Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

67
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Penyakit infeksi tropis merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di negara tropis maupun subtropis, terutama negara-negara dengan higiene dan sanitasi yang kurang baik. Penyakit infeksi tropis adalah penyakit menular yang mempunyai angka prevalensi dan mortalitas yang tinggi, serta menjadi beban kesehatan yang tidak kunjung selesai (WHO, 2015). Salah satu penyakit infeksi yang menyerang sebagian besar penduduk Indonesia adalah diare. Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena morbiditas dan mortalitas-nya yang masih tinggi. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas ) tahun 2007 menunjukkan prevalensi nasional adalah 9%.Berdasarkan pola penyebab kematian semua umur, diare merupakan penyebab kematian peringkat ke-13 dengan proporsi 3,5%. Sedangkan berdasarkan penyakit menular, diare merupakan penyebab kematian peringkat ke-3 setelah TB dan pneumonia. Diare terjadi akibat infeksi pada saluran pencernaan yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, dan parasit (Depkes, 2011). WHO membagi diare menjadi tiga kelompok yaitu diare cair akut, diare berdarah (disentri) dan diare 1

description

laporan Farmasi amebiasis

Transcript of Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

Page 1: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Penyakit infeksi tropis merupakan salah satu masalah kesehatan yang

penting di negara tropis maupun subtropis, terutama negara-negara dengan

higiene dan sanitasi yang kurang baik. Penyakit infeksi tropis adalah penyakit

menular yang mempunyai angka prevalensi dan mortalitas yang tinggi, serta

menjadi beban kesehatan yang tidak kunjung selesai (WHO, 2015).

Salah satu penyakit infeksi yang menyerang sebagian besar penduduk

Indonesia adalah diare. Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan

masyarakat karena morbiditas dan mortalitas-nya yang masih tinggi. Hasil Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas ) tahun 2007 menunjukkan prevalensi nasional

adalah 9%.Berdasarkan pola penyebab kematian semua umur, diare merupakan

penyebab kematian peringkat ke-13 dengan proporsi 3,5%. Sedangkan

berdasarkan penyakit menular, diare merupakan penyebab kematian peringkat ke-

3 setelah TB dan pneumonia. Diare terjadi akibat infeksi pada saluran pencernaan

yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, dan parasit (Depkes, 2011).

WHO membagi diare menjadi tiga kelompok yaitu diare cair akut, diare

berdarah (disentri) dan diare persisten. Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu

dys (gangguan) dan enteron (usus) yang berarti radang usus yang ditandai dengan

sakit perut dan buang air besar yang encer secara terus menerus (diare) yang dapat

bercampur lendir maupun darah. Diare berdarah dapat disebbakan disentri basiler

(Shigella) dan amuba, enterokolitis (misalnya cows milk allergy), trichuriasis,

EIEC, dan virus. Penyebab yang paling sering mengakibatkan tingginya angka

kesakitan dan kematian adalah disentri basiler (Tjokroprawiro dan Askandar,

2007; Navianti dan Sinuhaji, 2005).

Disentri merupakan tipe diare yang berbahaya dan seringkali

menyebabkan kematian dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain. Penyakit

ini dapat disebabkan oleh bakteri (disentri basiler) dan amoeba (disentri amoeba).

1

Page 2: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

Penyakit ini tersebar hampir di seluruh dunia terutama di negara berkembang

yang berada di daerah tropis. Hal ini disebabkan karena faktor kepadatan

penduduk, higiene individu yang buruk, sanitasi lingkungan hidup yang kurang

baik, serta kondisi sosial kultural yang kurang menunjang. Amebiasis menjadi

penyakit yang mendapat perhatian dari WHO karena merupakan satu dari tiga

penyebab kematian tersering infeksi parasit. Pada tahun 2010, WHO mencatat

bahwa terdapat 50 juta kasus Amebiasis, dimana 100.000-nya meninggal

(Redaelli et al., 2011). Sedangkan untuk Indonesia sendiri, insidensi Amebiasis

bisa dikatakan cukup tinggi dengan angka 10-18%. Mortatlitas Amebiasis juga

cukup tinggi di Indonesia yaitu 1,9 – 9,1%, peringkat kedua setelah malaria

(Andayasari, 2011).

Berdasarkan data ini, penulis tertarik untuk membahas penatalaksanaan

Amebiasis, terutama dari segi farmakoterapi. Diharapkan dengan tata laksana

yang baik, angka insidensi dan mortalitas Amebiasis menurun.

2

Page 3: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau

setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya

lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi,

yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer

tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah.

Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung

kurang dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari

14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab diare

yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan Virus,

Bakteri, dan Parasit.

Diare akut dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain : infeksi (bakteri,

virus, parasit), keracunan makanan, efek obat dan lain-lain. Menurut World

Gastroenterology Organization, etiologi diare akut dibagi atas empat penyebab :

bakteri, virus, parasit dan non infeksi. Etiologi diare ini dapat masuk ke dalam

tubuh melalui 2 jalur yaitu enteral dan parenteral.

1. Enteral

Bakteri : Shigella sp, E.coli patogen, Salmonella sp, Vibrio cholera,

Yersinia enterocolytica, Campylobacter jejuni, Staphilococcus aureus,

streptcoccus, Klebsiella, Pseudomonas, Aeromonas, Proteus dll.

Virus : Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus, cytomegalovirus

(CMV), echovirus.

Parasit : -protozoa : Entamoeba hystolitica, Giardia lamblia,

Balantidium coli.

Worm : Ascaris lumbricoides, cacing tambang, Trichuris trichuria

Fungus : kandida/moniliasis

3

Page 4: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

2. Parenteral :

Intoksikasi makanan : makanan beracun atau mengandung logam

berat, makanan yang mengandung bakteri/toksin : Clostridium

perfringens, B. Cereus, S.aureus.

Alergi : susu sapi, makanan tertentu

Malabsorbsi/maldigesti : karbohidrat : monosakarida (galaktosa,

glukosa, laktosa), diskarida, lemak, protein intolerance, vitamin dan

mineral.

A. Definisi

Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan enteron

(usus) yang berarti radang usus. Disentri basiler / shigellosis merupakan suatu

infeksi akut yang mengakibatkan radang pada kolon, yang disebabkan kuman

genus Shigella, yang ditandai gejala diare, adanya lendir dan darah dalam

tinja, nyeri perut serta tenesmus (Tjokroprawiro dan Askandar, 2007).

B. Epidemiologi

Berdasarkan statistik internasional, sekitar 50 juta kasus Amebiasis

terjadi setiap tahunnya, dengan 100.000 orang meninggal (Redaelli et al.,

2011). Hal ini menunjukkan fenomena gunung es karena hanya 10-20% yang

menunjukkan gejala klinis (Valenzuela et al., 2007; van Hal et al., 2007;

Ximenez et al., 2009). Insidensi Amebiasis tertinggi terdapat di negara-negara

berkembang (Stauffer et al., 2006).

Amebiasis usus yang simptomatik terjadi pada seluruh kelompok

umur. Sedangkan untuk abses hati sendiri 10 kali lebih sering terjadi pada

dewasa dibandingkan dengan anak-anak. Anak kecil kemungkinan juga

memiliki faktor predisposisi terjadinya kolitis fulminan (Dhawan, 2015).

Kolitis amebik menyerang secara sama, baik laki-laki maupun

perempuan (Stanley, 2003). Namun, Amebiasis invasif lebih sering terjadi

pada laki-laki dewasa dibandingkan wanita (7-12 kali), pada kisaran umur 18-

4

Page 5: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

50 tahun. Untuk Amebiasis asimptomatik juga terjadi secara sama, baik laki-

laki maupun perempuan (Acuna-Soto at al., 2000).

Sedangkan untuk Indonesia sendiri, insidensi Amebiasis bisa

dikatakan cukup tinggi dengan angka 10-18%. Mortatlitas Amebiasis juga

cukup tinggi di Indonesia yaitu 1,9 – 9,1%, peringkat kedua setelah malaria

(Andayasari, 2011). Di Indonesia laporan mengenai abses hati menunjukkan

insidensi yang cukup tinggi. Penularan dapat terjadi melalui beberapa cara,

misalnya pencemaran air minum, pupuk kotoran manusia, juru masak, vektor

lalat dan kecoa, serta kontak langsung seksual oral-anal pada homoseksual.

Penyakit ini cenderung endemik, jarang menimbulkan epidemi. Epidemi

sering tejadi lewat air minum yang tercemar (Soewondo, 2010).

C. Etiologi

E.histolytica adalah protozoa usus yang sering hidup sebagai

mikroorganisme komensal di usus besar manusia. Apabila keadaan

mengizinkan, protozoa ini bisa berubah menjadi patogen dengan membentuk

koloni di dinding usus dan menembus dinding usus sehingga terbentuk

ulserasi. Siklus hidup amoeba ada 2 bentuk, yaitu stadium tropozoit

(komensal <10mm, patogen >10mm) dan stadium kista (Soewondo, 2010).

Tropozoit komensal dapat dijumpai di lumen usus tanpa menyebabkan

gejala penyakit. Apabila menimbulkan diare, maka tropozoit akan keluar

bersama tinja. Pada pemeriksaan tinja dengan mikroskop, tropozit tampak

bergerak aktif dengan pseudopodianya dan dibatasi oleh ektoplasma yang

tampak terang seperti kaca. Bagian endoplasma berbentuk butir-butir kecil

dan sebuah inti di dalamnya. Sementara tropozit patogen dapat menyebabkan

disentri. Diameternya lebih besar daripasa tropozoit komensal (lebih dari

50mm) dan mengandung eritrosit di dalamnya karena tropozit patogen

menelan eritrosit (hematophagous thropozoite). Bentuk tropozoit itu

bertanggung jawab terhadap timbulnya gejala penyakit. Namun akan cepat

mati bila berada di luar tubuh (Soewondo, 2010).

5

Page 6: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

Bentuk kista ada dua macam yaitu kista muda dan kista dewasa. Kista

muda terdiri dari satu gelembung glikogen dan badan-badan kromatid

berbentuk batang dengan ujung tumpul. Kista dewasa memiliki empat inti.

Kista ini hanya terbentuk dan dijumpai di dalam lumen usus, kista tidak dapat

terbentuk di luar tubuh dan tidak dapat dijumpai di dalam dinding usus atau

di jaringan tubuh di luar usus (Soewondo, 2010).

Kista bertanggung jawab terhadap penularan penyakit, dapat hdiup

lama di luar tubuh manusia, tahan terhadap asam lambung, dan akdar klor

standar dalam air minum. Diduga faktor lekeringan akibat penyerapan air di

usus besar, menyebabkan tropozit berubah menjadi kista (Soewondo, 2010).

Dengan teknik elektroforesis, enzim yang dikandung tropozoit dapat

diketahui. Pola enzim dapat menunjukkan patogenesis amoeba (zymodeme).

Amoeba di dalam tubuh pasien yang memiliki gejala invasif menunjukkan

adanya pola enzim zymodeme (Soewondo, 2010).

Semua tropozoit dan kista E.histolytica memiliki morfologi yang

identik, tetapi secara klinis spektrum penyakitnya yang luas ditentukan oleh

virulensi strain yang menginfeksinya. Isolat E.histolytica dari pasien

Amebiasis invasif memiliki isoenzim yang unik, antigen penanda DNA, dan

sifat virulensi (termasuk produksi proteinase ekstraseluler dan resistensi

terhadap lisis yang diperantarai oleh komplemen) (Reed, 2012).

Imunitas terhadap amoeba sampai saat ini belum diketahui

peranannya. Tetapi ada bukti yang peran imunitas terhadap infeksi amoeba.

Pada pasien dengan tindakan yang menurunkan imunitas, seperti radioterapi,

splenektomi, obat-obat imunosupresif, dan penggunaan steroid, dapat terjadi

ulkus amoeba berulang. Berdasarkan penyelidikan pada manusia dan hewan,

dapat dibuktikan bahw E.histolytica dapat memicu sistem imun humoral dan

seluler. Secara in vivo, imunitas humoral dapat membunuh amoeba, tetapi

secara in vitro tidak dapat. Belum diketahui pasti penyebabnya, tetapi

mungkin dikarenakan imunitas tidak terbentuk sempurna. Imunitas yang

terbentuk hanya dapat mengurangi beratnya gejala, tetapi tidak dapat

mencegah terjadinya penyakit. Diduga imunitas seluler berperan lebih besar

6

Page 7: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

dibandingkan imunitas humoral. Antibodi di dalam serum, terutama IgG,

terutama berperan dalam uji serologis (Soewondo, 2010).

E histolytica ditransmisikan umumnya melalui rute fekal-oral. Kista

infektif bisa ditemukan pada minuman dan makanan yang terkontaminasi

secara fekal atau melalui tangan penyaji makanan yang terkontaminasi.

Transmisi seksual, secara oral-anal, juga memungkinkan terjadinya

penyebaran penyakit. Nutrisi yang buruk juga meningkatkan faktor risiko

tertular Amebiasis (Soewondo, 2010).

D. Patogenesis

Gambar 2.1 Kista E. Histolytica Gambar 2.2 Tropozoit E.histolytica

(Dhawan, 2015) (Dhawan, 2015)

Baik kista maupun tropozoit ditemukan dalam lumen intestinal,

namun hanya bentuk tropozoit yang menginvasi jaringan. Tropozoit yang

mula-mula hidup sebgaai komensal, dapat berubah menjadi patogen. Sebelum

tropozoit melekat pada epitel interglandularis melalui lektin permukaan

(GAL/GaINAc), terjadi deplesi mukus, inflamasi yang difus, dan disrupsi

sawar epitel di mukosa kolon. Lesi intestinal yang paling awal terjadi adalah

mikroulserasi mukosa sekum, kolon, sigmoid, atau rektum yang melepaskan

sel eritrosit, sel radang, dan sel epitel. Perluasan lesi ke lapisan submukosa

menyebabkan gambaran ulkus klasik yaitu “berbentuk botol labu” yang

mengandung tropozoit pada bagian tepi jaringan yang mati dan masih viabel.

Infeksi pada usus manusia ditandai oleh sedikitnya sel radang yang sebagian

7

Page 8: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

mungkin disebabkan karena terbunuhnya neutrofil oleh tropozoit. Ulkus yang

diobati secara khas akan mengalami kesembuhan dengan sedikit atau tanpa

jaringan parut. Namun demikian, nekrosis yang mengenai seluruh tebal usus

dan perforasi kadang-kadang terjadi (Soewondo, 2010; Reed, 2012).

Kadang infeksi intestinal menyebabkan pembentukan suatu lesi yang

berupa massa atau amoeboma di dalam lumen usus. Mukosa yang berada si

atas lesi tersebut biasanya lebih tipis atau mengalami ulserasi, sementara

lapisan dinding usus yang lain akan menebal, edema serta hemoragik,

sehingga terjadi pembentukan jarungan granulasi yang berlebihan dengan

respon jaringan ikat fibrous yang sedikit (Reed, 2012).

Jalur litik dan apoptosis kedua-duanya berperan dalam patofisiologi

Amebiasis. Sitolisis diperantarai oleh amebapores, peptida yang mampu

membuat pori pada lapisan lipid bilayer. Efek sitolitik yang ditimbulkan oleh

amoeba ini memerlukan kontak langsung dengan sel target dan berkaitan

dengan pelepasan fosfolipase A. Amebapores dalam konsentrasi sublitik juga

dapat memicu terjadinya apopotosis (Stanley, 2003; Reed, 2012). Sejumlah

faktor virulensi berhubungan dengan kemampuan amoeba untuk menginvasi

lewat epitel interglandularis. Salah satunya adalah proteinase ekstraseluler

yang mampu menguraikan jaringan kolagen, elastin, dan komponen matriks

ekstraseluler.Sistein proteinase juga berperan dalam proses invasi dan

inflamasi di dalam usus, dengan meningkatkan inflamasi yang dieprantari

oleh IL-1 (menyamar menjadi enzim yang mengkonversi IL-1). Kemudian

sistein proteinase juga dapat menonaktfikan anafilatoxin komplemen C3a dan

C5a, IgA, dan IgG. Enzim lainnya dapat memutuskan ikatan glikoprotein

antara sel epitel mukosa di dalam usus. Amoeba dapat mengancurkan sel

neutrofil, monosit, limfosit, dan turunan sel kolon atau hati. Lisisnya sel

neutrofil dapat menyebabkan terjadinya nekrosis (Reed, 2012).

Ulkus yang terjadi dapat menimbulkan perdarahan di semua bagian

usus besar. Dari ulkus di dalam dinding usus besar dapat mengadakan

“metastasis” ke hati lewat cabang vena porta dan dapat menimbulkan abses

hati (Soewondo, 2010). Isolat yang patogen ini bersifat resisten terhadap

8

Page 9: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

proses lisis oleh komplemen, yaitu sifat yang sangat menentukan

kelangsungan hidup amoeba di dalam darah. Apabila hal ini terus terjadi,

selain menuju ke hati, embolisasi dapat mencapai jaringan paru, otak, dan

limpa, sheingga menimbulkan abses di sana. Sedangkan untuk strain

nonpatogen, dengan cepat akan dihancurkan oleh komplemen dan dengan

demikian hanya terbatas dalam lumen usus saja (Reed, 2012).

Infeksi klinis tidak menimbulkan imunitas pada kolonisasi rekuren

oleh E.histolytica. Namun, serangan kolitis atau abses hati yang berulang

jarang didapat. Antibodi tidak protektif, titer antibodi lebih berhubungan

dengan lamanya sakit dibandingkan dengan beratnya penyakit (Reed, 2012).

9

Page 10: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

Gambar 2.3 Siklus hidup E.histolytica (CDC, 2013)

E. Klasifikasi dan manifestasi klinis

Masa tunas dari beberapa jam hingga 3 hari, jarang lebih dari 3 hari.

Mulai gejala awal sampai timbulnya gejala khas biasanya cepat. Gejala yang

khas adalah defekasi sedikit-sedikit, terus menerus, sakit perut kolik,

tenesmus, muntah-muntah. Suhu badan tinggi, sakit kepala, nadi cepat. Sakit

perut dirasakan di sebelah kiri. Tinja biasanya encer, berlendir, warna

kemerah-merahan atau lendir bening, dan berdarah. Pada pemeriksaan

mikroskopis tinja dijumpai sel darah putih, sel darah merah, sel makrofag, sel-

10

Page 11: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

sel pus, kadang-kadang dijumpai Entamoeba coli. Pemeriksaan fisik pada saat

ini menunjukkan kembung perut dan nyeri, suara usus hiperaktif, dan nyeri

rektum pada pemeriksaan (Tjokroprawiro dan Askandar, 2007; Sya’roni,

2009).

Pada bentuk yang berat fulminan dijumpai tanda dehidrasi dan bisa

terjadi renjatan septik. Daerah anus terdapat luka, nyeri, kadang-kadang

prolaps. Hemoroid yang ada sebelumnya mungkin muncul keluar. Kematian

dapat terjadi karena gangguan sirkulasi perifer, anuria, koma uremikum, dan

sering pada malnutrisi, kelaparan (Tjokroprawiro dan Askandar, 2007;

Sya’roni, 2009).

Pada lebih dari setengah kasus pada orang dewasa, demam dan diare

menghilang spontan dalam 2-5 hari. Namun, pada anak-anak dan lanjut usia,

kehilangan air dan elektrolit dapat menimbulkan dehidrasi, asidosis dan

bahkan kematian. Penyakit yang disebabkan oleh S. dysenteriae kadang-

kadang dapat sangat parah, berjangkitnya cepat, berak-berak seperti air,

muntah-muntah, suhu badan abnormal, cepat terjadi dehidrasi, renjatan septik

dan dapat meninggal bila tidak segera ditolong (Sya’roni, 2009).

Pada pemulihan, kebanyakan orang mengeluarkan basil disentri dalam

waktu singkat, tetapi beberapa orang tetap menjadi carrier usus kronik dan

dapat mengalami serangan penyakit secara berulang (Jawetz et Adelberg’s ,

2008). Berdasarkan gejala klinisnya, disentri amoeba juga dibagi dalam

beberapa jenis, antara lain sebagai berikut:

1. Karier (cyst passer)

Pasien tidak menunujkkan gejala klinis sama sekali. Hal ini disebabkan

karena amoeba yang berada di usus besar tidak mengadakan invasi ke

dinding usus

2. Amebiasis intestinal ringan

Timbulnya penyakit perlaha-lahan. Penderita biasanya mengeluhkan perut

kembung, kadang-kadang nyeri perut ringan yang bersifat kejang. Dapat

timbul diare 4-5 kali sehari dengan tinja berbau busuk. Kadang-kadang tinja

bercampur darah dan lendir. Sedikit nyeri di daerah sigmoid. Jarang nyeri di

11

Page 12: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

daerah epigastrium yang mirip dengan ulkus peptik. Keadaan tersebut

bergantung pada lokasi ulkusnya. Keadaan umum pasien biasanya baik,

tanpa atau disertai demam ringan. Kadang-kadang terdapat hepatomegali

yang tidak atau sedikit nyeri tekan

3. Amebiasis intestinal sedang

Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berat dibandingkan disentri ringan,

tetapi pasien masih mampu melakukan aktivitas segari-hari, tinja disertai

darah dan lendir. Pasien mengeluh perut kram, demam, dan lemah badan,

disertai hepatomgali yang nyeri ringan.

4. Amebiasis intestinal berat

Keluhan dan gejala klinis lebih hebat lagi. Penderita mengalami diare

disertai darah yang banyak, lebih dari 15 kali sehari, demam tinggi (40-

40,50C), disertai mual dan anemia. Pada saat ini tidak dianjurkan melakukan

pemeriksaan sigmoidoskopi karena dapat menyebabkan perforasi usus

5. Amebiasis intestinal kronis

Gejalanya menyerupai disentri amoeba ringan, serangan-serangan diare

diselingi dengan periode normal atau tanpa gejala. Keadaan ini dapat

berjalan berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Pasien biasanya

menunjukkan gejala neurastenia. Serangan diare biasanya terjadi karena

kelelahan, demam, atau makanan yang sukar dicerna

6. Abses hepar amebik

Amebiasis ekstraintestinal yang paling sering terjadi, dimana gejalanya

lebih parah terjadi pada pria dibandingkan pada wanita. Pasien

mengeluhkan nyeri kuadran kanan atas, tenderness selama sekitar 10 har.

Keterlibatan permukaan diafrgma juga menyebabkan nyeri tumpulmenjalar

ke bahu. Gejala dan tanda abdomen akut harus diwaspadi sebagai ruptur

intraperitoneal. Selain itu juga terdapat gejala seperti mual, muntah, distensi

abdomen, diare, dan konstipasi. Diagnosis ini sulit ditegakkan karena gejala

dan tanda tidak spesifik

7. Manifestasi lain

12

Page 13: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

Manifestasi klinis yang lain dapat berupa ameboma, amebiasis

pleuropulmonal (penyebaran secara hematogen, melalui ruptur diafragma),

amebiasis otak (mual, muntal, nyeri kepala, perubahan status mental,

tampakan CT-scan sebagai lesi ireguler dengan kapsul atau enhancement),

amebiasis saluran kemih (rasa nyeri di daerah genital dan tuba fallopii),

amebiasis appendisitis, dan amebiasis peritonitis (pasien demam dan

distensi abdomen padat)

(Redd, 2012; Dhawan, 2015; Soewondo, 2010)

F. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan darah

Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan adanya leukositosis tanpa

eosinofilia, peningkatan SGPT dan SGOT, peningkatan kadar bilirubin

ringan, penurunan kadar albumin, anemia ringan, peningkatan laju endap

eritrosit (Dhawan, 2015)

b. Pemeriksaan tinja

Pemeriksaan tinja merupakan pemeriksaan laboratorium yang sangat

penting. Pemeriksaan tinja sekali hanya menunjukkan sensitifitas sebesar

33-50%, tetapi apabila dilakukan sebanyak 3 kali dengan tidak lebih dari

10 hari sensitifitasnya meningkat hingga 85-95%. Pada disentri amoeba

biasanya berbau busuk, bercampur darah, dan lendir. Untuk pemeriksaan

mikroskopik, perlu tinja yang masih baru dan kadang-kadang diperlukan

pemeriksaan berulang (minimal 3 kali seminggu) dan sebaiknya

dilakukan sebelum pasien mendapat pengobatan. Apabila direncanakan

akan dibuat foto kolon dengan barium enema, pemeriksaan tinja harus

dikerjakan seblumnya atau minimal 3 hari setelahnya. Pada pemeriksaan

tinja pasien yang tidak diare, yang perlu dicari adalah bentuk kista karena

bentuk tropozoit tidak akan ditemukan

Temuan mikroskopis yang didapatkan :

13

Page 14: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

- Tampak tropozoit yang masih bergerak aktif dengan pseudopodianya

(seperti kaca) dan jika tinja berdarah akan nampak adanya eritrosit

intrasitoplasmik

- Pada sediaan tinja berbentuk : gambaran kista bentuk bulat seperti

mutiara, di dalamnya terdapat badan kromatid bentuk batang dan

ujung tumpul, sedangkan intinya tidak tampak (hanya dapat dilihat

dengan larutan lugol)

(Reed, 2012; Dhawan 2015)

c. Kultur

Kultur dapat dilakukan dengan spesiemen fekal atau rektar atau dengan

aspirasi abses hepar. Tingkat kesuksesan kultur adalah sekitar 50-70%,

tetapi secara teknis sangat sulit dilakukan. Kultur kurang sensitif jika

dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopis. Jika hasil pemeriksaan

tinjanya negatif, sigmoidoskopi demgan biopsi bagian tepi ulkus dapat

meningkatkan diagnosis, tetapi mengandung risiko terjadi perforasi

(Reed, 2012; Dhawan 2015)

d. Pemeriksaan histopatologi

Spesimen biopsi harus diambil dari tepi ulkus dan didapatkan adanya

tropozoit yang bergerak aktif. Gambaran histopatologi menunjukan

adanya penebalan mukosa yang nonspesifik, penyebaran ulkus multipel di

antara regio normal, mukosa dengan inflamasi difus, nekrosis. Invasi

mukosa ke dalam mukosa dan submukosa merupakan tanda penting

kolitis amebik (Dhawan, 2015).

e. Pemeriksaan serologi

Pemeriksaan serologi amat mebantu untuk pemeriksaan amebiasis invasif.

Pemeriksaan serologi bisa dilakukan dengan deteksi antigen maupun

deteksi antibodi (menggunakan metode ELISA). Deteksi antigen akan

mendeteksi adanya antigen E.histolyica di sampel feses, sedangakn serum

antibodi akan ditemukan pada individu amebiasis intestinal simptomatik

(70-90%) dan abses hati (99%). Selain dengan ELISA, terdapat metode

IFA (Immunofluorescent Assay), dimana pada pasien dengan abses hati

14

Page 15: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

didaptkan sensitifotas ebesar 93,6% dan spesifisitas 96,7%. IHA (Indirect

Hemagglutination Assay) juga dapat dilakukan untuk deteksi antibodi

spesifik E.histolytica,, namun kurang sensitif jika dibandingkan dengan

ELISA. IHA tidak dapat membedakan infeksi akut maupu infeksi

berulang, serta titernya dapat tetap positif sampai selama 10 tahun

(Dhawan, 2015).

2. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium sangat berbahaya bila

dilakukan pada kolitis amebik akut. Pemeriksaan USG, CT-scan, dan MRI

berguna untuk mendeteksi adanya kista hipoekoik yang bundar atau oval

pada abses hati (Reed, 2012).

G. Diagnosis

Diagnosis pasti baru dapat ditegakkan bila sudah ditemukan amoeba

(tropozoit) dalam pemeriksaan tinja. Namun dengan diketemukannya

amoeba, tidak berarti menyingkirkan kemungkinan diagnosis penyakit lain,

karena amebiasis dapat disertai dengan penyakit lain.

Diagnosis banding amebiasis intestinal adalah divertikulitis, IBS

(Irritable Bowel Syndrome), hepatitis, cholecystitis, Salmonellosis,

Shigellosis, dan hemorrhoid interna. Sedangkan untuk abses hati amebik sulit

dibedakan dengan abses piogenik, neoplasma, dan kista hidatidosa

(Soewondo, 2010; Dhawan, 2015).

H. Tata laksana

1. Farmakoterapi

Klasifikasi amebisid :

a. Amebisid luminal

Amebisid yang bekerja di lumen usus atau obat-obat yang aktif

terhadap amoeba intestinal

Contoh : diiodo hidroksiquin, chiniofon, carbasone, tetrasiklin,

clephamide, paramomysin, glikobiarsol

15

Page 16: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

b. Amebisid jaringan

Amebisis yang bekerja pada jaringan intestinum atau organ lainnya

Contoh : emetin, dehydroemetin, klorokuin

c. Amebisis kombinasi

Contoh : metronidazol

Pemilihan amebisid bergantung pada :

a. Berat ringannya penyakit ini

b. Tempat terinfeksi (lumen atau ekstraintestinal)

c. Beberapa faktor lain, seperti keadaan hamil (hindari metronidazole)

d. Alergi obat atau toleransi

Karier (asimptomatik)

Iodoquinol (tab 650mg) Dosis: 650mg 3 kali sehari selama 20 hari

Paromomycin (tab 250mg) Dosis: 500mg 3 kali sehari selama 10 hari

Kolitis akut

Metronidazole (tab 250 atau 500

mg)

Dosis: 750mg per oral atau IV 3 kali sehari

selama 5-10 hari,ditambah dengan bahan

luminal dengan dosis yang sama

Abses hati amoeba

Metronidazole

Tinidazole Dosis: 2 g per oral

Omidazole Dosis: 2 g per oral ditambah bukan luminal

dengan jumlah sama

Tabel 2.1 Rekomendasi pengobatan Amebiasis

Pada pasien dengan amebiasis ringan-sedang akan mengalami diare

atau disentri, tetapi tidak berat, sehingga biasanya tidak memerlukan infus

cairan elektrolit atau transfusi darah. Tetapi bila disertai dengan diare dan

muntah, cairan elektrolit sebaiknya diberikan. Obat pilihannya adalah

metronidazol dengan dosis 3x750 mg sehari selama 5-10 hari, atau dapat juga

diberikan tinidazol atau omidazol. Karena pada pasien dengan pengobatan

metronidazole dapat timbul abses hati, maka dianjurkan menambah dengan

obat tropozoit di dalam lumen usus. Dapat digunakan obat seperti

16

Page 17: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

diyohidrosikin, kliokinol, atau diloksanid furoat. Dapat pula diberi tetrasiklin

dengan dosis 4x500mg selama 5 hari (Soewondo, 2010).

Pada pasien dengan disentri amoeba yang berat, tidak hanya

memerlukan obat amebisid, tetapi juga memerlukan infus cairan elektrolit

atau transfusi darah. Selain seperti pengobatan pada kasus ringan-sedang,

perlu ditambah emetin (1mg/kgbb/hari) atau dehidroemetin (11,5

mg/kgbb/hari) selama 3-5 hari, diberikan secara IM atau SC. Pasien

sebaiknya dirawat di rumah sakit dan tirah baring selama pengobatan. Hal ini

dikarenakan bahaya efek emetin tehadap jantung (Soewondo, 2010).

Keterangan mengenai obat-obat yang dapat digunakan pada amebiasis

antara lain:

Emetin Hidroklorida

Obat ini berkhasiat terhadap bentuk histolitika. Pemberian emetin ini

hanya efektif bila diberikan secara parenteral karena pada pemberian secara

oral absorpsinya tidak sempurna. Toksisitasnya relatif tinggi, terutama

terhadap otot jantung. Dosis maksimum untuk orang dewasa adalah 65 mg

sehari. Lama pengobatan 4 sampai 6 hari. Pada orang tua dan orang yang

sakit berat, dosis harus dikurangi. Pemberian emetin tidak dianjurkan pada

wanita hamil, pada penderita dengan gangguan jantung dan ginjal.

Dehidroemetin relatif kurang toksik dibandingkan dengan emetin dan dapat

diberikan secara oral. Dosis maksimum adalah 0,1 gram sehari, diberikan

selama 4–6 hari. Emetin dan dehidroemetin efektif untuk pengobatan abses

hati (amoebiasis hati).

Klorokuin

Obat ini merupakan amoebisid jaringan, berkhasiat terhadap bentuk

histolytica. Efek samping dan efek toksiknya bersifat ringan antara lain, mual,

muntah, diare, sakit kepala. Dosis untuk orang dewasa adalah 1 gram sehari

selama 2 hari, kemudian 500 mg sehari selama 2 sampai 3 minggu.

Antibiotik

Tetrasiklin dan eritomisin bekerja secara tidak langsung sebagai

amebisid dengan mempengaruhi flora usus. Peromomisin bekerja langsung

17

Page 18: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

pada amoeba. Dosis yang dianjurkan adalah 25 mg/kg bb/hari selama 5 hari,

diberikan secara terbagi.

Metronidazol (Nitraomidazol)

Metronidazol merupakan obat pilihan, karena efektif terhadap bentuk

histolytica dan bentuk kista. Efek samping ringan, antara lain, mual, muntah

dan pusing. Dosis untuk orang dewasa adalah 2 gram sehari selama 3 hari

berturut-turut dan diberikan secara terbagi.

Penggantian Cairan dan elektrolit

Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi

yang adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan

dengan rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua pasien kecuali

yang tidak dapat minum atau yang terkena diare hebat yang memerlukan

hidrasi intavena yang membahayakan jiwa.

Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g Natrium klorida,

dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g glukosa per liter

air.Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam paket-paket yang mudah

disiapkan dengan mencampurkan dengan air. Jika sediaan secara komersial

tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan menambahkan

½ sendok teh garam, ½ sendok teh baking soda, dan 2 – 4 sendok makan gula

per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti

kalium. Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak mungkin sejak mereka

merasa haus pertama kalinya.Jika terapi intra vena diperlukan, cairan

normotonik seperti cairan saline normal atau Ringer Laktat harus diberikan

dengan suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status

hidrasi harus dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital,

pernapasan, dan urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus

diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera mungkin.

Menurut keadaan klinisnya dehidrasi dapat dibagi 3, yaitu :

1. Dehidrasi ringan (hilangnya cairan 2 – 5% dari BB) gambaran klinisnya

turgor kulit kurang, suara serak (vox cholerica), pasien belum jatuh dalam

presyok.

18

Page 19: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

2. Dehidrasi sedang (hilangnya cairan 5 – 8% dari BB) gambaran klinisnya

turgor kulit buruk, suara serak (vox cholerica), pasien jatuh dalam presyok

atau syok, nadi cepat, nafas cepat dan dalam.

3. Dehidrasi berat (hilangnya cairan 8 – 10% dari BB) tanda klinis dehidrasi

sedang ditambah kesadaran yang menurun (apatis sampai koma), otot

kaku, sianosis.

Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis yang diberi penilaian/skor :

Klinis SkorRasa haus/muntahTekanan darah sistolik 60 – 90 mmHgTekanan darah sistolik <60 mmHgFrekuensi nadi >120 kali/menitKesadaran apatisKesadaran somnolen, sopor atau komaFrekuensi nafas >30 kali/menitFacies cholericaVox cholerica (suara serak)Turgor kulit menurunWasher woman’s handEkstremitas dinginSianosisUmur 50 – 60 tahunUmur >60 tahun

112112122111212

Kebutuhan cairan = Skor15

x 10% x KgBB x 1 L

Bila skor <3 dan tidak ada syok, maka hanya diberikan cairan peroral

sebanyak mungkin sedikit demi sedikit. Bila skor ≥3 disertai syok diberikan

cairan per intravena.

Pemberian cairan rehidrasi terdiri atas :

a) Dua jam pertama (tahap rehidrasi initial) merupakan jumlah total

kebutuhan cairan menurut rumus BJ plasma atau skor Daldiyono diberikan

langsung dalam 2 jam agar tercapai rehidrasi optimal secepat mungkin.

b) Satu jam berikutnya atau jam ke-3 (tahap kedua) pemberian diberikan

berdasarkan kehilangan cairan selama 2 jam pemberian cairan rehidrasi

19

Page 20: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

inisial sebelumnya. Bila tidak ada syok atau skor Daldiyono kurang dari 3

dapat diganti dengan cairan peroral.

c) Jam berikutnya pemberian cairan diberikan berdasarkan kehilangan cairan

melalui feses dan Insensible Water Loss (IWL).

2. Non-farmakoterapi

Intervensi bedah dibutuhkan apabila ada tanda dan gejala acute

abdomen (kolitis amebik perforasi, perdarahan saluran cerna masif, toxic

megacolon). Intervensi bedah biasanya juga diindikasi bila diagnosis

belum jelas, kemungkinan adanya superinfeksi bakteri karena abses hati

amebik, tidak responsif tehadap terapi metronidazole setelah 4 hari,

empyema setelah ruptur abses hati, dan kemungkinan adanya ruptur

pericardium. Selain tindakan bedah, dapat dilakukan pula drainage

menggunakan kateter perkutaneus yang akan meningkatkan hasil terapi

empyema amebik (Dhawan, 2015).

Pemberian diet khusus tidak terbukti lebih bermanfaat

dibandingkan dengan hidrasi oral pada penelitian dengan kontrol. Akan

tetapi, pemberian nutrisi yang adekuat selama episode diare amat berguna

untuk memfasilitasi perbaikan enterosit. Bila pasien anorektik,hanya

mengkonsumsi cairan dalam waktu yang tidak lama tidak akan

membahayakan. Tepung dan biji-bijian rebus (misalnya, kentang, beras,

terigu, dan gandum) dengan garam diindikasikan pada pasien dengan

watery diarrhea. Biskuit, pisang, yoghurt, sop, dan sayuran rebus boleh

juga diberikan (Tjandrawinata et al., 2009).

Dalam prakteknya, menghindari makanan selama >4 jam adalah

tidak tepat. Makanan sebaiknya mulai diberikan 4 jam sesudah

pemberianORT atau cairan intravena. Diet diberikan tanpa memperhatikan

cairan yang digunakan untuk terapi rehidrasi oral atau rumatan. Diet

diberikan dalam porsi kecil dan sering (6 kali/hari). Perlu juga diberikan

makanan tinggi protein dan mikronutrien. Peningkatan kalori disesuaikan

dengan perbaikan episode diarenya. Perlu dihindari pemberian jus buah

20

Page 21: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

pekatkarena hiperosmolar dan dapat memperberat diare (Tjandrawinata et

al., 2009).

I. Komplikasi

Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri amoeba, baik berat

maupun ringan. Sering sumber penyakit di usus tidak menunjukkan gejala

lagiatau hanya menunjukkan gejala ringan,sehingga yang menonjol adalah

gejala penyulitnya. Keadaan ini sering terjadi pada penyulit ekstraintestinal.

Berdasarkan lokasi, penyulit tersebut dibagi menjadi:

1. Komplikasi intestinal

a. Perdarahan usus : apabila amoeba mengadakan invasi ke dinding

usus besar dan merusak pembuluh darah, perdarahan hebat berakibat

fatal

b. Perforasi usus : terjadi bila abses menembus jaringan muskular

dinding usus besar, sering menyebabkan peritonitis yang mortalitasnya

tinggi, peritonitis dapat terjadi akrena pecahnya abses hati

c. Intususepsi : terjadi di daerah sekum, butuh tindakan operasi

segera

d. Penyempitan usus : dapat terjadi karena disentri kronik, akibat

terbentuk jaringan ikat atau akibat amoeboma (massa jaringan

granulasi)

2. Komplikasi ekstraintestinal

a. Amebiasis hati : penyulit ekstraintestinal yang paling sering terjadi,

lebih banyak terjaid apda laki-laki, dapat timbul beberapa

minggu/bulan, terjadi karena ada embolisasi amoeba lewat vena porta

b. Amebiasis pleuropulmonal: dapat terjadi akibat ekspansi langsung

abses hati, dapat timbul cairan pleura, penumonia, atau abses paru

c. Abses otak, limpa, dan organ lain

d. Amebiasis kulit : akibat invasi ampeba langsung dari dinding usus

besar dengan membentuk fistel

21

Page 22: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

J. Prognosis

Prognosis ditentukan oleh berat ringannya penyakit, diagnosis dan

pengobatan dini yang tepat, serta kepekaan amoeba terhadap pengobatan yag

diberikan. Pada umumnya, prognosis Amebiasis adalah baik terutama yang

tanpa komplikasi. Pada asbes hati amoebik, kadang-kadang diperlukan pungsi

untuk mengeluarkan nanah. Demikian pula dengan Amebiasis yang disertai

penyulit efusi pleura. Prognosis yang buruk adalah abses otak amoeba

(Soewondo, 2010).

Keparahan infeksi amoeba dapat menyebabkan meningkatkan

morbiditas dan mortalitas pada pasien anak-ankak terutama neonatus, wanita

hamil dan postpartum, pasien pengguna kortikosteroid, pasien dengan

penyakit keganasa, dan pasien malnutrisi. Perlu diingan bahwa infeksi yang

seblumnya tidak memberikan proteksi untuk infeksi invasif berikutnya

(Dhawan, 2015).

K. Pencegahan

Makanan, minuman, dan keadaan lingkungan hidup yang memenuhi

syarat kesehatan merupakan sarana pencegahan penyakit yang sangat

penting. Air minum sebaiknya dimasak dulu, karena kista akan mati bila air

dipanaskan 500C selama 5 menit. Pemberian klor dalam jumlah yang biasa

digunakan dalam pembuatan air bersih, ternyata tidak dapat membunuh kista.

Sebelum mengonsumsi buah dan sayur sebaiknya dicuci dengan sabun atau

direndam dalam cuka selama 10-15 menit. Penting sekali adanya jamban

keluarga, isolasi, dan pengobatan terhadap karier. Karier dilarang berkerja

sebagai juru masak atau segala perkerjaan yang berhubungan dengan

makanan. Sampai saat ini belum ada vaksin khusus. Pemberiam

kemoprofilaksis bagi wisatawan yang akan mengunjungi daerah endemis

tidak disarankan. Pengobatan massal dengan metronidazol secara berkala

hanya dikerjakan dalam keadaan tertentu. Di negara nonendemis, transmisi

22

Page 23: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

penyakit dapat dikurangi dengan pengobatan dini pada karier. Menghindari

aktivitas seksul yang melibatkan kontak fekal-oral juga dapat mengurangi

transmisi dari kista infektif (Soewondo, 2010; Dhawan, 2015).

23

Page 24: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

BAB III

ILUSTRASI KASUS

A. Identitas pasien

Nama pasien : Tn. B

Usia : 35tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Jagalan, Jebres

Agama : Islam

Pekerjaan : Karyawan Swasta

Status : Menikah

No. RM : 01 26 3x xx

Tanggal masuk : 3 November 2015

B. Anamnesis

1. Keluhan utama

BAB cair, lendir, dan darah

2. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan BAB cair (+) lendir (+)

darah merah gelap (+) sudah sejak 2 hari yang lalu. Keluhan diawali dengan

diare cair (+), ampas (+), kurang lebih sebanyak 4 kali pada 2 hari yang lalu.

Satu hari SMRS, pasien mengeluh demam (+), diare (+), lendir (+), darah

merah gelap (+) kurang lebih lima kali. Pagi hari SMRS, pasien mengalami

BAB cair sebanyak 8 kali. BAB disertai lendir (+), darah merah gelap (+),

dan volume tiap kali BAB sekitar 100-150 cc, dengan lebih banyak cairan

daripada ampas. Setiap kali BAB, pasien merasa nyeri dan BAB tidak dapat

ditahan.

Pasien mengeluh perut terasa nyeri (+) dan demam (+) sejak 2 hari yang

lalu. Pasien juga mengeluh sempat lemas karena mual (+) dan muntah (+)

24

Page 25: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

sebanyak 3 kali 1 hari SMRS. Pasien saat ini mengaku sudah tidak muntah,

tapi masih mengeluh mual (+). BAK pasien diakui masih normal, namun

nafsu makan pasien dirasakan sedikit menurun. Pasien minum lebih banyak

daripada biasanya. Pasien mengaku sekitar hampir seminggu yang lalu

sempat jajan sembarangan beberapa kali di dekat tempatnya bekerja dan

pasien mengaku bahwa tempat jajannya tidak bersih. Pasien mengatakan

belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya

3. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat penyakit serupa : disangkal

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Riwayat penyakit jantung : disangkal

Riwayat batuk lama : disangkal

Riwayat alergi makan atau obat : disangkal

Riwayat mondok : disangkal

4. Riwayat penyakit keluarga

Riwayat penyakit serupa : disangkal

Riwayat hipertensi : (+) ayah pasien

Riwayat DM : disangkal

Riwayat penyakit jantung : (+) ayah pasien

5. Riwayat sosial ekonomi

Pasien adalah seorang karyawan swasta, tinggal bersama orangtua, istri dan

kedua anaknya. Biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS non PBI.

6. Riwayat kebiasaan

Riwayat makan sembarangan : (+)

Riwayat mengolah makanan sendiri : disangkal

Riwayat minum obat-obatan : disangkal

Riwayat makan pedas : disangkal

Riwayat minum alkohol : disangkal

Riwayat merokok : (+) perokok aktif

25

Page 26: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

C. Pemeriksaan fisik

1 Keadaan Umum Compos mentis, tampak sakit sedang, gizi kesan

cukup

2 Status gizi BB : 58 kg

TB : 160 cm

BMI : 22,65 kg/m2

Kesan : Status Gizi Normoweight

3 Tanda Vital Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Nadi : 88x/menit, isi dan tegangan cukup

Frekuensi Respirasi : 22 x/menit

Suhu : 38,7 0C

4 Kulit Warna sawo matang, petechie (-), ikterik (-),

turgor cukup, hiperpigmentasi (-), turgor agak

lambat (+)

5 Kepala Bentuk mesocephal, rambut warna hitam,uban

(-), mudah rontok (-), luka (-), atrofi

m.temporalis(-).

6 Mata Konjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),

perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor

dengan diameter 3 mm/3 mm, reflek cahaya

(+/+), edema palpebra (-/-), strabismus (-/-),

cekung (+/+)

7 Mulut Trismus (-), sianosis (-), gusi berdarah (-),

kering (+), pucat (-), lidah tifoid (-), papil lidah

atrofi (-) stomatitis (-), luka pada sudut bibir (-)

8 Leher JVP (R+2), trakea di tengah, simetris,

pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi

cervical (-), leher kaku (-)

9 Thorax Bentuk normochest, simetris, retraksi intercostal

(-), atrofi m. Pectoralis (-), ginecomasti (-),

26

Page 27: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

spider nevi (-) regio infra clavicula, pernafasan

torakoabdominal, sela iga melebar (-),

pembesaran KGB axilla (-/-)

Jantung :

Inspeksi Iktus kordis tidak tampak

Palpasi Iktus kordis tidak kuat angkat

Perkusi Batas jantung kanan atas : SIC II linea

parasternalis dextra

Batas jantung kanan bawah : SIC IV linea

parasternalis dekstra

Batas jantung kiri atas : SIC II linea parasternalis

sinistra

Batas jantung kiri bawah : SIC V 1 cm medial

linea medioklavicularis sinistra

Pinggang jantung : SIC II-III lateral parasternalis

sinistra

Konfigurasi jantung kesan tidak melebar

Auskultasi HR : 88x/menit reguler. Bunyi jantung I-II

murni, intensitas normal, reguler, bising (-),

gallop (-).

Pulmo :

Depan

Inspeksi Statis Normochest, simetris, sela iga tidak melebar

Dinamis Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga tidak

melebar, retraksi intercostal (-)

Palpasi Statis Simetris

Dinamis Pergerakan dada ka = ki, penanjakan dada ka =

ki, fremitus raba kanan = kiri

Perkusi Kiri Sonor

Kanan Sonor

27

Page 28: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

Auskultasi Kanan Suara dasar vesikuler intensitas normal, suara

tambahan wheezing (-), ronchi basah kasar (-)

basal paru, ronchi basah halus (-), krepitasi (-)

Kiri Suara dasar vesikuler intensitas meningkat, suara

tambahan wheezing (-), ronchi basah kasar (-),

ronchi basah halus (-), krepitasi (-)

Belakang

Inspeksi Statis Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga

mendatar

Dinamis Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela

iga tidak melebar, retraksi interkostal (-)

Palpasi Statis Dada kanan dan kiri simetris, sela iga tidak

melebar, retraksi (-),

Dinamis Pergerakan kanan = kiri, simetris, fremitus raba

kanan = kiri, penanjakan dada kanan = kiri

Perkusi Sonor /Sonor

Auskultasi Kanan Suara dasar vesikuler meningkat, wheezing(-),

ronchi basah kasar (-), ronchi basah halus (-),

krepitasi (-)

Kiri Suara dasar vesikuler intensitas normal,

wheezing(-), ronchi basah kasar (-), ronchi basah

halus (-), krepitasi (-)

10 Punggung kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri ketok

kostovertebra (-),

11 Abdomen

Inspeksi Dinding perut sejajardinding thorak, bekas luka

operasi (-), venektasi (-), sikatrik (-), stria (-),

caput medusae (-)

Auscultasi Peristaltik (+) meningkat, bruit hepar (-),

bising epigastrium (-)

Perkusi Perut keras seperti papan (-), timpani, pekak sisi

28

Page 29: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

(-), pekak alih (-),undulasi (-), area trobe

tymphani, NKCV (-/-)

Palpasi Perut keras seperti papan (-), nyeri tekan (+)

perut sebelah kiri, hepar/ lien sulit dievaluasi,

turgor perut kembali agak lambat (+)

12 Genitourinaria Ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-), nyeri

(-)

13 Ekstremitas

Superior

dekstra

Edema (-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-), akral

dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik (-)

petechie (-), Spoon nail (-)kuku pucat (-),clubing

finger (-), hiperpigmentasi (-), palmar eritema (-)

Superior

sinistra

Edema (-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-), akral

dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik (-),

petechie (-), Spoon nail (-) kuku pucat

(-),clubing finger (-), hiperpigmentasi (-), palmar

eritema (-), CRT< 2 detik

Inferior

dekstra

Edema(-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-), akral

dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik (-),

petechie (-), Spoon nail (-), kuku pucat (-),

clubing finger (-), hiperpigmentasi (-), nyeri

tekan (-), CRT< 2 detik

Inferior

Sinistra

Edema(-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-), akral

dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik (-),

petechie (-), Spoon nail (-), kuku

pucat(-),clubing finger (-), hiperpigmentasi (-),

nyeri tekan (-),CRT< 2 detik

D. Diagnosis banding

Amebiasis (disentri amoeba)

Disentri basiller

29

Page 30: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

Demam thypoid

Irritable Bowel Syndrome

E. Diagnosis kerja

Amebiasis (Disentri amoeba)

F. Planning

Diagnostik : Cek lab lengkap, pemeriksaan feses rutin dan mikroskopis

Terapi : Rawat inap, perbaikan KU

G. Terapi

1. Non farmakologis

a. Tirah baring

b. Diet makanan lunak, porsi kecil tapi sering (hingga frekuensi BAB< 5

kali/hari), diet tinggi protein dan mikronutrien (kebutuhan kalori

menyesuaikan), diet rendah serat (terutama hindari jus buah hiperosmolar)

c. Monitoring KU/VS dan keluhan pasien

2. Farmakologis

a. Infus Ringer Laktat 20 tpm

b. Metronidazole oral 750 mgtiap 8 jam selama 7 hari

c. Paracetamol oral 500 mg tiap 8 jam selama demam

d. Ranitidin injeksi 50 mg tiap 8 jam

H. Tujuan terapi

1. Melakukan tatalaksana sesuai dengan penyebab penyakit

2. Memperbaiki keadaan umum pasien

3. Mencegah peningkatan keparahan penyakit

4. Meningkatkan kualitas hidup pasien

5. Meminimalisasi hingga menghilangkan gejala penyakit

30

Page 31: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

I. Resep

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAHRUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. MOEWARDI

Jl. Kolonel Sutarto No 132, Surakarta. Tlp 634634

Nama Dokter : Anisa Rahmatia, drUnit : Penyakit DalamTanggal : 3 November 2015

R/ Ringer Laktat infus No. I

Infus set No. I

IV catheter No. I

Three way No. I

IV 3000 No. I

∫ i.m.m

R/ Metronidazole mg 750

f.l.a pulv da in cap dtd No. XXI

∫ 3 dd cap I p.c

R/ Paracetamol tab mg 500 No. XV

∫ p.r.n (1-3) dd tab 1

R/ Ranitidine inj mg 50 No. X

Cum disposable syringe 3cc No. X

∫ i.m.m

Pro:

Nama Pasien : Tn. B Usia : 35 tahun No. RM : 01 26 3x xx

31

Page 32: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

J. Prognosis

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad sanam : dubia ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad bonam

32

Page 33: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

BAB IV

PEMBAHASAN OBAT

A. Ringer laktat

RL merupakan cairan yang paling fisiologis yang dapat diberikan pada

kebutuhan volume dalam jumlah besar. RL banyak digunakan sebagai

replacement therapy, antara lain untuk syok hipovolemik, diare, trauma, dan luka

bakar. Laktat yang terdapat di dalam larutan RL akan dimetabolisme oleh hati

menjadi bikarbonat yang berguna untuk memperbaiki keadaan seperti asidosis

metabolik. Kalium yang terdapat di dalam RL tidak cukup untuk pemeliharaan

sehari-hari, apalagi untuk kasus defisit kalium.

Larutan RL tidak mengandung glukosa, sehingga bila akan dipakai sebagai

cairan rumatan, dapat ditambahkan glukosa yang berguna untuk mencegah

terjadinya ketosis. Kemasan larutan kristaloid RL yang beredar di pasaran

memiliki komposisi elektrolit Na+ (130 mEq/L), Cl- (109 mEq/L), Ca+ (3

mEq/L), dan laktat (28 mEq/L).Osmolaritasnya sebesar 273 mOsm/L. Sediaannya

adalah 500 ml dan 1.000 ml.

Pemberian Ringer Laktat pada kasus ini bertujuan untuk menyeimbangkan

cairan dan rehidrasi tubuh yang optimal, sehingga dapat mengganti air dan

elektrolit yang hilang akibat diare. Pada kasus amebiasis dengan muntah pasien

biasanya akan kehilangan cairan tubuh yang disebabkan karena output cairan

lebih dari biasanya (Tjandrawinata, 2009)

Bila larutan RL tidak tersedia maka dapat digunakan larutan NaCL0,9%,

akan tetapi kehilangan bikarbonat dan kalium tidak terganti. Larutan dekstrosa

sebaiknya tidak digunakan karena tidak mengandung elektrolit, sehingga tidak

dapat mengganti kehilangan elektrolitdan mengkoreksi asidosis. Selain itu, larutan

dekstrosa juga kurang efektif untuk mengatasi hipovolemia (Tjandrawinata, 2009)

33

Page 34: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

B. Metronidazole

Obat ini merupakan suatu komponen sintetis 5-nitromidazol yang bersifat sebagai

amebisid intestinal maupun ekstraintestinal

Mekanisme kerja

Kerja obat ini direfleksikan pada toksisitas selektif terhadap mikororganisme

anaerob atau mikroaerofilik dan untuk sel anoksia ataupun hipoksia. Namun, para

ahli lain menyatakn bahwa obat ini bekerja dengan memutuskan rantai heliks

DNA sehingga mengganggu fungsi DNA mikroorganisme

Aktivitas amebisid

Obat ini selain efektif terhadap E.histolytica, juga digunakan sebagai obat

alternatif pada pengobatan giardiasis dan balantidiasis. Obat ini juga merupakan

obat pilihan terhadap Trichomoniasis vaginalis. Selain itu, obat ini juga efektif

terhadap Gardnerella vaginalis dan infeksi yang disebabkan oleh bakteri anaerob.

Farmakokinetik

Obat ini diabsorbsi dengan baik di saluran cerna dan hampir komplit setelah

pemberian per oral. Obat ini sedikit sekali berikatan dengan protein palsma.

Konsentrasi puncak plasma dicapai dalam waktu 1 jam dan waktu paruhnya

berkisar 8 jam. Lebih kurang 20% obat ini diekskresikan melalui urine dalam

bentuk utuh dan metabolitnya

Kontraindikasi

Wanita hamil trimester I, gangguan sistem saraf pusat, ketergantungan

alkohol,pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal

Efek samping

Efek samping yang paling sering terjadi adalah gejala mual dan diare, nyeri

epigastrik, muntah, dan kadang-kadang urin berwarna gelap. Obat ini menekan

aktivitas sumsum tulang. Gejala berat dapat berupa ataksia dan kejang epileptik

Sediaan

Tablet (250mg, 500mg), Injeksi (500mg/100ml)

Dosis

Amebiasis : Dewasa 3x 750 mg/hari selama 5-10 hari

(Rahardjo et al., 2004).

34

Page 35: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

Uraian Obat Pilihan Obat Alternatif

Nama Obat Metronidazole TinidazoleBSO Tablet (250mg, 500mg),

Injeksi (500mg/100ml)Tablet (250mg, 500 mg)

BSO yang diberikan dan alasan

TabletPasien dewasa, tidak ada gangguan menelan, dan mudah diminum sendiri

TabletPasien dewasa, tidak ada gangguan menelan, dan mudah diminum sendiri

Dosis referensi 750 mg 3x sehari selama 5-10 hari

2 g/ hari selama 5-7 hari

Dosis dalam kasus 750 mg 2 gramFrekuensi pemberian dan alasan

3x sehari sesuai dengan waktu paruhnya

Dosis tunggal

Cara pemberian dan alasan

PeroralPasien dewasa, tidak ada gangguan menelan, dan mudah diminum sendiri

PeroralPasien dewasa, tidak ada gangguan menelan, dan mudah diminum sendiri

Saat pemberian dan alasannya

Tidak ada aturan khusus, karena tidak dipengaruhi makanan

Tidak ada aturan khusus, karena tidak dipengaruhi makanan

Lama pemberian 7 hari 7 hari

C. Ranitidin

Ranitidin merupakan golongan obat antihistamin reseptor 2 (AH2). Mekanisme

kerja ranitidin adalah menghambat reseptor histamin 2 secara selektif dan

reversibel sehingga dapat menghambat sekresi cairan lambung. Ranitidin

mengurangi volume dan kadar ion hidrogen dai sel parietal akan menurun sejalan

dengan penurunan volume cairan lambung.

Farmakokinetik

Pemberian ranitidin dengan cara injeksi intramuskular menyebabkan absorpsi

yang lebih cepat dan mencapai kadar puncak plasma dalam waktu 15 menit

setelah pemberian. Bioavailabilitas ranitidin mencapai 90 - 100%, waktu paruh

plasma sekitar 2-3 jam. Ranitidin memiliki ikatan plasma yang lemah, dimana

hanya sekitar 15% yang berikatan dengan protein plasma.

Interaksi Obat

Ranitidin tidak seperti simetidin, karena ranitidin tidak terlalu mempengaruhi

sitokrom P450, ranitidin dengan kadar obat dalam darah yang sesuai dengan dosis

35

Page 36: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

standar tidak mengganggu sitokrom P450 pada hati yang berhubungan dengan

gangguan pada sistem oksigenase.

Indikasi

tukak lambung dan tukak duodenum, refluks esofagitis, dispepsia episodik kronis,

tukak akibat AINS, tukak duodenum karena H.pylori, sindrom Zollinger-Ellison,

kondisi lain dimana pengurangan asam lambung akan bermanfaat.

Peringatan: 

hindarkan pada porfiria

Kontraindikasi: 

penderita yang diketahui hipersensitif terhadap ranitidin

Efek Samping: 

takikardi (jarang), agitasi, gangguan penglihatan, alopesia, nefritis interstisial

(jarang sekali)

Dosis: 

Oral, untuk tukak peptik ringan dan tukak duodenum 150 mg 2 kali sehari atau

300 mg pada malam hari selama 4-8 minggu, sampai 6 minggu pada dispepsia

episodik kronis, dan sampai 8 minggu pada tukak akibat AINS (pada tukak

duodenum 300 mg dapat diberikan dua kali sehari selama 4 minggu untuk

mencapai laju penyembuhan yang lebih tinggi); Untuk Gastroesophageal Reflux

Disease (GERD), 150 mg 2 kali sehari atau 300 mg sebelum tidur malam selama

sampai 8 minggu, atau bila perlu sampai 12 minggu (sedang sampai berat, 600 mg

sehari dalam 2-4 dosis terbagi selama 12 minggu); pengobatan jangka panjang

GERD, 150 mg 2 kali sehari. Sindrom Zollinger-Ellison , 150 mg 3 kali sehari;

dosis sampai 6 g sehari dalam dosis terbagi. Pengurangan asam lambung

(profilaksis aspirasi asam lambung) pada obstetrik, oral, 150 mg pada awal

melahirkan, kemudian setiap 6 jam; prosedur bedah, dengan cara injeksi

intramuskuler atau injeksi intravena lambat, 50 mg 45-60 menit sebelum induksi

anestesi (injeksi intravena diencerkan sampai 20 mL dan diberikan selama tidak

kurang dari 2 menit), atau oral: 150 mg 2 jam sebelum induksi anestesi, dan juga

bila mungkin pada petang sebelumnya. Injeksi intramuskuler: 50 mg setiap 6-8

jam. Injeksi intravena lambat: 50 mg diencerkan sampai 20 mL dan diberikan

36

Page 37: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

selama tidak kurang dari 2 menit; dapat diulang setiap 6-8 jam.

(PIONAS, 2015)

Uraian Obat Pilihan

Nama Obat RanitidineBSO Tablet (150 mg), Injeksi (25 mg/ml)BSO yang diberikan dan alasan

Injeksi Pada pasien tersebut diperlukan durasi atau kadar obat ranitidine bertahan lebih lama (6-8 jam) dalam darah

Dosis referensi 50 mgDosis dalam kasus 50 mgFrekuensi pemberian dan alasan

Tiap 12 jam

Cara pemberian dan alasan Injeksi IV lambat; 50 mg diencerkan sampai 20 mL dan diberikan selama tidak kurang dari 2 menit.Pada pasien tersebut diperlukan durasi atau kadar obat ranitidine bertahan lebih lama (6-8 jam) dalam darah

Saat pemberian dan alasannya Tidak ada aturan khusus Lama pemberian Selama masih ada keluhan mual dan muntah

D. Paracetamol

Farmakokinetik

Absorpsi : diberikan peroral, absorpsi bergantung pada kecepatan pengosongan

lambung, dan kadar puncak dalam darah biasanya tercapai dalam waktu 30-60

menit.

Distribusi : Asetaminofen sedikit terikat dengan protein plasma

Metabolisme : dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati dan diubah menjadi

asetaminofen sulfat dan glukuronida, yang secara farmakologi tidak efektif.

Ekskresi : diekskresikan ke dalam urin dalam bentuk tidak berubah.

Farmakodinamik

Paracetamol atau acetaminophen adalah obat yang mempunyai efek

mengurangi nyeri (analgesik) dan menurunkan demam (antipiretik).

Parasetamol mengurangi nyeri dengan cara menghambat impuls/rangsang nyeri

37

Page 38: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

di perifer. Parasetamol menurunkan demam dengan cara menghambat pusat

pengatur panas tubuh di hipotalamus.

Parasetamol merupakan penghambat COX-1 dan COX-2 yang lemah di

jaringan perifer dan hampir tidak memiliki efek anti-inflamasi/anti-radang.

Hambatan biosintesis Prostaglandin (PG) hanya terjadi bila lingkungan yang

rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus sedangkan lokasi inflamasi

biasanya mengandung banyak peroksid yang dihasilkan leukosit, hal ini lah

yang menjelaskan efek antiinflamasi parasetamol tidak ada. Studi terbaru

menduga parasetamol juga menghambat COX-3 di Susunan Saraf Pusat yang

menjelaskan cara kerjanya sebagai anti piretik.

Indikasi: 

nyeri ringan sampai sedang, nyeri sesudah operasi cabut gigi, pireksia

Peringatan: 

gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, ketergantungan alkohol

Interaksi: 

lihat lampiran 1, peningkatan risiko kerusakan fungsi hati pada pengunaan

bersama alkohol

Kontraindikasi: 

gangguan fungsi hati berat, hipersensitivitas.

Efek Samping: 

jarang terjadi efek samping, tetapi dilaporkan terjadi reaksi hipersensitivitas, ruam

kulit, kelainan darah (termasuk trombositopenia, leukopenia, neutropenia),

hipotensi juga dilaporkan pada infus, PENTING: Penggunaan jangka panjang dan

dosis berlebihan atau overdosis dapat menyebabkan kerusakan hati, lihat

pengobatan pada keadaan darurat karena keracunan.

Dosis: 

Oral 0,5–1 gram setiap 4–6 jam hingga maksimum 4 gram per hari., anak–anak

umur 2 bulan 60 mg untuk pasca imunisasi pireksia, sebaliknya di bawah umur 3

bulan (hanyadengan saran dokter) 10 mg/kg bb (5 mg/kg bb jika jaundice), 3

bulan–1 tahun 60 mg–120 mg, 1-5 tahun 120–250 mg, 6–12 tahun 250– 500 mg,

dosis ini dapat diulangi setiap 4–6 jam jika diperlukan (maksimum 4 kali

38

Page 39: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

dosisdalam 24 jam), infus intravena lebih dari 15 menit, dewasa dan anak–anak

dengan berat badan lebih dari 50 kg, 1 gram setiap 4–6 jam, maksimum 4 gram

per hari, dewasa dan anak–anak dengan berat badan 10 -50 kg, 15 mg/kg bb setiap

4–6 jam, maksimum 60 mg/kg bb per hari.

(PIONAS, 2015).

39

Page 40: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

Uraian Obat Pilihan Obat Alternatif

Nama Obat Asetaminofen Asam AsetilsalisilatBSO Generik : Parasetamol

BSO : tablet 325 mg, 500 mg, 650 mg

Paten : PamolBSO : tablet 500 mg, sirup 120 mg/5 ml

Generik : AsetosalBSO : tablet 250 mg dan 500 mg

Paten : AspirinBSO : tablet 100 mg dan 500 mg

BSO yang diberikan dan alasan

TabletPasien dewasa, tidak ada gangguan menelan, dan mudah diminum sendiri

TabletPasien dewasa, tidak ada gangguan menelan, dan mudah diminum sendiri

Dosis referensi 500-1000 mg per kali, setiap 4-6 jam, maksimum 4 g/hari

300-1000 mg per kali, maksimum 6 g/hari, maksimal 6 kali/hari

Dosis dalam kasus 500 mg 500 mgFrekuensi pemberian dan alasan

3x sehari sesuai dengan waktu paruhnya

3x sehari sesuai dengan waktu paruhnya

Cara pemberian dan alasan

PeroralPasien dewasa, tidak ada gangguan menelan, dan mudah diminum sendiri

PeroralPasien dewasa, tidak ada gangguan menelan, dan mudah diminum sendiri

Saat pemberian dan alasannya

Tidak ada aturan khusus, karena tidak dipengaruhi makanan

Sesudah makan, agar tidak mengiritasi lambung

Lama pemberian Selama demam Selama demam

40

Page 41: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Amebiasis adalah penyakit infeksi parasit yang seringkali asimptomatik, tetapi

membutuhkan tata laksana yang segera dan tepat, yang disesuaikan dengan tingkat

keparahan infeksi. Tata laksana tersebut mencakup farmakoterapi (simptomatis

dan kausatif) dan non-farmakoterapi (seperti program diet, bed rest, maupun

pembedahan). Prognosis sangat ditentukan oleh rangkaian tata laksana

B. Saran

Sebagai seroang tenaga medis, sebaiknya tidak hanya memberikan tatalaksana

dari aspek kuratif saja untuk kasus Amebiasis ini karena sebenarnya kasus ini bisa

dicegah dengan menjaga higienitas makanan, minuman, dan lingkungan tempat

tinggal.

41

Page 42: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

DAFTAR PUSTAKA

Acuna-Soto R, Maguire JH, Wirth DF. Gender distribution in asymptomatic and invasive amebiasis. Am J Gastroenterol. 2000 May. 95(5):1277-83

Andayasari L (2011). Kajian epidemiiologi penyakit infeksi saluran pencernaan yang disebabkan oleh amuba di Indonesia. MEDIA penelitian dan pengembangan kesehatan, 21: 1-8.

CDC (2013). Amebiasis. http://www.cdc.gov/dpdx/amebiasis/

Dhawan VK (2015). Amebiasis. http://emedicine.medscape.com/article/212029-overview - Diakses Oktober 2015

Jawetz M, Adelberg’s. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi kedua. Alih Bahasa: Huriwati Hartanto, et al. Jakarta : EGC. 2008.

Navianti S, Sinuhaji AB. Resisten Trimetropim-Sulfametoksazol terhadap Shigellosis. Sari Pediatri. 2005; 7 (1): 39-44.

Pusat Informasi Obat Nasional (2015). http://pionas.pom.go.id/- Diakses Oktober 2015

Rahardjo R et al (2004). Kumpulan kuliah farmakologi.Ed.2. Jakarta: EGC

Redaelli M, Mahmoohdzad J, Lang R, Schencking M (2013). Globalised world, globalised diseases: A case report on an amoebiasis-associated colon perforation. World J Clin Cases, 16; 1(2): 79–81.

Reed SL (2012). Amebiasis. Dalam: Isselbacher KJ, Wilson JD, Fauci AS, Kasper D (2012). Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam Harrison’s. Singapura: Mc-Graw Hill

Rosdiana Safar (2009). Parasitologi Kedokteran. Jakarta:Yrama Widya

Soewondo ES (2010). Amebiasis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S (2010). Buku Ajar Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi 4. Jakarta: InternaPublishing

Stanley SL Jr. Amebiasis. Lancet. 2003 Mar 22. 361(9362):1025-34.

Stauffer W, Abd-Alla M, Ravdin JI. Prevalence and incidence of Entamoeba histolytica infection in South Africa and Egypt. Arch Med Res. 2006 Feb. 37(2):266-9

42

Page 43: Disentri Amoeba-Rabi'Atul a&Annisa Rahmatia

Sya’roni A. Disentri Basiler dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid III. Edisi kelima. Jakarta : FKUI. 2009. 2857-2860p.

Tanyuksell M, Petri WA (2003). Laboratory Diagnosis of Amebiasis. Clin Microbiol Rev,16(4): 713–729

Tjokroprawiro, Askandar. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga University Press. 2007.

Van Hal SJ, Stark DJ, Fotedar R, Marriott D, Ellis JT, Harkness JL. Amebiasis: current status in Australia. Med J Aust. 2007 Apr 16. 186(8):412-6

Valenzuela O, Morán P, Gómez A, Cordova K, Corrales N, Cardoza J, et al. Epidemiology of amoebic liver abscess in Mexico: the case of Sonora. Ann Trop Med Parasitol. 2007 Sep. 101(6):533-8

Ximénez C, Morán P, Rojas L, Valadez A, Gómez A. Reassessment of the epidemiology of amebiasis: state of the art. Infect Genet Evol. 2009 Dec. 9(6):1023-32

43