Disaster Jiwa
-
Upload
nia-mitra-agustin -
Category
Documents
-
view
56 -
download
0
description
Transcript of Disaster Jiwa
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Profesi keperawatan bersifat luwes dan mencakup segala kondisi, dimana
perawat tidak hanya terbatas pada pemberian asuhan dirumah sakit saja melainkan
juga dituntut mampu bekerja dalam kondisi siaga tanggap bencana. Situasi
penanganan antara keadaan siaga dan keadaan normal memang sangat berbeda,
sehingga perawat harus mampu secara skill dan teknik dalam menghadapi
kondisi seperti ini. Kegiatan pertolongan medis dan perawatan dalam keadaan
siaga bencana dapat dilakukan oleh proesi keperawatan. Berbekal pengetahuan
dan kemampuan yang dimiliki seorang perawat bisa melakukan pertolongan siaga
bencana dalam berbagai bentuk. Dalam penulisan makalah ini akan dijelaskan
pentingnya peran perawat dalam situasi tanggap bencana, bentuk dan peran yang
bisa dilakukan perawat dalam keadaan tanggap bencana.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa
masalah, yaitu:
1. Bagaimana Bencana?
2. Bagaimana Fase-fase bencana?
3. Bagaimana Kelompok rentan Bencana?
4. Bagaimana Paradigma penanggulangan Bencana?
5. Bagaimana Pengurangan Risiko Bencana?
6. Bagaimana Peran perawat Dalam tanggap Bencana?
7. Bagaimana Jenis Kegiatan siaga Bencana?
8. Bagaimana Managemen Bencana?
9. Bagaimana peran perawat dalam managemen Bencana?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mahasiswa dapat mengetahui Bencana.
2. Mahasiswa dapat mengetahui Fase-fase bencana.
3. Mahasiswa dapat mengetahui Kelompok rentan Bencana.
4. Mahasiswa dapat mengetahui Paradigma penanggulangan Bencana.
5. Mahasiswa dapat mengetahui Pengurangan Risiko Bencana.
6. Mahasiswa dapat mengetahui Peran perawat Dalam tanggap Bencana.
7. Mahasiswa dapat mengetahui Jenis KEgiatan siaga Bencana.
8. Mahasiswa dapat mengetahui Managemen Bencana.
9. Mahasiswa dapat mengetahui peran perawat dalam managemen Bencana.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Bencana
Definisi Bencana menurut WHO (2002) adalah setiap kejadian yang
menyebabkan kerusakan gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia, atau
memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan dalam skala tertentu
yang memerlukan respon dari luar masyarakat dan wilayah yang terkena. Bencana
dapat juga didefinisikan sebagai situasi dankondisi yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat.
Jenis-jenis bencana:
1. Bencana alam (natural disaster), yaitu kejadian-kejadian alami seperti
banjir, genangan, gempa bumi, gunung meletus dan lain sebagainya.
2. Bencana ulah manusia (man-made disaster), yaiut kejadian-kejadian
karena perbuatan manusia seperti tabrakan pesawat udara atau kendaraan,
kebakaran, ledakan, sabotase dan lainnya.
Bencana berdasarkan cakupan wilayahnya terdiri atas:
1. Bencana Lokal, bencana ini memberikan dampak pada wilayah sekitarnya
yang berdekatan, misalnya kebakaran, ledakan, kebocoran kimia dan
lainnya.
2. Bencana regional, jenis bencan ini memberikan dampak atau pengaruh
pada area geografis yang cukup luas dan biasanya disebabkan leh faktor
alam seperti alam, banjir, letusan gunung dan lainnya.
2.2 Fase-fase bencana
Menurut Barbara santamaria (1995),ada tiga fase dapat terjadinya suatu
bencana yaitu fase pre impact,impact,dan post impact
1. Fase pre impact merupakan warning phase,tahap awal dari bencana.Informasi
didapat dari badan satelit dan meteorologi cuaca.Seharusnya pada fase inilah
segala persiapan dilakukan dengan baik oleh pemerintah,lembaga dan
masyarakat.
2. Fase impact Merupakan fase terjadinya klimaks bencana.inilah saat-saat
dimana manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup.fase impact ini
terus berlanjut hingga tejadi kerusakan dan bantuan-bantuan yang darurat
dilakukan.
3. Fase post impact merupakan saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari
fase darurat.Juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi
kualitas normal.Secara umum pada fase post impact para korban akan
mengalami tahap respons fisiologi mulai dari penolakan (denial),marah
(angry),tawar –menawar (bargaing),depresi (depression),hingga penerimaan
(acceptance).
Permasalahan dalam penanggulangan bencana
Secara umum masyarakat Indonesia termasuk aparat pemerintah didaerah
memiliki keterbatasan pengetahuan tentang bencana seperti berikut :
1. Kurangnya pemahaman terhadap karakteristik bahaya
2. Sikap atau prilaku yang mengakibatkan menurunnya kualitas SDA
3. Kurangnya informasi atau peringatan dini yang mengakibatkan ketidaksiapan
4. Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya.
2.3 Kelompok rentan bencana
Kerentanan adalah keadaan atau sifat (perilaku) manusia atau masyarakat
yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman dari
potensi bencana untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesiapan dan
menanggapi dampak bahaya tertentu.
Kerentanan terbagi atas:
1. Kerentanan fisik, kerentanan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi
ancaman bahaya tertentu, misalnya kekuatan rumah bagi masyarakat yang
tinggal di daerah rawan gempa.
2. Kerentanan ekonomi, kemampuan ekonomi individu atau masyarakat dalam
pengalokasian sumber daya untuk pencegahan serta penanggulangan bencana.
3. Kerentanan social, kondisi social masyarakat dilihat dari aspek pendidikan,
pengetahuan tentang ancaman bahaya dan rsiko bencana.
4. Kerentanan lingkungan, keadaan disekitar masyarakat tinggal. Misalnya
masyarakat yang tinggal di lereng bukit atau pegunungan rentan terhadap
ancaman bencana tanah longsor.
2.4 Paradigma Penanggulanngan Bencana
Konsep penanggulangan bencana telah mengalami pergeseran paradigm
dari konfensional yakni anggapan bahwa bencana merupakan kejadian yang tak
terelakan dan korban harus segera mendapatkan pertolongan, ke paradigm
pendekatan holistic yakni menampakkan bencana dalam tatak rangka menejerial
yang dikenali dari bahaya, kerentanan serta kemampuan masyarakat. Pada konsep
ini dipersepsikan bahwa bencana merupakan kejadian yang tak dapat dihindari,
namun resiko atau akibat kejadian bencana dapat diminimalisasi dengan
mengurangi kerentanan masyarakat yang ada dilokasi rawan bencan serta
meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pencegahan dan penangan bencana.
2.5 Pengurangan Risiko Bencana
Tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
1. Pra bencana, pada tahapan ini dilakukan kegiatan perencanaan
penanggulangan bencana, pengurangan risiko bencana, pencegahan,
pemaduan dalam perencanaan pembangunan, persyaratan analisis risiko
bencana, penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan peletahihan serta
penentuan persyaratan standar teknis penanggulangan bencana
(kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana).
2. Tanggap darurat, tahapan ini mencakup pengkajian terhadap loksi, kerusakan
dan sumber daya; penentuan status keadan darurat; penyelamatan dan
evakuasi korban, pemenuhan kebutuhan dasar; pelayanan psikososial dan
kesehatan.
3. Paska bencana, tahapan ini mencakup kegiatan rehabilitasi (pemulihan daerah
bencana, prasaranan dan saran umum, bantuan perbaikan rumah, social,
psikologis, pelayanan kesehatan, keamanan dan ketertiban) dan rekonstruksi
(pembangunan, pembangkitan dan peningkatan sarana prasarana termasuk
fungsi pelayanan kesehatan.
2.6 Perawat sebagai profesi
Perawat adalah salah satu profesi di bidang kesehatan , sesuai dengan
makna dari profesi maka seseorang yang telah mengikuti pendidikan profesi
keperawatan seyogyanya mempunyai kemampuan untuk memberikan pelayanan
yang etikal dan sesuai standar profesi serta sesuai dengan kompetensi dan
kewenangannya baik melalui pendidikan formal maupun informal, serta
mempunyai komitmen yang tinggi terhadap pekerjaan yang dilakukannya
(Nurachmah, E 2004).
Perry & Potter (2001), mendifinisikan bahwa seorang perawat dalam
tugasnya harus berperan sebagai:kolaborator, pendidik, konselor,change agent dan
peneliti. Keperawatan mempunyai karakteristik profesi yaitu memiliki body of
knowledge yang berbeda dengan profesi lain, altruistik, memiliki wadah profesi,
mempunyai standar dan etika profesi, akontabilitas, otonomi dan kesejawatan
(Leddy & Pepper, 1993 dalam Nurachmah, E, 2004)
Berdasarkan karakteristik di atas maka pelayanan keperawatan merupakan
pelayanan profesional yang manusiawi untuk memenuhi kebutuhan klien yang
unik dan individualistik diberikan oleh tenaga keperawatan yang telah
dipersiapkan melalui pendidikan lama dan pengalaman klinik yang memadai.
Perawat harus memiliki karakteristik sikap caring yaitu competence,confidence,
compassion, conscience and commitment (ANA, 1995 dalam Nurachmah, 2004).
Pelayanan keperawatan yang optimal dapat dicapai jika perawat sudah
profesional.
Peran perawat
Peran adalah seperangkat perilaku yang diharapkan secara sosial yang
berhubungan dengan fungsi individu pada berbagai kelompok sosial. Tiap
individu mempunyai berbagai peran yang terintegrasi dalam pola fungsi individu.
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap
kedudukannya dalam sistem ( Zaidin Ali , 2002,). Menurut Gaffar (1995) peran
perawat adalah segenap kewenangan yang dimiliki oleh perawat untuk
menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.
2.7 Peran Perawat Dalam Tanggap Bencana
Pelayanan keperawatan tidak hanya terbatas diberikan pada instansi
pelayanan kesehatan seperti rumah sakit saja. Tetapi, pelayanan keperawatan
tersebut juga sangat dibutuhkan dalam situasi tanggap bencana. Perawat tidak
hanya dituntut memiliki pengetahuan dan kemampuan dasar praktek keperawatan
saja, Lebih dari itu, kemampuan tanggap bencana juga sangat di butuhkan saaat
keadaan darurat. Hal ini diharapkan menjadi bekal bagi perawat untuk bisa terjun
memberikan pertolongan dalam situasi bencana.
Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan sangat berbeda, kita lebih
banyak melihat tenaga relawan dan LSM lain yang memberikan pertolongan lebih
dahulu dibandingkan dengan perawat, walaupun ada itu sudah terkesan lambat.
2.8 Jenis Kegiatan Siaga Bencana
Kegiatan penanganan siaga bencana memang berbeda dibandingkan
pertolongan medis dalam keadaan normal lainnya. Ada beberapa hal yang menjadi
perhatian penting. Berikut beberapa tnidakan yang bisa dilakukan oleh perawat
dalam situasi tanggap bencana:
1. Pengobatan dan pemulihan kesehatan fisik
Bencana alam yang menimpa suatu daerah, selalu akan memakan
korban dan kerusakan, baik itu korban meninggal, korban luka luka,
kerusakan fasilitas pribadi dan umum, yang mungkin akan menyebabkan
isolasi tempat, sehingga sulit dijangkau oleh para relawan. Hal yang paling
urgen dibutuhkan oleh korban saat itu adalah pengobatan dari tenaga
kesehatan. Perawat bisa turut andil dalam aksi ini, baik berkolaborasi dengan
tenaga perawat atau pun tenaga kesehatan profesional, ataupun juga
melakukan pengobatan bersama perawat lainnya secara cepat, menyeluruh
dan merata di tempat bencana. Pengobatan yang dilakukan pun bisa beragam,
mulai dari pemeriksaan fisik, pengobatan luka, dan lainnya sesuai dengan
profesi keperawatan.
2. Pemberian bantuan
Perawatan dapat melakukan aksi galang dana bagi korban bencana,
dengan menghimpun dana dari berbagai kalangan dalam berbagai bentuk,
seperti makanan, obat obatan, keperluan sandang dan lain sebagainya.
Pemberian bantuan tersebut bisa dilakukan langsung oleh perawat secara
langsung di lokasi bencana dengan memdirikan posko bantuan. Selain itu,
Hal yang harus difokuskan dalam kegiatan ini adalah pemerataan bantuan di
tempat bencana sesuai kebutuhan yang di butuhkan oleh para korban saat itu,
sehinnga tidak akan ada lagi para korban yang tidak mendapatkan bantuan
tersebut dikarenakan bantuan yang menumpuk ataupun tidak tepat sasaran.
3. Pemulihan kesehatan mental
Para korban suatu bencana biasanya akan mengalami trauma
psikologis akibat kejadian yang menimpanya. Trauma tersebut bisa berupa
kesedihan yang mendalam, ketakutan dan kehilangan berat. Tidak sedikit
trauma ini menimpa wanita, ibu ibu, dan anak anak yang sedang dalam massa
pertumbuhan. Sehingga apabila hal ini terus berkelanjutan maka akan
mengakibatkan stress berat dan gangguan mental bagi para korban bencana.
Hal yang dibutukan dalam penanganan situasi seperti ini adalah pemulihan
kesehatan mental yang dapat dilakukan oleh perawat. Pada orang dewasa,
pemulihannya bisa dilakukan dengan sharing dan mendengarkan segala
keluhan keluhan yang dihadapinya, selanjutnya diberikan sebuah solusi dan
diberi penyemangat untuk tetap bangkit. Sedangkan pada anak anak, cara
yang efektif adalah dengan mengembalikan keceriaan mereka kembali, hal ini
mengingat sifat lahiriah anak anak yang berada pada masa bermain. Perawat
dapat mendirikan sebuah taman bermain, dimana anak anak tersebut akan
mendapatkan permainan, cerita lucu, dan lain sebagainnya. Sehinnga
kepercayaan diri mereka akan kembali seperti sedia kala.
4. Pemberdayaan masyarakat
Kondisi masyarakat di sekitar daerah yang terkena musibah pasca
bencana biasanya akan menjadi terkatung katung tidak jelas akibat
memburuknya keaadaan pasca bencana., akibat kehilangan harta benda yang
mereka miliki. sehinnga banyak diantara mereka yang patah arah dalam
menentukan hidup selanjutnya. Hal yang bisa menolong membangkitkan
keadaan tersebut adalah melakukan pemberdayaan masyarakat. Masyarakat
perlu mendapatkan fasilitas dan skill yang dapat menjadi bekal bagi mereka
kelak. Perawat dapat melakukan pelatihan pelatihan keterampilan yang
difasilitasi dan berkolaborasi dengan instansi ataupun LSM yang bergerak
dalam bidang itu. Sehinnga diharapkan masyarakat di sekitar daerah bencana
akan mampu membangun kehidupannya kedepan lewat kemampuan yang ia
miliki.
Untuk mewujudkan tindakan di atas perlu adanya beberapa hal yang harus
dimiliki oleh seorang perawat, diantaranya:
1. Perawatan harus memilki skill keperawatan yang baik.
Sebagai perawat yang akan memberikan pertolongan dalam penanaganan
bencana, haruslah mumpunyai skill keperawatan, dengan bekal tersebut
perawat akan mampu memberikan pertolongan medis yang baik dan
maksimal.
2. Perawat harus memiliki jiwa dan sikap kepedulian.
Pemulihan daerah bencana membutuhkan kepedulian dari setiap elemen
masyarakat termasuk perawat, kepedulian tersebut tercemin dari rasa
empati dan mau berkontribusi secara maksimal dalam segala situasi
bencana. Sehingga dengan jiwa dan semangat kepedulian tersebut akan
mampu meringankan beban penderitaan korban bencana.
3. Perawatan harus memahami managemen siaga bencana
Kondisi siaga bencana membutuhkan penanganan yang berbeda, segal hal
yang terkait harus didasarkan pada managemen yang baik, mengingat
bencana datang secara tak terduga banyak hal yang harus dipersiapkan
dengan matang, jangan sampai tindakan yang dilakukan salah dan sia sia.
Dalam melakukan tindakan di daerah bencana, perawat dituntut untuk
mampu memilki kesiapan dalam situasi apapun jika terjadi bencana alam.
Segala hal yang berhubungan dengan peralatan bantuan dan pertolongan
medis harus bisa dikoordinir dengan baik dalam waktu yang mendesak.
Oleh karena itu, perawat harus mengerti konsep siaga bencana.
2.9 Managemen Bencana
Ada 3 aspek mendasar dalam management bencana, yaitu:
1. Respons terhadap bencana
2. Kesiapsiagaan menghadapi bencana
3. Mitigasi efek bencana
Managemen siaga bencana membutuhkan kajian yang matang dalam
setiap tindakan yang akan dilakukan sebelum dan setelah terjun kelapangan. Ada
beberapa hal yang bisa dijadikan pedoman, yaitu:
1. Mempersiapkan bentuk kegiatan yang akan dilakukan
Setelah mengetahui sebuah kejadian bencana alam beserta situasi di tempat
kejadian, hal yang terlebih dahulu dilakukan adalah memilih bentuk kegiatan
yang akan diangkatkan, seperti melakukan pertolongan medis, pemberian
bantuan kebutuhan korban, atau menjadi tenaga relawan. Setelah ditentukan,
kemudian baru dilakukan persiapan mengenai alat alat, tenaga, dan juga
keperluan yang akan dibawa disesuaikan dengan alur dan kondisi masyarakat
serta medan yang akan ditempuh.
2. Melakukan tindakan yang telah direncanakan sebelumnya.
Hal ini merupakan pokok kegiatan siaga bencana yang dilakukan, segala hal
yang dipersiapkan sebelumnya, dilakukan dalam tahap ini, sampai jangka
waktu yang disepakati.
3. Evaluasi kegiatan
Setiap selesai melakukan kegiatan, perlu adanya suatu evaluasi kegiatan yang
dilakukan, evaluasi bisa dijadikan acuan, introspeksi, dan pedoman
melakukan kegiatan selanjutnya. Alhasil setiap kegiatan yang dilakukan akan
berjalan lebih baik lagi dari sebelumnya.
2.10 Peran perawat dalam managemen bencana
1. Peran perawat dalam fase pre-impect
a. Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam
penanggulangan ancaman bencana.
b. Perawat ikut terlibat dalam berbagai dinas pemerintahan, organisasi
lingkungan, palang merah nasional, maupun lembaga-lembaga
pemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan
menghadapi ancaman bencana.
c. Perawat terlibat dalam program promosi kesehatan untuk meningkatkan
kesiapan masyarakat dalam mengahdapi bencana.
2. Peran perawat dalam fase impact
a. Bertindak cepat
b. Don’t promise. Perawat seharusnya tidak menjanjikan apapun dengan
pasti dengan maksud memberikan harapan yang besar pada korban yang
selamat.
c. Berkonsentrasi penuh pada apa yang dilakukan
d. Kordinasi dan menciptakan kepemimpinan
e. Untuk jangka panjang, bersama-sama pihak yang tarkait dapat
mendiskusikan dan merancang master plan of revitalizing, biasanya untuk
jangka waktu 30 bulan pertama.
3. Peran perawat dalam fase post impact
a. Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, fisikologi
korban
b. Stress fisikologi yang terjadi dapat terus berkembang hingga terjadi post
traumatic stress disorder (PTSD) yang merupakan sindrom dengan 3
kriteria utama. Pertama, gejala trauma pasti dapat dikenali. Kedua,
individu tersebut mengalami gejala ulang traumanya melalui flashback,
mimpi, ataupun peristiwa-peristiwa yang memacuhnya. Ketiga, individu
akan menunjukan gangguan fisik. Selain itu, individu dengan PTSD dapat
mengalami penurunan konsentrasi, perasaan bersalah dan gangguan
memori.
c. Tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait bekerja
sama dengan unsure lintas sektor menangani maslah keehatan masyarakat
paska gawat darurat serta mempercepat fase pemulihan (recovery) menuju
keadaan sehat dan aman.
Sementara untuk peristiwa emergensi, intervensi psikososial yang dilakukan pada saat-saat gawat darurat (emergency) telah dikembangkan dan direkomendasikan oleh kelompok kerja sebagai berikut:
1. Fase segera setelah kejadian (rescue):a. Menyediakan defusing (sarana pengungkapan tekanan/beban/emosi)
dan pelayanan intervensi krisis untuk pekerja yang memberikan bantuan kedaruratan.
b. Memastikan keselamatan korban dan memastikan terpenuhnya kebutuhan-kebutuhan fisik dasar (rumah, makanan, air bersih).
c. Mencari cara menyatukan kembali keluarga dan komunitas.d. Menyediakan informasi, kenyamanan, asistensi praktis, dan
pertolongan pertama masalah emosional.2. Fase inventory awal (bulan pertama setelah kejadian):
a. Melanjutkan tugas-tugas penyelamatan.
b. Mendidik & melatih orang lokal dan relawan mengenai efek trauma. c. Melatih konselor-konselor tambahan untuk situasi bencana. d. Menyediakan dukungan praktis jangka pendek.e. Mengindentifikasi mereka yang berada dalam resiko-resiko khusus. f. Memulai dukungan krisis, debriefing dan bentuk lain semacamnya.
3. Fase inventory lanjutan (dua bulan setelah kejadian dan setelahnya): a. Melanjutkan tugas penyelamatan dan fase awal.b. Menyediakan pendidikan masyarakat.c. Mengembangkan pelayanan-pelayanan outreach, dan mengidentifikasi
yang memerlukannya. d. Menyediakan debriefing dan aktivitas-aktivitas lain sesuai kebutuhan
korban bencana.e. Mengembangkan layanan berbasis sekolah dan layanan-layanan lain
berbasis lembaga kemasyarakatan. 4. Fase rekonstruksi:
a. Tindaklanjut terhadap korban yang selamat yang telah ditemui atau ditangani sebelumnya.
b. Menyediakan hotline dan cara-cara lain yang memungkinkan komunitas menghubungi konselor.
c. Melanjutkan layanan defusing dan debriefing untuk pekerja penyelamatan dan komunitas.
Tomoto (2009) dari Hyogo Care centre Jepang menjelaskan bahwa intervensi dasar yang dapat dilakukan pada korban bencana adalah:
a. menjelaskan bahwa kondisi sudah aman.b. berbagi pengetahuan dan informasi, dengan melakukan pendidikan
psikologis dan memanfaatkan sumber daya lokal.c. tidak memaksa terhadap tindakan yang akan dilakukan.d. tidak menjanjikan bahwa tugas selanjutnya kita tanggung semua
Pilihan intervensi yang direkomendasikan adalah intervensi tahap awal, tindakan medis berdasarkan diagnosis umum, dan tindakan medis oleh tenaga spesialis:
1. Intervensi tahap awalKorban bencana yang memerlukan intervensi awal ini adalah korban
yang terasingkan, korban yang tidak dapat beristirahat sebagaimana mestinya, dan korban yang tidak memiliki tempat yang aman untuk menceritakan pengalamannya (Foy dkk, 1984; Keane dkk., Martin dkk., 2000 dalam Tomota, 2009). Prinsip intervensi pada tahap awal ini adalah: a) tidak membahayakan, b) reaksi normal terhadap kondisi abnormal, c) menceritakan pengalaman dan perasaan sendiri kepada orang yang dapat dipercaya, d)
pemulihan pola hidup normal dan aktifitas sehari-hari, e) olah raga secukupnya, dan f) usahakan waktu tidur cukup.
Intervensi awal yang dilakukan dengan tepat menunjukkan hasil 90% diantaranya pulih tanpa bantuan tenaga spesialis (Rothbaum dkk, 1992 dalam Tomota, 2009). Pada tahap ini juga direkomendasikan untuk tidak melakukan debriefing karena berdasarkan penelitian upaya debriefing ini tidak efektif pada korban bencana baik untuk meringankan penderitaan maupun untuk mencegah terjadinya PTSD.
2. tindakan medis berdasarkan diagnosis umum (primary care).a. pilihan pertama: SSRI (selective serotonin Reuptake Inhibitor, misalnya
Paxil, Luvox, Depromel).b. Pilihan kedua: Tricyclic antidepressant, Catapres, inderalc. Jika rasa cemas menguat, diberikan: Benzodiazepine anxiolytic dosis
tinggi, Solanax, Constan, tambahan Rivotril Landsen d. Jika timbul dorongan impulsif dan ofensif yang kuat, diberikan Tegretol,
Depakene dan sebagainya. Tujuan diberikan obat ini tidak untuk melupakan memori pengalaman yang traumatik namun untuk memulihkan rasa percaya diri bahwa memori sudah dapat dikontrol.
e. Bila gejala mengarah gangguan jiwa, maka diberikan antiispychotic 3. tindakan medis oleh tenaga spesialis, seperti a) terapi dengan obat, b) terapi
dengan dukungan moral, c) EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing), d) CBT (Cognitive Behaviour Therapy), dan e) Eksposur dalam jangka waktu panjang.
Selain prinsip-prinsip intervensi tersebut diatas, Tomoto (2009) juga menjelaskan perlunya menghindari kata-kata yang diucapkan selama memberikan intervensi karena dapat melukai perasaan klien, antara lain:
1. teruslah berusaha. Pernyataan ini memberikan motivasi namun pada waktu yang tidak tepat karena kondisi klien yang sedang berduka yang masih sulit menerima advise dari luar.
2. kalau kamu tidak sembuh-sembuh, orang yang sudah meninggal juga tidak akan tenang lho!.
3. kalau kamu menangis, orang yang sudah meninggal juga tidak akan tenang lho!
4. Sudah bagus lho bahwa nyawa kamu masih bisa diselamatkan.5. Kamu kan punya keluarga, itu saja sudah bisa bahagia, bukan?6. Anggap saja ini tidak pernah terjadi, mari mulai segalanya dari awal.7. Pasti ada hal yang baik dimasa yang akan datang.
8. Cepat lupakan, bangkitkan semangatmu.9. Kamu lebih sehat dari yang saya pikirkan sebelumnya.10. Jangan berfikir begitu lagi.11. Mari berfikir positif.12. Segini saja cukupkan?13. Tidak apa-apa lho!
Individu korban bencana merupakan pihak yang sangat rentan dan sensitif
terhadap ungkapan atau pernyataan orang lain. Hal ini terjadi karena
ketidakstabilan emosi korban pasca bencana. Untuk itu perawat sebagai salah
satu tenaga kesehatan perlu memahami dan melatih untuk menggunakan
tehnik komunikasi secara terapeutik ketika berinterkasi dengan klien. E. Peran perawat kesehatan jiwa dalam manajemen bencana
Salah satu peran penting perawat kesehatan jiwa adalah melakukan intervensi
psikososial. Intervensi psikososial merupakan pemberian layanan kesehatan
mental yang tidak hanya berbasis pada layanan yang diberikan di rumah sakit
jiwa, namun lebih mengarah pada layanan yang diberikan dalam komunitas yang
sifatnya lebih informal. Intervensi ini berupaya untuk mendekatkan psikologi dan
psikiatri ke dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan layanan kepada
kelompok-kelompok yang ada dimasyarakat baik yang mengalamai masalah
psikiatri (gangguan), yang beresiko mengalamai gangguan maupun yang sehat.
Dengan intervensi psikososial, bagi yang mengalami gangguan agar meningkat
kemampuannya dan mandiri. Untuk yang berresiko agar terhindar atau tidak
terjadi gangguan, dan untuk yang sehat agar semakin sehat dan meningkat status
kesehatannya (CMHN, 2005). Intervensi psikososial selain diberikan kepada
masyarakat yang mengalami bencana, juga perlu diberikan kepada para relawan
atau pekerja kemanusiaan (yang bukan profesional kesehatan mental) yang
memberi pertologan kepada masyarakat korban
Menurut Iskandar dkk (2005), untuk dapat melakukan intervensi psikososial
secara baik dan efektif maka langkah-langkah di bawah ini perlu diperhatikan:
a. Mengembangkan kepercayaan (trust). Terapis perlu membina hubungan
saling percaya kepada korban. Apalagi korban dalam kondisi emosi yang
labil atau masih dalam fase berkabung dan kehilangan sehingga sangat
sensitif terhadap keberadaan orang lain. Terapis perlu memperkenalkan diri
dengan sopan, mendengarkan, menghormati cara-cara dan keyakinan lokal
dalam berhubungan dengan masyarakat. b. Menunjukkan empati, terutama apabila memberikan pertolongan pertama dan
bantuan tanggap darurat, sehingga masyarakat korban tidak merasa menjadi
obyek tetapi subyek dari intervensi yang dilakukan. Prosedur untuk
memberitahukan tahap-tahap yang dilakukan dalam memberi bantuan dan
mendapatkan informed consent atau izin sebelum memberikan pertolongan
wajib dilakukan.
c. Membantu atau memfasilitasi terpenuhinya kebutuhan fisik dasar, misalnya
penampungan darurat, bantuan sandang dan pangan. Dapat juga memastikan
perlindungan kelompok-kelompok yang rentan kekerasan seperti perempuan
dan anak-anak
d. Tetap tenang meski orang yang dihadapi sangat gelisah, agresif, ataupun
situasi mengagetkan/berbeda tak seperti dugaan sebelumnya.
e. Dalam menghadapi individu-individu khusus, upayakan menempatkan
individu pada situasi yang aman, meminimalkan kemungkinan ia melukai diri
sendiri atau orang lain
f. Mendorong dilakukannya kegiatan-kegiatan kelompok.
g. Mengembangkan rutinitas yang positif
h. Menghadiri kegiatan meskipun sekadar ada bersama, mendengar, mengamati,
menunjukkan kepedulian.
i. Melakukan kunjungan-kunjungan rumah.
j. Mengidentifikasi masalah-masalah psikososial khusus dan orang-orang yang
menunjukan gejala-gejala trauma lebih dalam.
Paradigma baru dalam layanan kesehatan jiwa dari hospital base ke commiunity
base memerlukan komitmen yang kuat dari tenaga kesehatan untuk mau dan mampu terjun langsung kemasyarakat dalam rangka mengatasi masalah
kesehatan yang ada. Dalam kasus masayarakat korban Lapindo tenaga kesehatan
atau pihak-pihak terkait harus memberikan perhatian khusus terutama masalah
kesehatan yang mencakup biopsikososiospiritual.
Perawat sebagai bagian dari tenaga kesehatan yang ada mempunyai tanggung
jawab dalam memberikan pelayanan kesehatan jiwa dalam konteks klien sebagai
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Pelayanan yang diberikan dapat
bersifat promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif, melalui berkolaborasi
dengan tenaga kesehatan lainnya.
Salah satu terapi yang dapat dilakukan kepada individu korban adalah
psikoterapi. Model terapi ini lebih dikenal dengan psikoterapi individu didesain
sebagai orientasi tindakan, fokus penampilan, struktur dan batasan waktu
intervensi (Carson, 2000). Model ini menggunakan teknik yang berfokus pada
pemecahan masalah untuk membantu klien menyelesaikan konflik utama yang
dihadapi klien dari dimensi fisik, psikologis, sosial kultural dan spiritual.
Pendekatan yang digunakan pada psikoterapi individu ini adalah rasional emotif
yang membantu klien menghapus pandangan hidup klien yang menyalahkan
hubungan baik dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan atau Tuhan dan
membantu klien memperoleh pandangan hidup yang lebih rasional dalam
mencari makna dan tujuan hidup.
Tujuan dari psikoterapi individu ini adalah untuk mengembalikan klien pada
kondisi sebelum sakit dalam periode yang singkat (Carson, 2000). Menurut Corey (2005) tujuan dari psikoterapi individu adalah penyusunan kembali
kepribadian, penemuan makna dalam kehidupan, penyembuhan gangguan
emosional, penyesuaian dalam masyarakat, pencapaian aktualisasi diri, peredaan
kecemasan, serta penghapusan tingkah laku maladaptif dan belajar pola-pola
tingkah laku adaptif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa psikoterapi
bertujuan untuk merubah perilaku maladaptif melalui distorsi kognitif.
Menurur Kathlen Wheeler (2008) ada dua pendekatan psikoterapi yang dapat
digunakan untuk mengatasi masalah gangguan stres paska trauma, yaitu
cognotive behavior therapy (CBT) dan eye movement desensitization and
reprocessing (EMDR).
Dampak bencana pada Anak – Deteksi Dini dan Faktor Resiko
Dalam menjelaskan dampak bencana, perlu dipertimbangkan interseksi antara indikator sosial dan indikator lingkungan seperti kemungkinan resiko bencana, kualitas tempat tinggal lingkungan yang terbangun, status sosial ekonomi,
genderm etnik, umur status kesehatan, pekerjaan, pendidikan, jaringan sosial, kemampuan akses, dll (Cutter, Boruff, and Shirley 2003). Dalamhal ini yang termasuk kategori rentan adalah orang miskin, perempuan, etnis minoritas, lansia, dan terlebih anak. Kelompok ini dikategorikasn sebagai kelompok yang rentan pada kerusakan, kehilangan, penderitaan, dan kematian dalam bencana (Wisner et al. 2004).
Anak mengalami kecemasan dan ketegangan yang dirasakan oleh orang dewasa di sekitarnya. Dan seprti orang dewasa, anak mengalami perasaan yang tidak berdaya dan tidak dapat mengonrol stres yang ditimbulkan oleh bencana. Tapi tidak seperti orang dewasa, anak mempunyai pengalaman yang sedikit untuk membantu mereka meletakkan situasi mereka saat ini ke dalam suatu perspetif. Children sense the anxiety and tension in adults around them.
Setiap anak mempunyai respon yang berbeda terhadap bencana, tergantung pada pemehaman dan pengerian mereka, tetapi sangatlah mudah melihat bahwa peristiwa seperti ini dapat menciptakan kecemasan yang luar biasa pada semua anak karena mereka berpikir bahwa bencana adalah sesuatu yan mengancam dirinya dan orang yang mereka sayangi.
Table 1. Jenis Kerentanan yang dialami anak dalam bencana
Kerentanan
Psikologis
Kerentanan
Fisik
Kerentanan
Pendidikan
• PTSD
• Depresi
• Kecemasan
• Gangguan emosional
• gangguan tidur
• Keluhan somatis
• Masalah perilaku
• kematian
• cacat, luka, penyakit
• kurang gizi
• Stress karena suaca
• pelecehan fisik dan seksual
sekolah berhenti
prestasi rendah
perkembangan tertunda
Deteksi Dini : Kerentanan Psikologis
Terpisah dari keluarga pada saat terjadi dan sesudah bencana, kehilangan orangtua ataupun orang yang disayangi, tinggal dalam lingkungan asing, menimbulkan gangguan psikis yang tanda-tandanya dapat dikenali dari uraian di bawah ini.
Kerentanan Psikologis Pada Anak Pra sekolah
Tanda-tanda anak pra sekolah (1-4 tahun) mengalami gangguan psikis adalalah adanya perilaku ngompol, gigit jempol, mimpi buruk, kelekatan, mudah marah, temper tantrum, perilaku agresive hiperaktif, ”baby talk” muncul kembali ataupun semakin meningkat intensitasnya (Norris et al. 2002).
Kerentanan psikologis Anak Usia Sekolah (5-12)
Anak usia ini menunjukkan adanya reaksi ketakutan dan kecemasan, keluhan somatis, gangguan tidur, masalah dengan prestasi sekolah, menarik diri dari pertemanan, apatis, enggan bermain, PTSD, dan sering bertengkar dengan saudara (Mandalakas, Torjesen, and Olness 1999).
Kerentanan Psikologis Anak Usia 13 – 18 tahun
Pada remaja, kejadian traumatis akan menyebabkan berkurangnya ketertarikan dalam aktifitas sosial dan sekolah, anak menjadi pemberontak, gangguan makan, gangguan tidur, kurang konsentrasi, dan mengalami PTSD dan dalam resiko yang besar terkena penyalahgunaan alkohol ataupun prostitusi.
Deteksi Dini: Kerentanan Fisik
Anak tidak saja secara emosi rentan pada efek bencana, mereka juga secara fisik sangat lemah terhadap dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Lebih dari 18,000 anak meninggal pada gempa di pakistan(International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies 2007), dan tsunami 2004 di samudra Hindia menyebabkan 60.000 anak meninggal(Oxfam International 2005). Jenis bencana juga mempengaruhi kerentanan fisik anak. Misalnya bayi di amerika pada
bencana badai Katrina banyak yang meninggal karena suhu yang terlalu panas, sedangkan di beberapa tempat di Rusia, banyak remaja yang meninggal karena kedinginanAnak yang tinggal dalam lokasi yang rawan bencana berpotensi tinggi untuk meninggal ataupun menjadi cacat, misalnya akibat terkena tsunami, atau terperangkap dalam reruntuhan tembok sekolah.
Selain kematian dan cacat yang diakibatkan oleh bencana, anak yang tinggal dalam lokasi pengungsia ataupun darurat, sangat rentan terhadap berbagai penyakti epidemic seperti diare, malnutrisi, penyakit pernapasan, dan penyakit kulit. Akses air bersih dansanitasi yang kurang membuat bayi sangat mudah terkena diare. Deteksi dini bisa dilakukan dengan mengadakan pengamatan terhadap perubahan kondisi kesehatan anak.
Kesehatan reproduksi anak perempuan juga suatu hal yang perlu dicermati. Usia yang secara biologis mulai matang membutuhkan piranti tersendiri utnuk bisa hidup secara sehat.
Faktor sosial juga menimbulkan kerentanan fisik pada anak. Dalam keadaan stress orang tua ataupun lingkungan lebih mudah mengekspresikan emosinya pada individu yang lebih lemah, dalam hal ini anak. Banyak ditemui di kamp pengungsian bahwa anak dieprlakukan sebagai subyek kekerasan yang dilakukan oleh orangtuanya. Luka-luka di bagian tubuh maupun perilaku menarik diri menjadi tanda penting adanya kemungkinan kekerasan fisik pada anak.
Deteksi Dini: Kerentanan Pendidikan
Banyak akses pendidikan yang hilang akibat bencana. Selain infrastruktur pendidikan yang hancur, banyak guru ataupun tenaga pendidik yang mengungsi, akibatnya pendidikan tidak bisa berjalan. Anak terpaksa tidak sekolah dalam jangka waktu tertentu ataupun malah berhenti. Meskipun diadakan sekolah darurat, dan juga kampanye untuk kembali bersekolah, banyak orangtua yang masih enggan mendaftarkan anaknya untuk bersekolah di sekolah relokasi karena mereka belum tahu kepastian tempat tinggal mereka. Pada masyarakat dengan kultur budaya patriarki yang kuat dimana anak perempuan lebih diarahkan untuk mengerjakan pekerjaan domestic, angka putus sekolah untuk anak perempuan
lebih tinggi. Angka putus sekolah yang tinggi menjadi tanda rentannya intervensi pendidikan anak paska bencana.
Faktor Resiko Anak Paska Bencana
Selain dampak psikologis dan fisik, ada beberapa factor lain yang mempengaruhi “wellbeing” anak paska bencana, Faktor resiko lainya yang mempengaruhi anak adalah:
1. kematian orangtua atau orang yang dicintai anak
Dalam kasus bencana tsunami Aceh, dimana banyak orangtua dan keluarga yang meninggal, anak perempuan sangat rentan terhadap praktek prostitusi, kawin muda, dan menjadi subyek pelecehan seksual. Perdagangan anak juga menjadi isue santer paska bencana ini, dimana anak yang tidak punya orangtua disalahgunakan oleh pihak yang bertanggungjawab untuk kepentingan lembaga tersebut.
1. nonintegrated family – separated children
Pada saat terjadinya bencana banyak anak yang terpisah dari orangtuanya. Banyak dari mereka tidak mengetahui keberadaan orangtua, anak batita dan balita adalah anak dalam kategori berisiko tinggi dalam hal ini karena mereka belum bisa menjelaskan jatidiri mereka, seperti nama orangtua, asal-usul, dsb. Anak-anak ini kebanyakan dipelihara oleh orang yang menemukan mereka atau tinggal dalam lingkungan pengungsian tanpa perlindungan.
1. Kehilangan ”sense” of normality secara mendadak
Kehilangan rumah, masyarakat, dan juga teman tempat anak tumbuh dalam lingkaran kehidupan sehari-hari menjadikan anak hidup dalam situasi yang “tidak normal”. Kondisi pengungsian yang sama sekali berbeda dari lingkungan normal anak menjadi factor resiko bagi anak yang harus beradaptasi secara mendadak. Perubahan situasi yang baru merupakan stressor bagi anak yang biasanya tumbuh dalam lingkungan yang memberinya rasa nyaman.
Berikut adalah ringkasan faktor resiko yang mempengaruhi kerentanan anak dalam bencana
Table 2. faktor yang mempengaruhi kerentanan anak dalam bencana
Kerentanan
Psikologis
Kerentanan
Fisik
Kerentanan
Pendidikan
• Ancaman
• keluarga terpisah
• kematian orangtua
• kehilangan materi
• kerusakan rumah atau sekolah
• Ekspose langsung oleh media
* Karakteristik anak (umur, gender, ras, dll)
• Minimnya persiapan tanggap bencana
• Stress orangtua
• rendahnya dukungan sosial
• adanya stressor tambahan
• ketrampilan “coping” randah
• kurangya dukungan “coping”
• Pengungsian
• Hidup dalamkomunitas miskin
* hidup di daerah rawan bencana
• Bersekolah di sekolah dibawah standar keslamatan bangunan
• kehilangan orangtua
• keluarga terpisah
• Karakteristik anak (umur, gender, ras, dll)
• Size, strength, stage of
development
• stress orangtua
• lingkungan shelter yang tidak sehat
• Rusaknya bangunan sekolah
• Guru dan siswa yang mengungsi
• kehilangan catatan penting
• tertundanya masuk sekolah
• perubahan sekolah
• lingkungan sekolah yangtidak ramah
• prestasi rendah
• kehilangan orangtua
• permintaan pekerrjaan yang meningkat
Intervensi Anak Paska Bencana : Protective Factors and early detection
Factor utama dalam mengusahakan ‘wellbeing” anak dan keluarga adalah dengan mengadakan identifikasi dini, mengidentifikasi kebutuhan dan juga merencanakan pendampingan psikologis bagi orangtua, wali anak dan anak sendiri. Faktor-faktor protektif yang mengurangi efek negative diantaranya:
1. adanya dukungan sosial
2. adanya informasi yang memadai
3. ketersediaan layanan pemulihan
4. adanya master plan dari bencana yang lalu (yang pernah terjadi sebelumnya)
5. keluarga yang terintegrasi
6. hubungan yang dekat dengan wali anak
7. pembangunan kembali kebiasaan sehari-hari “return to sense of normalcy” anak.
Tindakan intervensi pertama yang dilakukan untuk meminimalisasi dampak factor resiko dan factor kerentanan adalah dengan memenuhi kebutuhan dasar anak, yaitu dengan:
1. Intervensi kerentanan fisik
Kebutuhan fisik anak berbeda dengan kebutuhan fisik anak, dimana factor gizi sangat berpengaruh dalam tumbuh kembang fisik anak. Susu formula untuk bayi tidak dianjurkan diberikan sebagai intervensi karena yang paling aman adalah ASI. Kebutuhan kesehatan reproduksi anak perempuan yang menjelang akhil balik perlu diperhatikan. Imunisasi untuk bayi juga menjadi standar pemberian intervensi pasca bencana untuk mencegah bayi terkena penyakit komplek yang sangat rawan terdaat di lingkungan tempat tinggal darurat.
1. Intervensi kerentanan psikologi
PTSD perlu mendapatkan penanganan dan pendampingan khusus. Kegiatan psikososial di tempat tinggal darurat membantu anak menghadapi kerentanan psikologis yang dialami anak. Salah satu kebutuhan dasar anak adalah bermain, maka dari itu perlu dibuat suatu area yang aman untuk anak di setiap tempat tinggal darurat (safe play area – child friendly area). Di area ini anak bebas bermain tanpa rasa takut karena memang dibuat khusus untuk anak.
1. Intervensi kerentanan Pendidikan
Sekolah darurat ataupun sekolah rujukan perlu diadakan untuk menjaga kesinambungan pendidikan yang sudah dijalani anak sebelumnya sehingga pendidikan anak tidak terhenti di jalan.
1. Intervensi Perlindungan Anak
Salah satu praktek perlindungan anak yang dilakukan dalam rangka tanggap bencana tsunami Aceh 2004 adalah adanya program pengembalian anak ke keluarga dan usaha untuk menyatukan keluarga, memfasilitasi kembalinya anak ke sekolah dan rumah dan menangani keamanan dan keslamatan anak yang terkait di dalamnya. Termasuk di dalamnya adalah perlindungan anak dari perdagangan anak, obyek pelecehan seksual, dan kekerasan fisik yang dialami anak dalam situasi keluarga yang penuh dengan ketegangan.
Untuk memperkuat factor perlindungan karena bencana, disarankan adanya kolaborasi dan kerjasama antara lembaga yang berbeda yang dibentuk oleh kewenangan local dan pemuka masyarakat. Usaha ini akan menciptakan kekuatan yang unik dalam masyrakat yang dapat mereduksi rasa tidak berdaya dan meningkatkan kesadaran masyrakat. Pemimpin masyarakat yang potensial seperti pekerja kesehatan, pemerintah daerah, guru, diberi pelatihan mengenai persiapan tanggap bencana. Masyarakat membuat struktur dan sistem untuk tanggap bencana.
Bencana dapat diredam secara berarti jika masyarakat mempunyai informasi yang cukup dan didorong pada budaya pencegahan dan ketahanan terhadap bencana, yang pada akhirnya memerlukan pencarian, pengumpulan, dan penyebaran pengetahuan dan informasi yang relevan tentang bahaya, kerentanan, dan kapasitas. Oleh karena itu diperlukan usaha-usaha antara lain:
(1) menggalakkan dimasukkannya pengetahuan tentang pengurangan resiko bencana sebagai bagian yang relevan dalam kurikulum pendidikan di semua tingkat dan menggunakan jalur formal dan informal lainnya untuk menjangkau anak-anak muda dan anak-anak dengan informasi; menggalakkan integrasi pengurangan risiko bencana sebagai suatu elemen instrinsik dalam dekade 2005–2015 untuk Pendidikan bagi Pembangunan Berkelanjutan (United Nations Decade of Education for Sustainable Development);
(2) menggalakkan pelaksanaan penjajagan resiko tingkat lokal dan program kesiapsiagaan terhadap bencana di sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lanjutan;
(3) menggalakkan pelaksanaan program dan aktivitas di sekolah-sekolah untuk pembelajaran tentang bagaimana meminimalisir efek bahaya;
(4) mengembangkan program pelatihan dan pembelajaran tentang pengurangan resiko bencana dengan sasaran sektor-sektor tertentu, misalnya: para perancang pembangunan, manajer tanggap darurat, pejabat pemerintah tingkat lokal, dan sebagainya;
(5) menggalakkan inisiatif pelatihan berbasis masyarakat dengan mempertimbangkan peran tenaga sukarelawan sebagaimana mestinya untuk meningkatkan kapasitas lokal dalam melakukan mitigasi dan menghadapi bencana;
(6) memastikan kesetaran akses kesempatan memperoleh pelatihan dan pendidikan bagi perempuan dan konstituen yang rentan; dan
(7) menggalakkan pelatihan tentang sensitivitas gender dan budaya sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan dan pelatihan tentang pengurangan resiko bencana.
Prevensi: Disaster Risk Reduction At school
Ada pengalaman menarik tentang peran anak-anak dalam mengurangi korban tsunami Desember 2004. Seorang gadis kecil dari Inggris bernama Tilly yang mendapatkan pelajaran tanda-tanda tsunami dari guru geografinya telah menyelamatkan banyak orang yang sedang berlibur di pantai barat Thailand. Seorang anak laki-laki kecil bernama Anto yang tinggal di Pulau Simeulue mendapatkan pelajaran dari kakeknya tentang apa yang harus dilakukan ketika terjadi gempabumi di laut. Bersama seluruh penghuni pulau itu,
mereka berlari menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi.
Masyarakat di seluruh dunia berpandangan bahwa anak-anak menghadirkan harapan masa depan. Sekolah dipercaya memiliki pengaruh langsung terhadap generasi muda, yaitu dalam menanamkan nilai-nilai budaya dan menyampaikan pengetahuan tradisional dan konvensional kepada generasi muda. Untuk melindungi anak-anak dari ancaman bencana alam diperlukan dua prioritas
berbeda namun tidak bisa dipisahkan aksinya yaitu pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah.
Untuk alasan itulah dilakukan ‘Kampanye Pendidikan tentang Resiko Bencana dan Keselamatan di Sekolah’ yang dikoordinir oleh UN/ISDR (United Nations/International Strategy for Disaster Reduction) hingga penghujung tahun 2007 dengan didasari berbagai pertimbangan. Anak-anak adalah kelompok yang paling rentan selama kejadian bencana, terutama yang sedang bersekolah pada saat berlangsungnya kejadian. Pada saat bencana, gedung sekolah hancur, mengurangi usia hidup murid sekolah dan guru yang sangat berharga dan macetnya kesempatan memperoleh pendidikan sebagai dampak bencana. Pembangunan kembali sekolah memerlukan waktu yang tidak sebentar dan pastilah sangat mahal.
Pendidikan kebencanaan di sekolah dasar dan menegah membantu anak-anak memainkan peranan penting dalam penyelamatan hidup dan perlindungan anggota masyarakat pada saat kejadian bencana. Menyelenggarakan pendidikan tentang resiko bencana ke dalam kurikulum sekolah sangat membantu dalam membangun kesadaran akan isu tersebut di lingkungan masyarakat. Sebagai tambahan terhadap peran penting mereka di dalam pendidikan formal, sekolah juga harus mampu melindungi anak-anak dari suatu kejadian bencana alam. Investasi dalam memperkuat struktur gedung sekolah sebelum suatu bencana terjadi, akan mengurangi biaya/anggaran jangka panjang, melindungi generasi muda penerus bangsa, dan memastikan kelangsungan kegiatan belajar-mengajar setelah kejadian bencana.
Sasaran utama kampanye ini adalah mempromosikan integrasi pendidikan tentang resiko bencana dalam kurikulum sekolah di negara-negara yang rawan bencana alam dan mempromosikan konstruksi yang aman dan penyesuaian gedung sekolah yang mampu menahan bahaya. Untuk mencapai sasaran tersebut diperlukan langkah-langkah yang tepat dengan cara mempromosikan praktek terbaik yang menunjukkan bagaimana bermanfaatnya pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah bagi masyarakat yang rentan. Berupaya melibatkan para pelaku pada berbagai tingkatan untuk menyampaikan pesan kampanye tersebut. Mendorong kepekaan anak-anak sekolah, orangtua, para guru, para pengambil kebijakan di tingkat lokal hingga internasional, dan organisasi kemasyarakatan untuk mempengaruhi kebijakan tentang pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah.
Kampanye ditujukan kepada murid sekolah dasar dan menengah, para guru, pembuat kebijakan pendidikan, orangtua, insinyur dan ahli bangunan. Selain itu juga ditujukan kepada lembaga pemerintah yang bertanggung-jawab atas isu
manajemen bencana, mendiknas, para pemimpin politik di tingkat nasional, pembuat keputusan di masyarakat, dan otoritas lokal. Pesan yang bisa disampaikan antara lain:
(1) pendidikan tentang resiko bencana menguatkan anak-anak dan membantu membangun kesadaran yang lebih besar isu tersebut di dalam masyarakat;
(2) fasilitas bangunan sekolah yang bisa menyelamatkan hidup dan melindungi anak-anak sebagai generasi penerus bangsa dari suatu kejadian bencana alam; dan
(3) pendidikan tentang resiko bencana dan fasilitas keselamatan di sekolah akan membantu negara-negara menuju ke arah pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium.
Hasil yang diharapkan adalah pemerintah pusat dan daerah menanamkan investasinya dalam fasilitas bangunan sekolah tahan bencana dan mengarahkan kurikulum pendidikan tentang resiko bencana secara nasional; (2) meningkatkan kesadaran sebagai dampak positif adanya pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah; dan (3) peningkatan aksi dan penggunaan praktek-praktek yang baik untuk mengerahkan koalisi dan kemitraan, membangun kapasitas sumberdaya yang ada untuk mengadakan pelatihan pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah.
Penutup
Bencana berdampak pada perkembangan anak, tidak saja merusak kegiatan dan kebiasaan sehari-hari anak, bencana mengakibatkan tertundanya sekolah dan akhirnya perkembangan pendidikan anak, kesempatan sosial anak, dan meningkatnya tekanan pada stress hidup sepeerti penyakit, kekerasan keluarga, dan alcohol. (Silverman and La Greca 2002). Bencana juga mengakibatkan anak terpisah dari orangtuanya, dari anggota keluarga, dan juga temannya. Mengakibatkan kematian orang-orang yangdicintai dan akhirnya memaksa anak untuk tinggal dengan lingkungan yang tidak familiar bahkan tidak bisa menerima mereka. Efek negative ini jelas mempunyai pengaruh yang buruk dagi kesehatan fisik dan emosioal anak sebagai “well being”.
Meskipun anak mempunyai kerentanan tinggi terhadap bencana, mereka bukan korban yang pasif. Anak dan pemuda dapat secara aktif terlibat dalam kegiatan tanggap bencana di sekolah, dirumah an di masyarakat untuk meminimalkan resiko yang mungkin akan mereka hadapi dalam bencana. Memasukkan ”disaster
risk reduaction” di sekolah adalah cara yang bagus untuk menjangkauketerlibatan anak. Anak-anak ini akan saling berkomunikasi mengenai informasi resiko dengan teman sebaya dan anggota keluarga. I Untuk mendidik anak mengenai bencana dan melibatkan mereka dalam kegiatan persiapan, materi harus disiapkan sesuai dengan umur. Materi ini dikembangkan dan diseminasi melalui media elektronik. Anak juga mungkin mempunyai ide praktis dan kreatif dalam membantu keluarga dan masyarakat sekitar untuk pulih dari bencana. Bencana menghancurkan ruang fisik anak dalam tumbuh belajar dan bermain – rumah mereka, lingkungan sekitar, sekolah, taman dan tempat bermain. Namun demikian orang dewasa jarang bertanya pada anak mengenai bagaimana mereka menginginkan ruang fisik mereka dibangun.Sistem dapat dibangun untuk melibatkan suara anak dalam pengambilan keputusan ini. Ada perbedaan antara “mendengarkan” anak berbicara dan menyimak apa yang mereka katakan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Bencana alam merupakan sebuah musibah yang tidak dapat diprediksi
kapan datangnya. Apabila bencana tersebut telah datang maka akan menimbulkan
kerugian dan kerusakan yang membutuhkan upaya pertolongan melalui tindakan
tanggap bencana yang dapat dilakukan oleh perawat.
3.2 Saran
Sebagai seorang calon perawat diharapkan bisa turut andil dalam
melakukan kegiatan tanggap bencana. Sekarang tidak hanya dituntut mampu
memiliki kemampuan intelektual namun harus memilki jiwa kemanusiaan melalui
aksi siaga bencana.
REFERENSI
1. Efendi,Ferry.Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan praktik dalam
keperawatan.Jakarta.Penerbit Salemba Medika,2009.
2. Mepsa,Putra.2012.Peran Mahasiswa Keperawatan Dalam Tanggap
Bencana
.20http://fkep.unand.ac.id/images/peran_mahasiswa_keperawatan_dalam_tanggap
_bencana.docx. Diakses tanggal 15 November 2012
3. Kholid, Ahmad S.Kep, Ns. Prosedur Tetap Pelayanan Medik
Penanggulangan Bencana.
http://dc126.4shared.com/doc/ZPBNsmp_/preview.html. Diakses tanggal 15
November 2012
4. Mursalin.2011.Peran Perawat Dalam Kaitannya Mengatasi Bencana.
Diakses tanggal 15 November 2012