Diskusi Kasus Farmasi-Thypus - Florantia SN G99121018
-
Upload
florantia-setya-nugroho -
Category
Documents
-
view
74 -
download
0
Embed Size (px)
description
Transcript of Diskusi Kasus Farmasi-Thypus - Florantia SN G99121018

Diskusi kasus
SEORANG PEREMPUAN 24 TAHUN DENGAN
TYPHUS ABDOMINALIS
oleh :
Florantia Setya N G 99121018
KEPANITERAAN KLINIK UPF / LABORATORIUM FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
0

2013
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Typhus abdominalis adalah suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan
oleh infeksi kuman Salmonella typhi9. Sedangkan menurut Gerald T. Keush
typhus abdominalis adalah suatu infeksi demam sistemik akut yang nyata
pada fagosit mononuclear dan membutuhakan tatanama yang terpisah6.
B. ALGORITMA
C. EPIDEMIOLOGI
Typhus abdominalis termasuk penyakit menular yang tercantum dalam
Undang-undang Nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Walaupun tercantum
dalam undang-undang wabah dan wajib dilaporkan, namun data yang lengkap
belum ada, sehingga gambaran epidemiologinya belum diketahui secara pasti.
Di Indonesia, jarang dijumpai secara epidemic, tapi lebih sering bersifat
sporadic, terpencar-pencar di suatu daerah dan jarang menimbulkan lebih dari
satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber penularan biasanya tidak dapat
ditemukan. Ada 2 sumber penularan Salmonella typhi yaitu pasien dengan
tifoid dan carrier.
1
Tujuan Pengobatan Tipus Abdominalis
Membasmi infeksi: Pemberian antibiotikKloramfenikol
Mengurangi morbiditas:Pemberian kortikosteroid, infus
Mencegah komplikasi:Menghindari obat yang iritatif bagi saluran cerna

Di daerah endemic, tranmisi terjadi melalui air yang tercemar dan
makanan yang tercemar oleh carrier yang merupakan sumber penularn yang
paling sering di daerah non endemik 5.
D. ETIOLOGI
Salmonella adalah basil gram negative, tidak berkapsul, hampir selalu
motil dengan menggunakan flagella peritrikosa, yang menimbulkan dua atau
lebih bentuk antigen H. Kuman ini meragikan glukosa, sehingga terbentuk
dasar asam dan cekungan basa pada agar beri gula tripel ( TSI ). Umumnya
menghasilkan H2S yang dapat terdeteksi sebagai produk reaksi hitam dan
berfungsi awal untuk membedakan isolate dari Shigella, yang juga
menimbulkan reaksi TSI basa / asam. Salmonella typhi penyebab utama
demam tifoid atau typhus abdominalis. Beberapa salmonella sangat mudah
beradaptasi pada manusia seperti S.typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B.
sementara sebagian besar spesies beradaptasi pada hewan dan tidak
menyebabkan kesakitan pada manusia. Yang lain menginfeksi baik manusia
dan hewan tingkat rendah, sehingga menyebabkan gastroenteritis atau yang
lebih jarang infeksi terlokalisir, atau septikemik6.
E. PATOFISIOLOGI
Kuman S. typhi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan
air tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan asam lambung. Sebagian lagi
masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque Payeri di ileum
terminalis yang hipertropi. Di tempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi
intestinal dapat terjadi. Kuman S.typhi kemudian menembus lamina propia
masuk aliran limfe mesenterial, dan mencapai kelenjar limfe mesenterial,
yang juga mengalami hipertropi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini,
S.typhi masuk aliran darah melalui ductus thoracicus. Kuman-kuman S.typhi
lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. S.typhi bersarang di
plaque Payeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain system retikuloendotelial.
Semua disangka demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid
2

disebabkan endotoksemia. Tapi kemudian berdasar penelitian eksperimental
disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam
dan gejala-gejala toksemia pada typhus abdominalis. Endotoksin S.typhi
berperan pada patogenesis, karena membantu terjadinya proses inflamasi
local pada jaringan tempat S.typhi berkembang biak. Demam pada tifoid
disebabkan karena S.typhi dan endotoksinya merangsang sintesis dan
penglepasan zat pirogen olek leucosis pada jaringan yang meradang5.
F. MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas berlangsung 10 – 14 hari. Gejala-gejala yang timbul amat
bervariasi. Selain itu, gambaran penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang
tidak terdiagnosis sampai gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi
dan kematian.
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit
infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut,
batuk, epistaksis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu badan meningkat.
Dalam minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,
bradikardia relative, lidah khas ( kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta
tremor ), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa
somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis, roseolae jarang ditemukan
pada orang Indonesia5.
G. DIAGNOSIS
Biakan darah positif memastikan typhus abdominalis, tapi biakan darah
negative tidak menyingkirkan typhus abdominalis. Biakan feces positif
menyokong diagnosis klinis typhus abdominalis5. Biakan feces ini, 75%
positif pada minggu ketiga.
Diagnosis serologis kurang dapat diandalkan dibandingkan biakan.
Sebagian besar pasien dapat mempunyai antibody terhadap antigen O, H, dan
Vi ( tes widal ). Jika tidak mendapatkan imunisasi yang baru, titer antibody
3

terhadap antigen O ( > 1/ 640 ) adalah sugestif, tapi tidak spesifik selama
salmonella serogrup. Peninggian antibody empat kali lipat pada sediaan
berpasangan adalah criteria yang baik, untuk memastikan diagnosis typhus
abdominalis selama 2 sampai 3 minggu5,6. Jadi pemeriksaan widal dinyatakan
positif apabila :
Titer O widal I 1/ 320 atau
Titer O widal II naik 4 kali atau lebih dibandingkan titer O widal I
atau
Titer O widal I ( - ) tapi titer O widal II ( + ) berapapun angkanya
Sedangkan pemeriksaan penunjang lainnya :
Darah perifer lengkap : leucopenia, limfositosis, aneosinofilia
Biakan empedu : tumbuh koloni Salmonella typhi9
H. DIAGNOSIS BANDING
Infeksi virus
Malaria3,9
I. TERAPI
1. Bed rest total, sampai 7 hari bebas panas3.
Maksudnya untuk mencegah terjadinya komplikasi yakni perdarahan
usus atau perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap,
sesuai dengan kekuatan pasien 5.
2. Diet saring TKTP rendah serat, lunak sampai 7 hari
bebas panas lalu ganti bubur kasar , dan setelah 7 hari ganti dengan nasi3.
Pemberian bubur saring bertujuan untuk menghindari komplikasi
perdarahan usus / perforasi usus, karena ada pendapat bahwa usus perlu
diistirahatkan5.
3. Medikamentosa
a. Chloramphenicol
4

Masih merupakan obat pilihan utama di Indonesia, dosis untuk orang
dewasa adalah 4 x 500mg sehari oral atau intravena, sampai 7 hari
bebas demam5.
b. Tiamfenikol ( Urfamycin )
Dosis dan efektivitas sama dengan chloramphenicol5.
c. Cotrimoxazol
( Trimetroprim dan Sulfametoksazol )
Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 480 mg sehari, digunakan
sampai 7 hari bebas demam5.
d. Amoxicillin
Dosis yang dianjurkan berkisar 75 – 150 mg / kgBB sehari,
digunakan sampai 7 hari bebas demam5.
e. Cephalospori
n generasi ketiga
Antara lain : cefoperazon, cefriaxon, dan cefotaxim efektif, tapi dosis
dan cara pemberiannya belum diketahui secara pasti5.
J. PROGNOSIS
Terapi yang cocok, terutama jika pasien perlu dirawat secara medis pada
stadium dini, sangat berhasil. Angka kematian dibawah 1%, dan hanya
sedikit penyulit yang terjadi6.
5

BAB II
ILUSTRASI KASUS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Nn. M
Umur : 24 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Karyawati
Alamat : Cepogo, Boyolali
Agama : Islam
No CM : 0221365
Tanggal Masuk : 24 Juli 2013
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Badan panas
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Sejak kurang lebih 9 hari SMRS, badan penderita panas. Panas naik turun,
dan dirasakan terutama pada malam hari, bahkan penderita sampai
menggigil. Penderita sudah mencoba minum obat penurun panas
(panadol) dan panasnya sempat turun tapi naik lagi setelah beberapa jam
minum obat. Kepala penderita juga pusing terutama saat badan panas.
Penderita mengeluhkan perutnya mual, sehingga tidak nafsu makan. Sudah
5 hari ini penderita tidak BAB. BAK tidak ada keluhan.
6

3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat mondok karena penyakit serupa ( - )
Riwayat asma ( - )
Rawayat alergi obat, makanan, udara dingin (- )
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa ( - )
Riwayat asma ( - )
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : sakit sedang, compos mentis,
gizi kesan cukup
2. Tanda Vital : T : 110 / 60 mmHg Rr : 22 x / mnt
N : 84 x / mnt S : 38,80 C
3. Mata : CA ( -/- ), SI ( -/- )
4. Telinga : pendengaran baik, NT tragus ( -/- ),
secret ( -/- )
5. Hidung : NCH ( -/- ), secret ( -/- ), epistaksis
( -/- )
6. Mulut : bibir kering ( - ), mucosa pucat (
-), lidah kotor ( + ), tepi lidah hiperemi ( + ), tremor ( + )
7. Tenggorokan : tonsil hiperemi ( -/- ), faring
hiperemi ( -/- )
8. Leher : JVP tidak meningkat
9. Thorax
Cor : I : Ictus cordis tidak tampak
P: Ictus cordis tidak kuat angkat
P: Batas jantung kesan tidak melebar
A: Bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)
Pulmo : I : Pengembangan dada kanan = kiri
P : Fremitus raba kanan = kiri
7

P : Sonor / sonor
A : Suara dasar vesikuler ( +/+ ), suara tambahan ( -/- )
10. Abdomen : I : Dinding perut sejajar
dinding dada
P : Supel, nyeri tekan ( - ), hepar dan lien tak teraba
P : Tymphani
A : Peristaltik ( + )
8

11. Ekstremitas : Oedem Akral
dingin
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Darah Rutin
Hb : 10,2 g/dl Gol darah : A
Hct : 43 % Ur : 20
AL : 4.000 / µL Cr : 0,5
AT : 150.000 / µL
Widal Test
Titer O Titer H
S. typhi 1 / 320 1 / 400
S. paratyphi 1 / 160 1 / 160
E. DIAGNOSIS
Typhus Abdominalis
F. PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa
Bed rest total sampai 7 hari bebas panas
Diet TKTP lunak, rendah serat
Kompres dengan air hangat
2. Medikamentosa
Infus RL : D5% = 1 : 1
Chloramphenicol 4 x 500mg
9

Penulisan Resep
Dr. Nugroho
Alamat : Jl. Sidomukti Utara I Pajang, Solo
Telp : 0271 633262
SIP : 33225512
R / Infus RL flab No II
Infus D5 flab No II
Cum infuse set No II
Abocath no 20 No II
Simm
R / Chloramphenicol tab mg 500 No XXX
S 4 dd tab I
Pro : Nn. M ( 24 th )
10

BAB III
PEMBAHASAN
A. Tindakan Umum
Tujuan pengobatan adalah untuk membasmi infeksi, mengurangi
morbiditas dan mencegah komplikasi 2.
Untuk membasmi infeksi dan mencegah komplikasi, maka pemberian
antibiotika yang tepat adalah hal yang terpenting dan menjadi inti
farmakoterapi terhadap Typhus abdominalis. Antibiotik diberikan secara
empiris bila bukti-bukti klinis menyokong diagnosa typhus abdominalis 2.
Untuk mengurangi morbiditas, pemberian glukokortikoid
(Dexamethasone) dapat diberikan pada pasien yang mengalami demam
toksemik yang berat 1,3. Pemberian harus dengan indikasi dan dosis yang tepat
karena dapat menyebabkan perdarahan dan perforasi usus 3. Pemberian asam
salisilat dan antipiretik lain tidak dianjurkan kaena dapat menyebabkan
perdarahan dan perforasi usus 4 disamping memang tidak banyak berguna 3.
Untuk mengurangi demam dapat dilakukan kompresw dengan air hangat3 .
B. Terapi Antibiotik
Terapi antibiotik merupakan inti dari farmakoterapi dan harus dimulai
jika bukti klinis mendukung gambaran typhus abdominalis 2.
Sejak tahun 1960, telah muncul strain S.typhii yang resisten terhadap
kloramfenicol dan pada tahun 1989, strain S. typhii Multi Drugs Resistance
(MDR) yang kebal terhadap Chloramphenicol, amoxicillin dan cotrimoxazol
muncul dan menyebar di anak benua India dan beberapa negara di Asia
Tenggara. Untuk kasus typhus MDR ini maka obat pilihan utamanya adalah
Flouoroquinolone dan Cepholosporin generasi ketiga karena kemanjuran serta
rendahnya angka kasus relaps dan carrier 2.
11

Kloramphenicol terutama digunakan pada daerah-daerah dimana strain
lokal masih sensitif 1,2. Pada kasus Typhus Abdominalis MDR pada anak,
karena penggunaan quinolone tidak dianjurkan, maka cephalosporine generasi
ke tiga menjadi pilihan utama 2.
C. Pembahasan Obat
Obat yang dipilih sebagai antibiotik pada kasus di atas adalah
Chloramphenicol, dimana obat ini bekerja dengan cara berikatan dengan
subunit ribosom 50 S bakteri dan menghambat pertumbuhan bakteri dengan
menghambat sintesa protein 2. Efektif untuk bakteri gram positif dan negatif 2,7, namun jika ada antibiotik lain yang lebih aman, dianjurkan untuk tidak
menggunakan kloramfenikol 7. Saat ini terutama digunakan untuk demam
typhoid, infeksi Salmonella yang lain, serta H. influenzae 7.
Resorpsi dari usus lengkap dan cepat, dengan BA 75-90%. Distribusi
ke jaringan rongga, dan cairan tubuh, kecuali empedu, baik sekali. Kadar
dalam LCS tinggi sekali. PP kurang dari 50%, plasma-t ½-nya rata-rata 3 jam.
Dalam hati, 90% dirombak menjadi glukoronid inaktif 8. Ekskresi melalui
ginjal dalam bentuk inaktif dan hanya 10% dalam bentuk utuh 7.
Perbaikan klinis tampak pada hari kedua dan panas mulai turun pada
hari ke 3-5 2,4. Diberikan secara peroral kecuali pasien mengeluh mual atau
diare, dimana dapat diberikan per IV. Pemberian per IM haruslah dihindari
karena menyebabkan penurunan panas yang lambat serta kadar obat dalam
darah kurang memuaskan2.
Efek samping lain yang umum terjadi adalah gangguan lambung usus,
neuropati optis dan perifer, radang lidah dan mulut 8. Efek samping yang lebih
berat yaitu reaksi hematologik berupa depresi sumsum tulang yang reversibel
dan anemia aplastik yang irreversibel 8. Angka kejadian reaksi hematologik ini
adalah 1: 24.000-50.000 7.
Interaksi dengan obat lain :
1. Barbiturat : dapat menyebabkan peningkatan kadar serum barbiturat
sedang kadar serum kloramfenikol menurun sehingga mengakibatkan
12

toksisitas 2 di samping itu juga memperpendek waktu paruh kloramfenikol 8.
2. Sulfonil urea : hipoglikemia.
3. Rifampisin : kadar serum kloramfenikol turun.
4. Antikoagulan : peningkatan efek dari antikoagulan.
5. Hydantoin : meningkatkan kadar serum hydantoin.
Penggunaan pada ibu hamil (terutama pada trimester III (aterm atau
dalam persalinan)) dan menyusui tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan
sindrom “Grey Baby” 8. Sedang untuk ibu hamil Trimester I dan II dapat
diberikan 3. “Grey Baby Syndrome” juga dapat terjadi pada pemberian
kloramfenikol pada bayi prematur yang mendapat dosis tinggi. Dosis
maksimal untuk bayi kurang dari 1 bulan adalah 25 mg/kgBB/hari 7.
D. Alasan pemilihan Kloramfenikol untuk kasus ini
1. Diharapkan adanya perbaikan keadaan klinis yang lebih cepat
dibandingkan jika diberikan antibiotik lain (Amoxicillin, Amphicillin,
Kotrimoxazol).
2. Harga lebih murah dibanding golongan Quinolon dan Cephalosporin
generasi ketiga.
3. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan adanya tanda kerusakan hepar.
4. Dapat diberikan peroral.
5. Masih merupakan obat pilihan utama untuk typhus abdominalis di
Indonesia.
Pada pasien ini harus dilakukan pemantauan darah rutin (Hb, HCt, AL,
AT). Jika terdapat penurunan dapat diganti dengan obat antibiotik lain.
E. Antibiotika alternatif untuk kasus ini
1. Thiamphenicol
Kelebihan Angka Carrier lebih sedikit pada bakteri yang benar-
benar sensitif
Kekurangan Perbaikan klinis lebih lambat
13

Kasus relaps lebih banyak.
2. Golongan Penicillin
Nama obat
Amoxicillin– Mempengaruhi sintesis dinding sel
mucopeptides selama multiplikasi aktif,menghasilkan
aktivitas bakterisidal pada bakteri yang sensitif. Kurang
efektif dibandingkan dengan Chloramphenicoldalam
menurunkan panas dan kasus relaps. Angka Carrier
lebih sedikit dibandingkan antibiotik lain pada bakteri
yang benar- benar sensitif. Biasanya diberikan per oral
dengan dosis harian 75-100 mg/kgBB untuk 14 hari.
Dosis dewasa 1 g PO per 8 jam
Dosis anak20-50 mg/kg/hari PO dibagi setiap 8 jam selama 14
hari.
Kontra indikasi Riwayat hipersensitivitas terhadap golongan penicillin
Interaksi obat Mengurangi kemanjuran kontrasepsi oral
PerhatianPenyesuaian dosisi pada pasien dengan kerusakan
ginjal; dapat meningkatkan kemungkinan candidiasis
Kelebihan Angka Carrier lebih sedikit pada bakteri yang benar-
benar sensitif
Kekurangan Perbaikan klinis lebih lambat
Kasus relaps lebih banyak.
14

3. Cotrimoxazol
Nama obat
Trimethoprim and sulfamethoxazole– Menghambat
pertumbuhan bakteri dengan menghambat sintesis dari
asam dihidrofolik. Aktivitas antibakteri dari TMP –
SMZ meliputi bakteri patogen saluran kemih kecuali
Pseudomonas aeruginosa. Sama efektif seperti
chloramphenicol dalam penurunan panas dan
pencegahan relaps. Trimethoprim sendiri juga efektif
pada kelompok kecil pasien.
Dosis Dewasa
6.5-10 mg/kgBB/hari PO bid/tid; dapat diberikan per
IV bila diperlukan; 160 mg TMP/800 mg SMZ PO
setiap 12 jam selama 12-14 hari.
Dosis anak
<2 bulan: pemberian tidak dianjurkan
>2 bulan: 15-20 mg/kgBB/hari, berdasarkan pada TMP,
PO tid/qid untuk 14 hari
Kontraindikasi
Pasien dengan riwayat hipersensitif terhadap obat ini;
anemia megaloblastik pada pasien dengan defisiensi
folat.
Interaksi Obat
Dapat meningkatkan Prothrombin Time ada pemberian
bersama dengan heparin (lakukan tes koagulasi dan
penyesuaian dosis bila diberikan bersamaan);pemberian
dengan dapsone dapat meningkatkan kadar serum
kedua obat; pemberian bersama dengan diuretik
meningkatkan insiden trombositopenia purpura pada
pasien geriatri; kadar serum phenytoin dapat meningkat
pada pemberian bersama; dapat mempotensiasi efek
dari methotrexate pada depresi sumsum tulang;
respon hipoglikemik terhadap sulfonylureas dapat
meningkat pada pemberian secara bersamaan; dapat
meningkatkan kadar zidovudine.
15

Perhatian
Hentikan pada timbulnya rash kulit pertama kali atau
tanda reaksi adverse: lakukan kotrol keadaan darah
dengan pemeriksaan Hitung Datrah lengkap secara
rutin, hentikan terapi jika timbul perubahan
hematologis yang signifikan; goiter, diuresis, and
hipoglikemia dapat terjadi pada terapi dengan
sulfonamides; pemberian per IvV yang berkepanjangan
atau dosis yang tinggi dapat menyebabkan depresi
sumsum tulang (jika tanda- tanda muncul berikan
leucovorin 5-15 mg/hari); perhatian pada defisiensi
folat (contoh pada pasien alkoholisme, geriatri, pasien
yang mendapat terapi antikonvulsan, atau pada pasien
dengan sindroma malabsorbsi); hemoloisis dapat terjadi
pada pasien dengan defisiensi G-6-PD; pasien dengan
AIDS dapat tidak toleran atau merespon pemberian
TMP-SMZ; perhatian pada pasien dengan kerusakan
ginjal atau hepar (lakukan urinanalysis dan tes fungsi
renal selama terapi); pemberian cairan untuk mencegah
terbentuknya kristaluria dan batu saluran kemih.
Kelebihan
Dapat digunakan pada pasien yang alergi terhadap
Chloraphenicol, Thiamphenicol, dan golongan
Penicillin
Kekurangan Perbaikan klinis lebih lambat
4. Golongan Quinolone (Flouroquinolone)
Nama obat Ciprofloxacin -- Fluoroquinolone dengan aktivitas
terhadap pseudomonas, streptococci, MRSA,
Staphylococcus epidermidis, dan kebanyakan
organisme gram negatif tapi tidak efektif untuk kuman
anaerobe. Menghambat sintesa DNA bakteri dan juga
16

pertumbuhannya. Terapi dilanjutkan setelah tanda dan
gejala hilang selama sekurantg- kurangnya 2 hari
(biasanya 7-14 hari). Terbukti sangat efektif untuk
demem typhoid dan para typhoid. Panas turun pada hari
ke 3- 5, dan angka kejadian relaps dan carrier jarang.
Quinolone lain (seperti Ofloxacin, norfloxacin,
pefloxacin) biasanya juga efekti. Jika pasien meneluh
mual atau mengalami diare dapat diberikan per IV.
Fluoroquinolone sangat efektif terhadap strain yang
multiresistendan mempunyai aktivitas antibakteri
intraselluler.
Tidak dianjurkan diberikan pada anak dan wanita hamil
karena potensial untuk menyebabkan kerusakan
kartilago pada percobaan terhadap hewan. Tetapi
arthropati tidak dilaporkan pada penggunaan asam
nalidiksat (quinolon awal yang dikenal menyebabkan
kerusakan sendi yang sama pada hewan muda) pada
anak atau pada anak dengan fibrosis kistik yang
memerlukan pengobatan dosis tinggi.
Dosis Dewasa 20-30 mg/kgBB/hari bid untuk 14 hari, tapi jangka
pengobatan yang lebih pendek dapat adekuat; 250-500
mg PO bid untuk 7-14 hari.
Dosis anak <18 tahun: pemberian tidak dianjurkan
>18 tahun: dosis sama dengan dewasa
Kontraindikasi Pasien dengan riwayat hipersensitivitas
Interaksi Obat Antasid, garam besi dan seng dapat menurunkan kadar
serum; pemberian antasid 2-4 jam sebelum atau
sesudah meminum flouruquinolone; cimetidine dapat
mempengaruhi metabolisme dari fluoroquinolone;
mengurangi efek terapi dari phenytoin; pemberian
17

bersama dengan probenesid dapat meningkatkan
konsentrasi serum; dapat mengingkatkan toksisitas dari
theophylline, caffeine, cyclosporine dan digoxine
(monitor kadar digoxine pada pemberian bersama);
dapat meningkatkan efek dari koagulan (monitor PT)
Perhatian Pada terapi yang jangka panjang lakukan evaluasi
periodik terhadam fungsi sistem organ(seperti ginjal,
hepar, dan hematopoetik); sesuaikan dosisi pada
kerusakan fungsi renal; superinfeksi dapat terjadi pada
terapi antibiotik yang berulang atau jangka panjang.
Kelebihan Angka relaps dan carier lebih sedikit
Perbaikan klinis lebih cepat
Obat pilihan untuk kasus Typus abdominalis MDR
Kekurangan Tidak dapat diberikan untuk anak usia dibawah 18
tahun
Harga lebih mahal
5. Golongan Cephalosporine generasi ketiga
Nama obat Cefotaxime (Claforan) – menghentikan sintesis dinding
bakteri, yang akan menghambat pertumbuhan bakteri.
Merupakan cephalosporine dengan spektrum gram
negatif. Kemanjuran terhadap bakteri gram positif
kurang. Sangat baik terhadap S typhi In vitro dan
salmonella lain dan kemanjuran untuk demam typhoid
telah diterima. Hanya tersedia sediaan untuk injeksi per
IV. Saat ini kemunculan infeksi Salmonella domestik
yang resisten terhadap ceftriaxone telah ditemukan.
Dosis Dewasa 2 g IV setiap 6 jam
Dosis anak 200 mg/kgBB/hari pada dosis terbagi selama 14 hari
bayi dan anak- anak: 50-180 mg/kgBB/hari IV/IM dosis
18

terbagisetiap 4- 6 jam
>12 tahun: dosis sama dengan dewasa
Kontraindikasi Pasien dengan riwayat hipersensitivitas
Interaksi Obat Probenecid dapat meningkatkan kadar; pemberian
bersama dengan furosemide dan aminoglykoside dapat
meningkatkan toksisitas terhadap ginjal.
Perhatian Sesuaikan dosis pada pasien dengan gagal ginjal;
berhubungan dengan colitis yang parah.
Nama obat Ceftriaxone -- Cephalosporin generasi ketiga dengan
aktivitas spektrum luas terhadap gram negatif dan gram
positif; aktivitas invitro sangat baik terhadap S typhi
dan salmonella yang lain.
Dosis Dewasa 1-2 g IV setiap 12 jam
Dosis anak
>7 hari: 25-50 mg/kgBB/hari IV/IM; tidak melebihi
125 mg/hari
Bayi dan anak: 50-75 mg/kgBB/hari IV/IM terbagi
setiap 12 jam; tidak melebihi 2g/ hari
Kontraindikasi Pasien dengan riwayat hipersensitivitas
Interaksi Obat Probenecid dapat meningkatkan kadar; pemberian
bersama dengan ethacrynic acid, furosemide, and
aminoglycoside dapat meningkatkan toksisitas terhadap
ginjal.
Perhatian Sesuaikan dosis pada pasien dengan gagal ginjal;
pseudobiliary lithiasis; diare non–Clostridium difficile ;
ibu menyusui.
Nama obat Cefoperazone -- Cephalosporin generasi ketiga dengan
spektrum gram-negatif. Kurang efektif terhadap
organisme gram positif.
Dosis Dewasa 2-4 g/hari dibagi 2 kali sehari; tidak melebihi 12 g/hari
19

Dosis anak Belum dipastikan, disarankan 100-150 mg/kgBB/hari
dosis terbagi setiap8- 12 jam; tidak melebihi 12 g/hari
Kontraindikasi Pasien dengan riwayat hipersensitivitas
Interaksi Obat Probenecid dapat meningkatkan kadar; pemberian
bersama dengan furosemide dan aminoglykoside dapat
meningkatkan toksisitas terhadap ginjal.
Perhatian Sesuaikan dosis pada pasien dengan gagal ginjal;
berhubungan dengan colitis yang parah.
Kelebihan Obat pilihan untuk kasus Typus abdominals MDR
Angka carrier dan relaps rendah
Perbaikan klinis lebih cepat
Kekurangan Tidak tersedia dalam sediaan oral
Harga lebih mahal
F. Infus Ringer Lactate: Dextose 5%
Pemberian infus pada kasus ini bertujuan untuk mencegah
dehidrasi, sebagai tambahan nutrisi dan mencegah asidosis.
BAB IV
KESIMPULAN
20

Typhus abdominalis merupakan infeksi akut usus halus oleh Salmonellae
typhii dan mudah menular. Adapun penularannya melalui pasien dengan typhoid
dan carier. Manifestasi klinis bervariasi dari yang ringan sampai dapat
menimbulkan kematian. Diagnosa pasti ditegakkan dengan biakan empedu yang
ditandai dengan tumbuhnya koloni Salmonellae typhii.
Pada kasus diatas diberikan terapi non medikamentosa dan medikamentosa
yang meliputi:
1. Bedrest total untuk mencegah
komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus.
2. Diet saring TKTP rendah
serat dan lunak untuk mengistirahatkan usus
3. Pemberian antibiotik untuk
menghilangkan infeksi, mengurangi morbiditas dan mencegah
komplikasi.
4. Pemberian infus RL dan D5%
untuk mencegah dehidrasi dan nutrisi.
Pasien Typhus abdominalis harus segera ditangani karena jika tidak ,
endotoksin kuman akan meluas dan menyebabkan komlikasi bahkan kematian,
sehingga penderita perlu dirawat. Dengan penanganan yang cepat maka reiko
terjadinya komplikasi dan kematian dapat diminimalkan.
21

DAFTAR PUSTAKA
1. Butterton, JR., Calderwood, SB., Acute Infectious Diarrheal Disease
and Bacterial Food Poisoning. In Harrison Principles of Internal
Medicine 15-Ed, McGraw- Hill, 2002: 83
2. Corales, R., Typhoid Fever , www.emedicine.com, 2004
3. Hermawan, AG. Bed Side Teaching Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
ke-2. Yayasan Kesuma Islam Kedokteran. Surakarta. 1999
4. Hermawan, AG., Sumandjar, T., Penanganan penderita Demam
Tifoid Dewasa Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Dalam: Protap
IPD-FK UNS RSUD Dr. Moewardi, SMF Ilmu Penyakit Dalam FK
UNS- RSUD Dr. Moewardi Surakarta. 2004 : 115-116
5. Juwono, R. Demam Tifoid. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 1999 : 435-
441
6. Keusch, GT. Salmonellosis. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : EGC. 1999 : 755-758
7. Setiabudy, I., Kunadi, R., Antimikroba. Dalam Farmakologi dan
Terapi Edisi Ke-4, Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 1995 : 651- 653
8. Tjay, TH., Rahardja, K., Obat- Obat Penting: Khasiat,
Penggunaan , dan Efek- Efek Sampingnya Edisi ke- 5. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo. 2001: 64-82
9. Zulkarnain, I., Nelwan, RHH., Pohan, GT., Demam Tifoid.
Dalam : Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta : Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2001 : 256-259
22