Diseksi Aorta

download Diseksi Aorta

of 24

description

diseksi aorta

Transcript of Diseksi Aorta

1) Diseksi AortaDiseksi aorta merupakan kejadian yang terjadi mendadak dimana darah mengalir menembus dinding aorta melalui robekan pada tunika intima dan membelah lapisan tengan sehingga terbentuk aliran yang salah, kejadian ini umumnya terjadi secara cepat. Diseksi aorta juga dapat timbul berhubungan dengan adanya ruptur vasa vasorum yang menimbulkan perdarahan pada tunika media yang kemudian dapat meluas dan mengalir kedalam lumen aorta melalui robekan pada tunika intima.Diseksi aorta terjadi karena robekan melingkar atau, yang lebih jarang terjadi yaitu karena robekan transversal pada tunika intima aorta. Lokasi yang paling sering terjadi yaitu pada dinding lateral pars ascendens aorta akibat tegangan yang tinggi. Daerah lain yang sering terkena yakni pada pars descendens aorta dibawah ligamentum arteriosum. (Dzau, 2014)a. KlasifikasiAda beberapa klasifikasi yang digunakan dalam mengelompokkan diseksi aorta.(1) Klasifikasi berdasarkan etiologiTabel 1.1 Keadaan keadaan yang beresiko mengalami diseksi aortaKeadaan keadaan yang beresiko mengalami diseksi aorta

1. Kelainan jaringan ikata. Fibrilinopati herediterSindroma MarfanSindroma Ehler Danlosb. Penyakit vaskular herediterKatup Aorta bikuspisKoarktasio2. Hipertensi kronis dan Aterosklerosisa. Merokok, dislipidemia, penggunaan kokainb. Inflamasi vascularGiant cell arteritisTakayasu arteritisBehcets diseaseSyphilisOrmonds disease3. Trauma dan penyebab iatrogenica. Trauma deselerasi (kecelakaan mobil, jatuh dari ketinggian)b. Faktro iatrogenicKateterisasiTindakan bedah aorta/katupGraft anastomosisPatch aortoplastyKanulasi

(Dzau, 2014)a) Kelainan jaringan ikatBerbagai mekanisme yang melemahkan lapisan medial dari aorta melalui apopleksi mikro dari dinding pembuluh darah serta berbagai macam penyakit yang berbeda menyebabkan peningkatan tegangan pada dinding aorta, yang kemudian dapat menyebabkan dilatasi aorta dan pembentukan aneurisma. Perdarahan intramural, diseksi aorta dan ruptur dinding aorta dapat terjadi. Tiga penyakit jaringan ikat yang diturunkan diketahui mempengaruhi dinding arteri, yakni Sindroma marfan, sindroma Ehler Danlos dan famililal aneurisma dan diseksi aorta torakalis. (Elefteriades, 2007)Diantara penyakit-penyakit herediter, sindroma marfan merupakan kelainan dengan prevalensi tertinggi yakni 1/7000. Pada penyakit ini lebih dari 100 mutasi pada gen fibrillin 1 telah diidentifikasi menyebabkan kecacatan fibrilin pada matriks ekstraseluler, yang berpengaruh pada mata,kardiovascular, skeletal, paru, juga kulit dan duramater. (Elefteriades, 2007)Peningkatan aktivitas metaloproteinase pada sel otot polos pembuluh darah aorta pada pasien dengan sindroma marfan menyebabkan fragmentasi pada tunika media. Disamping itu terdapat peningkatan ekspresi reseptor proliferator peroksisom (PPAR ) pada sel otot polos aorta penderita dengan sindroma marfan. Ekspresi PPAR inilah yang kemungkinan berperan pda patogenesis dan perkembangan degenerasi kistik tunika media pada penderita sindroma marfan. (Elefteriades, 2007)Sindroma Ehler Danlos termasuk dalam kelompok kelainan bawaan jaringan ikat, dengan karakterisitik hipermobilitas, hiperekstensibilitas kulit dan fragilitas jaringan. Insiden penyakit ini 1/5000 kelahiran. (Elefteriades, 2007)Kelainan bawaan aneurisma/diseksi aorta abdominal dan torakalis sulit dibedakan. Pada kelainan ini dijumpai mutasi pada gen COL3A1. Pada pasien- pasien dengan kelainan ini dijumpai gangguan pengkodean gen pembentuk kolagen, fibrilin, fibrulin, glikoprotein miofibril, matriks metaloproteinase dan inhibitornya. Patogenesis yang sama ditemukan pada koarktasio aorta dan aorta dengan arsitektur bikuspis. (Elefteriades, 2007)b) Hipertensi kronis dan aterosklerosisHipertensi kronis mempengaruhi komposisi dinding arteri menyebabkan penebalan, fibrosis, kalsifikasi dan deposisi asam lemak ekstraseluler. Bersamaan dengan itu matriks ekstraseluler mengalami degradasi, apoptosis dan hialinisasi kolagen yang lebih cepat. Kedua mekanisme ini menyebabkan gangguan tunika intima,terutama pada tepi plak. Terjadi peningkatan ketebalan tunika intima, yang kemudian dapat menyebabkan gangguan aliran nutrisi dan oksigen ke dinding arteri. Fibrosis pada tunika adventisia dapat menyebabkan obstruksi aliran darah yang mensuplai nutrisi dan oksigen. Kedua proses ini kemudian menyebabkan nekrosis sel otot polos dan fibrosis struktur elastis pada dinding pembulu darah yang kemudian menyebabkan kekakuan yang meningkatkan kerentanan terjadinya aneurisma dan diseksi. (Elefteriades, 2007)Aterosklerosis merupakan penyebab utama aneurisma aorta pada 435 kasus yang diteliti. Tunika intima aorta menunjukkan fibrosis hebat dan meningkatkan jumlah asam lemak pada matriks ekstraseluler. Sel histiosit kemudian mendegradasi matriks seluler yang kemudian dapat menggangu integritas tunika intima. Mekanisme ini kemudian mengarah pada ruptur tunika intima. Penebalan tunika intima menyebabkan peningkatan jarak antara lapisan endotel dan tunika media, yang kemudian menyebabkan gangguan aliran nutrisi dan oksigen. Semua perubahan-perubahan ini berkontribusi dalam meningkatkan kekakuan pembuluh darah dan peningkatan kerentanan terhadap terjadinya aneurisma dan diseksi. Ruptur lebih sering terjadi pada aorta pars ascendens (65%) dan lebih jarang pada aorta abdominalis (32%). Ruptur aorta ditemukan pada 0,9 % kasus kematian mendadak. Pada 62% diantaranya ditemukan diseksi aorta, aneurisma aterosklerosis sebanyak 37% dan pseudoaneurisma sebanyak 1,6%. (Elefteriades, 2007)c) Trauma dan penyebab iatrogenic15-20% kematian akibat kecelakan kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi berhubungan dengan trauma pada aorta. Sekitar 95% cedera timbul pada tempat dengan tekanan yang tinggi yakni pada isthmus aorta dan hanya 5% pda aorta pars ascendens. Cedera aorta dapat terbatas pada tunika intima atau dapat mengenai seluruh lapisan dinding arteri. Ruptur aorta pasca trauma tumpul dada, sering berkaitan dengan jejas pada miokardyang kemudian menyebabkan gagal jantung, infark miokard dan tamponade. Pembentukan aneurisma dan ruptur aorta dapat juga terjadi setelah tindakan bedah yang melibatkan aorta dan bahkan pasca resusitasi kardiopulmoner. Tindakan ESWL pada penghancuran batu saluran kemih juga dapat menyebabkan cedera aorta. Penyebab cedera aorta yang lain ialah tindakan kateterisasi jantung, baik yang bertujuan untuk diagnostik maupunprosedur intervensi. Diseksi aorta dapat pula terjadi pada pasien pasien yang pernah menjalani operasi katup aorta. (Elefteriades, 2007)Inflamasi dapat pula menyebabkan kerusakan tunika media dinding aorta yang kemudian mengarah kepada lemahnya dinding aorta, pelebaran dan terjadinya diseksi aorta. Diseksi aorta iatrogenic biasanya berkaitan dengan kateterisasi retrogade yang invasive, atau dapat timbul pada saat tindakan atau setelah tindakan operasi aorta. (Elefteriades, 2007)(2) Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomiBeberapa klasifikasi telah dikembangkan untuk kalsifikasi diseksi aorta. Dua klasifikasi yang paling umum digunakan ialah sistem klasifikasi De Bakey dan Stanford. Klasifikasi De Bakey mengkategorikan pasien dengan diseksi aorta menjadi 3 kelompok, berdasarkan lokasi dan perluasan dari diseksi. Pada tipe 1 (70%) diseksi melibatkan pars ascendens, transversum dan descendens. Pada tipe II (5%) hanya pars ascendens aorta yang terlibat, dan diseksi berhenti pada proksimal dari arteri inominata. Pada tipe III (25%) diseksi melibatkan pars descendens aorta thorakalis (IIIa) dan umumnya meluas hingga ke aorta abdominalis (IIIb). Kadang-kadang , diseksi melibatkan aorta ascendens akibat diseksi yang terjadi secara retrograde, yang memberikan gambaran anatomis seperti tipe 1. (Dzau, 2014) Perjalanan alamiah dari lesi tergantung hampir sepenuhnya pada ada tidaknya keterlibatan aorta pars ascendens. Sistem klasifikasi stanford jauh lebih sederhana dan hanya berdasarkan ada tidaknya keterlibatan aorta pars descendens terlepas dari primer lokasi robekan tunika intima dan perluasan diseksi kedistal.2 Dimana pada tipe A diseksi melibatkan aorta pars ascendens (diseksi proksimal) dan pada tipe B, diseksi hanya melibatkan aorta pars descendens (diseksi distal). Dari sudut pandang tatalaksana, klasifikasi diseksi aorta dan hematom intramural kedalam tipe A dan B dianggap lebih praktis dan lebih menguntungkan, karena klasifikasi DeBakey tipe I dan II juga ditatalaksana dengan cara yang sama. (Dzau, 2014)

Gambar 1.1 Klasifikasi Diseksi Aorta. Klasifikasi Stanford Gambar atas menggambarkan diseksi aorta tipe A yang mengenai aorta asendens bebas dari tempat robekan dan perluasan ke distal: diseksi aorta tipe B (gambar bawah) mengenai aorta transversal dan/atau desendens tanpa mengenai aorta ascendens. Klasifikasi DeBakey: Tipe I mengenai aorta asendens sampai desendens (kiri atas); tipe II terbatas aorta asendens atau transversal, tanpa mengenai aorta desendens (tengah atas + kanan atas); tipe III hanya mengenai aorta desendens (kiri bawah). (Dzau, 2014)b. PatofisiologiDiseksi aorta sering berkaitan dengan perubahan struktur dari tunika media. Perubahan histopatologis berupa medionecrosis, nekrosis kistik tunika media, fibrosis dan fragmentasi serabut elastin terjadi pada penyakit ini. Studi mengenai aorta yang tidak mengalami diseksi menunjukkan bahwa perubahan ini terjadi sebagai bagian dari proses penuaan; perubahan- perubahan tersebut tidak spesifik untuk diseksi dan perubahan tersebut dominan terjadi pada pasien pasien dengan hipertensi. (Elefteriades, 2007)Didapatkan bahwa lesi yang melibatkan serabut elastin dan kolagen dominan terjadi pada individu diatas usia 40 tahun dan pada pasien- pasien dengan sindroma marfan dan kelainan jaringan ikat. Defek yang terjadi pada matriks ekstraseluler ini menyebabkan hilangnya integritas/keutuhan dari dinding pembuluh darah. Kejadian diseksi pada pasien-pasien dengan lesi abnormal tersebut diatas umumnya terjadi pada pasien yang tidak mengalami hipertensi. Perubahan degeneratif pada sel otot polos ditemukan lebih banyak pada pasien- pasien usia tua. Hal ini mempunyai efek yang lebih ringan dalam mengakibatkan hilangnya integritas aorta dibandingkan lesi kolagen dan serabut elastin. Hipertensi telah diidentifikasi sebagai predisposisi utama pada pasien- pasien yang mengalami degenerasi sel-sel otot polos. (Crawford, 2009)Daun katup aorta yang bikuspis sembilan kali lebih sering berkaitan dengan kejadian diseksi dibandingkan katup aorta yang trikuspis; kelainan kongenital pada dinding aorta dapat timbul pada pasien- pasien tersebut. koarktasio aorta telah dikaitkan dengan peningkatan insidens dari diseksi aorta. Hal ini terjadi mungkin sehubungan dengan hipertensi arteri dan jarang berkaitan dengan keadan katup aorta bikuspis. Peranan kehamilan pada kejadian diseksi aorta masih belum dapat terpecahkan. Penyebab lain diseksi termasuk trauma, kateterisasi jantung, valvuloplasty balon intraaorta, kanulasi kardiopulmoner bypass dan tindakan manipulasi bedah pada aorta pars ascendens. (Crawford, 2009)Kebanyakan pasien (60-70%) mengalami diseksi aorta ascendens, dan hampir sepertiganya mengalami diseksi aorta descendens. Pada sekitar 90% pasien dengan deseksi aorta ascendens, robekan tempat masuk berlokasi pada aorta pars ascendens; 6% pasien mengalami robekan pada bagian arcus; dan 5% robekan terjadi pada aorta pars descendens. Kebanyakan pasien dengan diseksi aorta descendens mengalami robekan pada aorta pars descendens;15% mengalami robekan pada arcus aorta. (Crawford, 2009)Proses diseksi melibatkan fase inisial, yakni saat timbul robekan pada tunika intima, dan fase kedua ketika robekan menyebar. Beberapa faktor hemodinamik seperti komponen intrinsik dinding aorta turut menentukan kecenderungan untuk timbulnya robekan primer. Gerakan dan lengkungan eksternal terbesar terjadi pada aorta ascendens tiap kali ejeksi ventrikel. Muatan yang bersifat pulsatif (yang ditentukan oleh kontraktilitas jantung, isi sekuncup, elastisitas dinding arteri,dan tekanan darah) didapati paling besar pada aorta pars ascendens. Bagian teratas dari aorta torakal pars descendens juga mengalami puntiran dan melengkung pada tiap siklus jantung. Pada posisi ini arcus aorta bersifat relatif tidak bergerak terhadap aorta pars descendens. (Crawford, 2009)Perambatan diseksi dipengaruhi oleh laju peningkatan tekanan darah. Saluran yang salah berkembang dan merambat secara cepat, biasanya melibatkan setengah sampai duapertiga keliling pembuluh darah. Dinding dari pembuluh darah yang dipercabangkan aorta dapat terpengaruh oleh diseksi atau dapat terlepas dari lumen yang sesungguhnya menyebabkan titik reentri diantara dua lumen. Cabang yang mengalami avulsi dapat tetap terbuka, terhubung dengan lumen yang salah,atau dapat tertutup akibat diseksi. Perluasan ke arteri perifer yang terkena membantu menjelaskan variasi gejala dan tanda yang ditemukan. (Crawford, 2009)Diseksi biasanya terdiri dari lapisan tipis pada bagian terluar tunika media dan tunika adventisia aorta. Saluran yang salah biasanya mengalami ruptur kedalam pericardium atau rongga pleura kiri. Sebelum terjadi ruptur, pada banyak kasus darah mengalami ekstravasasi dan membentuk hematom yang luas pada daerah mediastinum. Trombosis pada saluran yang salah jarang terjadi. Pada kebanyakan pasien yang selamat dari kejadian diseksi aorta, lumen patologis yang terbentuk melebar dan mencapai ukuran aneurisma; ruptur dapat timbul dikemudian hari. (Crawford, 2009)c. DiagnosisDiagnosis diseksi aorta ditegakkan berdasarkan klinis pasien serta pemeriksaan penunjang lainnya.Manifestasi KlinisDiseksi dikatakan akut bila awal timbulnya klinis diseksi dialami penderita selama kurang dari 2 minggu dan dikatakan kronis bila lebih dari 2 minggu. Pasien pasien dengan diseksi tipe A biasanya berusia lebih muda (rata-rata 49 tahun, dimana pasien diseksi tipe B umumnya berusia 60an) dan lebih sedikit dengan riwayat hipertensi (30%,pasien diseksi tipe B 71% dengan riwayat hipertensi). (Crawford, 2009)Seadainya semua pasien dengan diseksi aorta datang dengan keluhan klasik maka diseksi aorta dapat dengan mudah dibedakan dengan sindroma akut lainnya. Namun, pada kenyataannya hanya sekelompok kecil pasien yang datang dengan gejala dan tanda klasik yang khas. Dan berbeda dengan pendapat umumnya, pada kebanyakan kasus tidak ada aktivitas khusus yang memicu timbulnya diseksi; hanya sekelompok kecil pasien yang dilaporkan sedang melakukan aktivitas fisik yang berat sebelum diseksi aorta terjadi. (Crawford, 2009)a) Gejala1) NyeriCiri khas diseksi yang ditemukan pada hampir semua kasus ialah nyeri. Pada laporan IRAD, yang melaporkan serial kasus sebanyak 464 pasien dari berbagai pusat penelitian diberbagai negara, 96% pasien dilaporkan datang dengan keluhan nyeri. Tiga perempatnya mengeluhkan nyeri didada, baik anterior, interskapula ataupun keduanya dan terkadang nyeri meluas keleher. Setengahnya mengalami nyeri pada punggung, dan sepertiganya mengeluhkan nyeri perut. Ada beberapa pasien yang mengeluhkan nyeri pada tungkai, walaupun nyeri ini hanya bersifat sementara. (Crawford, 2009)2) SinkopWalaupun nyeri merupakan gejala yang umum ditemukan, pasien mungkin datang dengan gejala yang kurang umum terjadi. Pasien dapat datang dengan berbagai gejala neurologis. Sinkop dijumpai pada 13% kasus. Pada tipe A manifestasi sinkop lebih banyak dijumpai yaitu 19% dibandingkan hanya 3% pada kasus-kasus diseksi tipe B. Mekanisme pasti belum diketahui, namun beberapa kemungkinan penyebab terjadinya sinkop termasuk hemoperikardium akibat ruptur, insufisiensi aorta yang akut, gangguan aliran darah keotak dan adanya respons vagal akibat nyeri hebat. (Crawford, 2009)3) Sesak nafasPasien dapat datang dengan gejala- gejala edema paru, seperti dispnea dan orthopnea. (Crawford, 2009)Tabel 1.2 Gejala- gejala diseksi aorta Gejala

Keluhan nyeri Lokasi nyeri

Derajat nyeriOnset nyeriKualitas nyeri Iskemia jantung

Nyeri perut Iskemia ginjal Nyeri tungkai Paraplegia

Sinkop Dispnea 96% pasien mengeluhkan nyeriNyeri pada sisi anterior menggambarkan diseksi pars ascendensNyeri pada sisi posterior mengambarkan diseksi pars descendens10 dari skala 1 sd 10Mendadak ( bedakan dengan miokard infark)Seperti disayatGejala angina/infark dapat timbul bila melibatkan Arteri koronaria kananGambaran iskemia intestinalBiasanya asimptomatikTerjadi akibat keterlibatan arteri iliaka pada proses diseksiAkibat iskemia medula spiinalis dan iskemia sistem saraf periferAkibat Keterlibatan pembuluh darah otak, tamponade, insufusiensi aorta akut, respons vasovagal terhadap nyeriDiakibatkan insufisensi akut aorta yang ditoleransi buruk

(Elefteriades, 2007) b) Tanda1) Tekanan darah yang abnormalSeparuh dari keseluruhan pasien dengan diseksi aorta yang akut mengalami hipertensi yang signifikan pada saat datang (Tekanan darah sistolik >150 mmHg), memnuat hal ini sebagai salah satu tanda diagnostik yang umum. Pada saat datang hipertensi dapat berat atau bahkan sangat berat dengan tekanan darah sistolik berkisar 180-200 mmHg. Prevalensi hipertensi berbeda secara signifikan pada masing-masing tipe diseksi. Diantara pasien- pasien dengan diseksi aorta tipe B dijumpai sekitar 70% dengan hipertensi pada saat datang dan hanya 36% dijumpai pada penderita dengan diseksi tipe A. Pada tipe A yang umumnya terjadi ialah hipotensi, 12% datang dengan hipotensi (Tekanan darah sistolik berkisar 81-99 mmHg) dan 13%nya dengan syok (Tekanan darah sistolik 80 mmHg). Kejadian hipotensi hanya dijumpai sejumlah 2% pada kasus-kasus diseksi tipe B. (Elefteriades, 2007) 2) Aorta insufisiensiDiseksi yang melibatkan pangkal aorta atau aorta pars ascendens, sering disertai dengan insufisiensi aorta yang akut. Insufisiensi yang ringan sulit diketahui pada auskultasi jantung, namun pada keadaaan insufisiensi yang berat, murmur diastolik decresendo biasanya terdengar. Ditemukannya murmur diastolik decresendon mengarahkan pemeriksa pada pemikiran adanya suatu insufisiensi aorta. Suatu keadaan insufisiensi aorta yang akut dan berat terbatas hanya pada diseksi aorta ataupun endokarditis katup aorta, sehingga pemeriksa harus dapat membedakan kedua keadaan tersebut secara cepat berdasarkan klinis yang ada. (Elefteriades, 2007)Adanya insufisiensi aorta dapat berakibat pada kejadian oedem paru akut, sehingga pasien dapat datang dengan klinis takipnea, hipoksemia, saturasi O2 yang rendah dan takikardi. Pada pasien dengan ronki basah akibat udem paru dan sulit untuk bernafas, murmur diastolik mungkin sulit ditemukan walaupun insufiensi yang terjadi sangat berat. Tekanan nadi yang luas dapat menjadi petunjuk adanya suatu insufisiensi aorta. Namun kadang tekanan nadi yang luas tidak dijumpai pada keadaaan akut. (Elefteriades, 2007)Dari keseluruhan pasien, gagal jantung kongestif terjadi pada 6% pasien- pasien yang mengalami diseksi aorta. 80% dari pasien- pasien diseksi yang mengalami gagal jantung kongestif merupakan pasien dengan tipe A, dan 20%nya pasien-pasien dengan diseksi tipe B. Pasien- pasien yang mengalami gagal jantung kongestif kemungkinan berkaitan dengan hipertensi yang signifikan, adanya disfungsi diastolik. (Elefteriades, 2007)3) Pulsus deficitKetika diseksi aorta menyebabkan gangguan aliran darah kesalah satu ekstremitaas, tekanan darah yang berbeda antar ekstremitas dapat timbul yang dikenal dengan istilah pulsus defisit. Pulsus defisit lebih sering terdeteksi pada lengan dan oleh karena diseksi aorta tipe B berlokasi distal dari arteri subclavia, maka keadaan ini jarang menyebabkan gangguan aliran darah kelengan. Pulsus defisit dijumpai dua kali lebih banyak pada keadaan diseksi aorta tipe A (30% : 20%). Pengukuran tekanan darah hanya pada satu sisi yang mengalami pulsus defisit akan dibaca sebagai keadaan tekanan darah rendah. Yang kemudian akan mengarah kepada diagnosa dan pemberian terapi yang salah. (Elefteriades, 2007)4) Tanda lainnyaPasien pasien dengan diseksi aorta dapat datang dengan keluhan demam, yang disertai leukositosis dan peningkatan sedimentasi eritrosit; penyebab demam belum dapat dijelaskan. Apda beberapa kasus, diseksi aorta juga dapat menyebabkan suara serak, obstruksi jalan nafas atas, hemoptisis (akibat ruptur kedalam percabangan trakeobronkhial), hematemesis (sehubungan dengan ruptur ke esofagus) serta adanya massa yang berpulsasi pada leher. (Elefteriades, 2007)c) Pemeriksaan Penunjang1) ElektrokardiogramElektrokardiogram (EKG) 12 lead harus dilakukan untuk melihat ada tidaknya gambaran iskemia pada setiap pasien yang datang dengan nyeri dada atau yang disangkakan diseksi aorta. EKG berguna dalam memberikan informasi prognostik. Dari suatu studi observasional pada pasien- pasien dengan diseksi akut ditemukan bahwa abnormalitas EKG berperan sebagai faktor prediktor independen terhadap angka kematian di RS. (Elefteriades, 2007)Hal yang dilematis, ialah dalam membedakan antara sindroma koroner akut dan sindroma aorta akut. Dimana, umumnya pasien pada kedua keadaan tersebut mempunyai faktor resiko yang saling tumpang tindih serta memberikan manifestasi klinis yang sama. (Elefteriades, 2007)Pada keadaan ini, suatu gambaran EKG normal dapat meyakinkan klinisi untuk lebih mengutamakan diagnosa diseksi aorta dibandingkan suatu sindroma koroner akut. Namun abnormalitas repolarisasi yang nonspesifik (Segmen ST dan gelombang T) merupakan temuan paling sering pada kasus- kasus diseksi aorta. Dalam persentase kecil, pasien dengan diseksi aorta dirumitkan dengan adanya keadaan yang terjadi bersamaan dengan sindroma koroner akut. Hal ini yang kemudian membatasi kemampuan EKG dalam membuat suatu diferensial diagnosis.(Dzau, 2014)2) Foto ThoraksWalaupun tersedia dengan mudah dan umumnya berperan untuk evaluasi di unit gawat darurat, foto thoraks mempunyai keterbatasan dalam mengkonfirmasi suatu keadaan diseksi aorta, dengan sensitivitas dan spesifitasnya masing-masing 64% dan 86%. Secara klasik ditemukan pelebaran mediastinum atau adanya abnormalitas kontur aorta pada 75% subjek dengan diseksi aorta. Jika dijumpai gambaran kalsifikasi pada aorta, pemisahan jarak dari bagian yang mengalami kalsifikasi pada tunika intima ke bagian terluar dari aorta lebih dari 1 cm yang disebut sebagai calcium sign merupakan suatu gambaran sugestif walaupun bukan diagnosa pasti adanya diseksi aorta. Namun penting untuk diketahui 15% pasien-pasien diseksi aorta memberikan gambaran foto thoraks yang normal. Petunjuk lain yang berkaitan dengan adanya diseksi aorta ialah efusi perikard dan efusi pleura serta adanya deviasi trakea keatas, namun temuan ini tidak spesifik. Oleh karena itu adanya gambaran foto thoraks yang normal tidak serta merta menyingkirkan diagnosis suatu sindroma akut aorta. Pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan modalitas pencitraan aorta yang jauh lebih sensitif. (Dzau, 2014)Tabel 1.3 Gambaran diseksi aorta pada foto thoraksTemuan Radiologis pada kasus-kasus Diseksi Aorta Torakalis

1. Pelebaran mediastinum (pelebaran aorta ascendens, pelebaran pangkal aorta dan pelebaran aorta pars descendens)2. Gambaran Pangkal aorta yang kabur3. Pelebaran bayangan paraspinal4. Efusi pleura (ipsilateral aorta)5. Pergeseran trakhea atau distorsi cabang utama bronkus kiri6. Kalsifikasi tunika intima yang terpisah

(Dzau, 2014)3) Pencitraan aorta modernSejumlah modalitas dengan tingkat sensitifitas yang tinggi telah ada sehingga dapat memberikan evaluasi yang lebih akurat dan terperinci. Ditemukannya lapisan tunika intima aorta yang memisahkan lumen sejati dari pseudo lumen didefinisikan sebagai tanda diseksi aorta. Adanya resolusi gambar yang tinggi yang dihasilkan oleh generasi ultrasonografi dan tomografi terbaru memungkinkan ditemukannya berbagai varian dari diseksi aorta akut seperti hematom intramural serta ulkus aorta yang berpenetrasi. (Elefteriades, 2007) a) CT scanGenerasi terbaru CT scan memberikan gambaran aorta yang sangat baik pada sindroma aorta akut dengan sensitivitas lebih dari 95%. CT scan juga berguna dalam memvisualisasikan panjang aorta dan percabangan pembuluh darah yang terkait, ada tidaknya perdarahan pada rongga perikardium, efusi pleura, ulkus aorta yang berpenetrasi dan hematom intramural. CT scan sering digunakan sebagai pencitraan lanjutan awal pada kasus-kasus diseksi aorta. Keterbatasan CT scan terletak pada ketidakmampuannya dalam memberi gambaran fungsi jantung dan katup katup, zat kontras yang bersifat nefrotoksik, dan terbatas dalam mengidentifikasi robekan tunika intima yang kecil. (Elefteriades, 2007)CT scan dengan resolusi yang tinggi dikombinasikan dengan posisi pengambilan gambar secara transversal memberikan akurasi yang tinggi dalam evaluasi pembuluh darah dimana aorta sendiri terletak secara vertikal dalam tubuh. (Elefteriades, 2007)Pada diseksi aorta, CT scan dapat membedakan lumen yang sebenarnya dengan lumen yang palsu. Lumen yang sebenarnya biasanya kecil dan karena kecepatan aliran darah lebih tinggi pada daerah ini dibandingkan lumen palsu maka dijumpai gambaran penyangatan kontras pada CT scan dengan kontras. Pada pengambilan gambar secara potong lintang/cross sectional lapisan yang mengalami diseksi membentuk sudut terhadap lapisan terluar dari lumen yang salah membentuk gambaran seperti paruh burung beak sign. (Elefteriades, 2007)Tabel 1.4 Temuan CT scan pada diseksi aortaTemuan CT scan pada Diseksi Aorta

Tanpa KontrasDengan kontras

1. Pergeseran tunika intima yang mengalami kalsifikasi dari dinding pembuluh darah2. Gambaran trombosis pada lumen yang salah3. Hematom periaorta4. Perubahan kontur aortaIntimal flap

(Elefteriades, 2007)b) EchocardiographyPrinsip kerja Echocardiography yaitu berdasarkan pada refleksi gelombang ultrasound yang ditransmisikan oleh transducer terhadap organ yang akan dinilai. Amplitudo dan perlambatan waku dari gelombang echo yang direfleksikan oleh organ yang dinilai sehubungan dengan jarak relatifnya terhadap transducer dan adanya perbedaan dari masing- masing struktur akan diubah dalam bentuk gambar satu dimensi (M mode) atau dua dimensi (2D echo) yang pada akhirnya kemudian akan memberikan informasi anatomis dan dengan mengkombinasikan gambaran dari echo dua dimensi maka akan tampak gambaran yang lebih baik pada echo 3 dimensi yang berkembang sekarang. (Elefteriades, 2007)Dengan menggunakan efek Doppler, aliran darah dapat dinilai dan dikarakteristikkan apakah aliran tersebut laminer atau turbulen, dimana arah dan kecepatan aliran juga dapat dinilai. (Elefteriades, 2007)Walaupun kegunaannya untuk mengevaluasi jantung dan aorta bagian proksimal, Transthoracic echocardiography (TTE) dapat mengidentifikasi diseksi aorta pada segmen ini dan memungkinkan klinisi secara cepat mengevaluasi komplikasi potensial yang terjadi, seperti regurgitasi aorta, tamponade jantung dan gangguan fungsi ventrikel kiri. TTE dapat digunakan untuk skrining kejadian diseksi aorta pada pasien- pasien yang datang dalam keadaan syok atau sinkop yang tidak dijelaskan. Transesophageal echocardiography (TEE) memberikan gambaran aorta yang sangat baik mulai dari pangkal sampai dengan distal dari aorta pars descendens. Sebagai tambahan, adanya color flow doppler memugkinkan penilaian aliran darah diseluruh aorta dan aliran darah antara lumen yang sebenarnya dengan pseudolumen. Sensitivitas dan spesifitas TEE dalam mendiagnosis diseksi aorta mencapai 99% dan 89%. (Elefteriades, 2007)c) AortografiPenggunaan aortografi invasif telah digantikan dengan modalitas pencitraan yang lebih praktis dan noninvasif seperti CT scan echocardiography. Walaupun mempunyai nilai sensitivitas yang tinggi dalam mendiagnosa diseksi aorta, tindakan angiografi membutuhkan akses arteri, pemaparan pasien terhadap zat kontras dan mempunyai kemampuan terbatas dalam mendiagnosa hematom intramural. (Elefteriades, 2007)d) Magnetic Resonance Imaging (MRI)Alat ini menawarkan resolusi gambar yang sangat baik dan mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi, namun MRI tidak sering digunakan sebagai studi pencitraan awal. Ketidakmampuan memonitor pasien yang tidak stabil, ketersediaan alat yang terbatas dan tidak kompatibel dengan alat-alat implan ataupun prostesis merupakan hal- hal yang menjelaskan mengapa alat ini jarang digunakan. Alat ini idealnya digunakan pada pasien stabil yang membutuhkan pencitraan lebih tinggi . (Elefteriades, 2007)d. Penatalaksana1) PencegahanDiseksi akut dapat dicegah pada banyak pasien dengan pengobatan yang baik pada penyakit hipertensi dan deteksi dini pasien-pasien yang diketahui beresiko mengalami diseksi aorta. Pasein- pasien dengan sindroma marfan dan kelainan jaringan ikat lainnya serta aorta dengan daun katup bikuspis dapat mengalami diseksi aorta dengan atau tanpa hipertensi. Pasien- pasien ini harus diawasi dengan baik dan dilakukan follow up mengenai ada tidaknya dilatasi aorta. (Elefteriades, 2007)Karena resiko untuk mengalami diseksi aorta tiga kali lebih besar pada pasien dengan riwayat keluarga menderita diseksi aorta dan pasien dengan dilatasi aorta (pada rentang 50-60 mm), pasien dengan sindroma marfan dan pasien-pasien dengan kelainan jaringan ikat lainnya harus menjalani evaluasi jantung, termasuk TTE tiap tahun. Bila dijumpai aorta melebar 1,3 kali lebih besar dari ukuran normal, evaluasi dianjurkan dilakukan tiap 6 bulan. (Elefteriades, 2007)2) PengobatanTerapi optimal harus diberikan pada pasien- pasien dengan diseksi aorta, pada saat diagnosa ditegakkan. Terapi obat-obatan yang cepat yang diikuti dengan terapi bedah yang tepat berkaitan dengan perbaikan angka harapan hidup yang signifikan. (Crawford, 2009)Semua pasien yang disangkakan mengalami diseksi aorta harus dievaluasi dan diobati secara emergensi. Tujuan awal ialah menstabilisasi perambatan diseksi dan mencegah ruptur. Tanpa memperhatikan lokasi diseksi, semua pasien harus mendapatkan terapi farmakologis secepat mungkin. Pasien-pasien yang disangkakan diseksi aorta harus segera mungkin dirawat diruang ICU untuk monitoring ketat tekanan arteri dan vena, jumlah pengeluaran urine dan perubahan gambaran elektrokardiogram. (Crawford, 2009)Terapi obat-obatanPenurunan tekanan arteri secara cepat tercapai secara efektif dengan penggunaan sodium nitroprusidde (2-10 mg/kgBB/menit IV). Dosis dititrasi sampai sesuai respons tekanan darah. Pembrian beta blocker secara rutin digunakan. Pemberian propanolol intra vena (1-2 mg/5 menit, sampai respons memuaskan) digunakan untuk menjaga frekuensi jantung pada kisaran 65-70 kali permenit. Ketika keadaan stabil tercapai, pasien harus dipersiapkan untuk pemeriksaan pencitraan aorta dan dikonsultasikan dengan ahli bedah kardiovaskular. (Crawford, 2009)Terapi obat-obatan merupakan satu-satunya terapi pada pasien pasien diseksi aorta pars ascending dengan keadaaan serius yang menjadi kontraindikasi tindakan operatif. (Crawford, 2009)Tindakan operatifTujuan dari tindakan operatif ialah mencegah kematian akibat ruptur aorta dan untuk membentuk kembali aliran darah ke arteri yang tertutup oleh diseksi. Tujuan berikutnya ialah untuk mengkoreksi regurgitasi aorta yang timbul. Tindakan operatif ini diindikasikan untuk:a. Diseksi tipe A akutIntervensi bedah darurat merupakan pilihan terapi terhadap seluruh pasien. Namun terdapat pertimbangan tertentu, termasuk usia tua (usia 85 tahun) dan pasien-pasien dengan keadaan mengancam nyawa lainnya. (Crawford, 2009)b. Diseksi tipe B akutTatalaksana optimal dari diseksi tipe B yang akut masih kontroversial, umumnya pasien-pasien kelompok ini mendapat terapi dengan obat-obatan. Rekomendasi ini sehubungan dengan tingginya angka mortalitas dan morbiditas pasca operasi. (Crawford, 2009)Tindakan bedah dilakukan pada pasien-pasien dengan komplikasi misalnya, pelebaran aorta dan ruptur, gangguan organ distal, nyeri yang persisten, hipertensi yang tidak terkontrol, atau diseksi yang semakin memburuk pada terapi dengan obat-obatan. (Crawford, 2009)Beberapa metode pembedahan adalah: a. Penggantian bagian yang rusak dengan tube graft ,ketika tidak ada kerusakan pada katup aorta.b. Penggantian bagian yang rusak dari aorta dan penggantian katup aorta.c. Penyisipan stent graft (stent tertutup), TEVAR (thoracic endovascular aortic repair). Hal ini biasanya dikombinasikan terapi medis.d. Penggantian bagian yang rusak dari aorta dengan cangkok vaskuler sutureless konektor diperkuat cincin dacron. Vascular cincin konektor (VRC) adalah sebuah cincin digunakan sebagai stent di cangkok vaskuler untuk mencapai anastomosis. (Crawford, 2009)f. PrognosisTanpa pengobatan, resiko kematian selama fase inisial dari diseksi aorta akut sangat tinggi. Secara umum diyakini, sekitar 10-15% pasien meninggal pada 15 menit pertama kejadian. Sekitar 50% bertahan hidup dalam 48 jam, dan hanya 10% yang dapat bertahan setelah 3 bulan. Tanpa pengobatan, hanya 8% pasien dengan diseksi aorta pars ascendens yang bertahan lebih dari 1 bulan, dan 75% pasien-pasien diseksi aorta pars descendens yang dapat bertahan selama 1 bulan. (Crawford, 2009)Prognosis pasien-pasien dengan diseksi aorta akut telah membaik secara signifikan sebagai hasil dari diagnosa yang lebih dini dan lebih akurat, terapi medis yang efektif dan teknik bedah yang semakin baik. Pada sebuah survey yang mengamati pasien-pasien diseksi aorta yang mendapatkan terapi medis hanya 43% pasien-pasien dengan diseksi tipe A yang bertahan hidup 1 bulan pertama pasca kejadian diseksi dan 91% pasien pasien dengan diseksi tipe B. Angka harapan hidup selama 5 tahun pada pasien- pasien yang selamat dari kejadian diseksi aorta yang kemudian mendapat terapi medis, menunjukkan tidak ada perbedaan antara tipe A dan B. Beberapa faktor dapat mempengaruhi prognosis jangka panjang pada pasien-pasien yang mendapatkan pengobatan; hal ini termasuk usia, ada tidaknya komplikasi serius sebelum pemberian terapi, dan ukuran diameter aorta pars descendens (> 5 cm). (Crawford, 2009)

2) Penyakit Arteri oklusif Penyakit arteri oklusif merupakan penyumbatan atau penyempitan lumen aorta dan cabang-cabang utamanya yang menimbulkan gangguan aliran darah. Penyakit arteri oklusif dapat mengenai arteri karotis, vertebralis, inominata, subklavia, mesenterika, dan arteri seliaka.Penyakit arteri oklusif lebih sering terjadi pada pria dari pada wanita. Prognosisnya bergantung pada lokasi oklusi, pertumbuhan sirkulasi kolateral untuk mengimbangi berkurangnya aliran darah, dan pada kasus yang akut juga bergantung pada waktu yang dilalui antara kejadian oklusi dan penanganannya. (Sylvia A price. 2012)

a. EtiologiPenyakit arteri oklusif merupkan komplikasi aterosklerosis yang sering dijumpai. Mekanisme oklusinya bisa bersifat edogenus. Yang di sebabkan oleh pembentukan emboli atau trombus, atau eksogenus, yang disebabkan oleh trauma atau fraktur. Faktor prediposisi bagi penyakit arteri oklusif meliputi kebiasaan merokok, pertambahan usia, keadaan hipertensi, hiperlipidemia, serta diabetes melitus dan riwayat gangguan vaskuler, infark miokard atau stroke dalam keluarga. (Sylvia, 2012)b. Faktor resikoDapat di modifikasia) Rokok ; nikotin menyebabkan vasokonstriksi dan spasme pada arteria sehingga mengurangi suplai darah pada ekstremitas. Karbondioksida (CO2) yang dihirup dari asap rokok dapat mengurangi kemampuan darah untuk membawa oksigen (O2) ke jaringan.b) Hipertensi ; menyebabkan jaringan kolagen fibrosa menggantikan jaringan elastis dari arteria, membuat dinding arteria menjadi kurang elastis dan meningkatkan perlawanan terhadap sirkulasi darah.c) Hiperlipidemia ; peningkatan lipid dalam darah seperti kolesterol dan trigliserida dapat membentuk plak-plak aterosklerotik dalam pembuluh darah arteri.d) Obesitas ; menambah beban pada jantung dan pembuluh darah, kelebihan lemak dapat menambah kongesti vena.e) DM (Kurt, 2014)

Tidak dapat dimodifikasia) Usiab) Rasc) Jenis kelamind) Herediter e) Riwayat gangguan vaskuler, infark miokard atau stroke dalam keluarga (Kurt, 2014)

c. PatofisiologiPenyakit oklusif arteri kronik secara progresif akan menyempitkan lumen arteri dan meningkatkan resitensi terhadap aliran darah. Dengan meningkatnya resistensi, maka aliran ke jaringan luar di luar lesi akan berkurang. Jika kebutuhan oksigen pada jaringan tersebut melebihi kemampuan pembuluh darah untuk menyuplai oksigen, jaringan tersebut akan mengalami iskemia. (Sylvia A price. 2012)Keparahan iskemia di sebelah distal dari sebuah lesi obstruktif tidak hanya bergantung pada lokasi dan luasnya oklusi, tetapi juga pada derajat aliran kolateral disekitar lesi. Untungnya, lesi aterosklerotik cendrung terlokalisir, dan perluasan terjadi bersamaan dengan berkembangnya sirkulasi kolateral. Pada lesi-lesiyang terkolisir, bagian distal arteri ini tetap paten; sehingga jalur alternatif dapat memintas lesi untuk mempertahan kan perfusi jaringan dibelakang lesi tersebut. Dengan meningkatnya resistensi aliran pada tempat obstruksi, tekanan pada bagian proksimal lesi meningkat sepadan dengan penurunan tekanan pada bagian distal lesi. Perbedaan tekanan ini akan melewati obstruksi dan mempermudah aliran melalui pembuluh darah koleteral. Pembuluh darah koleteral ini secara bertahap akan membesar. Meningkatnya kecepatan aliran melalui pembuluh darah koleteralakan merangsang perkembangan koleteral. Oklusi akut akan menyebabkan iskemia yang berat, karena tidak cukup waktu untuk embentuk jaringan koleteral. Kecukupan aliran koleteral juga akan terganggu pada penyakit yang menyerang koleteral tersebut. (Sylvia, 2012)Oklusi arteri akut adalah komplikasi primer dari proses penyakit lain. Oklusi paling sering timbul pada ekstrimitas bawah, tapi ekstremitas atas juga dapat terserang. Oklusi arteri akut dapat disebabkan oleh trombosit atau emboli. Trombosis adalah pembentukan bekuan darah atau trombus didalam sistem pembuluh darah. Trombosis arteri biasanya terjadi pada tempat yang memiliki plak aterosklerotik atau dalam aneurisma arteri. Terlepasnya trombus kedalam aliran darah disebut sebagai embolisasi. Embolus in didorong mengikuti arus aliran darah untuk masuk kecabang-cabang sistem arteri yang lebih kecil, dan menyumbat lumen pembuluh darah tersebut. (Sylvia, 2012)Sebagian besar emboli arteri berasal dari jantung sebelah kiri. Stenosis mitralis dan fibrilasi atrium mengganggu pengosongan atrium kiri yang merupakan faktor prediposisi terbentuknya trombus arteri. Infark miokardium transmural membuat permukaan endotelial menjadi kasar, sehingga meningkatkan potensi terbentuknya trombus ventrikel mural. Embolisasi dapat juga berasal dari lepasnya trombus suatu anurisma ventrikel. Terlpasnya trombus dari ruangan jantung (bergantung pada ukuran dan arah perjalanan bekuan) berpotensi membahayakan. Emboli cenderung tersangkut pada daerah-daerah bifurkarsio dan percabangan. Istilah sadle embolus mengarah pada oklusi akut bifurkarsi aorta dan arteria iliaka. (Sylvia, 2012)Suatu keadaan yang disebut atereoembolisme spontan semakin dikenal dengan makin meningkatnya frekuensipenyakit ini. Trombus yang berasal dari sebuah plak aterosklerotik dapat terlepas dan menyebar kedistal. Emboli ini dapat mengandung sisa-sisa plak ateromatosa erta trombus. Mikremboli, yang terdiri dari agregasi trombosit atau pecahan-pecahan kolesterol dapat juga terjadi, sehingga menimbulkan oklusi akut pada salah satu jari. (Sylvia, 2012)

d. GejalaTanda khas insufisiensi arteri perifer adalah klaudikasi intermiten. Nyeri ini datang mendadak dan dapat dirasakan ebagai ngilu, kram, kelelahan atau kelemahan. Nyeri istirahat bersifat menetap, ngilu dan tidak nyaman dan biasanya terjadi pada bagian distal ekstremitas. Menaikkan ekstremitas atau meletakkannya secara horizontal akan meningkatkan nyeri. Sedang bila digantungkan akan menguragi nyeri. Sebagian pasien tidur dengan tungkai yang sakit tergantung di sisi tempat tidur sebagai usaha mengurangi nyeri. (Sylvia, 2012)Lokasi nyeri berhubungan erat dengan lokasi penyakit arteri, segmen arteri yang terserang selalu terletak di sebelah proksimal dari daerah otot yang iskemik nyeri yang timbul saat istirahat menunjukkan adanya penyakit oklusif yang lanjut. Nyeri iskemik pada waktu istirahat secara khas timbul di bagian distal kki dan jari-jari kaki dan dirasakan sebagai gabungan parestesia dan rasa tidak enak. (Sylvia, 2012)Perasaan dingin atau baal pada ekstreminitas dapat menyertai klaudikasi intermiten yang disebabkan oleh penurunan aliran arteri. Bila ekstremitas diperiksa mungkin terasa dingin dan tampak puncat saat ditinggikan atau kasar dan sianotik pada posisi tergantung. Perubahan kulit dan kuku, ulkus, gangren dan atrofi otot tampak jelas. Dapat terdengar bruit pada auskultasi dengan stetoskop (bruit adalah suara yang di hasilkan akibat turbulensi aliran darah melalui pembuluh darah yang ireguler, stenotik atau melalui segmen pembuluh darah yang mengalami dilatasi/ aneurisma). Denyut nadi perifer bisa melemah atau hilang sama sekali. (Sylvia, 2012)Pemeriksaan denyut nadi perifer adalah bagian yang sangat penting untuk pengkajian arteri oklusif. Denyut nadi yang tidak sama antara kedua ekstremitas atau tidak terabanya denyut normal adalah tanda pasti adanya oklusi. Denyut nadi femoral diselangkangan dan denyut tibialis posterior di samping maleolus medialis adaah denyut yang paling mudah di raba. Denyut nadi poplitea kadang sulit dirasa di belakang lutut pda pasien obes; lokasi arteri dorsalis pedis sangat bervariasi dan normalnya tak terdapat pada sekitar 7% populasi. (Sylvia, 2012)Pemeriksaan penunjangDiagnosis penyakit oklusif biasanya ditentukan oleh riwayat pasien dan hasil pemeriksaan fisik. Tes yang berkaitan dengan penyakit ini akan mendukung diagnosis.a. Arteriografi memperlihatkan tipe oklusi (trombus atau emboli), lokasi serta derajat obstruksi dan sirkulasi kolateral. Arteriografi teruama berguna pada oklusi yang kronis atau untuk mengevaluasi calon pembedahan rekonstruksi.b. Ultrasonografi doppler dan plestimografi merupakan pemeriksaan noninvasif yang memperlihatkan pengurangan aliran darah di sebelah distal oklusi pada keadaan yang akut.c. Oftalmodinamometri membantu menentukan derajat obstruksi dalam arteri karotis interna dengan membandingkan tekanan arteri ofalmika terhadap tekanan arteri brakialis pada sisi yang terkena. Perbedaan antara kedua tekanan tersebut sebesar lebih dari 20% menunjukan kemungkinan insufiensi.d. EEG dan CT scan diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya lesi otak. (Sylvia, 2012)

e. PenatalaksanaanFarmako terapia) Antihipertensif untuk mempertahankan tekanan sistolik pada 120mmHg atau kurangb) Propanolol (inderal) untuk menurunkan kekuatan pulsasi dalam aorta dengan menurunkan kontraktilitas miokard.c) Pembedahan bila terapi obat gagal untuk mencegah pembesaran aneurisma atau pasien menunjukan gejala-gejala distress akut. Pembedahan meliputi eksisi dan pengangkatan aneurisma dan pengantian dengan graf sintetik untuk memperbaiki kontinuitas vaskular.(Sylvia, 2012)Nonfarmakologia) Berhenti merokokb) Makanan rendah lemak dan kolesterolc) Olahraga (Setiati, 2014)