difteri

7
Nina Amelinda 2013730162 Difteri Definisi Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara local pada muk kulit, yang diseakan oleh asil gram positif Corynebacterium diphtheriae dan Corynebacteria ulceransyang ditandai oleh terentuknya eksudaterentuk memrane pada tempat infeksi dan diikuti gejala umum yang ditimulkan eksotok yang di produksi oleh asil ini! Etiologi "pesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman atang gram#positif $asil aero%, tidak ergerak, pleomorfik, tidak erkapsul, tidak mementuk spora, m pemanasan 60&', tahan dalam keadaan eku dan kering! Dengan pe(arnaan, kuman ini isa terlihat dalam susunan palisade, entuk ) atu *, atau merupakan form mirip huruf cina! +uman tidak ersifat selektif dalam pertumuhannya, isolasi dipermudah dengan media tertentu $yaitu sistin telurit agar darah% yang mengh pertumuhan organisme yang menyaingi, dan ila direduksi oleh '! diphteheria memuat koloni menjadi au#au hitam, atau dapat pula dengan menggunakan medi loeffler yaitu medium yang mengandung serum yang sudah dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi granul yang er(arna metakromatik deng metilen lue, pada medium ini koloni akan er(arna krem! ada memran mukosa manusia '!diphtheriae dapat hidup ersama#sama dengan kuman diphtheroid sapro yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk memedakan kadang#kada diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, maltosa atau sukrosa! $-% "ecara umum dikenal 3 tipe utama '!diphtheriae yaitu tipe gar.is, intermedius mistis namun dipandang dari sudut antigenitas seenarnya asil ini merupakan yang ersifat heterogen dan mempunyai anyak tipe serologik! /al ini mungkin menerangkan mengapa pada seorang pasien iasa mempunyai kolonisasi leih dari satu jenis '!diphtheriae! 'iri khas '!diphtheriae adalah kemampuannya memprod eksotoksin aik in#.i.o maupun in#.itro, toksin ini dapat diperagakan netralisasi toksin in .i.o pada marmut $uji kematian% atau diperagakan in .it teknik imunopresipitin agar $uji lek% yaitu suatu uji reaksi polimerase peng ksotoksin ini merupakan suatu protein dengan erat molekul 62!000 dalton, ti tahan panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A $amino#terminal% dan fragmen $karoksi#terminal%! +emampuan suatu strain untuk mementuk at memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya akteriofag, toksin hanya iasa diproduksi oleh '!diphtheriae yang terinfeksi oleh akteriofag yang m to igene! $1%

description

difteri

Transcript of difteri

Nina Amelinda2013730162

Difteri

DefinisiDifteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara local pada mukosa atau kulit, yang disebabkan oleh basil gram positif Corynebacterium diphtheriae dan Corynebacteria ulcerans yang ditandai oleh terbentuknya eksudat berbentuk membrane pada tempat infeksi dan diikuti gejala umum yang ditimbulkan eksotoksin yang di produksi oleh basil ini.

EtiologiSpesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif (basil aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60C, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman ini bisa terlihat dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau merupakan formasi mirip huruf cina. Kuman tidak bersifat selektif dalam pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu (yaitu sistin telurit agar darah) yang menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi, dan bila direduksi oleh C. diphteheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau dapat pula dengan menggunakan media loeffler yaitu medium yang mengandung serum yang sudah dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi granul yang berwarna metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni akan berwarna krem. Pada membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa. (4)Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis, intermedius dan mistis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bias menerangkan mengapa pada seorang pasien biasa mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas C.diphtheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro, toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji kematian) atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek) yaitu suatu uji reaksi polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya biasa diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene. (1)EpidemiologiDifteri tetap endemic di beberapa Negara pada tahun 1970-an, dengan tingkat kejadian yang dilaporkan lebih 1,0 per juta penduduk di Alaska, Arizona, Montana, New Mexico, South Dakota, dan Washington. Sebaghian besar infeksi ini dikaitkan dengan vaksinasi lengkap. Di Amerika Serikat, saat ini terjadi secara sporadic, sebagian besar terjadi di antara penduduk asli Amerika, tunawisma, kelompok sosioekonomi rendah, dan pecandu alcohol.

Di Amerika Serikat sejak pengenalan dan meluasnya penggunaan toksoid difteri pada tahun 1920, difteri pernapasan telah terkontrol dengan baik, dengan kejadian sekitar 1000 kasus tiap tahunnya. Sebelum vaksinasi, terjadi 200.000 kasus terjadi tiap tahun.

Pada awal tahun 1990, organisasi kesehatan dunia (WHO) melaporkan endemic difteri di beberapa bagian dinia (Brasil, Nigeria, India, Indonesia, Filipina, beberapa bagian Uni Soviet terutama St. Petersburg dan Moskow). Republik Kyrgyz antara 1994-1998 tahun terjadi peningkatan epidemiologi difteri dilaporkan 676 pasien difteri pernapasan. Insiden tertinggi terjadi pada umur 15-34 tahun, 70% kasus berusia diatas 15 tahun. Miokarditis terjadi pada 151 pasien (22%), dan 19 pasien meninggal (3%)

Angka kematian karena difteri berkisar antara 5-10%, lebih tinggi sampai 20% pada anak anak dengan usia kurang dari 39,4oC) (50-85%) dan kadang menggigil Malaise Sakit tenggorokan (85-90%) Sakit kepala Limfadenopati saluran pernapasan dan pembentukan pseudomembran (sekitar 50%) Suara serak, disfagia (26-40%) Dyspnea, stridor pernapasan, mengi, batuk

Difteri pernapasan cepat berlanut menjadi gagal pernapasan karena obstruksi jalan napas atau aspirasi dari pseudomembran ke trakeobronkial. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kesulitan bernapas, takikardi, dan pucat. Pada saluran pernapasan ditemukan pseudomembran yang mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1. Mukosa membrane edema, hiperemis dengan epitel nekrosis. 2. Biasanya berbentuk berkelompok, tebal fibrinous dan berwarna abu abu kecoklatan yang terdiri dari leukosit, eritrosit sel epitel saluran napas yang mati, dan mudah berdarah bila dilepas dari dasarnya.

DiagnosisUntuk menegakan diagnosis infeksi Corynebacterium diphtheriae, adalah dengan mengisolasi Corynebacterium diphtheriae baik dalam media kultur atau mengidentifikasi toksinnya. Diagnose awal cepat (Presumtive diagnosis) dapat dilakukan dengan pewarnaan gram dimana akan ditemukan bakteri berbentuk batang, gram positif, tidak berkapsul, berkelompok dan tidak bergerak. Pewarnaan immunofluorescent atau metilen blue kadang kadang dapat digunakan untuk identifikasi cepat.

Diagnosa definitive dan identifikasi basil Corynebacterium diphtheria dengan kultur melalui media tellurite atau Loeffler dengan sampel yang diambil dari pseudomembran di orofaring hidung, tonsil kriptus, atau ulserasi, di rongga mulut.

Pemeriksaan toksin bertujuan untuk menentukan adanya produksi toksin oleh Corynebacterium diphtheria.

Pemeriksaan lain dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk deteksi urutan DNA encoding subunit A tox+ strain pemeriksaan ini cepat dan sensitive. Pada pemeriksaan laboratorium lain ditemukan pada darah tepi leukositosis moderat, tombositopenia, dan urianalisisdapat menunjukan proteinuria sementara. Kadar serum troponin I berkolerasi, dengan miokarditis, kelainan EKG bila ada kelainan jantung, pemeriksaan radiologi ditemukan hiperinflasi

PenatalaksanaanPengobatan difteri harus segera dimulai meskipun uji konfirmasi belum selesai karena mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Perawatan terdiri atas:Perawatan umum:1. Isolasi semua kasus dan dilakukan tindakan pencegahan universal dari risiko penularan melalui droplet serta membatasi jumlah kontak2. Istirahat di tempat tidur, minimal 2-3 minggu3. Makanan lunak atau cair bergantung pada keadaan penderita, kebersihan jalan napas dan pembersihan lender.

Pengobatan khusus bertujuan:1. Menetralisasi toksin yang dihasilkan basil difteri2. Membunuh basil difteri yang memproduksi toksin

Anti toksin diberikan sedini mungkin diagnosis ditegakan, tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis. Dosis tergantung pada jenis difterinya, tidak dipengaruhi oleh umur pasien, yaitu: Difteri nasal / fausial yang ringan diberikan 20.000 40.000 U, secara iv dalam waktu 60 menit Difteri fausial sedang diberikan 40.000 60.000 U secara iv Difteri berat (bullneck dyyephtheria) diberikan 80.000 120.000 secara ivPemberian antibiotic: Penisilin Procain 1.200.000 unit/hari secara intramuscular, 2 kali sehari selama 14 hari Eritromisin: 2 gram perhari secara peroral dengan dosis terbagi 4 kali sehari Preparat lain yang bisa diberikan adalah amoksilin, rifampisin dan klindamisin

PencegahanPencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaan demikian memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau menderita difteri ringan. (5)

Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin, kekuatannya dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar imunogenitas. Dua preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL; preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5 mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid difteri yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar toksoid difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi. Prognosisprognosis tergantung pada: 1. Virulensi basil difteri2. Lokasi dan luas membrane yang terbentuk3. Status kekebalan penderita4. Cepat lambatnya pengobatan5. Pengobatan yang diberikanSecara umum angka kematian penderita difteri 5-10%, dimana kematian tertinggi terjadi pada penderita yang tidak mendapat imunisasi lengkap dan pasien yang mempunyai kelainan sistemik. Pada difteri dengan keterlibatan jantung prognosis buruk, terutama bila disertai blok atrioventrikuler dan blok berkas cabang dengan angka kematian mencapai (60-90%). Pada keadaan sepsis, tingkat kematian 30-40%.

Tingkat kematian yang tinggi disebabkan oleh difteri jenis gravis/invasive, bullneck diphtheria. Jenis ini mempunyai angka kematian mencapai 50%. Difteri laring lebih cepat menyebabkan obstruksi saluran napas, bila pertolongan tidak cepat, dan pengawasan tidak ketat dapat menimbulkan kematian mendadak. Keterlambatan pengobatan meningkatkan angka kematian menjadi 20 kali lipat, penyebab kematian terbanyak adalah miokarditis. Angka kematian yang tinggi terjadi pada umur kurang 5 tahun dan lebih 40 tahun. Di Indonesia angka kematian penderita difteri di 29 rumah sakit tahun 1969-1970 adalah 11,3%.

Referensi: Ahmad Armen. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing, Jilid 1 Hal. 643-646