Draf Kompilasi Tugas Ekokes Kel 5 Pembiayaan Kesehatan

25
TUGAS MATA KULIAH EKONOMI KESEHATAN PEMBIAYAAN KESEHATAN Pembimbing Dr.drg. Mardiati Nadjib M.S Disusun Oleh KELOMPOK 5 Arif Riandi 1406595382 Dima Lintya Siti Karim Zahra 1306352175 Nazirah Istianisa 1406521794 Radhiya Dewi Istiqomah 1406521876 Supinah 1406521945 KAJIAN ADMINISTRASI RUMAH SAKIT

description

kesehatan

Transcript of Draf Kompilasi Tugas Ekokes Kel 5 Pembiayaan Kesehatan

TUGAS MATA KULIAH EKONOMI KESEHATAN

PEMBIAYAAN KESEHATAN

PembimbingDr.drg. Mardiati Nadjib M.S

Disusun OlehKELOMPOK 5Arif Riandi1406595382Dima Lintya Siti Karim Zahra1306352175Nazirah Istianisa1406521794Radhiya Dewi Istiqomah1406521876Supinah 1406521945

KAJIAN ADMINISTRASI RUMAH SAKITPASCA SARJANA FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKATUNIVERSITAS INDONESIAMARET 2015

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB II. PEMBIAYAAN KESEHATAN2.1 Pembiayaan Program Prioritas di Indonesia....................................................... 2.2 Bagaimana Pembiayaan Rumah Sakit2.3 Peran JKN dalam Pembiayaan dan kaitan dengan Kebijakan Desentralisasi BAB III. PEMBIAYAAN KESEHATAN BAGI MASYARAKAT MISKIN3.1 Jenis Jenis Pembiayaan Kesehatan Masyarakat Miskin di Berbagai Negara3.2 Pembiayaan Masyarakat Miskin di Indonesia dan Masalahnya.........................3.3 Kebijakan Pelayan Gratis3.4 SJSN dalam pembiayaan Masyarakat Miskin di Indonesia 3.5 Pembiayaan Masyarakat Miskin di Indonesia Kaitannya di Rumah SakitBAB IV. KESIMPULAN

BAB I PENDAHULUANI.1 LATAR BELAKANGPembangunan sosial ekonomi sebagai salah satu pelaksanaan kebijakan pembangunan nasional telah menghasilkan banyak kemajuan, diantaranya telah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan tersebut harus dapat dinikmati secara berkelanjutan, adil, dan merata menjangkau seluruh rakyat. Dinamika pembangunan bangsa Indonesia telah menumbuhkan tantangan berikut tuntutan penanganan berbagai persoalan yang belum terpecahkan. Salah satunya adalah penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat, yang diamanatkan dalam Pasal 28 ayat (3) mengenai hak terhadap jaminan sosial dan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun1945. Jaminan sosial juga dijamin dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak asasi Manusia Tahun 1948 dan ditegaskan dalam Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952 yang menganjurkan semua negara untuk memberikan perlindungan minimum kepada setiap tenaga kerja. sejalan dengan ketentuan tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam TAP Nomor X/MPR/2001 menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu. Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program Negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini, setiap penduduk diharakan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila tejadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun. Selama beberapa dekade terakhir ini, Indonesia telah menjalankan beberapa program jaminan sosial. Undang-Undang yang secara khusus mengatur jaminan sosial bagi tenaga kerja swasta adalah Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tenang Jaminan Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), yang mencakup program jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua dan jaminan kematian. Untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), telah dikembangkan program Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun1981 dan program Asuransi Kesehatan (ASKES) yang diselenggarakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991 yang bersifat wajib ba PNS/Penerima Pensiun/Perintis Kemerdekaan/Veteran dana anggota keluarganya. Untuk prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), anggota Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), dan PNS Departemen Pertahanan/TNI/POLRI beserta keluarganya telah dilaksanakan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) sesuai dengan Peraturan Pemrintah Nomor 67 Tahun 1991 yang merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1971. Berbagai program tersebut diatas baru mencakup sebagian kecil masyarakat. Sebagian besar rakyat belum memperoleh perlindungan yang memadai. Disamping itu, pelaksanaan berbagai program jaminan sosial tersebut mampu memberikan perlindungan yang adil dan memadai kepada para peserta sesuai dengan manfaat program yang menjadi hak peserta. (UU no 40 tahun 2004 tentang SJSN)

BAB IIPEMBIAYAAN KESEHATAN DI INDONESIA

2.1 PEMBIAYAAN PROGRAM PRIORITAS DI INDONESIA Kesehatan adalah unsur vital, tanpa kesehatan tidak mungkin dapat berlangsung aktivitas seperti biasa. Pembangunan kesehatan sesungguhnya bernilai sangat investatif. Nilai investasinya terletak pada tersedianya sumber daya yang senantiasa siap pakai dan tetap terhindar dari serangan berbagai penyakit. Pembiayaan Kesehatan penting dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, terdapat beberapa faktor penting dalam pembiayaan kesehatan yang harus diperhatikan : 1. Besaran (kuantitas) anggaran pembangunan kesehatan yang disediakan pemerintah maupun sumbangan sektor swasta. 2. Tingkat efektifitas dan efisiensi penggunaan (fungsionalisasi) dari anggaran yang ada.Terbatasnya anggaran kesehatan di negeri ini, selain karena rendahnya kesadaran pemerintah untuk menempatkan pembangunan kesehatan sebagai sector prioritas, juga karena kesehatan belum menjadi komoditas politik yang laku dijual di negeri yang sedang mengalami transisi demokrasi ini (Thabrany, 2014). Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan kesehatan di suatu negara diantaranya adalah pemerataan pelayanan kesehatan dan akses (equitable access to health care) dan pelayanan yang berkualitas (assured quality). Oleh karena itu reformasi kebijakan kesehatan di suatu negara seharusnya memberikan fokus penting kepada kebijakan pembiayaan kesehatan untuk menjamin terselenggaranya kecukupan (adequacy), pemerataan (equity), efisiensi (efficiency) dan efektifitas (effectiveness) dari pembiayaan kesehatan itu sendiri. Perencanaan dan pengaturan pembiayaan kesehatan yang memadai (health care financing) akan menolong pemerintah di suatu negara untuk dapat memobilisasi sumber-sumber pembiayaan kesehatan, mengalokasikannya secara rasional serta menggunakannya secara efisien dan efektif. Kebijakan pembiayaan kesehatan yang mengutamakan pemerataan serta berpihak kepada masyarakat miskin (equitable and pro poor health policy) akan mendorong tercapainya akses yang universal. Pada aspek yang lebih luas diyakini bahwa pembiayaan kesehatan mempunyai kontribusi pada perkembangan sosial dan ekonomi (Manajemen Pembiayaan Kesehatan, 2014).Seiring dengan dideklarasikannya Millenium Development Goals (MDG) pada KTT- PBB tahun 2000, yang memuat 8 tujuan utama dalam pembangunan milenium, yang diantaranya 3 poin dari tujuan tersebut adalah sektor kesehatan. Dari 8 tujuan tersebut terdapat 11 (sebelas) target yang hendak dicapai, adapun target yang berkaitan dengan sektor kesehatan adalah: 1. Menurunkan angka kematian balita sebesar 2/3 (dua per tiga)nya antara 1990-2015, 2. Menurunkan angka kematian ibu sebesar (tiga per empat)nya antara 1990-2015, 3. Mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunkan jumlah kasus baru pada 2015, 4. Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria dan penyakit lainnya pada 2015. Dengan adanya komitmen internasional MDG, maka semua negara baik negara maju, berkembang maupun negara dalam transisi ekonomi, bersama-sama menjalankan langkah-langkah penting dalam hal kebijakan domestik, internasional maupun sistemik. Prioritas tinggi akan diberikan pada penyelanggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, penanggulangan penyakit menular, dan gizi buruk (termasuk kegiatan surveilans dan kewaspadaan dini), promosi kesehatan, penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan pembangunan kesehatan di daerah terpencil, daerah tertinggal dan daerah perbatasan, pendayagunaan tenaga kesehatan yang merata sesuai kebutuhan pelayanan kesehatan di daerah.Sesuai Sistem Kesehatan Nasional Depkes RI 2004, bahwa alokasi dana untuk pembangunan kesehatan yang berasal dari pemerintah untuk Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dilakukan melalui penyusunan anggaran pendapatan dan belanja, baik pusat maupun daerah, sekurang-kurangnya 5% dari PDB atau 15% dari total anggaran pendapatan dan belanja setiap tahunnya. Khusus masalah pembiayaan kesehatan per kapita, Indonesia dikenal paling rendah di negara-negara ASEAN. Pada tahun 2000, pembiayaan kesehatan di Indonesia sebesar Rp. 171.511, sementara Malaysia mencapai $ 374. Dari segi capital expenditure (modal yang dikeluarkan untuk penyediaan jasa kesehatan) untuk sector kesehatan, pemerintah hanya mampu mencapai 2,2 persen dari GNP sementara Malaysia sebesar 3,8 persen dari GNP. Kondisi ini masih jauh disbanding Amerika Serikat yang mampu mencapai 15,2 persen dari GNP pada 2003 (Adisasmito, 2008). Saat ini kebijakan pembiayaan kesehatan yang berlaku di Indonesia tidak konsisten dengan UU yang mengaturnya. Disatu pihak, peraturan yang mengatur kebijakan ini yaitu UU no 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional menyatakan bahwa sistem pembiayaan kesehatan berbasis asuransi sosial, namun dalam implementasinya sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia didominasi oleh pembiayaan pemerintah dari sumber pajak. Sistem Pembiayaan kesehatan di Indonesia yang berlaku saat ini adalah Jaminan Kesehatan Nasional yang dimulai pada tahun 2014 yang secara bertahap. Tetapi untuk Jaminan Kesehatan Masyarakat atau Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesmas/Jamkesda) yang mencakup lebih dari 75 juta penduduk menggunakan sistem pajak yaitu negara membayar langsung kepada pemberi pelayanan kesehatan. Sementara itu dualisme yang berlangsung yaitu antara UU yang berlaku dan implementasinya di lapangan, membingungkan pengambilan kebijakan teknis dan berdampak pada inefesiensi , kurang tepatnya sasaran dan ketidakadilan akses dalam pelayanan kesehatan (Trisnantono, 2014).Menurut Soewondo (1998) untuk negara yang kondisi keuangannya belum baik, sistem ini sulit dilaksanakan karena memerlukan dana yang sangat besar. Terrnasuk didalarnnya anggaran Pernerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten Kota. Sumber Pembiayaan pemerintah berasal dari : (a) Pendapatan pajak secara umum, (b) Pinjaman luar negeri/deficit financing, (c) Pendapatan pajak penjualan, (d) Asuransi social. Sehingga sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia berupa: 1. Sistem Kesehatan NasionalSumber pembiayaan kesehatan di Indonesia berasal dari pemerintah dan swasta. Pembiayaan yang bersumber dari pemerintah berasal dari pajak (umum dan penjualan), deficit financial (pinjaman luar negeri) serta asuransi sosial yang kemudian menjadi dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Dana tersebut kemudian digunakan untuk pembiayaan Program Nasional Kementrian Kesehatan, dana dekonsentrasi, tugas pembantuan, bantuan operasional kesehatan, Jamkesmas dan Jampersal. Sedangkan pembiayaan yang bersumber dari swasta berasal dari individual ataupun perusahaan. Harapannya adalah masyarakat (swasta) berperan aktif secara mandiri dalam penyelenggaraan maupun manfaatnya. Contoh sumber dana ini adalah dana Corporate Social Responsibility, dana pengeluaran rumah tangga baik yang dibayarkan tunai (out of pocket) maupun melalui sistem asuransi, dana Bantuan Luar Negeri, dana Hibah dan donor dari LSM.2. Sistem Kesehatan DaerahSumber pembiayaan kesehatan di daerah berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang di distribusikan ke pemerintah daerah. Dana APBN yang di distribusikan ada yang melalui Anggaran Kemetrian / lembaga, dana perimbangan, dana otonomi khusus (Otsus) dan dana penyesuaian. Dana APBN yang melalui Anggaran Kemetrian / lembaga ditujukan untuk mendanai Program Nasional Kewenangan Bersama, seperti dana BOS, Jamkesmas, Jampersal dan PNPM. Dana perimbangan sesuai dengan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan bertujuan utuk memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah pusat, Pemerintah Daerah dan antar Pemerintah Daerah. Dana perimbangan berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU, adalah dana perimbangan dan bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Landasan hukum pelaksanaan DAU adalah UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Keuangan Daerah. Sebagai amanat UU No.33 Tahun 2004, alokasi yang dibagikan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah Pusat minimal 26 % dari total nettto penerimaan dalam negeri. Dengan ketentuan tersebut maka, bergantung pada kondisi APBN dan Fiscal Sustainability Pemerintah Indonesia, alokasi DAU dapat lebih besar dari 26 % dari total pendapatan dalam negeri netto. Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK, adalah dana perimbangan dan bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Anggaran tersebut digunakan untuk pengadaan infrastruktur kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan dalam rangka memenuhi kebutuhan obat dan perbekalan kesehatan pada pelayanan kesehatan primer. Selain dari dana APBN, sumber pembiayaan kesehatan di daerah berasal dari dana APBD. Dana APBD berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dana otonomi khusus (Otsus) dan dana penyesuaian. Seperti di DKI Jakarta, dana APBD DKI Jakarta berasal dari pendapatan asli daerah sebesar Rp 40 Triliun, dana perimbangan sebesar Rp 17,7 Triliun dana penyesuaian dan otonomi khusus sebesar Rp 2,3 Triliun. APBD yang dialokasikan untuk kesehatan sebesar 10,78% dari total jumlah pendapatan daerah (BPK DKI Jakarta, 2014).2.2 PEMBIAYAAN RUMAH SAKITDana kapitasi yang diterima oleh puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama dari BPJS Kesehatan dimanfaatkan seluruhnya untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional upaya kesehatan perorangan. Sementara pelayanan di rumah sakit selaku fasilitas kesehatan tingkat kedua dibayar dengan sistem Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs) yang merupakan sistem kodifikasi dari diagnosis akhir dan tindakan / prosedur yang menjadi out put pelayanan secara perorangan. Penggunaan dana kapitasi JKN Fasilitas Kesehatan Tingkat Kedua (FKTK) diatur dalam Permenkes Nomor 27 Tahun 2014. Dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b UU No. 44/2009, pemerintah dan pemerintah daerah juga bertanggung jawab untuk menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bagi fakir miskin, atau orang tidak mampu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. INA-DRG adalah versi Departemen Kesehatan RI untuk sistem pembiayaan berdasarkan pendekatan sistem casemix. Sistem casemix adalah suatu cara sistem pembiayaan berdasarkan pengelompokan jenis diagnosis kasus yang homogen. Secara ringkasnya sistem casemix terdiri dari 3 komponen utama yakni kodefikasi diagnosis (ICD 10) dan prosedur tindakan (ICD 9 CM), pembiayaan (costing) yang dapat berupa top-down approach, activity based costing dan atau kombinasi keduanya, serta clinical pathways (tahapan tindakan klinis). INA-DRG pertama kali dikenalkan di Indonesia pada tahun 2005 melalui SK MENKES No.1663/MENKES/SK/XII/2005 dan langsung diujicobakan pada 15 rumah sakit vertikal Kementrian Kesehatan, yang selanjutnya digunakan untuk pembiayaan pelayanan jamkesmas (jaminan kesehatan masyarakat). Sampai saat ini, INA-DRG masih digunakan untuk proses pembiayaan jamkesmas di seluruh rumah sakit, dengan dibantu software untuk proses koding penyakit, grouper dan pengajuan klaim. a. Top Down Approach, pendekatan ini memiliki ciri-ciri sedikit keterlibatan dari semua unit / staf, refleksi perspektif top menejer, kurangnya keterlibatan, komunikasi, dan komitmen dari unit / staf, masalah moral dan inefisien. b. Activity based costing atau metode ABC adalah metode dalam pengukuran cost dan hasil kerja dari suatu aktivitas, sumber daya dan sumber biaya lainnya yang digunakan. ABC sistem menunjukan hubungan kausal antara cost driver dan aktivitas (Baker 1998, dikutip dari Ratmaya 2012). Konsep dasar dari ABC Sistem adalah aktivitas mengkonsumsi sumber daya untuk meghasilkan suatu ouput. Pembiayaan sebaiknya dipisahkan dan disesuaikan dengan aktivitas yang mengkonumsi sumber daya. Secara khusus pembiayaan yang dibutuhkan untuk menghasilkan prduk individual dari suatu layanan atau dibedakan berdasarkan produk yang berbeda, layanan yang berbeda, untuk pasien yang berbeda. ABC Sistem merupakan suatu kebutuhan dalam pelayanan kesehatan dikarenakan kompetisi dalam pelayanan kesehatan, dimana produktivias dan efisiensi menjadi suatu keharusan. Penekanan pengelolaan pelayanan menghasilkan pembiayaan sesuai permintaan, khususnya sesuai dengan biaya untuk aktivitas dan hasil (outome). ABC Sistem dapat memberikan informasi untuk memaksimalkan sumber daya dan menghubungkan cost dan performance serta pengukuran outcome. Pengambil kebijakan dapat menggunakan informasi ABC sistem untuk meningkatkan efisiensi tanpa menimbulkan dampak negative pada kualitaas layanan dan dapat pula meningkatkan kualitas layanan berkelanjutan. ABC Sistem bukanlah sebagai alternative dalam sistem penghitungan pembiayaan yang dapat menggantikan pembiayaan tenaga kerja atau biaya proses produsi atau kombinasi keduanya, namun ABC Sistem adalah sebuah pendekatan untuk pengembangan dalam pembiayaan tenaga kerja atau biaya produksi ataupun keduanya. ABC Sistem memungkinkan menghitung biaya per-layanan, per-pasien, atau per-kontrak dan dapat mengalokasikan biaya dari suatu layanan pada biaya yang spesifik. c. INA-DRG (pembiayaan rumah sakit saat ini). Kelebihan dari sistem pembiayaan INA-DRG adalah dapat memberikan kepastian biaya kepada pasien, sehingga pasien mengetahui dari awal berapa biaya yang harus disiapkan. Untuk pasien yang dijamin asuransi, rumah sakit tidak perlu menyertakan seluruh berkas pelayanan dan kwitansi-kwitansi pelayanan untuk memproses klaim atau tagihan ke perusahaan asuransi. Kelebihan lain adalah rumah sakit terpacu untuk melakukan efisiensi dalam memberikan pelayanan kepada pasien dengan memberikan pelayanan yang seperlunya kepada pasien. Hal ini dikarenakan biaya untuk satu penyakit yang diderita pasien sudah ditentukan di awal, jadi semakin efisien pelayanan yang diberikan rumah sakit, semakin banyak untung yang diperoleh rumah sakit.

2.3 PERAN JKN DALAM PEMBIAYAAN DAN KAITAN DENGAN KEBIJAKAN DESENTRALISASI Undang Undang Kesehatan membagi dua jenis upaya kesehatan, pertama adalah UKP (upaya kesehatan perorangan) dan kedua UKM (upaya kesehatan masyarakat). Upaya kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga. Sedangkan upaya kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat yaitu seperti program gizi, imunisasi, kesehatan ibu dan anak, pengendalian penyakit menular, dll. Program JKN/BPJS hanya untuk membiayai UKP dan tidak membiayai UKM. Program tersebut dirancang untuk memberikan perlindungan kesehatan bagi peserta yang bersifat perorangan, baik di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) maupun di fasilitas kesehatan tingkat kedua (FKTK).Sejak lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 dan lalu dirubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 maka sistem pemerintahan Indonesia telah berubah menjadi desentralisasi, dimana 503 Kabupaten / Kota dan 34 Provinsi adalah Daerah Otonom, walaupun Daerah Provinsi juga merangkap sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. UU No. 32 Tahun 2004 juga mengatur bahwa kesehatan adalah Urusan Wajib Daerah Otonom, dimana pada urusan wajib ini peran pusat adalah sebagai regulator dengan menetapkan standar pelayanan minimal untuk urusan wajib tersebut. Pada pasal 12 ditekankan bahwa penyerahan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. Pada era desentralisasi, semua pembiayaan kesehatan (kecuali yang bersifat khusus) dipusatkan pada kepala daerah bersama sektor lain dalam bentuk DAU dan DAK. Dalam plot anggaran bersama tersebut, alokasi ke bidang kesehatan akan ditentukan oleh kepala daerah bersama DPRD disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerah (Budiarto, 2003)Pada pola desentralisasi seharusnya aktor utama Program Kesehatan adalah 503 Pemda Kabupaten / Kota dan 34 Pemda Provinsi. Peran Pemerintah Pusat berubah dari Operator menjadi Regulator dengan menetapkan standar pelayanan minimal kesehatan, dan pengaturan hak dan kewenangan urusan kesehatan pada setiap jenjang pemerintahan. Akan tetapi, pada keyataannya Kementrian Kesehatan memiliki jabatan rangkap sebagai Regulator dan Operator dari 30 Rumah Sakit milik Kementrian Kesehatan. Terlihat kecenderungan untuk menjalankankan sendiri semua program kesehatan dari pusat (sebagai operator dan bukan regulator) , tanpa keterlibatan peran Pemda Kabupaten / Kota dan Provinsi.Dampaknya substansi Program Kesehatan Nasional menjadi berbeda dengan substansi Program Kesehatan Daerah, contohnya Program Nasional sibuk dengan MDG yang mempunyai 3 (tiga) komponen kesehatan dari total 8 komponen MDG, yaitu: Turunnya Angka Kematian bayi, Turunnya angka kematian ibu, dan pengendalian penyakit menular HIV, malaria, TBC dll. Sehingga, program prioritas kesehatan yang tertulis dalam MDGs tidak terlihat pada program kesehatan di kabupaten/kota dan propinsi, dimana daerah tersebut menjadi ujung tombak pelayanan program prioritas negara. Saat ini kebijakan pembiayaan kesehatan yang berlaku di Indonesia tidak konsisten dengan UU yang mengaturnya. Disatu pihak, peraturan yang mengatur kebijakan ini yaitu UU no 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang memiliki tujuan Universal Health Coverage, menyatakan bahwa sistem pembiayaan kesehatan berbasis asuransi sosial, namun dalam implementasinya sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia didominasi oleh pembiayaan pemerintah dari sumber pajak. Sistem Pembiayaan kesehatan di Indonesia yang berlaku saat ini adalah Jaminan Kesehatan Nasional yang dimulai pada tahun 2014 yang secara bertahap. Tetapi untuk Jaminan Kesehatan Masyarakat atau Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesmas/Jamkesda) yang mencakup lebih dari 75 juta penduduk menggunakan sistem pajak yaitu negara membayar langsung kepada pemberi pelayanan kesehatan. Sehingga program prioritas kesehatan antara pusat dan pemerintah daerah tidak berjalan seirama, menyebabkan tujuan-tujuan mulia dari kesehatan seperti yang tertuang dalam Millenium Development Goals (MDGs) tidak akan tercapai di Indonesia.

BAB IIIPEMBIAYAAN KESEHATAN BAGI MASYARAKAT MISKIN

3.1 Jenis Jenis Pembiayaan Kesehatan Masyarakat Miskin di Berbagai Negaraa. Pembiayaan Kesehatan Masyarakat Miskin di Negara JermanBahwa sejak tahun 2009, semua warga negara Jerman dan long-term resident harus memiliki asuransi kesehatan. Bagi yang memiliki pendapatan per tahun < 49,500 euro, asuransi diberikan oleh Gesetzliche Krankenversicherung (GKV),GKV menjamin masyarakat per family basis dependent juga tercover sedangkan untuk pendapatan per tahun > 49,500 euro boleh memilih asuransi swasta atau tetap menggunakan GKV.Jika sudah memilih asuransi swasta, tidak boleh kembali ke GKV karena sifatnya wajib, GKV dan asuransi swasta tidak boleh menolak pendaftar. Pendanaan GKV dari gaji pengguna dengan besaran fixed 15,5 % (8,2% dari gaji pengguna asuransi, 7,3 % dari tempat dia bekerja) Yang tidak memiliki pekerjaan membayar dengan sebagian unemployment entitlement-nya atau melalui dana sosial Sozialamt. Lebih dari 90% dokter yang praktek pribadi dan semua dokter GKV harus tergabung dalam asosiasi, asosiasi ini akan mengatur penggajian dan memonitor performa dokter. Pemerintah menempatkan dokter secara merata, Dokter baru boleh praktek pribadi setelah 6 tahun bekerja di rumah sakit, tarif baik di sektor publik dan swasta diatur oleh pemerintah. Kelebihan dari pembiayaan kesehatan di negara Jerman bahwa semua warga negara mendapatkan Jaminan Kesehatan dan Adanya distribusi Tenaga Kesehatan secara merata.b. Pembiayaan Kesehatan Masyarakat Miskin di Negara PerancisMemiliki asuransi kesehatan nasional yang dijalankan oleh Pemerintah dan didanai oleh pajak, di Negara Perancis tidak mengcover semua tindakan, sehingga asuransi swasta masih banyak digunakan. Pengguna membayar saat servis, kemudian diganti oleh asuransi, tetapi persentase penggantian berbeda tergantung produk dan pelayana bahwa biaya yang tidak ter-cover asuransi nasional, disebut ticket moderateur, bisa di-reimburse jika pasien menggunakan asuransi swasta. Akhir-akhir ini dibuat aturan ada biaya yang tidak dapat diganti baik oleh asuransi nasional maupun swasta untuk meningkatkan cost-consciousness pasien Besaran pendanaan asuransi nasional 87% didapat dari pajak pendapatan, sisanya dari alokasi dana pemerintah, pajak perusahaan obat, dan pajak dosa seperti pajak tembakau dan aktivitas komersial berpolusi.Bagi masyarakat yang sangat miskin ada Couverture Maladie Universelle (CMU) yang meng-cover semua pengeluaran dan penggunanya tidak perlu membayar saat servis karena provider langsung dibayar oleh pemerintah untuk Tarif dokter yang praktek pribadi ditentukan dari hasil negosiasi antara asuransi nasional dengan perwakilan asosiasi dokter. Sejak 2004, pembayaran pelayanan di RS baik publik atau swasta menggunakan salah satu model Diagnosis Related Group. Di Perancis, tenaga medis spesialis dan Rumah sakit sulit ditemukan di area rural kekurangan sistem pembiayaan di negara perancis bahwa distribusi tenaga medis tidak merata.c. Pembiayaan Kesehatan Masyarakat Miskin di Negara AmerikaSistem yang digunakan terkait pembiayaan kesehatan di negara Amerikana adalah mixed public dan privat funding.Pada tahun 2010 Obama membuat Affordable Care Act (ACA), dan mulai membuka jalan menuju universal health care coverage. Dua program public healthcare yang dominan di AS adalah Medicare dan Medicaid yang sudah ada sejak tahun 1965. Medicare adalah Program untuk warga negara Amerika Serikat umur 65 tahun ke atas, penggunanya bebas memilih tempat berobat, penggunanya membayar dengan pajak pendapatan ketika masih bekerja, kemudian ketika berusia 65 tahun bisa mengikuti program Medicare A. Setelah berusia 65 tahun, pengguna bisa ikut program yang lebih lengkap (medicare B) dengan membayar premi bulanan. Pengguna bisa membeli paket yang lebih lengkap lagi (C & D).Medicaid adalah program yang didesain untuk masyarakat miskin dan pendapatan rendah. Berdasarkan ACA (2010), termasuk semua warga Amerika dibawah 65 tahun dengan pendapatan di bawah 133% batas kemiskinan Amerika. Program medicaid diatur oleh masing-masing negara bagian. Secara teori pengguna medicaid bisa mendapat akses pelayanan kesehatan yang sama dengan masyarakat umum, tetapi kenyataannya karena pembayaran tenaga medis yang rendah, tenaga medis enggan menerima pasien dengan Medicaid.Disamping dua program Medicare dan Medicaidmasih ada beberapa asuransi pemerintah lain yaitu TRICARE seperti medicare untuk anggota militer dan keluarga The Veterans Health Administration The Indian Health Service (IHS) the Federal Employees Health Benefits Program (FEHBP) Program healthcare lainnya: Community-based Health Centers (private, nonprofit) Asuransi swasta Employer-provides health insuranceKelebihan dari sistem pembiayaan di Amerika adanya kompetisi sedangkan kekuarangannya adalah tidak semua pembiayaan kesehatan warga negara Amerika dijamin oleh pemerintah.

3.2 Pembiayaan Masyarakat Miskin di Indonesia dan MasalahnyaMasalah kesehatan menjadi sangat vital bagi semua kalangan. Kesehatan adalah kunci hidup nomor satu. Kebanyakan penduduk Indonesia rentan terhadap kemiskinan. Hidup mereka hanya sedikit diatas garis kemiskinan nasional dan mempunyai pendapatan kurang dari US$2 per hari. Pendapatan itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup saja (makan, minum). Sehingga dengan pendapatan yang hanya sebesar itu tidak akan cukup mengcoverage kebutuhan kesehatan. Di bidang kesehatan diupayakan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara makin merata melalui peningkatan jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan. Pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk mengatasinya dari JPKM, ASKESKIN, JAMKESMAS, JAMKESDA, JAMPERSAL dan saat ini melalui JKN melalui PBI (Penerima Bantuan Iuran) maupun adanya Pengobatan gratis yang dilakukan rutin. Proporsi anggaran APBN harus bisa menjadikan pemecah masalah ini. Pembangunan sarana-prasarana yang baik sejatinya terus dilakukan dengan diimbangi dengan kesadaran sosial masyarakat akan arti pentingnya kesehatan.Dengan peningkatan mutu kesehatan, rakyat lebih mampu berperan serta secara aktif dalam pembangunan sehingga pendapatannya juga meningkat. Masalah Pembiayaan Kesehatan Keluarga MiskinUntuk memutuskan arah pengembangan pembiayaan kesehatan yang dapat memberikan perlindungan terhadap kelompok masyarakat tidak mampu tidak lepas dari berbagai hambatan, antara lain keterbatasan dana pemerintah daerah, pendataan keluarga miskin masih kurang baik, serta kesiapan sumber daya manusia (SDM) yang akan mengelola program tersebut, hambatan keterbatasan APBD kita karena konsekuensinya premi untuk keluarga miskin yang harus ditanggulangi butuh anggaran yang cukup besar, pendataan kita untuk keluarga miskin ini belum begitu akurat karena ada perbedaan antara kesehatan, BKKBN juga statistik, kriterianya masing-masing berbeda. Selain itu kebijakan tentang peraturan daerah retribusi pelayanan kesehatan yang diberlakukan belum berdasarkan biaya riil, tetapi masih merupakan tarif subsidi. Dari sisi penyuplai (supply side) jumlah, kualitas tenaga pengelola Pembiayaan Kesehatan masih kurang, tenaga pemberi pelayanan kesehatan kurang profesional dan tidak meratanya distribusi tenaga kesehatan dan dari sisi demand (masyarakat) kurangnya informasi masyarakat miskin terhadap informasi terkait pemahaman kesehatan dan pembiayaannya. Untuk itu perlu dilakukan pembenahan secara internal untuk fasilitas dan sarana kesehatan, menyiapkan SDM yang menguasai, memahami dan menguasai konsep, prinsip, serta operasional sistem pembiayaan kesehatan yang berbasis asuransi kesehatan sosial. Selain itu, perlu dilakukan sosialisasi untuk memberikan pemahaman dan motivasi kepada masyarakat tentang manfaat program asuransi kesehatan.

3.3 Kebijakan Pelayan Gratis3.4 SJSN dalam Pembiayaan Masyarakat Miskin di Indonesia Sejak 1 Januari 2014 BPJS Kesehatan terbentuk Semua pengelola jaminan kesehatan menyerahkan pengelolaannya ke BPJS Kesehatan yaitu 1. Jamkesmas 2. PT Askes 3. PT Jamsostek 4. TNI 5. POLRI 19/09/2012 42 Wamenkes RI di ForNas Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia3.5 Pembiayaan Masyarakat Miskin di Indonesia kaitannya di Rumah Sakit

BAB IV KESIMPULAN