Disaster Jiwa

46
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Profesi keperawatan bersifat luwes dan mencakup segala kondisi, dimana perawat tidak hanya terbatas pada pemberian asuhan dirumah sakit saja melainkan juga dituntut mampu bekerja dalam kondisi siaga tanggap bencana. Situasi penanganan antara keadaan siaga dan keadaan normal memang sangat berbeda, sehingga perawat harus mampu secara skill dan teknik dalam menghadapi kondisi seperti ini. Kegiatan pertolongan medis dan perawatan dalam keadaan siaga bencana dapat dilakukan oleh proesi keperawatan. Berbekal pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki seorang perawat bisa melakukan pertolongan siaga bencana dalam berbagai bentuk. Dalam penulisan makalah ini akan dijelaskan pentingnya peran perawat dalam situasi tanggap bencana, bentuk dan peran yang bisa dilakukan perawat dalam keadaan tanggap bencana. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah, yaitu: 1. Bagaimana Bencana?

description

tugas 2

Transcript of Disaster Jiwa

Page 1: Disaster Jiwa

BAB I

PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang

Profesi keperawatan bersifat luwes dan mencakup segala kondisi, dimana

perawat tidak hanya terbatas pada pemberian asuhan dirumah sakit saja melainkan

juga dituntut mampu bekerja dalam kondisi siaga tanggap bencana. Situasi

penanganan antara keadaan siaga dan keadaan normal memang sangat berbeda,

sehingga perawat harus mampu secara skill dan teknik dalam  menghadapi

kondisi seperti ini. Kegiatan pertolongan medis dan perawatan dalam keadaan

siaga bencana dapat dilakukan oleh proesi  keperawatan. Berbekal pengetahuan

dan kemampuan yang dimiliki seorang perawat bisa melakukan pertolongan siaga

bencana dalam berbagai bentuk. Dalam penulisan makalah ini akan dijelaskan

pentingnya peran perawat dalam situasi tanggap bencana, bentuk dan peran yang

bisa dilakukan perawat dalam keadaan tanggap bencana.

1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa

masalah, yaitu:

1. Bagaimana Bencana?

2. Bagaimana Fase-fase bencana?

3. Bagaimana Kelompok rentan Bencana?

4. Bagaimana Paradigma penanggulangan Bencana?

5. Bagaimana Pengurangan Risiko Bencana?

6. Bagaimana Peran perawat Dalam tanggap Bencana?

7. Bagaimana Jenis Kegiatan siaga Bencana?

8. Bagaimana Managemen Bencana?

9. Bagaimana peran perawat dalam managemen Bencana?

Page 2: Disaster Jiwa

1.3    Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Mahasiswa dapat mengetahui Bencana.

2. Mahasiswa dapat mengetahui Fase-fase bencana.

3. Mahasiswa dapat mengetahui Kelompok rentan Bencana.

4. Mahasiswa dapat mengetahui Paradigma penanggulangan Bencana.

5. Mahasiswa dapat mengetahui Pengurangan Risiko Bencana.

6. Mahasiswa dapat mengetahui Peran perawat Dalam tanggap Bencana.

7. Mahasiswa dapat mengetahui Jenis KEgiatan siaga Bencana.

8. Mahasiswa dapat mengetahui Managemen Bencana.

9. Mahasiswa dapat mengetahui peran perawat dalam managemen Bencana.

Page 3: Disaster Jiwa

BAB II

PEMBAHASAN

 2.1    Bencana

Definisi Bencana menurut WHO (2002) adalah setiap kejadian yang

menyebabkan kerusakan gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia, atau

memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan dalam skala tertentu

yang memerlukan respon dari luar masyarakat dan wilayah yang terkena. Bencana

dapat juga didefinisikan sebagai situasi dankondisi yang terjadi dalam kehidupan

masyarakat.

Jenis-jenis bencana:

1. Bencana alam (natural disaster), yaitu kejadian-kejadian alami seperti

banjir, genangan, gempa bumi, gunung meletus dan lain sebagainya.

2. Bencana ulah manusia (man-made disaster), yaiut kejadian-kejadian

karena perbuatan manusia seperti tabrakan pesawat udara atau kendaraan,

kebakaran, ledakan, sabotase dan lainnya.

Bencana berdasarkan cakupan wilayahnya terdiri atas:

1. Bencana Lokal, bencana ini memberikan dampak pada wilayah sekitarnya

yang berdekatan, misalnya kebakaran, ledakan, kebocoran kimia dan

lainnya.

2. Bencana regional, jenis bencan ini memberikan dampak atau pengaruh

pada area geografis yang cukup luas dan biasanya disebabkan leh faktor

alam seperti alam, banjir, letusan gunung dan lainnya.

 2.2    Fase-fase bencana

Menurut Barbara santamaria (1995),ada tiga fase dapat terjadinya suatu

bencana yaitu fase pre impact,impact,dan post impact

Page 4: Disaster Jiwa

1. Fase pre impact  merupakan warning phase,tahap awal dari  bencana.Informasi

didapat dari badan satelit dan meteorologi cuaca.Seharusnya pada fase inilah

segala persiapan dilakukan dengan baik oleh pemerintah,lembaga dan

masyarakat.

2. Fase impact Merupakan fase terjadinya klimaks bencana.inilah saat-saat

dimana manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup.fase impact ini

terus berlanjut hingga tejadi kerusakan dan bantuan-bantuan yang darurat

dilakukan.

3. Fase post impact merupakan saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari

fase darurat.Juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi

kualitas normal.Secara umum pada fase post impact para korban akan

mengalami tahap respons fisiologi mulai dari penolakan (denial),marah

(angry),tawar –menawar (bargaing),depresi (depression),hingga penerimaan

(acceptance).

Permasalahan dalam penanggulangan bencana

Secara umum masyarakat Indonesia  termasuk aparat pemerintah didaerah

memiliki keterbatasan pengetahuan tentang bencana seperti berikut :

1. Kurangnya pemahaman terhadap karakteristik bahaya

2. Sikap atau prilaku yang mengakibatkan menurunnya kualitas SDA

3. Kurangnya informasi atau peringatan dini yang mengakibatkan ketidaksiapan

4. Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya.

 2.3    Kelompok rentan bencana

Kerentanan adalah keadaan atau sifat (perilaku) manusia atau masyarakat

yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman dari

potensi bencana untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesiapan dan

menanggapi dampak bahaya tertentu.

Kerentanan terbagi atas:

Page 5: Disaster Jiwa

1. Kerentanan fisik, kerentanan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi

ancaman bahaya tertentu, misalnya kekuatan rumah bagi masyarakat yang

tinggal di daerah rawan gempa.

2. Kerentanan ekonomi, kemampuan ekonomi individu atau masyarakat dalam

pengalokasian sumber daya untuk pencegahan serta penanggulangan bencana.

3. Kerentanan social, kondisi social masyarakat dilihat dari aspek pendidikan,

pengetahuan tentang ancaman bahaya dan rsiko bencana.

4. Kerentanan lingkungan, keadaan disekitar masyarakat tinggal. Misalnya

masyarakat yang tinggal di lereng bukit atau pegunungan rentan terhadap

ancaman bencana tanah longsor.

2.4    Paradigma Penanggulanngan Bencana

Konsep penanggulangan bencana telah mengalami pergeseran paradigm

dari konfensional yakni anggapan bahwa bencana merupakan kejadian yang tak

terelakan dan korban harus segera mendapatkan pertolongan, ke paradigm

pendekatan holistic yakni menampakkan bencana dalam tatak rangka menejerial

yang dikenali dari bahaya, kerentanan serta kemampuan masyarakat. Pada konsep

ini dipersepsikan bahwa bencana merupakan kejadian yang tak dapat dihindari,

namun resiko atau akibat kejadian bencana dapat diminimalisasi dengan

mengurangi kerentanan masyarakat yang ada dilokasi rawan bencan serta

meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pencegahan dan penangan bencana.

2.5    Pengurangan Risiko Bencana

Tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:

1. Pra bencana, pada tahapan ini dilakukan kegiatan perencanaan

penanggulangan bencana, pengurangan risiko bencana, pencegahan,

pemaduan dalam perencanaan pembangunan, persyaratan analisis risiko

bencana, penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan peletahihan serta

penentuan persyaratan standar teknis penanggulangan bencana

(kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana).

Page 6: Disaster Jiwa

2. Tanggap darurat, tahapan ini mencakup pengkajian terhadap loksi, kerusakan

dan sumber daya; penentuan status keadan darurat; penyelamatan dan

evakuasi korban, pemenuhan kebutuhan dasar;  pelayanan psikososial dan

kesehatan.

3. Paska bencana, tahapan ini mencakup kegiatan rehabilitasi (pemulihan daerah

bencana, prasaranan dan saran umum, bantuan perbaikan rumah, social,

psikologis, pelayanan kesehatan, keamanan dan ketertiban) dan rekonstruksi

(pembangunan, pembangkitan dan peningkatan sarana prasarana termasuk

fungsi pelayanan kesehatan.

 2.6    Perawat sebagai profesi

Perawat adalah salah satu profesi di bidang kesehatan , sesuai dengan

makna dari profesi maka seseorang yang telah mengikuti pendidikan profesi

keperawatan seyogyanya mempunyai kemampuan untuk memberikan pelayanan

yang etikal dan sesuai standar profesi serta sesuai dengan kompetensi dan

kewenangannya baik melalui pendidikan formal maupun informal, serta

mempunyai komitmen yang tinggi terhadap pekerjaan yang dilakukannya

(Nurachmah, E 2004).

Perry & Potter (2001), mendifinisikan bahwa seorang perawat dalam

tugasnya harus berperan sebagai:kolaborator, pendidik, konselor,change agent dan

peneliti. Keperawatan mempunyai karakteristik profesi yaitu memiliki body of

knowledge yang berbeda dengan profesi lain, altruistik, memiliki wadah profesi,

mempunyai standar dan etika profesi, akontabilitas, otonomi dan kesejawatan

(Leddy & Pepper, 1993 dalam Nurachmah, E, 2004)

Berdasarkan karakteristik di atas maka pelayanan keperawatan merupakan

pelayanan profesional yang manusiawi untuk memenuhi kebutuhan klien yang

unik dan individualistik diberikan oleh tenaga keperawatan yang telah

dipersiapkan melalui pendidikan lama dan pengalaman klinik yang memadai.

Perawat harus memiliki karakteristik sikap caring yaitu competence,confidence,

compassion, conscience and commitment (ANA, 1995 dalam Nurachmah, 2004).

Page 7: Disaster Jiwa

Pelayanan keperawatan yang optimal dapat dicapai jika perawat sudah

profesional.

Peran perawat 

Peran adalah seperangkat perilaku yang diharapkan secara sosial yang

berhubungan dengan fungsi individu pada berbagai kelompok sosial. Tiap

individu mempunyai berbagai peran yang terintegrasi dalam pola fungsi individu.

Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap

kedudukannya dalam sistem ( Zaidin Ali , 2002,). Menurut Gaffar (1995) peran

perawat adalah segenap kewenangan yang dimiliki oleh perawat untuk

menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.

2.7    Peran Perawat Dalam Tanggap Bencana

Pelayanan keperawatan tidak hanya terbatas diberikan pada instansi

pelayanan kesehatan seperti rumah sakit saja. Tetapi, pelayanan keperawatan

tersebut juga sangat dibutuhkan dalam situasi tanggap bencana. Perawat tidak

hanya dituntut memiliki pengetahuan dan kemampuan dasar praktek keperawatan

saja,  Lebih dari itu, kemampuan tanggap bencana juga sangat di butuhkan saaat

keadaan darurat. Hal ini diharapkan menjadi bekal bagi perawat untuk bisa terjun

memberikan pertolongan dalam situasi bencana.

Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan sangat berbeda, kita lebih

banyak melihat tenaga relawan dan LSM lain yang memberikan pertolongan lebih

dahulu dibandingkan dengan perawat, walaupun ada itu sudah terkesan lambat.

2.8    Jenis Kegiatan Siaga Bencana

Kegiatan penanganan siaga bencana memang berbeda dibandingkan

pertolongan medis dalam keadaan normal lainnya. Ada beberapa hal yang menjadi

perhatian penting. Berikut beberapa tnidakan yang bisa dilakukan oleh perawat

dalam situasi tanggap bencana:

Page 8: Disaster Jiwa

1. Pengobatan dan pemulihan kesehatan fisik

Bencana alam yang menimpa suatu daerah, selalu akan memakan

korban dan kerusakan, baik itu korban meninggal, korban luka luka,

kerusakan fasilitas pribadi dan umum,  yang mungkin akan menyebabkan

isolasi tempat, sehingga sulit dijangkau oleh para relawan. Hal yang paling

urgen dibutuhkan oleh korban saat itu  adalah pengobatan dari tenaga

kesehatan. Perawat bisa turut andil dalam aksi ini, baik berkolaborasi dengan

tenaga perawat atau pun tenaga kesehatan profesional, ataupun juga

melakukan pengobatan bersama perawat lainnya secara cepat, menyeluruh

dan merata di tempat bencana. Pengobatan yang dilakukan pun bisa beragam,

mulai dari pemeriksaan fisik, pengobatan luka, dan lainnya sesuai dengan

profesi keperawatan.

2. Pemberian bantuan

Perawatan dapat melakukan aksi galang dana bagi korban bencana,

dengan menghimpun dana dari berbagai kalangan dalam berbagai bentuk,

seperti makanan, obat obatan, keperluan sandang dan lain sebagainya.

Pemberian bantuan tersebut bisa dilakukan langsung oleh perawat secara

langsung di lokasi bencana dengan memdirikan posko bantuan. Selain itu,

Hal yang harus difokuskan dalam kegiatan ini adalah pemerataan bantuan di

tempat bencana sesuai kebutuhan yang di butuhkan oleh para korban saat itu,

sehinnga tidak akan ada lagi para korban yang tidak mendapatkan bantuan

tersebut dikarenakan bantuan yang menumpuk ataupun tidak tepat sasaran.

3. Pemulihan kesehatan mental

Para korban suatu bencana biasanya akan mengalami trauma

psikologis akibat kejadian yang menimpanya. Trauma tersebut bisa berupa

kesedihan yang mendalam, ketakutan dan kehilangan berat. Tidak sedikit

trauma ini menimpa wanita, ibu ibu, dan anak anak yang sedang dalam massa

pertumbuhan. Sehingga apabila hal ini terus berkelanjutan maka akan

mengakibatkan stress berat dan gangguan mental bagi para korban bencana.

Hal yang dibutukan dalam penanganan situasi seperti ini adalah pemulihan

Page 9: Disaster Jiwa

kesehatan mental yang dapat dilakukan oleh perawat. Pada orang dewasa,

pemulihannya bisa dilakukan dengan sharing dan mendengarkan segala

keluhan keluhan yang dihadapinya, selanjutnya diberikan sebuah solusi dan

diberi penyemangat untuk tetap bangkit. Sedangkan pada anak anak, cara

yang efektif adalah dengan mengembalikan keceriaan mereka kembali, hal ini

mengingat sifat lahiriah anak anak yang berada pada masa bermain. Perawat

dapat mendirikan sebuah taman bermain, dimana anak anak tersebut akan

mendapatkan permainan, cerita lucu, dan lain sebagainnya. Sehinnga

kepercayaan diri mereka akan kembali seperti sedia kala.

4. Pemberdayaan masyarakat

Kondisi masyarakat di sekitar daerah yang terkena musibah pasca

bencana biasanya akan menjadi terkatung katung tidak jelas akibat

memburuknya keaadaan pasca bencana., akibat kehilangan harta benda yang

mereka miliki. sehinnga banyak diantara mereka  yang patah arah dalam

menentukan hidup selanjutnya. Hal yang bisa menolong membangkitkan

keadaan tersebut adalah melakukan pemberdayaan masyarakat. Masyarakat

perlu mendapatkan fasilitas dan skill yang dapat menjadi bekal bagi mereka

kelak. Perawat dapat melakukan pelatihan pelatihan keterampilan yang

difasilitasi dan berkolaborasi dengan instansi ataupun LSM yang bergerak

dalam bidang itu. Sehinnga diharapkan masyarakat di sekitar daerah bencana

akan mampu membangun kehidupannya kedepan lewat kemampuan yang ia

miliki.

  Untuk mewujudkan tindakan di atas perlu adanya beberapa hal yang harus

dimiliki oleh seorang perawat, diantaranya:

1. Perawatan harus memilki skill keperawatan yang baik.

Sebagai perawat yang akan memberikan pertolongan dalam penanaganan

bencana, haruslah mumpunyai skill keperawatan, dengan bekal tersebut

perawat akan mampu memberikan pertolongan medis yang baik dan

maksimal.

2. Perawat harus memiliki jiwa dan sikap kepedulian.

Page 10: Disaster Jiwa

Pemulihan daerah bencana membutuhkan kepedulian dari setiap elemen

masyarakat termasuk perawat, kepedulian tersebut tercemin dari rasa

empati dan mau berkontribusi secara maksimal dalam segala situasi

bencana. Sehingga dengan jiwa dan semangat kepedulian tersebut akan

mampu meringankan beban penderitaan korban bencana.

3. Perawatan harus memahami managemen siaga bencana

Kondisi siaga bencana membutuhkan penanganan yang berbeda, segal hal

yang terkait harus didasarkan pada managemen yang baik, mengingat

bencana datang secara tak terduga banyak hal yang harus dipersiapkan

dengan matang, jangan sampai tindakan yang dilakukan salah dan sia sia.

Dalam melakukan tindakan di daerah bencana, perawat dituntut untuk

mampu memilki kesiapan dalam situasi apapun jika terjadi bencana alam.

Segala hal yang berhubungan dengan peralatan bantuan dan pertolongan

medis harus bisa dikoordinir dengan baik dalam waktu yang mendesak.

Oleh karena itu, perawat harus mengerti konsep siaga bencana.

 2.9    Managemen Bencana

Ada 3 aspek mendasar dalam management bencana, yaitu:

1. Respons terhadap bencana

2. Kesiapsiagaan menghadapi bencana

3. Mitigasi efek bencana

  Managemen siaga bencana membutuhkan kajian yang matang dalam

setiap tindakan yang akan dilakukan sebelum dan setelah terjun kelapangan. Ada

beberapa hal yang bisa dijadikan pedoman, yaitu:

1. Mempersiapkan bentuk kegiatan yang akan dilakukan

Setelah mengetahui sebuah kejadian bencana alam beserta situasi di tempat

kejadian, hal yang terlebih dahulu dilakukan adalah memilih bentuk kegiatan

yang akan diangkatkan, seperti melakukan pertolongan medis, pemberian

bantuan kebutuhan korban, atau menjadi tenaga relawan. Setelah ditentukan,

kemudian baru dilakukan persiapan mengenai alat alat, tenaga, dan juga

Page 11: Disaster Jiwa

keperluan yang akan dibawa disesuaikan dengan alur dan kondisi masyarakat

serta medan yang akan ditempuh.

2. Melakukan tindakan yang telah direncanakan sebelumnya.

Hal ini merupakan pokok kegiatan siaga bencana yang dilakukan, segala hal

yang dipersiapkan sebelumnya, dilakukan dalam tahap ini, sampai jangka

waktu yang disepakati.

3. Evaluasi kegiatan

Setiap selesai melakukan kegiatan, perlu adanya suatu evaluasi kegiatan yang

dilakukan, evaluasi bisa dijadikan acuan, introspeksi, dan pedoman

melakukan kegiatan selanjutnya. Alhasil setiap kegiatan yang dilakukan akan

berjalan lebih baik lagi dari sebelumnya.

 2.10 Peran perawat dalam managemen bencana

1. Peran perawat dalam fase pre-impect

a. Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam

penanggulangan ancaman bencana.

b. Perawat ikut terlibat dalam berbagai dinas pemerintahan, organisasi

lingkungan, palang merah nasional, maupun lembaga-lembaga

pemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan

menghadapi ancaman bencana.

c. Perawat terlibat dalam program promosi kesehatan untuk meningkatkan

kesiapan masyarakat dalam mengahdapi bencana.

2. Peran perawat dalam fase impact

a. Bertindak cepat

b. Don’t promise. Perawat seharusnya tidak menjanjikan apapun dengan

pasti dengan maksud memberikan harapan yang besar pada korban yang

selamat.

c. Berkonsentrasi penuh pada apa yang dilakukan

d. Kordinasi dan menciptakan kepemimpinan

Page 12: Disaster Jiwa

e. Untuk jangka panjang, bersama-sama pihak yang tarkait dapat

mendiskusikan dan merancang master plan of revitalizing, biasanya untuk

jangka waktu 30 bulan pertama.

3. Peran perawat dalam fase post impact

a. Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, fisikologi

korban

b. Stress fisikologi yang terjadi dapat terus berkembang hingga terjadi post

traumatic stress disorder (PTSD) yang merupakan sindrom dengan 3

kriteria utama. Pertama, gejala trauma pasti dapat dikenali. Kedua,

individu tersebut mengalami gejala ulang traumanya melalui flashback,

mimpi, ataupun peristiwa-peristiwa yang memacuhnya. Ketiga, individu

akan menunjukan gangguan fisik. Selain itu, individu dengan PTSD dapat

mengalami penurunan konsentrasi, perasaan bersalah dan gangguan

memori.

c. Tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait bekerja

sama dengan unsure lintas sektor menangani maslah keehatan masyarakat

paska gawat darurat serta mempercepat fase pemulihan (recovery) menuju

keadaan sehat dan aman.

Sementara untuk peristiwa emergensi, intervensi psikososial yang dilakukan pada saat-saat gawat darurat (emergency) telah dikembangkan dan direkomendasikan oleh kelompok kerja sebagai berikut:

1. Fase segera setelah kejadian (rescue):a. Menyediakan defusing (sarana pengungkapan tekanan/beban/emosi)

dan pelayanan intervensi krisis untuk pekerja yang memberikan bantuan kedaruratan.

b. Memastikan keselamatan korban dan memastikan terpenuhnya kebutuhan-kebutuhan fisik dasar (rumah, makanan, air bersih).

c. Mencari cara menyatukan kembali keluarga dan komunitas.d. Menyediakan informasi, kenyamanan, asistensi praktis, dan

pertolongan pertama masalah emosional.2. Fase inventory awal (bulan pertama setelah kejadian):

a. Melanjutkan tugas-tugas penyelamatan.

Page 13: Disaster Jiwa

b. Mendidik & melatih orang lokal dan relawan mengenai efek trauma. c. Melatih konselor-konselor tambahan untuk situasi bencana. d. Menyediakan dukungan praktis jangka pendek.e. Mengindentifikasi mereka yang berada dalam resiko-resiko khusus. f. Memulai dukungan krisis, debriefing dan bentuk lain semacamnya.

3. Fase inventory lanjutan (dua bulan setelah kejadian dan setelahnya): a. Melanjutkan tugas penyelamatan dan fase awal.b. Menyediakan pendidikan masyarakat.c. Mengembangkan pelayanan-pelayanan outreach, dan mengidentifikasi

yang memerlukannya. d. Menyediakan debriefing dan aktivitas-aktivitas lain sesuai kebutuhan

korban bencana.e. Mengembangkan layanan berbasis sekolah dan layanan-layanan lain

berbasis lembaga kemasyarakatan. 4. Fase rekonstruksi:

a. Tindaklanjut terhadap korban yang selamat yang telah ditemui atau ditangani sebelumnya.

b. Menyediakan hotline dan cara-cara lain yang memungkinkan komunitas menghubungi konselor.

c. Melanjutkan layanan defusing dan debriefing untuk pekerja penyelamatan dan komunitas.

Tomoto (2009) dari Hyogo Care centre Jepang menjelaskan bahwa intervensi dasar yang dapat dilakukan pada korban bencana adalah:

a. menjelaskan bahwa kondisi sudah aman.b. berbagi pengetahuan dan informasi, dengan melakukan pendidikan

psikologis dan memanfaatkan sumber daya lokal.c. tidak memaksa terhadap tindakan yang akan dilakukan.d. tidak menjanjikan bahwa tugas selanjutnya kita tanggung semua

Pilihan intervensi yang direkomendasikan adalah intervensi tahap awal, tindakan medis berdasarkan diagnosis umum, dan tindakan medis oleh tenaga spesialis:

1. Intervensi tahap awalKorban bencana yang memerlukan intervensi awal ini adalah korban

yang terasingkan, korban yang tidak dapat beristirahat sebagaimana mestinya, dan korban yang tidak memiliki tempat yang aman untuk menceritakan pengalamannya (Foy dkk, 1984; Keane dkk., Martin dkk., 2000 dalam Tomota, 2009). Prinsip intervensi pada tahap awal ini adalah: a) tidak membahayakan, b) reaksi normal terhadap kondisi abnormal, c) menceritakan pengalaman dan perasaan sendiri kepada orang yang dapat dipercaya, d)

Page 14: Disaster Jiwa

pemulihan pola hidup normal dan aktifitas sehari-hari, e) olah raga secukupnya, dan f) usahakan waktu tidur cukup.

Intervensi awal yang dilakukan dengan tepat menunjukkan hasil 90% diantaranya pulih tanpa bantuan tenaga spesialis (Rothbaum dkk, 1992 dalam Tomota, 2009). Pada tahap ini juga direkomendasikan untuk tidak melakukan debriefing karena berdasarkan penelitian upaya debriefing ini tidak efektif pada korban bencana baik untuk meringankan penderitaan maupun untuk mencegah terjadinya PTSD.

2. tindakan medis berdasarkan diagnosis umum (primary care).a. pilihan pertama: SSRI (selective serotonin Reuptake Inhibitor, misalnya

Paxil, Luvox, Depromel).b. Pilihan kedua: Tricyclic antidepressant, Catapres, inderalc. Jika rasa cemas menguat, diberikan: Benzodiazepine anxiolytic dosis

tinggi, Solanax, Constan, tambahan Rivotril Landsen d. Jika timbul dorongan impulsif dan ofensif yang kuat, diberikan Tegretol,

Depakene dan sebagainya. Tujuan diberikan obat ini tidak untuk melupakan memori pengalaman yang traumatik namun untuk memulihkan rasa percaya diri bahwa memori sudah dapat dikontrol.

e. Bila gejala mengarah gangguan jiwa, maka diberikan antiispychotic 3. tindakan medis oleh tenaga spesialis, seperti a) terapi dengan obat, b) terapi

dengan dukungan moral, c) EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing), d) CBT (Cognitive Behaviour Therapy), dan e) Eksposur dalam jangka waktu panjang.

Selain prinsip-prinsip intervensi tersebut diatas, Tomoto (2009) juga menjelaskan perlunya menghindari kata-kata yang diucapkan selama memberikan intervensi karena dapat melukai perasaan klien, antara lain:

1. teruslah berusaha. Pernyataan ini memberikan motivasi namun pada waktu yang tidak tepat karena kondisi klien yang sedang berduka yang masih sulit menerima advise dari luar.

2. kalau kamu tidak sembuh-sembuh, orang yang sudah meninggal juga tidak akan tenang lho!.

3. kalau kamu menangis, orang yang sudah meninggal juga tidak akan tenang lho!

4. Sudah bagus lho bahwa nyawa kamu masih bisa diselamatkan.5. Kamu kan punya keluarga, itu saja sudah bisa bahagia, bukan?6. Anggap saja ini tidak pernah terjadi, mari mulai segalanya dari awal.7. Pasti ada hal yang baik dimasa yang akan datang.

Page 15: Disaster Jiwa

8. Cepat lupakan, bangkitkan semangatmu.9. Kamu lebih sehat dari yang saya pikirkan sebelumnya.10. Jangan berfikir begitu lagi.11. Mari berfikir positif.12. Segini saja cukupkan?13. Tidak apa-apa lho!

Individu korban bencana merupakan pihak yang sangat rentan dan sensitif

terhadap ungkapan atau pernyataan orang lain. Hal ini terjadi karena

ketidakstabilan emosi korban pasca bencana. Untuk itu perawat sebagai salah

satu tenaga kesehatan perlu memahami dan melatih untuk menggunakan

tehnik komunikasi secara terapeutik ketika berinterkasi dengan klien. E. Peran perawat kesehatan jiwa dalam manajemen bencana

Salah satu peran penting perawat kesehatan jiwa adalah melakukan intervensi

psikososial. Intervensi psikososial merupakan pemberian layanan kesehatan

mental yang tidak hanya berbasis pada layanan yang diberikan di rumah sakit

jiwa, namun lebih mengarah pada layanan yang diberikan dalam komunitas yang

sifatnya lebih informal. Intervensi ini berupaya untuk mendekatkan psikologi dan

psikiatri ke dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan layanan kepada

kelompok-kelompok yang ada dimasyarakat baik yang mengalamai masalah

psikiatri (gangguan), yang beresiko mengalamai gangguan maupun yang sehat.

Dengan intervensi psikososial, bagi yang mengalami gangguan agar meningkat

kemampuannya dan mandiri. Untuk yang berresiko agar terhindar atau tidak

terjadi gangguan, dan untuk yang sehat agar semakin sehat dan meningkat status

kesehatannya (CMHN, 2005). Intervensi psikososial selain diberikan kepada

masyarakat yang mengalami bencana, juga perlu diberikan kepada para relawan

Page 16: Disaster Jiwa

atau pekerja kemanusiaan (yang bukan profesional kesehatan mental) yang

memberi pertologan kepada masyarakat korban

Menurut Iskandar dkk (2005), untuk dapat melakukan intervensi psikososial

secara baik dan efektif maka langkah-langkah di bawah ini perlu diperhatikan:

a. Mengembangkan kepercayaan (trust). Terapis perlu membina hubungan

saling percaya kepada korban. Apalagi korban dalam kondisi emosi yang

labil atau masih dalam fase berkabung dan kehilangan sehingga sangat

sensitif terhadap keberadaan orang lain. Terapis perlu memperkenalkan diri

dengan sopan, mendengarkan, menghormati cara-cara dan keyakinan lokal

dalam berhubungan dengan masyarakat. b. Menunjukkan empati, terutama apabila memberikan pertolongan pertama dan

bantuan tanggap darurat, sehingga masyarakat korban tidak merasa menjadi

obyek tetapi subyek dari intervensi yang dilakukan. Prosedur untuk

memberitahukan tahap-tahap yang dilakukan dalam memberi bantuan dan

mendapatkan informed consent atau izin sebelum memberikan pertolongan

wajib dilakukan.

c. Membantu atau memfasilitasi terpenuhinya kebutuhan fisik dasar, misalnya

penampungan darurat, bantuan sandang dan pangan. Dapat juga memastikan

perlindungan kelompok-kelompok yang rentan kekerasan seperti perempuan

dan anak-anak

d. Tetap tenang meski orang yang dihadapi sangat gelisah, agresif, ataupun

situasi mengagetkan/berbeda tak seperti dugaan sebelumnya.

e. Dalam menghadapi individu-individu khusus, upayakan menempatkan

individu pada situasi yang aman, meminimalkan kemungkinan ia melukai diri

sendiri atau orang lain

Page 17: Disaster Jiwa

f. Mendorong dilakukannya kegiatan-kegiatan kelompok.

g. Mengembangkan rutinitas yang positif

h. Menghadiri kegiatan meskipun sekadar ada bersama, mendengar, mengamati,

menunjukkan kepedulian.

i. Melakukan kunjungan-kunjungan rumah.

j. Mengidentifikasi masalah-masalah psikososial khusus dan orang-orang yang

menunjukan gejala-gejala trauma lebih dalam.

Paradigma baru dalam layanan kesehatan jiwa dari hospital base ke commiunity

base memerlukan komitmen yang kuat dari tenaga kesehatan untuk mau dan mampu terjun langsung kemasyarakat dalam rangka mengatasi masalah

kesehatan yang ada. Dalam kasus masayarakat korban Lapindo tenaga kesehatan

atau pihak-pihak terkait harus memberikan perhatian khusus terutama masalah

kesehatan yang mencakup biopsikososiospiritual.

Perawat sebagai bagian dari tenaga kesehatan yang ada mempunyai tanggung

jawab dalam memberikan pelayanan kesehatan jiwa dalam konteks klien sebagai

individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Pelayanan yang diberikan dapat

bersifat promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif, melalui berkolaborasi

dengan tenaga kesehatan lainnya.

Salah satu terapi yang dapat dilakukan kepada individu korban adalah

psikoterapi. Model terapi ini lebih dikenal dengan psikoterapi individu didesain

sebagai orientasi tindakan, fokus penampilan, struktur dan batasan waktu

intervensi (Carson, 2000). Model ini menggunakan teknik yang berfokus pada

Page 18: Disaster Jiwa

pemecahan masalah untuk membantu klien menyelesaikan konflik utama yang

dihadapi klien dari dimensi fisik, psikologis, sosial kultural dan spiritual.

Pendekatan yang digunakan pada psikoterapi individu ini adalah rasional emotif

yang membantu klien menghapus pandangan hidup klien yang menyalahkan

hubungan baik dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan atau Tuhan dan

membantu klien memperoleh pandangan hidup yang lebih rasional dalam

mencari makna dan tujuan hidup.

Tujuan dari psikoterapi individu ini adalah untuk mengembalikan klien pada

kondisi sebelum sakit dalam periode yang singkat (Carson, 2000). Menurut Corey (2005) tujuan dari psikoterapi individu adalah penyusunan kembali

kepribadian, penemuan makna dalam kehidupan, penyembuhan gangguan

emosional, penyesuaian dalam masyarakat, pencapaian aktualisasi diri, peredaan

kecemasan, serta penghapusan tingkah laku maladaptif dan belajar pola-pola

tingkah laku adaptif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa psikoterapi

bertujuan untuk merubah perilaku maladaptif melalui distorsi kognitif.

Menurur Kathlen Wheeler (2008) ada dua pendekatan psikoterapi yang dapat

digunakan untuk mengatasi masalah gangguan stres paska trauma, yaitu

cognotive behavior therapy (CBT) dan eye movement desensitization and

reprocessing (EMDR).

Dampak bencana pada Anak – Deteksi Dini dan Faktor Resiko

Dalam menjelaskan dampak bencana, perlu dipertimbangkan interseksi antara indikator sosial dan indikator lingkungan seperti kemungkinan resiko bencana, kualitas tempat tinggal lingkungan yang terbangun, status sosial ekonomi,

Page 19: Disaster Jiwa

genderm etnik, umur status kesehatan, pekerjaan, pendidikan, jaringan sosial, kemampuan akses, dll (Cutter, Boruff, and Shirley 2003). Dalamhal ini yang termasuk kategori rentan adalah orang miskin, perempuan, etnis minoritas, lansia, dan terlebih anak. Kelompok ini dikategorikasn sebagai kelompok yang rentan pada kerusakan, kehilangan, penderitaan, dan kematian dalam bencana (Wisner et al. 2004).

 

Anak mengalami kecemasan dan ketegangan yang dirasakan oleh orang dewasa di sekitarnya. Dan seprti orang dewasa, anak mengalami perasaan yang tidak berdaya dan tidak dapat mengonrol stres yang ditimbulkan oleh bencana. Tapi tidak seperti orang dewasa, anak mempunyai pengalaman yang sedikit untuk membantu mereka meletakkan situasi mereka saat ini ke dalam suatu perspetif. Children sense the anxiety and tension in adults around them.

Setiap anak mempunyai respon yang berbeda terhadap bencana, tergantung pada pemehaman dan pengerian mereka, tetapi sangatlah mudah melihat bahwa peristiwa seperti ini dapat menciptakan kecemasan yang luar biasa pada semua anak karena mereka berpikir bahwa bencana adalah sesuatu yan mengancam dirinya dan orang yang mereka sayangi.

Table 1. Jenis Kerentanan yang dialami anak dalam bencana

 

Kerentanan

Psikologis

Kerentanan

Fisik

Kerentanan

Pendidikan

• PTSD

• Depresi

• Kecemasan

• Gangguan emosional

• gangguan tidur

• Keluhan somatis

• Masalah perilaku

• kematian

• cacat, luka, penyakit

• kurang gizi

• Stress karena suaca

• pelecehan fisik dan seksual

sekolah berhenti

prestasi rendah

perkembangan tertunda

 

Page 20: Disaster Jiwa

 

Deteksi Dini : Kerentanan Psikologis

Terpisah dari keluarga pada saat terjadi dan sesudah bencana, kehilangan orangtua ataupun orang yang disayangi, tinggal dalam lingkungan asing, menimbulkan gangguan psikis yang tanda-tandanya dapat dikenali dari uraian di bawah ini.

 

 

Kerentanan Psikologis Pada Anak Pra sekolah

Tanda-tanda anak pra sekolah (1-4 tahun) mengalami gangguan psikis adalalah adanya perilaku ngompol, gigit jempol, mimpi buruk, kelekatan, mudah marah, temper tantrum, perilaku agresive hiperaktif, ”baby talk” muncul kembali ataupun semakin meningkat intensitasnya (Norris et al. 2002).

Kerentanan psikologis Anak Usia Sekolah (5-12)

Anak usia ini menunjukkan adanya reaksi ketakutan dan kecemasan, keluhan somatis, gangguan tidur, masalah dengan prestasi sekolah, menarik diri dari pertemanan, apatis, enggan bermain, PTSD, dan sering bertengkar dengan saudara (Mandalakas, Torjesen, and Olness 1999).

 

Kerentanan Psikologis Anak Usia 13 – 18 tahun

Pada remaja, kejadian traumatis akan menyebabkan berkurangnya ketertarikan dalam aktifitas sosial dan sekolah, anak menjadi pemberontak, gangguan makan, gangguan tidur, kurang konsentrasi, dan mengalami PTSD dan dalam resiko yang besar terkena penyalahgunaan alkohol ataupun prostitusi.

 

Deteksi Dini: Kerentanan Fisik

Anak tidak saja secara emosi rentan pada efek bencana, mereka juga secara fisik sangat lemah terhadap dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Lebih dari 18,000 anak meninggal pada gempa di pakistan(International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies 2007), dan tsunami 2004 di samudra Hindia menyebabkan 60.000 anak meninggal(Oxfam International 2005). Jenis bencana juga mempengaruhi kerentanan fisik anak. Misalnya bayi di amerika pada

Page 21: Disaster Jiwa

bencana badai Katrina banyak yang meninggal karena suhu yang terlalu panas, sedangkan di beberapa tempat di Rusia, banyak remaja yang meninggal karena kedinginanAnak yang tinggal dalam lokasi yang rawan bencana berpotensi tinggi untuk meninggal ataupun menjadi cacat, misalnya akibat terkena tsunami, atau terperangkap dalam reruntuhan tembok sekolah.

 

Selain kematian dan cacat yang diakibatkan oleh bencana, anak yang tinggal dalam lokasi pengungsia ataupun darurat, sangat rentan terhadap berbagai penyakti epidemic seperti diare, malnutrisi, penyakit pernapasan, dan penyakit kulit. Akses air bersih dansanitasi yang kurang membuat bayi sangat mudah terkena diare. Deteksi dini bisa dilakukan dengan mengadakan pengamatan terhadap perubahan kondisi kesehatan anak.

 

Kesehatan reproduksi anak perempuan juga suatu hal yang perlu dicermati. Usia yang secara biologis mulai matang membutuhkan piranti tersendiri utnuk bisa hidup secara sehat.

 

Faktor sosial juga menimbulkan kerentanan fisik pada anak. Dalam keadaan stress orang tua ataupun lingkungan lebih mudah mengekspresikan emosinya pada individu yang lebih lemah, dalam hal ini anak. Banyak ditemui di kamp pengungsian bahwa anak dieprlakukan sebagai subyek kekerasan yang dilakukan oleh orangtuanya. Luka-luka di bagian tubuh maupun perilaku menarik diri menjadi tanda penting adanya kemungkinan kekerasan fisik pada anak.

 

Deteksi Dini: Kerentanan Pendidikan

Banyak akses pendidikan yang hilang akibat bencana. Selain infrastruktur pendidikan yang hancur, banyak guru ataupun tenaga pendidik yang mengungsi, akibatnya pendidikan tidak bisa berjalan. Anak terpaksa tidak sekolah dalam jangka waktu tertentu ataupun malah berhenti. Meskipun diadakan sekolah darurat, dan juga kampanye untuk kembali bersekolah, banyak orangtua yang masih enggan mendaftarkan anaknya untuk bersekolah di sekolah relokasi karena mereka belum tahu kepastian tempat tinggal mereka. Pada masyarakat dengan kultur budaya patriarki yang kuat dimana anak perempuan lebih diarahkan untuk mengerjakan pekerjaan domestic, angka putus sekolah untuk anak perempuan

Page 22: Disaster Jiwa

lebih tinggi. Angka putus sekolah yang tinggi menjadi tanda rentannya intervensi pendidikan anak paska bencana.

 

 

Faktor Resiko Anak Paska Bencana

Selain dampak psikologis dan fisik, ada beberapa factor lain yang mempengaruhi “wellbeing” anak paska bencana, Faktor resiko lainya yang mempengaruhi anak adalah:

1. kematian orangtua atau orang yang dicintai anak

Dalam kasus bencana tsunami Aceh, dimana banyak orangtua dan keluarga yang meninggal, anak perempuan sangat rentan terhadap praktek prostitusi, kawin muda, dan menjadi subyek pelecehan seksual. Perdagangan anak juga menjadi isue santer paska bencana ini, dimana anak yang tidak punya orangtua disalahgunakan oleh pihak yang bertanggungjawab untuk kepentingan lembaga tersebut.

1. nonintegrated family – separated children

Pada saat terjadinya bencana banyak anak yang terpisah dari orangtuanya. Banyak dari mereka tidak mengetahui keberadaan orangtua, anak batita dan balita adalah anak dalam kategori berisiko tinggi dalam hal ini karena mereka belum bisa menjelaskan jatidiri mereka, seperti nama orangtua, asal-usul, dsb. Anak-anak ini kebanyakan dipelihara oleh orang yang menemukan mereka atau tinggal dalam lingkungan pengungsian tanpa perlindungan.

1. Kehilangan ”sense” of normality secara mendadak

Kehilangan rumah, masyarakat, dan juga teman tempat anak tumbuh dalam lingkaran kehidupan sehari-hari menjadikan anak hidup dalam situasi yang “tidak normal”. Kondisi pengungsian yang sama sekali berbeda dari lingkungan normal anak menjadi factor resiko bagi anak yang harus beradaptasi secara mendadak. Perubahan situasi yang baru merupakan stressor bagi anak yang biasanya tumbuh dalam lingkungan yang memberinya rasa nyaman.

Berikut adalah ringkasan faktor resiko yang mempengaruhi kerentanan anak dalam bencana

Table 2.  faktor yang mempengaruhi kerentanan anak dalam bencana

Page 23: Disaster Jiwa

 

Kerentanan

Psikologis

Kerentanan

Fisik

Kerentanan

Pendidikan

• Ancaman

• keluarga terpisah

• kematian orangtua

• kehilangan materi

• kerusakan rumah atau sekolah

• Ekspose langsung oleh media

* Karakteristik anak (umur, gender, ras, dll)

• Minimnya persiapan tanggap bencana

• Stress orangtua

• rendahnya dukungan sosial

• adanya stressor tambahan

• ketrampilan “coping” randah

• kurangya dukungan “coping”

• Pengungsian

• Hidup dalamkomunitas miskin

* hidup di daerah rawan bencana

• Bersekolah di sekolah dibawah standar keslamatan bangunan

• kehilangan orangtua

• keluarga terpisah

• Karakteristik anak (umur, gender, ras, dll)

• Size, strength, stage of

development

• stress orangtua

• lingkungan shelter yang tidak sehat

• Rusaknya bangunan sekolah

• Guru dan siswa yang mengungsi

• kehilangan catatan penting

• tertundanya masuk sekolah

• perubahan sekolah

• lingkungan sekolah yangtidak ramah

• prestasi rendah

• kehilangan orangtua

• permintaan pekerrjaan yang meningkat

 

Intervensi Anak Paska Bencana : Protective Factors and early detection

Page 24: Disaster Jiwa

Factor utama dalam mengusahakan ‘wellbeing” anak dan keluarga adalah dengan mengadakan identifikasi dini, mengidentifikasi kebutuhan dan juga merencanakan pendampingan psikologis bagi orangtua, wali anak dan anak sendiri. Faktor-faktor protektif yang mengurangi efek negative diantaranya:

1. adanya dukungan sosial

2. adanya informasi yang memadai

3. ketersediaan layanan pemulihan

4. adanya master plan dari bencana yang lalu (yang pernah terjadi sebelumnya)

5. keluarga yang terintegrasi

6. hubungan yang dekat dengan wali anak

7. pembangunan kembali kebiasaan sehari-hari “return to sense of normalcy” anak.

 

Tindakan intervensi pertama yang dilakukan untuk meminimalisasi dampak factor resiko dan factor kerentanan adalah dengan memenuhi kebutuhan dasar anak, yaitu dengan:

1. Intervensi kerentanan fisik

Kebutuhan fisik anak berbeda dengan kebutuhan fisik anak, dimana factor gizi sangat berpengaruh dalam tumbuh kembang fisik anak. Susu formula untuk bayi tidak dianjurkan diberikan sebagai intervensi karena yang paling aman adalah ASI. Kebutuhan kesehatan reproduksi anak perempuan yang menjelang akhil balik perlu diperhatikan. Imunisasi untuk bayi juga menjadi standar pemberian intervensi pasca bencana untuk mencegah bayi terkena penyakit komplek yang sangat rawan terdaat di lingkungan tempat tinggal darurat.

1. Intervensi kerentanan psikologi

PTSD perlu mendapatkan penanganan dan pendampingan khusus. Kegiatan psikososial di tempat tinggal darurat membantu anak menghadapi kerentanan psikologis yang dialami anak. Salah satu kebutuhan dasar anak adalah bermain, maka dari itu perlu dibuat suatu area yang aman untuk anak di setiap tempat tinggal darurat (safe play area – child friendly area). Di area ini anak bebas bermain tanpa rasa takut karena memang dibuat khusus untuk anak.

Page 25: Disaster Jiwa

1. Intervensi kerentanan Pendidikan

Sekolah darurat ataupun sekolah rujukan perlu diadakan untuk menjaga kesinambungan pendidikan yang sudah dijalani anak sebelumnya sehingga pendidikan anak tidak terhenti di jalan.

1. Intervensi Perlindungan Anak

Salah satu praktek perlindungan anak yang dilakukan dalam rangka tanggap bencana tsunami Aceh 2004 adalah adanya program pengembalian anak ke keluarga dan usaha untuk menyatukan keluarga, memfasilitasi kembalinya anak ke sekolah dan rumah dan menangani keamanan dan keslamatan anak yang terkait di dalamnya. Termasuk di dalamnya adalah perlindungan anak dari perdagangan anak, obyek pelecehan seksual, dan kekerasan fisik yang dialami anak dalam situasi keluarga yang penuh dengan ketegangan.

 

Untuk memperkuat factor perlindungan karena bencana, disarankan adanya kolaborasi dan kerjasama antara lembaga yang berbeda yang dibentuk oleh kewenangan local dan pemuka masyarakat.  Usaha ini akan menciptakan kekuatan yang unik dalam masyrakat yang dapat mereduksi rasa tidak berdaya dan meningkatkan kesadaran masyrakat. Pemimpin masyarakat yang potensial seperti pekerja kesehatan, pemerintah daerah, guru, diberi pelatihan mengenai persiapan tanggap bencana. Masyarakat membuat struktur dan sistem untuk tanggap bencana.

Bencana dapat diredam secara berarti jika masyarakat mempunyai informasi yang cukup dan didorong pada budaya pencegahan dan ketahanan terhadap bencana, yang pada akhirnya memerlukan pencarian, pengumpulan, dan penyebaran pengetahuan dan informasi yang relevan tentang bahaya, kerentanan, dan kapasitas. Oleh karena itu diperlukan usaha-usaha antara lain:

(1) menggalakkan dimasukkannya pengetahuan tentang pengurangan resiko bencana sebagai bagian yang relevan dalam kurikulum pendidikan di semua tingkat dan menggunakan jalur formal dan informal lainnya untuk menjangkau anak-anak muda dan anak-anak dengan informasi; menggalakkan integrasi pengurangan risiko bencana sebagai suatu elemen instrinsik dalam dekade 2005–2015 untuk Pendidikan bagi Pembangunan Berkelanjutan (United Nations Decade of Education for Sustainable Development);

Page 26: Disaster Jiwa

(2) menggalakkan pelaksanaan penjajagan resiko tingkat lokal dan program kesiapsiagaan terhadap bencana di sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lanjutan;

(3) menggalakkan pelaksanaan program dan aktivitas di sekolah-sekolah untuk pembelajaran tentang bagaimana meminimalisir efek bahaya;

(4) mengembangkan program pelatihan dan pembelajaran tentang pengurangan resiko bencana dengan sasaran sektor-sektor tertentu, misalnya: para perancang pembangunan, manajer tanggap darurat, pejabat pemerintah tingkat lokal, dan sebagainya;

(5) menggalakkan inisiatif pelatihan berbasis masyarakat dengan mempertimbangkan peran tenaga sukarelawan sebagaimana mestinya untuk meningkatkan kapasitas lokal dalam melakukan mitigasi dan menghadapi bencana;

(6) memastikan kesetaran akses kesempatan memperoleh pelatihan dan pendidikan bagi perempuan dan konstituen yang rentan; dan

(7) menggalakkan pelatihan tentang sensitivitas gender dan budaya sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan dan pelatihan tentang pengurangan resiko bencana.

 

Prevensi: Disaster Risk Reduction At school

Ada pengalaman menarik tentang peran anak-anak dalam mengurangi korban tsunami Desember 2004. Seorang gadis kecil dari Inggris bernama Tilly yang mendapatkan pelajaran tanda-tanda tsunami dari guru geografinya telah menyelamatkan banyak orang yang sedang berlibur di pantai barat Thailand. Seorang anak laki-laki kecil bernama Anto yang tinggal di Pulau Simeulue mendapatkan pelajaran dari kakeknya tentang apa yang harus dilakukan ketika terjadi gempabumi di laut. Bersama seluruh penghuni pulau itu,

mereka berlari menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi.

Masyarakat di seluruh dunia berpandangan bahwa anak-anak menghadirkan harapan masa depan. Sekolah dipercaya memiliki pengaruh langsung terhadap generasi muda, yaitu dalam menanamkan nilai-nilai budaya dan menyampaikan pengetahuan tradisional dan konvensional kepada generasi muda. Untuk melindungi anak-anak dari ancaman bencana alam diperlukan dua prioritas

Page 27: Disaster Jiwa

berbeda namun tidak bisa dipisahkan aksinya yaitu pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah.

Untuk alasan itulah dilakukan ‘Kampanye Pendidikan tentang Resiko Bencana dan Keselamatan di Sekolah’ yang dikoordinir oleh UN/ISDR (United Nations/International Strategy for Disaster Reduction) hingga penghujung tahun 2007 dengan didasari berbagai pertimbangan. Anak-anak adalah kelompok yang paling rentan selama kejadian bencana, terutama yang sedang bersekolah pada saat berlangsungnya kejadian. Pada saat bencana, gedung sekolah hancur, mengurangi usia hidup murid sekolah dan guru yang sangat berharga dan macetnya kesempatan memperoleh pendidikan sebagai dampak bencana. Pembangunan kembali sekolah memerlukan waktu yang tidak sebentar dan pastilah sangat mahal.

Pendidikan kebencanaan di sekolah dasar dan menegah membantu anak-anak memainkan peranan penting dalam penyelamatan hidup dan perlindungan anggota masyarakat pada saat kejadian bencana. Menyelenggarakan pendidikan tentang resiko bencana ke dalam kurikulum sekolah sangat membantu dalam membangun kesadaran akan isu tersebut di lingkungan masyarakat. Sebagai tambahan terhadap peran penting mereka di dalam pendidikan formal, sekolah juga harus mampu melindungi anak-anak dari suatu kejadian bencana alam. Investasi dalam memperkuat struktur gedung sekolah sebelum suatu bencana terjadi, akan mengurangi biaya/anggaran jangka panjang, melindungi generasi muda penerus bangsa, dan memastikan kelangsungan kegiatan belajar-mengajar setelah kejadian bencana.

Sasaran utama kampanye ini adalah mempromosikan integrasi pendidikan tentang resiko bencana dalam kurikulum sekolah di negara-negara yang rawan bencana alam dan mempromosikan konstruksi yang aman dan penyesuaian gedung sekolah yang mampu menahan bahaya. Untuk mencapai sasaran tersebut diperlukan langkah-langkah yang tepat dengan cara mempromosikan praktek terbaik yang menunjukkan bagaimana bermanfaatnya pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah bagi masyarakat yang rentan. Berupaya melibatkan para pelaku pada berbagai tingkatan untuk menyampaikan pesan kampanye tersebut. Mendorong kepekaan anak-anak sekolah, orangtua, para guru, para pengambil kebijakan di tingkat lokal hingga internasional, dan organisasi kemasyarakatan untuk mempengaruhi kebijakan tentang pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah.

Kampanye ditujukan kepada murid sekolah dasar dan menengah, para guru, pembuat kebijakan pendidikan, orangtua, insinyur dan ahli bangunan. Selain itu juga ditujukan kepada lembaga pemerintah yang bertanggung-jawab atas isu

Page 28: Disaster Jiwa

manajemen bencana, mendiknas, para pemimpin politik di tingkat nasional, pembuat keputusan di masyarakat, dan otoritas lokal. Pesan yang bisa disampaikan antara lain:

(1) pendidikan tentang resiko bencana menguatkan anak-anak dan membantu membangun kesadaran yang lebih besar isu tersebut di dalam masyarakat;

(2) fasilitas bangunan sekolah yang bisa menyelamatkan hidup dan melindungi anak-anak sebagai generasi penerus bangsa dari suatu kejadian bencana alam; dan

(3) pendidikan tentang resiko bencana dan fasilitas keselamatan di sekolah akan membantu negara-negara menuju ke arah pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium.

Hasil yang diharapkan adalah pemerintah pusat dan daerah menanamkan investasinya dalam fasilitas bangunan sekolah tahan bencana dan mengarahkan kurikulum pendidikan tentang resiko bencana secara nasional; (2) meningkatkan kesadaran sebagai dampak positif adanya pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah; dan (3) peningkatan aksi dan penggunaan praktek-praktek yang baik untuk mengerahkan koalisi dan kemitraan, membangun kapasitas sumberdaya yang ada untuk mengadakan pelatihan pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah.

 

Penutup

Bencana berdampak pada perkembangan anak, tidak saja merusak kegiatan dan kebiasaan sehari-hari anak, bencana mengakibatkan tertundanya sekolah dan akhirnya perkembangan pendidikan anak, kesempatan sosial anak, dan meningkatnya tekanan pada stress hidup sepeerti penyakit, kekerasan keluarga, dan alcohol. (Silverman and La Greca 2002). Bencana juga mengakibatkan anak terpisah dari orangtuanya, dari anggota keluarga, dan juga temannya. Mengakibatkan kematian orang-orang yangdicintai dan akhirnya memaksa anak untuk tinggal dengan lingkungan yang tidak familiar bahkan tidak bisa menerima mereka. Efek negative ini jelas mempunyai pengaruh yang buruk dagi kesehatan fisik dan emosioal anak sebagai “well being”.

 

Meskipun anak mempunyai kerentanan tinggi terhadap bencana, mereka bukan korban yang pasif. Anak dan pemuda dapat secara aktif terlibat dalam kegiatan tanggap bencana di sekolah, dirumah an di masyarakat untuk meminimalkan resiko yang mungkin akan mereka hadapi dalam bencana. Memasukkan ”disaster

Page 29: Disaster Jiwa

risk reduaction” di sekolah adalah cara yang bagus untuk menjangkauketerlibatan anak. Anak-anak ini akan saling berkomunikasi mengenai informasi resiko dengan teman sebaya dan anggota keluarga. I Untuk mendidik anak mengenai bencana dan melibatkan mereka dalam kegiatan persiapan, materi harus disiapkan sesuai dengan umur. Materi ini dikembangkan dan diseminasi melalui media elektronik. Anak juga mungkin  mempunyai ide praktis dan kreatif dalam membantu keluarga dan masyarakat sekitar untuk pulih dari bencana. Bencana menghancurkan ruang fisik anak dalam tumbuh belajar dan bermain – rumah mereka, lingkungan sekitar, sekolah, taman dan tempat bermain. Namun demikian orang dewasa jarang bertanya pada anak mengenai bagaimana mereka menginginkan ruang fisik mereka dibangun.Sistem dapat dibangun untuk melibatkan suara anak dalam pengambilan keputusan ini. Ada perbedaan antara “mendengarkan” anak berbicara dan menyimak apa yang mereka katakan. 

BAB III

PENUTUP

 

3.1  Simpulan

Bencana alam  merupakan sebuah musibah  yang tidak dapat diprediksi

kapan datangnya.  Apabila bencana tersebut telah datang maka akan menimbulkan

kerugian dan kerusakan yang membutuhkan upaya pertolongan melalui tindakan

tanggap bencana yang dapat dilakukan oleh perawat.

 3.2  Saran

Sebagai seorang calon perawat diharapkan bisa turut andil dalam

melakukan kegiatan tanggap bencana. Sekarang tidak hanya dituntut mampu

memiliki kemampuan intelektual namun harus memilki jiwa kemanusiaan melalui

aksi siaga bencana.

 

Page 30: Disaster Jiwa

REFERENSI

1. Efendi,Ferry.Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan praktik dalam

keperawatan.Jakarta.Penerbit Salemba Medika,2009.

2. Mepsa,Putra.2012.Peran Mahasiswa Keperawatan Dalam Tanggap

Bencana

.20http://fkep.unand.ac.id/images/peran_mahasiswa_keperawatan_dalam_tanggap

_bencana.docx. Diakses tanggal 15 November 2012

3.      Kholid, Ahmad S.Kep, Ns. Prosedur Tetap Pelayanan Medik

Penanggulangan Bencana.

http://dc126.4shared.com/doc/ZPBNsmp_/preview.html. Diakses tanggal 15

November 2012

Page 31: Disaster Jiwa

4.      Mursalin.2011.Peran Perawat Dalam Kaitannya Mengatasi Bencana.

Diakses tanggal 15 November 2012