edit pna
-
Upload
cliffwinsky -
Category
Documents
-
view
15 -
download
1
description
Transcript of edit pna
BAB 1
PENDAHULUAN
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit yang menular melalui udara ini menyerang
seluruh tubuh terutama paru-paru. Salah satu komplikasi TB paru adalah
pneumothoraks, yang terjadi karena adanya kelemahan pada struktur parenkim
paru dan pleura. Pneumotoraks adalah terdapatnya udara bebas didalam rongga
pleura, yaitu rongga diantara pleura parietalis dan viseralis. Di negara Asia dan
negara berkembang tuberkulosis menempati peringkat pertama sebagai penyebab
pneumotoraks.1,2,3
Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksi hampir 2 miliar orang atau
sepertiga dari total penduduk dunia. Pada tahun 2004, sekitar 14,6 juta orang
mengidap TB paru aktif dengan timbulnya 9 juta kasus baru, 2 juta di antaranya
berakhir dengan kematian. WHO memperkirakan hingga tahun 2020 jumlah orang
yang terinfeksi TB paru akan bertambah 1 miliar orang lagi. Dengan kata lain,
terjadi pertambahan jumlah infeksi lebih dari 56 juta orang setiap tahunnya.
Angka ini sangat memprihatinkan karena berarti ada 2-4 orang yang terinfeksi
M.tuberculosis setiap detik dan hampir 4 orang meninggal setiap menit karena TB
paru.4
Indonesia merupakan negara ketiga dengan masalah TB paru terbesar di
dunia setelah India dan Cina. Berdasarkan data RS Sulianti Saroso, di Indonesia
terdapat 583 ribu kasus TB paru setiap tahun dan 140 ribu di antaranya meninggal
dunia. TB paru juga merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit
jantung dan penyakit pernapasan akut. Seluruh fakta ini menunjukkan perlunya
dilakukan upaya-upaya yang optimal dalam memberantas TB paru untuk
mencegah timbulnya lebih banyak lagi korban jiwa.5
Strategi WHO yang telah diterapkan di seluruh dunia dalam
penanggulangan TB adalah DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse).
DOTS diperkenalkan pertama kali pada tahun 1991 dan masuk ke Indonesia pada
tahun 1995. Dalam mendukung penerapan strategi DOTS ini, pemerintah
menyediakan paket Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara gratis.4
1
Berikut ini akan dibahas sebuah kasus pada seorang laki-laki yang dirawat
dibagian Interna BLU RSUP Prof. DR. R. D Kandou Manado dengan
pneumothorax et causa tuberkulosis paru.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
Seorang pasien perempuan KMV berumur 57 tahun, bangsa Indonesia,
suku Minahasa, agama Kristen Protestan, pekerjaan ibu rumah tangga, alamat
Ranomut, Provinsi Sulawesi Utara, di rawat di Irina C2 BLU RSUP PROF Dr.
R.D. Kandou Manado pada tanggal 31 Maret 2015 dengan keluhan utama nyeri
pinggang kiri. Nyeri pinggang kiri dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Nyeri bersifat
hilang timbul. Selain itu, perut terasa kembung, mual dan sakit kepala sejak 3 hari
yang lalu. Muntah dialami pasien sejak 1 hari yang lalu, frekuensi lebih dari
3x/hari. Volume ± 100 cc. Isi cairan dan makanan, Penderita juga mengalami
demam sejak 3 hari yang lalu. Demam juga disertai dengan menggigil. Demam
turun dengan pemberian obat penurun demam. Penderita mengaku nyeri saat
kencing, sering kencing dengan jumlah sedikit-sedikit dan berwarna kuning sejak
1 minggu yang lalu, BAB biasa. Penderita menderita penyakit asam urat sejak 5
tahun dan minum obat teratur. Hipertensi, diabetes mellitus, asma, penyakit
jantung, paru, hati dan ginjal disangkal. Penderita tidak merokok dan minum
beralkohol. Hanya penderita yang mengalami sakit seperti ini didalam keluarga.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 76 x/mnt, Respirasi
20 x/mnt, suhu badan 37,8 C, tinggi badan 155 cm, berat badan 65 kg, IMT 27,0
kg/m2. Pada pemeriksaan kepala, pada mata didapatkan konjungtiva tidak anemis,
sclera ikterik tidak ada, pupil bulat isokor dengan diameter 3 mm, reflex cahaya
positif, gerakan bola mata aktif. Pada pemeriksaan hidung tidak didapati deviasi,
septum letak tengah, tidak ada sekret. Pada pemeriksaan mulut didapatkan bibir
tidak sianosis, gigi geligi dalam batas normal, lidah beslag tidak ada, mukosa
basah, pembesaran tonsil tidak ada, dan faring tidak hiperemis. Pada pemeriksaan
telinga tidak tampak tophi, meatus akustikus externa lapang, cairan tidak ada,
membrane timpani intak. Pada pemeriksaan leher tidak ditemukan pembesaran
getah benig, trake letak tengah, tekanan vena jugularis 5+0 cmH2O.
Pada pemeriksaan thoraks, inspeksi dada terlihat simetris, tidak terdapat
retraksi, dan tidak ada kelainan kulit. Pada inspeksi punggung terlihat simetris.
3
Pada palpasi stem fremitus kiri dan kanan normal. Pada perkusi paru kiri dan
kanan terdengar sonor. Pada auskultasi didapatkan suara pernapasan vesikuler
pada paru kiri dan kanan. Wheezing dan rhonki tidak ada.
Pada pemeriksaan jantung inspeksi ictus cordis tidak tampak, pada palpasi
ictus cordis tidak teraba, perkusi batas jantung kiri linea midclavicula sinistra ICS
V dan batas jantung kanan linea parasternal dextra ICS IV. Auskultasi jantung
ditemukan bunyi jantung I dan II reguler, bising jantung tidak ditemukan.
Pada pemeriksaan abdomen, pada inspeksi terlihat cembung, tidak ada
pelebaran pembuluh darah vena. Palpasi teraba lemas dan terdapat nyeri tekan
epigatrium dan nyeri supra pubik. Hepar dan lien tidak teraba, ballotemn tidak
teraba. Perkusi timpani, terdapat nyeri ketok angulus kostovertebra sinistra,
auskultasi bising usus normal.
Pada ekstremitas warna kulit sawo matang, tidak ada edema, tidak ada
deformitas, tidak ada atrofi, gerakan aktif dan pasif normal, kekuatan otot normal,
waktu pengisisan ulang kapiler kurang dari dua detik.
Hasil laboratorium tanggal 31 Maret 2015: MCH 29,3 pg, MCHC 34,4 pg,
MCV 85,0 fl, Leukosit 21.430 /uL, Eritrosit 5,02x106 uL, Hemoglobin 12,5 g/dL,
Hematokrit 42,7 %, Trombosit 277.000 /uL, Gula darah sewaktu 113 mg/dL,
Creatinin darah 0,6 mg/dL, Ureum darah 17 mg/dL, Natrium darah 137
mEq/LKalium darah 3,7 mEq/L, Chlorida darah 99 mEq/L.
Telah dilakukan x-foto thoraks tgl 31 Maret 2015 didapatkan gambaran
infiltrate tidak ada. Kesan dalam batas normal.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
pasien didiagnosis dengan Pielonefritis akut sinistra dd nefrolitiasis.
Terapi yang diberikan adalah IVFD NaCl 0,9% (20gtt/menit), ceftriaxone
2x1 gr IV (H1), ranitidin 2x1 amp IV, paracetamol 3x500mg tab, dan domperidon
3x1 tab. Rencana pemeriksaan urinalisa, kultur urine dengan uji sensitivitas, diff.
count, LED, DDR.
Hari perawatan pertama dan kedua nyeri berkurang, mual dan muntah
berkurang, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 74 x/menit, respirasi 20 x/menit,
suhu badan 36,8 ◦C. Pada pemeriksaan abdomen masih terdapat nyeri suprapubik
dan nyeri ketok angulus kostovertebra sinistra. Terapi lanjut IVFD NaCl 0,9%
4
(20gtt/menit), ceftriaxone 2x1 gr IV (H2), ranitidin 2x1 amp IV, paracetamol
3x500mg tab, dan domperidon 3x1 tab. Dilakukan pemeriksaan kultur urine dan
uji sensitivitas.
Hasil urinalisa tanggal 1 April 2015: warna kuning, pH 7,0, berat jenis
1,015, protein -, glukosa -, urobilin -, bilirubin -, nitrit +, keton -, leukosit makro -,
blood makro -, eritrosit 0, leukosit 5-10, epitel -, Kristal -, silinder -.
Pada hari perawatan ketiga dan keempat nyeri pinggang kiri semakin
berkurang, mual dan muntah tidak ada. Tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 72
x/menit, respirasi 20 x/menit, suhu badan 36,2 ◦C. Pada pemeriksaan abdomen
nyeri suprapubik dan nyeri ketok angulus kostovertebra sinistra sudah berkurang.
Terapi lanjut IVFD NaCl 0,9% (20gtt/menit), ceftriaxone 2x1 gr IV (H3-4),
ranitidin 2x1 amp IV, dan paracetamol 3x500mg tab.
Pada hari perawatan kelima, keluhan nyeri pinggang kiri sudah hilang,
tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 x/menit, respirasi 20 x/menit, suhu badan
36,0 ◦C. Pada pemeriksaan abdomen nyeri suprapubik dan nyeri ketok angulus
kostovertebra sinistra sudah tidak ada. Terapi, Cefixime 2 x 200 mg tab, Ranitidin
2x1 tab, pasien direncanakan rawat jalan kontrol ke poliklinik interna.
BAB III
PEMBAHASAN
5
Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Biasanya tuberkulosis menyerang paru, namun
dapat juga menyerang Central Nervus System, sistem limfatikus, sistem urinaria,
sistem pencernaan, tulang, sendi dan lainnya.1,4
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah
perkotaan mempermudah proses penularan dan berperan sekali dalam peningkatan
jumlah kasus TB. Penularan TB biasanya melalui udara, yaitu dengan inhalasi
droplet nukleus yang mengandung basil TB. Droplet nukleus ukuran 1-5 mikron
yang dapat melewati atau menembus sistem mukosilier saluran napas sehingga
dapat mencapai dan bersarang di bronkiolus maupun alveolus.1 Pada kasus
penderita bertempat tinggal di daerah padat pemukiman yaitu di Pineleng.
Diagnosis tuberkulosis paru dapat ditegakkan berdasarkan gejala
klinis/pemeriksaan fisik, foto toraks, pemeriksaan sputum BTA dan laboratorium
penunjang. Gejala klinis pada penderita Tb paru dibagi menjadi gejala sistemik
dan gejala respiratorik. Gejala sistemik berupa demam dan berkeringat pada
malam hari, badan terasa lemah, kehilangan nafsu makan dan penurunan berat
badan. Gejala respiratorik berupa batuk, sesak napas dan rasa nyeri dada. Batuk
biasanya lebih dari 3 minggu, kering sampai produktif dengan sputum mukoid
atau purulen. Batuk darah dapat terjadi bila ada pembuluh darah yang robek, sesak
napas biasanya terjadi pada penyakit yang sudah lanjut.1,6
Pada kasus penderita masuk rumah sakit dengan keluhan sesak nafas
dialami pasien sejak 3 minggu SMRS dan memberat 2 hari SMRS, sesak terutama
saat penderita bekerja berat dan agak berkurang kalau beristirahat. Penderita juga
mengalami batuk sejak 1 tahun lalu, batuk berlendir warna putih, strip darah tidak
ada. Keringat malam ada. Penderita mengalami penurunan BB kira-kira 8 kg
dalam 1 tahun terakhir. Penderita pernah mendapatkan pengobatan OAT 6 bulan
lalu, putus bulan ke 3 dan tidak memeriksakan diri lagi ke dokter.
Pemeriksaan fisik tekanan darah 130/70 mmHg, nadi 82 x/mnt, Respirasi
28 x/mnt, suhu badan 37,8 C. Pada inspeksi dada terlihat simetris, terdapat
retraksi, dan tidak ada kelainan kulit. Pada inspeksi punggung terlihat simetris.
Pada palpasi stem fremitus kiri menurun daripada kanan. Pada perkusi paru
6
terdengar hipersonor pada paru kiri, paru kanan terdengar sonor. Pada auskultasi
didapatkan suara pernapasan vesikuler paru kiri lebih lemah dari kanan, ada
ronkhi pada paru kiri dan kanan, dan tidak ada wheezing.
X-foto thoraks tanggal 12 Maret 2015 didapatkan gambaran deep sulcus
sign, radiolusen pada seluruh lapang paru kiri, dan paru kanan yang kolaps ke
arah hilus, serta adanya infiltrat pada paru kanan.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
penderita didiagnosis dengan pneumothorax sinistra et causa susp TB paru.
Klasifikasi Tuberkulosis
Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum (BTA)1,4,6
1. Tuberkulosis paru BTA (+) :
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak hasilnya BTA(+)
b. Satu spesimen dahak BTA(+) dan radiologis menunjukkan
gambaran tuberkulosis aktif
c. Satu spesimen dahak BTA (+) dan biakan (+)
2. Tuberkulosis paru BTA (-)
a.Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA (-), gambaran klinis
dan kelainan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif
b. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA (-) dan biakan M.
Tuberculosis (+)
Berdasarkan tipe pasien1,4,6
a. Kasus baru
Pasien belum pernah mendapat pengobatan OAT atau pernah mendapat OAT
kurang dari 1 bulan.
b. Kasus relaps
Pasien sebelumnya sudah mendapat pengobatan tuberkulosis kemudian
dinyatakan sembuh, kemudian kembali berobat karena BTA (+) atau biakan
(+)
c. Kasus putus obat
7
Pasien menjalani pengobatan ≥ 1 bulan dan tidak mengambil obat dalam 2
bulan berturut-turut sebelum pengobatan selesai.
d. Kasus gagal pengobatan
Pasien BTA (+) yang masih (+) atau kembali menjadi (+) lagi pada akhir
bulan ke-5 atau pada akhir pengobatan.
e. Kasus kronik
Pasien dengan BTA (+) setelai selesai pengobatan ulang dengan pengobatan
kategori 2 dan dengan pengawasan yang baik
f. Kasus Bekas TB
- Hasil pemeriksaan BTA (-), biakan (-), gambaran radiologis TB tidak aktif
atau foto serial menunjukan gambaran menetap. Riwayat pengobatan OAT
adekuat akan lebih mendukung.
- Pada kasus dengan gambaran radiologis meragukan atau telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologis.
Pada kasus penderita memiliki riwayat penggunaan OAT selama 3 bulan dan
berhenti tanpa kontrol kembali ke dokter, oleh karena itu penderita dikategorikan
sebagai TB paru putus obat.
Penyakit TB bersifat kronis dan resistensi kuman terhadap obat cukup
tinggi, maka tidak jarang menimbulkan komplikasi. Salah satu komplikasi yang
bisa ditimbulkan adalah pneumotoraks. Pneumotoraks adalah adanya udara dalam
rongga pleura.7
Pneumotoraks diklasifikasikan menjadi :7
1. Pneumotoraks spontan
a. Pneumotoraks spontan primer
Umumnya disebabkan oleh pecahnya suatu bleb subpleura yang
biasanya terdapat di daerah apeks paru. Factor resiko utama adalah
merokok. Pada beberapa kasus faktor herediter juga memegang peranan,
umumnya penderita berpostur tinggi dan kurus.
b. Pneumothoraks spontan sekunder
8
Terjadi sebagai komplikasi penyakit paru dasarnya (underlying lung
disease). Beberapa penyakit yang sering menjadi penyebab
pneumothoraks antara lain PPOK tipe emfisema dan tuberkulosis paru.
2. Pneumothoraks Traumatika
Terjadi sebagai akibat trauma, baik trauma tumpul maupun trauma tajam di
dinding dada.
3. Pneumothoraks iatrogenik
Terjadi sebagai akibat tindakan medis yang dilakukan, misalnya akibat
punksi pleura, biopsy pleura, trans thoracal biopsy, dll.
Pneumotoraks dibagi menjadi tension dan non tension pneumotoraks.
Tension pneumotoraks merupakan kondisi bahaya dimana terjadi akumulasi dari
udara yang tidak bisa keluar di ruangan pleura ketika setiap bernafas. Peningkatan
tekanan intratorakal menghasilkan pergeseran yang masif dari mediastinum
kearah paru yang sehat dan menekan ke pembuluh darah. Sebaliknya nontension
pneumothoraks tidak begitu berbahaya karena tidak ada penumpukan udara dan
penekanan organ dalam paru.7
Pneumotoraks biasanya dimanifestasikan dengan nafas yang pendek-
pendek yang timbul tiba-tiba, batuk, rasa sakit pada dada, pundak dan tangan,Pada
pneumotoraks yang kecil, biasanya hanya menimbulkan takikardia ringan dan
gejala yang tidak khas. Pada pneumotoraks yang besar, biasanya didapatkan
takikardia berat, hipotensi, sianosis. Jika tidak dilakukan tindakan maka akan
terjadi hipoksia yang kemudian akan berujung pada kehilangan kesadaran dan
koma. Selain itu terjadi pendorongan mediastinum ke arah paru yang sehat yang
dapat berakibat juga penekanan pada vena cava superior dan inferior yang
berakibat pada berkurangnya cardiac preload dan menurunnya cardiac output.
Pada kasus yang berat, pneumothoraks dapat berujung kematian dalam hitungan
waktu yang cepat.7
Hilangnya suara pernafasan dalam stetoskop dapat mengindikasikan
bahwa paru tidak memenuhi rongga dada. Tanda ini disertai oleh hipersonor pada
pemeriksaan perkusi di dinding dada menambah dugaan pneumotoraks. Jika
tanda-tanda pneumotoraks meragukan maka dilakukan foto rontgen, namun pada
9
hipoksia berat atau ada tanda-tanda tension pneumotoraks maka penanganan
terhadap pneumotoraks tersebut dilakukan pertama kali.7
Pada posisi supine rongent akan didapatkan deep sulcus sign, yang
dikarakteristikan sebagai sudut rendah lateral dari costophrenicus pada sisi yang
terinfeksi. Tempat dimana rusuk dan diafragma bertemu terlihat lebih rendah pada
rontgen dengan deep sulcus sign memberikan diagnostikpneumotoraks.
Pada kasus berdasarkan anamnesis keluhan sesak nafas dialami penderita
sejak 3 minggu SMRS dan memberat 2 hari SMRS, pemeriksaan fisik stem
fremitus kiri menurun, oada perkusi paru terdengar hipersonor pada paru kiri dan
pada auskultasi didapatkan suara pernapasan vesikuler paru kiri lebih lemah dari
kanan. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan gambaran deep sulcus sign,
radiolusen pada seluruh lapang paru kiri, dan paru kanan yang kolaps ke arah
hilus, serta adanya infiltrat pada paru kanan dengan kesan pneumothorax sinistra
dan TB paru. Oleh karena itu penderita diklasifikasikan sebagai peneumothorks
spontan sekunder terjadi sebagai komplikasi penyakit paru.
Tujuan dari penatalaksanaan pneumotoraks adalah mengeluarkan udara
dari rongga toraks dan mencegah pneumotoraks yang berulang. Pada simple
pneumothorax minimal (<15% hemithorax) biasanya dilakukan pengobatan
konservatif, karena akan sembuh sendiri dengan sendirinya, tidak perlu invasive
kemudian penderita harus istirahat di tempat tidur selama beberapa hari dan
observasi keluhan sesak dan tanda-tanda vital. Kemudian berikan oksigen 2-4 L
dan obati penyakit dasar yang menyebabkan pneumotoraks. Untuk memeriksanya
apakah ada perbaikan atau tidak maka dilakukan foto rontgen berulang kemudian
dibandingkan antara yang lama dan baru. Pneumotoraks yang terlalu kecil
membutuhkan thoracostomy tabung dan terlalu besar untuk tidak dilakukan
tindakan maka dilakukan aspirasi dengan kateter kecil.7
Pada tensional pneumotoraks atau simple pneumothorax> 15%
hemithoraks dengan dispnea berat, gangguan respirasi, hipoksia arteri yang nyata
(PO2 <55 mmHg), kolaps total total pada satu paru, pembesaran pneumothorax
bilateral, harus segera dilakukan pemasangan pipa torakostomi (chest tube).
Teknik pengeluaran (drainage) udara keluar dari rongga pleura dapat dilakukan
10
dengan simple aspirasi maupun pemasangan WSD (water sealed drainage).7 Pada
kasus pasien ini dipasang selang WSD.
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif 2-3 bulan
dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan
pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai
penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.1,2,4
Pengobatan TB dilakukan melalui 2 fase, yaitu:1,2,4
- Fase awal intensif, dengan kegiatan bakterisid untuk memusnahkan populasi
kuman yang membelah dengan cepat
- Fase lanjutan, melalui kegiatan sterilisasi kuman pada pengobatan jangka
pendek atau kegiatan bakteriostatik pada pengobatan konvensional
OAT yang biasa digunakan antara lain isoniazid (INH), rifampisin (R),
pirazinamid (Z), dan streptomisin (S) yang bersifat bakterisid dan ethambutol (E)
yang bersifat bakteriostatik. Penilaian keberhasilan pengobatan didasarkan pada
hasil pemeriksaan bakteriologi, radiologi, dan klinis.1,2,4
11
Tabel 1. Medikamentosa obat anti Tuberkulosis dibagi 4 kategori.2,4
Kategori Kriteria penderita
Regimen pengobatan
Fase
Awal
Fase
lanjutan
I • Kasus baru BTA (+)
• Kasus baru BTA (-)
• Ro” (+) sakit berat
• Kasus TBEP berat
2 RHZE (RHZS)
2 RHZE (RHZS)
2 RHZE (RHZS)
6 EH
4 RH
4 R3H3
II Kasus BTA positif
• Kambuh
• Gagal
• Putus berobat
2 SHZE-1 RHZE
2 SHZE-1 RHZE
5 RHE
5 R3H3E3
III • Kasus baru BTA (-)
• TBEP ringan
2 RHZ
2 RHZ
2 RHZ*
6 EH
4 RH
4 R3H3
IV • Kasus kronik Obat-obat sekunder
Pada kasus ini penderita direncanakan untuk pengobatan OAT kategori II
untuk penderita TB paru putus obat.
LAMPIRAN
12
Gambar 1. Kesan
pneumothorax sinistra + TB
paru
Gambar 2.Post pemasangan WSD
13