Efektivitas Tax Planning dalam Lembaga Syariah

37
MAKALAH PERENCANAAN PAJAK KAJIAN KRITIS TENTANG PAJAK MENURUT PERPEKTIF SYARIAH Oleh : Bani Alkausar 156020301111004 PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI

description

Penerapan tax planning dalam lembaga syariah dimana menjadi isu-isu yang masih banyak menjadi perdebatan

Transcript of Efektivitas Tax Planning dalam Lembaga Syariah

Page 1: Efektivitas Tax Planning dalam Lembaga Syariah

MAKALAH PERENCANAAN PAJAK

KAJIAN KRITIS TENTANG PAJAK MENURUT PERPEKTIF SYARIAH

Oleh :

Bani Alkausar 156020301111004

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSIAS BRAWIJAYA

2016

Page 2: Efektivitas Tax Planning dalam Lembaga Syariah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ekonomi neoklasik mempercayakan, bahwa kebijakan publik biasanya didasarkan

pada kemampuan pemerintah dalam menarik pajak dan memacu tarif subsidi asing.

Dalam bahasa ekonomi yang termasuk dalam kebijakan publik salah stunya berupa

kebijakan fiskal. Sehingga kebijakan fiskal dalam bahasa ekonomi konvensional

dipandang sebagai instrumen manajemen permintaan yang berusaha mempengaruhi

tingkat aktivitas ekonomi melalui pengendalian pajak dan pengeluaran pemerintah.

Kebijakan fiskal atau secara tradisional dikenal dengan keuangan publik,

merupakan suatu kebijakan yang berkaitan dengan ketentuan, pemeliharaan dan

pembayaran dari sumber-sumber yang dibutuhkan untuk memnuhi fungsi-fungsi

publik dan pemerintahan. Penghasilan dan pembiayaan otoritas publik dan administrasi

keuangan.

Di dalam sejarah Islam, keuangan publik berkembang sesuai dengan

pengembangan masyarakat muslim dan pembentukan negara Islam oleh Rasulullah

SAW, kemudian diteruskan oleh para sahabat. Walaupun, sebelumnya telah digariskan

dalam Al-qur’an, dalam hal santunan pada orang miskin.

Masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, prosentasenya mencapai 88%.

Bahkan merupakan jumlah muslim terbesar di dunia. Berkaitan dengan harta dan

penghasilan umat Islam, terdapat kewajiban berupa zakat bagi yang telah memenuhi

syarat. Di sisi lain, sebagai warga negara Indonesia, umat Islam juga memiliki

kewajiban pajak bagi yang telah memenuhi syarat, karena telah dibuat undang-undang

yang mewajibkan itu. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban

kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama

melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan

nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya

merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut

berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan

nasional.

Page 3: Efektivitas Tax Planning dalam Lembaga Syariah

Menyikapi kewajiban pajak berdasarkan undang-undang ini, terdapat beberapa

pendapat di kalangan umat Islam dari yang pro maupun yang kontra karena telah ada

kewajiban zakat terhadap harta dan penghasilannya yang telah memenuhi syarat. Pro

kontra terkait dengan hal ini harus didudukkan pada proporsi yang semestinya agar

terjadi mutual understanding yang membawa kemaslahatan bagi masa depan

kesejahteraan umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia umumnya.

Pertanyaan sekarang adalah apakah memang pajak itu diharamkan dalam agama?

Mari ditelisik dari sisi spiritual-keagamaan Hindu, Buddha, Kristen dan Islam. Dari sisi

Hindu diatur di dalam kitab Manawa Dharma Sastra (MNS), terutama pada bagian

yang membahas kewajiban Catur Varna (empat golongan): Brahmana, Ksatria, Vaisya,

dan Sudra, bahwa diwajibkan bagi setiap Varna untuk membayar pajak. Pajak yang

dipungut harus untuk keadilan dan pemerataan sosial. Sehingga orang cacat dan orang

yang tidak memiliki sesuatu tidak diwajibkan membayar pajak. Menurut MNS, pajak

adalah pungutan sebagai balas jasa rakyat atas jaminan keamanan yang diberikan raja

atau negara.

Mengacu pada MNS, maka seorang ksatria (raja atau petugas-petugas pemerintah)

yang dalam keadaan negara susah mengambil seperempat dari hasil panen dinyatakan

bebas dari kesalahan kalau ia melindungi rakyatnya dengan sebaik-baiknya menurut

kemampuannya. Artinya raja ataupun negara dibenarkan untuk memungut pajak agar

dapat memberi perlindungan dan keamanan kepada masyarakat.

Kemudian dalam Veda, kitab suci umat Hindu, diatur bahwa raja atau negara dapat

menjatuhkan sanksi kepada wajib pajak yang berusaha menghindari dari kewajiban

membayar pajak, seperti dengan memalsukan data-data barang yang harus dikenai

pajak misalnya. Atas penghindaran pajak semacam itu, wajib pajak dapat dikenai

sanksi oleh raja atau negara berupa denda beberapa kali lipat dari nilai pajak yang

harusnya ia bayar.

Lalu bagaimana dari sisi Buddha, Sabda sang Buddha Gotama dalam kitab

Anguttara Nikaya, "Dengan harta kekayaan yang dikumpulkannya dengan semangat,

dengan cara sah dan tanpa kekerasan, seseorang dapat membuat dirinya, orangtuanya,

istri dan anaknya juga bahagia, pelayan dan bawahannya, sahabat dan kenalannya dan

orang-orang lain juga bahagia." Yaitu, lanjut sang Buddha, dengan cara "Membayar

pajak dan memberikan persembahan kepada orang suci untuk mengumpulkan pahala."

Page 4: Efektivitas Tax Planning dalam Lembaga Syariah

Artinya, seorang Buddhis yang taat agama akan membayar pajak kepada pemerintah

sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.

Sedangkan dalam tradisi Kristen, dikisahkan dalam Injil Matius 17 ayat 24 sampai

27 bahwa Yesus Kristus adalah seorang warga negara yang taat membayar pajak. Di

Kapernaum, Yesus dan murid-muridnya didatangi pemungut pajak. Bertanyalah si

pemungut pajak kepada Petrus: "Apakah gurumu (Yesus) tidak membayar pajak dua

dirham itu?" Dijawab Petrus: "Memang mesti membayar?" Dan ketika Petrus masuk

rumah, Yesus mendahului dengan pertanyaan: "Apakah pendapatmu, Simon? Dari

siapakah raja-raja di dunia ini memungut bea dan pajak? Dari rakyatnya atau dari

orang asing?" Jawab Petrus: "Dari orang asing!" Maka kata Yesus kepadanya: "Jadi,

bebaslah rakyatnya. Tetapi supaya jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka,

pergilah memancing ke danau. Dan ikan pertama yang kau pancing tangkaplah dan

bukalah mulutnya, maka engkau akan menemukan mata uang empat dirham di

dalamnya. Ambillah itu dan bayarkanlah (pajak) kepada mereka, bagiku, dan bagimu

juga."

Lalu bagaimana dalam Islam? Dari sisi Islam terdapat dua pendapat tentang pajak.

Sejumlah ulama ada yang mengharamkan pajak, namun jumhur (mayoritas) ulama

menghalalkan pajak. Kalangan ulama yang mengharamkan pajak mengacu pada hadits

Nabi saw. yang menegaskan bahwa: "Tidak akan masuk surga orang yang memungut

mukus" (HR. Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqi, al-Hakim, Ibn Khuzaimah). Dan sabda

Nabi saw: "Sesungguhnya penarik mukus (tempatnya ada/diadzab) di neraka. " [HR

Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]

Ulama-ulama Madzhab Wahabi seperti Muhammad Nashiruddin al-Albani, Abdul

Aziz bin Abdullah bin Baz, Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, dan Adz-Dzahabi

menyamakan mukus ataupun 'usyr (artinya sepersepuluh) sebagai pajak atau cukai

sehingga mereka, para ulama Wahabi itu, mengharamkan pajak dan bea cukai, dan

menfatwakan bahwa petugas pajak maupun petugas bea cukai adalah pelaku dosa besar

sehingga akan diazab dan tempat kembalinya adalah neraka jahannam.

Lalu bagaimana dengan jumhur (mayoritas) ulama lainnya? Jumhur ulama

berpendapat mukus ataupun 'usyr tidak dapat digeneralisasikan sebagai bea cukai

apalagi pajak. Secara etimologis, mukus artinya pengurangan dengan penzhaliman.

Page 5: Efektivitas Tax Planning dalam Lembaga Syariah

Sehingga mukus adalah segala pungutan (uang) yang diambil oleh makis (pemungut

mukus atau kolektor retribusi) dari para pedagang yang lewat dengan cara-cara zhalim.

Lalu apakah pajak yang dipungut pemerintah untuk membiayai fasilitas publik

untuk dinikmati oleh para pembayar pajak itu juga adalah pungutan yang menzholimi?

Para jumhur ulama Ahlul Sunnah wal Jama'ah dari empat madzhab, Syafi'i, Hanafi,

Maliki dan Hanbali, sepakat bahwa pajak tidak dapat serta merta di-qiyas-kan (di-

analogi-kan) sebagai mukus. Jumhur ulama sepakat bahwa pajak yang

dipungut/dipotong oleh pemerintah guna mendanai dan memenuhi kebutuhan

masyarakat luas seperti: membiayai tersedianya fasilitas-fasilitas jalan, jembatan,

transportasi publik, listrik dengan harga terjangkau, rumah sakit murah pemerintah,

obat-obat generik, keamanan oleh TNI dan POLRI, sekolah-sekolah murah negeri

hingga ke pedesaan dan daerah terpencil, dan fasilitas-fasilitas layanan publik lainnya

adalah bukan mukus sehingga halal untuk dipungut/dipotong sebagai pajak oleh

pemerintah untuk kepentingan masyarakat juga.

Bahkan mulai masa kepemerintahan khalifah kedua Islam, Sayyidina 'Umar bin al-

Khaththab ra., pemerintah negara Islam saat itu memungut 'usyr alias pajak 10% atau

cukai sebesar 10% atas suatu komoditas demi kemaslahatan masyarakat. 'Abdur Razaq

dalam Mushannaf 'Abd ar-Razaq meriwayatkan dari 'Abdullah ibn 'Umar ra. yang

menuturkan bahwa ayahnya 'Umar bin Khaththab ra. memungut pajak dari Nabth

(gandum dan minyak zaitun) sebesar ½ 'usyr (5%) agar mereka lebih banyak

membawanya ke Madinah. Sayyidina 'Umar bin Khaththab ra juga memungut 'usyr

(10%) dari komoditas al-Quthniyah (biji-bijian seperti Adas, Buncis, dsb). Peristiwa

fakta sejarah itu juga diriwayatkan oleh Ibn Abiy Syai'bah di dalam Mushannaf Ibn

Abi Syai'bah dari 'Ubaydullah bin 'Abdullah ra.

Maka tak heran jika jumhur ulama Madzhab Syafi'i, seperti Imam al-Ghazali,

menyatakan bahwa memungut uang (pajak) selain zakat pada rakyat diperbolehkan

jika memang diperlukan dan kas di Baitul Mal tidak lagi mencukupi untuk membiayai

kebutuhan negara baik untuk perang atau keperluan negara lainnya. Namun jika masih

ada dana di Baitul Mal, maka tidak boleh.

Kemudian jumhur ulama Madzhab Hanafi, seperti Muhammad 'Uma'im al-Barkati,

menyamakan pajak dengan naibah (jamaknya nawaib). Ia berpendapat bahwa naibah

(pajak) boleh jika memang dibutuhkan untuk keperluan umum atau keperluan perang.

Page 6: Efektivitas Tax Planning dalam Lembaga Syariah

Lalu jumhur ulama Madzhab Maliki, seperti Imam Al-Qurtubi, mengemukakan bahwa

para ulama Madzhab Maliki sepakat atas dibolehkannya menarik pungutan (pajak)

selain zakat apabila dibutuhkan. Selanjutnya jumhur ulama Madzhab Hanbali, seperti

Ibnu Taimiyah, membolehkan pengumpulan pajak yang mereka sebut dengan al-kalf

as-sulthaniyah. Jumhur ulama Madzhab Hanbali menilai bahwa pajak yang diambil

dari orang-orang yang mampu secara ekonomis merupakan jihad harta.

Juga ulama-ulama kontemporer seperti Rashid Ridha, Mahmud Syaltut, Abu

Zahrah dan Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa pajak dihalalkan dalam Islam. Rashid

Ridha dalam Tafsir Al-Manar V/39 menafsirkan Qur'an Surat An-Nisaa' ayat ke-29

dengan penjelasan sebagai berikut, bahwa : "... adanya kewajiban bagi orang kaya

untuk memberikan sebagian hartanya (dalam bentuk zakat) untuk kemaslahatan umum,

dan mereka hendaknya dimotivasi untuk mereka mengeluarkan uang (di luar zakat)

untuk kebaikan".

Lalu Yusuf al-Qardhawi (Qaradawi) dalam kitab Fiqhuz Zakah (II/1077)

menjelaskan bahwa negara terkadang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan

pembangunannya. Untuk itu tiada jalan lain kecuali dengan mengumpulkan pajak. Dan

hal itu, menurut al-Qardhawi, dapat dikategorikan sebagai salahsatu bentuk jihad harta.

Selanjutnya, mufti Al-Azhar Mesir, Mahmud Syaltut, dalam kitab Al-Fatawa al-Kubra,

menegaskan bahwa hakim boleh memungut pajak dari orang yang mampu secara

ekonomis untuk kemaslahatan asalkan tidak berlebihan (melampaui batas).

Juga Muhammad Abu Zahrah membolehkan pajak disamping zakat. Abu Zahrah

menuturkan bahwa pajak tidak ada pada era Nabi saw, namun itu bukan karena pajak

diharamkan dalam Islam, tapi karena pada masa itu solidaritas tolong menolong antar

umat Islam dan semangat berinfak di luar zakat sangatlah tinggi. Dan persaudaraan

yang terjalin antara kaum 'Anshar dan Muhajirin berhasil mempersempit jarak sosial

dan ekonomi umat pada saat itu. Sehingga tidak diperlukan campur tangan negara

dengan menarik pajak.

Nah, dapat disimpulkan bahwa pajak tidak serta merta diharamkan dalam syari'at

agama Hindu, Buddha, Kristen dan Islam kecuali oleh fatwa-fatwa beberapa ulama

madzhab Wahabi. Sebagaimana pemerintahan Islam Sayyidina 'Umar bin Khattab ra

yang menarik pajak ('usyr) 5% dan pajak 10% untuk menciptakan pertumbuhan dan

menjaga stabilitas perekonomian negara, maka pemerintahan-pemerintahan negara

Page 7: Efektivitas Tax Planning dalam Lembaga Syariah

berpenduduk Islam di dunia sekarang pun menarik pajak bukan dengan niat untuk

menzholimi tapi untuk berfungsi sebagai salahsatu instrumen kebijakan fiskal untuk

mewujudkan kemakmuran bangsa dan negara. Berdasarkan latar belakang tersebut

dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai apa itu pajak dan bagaimana pandangan

mengenai pajak menurut islam.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis menentukan rumusan masalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana konsep dan teori pajak?

2. Apa pandangan syariah mengenai pajak yang ada di negara Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas yang menjadi tujuan penulisan sebagai

berikut :

1. Mengetahui bagaimana konsep dan teori pajak.

2. Mengetahui pandangan syariah mengenai pajak yang ada di negara Indonesia.

Page 8: Efektivitas Tax Planning dalam Lembaga Syariah

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep dan Teori Pajak

1. Pengertian Pajak

Secara singkat pajak dapat diartikan sebagai kontribusi wajib kepada negara

yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan

Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan

digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

(Depkeu : 2014).

Namun beberapa ahli juga banyak yang mendefiniskan pajak sebagai bantuan

uang secara insidental atau secara periodic (dengan tidak ada kontraprestasinya),

yang di pungut oleh badab yang bersifat umum (Negara), untuk memperoleh

pendapatan, di mana terjadi suatu tatbestand (sasaran pemajakan), yang karena

undang-undang menimbulkan utang pajak. Artinya pajak merupakan iuran yang

dipaksakan oleh pemerintah terhadap masyarakat dan tanda timbal balik, karena

berfungsi sebagai penambah penghasilan Negara demi meningkatkan

pembangunan suatu Negara (Deutsche Reichs Abgaben Ordnung).

Sedangkan menurut beberapa ahli seperti (Suparman Sumawidjaya) pajak

adalah pajak adalah iuran wajib berupa barang yang dipungut oleh penguasa

berdasarkan norma hukum, guna menutup biaya produksi barang dan jasa kolektif

dalam mencapai kesejahteraan umum.

Dari definisi-definisi tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan tentang ciri-ciri

yang melekat pada pengertian pajak adalah :

a. Pajak dipungut oleh negara (pemerintah pusat maupun daerah), berdasarkan

undang undang serta aturan pelaksanannya.

b. Dalam pembayaran pajak-pajak tidak dapat adanya kontraprestasi atau timbale

balik secara langsung.

c. Merupakan iuran wajib sebagai kontribusi rakyat kepada negara.

d. Pajak sebagai alat untuk menghimpun dana dari masyarakat atau sebagai

sumber penerimaan negara.

e. Pajak digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat.

Page 9: Efektivitas Tax Planning dalam Lembaga Syariah

2. Fungsi Pajak

Melakukan pemungutan pajak tidaklah dilakukan tanpa adanya peraturan yang

mengaturnya selain itu manfaat yang didapatkan dengan adanya pajak juga tidaklah

sedikit. Pajak diterapkan bukan tanpa tujuan inilah beberapa fungsi pajak yang

ingin dicapai guna mensejahterakan masyarakat :

a. Fungsi budgeter, pajak merupakan sumber dana bagi pemerintah untuk

membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.

b. Fungsi regulerend (mengatur), pajak sebagai alat untuk mengatur atau

melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

c. Fungsi Demokrasi, adalah suatu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan

atau wujud sistem gotong-royong, termasuk kegiatan pemerintahan dan

pembangunan demi kemaslahatan manusia yang sering dikaitkan dengan hak

seseorang apabila akan memperoleh pelayanan dari pemerintah.

d. Fungsi Distribusi, adalah fungsi yang lebih menekankan pada unsur pemerataan

dan keadilan dalam masyarakat.

Setelah melihat penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan pajak bukan

hanya berperan sebagai sumber pembiayaan negara tapi juga berfungsi sebagai

pengatur salah satunya dalah untuk mengatur tingkat konsumsi akan suatu barang

dan jasa yang bertujuan untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat.

3. Sistem Pemungutan Pajak

Sistem pemungutan pajak yang pernah dilaksanakan di Indonesia, yakni :

official assestment system, withholding system, self assestment system/self

assessment sistem. Sistem pemungutan pajak dibagi 3, yaitu :

a. Official Assestment System

Official Assestment System adalah suatu sistem pemungutan yang

memberi kewenangan kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya

pajak yang terutang oleh wajib pajak ciri-cirinya :

a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang pada fiskus.

b) Wajib pajak bersifat pasif.

c) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.

b. Self Assestment System

Page 10: Efektivitas Tax Planning dalam Lembaga Syariah

Self Assestment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang

memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya

pajak yang terutang.Ciri-cirinya:

a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak

sendiri.

b) Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri

pajak yang terutang.

c) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

d) Wajib pajak dipandang memahami tata cara perhitungan pajak.

e) Wajib pajak dituntut untuk bersikap jujur; memberikan laporan yang

sebenarnya.

c. Withholding system

Withholding system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang

memberikan wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut

besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya:

a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada pihak

ketiga (konsultan pajak).

b) Wajib pajak dan fiskus bersifat pasif.

c) Utang pajak dapat diketahui dari laporan pihak ketiga.

d) Pihak ketiga dituntut untuk bersikap jujur; memberikan laporan yang

sebenarnya berdasarkan pada undang-undang.

Dari pengertian sistem pemungutan pajak yang telah dijelaskan menurut

Mardiasmo dapat disimpulkan bahwa sistem pemungutan pajak di Indonesia

meliputi sistem Official Assestment System yang merupakan sistem pemungutan

yang memberi kewenangan kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan

besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak, Self Assestment System yang

merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak

untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang, Withholding system yang

merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada

pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh

wajib pajak

4. Prinsip-Prinsip Pajak

Page 11: Efektivitas Tax Planning dalam Lembaga Syariah

Adapun pajak harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut :

a. Prinsip manfaat, artinya secara umum, barang-barang dan jasa-jasa yang

disediakan oleh pemerintah merupakan barang untuk kepentingan umum untuk

dimanfaatkan oleh masyarakat luas.

b. Prinsip kemampuan membayar, artinya negara memperoleh penghasilan dari

wajib pajak melalui sumbangan sesuai dengan kemampuannya.

c. Efisiensi, artinya pengenaan pajak harus mempertimbangkan aspek

efisiensinya karena dengan adanya pengenaan pajak maka akan menaikan

harga barang atau jasa tersebut.

d. Pertumbuhan ekonomi, artinya sistem perpajakan yang baik harus dapat

mengacu pada pertumbuhan ekonomi, dapat memberi dorongan bagi

pembukaan lapangan kerja yang mendorong pertumbuhan secara bersaing

diberbagai sektor ekonomi.

e. Kecukupan penerimaan, artinya penerapan jenis pajak harus layak dan

memadai sebagai sumber dana untuk membiayai pengeluaran pemerintah,

jangan sampai cost of collection lebih besar dari perolehan pajaknya.

f. Stabilitas, artinya dalam pengenaan pajak perlu adanya stabilitas penerimaan

pajak karena jika penerimaan pajak bersifat fluktuatif, maka program

pemerintah yang telah direncanakan dalam APBN dapat terganggu.

g. Kesederhanaan, artinya suatu sistem perpajakan haruslah sederhana dan mudah

dipahami masyarakat, terutama wajib pajak.

h. Rendahnya biaya administrasi dan biaya kepatuhan, artinya sistem perpajakan

yang baik harus memiliki biaya administrasi dan kepatuhan yang rendah.

i. Netralitas, artinya sistem perpajakan yang baik harus dapat menghilangkan

terjadinya distorsi dalam prilaku konsumsi dan produksi oleh masyarakat, yang

dapatmembantu menarik investor lain untuk melakukan investasi.

5. Pengelompokan Pajak

Pajak yang wajib dilapor dan disetor oleh wajib pajak terdiri dari bebagai

macam jenis pajak, maka pajak dikelompokkan menurut golongannya, sifatnya dan

lembaga pemungutnya.

1) Menurut Golongannya :

Page 12: Efektivitas Tax Planning dalam Lembaga Syariah

a. Pajak langsung, yaitu pajak harus dipikul sendiri oleh WPdan tidak dapat

dibebankan/dilimpahkan kepada orang lain,seperti Pajak Penghasilan

(PPh).

b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnyadapat dilimpahkan

kepada orang lain, seperti Pajak PertambahanNilai (PPN).

2) Menurut Sifatnya :

a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang bepangkal/berdasarkanpada subjeknya

dalam arti memperhatikan keadaan diri WP,seperti PPh.

b. Pajak objektif, yaitu pajak yang bepangkal/berdasarkanpada objeknya,

tanpa memperhatikan kedaan diri WP, seperti PPN dan Pajak Penjualan

Atas Barang Mewah (PPnBM).

3) Menurut Lembaga Pemungutannya :

a. Pajak Pusat, dipungut oleh Pemerintah Pusat dandigunakan untuk

membiayai Rumah Tangga Negara, seperti PPN& PPnBM, PBB dan Bea

materai.

b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh PEMDA dandigunakan untuk

membiayai Rumah Tangga Daerah. Pajak Daerah terdiri atas :

a) Pajak DATI I (Propensi), seperti Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea

Balik Nomor (BBN) Kendaraan Bermotor.

b) Pajak DATI II (Kota Madya/Kabupaten), seperti PajakPembangunan,

Pajak Penerangan Jalan, dan Pajak BangsaAsing (WNA).

4) Menurut Golongan :

a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak

b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau

dilimpahkan kepada orang lain.

5) Menurut Sifatnya

a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada

subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.

b. Pajak Obyektif, yaitu pajak yang berpangkal pada obyeknya, tanpa

memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.

6) Menurut Lembaga Pemungutnya

Page 13: Efektivitas Tax Planning dalam Lembaga Syariah

a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemer intah pusat dan digunakan

untuk membiayai rumah tangga negara.

b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan

untuk membiayai rumah tangga daerah.

7) Pajak Daerah

Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada

Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa

berdasarkanUndang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung

dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah). Jenis-jenis Pajak daerah antara lain :

a. Pajak provinsi terdiri atas :

a) Pajak Kendaraan Bermotor

b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

d) Pajak Air Permukaan

e) Pajak Rokok.

b. Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas:

a) Pajak Hotel

b) Pajak Restoran

c) Pajak Hiburan

d) Pajak Reklame

e) Pajak Penerangan Jalan

f) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan

g) Pajak Parkir

h) Pajak Air Tanah

i) Pajak Sarang Burung Walet

j) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

k) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Page 14: Efektivitas Tax Planning dalam Lembaga Syariah

BAB III

METODE PENULISAN

A. Sumber Data

1. Jenis dan Sumber Data

Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif, sedangkan sumber data

yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder yang digunakan pada

penelitian ini diperoleh dari jurnal-jurnal atau penelitian-penelitian yang terkait

dengan judul penulisan ini yang dapat diunduh melalui scholar.google.co.id.

Pencarian sumber data lain seperti literatur terkait penelitian diakses melalui

internet.

2. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

a. Studi Pustaka

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengkaji

berbagai literatur seperti buku-buku, jurnal, artikel dan sumber-sumber lain

yang berkaitan dengan topik pembahasan dalam penulisan makalah ini.

b. Studi Dokumentasi

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu

mengumpulkan seluruh data sekunder dan informasi yang dibutuhkan terkait

masalah yang diteliti.

B. Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah dengan cara

melakukan studi literatur yang berkaitan dengan isu-isu perpajakan dalam perspektif

syariah. Kemudian hasil dari studi literatur tersebut akan coba disimpulkan oleh

penulis dan dimasukkan kedalam pembahasan.

C. Teknik Analisis

Teknik analisis yang digunakan yaitu berupa studi literatur yang dilakukan oleh

penulis terhadap beberapa hasil pembahasan studi literatur terkait dengan isu-isu pajak

dalam perspektif syariah yang nantinya akan disimpulkan dan akan dilakukan

pembahasan oleh penulis berdasarkan teori yang ada di tinjuan pustaka dalam makalah

ini.

Page 15: Efektivitas Tax Planning dalam Lembaga Syariah

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pajak

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang

dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung

dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Dari

definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur :

a. Iuran dari rakyat kepada negara yang berhak memungut pajak hanyalah negara,

iuran tersebut berupa uang (bukan barang).

b. Berdasarkan undang-undang pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan

undang-undang serta aturan pelaksanaannya.

c. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat

ditunjuk dalam pembayaran tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi

individual oleh kontraprestasi pemerintah.

d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran

yang bermannfaat bagi masyarakat luas.

B. Pajak Menurut Syariah

Secara etimologi pajak berasal dari bahasa arab disebut dengan istilah dharibah,

yang artinya mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul, menerangkan atau

membebankan. Secara bahasa maupun tradisi, dharibah dalam penggunaannya

memang mempunyai banyak arti, namun para ulama memakai dharibah untuk

menyebut harta yang dipungut sebagai kewajiban. Hal ini tampak jelas dalam

ungkapan bahwa jizyah dan kharaj dipungut secara dharibah, yakni secara wajib.

Bahkan sebagian ulama menyebut kharaj merupakan dharibah.

Jadi, dharibah adalah harta yang dipungut secara wajib oleh negara untuk untuk

selain jizyah dan kharaj, sekalipun keduanya secara awam bisa dikategorikan dharibah.

Ada tiga ulama yang memberikan definsi tentang pajak, yaitu:

1. Yusuf Qardhawi

Pajak adalah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus

disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi

kembali dari negara, dan hasilnyauntuk membiayai pengeluaran-pengeluaran

Page 16: Efektivitas Tax Planning dalam Lembaga Syariah

umum disatu pihak dan untuk merealisasikan sebagian tujuan ekonomi, sosial,

politik dan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh negara.

2. Gazi Inayah

Pajak adalah kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh

pemerintah atau pejabat berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan

tertentu. Ketentuan pemerintah ini sesuai dengan ketentuan si pemilik harta dan

dialokasikan untuk mencukupi kebutuhan pangan secara umum dan untuk

memenuhi tuntutan politik keuangan bagi pemerintah.

3. Abdul Qadim Zallum

Pajak adalah harta yang diwajibkan Alloh SWT kepada kaum muslin untuk

membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan

atas mereka, pada kondisi baitul mal tidak ada uang/harta.

C. Karakteristik Pajak (Dharibah) Menurut Syariat

Ada beberapa ketentuan tentang pajak (dharibah) menurut syariat Islam, yang

sekaligus membedakannya dengan pajak dalam sistem kapitalis (non-Islam) yaitu :

a. Pajak (dharibah) bersifat temporer, tidak bersifat kontinu, artinya hanya boleh

dipungut ketika di baitul mal tidak ada harta atau kurang. Ketika di baitulmal

sudah terisi kembali, maka kewajiban pajak bisa dihapuskan. Berbeda dengan

zakat, yang tetap dipungut, sekalipun tidak ada lagi pihak yang membutuhkan

(mustahiq). Sedangkan pajak menurut non Islam adalah abadi (selamanya)

b. Pajak (dharibah) hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang merupakan

kewajiban bagi kaum muslim dan sebatas jumlah yang diperlukan untuk

pembiayaan wajib tersebut, tidak boleh lebih. Sedangkan pajak menurut non-

Islam ditujukan untuk seluruh warga tanpa membedakan agama.

c. Pajak (dharibah) hanya diambil dari kaum muslim dan tidak dipungut dari non-

Muslim. Sebab pajak (dharibah) dipungut untuk membiayai keperluan yang

menjadi kewajiban bagi kaum Muslim, yang tidak menjadi kewajiban non-

Muslim. Sedangkan teori pajak non-Islam tidak membedakan Muslim dan non-

Muslim dengan alasan tidak boleh diskriminasi.

d. Pajak (dharibah) hanya dipungut dari kaum Muslim yang kaya, tidak dipungut

dari selainnya. Orang kaya adalah orang yang memiliki kelebihan harta dari

pembiayaan kebutuhan pokok dan kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya

Page 17: Efektivitas Tax Planning dalam Lembaga Syariah

bagi dirinyadan keluarganya menurut kelayakan kelayakan masyarakat sekitar.

Dalam pajak non-Islam, kadangkala dipungut atas orang miskin, seperti pajak

bumi dan bangunan atau PPN yang tidak mengenal siapa subyeknya, melainkan

melihat obyek (barang atau jasa) yang dikonsumsi.

e. Pajak (dharibah) hanya dipungut sesuai dengan jumlah pembiayaan yang

diperlukan, tidak boleh lebih.

f. Pajak (dharibah) dapat dihapus bila sudah tidak diperlukan. Menurut teori non-

Islam, tidak akan dihapus karena hanya itulah sumber pendapatan.

D. Kedudukan Pajak Dalam Islam

1. Pajak Dalam Hukum Islam

Mengenai hukum pajak dalam Islam, ada dua pandangan yang bisa muncul.

Pandangan pertama yakni menyetujui kebolehan dari adanya pajak sedangkan

pandangan kedua yakni yang memandang bahwa penarikan pajak merupakan

suatu tindakan kezhaliman dan hal tersebut merupakan haram.

Menurut saya penulis, pajak ialah suatu hal yang diperbolehkan. Pendapat ini

penulis ambil dengan menganggap bahwa pajak ialah sebagai ibadah tambahan

setelah adanya zakat. Pajak ini bahkan bisa jadi menjadi wajib karena sebagai

bentuk ketaatan kepada waliyyul amri dimana amri tersebut disini ialah

pemerintah.

Rasulullah SAW pernah menerangkan kepada para sahabatnya Radhiyallahu

‘anhum bahwa akan datang di akhir zaman para pemimpin yang zhalim. Kemudian

beliau ditanya tentang sikap kaum muslimin: “Bolehkah melawan/memberontak?”.

Lalu Rasulullah SAW menjawab ; “Tidak boleh! Selagi mereka masih menjalankan

shalat”

Selain itu juga dijelaskan pada surat An-Nisa ayat 59 mengenai makna ketaatan

pada ulil amri dengan arti sebagai berikut, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah

Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu

berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-

Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan

hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik

akibatnya.” (QS. An-Nisa: 59)

Page 18: Efektivitas Tax Planning dalam Lembaga Syariah

Pada ayat tersebut bisa ditarik makna bahwa ketaatan tersebut juga memiliki

batas yakni pada hal yang bersifat ma’ruf saja, bukan pada hal yang tidak ma’ruf.

Hal lain yang menjadi pertimbangan saya akan pandangan ini ialah bahwa pajak

tersebut alangkah baiknya dibayarkan sesuai dengan hukumnya dikarenakan pajak

tersebut pun pada akhirnya akan dinikmati masyarakat dalam bentuk layanan-

layanan yang diberikan oleh Negara.

Mengacu pada data yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, pada

tahun 2008, pajak menyumbang hampir 70 % total dana dari APBN dimana seperti

yang diketahui, ada banyak sektor-sektor yang masih membutuhkan dana dari

APBN tersebut seperti sektor pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Di sektor-

sektor itulah dana APBN akan disalurkan.

Selama pajak tersebut masih berjalan sesuai dengan asas keadilan adalah hal

yang sah-sah saja bagi kita untuk membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang

berlaku. Tanpa adanya pajak, maka pemerintahan pun tidak akan bisa berjalan

dengan semestinya dan tentunya hal itu juga akan berimbas kepada kita sebagai

masyarakat. Jikalau ada perilaku korupsi dalam pajak, itu merupakan sesuatu yang

akan ditanggung oleh pribadi yang melakukannya dan tentunya ia akan berhadapan

dengan Yang Maha Kuasa di akhirat kelak.

E. Perbandingan antara Pajak dan Zakat

Meskipun pajak dan zakat pada dasarnya hampir sama dalam tujuannya yakni

meningkatkan kesejahteraan sosial melalui dana yang didapat dari masyarakat,

sebenarnya terletak beberapa perbedaan yang mencolok yang menjadikan kedudukan

pajak dan zakat tidak bisa disamakan. Dibawah ini perbedaannya sebagai berikut :

a. Perbedaan yang paling dasar dari keduanya terletak pada sumber perintahnya.

Pajak bersumber dari pemerintah yang telah menetapkan pajak tersebut melalui

Undang-Undang disertai peresetujuan dari parlemen atau DPR, sedangkan

zakat bersumber dari perintah Allah SWT yang wajib dijalankan umat Islam

untuk menjadi orang yang beriman.

b. Dari segi pelakunya dimana dalam pajak, seluruh masyarakat berkewajiban

membayar pajak kepada pemerintah sesuai dengan ketentuan yang berlaku,

sedangkan dalam zakat hanya umat Islam saja yang diwajibkan melakukannya.

Page 19: Efektivitas Tax Planning dalam Lembaga Syariah

c. Perbedaan selanjutnya terletak pada objek penerima dari dua dana ini. Pajak

dipungut oleh pemerintah dimaksudkan untuk kepentingan sosial dan untuk

kepentingan orang yang membutuhkan. Pada hal ini rentan terjadi salah sasaran

dimana justru orang yang telah berkecukupan malah mendapat apa yang

menjadi hak dari orang yang membutuhkan. Sedangkan dalam zakat, pada surat

At-Taubah ayat 60 telah jelas ada delapan golongan yang berhak menerima

zakat tersebut.

d. Berikutnya terletak pada segi hukumnya. Untuk pajak, pandangan mengenai

hukum dari pajak itu sendiri sampai saat ini masih terbagi menjadi dua

pandangan, yakni pandangan pertama yang menganggap pajak itu boleh bahkan

wajib mengingat wajibnya mentaati pemimpin dan pandangan kedua yang

menganggap haram dengan landasan ayat Al-Qur’an serta hadits. Sedangkan

zakat yang merupakan salah satu rukun Islam menjadikannya jelas bahwa

hukumnya ialah wajib.

e. Dalam pajak tidak ada ketentuan yang jelas dalam jumlah nominalnya kecuali

ditentukan oleh pemerintah di tempat tertentu, sedangkan dalam zakat,

ketentuan kadar dalam pemberian sebagian harta untuk zakat telah ditentukan

oleh Allah SWT bagi orang yang mempunyai harta yang telah sampai

nishabnya.

Pajak dan zakat merupakan dua istilah yang berbeda dari segi sumber atau dasar

pemungutannya, namun sama dalam hal sifatnya sebagai upaya mengambil atau

memungut kekayaan dari masyarakat untuk kepentingan sosial, zakat untuk

kepentingan yang diatur agama atau Allah SWT sedangkan Pajak digunakan untuk

kepentingan yang diatur Negara melalui proses demokrasi yang sah. Istilah pajak lahir

dari konsep negara sedangkan zakat lahir dari konsep Islam. Perbezaan penerapan

kedua pungutan ini menjadi permasalahan ketika dalam hal tertentu terdapat

persamaan, iaitu keduanya mempunyai kedudukan sama-sama wajib ditunaikan oleh

masyarakat.

Muncul pertanyaan Apakah kedudukan pajak itu sama dengan zakat? Atau apa

perbedaan keduanya? Atau bagaimanakah seorang warga negara muslim dalam

menyikapinya kedua pungutan ini. Tulisan ini mencoba melihat perbezaan keduanya.

Zakat memiliki banyak erti dan hikmah sebagaimana dijelaskan sebab zakat adalah

Page 20: Efektivitas Tax Planning dalam Lembaga Syariah

ibadah menyangkut kekayaan yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi. Zakat

merupakan perwujudan sosial, pernyataan rasa kemanusian dan keadilan, antara

golongan kaya dengan yang miskin dan sebagai penimbun jurang kaya miskin. Kedua

Memberantas penyakit iri hati, rasa benci dan dengki daridiri orang-orang miskin di

sekitar mereka yang mewah. Ketiga dapat menunjang terwujudnya sistem

kemasyarakatan.

Islam yang berdiri atas prinsip-prinsip persatuan, Persamaan Derajat, dan

Tanggungjawab bersama. fempat Dapat mensucikan diri (peribadi) dari kotoran dosa,

memurnikanjiwa (menumbuhkan akhlaq mulia menjadi murah hati, peka terhadap rasa

kemanusiaan) dan mengikis sifat bakhi/sta serakah. Sesuai ketentuan Islam, mereka

yang berhak mendapatkan zakat hanya tujuh yaitu Fakir, Miskin, Orang kafir yang

tertarik dengan Islam, Mereka yang sedang dalam perjalanan, orang yang berjuang

fisabilillah, Mereka yang sedang dililit hutang, Amil atau pengurus zakat. Pengeluaran

untuk diluar kelompok ini sebaiknya tidak menggunakan zakat tetapi bisa

menggunakan sumberdana lain seperti infaq, shadaqah atau wakaf.

Pajak adalah menyangkut kewajiban warga negara terhadap negara yang menjadi

institusi awam yang dibentuk dan diberi tanggungjawab untuk mengelola kepentingan

negara atau kepentingan negara. Pemungutan pajak harus mendapatkan persetujuan

rakyat melalui undang-undang yang harus dipersetujui parlemen. Setiap pungutan

pajak yang tidak berdasarkan undang-undang maka rakyat tidak wajib mematuhinya.

Tetapi untuk pajak yang ditetapkan oleh undang-undang maka pemerintah atau negara

memiliki hak memaksa. Penggunaan pajak tidak hanya terbatas kepada kepentingan

golongan tertentu seperti zakat hanya untuk 8 golongan sedangkan pajak dapat

digunakan untuk semua keperluan dalam pengunaan kepentingan negara. Bisa

disimpulkan bahwa kedudukan keduanya berbeda karena dilihat dari beberapa aspek

diatas. Namun disini penulis masih berpendapat bahwa pajak boleh dikenakan dan kita

sebagai muslim dan sebagai warga negara Indonesia yang baik juga harus

mematuhinya, meskipun masih banyak pertentangan di luar sana boleh tidaknya

pemungutan pajak oleh negara.

F. Efektivitas Perencanaan Pajak Lembaga Syariah

Sebelum berbicara menuju masalah perencanaan pajak diawal sudah dibahas

mengenai pajak itu sendiri menurut pandangan syariah, meskipun masih banyak terjadi

Page 21: Efektivitas Tax Planning dalam Lembaga Syariah

pertentangan namun penulis di sini berpendapat bahwa pajak merupakan hal yang

diperbolehkan menurut agama. Banyaknya perbedaan pandangan mengenai pajak

inilah yang sering kali mengakibatkan perencanaan pajak dalam lembaga syariah saat

ini masih kurang efektif.

Masih belum banyak literatur maupun penelitian yang membahas mengenai

masalah ini. Padahal permasalahan semacam ini apabila dibiarkan saja tentu akan

menimbulkan masalah dikemudian hari. Kita ketahui bahwa penduduk terbesar di

negara kita beragama muslim, namun hal-hal yang berkaitan dengan syariah masih

belum banyak yang membahasnya atau menelitinya.

Page 22: Efektivitas Tax Planning dalam Lembaga Syariah

BAB V

KESIMPULAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari pembahasan mengenai persefektif pajak dalam islam diatas, dapat

disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif warga

negara dan anggota masyarakat lainnya untuk membiayai berbagai keperluan

negara berupa pembangunan nasional yang pelaksanaannya diatur dalam Undang-

Undang dan peraturan-peraturan untuk tujuan kesejahteraan dan negara. Sedangkan

dalam bahasa arab disebut dengan disebut dengan istilah dharibah, yang artinya

mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul, menerangkan atau

membebankan.

2. Pajak dalam Islam dengan Pajak kapitalis jelas memiliki perbedaan dalam berbagai

bidang, sebagai contoh, pajak dalam islam (dharibah), bersifat temporer, tidak

bersifat kontinu; hanya boleh dipungut ketika di baitul mal tidak ada harta atau

kurang. Ketika di baitulmal sudah terisi kembali, maka kewajiban pajak bisa

dihapuskan. Berbeda dengan zakat, yang tetap dipungut, sekalipun tidak ada lagi

pihak yang membutuhkan (mustahiq). Sedangkan pajak menurut non Islam adalah

abadi (selamanya).

3. Mengenai Kedudukan Pajak dalam islam, sampai saat ini masih banyak yang

berbeda tanggapan di indonesia, tidak terkecuali dari kalangan ulama bahwa pajak

dalam islam itu haram hukumnya, dan ada juga yang mengatakan bahwa pajak

dalam islam itu halal atau sah-sah saja asalkan tujuan dan fungsi dari pajak itu

benar-benar difungsikan untuk hal yang baik dan menguntungkan semua orang

dengan tidak ada paksaan/perampasan secara paksa. Didalam Islam, Pajak dan

zakat hampir sama tujuannya yaitu meningkatkan kesejahteraan melalui dana yang

dikutip dari masyarakat, namun keduanya tentu memiliki perbedaan. Sedangkan

pajak dalam non islam/kapitalis dipungut dari warga untuk membangun negara dan

juga warga itu sendiri.

Page 23: Efektivitas Tax Planning dalam Lembaga Syariah

B. Keterbatasan

Keterbatasan yang dihadapi penulis terkait dengan penulisan makalah ini adalah

masih terbatasnya sumber literatur dan penelitian yang membahas mengenai perspektif

pajak dalam syariah sehingga di sini penulis memiliki sedikit pedoman dalam

melakukan pembahasan dan perbandingan pendapat. Harapan penulis terkait dengan

keterbatasan yang penulis alami ini menjadi penyemangat bagi penulis-penulis lain

untuk mengangkat masalah ini sehingga topik-topik yang berkaitan dengan syariah

khusunya di Indonesia lebih banyak lagi kedepannya.

C. Saran

Pajak merupakan dana yang dihimpun dari masyarakat demi menigkatkan

kesejahteraan sosial, sama halnya dengan zakat di dalam islam, dikutif dari sebahagian

orang untuk membantu orang lain yang lebih membutuhkannya, namun dalam

menerapkan pajak, seharusnya pajak itu benar-benar diterapkan demi kepentingan

masyarakat, pembangunan negara ke yang lebih baik tentunya.

Menurut penulis apabila tujuan penggunaan dari pajak itu sendiri bisa

dimanfaatkan dengan baik, maka perdebatan mengenai boleh tidaknya pemungutan

pajak tidak akan terjadi lagi. Dan pajak memang benar-benar bisa memberikan

kemanfaatan bagi pembayar pajak itu sendiri, dengan pengelolaan pajak yang benar

oleh negara.

Page 24: Efektivitas Tax Planning dalam Lembaga Syariah

DAFTAR PUSTAKA

Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.

Mardiasmo, Perpajakan, Yogyakarta: CV. Anfi Offset, 2006.

Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Salemba Emban Patria, 2002.

Sukardji, Untung, Pokok-Pokok Pajak Pertambahan NilaiIndonesia,Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.

Yani, Ahmad, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009

http://arsindo.livejournal.com/6549.html “Pajak dalam islam” diakses tanggal 28 Maret 2013.

http://www.izakat.com/index.php?option=com_content&view=article&id=100%3Apajak-dan-zakat&catid=31%3Atazkirah&Itemid=52&lang=bm “Pajak dan jakat” diakses tanggal 24 maret 2013

http://www.kajianpustaka.com/2012/10/definisi-pajak-dan-jenis-jenis-pajak.html#ixzz2OwvzIQPr “ definisi pajak dan jenis-jenis pajak” diakses tanggal 24 Maret 2013

http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/09/19/pajak-dalam-perspektif-islam-494630.html “Pajak dalam perspektif islam” diakses tanggal 28 Maret 2013.