1 ha dibagi menjadi 2 petak. Satupetak untuk lahan yang diberi bioinsektisida dan lahanlainnya sebagai kontrol.

Aplikasi Bioinsektisida. Bioinsektisida yangdigunakan adalah B. thuringiensis (Bt) yang berasaldari tanah rawa lebak dan telah diaplikasikan untukpengendalian wereng coklat. Aplikasi bioinsektisidadilakukan dengan cara menyemprotkan Bt di tajuktanaman padi utama dengan menggunakan alatknapsack sprayer. Bioinsektisida yang disemprotkandengan dosis 2 l/ha setiap aplikasi. Aplikasi dilakukansejak tanaman berumur 2 hingga 10 minggu setelah tanam(mst). Aplikasi dilakukan setiap 2 minggu sekali.Penyemprotan dilakukan pada sore hari pada pukul16.00-18.00 WIB untuk mencegah bakteri terekspos olehsinar terik matahari.

Pengamatan Artropoda Predator di Tajuk TanamanPadi. Pengambilan sampel artropoda di tajuk tanamanpadi dilakukan dengan menggunakan jaring serangga dandilakukan sebanyak 15 ayunan dengan metode mengikutiHerlinda et al. (2015a). Setiap satu ayunan gandaartropoda yang tertangkap di jaring serangga dimasukkanke kantong plastik yang telah berisi larutan 100 mlformalin 2%, begitu seterusnya sampai ayunan ke-15.Artropoda yang tertangkap selanjutnya dibawa kelaboratorium lalu disortasi dan dibersihkan dari formalindengan menggunakan air, lalu dimasukkan ke dalam botolvial yang berisi alkohol 70%. Identifikasi di bawahmikroskop dan dihitung jumlah individunya diLaboratorium Entomologi, Jurusan Hama dan PenyakitTumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya.Pengamatan artropoda di tajuk tanaman padi utamadilakukan setiap 2 minggu sekali dari umur 1 hingga 10mst.

Pengamatan Artropoda Predator pada PermukaanTanah Tanaman Padi. Pengambilan artropoda padapermukaan tanah menggunakan lubang jebakan (pitfalltrap) mengikuti metode Effendy et al. (2013), yangdipasang sebanyak 12 perangkap per ha. Lubang jebakandipasang setiap 2 minggu sekali berbarengan denganjadwal pengambilan contoh serangga tajuk. Lubangperangkap dipasang selama 2 x 24 jam. Pemasanganperangkap dilakukan saat padi mulai berumur 1 msthingga 10 mst. Lubang jebakan (4 perangkap persubpetak) terbuat dari gelas plastik berdiameter 75 mm,tinggi 100 mm dan bervolume 240 ml. Perangkaptersebut lalu diisi dengan larutan formalin 4% sebanyaksepertiga tinggi gelas plastik yang dipasang sejajardengan permukaan tanah untuk memudahkan seranggaterperangkap. Serangga predator yang tertangkaplubang jebakan disortasi, disaring dengan saringanukuran pori 1 mm, dibilas dengan air steril, laludimasukkan ked alam botol vial berisi alkohol 70%, untukselanjutnya diidentifikasi di bawah mikroskop dandihitung jumlah individunya di Laboratorium Entomologi,Jurusan Hama dan Penyakit, Tumbuhan FakultasPertanian, Universitas Sriwijaya.

Analisis Data. Data komposisi spesies dan jumlahindividu artropoda predator digunakan untuk menganalisiskelimpahan dan keanekaragaman spesies dan perbedaanantar perlakuan dianalisis menggunakan Chi Square.Ukuran keanekaragaman yang digunakan ialah indekskeanekaragaman Shannon Wiener, indeks dominasispesies Berger-Parker, indeks kemerataan spesiesPielou dan indeks kemiripan Sorensen.

Page 25: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

44 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 42 – 50

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kelimpahan dan Jumlah Spesies ArtropodaPredator. Kelimpahan atau jumlah individu laba-labapenghuni tajuk menurun secara signifikan setelah aplikasiB. thuringiensis pada tanaman padi dibandingkan tanpaaplikasi (kontrol), namun untuk kelimpahan serangga

predator penghuni tajuk tidak terpengaruh oleh aplikasibioinsektisida tersebut. Jumlah spesies atau kekayaanspesies serangga predator penghuni tajuk cenderungtidak dipengaruh aplikasi B. thuringiensis. Kelimpahandan jumlah spesies serangga netral turun secarasignifikan (Tabel 1).

Famili JS A JS B Chi Square P Value JI A JI B Chi Square P Value

Kelas Arachnida Araneidae 4 4 0,00tn 1,00 12 19 1,58tn 0,21 Lycosidae 11 10 0,04tn 0,82 22 22 0,00tn 1,00 Tetragnathidae 15 15 0,00tn 1,00 314 366 3,98tn 0,46 Lyniphiidae 12 14 0,15tn 0,69 63 84 3,00tn 0,08 Oxyopidae 10 9 0,05tn 0,81 47 35 1,76tn 0,19 Salticidae 2 2 0,00tn 1,00 2 2 0,00tn 1,00 Jumlah 54 54 0,00tn 1,00 460 528 4,68* 0,03 Serangga Predator COLEOPTERA Carabidae 3 4 0,14tn 0,70 4 4 0,00tn 1,00 Staphylinidae 5 5 0,00tn 1,00 29 35 0,56tn 0,45 Coccinellidae 8 7 0,06tn 0,79 51 56 0,23tn 0,63 Crysomicidae 3 4 0,14tn 0,70 3 4 0,14tn 0,70 ODONATA Coenagrionidae 5 5 0,00tn 1,00 34 42 0,84tn 0,36 Libellulidae 3 2 0,20tn 0,65 3 2 0,20tn 0,65 MANTODAE Mantidae 0 1 1,00tn 0,31 0 1 1,00tn 0,32 ORTHOPTERA Tettigonidae 5 5 0,00tn 1,00 28 31 0,15tn 0,70 Gryllidae 10 10 0,00tn 1,00 23 30 0,92tn 0,34 HEMIPTERA Pentatomidae 3 4 0,14tn 0,70 4 4 0,00tn 1,00 Jumlah 45 47 0,04tn 0,83 179 209 2,31tn 0,12 Serangga hama Delphacidae 8 9 0,05tn 0,80 13 28 5,49* 0,02 Cicadellidae 12 15 0,33tn 0,56 47 61 1,81tn 0,18 HEMIPTERA Alydidae 3 3 0,00tn 1,00 14 16 0,13tn 0,72 Pentatomidae 4 4 0,00tn 1,00 5 4 0,11tn 0,74 LEPIDOPTERA Pyralidae 5 4 0,11tn 0,73 6 4 0,40tn 0,53 Jumlah 32 35 0,13tn 0,71 85 113 3,95* 0,04 Serangga Netral HYMENOPTERA Formicidae 1 4 1,80tn 0,17 1 5 2,67tn 0,10 DIPTERA Muscidae 2 2 0,00tn 1,00 2 0 2,00tn 0,15 Serangga Lainnya 5 5 0,00tn 1,00 35 45 1,25tn 0,26

Jumlah 8 11 0,47tn 0,49 38 50 1,63tn 0,2

TOTAL 139 147 0,22tn 0,63 762 900 11,45* 0,0007

JS A: Jumlah spesies pada aplikasi bioinsektisida; JS B: Jumah spesies pada kontrol; JI A: Jumlah individu padaaplikasi bioinsektisida; JI B: Jumlah individu pada kontrol; Angka yang diikuti tanda * pada baris yang samamenunjukkan nilai berbeda nyata pada uji chi square 5%; tn: tidak berbeda nyata pada uji chi square 5%.

Tabel 1. Jumlah spesies dan jumlah individu (ekor/60 ayunan) (ekor/60 ayunan) artropoda tajuk di lahan padi yangdiaplikasikan bioinsektisida dan tanpa diaplikasikan bioinsektisida

Page 26: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Sunariah et al. Kelimpahan dan Kekayaan Spesies Artropoda Predator 45

Total populasi serangga hama turun secarasignifikan dari 113 ekor/60 ayunan menjadi 85 ekor/60ayunan setelah diaplikasikan B. thuringiensis (Tabel1). Penurunan total populasi serangga hama diikutidengan penurunan kelimpahan predatornya, yaitu laba-laba dari 528 ekor/60 ayunan menjadi 460 ekor/60ayunan. Penurunan kelimpahan laba-laba ini disebabkanoleh penurunan populasi serangga hama tersebut sebagaimangsanya. Nelly et al. (2012) dan Aswad et al. (2014)menyatakan fluktuasi kerapatan predator yang baikcenderung mengikuti fluktuasi mangsanya. Lebih khususlagi hasil riset Munyuli (2009) menemukan kelimpahanLycosidae cenderung akan mengikuti fluktuasi werengyang merupakan mangsanya. Pada penelitian ini, laba-laba penghuni tajuk dan laba-laba pemburu berfluktuasimengikuti fluktuasi mangsanya. Laba-laba cenderungberperan sebagai predator yang baik bila mengikuti polafluktuasi mangsanya. Widiarta et al. (2006) menyatakanperilaku laba-laba akan mengumpul pada habitat yangmangsanya berlimpah. Arofah et al. (2013)

menambahkan bahwa mangsa laba-laba adalahserangga hama padi, seperti wereng dan penggerekbatang.

Aplikasi B. thuringiensis tidak berpengaruh nyataterhadap jumlah spesies atau kekayaan spesies atropodapredator penghuni tanah, baik laba-laba maupunserangga predator. Aplikasi B. thuringiensis juga tidakberdampak terhadap penurunan populasi serangga netraldan serangga hama (Tabel 2). Serangga hama yangditemukan di permukaan tanah adalah kelompok jangkrikdan orong-orong. Dengan demikian, serangga hama yangada di permukaan tanah tidak efektif bila diaplikasi olehB. thuringiensis karena tidak berdampak terhadappenurunan populasinya. Dari fenomena ini tampakbahwa kelimpahan dan kekayaan spesies predatorpenghuni permukaan tanah tidak terpengaruh olehaplikasi B. thuringiensis sehingga relatif aman untukkehidupan predator permukaan tanah. Chen et al. (2006)melaporkan bahwa aplikasi tanaman yang mengandungB. thuringiensis tidak mempengaruhi secara nyata

JSA: Jumlah spesies pada aplikasi bioinsektisida, JSB: Jumah spesies pada kontrol; JIA: Jumlah individu padaaplikasi bioinsektisida; JIB: Jumlah individu pada kontrol; Angka yang diikuti tanda * pada baris yang samamenunjukkan nilai berbeda nyata pada uji chi square 5%; tn: tidak berbeda nyata pada uji chi square 5%.

Tabel 2. Jumlah spesies dan jumlah individu (ekor/60 ayunan) artropoda tanah di lahan padi yang diaplikasikanbioinsektisida dan tanpa diaplikasikan bioinsektisida

Famili JSA JSB Chi Square P Value JIA JIB Chi

Square P Value

Arachnida Lycosidae 14 15 0,03tn 0,85 54 60 0,32tn 0,57 Lyniphiidae 2 2 0,00tn 1,00 2 2 0,00tn 1,00 Salticidae 1 0 1,00tn 0,31 1 0 1,00tn 0,32 Jumlah 17 17 0,00tn 1,00 57 62 0,21tn 0,64 Serangga Predator Coleoptera Carabidae 15 14 0,03tn 0,82 81 88 0,29tn 0,59 Staphylinidae 5 6 0,09tn 0,76 8 7 0,07tn 0,80 Coccinellidae 1 4 1,80tn 0,17 1 5 2,67tn 0,10 Orthoptera Gryllidae 2 4 0,66tn 0,41 2 6 2,00tn 0,16 Jumlah 23 28 0,49tn 0,48 92 106 0,98tn 0,31 Serangga Hama Gryllotalpidae 5 5 0,00tn 1,00 18 22 0,40tn 0,52 Jumlah 5 5 0,00tn 1,00 18 22 0,40tn 0,52 Serangga Netral Hymenoptera Formicidae 13 17 0,53tn 0,46 67 87 2,60tn 0,11 Jumlah 13 17 0,53tn 0,46 67 87 2,60tn 0,11

TOTAL 58 117 5,80* 0,016 401 467 5,01* 0,02

Page 27: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

46 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 42 – 50

terhadap artropoda bukan sasaran seperti seranggapredator. B. thuringiensis cenderung spesifikmenyerang serangga hama dari Ordo Lepidoptera.

Pada penelitian di sawah lebak ini apabila datakelimpahan artropoda predator tajuk dibandingkandengan artropoda predator tanah (Tabel 1 dan 2), makaada temuan yang menarik berupa dominasi famili tertentupada masing-masing habitat tersebut. Pada laba-labapenghuni tajuk didominasi oleh Tetragnathidae,sedangkan serangga predator penghuni tajuk didominasioleh Coccinellidae. Hasil ini sejalan dengan hasilpenelitian Khodijah (2014) di sawah pasang surut. Padapenelitian ini, laba-laba penghuni permukaan tanahsawah lebak didominasi oleh Lycosidae, sedangkanserangga predator permukaan tanah didominasi olehCarabidae. Dominasi Lycosidae dan Carabidae inidilaporkan juga oleh Khodijah et al. (2012) dan Herlindaet al. (2014) di permukaan tanah sawah daerah pasangsurut.

Karakteristik Komunitas Artropoda Predator. Padapengamatan setiap dua minggu sekali, jumlah individupredator penghuni tajuk cenderung mengalami penurunan

setelah aplikasi B. thuringiensis (Tabel 3), sedangkanpada predator penghuni tanah tidak menunjukkankecenderungan adanya penurunan kelimpahanpredatornya (Tabel 4). Keanekaragaman spesiesartropoda predator baik penghuni tajuk dan tanahcenderung tidak menurun setelah diaplikasi B.thuringiensis. Penurunan predator penghuni tajuk padapenelitian ini bukan karena terbunuh oleh B.thuringiensis tetapi disebabkan oleh menurunnyapopulasi mangsa pada Tabel 1. Raps et al. (2001) danMulyaningsih et al. (2009) menyatakan B. thuringiensistidak membunuh serangga dan artropoda bukan sasaran,seperti artropoda predator.

Komposisi Kelompok Artropoda. Komposisiartropoda yang ditemukan pada tajuk padi sawah lebakterdiri dari laba-laba, serangga predator, serangga hama,dan serangga netral, untuk parasitoid tidak diamati padapenelitian ini. Komposisi artropoda penghuni tajuk dilahan padi yang diaplikasikan bioinsektisida menunjukkanpersebaran berdasarkan komposisi artropoda, yaitu laba-laba 60%, serangga predator 24%, serangga hama 11%,dan serangga netral 5%. Untuk total jumlah artropoda

Tabel 3. Karakteristik komunitas artropoda predator yang aktif di tajuk tanaman padi yang diaplikasikan bioinsektisidadan tanpa diaplikasikan bioinsektisida

Umur tanaman (mst) Karakteristik Komunitas Bioinsektisida (Bt) Kontrol

2

Jumlah Individu (N) 89,00 108,00 Indeks Keanekaragaman (H') 1,98 1,80 Indeks Dominasi (d) 0,39 0,49 Indeks Kemerataan (E) 0,80 0,73

4

Jumlah Individu (N) 147,00 151,00 Indeks Keanekaragaman (H') 1,57 1,71 Indeks Dominasi (d) 0,59 0,58 Indeks Kemerataan (E) 0,63 0,67

6

Jumlah Individu (N) 124,00 147,00 Indeks Keanekaragaman (H') 1,74 2,04 Indeks Dominasi (d) 0,56 0,50 Indeks Kemerataan (E) 0,76 0,80

8

Jumlah Individu (N) 120,00 156,00 Indeks Keanekaragaman (H') 2,05 2,09 Indeks Dominasi (d) 0,45 0,46 Indeks Kemerataan (E) 0,78 0,79

10

Jumlah Individu (N) 161,00 179,00 Indeks Keanekaragaman (H') 2,23 2,15 Indeks Dominasi (d) 0,42 0,44 Indeks Kemerataan (E) 0,85 0,81

Rata-rata

Jumlah Individu (N) 128,00 148,00 Indeks Keanekaragaman (H') 1,91 1,96 Indeks Dominasi (d) 0,48 0,49 Indeks Kemerataan (E) 0,76 0,76

Page 28: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Sunariah et al. Kelimpahan dan Kekayaan Spesies Artropoda Predator 47

predator penghuni tajuk menempati 84% lahan padi yangdiaplikasikan B. thuringiensis, sedangkan pada lahanyang tidak diaplikasikan total jumlah artropoda predator(laba-laba dan serangga predator) adalah 81% (Gambar

1). Untuk artropoda penghuni permukaan tanah jelasdidominasi oleh laba-laba dan serangga predator, baikpada petak yang diaplikasi B. thuringiensis maupunpetak kontrol (Gambar 2). Pada penelitian ini jelas

Gambar 1. Komposisi artropoda tajuk di lahan padi berdasarkan tingkat tropik umur 2-10 minggu setelah tanam(mst) (A) diaplikasikan bioinsektisida (B) tanpa diaplikasikan bioinsektisida

BA

Umur tanaman (mst) Karakteristik Komunitas Bioinsektisida (Bt) Kontrol

2

Jumlah Individu (N) 33,00 26,00 Indeks Keanekaragaman (H') 2,21 1,04 Indeks Dominasi (d) 0,61 0,50 Indeks Kemerataan (E) 1,37 0,75

4

Jumlah Individu (N) 30,00 44,00 Indeks Keanekaragaman (H') 0,69 1,67 Indeks Dominasi (d) 0,53 0,98 Indeks Kemerataan (E) 1,00 0,93

6

Jumlah Individu (N) 33,00 30,00 Indeks Keanekaragaman (H') 0,88 1,05 Indeks Dominasi (d) 0,61 0,70 Indeks Kemerataan (E) 0,64 0,76

8

Jumlah Individu (N) 26,00 29,00 Indeks Keanekaragaman (H') 1,41 0,94 Indeks Dominasi (d) 0,52 0,52 Indeks Kemerataan (E) 0,87 0,68

10

Jumlah Individu (N) 27,00 39,00 Indeks Keanekaragaman (H') 1,26 1,61 Indeks Dominasi (d) 0,44 0,46 Indeks Kemerataan (E) 0,91 0,90

Rata-rata

Jumlah Individu (N) 30,00 34,00 Indeks Keanekaragaman (H') 1,29 1,26 Indeks Dominasi (d) 0,54 0,63 Indeks Kemerataan (E) 0,96 0,80

Tabel 4. Karakteristik komunitas artropoda predator yang aktif di tanah tanaman padi yang diaplikasikan bioinsektisidadan tanpa diaplikasikan bioinsektisida

Page 29: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

48 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 42 – 50

memperlihatkan bahwa aplikasi B. thuringiensis tidakmenyebabkan dominasi serangga hama tapi tetapdidominasi oleh kelompok predator. Herlinda et al.(2004) menemukan fenomena yang sejalan dengan hasilriset ini, yaitu pada lahan tanaman padi sawah irigasijuga didominasi oleh artropoda predator, baik laba-labamaupun serangga predator. B. thuringiensis menurutSenewe et al. (2013) efektif membunuh serangga hamaspesifik seperti kelompok Lepidoptera dan tidakmembahayakan artropoda bukan sasaran.

SIMPULAN

Kelimpahan laba-laba penguni tajuk menurunsecara signifikan setelah aplikasi B. thuringiensis padatanaman padi dibandingkan tanpa aplikasi (kontrol),namun untuk kelimpahan serangga predator penghunitajuk tidak terpengaruh oleh aplikasi bioinsektisidatersebut. Aplikasi B. thuringiensis tidak berpengaruhnyata terhadap kekayaan spesies atropoda predatorpenghuni tanah, laba-laba dan serangga predator. Dengandemikian, aplikasi B. thuringiensis tidak menurunkankelimpahan dan kekayaan spesies artropoda predatoryang menghuni di permukaan tanah dan seranggapredator tajuk.

SANWACANA

Penelitian ini dibiayai oleh Program IbM, DP2M,Ditjen Dikti, Kemendikbud Tahun Anggaran 2014 a.nSiti Herlinda untuk itu kami mengucapkan terima kasihkepada DP2M, Ditjen Dikti, Kemendikbud.

A B

Gambar 2. Komposisi artropoda tanah di lahan padi berdasarkan tingkat tropik umur 2-10 minggu setelah tanam(A) diaplikasikan bioinsektisida (B) tanpa diaplikasikan bioinsektisida

DAFTAR PUSTAKA

Arofah S, Trisnawati I, & Tjahjaningrum D. 2013.Pengaruh habitat termodifikasi menggunakanserai terhadap serangga herbivora danproduktivitas padi varietas IR-64 di DesaPurwosari, Pasuruan. J. Sains dan Seni Pomits2(2): 2337–3520.

Aswad M, Koneri R, Saroyo, & Siahaan P. 2014.Komunitas laba-laba (Arachnida: Araneae) padalahan perkebunan di kawasan Taman NasionalBogani Nani Wartabone Sulawesi Utara. J. MipaUnsrat 3(2): 64–67.

Bernal CC, Aguda RM, & Cohen MB. 2002. Effect ofrice lines transformed with Bacillusthuringiensis toxin genes on the brownplanthopper and its predator Cyrtorhinuslividipennis. Entomol. Exp. Appl. 102: 21–28.

Chen M, Ye GY, Liu ZC, Yao HW, Chen XX, ShenZC, Hu C, & Datta SK. 2006. Field assessmentof the effects of transgenic rice expressing a fusedgene of cry1Ab and cry1Ac from Bacillusthuringiensis Berliner on nontarget planthopperand leafhopper populations. Environ. Entomol.35(1): 127–134.

Effendy, Hety U, Herlinda S, Irsan C, & Thalib R. 2013.Analisis kemiripan komunitas artropoda predatorhama padi penghuni permukaan tanah sawah rawalebak dengan lahan pinggir di sekitarnya. J.Entomol. Indones. 10(2): 60–68.

Page 30: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Sunariah et al. Kelimpahan dan Kekayaan Spesies Artropoda Predator 49

Hasyim A. 2006. Evaluasi bahan carrier dalampemanfaatan jamur entomopatogen, Beauveriabassiana (Balsamo) Vuillemin untukmengendalikan hama penggerek bonggol pisang,Cosmopolites sordidus GERMAR. J. Hort.16(3): 202–210.

Herlinda S. 2010. Spore density and viability ofentomopathogenic fungal isolates from Indonesia,and their virulence against Aphis gossypii Glover(Homoptera: Aphididae). Trop. Life Sci. Res.21(1): 11–19.

Herlinda S, Dewi R, Adam T, Suwandi, & Wijaya A.2015a. Struktur komunitas laba-laba di ekosistempadi ratun: pengaruh aplikasi Beauveria bassiana(Balsamo). J. Entomol. Indones. 12(2): 91–99.

Herlinda, Kusuma A, Suwandi, & Wijaya A. 2015b.Perbandingan efek pemberian bioinsektisida danekstrak kompos terhadap produksi padi ratun danpopulasi serangga hama. J. Agron. Indones.43(1): 23–28.

Herlinda S, Manalu HCN, Aldina RF, Suwandi, WijayaA, Khodijah, & Meidalima D. 2014. Kelimpahandan keanekaragaman spesies laba-laba predatorhama padi ratun di sawah pasang surut. J. HPTTropika 14(1): 1–7.

Herlinda S, Rauf A, Sosromarsono S, KartosuwondoU, Siswadi, & Hidayat P. 2004. Artropodapredator penghuni ekosistem persawahan didaerah Cianjur, Jawa Barat. J. Entomol.Indones. 1(1): 9-15.

Herlinda S, Rauf A, Sosromarsono S, KartosuwondoU, Siswadi, & Hidayat P. 2004. Artropoda musuhalami penghuni ekosistem persawahan di daerahCianjur, Jawa Barat. J. Entomol. Indones. 1(1):9–15.

Herlinda S, Waluyo, Estuningsih SP, & Irsan C. 2008.Perbandingan keanekaragaman spesies dankelimpahan arthropoda predator penghuni tanahdi sawah lebak yang diaplikasi dan tanpa diaplikasiinsektisida. J. Entomol. Indones. 5(2): 96–107.

Khodijah, Herlinda S, Irsan C, Pujiastuti Y, & Thalib R.2012. Artropoda predator penghuni ekosistempersawahan lebak dan pasang surut SumateraSelatan. J. Lahan Suboptimal 1(1): 57–63.

Khodijah. 2014. Kelimpahan relatif laba-laba predatordi tajuk tanaman padi yang diaplikasikanbioinsektisida di daerah pasang surut. J. IlmiahAgrIBA 2(1): 122–129.

Latoantja AS, Hasriyanti, & Anshary A. 2013.Inventarisasi artropoda pada permukaan tanah dipertanaman cabai (Capsicum annum L.). e-J.Agrotekbis 1(5): 406–412.

Mulyaningsih ES, Deswina P, & Slamet-Loedin IH.2009. Dampak padi transgenik mengekspresikangen CrylA(b) untuk ketahanan terhadappenggerek batang di lapangan terbatas tehadapserangga bukan sasaran. J. HPT Tropika 9(2):85–91.

Munyuli T. 2009. Is Pardosa pseudoannulata aneffective predator agent of Aphis craccivora inUganda and in Democratic Republic of Congo?Tunisian J. Plant Protect. 4(1): 91–98.

Nelly N, Trizelia, & Syuhadah Q. 2012. Tanggapfungsional Menochilus sexmaculatus Fabricius(Coleoptera: Coccinellidae) terhadap Aphisgossypii (Glover) (Homoptera: Aphididae) padaumur tanaman cabai berbeda. J. Entomol.Indones. 9(1): 23–31.

Nunilahwati N, Herlinda S, Irsan C, & Pujiastuti Y. 2012.Eksplorasi, isolasi, dan seleksi jamurEntomopatogen Plutella xylostella (Lepidoptera:Yronomeutidae) pada pertanaman caisinBrassica chinensis di Sumatera Selatan. J. HPTTropika 12(1): 1–11.

Raps A, Kehr J, Gugerli P, Moar WJ, & Bigler F &Hilbeck A. 2001. Immunological analysis ofphloem sap of Bacillus thuringiensis corn andof the nontarget herbivore Rhopalosiphum padi(Homoptera: Aphididae) for the presence ofCry1Ab. Mol. Ecol. 10(2): 525–533.

Senewe RE, Wagiman FX, & Wiryadiputra S. 2013.Tingkat keefektifan formulasi bioinsektisidaBacillus thuringiensis terhadap hama penggerekbuah kakao pada kondisi di lapangan. PelitaPerkebunan 29(2): 108–119.

Udiarto BK, Hidayat P, Rauf A, Pudjianto, & HidayatSH. 2012. Kajian potensi predator Coccinellidaeuntuk pengendalian Bemisia tabaci (Gennadius)pada cabai merah. J. Hort. 22(1): 76–84.

Uhan TS & Sulastrini I. 2008. Efektivitas aplikasikombinasi Steinernema carpocapsae danbiopestisida Bacillus thuringiensis terhadapmortalitas Crocidolomia pavonana F padatanaman kubis di rumah kaca. J. Hort. 18(1): 38–45.

Page 31: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

50 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 42 – 50

Widiarta IN, Kusdiaman D, & Suprihanto. 2006.Keragaman arthropoda pada padi sawah denganpengelolaan tanaman terpadu. J. HPT Tropika6(2): 61–69.

Wilyus, Nurdiansyah F, Johari A, Herlinda S, & PujiastutiY. 2013. Keanekaragaman, dominasi, persebaranspesies penggerek batang padi dan serangannyapada berbagai tipologi lahan di Provinsi Jambi. J.HPT Tropika 13(1): 87-95.

Winasa IW & Rauf A. 2005. Pengaruh sampling aplikasideltramin terhadap artropoda predator penghunipermukaan tanah di pertanaman kedelai. J.Entomol. Indones. 2(1): 39–47.

Page 32: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Ratna et al. Pengaruh Dosis Subletal Imidakloprid 51J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525Vol. 16, No. 1: 51 – 60, Maret 2016

PENGARUH DOSIS SUBLETAL IMIDAKLOPRIDTERHADAP KESINTASAN POPULASI WERENG COKLAT

PADA VARIETAS PADI RENTAN DAN TAHAN

Endang Sri Ratna1, Angga Satria Firmansyah1, & Rahmini2

1Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,Jl. Kamper, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680

2Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Jalan Raya Sukamandi No 9, Sukamandi, Subang.E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Sublethal dose effect of imidacloprid on the survival of brown planthoppers on resistant and susceptible rice varieties.Imidacloprid insecticides and resistant rice varieties are commonly used to control the the rice brown planthopper (BPH)Nilaparvata lugens in the field. The aim of this research was to evaluate the resistance of N. lugens to imidacloprid and theinfluence of sublethal dose of the insecticide applied to a certain resistant rice varieties on the survival of BPH. The experimentwas conducted in a greenhouse trial at Indonesian Center for Rice Research, Sukamandi, West Java. Each pair of adult BPHwere infested on three rice varieties Ciherang, Inpari 13, and Pelita, and then followed by spraying five doses of imidacloprid.The the effective dose rate of imidacloprid on BPH was determined by the value of LD

95 compared with the recommended dose

(20 g a.i. ha-1). The nymphal survival was concidered as a result of the applied sublethal doses. The numbers of nymphalprogenies were observed until two peaks populations of both first and second generations. The insecticide then was appliedat LD

50 dose equivalent on adult BPH of the second generation. The number of laid eggs and the abnormal egg shapes were

counted. Imidacloprid doses that were unefffective against BPH showed by the values of LD95

were 1224.3, 2799.0, dan 4692.8g a.i. ha-1 at Ciherang, Inpari 13 dan Pelita rice varieties, respectively. Seven days after application of imidacoprid, about 70-90% of adult BPH still survived. Sublethal dosages of imidacloprid tended to increase the survival of BPH on a resistant ricevariety of Inpari 13, as reflected by the number of nymphal progeny of 156-169 BPH/plant at the first population peak.Imidacloprid treatment increased the number of laid egg, but had no effect on the egg sterility.

Key words: effectiveness, Nilaparvata lugens, oviposition, population survival

ABSTRAK

Pengaruh dosis subletal imidakloprid terhadap kesintasan populasi wereng coklat pada varietas padi rentan dan tahan.Insektisida imidakloprid dan varietas padi tahan wereng sering digunakan untuk mengendalikan populasi hama werengbatang coklat (WBC) Nilaparvata lugens di lapangan. Penelitian ini bertujuan menguji tingkat ketahanan WBC terhadapinsektisida imidakloprid dan pengaruh dosis subletal terhadap sintasan populasi WBC pada varietas padi yang telah diketahuitipe ketahanannya. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Pusat Penelitian Padi Indonesia, Sukamandi. Sepasang imago WBCdiinfestasikan pada tiga varietas padi (Ciherang, Inpari 13, dan Pelita), kemudian diberi lima dosis perlakuan imidakloprid.Keefektifan imidakloprid terhadap WBC ditentukan dari nilai LD

95 relatif terhadap dosis anjuran penggunan di lapangan 20 g

b.a./ha. Nimfa yang lolos hidup dari pengujian ini dianggap sebagai perlakuan dosis subletal pada pengujian selanjutnya.Jumlah nimfa diamati hingga dua puncak populasi generasi ke-1 dan ke-2. Dosis perlakuan LD

50 diujikan kembali pada imago

WBC generasi ke-2. Jumlah telur yang diletakkan dan bentuk telur abnormal dihitung. Imidakloprid tidak efektif mengendalikanWBC, ditunjukkan dengan nilai LD

95 berturut-turut sebesar 1224.3, 2799.0, dan 4692.8 g b.a./ha pada varietas Ciherang, Inpari

13, dan Pelita. Setelah 7 hari perlakuan imidakloprid, sekitar 70-90% imago WBC masih bertahan hidup. Dosis subletalimidakloprid cenderung meningkatkan sintasan WBC pada varietas tahan Inpari 13 yang tercermin dari capaian jumlah nimfa156-169 ekor/rumpun pada puncak populasi pertama. Dosis subletal imidakloprid memicu peletakan jumlah telur, namun tidakberpengaruh terhadap fertilitas telur WBC.

Kata kunci: keefektifan, Nilaparvata lugens, oviposisi, sintasan populasi

Page 33: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

52 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 51 - 60

PENDAHULUAN

Insektisida organik sintetik, salah satu diantaranyaadalah anggota dari kelompok senyawa neonikotinoidhingga kini masih digunakan untuk mengendalikan hamapada tanaman padi (Cox, 2001; Ghosh et al., 2014).Pada umumnya, penggunaan insektisida yang kurangtepat seringkali menimbulkan kasus resurjensi sepertipada wereng batang coklat (WBC) Nilaparvala lugensStål (Chelliah & Heinrichs, 1980; Reissig et al., 1982;Gu et al., 1984; Gao et al., 1988; Wang et al., 1994).Dosis subletal insektisida dilaporkan dapatmengakibatkan peningkatan pertumbuhan danproduktivitas hama (Bao et al., 2009; Chelliah &Heinrichs 1980; Heinrich & Mochida, 1984). Kejadianresurjensi akibat penggunaan insektisida ini di lapanganditandai dengan berkurangnya musuh alami danpeningkatan fekunditas hama (Fabellar & Heinrich,1986; Gao et al., 1988).

WBC kini telah menjadi hama penting danendemis di Indonesia. Menurut Bottrell & Schoenly(2012), hama ini mulai menjadi masalah serius padabudidaya padi sejak adanya gerakan revolusi hijau. Nimfadan imago WBC hidup berkelompok dan mengisap cairantanaman pada bagian pangkal rumpun tanaman padi,sehingga menyebabkan kerusakan ekonomi yang parah(Baehaki, 2011). Gelaja kerusakan oleh populasi WBCyang tinggi dapat mengakibatkan hopperburn, yaitudaun mengering dan rumpun padi kerdil, sehinggatanaman menjadi puso. Penggunaan insektisidaimidakloprid masih menjadi andalan utama dalampengendalian WBC (Wen et al., 2009). Oleh karenaitu, beberapa kasus resurjensi telah dilaporkan karenaterbentuknya populasi resisten akibat penggunaaninsektisida imidakloprid dan piretroid yang berlebihan dilapangan (Liu et al., 2003; Nauen & Denholm, 2005;Matsumura et al., 2008; Matsumura et al., 2009). Kasusresistensi WBC terhadap imidakloprid telah banyakdilaporkan di daerah Cina dan Asia Tenggara, namunbelum terdeteksi di India dan Filipina (Ghosh et al., 2014;Matsumura et al., 2008). Peningkatan tingkat resistensiWBC mencapai 14 kali lipat setelah 27 generasi (Wanget al., 2008) atau bahkan hingga 250 kali lipat setelah37 generasi (Liu & Han, 2006). Hal ini sering dikaitkandengan tingginya frekuensi aplikasi insektisidaimidakloprid di lapangan. Resurgensi populasi WBC jugadapat dipicu karena sifat ketidak stabilan tingkatresistensinya yang sangat tinggi pada populasi lapangdisertai tingkat kerentanannya yang cepat pulih saat tidakterpapar imidakloprid (Wen et al., 2009; Liu & Han,2006; Yang et al., 2014).

Pengendalian populasi WBC selain menggunakaninsektisida sering dikaitkan dengan seleksi ketahanandan kerentanan tanaman terhadap wereng tersebut (Yinet al., 2008). Seperti contohnya insektisida deltametrindapat meningkatkan populasi WBC pada varietas padirentan dibandingkan padi tahan. Azzam et al. (2011)melaporkan bahwa penggunaan insektisida imidaklopriddapat berpotensi meningkatkan populasi WBC padavarietas tahan. Cheng et al. (2012) melaporkan bahwaimidakloprid dapat mengubah kerentanan tanamanterhadap serangan WBC. Penggunaan insektisida yangsangat intensif dilakukan oleh petani yang umumnyamenanam varietas tersebut diatas diduga dapatmengubah respons ketahanan terhadap serangan WBCyang berimplikasi pada peningkatan populasinya dilapangan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujiantingkat keefektifan imidakloprid terhadap WBC sertaimplikasi dosis subletal terhadap pertumbuhan populasi,jumlah peletakan telur dan abnormalitas bentuk telurWBC pada varietas rentan maupun tahan.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilaksanakan dirumah kaca Balai Besar Padi, Sukamandi, KabupatenSubang. Penelitian dilakukan mulai bulan Februari 2014sampai dengan Juni 2014.

Penyediaan Tanaman Padi. Tiga varietas padi (Oryzasativa L.), yaitu Ciherang, Inpari 13, dan Pelita digunakanuntuk pemeliharaan wereng dan pengujian insektisida.Varietas Ciherang diketahui tahan terhadap biotipe 2 danagak tahan terhadap biotipe 3 (Suprihatno et al., 2009),sedangkan Inpari 13 diketahui tahan dan Pelita rentanterhadap tiga biotipe wereng coklat, yaitu biotipe 1, 2,dan 3 (Rahmini et al., 2012). Benih padi diperoleh dariBalai Besar Padi, Sukamandi. Setiap dua batang benihditanam di dalam ember plastik berisi tanah sawahberdiameter 30 cm yang disungkup kurungan plastiksilinder bertutupkan kain kasa setinggi 100 cm. Tanamanpadi dipelihara sebaik-baiknya dengan dilakukanpenyiraman setiap dua hari sekali dan pemberian pupukurea dan SP-36 dengan dosis sebesar 100 kg/ha dan100 kg/ha pada 2 dan 4 MST.

Penyediaan Wereng Batang Coklat. Nimfa instar 3dan 4 wereng batang coklat (WBC) Nilaparvata lugensStål dikoleksi dari populasi lapang pada pertanaman padivarietas Ciherang di daerah Sukamandi, KabupatenSubang. Nimfa tersebut kemudian dipelihara dandiperbanyak di rumah kaca setiap varietas uji tersebut

Page 34: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Ratna et al. Pengaruh Dosis Subletal Imidakloprid 53

di dalam sebuah ember bersungkup kain kasa hinggaterbentuk imago. Imago yang baru berganti kulitdigunakan sebagai serangga uji.

Keefektifan Insektisida ImidaklopridMengendalikan Populasi WBC. Lima dosisinsektisida berbahan aktif imidakloprid berturut-turut3200, 1600, 800, 400, 200, dan 0 g/ha (kontrol)diaplikasikan melalui metode penyemprotan padatanaman berumur 4 MST yang telah diinfestasi sepasangimago WBC brakiptera di dalam ember yang disungkupkain kasa. Dosis perlakuan tersebut ditentukan melaluiuji pendahuluan pada varietas Ciherang dengan mengacupada dosis anjuran insektisida bersimbol formulasi 5 WPtertulis di dalam label pestisida, yaitu 400 g/ha atau setaradengan 20 g bahan aktif/ha dengan harapan dapatmematikan sebagian besar (95%) populasi wereng uji.Pengacuan pada dosis anjuran digunakan untukmenentukan keefektifan insektisida yang diaplikasikan(Ahmed et al., 2014). Aplikasi insektisida dilakukansetelah 24 jam wereng tersebut dinfestasikan padatanaman uji. Kelima dosis perlakuan dan kontrol di atasmasing-masing diaplikasikan pada tiga varietas padidengan ulangan 10 kali. Kematian WBC diamati dandicatat pada 24 jam, 48 jam dan 72 jam setelah perlakuan(JSP) insektisida. Data mortalitas WBC uji yangdiperoleh pada 72 JSP diolah melalui analis probit (LeOraSoftware, 1987). Tingkat mortalitas WBC ditentukandengan nilai LD

50 dan LD

95. Nilai LD

50 digunakan untuk

acuan perlakuan berikutnya, sedangkan nilai LD95

digunakan untuk menentukan tingkat keefektifanimidakloprid terhadap WBC dengan membandingkannyapada dosis anjuran.

Monitoring Sintasan Populasi WBC PerlakuanSubletal Imidakloprid. WBC yang berhasil lolos daripaparan kelima dosis perlakuan insektisida di atasdipelihara lebih lanjut hingga populasi berkembang padamasing-masing varietas tanaman. Jumlah populasi WBCyang berkembang diamati dan dihitung dengan bantuan

alat hand tally counter setiap minggu hingga akhirpercobaan. Puncak populasi generasi pertama dankedua setelah aplikasi imidakloprid pada ketiga varietaspadi tersebut di atas dihitung dan dibandingkan rata-ratajumlah nimfa dan simpangan bakunya, denganmenggunakan program Microsof Excel 97-2004.

Aplikasi Dosis Subletal Imidakloprid terhadapPeletakkan Telur Wereng. Setiap dosis insektisidayang ditentukan dari nilai LD

50 hasil analisis probit pada

pengujian masing-masing tiga varietas padi di atasdiaplikasikan pada koloni WBC generasi ke-2 hasilperlakuan sebelumnya. Setiap 10 induk betinadinfestasikan pada tiga varietas padi perlakuan yangmasing-masing disertakan perlakuan kontrol. Peletakanwereng pada tanaman sama seperti pengujian di atas.Telur yang diletakkan oleh betina yang berhasil lolos hidupdiamati pada 72 JSP dengan cara membedah jaringantanaman padi dan mengamatinya di bawah mikroskopbinokuler. Jumlah telur yang diletakkan oleh betinadihitung menggunakan hand tally counter.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keefektifan Wereng terhadap InsektisidaImidakloprid. Berdasarkan hasil aplikasi imidaklopridterhadap populasi WBC yang diinfestasikan pada tigavarietas padi agak tahan Ciherang, tahan Inpari 13, danrentan Pelita menunjukkan bahwa di lapangan terjadipeningkatan ketahanan WBC terhadap insektisidatersebut (Tabel 1). Kinerja bahan aktif imidaklopridditunjukkan dengan mortalitas WBC yang mulai terjadipada 24 jam setelah perlakuan (JSP) dan optimal dicapaipada 72 JSP. Nilai LD

50berturut-turut paling tinggi

dijumpai pada perlakuan penyemprotan WBC uji padakultivar tanaman Pelita, Inpari 13, dan terendah padaCiherang yaitu sebesar 4.441, 1.289, dan 1.033 g/ha.Keefektifan insektisida dinyatakan dalam nilai LD

95 yang

masing-masing menunjukkan penurunan dibandingkandosis anjuran, yakni 400 g/ha. Dosis insektisida

Tabel 1. Toksisitas insektisida imidakloprid terhadap imago wereng coklat pada 72 JSP

Varietas a ± GB b ± GBLD50 (SK 95%)

(g/ha)LD95 (SK 95%)

(g/ha)

Perbandingandosis anjurandengan LD95*

Inpari 13 -4,00 ± 1,36 1,29 ± 0,45 1289 (766-2605) 24486 (7347-0,17E) 1 : 61Ciherang -5,26 ± 1,03 1,74 ± 0,35 1033 (612,2-1986,4) 5598 (-) 1 : 14Pelita -3,52 ± 1,43 0,97 ± 0,46 4441 (2404,1-20306) 93857 (-) 1 : 235

a = intersep regresi probit, b = kemiringan regresi probit, GB = galat baku, SK 95% = nilai kisaran dosis padaselang kepercayaan 95%. * Dosis anjuran aplikasi = 400 g/ha.

Page 35: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

54 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 51 - 60

imidakloprid yang diaplikasikan pada WBC memberikanrespon ketahanan yang agak berlainan saat dinfestasikanpada varietas tanaman berbeda. Kinerja imidaklopriddalam menekan populasi WBC yang diinfestasikan padatanaman rentan Pelita menunjukkan tingkatketidakefektifan paling tinggi 235 kali lipat dibandingkanpada tanaman tahan Inpari 13 dan Ciherang yang relatiflebih rendah berturut-turut 61 dan 14 kali lipat setelahdiberi perlakuan insektisida. Ketidakefektifan perlakuanimidakloprid pada percobaan ini diduga karena WBC dilapangan khususnya di daerah Subang sudah resistenterhadap insektisida tersebut. Resistensi insektisidadinyatakan sebagai perubahan sensitifitas populasi hamayang diwariskan, tercermin dari berulangnyaketidakberhasilan pengendalian yang diharapkan saatmenggunakan produk pestisida pada label yangdirekomendasikan terhadap hama tersebut (IRAC,(2007). Perkembangan resistensi WBC terhadapinsektisida imidakloprid sangat berkaitan denganpenggunaan bahan kimia tersebut diaplikasikan dilapangan, terutama populasi gen resisten meningkatdengan pesat setelah penggunaan secara kontinyu palingsedikit selama 13 tahun (Wang et al., 2008). Potensikeberadaan populasi resisten terhadap imidakloprid dilapangan sangat tinggi terjadi di Indonesia, mengingatinsektisida tersebut telah digunakan petani untukmengendalikan WBC sejak tahun 1994 (Cox, 2001).

WBC yang diujikan pada tanaman rentan Pelitamenunjukkan peningkatan ketahanan yang paling nyatabila dibandingkan varietas tahan Inpari 13. Hal ini didugabahwa tubuhnya mendapatkan nutrisi yang relatif baikdan mengalami pemulihan kebugaran pada tanamanvarietas rentan, sehingga lebih tahan terpapar olehtekanan perlakuan pestisida. Menurut Raymond et al.(2011), serangga yang memiliki gen resisten terhadapinsektisida apabila dipaparkan pada varietas tanamanrentan, kemudian diberi perlakuan insektisida, makatingkat keberhasilan hidup serangga tersebut menjadilebih tinggi. WBC yang diberi pakan tanaman varietas

rentan menyebabkan peningkatan populasi brakhipteraserta percepatan reproduksi (Yin et al., 2008) dan halini dapat dikaitkan dengan kemampuan makan yangtinggi dibandingkan varietas tanaman tahan (Cruz et al.,2011; Rahmini et al., 2012). Menurut Liu & Han (2006),kebugaran WBC pada varietas rentan lebih tinggi 5-10kali lipat dibandingkan varietas tahan. Ketahanan WBCterhadap imidakloprid pada varietas Ciherang lebihrendah dibandingkan Inpari 13, diduga karena werengini berasal dari populasi lapangan pada tanaman yangsama. Selain itu WBC uji yang digunakan pada perlakuantelah beradaptasi 10 tahun dengan kondisi lapangansetelah pelepasan varietas yang pada saat tersebutdianggap tahan dibandingkan Inpari 13 yang relatif palingbaru. Pemeliharaan WBC saat perbanyakan tanpaterpapar insektisida diduga memberikan adaptasifisiologi, sehingga memberikan respon berbeda terhadapkebugarannya yang dalam hal ini tidak dapat dijelaskandengan pasti. Walaupun demikian, resistensi werengterhadap imidakloprid terbentuk akibat penggunaannyayang sering dilakukan di lapangan (Wang et al., 2008),sedangkan penghentian pemaparannya dapat dengancepat memulihkan kerentanannya terhadap insektisidatersebut (Liu & Han, 2006). Hal ini mengindikasikanbahwa respon penurunan ketahanan wereng terhadapinsektisida dinduksi oleh adaptasi tanaman tahan dilapangan.

Pengaruh Subletal Dosis Imidakloprid terhadapSintasan Populasi Wereng. Persentase imago WBCyang bertahan hidup pada minggu pertama pengamatansetelah perlakuan insektisida imidakloprid ditunjukkanpada Tabel 2. Perlakuan dosis tertinggi imidakloprid (3200g/ha) menghasilkan keloloshidupan WBC terendah, yakni20% pada varietas tahan dan 45% pada varietas rentanyang relatif sangat berbeda dibandingkan kontrol yangmencapai kisaran 85-90%. Keloloshidupan tertinggiWBC uji dijumpai pada varietas Inpari 13 dan Ciherangyakni pada dosis 400 g/ha masing masing sebesar 70%

Tabel 2. Jumlah induk wereng yang bertahan hidup satu minggu setelah berhasil terseleksi dari dosis letal imidakloprid

Dosis insektisida (g/ha)Persentase wereng hidup (%)

Inpari 13 Ciherang Pelita

Imidakloprid 3200 20 0 451600 40 40 60800 60 45 80400* 70 90 75200 60 85 75

Kontrol 0 85 90 90

* dosis anjuran aplikasi yang digunakan petani.

Page 36: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Ratna et al. Pengaruh Dosis Subletal Imidakloprid 55

hingga 90%, sedangkan pada varietas Pelita pada dosis800 g/ha. Walaupun terdapat perkecualian bahwakeloloshidupan yang menurun pada dosis 200 g/h, didugakarena variasi kebugaran tubuh individu WBC uji yangtidak seragam, mengingat sumber wereng uji diambillangsung dari populasi lapang. Hal ini menunjukkanbahwa semakin tinggi dosis perlakuan semakin rendahpopulasi WBC yang bertahan hidup. Dengan demikian,daya racun imidakloprid masih bertahan di dalam tubuhWBC hingga hari ketujuh. Imidakloprid dapat bertahandengan waktu paruh akibat fotolisis selama 39 hari dipermukaan tanah dan 26,5-229 hari dalam keadaanterikat di dalam butiran tanah (Fossen, 2006). Hasilpenelusuran dengan atom C14 radioaktif, berturut-turut94-96%, 77-88%, dan 53-62% molekul kimia imidaklopridmasih terdeteksi di dalam tanah pot yang ditanamitanaman kapas setelah 7, 14 dan 21 hari aplikasi, dansekitar 1,8 -6,8% berfluktuasi diserap oleh tanaman (El-Hamady et al., 2008).

Jumlah populasi nimfa WBC yang teramati pada2 MSP imidakloprid relatif paling tinggi pada varietasCiherang ditunjukkan pada Gambar 1A. Rerata jumlahnimfa yang terbentuk mulai dosis aplikasi tertinggi 1600g/ha hingga terendah 200 g/ha berkisar antara 64-137nimfa/betina yang relatif lebih rendah dibandingkankontrol (53 ekor/betina). Apabila ditinjau dari ketahananWBC yang rendah berdasarkan nilai LD

50 (Tabel 1),

maka perlakuan imidakloprid berimplikasi terhadappeningkatan populasi generasi keturunannya yang timbulkemudian. Hal ini berarti bahwa imago WBC yangsensitif terhadap peracunan imidakloprid memberikankontribusi peningkatan jumlah nimfa pada varietastersebut. Wu et al. (2001) melaporkan bahwa pemberianinsektisida bisultap pada tanaman padi dapat menurunkankandungan sukrosa 5 hari setelah aplikasi insektisida.Menurut Buenaflor et al. (1981), penurunanperbandingan unsur C terhadap N dapat menstimulasimakan, sehingga meningkatkan populasi wereng.Interaksi serangga dengan tanaman seringkalidipengaruhi oleh asam amino spesifik yang berpengaruhterhadap penurunan perilaku probing dan peningkatanperilaku mengisap cairan pakan, namun ada pula yangberperan sebagai penghambat makan. Keberadaankandungan asam γ-aminobutrirat dilaporkan tinggi padavarietas padi tahan Mudgo (Sogawa & Pathak, 1970),yang kemudian nyata menurun setelah tanaman diberiperlakuan bisultap dibandingkan tanaman tanpaperlakuan. Menurut Wu et al. (2004) perlakuaninsektisida bisultap dapat menurunkan kandungan asamoksalat dan laju fotosintesis. Asam oksalat diketahuisebagai bahan antifidan yang berperan dalam mekanismepertahanan tanaman terhadap serangan WBC (Nagata

& Hayakawa, 1998), sedangkan penurunan lajufotosintesis akan mengurangi kebugaran tanaman,sehingga menjadi lebih rentan terhadap seranganwereng. Menurut Rahmini et al. (2012) kandungansukrosa lebih rendah pada varietas tahan Inpari 13 danPTB 33 dibandingkan varietas rentan TN1, sebaliknyakandungan oksalat lebih tinggi pada varietas tahan Inpari13 dan PTB 33 dibandingkan varietas rentan TN1.

Sintasan hidup nimfa pada populasi generasi I danII ditunjukkan pada Gambar 1B dan 1C. Secara umum,populasi WBC pada tanaman tahan Impari 13 dan agaktahan Ciherang cenderung lebih tinggi dibandingkanvarietas rentan Pelita. Perlakuan imidakloprid dosistertinggi 3200 g/ha menimbulkan kematian seluruh indukWBC pada tanaman Ciherang, namun masih mampumenekan pertumbuhan populasi hingga dua generasipada varietas Pelita dan Inpari 13. Puncak populasigenerasi pertama umumnya terjadi pada minggu ke-3(60%) hingga ke-5, sedangkan puncak populasi generasiberikutnya berada pada minggu ke-6 & 7 (77%) hinggake-8 setelah aplikasi insektisida.

Jumlah nimfa WBC pada puncak populasigenerasi pertama relatif tinggi pada varietas tahan Inpari13 saat diberi aplikasi imidaklorid dosis rendah 200-400g/ha dan kontrol, yaitu sebesar 156-169 ekor/rumpun,dan varietas agak tahan Ciherang pada aplikasi dosis200 g/ha sebesar 202 ekor/rumpun, walaupun jumlahnimfa masih tampak tinggi terjadi pada aplikasi dosistinggi 800-1600 g/ha sebesar 160-171 ekor/rumpun. Padaperlakuan dosis anjuran 400 g/ha, WBC pada varietasPelita meningkat tajam hingga mencapai 313 ekor/rumpun.

Pada populasi generasi ke-2, jumlah WBC relatiftertinggi pada varietas Pelita diikuti Ciherang terutamapada pemberian dosis rendah 200 g/ha sebesar 312-357ekor/rumpun dan kontrol mencapai 430 ekor/rumpun.Puncak populasi nimfa pada perlakuan dosis iniumumnya dicapai pada minggu ke-5 dan mingguselanjutnya menjadi musnah karena kematian tanamanakibat hopperburn. Sebaliknya, jumlah WBC yangrelatif masih tinggi bertahan pada varietas Ciherang danInpari 13 terjadi pada dosis aplikasi 800 g/ha, yaitu 217-281 ekor/rumpun dan Pelita pada dosis 400-1600 g/ha,yaitu 200-205 ekor/rumpun. Puncak populasi nimfa padaperlakuan dosis tersebut pada varietas Ciherang danInpari13 umumnya terjadi pada minggu ke-6 dan ke-8,sedangkan pada varietas Pelita pada minggu ke-5.

Hal ini sesuai dengan hasil percobaan terdahulubahwa perlakuan insektisida dapat meningkatkanpopulasi WBC pada tanaman varietas tahan Inpari 13maupun agak tahan Ciherang yang tampak pada aplikasidi bawah dosis anjuran terjadi mulai generasi populasi I,

Page 37: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

56 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 51 - 60

Gambar 1. Sintasan populasi nimfa wereng coklat pada tiga varietas padi yang diaplikasi lima dosis imidakloprid.(A) Dua minggu setelah aplikasi; (B) Puncak populasi generasi I; (C). Puncak populasi generasi II

A

B

C

Page 38: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Ratna et al. Pengaruh Dosis Subletal Imidakloprid 57

Tabel 3. Pengaruh aplikasi imidakloprid terhadap peletakan telur dan abnormalitas bentuk telur wereng coklat pada72 JSP

Varietas Jumlah telur ± GB (butir/betina) Abnormalitas telur (%)

Inpari 13 57,4 ± 47,8 0Inpari 13* 10,9 ± 0,6 1,4Ciherang 43,6 ± 16,6 0Ciherang* 86,4 ± 14,8 0Pelita 336,0 ± 25,4 0,2Pelita* 35,8 ± 7,7 0,04

* Varietas perlakuan kontrol tanpa imidakloprid.

sedangkan pada aplikasi di atas dosis anjuranpeningkatan populasi terjadi pada generasi populasikedua. Pada varietas rentan Pelita, perkembanganjumlah nimfa meningkat drastis baru mulai tampakpopulasi generasi ke-2 disertai capaian puncak populasilebih singkat yang hanya 5 minggu dan diikuti kematiantanaman. Azzam et al. (2011) menyatakan bahwaaplikasi insektisida berbahan aktif imidaklopridmempengaruhi perubahan kandungan hara yangbersirkulasi di dalam tanaman diantaranya Ca, Cu, Fe,Mg, Mn, Na, K, dan Zn yang berimplikasi terhadapketahanan tanaman dan pertumbuhan populasi wereng.Kandungan hara K yang tinggi pada tanaman dilaporkandapat menghambat pertumbuhan populasi, sebaliknyakandungan Fe yang tinggi dapat meningkatkan populasiwereng punggung putih Sogatella furcifera (Horvath)(Salim & Saxena, 1991). Menurut Buenaflor et al.(1981), perlakuan dekametrin pada kultivar padi rentandapat meningkatkan kandungan asam amino ataumenurunkan rasio C/N, sehingga menstimulasi perilakumakan dan mengakibatkan peningkatan populasi wereng.Pada dasarnya, kandungan asam amino tanamanvarietas tahan wereng lebih rendah dari varietas rentan(Lu et al., 1982). Begitu pula pada varietas yang sangattahan dilaporkan memiliki kandungan karbohidrat yanglebih rendah dibandingkan varietas rentan. Perlakuaninsektisida dapat memicu lebih lanjut perubahan kualitastanaman tahan yang berimplikasi pada peningkatanpopulasi WBC. Sesuai dengan hasil percobaan inimenunjukkan bahwa ketidakefektifan WBC terhadapinsektisida meningkat lebih jauh saat werengdiinfestasikan pada tanaman varietas tahan Inpari 13maupun agak tahan Ciherang.

Pengaruh Subletal Dosis Imidakloprid terhadapProduksi dan Abnormalitas Telur. Secara umum,perlakuan imidakloprid pada imago WBC yang sudahdiaklimatisasikan satu musim tanam pada tanaman tahanInpari 13 maupun rentan Pelita meningkatkan jumlah

telur yang diletakkan, kecuali pada varietas Ciherang,jumlah telur lebih rendah dibandingkan kontrol (Tabel3). Peningkatan relatif paling tinggi nyata 9 kali lipatditemukan pada varietas Pelita dan 5 kali lipat padaInpari 13, bila dibandingkan dengan masing-masingperlakuan kontrolnya. Saxena & Pathak (1979)menyatakan bahwa perilaku peletakan telur werengcoklat tidak dipengaruhi oleh ketahanan tanaman, namunlaju kematangan ovari pada wereng yang hidup padavarietas tahan lebih rendah bila dibandingkan denganvarietas rentan, juga pada beberapa varietas tahan dapatmenyebabkan wereng gagal memproduksi telur. Varietastahan seperti Inpari 13 memiliki mekanisme antisenosisyang menyebabkan penurunan aktivitas makan, sehinggadapat mengurangi jumlah asupan nutrisi yang dihisapoleh imago yang selanjutnya berpengaruh padapenurunan produksi telur (Rahmini et al., 2012). Sepertidiuraikan sebelumnya bahwa insektisida dapatmempengaruhi perubahan kualitas tanaman. Dalam halini imidakloprid diduga memulihkan peningkatan produksitelur yang seharusnya tertahan akibat penghambatanmakan pada varietas tahan. Keadaan yang berdeda padawereng yang telah lama beradaptasi di lapangan yaitupada varietas Ciherang, dalam hal ini terjadi penurunanpeletakkan telur dibandingkan dengan kontrol. Bao etal. (2009) melaporkan bahwa imidakloprid dapatmenurunkan fekunditas WBC yang berasal darilapangan, namun menginduksi pembentukanmakroptera.

Perlakuan imidakloprid pada imago wereng relatiftidak berpengaruh terhadap morfologi telur (Tabel 3).Bentuk telur abnormal hanya ditemui 0,2-1,4%, selainitu seluruh telur normal dapat menetas menjadi nimfa.Abnormalitas bentuk telur yang dijumpai pada percobaanini diduga dapat dipengaruhi oleh aplikasi imidaklopridatau dapat juga disebabkan faktor fisiologi yaitu asupannutrisi dari tanaman varietas tahan yang tidak cukupbagi imago untuk meletakkan telur sehat. Hal ini tidakdapat dijelaskan dengan pasti. Kontsedalov et al. (2009)

Page 39: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

58 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 51 - 60

menyatakan bahwa perlakuan insektisida spiromesifendapat menyebabkan kerusakan korion pada telurBemisia tabaci, sehingga struktur dalam telur menjadibening, dan bentuk telur mengerut. Begitu pula de Moura(2011) melaporkan bahwa perlakuan abamektin dapatmenyebabkan malformasi mikrofil dan kerusakanpermukaan eksternal korion telur Chrysoperlaexternal.

SIMPULAN

Insektisida imidakloprid memicu ketahanan WBC13-234 kali lipat dari dosis anjuran. Dosis subletalimidakloprid cenderung meningkatkan jumlah populasiWBC pada varietas tanaman yang masih tahan dilapangan, seperti Ciherang dan Inpari 13. Dosis subletalimidakloprid berimplikasi pada peningkatan jumlah telurtetapi tidak berpengaruh terhadap abnormalitas morfologitelur WBC.

SANWACANA

Penulis mengucapkan terima kasih kepada BadanLitbang Pertanian, Departemen Pertanian atas dukungandana penelitian melalui biaya penelitian KKP3T, SKNomor 0060/018-09.0/-/2010.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed S, Nisar MS, Shakir MM, Imran M, & Iqbal K.2014. Comparative efficacy of someneonicotinoids and traditional insecticides onsucking insect pests and their natural enemies onBT-121 cotton crop. J. Anim. Plant Sci. 24(2):660–663.

Azzam S, Yang F, Wu JC, Geng J, & Yang GQ. 2011.Imidacloprid-induced transference effect on someelements in rice plants and the brown planthopperNilaparvata lugens (Hemiptera: Delphacidae).Insect Sci. 18(3): 289–297.

Baehaki SE. 2011. Strategi fundamental pengendalianhama wereng batang coklat dalam pengamananproduksi padi nasional. Pengemb. Inov. Pertan.4(1):6 3–75.

Bao H, Liu S, Gu J, Wang X, Liang X, & Liu Z. 2009.Sublethal effects of four insecticides on thereproduction and wing formation of brownplanthopper, Nilaparvata lugens. Pest Manag.Sci. 65(2): 170–174.

Bottrell DG & Schoenly KG. 2012. Resurrecting theghost of green revolutions past: the brownplanthopper as a recurring threat to high-yieldingrice production in tropical Asia. J. Asia-Pac.Entomol. 15(1): 122–140.

Buenaflor HG, Saxena RC, & Heinrichs EA. 1981.Biochemical basis of insecticide-induced brownplanthopper resurgence. Int. Rice Res. News.6(4): 13–14.

Chelliah S & Heinrichs EA. 1980. Factors affectinginsecticide-induced resurgence of the brownplanthopper, Nilaparvata lugens on rice.Environ. Entomol. 9(6): 773–777.

Cheng Y, Shi ZP, Jiang LB, Ge LQ, Wu JC, & Jahn GC.2012. Possible connection between imidacloprid-induced changes in rice gene transcription profilesand susceptibility to the brown plant hopperNilaparvata lugens Stål (Hemiptera:Delphacidae). Pestic. Biochem. Phys. 102(3):213–219.

Cox C. 2001. Imidacloprid. J. Pestic. Reform 21(1):15–21.

Cruz AP, Arida A, Heong KL, & Horgan FG. 2011.Aspects of brown planthopper adaptation toresistan rice varieties with the Bph3 gene.Entomol. Exp. Appl. 141(3): 245–257.

de Moura AP, Carvalho GA, Cosme LV, Alves E, BottonM, & Silva PS. 2011. Toxicological andultrastructural analysis of the impact of pesticidesused in temperate fruit crops on two populationof Chrysoperla externa (Neuroptera:Chrysopidae). Rev. Bras. Entomol. 55(3):411–418.

El-Hamady SE, Kubiak R, & Derbalah AS. 2008. Fateof imidacloprid in soil and plant after applicationto cotton seeds. Chemosphere 71(11): 2173–2179.

Fabellar LT & Heinrichs EA. 1986. Relative toxicity ofinsecticides to rice planthoppers and leafhoppersand their predators. Crop. Prot. 5(4):254–258.

Fossen M. 2006. Environmental fate of imidacloprid.Environmental Monitoring Department ofPesticide Regulation. Sacramento, California.USA. http://www.cdpr.ca.gov/ docs/emon/pubs/fatememo/Imidclprdfate2.pdf. Diakses 21 April2015.

Page 40: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Ratna et al. Pengaruh Dosis Subletal Imidakloprid 59

Gao CX, Gu XH, Bei YW, & Wang RM. 1988. Approachof causes on brown planthopper resurgence.Acta. Ecol. Sin. 8: 155–163.

Ghosh A, Samanta A, & Chatterjee ML. 2014.Dinotefuran: a third generation neonicotinoidinsecticide for management of rice brownplanthopper. African J. Agric. Res. 9(8): 750–754.

Gu XH, Bei YW, & Wang RM. 1984. Effects ofsublethal dosages of several insecticides onfecundity of the brown planthopper. Entomol.Knowl. 21: 276–279.

Heinrichs EA & Mochida O. 1984. From secondary tomajor pest status: the case of insecticide-inducerice brown planthopper, Nilaparvata lugens,resurgence. Prot. Ecol. 7: 201–218.

[IRAC] Insecticide Resistance Action Committee. 2007.Resistance Management for SustainableAgriculture and Improved Public Health. CropLife International. http://www.irac-online.org/documents/iiac-croplife-irm-booklet/?ext=pdf.Diakses 25 Januari 2015.

Kontsedalov S, Gottlieb Y, Ishaaya I, Nauen R, HorowitzR, & Ghanim M. 2009. Toxicity of spiromesifento the developmental stages of Bemisia tabacibiotype B. Pest Manag. Sci. 65(1): 5–13.

LeOra Software. 1987. POLO-PC User’s Guide.Petaluma (US): LeOra Software.

Liu Z & Han Z. 2006. Fitness costs of laboratory-selected imidacloprid resistance in the brownplanthopper, Nilaparvata lugens Stål. PestManag. Sci. 62(3): 279–282.

Liu ZW, Han ZJ, Wang YC, Zhang LC, Zhang HW, &Liu CJ. 2003. Selection for imidacloprid resistancein Nilaparvata lugens: Cross-resistance patternsand possible mechanisms. Pest Manag. Sci.59(12): 1355–1359.

Lu ZM, Tang MY, & Pang ZK. 1982. Resistantmechanism of hybrid rice to brown planthopper.Hun. Agr. Sci. 1(1): 9–12.

Matsumura M, Takeuchi H, Satoh M, Sanada-MorimuraS, Otuka A, Watanabe T, & Thanh DV. 2008.Species-specific insecticide resistance toimidacloprid and fipronil in the rice planthoppersNilaparvata lugens and Sogatella furcifera inEast and South-East Asia. Pest Manag. Sci.64(11): 1115–1121.

Matsumura M, Takeuchi H, Satoh M, Sanada-MorimuraS, Otuka A, Watanabe T, & Thanh DV. 2009.Current status of insecticide resistance in riceplanthoppers in Asia. In: Heong KL & Hardy B(Eds.) Planthoppers: New Threats to theSustainability of Intensive Rice ProductionSystems in Asia. pp. 233–243. International RiceResearch Institute, Los Banos.

Nagata T & Hayakawa T. 1998. Activity of aconiticacids and oxalic acid on brown planthopper,Nilaparvata lugens (Stål) and green riceleafhopper, Nephotettix cincticeps (Uhler). Jpn.J. App. Entomol. Zool. 42(3): 115–121.

Nauen R & Denholm I. 2005. Resistance of insect peststo neonicotinoid insecticides: current status andfuture prospects. Arch. Insect Biochem. Physiol.58(4): 200–215.

Rahmini, Hidayat P, Ratna ES, Winasa IW, & ManuwotoS. 2012. Respon biologi wereng batang coklatterhadap biokimia tanaman padi. Penel. Pertan.Tan. Pang. 31(2): 117–123.

Raymond B, Wright DJ, & Bonsall MB. 2011. Effectsof host plant and genetic background on the fitnesscosts of resistance to Bacillus thuringiensis.Heredity 106(2):281–288.

Reissig WH, Heinrichs SEA, & Valencia SL. 1982.Effects of insecticides on Nilaparvata lugensand its predators: Spider, Microvelia atrolineata,and Cyrtorhinus lividipennis . Environ.Entomol. 11(1):193–199.

Salim M & Saxena RC. 1991. Nutritional stresses andvarietal resistance in rice: Effects on whitebackedplanthopper. Crop. Sci. 31(3): 212–219.

Saxena RC & Pathak MD. 1979. Factors governingsusceptibility and resistance of certain Ice varietasto the brown planthopper. In: Brady NC (Eds.).Brown Planthopper: Threat to Rice Productionin Asia. pp. 303–317. International Rice ResearchInstitute, Los Banos.

Sogawa K & Pathak MD. 1970. Mechanisms of brownplanthopper resistance in Mudgo variety of rice(Hemiptera: Delphacidae). Appl. Entomol. Zool.5(3): 145–158.

Suprihatno B, Daradjat AA, Satoto, Baehaki SE,Widiarta IN, Setyono A, Indrasari SD, LesmanaOS, & Sembiring H. 2009. Deskripsi Varietas

Page 41: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

60 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 51 - 60

Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.Subang.

Wang YC, Fang JQ, Tian XZ, Gao BZ, & Fan YR. 1994.Studies on resurgence question of planthoppersinduced by deltamethrin and metamidophos.Entomol. Knowl. 31(5): 257–262.

Wang YH, Gao CF, Zhu YC, Chen J, Li WH, ZhuangYL, Dai DJ, Zhou WJ, Ma CY, & Shen JL. 2008.Imidacloprid susceptibility survey and selectionrisk assesment in field populations of Nilaparvatalugens (Homoptera: Delphacidae). J. Econ.Entomol. 101(2): 515–522.

Wen Y, Liu Z, Bao H, & Han Z. 2009. Imidaclopridresistance and its mechanisms in field populationsof brown planthopper, Nilaparvata lugens Stålin China. Pestic. Biochem. Phys. 94(1): 36–42.

Wu JC, Qiu HM, Yang GQ, Liu JL, Liu GJ, & WilkinsRM. 2004. Effective duration of pesticide-inducedsusceptibility of rice to brown planthopper(Nilaparvata lugens Stål, Homoptera:Delphacidae) and physiological and biochemical

changes in rice plants following application. Int.J. Pest Manage. 50(1):55–62.

Wu JC, Xu JX, Yuan SZ, Liu YL, Jiang YH, & Xu JF.2001. Pesticide-induced susceptibility of rice tobrown planthopper Nilaparvata lugens.Entomol. Exp. App. 100 (1): 119–126.

Yang YJ, Dong BQ, Xu HX, Zheng XS, Heong KL, &Lu ZX. 2014. Susceptibility to insecticides andecological fitness in resistant rice varieties of fieldNilaparvata lugens Stål population free frominsecticides in laboratory. Rice Sci. 21(3): 181–186.

Yin JL, Xu HW, Wu JC, Hu JH, & Yang GQ. 2008.Cultivar and insecticide applications affect thephysiological development of the brownplanthopper, Nilaparvata lugens Stål(Hemiptera: Delphacidae). Environ. Entomol.37(1): 206–212.

Page 42: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

90 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 90 - 97J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525Vol. 16, No. 1: 90 – 97, Maret 2016

PENGARUH SUHU DAN KERAPATAN INANG TERHADAPSUPERPARASISTISME OLEH ERIBORUS ARGENTEOPILOSUS:

IMPLIKASI BAGI PENGENDALIAN HAYATI

Novri Nelly1 & Damayanti Buchori2

1Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas AndalasKampus Universitas Andalas Limau Manis Padang 25163

2 Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian BogorJl. Kamper Kampus IPB Dramaga Bogor 16680

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Effect of temperature and host density on superparasitisme by Eriborus argenteopilosus: Implication for biologicalcontrol. Superparatism is a type of parasite in which the host is attacked by another parasitoid. Superparatism is influenced byseveral factors including temperature and host density. The aim of this research was to investigate the effect of temperatureand host density on superparatism E. argenteopilosus. Different number of larva C. pavonana (15, 30, 60, 90 and 120) wasinfested with a female parasitoidat various temperature (200, 250, and 300C) for three hours. The larva host was disectiontoenable us to count the number of eggs. The study result reveals that superparatism E. argenteopilosus was influenced bytemperature and host density. Superparatism occured randomly at different temperature reaching the highest at 200 with hostdensity of 15 and 30.

Key words: Eriborus argenteopilosus, host density, host-parasitoid interaction, superparasitsme, temperature

ABSTRAK

Pengaruh suhu dan kerapatan inang terhadap superparasistisme oleh Eriborus argenteopilosus: Implikasi bagipengendalian hayati. Superparasitisme adalah penerimaan inang yang telah terparasit oleh parasitoid dari spesies sama atauberbeda. Superparasitisme dipengaruhi oleh berapa faktor, diantaranya adalah suhu dan kerapatan inang. Penelitian bertujuanuntuk mengukur pengaruh suhu dan kerapatan inang terhadap superparasitisme E. argenteopilosus. Pada suhu 20, 25, 30 oCdan sebanyak 15, 30, 60, 90 dan 120 larva C. pavonanadienfestasikan satu betina selama 3 jam. Pengamatan dilakukan denganmendikseksi larva inang tersebut untuk menghitung jumlah telur yang diletakkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwasuperparasitisme oleh E. argenteopilosus dipengaruhi oleh suhu dan kerapatan inang. Superparasitisme terjadi secara acakpada suhu yang berbeda, tertinggi pada suhu 20 oC dengan kerapatan inang 15 dan 30 larva.

Kata kunci: Eriborus argenteopilosus, kerapatan inang, interaksi inang-parasitoid, suhu, superparasitisme

PENDAHULUAN

Pengendalian hayati dengan memanfaatkanpotensi parasitoid untuk menekan populasi hama dilapangan saat ini mendapat perhatian yang seriusterutama dalam kaitannya dengan merebaknya isukonservasi keanekaragaman hayati, kesehatanekosistem, dan pengembangan teknologi alternatif (non-pestisida) bagi pengendalian hama. Berbagai upayadilakukan untuk meningkatkan kinerja parasitoid dilapangan sebagai agens pengendali. Pada dasarnyaparasitoid betina yang berperan dalam menyebabkanmortalitas hama, karena parasitoid betina yangmeletakkan telur dan menyebabkan parasitisasi terjadihama tersebut.

Banyak faktor yang menentukan parasitoid betinauntuk meletakkan telur, antara lain kondisi inang,lingkungan dan fisiologi parasitoid itu sendiri. Juga jumlahparasitoid yang ada di lokasi yang sama (Husni et al.,2011). Kondisi lingkungan seperti suhu sangatmempengaruhi aktifitas parasitisasi, dan menentukantanggap fungsional parasitoid tersebut. Hasil pengamatanterhadap tanggap fungsional E. argenteopilosusmenunjukkan bahwa terjadi perbedaan tipe tanggapfungsional jika suhu lingkungan parasitoid tersebutberbeda. Hal ini menunjukkan bahwa suhumempengaruhi aktifitas parasitoid untuk menemukan danmemarasit inang (Nelly et al., 2005).

Page 43: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Nelly & Buchori Pengaruh Suhu dan Kerapatan Inang 91

Pada kebanyakan spesies parasitoid, parasitoidbetina mampu mendeteksi kondisi inang, yaitumembedakan antara inang yang telah terparasit ataubelum, dan diistilahkan dengan host discrimination(Visser et al., 1992). Parasitoid betina akan meletakkantelurnya pada inang yang mempunyai kualitas dankebugaran yang tinggi sehingga diperoleh keturunan yangbagus (Harvey et al., 2013). Kebugaran atau fitnessparasitoid ditentukan oleh kualitas inang, sedangkankualitas inang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:ukuran, umur, spesies, dan keadaan inang telah terparasitatau belum (Godfray, 1994).

Penerimaan inang yang telah terparasit untukpeletakkan telur oleh parasitoid betina disebut“superparasitisme” (Waage, 1986; Godfray, 1994).Peletakan telur pada inang yang telah terparasit olehbetina yang sama disebut self superparasitisme, dan jikaoleh individu parasitoid betina berbeda dari spesies yangsama, dikenal dengan conspesific superparasitisme(Godfray, 1994).

Kejadian superparasitisme ini pertama kali diamatioleh Howard tahun 1897 (Godfray, 1994). Perilaku inipada awalnya dianggap sebagai suatu kesalahan dariparasitoid dan akan merugikan parasitoid itu sendiri.Tetapi kemudian diketahui superparasitisme tidak selalumerugikan karena dianggap suatu strategi adaptasi dariparasitoid untuk mempertahankan keturunannya. Selfsuperparasitsme pada parasitoid soliter dapatmenguntungkan karena memberi peluang bagiketurunannya untuk bertahan hidup (survive) apabilaharus berkompetisi di dalam inang dengan telur yangdiletakan oleh individu lain. Keuntungan lain adalahadanya peluang bagi keturunannya untuk lolos darienkapsulasi inang, karena enkapsulasi telur pertama yangdiletakkan telah menghabiskan haemocyt inang.Enkapsulasi oleh inang terhadap benda lain yang masukke larva seperti telur parasitoid yaitu dengan menggunakansel darah atau haemocytnya. Dari telur pertama diletakkanoleh parasitoid akan langsung dienkapsulasi, sehinggatelur yang diletakkan berikutnya terbebas dari enkapsulasi(Blumberg, 1997)

Eriborus argenteopilosus Cameron termasukfamili Ichneumonidae ordo Hymenoptera adalahparasitoid beberapa jenis hama dari ordo Lepidopteraseperti hama tanaman kubis, Crocidolomia pavonanaFab. (Lepidoptera: Pyralidae), Spodoptera litura(Lepidoptera: Noctuidae) dan Heliothis armigera(Lepidoptera: Noctuidae) (Kalshoven, 1981). Eriborustermasuk parasitoid koinobiont yang bersifat soliter, hidupdalam tubuh inang dimana inang tetap berkembang danhanya satu turunan parasitoid yang muncul dari satuinang. Akan tetapi dalam kehidupannya parasitoid ini

juga melakukan superparasitisme, hal ini diduga untukmelawan pertahanan oleh inang yaitu berupa enkapsulasi(Sahari 1999). Enkapsulasi juga terjadi terhadap telur danlarva E. argenteopilosus oleh inangnyaC. pavonana (Nellyet al., 2005).

Kerapatan inang dan suhu lingkungan diduga ikutmempengaruhi terjadinya parasitisme dansuperparasitisme (Nelly et al., 2005). Sehubungandengan pemanfaatan parasitoid ini untuk pengendalianhayati, maka perlu diketahui seberapa jauh kerapataninang dan suhu mempengaruhi terjadinya superparasitimepada E. argenteopilosus. Untuk itu telah dilakukanpenelitian dengan tujuan mempelajari pengaruh suhu dankerapatan inang terhadap kejadian superparasitisme olehparasitoid E. argenteopilosus.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian dilaksanakan diLaboratorium Bioekologi Parasitoid dan PredatorDepartemen Proteksi Tanaman, Institut PertanianBogor. Waktu pelaksanaan dari bulan Februari sampaiApril.

Perbanyakan Serangga Inang C. pavonana. Larvainang C. pavonana dikumpulkan dari pertanaman kubisdi daerah Cibodas, Jawa Barat. Larva tersebut dibiakkandi laboratorium dalam kotak plastik pemeliharaanberukuran 35 x 27 x 7 cm. Pada dasar kotak diberi alaskertas stensil dan diberi daun kubis sebagai pakan larva.Ketika larva sudah instar empat, diberi serbuk gergajiuntuk tempat berpupa. Semua imago jantan dan betinayang muncul dari pupa dipelihara dalam kurungan kainkasa berbingkai kayu berukuran 50 x 50 x 50 cm. Imagotersebut diberi pakan larutan madu 10% (madu:air = 1:9v/v) yang diserapkan pada segumpal kapas dandigantung dalam kurungan. Untuk tempat peletakan telurbagi imago dimasukkan daun kubis ke dalam kurungantersebut. Telur dipanen setiap hari dan disimpan dalamcawan petri sampai menetas. Larva instar dua siapdijadikan inang untuk percobaan.

Persiapan Koloni E. Argenteopilosus.E. argenteopilosus dikoleksi dari tempat yang samadengan asal inangnya. Imago parasitoid di lapanganditangkap dengan menggunakan jaring serangga, dandipelihara di laboratorium dalam kurungan plastikberbentuk tabung (tinggi 23 cm, diameter 12 cm). Pakandiberikan adalah larutan madu 10%. Untuk perbanyakanparasitoid, larva inang dipaparkan pada parasitoid selama24 jam. Inang itu dipelihara dalam wadah plastik(diameter 10 cm dan tinggi 12 cm) sampai pupa

Page 44: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

92 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 90 - 97

parasitoid terbentuk. Pupa parasitoid tersebut kemudiandikumpulkan dalam kurungan plastik (tinggi 27 cm,diameter12 cm) sampai imago muncul. Imago betinayang muncul digunakan untuk percobaan atau untukperbanyakan berikutnya.   Pupa parasitoid juga dikoleksilangsung dari larva C. pavonana yang dikumpulkan darilapangan dan dipelihara dilaboratorium. Imago yangmuncul dari pupa tersebut juga digunakan langsung untukpercobaan.

Pengaruh Suhu dan Kerapatan Inang terhadapSuperparasitisme. Penelitian ini menggunakanrancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktorperlakuan yaitu: (1) kerapatan inang dan (2) suhu,dengan 10 kali ulangan. Lima kerapatan inang yaitu :15, 30, 60, 90, dan 120 larva C. pavonana dan suhu 20,25, dan 30 oC. Larva inang C. pavonana dipaparkanpada sehelai daun brokoli untuk satu parasitoid betina.Daun brokoli ditancapkan pada tabung film yang diberiair untuk menjaga kesegaran daun, dan diletakkan dalamkurungan plastik (tinggi 27 cm, diameter 12 cm).Kedalam kurungan dimasukkan satu betina E.argenteopilosus (berumur 4–6 hari), selama 3 jam.Untuk pakan parasitoid diberi madu 10%, yang diletakkanpada kapas diatas kurungan. Kurungan diletakkan dalaminkubator (tipe MRL 250) dengan suhu sesuai perlakuan,dan kelembaban nisbih ±70%. Untuk melihat jumlah teluryang diletakkan oleh parasitoid maka setelah larva inangdipaparkan dibedah dan dan diamati di bawah mikroskopbinokuler. Superparasitisme diamati berdasarkanpeletakan telur yang berjumlah 2 telur atau lebih pada 1ekor larva inang. Pengamatan dan penghitungan jumlahtelur parasitoid yang diletakkan dalam tubuh inangdilakukan pada saat pembedahan.

Analisis Data. Semua data dianalisis menggunakan sidikragam dengan faktor kejadian superparasit sebagairespons parasitoid akibat perbedaan kerapatan inang dansuhu. Selanjutnya data dianalisis regresi menggunakanStatistix 8.0 dan uji lanjut dengan uji Tukey pada tarafnyata 0,05. (Analitycal software for windows 2003)

Untuk melihat pengaruh suhu dan kerapatanterhadap superparasitisme dilakukan analisis regresiberganda (PROC REG) dan uji lanjut dengan perkiraandistribusi Poisson pada larva yang berisi 0, 1, 2, 3 dan>3 telur parasitoid. Uji X2 dilakukan untuk melihatperbedaan frekuensi superparasitisasi parasitoid,kemudian dibandingkan dengan distribusi perkiraanPoisson (PROC FREQ) (Jones et al., 2003).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlahtelur yang diletakan E. argenteopilosus pada setiap larvainang dipengaruhi oleh suhu dan kerapatan inang (df=2,r2 =0,099, P= 0,001 F= 5,25). Persentase larva yangmempunyai lebih dari satu telur parasitoid(superparasitisme) tertinggi tejadi pada suhu 20 oC (10,00-12,67%) dan kerapatan inang 15 dan 30 larva. Jumlahtelur parasitoid maksimal dalam larva inang ditemukanpada kerapatan 15 larva dan suhu 25 oC yaitu 9 butir(Tabel 1).

Tidak ada peningkatan superparasitisasi yangnyata dengan meningkatnya kerapatan inang atausebaliknya (P= 0,325), akan tetapi berdasarkan distribusiPoisson frekuensi superparasitisme berbeda nyata padasemua suhu (P= 0,001). Hal ini menggambarkan bahwakejadian superparasitisasi terjadi secara acak pada suhuyang berbeda (Tabel 2). Persentase superparasitisme

Tabel 1. Superparasitisme dan telur maksimal yang diletakkan E. argenteopilosus per larva inang pada kerapataninang dan suhu berbeda

Kerapataninang

Persentase superparasitisme pada suhu (oC)

20 25 30

Rerata (%)± se

telurmaksimal

Rerata (%)± se

Telurmaksimal

Rerata (%)± se

telurmaksimal

15 10,00 ± 1,18a 3 2,00 ± 1,18ab 9 5,33 ± 1,18 a 230 12,67 ± 1,18ab 3 1,85 ± 1,24ab 3 5,67 ± 1,18 a 260 6,97 ± 1,12bc 2 1,83 ± 1,18ab 2 1,67 ± 1,18 ab 290 4,89 ± 1,18bcd 2 1,33 ± 1,18 a 2 1,89 ± 1,18 ab 2

120 2,33 ± 1,18cd 3 0,25 ± 1,18 a 2 0,92 ± 1,18 b 2

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata akibat interaksi perlakuan kerapataninang dan suhu yang berbeda berdasarkan uji Tukey taraf 5%.

Page 45: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Nelly & Buchori Pengaruh Suhu dan Kerapatan Inang 93

lebih tinggi pada suhu 20 oC, walaupun pada suhu 30 oCdengan kerapatan inang yang rendah (15 dan 30 larvainang) tidak berbeda nyata dengan suhu 20 oC. Parasitoidlebih mudah menemukan dan memarasitnya berulang-ulang inang yang tidak begitu aktif, hal ini biasanya terjadipada suhu rendah (20 oC). Sebaran jumlah telurparasitoid dalam larva inang pada suhu 20, 25 dan 30

oC. Jika diamati kemampuan memarasit E.argenteopilosus pada setiap perlakuan dengankerapatan inang yang berbeda, pada masing masing suhuyang berbeda terlihat tingkat superparasitisasi lebih kecildibandingkan dengan yang terparasit dan tidakterparasit. Pada suhu yang 25 oC lebih banyak jumlahyang terparasit dibandingkan yang tidak, terutama pada

Tabel 2. Persentase parasitasi parasitoid E. argenteopilosus dengan jumlah telur yang diletakan (1, 2 dan > 3telur/larva) pada suhu dan kerapatan inang berbeda (10 ulangan)

Suhu ºC Kerapatan inang% parasitisasi dengan jumlah telur/larva

1 2 >3

20 15 93,33 6,67 0,0030 94,92 5,08 0,0060 95,65 2,62 1,7390 89,09 10,91 0,00120 95,96 4,04 0,00

25 15 94,74 5,26 0,0030 93,33 5,56 1,1160 88,55 8,94 2,5190 96,32 3,68 0,00120 99,50 0,50 0,00

30 15 93,98 6,02 0,0030 95,00 4,23 0,7760 97,91 2,09 0,0090 96,15 3,85 0,00120 98,95 1,05 0,00

Gambar 1. Pengaruh kerapatan inang terhadap kejadian parasitisasi dan superparasitisasi (pada suhu 20 oC)

Page 46: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

94 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 90 - 97

Gambar 2. Pengaruh kerapatan inang terhadap kejadian parasitisasi dan superparasitisasi (pada suhu 25oC)

Gambar 3. Pengaruh kerapatan inang terhadap kejadian parasitisasi dan superparasitisasi (pada suhu 30 oC)

Tabel 3. Korelasi antara jumlah telur yang diletakkan dan larva inang terparasit oleh E. argenteopilosu pada suhudan kerapatan inang yang berbeda

Faktor Nilai koefisien korelasi N P value

Suhu dengan jumlah telur 0,154 150 0,006Kerapatan inang dengan jumlah telur 0,775 ** 150 0,000**Suhu dengan larva inang terparasit 0,198 ** 150 0,000**Kerapatan dengan inang terparasit 0,800 ** 150 0,000**

**Korelasi signifikan pada taraf 1%.

Page 47: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Nelly & Buchori Pengaruh Suhu dan Kerapatan Inang 95

kerapatan inang yang rendah. Sedangkansuperparasitisasi selalu ada pada kerapatan inang yangberbeda walaupun dengan jumlah yang rendah (Gambar1, 2, dan 3).

Secara keseluruhan jika dilihat interaksi inang-parasitoid, terlihat ada korelasi antara: suhu, kerapataninang, dengan jumlah larva terparasit (P =0,000). Jumlahlarva inang terparasit berkorelasi dengan suhu. Demikianjuga larva inang terparasit berkorelasi dengan kerapataninang. Jika dilihat dari satu faktor suhu saja, maka tidakada korelasi dengan jumlah telur yang diletakkan (P =0,006) (Tabel 3).

Dari hasil pengamatan kejadian superparasitisasipada E. argenteopilosus terlihat suhu dan kerapataninang berpengaruh untuk terjadinya superparasitisasi.Namun, distribusi superparasitisasi pada kerapatanberbeda terjadi secara acak, hal ini terjadi karenaparasitoid ini selalu aktif untuk mencari inang. E.argenteopilosus dalam pencarianinangnya selalumenggerakkan antena atau melakukan drumming. Bilabertemu dengan inang ovipositornya langsung ditusukke larva inang yang ditemuinya untuk peletakkan telur.E. argenteopilosus sepertinya tidak bisa mengenaliinang yang sudah atau belum terparasit(hostdiscrimination), hal ini dilihat bahwasuperparasitisasi selalu terjadi pada setiap suhu dankerapatan berbeda. Walaupun secara keseluruhanpersentase superparasitisme dari semua ulangan rendahsekali dibandingkan dengan yang larva dengan 1 telur,hanya berkisar 0,1 sampai 6,8%.

Hasil analisis distribusi Poisson menunjukkanbahwa superparasitisme terjadi secara acak pada semuakerapatan. Jika hanya diamati pengaruh suhu ataukerapatan saja, tidak memperlihatkan pengaruh untukterjadi superparasitisasi. Namun, secara bersama suhudan kerapatan inang berpengaruh untuk terjadisuperparasitisasi. Dalam hal ini aktivitas inang danparasitoidnya dipengaruh lingkungan secara bersama-sama. Pada kerapatan inang dan suhu tertentu lajupencarian oleh E. argenteopilosus menjadi lebih rendah,karena inang lebih mudah ditemukan.

Pada penelitian ini jumlah inang yang ditemukansangat mempengaruhi kejadian superparasitisme.Semakin sedikit atau kerapatan inang yang rendah akansemakin tinggi kemungkinan terjadinyasuperparasitisme. Demikian juga dengan kondisiparasitoid itu sendiri, peluang untuk terjadisuperparasitisasi akan meningkat dengan semakinbanyaknya jumlah parasitoid pada patch yang sama danmasih banyaknya telur yang terdapat dalam ovari yangbelum diletakkan. Faktor yang menyebabkan terjadinya

superparasitisme yaitu: bila inang yang belum terparasitjarang atau tidak ada ditemui, laju penemuan inang yangrendah, pengaruh adanya betina lain yang juga mencariinang pada tempat yang sama (Godfray, 1994).

Pada saat kerapatan 60 dan 90 larva inang dibawah suhu 20 dan 25 oC laju penerimaan inang lebihkecil. Hal ini terjadi karena pada saat itu aktifitas inangtidak terlalu banyak, sehingga mudah ditemukan olehparasitoid. Ketika parasitoid menemukan inang yangsama, ovipositornya tetap ditusukkan ke larva inangtersebut sehingga akan terjadi beberapa kali peletakantelur, hal ini menyebabkan terjadinya superparsitisasi.

Kejadian superparasitisme atau peletakkan teluroleh parasitoid pada inang yang sama sebenarnyamerupakan suatu kerugian bagi parasitoid tersebut. Padakebanyakan parasitoid dapat mendeteksi keberadaanparasitoid lain atau telur yang sudah diletakkan padainang. Hal ini ini juga akan mempengaruhi kebugaranparasitoid. Hasil penelitian pada Pimpla niponica(Hymenoptera: Ichneumonidae) yaitu parasitoid soliterpada berbagai pupa Lepidoptera. Jika terjadisuperparasitisme dapat menyebabkan menurunnyapersentase kemunculan dewasa parasitoid danmeningkatkan kematian pradewasa baik pada stadia telurmaupun instar awal (Ueno, 1997).

Selanjutnya jika parasitisasi terjadi pada E.argenteopilosus, inang tetap berkembangwalaupunperkembangannya lebih lambat dibanding inang sehat.E. argenteopilosus yang merupakan parasitoid soliterdalam kehidupannya melakukan self superparasitisasiyaitu memarasit larva inang yang sudah diparasitisebelumnya. Sehingga sering kali menyebabkanterjadinya superparasitisme. Sebenarnya kejadiansuperparasitisme oleh parasitoid dapat menguntungkankarena memberi peluang bagi keturunannya untuk lolosdari enkapsulasi akibat pertahanan inang. Akibatenkapsulasi pada telur pertama yang diletakkan mungkintelah menghabiskan cadangan haemocyt inang sehinggatelur yang diletakkan berikutnya terbebas darienkapsulasi. Apabila telur diletakkan secara tunggalpada inang maka semua telur akan terenkapsulasi. Halini dapat dilihat sewaktu pegamatan pembedahan danpenghitungan jumlah telur parasitoid pada larvainang.Jika telur yang diletakkan oleh parasitoid dalaminang lebih banyak, maka parasitoid tersebut akan lolosdari kematian.

Jadi kejadian superparasitisme tersebut sepertinyasengaja dilakukan oleh parasitoid, walaupun jumlah inangyang tersedia banyak. Artinya pada kerapatan inang yangtinggi kejadian superperasitisme tetap terjadi, apalagi jikapada suhu yang optimal (Tabel 4).

Page 48: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

96 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 90 - 97

Adaptasi oleh parasitoid terhadap inang jugasangat menentukan kejadian superparasitisme, laporanBlumberg et al. (1990) yang menyatakan Comperiellabifasciata strain California kurang beradaptasi denganCalifornia red scale dibandingkan strain Israel, ternyatastrain California tersebut meletakkan telurnya secaratunggal dan kebanyakan di enkapsulasi oleh Californiared scale dibandingkan strain Israel.

Jumlah telur yang diletakkan parasitoid sangatmenentukan kelangsungan hidupnya. Hasil pengamatanVan Alphen & Visser (1990), bila telur Asobara tabidayaitu parasitoid larva Drosophila melanogasterdiletakkan secara tunggal maka survivalnya hanya 1%,sedangkan jika diletakkan lebih dari 1 telur atau bersifatsuperparasitisme maka survivalnya adalah 7%.

Pada suhu yang optimal (20 oC) dan kerapataninang tertentu menyebabkan kejadian superparasitisasi.Montoya et al. (2012) juga menyatakan bahwasuperparasitisme akan mempengaruhi sex ratioparasitoid. Van Alphen & Visser (1990), memperlihatkanbahwa superparasitisme adalah faktor penting yangmengatur stabilitas interaksi inang-parasitoid. Dalamkonteks ini, parasitoid E. argenteopilosus melakukansuperparasitisasi pada inang C. pavonana didugaadalah salah satu strategi untuk mengatasi pertahananinang. Semakin sedikit jumlah inang yang ditemukan,maka sering inang yang sama akan diparasitisasi olehparasitoid tersebut.

SIMPULAN

Suhu dan kerapatan inang bersama-samamempengaruhi E. argenteopilosus untuk melakukansuperparasitisasi. Superparasitisasi terjadi secara acakpada kerapatan inang yang berbeda. Superparasitisasi

paling tinggi terjadi pada suhu 20 oC dan 25 oC dengankerapatan inang 60 dan 90 ekor larva, dengan rata rata4,4 dan 4,6 larva per 3 jam. Persentase superparasitismeoleh parasitoid ini berkisar antara 0,1–6,8% dari inangyang dipaparkan.

SANWACANA

Terima kasih yang sebesar besarnya kepadaKepala Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan PredatorDepartemen Proteksi Tanaman Faperta IPB, danDirektur Yayasan PEKA Indonesia, atas semua fasilitasyang diberikan untuk pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Blumberg D. 1997. Encapsulation of parasitoids. In:Ben-Dov Y & Hodgson CJ (Eds.). World CropPest: Soft Scale Insects their Biology, NaturalEnemies and Control. Volume 7, Part A. pp.375–387.

Blumberg D, Luck RF, Flanders SE, Teran AL, &DeBach P.  1990.  Differences in the rates ofsuperparasitism between two strainsof Comperiella bifasciata  (Howard) parasitizingCalifornia red scale (Homoptera: Diaspididae):An adaptation to circumvent encapsulation. Ann.Entomol. Soc. Am. 83: 591–597.

Godfray HCJ. 1994. Parasitoids, Behavioral andEvolutinary Ecology. Princeton UniversityPress. Princeton. New Jersey. 

Hamelin F, Bernhard P, & Wajnberg E. 2007.Superparasitism as a differential game. TheoriPopul. Biol. 72(3): 366–378.

Tabel 4. Jumlah total larva inang dengan sebaran telur yang diletakkan parasitoid E. argetenteopilosus pada suhudan kerapatan inang berbeda (10 ulangan)

Jumlahtelur

per larva

Suhu (oC )

20 oC 25 oC 30 oC

kerapatan inang (larva)

15 30 60 90 120 15 30 60 90 120 15 30 60 90 120

0 15 103 370 561 705 55 210 242 628 799 17 40 122 380 8181 126 187 220 302 475 90 84 317 262 399 125 247 468 500 3782 9 10 6 37 20 5 5 32 10 2 8 11 10 20 4

>3 0 0 4 0 0 0 1 9 0 0 0 2 0 0 0

Total 150 300 600 900 1200 150 300 600 900 1200 150 300 600 900 1200

Page 49: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Nelly & Buchori Pengaruh Suhu dan Kerapatan Inang 97

Harvey JA, Poelman EH, & Tanaka T. 2013. Intrinsicinter- and intraspecific competition in parasitoidwasps. Annu. Rev. Entomol. 58: 333–351.

Husni, Jauharlina, & Haraqal AA. 2011. Pengaruhsuperparasitisme terhadap perkembanganprogenin parasitoid Tetraticuhus brontispae F.J. Floratek. 6: 28–36.

Jones DB, Giles KL, Berbearet RC, Royer TA, ElliottNC, & Rayton ME. 2003. Fuctional respon of anintroduction parasitoid and indigenous parasitoidon greenbug at four temperature. Environ.Entomol. 32(3): 425–432.

Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops inIndonesia. (Revised and translated: P.A. van DerLaan). P.T. Ichtiar BaroeVan Hoeve. Jakarta.

Montoya P, Lachaud GP, & Liedo P. 2012.Superparasitism in the fruit fly parasitoidDiachasmimorpha longicaudata(Hymenoptera: Braconidae) and theimplicationsfor mass rearing and augmentativerelease. Insects 3(4): 900–911.

Nelly N, Buchori D, Habazar T, Syahni R & Sahari B.2005. Tanggap fungsional parasitoid Eriborusargenteopilosus (Cameron) terhadapCrocidolomia pavonana (Fabricius) pada suhuyang berbeda. Hayati J. Biossciences 12(1): 17–22.

Quicke DLJ. 1997. Parasitic Wasp. Chapman and Hall.London. 

Sahari B. 1999. Studi enkapsulasi parasitoid Eriborusargenteopilosus Cameron (Hymenoptera;Ichneumonidae) dan Implikasinya pada inangCrocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera;Pyralidae) dan Spodoptera litura Fabricius(Lepidoptera: Noctuidae). Skripsi. InstitutPertanian Bogor. 

Ueno T. 1997. Effect of superparasitism, larvalcompetition, and host feeding on offspring fittnessin the parasitoid Pimpla nipponica(Hymenoptera: Ichneumonidae). Ann. Entomol.Soc. Am. 95(5): 682–688.

VanAlphen JM & Visser ME. 1990. Superparasitsm asan adaptive strategy for insect parasitoids. Annu.Rev. Entomol. 35: 59–79.

Visser ME, Luyckx B, Nell HW, & Boskamp GJF. 1992.Adaptive superparasitism in solitary parasitoids:marking of parasitized host in relation to the payoff from superparasitism. Ecol. Entomol. 17: 76–82.

Waage JK. 1986. Family planning in parasitoid: adaptivepatterns of progeny and sex allocation. In: WaageJ & Greathhead D (Eds.). Insect Parasitoids.pp. 63–95. Academic Press London.

Page 61: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Puspitasari et al. Pengaruh Pola Pengelolaan Hama 25J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525Vol. 16, No. 1: 25 – 34, Maret 2016

PENGARUH POLA PENGELOLAAN HAMATERHADAP POPULASI SERANGGA HAMA PADA

LAHAN KEDELAI VARIETAS ANJASMORO DAN WILIS

Mahardika Puspitasari1, Purnama Hidayat1, Pudjianto1, Marwoto2, &Bambang Tri Rahardjo3

1Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian BogorJl. Kamper, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680

2Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, Badan Penelitian Pertanian3Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya

Jl. Veteran, Ketawanggede, Lowokwaru, Malang, Jawa TimurE-mail: [email protected]

ABSTRACT

Effect of pest management systems to the insect pests population on Anjasmoro and Wilis soybean varieties. The integratedpest management (IPM) is a pest control approach which is based on ecological and economic considerations. The objectiveof this research was to study the effect of different pest management systems on the insect pest population using twosoybean varieties, Anjasmoro and Wilis.The experiments were done in a randomized complete block design, repeated twice.The pest management systems under the different plots were integrated pest management, non-chemical control, chemicalcontrol, and the control (which received neither chemicals nor IPM). Observations were made on the pest population and theintensity of the damage caused by primary soybean pests. The primary pests observed were Ophiomya phaseoli, Aphisgossypii, Lamprosema indicata, Spodoptera litura, Bemisia tabaci, Riptortus linearis and Etiella zinckenella. Integratedpest management significantly affect the population of whitefly on Anjasmoro variety but not on Wilis variety. The populationsof bean fly, aphid, leaf roller, armyworm, stink bug and pod borer were not affected by pest management system. The loweryield of Anjasmoro variety was attributed to the attack by a viral infection whose disease incidence reached 80% on the plotswithout a pest management system. IPM management system was more efficient than chemical management system.

Key words: Anjasmoro variety, IPM, population, soybean pest, Wilis variety

ABSTRAK

Pengaruh pola pengelolaan hama terhadap populasi serangga hama pada lahan kedelai varietas Anjasmoro dan Wilis.Pengendalian hama terpadu (PHT) merupakan suatu cara pengendalian hama dan penyakit yang didasarkan pada pertimbanganekologi dan efisiensi ekonomi yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajaripengaruh pola pengelolaan hama terhadap populasi serangga hama pada lahan kedelai varietas Anjasmoro dan Wilis. Percobaandilakukan dengan Rancangan Acak Kelompok dengan dua ulangan menggunakan kedelai varietas Anjasmoro dan Wilis.Perlakuan pengelolaan hama yang diterapkan adalah pengelolaan hama terpadu, pengendalian non-kimiawi, pengendaliankimiawi, dan kontrol. Masing-masing petak perlakuan berukuran 10 x 10 m. Pengamatan dilakukan terhadap populasi hamautama kedelai. Hama utama yang diamati adalah Ophiomya phaseoli, Aphis gossypii, Lamprosema indicata, Spodopteralitura, Bemisia tabaci, Riptortus linearis dan Etiella zinckenella. Pengendalian hama terpadu mempengaruhi populasi kutukebul pada varietas Anjasmoro sedangkan pada varietas Wilis pola pengelolaan hama tidak mempengaruhi populasi kutukebul.Populasi lalat kacang, kutudaun, ulat penggulung daun, ulat grayak, kepik penghisap polong dan ulat penggerek polong tidakdipengaruhi oleh pola pengelolaan hama yang berbeda. Produksi kedelai varietas Anjasmoro rendah disebabkan oleh adanyaserangan virus dengan insidensi penyakit mencapai 80% pada petak tanpa perlakuan pengelolaan hama. Pola pengelolaanhama tidak berpengaruh pada hasil produksi. Pola pengelolaan hama terpadu lebih efisien daripada pengelolaan hama kimiawi.

Kata kunci: hama kedelai, PHT, populasi, varietas Anjasmoro, varietas Wilis

Page 62: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

26 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 25 – 34

PENDAHULUAN

Lalat kacang Ophiomya phaseoli Tryon(Diptera: Agromyzidae), ulat penggulung daunLamprosema indicata Fabricius (Lepidoptera:Pyralidae) (Biswas & Islam, 2012), kutudaun Aphis sp.Glover (Hemiptera: Aphididae) (Radiyanto et al., 2010),kepik penghisap polong Riptortus linearis Fabricius(Hemiptera: Alydidae) (Latif, 2013), ulat penggerekpolong Etiella zinckenella Treit (Lepidoptera:Pyralidae) (Berg et al., 2010), kutukebul Bemisia tabaciGennadius (Hemiptera: Aleyrodidae) dan ulat grayakSpodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae)(Biswas, 2013) merupakan hama utama tanaman kedelaiyang menyebabkan penurunan produksi di tingkat petani.Hama tersebut mampu menyebabkan kehilangan hasilbahkan puso apabila tidak dikendalikan (Berg et al.,2010).

Upaya peningkatan produksi dapat dilakukandengan pengendalian hama dan penyakit, perbaikanmanajemen usaha tani dan penanganan panen danpascapanen (Supadi, 2008). Zakaria et al. (2010)menyebutkan bahwa pada tahun 2009 petani kedelai ditiga provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan SulawesiSelatan 100% menggunakan insektisida terutamainsektisida yang disemprotkan yaitu sebanyak 6-8 kaliaplikasi. Namun, penggunaan pestisida yang tidakbijaksana dapat mengakibatkan resurgensi dan resistensiserangga hama (Latif, 2013)..Beberapa penelitian telahdilakukan untuk mencari alternatif penggunaaninsektisida sintetik untuk mengendalikan berbagaiorganisme pengganggu tanaman (OPT) tanamankedelai. PGPR (Plant Growth PromotingRhizobacteria) merupakan agensia pengendali hayatiyang dapat menekan penyakit di lapangan sertameningkatkan pertumbuhan tanaman (Widodo, 2006).Indiati (2014) meneliti penggunaan insektisida botanisekstrak mimba yang mampu menekan populasi ulatpenggulung daun dan ulat grayak. Arifin (2012)menyatakan bahwa penggunaan Sl-NPV (Spodopteralitura nucleopolyhedro virus) mampu mengendalikanulat grayak. Tillman (2014) menyebutkan bahwapenggunaan tanaman pinggir mampu menekanpergerakan kepik hijau pada pertanaman kapas. Hasil-hasil penelitian tersebut mengenai kemampuan satu jenispengendalian terhadap satu atau dua jenis hama.VarietasAnjasmoro dan Wilis merupakan varietas yang tahanrebah dan tahan terhadap serangan penyakit karat daun(Suhartina, 2005, Ghulamahdi et al., 2009).

Praktik pengendalian hama dengan insektisidaterjadwal dapat menyebabkan berbagai dampak buruk,

termasuk dampak terhadap lingkungan. Alternatifpengendalian yang dapat dilakukan adalah melaluipengembangan pengendalian hama terpadu (PHT).Namun, hingga saat ini belum terdapat informasimengenai pengaruh aplikasi kombinasi prinsip-prinsipPHT yang diterapkan untuk mengendalikan berbagaiOPT kedelai di lapangan. Oleh karena itu, perludilakukan penelitian untuk mendapatkan polapengendalian yang efektif dan efisien yang diharapkandapat diadopsi oleh petani.

Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh polapengelolaan hama yang berbeda terhadap populasiserangga hama pada lahan kedelai varietas Anjasmorodan Wilis.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilaksanakan dikebun percobaan Balai Penelitian Tanaman AnekaKacang dan Umbi (BALITKABI) di Desa Ngale,Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Provinsi JawaTimur. Sedangkan identifikasi dan analisis data dilakukandi Laboratorium Taksonomi dan BiosistematikaDepartemen Proteksi Tanaman, Institut PertanianBogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2013sampai dengan Mei 2014.

Prosedur Percobaan. Percobaan dilakukan denganmenggunakan Rancangan Acak Kelompok denganperlakuan pola pengelolaan hama. Percobaan dilakukanterhadap dua varietas unggul kedelai yaitu varietasAnjasmoro dan Wilis. Setiap kombinasi perlakuandiulang sebanyak tiga kali masing-masing pada petakberukuran 10 x 10 m atau 100 m2.

Benih varietas Anjasmoro dan Wilis diperoleh dariBALITKABI dan ditanam pada lahan denganpemberian perlakuan pola pengelolaan hamayangberbeda. Perlakuan tersebut yaitu 1) PHT (pengendalianhama terpadu) yaitu kombinasi antara perendaman benihselama 15 menit dengan PGPR (Bacillus polymixa danPseudomonas flourescens; Rhizomax, Wish Indonesia),penanaman jagung sebagai tanaman pinggir pada petakperlakuan, monitoring populasi dan intensitas kerusakanhama, aplikasi pestisida kimia (bahan aktif Klorfluazurondan Fipronil dengan dosis masing-masing 900 ml/ha) danpestisida botanis ekstrak mimba 5 ml/L (Azadirachtin;Organeem, Balai Penelitian Tanaman Serat(BALITAS)) sebanyak 5 kali aplikasi berdasarkan hasilpemantauan, 2) P-NK (pengendalian non kimiawi) yaitukombinasi antara perlakuan benih dengan PGPR,monitoring populasi dan intensitas kerusakan hama,

Page 63: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Puspitasari et al. Pengaruh Pola Pengelolaan Hama 27

aplikasi pestisida botanis (ekstrak Mimba) dan agensiahayati Sl-NPV (Spodoptera litura nucleopolyhedrovirus; biakan murni BALITAS) 100 g/Ha sebanyak 5kali aplikasi berdasarkan hasil pemantauan, 3) P-K(pengendalian kimiawi) yaitu aplikasi pestisida kimiawisecara terjadwal (enam kali aplikasi) dan 4) K (kontrol)yaitu tanpa aplikasi pengendalian.

Pengamatan Populasi Hama. Hama kedelai yangdiamati pada penelitian ini merupakan hama utama padatanaman kedelai dari fase yang berbeda di Ngawi(Marwoto, 2007). Hama utama yang diamati yaitu LalatKacang Ophiomya phaseoli Tryon (Diptera:Agromyzidae), pengamatan dilakukan sebanyak tiga kalipengamatan dengan menghitung larva yang ditemukanpada 30 rumpun sampel yang berada pada garis diagonaldalam petak pada 7, 14 dan 21 Hari Setelah Tanam/HST; Kutudaun Aphis gossypii Glover (Hemiptera:Aphididae), pengamatan dilakukan dengan menghitungjumlah A. gossypii yang muncul pada 15 rumpun sampelyang berada pada garis diagonal dalam petak sejaktanaman berumur 7 sampai dengan 70 HST denganinterval tujuh hari (sepuluh kali pengamatan); Ulatpenggulung daun Lamprosema indicata Fabricius(Lepidoptera: Pyralidae), pengamatan dilakukan denganmenghitung jumlah L. indicata yang ditemukan padatiga buah petak seluas 1 m2 pada masing-masing petakperlakuan mulai dari 21 sampai dengan 42 HST denganinterval 7 hari (empat kali pengamatan); Ulat grayakSpodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae),pengamatan dilakukan terhadap jumlah larva yangditemukan pada 30 rumpun sampel yang berada padagaris diagonal dalam petak mulai dari 7 sampai dengan70 HST dengan interval tujuh hari (sepuluh kalipengamatan); Kutukebul Bemisia tabaci Gennadius(Hemiptera: Aleyrodidae), pengamatan dilakukandengan memasang tiga buah perangkap rekat kuningberukuran 10 x 25 cm2 pada masing-masing petakperlakuan dengan posisi diagonal. Pemasangan dilakukanmulai 21 sampai dengan 70 HST dengan interval tujuhhari (delapan kali pemasangan); Kepik penghisap polongRiptortus linearis Fabricius (Hemiptera: Alydidae),pengamatan dilakukan dengan mengamati telur, nimfadan imago yang terdapat dalam petak seluas 1 m2 yaitutiga baris tanaman sepanjang 1 m sebanyak tiga petakpada masing-masing petak perlakuan pada 49, 56, 63,dan 70 HST (empat kali pengamatan); Penggerek polongEtiella zinckenella Treit (Lepidoptera: Pyralidae),dilakukan dengan mengambil 10 polong pada 15 rumpunsampel yang berada pada garis diagonal dalam petakpada 49, 56, 63, 70 HST, dan ketika panen (77 HST).

Produksi Kedelai. Panen kedelai dilakukan dengancara “ubinan” yaitu dengan mengambil rumpun yangberada dalam tiga petak berukuran 2 x 5 m pada masing-masing petak percobaan. Biji kering kedelai (dengankadar air ± 18%) yang telah terpisah dari pohonnyakemudian ditimbang. Data hasil produksi dianalisisdengan menggunakan sidik ragam, apabila terdapatperbedaan nyata maka dilanjutkan dengan uji Tukey padaselang kepercayaan 95%.

Analisis Data. Data hasil pengamatan populasiserangga hama dianalisis dengan menggunakan sidikragam dengan tingkat kepercayaan 95% denganmenggunakan MINITAB 16. Apabila hasil analisis sidikragam menunjukkan perbedaan nyata maka dilanjutkandengan uji perbandingan Tukey dengan selangkepercayaan 95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Waktu Kemunculan Hama. Serangga hama yangdiamati memiliki waktu kemunculan yang berbeda-beda.Perbedaan waktu kemunculan tersebut berkaitan denganaktivitas makan dan kondisi lingkungan pada pertanaman.Gambar 1 menunjukkan waktu kemunculan hamakedelai pada musim kemarau tahun 2013. Kemunculanhama pada pertanaman kedelai berkaitan dengan fasepertumbuhan tanaman kedelai. O. phaseoli muncul padaawal fase vegetatif tanaman yaitu 14 HST, sedangkanB. tabaci, S. litura dan L. indicata muncul padapertengahan fase vegetatif (21-35 HST) sampai denganfase generatif tanaman (42-70 HST). Hama A.gossypii, R. linearis, dan E. zinckenella merupakanhama yang muncul pada fase generatif tanaman yaituketika tanaman telah membentuk bunga dan polong.

Populasi Hama. Hasil pengamatan populasi lalatkacang menunjukkan bahwa pada varietas Anjasmoro,lalat kacang hanya ditemukan pada petak denganpengendalian kimiawi sedangkan pada varietas Wilis,lalat kacang ditemukan pada petak dengan semuaperlakuan (Gambar 2). Hasil pengamatan populasikutudaun pada Gambar 3 menunjukkan bahwa polapengelolaan hama yang berbeda pada petak perlakuantidak memberikan pengaruh nyata terhadap populasikutudaun pada pertanaman. Hal ini terjadi baik padavarietas Anjasmoro maupun pada varietas Wilis. Populasikutudaun pada petak perlakuan dengan pola pengelolaanhama PHT sama dengan pada petak dengan perlakuanpengelolaan hama non kimiawi, kimiawi dan kontrol.

Page 64: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

28 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 25 – 34

O. phaseoli

B. tabaci

S. litura

L. indicata

R. linearis

E. zinckenella

A. gossypii

0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 770 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77

O. phaseoli

B. tabaci

S. litura

L. indicata

R. linearis

E. zinckenella

A. gossypii

A B

Umur tanaman (HST) Umur tanaman (HST)

Gambar 1. Waktu kemunculan hama pada varietas Anjasmoro (A) dan Wilis (B) pada semua teknik pengelolaanhama

Gambar 2. Populasi larva lalat kacang O. phaseoli pada tanaman kedelai varietas Anjasmoro (A) dan Wilis (B)dalam petak yang menggunakan pola pengelolaan hama berbeda; Garis vertikal pada bar menunjukkannilai galat baku

Popu

lasi

O. p

hase

oli (

ekor

/rum

pun)

A

B

PHT (Pengelolaan Hama Terpadu)

Pengendalian non kimiawi

Pengendalian kimiawi

Kontrol

Pengamatan populasi ulat peggulung daun padapetak dengan pola pengelolaan hama yang berbedamenunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan populasiulat baik pada petak dengan pengelolaan hama PHT,kimiawi, non kimiawi maupun tanpa pengelolaan hama

(Gambar 4). Hal ini terjadi pada pertanaman kedelaivarietas Anjasmoro dan juga varietas Wilis. Polapengelolaan hama yang berbeda juga tidakmempengaruhi populasi ulat grayak. Hasil pengamatanterhadap populasi ulat grayak menunjukkan bahwa pola

Page 65: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Puspitasari et al. Pengaruh Pola Pengelolaan Hama 29

Gambar 3. Populasi kutudaun A. gossypii pada tanaman kedelai varietas Anjasmoro (A) dan Wilis (B) dalam petakyang menggunakan pola pengelolaan hama berbeda; Garis vertikal pada bar menunjukkan nilai galatbaku

Popu

lasi

A. g

ossy

pii

(eko

r/ru

mpu

n)

A

B

PHT (Pengelolaan Hama Terpadu)

Pengendalian non kimiawi

Pengendalian kimiawi

Kontrol

Gambar 4. Populasi kutudaun L. indicata pada tanaman kedelai varietas Anjasmoro (A) dan Wilis (B) dalam petakyang menggunakan pola pengelolaan hama berbeda; Garis vertikal pada bar menunjukkan nilai galatbaku

Popu

lasi

L. i

ndic

ata

(ek

or/u

mpu

n)

A

B

PHT (Pengelolaan Hama Terpadu)

Pengendalian non kimiawi

Pengendalian kimiawi

Kontrol

Page 66: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

30 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 25 – 34

pengelolaan hama yang berbeda pada petak percobaantidak memberikan pengaruh nyata terhadap populasi ulatgrayak pada pertanaman. Hal ini terjadi baik padavarietas Anjasmoro maupun pada varietas Wilis sepertiyang tampak pada Gambar 5.

Hasil pengamatan terhadap populasi kutukebulmenunjukkan bahwa pola pengelolaan hama yangberbeda mempengaruhi populasi kutukebul pada 21 HSTdalam percobaan varietas Anjasmoro. Populasikutukebul paling rendah terdapat pada pengendalianhama PHT sedangkan paling tinggi terdapat padapengendalian non-kimiawi. Gambar 6 menunjukkanbahwa populasi kutukebul pada varietas Anjasmoromenurun sejak 56 HST. Penurunan ini terjadi terus hingga70 HST. Fluktuasi populasi tersebut berbeda denganyang terjadi pada varietas Wilis. Populasi kutukebuldalam percobaan menggunakan varietas Wilismenunjukkan peningkatan kutukebul terjadi sejak 56 HSThingga 70 HST. Pengelolaan hama yang berbeda tidakmempengaruhi populasi kutukebul pada varietas Wilis.

Hasil pengamatan terhadap populasi kepikpenghisap polong pada pertanaman kedelai varietasAnjasmoro menunjukkan tidak terdapat perbedaan padapetak dengan pola pengelolaan hama yang berbeda. Halini juga terjadi pada tanaman kedelai varietas Wilis. Polapengelolaan hama yang berbeda pada petak perlakuantidak mempengaruhi populasi kepik penghisap polong.

Gambar 5. Populasi kutudaun S. litura pada tanaman kedelai varietas Anjasmoro (A) dan Wilis (B) dalam petakyang menggunakan pola pengelolaan hama berbeda; Garis vertikal pada bar menunjukkan nilai galatbaku

Popu

lasi

S. li

tura

(ek

or/u

mpu

n)

A

B

PHT (Pengelolaan Hama Terpadu)

Pengendalian non kimiawi

Pengendalian kimiawiKontrol

Hasil ini tampak pada Gambar 7 yang menunjukkan padavarietas Anjasmoro populasi kepik penghisap polongtinggi pada petak dengan pengelolaan hama PHTsedangkan pada petak dengan pengelolaan hama non-kimiawi rendah. Hasil pengamatan populasimenunjukkan bahwa kepik penghisap polong padakedelai varietas Wilis ditemukan pada petak denganpengelolaan hama yang berbeda dan pada petak tanpapengelolaan hama (kontrol).

Pola pengelolaan hama yang berbeda tidakberpengaruh nyata pada populasi ulat penggerek polongyang ditemukan pada polong sampel. Hasil tersebut samapada kedelai varietas Anjasmoro maupun pada varietasWilis. Hasil pengamatan pada Gambar 8 menunjukkanbahwa pada varietas Anjasmoro, ulat pengerek polongditemukan mulai pada 70 HST sedangkan pada varietasWilis ulat pengerek polong ditemukan mulai 63 HST.

Produksi Kedelai. Produksi kedelai varietasAnjasmoro pada petak tanpa pengelolaan hama sebesar15,5 kg/100 m2 sedangkan pada petak denganpengelolaan hama PHT, non-kimiawi dan kimiawiberturut-turut sebesar 16,4 kg/100 m2, 16,9 kg/100 m2

dan 15,8 kg/100 m2. Hasil tersebut secara statistik tidakmenunjukkan perbedaan antar pola pengelolaan hamapada varietas Anjasmoro (Tabel 1). Hasil produksikedelai varietas Wilis pada petak tanpa pengelolaan

Page 67: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Puspitasari et al. Pengaruh Pola Pengelolaan Hama 31

Gambar 6. Populasi kutudaun B. tabaci pada tanaman kedelai varietas Anjasmoro (A) dan Wilis (B) dalam petakyang menggunakan pola pengelolaan hama berbeda; Garis vertikal pada bar menunjukkan nilai galatbaku

Popu

lasi

B. t

abac

i (ek

or/p

eran

gkap

)A

B

PHT (Pengelolaan Hama Terpadu)

Pengendalian non kimiawi

Pengendalian kimiawi

Kontrol

Gambar 7. Populasi kutudaun R. linearis pada tanaman kedelai varietas Anjasmoro (A) dan Wilis (B) dalam petakyang menggunakan pola pengelolaan hama berbeda; Garis vertikal pada bar menunjukkan nilai galatbaku

Popu

lasi

R. l

inea

ris

(eko

r/m

2 )

A

B

PHT (Pengelolaan Hama Terpadu)

Pengendalian non kimiawi

Pengendalian kimiawi

Kontrol

Page 68: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

32 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 25 – 34

Gambar 8. Populasi kutudaun E. zinckenella pada tanaman kedelai varietas Anjasmoro (A) dan Wilis (B) dalampetak yang menggunakan pola pengelolaan hama berbeda; Garis vertikal pada bar menunjukkan nilaigalat baku

Popu

lasi

E. z

inck

enel

la(e

kor/

10 p

olon

g)A

B

PHT (Pengelolaan Hama Terpadu)

Pengendalian non kimiawi

Pengendalian kimiawi

Kontrol

hama sebesar 20,2 kg/100 m2 sedangkan pada petakdengan pengelolaan hama PHT, non-kimiawi dan kimiawiberturut-turut sebesar 21,9 kg/100 m2; 21,8 kg/100 m2

dan 23,1 kg/100 m2. Hasil produksi tersebutmenunjukkan pola pengelolaan hama mampumeningkatkan produksi. Hasil produksi tinggi terdapatpada petak dengan pengelolaan hama PHT, kimiawi dannon-kimiawi, sedangkan terendah terdapat pada petaktanpa pengelolaan hama.

Keberadaan hama pada tanaman kedelaimempengaruhi pertumbuhan tanaman, yang padaakhirnya akan mempengaruhi produktivitas. Shepard et

al. (2001) menyatakan bahwa aplikasi insektisida padasaat hama mencapai atau melebihi ambang kendali akanmeminimalkan frekuensi aplikasi insektisida padapertanaman kedelai sehingga mengurangi biaya produksidan jumlah residu pada tanaman. Hasil pengamatanterhadap kemunculan hama pada percobaan denganvarietas Anjasmoro dan varietas Wilis menunjukkanbahwa hama lalat kacang muncul pada 14-21 HST,kemudian kutukebul, ulat penggulung daun dan ulatgrayak muncul pada 21-70 HST sedangkan kutudaun,kepik penghisap polong dan ulat penggerek polongmuncul pada fase generatif 42-70 HST. Hasil

Tabel 1. Produksi kedelai varietas Anjasmoro dan Wilis pada petak yang menggunakan pola pengelolaan hamayang berbeda di Ngawi

aNilai dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata pada uji Tukeydengan selang kepercayaan 95%.

Pola pengelolaan hamaProduksi (kg/100 m2)a

Varietas Anjasmoro Varietas Wilis

PHT 16,4 a 21,9 abPengendalian Non Kimiawi 16,9 a 21,8 abPengendalian Kimiawi 15,8 a 23,1 aKontrol 15,5 a 20,2 b

Page 69: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Puspitasari et al. Pengaruh Pola Pengelolaan Hama 33

pengamatan terhadap lalat kacang, kepik penghisappolong, ulat penggerek polong dan ulat penggulung daunsesuai dengan hasil penelitian Marwoto (2007) bahwalalat kacang menyerang pada 1-30 HST, kepikpenghisap polong dan ulat penggerek polong menyerangpada 31-70 HST sedangkan ulat penggulung daunmenyerang pada saat tanaman berumur 11-51 HST.Namun, kemunculan hama ulat grayak, kutukebul dankutudaun berbeda dengan hasil penelitian Marwototersebut. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya curahhujan yang tinggi pada 7-21 HST di musim tanam ini.Kemunculan kutudaun pada fase generatif didukung olehkondisi lingkungan yang sesuai bagi perkembangannya.Faktor curah hujan juga mendukung keberadaankutukebul pada fase vegetatif sampai dengan fasegeneratif tanaman kedelai. Pada musim kemaraupopulasi A. gossypii lebih tinggi daripada musimpenghujan (Riyanto et al., 2011). Kemunculan danpopulasi hama berkaitan dengan fenologi tanaman(Biswas, 2013).

Pola pengelolaan hama yang berbeda tidakmempengaruhi populasi kutudaun, ulat penggulung daun,ulat grayak, kepik penghisap polong dan ulat penggerekpolong, sedangkan populasi kutukebul dipengaruhi olehpola pengendalian yang berbeda pada 21 HST. Populasikutukebul paling rendah terdapat pada petak dengan polapengelolaan hama PHT. Hal ini menunjukkan bahwapenggunaan tanaman pinggir jagung sebagai alatpengendalian fisik mampu mengganggu penyebarankutukebul pada pertanaman. Pada kedelai varietas Wilis,pola pengelolaan yang berbeda tidak mempengaruhipopulasi hama utama tanaman kedelai yaitu kutudaun,kutukebul, ulat penggulung daun, ulat grayak, kepikpenghisap polong dan ulat penggerek polong. Hasilpengamatan produksi kedelai menunjukkan bahwa padapercobaan dengan menggunakan varietas Anjasmoro,pola pengelolaan hama tidak mempengaruhi produksikedelai. Namun, pada varietas Wilis pola pengelolaanhama mempengaruhi hasil produksi. Hasil produksi palingtinggi yaitu pada petak dengan pola pengelolaan hamakimiawi, namun hasil ini tidak berbeda nyata dengan hasilproduksi pada petak dengan pengelolaan hamanonkimiawi dan PHT. Hal ini menunjukkan bahwaaplikasi insektisida nabati dan penggunaan agensia hayatipada pola pengelolaan hama non kimiawi sertapenggunaan tanaman pinggir jagung pada polapengelolaan PHT mampu memberikan hasil produksiyang sama dengan produksi kedelai pada petak denganpengelolaan hama kimiawi. Sehingga dapat diketahuibahwa penggunaan insektisida secara terjadwal padapertanaman kedelai tidak diperlukan.

Rata-rata curah hujan harian yang tinggi pada awalpenanaman menyebabkan kemunculan beberapa hamaterlambat. Ketidaksesuaian antara fase pertumbuhantanaman dengan waktu infestasi hama menyebabkankeberadaan hama sedikit, sehingga permasalahan hamayang biasa dihadapi pada musim kemarau II tidak munculpada musim kemarau II tahun ini. Rendahnya populasihama ini menyebabkan hasil pengamatan yang diperolehtidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.Permasalahan yang dihadapi pada lahan sawah padaMK-II menurut Karamoy (2008) adalah adanyapeningkatan serangan hama lalat kacang, persaingandengan gulma tinggi, tingginya populasi hama penggerekbatang, ulat pemakan daun, pengisap polong, danpenggerek biji. Pola pengelolaan hama PHT memilikikemampuan yang sama dengan pola pengelolaan hamakimiawi dalam mengendalikan populasi hama, namunpenggunaan insektisida kimiawi yang bijaksana pada polapengelolaan hama PHT membuat pola ini aman bagilingkungan.

SIMPULAN

Pola pengelolaan hama pada pertanaman kedelaivarietas Anjasmoro dan varietas Wilis dapatmempengaruhi tingkat populasi hama tertentu. Produksikedelai varietas Wilis pada petak dengan polapengelolaan hama kimiawi sama dengan produksi kedelaipada petak dengan pengelolaan hama non kimiawi danPHT. Pola pengelolaan hama yang efektifmengendalikan populasi hama kedelai dan aman bagilingkungan adalah PHT.

SANWACANA

Penelitian ini didanai melalui Program KKP3N,Litbang Kementerian Pertanian, 2013 SPK No: 693/LB.620/1.1/2/2013 dan kerjasama dengan BalaiPenelitian Aneka Kacang dan Umbi serta DepartemenProteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Ucapanterima kasih juga penulis sampaikan kepada petanikedelai di KP Ngale, Ngawi, Jawa Timur.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin M. 2012. Bioinsektisida SlNPV untukmengendalikan ulat grayak mendukungswasembada kedelai. Peng. Inov. Pert. 5(1): 19–31.

Page 70: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

34 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 25 – 34

Berg HVD, Shepard BM, & Nasikin. 2010. Damageincidence by Etiella zinckenella in soybean inEast Java, Indonesia. Int. J. Pest Manage. 44(3):153–159.

Biswas GC & Islam R. 2012. Infestation andmanagement of the leaf roller (Lamprosemaindicata Fab.) in soybean (Glycine max L.).Bangladesh J. Agril. Res. 37(1): 19–25.

Biswas GC. 2013. Insect pest of soybean (Glycine maxL.), their nature of damage and succession withthe crop stages. J. Asiat. Soc. Bangladesh Sci.39(1): 1–8.

Ghulamahdi M, Melati M, & Sagala D. 2009. Productionof soybean varieties under saturated soil cultureon tidal swamps. J. Agron. Indones. 37(3): 226–232.

Indiati SW. 2014. The use of sugar apple and neemextract to control leaf eating pest on soybean.JEBAS. 2(2): 208–214.

Karamoy LT. 2008. Relationship between climate andsoybean (Glycine max (L.) Merrill) growth. SoilEnv. 7(1): 65–68.

Latif MA. 2013. Diversity of insect pest in soybean cropand their integrated management. Bangladesh. J.Entomol. 23(2): 65–82.

Marwoto. 2007. Dukungan pengendalian hama terpadudalam program bangkit kedelai. Iptek Tan. Pang.2(1): 79–92.

Radiyanto I, Sodiq M, & Nurcahyani NM. 2010.Keanekaragaman serangga hama dan musuhalami pada lahan pertanaman kedelai diKecamatan Balong-Ponorogo. J. EntomologiIndonesia. 7(2): 116–121.

Riyanto, Herlinda S, Irsan C, & Umayah A. 2011.Kelimpahan dan keanekaragaman spesiesserangga predator dan parasitoid Aphis gossypiidi Sumatera Selatan. J. HPT Tropika 11(1): 57–68.

Shepard BM, Shepard EF, Carner GR, Hammig MD,Rauf A, & Turnipseed SG. 2001. Integrated pestmanagement reduces pesticides and productioncosts of vegetables and soybean in Indonesia: fieldstudies with local farmers. J. Agromedicine. 7(3):31–66.

Suhartina. 2005. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balai PenelitianTanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian,Malang, Indonesia.

Supadi. 2008. Menggalang partisipasi petani untukmeningkatkan produksi kedelai menujuswasembada. J. Litbang. Pert. 27(3): 106–111.

Tillman PG. 2014. Physical barriers for suppression ofmovement of adult stink bugs into cotton. J. Pest.Sci. 87(3): 419–427.

Widodo. 2006. Peran Mikroba Bermanfaat dalamPengelolaan Terpadu Hama dan PenyakitTanaman. Apresiasi Penanggulangan OPTTanaman Sayuran, Nganjuk, Indonesia.

Zakaria AK, Sejati WK, & Kustiarini R. 2010. Analisisdaya saing komoditas kedelai menurut agroekosistem: kasus di tiga provinsi di Indonesia. J.Agro. Ekonom. 28(1): 21–37.

Page 71: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

82 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 82 - 89 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 16, No. 1: 82 – 89, Maret 2016

EFIKASI CAMPURAN MINYAK CENGKEH DANEKSTRAK BIJI MIMBA UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT KARAT

(PHAKOPSORA PACHYRHIZI) PADA KEDELAI (GLYCINE MAX)

Sumartini

Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan UmbiJl. Raya Kendalpayak Km 8. Malang, Jawa Timur

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Efficacy of clove oil and neem extract control rust (Phakopsora rapachyrhizi) disease on soybean (Glycine max).Rust is the major disease on soybean. It was widely spread in almost all soybean production areas in the world. Yield lossescan reach 85%. One of the control measured was sprayed with a mixture of clove oil and neem extract. The objective of theresearch was found the information of the clove oil and neem extract effectivity control soybean rust. The research consistedof two phases as followed: 1) the efficacy of clove oil and neem extract dilution control soybean rust disease. 2) theefficacy of clove oil, neem extract and soap berry (Sapindus rarak) extract control soybean rust disease. The researchwas conducted at Kendalpayak Experimental Station and the green house of Indonesian Legumes and Tuber Crops ResearchInstitute, Malang District, in dry season of 2012 and 2013 respectively. The research was arranged in randomized blockdesign. Treatments were various comparison between clove oil, neem extract and soap berry. Parameters observed wererust disease intensity and yield components. Results showed that a mixture of clove oil and neem extract with ratio of60:40 (v:v) can inhibit rust disease intensity by 45% compared with control, increase the number of pods by 60% andpreventing the yieldloss of 20%. Furthermore, a mixture of clove oil, neem extract and berry soap (Sapindus rarak) witha 50:30:20 ratio (v:v:v) can inhibit rust disease intensity up to 28% and 24% in the field and green house respectively andprevent yield loss by 12%.

Key words: clove oil, neem extract, rust disease, Sapindus rarak, soybean

ABSTRAK

Efikasi campuran minyak cengkeh dan ekstrak biji mimba untuk pengendalian penyakit karat (Phakopsorapachyrhizi) pada kedelai (Glycine max). Penyakit karat merupakan penyakit utama pada kedelai. Penyebaran penyakitkarat sangat luas, hampir ke seluruh daerah sentra produksi kedelai di dunia. Kehilangan hasil dapat mencapai 85%. Salahsatu cara pengendalian adalah penyemprotan dengan campuran minyak cengkeh dan mimba. Penelitian bertujuan untukmendapatkan informasi mengenai efektifivitas campuran minyak cengkeh, mimba dan lerak. Penelitian terdiri atas duatahap yaitu: (1) Efikasi campuran minyak cengkeh dan ekstrak mimba untuk pengendalian penyakit karat pada kedelai. (2)Efikasi campuran minyak cengkeh, ekstrak mimba, dan ekstrak lerak untuk pengendalian penyakit karat pada kedelai. Penelitiandilakukan di Kebun Percobaan Kendalpayak, dan rumah kaca, Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi),Kabupaten Malang, pada musim kemarau tahun 2012 dan 2013. Rancangan yang digunakan adalah acak kelompok.Perlakuannya berbagai perbandingan antara minyak cengkeh, ekstrak mimba dan ekstrak lerak. Parameter yang diamati:intensitas penyakit karat dan komponen hasil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa campuran minyak cengkeh dan ekstrakmimba dengan perbandingan 60:40 (v:v) dapat menghambat intensitas penyakit karat sebesar 45% dibandingkan dengankontrol, dapat meningkatkan jumlah polong isi sebesar 37%, dan mencegah kehilangan hasil sebesar 20%. Campuran minyakcengkeh, ekstrak mimba, dan ekstrak lerak dengan perbandingan 50:30:20 (v:v) dapat menghambat intensitas penyakit karatsampai 28% dan 24% masing-masing di rumah kaca dan lapangan serta mencegah kehilangan hasil sebesar 12%.

Kata kunci: kedelai, lerak, minyak cengkeh, mimba, penyakit karat

PENDAHULUAN

Kedelai merupakan sumber protein nabati yangrelatif murah dan sangat populer di masyarakat luas.Dengan terus meningkatnya pertumbuhan penduduk,

maka industri pangan juga semakin berkembang,termasuk pangan yang terbuat dari kedelai (tahu, tempe,susu, dan olahan lainnya). Menurut data dari DirektoratAkabi (2013) bahwa kebutuhan kedelai dalam negeribaru dipenuhi 35% dan sisanya dipenuhi dari kedelai

Page 72: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Sumartini Efikasi Campuran Minyak Cengkeh 83

impor. Dalam meningkatkan produksi kedelai terdapatbeberapa hambatan, adalah terjadinya penyakit karat.

Di Indonesia, umumnya kacang-kacanganditanam pada musim kemarau, termasuk kedelai, namundemikian, pada musim kemarau sering terjadi penyakitkarat dengan kerugian yang ditimbulkan cukup besar.Penyakit karat (Phakopsora pachyrhizi) merupakanpenyakit utama (Semangun, 2004; Monte, 2003).Penyakit karat telah tersebar luas di sentra produksikedelai di dunia. Di Indonesia, penyakit karat terdapatdi sentra produksi kedelai di Sumatera, Jawa, Bali, NusaTenggara Barat, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan(Semangun, 2004). Gejala penyakit karat ditandai denganmunculnya bercak klorotik kecil yang tidak beraturanpada permukaan daun. Pada umumnya gejala karatmuncul pada permukaan bawah daun, bercak tersebutkemudian berubah menjadi coklat atau coklat tua danmembentuk pustul. Pustul merupakan kumpulanuredium, pustul yang telah matang akan pecah danmengeluarkan spora yang menyerupai tepung yangwarnanya seperti karat besi. Tepung tersebut merupakankantung-kantung spora yang disebut uredium dan berisiuredospora. Penyakit karat menyebabkan daun menjadikering dan rontok sebelum waktunya. Stadium awalpenyakit karat mungkin tidak dapat dibedakan denganpustul bakteri atau embun bulu (downymildew).

Kehilangan hasil akibat penyakit karat padakedelai dilaporkan dapat mencapai 40–90% di Indonesia(Sudjono et al., 1985), 10–40% di Thailand, serta 23–50% di Taiwan (Sinclair & Shurtleff, 1980).

Penggunaan cengkeh merupakan salah satu carapengendalian penyakit karat, cara ini mempunyaikeuntungan karena dapat terdegradasi di alam, tidakmenimbulkan ras-ras baru, dan tidak mengganggukesehatan manusia (Kardinan, 2004).

Tepung dan minyak bunga cengkeh dapatmenghambat pertumbuhan cendawan Phytophtoracapsici, P. palmivora, P. lignosus, dan Sclerotiumrolfsii (Manohara et al., 1993). Selain itu minyakcengkeh juga dapat menekan perkembangan patogentanaman antara la in Fusarium oxysporum danRhizoctonia solani (Towaha, 2012).

Sumartini (2007) melaporkan bahwa ekstrakbunga cengkeh mampu menekan cendawanPhakopsora pachyrizi lebih efektif daripada bawangmerah dan tembakau. Selanjutnya bahwa penyemprotanekstrak bunga cengkeh 100/1000 (w/v) efektifmenghambat perkembangan penyakit karat sampai67,6%. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak bungacengkeh semakin rendah jumlah uredium. Denganmenaikkan konsentrasi ekstrak bunga cengkeh 2–3 kali

jumlah uredium turun menjadi 39–64%. Penyemprotanminyak bunga cengkeh (2 ml/L) dengan frekuensi 5 harisekali untuk pengendalian penyakit karat (P. pachyrhizi)pada kedelai dapat menekan intensitas penyakit karathingga 68% di rumah kaca, dan 17% di lapangan(Sumartini, 2010).

Akhir-akhir ini harga minyak cengkeh semakinmahal, pencampuran dengan bahan nabati lain sangatdimungkinkan supaya bahan baku produk fungisidanabati yang dibuat menjadi lebih murah. Ekstrak bijimimba selain digunakan untuk membunuh seranggahama juga sering digunakan sebagai penghambatperkembangan penyakit tanaman seperti pada sesameuntuk menghambat perkembangan penyakit pasca panenyang disebabkan oleh cendawan Monilia fructicola,Penicillium expansum, Trichothesium roseum,Alternaria alternate (Wang et al., 2010). Selain ituekstrak biji mimba dapat menghambat perkembangancendawan Aspergillus flavus penghasil aflatoksin(Krishnamurthy & Shashikala, 2006).

Biji tanaman Sapindus rarak banyak digunakansebagai bahan pencuci (baju yang terbuat dari batik,peralatan dapur, hewan peliharaan). Lerak mengandungsenyawa saponin, alkaloid, ateroid, dan triperten masing-masing sebesar 12%; 1%; 0,036 % dan 0,029% (Tommy,2009). Selain itu ekstrak buah lerak juga berfungsisebagai surfaktan nabati dan perekat (Chandra et al.,2012). Menurut Tsuzuki et al. (2007), buah lerak dapatmenekan cendawan Candida parapsilapsis penyebabbeberapa macam penyakit pada manusia.

Penelitian bertujuan untuk mendapatkancampuran minyak cengkeh, ekstrak mimba dan ekstraklerak yang efektif untuk mengendalikan penyakit karatpada kedelai.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian ini terdiri dari dua tahapyaitu: (1) Efektivitas campuran minyak cengkeh danekstrak mimba untuk mengendalikan penyakit karat padakedelai; penelitian tahap 1 dilakukan di Kebun PercobaanKendalpayak, dan Laboratorium Mikologi, Balitkabi,pada musim kemarau tahun 2012, (2) Efektivitascampuran minyak cengkeh, ekstrak mimba dan ekstraklerak untuk mengendalikan penyakit karat pada kedelai;penelitian tahap 2 dilakukan di Rumah Kaca dan KebunPercobaan Kendalpayak pada musim kemarau 2013.

Efektivitas Campuran Minyak Cengkeh danEkstrak Mimba untuk Pengendalian PenyakitKarat pada Kedelai. Penelitian ini dilakukan dengan

Page 73: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

84 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 82 - 89

rancangan acak kelompok dengan empat ulangan,dengan perlakuan sebagai berikut:1. Formula 1 = Minyak cengkeh : ekstrak biji mimba

= 50:50 (v:v)2. Formula 2 = Minyak cengkeh : ekstrak biji mimba

= 60:40 (v:v)3. Formula 3 = Minyak cengkeh : ekstrak biji mimba

= 70:30 (v:v)4. Minyak cengkeh (0,3%)5. Ekstrak biji mimba (5%)6. Air (sebagai kontrol)

Perbedaan antar perlakuan dihitung denganmenggunakan program M-Stat C yang dikembangkanoleh Balai Riset IRRI (International Rice ResearchInstitute) di Manila, Filipina.

Persiapan Tanaman. Benih kedelai varietasBurangrang ditanam pada plot-plot yang berukuran 4 x5 m, dengan jarak tanam 15 x 40 cm. Setiap lubangtanam terdapat dua tanaman yang dipelihara. Duaminggu sebelum tanam, untuk penelitian ditanam duabaris benih kedelai varietas Burangrang di bagian pinggirmengeliling petak penelitian. Pada saat tanaman pinggirberumur 3 minggu dilakukan inokulasi penyakit karatpada tanaman pinggir sebagai sumber inokulum(dilakukan pada penelitian tahap 1 dan 2). Seharisebelum inokulasi daun-daun terinfeksi di lapangan dibawa ke laboratorium untuk diinkubasi pada kelembabantinggi. Suspensi spora (kerapatan 104) diperoleh denganmerontokan spora dari daun-daun yang diinkubasitersebut. Inokulasi dilakukan pada sore hari (kira-kirapukul 16.00–17.00).

Persiapan Bahan Nabati. Minyak cengkeh dibuatdengan cara penyulingan, (hasil penyulingan dauncengkeh murni sebanyak 3 ml dicampur dengan satuliter air), sedangkan ekstrak mimba dibuat dengan caramenghaluskan 50 g biji mimba dengan “griener”,kemudian dibuat suspensinya dengan menambahkan airsebanyak satu liter, dan diinkubasi selama 24 jam.Larutan disaring untuk mendapatkan residu yang bersih.Campuran larutan bahan nabati diberi Tween 20 sebayakdua tetes/L atau 0,28 ml/L pada saat akan disemprotkan.Penyemprotan dilakukan “knapsack sprayer”, denganinterval 5 hari sekali, sebanyak tujuh kali penyemprotan.Perlakuan penyemprotan minyak cengkeh dan atauekstrak biji mimba dilakukan pada saat tanaman berumur30–65 hari.

Pengendalian hama selama penelitian dilakukansecara intensif. Untuk mengendalikan kutu kebul,dilakukan penyemprotan dengan Fipronil atau

Deltametrin dan ulat grayak dengan Lamda sihalotrin.Diusahakan penyemprotan hama tidak dilakukan padahari yang sama dengan perlakuan untuk penelitian.

Pengamatan. Pengamatan intensitas penyakit karatdilakukan dengan memberi nilai (persentase) pada luaskanopi daun yang tertutupi oleh penyakit karat padatanaman sampel, 10 tanaman sampel/plot. Beratbrangkasan diukur dengan menimbang berat basah batangdan daun pada saat panen. Berat biji kering diukur denganmenimbang biji-biji yang sudah kering dan dikupas darikulitnya. Jumlah polong hampa diukur denganmenghitung jumlah polong yang tidak berisi. Jumlahpolong isi, diukur dengan menghitung jumlah polong adaisinya.

Efektivitas Campuran Minyak Cengkeh, EkstrakMimba dan Ekstrak Lerak untuk PengendalianPenyakit Karat pada Kedelai. Uji efektivitascampuran minyak cengkeh, ekstrak mimba dan ekstraklerak untuk pengendalian penyakit karat pada kedelaidilakukan dalam dua tahap yaitu di Rumah Kaca denganmenggunakan acak lengkap, dengan 10 ulangan. Benihkedelai varietas Burangrang (peka penyakit karat)ditanam pada pot-pot berisi tanah 5 kg. Setiap perlakuanterdiri atas 10 pot, setiap pot terdiri atas dua tanaman.Tahap kedua dilakukan di Kebun PercobaanKendalpayak dengan menggunakan benih kedelaivarietas Burangrang ditanam pada plot-plot berukuran4 x 7,5 m, jarak tanam 40 x 15 cm. Rancangan yangdigunakan acak kelompok dengan 4 ulangan.

Perlakuannya baik di rumah kaca maupun dilapangan adalah sebagai berikut:1. Formula 1 = Campuran minyak cengkeh : ekstrak biji

mimba : ekstrak lerak = 50:30:20 (v:v:v)2. Formula 2 = Campuran minyak cengkeh : ekstrak biji

mimba : ekstrak lerak = 60:30:10 (v:v:v)3. Formula 3 = Campuran minyak cengkeh : ekstrak biji

mimba : ekstrak biji lerak = 65:30:5 (v:v:v)4. Formula 4 = Campuran minyak cengkeh : ekstrak biji

mimba = 70:30 (v:v)5. Minyak cengkeh6. Ekstrak lerak (10% w:v)7. Ekstrak lerak (20% w:v)8. Air (sebagai kontrol)

Persiapan Bahan Nabati. Minyak cengkeh diperolehdari penyulingan daun cengkeh murni (dari pengrajinminyak cengkeh di Desa Watulimo, KecamatanWatulimo, Kabupaten Trenggalek, Jatim) diambil 3 mldicampur dengan satu liter air. Ekstrak biji mimba dibuatdari 50 g biji mimba yang sudah dihaluskan ditambahkan

Page 74: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Sumartini Efikasi Campuran Minyak Cengkeh 85

satu liter air, kemudian direndam selama semalam,sedangkan ekstrak lerak dibuat dari buah lerak yangdiiris-iris 100 g/L air (10%) dan 200 g/L (20%), buahlerak tersebut direndam selama semalam. Larutandisaring, dan air hasil rendaman tersebut (filtrat) siapuntuk dicampurkan. Penyemprotan dilakukan pada saattanaman berumur 30–65 hari setelah tanam, denganinterval waktu 5 hari. Pengendalian hama dilakukansecara intensif sepert pada penelitian pertama.

Parameter yang diamati: 1. intensitas penyakitkarat, 2. berat brangkasan, 3. jumlah polong bernas/isi,4. jumlah polong hampa, 5. berat biji kering, 6. berat100 biji. Pengamatan intensitas penyakit karat dilakukanpada lima titik secara diagonal di setiap plot, setiap titikdua tanaman sehingga setiap plot terdapat sepuluhtanaman sampel. Intensitas penyakit karat dihitungdengan memberi nilai (persentase) pada bagian tanamanyang tertutupi oleh penyakit karat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Efektivitas Campuran Minyak Cengkeh danEkstrak Mimba untuk Pengendalian PenyakitKarat pada Kedelai. Intensitas penyakit karatbervariasi antar perlakuan terendah adalah 18% dantertinggi adalah 96%. Intensitas penyakit karat padapetak tanpa bahan nabati cenderung lebih tinggi daripadayang diberi perlakuan bahan nabati. Pada umur 5, 6,dan 7 minggu setelah tanam, berturut-turut adalah 20,59, dan 96%. Intensitas karat pada awal pengamatanbelum terlihat perbedaan antar perlakuan, sedangkanpada pengamatan ke dua, plot yang diberi Formula 2(Minyak cengkeh : ekstrak biji mimba dicampur dengan

perbandingan 60:40) berbeda nyata dengan plot tanpapenyemprotan. Pada akhir pengamatan intensitaspenyakit karat terendah adalah pada perlakuan Formula1 (minyak cengkeh : ekstrak mimba dicampur denganperbandingan 50:50) dengan penghambatan sebesar45% dibandingkan dengan kontrol (Tabel 1).

Perkembangan penyakit karat sangat cepatmenurut Koch et al. (1983), haustorium pertama tampakpada 24–48 jam setelah inokulasi. Uredinia (kantunguredospora) terbentuk 5–8 hari setelah infeksi olehuredospora. Sedangkan menurut Bromfield & Hartwig(1980), satu daun dengan beberapa bercak karatmungkin dapat mengandung uredospora yang sangatbanyak dan akan menyebabkan epidemik. Setiap bercakmemproduksi rata-rata lebih dari 12.000 uredosporadalam 4–6 minggu.

Perkembangan penyakit karat pada plot yangdisemprot dengan mimba saja atau dengan minyakcengkeh saja sangat cepat dari 5, ke 6, dan 7 minggusetelah tanam, namun ketika dikendalikan denganFormula 1 (minyak cengkeh : ekstrak mimba dicampurdengan perbandingan 50:50), maka perkembanganpenyakit karat semakin lama (Tabel 1). Mekanismepenghambatan spora oleh bahan nabati cengkeh adalahdinding sel spora mengalami lisis (Sumartini, 2010). Padaumumnya pengendalian penyakit dengan menggunakanbahan nabati menekan perkembangan penyakit hingga60% (Kardinan, 2004), hal ini disebabkan oleh propagulyang berada di dalam jaringan tanaman tidak seluruhnyamati (100%).

Berat brangkasan antar perlakuan secara statistiktidak berbeda nyata, namun terdapat kecenderunganbahwa plot yang disemprot dengan air saja mempunyai

Tabel 1. Intensitas serangan penyakit karat pada plot yang diberi beberapa macam perlakuan (KP Kendalpayak,MK 2012)

Formula 1= Minyak cengkeh : ekstrak biji mimba (50:50); Formula 2= minyak cengkeh : ekstrak biji mimba (60:40);Formula 3= minyak cengkeh : ekstrak biji mimba = 70:30. MK= Musim kering. mst = minggu setelah tanam, tn =tidak berbeda nyata.

No Perlakuan Intensitas penyakit karat (%) pada umur

5 mst (tn) 6 mst 7 mst

1 Formula 1 23,25 41,50 ab 52,00 c 2 Formula 2 18,00 40,25 b 72,13 b 3 Formula 3 22,50 58,13 a 93,88 a 4 Minyak cengkeh (0,3%) 23,63 54,75 ab 93,75 a 5 Ekstrak mimba (5%) 19,25 40,25 b 67,13 b 6 Air (sebagai kontrol) 20,00 58,75 a 95,88 a Kk (%) 27,30 23,56 12,04 BNT 0,05 8,67 17,38 14,36

Page 75: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

86 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 82 - 89

berat brangkasan yang lebih besar. Berat biji kering jugatidak berbeda nyata, dan ada kecenderungan bahwa padaplot yang diberi perlakuan minyak cengkeh saja dan plotpembanding memiliki berat biji kering lebih rendahdaripada petak yang diberi perlakuan lainnya (Tabel 2).

Penyakit karat juga berpengaruh terhadap biji(kualitas maupun kuantitas), serangan penyakit karatyang parah akan mengakibatkan biji-biji menjadi keriput,atau polong kosong tidak berisi (Sudjono, 1977).Pengendalian penyakit karat akan meningkatkan jumlahpolong yang bernas atau berisi. Jumlah polong isi tertinggiadalah pada plot yang disemprot dengan Formula 2 (Minyak cengkeh : ekstrak biji mimba denganperbandingan 60:40), dengan peningkatan sebesar 60%.

Hasil biji kering antar perlakuan secara statistikjuga tidak terdapat perbedaan antar perlakuan (Tabel2), namun terdapat kecenderungan bahwa pengendalianpenyakit karat dengan Formula 2 (Minyak cengkeh :ekstrak biji mimba dengan perbandingan 60:40) tersebutsetidaknya dapat memperbaiki kualitas hasil dan dapatmencegah kehilangan hasil sebesar 0,350 kg atau 20%.

Efektivitas Campuran Minyak Cengkeh, EkstrakMimba dan Ekstrak Lerak untuk PengendalianPenyakit Karat pada Kedelai. Pada pengamatan umur5, 6, 7, dan 8 minggu setelah tanam intensitas penyakitkarat masing-masing berkisar 14–36, 15– 48, 21–50,dan 22–50%. Pada empat kali pengamatan secarakonsisten Formula 1 (Campuran minyak cengkeh :ekstrak biji mimba : ekstrak lerak = 50:30:20) dan Formula2 (Campuran minyak cengkeh : ekstrak biji mimba :ekstrak lerak = 60:30:10) lebih unggul dari perlakuanlainnya dan tanpa perlakuan (Tabel 3).

Supaya diperoleh larutan yang homogen,penyemprotan bahan nabati biasanya digunakan Tween20 sebagai perata (surfaktan kimiawi). Pada penelitianini, dengan menggunakan ekstrak lerak (sebagaipengganti Tween 20) larutan menjadi homogen, danlarutan dapat menempel pada permukaan daun.

Pada pengamatan umur 8, 9, 10 minggu setelahtanam masing-masing berkisar 52–76; 54–90 dan 90–98%. Pada pengamatan pertama, intensitas penyakitkarat pada semua plot yang diberi perlakuan bahan nabatiberbeda nyata dengan tanpa per lakuan denganpenghambatan sebesar 20–25% (Tabel 3). Hasilpenelitian sebelumnya menunjukkan bahwapencampuran minyak cengkeh dan ekstrak mimbadengan perbandingan 50:50 dapat menghambatperkembangan penyakit karat sebesar 45% danmencegah kehilangan polong isi sebesar 20%dibandingkan dengan penyemprotan air saja.

Perlakuan Formula 2 (campuran bahan nabaticengkeh, mimba, dan lerak 60:30:10) efektifmengendalikan penyakit karat pada saat tanaman kedelaiberumur 7, 8, dan 9 minggu, dengan penghambatanintensitas penyakit karat dibandingkan dengan tanpaperlakuan pada saat tanaman berumur 9 minggu berkisar18–28% di rumah kaca dan 19–24% di lapangan (Tabel4). Pada awalnya lerak digunakan untuk membuatcampuran minyak cengkeh dan ekstrak biji mimbamenjadi homogen, untuk memudahkan aplikasi dilapangan. Campuran minyak cengkeh dan ekstrakmimba kurang efektif menghambat perkembanganpenyakit karat kedelai, diduga saponin yang terkandungdi dalam lerak menetralisir eugenol yang terkandung di

Tabel 2. Berat brangkasan, berat biji/plot, jumlah polong isi, jumlah polong hampa (KP Kendalpayak, MK 2012)

Formula 1= minyak cengkeh : ekstrak biji mimba (50:50); Formula 2= minyak cengkeh : ekstrak biji mimba (60:40);Formula 3= minyak cengkeh : ekstrak biji mimba = 70:30. MK= Musim kering. mst = minggu setelah tanam, tn =tidak berbeda nyata. Plot = 4 x 5 m, tn = tidak berbeda nyata; MK= Musim kering.

No Perlakuan Berat basah brangkasan /plot (g) tn

Berat biji kering/plot

(kg)

Jumlah polong Isi/plot

jumlah polong hampa/plot

(tn)

1 Formula 1 7737,5 1,795 a 13,65 ab 7,88 2 Formula 2 7525,0 1,725 a 14,90 a 9,70 3 Formula 3 7737,5 1,750 a 11,20 b 9,54 4 Minyak cengkeh (0,3%) 7787,5 1,250 a 10,90 b 7,15 5 Ekstrak mimba (5%) 7625,0 1,750 a 12,60 ab 7,76 6 Air (sebagai kontrol) 8250,0 1,375 a 10,85 b 7,90

Kk (%) 8,79 3,41 3,16 41,99 BNT 0,05 1030,10 0,405 16,99 5,27

Page 76: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Sumartini Efikasi Campuran Minyak Cengkeh 87

dalam minyak cengkeh dan azadirachtin yang terkandungdi dalam ekstrak mimba,

Penggunaan ekstrak lerak secara tunggal dengankonsentrasi 10% dapat menghambat intensitas penyakitkarat sebesar 15%, dan mendapatkan berat biji keringyang lebih tinggi daripada perlakuan lainnya, yaitusebesar 1687,50 g, dan sama dengan Formula 2 sebesar1675 g (Tabel 5). Berat biji kering pada plot yang diberiperlakuan ekstrak lerak (10%) sama dengan plot yangdiberi perlakuan Formula 2 dan secara nyata lebih tinggidaripada perlakuan lainnya dan kontrol (Tabel 5). Hasiltersebut selaras dengan intensitas penyakit karat,didapatkan bahwa semakin tinggi intensitas penyakit

karat, maka semakin rendah hasil panen (berat biji).Dengan perlakuan Formula 2 atau ekstrak lerak 10%,kehilangan hasil yang dapat dicegah sebesar 0,2 kg atau12%.

Penggunaan ekstrak lerak selain efektif jugaefisien. Saat ini harga lerak di pasaran sekitar Rp 5000,00/kg, penggunaannya 10% (b/v), sementara harga minyakcengkeh sebesar Rp 175.000,00/liter, penggunaannya 3cc/L (v/v), dimana satu liter minyak cengkeh dapatdigunakan untuk 300 liter larutan. Pembelian leraksebesar Rp 175.000,00 akan mendapatkan 35 kg lerak,cukup untuk pembuatan 3500 liter larutan. Dari hitungantersebut, lerak lebih ekonomis daripada minyak cengkeh,

Tabel 4. Intensitas penyakit karat (KP Kendalpayak, MK 2013)

No Perlakuan Intensitas penyakit karat (%)

60 hst 67 hst (tn) 74 hst (tn)

1 Formula 1 51,60 a 84,00 89,80 2 Formula 2 56,40 a 88,20 96,00 3 Formula 3 57,90 a 86,20 93,90 4 Formula 4 57,20 a 88,80 95,60 5 Minyak cengkeh 50,40 a 88,90 95,60 6 Ekstrak lerak (10%) 61,30 a 88,40 94,40 7 Ekstrak lerak (20%) 52,50 a 88,90 96,60 8 Air (kontrol) 76,10 b 90,50 98,50

BNT 0,05 15,61 5,26 5,91 Angka yang diikuti oleh huruf sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada BNT 0,05; tn = tidak

berbeda nyata. Formula 1= campuran minyak cengkeh : ekstrak biji mimba : ekstrak lerak = 50:30:20; Formula 2=campuran minyak cengkeh : ekstrak biji mimba : ekstrak lerak= 60:30:10; Formula 3= campuran minyak cengkeh: ekstrak biji mimba : ekstrak lerak = 65:30:5; Formula 4= campuran minyak cengkeh : ekstrak biji mimba = 70:30.MK= Musim kering.

Tabel 3. Intensitas penyakit karat di rumah kaca (MK 2013)

Angka yang diikuti oleh huruf sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada BNT 0,05. Formula1= campuran minyak cengkeh : ekstrak biji mimba : ekstrak lerak (50:30:20); Formula 2= campuran minyak cengkeh: ekstrak biji mimba : ekstrak lerak (60:30:10); Formula 3= campuran minyak cengkeh : ekstrak biji mimba : ekstrakbiji lerak (65:30:5); Formula 4= campuran minyak cengkeh : ekstrak biji mimba (70:30). MK= Musim kering.

No Perlakuan 36 hst 42 hst 49 hst 56 hst

1 Formula 1 14,0 d 15,5 d 21,0 d 22,0 c 2 Formula 2 16,0 cd 17,5 cd 21,5 d 23,5 c 3 Formula 3 16,5 cd 27,5 b 31,0 bcd 32,0 bc 4 Formula 4 16,5 cd 26,5 bc 27,5 cd 26,0 c 5 Minyak cengkeh 21,5 bc 33,5 b 41,0 ab 44,0 ab 6 Ekstrak lerak (10%) 20,5 bc 30,5 b 38,0 abc 42,0 ab 7 Ekstrak lerak (20%) 25,5 b 35,0 b 43,5 a 46,0 a 8 Air (sebagai kontrol) 36,0 a 48,0 a 50,0 a 50,5 a

BNT 0,05 6,48 9,16 12,04 12,35

Page 77: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

88 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 82 - 89

Tabel 5. Komponen hasil kedelai pada tanaman yang diberi perlakuan bahan nabati (KP Kendalpayak, MK 2013)

Angka yang diikuti oleh huruf sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada BNT 0,05; tn = tidakberbeda nyata. Formula 1= campuran minyak cengkeh : ekstrak biji mimba : ekstrak lerak (50:30:20); Formula 2=campuran minyak cengkeh : ekstrak biji mimba : ekstrak lerak (60:30:10); Formula 3= campuran minyak cengkeh: ekstrak biji mimba : ekstrak biji lerak (65:30:5); Formula 4= campuran minyak cengkeh : ekstrak biji mimba(70:30); 5= minyak cengkeh; 6= lerak 10%; 7= lerak 20%; 8= air (pembanding); MK= Musim kering.

Perlakuan Jumlah tanaman (tn)

Berat brangkasan basah (g)

Berat brangkasan kering (g)

Berat biji kering (g)

Berat 100 butir (g)

1 213,75 5350,00 bc 3725,00 b 1625,00 ab 16,13 abc 2 233,75 6012,50 a 4337,50 a 1675,00 a 16,38 ab 3 203,75 5237,50 c 3700,00 b 1537,50 ab 16,00 bc 4 217,00 5525,00 abc 3887,50 ab 1637,50 ab 16,13 abc 5 219,50 5875,00 ab 4275,00 ab 1600,00 ab 15,50 cd 6 195,75 5612,50 abc 3925,00 ab 1687,50 a 16,88 a 7 230,00 5362,50 bc 3762,50 ab 1600,00 ab 16,00 bc 8 216,25 5237,50 c 3750,00 ab 1487,50 b 15,00 d

BNT 0,05 38,38 570,5 600,5 172,4 0,915

dari segi ketersediaan lerak lebih mudah didapatkan dipasar-pasar, dan tidak melalui penyulingan.

SIMPULAN

Campuran minyak cengkeh dan ekstrak biji mimbadengan perbandingan 60/40 (v/v) merupakan campuranefektif untuk mengendalian penyakit karat pada kedelaidapat menekan intensitas penyakit karat hingga 45%,meningkatkan polong isi sebesar 37%, dan mencegahkehilangan hasil sebesar 20%.

Campuran minyak cengkeh, ekstrak biji mimba,dan lerak dengan perbandingan 50/30/20 (v/v/v) mampumenekan intensitas penyakit karat hingga 28% dan 24%masing-masing di rumah kaca dan lapang, serta menekankehilangan hasil hingga 12%.

SANWACANA

Penulis mengucapkan terima kasih danpenghargaan kepada Saudara Hari Atim Pujiono yangtelah membantu pelaksanaan penelitian di lapang danrumah kaca.

DAFTAR PUSTAKA

Bromfield KR & Hartwig EE. 1980. Resistance tosoybean rust and mode of inheritance. Crop Sci.20(2): 254–255.

Chandra IK, Ju YH, Ayucitra A, & Ismadji S. 2012.Evans blue removal from wastewater byrarasaponin-bentonite. Int. J. Environ. Sci.Technol. 10(2): 359-370.

Direktorat Akabi. 2013. Soybean production netonly 35%. ht tp://tanamanpangan.pertanian.go.id/akabii/berita_142_produksi_kedelai_baru_

terpenuhi_35%_htm.Kardinan A. 2004. Pestisida Nabati, Ramuan dan

Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta.

Koch E, Ebrahim-Nesbat F, & Hope HH. 1983. Lightand electron microscopic studies on thedevelopment of soybean rust (Phakopsorapachyrhizi Syd.) in susceptible soybean leaves(Glycine max). Phytopathologische Zeitschrift106(3): 302–320.

Krishnamurthy YL & Shashikala J. 2006. Inhibition ofaflatoxin B1 production of Aspergillus flavus,isolated from soybean seeds by certain naturalplant products. Lett. Appl. Microbiol. 43(5): 469–474.

Manohara D, Wahyuno D & Sukamto. 1994. Pengaruhtepung dan minyak cengkeh terhadapPhytophtora, Rigidoporus, dan Sclerotium.Hlm: 19-27. Prosiding Seminar Hasil Penelitiandalam Rangka Pemanfaatan Pestisida nabati. 1-2Desember 1993. Bogor.

Page 78: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Sumartini Efikasi Campuran Minyak Cengkeh 89

Miles MR, Frederick RD, & Hartman GL. 2003.Soybean Rust: Is the US Soybean Crop at Risk?h t t p : / / www. a p s n e t . o r g / p u b l i c a t io n s /apsnetfeatures/Pages/SoybeanRust.aspx.Diakses tanggal 22 July 2008.

Semangun H. 2004. Penyakit-Penyakit TanamanPangan di Indonesia. Gadjah Mada UniversityPress. Yogyakarta.

Sinclair JB & MC Shurtleff. 1980. Compendium ofSoybean Diseases. The AmericanPhytopathological Society Press. USA.

Sudjono S. 1977. Perkembangan penyakit karat(Pakopsora pachyrhizi) pada kedelai. Tesis.Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sudjono S, Mukelar Amir, & Roechan M. 1985. Penyakitkarat dan penanggulangannya. Dalam: SadikinSomaatmadja , M. Ismunadji, Sumarno,Mahyuddin Syam, S.O Manurung, & Yuswadi(Eds.). Kedelai. Pusat Penelitian TanamanPangan. Bogor.

Sumartini. 2007. Efektivitas ekstrak bahan nabati untukpengendalian penyakit karat (Phakopsorapachyrhizi) pada kedelai. J. Ilmu PertanianMapeta 9(2): 70–75.

Sumartini. 2010. Penyakit karat pada kedelai dan carapengendaliannya yang ramah lingkungan. J.Penelitian dan Pengembangan Pertanian29(3): 107–112.

Towaha J. 2012. Manfaat eugenol cengkeh dalamberbagai industri di Indonesia. Perspektif 11(2):79 – 90.

Tommy. 2009. Lerak/Klerak/Sapindus rarak. http://sapinduslerak.wordpress.com. Diakses tanggal 12April 2012.

Tsuzuki JK, Svidzinski TIE, Shinobu CS, Silva LFA,Rodrigues-Filho E, Cortez DAG, & Ferreira ICP.2007. Antifungal activity of extracts and saponinsfrom Sapindus saponaria L. An. Acad. Bras.Ciênc. 74(6): 577–583.

Wang J, Li J, Cao J, & Jiang W. 2010. Antifungalactivities of neem (Azadirachta indica) seedkernel extract on postharvest diseases in fruit.Afr. J. Microbiol. Res. 4(11): 1100–1104.

Page 79: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Maharani et al. Biologi dan Neraca Hayati Kutu Putih Pepaya 1J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525Vol. 16, No. 1: 1 – 9, Maret 2016

BIOLOGI DAN NERACA HAYATI KUTU PUTIH PEPAYAPARACOCCUS MARGINATUS WILLIAMS & GRANARA DE WILLINK

(HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE)PADA TIGA JENIS TUMBUHAN INANG

Yani Maharani1, Aunu Rauf2, Dewi Sartiami2, & Ruly Anwar2

1Program Studi Entomologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor2Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Jl. Kamper, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Biology and life table of papaya mealybug Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink (Hemiptera:Pseudococcidae) on three host plant species. The papaya mealybug, Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink(Hemiptera: Pseudococcidae), has been considered as a new invasive pest causing heavy damage on papaya in Indonesiasince 2008. The pest is polyphagous with more than 55 host plant species. Study was conducted in laboratory with theobjectives to determine developmental biology and life table parameters of the mealybug feeding on papaya, physic nut, andcassava leaves. Host plant species affected papaya mealybug performances. Egg stage lasted 7.25, 8.09, and 9.86 d on papaya,physic nut, and cassava, respectively. The shortest female nymphal developmental time was on papaya (18.91 d) and thelongest on cassava (32.45 d). Longevity of adult males ranged from 1.09-2.85 d while females 12.29-14.93 d. When themealybugs were reared on a seedling, the fecundity was higher on papaya (324.6) than those on physic nut (186.6) andcassava (157.5). No egg production occurred in virgin females. The sex ratio of P. marginatus favoured females, whichcomprised about 90% of population on papaya and cassava. The intrinsic rate of increase (r

m) was significantly different

among hosts, with the highest rate (0.117 female offspring/female/d) on papaya, followed by physic nut (0.079) and cassava(0.057). The maximum values of r

malong with net reproductive rate (Ro) and finite rate of increase(λ), and the shortest mean

generation time (T) and doubling time (Dt) on papaya, indicating that papaya was the more favorable host plant for P.

marginatus.

Key words: life table, papaya mealybug, Paracoccus marginatus

ABSTRAK

Biologi dan neraca hayati kutu putih pepaya Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink (Hemiptera:Pseudococcidae) pada tiga jenis tumbuhan inang. Kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus Williams & Granara deWillink (Hemiptera: Pseudococcidae), merupakan hama asing invasif yang banyak menimbulkan kerusakan berat pada pepayadi Indonesia sejak tahun 2008. Hama ini bersifat polifag dengan inang lebih dari 55 jenis tumbuhan. Penelitian ini bertujuanmenentukan masa perkembangan, sintasan dan reproduksi kutu putih pepaya pada tanaman pepaya, jarak pagar, dan ubikayu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tumbuhan inang berpengaruh terhadap biologi dan reproduksi P. marginatus.Stadium telur berlangsung berturut-turut 7,25; 8,09 ; dan 9,86 hari pada pepaya, jarak pagar, dan ubi kayu. Masa perkembangannimfa betina yang tersingkat dijumpai pada pepaya (18,91 hari) dan yang terlama pada ubi kayu (32,45 hari). Masa hidup imagojantan berkisar 1,09-2,85 hari, sedangkan betina 12,29-14,93 hari. Kutu putih yang dipelihara pada bibit pepaya memperlihatkankeperidian yang lebih tinggi (324,6 butir) dibanding dengan yang dipelihara pada bibit ubi kayu (157,5 butir) dan jarak pagar(186,6 butir). Imago betina yang tidak kawin tidak meletakkan telur. Nisbah kelamin P. marginatus lebih banyak mengarah padabetina, dengan komposisi 90% betina pada papaya dan ubi kayu. Laju pertambahan intrinsik (r

m) berbeda nyata diantara

tumbuhan inang yang diuji, tertinggi (0,117 betina/induk/h) pada pepaya, diikuti oleh jarak pagar (0,079) dan ubi kayu (0,057).Tingginya nilai r

m bersama laju reproduksi bersih (Ro) dan laju pertambahan terbatas (λ), serta singkatnya masa generasi (T)

dan masa ganda (Dt) pada pepaya, menunjukkan bahwa pepaya merupakan tumbuhan inang yang paling sesuai bagi kehidupanP. marginatus.

Kata kunci: kutu putih pepaya, neraca hayati, Paracoccus marginatus

Page 80: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

2 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 1 – 9

Hal ini terjadi karena kutu putih hidup secarabergerombol. Kutu putih pepaya mengisap cairantanaman dengan cara menusukkan alat mulutnya kedalam jaringan epidermis daun atau buah. Pada dauntua serangan biasanya terjadi sepanjang tulang tengahdan urat daun, sedangkan pada daun muda dan buahterjadi pada seluruh bagian. Pada saat mengisap cairan,alat mulut kutu menginjeksikan racun ke dalam jaringantanaman. Sebagai akibatnya, serangan pada pucukmenyebabkan daun tumbuh kerdil dan keriput (Pantojaet al., 2007).

Mempertimbangkan bahwa pepaya, ubi kayu, danjarak pagar merupakan tanaman yang umum terserangoleh P. marginatus, maka perlu diketahui pengaruhketiga tumbuhan ini terhadap kehidupan kutu putihpepaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengukurbeberapa parameter biologi perkembangan dan neracahayati P. marginatus pada tiga tumbuhan inang utamayaitu pepaya, jarak pagar dan ubi kayu.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian dilakukan diLaboratorium Ekologi Serangga, Departemen ProteksiTanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,dan berlangsung sejak bulan April hingga September2010.

Penyiapan Tanaman Inang. Benih pepaya ditanamdalam nampan semai dengan menggunakan media tanamberupa tanah kompos dan sekam bakar. Setelah berumur30 hari, bibit dipindahkan ke dalam polibag berukuran25 x 25 cm dengan media tanam berupa tanah dan pupukkandang dengan perbandingan 1 : 1. Tanaman digunakansebagai inang setelah berumur sekitar 2 bulan setelahtanam atau tinggi tanaman sekitar 30 cm. Tanaman ubikayu yang digunakan berasal dari setek batang. Panjangsetek yang digunakan 20-25 cm dan ditanam seperti padabibit pepaya. Tanaman digunakan sebagai inang setelahberumur sekitar 2 bulan. Jarak pagar yang digunakanberasal dari kebun percobaan Departemen ProteksiTanaman dengan tinggi tanaman ± 50 cm.

Perbanyakan Serangga. Beberapa kelompok telur danimago kutu putih pepaya dikumpulkan dari lapangan dandipelihara pada tanaman pepaya di laboratorium,kemudian diperbanyak pada tanaman pepaya, ubi kayu,dan jarak pagar yang digunakan sebagai perlakuan.Tanaman yang telah diinfestasi kutu putih diletakkan didalam kurungan serangga. Kutu putih yang digunakansebagai bahan penelitian merupakan serangga generasikedua.

PENDAHULUAN

Kutu putih pepaya, Paracoccus marginatusWilliams & Granara de Willink (Hemiptera:Pseudococcidae), merupakan serangga yang berasal dariwilayah neotropika di Belize, Costa Rica, Guatemaladan Mexico (Williams & Granara de Willink, 1992). Padaawal tahun 1990-an hama ini menyebar ke wilayahKaribia seperti Bahama, Republik Dominika, Haiti, danPuerto Riko (Walker et al., 2006). Tahun 1998 kutu putihpepaya ditemukan di Florida, menyerang berbagai jenistanaman (Miller et al., 1999). Kutu putih pepayakemudian menyebar ke wilayah Pasifik. Pada tahun 2002hama ini dilaporkan menimbulkan serangan berat padapepaya di Guam, dan setahun kemudian di KepulauanPalau (Muniappan et al., 2006). Tahun 2004 kutu putihpepaya dijumpai di Pulau Maui dan Ohau (Hawaii), dantahun 2005 di Northern Mariana (Heu et al., 2007).

Di Asia, hama ini pertama kali dilaporkan di Bogor(Indonesia) pada tahun 2008 (Rauf, 2008; Muniappanet al., 2008). Dalam waktu singkat P. marginatusmenyebar di banyak negara di Asia yang meliputi India,Bangladesh, Pakistan, Sri Lanka, Maldives, Cambodia,Filipina, Thailand, dan Taiwan (Al-Helal et al., 2012;Galanihe et al., 2010; Mastoi et al., 2011; Muniappan etal., 2009; Chen et al., 2011; Saengyot & Burikam, 2011).Pada tahun 2009 kutu putih pepaya dilaporkan terdapatdi Ghana (Cham et al., 2011).

Di Indonesia hingga akhir 2008, persebaran P.marginatus masih terbatas di Bogor dan sekitarnyaseperti Jakarta, Tangerang, Sukabumi, dan Cianjur. Padapertengahan 2009, kutu putih pepaya telah menyebarke Jawa Tengah, Yogyakarta, Bali, Lampung, Riau,Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara. Kini hama initelah ditemukan di seluruh wilayah Nusantara, termasukNusa Tenggara Timur dan Papua.

Kutu putih P. marginatus tergolong hama yangbersifat polifag, dengan lebih dari 55 jenis tumbuhan inangdari berbagai famili (Walker et al., 2006). Selain padapepaya, hama ini juga menimbulkan kerusakan padatanaman kamboja, kembang sepatu, jarak pagar dan ubikayu. Namun kerusakan paling berat terjadi padapepaya. Serangan pada pucuk pepaya menyebabkandaun menjadi kerdil dan keriput dan akhirnya tanamanmati (Rauf, 2008). Di Bogor pada awal invasi hama ini,produksi pepaya mengalami penurunan hingga 58% dankerugian ekonomi mencapai 88%, karena tanaman matipada saat baru dilakukan 2-3 kali panen dari 8 kali panenyang normal (Ivakdalam, 2010).

Serangan kutu putih pepaya biasanya ditandai olehbanyaknya gumpalan benang lilin berwarna putih padapermukaan buah dan/atau pada permukaan bawah daun.

Page 81: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Maharani et al. Biologi dan Neraca Hayati Kutu Putih Pepaya 3

Perkembangan, Sintasan, dan Reproduksi. Untukmengamati perkembangan P. marginatus digunakan selakrilik seperti yang dilakukan oleh Kim et al. (2008)untuk memelihara kutu putih pepaya. Sel pemeliharaanini terbuat dari pelat akrilik yang bagian tengahnyadilubangi dengan diameter 1 cm. Pelat akrilik yangdigunakan berukuran panjang 4 cm, lebar 2 cm danketebalan 5 mm.

Telur yang digunakan dikoleksi dari 10 betina padamasing-masing tanaman guna menjamin keragamangenetis dalam populasinya. Telur P. marginatus diambilsetelah 24 jam oviposisi dengan menggunakan kuashalus. Telur diletakkan di atas daun, kemudian dauntersebut diletakkan di atas kapas yang telah dilembabkan.Tujuannya adalah agar daun tetap segar sampai telurtersebut menetas menjadi nimfa instar-1. Daun-dauntersebut diletakkan dalam wadah plastik dan diletakkandalam ruang gelap dengan suhu konstan 27 oC.

Nimfa yang baru menetas diambil denganmenggunakan kuas halus, kemudian diletakkan padamasing-masing daun tanaman perlakuan. Daun tersebutdiletakkan di antara dua pelat akrilik yang bagian ataslubang ditutup menggunakan cover glass dan bagianbawahnya tetap berlubang untuk menjaga sirkulasi udara.Pelat tersebut dijepit menggunakan binder clip. Satusel pelat akrilik diisi dengan lima ekor P. marginatusinstar-1, ketika serangga memasuki instar-1 akhir atauinstar-2 awal dipilih satu ekor serangga yang palingbugar. Pelat akrilik yang berisi serangga uji diletakkandi dalam cawan plastik yang telah dialasi kapas lembab.Pergantian pakan dilakukan setiap dua hari sekali.Pengamatan dilakukan setiap 24 jam denganmenggunakan mikroskop binokuler. Seluruh wadahtempat perlakuan serangga diletakkan di ruang gelapdengan suhu konstan 27 oC. Pengamatan dilakukanterhadap 300 ekor kutu putih pepaya yang terdiri atas100 ekor pada perlakuan pepaya, 100 ekor padaperlakuan ubi kayu dan 100 ekor pada perlakuan jarakpagar.

Setelah serangga menjadi imago, dilakukanpengamatan terhadap keperidiannya. Untuk maksudtersebut, imago betina dipasangkan dengan imago jantanyang baru muncul dari pembiakan lainnya (diluarperlakuan) pada tanaman inang yang sama. Imago jantandiambil sewaktu masih berbentuk pupa. Sedangkanimago betina yang digunakan berasal dari telur yangtelah diperlakukan sejak awal (di dalam sel akrilik). Duaekor pupa jantan dikurung dengan satu ekor imago betinadalam satu wadah pelat akrilik, serangga jantandikeluarkan bila sudah mati. Pengamatan peletakan teluroleh imago dilakukan tiap hari. Setiap telur yangdihasilkan diambil dengan bantuan kuas halus, kantung

telur dibuka dan dihitung jumlah telur yang dihasilkan.Pengamatan ini dilakukan sampai imago betina mati.

Karena keperidian yang diperoleh padapercobaan dengan sel akrilik kurang memuaskan, makadilakukan percobaaan tambahan untuk menentukanpotensi keperidian pada kondisi optimum. Untuk maksudtersebut digunakan bibit tanaman, bukan potongan daunseperti pada sel akrilik. Percobaan ini menggunakan 10individu betina yang diambil dari populasi masing-masingtanaman inang. Telur diambil sampai betina mati. Setiaptelur yang diambil dibuka dari kantung telur kemudiandihitung, sehingga diperoleh jumlah telur yang mampudihasilkan oleh betina selama hidupnya.

Pengamatan nisbah kelamin menggunakanindividu betina yang telah berkopulasi. Serangga betinadipelihara pada tiap-tiap tanaman inang sampai teluryang dihasilkan menetas. Tanaman yang telah diinfestasiP.marginatus dikurung menggunakan kurunganserangga. Pengamatan dilakukan pada nimfa instar-3betina dan prapupa atau pupa jantan. Individu yang telahdiamati diambil dan dipisahkan dari tanaman. Perlakuanini menggunakan lima betina dan lima tanaman inangsebagai ulangan. Selain itu, dilakukan pula percobaanreproduksi aseksual (partenogenesis), tidakmenggunakan imago jantan. Percobaan menggunakan20 ekor betina yang berasal dari pembiakan masing-masing tanaman inang. Betina yang digunakan adalahinstar-3 akhir atau instar-3 awal. Imago betina dipeliharatanpa jantan di dalam sel akrilik sampai mati.

Analisis Data. Analisis ragam dilakukan untukmemeriksa pengaruh tumbuhan inang terhadap berbagaiparameter biologi perkembangan kutu putih pepaya, yangdilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf 5%. Pengaruhtumbuhan inang terhadap kurva sintasan dianalisis denganmetode Kaplan-Meier dan diuji dengan uji log peringkat(log rank test). Nisbah kelamin dinyatakan sebagai %betina dan diuji kesesuaiannya terhadap nisbah teoritis(1:1) dengan uji khi kuadrat. Semua analisis tadidilakukan dengan bantuan software Minitab 14.

Data sintasan dan keperidian disusun dalambentuk neraca hayati untuk menentukan berbagaiparameter demografi (Carey, 1993), yang meliputi:

Laju reproduksi bersih: R

o= l

xm

x ;

Laju pertambahan intrinsik, rm dihitung secara iterasi:

kk l­ x­

m­x exp(r

mx) = 1 ;

Masa generasi T = ln (Ro)/ r

m;

Page 82: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

4 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 1 – 9

Laju pertambahan terbatas:

= exp(rm) ;

Masa ganda D

t = ln (2) / r

m;

Seluruh nilai tengah parameter dan ragamnya didugadengan metode jackknife (Meyer et al., 1986)menggunakan program LIFETABLE.SAS yangdikembangkan oleh Maia et al. (2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Pradewasa dan Imago. Tumbuhaninang berpengaruh sangat nyata (P < 0,001) terhadapmasa perkembangan pradewasa termasuk telur danberbagai instar nimfa, kecuali terhadap pupa (P = 0,421)(Tabel 1). Stadium telur yang paling singkat terdapatpada pepaya (7,25 hari), diikuti oleh jarak pagar (8,09hari) dan yang paling lama pada ubi kayu (9,86 hari).Begitu pula persentase telur yang menetas paling tinggiterjadi pada tanaman pepaya (93,9%), jarak pagar(92,9%), dan ubi kayu (75,5%). Masa perkembangannimfa betina pada pepaya dan jarak pagar juga lebihsingkat yaitu sekitar 18 hari dibanding dengan pada ubikayu sekitar 32 hari. Dengan mempertimbangkanstadium telur, waktu yang dibutuhkan sejak telurdiletakkan hingga imago betina terbentuk sekitar 26-27hari pada pepaya dan jarak pagar dan sekitar 42 haripada ubi kayu. Secara umum masa perkembanganpradewasa jantan lebih lama daripada betina, hal ini

terkait dengan adanya instar tambahan pada jantan yaitunimfa-4 yang berupa pupa. Amarasekare et al. (2008)yang meneliti P. marginatus pada inang Acalypha,Hibiscus, Parthenium dan Plumeria mendapatkanmasa perkembangan sejak telur hingga terbentuk imagoberkisar 24-26 hari untuk betina dan 27-30 hari untukjantan. Pengaruh jenis tumbuhan inang terhadap masaperkembangan pradewasa juga dilaporkan pada kutuputih lainnya seperti Planococcus citri (Polat et al.,2008). Faktor fisik dan kimia yang berbeda pada daundilaporkan berpengaruh terhadap perkembanganserangga (Sadof et al., 2003; Hogendrop et al., 2006).

Imago jantan hidup sekitar 2-3 hari, sedangkanbetina dapat hidup sekitar 12-15 hari (Tabel 2). Jenistumbuhan inang berpengaruh nyata terhadap masa hidupimago jantan (F=3,7; db=2, 43; P =0,027) tetapi tidakterhadap masa hidup imago betina (F=1,72; db = 2, 43;P = 0,192). Masa praoviposisi berlangsung sekitar 8 hari,oviposisi sekitar 4 hari, dan pascaoviposisi 1-3 hari, dantidak dipengaruhi oleh jenis tumbuhan inang (P > 0,05).Penelitian Amarasekare et al. (2008) pada spesies kutuyang sama mendapatkan masa hidup imago jantan 2,3hari dan betina 21,2 hari, dengan masa praoviposisi 6,3hari dan masa oviposisi 11,2 hari. Sementara Kumar etal. (2014) melaporkan masa hidup imago jantan P.marginatus 2,2 hari dan betina 29,4 hari pada inang jarakpagar. Polat et al. (2008) yang meneliti P. citri padabeberapa jenis tanaman hias mendapatkan masa hidupimago betina 18-29 hari, dengan rincian masapraoviposisi, oviposisi, dan pascaoviposisi berturut-turut

Tabel 1. Masa perkembangan pradewasa kutu putih pepaya pada tiga jenis tumbuhan inang

Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu baris menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (uji Tukey, α = 0,05).

StadiumTanaman inang

F db PPepaya Jarak pagar Ubi kayu

Telur 7,25 ± 0,18 a 8,09 ± 0,19 b 9,86 ± 0,30 c 27,66 2, 43 < 0,001Betina

Nimfa-1 5,25 ± 0,16 a 6,24 ± 0,19 b 8,58 ± 0,13 c 129,98 2, 16 < 0,001

Nimfa-2 6,56 ± 0,33 a 5,90 ± 0,30 a 8,07 ± 0,20 b 18,04 2, 152 < 0,001

Nimfa-3 7,63 ± 0,48 a 6,73 ± 0,42 a 11,21 ± 0,68 b 17,84 2, 148 < 0,001

Total nimfa 18,91 ± 0,51 a 18,97 ± 0,58 a 32,45 ± 0,52 b 152,56 2, 97 < 0,001

Jantan

Nimfa-1 5,16 ± 0,17 a 6,21 ± 0,18 b 7,54 ± 0,13 c 26,99 2, 89 < 0,001

Nimfa-2 5,14 ± 0,26 a 5,57 ± 0,25 a 18,45 ± 1,80 b 129,94 2, 86 < 0,001

Nimfa-3 1,58 ± 0,12 a 2,37 ± 0,15 b 5,50 ± 0,37 c 78,9 2, 85 < 0,001

Nimfa-4 6,93 ± 0,23 a 7,18 ± 0,25 a 7,60 ± 0,54 a 0,87 2, 83 0,421

Total nimfa 18,95 ± 0,43 a 21,03 ± 0,47 b 40,60 ± 1,60 c 202,66 2, 83 < 0,0001

Page 83: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Maharani et al. Biologi dan Neraca Hayati Kutu Putih Pepaya 5

berkisar 7-10, 7-16, dan 2-4 hari. Goldasteh et al. (2009)yang juga meneliti P. citri melaporkan pada suhu 25 oCmasa hidup imago jantan 1,4 hari dan imago betina 32hari, yang terdiri dari masa praoviposisi 11,1 hari,oviposisi 17,6 hari, dan pascaoviposisi 3,9 hari. Lebihsingkatnya masa oviposisi dalam penelitian ini dibandingdengan hasil-hasil peneliti lainnya diduga terkait denganteknik pemeliharaan serangga. Pada penelitian inidigunakan potongan daun, sedangkan pada penelitianAmarasekare et al. (2008), Polat et al. (2008),Goldasteh et al. (2009) digunakan stek tanaman. Didugakualitas nutrisi pada stek tanaman lebih mendukungkehidupan kutu putih pepaya dibandingkan padapotongan daun.

Keperidian dan Nisbah Kelamin. Teknikpemeliharaan dan jenis tumbuhan inang memengaruhikeperidian kutu putih pepaya. Pada pemeliharaan denganpotongan jaringan daun, rataan banyaknya telur yangdiletakkan berkisar 29,25-79,14 butir, sedangkan padapemeliharaan menggunakan bibit tanaman berkisar157,5-324,6 butir (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwateknik pemeliharaan pada potongan jaringan daun kurangmendukung keperidian kutu putih pepaya. Diperkirakanpemotongan daun menyebabkan perubahan fisiologis

dalam jaringan daun yang pada giliran berikutnyamemengaruhi kehidupan kutu putih pepaya. Oleh karenaitu, pengaruh tumbuhan inang terhadap keperidianmungkin lebih tepat didasarkan pada hasil pemeliharaandengan bibit tanaman. Hasil analisis mengungkapkanbahwa kutu putih yang hidup pada bibit pepayamemperlihatkan keperidian yang lebih tinggi yaitu 324,6± 41,84 butir dan berbeda nyata (F = 6,62; db=2, 27; P=0,005) bila dibandingkan pada ubi kayu (157,5 ± 31,61)dan jarak pagar (186,6 ± 29,33). Penelitian Amarasekareet al. (2008) mendapatkan keperidian kutu putih pepayapada tanaman hias Plumeria rubra L., Hibiscus rosa-sinensis L., Acalypha wilkesiana (Muell-Arg.), danParthenium hysterophorus L. berturut-turut 186,3;244,4; 235,2; dan 230,2 butir. Sementara Chellappan etal. (2013) melaporkan bahwa keperidian P. marginatuspada pepaya, mulberi, jarak pagar, dan tunas kentangberturut-turut 442,6; 318,8; 350,6; dan 375,4 butir.Kualitas nutrisi tanaman berpengaruh terhadapreproduksi serangga (Awmack & Leather, 2002).Hogendorp et al. (2006) melaporkan bahwa P. citri yangdipelihara pada daun dengan kandungan nitrogen tinggimemiliki jumlah telur yang lebih banyak, ukuran betinayang lebih besar, dan masa perkembangan yang lebihsingkat.

Tabel 2. Masa hidup dan perkembangan imago kutu putih pepaya pada tiga jenis tumbuhan inang

Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu baris menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (uji Tukey, α = 0,05).

Tabel 3. Keperidian dan nisbah kelamin kutu putih pepaya pada tiga jenis tumbuhan inang

Angka rataan sekolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji Tukey, α = 0,05); a n, nyata; tn,tidak nyata terhadap nisbah kelamin teoritis (1:1).

ImagoTumbuhan inang

F db PPepaya Jarak pagar Ubi kayu

Jantan 2,74 ± 0,17 a 2,85 ± 0,15 a 1,9 ± 0,23 b 3,76 2, 43 0,027Betina 14,93 ± 1,75 a 13,67 ± 1,74 a 12,29 ± 1,49 a 1,72 2, 43 0,192

Praoviposisi 8,37 ± 0,32 a 7,83 ± 0,66 a 8,14 ± 0,71 a 0,35 2, 43 0,707Oviposisi 4,00 ± 0,36 a 3,92 ± 0,43 a 3,86 ± 0,63 a 0,02 2, 43 0,978Pascaoviposisi 2,56 ± 0,55 a 1,92 ± 1,24 a 0,29 ± 0,18 a 2,67 2, 43 0,081

Tumbuhaninang

Pemeliharaan

Potongan jaringan daun Bibit tanaman

Keperidian %Betinaa

Keperidian %Betinaa

Kisaran Rataan Kisaran Rataan

Pepaya 4 – 129 45,07 ± 5,51 a 55,7 tn 110 – 517 324,6 ± 41,84 a 89,5 nJarak pagar 4 – 46 29,25 ± 4,52 a 53,9 tn 86 – 340 186,6 ± 29,33 b 62,5 nUbi kayu 24 – 137 79,14 ± 15,30 b 84,8 n 26 – 351 157,5 ± 31,61 b 94,2 n

Page 84: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

6 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 1 – 9

Nisbah kelamin kutu putih pepaya bervariasitergantung pada teknik pemeliharaan dan tumbuhaninang. Secara umum proporsi betina lebih banyakdibandingkan dengan jantan. Nisbah kelamin kutu putihpepaya yang dipelihara pada potongan jaringan dauntidak berbeda nyata dengan nisbah teoritis, yaitu padapepaya 55,7% (χ2 =1,031; P = 0,31) dan jarak pagar53,7% (χ2 = 0,305; P = 0,58), sedangkan pada ubi kayu81,3% berbeda nyata (χ2 = 30,01; P < 0,001).Amarasekare et al. (2008) mendapatkan nisbah kelaminP. marginatus betina pada tanaman hias berkisar 53-59%. Nisbah kelamin pada pemeliharaan dengan bibittanaman berbeda nyata dengan nisbah teroritis yaitu89,5% pada pepaya (χ2 = 513,076; P < 0,001), 62,5%pada jarak pagar (χ2 =40,125; P < 0,001), dan 94,2%pada ubi kayu (χ2 = 487,526; P < 0,001 ). Ross et al.(2010) melaporkan bahwa nisbah kelamin pada P. citridipengaruhi oleh kerapatan pada saat nimfa dan imago,umur imago, dan makanan.

Walaupun beberapa spesies kutu putih sepertiPhenacoccus manihoti Matile-Ferrero danPhenacoccus solenopsis Tinsley memperlihatkanreproduksi partenogenesis telitoki (Calatayud & Le Ru,2006; Vennila et al., 2010), tidak satu pun imago betinaP. marginatus yang yang tidak kawin (n=20) yangmenghasilkan telur. Hal ini membuktikan bahwa kutuputih pepaya tidak bereproduksi secara partenogenesis.Hal yang sama ditunjukkan pula oleh hasil penelitianAmarasekare et al. (2008) pada tanaman inang bukanpepaya.

Sintasan. Tumbuhan inang berpengaruh terhadap saatkematian kutu putih pepaya seperti terlihat dari kurvasintasan pada Gambar 1. Kurva sintasan pada ubi kayu

berbeda nyata dengan pada pepaya (χ2= 9,757; P =0,002) dan pada jarak pagar (χ2= 10,65; P = 0,001),sedangkan antara pepaya dan jarak pagar tidak berbedanyata (χ2= 0,082; P = 0,775). Perbedaan tersebuttampaknya berhubungan dengan tingkat kematian danmasa perkembangan pradewasa. Tingkat kematianpradewasa kutu putih yang dipelihara pada potongandaun ubi kayu mencapai 65%, sedangkan pada pepayadan jarak pagar berturut-turut 11% dan 25%. Sementaraitu, kutu putih yang hidup pada ubi kayu memerlukanwaktu hampir dua kali lipat lebih lama untukmenyelesaikan perkembangan pradewasanyadibandingkan pada pepaya atau jarak pagar (lihat Tabel1 sebelumnya). Tingginya kematian fase pradewasa padatanaman ubi kayu dapat disebabkan oleh tingginyakandungan posfor dan senyawa fenolik dalam jaringantanaman. Menurut Awmack & Leather (2002),kandungan posfor dan senyawa fenolik pada daun dapatmempersingkat masa hidup serangga.

Neraca Hayati. Nilai parameter neraca hayatibervariasi tergantung pada jenis tumbuhan inang. Lajureproduksi bersih (R

o) tertinggi terdapat pada kutu putih

yang dipelihara pada potongan daun pepaya dan berbedasangat nyata (P < 0,001) dengan pada potongan daunjarak pagar dan ubi kayu (Tabel 4). Laju pertambahanintrinsik (r

m) juga berbeda antar tumbuhan inang (P <

0,001), paling tinggi terdapat pada pepaya. Pola yangsama diperlihatkan pula oleh perbedaan nilai lajupertambahan terbatas (λ) diantara ketiga tumbuhaninang. Masa generasi (T) pada pepaya dan jarak pagarlebih singkat dan berbeda nyata (P < 0,001) bila dibandingdengan pada ubi kayu. Berbagai perbedaan tadi dapatdisebabkan oleh perbedaan faktor fisik dan kimia daun

0,0

0,2

0,4

0,6

0,8

1,0

10 20 30 40 50

Prop

orsi

yan

g hi

dup

Waktu (hari setelah telur menetas)

PepayaJarak pagarUbi kayu

Gambar 1. Kurva sintasan kutu putih pepaya pada tiga jenis tumbuhan inang berdasarkan metode Kaplan-Meier

Page 85: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Maharani et al. Biologi dan Neraca Hayati Kutu Putih Pepaya 7

Tabel 4. Parameter neraca hayati kutu putih pepaya pada tiga jenis tumbuhan inang

Angka rataan sebaris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji Tukey, α = 0,05).

dari setiap tumbuhan inang yang diuji (Sadof et al., 2003;Hogendrop et al., 2006).

Laju pertambahan intrinsik adalah statistikkomposit yang telah mempertimbangkan berbagaiparameter hayati seperti masa perkembangan,keperidian, masa hidup, sintasan, dan nisbah kelamin(Carey, 1993). Oleh karena itu, r

m dapat dijadikan kriteria

untuk menilai tingkat kesesuaian tumbuhan inang. Dalamkaitan ini, pepaya adalah tumbuhan inang yang palingsesuai bagi kehidupan P. marginatus diikuti oleh jarakpagar dan ubi kayu. Sejalan dengan itu, laju pertambahanintrinsik dapat digunakan untuk membandingkan potensipeningkatan populasi hama pada berbagai tumbuhaninang. Makin tinggi nilai r

m pada suatu tumbuhan inang,

maka semakin tinggi potensi peningkatan populasi hamapada tumbuhan inang tadi. Dalam penelitian ini nilai r

m

pada pepaya, jarak pagar, dan ubi kayu berturut-turut0,117; 0,079; dan 0,057. Nilai r

m dapat lebih tinggi bila

kutu putih pepaya dipelihara pada tanaman hidup, karenakeperidiannya lebih banyak dibandingkan yang dipeliharapada potongan jaringan daun. Pada kondisi suhu kamaryang hampir sama (25-27 oC), beberapa jenis kutu putihmemperlihatkan laju pertambahan intrinsik yangsebanding atau sedikit lebih tinggi. Sebagai contoh, lajupertambahan intrinsik Maconellicoccus hirsutus 0,119(Chong et al., 2008), Phenacoccus solani 0,144(Nakahira & Arakawa, 2006), dan P. citri 0,14(Goldasteh et al., 2009). Mastoi et al. (2014)mendapatkan nilai r

mP. marginatus pada kembang

sepatu sebesar 0,124.Lebih sesuainya tanaman pepaya sebagai inang

P. marginatus seperti ditunjukkan oleh nilai lajupertambahan intrinsik yang lebih tinggi dibandingkanjarak pagar dan ubi kayu, konsisten dengan situasi dilapangan. Selama ini kelimpahan populasi dan tingkatserangan P. marginatus paling tinggi terjadi padapertanaman pepaya.

SIMPULAN

Perbedaan jenis tumbuhan inang berpengaruhterhadap beberapa parameter hayati kutu putih pepaya.Kutu P. marginatus yang hidup pada daun pepayamemiliki stadium telur dan masa perkembangan nimfayang paling singkat, sedangkan yang paling lamaterdapat pada ubi kayu. Keperidian tertinggi terdapatpada kutu yang dipelihara pada daun pepaya, dan yangpaling rendah pada ubi kayu. Nilai tertinggi lajupertambahan intrinsik (r

m), laju reproduksi bersih (Ro)

dan laju pertambahan terbatas (λ), serta waktu tersingkatmasa generasi (T) dan masa ganda (D

t) terdapat pada

inang tanaman pepaya; sedangkan nilai sebaliknyaterdapat pada ubikayu. Keseluruhan temuan inimenunjukkan bahwa diantara tiga jenis tanaman yangdiuji, pepaya adalah inang yang paling sesuai bagiperkembangan dan pertumbuhan P. marginatus.Dengan demikian, bila faktor lingkungan lainnyamendukung, populasi kutu putih dapat meningkat jauhlebih cepat pada pertanaman pepaya dibandingkan padapertanaman jarak pagar dan ubi kayu.

SANWACANA

Penelitian ini terlaksana berkat dukungan danaHibah Kompetensi dari Direktorat Jenderal PendidikanTinggi, Kementerian Pendidikan Nasional kepada ARdengan Nomor Kontrak: 224/SP2H/PP/DP2M/III/2010.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Helal MA, Ahmed KN, Khanom NEP, & Bulbul S.2012. Observations on papaya mealybug,Paracoccus marginatus Williams & Willink(Hemiptera: Pseudococcidae) damaging somecrops in Bangladesh. J. Plant Prot. Sci. 4(2): 8–15.

Parameter Pepaya Ubi kayu Jarak pagar

Ro 32,49 ± 3,97 a 11,16 ± 2,16 b 11,85 ± 1,83 bT 29,86 ± 0,61 a 42,65 ± 0,37 b 31,52 ± 1,009 arm 0,117 ± 0,005 a 0,057 ± 0,005 b 0,079 ± 0,005 c 1,12 ± 0,006 a 1,06 ± 0,005 b 1,08 ± 0,006 cDt 5,93 ± 0,25 a 12,07 ± 1,1 b 8,76 ± 0,62 c

Page 86: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

8 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2016: 1 – 9

Aline de HN Maia, Luis AJB, & Campanhola C. 2000.Statistical inference on associated fertility life tableparameters using jackknife technique:computational aspects. J. Econ. Entomol. 93(2):511–518.

Amarasekare KG, Mannion CM, Osborne LS, & EpskyND. 2008. Life history of Paracoccusmarginatus (Hemiptera: Pseudococcidae) onfour host plant species under laboratory conditions.Environ. Entomol. 37(3): 630–635.

Awmack CS & Leather SR. 2002. Host plant qualityand fecundity in herbivorous insect. Annu. Rev.Entomol. 47: 817–844.

Calatayud PA & Le Ru B. 2006. Cassava-MealybugInteractions. Institute de Reserche Por leDevelopment, Paris.

Carey JR. 1993. Applied Demography for Biologistswith Special Emphasis on Insects. OxfordUniversity Press, Oxford.

Cham D, Davis H, Obeng-Ofori D, & Owusu E. 2011.Host range of the newly invasive mealybugspecies Paracocccus marginatus Williams andGranara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae)in two ecological zones of Ghana. Res. Zool. 1(1):1–7.

Chellappan M, Lawrence L, & Ranjith MT. 2013.Biology and morphometry of Paracoccusmarginatus Williams and Granara de Willink(Hemiptera: Pseudococcidae). Entomon. 38(2):97–110.

Chen SP, Wong JY, & Wu WJ. 2011. Preliminary reporton the occurrence of papaya mealybug,Paracoccus marginatus Williams and Granarade Willink, in Taiwan. J. Taiwan Agric. Res.60(1): 72–76.

Chong JH, Roda AL, & Mannion CM. 2008. Life historyof the mealybug, Maconellicocus hirsutus(Hemiptera: Pseudococcidae), at constanttemperatures. Environ. Entomol. 37(2): 323–332.

Galanihe L, Jayasundera M, Vithana A, AsselaarachchiN, & Watson G. 2010. Occurrence, distributionand control of papaya mealybug, Paracoccusmarginatus (Hemiptera: Pseudococcidae), aninvasive alien pest in Sri Lanka. Trop. Agric. Res.Exten. 13(3): 81–86.

Goldasteh S, Talebi AS, Fathipour Y, Ostovan H, ZamaniA, & Shoushtari RV. 2009. Effect of temperatureon life history and population growth parametersof Planococcus citri (Homoptera:Pseudococcidae) on Coleus [Solenostemonscutellarioides (L.) Codd.]. Arch. Biol.Sci.Belgrade 61(2): 329–336.

Heu RA, Fukuda MT, & Conant P. 2007. Papayamealybug, Paracoccus marginatus Williams andGranara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae).New Pest Advisory No. 04–03. Department ofAgriculture, Hawaii.

Hogendorp BK, Cloyd RA, & Swiader JM. 2006. Effectof nitrogen fertility on reproduction anddevelopment of citrus mealybug, Planococcuscitri Risso (Homoptera: Pseudocccidae), feedingon two colors of coleus, Solenostemonscutellarioides L. Codd. Environ Entomol35(2): 201–211.

Ivakdalam L. 2010. Dampak ekonomi serangan hamainvasif Paracoccus marginatus (Hemiptera:Pseudococcidae) pada usahatani pepaya diKabupaten Bogor. Tesis. Pascasarjana InstitutPertanian Bogor, Bogor.

Kim SC, Song JH, & Kim DS. 2008. Effect oftemperature on the development and fecundityof the cryptic mealybug, Pseudococcus cryptus,in the laboratory. Asia Pac. Entomol. 11: 149–153.

Kumar V, Topagi SC, Prasad BSR, Revanasidda, ThariniKB, & Kumar CTA. 2014. Biology andmanagement of mealybug, Paracoccusmarginatus Williams and Granara de Willink onJatropha curcas L. J. Appl. Nat. Sci. 6(2): 770–778.

Mastoi MI, Azura AN, Muhamad R, Idris AB, & IbrahimY. 2011. First report of papaya mealybugParacoccus marginatus (Hemiptera:Pseudococcidae) from Malaysia. Aust. J. Basic.Appl. Sci. 5(7): 1247–1250.

Mastoi MI, Azura AN, Muhamad R, Idris AB, ArfanAG, & Ibrahim Y. 2014. Life table anddemographic parameters of papaya mealybug,Paracoccus marginatus (Hemiptera:Pseudococcidae) on Hibiscus rosa-chinensis.Sci. Int. (Lahore) 26(5): 2323–2329.

Page 87: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Maharani et al. Biologi dan Neraca Hayati Kutu Putih Pepaya 9

Meyer JS, Ingersoll CG, McDonald LL, & Boyce MS.1986. Estimating uncertainty in population growthrates: Jackknife vs. Bootstrap techniques.Ecology 67(5): 1156–1166.

Miller DR, Williams DJ, & Hamon AB. 1999. Notes ona new mealybug (Hemiptera: Coccoidea:Pseudococcidae) pest in Florida and theCaribbean: the papaya mealybug, Paracoccusmarginatus Williams and Granara de Willink.Insecta Mundi 13(3–4): 179–181.

Muniappan R, Meyerdirk DF, Sengebau FM, BerringerDD, & Reddy GVP. 2006. Classical biologicalcontrol of the papaya mealybug, Paracoccusmarginatus (Hemiptera: Pseudococcidae) in theRepublic of Palau. Fla. Entomol. 89(2): 212–217.

Muniappan R, Shepard BM, Watson GW, Carner GR,Sartiami D, Rauf A, & Hammig MD. 2008. Firstreport of the papaya mealybug, Paracoccusmarginatus (Hemiptera: Pseudococcidae),inIndonesia and India. J. Agric. Urban Entomol.25(1): 37–40.

Muniappan R, Shepard BM, Watson GW, Carner GR,Rauf A, Sartiami D, Hidayat P, Afun JVK,Goergen G, & Rahman AKMZ. 2009. Newrecords of invasive insects (Hemiptera:Sternorrhyncha) in Southeast Asia and WestAfrica. J. Agric. Urban Entomol. 26(4): 167–174.

Nakahira K & Arakawa R. 2006. Development andreproduction of an exotic mealybug,Phenacoccus solani (Homoptera:Pseudococcidae) at three constant temperatures.Appl. Entomol. Zool. 41(4): 573–575.

Pantoja A, Abreu E, Pena J, & Robles W. 2007.Paracoccus marginatus Williams and Granarade Willink (Homoptera: Pseudococcidae)affecting papaya in Puerto Rico. J. Agric. Univ.PR 91(3–4): 223–225.

Polat F, Ulgenturk S, & Kaydan MB. 2008.Developmental biology of citrus mealybug,Planococcus citri (Risso) (Hemiptera:Pseudococcidae), on ornamental plants. In:Branco M, Franco JC, & Hodgson CJ. (Eds.).International Symposium on Scale InsectStudies. pp. 177–184. ISA Press, Lisbon,Portugal.

Rauf A. 2008. Ribuan pohon pepaya di Bogor matidiserang hama baru. Departemen ProteksiTanaman, Fakultas Pertanian-IPB, Bogor.

Ross L, Langenhof MBW, Pen I, Beukeboom LW, WestSA, & Shuker DM. 2010. Sex allocation in aspecies with paternal genome elimination: theroles of crowding and female age in the mealybugPlanococcus citri. Evol. Ecol. Res. 12: 89–104.

Sadof CS, Neal JJ, & Cloyd RA. 2003. Effect ofvariegation on stem exudates of coleus and lifehistory characteristics of citrus mealybug(Hemiptera: Pseudococcidae). Environ. Entomol.32(3): 463–469.

Saengyot S & Burikam I. 2011. Host plants and naturalenemies of papaya mealybug, Paracoccusmarginatus (Hemiptera: Pseudococcidae) inThailand. Thai J. Agric. Sci. 44(3): 197–205.

Venilla S, Deshmukh AJ, Pinjarkar D, Agarwal M,Ramamurthy VV, Joshi S, Kranthi KR, &Bambawale OM. 2010. Biology of the mealybug,Phenacoccus solenopsis on cotton in thelaboratory. J. Insect Sci. 10(15): 1–9.

Walker A, Hoy M, & Meyerdirk DE. 2006. Papayamealybug (Paracoccus marginatus Williams &Granara de Willink) (Hemiptera:Pseudococcidae). Featured creatures.Entomology and Nematology Departement,Florida Cooperative Extension Service, Instituteof Food and Agricultural Sciences, University ofFlorida, Grainesville, FL.

Williams DJ & Granara de Willink MC. 1992.Mealybugs of Central and South America.CABI, Wallingford.

Page 88: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Hutauruk et al. Asai Isolat Bakteri Kitinolitik Bacillus sp. BK17 61 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 16, No. 1: 61 – 70, Maret 2016

ASAI ISOLAT BAKTERI KITINOLITIK BACILLUS SP. BK17PADA MEDIA PEMBAWA TANAH GAMBUT DAN KOMPOS

JANJANG KELAPA SAWIT DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHANJAMUR PATOGEN SCLEROTIUM ROLFSII DAN FUSARIUM OXYSPORUM

PADA KECAMBAH CABAI

Deswidya Hutauruk, Dwi Suryanto, & Erman Munir

Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera UtaraJl. Bioteknologi No.1, Kampus USU, Medan, Indonesia 20155

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Assay of chitinolytic bacterial isolate of Bacillus sp. BK17 in peat and palm oil bunch compost as carrier media ininhibiting Sclerotium rolfsii and Fusarium oxysporum of chilli seedlings. Sclerotium rolfsii and Fusarium oxysporum havebeen known as causal agents of seedling-off of chilli. Biological control has been used as an alternative control to replacechemical control. This study was aimed to determine the viability and ability of chitinolityc bacteria Bacillus sp. BK17 incarrier media of peat and palm oil bunch compost and in growing media to control seedling-off caused by S. rolfsii dan F.oxysporum of chilli. Our previous study showed that Bacillus sp. BK17 could reduce disease severity and intensity. Bacterialviability was measured as colony number grown after 90 days of storage in minimum salt medium with colloidal chitin as soleC source. Reduction of disease infection was measured as seedling number infected by S. rolfsii dan F. oxysporum. Seedlingperformances were measured as seedling height, leaf number and dry-weight after 30-days of growth. The result showed thatbacterial cell viability was still high in both peat and palm oil bunch compost both with and without colloidal chitin additionafter 90 days of storage. It was also shown that during application bacterial cell could grow. Seedling performaces i.e. seedlingheight, leaf number and dry-weight showed to be normal or even increase compared to those of pathogenic fungal inoculationonly and (-) control.

Key words: Bacillus sp., Fusarium oxysporum, palm oil bunch compost, peat, Sclerotium rolfsii

ABSTRAK

Asai isolat bakteri kitinolitik Bacillus sp. BK17 pada media pembawa tanah gambut dan kompos janjang kelapasawit dalam menghambat pertumbuhan jamur patogen Sclerotium rolfsii dan Fusarium oxysporum pada kecambahcabai. Sclerotium rolfsii dan Fusarium oxysporum dikenal sebagai agen penyebab layu kecambah pada cabai. Untukmengendalikan penyakit ini, pengendalian hayati telah digunakan sebagai alternatif untuk menggantikan pengendalian denganbahan kimia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui viabilitas dan kemampuan bakteri kitinolitik Bacillus sp. BK17 dimedia pembawa gambut dan kompos janjang kelapa sawit, dan media tumbuh dalam mengendalikan layu kecambah yangdisebabkan oleh S. rolfsii dan F. oxysporum pada kecambah cabai. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Bacillus sp.BK17 mampu mengurangi keparahan dan intensitas penyakit. Viabilitas bakteri diukur sebagai pertumbuhan jumlah kolonisetelah 90 hari penyimpanan dalam medium garam minimal dengan kitin koloid sebagai sumber C. Pengurangan infeksipenyakit diukur sebagai jumlah bibit yang terinfeksi S. rolfsii dan F. oxysporum. Performa kecambah dilihat pada tinggikecambah, jumlah daun, dan berat kering setelah 30-hari pertumbuhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa viabilitas selbakteri masih tinggi di gambut dan kelapa sawit tandan kompos, dengan dan tanpa penambahan kitin koloid setelah 90 haripenyimpanan. Tinggi kecambah, jumlah daun, dan berat kering menunjukkan tidak terjadi penurunan, bahkan meningkatkandibandingkan dengan benih yang diinokulasi jamur patogen saja dan kontrol (-).

Kata kunci: Bacillus sp., Fusarium oxysporum, kompos janjang kelapa sawit, peat, Sclerotium rolfsii

Page 89: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

62 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2015: 61 - 70

PENDAHULUAN

Pengendalian jamur patogen dengan menggunakanfungisida memiliki efek negatif seperti resistensi jamur,berbahaya bagi organisme lain, serta menyebabkanpencemaran lingkungan. Alternatif yang dianggap amandan menjanjikan dapat dilakukan melalui penggunaanagen mikroorganisme seperti bakteri untuk tujuanpengendalian hama dan penyakit tanaman. Bakterikitinolitik merupakan salah satu pengendali hayati yangefektif dan ramah lingkungan. Penelitian tentang potensipemanfaatan bakteri kitinolitik dalam menghambatpertumbuhan jamur telah banyak dilakukan. Aeromonashydrophila, A. caviae, Pseudomonas maltophila,Bacillus licheniformis, B. circulans, Vibrio furnissii,Xanthomonas spp., dan Serratia marcescens berperanpenting dalam penghambatan jamur patogen tanaman(Gohel et al., 2006). Kombinasi S. plymuthica strain C-1, Chromobacterium sp. strain C-61, dan Lysobacterenzymogenes strain C-3 menghambat pertumbuhanPhytium capsici, Rhizoctonia solani, dan Fusarium spp.(Kim et al., 2008). Suryanto et al. (2011) melaporkanbahwa isolat bakteri kitinolitik mampu menghambatpertumbuhan Fusarium oxysporum, Ganodermaboninense, dan Penicillium semitectum secara in vitro.Penelitian pemanfaatan bakteri kitinolitik dalammengurangi serangan patogen yang disebabkan oleh F.oxysporum, Ganoderma boninensis, Colletothricumgloeosporioides pada kecambah cabai, benih kelapasawit, dan daun kakao telah dilakukan (Suryanto et al.,2010; Suryanto et al., 2012a; Suryanto et al., 2012b;Suryanto et al., 2014).

Pemanfaatan sel mikroorganime sebagai agenpengendali hayati sering menghadapi kendalapenyimpanan yang menyebabkan viabilitas dankemampuan sel dalam mengendalikan penyakit tanamanmenjadi menurun. Oleh sebab itu perlu dicari mediapembawa yang tidak berbahaya bagi lingkungan dan selmikroorganisme di dalamnya dan dapat tetapmempertahankan viabilitas dan kemampuan sel dalammengendalikan penyakit tanaman selama waktupenyimpanan yang lama. Beberapa bahan organik seperti,talk, kaolinit, pirofilit, zeolit, montmorilonit, alginat,lumpur tekan, serbuk gergaji, vermikulit, termasuk tanahgambut telah diteliti penggunaannya dalam formulasibahan pembawa sel bakteri (Nakkeeran et al., 2005).Penggunaan kompos janjang kelapa sawit sepertinyabelum pernah diteliti. Teknologi alternatif lain yang jugasering digunakan hingga saat ini seperti pelapisan benihdengan matriks berisi sel bakteri (Suryanto et al., 2012a),pembuatan enkapsulasi bakteri (Bashan & Gonzalez,1999) atau pencelupan biji dan bagian tanaman dengan

bakteri pengendali (Suryanto et al., 2010; Suryanto etal., 2012a; Suryanto et al., 2012b; Suryanto et al., 2014).

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwaBacillus sp. BK17 merupakan isolat bakteri potensialdalam menurunkan serangan penyakit tanaman yangdisebabkan oleh jamur (Suryanto et al., 2012a; Suryantoet al., 2012b; Suryanto et al., 2014). Pada penelitian inidilihat viabilitas sel Bacillus sp. BK17 pada beberapamedia pembawa yang murah dan tersedia seperti tanahgambut dan kompos janjang kelapa sawit, sertapenambahan koloidal kitin di dalamnya untukmenyimpan sel bakteri. Disamping itu juga dilihatkemampuan bakteri yang sudah disimpan dalam mediapembawa dalam menghambat pertumbuhan S. rolfsii danF. oxysporum yang menyerang kecambah cabai sertamelihat performa tanaman dari hasil perlakuan.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian dilaksanakan diLaboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Sentral,Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan IlmuPengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara dan diLaboratorium Balai Penyidikan dan Penelitian VeterinerMedan pada bulan Agustus 2013 sampai dengan Maret2014.

Persiapan Media Pembawa. Tanah gambut dankompos janjang kelapa sawit digunakan sebagai mediapembawa Bacillus sp. BK17. Bacillus sp. BK17 berasaldari penelitian sebelumnya (Suryanto et al., 2012b;Suryanto et al., 2014). Tanah gambut ditingkatkan pH-nya dengan penambahan 10% CaCO3 hingga diperolehmedia pembawa tanah gambut dengan pH sekitar 7-7,4.Tanah gambut dan tanah gambut yang ditambahkandengan 2% koloidal kitin, kompos janjang sawit dankompos janjang sawit yang ditambahkan dengan 2%koloidal kitin kemudian distrerilisasi dengan autoklaf.

Penyimpanan dan Pencampuran Sel Isolat BakteriKitinolitik Bacillus sp. BK17 dalam MediaPertumbuhan. Media garam minimum (MGM) cair(Suryanto et al., 2012b), dengan 2% molase sebagaisumber C dan 0,3% Na-nitrat sebagai sumber nitrogendigunakan untuk perbanyakan sel (Nasrah et al., 2012).pH disesuaikan menjadi 6,5-7. Media dipanaskan diatas penangas dan disterilkan dengan autoklaf.

Bacillus sp. BK17 yang telah disubkulturdiinokulasikan ke dalam 100 ml MGM yang sudahdisiapkan sebelumnya. Kultur diinkubasi selama 2 hariuntuk memperoleh suspensi bakteri dengan kerapatansel ~ 108 sel/ml. Induksi pembentukan spora dilakukan

Page 90: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Hutauruk et al. Asai Isolat Bakteri Kitinolitik Bacillus sp. BK17 63

dengan pemanasan pada suhu 80 °C selama 60 detik(Nasrah et al., 2012). Kultur bakteri dicampurkan dengan500 g media pembawa sampai rata, kemudian disimpandalam suhu ruang. Setelah penyimpanan 90 hari, 10 gmedia pembawa berisi bakteri diambil kemudiandicampur dengan 1 kg media pertumbuhan cabai sampairata. Media pertumbuhan merupakan campuran tanahdan kompos steril dengan nisbah 3:1.

Perhitungan Jumlah Sel Bakteri dalam MediaPembawa dan Media Pertumbuhan. Media pembawayang telah dicampurkan dengan kultur bakteri kitinolitikdiambil sebanyak 1 g kemudian dibuat pengenceran seri.Jumlah sel yang hidup dihitung dengan menyebarkan 1ml hasil pengenceran ke dalam agar MGM dengan 2%kolodial kitin sebagai sumber karbon. Penghitungan inidilakukan pada hari ke-0, 30, 60, dan 90. Jumlah selpada media pertumbuhan dihitung dengan cara yang samadengan perhitungan jumlah sel pada media pembawa.Jumlah sel (cfu/g) ditampilkan dalam bentuk nilailogaritma.

Penghambatan Serangan Jamur Patogen pada BenihCabai. Jamur patogen Sclerotium rolfsii dan Fusariumoxysporum merupakan koleksi LaboratoriumMikrobiologi, Departemen Biologi, Fakultas MIPA, USU,Medan. Biakan jamur yang sudah diremajakan di cawanpetri diinokulasikan pada 80 ml media glucose yeastbroth. Kultur jamur diinkubasi selama 7 hari pada suhukamar. Setelah jamur patogen berumur 7 hari, kultur

jamur dicampur dengan 1 kg media tumbuh campurantanah dan kompos steril (3:1) dalam nampan plastikberukuran 30 x 38 x 7 cm. Sebanyak 10 g mediapembawa yang telah diinokulasikan bakteri kitinolitik dantelah disimpan selama 90 hari dicampurkan pada mediapertumbuhan secara merata. Sebanyak 20 benih cabaiditanam ke dalam tiap nampan. Kecambah ditumbuhkanpada media pertumbuhan yang dicampur media pembawaberisi bakteri dengan kombinasi perlakuan pada Tabel1.

Pengamatan Persentase Kecambah yang TerserangJamur, Tinggi, Jumlah Daun, dan Berat KeringKecambah. Pengamatan dilakukan terhadap persentasekecambah yang terserang jamur, tinggi kecambah, jumlahdaun, dan berat kering kecambah selama persemaian 30hari dan diukur setelah masa persemaian 30 hari.Persentase kecambah yang terserang jamur patogendihitung dengan cara menjumlahkan kecambah yangrebah, abnormal, dan tidak tumbuh dibagi jumlahkecambah yang tumbuh normal pada kontrol (-) dikalikandengan 100%. Perhitungan tinggi kecambah dilakukandengan mengukur tinggi kecambah mulai dari ujung akarsampai ujung batang kecambah. Perhitungan jumlahdaun dilakukan dengan menghitung jumlah helai daunyang tumbuh pada tiap kecambah. Berat keringkecambah dihitung setelah berat basah kecambahditimbang kemudian kecambah dikeringkan dalam ovendengan suhu 100 °C sampai berat kecambah tidakberubah setelah ditimbang.

Perlakuan Keterangan

Kontrol (-) Tanpa perlakuan Kontrol S S. rolfsii Kontrol F F. oxysporum GB tanah gambut + Bacillus sp. BK17 GKB tanah gambut + 2% koloidal kitin + Bacillus sp. BK17 JB kompos janjang kelapa sawit + Bacillus sp. BK17 JKB kompos janjang kelapa sawit + 2% koloidal kitin + Bacillus sp. BK17 SGB S. rolfsii + tanah gambut + Bacillus sp. BK17 SGKB S. rolfsii + tanah gambut + 2% koloidal kitin + Bacillus sp. BK17 SJB S. rolfsii + kompos janjang kelapa sawit + Bacillus sp. BK17 SJKB S. Rolfsii + kompos janjang kelapa sawit + 2% koloidal kitin + Bacillus sp. BK17 FGB F. oxysporum + tanah gambut + Bacillus sp. BK17 FGKB F. oxysporum + tanah gambut + 2% koloidal kitin + Bacillus sp. BK17 FJB F. oxysporum + kompos janjang kelapa sawit + Bacillus sp. BK17 FJKB F. oxysporum + kompos janjang kelapa sawit + 2% koloidal kitin + Bacillus sp. BK17

Tabel 1. Kontrol dan perlakuan pada pertumbuhan benih cabai

Page 91: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

64 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2015: 61 - 70

HASIL DAN PEMBAHASAN

Viabilitas Sel Bacillus sp. BK17 dalam MediaPembawa. Penelitian ini menggunakan media pembawatanah gambut, tanah gambut dengan penambahan 2%koloidal kitin, kompos janjang kelapa sawit, dan komposjanjang kelapa sawit dengan penambahan 2% koloidalkitin. Media pembawa tanah gambut dan kompos janjangkelapa sawit dipilih karena bahan ini mudah didapat,murah, dan mudah diaplikasikan. Viabilitas sel bakteridiukur berdasarkan jumlah koloni populasi bakteri yanghidup dalam media agar MGM dengan 2% koloidal kitinsebagai sumber karbon. Hasil penelitian menunjukkanadanya pertambahan jumlah sel selama waktupenyimpanan 90 hari (Gambar 1). Penelitian inimenunjukkan bahwa kedua media boleh jadimenyediakan nutrisi dan tidak bersifat racun bagi bakteri.

Setelah penyimpanan dalam media pembawatanah gambut dan janjang kelapa sawit terlihat bahwasel bakteri isolat Bacillus sp. BK 17 memiliki viabilitasdan kemampuan tumbuh yang hampir sama pada keduamedia tumbuh. Hal ini mengindikasikan bahwa dalammedia pembawa tersedia cukup sumber karbon dannutrisi untuk pertumbuhan. Penelitian Nakkeeran et al.(2006) menunjukkan bahwa Bacillus subtilis strainBSCBE4 dan Pseudomonas chlororaphis strain PA23dapat bertahan hidup sampai 180 hari penyimpanandalam tanah gambut.

Jumlah Sel Isolat Bakteri Bacillus sp. BK17 dalamMedia Pertumbuhan. Kemampuan bakteri hidup dalammedia tumbuh diukur dengan menghitung jumlah kolonipada media agar MGM dengan 2% koloidal kitin sebagaisumber karbon. Jumlah sel bakteri mengalami sedikitpeningkatan selama pertumbuhan kecambah di mediapertumbuhan (Gambar 2).

Pertumbuhan sel dalam MGM cair dengan variasisumber karbon dan nitrogen memperlihatkan bahwa fasepertumbuhan stasioner Bacillus sp. BK17 terjadi sekitar5-30 hari (Nasrahet al., 2012). Hasil pengamatanpertumbuhan di atas menunjukkan bahwa jumlah selstabil pada kisaran tersebut. Perbedaan karakteristikmedia antara media pembawa dengan mediapertumbuhan seperti tanah dapat menyebabkan kematiansel-sel yang tidak adaptif, sehingga jumlah sel kuranglebih sama diawal dan diakhir penelitian. Hasilpengamatan juga menunjukkan bahwa pemberiankoloidal kitin terlihat tidak berpengaruh terhadappertambahan jumlah sel bakteri. Hal ini terjadi mungkinkarena sumber karbon dan nitrogen lain yang lebih mudahdimetabolisme selain kitin cukup banyak tersedia di mediapertumbuhan.

Penurunan Serangan Jamur Patogen S. rolfsii danF. oxysporum pada Kecambah Cabai. Jumlah bakteridalam media pembawa yang dicampurkan dalam mediatumbuh mampu menghambat dan mengendalikan

Gambar 1. Viabilitas sel isolat bakteri Bacillus sp. BK17 pada media pembawa yang berbeda yang disimpanselama 90 hari. GB= tanah gambut + Bacillus sp. BK17; GKB= tanah gambut + 2% koloidal kitin +Bacillus sp. BK17, JB= kompos janjang kelapa sawit + Bacillus sp. BK17; JKB= kompos janjangkelapa sawit + 2% koloidal kitin + Bacillus sp. BK17

Page 92: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Hutauruk et al. Asai Isolat Bakteri Kitinolitik Bacillus sp. BK17 65

pertumbuhan jamur patogen S. rolfsii dan F. oxysporum.Penghambatan serangan jamur patogen dihitungberdasarkan kemampuan bakteri dalam menurunkanjumlah benih yang tidak tumbuh, rebah kecambah danbenih yang tumbuh secara abnormal. Secara umum darihasil pengamatan, perbandingan penghambatan seranganjamur patogen pada masing-masing media pembawaterlihat berbeda (Gambar 3). Jamur yang diinokulasikanmenunjukkan pengaruh yang besar terhadap kecambahcabai. Serangan dapat mencapai 75% untuk S. roflsiidan 70% untuk F. oxysporum. Serangan ini dapatmematikan kecambah atau memperlihatkan gejalaserangan pada kecambah. Gejala awal pada kecambahyang terserang S. rolfsii berupa nekrosis dan kelayuanpada daun. Pada kecambah terlihat daun yang menguningberubah menjadi coklat dan rapuh, batang yang layukemudian mengering, pertumbuhan bibit yang kerdil, danbentuk daun maupun bentuk batang yang abnormal.Gejala berikutnya terlihat kumpulan hifa berwarna putihpada jaringan yang terinfeksi dan dapat menimbulkankebusukan pada pangkal batang. Suryanto et al., (2010)

menjelaskan kecambah cabai yang terinfeksi F.oxysporum oleh menunjukkan gejala seperti batang kecil,daun mungil dan bentuk yang abnormal, kemudian akanlayu dan kering. Hasil reisolasi dari kecambah yangterinfeksi menunjukkan gejala yang sama yangmembuktikan bahwa jamur patogen S. rolfsii dan F.oxysporum penyebab penyakit pada tanaman cabai.

Penghambatan serangan jamur patogen yangpaling tinggi terlihat pada perlakuan SJB dan FJKBdengan potensi serangan turun menjadi masing-masingsebesar 10% dan 9%. Pemberian kitin lebih terlihatpengaruhnya pada perlakukan inokulasi jamur F.oxysporum dibandingkan dengan perlakuan inokulasijamur S. rolfsii. Menurunnya serangan jamur patogenpada benih cabai menunjukkan kemampuan Bacillus sp.BK17 dalam menghambat dan mengendalikanpertumbuhanan S. rolfsii dan F. oxysporum padakecambah cabai. Bakteri kitinolitik Bacillus sp. BK17menghasilkan enzim kitinase yang mampu mendegradasikitin yang terdapat pada dinding sel jamur patogentersebut untuk digunakan sebagai sumber karbon dan

Gambar 2. Pertambahan sel bakteri isolat Bacillus sp. BK17 dalam media pertumbuhan cabai selama 30 hari.GB= tanah gambut + Bacillus sp. BK17; GKB= tanah gambut + 2% koloidal kitin + Bacillus sp.BK17, JB= kompos janjang kelapa sawit + Bacillus sp. BK17; JKB= kompos janjang kelapasawit + 2% koloidal kitin + Bacillus sp. BK17; SGB= S. rolfsii + tanah gambut + Bacillus sp.BK17; SGKB= S. rolfsii + tanah gambut + 2% koloidal kitin + Bacillus sp. BK17; SJB= S. rolfsii+ kompos janjang kelapa sawit + Bacillus sp. BK17; SJKB= S. Rolfsii + kompos janjang kelapasawit + 2% koloidal kitin + Bacillus sp. BK17; FGB= F. oxysporum + tanah gambut + Bacillus sp.BK17; FGKB= F. oxysporum + tanah gambut + 2% koloidal kitin + Bacillus sp. BK17; FJB= F.oxysporum + kompos janjang kelapa sawit + Bacillus sp. BK17; FJKB= F. oxysporum + komposjanjang kelapa sawit + 2% koloidal kitin + Bacillus sp. BK17.

Page 93: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

66 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2015: 61 - 70

Gambar 3. Potensi penurunan serangan jamur patogen S. rolfsii dan F. oxysporum setelah penambahan isolatbakteri Bacillus sp. BK17 dalam media pembawa. (-)= tanpa perlakuan; S= S. Rolfsii; F= F.oxysporum; GB= tanah gambut + Bacillus sp. BK17; GKB= tanah gambut + 2% koloidal kitin +Bacillus sp. BK17, JB= kompos janjang kelapa sawit + Bacillus sp. BK17; JKB= kompos janjangkelapa sawit + 2% koloidal kitin + Bacillus sp. BK17; SGB= S. rolfsii + tanah gambut + Bacillussp. BK17; SGKB= S. rolfsii + tanah gambut + 2% koloidal kitin + Bacillus sp. BK17; SJB= S.rolfsii + kompos janjang kelapa sawit + Bacillus sp. BK17; SJKB= S. Rolfsii + kompos janjangkelapa sawit + 2% koloidal kitin + Bacillus sp. BK17; FGB= F. oxysporum + tanah gambut +Bacillus sp. BK17; FGKB= F. oxysporum + tanah gambut + 2% koloidal kitin + Bacillus sp.BK17; FJB= F. oxysporum + kompos janjang kelapa sawit + Bacillus sp. BK17; FJKB= F.oxysporum + kompos janjang kelapa sawit + 2% koloidal kitin + Bacillus sp. BK17.

nitrogen (Tsujibo et al., 2002). Protein anti jamur danmetabolit seperti hidrolase glikosil lainnya, proteinpengikat kitin, dan antibiotik mungkin juga terlibat dalammenekan serangan jamur pada bibit cabai (Suryanto etal., 2010).

Pengukuran Tinggi, Jumlah Daun, dan Berat KeringKecambah. Serangan jamur S. rolfsii dan F. oxysporumdapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dengan caramemblok transpor air dan nutrisi, akibatnya terjadiperubahan morfologi dan fisiologi tanaman yangterserang (Suryanto et al., 2010). Pengamatan secaralangsung menunjukkan perkecambahan benih yangterhambat karena serangan jamur menyebabkanpertumbuhan beberapa organ tumbuhan terganggu. Daundan batang kecambah menjadi abnormal, infeksi bibitdiawal persemaian menyebabkan kecambah tidaktumbuh atau rebah. Pertumbuhan panjang hipokotil danakar yang tidak optimum mungkin disebabkan oleh nutrisimenjadi tidak tersedia bagi kecambah sehingga menjadikerdil dan mati (Gambar 4).

Tinggi kecambah sangat berkaitan dengan gejalayang muncul pada kecambah yang terinfeksi. Kecambahyang terinfeksi jamur mengalami gangguan dalam sistemmetabolismenya. Hal ini menyebabkan terganggunyapertumbuhan kecambah sehingga mempengaruhi tinggitanaman (Agrios, 1996). Perlakuan jamur patogen danbakteri memberikan hasil yang berbeda terhadap tinggikecambah (Gambar 5).

Secara umum S. rolfsii lebih mampu menurunkantinggi kecambah dibandingkan F. oxysporum.Pengukuran tinggi kecambah menunjukkan bahwaserangan S. rolfsii dapat menurunkan tinggi kecambahmenjadi 10 cm, sedangkan serangan F. oxysporum tidakmemberi pengaruh dibandingkan dengan kontrol (-).Suryanto et al. (2012) mengamati penuruan tinggikecambah cabai yang terkena serangan F. oxysporum.

Bacillus sp. BK17 memberikan pengaruhmenambah tinggi kecambah lebih tinggi dibandingkandengan kontrol (-) pada semua media pembawa.Perlakuan pengendalian serangan terhadap kedua jenis

Page 94: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Hutauruk et al. Asai Isolat Bakteri Kitinolitik Bacillus sp. BK17 67

jamur justru lebih menambah tinggi kecambah. Belumdiketahui mengapa hal ini terjadi. Tinggi kecambah yanglebih tinggi ditemukan pada kontrol pemberian bakterisaja, menunjukkan bahwa bakteri yang digunakan tidakmengganggu pertumbuhan dan tidak bersifat patogen

terhadap benih cabai yang ditanam selama pengamatan.Di sisi lain bakteri seperti Bacillus diketahui menstimulasimekanisme pertahanan dalam melindungi benih dariserangan jamur patogen (Hernandez-Suarez et al., 2011).Kemampuan Bacillus sp. BK17 dalam menambah tinggi

Gambar 4. (a). Kecambah yang tidak terserang jamur, (b). Kecambah terserang jamur F. oxysproum, dan (c).Kecambah terserang jamur S. rolfsii

Gambar 5. Tinggi kecambah cabai setelah perlakuan isolat bakteri Bacillus sp. BK17 dalam media pembawa yangberbeda. (-)= tanpa perlakuan; S= S. Rolfsii; F= F. oxysporum; GB= tanah gambut + Bacillus sp.BK17; GKB= tanah gambut + 2% koloidal kitin + Bacillus sp. BK17, JB= kompos janjang kelapasawit + Bacillus sp. BK17; JKB= kompos janjang kelapa sawit + 2% koloidal kitin + Bacillus sp.BK17; SGB= S. rolfsii + tanah gambut + Bacillus sp. BK17; SGKB= S. rolfsii + tanah gambut +2% koloidal kitin + Bacillus sp. BK17; SJB= S. rolfsii + kompos janjang kelapa sawit + Bacillus sp.BK17; SJKB= S. Rolfsii + kompos janjang kelapa sawit + 2% koloidal kitin + Bacillus sp. BK17;FGB= F. oxysporum + tanah gambut + Bacillus sp. BK17; FGKB= F. oxysporum + tanah gambut+ 2% koloidal kitin + Bacillus sp. BK17; FJB= F. oxysporum + kompos janjang kelapa sawit +Bacillus sp. BK17; FJKB= F. oxysporum + kompos janjang kelapa sawit + 2% koloidal kitin +Bacillus sp. BK17.

Page 95: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

68 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2015: 61 - 70

kecambah mengindikasikan bakteri ini juga menghasilkanzat pengatur tumbuh. Beberapa agen pengendali hayatimenghasilkan zat pengatur tumbuh yang dapatmeningkatkan performa tanaman (Forchetti et al.,2010;Hernandez-Suarez et al., 2011).

Selama masa tumbuh 30 hari pertumbuhan helaidaun kecambah hampir sama. Secara umum seranganS. rolfsii terlihat lebih berpengaruh terhadap jumlah helaidaun dibandingkan dengan serangan F. oxysporum.Pemberian bakteri tidak merusak pertumbuhan jumlahhelai daun kecambah cabai. Bakteri yang diberikan dapatmenghambat serangan jamur patogen tanaman sehinggapertumbuhan helai daun tetap normal (Gambar 6). Meskidemikian pada sebagian kecambah yang terinfeksi jamur,bentuk daun kecambah menjadi abnormal.

Jamur patogen dapat menginfeksi jaringanpembuluh tanaman sehingga menyebabkan terjadinyapenghambatan penyerapan air dan unsur hara. Selamamasa persemaian kecambah 30 hari terdapat kecambah

Gambar 6. Jumlah daun kecambah cabai setelah perlakuan isolat bakteri Bacillus sp. BK17 dalam media pembawayang berbeda. (-)= tanpa perlakuan; S= S. Rolfsii; F= F. oxysporum; GB= tanah gambut + Bacillussp. BK17; GKB= tanah gambut + 2% koloidal kitin + Bacillus sp. BK17, JB= kompos janjangkelapa sawit + Bacillus sp. BK17; JKB= kompos janjang kelapa sawit + 2% koloidal kitin +Bacillus sp. BK17; SGB= S. rolfsii + tanah gambut + Bacillus sp. BK17; SGKB= S. rolfsii + tanahgambut + 2% koloidal kitin + Bacillus sp. BK17; SJB= S. rolfsii + kompos janjang kelapa sawit +Bacillus sp. BK17; SJKB= S. Rolfsii + kompos janjang kelapa sawit + 2% koloidal kitin + Bacillussp. BK17; FGB= F. oxysporum + tanah gambut + Bacillus sp. BK17; FGKB= F. oxysporum +tanah gambut + 2% koloidal kitin + Bacillus sp. BK17; FJB= F. oxysporum + kompos janjangkelapa sawit + Bacillus sp. BK17; FJKB= F. oxysporum + kompos janjang kelapa sawit + 2%koloidal kitin + Bacillus sp. BK17.

yang mengalami pertumbuhan yang abnormal yangdicirikan dengan pertumbuhan kecambah kerdil, bentukdaun yang tidak normal seperti menggulung, keriting,dan membengkok. Terlihat juga bentuk batang yangabnormal dengan batang kecambah tumbuh membengkokdan ujung batang tetap menguncup. Hal ini sebagai akibatdari serangan jamur patogen diawal persemaian yangmenginfeksi bibit sehingga pertumbuhan batang dan daunmenjadi abnormal.

Daun yang terinfeksi oleh jamur patogenmenunjukkan gejala daun yang menguning, kemudianberubah menjadi coklat dan rapuh, ada juga bentuk daunyang kurus memanjang, keriting/bergelombang denganujung daun yang menggulung. Suryanto et al. (2010)menjelaskan gejala visual yang disebabkan infeksi F.oxysporum seperti warna daun tanaman memucat, batangberwarna coklat,dan tanaman kemudian layu dan mati.Miselium jamur patogen yang masuk ke dalam berkaspembuluh xilem menyumbat pembuluh sehingga tanaman

Page 96: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

Hutauruk et al. Asai Isolat Bakteri Kitinolitik Bacillus sp. BK17 69

Gambar 7. Berat kering kecambah cabai setelah perlakuan isolat bakteri Bacillus sp. BK17 dalam media pembawayang berbeda. (-)= tanpa perlakuan; S= S. Rolfsii; F= F. oxysporum; GB= tanah gambut + Bacillussp. BK17; GKB= tanah gambut + 2% koloidal kitin + Bacillus sp. BK17, JB= kompos janjangkelapa sawit + Bacillus sp. BK17; JKB= kompos janjang kelapa sawit + 2% koloidal kitin +Bacillus sp. BK17; SGB= S. rolfsii + tanah gambut + Bacillus sp. BK17; SGKB= S. rolfsii + tanahgambut + 2% koloidal kitin + Bacillus sp. BK17; SJB= S. rolfsii + kompos janjang kelapa sawit +Bacillus sp. BK17; SJKB= S. Rolfsii + kompos janjang kelapa sawit + 2% koloidal kitin + Bacillussp. BK17; FGB= F. oxysporum + tanah gambut + Bacillus sp. BK17; FGKB= F. oxysporum +tanah gambut + 2% koloidal kitin + Bacillus sp. BK17; FJB= F. oxysporum + kompos janjangkelapa sawit + Bacillus sp. BK17; FJKB= F. oxysporum + kompos janjang kelapa sawit + 2%koloidal kitin + Bacillus sp. BK17.

kehilangan kemampuan transportasi air dan unsur haradan menghasilkan toksik yang berakibat pada kematiantanaman.

Dari perlakuan diketahui jamur patogen S. rolfsiidan F. oxysporum mampu menginfeksi bibit baik diawalpersemaian dengan merusak embrio benih cabai maupunsetelah benih berkecambah sehingga mempengaruhi beratkering kecambah tersebut. Berdasarkan hasil pengamatanpada pengukuran berat kering kecambah didapatkanbahwa perlakuan yang diberikan menghasilkan hasil beratkering kecambah yang berbeda (Gambar 7).

Perlakuan pemberian jamur menyebabkan beratkering turun di bawah kontrol (-). Dibandingkanperlakuan lain, pemberian S. rolfsii menyebabkan beratkering lebih turun. FGB dan FJKB terlihat memberikanpengaruh terhadap penambahan berat kering tertinggimasing-masing 0,025 g. Kemampuan menahan seranganjamur patogen memberikan pengaruh terhadap

penambahan berat kering dan tinggi kecambah cabai(Suryanto et al., 2012).

SIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bacillus sp.BK17 memiliki viabilitas yang tetap tinggi dan bahkanmenunjukkan pertumbuhan sel dalam media pembawatanah gambut dan janjang kelapa sawit setelahpenyimpanan selama 90 hari. Pertumbuhan sel Bacillussp. BK17 juga terlihat selama aplikasi pada mediatumbuh. Bakteri ini tetap mampu mengendalikanpertumbuhan jamur patogen S. rolfsii dan F. oxysporumpada kecambah cabai.

SANWACANA

Penelitian ini dibiayai oleh DP2M Dikti melaluiHUPT USU.

Page 97: ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal-Hama-dan-Penyakit...ENZIM AMILASE SEBAGAI KOMPONEN ANTAGONIS BACILLUS SUBTILIS ...

70 J. HPT Tropika Vol. 16 No. 1, 2015: 61 - 70

DAFTAR PUSTAKA

Agrios GN. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. GadjahMada University Press. Yogyakarta. Indonesia.

Bashan Y & Gonzalez LE. 1999. Long-term survival ofthe plant-growth-promoting bacteria Azospirillumbrasilense and Pseudomonas fluorescens in dryalginate inoculant. Appl. Microbiol. Biotechnol.51: 262–266.

Forchetti G, Masciarelli O, Izaguirre M, Alemano S,Alvarez D, & Abdala G. 2010. Endophyticbacteria improve seedling growth of sunflowerunder water stress, produce salicylic acid, andinhibit growth of pathogenic fungi. Curr.Microbiol. 61: 485–493.

Gohel V, Singh A, Vimal M, Ashwini P, & Chhatpar HS.2006. Bioprospecting and antifungal potential ofchitinolytic microorganisms. Afr. J. Biotechnol.5(2): 54–72.

Hernández-Suárez M, Hernández-Castillo FD, Gallegos-Morales G, Lira-Saldivar, RH, Rodríguez-HerreraR, & Aguilar NC. 2011. Biocontrol of soil fungi intomato with microencapsulates containingBacillus subtilis. Am. J. Agric. Biol. Sci. 6(2):189–195.

Kim YC, Jung H, Kim KY, & Park SK. 2008. Aneffective biocontrol bioformulation againstPhytophthora blight of pepper using growthmixtures of combined chitinolytic bacteria underdifferent field conditions. Eur. J. Plant Pathol.120: 373–382.

Nakkeeran S, Fernando DWG, & Siddiqui ZA. 2005.Plant growth promoting Rhizobacteriaformulations and its scope in commercializationfor the management of pests and diseases. In:Siddiqui ZA (ed.). PGPR: Biocontrol andBiofertilization. pp. 257–296. Springer.Dordrecht. The Netherlands.

Nakkeeran S, Kavitha K, Chandrasekar G, RenukadeviP, & Fernando WGD. 2006. Induction of plantdefence compounds by Pseudomonaschlororaphis PA23 and Bacillus subtilisBSCBE4 in controlling damping-off of hot peppercaused by Pythium aphanidermatum.Biocontrol Sci. Technol. 16(4): 403–416.

Nasrah SN, Suryanto D, & Jamilah I. 2012. Viabilitasdan keriap Bacillus sp. BK17 dan Enterobactersp. BK15 pada sumber karbon dan nitrogen yangberbeda. Saintia Bio 1(1): 1–6.

Suryanto D, Patonah S, & Munir E. 2010. Control ofFusarium wilt of chilli with chitinolytic bacteria.Hayati J. Bio Sci. 17(1) : 5–8.

Suryanto D, Irawati N, & Munir E. 2011. Isolation andcharacterization of chitinolytic bacteria and theirpotential to inhibit plant pathogenic fungi.Microbiol. Indones. 5(3): 144–148.

Suryanto D, Indarwan A, & Munir E. 2012a.Examination of chitinolytic bacteria in alginate-chitosan encapsulation on chili seed againstdamping off caused by Fusarium oxysporum.Am. J. Agric. Biol. Sci. 7(4): 461–467.

Suryanto D, Wibowo RH, Siregar EBM, & Munir E.2012b. A possibility of chitinolytic bacteriautilization to control basal stems disease causedby Ganoderma boninense in oil palm seedling.Afri. J. Microbiol. Res. 6(9): 2053–2059.

Suryanto D, Wahyuni S, Siregar EBM, & Munir E. 2014.Utilization of chitinolytic bacterial isolates tocontrol anthracnose of cocoa leaf caused byColletotrichum gloeosporioides . Afr. J.Biotechnol. 13(15): 1631–1637.

Tsujibo H, Orikoshi H, Baba N, Miyahara M, MiyamotoK, Yasuda M, & Inamori Y. 2002. Identificationand characterization of the gene cluster involvedin chitin degradation in a marine bacterium,Alteromonas sp. strain O-7. Appl. Environ.Microbiol. 68(1): 263–270.