"Dilema APBD: antara Otonomi dan Korupsi"

18
DILEMA APBD: ANTARA OTONOMI DAN KORUPSI LEGAL REVIEW Disusun dalam rangka mengikuti ALSA Legal Review Competition (ALRC) 2016 Oleh : 1. Fidelia Yemima Jabanto 15/376843/HK/214929 2. Hans Thioso 15/379430/HK/20428 3. Jonathan H. Passagi 15/381767/HK/20483 4. Syarif Noor Hidayat 15/385629/HK/20694 5. Tiuruli Sitous 14/362918/HK/19853 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 2015

description

 

Transcript of "Dilema APBD: antara Otonomi dan Korupsi"

Page 1: "Dilema APBD: antara Otonomi dan Korupsi"

DILEMA APBD: ANTARA OTONOMI DAN KORUPSI

LEGAL REVIEW

Disusun dalam rangka mengikuti ALSA Legal Review Competition (ALRC) 2016

Oleh :

1. Fidelia Yemima Jabanto

15/376843/HK/214929

2. Hans Thioso

15/379430/HK/20428

3. Jonathan H. Passagi

15/381767/HK/20483

4. Syarif Noor Hidayat

15/385629/HK/20694

5. Tiuruli Sitous

14/362918/HK/19853

Fakultas Hukum

Universitas Gadjah Mada

2015

Page 2: "Dilema APBD: antara Otonomi dan Korupsi"

Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi

2

Daftar Isi

I. PENDAHULUAN ..................................................................................................... 3

A. Latar Belakang ...................................................................................................... 3

B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 4

II. PEMBAHASAN .................................................................................................... 5

A. Potret Pemerintah Daerah dalam penyusunan APBD ...................................... 5

B. Macam-macam Modus Korupsi APBD .............................................................. 6

C. Penanggulangan Korupsi ..................................................................................... 8

1. REGULASI ......................................................................................................... 8

2. TRANSPARANSI ............................................................................................ 10

3. PENGAWASAN ............................................................................................... 11

III. PENUTUP ............................................................................................................ 15

A. Kesimpulan .......................................................................................................... 15

B. Saran .................................................................................................................... 15

IV. DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 17

Page 3: "Dilema APBD: antara Otonomi dan Korupsi"

Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi

3

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setelah Indonesia kembali menganut negara kesatuan sebagai bentuk negara

yang dikenal luas dengan sebutan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Indonesia

seolah-olah merupakan negara yang utuh dan solid. Hal ini semakin terlihat pada

zaman orde baru, di bawah naungan pemerintahan Soeharto, Indonesia menjadi

negara yang satu secara geografis, kemanan, dan politik. Seluruh urusan negara

dari yang sederhana sampai rumit dipegang oleh pemerintah pusat. Akibatnya

pemerintah pusat memiliki kekuasaan yang terlalu besar dan cederung untuk

bertindak sewenang-wenang

Pembangunan nasional yang harusnya merata di setiap daerah pun menjadi

hanya terpusat di ibu kota. Daerah-daerah di pelosok Indonesia pun menjadi

terabaikan. Luasnya wewenang yang diterima para pejabat pemerintah pusat,

menjadi titik rawan penyalahgunaan wewenang. Hasilnya, praktik korupsi pun tak

terelakan. Berjamurnya praktik korupsi oleh pejabat pemerintah pusat, membuat

rakyat semakin melarat.

Berbagai pergulatan telah dilalui sampai dirumuskannya konsep otonomi

daerah. Legitimasinya pun semakin kuat dengan disahkannya UU No. 22 Tahun

1999 yang kemudian diperbarui dengan UU no 32 tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban

daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan1.

Otonomi daerah yang memberikan kekuasaan kepada daerah pun tak luput dari

penyalahgunaan wewenang. Seperti kata Lord Acton, "Power tends to corrupt,

1 Pasal 1 ayat 6 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

Page 4: "Dilema APBD: antara Otonomi dan Korupsi"

Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi

4

absolute power corrupts absolutely”2, kekuasaan pejabat daerah pun menjadi

model baru dalam penyalagunaan anggaran pemerintah daerah.

Anggaran pemerintah daerah yang digunakan untuk pembangunan daearah

pun tak berakhir menjadi korban praktik korupsi. Menurut cacatan Indonesia

Corruption Watch (ICW), hingga 2013 ada 149 kepala daerah yang terjerat kasus

korupsi. Kepala daerah tersebut terdiri dari dua puluh gubernur, satu wakil

gubernur, tujuh belas walikota, delapan wakil walikota, 84 bupati, dan sembilan

belas wakil bupati3. Biasanya, para pejabat itu pun tidak menjalankan aksinya

sendirian melainkan berkolaborasi dengan DPRD maupun perangkat pemerintah

daerah lainnya. Otonomi pengelolaan APBD pun bisa terjebak dalam negosiasi

kepentingan politik para pejabat daerah yang berujung pada korupsi. Banyaknya

pejabat yang korupsi, menambah catatan buruk bagi perjalanan sejarah bangsa ini.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana potret pemerintah daerah dalam penyusunan APBD?

2. Apa modus-modus korupsi yang sering digunakan dalam APBD?

3. Bagaimana upaya penanggulangan korupsi di tingkat pemerintah daerah?

2 Albert Hasibuan, Titik Pandang Untuk Orde Baru (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997) hlm. 328 3 Fathiyah Wardah, http://www.voaindonesia.com/content/icw-otonomi-daerah-picu-korupsi-kepala-daerah/1690178.html, diakses 13 Januari 2016.

Page 5: "Dilema APBD: antara Otonomi dan Korupsi"

Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi

5

II. PEMBAHASAN

A. Potret Pemerintah Daerah dalam penyusunan APBD

Sebelum kita membahas lebih lanjut peran pemerintah daerah dalam

menyusun Anggaran Pembelian dan Belanja Daerah atau disingkat APBD, ada

baiknya kita memahami definisi dan tujuan dari APBD. Menurut UU No. 17/2003

Pasal 1 ayat 8, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut

APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui

oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Adapun fungsi APBD menurut Peraturan

Menteri dalam Negeri UU No. 13/2006 adalah Otorisasi, Perencanaan,

Pengawasan, Alokasi, Distribusi dan Stabilisasi. Tujuan dari diadakannya APBD

adalah sebagai instrumen pendapatan daerah agar tercapai keseimbangan dan

pertumbuhan ekonomi merata pada daerah sehingga tercipta masyarakat yang

makmur dan sejahtera.

Proses perancangan APBD membutuhkan waktu yang cukup lama namun

harus dipastikan efisien dikarenakan APBD setiap tahun selalu berubah. Untuk

membuat APBD ada beberapa tahap yang harus dilalui, mengacu pada PP No.

58/2005 tentang Pengolaan Keuangan Daerah: penyusunan rencana kerja

pemerintah daerah, penyusunan rancangan kebijakan umum anggaran, penetapan

prioritas dan plafon anggaran sementara, penyusunan rencana kerja dan anggaran

Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), penyusunan rancangan Perda APBD,

penetapan APBD.

Proses penyusunan APBD dilaksanakan pada tingkat lembaga eksekutif

dan legislatif, sehingga kefisienan dan keberhasilan APBD sangat ditentukan dari

keputusan yang dibuat oleh kedua lembaga tersebut. Pemerintah Daerah akan

menyusun RAPBD yang nantinya akan diajukan ke DPRD untuk di diskusikan

bersama. Pemerintah Daerah sebagai badan eksekutif akan diwakili oleh Tim

Anggaran Eksekutif yang beranggotakan Sekretaris Daerah dan juga BAPPEDA.

Page 6: "Dilema APBD: antara Otonomi dan Korupsi"

Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi

6

Sekretaris Daerah bertanggung jawab untuk mengkoordinasi seluruh kegiatan

penyusunan APBD, sedangkan untuk penyusunan belanja rutin disusun oleh

bagian keuangan PEMDA. Proses penyusunan penerimaan dilakukan oleh Dinas

Pendapatan Daerah dan proses penyusunan belanja pembangunan disusun oleh

BAPPEDA, bagian program dan keuangan. DPRD dalam diskusi bersama

PEMDA akan diwakili oleh Panitia Anggaran yang anggotanya terdiri atas tiap

fraksi-fraksi.

Penetapan APBD dilaksanakan secara bertahap, pertama diadakan

pembahasan untuk RAPERDA terkait APBD, yang menurut Permendagri No.

13/2006 Pasal 108, lampiran RAPERDA sudah disosialisasikan ke masyarakat

sebelum diserahkan ke DPRD. Apabila disetujui, Kepala Daerah akan

memvalidasi RAPERDA terkait APBD disertai nota keuangan yang memuat

rencana pengeluaran. RAPERDA APBD dapat dilaksanakan pemerintah

kota/kabupaten setelah disetujui oleh Gubernur. Gubernur akan mengevaluasi

dalam kurun waktu 3 hari kerja dengan tujuan tercapai keserasian kepentingan

daerah dan nasional dan sejauh mana APBD tidak bertentangan dengan

kepentingan umum. Hasil evaluasi nantinya disampaikan ke Bupati/Walikota.

APBD sudah seharusnya dibuat untuk kepentingan masyarakat umum.

Tujuan akhirnya tentulah itu meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan

rakyat Indonesia.

B. Macam-macam Modus Korupsi APBD

APBD memang diciptakan untuk kesejahteraan rakyat. Namun, kata

korupsi belum bisa pergi jauh-jauh dari pengelolaan APBD. Sebenarnya, Korupsi

berasal dari bahasa latin yaitu Corruptio atau Corruptus. Kemudian muncul dalam

Page 7: "Dilema APBD: antara Otonomi dan Korupsi"

Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi

7

bahasa Inggris dan Prancis Corruption, dalam bahasa Belanda Korruptie,

selanjutnya dalam bahasa Indoneisa disebut Korupsi.4

Maraknya kasus korupsi APBD, membuat Indonesia Corruption Watch

(ICW) melakukan sebuah penelitian terkait modus-modus kejahatan korupsi

APBD. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan sebagai berikut:

1. Modus penipuan terhadap anggaran.

Modus ini dilakukan dengan mengambil pos anggaran yang bukan menjadi

bagiannya.

2. Modus menciptakan anggaran baru.

Modus ini dilakukan dengan cara menciptakan anggaran baru yang tidak diatur

dalam undang-undang atau peraturan lainnya. Misalnya dana stimulan dan dana

pesangon anggota DPRD yang sering terjadi di daerah.

3. Modus mark up anggaran.

Modus ini dilakukan dengan cara melebih-lebihkan anggaran berbagai tunjangan

dewan.

4. Modus pengalokasian anggaran yang sebetulnya sama dengan

anggaran lainnya.

Modus ini dilakukan dengan cara membagi-bagi suatu anggaran kebagian yang

lebih kecil sehingga bagain yang lebih kecil memiliki anggarannya sendiri.

5. Modus pembuatan anggaran tanpa rinciran

Modus ini dilakukan dengan cara membuat suatu mata anggaran yang tidak

dirincikan lagi., sehinggaanggaran dana berjalan dengan tidak jelas.

6. Modus menghilangkan pos anggaran.

4 Syed Hussein Alatas, "Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungs” (Jakarta: LP3ES, 1987) hlm. Viii.

Page 8: "Dilema APBD: antara Otonomi dan Korupsi"

Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi

8

Modus ini dilakukan dengan cara menghapus pos anggaran yang ditetapkan.

7. Modus pengalihan anggaran.

Modus ini dilakukan dengan cara mengalihkan anggaran yang seharusnya untuk

dialihkan ke anggaran lain yang tidak jelas. (Priyanto, 2003)

C. Penanggulangan Korupsi

Tujuh Modus yang telah disebutkan tadi hanyalah generalisasi dai kasus-kasus

yang ada di lapangan. Modus-modus itu sangatlah kreatif dan cerdas, tetapi tidak

indah. Selanjutnya, jika ditanya megapa pemerintah daerah dapat terjerat kasus

korupsi? Apakah pemerintahan yang korup adalah nasib yang harus diterima oleh

rakayat yang tak berdaya? Atau mungkin korupsi hanya ujian kesabaran tiada

akhir? Belum ada yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan

sempurna. Unik memang ketika orang bisa dengan mudahnya menentang korupsi,

tetapi ketika memiliki kekuasaan ia malah terjerembab juga ke dalam kasus

korupsi. Hal ini lah yang terjadi dengan sistem desentralisasi yang diharapkan

mengurangi kekuasaan pemerintah pusat, tetapi malah melahirkan koruptor-

koruptor baru ditingkat daerah. Lalu, apakah kita hanya perlu diam saja dengan

kasus-kasus korups yang terjadi? Tidak, ada beberapa hal yang perlu ditilik,

diperhatikan, dan dibenahi.

1. REGULASI

Menurut Petter Langseth, ada empat strategi yang dapat diterapkan untuk

memberantas korupsi di daerah yaitu merampingkan proses birokrasi yang

bersifat primordial, menerapkan sanksi pidana yang tegas dan kosekuen, para

penentu kebijakan harus memiliki visi yang serupa, dan memperjelas mekanisme

Page 9: "Dilema APBD: antara Otonomi dan Korupsi"

Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi

9

perlindungan saksi.5 Walaupun berbagai upaya-upaya sudah digalakkan untuk

menanggulangi permasalahan tersebut, namun upaya tesebut belum berhasil untuk

memberantas korupsi secara menyeluruh.

Regulasi mengenai tindakan pidana korupsi bukan hal yang baru dalam ranah

perundang-undangan. Setelah melewati sejarah panjang dan melelahkan, Undang-

Undang nomor 20 tahun 2001 hadir sebagai revisi terbaru dari Undang-Undang

nomor 31 tahun 1999. Maka, tak heran bila kedua undang-undang itu saling

melengkapi satu sama lain. Walaupun revisi telah dilakukan, masih banyak celah

hukum yang dapat melemahkan tindak pemberantasan korupsi. Berikut ini

pemaparan dari segelintir kelemahan Undang-Undang nomor 31 tahun 2001.

a. Sanksi yang dijatuhkan seharusnya diperberat untuk meningkatkan efek

jera. Berbagai sanksi tambahan juga dapat diberikan seperti pencabutan

izin usaha, pembubaran, dan pengambil alih korporasi. Aliran harta hasil

korupsi juga harus dirampas secara tegas. Hak politik terdakwa korupsi

juga harus dicabut sehingga mereka tidak lagi memiliki kapabilitas untuk

duduk di jabatan struktural.

b. Perlu ada perluasan makna unsur kerugian negara atau daerah. Karena

kerugian yang disebabkan dari korupsi tidak hanya berdampak pada aspek

ekonomi negara. Namun juga aspek sosial, budaya, moral, dan ekologis.6

Di lingkup pemerintahan daerah, Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 turut

memberikan andil dalam penerapan perilaku korupsi yang disebabkan oleh ekses

kekuasaan yang dimiliki DPRD. Pertama, adanya wewenang DPRD menentukan

kata “putus” dalam proses pemilihan daerah. Hal tersebut membuat DPRD

menjadi pihak yang dominan dalam menentukan pemimpin daerah. Kedua,

selama menjalankan tugas dan kewajibannya, Kepala Daerah bertanggung jawab

kepada DPRD. DPRD pun memiliki kemampuan untuk memberhentikan Kepala

5 Langseth, Petter., R. Stapenhurst dan J. Pope, “The Role of National Integrity System in Fighting Corruption”, EDI Working Paper, The Economic Development Institute of the World Bank,1997 6 “ICW Sarankan UU TIPIKOR Direvisi Saja, Ini Usulannya”, http://www.jpnn.com/read/2015/06/22/310960/ICW-Sarankan-UU-Tipikor-Direvisi-Saja,-Ini-Usulannya-, diakses 14 Januari 2016

Page 10: "Dilema APBD: antara Otonomi dan Korupsi"

Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi

10

Daerah di tengah masa jabatannya, sehingga ada kemungkinan Kepala Daerah

akan berusaha untuk “menyenangkan” DPRD agar tidak melengserkan Kepala

Daerah dengan cara yang meyimpang. Ketiga, berkurangnya kontrol pusat di

pemerintah daerah membuat DPRD menjadi lembaga yang memiliki kekuasaan

yang kuat di daerah, meskipun hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan

kesadaran akan pentingnya lembaga perwakilan di tingkat lokal.

Sebenarnya, ketiga keputusan tersebut dibuat untuk menciptakan otonomi

daerah secara utuh. Namun dalam pelaksanaannya memiliki risiko yang tinggi

atas penyelewengan. Maka dari itu, kewenangan DPRD harus diatur dengan

batasan yang detil. Lebih baik lagi bila DPRD dapat secara langsung

diberhentikan oleh rakyat apabila kinerjanya tidak memuaskan, atas dasar DPRD

adalah representatif dari rakyat. Mekanisme check and balance harus dijunjung

tinggi. Pemerintah pusat juga harus berani mengintervensi bila ada indikasi

ketidakberesan dalam otonomi daerah. Namun intervensi tersebut harus memiliki

limitasi dan alasan yang jelas. Penambalan celah hukum memiliki urgensi yang

tinggi. Apabila sistem yang tersedia rapuh dan penuh celah maka tidak heran bila

kasus korupsi tumbuh subur di Indonesia.

2. TRANSPARANSI

Tak bisa dipungkiri bahwa merebaknya kasus korupsi tidak terlepas dari

kurangnya transparansi. Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau

kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang

penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan proses

pembuatan dan pelaksanaannya serta hasil-hasil yang dicapai.7 Selama ini ada

paradigma yang menganggap bahwa APBD adalah dokumen rahasia negara.

Paradigma ini memang tidak sepenuhnya salah. Namun, berangkat dari

paradigma ini, seringkali sistem informasi berkaitan dengan APBD menjadi pasif.

Masyarakat yang seharusnya akftif untuk mencari informasi pun merasa enggan

7 (Buku Pedoman Penguatan Pengamanan Program Pembangunan Daerah, Bappenas dan Depdagri

2002, hal 18)

Page 11: "Dilema APBD: antara Otonomi dan Korupsi"

Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi

11

dan seperti dihalang-halangi. Padahal, peran aktif masyarakat untuk melakukan

kontrol kebijakan juga mempengaruhi dalam keberhasilan pelaksanaan

transparansi.8 Disi lain, pemerintah sendirilah yang diharapkan proaktif untuk

mengumumkan berbagai informasi dalam pengelolaan APBD. Hal ini merupakan

salah satu bentuk pertanggungjawaban yang diberikan oleh pemerintah daerah.

Selanjutnya, opini kritis dari masyarakat maupun golongan lain juga diharapkan

bisa diakomodasi supaya tercipta suatu sistem yang partisipasif. Dengan

demikian, diharapkan kekuasaan pemerintah daerah pun bisa dicegah dan

ditanggulangi ekses negatifnya.

3. PENGAWASAN

Kesuksesan sistem transparansi tentu tidak bisa juga terlepas dari sistem

pengawasan, supaya kekuasaan yang diberikan kepada pemerintah daerah bisa

lebih terarah. Pengawasan dapat dilakukan secara berlapis-lapis untuk mengurangi

celah terjadinya korupsi APBD. Menurut Mardiasmo, ada 3 terminologi dalam

pengawasan yaitu pengawasan, pengendalian dan pemeriksaan. Pengawasan

mengacu pada tindakan atau kegiatan yang dilakukan di luar pihak eksekutif

(yaitu masyarakat dan DPRD) untuk mengawasi kinerja pemerintahan.

Pengendalian (control )adalah mekanisme yang dilakukan oleh pihak eksekutif

(Pemerintah Daerah) untuk menjamin dilaksanakannya sistem dan kebijakan

manajemen sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. Pemeriksaan (audit)

merupakan kegiatan oleh pihak yang memiliki independensi dan memiliki

kompetensi professional untuk memeriksa apakah hasil kinerja pemerintah daerah

telah sesuai dengan standar atau kriteria yang ada. Berikut adalah berbagai

pengawasan yang dapat dilakukan;

8(dikutip dari Martin Minogue, artikel “The management of public change: from ‘old public

administration’ to ‘new public management’ dalam “Law & Governance” Issue I, British Council

Briefing)

Page 12: "Dilema APBD: antara Otonomi dan Korupsi"

Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi

12

a. Pengawasan pelaksanaan APBD oleh Pemerintah Daerah

Pengawasan APBD oleh pemerintah daerah ini merupakan pengawsan

internal. Pengawsan internal tentulah perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum

dilakukan pengawsan oleh pihak-pihak lain. Pengawasan internal itu bisa

berupa pengawasan melekat, yaitu pengawasan dari atasan langsung kepada

bawahan. Pengawsan ini dianggap murah, cepat, dan tepat sasaran. Namun,

seperti yang sudah disebut sebelumnya, untuk mengurangi celah korupsi

dibutuhkan pengawasan berlapis, sehingga dibutuhkan pula pengawasan dari

pihak-pihak lain.

b. Pengawasan Pelaksanaan APBD oleh DPRD

Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPRD diatur dalam Undang –

Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 42 ayat 1c. Fungsi ini kurang lebih adalah

check and balances yang seharusnya dilakukan oleh DPRD. DPRD harusnya

sebagai penyeimbang kekuasaan yang berikan kepada pemerintah, supaya

nantinya tidak terjadi ekses yang tidak diharapkan. DPRD sebaiknya tidak

terbawa dengan keinginan politik dari pemerintah daerah. Jika keinginan politik

DPRD dan keinginan politik pemerintah bertemu, bisa dipastikan bahwa harapan-

harapan rakyatlah yang akan terkesampingkan.

c. Pengawasan Pelaksanaan APBD oleh Badan Pengawas Daerah(BAWASDA)

Bawasda memiliki tugas dan fungsi untuk melakukan pengawasan terhadap

keuangan dan aset daerah diantaranya :

1) Pelaksana APBD

2) Penerimaan pendapatan daerah dan Badan Usaha Daerah

3) Pengadaan barang/jasa serta pemeliharaan/penghapusan barang/jasa

4) Penyelesaian ganti rugi

5) Inventarisasi dan penelitian kekayaan pejabat di lingkungan Pemda

Page 13: "Dilema APBD: antara Otonomi dan Korupsi"

Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi

13

d. Pengawasan Pelaksanaan APBD oleh Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan (BPKP)

Dalam Keppres Nomor 31 tahun 1983 ditetapkan tugas pokok BPKP yaitu :

1) Mempersiapkan perumusan kebijaksanaan pengawasan keuangan dan

pengawasan pembangunan;

2) Menyelenggarakan pengawasan umum atas penguasaan dan pengurusan

keuangan;

3) Menyelenggarakan pengawasan pembangunan.

e. Pengawasan Pelaksanaan APBD oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

BPK adalah salah satu lembaga tinggi negara yang kedudukannya sejajar

dengan pemerintah, DPR, MA dan DPA. Dengan Demikian BPK tidak dapat

dipengaruhi oleh pemerintah. BPK menjalankan fugsi pengawasan keuangan

eksternal, berbeda dengan BPKP yang melakukan pengawasan keuangan internal.

f. Pengawasan Pelaksanaan APBD oleh Publik

Pada saat proses penyusunan APBD hingga pelaksanaannya publik berhak dan

wajib untuk berpartisipasi aktif dalam prosesnya. Publik harus mengetahui

konsistensi antara perencanaan dan penganggaran daerah dengan realisasi

pelaksanaan perencanaan dan penganggaran tersebut. Memastikan bahwa alokasi

anggaran untuk kepentingan publik sudah dilaksanakan secara efisien, efektif,

tidak terjadi pemborosan, tepat sasaran, dan memberikan dampak yang positif

serta manfaat yang berarti bagi kepentingan publik.

Publik juga dapat memastikan bahwa APBD yang sudah ditetapkan yang

pada hakikatnya adalah anggaran bagi sektor publik, dalam pelaksanaannya tidak

diselewengkan atau dimanfaatkan bagi kepentingan pribadi oleh oknum pejabat

publik.

Publik mendapatkan jaminan bahwa barang dan jasa publik yang

berkualitas merupakan manfaat bagi publik dalam upayanya mengawasi

pelaksanaan APBD, disamping terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat dalam

pelayanan publik yang berkualitas. Kemudian manfaat apabila publik secara

Page 14: "Dilema APBD: antara Otonomi dan Korupsi"

Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi

14

intens mengawasi pelaksanaan APBD adalah praktik korupsi, kolusi, dan

nepotisme dalam pemanfaatan anggaran publik dapat dikurangi bahkan

dihilangkan sehingga dapat mewujudkan praktek penyelenggaraan pemerintahan

yang baik atau Good Governance.

Dengan dapat diaksesnya dokumen-dokumen yang terkait dengan

anggaran, upaya pengawasan APBD oleh publik dapat dilaksanakan dengan

terencana, terarah, dan efektif. Sehingga partisipasi publik dalam proses

penyelenggaraan pemerintahan guna mewujudkan suatu pemerintahan yang baik,

bersih, dan peduli dalam peningkatan kesejahteraan rakyat, dapat dilaksanakan

dengan baik serta sesuai dengan hak dan kewajibannya.

Page 15: "Dilema APBD: antara Otonomi dan Korupsi"

Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi

15

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Pahlawan reformasi yang menuntut otonomi daerah kini telah dikhianati

oleh anak cucunya. Otonomi daerah yang mulanya bertujuan untuk mengurangi

kekuasaan absolut pemerintah pusat pada nyatanya malah melahirkan koruptor-

koruptor baru di daerah. APBD sebagai realisasi otonomi daerah malah menjadi

ladang subur bagi segelintir orang yang duduk di kursi pemerintahan untuk

memanen pundi-pundi uang.

Rancangan Undang-Undang dan Rancangan APBD yang semulanya

indah, yang dibuat dengan itikad baik, demi kesejahteraan rakyat dan

pembangunan daerah nyatanya malah jauh dari harapan. Tak peduli seberapa

bagus sebuah rancangan, tak peduli seberapa ketat sebuah pengawasan, tak peduli

seberapa tegaknya peraturan, ada saja alasan dan kesempatan bagi para koruptor

untuk menikmati harta rakyat. Mereka wakil rakyat nyatanya benar mewakili

kesejahteraan rakyat dengan menambah kesejahteraannya sendiri, tapi wakil

rakyat seharusnya merakyat bukan hanya mewakili.

APBD sebagai salah satu instrumen kepercayaan masyarakat pun

seringkali tidak tercapai tujuannya. Memang seringkali apa yang terjadi jauh dari

apa yang didamba. Pada kenyataannya, tak jarang kekuasaan yang diberikan pada

pemerintah daerah memberika ekses negatif berupa korupsi yang pada akhirnya

menggerogoti harapan-harapan rakyat tersebut. Berbagai daya upaya bisa

digunakan oleh pemerintah yang ada untuk menciptakan modus-modus korupsi

yang cerdas dan kreatif. Lemahnya sistem regulasi, transparansi dan pengawasan

turut menyumbang kesempatan menjamurnya korupsi dimana-mana.

B. Saran

Kita bisa hanya diam dan menunggu korupsi menghancurkan kita secara

perlahan-lahan. Namun, bisa juga ada langkah-langkah yang dapat diambil untuk

menganggulangi korupsi. Dari sisi regulasi, harus diperjelas lagi mengenai

batasan-batasan kekuasaan pemerintah daerah. Selain itu, masyarakat luas harus

Page 16: "Dilema APBD: antara Otonomi dan Korupsi"

Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi

16

turut dilibatkan dalam proses pembuatan APBD, maupun pelaksanaannya. Sistem

transparansi dan pengawasan juga harus semakin diperkuat. Dengan demikian,

semoga suatu hari nanti korupsi hanya tinggal sebuah kata yang pernah ada dalam

kamus bahasa.

Ketika pemerintah ditingkat daerah bebas dari korupsi, maka diharapkan

pembangunan di Indonesia pun bisa bertumbuh dengan pesat. Kepingan-kepingan

harapan rakyat pun dapat terwujud melalui pembangunan yang berkembang dan

merata. Korupsi hilang, maka masyarakat pun senang.

Page 17: "Dilema APBD: antara Otonomi dan Korupsi"

Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi

17

IV. DAFTAR PUSTAKA

Alatas, Syeh Hussein. 1987. Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi. Jakarta:

LP3ES

BN. Marbun, DPRD Pertumbuhan, Masalah dan Masa Depannya, Jakarta:

Erlangga, 1993, hlm.

Danil, Elwi. 2014. Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan

Pemberantasannya. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Isra, Saldi. 2004. “Peranan Pers dalam Memberantas Korupsi”

Karyana, Yana. 2004. “Korupsi APBD: Ekses Negatif Otonomi Daerah

(Pentingnya Kebijakan Transparansi Pengelolaan Anggaran dalam APBD)”

Langseth, Petter., R. Stapenhurst dan J. Pope, “The Role of National

Integrity System in Fighting Corruption”, EDI Working Paper, The Economic

Development Institute of the World Bank,1997

Mahgriefie, Lusi Catur. “Menilik Asal Usul Otonomi Daerah”,

http://news.okezone.com/read/2010/12/20/337/405070/menilik-asal-usul-

otonomi-daerah, diakses 13 Januari 2016.

Philipus, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogjakarta: Gadjah

Mada University Press, 1999,

Priyanto, 2003. “Mendorong Partisipasi Publik dalam Transparansi

APBD”

Titik Triwulan T, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan

Tata Usaha Negara Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2011

Page 18: "Dilema APBD: antara Otonomi dan Korupsi"

Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi

18

Tutik Triwulan Tutik dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha

Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Jakarta:

Kencana, 2011,

Victor M. Situmorang, Aspek Hukum Pengawasan Melekat, Jakarta: PT

Rineka Cipta, 1994

“ICW: Otonomi Daerah Picu Korupsi Kepala Daerah”, Voice of America

Bahasa Indonesia, 27 Juni 2013. http://www.sasak.net/49758___icw-otonomi-

daerah-picu-korupsi-kepala-daerah.html

Zulfikar, Wanadri. “Proses Penyusunan APBD I (Provinsi) dan APBN

(Form Usulan Dana APBD Provinsi dan APBN).” 2015, diakses melalui

http://bappeda.banjarmasinkota.go.id/2015/03/proses-penyusunan-apbd-i-

provinsi-dan.html