Endoskopi Versus Drainase Duktus Pankreatikus Pada Pankreatitis Kronis
description
Transcript of Endoskopi Versus Drainase Duktus Pankreatikus Pada Pankreatitis Kronis
Perbandingan Drainase Endoskopi dan Drainase Operatif Pada Kasus
Pankreatitis Kronis dengan Obstruksi Duktus Pankreatikus
Abstrak
Latar Belakang
Pada pasien-pasien pankreatitis kronis dengan dilatasi duktus pankreatikus
dianjurkan untuk dilakukan tindakan dekompresi duktus. Kami mengadakan uji
acak untuk membandingkan intervensi drainase duktus pankreatikus secara
endoskopi maupun operatif pada pasien-pasien tersebut.
Metode
Semua pasien pankreatitis kronis yang simtomatik dengan obstruksi duktus
pankreatikus sebelah distal tanpa massa yang meradang dipilih dalam penelitian
ini. Kami memilih secara acak pasien-pasien yang akan menjalani drainase duktus
pankreatikus endoskopik transampula maupun pancreaticojejunostomy.
Hasil
Dari 39 pasien yang menjalani randomisasi : 19 orang menjalani prosedur
endoskopi (16 diantaranya menjalani litotripsi) dan 20 menjalani
panceraticojenunostomy. Dari hasil follow up selama 24 bulan, pasien-pasien
yang menjalani operasi memiliki score Izbicki lebih rendah (25 Vs 51; P<0,001)
dan catatan kesehatan fisik yang lebih baik berdasarkan Kuisioner Medical
Outcomes Study 36-Item Short-Form General Health Survey (P=0,003)
dibandingkan pasien-pasien yang menjalani endoskopi. Di akhir follow up,
penyembuhan nyeri secara total atau parsial diperoleh pada 32% pasien yang
menjalani drainase endoskopik dan 75% yang menjalani drainase secara operatif
(P=0,007). Angka komplikasi, lama perawatan di rumah sakit, dan perubahan
fungsi pankreas sama pada kedua kelompok, namun pasien-pasien yang menerima
intervensi endoskopik memerlukan prosedur yang lebih banyak dibandingkan
pasien-pasien yang menerima intervensi operatif (P<0,001).
Kesimpulan
Drainase duktus pankreatikus secara operatif lebih efektif dibandingkan
drainase duktus pankreatikus secara endoskopik pada pasien-pasien dengan
obstruksi duktus pankeratikus yang disebabkan oleh pankreatitis kronis.
LATAR BELAKANG
Pada pasien-pasien pankreatitis kronis, nyeri merupakan gejala predominan.
Obstruksi duktus pankreatikus diduga sebagai penyebab yang penting, oleh karena
itu dekompresi duktus dianjurkan untuk pasien-pasien dengan manifestasi nyeri
yang nyata dan pelebaran duktus.
Drainase secara endoskopi dan operatif merupakan pilihan terapi. Drainase
operatif dilakukan melalui pancreaticojejunostomy longitudinal dengan angka
komplikasi sebesar 6-30%, angka mortalitas sebesar 0-2% dan angka keberhasilan
dalam penyembuhan nyeri jangka panjang sebesar 65-85%. Sementara itu,
drainase endoskopi dilakukan dengan cara sphincteroctomy, dilatasi striktur dan
pembuangan batu. Tindakan ini memiliki angka keberhasilan sebesar 30-100%.
Oleh karena itu, kami mengadakan uji coba acak dengan membandingkan
drainase endoskopi dan drainase operatif untuk mengetahui respon kedua
prosedur tersebut terhadap lama penyembuhan nyeri, kesehatan fisik dan mental,
angka morbiditas, angka mortalitas, lama perawatan di rumah sakit, prosedur-
prosedur yang sudah dijalani dan perubahan fungsi pankreas.
METODE
Pasien
Setelah memperoleh persetujuan penelitian dari komite etik kedokteran
Academic Medical Center (Amsterdam), kami merekruit pasien rawat jalan dari
klinik rumah sakit Hepato-Pancreatico-Billiary yang berfungsi sebagai pusat
rujukan tersier. Semua pasien yang simtomatik secara rutin dievaluasi
menggunakan magnetic resonance cholangiopancreatography dengan 1,5 tesla
magnet (Siemens Vision) dan computed tomography berbasis kontras (scanner
Phillip MX8000). Persetujuan diperoleh dari semua pasien semua pasien sebelum
pendaftaran (Tabel 1).
Drainase Endoskopi
Intervensi endoskopi dilakukan oleh ahli endoskopis yang berpengalaman
yang telah melakukan lebih dari 1000 prosedur cholangiopancreatographic
retrograde. Prosedur ini dilakukan pada pasien yang telah dianestesi dengan obat
sedatif atau bisa juga sebelum dilakukan prosedur endoskopik pasien dianestesi
terlebih dahulu dengan general anestesi menggunakan propofol, kemudian
diberikan litotripsi gelombang kejut. Keberadaan stenosis dapat diketahui jika
pancreatogram memperlihatkan penyempitan duktus pankreatikus utama, dilatasi
duktus >5 mm dari proximal penyempitan dan aliran bahan kontras di bagian
distal yang tidak lengkap. Setelah sphincterectomy, kemudian dilakukan dilatasi
striktur menggunakan kateter balon atau kateter Soehendra menurut hasil analisa
endokopis. Stent biliary Amsterdam 10-French tanpa lubang samping kemudian di
masukkan ke dalam. Jika tidak memungkinkan, dapat digunakan stent ukuran 7-
French atau 8,5-French dan diganti dengan stent ukuran 10-French dalam waktu 6
minggu.
Batu Intraductal
Jika satu atau lebih batu intraductal dengan diameter > 7mm teridentfikasit
pada pencitraan, pasien dirujuk ke Erasme Hospital, Brussel untuk dilakukan
litotripsi. Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan litotripter (Lithostar,
Siemen) gelombang kejut sebesar 0,28-0,54/mm2 yang difokuskan ke batu dengan
sistem sinar-X ganda. Setelah dilakukan litotripsi, fragmen-fragmen batu
selanjutnya dikeluarkan dengan ballon atau Dormia basket menggunakan teknik
rotasi-perfusi. Apabila pengeluaran batu tidak lengkap, gunakan kateter
nasopancreatic 6-French dan lakukan irigasi dengan saline (1 liter per 24 jam)
hingga putaran tatalaksana berikutnya. Jika obstruksi duktus utama belum dapat
ditangani secara lengkap, gunakan satu atau dua endoprosthese selama akhir
prosedur endoskopi.
Manajemen Endoskopi selama Follow-up
Semua prosedur dilakukan di Amsterdam. Setelah dilakukan pemasangan
endoprothese, dijadwalkan pancreatogram endoskopi elektif setiap 3 bulan.
Apabila aliran bahan kontras berjalan sempurna ketika stent dilepas dan ballon
ekstraksi dapat menyusuri sepanjang duktus pankeratikus, tindakan endoskopi
dapat diakhiri. Namun apabila terdapat striktur yang menetap, maka dilakukan
dilatasi berulang dan insersi stent multiple secara serial.
Drainase Operatif
Tindakan operatif dilakukan oleh ahli bedah hepatobiliar yang
berpengalaman dalam waktu 4 minggu setelah randomisasi. Dilakukan
pancreatojejunostomy menggunakan teknik Partington dan Rochelle, dimana
duktus pancratikus diinsisi sepanjang 2 cm dari ampula. Apabila pengambilan
bagian caput memerlukan pembukaan lebih lanjut dari saluran ke arah ampula,
dilakukan reseksi terbatas pada jaringan pankreas. Anastomosis kemudian
dievaluasi menggunakan magnetic resonance cholangiopancreatografi tiga bulan
setelahnya dan dapat diulang jika terjadi rekurensi.
Pengumpulan Data Baseline dan Data Follow-up
Informasi didapatkan dari koordinator penelitian selama kunjungan awal
dan ditetapkan waktu untuk pengambilan data tersebut, yaitu 6 minggu, 3 bulan, 6
bulan, 12 bulan, 18 bulan, dan 24 bulan setelah operasi atau prosedur endoskopi
pertama. Selanjutnya dilakukan evaluasi standarisasi terhadap gejala, temuan
laboratorium, hasil kuisioner menggunakan SF-36 serta scoring Izbicki. Yang
terakhir adalah validasi scoring Izbicki yang secara khusus dirancang untuk
pankreatitis kronis, dimana sistem scoring ini menilai empat aspek, yaitu
frekuensi nyeri, intensitas nyeri, penggunaan analgetik, dan penyakit penyerta
yang berhubungan dengan ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas. Masing-
masing aspek diberi skala 0-100 dengan score tertinggi dianggap mengalami nyeri
derajat berat. Semua data termasuk prosedur yang telah dilakukan dikumpulkan di
rumah sakit. Prosedur ini dapatdiklasifikasikan sebagai diagnostik atau terapeutik.
Intervensi terapeutik mencakup semua prosedur bedah dan endoskopi (termasuk
intervensi awal), penempatan tabung makan jejunum, dan endoskopi
ultrasonografi. Lithotripsy dengan diikuti drainase endoskopi dianggap sebagai
intervensi tunggal. Fungsi endokrin pankreas dievaluasi dengan mengukur kadar
glukosa serum, kadar hemoglobin terglikasi, dan dengan mengumpulkan data
tentang penggunaan obat. Sedangkan fungsi pankreas eksokrin dinilai dengan
mengukur kadar elastase feses.
Tatalaksana Selama Follow-up
Kepada pasien-pasien dengan gejala nyeri yang menetap atau berulang,
dilakukan pencitraan ulangan dan dievaluasi secara multidisiplin oleh tim
gastroeneterologi, bedah dan radiologi. Apabila obstruksi duktus pankreatikus
berulang terlihat pada pasien yang telah menyelesaikan pengobatan endoskopi,
pemasangan stent perlu dilanjutkan.
Ukuran Hasil Akhir (Outcome)
Ukuran outcome primer dalam penelitian ini dinyatakan sebagai nyeri yang
ditimbulkan oleh suatu tindakan (drainase endoskopi/drainase operatif) selama 2
tahun mengikuti follow up. Untuk penilaiannya digunakan sistem skoring nyeri
Izbicki, diberi rentang 0-100. Skore nyeri Izbicki yang tinggi mengindikasi nyeri
derajat berat. Sedangkan ukuran outcome sekunder dalam penelitian ini meliputi
berkurangnya nyeri di akhir follow up (dinyatakan sebagai complete relief, parsial
relief atau no relief)), kualitas hidup pasien (kondisi fisik dan mental pasien),
angka morbiditas, angka mortalitas, lama perawatan di rumah sakit, jumlah
prosedur yang dilakukan, dan perubahan-perubahan yang terjadi pada fungsi
pankreas endokrin maupun eksokrin.
Reduksi nyeri yang muncul pada akhir masa follow up diklasifikasikan
menjadi : complete (jika score Izbicki ≤ 10) atau parsial (jika score Izbicki > 10).
Pengobatan dianggap gagal jika pasien yang sebelumnya diberikan intervensi
drainase endsokopik kemudian meninggal setelah dilakukan drainase operatif.
Aspek lain seperti kesehatan fisik dan mental dinilai berdasarkan score yang
didapatkan pada kuisioner SF-36.
Fungsi pankreas dinyatakan sebagai kadar rata-rata elastase fekal, glukosa
darah puasa dan hemoglobin terglikosilasi di awal dan akhir follow up. Pasien
dianggap mengalami insufisiensi endokrin jika mereka memerlukan terapi (baik
obat oral maupun insulin) untuk mengontrol kadar glukosa darah, dan sebaliknya,
dikatakan insufisiensi eksokrin jika terjadi penurunan kadar elastase dibawah 200
µg per gram feses. Dalam keadaan insufisiensi endokrin, terapi baru akan dimulai
ketika glukosa darah puasa > 6,7 mmol/l (121 mg/dl) dan kadar hemoglobin
terglikasi > 6%. Penggunaan enzim pankreas pada insufisiensi eksokrin tidak
dianggap menunjukkan insufisiensi pankreas, karena enzim ini merupakan bagian
dari manajemen nyeri. Perubahan fungsi pankreas (baik endokrin dan eksokrin)
dievaluasi dengan membagi pasien menjadi empat kelompok, yaitu kelompok 1
(terjadi insufisiensi pankreas sebelum perlakuan dan selama masa follow up),
kelompok 2 (tidak terjadi insufisiensi sebelum perlakuan, namun mengalami
insufisiensi selama masa follow up), kelompok 3 (terjadi insufisiensi sebelum
perlakuan, namun tidak mengalami insufisiensi selama masa follow up), dan
kelompok 4 (tidak terjadi insufisiensi sebelum perlakuan dan selama masa follow
up).
Analisis Statistik
Randomisasi dilakukan dengan cara mengelompokkan empat atau lima
pasien secara otomatis tanpa stratifikasi. Perhitungan ukuran sampel didasarkan
pada perbedaan antara nilai rata-rata nyeri Izbicki dari dua kelompok perlakuan
selama masa follow up. Kami menetapkan bahwa studi dengan 23 pasien per
kelompok akan memiliki kekuatan 90% untuk mendeteksi perbedaan 1 SD dengan
penggunaan kelompok dua-t-test pada tingkat signifikansi dua sisi sebesar 0,05.
Oleh karena itu ukuran sampel di atur sedemikian rupa sehingga tiap-tiap
kelompok terdiri dari 25 orang agar dapat dimungkinkan sistem drop-out.
Penyajian data dalam penelitian ini, menggunakan mean ± SD (jika data
berdistribusi normal) dan median dengan rentang (jika data berdistribusi tidak
normal). Nilai rata-rata score Izbicki dan SF-36 tiap-tiap orang dari masing-
masing kelompok diperoleh selama masa follow up. Data follow up yang miss
tidak diikutsertakan pada saat randomisasi. Sehingga dilakukan analisis kovarians
untuk menyesuaikan score baseline. Signifikansi statistik dinilai menggunakan Uji
T-Student jika data kontinyue terdistribusi normal; Uji Chi-Square jika datanya
merupakan data kategori (misal pain relief/nyeri), dan dapat disertakan koreksi
dengan Uji Yate jika ada hubungan sebab-akibat (misal merokok) ataupun Uji
exact Fisher jika datanya merupakan data kategori. Untuk data kontinyue yang
tidak terdistribusi normal (misal, lama perawatan di rumah sakit) dapat digunakan
uji Wilcoxon.
Team panitia yang terdiri dari ahli gastroenterologi, ahli bedah dan radiologi
tidak diikutsertakan dalam penelitian ini. Perkembangan hasil penelitian hanya
dapat boleh diketahui oleh investigator utama dan akan dilaporkan ke anggota
panitia setiap 6 bulan. Tidak ada aturan resmi untuk mengakhiri penelitian di
muka publik.
HASIL
Pendaftaran dan Akhir Penelitian
Total pasien yang tersaring pada periode Januari 2000-Oktober 2004
berjumlah 118 pasien, namun hanya 39 pasien yang diikutsertakan dalam
randomisasi (Gambar 1). Setelah analisis sementara terjadwal, penelitian ini
dihentikan lebih awal oleh komite keselamatan atas dasar perbedaan yang
signifikan (P <0,001) pada kelompok perlakuan bedah. Pada saat terminasi, tujuh
pasien tidak menyelesaikan penelitian secara tuntas. Masa follow up rata-rata
adalah 24 bulan (kisaran, 6 sampai 24) untuk kedua kelompok. Satu pasien
dikeluarkan dari follow up selama 6 bulan setelah dilakukan operasi. Data dari
pasien ini tetap dimasukkan dalam analisis, tetapi pengobatan untuk rasa sakitnya
dianggap gagal pada akhir masa follow up.
Karakteristik Pasien Sebelum Perlakuan
Karakteristik klinis dan demografi kedua kelompok perlakuan adalah sama,
selain 5 orang pasien dengan penyalahgunaan alkohol yang mendapat perlakuan
operatif. Kepada kedua kelompok ini, dikerjakan pencitraan pankreas sebelum
dilakukan tindakan darinase.
Tatalaksana Endoskopi
Sejumlah 19 pasien diberikan intervensi endoskopik (Tabel 3) dan rata-rata
dari pasien ini menjalani 5 prosedur endoskopik (kisaran 1-11). Setelah dilakukan
prosedur endoskopik terlihat bahwa obstruksi duktus pankreatikus yang
diakibatkan dari kombinasi striktur dan batu terdapat pada 15 pasien (79%),
obstruksi akibat batu terdapat pada 3 pasien (16%) dan obstruksi akibat striktur
terdapat pada 1 pasien (5%).
Dari 18 pasien dengan obstruksi akibat batu, ekstraksi batu secara lengkap
menggunakan litotripsi terjadi pada 16 pasien (89%). 11 dari 16 pasien diketahui
memiliki batu multiple; diameter rata-rata dari batu yang terbesar adalah 11 mm
(kisaran 6-20). 10 pasien hanya memerlukan satu kali litotripsi, sedangkan 6
pasien lainnya bisa memerlukan litotripsi berkali-kali.
1 dari 19 pasien meninggal akibat perforasi ulkus duodenum empat hari
setelah litotripsi gelombang-kejut terakhir, dengan angka mortalitas sebesar 5 %
pada kelompok yang diberi intervensi endoskopik. Sedangkan pasien-pasien
dengan dugaan mengalami perkembangan menjadi ulkus perforasi, diterapi
dengan obat-obatan antiinflamasi nonsteroid. Jika melihat jarak antara pemberian
perlakuan dan kematian, peran litotripsi sebagai faktor kausatif juga tidak dapat
disingkirkan.
Pada 16 pasien (84%) yang diberikan intervensi endoskopi, semuanya
diketahui memiliki striktur di duktus pankreatikus bagian distal dan 2 pasien
dengan striktur di duktus Santorini. Pemasangan stent sendiri dilakukan selama
kurang lebih 27 minggu. Dilatasi dengan ballon dilakukan pada 15 pasien; 9
pasien diantaranya memerlukan insersi stent serial lebih dari satu kali dan pada 7
pasien didapatkan mengalami stenosis rekuren ketika stent dipasang selama masa
follow up.
Angka keberhasilan tatalaksana dengan endoskopi secara keseluruhan
mencapai 53 %. Sebanyak 4 pasien yang ditindaklanjuti dengan prosedur
endoskopi dilakukan prosedur pembedahan, walaupun sebenarnya endoskopi
merupakan tatalaksana yang sering dilakukan pada kasus-kasus stenosis persisten.
Dan dari 4 pasien ini, hanya 1 orang yang mengalami pain relief setelah prosedur
pembedahan. Sedangkan 3 orang lainnya memerlukan pemasangan stent setelah
inisiasi endoskopi.
Setelah tindakan endoskopi, 11 dari 19 pasien (58%) mengalami komplikasi
minor, dimana 1 orang yang diberikan litotripsi gelombang-kejut mengalami
perlukaan kulit yang menetap selama 4 bulan, 5 orang mengalami komplikasi
yang berhubungan dengan pemasangan stent. Insidensi pankreatitis terjadi pada 4
pasien dan salah satunya mengalami kolesistitis. Untuk semua pasien ini,
diberikan terapi secara konservatif.
Tatalaksana Operatif
Dari 20 pasien yang dipilih mendapatkan tindakan operatif, 18 orang
diantaranya dilakukan pancreatojejunostomy, 1 orang dilakukan prosedur
Whipple karena mengalami peradangan peripankreas, dan sisanya dilakukan
ekstraksi batu dengan prosedur Frey. Semua anastomosis dipatenkan selama masa
follow up (tingkat keberhasilan teknis, 100%), seperti yang ditunjukkan oleh
Kolangiopankreatografi resonansi magnetik dilakukan 3 bulan setelah operasi dan
selama episode nyeri.
Sebanyak 7 pasien (35%) yang diobservasi diketahui mengalami
komplikasi. 1 pasien memerlukan laparotomy ulangan akibat kebocoran
anastomosis, 2 pasien diduga mengalami perdarahan dari daerah operasi, namun
tidak ada keterangan yang dilaporkan. Pada kedua pasien ini kemudian diberikan
transfusi darah. Selain dari pada itu, didapatkan juga 1 pasien yang mengalami
pneumonia dan 3 lainnya mengalami infeksi luka.
Hasil Penelitian
Outcome penelitian baik primer maupun sekunder tercantum dalam Tabel 3. Dari
penelitian ini, rata-rata skor nyeri Izbicki pada kelompok perlakuan endoskopi
adalah 51±23, sedangkan kelompok perlakuan operasi 25±15. Setelah dilakukan
penyesuaian nilai baseline, didapatkan perbedaan rata-rata sebesar 24 (95%
confidence interval [CI], P <0,001). Setelah prosedur drainase operatif, nyeri yang
timbul bersifat immediate (segera) dan konsisten selama masa follow up (Gambar
2). Nyeri lengkap atau parsial pada akhir masa follow up terjadi pada 32% pasien
dari kelompok endoskopi dan 75% pasien dari kelompok pembedahan (P =
0,007). Skor follow up komponen kesehatan fisik dari kuesioner SF-36 terhadap
pasien yang diintervensi endoskopi setelah dilakukan penyesuaian score baseline
lebih rendah dibandingkan pasien yang diintervensi dengan pembedahan, dengan
perbedaan rata-rata sebesar -8 (95% CI, P = 0,003). Analisis terhadap variabel
lama perawatan rumah sakit pada kedua kelompok menunjukkan hasil yang tidak
berbeda bermakna, tetapi pasien yang diintervensi dengan endoskopi secara
bermakna (signifikan) memerlukan prosedur yang lebih banyak dibandingkan
pasien yang mendapat intervensi bedah (P <0,001). Pasien-pasien di kelompok
perlakuan endoskopi lebih banyak yang mengalami sufisiensi fungsi eksokrin di
ahir masa follow up, namun analisis menunjukkan perbedaan yang tidak
bermakna (P=0,05).
DISKUSI
Penelitian ini menunjukkan bahwa drainase operatif lebih efektif dalam
pengobatan pankreatitis kronis dengan obstruksi duktus pankreatikus
dibandingkan drainase endoskopi. Kelebihan dari tindakan operasi ini adalah
nyeri yang berkelanjutan dapat diatasi dengan cepat dan efektif. Selain itu, pasien-
pasien yang mendapatkan intervensi bedah juga memiliki kondisi kesehatan fisik
yang lebih baik, dan prosedur yang dijalani lebih sedikit dibandingkan endoskopi.
Perbedaan rata-rata skor nyeri Izbicki antarkedua kelompok perlakuan setelah
dilakukan penyesuaian terhadap perbedaan baseline adalah hampir 24 poin.
Relevansi klinis dari temuan ini merupakan hal yang penting, karena
mencerminkan perbedaan antara yang tidak merasakan nyeri dengan yang
merasakan sakit setiap harinya;
atau dengan kata lain antara yang tidak mengambil cuti kerja karena sakit dengan
yang secara permanen tidak mampu bekerja.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa drainase operatif lebih efektif dalam
mendekompresi duktus pankreatikus. Satu hipotesis yang dapat menjelaskan
temuan ini yaitu Pertama, selama prosedur endoskopi, aliran keluar dari sisi lain
mungkin terhambat oleh stent. Setelah prosedur endoskopi, rekurensi dari striktur
dan pembentukan batu intraductal baru lebih sering terjadi, sebagaimana yang
kami dapati dalam penelitian kohort terhadap pasien ini. Pemasangan stent pada
prosedur endoskopi mungkin memfasilitasi kondisi ini, karena tindakan ini telah
terbukti memperburuk abnormalitas duktus pankreatikus. Kelebihan dari prosedur
operasi adalah bahwa anastomosis longitudinal menjamin terjadinya drainase
disepanjang duktus pankreatikus. Selain itu, pembukaan kapsul pankreas selama
drainase operatif bisa menurunkan tekanan interstisial.
Selama bertahun-tahun, sejumlah studi retrospektif telah mengevaluasi
pengobatan endoskopi terhadap kasus pankreatitis dan semuanya melaporkan
sebagian besar pasien mengalami reduksi nyeri. Namun, penelitian ini memiliki
kelemahan yang sama dalam desain: mereka tidak melakukan komparasi
(perbandingan), protokol pengobatan tidak didefinisikan dengan baik, dan yang
paling penting mereka gagal menggunakan ukuran yang valid untuk menilai nyeri.
Eleftheriadis baru-baru ini melaporkan hasil analisis retrospektif terhadap
pasien dengan pankreatitis kronis yang menjalani pengobatan endoskopi di pusat
di mana populasi penelitian kami mendapatkan lithotripsi gelombang kejut.
Perbedaan utama antara protokol penelitian ini dengan Eleftheriadis adalah bahwa
penggantian stent di masa mendatang dilakukan dengan prinsip "on demand".
Jadi, stent akan dipasang ketika pasien memiliki indikasi untuk itu. Alhasil durasi
rata-rata pemasangan stenting dalam penelitian tersebut (23 bulan) lebih lama
dibandingkan penelitian kami (27 minggu). Hal ini menyiratkan bahwa efek dari
tindakan endoskopik mungkin terjadi hanya dalam hitungan bulan atau tahun,
tetapi ini masih harus dibuktikan.
Dalam penelitian ini, nyeri dinilai melalui sistem penilaian tervalidasi yang
dirancang khusus untuk pankreatitis kronis. Berkebalikan dengan penelitian
sebelumnya, keberhasilan klinis sehubungan dengan nyeri didefinisikan secara
ketat. Namun demikian, subjektivitas terhadap penilaian nyeri dan rancangan
penelitian unblinded mungkin memberikan hasil yang bias. Untuk meminimalkan
bias, pasien diminta menyelesaikan kuisioner secara pribadi, dan hanya
koordinator penelitian yang memiliki akses ke laporan klinis.
Fitur lain dari penelitian ini adalah pasien-pasien ditangani di pusat-pusat
kesehatan oleh para ahli yang mahir dalam menjalankan prosedur endoskopi dan
lithotripsi gelombang kejut. Untuk menjalankan tindakan ini diperlukan prosedur-
prosedur yang jika ditangani oleh tangan yang tidak berpengalaman dapat
memberikan hasil yang buruk. Sebaliknya, pancreaticojejunostomy dianggap
sebagai prosedur yang relatif mudah dilakukan. Di masa mendatang, operasi ini
mungkin dilakukan secara laparoskopi, sehingga menjadikannya kurang invasif.
Hasil penelitian ini tidak dapat diekstrapolasikan (diramalkan) untuk semua
pasien dengan obstruksi duktus pankreatikus akibat pankreatitis kronis. Secara
eksplisit kami mengeksklusi pasien dengan massa inflamasi, karena pengobatan
untuk kondisi ini membutuhkan kombinasi drainase duktus dan reseksi terbatas
bagian caput pankreas melalui prosedur Beger atau Frey. Lebih lanjut lagi,
penelitian kohort kami memiliki fitur patologis yang kompleks, dimana sebagian
besar subjek yang diambil dalam penelitian ini memiliki striktur dan batu secara
bersamaan. Dengan berdasarkan hasil penelitian ini, kami menganggap drainase
operatif merupakan pilihan pengobatan untuk kasus-kasus seperti ini. Sehubungan
dengan kasus-kasus penyakit yang kurang ekstensif, pengobatan dengan prosedur
endoskopi mungkin masih menjadi alternatif yang berharga, dan studi mendatang
diharapkan dapat menjawab pertanyaan ini.