Dilema Mahalnya Memilih Pemimpin
-
Upload
fatah-ramdhan -
Category
Documents
-
view
234 -
download
0
description
Transcript of Dilema Mahalnya Memilih Pemimpin
DILEMA MAHALNYA MEMILIH PEMIMPIN
(Bobroknya Politik Indonesia dalam Kematangan Usia Negara)
Ratusan pilkada jangan menjadi sekadar seremoni, suksesi harusnya bukan sekadar arena
negosiasi.
Kandidat mesti dipilih dengan kehati-hatian jangan abaikan etika dan asas kepatutan.
Pilkada memang perkara kalah menang namun calon-calon bermasalah janganlah diberi
kesempatan.
Peraturan seringkali bisa disiasati namun asas kepatutan dan etika janganlah dikhianati.
Jika partai mengaku anti korupsi, mengapa calonkan kandidat yang terindikasi.
Menyedihkan jika tersangka menjadi kandidat, kepemimpinan akan rentan khianat pada
amanat.
Para pemilih harus diberi kandidat bermutu agar Pilkada tak jadi pesta yang sambil lalu.
Publik jangan memilih secara acak, kandidat harus dinilai berdasar rekam jejak.Sebab nasib kita bukan untuk coba-coba karena aset daerah bukan untuk para penjarah.
Akhir-akhir ini publik digegerkan dengan dua UU terkait "Pilkada Serentak" yang telah
disahkan oleh Presiden Jokowi pada 18 Maret 2015. Pengesahan tersebut tercantum dalam UU
No.8/2015 dan UU No.9/2015. UU Nomor 8/2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Sedangkan
UU Nomor 9/2015 tentang Pemerintahan Daerah. Konon katanya Pilkada Serentak ini memiliki
tujuan yaitu "terciptanya efektivitas dan efisiensi anggaran dana".
Pemilu langsung di era reformasi (sebagai respon dari pemilu tidak langsung di era Orde
Baru) dan sekarang akan dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia pada bulan
Desember, menyisakan persoalan yang sangat kompleks. Salah satunya adalah mahalnya “cost”
yang harus “dibayar” oleh calon pemimpin, biaya koordinasi, atribut kampanye, ‘curnis’, sampai
biaya ‘mahar’ yang harus dibayarkan kepada partai pengusung sebagai kendaraan untuk
mengikuti pencalonan kepala daerah. Bagaikan pengguna jasa angkutan umum, mereka harus
membayar kendaraan yang ditungganginya. Seperti itulah para bakal calon dalam mengikuti
ajang adu suara terbanyak yang konon katanya pesta demokrasi ini.
Dampak ikutan dari persoalan tersebut adalah ketidaksempatan untuk tidak mengatakan tidak
peduli untuk memikirkan kesejahteraan rakyat, tetapi yang ada dalam benaknya bagaimana
modal segera kembali dan dampak turunannya adalah sedemikian "mahalnya" juga untuk
menduduki kursi nomor satu di daerahnya masing-masing. Sementara pada saat yang sama
banyak regulasi yang membentengi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Alih-alih bukan
kesejahteraan, keselamatan dan kemajuan untuk rakyat, sebaliknya banyak pemimpin daerah
yang berujung dimasukkan ke dalam jeruji besi. Saat ini korupsi, praktek suap, kebocoran
anggaran dan pelaksanaan pembangunan lebih parah dari masa Orde Baru. Jika dulu korupsi
terkonsentrasi di pemerintahan pusat, kini menjadi tersebar merata di semua lapisan birokrasi,
baik dalam tugasnya melaksanakan pembangunan berbasis APBN/APBD demikian juga dalam
hubungannya dengan pengusaha swasta. Mirisnya lagi adalah tindak pidana korupsi tersebut
bukan lagi dilakuakan oleh non-penegak hukum, bahkan para penegak hukum yang sejatinya
bertugas menegakkan hukum justru tersandung dalam tindakan hukum. Alih-alih hal ini
membuat masyarakat bosan dengan kabar “korupsi” yang dilakukan oleh oknum penegak
hukum, sehingga memudarkan rasa kepercayaan masyarakat.
Berbicara tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada) maka tak jauh membahas tentang
kriteria pemimpin. Kriteria pemimpin bisa ditentukan melalui pembelajaran sejarah tokoh-tokoh
besar, yaitu para pemimpin masa lalu.
Mempelajari Sejarah Para Nabi: Kriteria Pemimpin
Persoalan kepemimpinan, bukan berbicara siapa, ini tidak penting, tetapi kriteria yang harus
dikedepankan dan ini ada pada para nabi. Tetapi pada saat yang sama banyak yang mencibir
dengan berdalih membanding-bandingkan nabi dengan selain nabi. Jika kita melihatnya dengan
akal jernih, padahal nabi juga manusia yang membedakan hanya ketakwaan, dan ketakwaan
itulah yang kemudian dijadikannya manusia itu diberi gelar oleh Allah sebagai nabi yang
kemudian dijadikan contoh atau teladan bagi manusia lainnya.
Hal ini sebagaimana dalam Q.S Al-Ahzab ayat 21 yang artinya:
“Sesunggguhnya pada diri Rasululah S.A.W terdapat tauladan bagi mereka yang
menggantungkan harapannya kepada Allah dan Hari Akhir serta banyak berzikir kepada Allah”.
Mengingat sejarah Rasul, kita dapat melihat akan keberhasilannya dalam mengatasi krisis
multidimensional, maka sudah saatnya kita meneladaninya karena beliau adalah teladan terbaik
dan tipologi paling prima. Rasul menggunakan strategi Ibda’ Binafsik (memulai dari diri sendiri)
dalam kepemimpinannya. Beberapa faktor penting yang mendukung strategi tersebut adalah:
1. Kualitas Moral-Personal
Kualitas moral-personal yang prima, yang dapat disederhanakan menjadi empat sebagai
sifat wajib bagi Rasul. Menurut Prof. Adang Djumhur S, sifat-sifat tersebut yaitu Shidik
(Benar), Tabligh (Menyampaikan), Amanah (Dapat Dipercaya) dan Fathanah (Cerdas).
Dalam konteks kepemimpinan sifat-sifat tersebut secara umum dijabarkan sebagai berikut
yaitu:
A. Shidiq (benar): Komitmen pada kebenaran, selalu berkata benar dan berjuang
menegakkan kebenaran.
B. Amanah (jujur/dapat dipercaya): Obyektif, ucapan dan perbuatannya sesuai dengan
bisikan hatinya, adil dan aspiratif.
C. Tabligh (menyampaikan): Komunikatif, transparan, dan demokratis, siap bermusyawarah
serta bermufakat untuk kebenaran.
D. Fathonah (cerdas): Cerdik, luas wawasan, dapat membaca situasi dan kondisi, terampil
serta professional.
2. Integritas.
Integritas juga menjadi bagian penting dari kepribadian Rasul S.A.W. yang telah
membuatnya berhasil dalam mencapai tujuan risalahnya. Integritas personalnya sedemikian
kuat sehingga tak ada yang bisa mengalihkannya dari apapun yang menjadi tujuannya.
3. Kesamaan di Depan Hukum
Prinsip kesetaraan di depan hukum merupakan salah satu dasar terpenting
4. Penerapan Pola Hubungan Egaliter dan Akrab.
Salah satu fakta menarik tentang nilai-nilai manajerial kepemimpinan Rasul S.A.W.
adalah penggunaan konsep sahabat (bukan murid, staff, pembantu, anak buah, anggota,
rakyat, atau hamba) untuk menggambarkan pola hubungan antara beliau sebagai pemimpin
dengan orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya. Sahabat dengan jelas
mengandung makna kedekatan dan keakraban serta kesetaraan.
5. Kecakapan Membaca Kondisi dan Merancang Strategi
Keberhasilan Muhammad S.A.W. sebagai seorang pemimpin tak lepas dari kecakapannya
membaca situasi dan kondisi yang dihadapinya, serta merancang strategi yang sesuai untuk
diterapkan. Model dakwah rahasia yang diterapkan selama periode Makkah kemudian
dirubah menjadi model terbuka setelah di Madinah, mengikuti keadaan lapangan.
Keberhasilan Rasul S.A.W. dan para sahabatnya dalam perang Badr jelas-jelas berkaitan
dengan penerapan sebuah strategi yang jitu.
6. Tidak Mengambil Kesempatan dari Kedudukan
Rasul S.A.W. wafat tanpa meninggalkan warisan material. Sebuah riwayat malah
menyatakan bahwa beliau berdoa untuk mati dan berbangkit di akhirat bersama dengan
orang-orang miskin. Jabatan sebagai pemimpin bukanlah sebuah mesin untuk memperkaya
diri. Sikap inilah yang membuat para sahabat rela memberikan semuanya untuk perjuangan
tanpa perduli dengan kekayaannya, sebab mereka tidak pernah melihat Rasul S.A.W.
mencoba memperkaya diri.
Kesederhanaan menjadi trade mark kepemimpinan Rasul S.A.W. yang mengingatkan kita
pada sebuah kisah tentang Umar ibn al-Khattab. Seseorang dari Mesir datang ke Madinah
ingin bertemu dan mengadukan persoalan kepada khalifah Umar ra. Orang tersebut benar-
benar terkejut ketika menjumpai sang khalifah duduk dengan santai di bawah sebatang
kurma.
7. Visioner Futuristic.
Sejumlah hadits menunjukkan bahwa Rasul S.A.W. adalah seorang pemimpin yang
visioner, berfikir demi masa depan (sustainable). Meski tidak mungkin merumuskan alur
argumentasi yang digunakan olehnya, tetapi banyak hadits Rasul S.A.W. yang dimulai
dengan kata "akan datang suatu masa", lalu diikuti sebuah deskripsi berkenaan dengan
persoalan tertentu. Kini, setelah sekian abad berlalu, banyak dari deskripsi hadits tersebut
yang telah mulai terlihat dalam realitas nyata.
8. Menjadi Prototipe Bagi Seluruh Prinsip dan Ajarannya
Pribadi Rasul S.A.W. benar-benar mengandung cita-cita dan sekaligus proses panjang
upaya pencapaian cita-cita tersebut. Beliau adalah personifikasi dari misinya. Terkadang kita
lupa bahwa kegagalan sangat mudah terjadi manakala kehidupan seorang pemimpin tidak
mencerminkan cita-cita yang diikrarkannya. Sebagaimana sudah disebut di atas, Rasul
S.A.W. selalu menjadi contoh bagi apa pun yang ia anjurkan kepada orang-orang di
sekitarnya.
Berdasarkan QS. Al-Fath ayat 29 tentang sifat-sifat Nabi Muhammad S.A.W. dan sahabat-
sahabatnya di dalam Taurat dan Injil yang artinya:
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku’ dan
sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka
dari bekas sujud. Demikian-lah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam
Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tanaman itu menjadikan tanaman
itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan
hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan
kekuatan orang-orang mu’min). Allah menjajikan kepada orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh diantara mereka ampunan dan pahala yang besar”.
Dari ayat tersebut kepemimpinan Nabi Muhammad S.A.W. adalah:
Pertama, keras dan tegas terhadap kekafiran (penyimpangan); (menegakkan aturan dengan
tanpa pandang bulu atau tebang pilih). “lau anna Fathimata binti Muhammadin saraqat
laqatha’tuha”.
Kedua, kasih sayang terhadap sesama; (populis, berpihak kepada kepentingan publik, selalu
menjaga soliditas dan solidaritas, keragaman masyarakat memperkaya inovasi, perbedaan
menjadi rahmat bukan menjadi laknat).
Ketiga, selalu ruku’ dan sujud; (rajin beribadah, rendah hati, giat bekerja, tulus, dan
senantiasa berbuat semata karena Allah dan umtuk kepentingan masyarakat banyak).
Keempat, selalu mencari karunia dan ridha Allah; (kreatif menggali potensi sumber daya
alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM), cerdas menangkap peluang, taat dan patuh
terhadap aturan, seimbang antara do’a dan ikhtiar, serta optimis atas rahmat dan ridha Allah).
Kelima, bekas sujud nampak di wajahnya; (kesalehan ritualnya memberi dampak pada
kesalehan sosial, integritasnya sebagai muslim tercermin pada perilaku kesehariannya, yang
selalu berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan masyarakat).
Dari sisi praktis, pada Prophetic Leadership Achyar Zein misalnya menyebut kepemimpinan
yang menonjol pada diri para nabi. Nabi Adam pemimpin yang berani mengakui kesalahan, Idris
pemimpin yang jujur dan sabar, Nuh pemimpin yang menolak intervensi keluarga, Hud
pemimpin yang teguh memegang prinsip, Saleh pemimpin yang memegang amanah dan nasihat.
Nabi Ibrahim pemimpin yang rela berkorban, Luth pemimpin yang mengutamakan ilmu dan
hikmah, Ismail pemimpin yang tepat janji, Ishak pemimpin yang mengutamakan kesalehan,
Ya’kub pemimpin yang memprioritaskan regenerasi. Nabi Yusuf pemimpin yang mencanangkan
ekonomi kerakyatan, Ayyub pemimpin yang konsisten memegang sumpah, Dzulkifli pemimpin
yang bertanggung jawab, Syu’aib pemimpin yang mencetuskan bisnis bermoral, Musa pemimpin
yang tegas. Nabi Harun pemimpin yang komunikatif, Daud pemimpin yang berhasil menyatukan
kekuatan dan hukum, Sulaiman pemimpin yang selalu menjaga wibawa, Ilyas pemimpin yang
selalu menjaga nama baik, Ilyasa’ pemimpin yang selektif. Nabi Yunus pemimpin yang berani
menerima konsekuensi, Zakaria pemimpin rasional dan obyektif, Yahya pemimpin yang mampu
menahan diri, Isa pemimpin yang memiliki ketajaman intuisi dan Nabi Muhammad pemimpin
yang membawa rahmat.
Para nabi dan rasul tersebut tidak hanya mengajarkan nilai-nilai spritualitas dan moralitas.
Tetapi juga mengajarkan ummatnya, bagaimana kita menjalankan kepemimpinan dalam
keseharian kita.
Cost Memilih Pemimpin
Diskursus tentang pola dan mekanisme pemilihan pemimpin di negeri ini tidak pernah
selesai. Setelah pemilihan pemimpin dengan pola keterwakilan yang dilakukan oleh parlemen,
kemudian pemilu langsung dan akhir-akhir ini ada wacana kembali lagi dilakukan oleh
parlemen. Ketika pemilihan pemimpin ditetapkan secara langsung pada era otonomi daerah, ini
berdampak pada persoalan biaya yang harus dikeluarkan oleh para calon pemimpin. Sekarang ini
terlalu mahal biaya yang harus dikeluarkan untuk memilih seorang pemimpin, sebagai contoh
untuk menjadi seorang kepala daerah (gubernur, bupati atau walikota) di pulau Jawa atau daerah-
daerah tertentu di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, menurut Muhammad Syafi’i Antonio
dibutuhkan dana kampanye minimal 7-15 milyar rupiah, bahkan lebih. Ketika calon
bupati/walikota meminjam dari beberapa pengusaha dan rekanan, ia akan langsung menjadi
penghutang besar (gharimun kabir) yang harus dibayar selama masa pemerintahannya. Di sinilah
ia akan memulai tugas utama sebagai bupati/walikota dengan program “balik modal”. Program
tersebut ini jelas tidak akan dapat diharapkan dari gaji struktural, karena take-home payment
resmi para pejabat itu tidak lebih dari Rp. 15-20 juta perbulan. Mungkin jika ditambahkan
dengan berbagai tunjangan resmi mencapai Rp. 50-100 juta. Jika Rp. 50 juta dikalikan 60 bulan
masa jabatan maka total pendapatan resmi dan halal bupati/walikota hanya Rp. 3 milyar. Lalu
muncul pertanyaan, dari mana ia harus menutupi sisanya ? Masih menurut Syafi’i Antonio,
jawabannya dengan menitipkan prosentase tertentu dari APBD kepada kontraktor. Setiap
kontraktor yang ikut tender harus siap untuk setor 5, 10, hingga 20 prosen jika ingin
memenangkan tender. Demikian juga pimpinan daerah akan mendapat tambahan income saat
bendaharawan pemerintah daerah melakukan pembayaran ke kontraktor. Pimpinan Pemda juga
masih akan mendapatkan tambahan income non-halal dari setiap perizinan dan konsesi
penambangan dan investasi yang dilakukan di wilayahnya.
Alhamdulillah, sebagian besar pemimpin daerah beragama Islam. Mereka shalat, puasa
ramadhan bahkan hampir semua sudah menunaikan ibadah haji dan umrah. Kita yakin dari
waktu ke waktu mereka juga membaca shalawat kepada Rasulullah S.A.W., yang tidak kita
ketahui apakah Rasulullah tersenyum atau menangis sedih. Ketika shalawat dikumandangkan
tetapi kesejahteraan ummatnya diinjak-injak karena sebagian besar infrastruktur kesehatan,
pendidikan, jalan, dan pengairan dirampas oleh yang membaca shalawat kepadanya.
Membangun Sistem
Agak ironis, banyak pemimpin yang shalih secara individual, tetapi ketika memasuki realitas
sistem, ia kalah. Anehnya lagi sistem itu justru ia yang membuatnya. Berlama-lama ia shalat
malam di pojok peshalatan rumahnya, tetapi ketika di kantor ia harus kalah oleh sistem. Tuhan
yang ia besarkan dalam shalatnya dikerdilkan oleh tahta, uang dan “kehormatan” semu. Dalam
bahasa Emha Ainun Nadjib jutaan rakaat shalat yang dilakukan tidak pernah jelas efektivitasnya
untuk tanha ‘anil fahsyai wal munkar. Frekuensi peribadatan yang dilakukan tidak berbanding
sejajar dengan meningkatnya kemaslahatan sosial, politik dan budaya.
Harus ada kemauan dari kita semua untuk membangun sistem yang benar-benar dapat
memilih pemimpin yang bertanggung jawab dunia akhirat. Pemimpin yang tidak hanya
berorientasi pada kemegahan serta opportuniy untuk menambah kekayaan semata dengan cara
apapun. Pemimpin yang tidak bisa bercuti panjang untuk jalan-jalan ke luar negeri, karena
banyak Puskesmas dalam keadaan memprihatinkan. Pemimpin yang tidak terlalu nikmat duduk
dalam ruangan ber-AC, sementara masih banyak rakyatnya korban kekeringan. Pemimpin yang
tidak rela meminta kenaikan gaji dan fasilitas, karena sebagian PNS gaji pokoknya tidak lebih
besar dari anggaran telepon rumah seorang pejabat di tingkat kabupaten.
Wallahu a’lam bi al-shawab
Sumber:
Arief. 2015. Tujuan Pilkada Serentak untuk Terciptanya Efektivitas dan Efisiensi Anggaran. Blogspot.com [online] http://www.kpud-bintankab.go.id/html/Berita-KPU-Bintan/arief-tujuan-pilkada-serentak-untuk-terciptanya-efektivitas-dan-efisiensi-anggaran.html [diakses 8 Agustus 2015]
Duriyat Masduki. 2015. Dilema Mahalnya Memilih Pemimpin. Facebook.com [online] https://www.facebook.com/masduki.duryat/posts/10200872859701586 [diakses 3 Agustus 2015]
Najwa. 2015. Catatan Najwa: Berburu Tahta Daerah. [online] http://matanajwa.com/read/articleview/257/4/Berburu%20Tahta%20Daerah [diakses 10 Agustus, 2015]
n.n. 2014. 8 Keteladanan Kepemimpinan Rasulullah S.A.W. pusatalquran.com [online] http://www.pusatalquran.com/2014/04/8-keteladan-kepemimpinan-rasulullah-saw.html [diakses 10 Agustus 2015]
Zein Achyar. 2008. Prophetic Leadership: Kepemimpinan Para Nabi. Madani: Yogyakarta