Diet Pada Geriatri

25
BAB I PENDAHULUAN Lanjut usia (lansia) merupakan bagian dari proses tumbuh kembang dan merupakan proses fisiologis, dimana terjadi kemunduran fisik, mental dan sosial secara bertahap. Lanjut usia bukan merupakan penyakit, tetapi merupakan proses alami setiap individu yang ditandai dengan menurunnya kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungan. 1 Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini sedang terjadi perubahan proporsi kelompok umur penduduk dunia termasuk Indonesia. Perubahan proporsi kelompok- kelompok umur di dalam penduduk dapat terjadi antara lain sebagai akibat menurunnya angka kematian serta penurunan jumlah kelahiran. Hasil Sensus Penduduk tahun 2010, Indonesia saat ini termasuk ke dalam lima besar negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia yakni 18,1 juta jiwa atau 9,6% dari jumlah penduduk. Berdasarkan proyeksi Bappenas, jumlah penduduk lansia 60 tahun atau lebih diperkirakan akan meningkat dari 18,1 juta di tahun 2010 menjadi 29,1 juta pada tahun 2020 dan 36 juta pada tahun 2025. 2 Seiring dengan bertambahnya usia, maka akan terjadi proses penuaan secara degeneratif yang berdampak pada diri manusia. Perubahan itu antara lain 1

description

INTERNA

Transcript of Diet Pada Geriatri

Page 1: Diet Pada Geriatri

BAB I

PENDAHULUAN

Lanjut usia (lansia) merupakan bagian dari proses tumbuh kembang dan

merupakan proses fisiologis, dimana terjadi kemunduran fisik, mental dan sosial

secara bertahap. Lanjut usia bukan merupakan penyakit, tetapi merupakan proses

alami setiap individu yang ditandai dengan menurunnya kemampuan tubuh untuk

beradaptasi dengan lingkungan.1

Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini sedang terjadi perubahan proporsi

kelompok umur penduduk dunia termasuk Indonesia. Perubahan proporsi

kelompok-kelompok umur di dalam penduduk dapat terjadi antara lain sebagai

akibat menurunnya angka kematian serta penurunan jumlah kelahiran. Hasil

Sensus Penduduk tahun 2010, Indonesia saat ini termasuk ke dalam lima besar

negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia yakni 18,1 juta

jiwa atau 9,6% dari jumlah penduduk. Berdasarkan proyeksi Bappenas, jumlah

penduduk lansia 60 tahun atau lebih diperkirakan akan meningkat dari 18,1 juta di

tahun 2010 menjadi 29,1 juta pada tahun 2020 dan 36 juta pada tahun 2025.2

Seiring dengan bertambahnya usia, maka akan terjadi proses penuaan

secara degeneratif yang berdampak pada diri manusia. Perubahan itu antara lain

meliputi perubahan fisik, perubahan kognitif, perubahan spiritual, dan perubahan

psikososial. Perubahan tersebut apabila tidak ditangani dengan baik dapat

menimbulkan masalah bagi individu lanjut usia, maupun keluarga dan

lingkungannya.3 Salah satu masalah yang dapat timbul akibat perubahan tersebut

adalah masalah gizi pada lansia. Gangguan gizi seperti sindrom metabolik dan

sarcopenia menyebabkan penyakit sistemik yang dapat menurunkan kualitas

hidup pada lanjut usia. Oleh sebab itu, masalah gizi pada lansia perlu diperhatikan

untuk meningkatkan derajat kesehatan lansia agar tetap sehat, mandiri dan

berdaya guna sehingga tidak menjadi beban bagi dirinya sendiri, keluarga maupun

masyarakat.4

1

Page 2: Diet Pada Geriatri

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Batasan Lanjut Usia

1. Menurut WHO lansia dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu:5

a. Usia pertengahan (45-59 tahun)

b. Lanjut usia (60 -74 tahun)

c. Lanjut usia tua (75 90 tahun)

d. Usia sangat tua (> 90 tahun)

2. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998

tentang Kesejahteraan Lansia dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 2: “Lanjut usia

adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas”.6

3. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, lanjut usia

dikelompokkan menjadi:5

a. Pra lanjut usia (45-59 tahun)

b. Lanjut usia (60-69 tahun)

c. Lanjut usia risiko tinggi (>70 tahun atau usia >60 tahun dengan masalah

kesehatan)

B. Perubahan Fisiologis yang Mempengaruhi Status Gizi pada Lanjut Usia

Lanjut usia merupakan tahap lanjut dari suatu kehidupan yang

ditandai dengan menurunnya kemampuan tubuh untuk beradaptasi terhadap

stress eksternal maupun internal. Menua didefinisikan sebagai proses yang

mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang yang “frail” (lemah, rentan)

dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem fisiologis dan

meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan kematian secara

eksponensial.1 Terjadi berbagai perubahan fisiologis yang tidak hanya

berpengaruh terhadap penampilan fisik, namun juga terhadap fungsi dan

tanggapan pada kehidupan sehari-hari. Adapun perubahan fisiologis tersebut

sebagai berikut:

2

Page 3: Diet Pada Geriatri

1. Komposisi Tubuh

Komposisi tubuh dapat memberikan indikasi status gizi dan tingkat

kebugaran jasmani seseorang. Akibat penuaan pada lansia, massa otot

berkurang sedangkan massa lemak bertambah. Massa tubuh yang tidak

berlemak berkurang sebanyak 6,3%, sedangakan sebanyak 2% massa

lemak bertambah dari berat badan perdekade setelah usia 30 tahun. Jumlah

cairan tubuh berkurang dari sekitar 60% berat badan pada orang muda

menjadi 45% dari berat badan wanita usia lanjut.7,8 Penurunan massa otot

akan mengakibatkan penurunan kebutuhan energi yang terlihat pada

lansia. Keseimbangan energi pada lansia lebih lanjut dipengaruhi oleh

aktifitas fisik yang menurun. Pemahaman akan hubungan berbagai

keadaan tersebut penting dalam membantu lansia mengelola berat badan

mereka.9

2. Gigi dan Mulut

Gigi merupakan unsur penting untuk pencapaian derajat kesehatan dan gizi

yang baik. Perubahan fisiologis yang terjadi pada jaringan keras gigi

sesuai perubahan pada gingiva anak-anak. Setelah gigi erupsi, morfologi

gigi berubah karena pemakaian atau aberasi dan kemudian tanggal

digantikan gigi permanen. Pada usia lanjut gigi permanen menjadi kering,

lebih rapuh, berwarna lebih gelap, dan bahkan sebagian gigi telah

tanggal.1,8 Hilangnya gigi geligi akan mengganggu hubungan oklusi gigi

atas dan bawah serta mengakibatkan daya kunyah menurun. Selain itu,

terjadinya atropi gingiva dan procesus alveolaris yang menyebabkan akar

gigi terbuka dan sering menimbulkan rasa sakit semakin memperparah

penurunan daya kunyah. Pada lansia saluran pencernaan tidak dapat

mengimbangi ketidaksempurnaan fungsi kunyah sehingga akan

mempengaruhi kesehatan umum.9

3. Indera Pengecap dan Pencium

Dengan bertambahnya umur, kemampuan mengecap, mencerna, dan

memetabolisme makanan berubah. Penurunan indera pengecap dan

pencium pada lansia menyebabkan sebagian besar kelompok umur ini

3

Page 4: Diet Pada Geriatri

tidak dapat lagi menikmati aroma dan rasa makanan. Gangguan rasa

pengecap pada proses penuaan terjadi karena pertambahan umur

berkorelasi negatif dengan jumlah ’taste buds’ atau tunas pengecap pada

lidah. Cherie Long (1986) dan Ruslijanto (1996) dalam Darmojo (2011)

menyatakan 80% tunas pengecap hilang pada usia 80 tahun.9 Wanita pasca

monopause cenderung berkurang kemampuannya dalam merasakan manis

dan asin. Keadaan ini dapat menyebabkan lansia kurang menikmati

makanan dan mengalami penurunan nafsu makan dan asupan makanan.

Gangguan rasa pengecap juga merupakan manifestasi penyakit sistemik

pada lansia yang disebabkan oleh kandidiasis mulut dan defisiensi nutrisi

terutama defisiensi seng.10 Selain itu, penurunan produksi saliva akan

menyebabkan mulut relatif kering (xerostomia) yang akan semakin

mengganggu indera pengecap atau perasa.4,9

4. Gastrointestinal

Esofagus terutama berfungsi untuk menyalurkan makan dari faring ke

lambung, dan gerakannya diatur secara khusus untuk fungsi tersebut.11

Pada manusia lanjut usia, reseptor pada esofagus kurang sensitif dengan

adanya makanan. Hal ini menyebabkan kemampuan peristaltik esofagus

mendorong makanan ke lambung menurun sehingga pengosongan

esofagus terlambat.9 Motilitas lambung dan pengosongan lambung

menurun seiring dengan meningkatnya usia. Di atas usia 60 tahun, sekresi

HCL dan pepsin berkurang yang menyebabkan penyerapan vitamin dan

zat besi menurun sehingga berpengaruh pada kejadian osteoporosis dan

osteomalasia pada lansia. Di usus halus juga ditemukan adanya kolonisasi

bakteri pada lansia dengan gastritis atrofi yang dapat menghambat

penyerapan vitamin B. Selain itu, motilititas usus halus dan usus besar

terganggu sehingga menyebabkan konstipasi sering terjadi pada lansia.12

5. Hematologi

Berbagai kelainan hematologi dapat terjadi pada usia lanjut sebagai akibat

dari proses menua pada sistem hematopoetik. Berdasarkan pengamatan

klinik dan laboratorik, didapatkan bukti bahwa pada batas umur tertentu,

4

Page 5: Diet Pada Geriatri

sumsum tulang mengalami involusi, sehingga cadangan sumsum tulang

pada usia lanjut menurun. Beberapa variabel dalam pemeriksaan darah

lengkap (full blood count) seperti kadar hemoglobin, indeks sel darah

merah (MCV, MCH, MCHC), hitung leukosit,trombosit menunjukkan

perubahan yang berhubungan dengan umur.9 Anemia kekurangan zat besi

adalah salah satu bentuk kelainan hematologi yang sering dialami pada

lansia. Penyebab utama anemia kekurangan zat besi pada usia lanjut

adalah karena kehilangan darah yang terutama berasal dari perdarahan

kronik sistem gastrointestinal akibat berbagai masalah pencernaan seperti

tukak peptik, varises esofagus, keganasan lambung dan kolon.5

Menurunnya cairan saluran cerna (sekresi pepsin) dan enzim-enzim

pencernaan proteolitik mengakibatkan pencernaan protein tidak efisien.9

C. Status Gizi pada Lanjut Usia

Keadaan gizi seseorang mempengaruhi penampilan, pertumbuhan dan

perkembangannya, kondisi kesehatan serta ketahanan tubuh terhadap

penyakit. Pengkajian status gizi adalah proses yang digunakan untuk

menentukan status gizi, mengidentifikasi malnutrisi (kurang gizi atau gizi

lebih) dan menentukan jenis diet atau menu makanan yang harus diberikan

pada seseorang. Mengkaji status gizi usia lanjut sebaiknya menggunakan

lebih dari satu parameter sehingga hasil kajian lebih akurat. Pengkajian status

gizi pada usia lanjut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Anamnesis

Hal-hal yang perlu diketahui antara lain: Identitas, orang terdekat yang

dapat dihubungi, keluhan dan riwayat penyakit, riwayat asupan makanan,

riwayat operasi yang mengganggu asupan makanan, riwayat penyakit

keluarga, aktivitas sehari-hari, riwayat buang air besar atau buang air kecil,

dan kebiasaan lain yang dapat mengganggu asupan makanan.13

2. Pengukuran Antropometri

Pengukuran antropometri adalah pengukuran tentang ukuran, berat badan,

dan proporsi tubuh manusia dengan tujuan untuk mengkaji status nutrisi

5

Page 6: Diet Pada Geriatri

dan ketersediaan energi pada tubuh serta mendeteksi adanya masalah-

masalah nutrisi pada seseorang.14 Pengukuran antropometri yang dapat

digunakan untuk menetukan status gizi pada lansia meliputi tinggi badan,

berat badan, tinggi lutut (knee high), lingkar betis, tebal lipatan kulit

(pengukuran skinfold), dan lingkar lengan atas.5

Cara yang paling sederhanan dan banyak digunakan adalah dengan

menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT).15 IMT merupakan indikator status

gizi yang cukup peka digunakan untuk menilai status gizi orang dewasa

diatas umur 18 tahun dan mempunyai hubungan yang cukup tinggi

dengan persen lemak dalam tubuh. IMT juga merupakan sebuah ukuran

“berat terhadap tinggi” badan yang umum digunakan untuk

menggolongkan orang dewasa ke dalam kategori underweight

(kekurangan berat badan), normoweight (berat badan normal), overweight

(kelebihan berat badan), dan obesitas (kegemukan). Rumus atau cara

menghitung IMT yaitu dengan membagi berat badan dalam kilogram

dengan kuadrat dari tinggi badan dalam meter (kg/m2).14

Pengukuran berat badan menggunakan timbangan injak yang sudah

ditera dengan ketelitian 0,1 kg dengan pakaian seminimal mungkin dan

tanpa alas kaki. Pengukuran tinggi badan dapat menggunakan alat

pengukur tinggi badan dengan ketelitian 0,1 cm. Pengukuran dilakukan

pada posisi berdiri tegak tanpa menggunakan alas kaki dengan pandangan

lurus ke depan.5

Tabel 1. Klasifikasi Pengukuran Indeks Massa Tubuh pada Orang Dewasa Asia (Klasifikasi WHO)14

Status Gizi IMT (kg/m2)

6

Page 7: Diet Pada Geriatri

Underweight < 18,5

Normal 18,5 – 22,9

Overweight 23 – 24,9

Obes I 24 – 29,9

Obes II > 30

3. Mini Nutritional Assesment

Mini Nutritional Assesment (MNA) merupakan bentuk screening gizi

yang dilakukan untuk mengetahui apakah seorang lansia mempunyai

risiko mengalami malnutrisi akibat penyakit yang diderita dan atau

perawatan di rumah sakit. MNA merupakan metode yang banyak dipakai

karena sangat sederhana dan mudah dalam pelaksanaannya. Penelitian

yang dilakukan Ellen S (2009) di RSCM pada 193 responden,

mendapatkan penilaian status nutrisi berdasarkan skor total MNA memiliki

nilai keterandalan yang cukup baik. Kesimpulan pemeriksaan MNA

adalah menggolongkan pasien dalam keadaan status gizi baik,

berisiko malnutrisi atau malnutrisi berat. MNA mempunyai 2 bagian

besar yaitu screening dan assessment, dimana penjumlahan semua skor

akan menentukan seorang lansia pada status gizi baik, berisiko

malnutrisi atau malnutrisi.15

D. Masalah Gizi Pada Lanjut Usia

1. Malnutrisi Energi Protein

Malnutrisi energi protein adalah kondisi di mana energi dan atau protein

yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan metabolik. Malnutrisi energi

protein dapat terjadi karena buruknya asupan protein atau kalori,

meningkatnya kebutuhan metabolik bila terdapat penyakit atau trauma,

atau meningkatnya kehilangan zat gizi. Usia lanjut merupakan kelompok

yang rentan terhadap malnutrisi. Pada usia lanjut, stres ringan jangka

7

Page 8: Diet Pada Geriatri

pendek sudah dapat menyebabkan timbulnya malnutrisi energi protein.

Status nutrisi memengaruhi berbagai sistem pada usia lanjut seperti

imunitas, cara berjalan dan keseimbangan, fungsi kognitif, serta

merupakan faktor risiko untuk timbulnya infeksi, jatuh, delirium, serta

mengurangi manfaat pengobatan. Terdapat hubungan antara malnutrisi

dengan mortalitas, lama rawat, banyaknya komplikasi, dan perawatan

kembali.16

2. Obesitas

Perubahan komposisi tubuh yang terjadi pada lansia memberikan

kontribusi terjadinya obesitas, terutama obesitas sentral. Proporsi lemak

intra abdominal meningkat progresif seiring dengan meningkatnya usia.

Penurunan asupan energi dan Total Energy Expenditure (TEE) juga

menurun karena penurunan aktivitas fisik terutama pada lansia yang sakit.

Pada lansia yang obes, penurunan berat badan dapat menurunkan kesakitan

karena arthritis, diabetes dan menurunkan risiko penyakit kardiovaskuler

serta meningkatkan kualitas hidup. Peningkatan aktivitas fisik pada lansia

dapat memperbaiki kekuatan otot dan kesehatan lansia secara

keseluruhan.17

3. Kehilangan Berat Badan

Menurut Schlenker (2000), kehilangan berat badan pada lansia dapat

dikelompokkan menjadi wasting, cachexia, dan sarcopenia. Wasting

merupakan kehilangan berat badan yang tidak disadari, pada umumnya

disebabkan oleh asupan yang tidak adekuat. Cachexia adalah kehilangan

massa tubuh bebas lemak yang tidak disadari yang disebabkan oleh proses

katabolisme, ditandai oleh peningkatan rate metabolik dan peningkatan

pemecahan protein. Sedangkan sarcopenia adalah kehilangan massa otot

yang tidak disadari sebagai bagian dari proses menua, kadang-kadang

tidak ada penyakit yang mendasari. Faktor risiko terjadinya malnutrisi

pada lansia antara lain beberapa faktor medis seperti selera makan rendah,

gangguan gigi geligi, disfagia, gangguan fungsi pada indera penciuman

dan pengecap, pernafasan, saluran cerna, neurologi, infeksi, cacat fisik dan

8

Page 9: Diet Pada Geriatri

penyakit lain seperti kanker. Selain itu, adanya faktor psikologis seperti

depresi, kecemasan dan demensia mempunyai kontribusi yang besar dalam

menentukan asupan makanan dan zat gizi pada lansia.17

4. Defisiensi Vitamin dan Mineral

Tidak memadainya asupan mikronutrien sering terjadi pada usia lanjut,

bahkan pada negara yang telah sangat maju, yang berkaitan dengan

meningkatnya risiko penyakit kronik. Vitamin B6, B12, dan asam folat

dibutuhkan untuk mencegah akumulasi homosistein, suatu asam amino

yang secara konsisten berhubungan dengan risiko penyakit vaskular. Di

samping itu, juga terdapat hubungan antara rendahnya konsentrasi vitamin

B dan menurunnya fungsi kognitif. Data dari beberapa studi menunjukkan

bahwa kadar vitamin B yang rendah sering terjadi pada usia lanjut. Data

ini terkait dengan rendahnya asupan zat gizi tertentu dalam pola makan

sehari-hari.16

E. Gizi Pada Lanjut Usia

Pada prinsipnya kebutuhan gizi pada lanjut usia mengikuti prinsip gizi

seimbang. Konsumsi makanan yang cukup dan seimbang bermanfaat bagi

lanjut usia untuk mencegah atau mengurangi risiko penyakit degeneratif dan

kekurangan gizi. Kebutuhan gizi lanjut usia dihitung secara individu. Cara

perhitungan kebutuhan gizi:5

1. Perhitungan Kebutuhan Energi.

Berikut ini beberapa cara untuk menghitung kebutuhan energi:

a. Harris dan Benedict

Merupakan cara yang banyak digunakan untuk menetapkan kebutuhan

energi seseorang. Rumusnya dibedakan antara kebutuhan untuk laki-

laki dan perempuan.

Laki-laki : BEE = 66 + 13,7 (BB) + 5 (TB) - 6,8 (umur)

Perempuan : BEE = 655 + 9,6 (BB) + 1,7 (TB) - 4,7 (umur)

Faktor koreksi BEE untuk berbagai tingkat stress adaiah:

Stress ringan = 1,3 x BEE

9

Page 10: Diet Pada Geriatri

Stress sedang = 1,5 x BEE

Stress berat = 2,0 x BEE

Kanker = 1,6 x BEE

b. Rule of Thumb (menggunakan BB ideal)

Cara cepat untuk menghitung kebutuhan energi adalah:

Laki-laki: 30 Kkal/ kgBB

Perempuan: 25 Kkal / kgBB

2. Perhitungan kebutuhan protein

a. Kecukupan protein sehari yang dianjurkan pada lanjut usia adalah

sekitar 0,8 gram/ kgBB atau 10-15% dari kebutuhan energi.

b. Dianjurkan memenuhi kebutuhan protein nabati lebih banyak dari

protein hewani. Sumber protein nabati yang dianjurkan adalah kacang-

kacangan dan produk olahannya. Sumber protein hewani yang

dianjurkan adaiah ikan, daging dan ayam tanpa lemak, susu tanpa

lemak.

3. Perhitungan kebutuhan lemak

a. Pada lanjut usia konsumsi lemak dianjurkan tidak melebihi 20-25% dari

kebutuhan energi dengan rasio lemak tidak jenuh : lemak jenuh = 2 : 1

b. Konsumsi kolesterol harus dibatasi, tidak melebihi 300 mgr/hari di

dalam makanan.

4. Perhitungan kebutuhan karbohidrat

Penggunaan karbohidrat relatif menurun pada lanjut usia, karena

kebutuhan energi juga menurun. Lanjut usia disarankan mengkonsumsi

karbohidrat komplek daripada karbohidrat sederhana, karena mengandung

vitamin, mineral dan serat. Perhitungan kebutuhan karbohidrat didasarkan

kepada sisa dari total energi setelah dikurangi energi dari protein dan

lemak. Lanjut usia dianjurkan mengkonsumsi karbohidrat 60-65% dari

total kebutuhan energi.

5. Perhitungan kebutuhan vitamin dan mineral

Perhitungan kebutuhan vitamin dan mineral didasarkan kepada angka

kecukupan gizi yang dianjurkan. Namun untuk kondisi tertentu, vitamin

10

Page 11: Diet Pada Geriatri

dan mineral diberikan dalam jumlah yang lebih tinggi atau lebih rendah

dibandingkan angka kecukupan gizi yang dianjurkan.

6. Serat

Kebutuhan serat 25-30 gram/ hari

7. Kebutuhan cairan

Masukan cairan perlu diperhatikan karena adanya mekanisme rasa haus

dan menurunnya cairan tubuh total (penurunan massa lemak). Lanju usia

membutuhkan cairan antara 1,5 - 2 liter per hari (6-8 gelas)

Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2004.5

F. Dukungan Gizi Untuk Lanjut Usia

Pada lansia, meskipun tidak menunjukkan tanda-tanda Kurang Energi

Protein (KEP) yang jelas, dukungan gizi seringkali diperlukan untuk

11

Page 12: Diet Pada Geriatri

mempertahankan kondisi kesehatan lansia dan mempercepat penyembuhan

penyakit yang diderita. Lansia yang tidak dapat mencerna makanan dengan

baik, kesadaran menurun, menderita penyakit kronis, mempunyai masalah

saluran cerna (malabsorpsi, maldigesti, gangguan motilitas) memerlukan

dukungan gizi.9 Dukungan gizi peroral diutamakan, namun apabila ada

gangguan pada saluran cerna bagian atas maka makanan enteral dapat

diberikan. Namun bila saluran cerna tidak dapat difungsikan, maka pilihan

terakhir adalah nutrisi parenteral.15,16

Pada pemberian peroral, makanan diberikan dalam porsi kecil dengan

frekuensi tergantung pada kemampuan makan pasien. Seorang lansia

dianjurkan untuk mengkonsumsi normal diet seoptimal mungkin disesuaikan

dengan kemampuannya. Pembatasan dapat diberikan sesuai dengan kondisi

penyakit pasien, namun pembatasan yang terlalu ketat dapat menyebabkan

asupan makanan menurun.16

Pemberian makanan enteral pada lansia dengan gangguan saluran

cerna bagian atas terbukti efektif memperbaiki status gizi. Pemberian

makanan melalui pipa akan cost-effective dalam menyediakan makro dan

mikronutrien yang adekuat dan memelihara fungsi usus. Pemilihan formula

makanan enteral pada lansia harus memperhatikan lama penggunaan tube,

komposisi makro dan mikronutrien, kemampuan pasien untuk mencerna

makanan, penyakit yang diderita, dan harga produk.9 Pemberian makanan

enteral memiliki komplikasi, antara lain iritasi, pipa yang berpindah tempat

atau tersumbat, serta banyak lansia tidak dapat mentolerir pipa yang masuk

melalui hidung. Perasaan tidak nyaman pada pasien menyebabkan gelisah dan

bahkan mencabut pipa yang sudah terpasang. Selain itu, diare merupakan

salah satu komplikasi yang sering muncul pada lansia yang mendapatkan

makanan melalui pipa nasogastrik. Diare ini dapat disebabkan oleh adanya

intoleransi laktosa, efek samping polifarmasi yang diberikan, kontaminasi

bakteri atau kekentalan makanan cair yang diberikan.16

Nutrisi parenteral diberikan pada lansia dengan asupan enteral yang

tidak mencukupi kebutuhan atau tidak memungkinkan diberikan makanan

12

Page 13: Diet Pada Geriatri

melalui enteral (kontra indikasi diberikan makanan enteral). Bila nutrisi

parenteral hanya digunakan sebagai dukungan gizi tambahan, maka dapat

diberikan melalui vena perifer dengan cairan perifer. Namun apabila terdapat

indikasi untuk restriksi cairan, maka pilihan vena sentral lebih tepat dengan

lipid sebagai sumber energi utama.15,16 Penghitungan kebutuhan kalori per

hari pada lansia dapat dilakukan dengan formula Harris Benedict atau rule of

thumb. Glukosa merupakan sumber utama nutrisi parenteral. Namun pada

lansia seringkali terjadi gangguan toleransi glukosa, sehingga glukosa

diberikan mulai dosis kecil namun tidak kurang dari 100 gram/hari untuk

mencegah terjadinya ketosis dengan maksimal pemberian 4 mg/kgBB/menit.5

Pada lansia yang memerlukan pembatasan cairan atau gangguan

toleransi glukosa, pemberian energi dapat berupa lemak. Emulsi lemak 10-

20% dapat diberikan pada nutrisi parenteral untuk membantu pencapaian

kebutuhan energi. Pemberian protein pada cairan parenteral harus

memperhatikan fungsi ginjal dan fungsi hati. Pada lansia tanpa gangguan

fungsi ginjal, dosis awal pemberian protein adalah 1-1,5 g/kgBB/hari pada

lansia yang dirawat di rumah sakit. Pemberian cairan dan elektrolit pada

pasien lansia memerlukan monitoring khusus dengan adanya penurunan

fungsi ginjal, jantung, dan endokrin.9

BAB III

RINGKASAN

13

Page 14: Diet Pada Geriatri

Gizi merupakan unsur penting untuk pencapaian derajat kesehatan yang

baik. Masalah gizi lanjut usia merupakan rangkaian proses masalah gizi sejak usia

muda yang manifestasinya terjadi pada lanjut usia. Berbagai penelitian

menunjukkan bahwa masalah gizi pada lanjut usia sebagian besar merupakan

masalah gizi lebih yang merupakan faktor risiko timbulnya penyakit degeneratif

seperti penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, hipertensi, gout rematik,

ginjal, perlemakan hati, dan lain-lain. Namun demikian masalah kurang gizi juga

banyak terjadi pada lanjut usia seperti Kurang Energi Kronik (KEK), anemia dan

kekurangan zat gizi mikro lain.

Perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi pada lansia seperti perubahan

komposisi tubuh, perubahan pada struktur gigi dan mulut, indera pengecap dan

pencium, sistem gastrointestinal, serta hematologi dapat mempengaruhi status

gizinya. Masalah gizi yang sering dijumpai pada lanjut usia antara lain malnutrisi

energi protein, obesitas, kehilangan berat badan, dan defisiensi vitamin dan

mineral.

Pada prinsipnya kebutuhan gizi pada lanjut usia mengikuti prinsip gizi

seimbang. Konsumsi makanan yang cukup dan seimbang bermanfaat bagi lanjut

usia untuk mencegah atau mengurangi risiko penyakit degeneratif dan kekurangan

gizi. Kebutuhan gizi lanjut usia dihitung secara individu.

Lansia yang tidak dapat mencerna makanan dengan baik, kesadaran

menurun, menderita penyakit kronis, mempunyai masalah saluran cerna

(malabsorpsi, maldigesti, gangguan motilitas) memerlukan dukungan gizi.

Dukungan gizi peroral diutamakan, namun apabila ada gangguan pada saluran

cerna bagian atas maka makanan enteral dapat diberikan. Namun bila saluran

cerna tidak dapat difungsikan, maka pilihan terakhir adalah nutrisi parenteral.

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

14

Page 15: Diet Pada Geriatri

1. Setiati S, Harimurti K, Govinda A. 2010. Proses Menua dan Implikasi

Kliniknya. Dalam: Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Simadibrata M, Setiati S

(eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, pp: 757-767.

2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Profil kesehatan

Indonesia 2011. http://www.depkes.go.id/downloads/Profil2011-v3.pdf -

diakses Juni 2014.

3. Azizah, Lilik Ma’rifatul. 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta:Graha

Ilmu, pp: 54-58.

4. Yoshida M, Suzuki R, Kikutani T. 2013. Nutrition and oral status in elderly

people. Japanese Dental Science Review, 14(50):9-14.

5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Pedoman Pelayanan Gizi

Lanjut Usia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, pp: 4-22.

6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang

Kesejahteraan Lanjut Usia.

7. Kawas, CH, Brookmeyer, R. 2001. Aging and the public health effects of

dementia. New England Journal of Medicine, 344(15):1160-1161.

8. Arisman. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC.

9. Muis S, Puruhita N. 2011. Gizi pada Lansia. Dalam: Darmojo, Martono H,

Pranaka K (eds). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), edisi ke-4. Jakarta:

Balai Penerbit FKUI, pp: 634-651.

10. Seymour, R. 2006. Masalah Farmakologi Gigi pada Lansia. Dalam:

Hutauruk, C (ed). Perawatan Gigi Terpadu untuk Lansia. Jakarta: EGC.

11. Guyton AC, Hall JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: ECG,

pp: 693-699.

12. Setiati, S. 2000. Pedoman Praktis Perawatan Kesehatan: untuk Pengasuh

Orang Usia lanjut. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

13. Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.

14. Syam AF. 2010. Malnutrisi. Dalam: Sudoyo A.W., Setiyohadi B.,

Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I.

15

Page 16: Diet Pada Geriatri

Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, pp: 354-

357.

15. Setiati S, Dinda R. 2010. Malnutrisi di Rumah Sakit. Dalam: Sudoyo A.W.,

Setiyohadi B., Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

FKUI, pp: 358-365.

16. Sari NK. 2010. Gangguan Nutrisi pada Usia Lanjut. Dalam: Sudoyo A.W.,

Setiyohadi B., Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

FKUI, pp: 347-353.

17. Schlenker E. 1998. Nutritional problems and deficiencies in the aging adult.

In: Schlenker E (ed). Nutrition in Aging. Boston: McGraw-Hill, pp: 295-325.

16