Diet Pada Geriatri
-
Upload
gresmita-rindi -
Category
Documents
-
view
60 -
download
15
description
Transcript of Diet Pada Geriatri
BAB I
PENDAHULUAN
Lanjut usia (lansia) merupakan bagian dari proses tumbuh kembang dan
merupakan proses fisiologis, dimana terjadi kemunduran fisik, mental dan sosial
secara bertahap. Lanjut usia bukan merupakan penyakit, tetapi merupakan proses
alami setiap individu yang ditandai dengan menurunnya kemampuan tubuh untuk
beradaptasi dengan lingkungan.1
Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini sedang terjadi perubahan proporsi
kelompok umur penduduk dunia termasuk Indonesia. Perubahan proporsi
kelompok-kelompok umur di dalam penduduk dapat terjadi antara lain sebagai
akibat menurunnya angka kematian serta penurunan jumlah kelahiran. Hasil
Sensus Penduduk tahun 2010, Indonesia saat ini termasuk ke dalam lima besar
negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia yakni 18,1 juta
jiwa atau 9,6% dari jumlah penduduk. Berdasarkan proyeksi Bappenas, jumlah
penduduk lansia 60 tahun atau lebih diperkirakan akan meningkat dari 18,1 juta di
tahun 2010 menjadi 29,1 juta pada tahun 2020 dan 36 juta pada tahun 2025.2
Seiring dengan bertambahnya usia, maka akan terjadi proses penuaan
secara degeneratif yang berdampak pada diri manusia. Perubahan itu antara lain
meliputi perubahan fisik, perubahan kognitif, perubahan spiritual, dan perubahan
psikososial. Perubahan tersebut apabila tidak ditangani dengan baik dapat
menimbulkan masalah bagi individu lanjut usia, maupun keluarga dan
lingkungannya.3 Salah satu masalah yang dapat timbul akibat perubahan tersebut
adalah masalah gizi pada lansia. Gangguan gizi seperti sindrom metabolik dan
sarcopenia menyebabkan penyakit sistemik yang dapat menurunkan kualitas
hidup pada lanjut usia. Oleh sebab itu, masalah gizi pada lansia perlu diperhatikan
untuk meningkatkan derajat kesehatan lansia agar tetap sehat, mandiri dan
berdaya guna sehingga tidak menjadi beban bagi dirinya sendiri, keluarga maupun
masyarakat.4
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Batasan Lanjut Usia
1. Menurut WHO lansia dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu:5
a. Usia pertengahan (45-59 tahun)
b. Lanjut usia (60 -74 tahun)
c. Lanjut usia tua (75 90 tahun)
d. Usia sangat tua (> 90 tahun)
2. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998
tentang Kesejahteraan Lansia dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 2: “Lanjut usia
adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas”.6
3. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, lanjut usia
dikelompokkan menjadi:5
a. Pra lanjut usia (45-59 tahun)
b. Lanjut usia (60-69 tahun)
c. Lanjut usia risiko tinggi (>70 tahun atau usia >60 tahun dengan masalah
kesehatan)
B. Perubahan Fisiologis yang Mempengaruhi Status Gizi pada Lanjut Usia
Lanjut usia merupakan tahap lanjut dari suatu kehidupan yang
ditandai dengan menurunnya kemampuan tubuh untuk beradaptasi terhadap
stress eksternal maupun internal. Menua didefinisikan sebagai proses yang
mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang yang “frail” (lemah, rentan)
dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem fisiologis dan
meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan kematian secara
eksponensial.1 Terjadi berbagai perubahan fisiologis yang tidak hanya
berpengaruh terhadap penampilan fisik, namun juga terhadap fungsi dan
tanggapan pada kehidupan sehari-hari. Adapun perubahan fisiologis tersebut
sebagai berikut:
2
1. Komposisi Tubuh
Komposisi tubuh dapat memberikan indikasi status gizi dan tingkat
kebugaran jasmani seseorang. Akibat penuaan pada lansia, massa otot
berkurang sedangkan massa lemak bertambah. Massa tubuh yang tidak
berlemak berkurang sebanyak 6,3%, sedangakan sebanyak 2% massa
lemak bertambah dari berat badan perdekade setelah usia 30 tahun. Jumlah
cairan tubuh berkurang dari sekitar 60% berat badan pada orang muda
menjadi 45% dari berat badan wanita usia lanjut.7,8 Penurunan massa otot
akan mengakibatkan penurunan kebutuhan energi yang terlihat pada
lansia. Keseimbangan energi pada lansia lebih lanjut dipengaruhi oleh
aktifitas fisik yang menurun. Pemahaman akan hubungan berbagai
keadaan tersebut penting dalam membantu lansia mengelola berat badan
mereka.9
2. Gigi dan Mulut
Gigi merupakan unsur penting untuk pencapaian derajat kesehatan dan gizi
yang baik. Perubahan fisiologis yang terjadi pada jaringan keras gigi
sesuai perubahan pada gingiva anak-anak. Setelah gigi erupsi, morfologi
gigi berubah karena pemakaian atau aberasi dan kemudian tanggal
digantikan gigi permanen. Pada usia lanjut gigi permanen menjadi kering,
lebih rapuh, berwarna lebih gelap, dan bahkan sebagian gigi telah
tanggal.1,8 Hilangnya gigi geligi akan mengganggu hubungan oklusi gigi
atas dan bawah serta mengakibatkan daya kunyah menurun. Selain itu,
terjadinya atropi gingiva dan procesus alveolaris yang menyebabkan akar
gigi terbuka dan sering menimbulkan rasa sakit semakin memperparah
penurunan daya kunyah. Pada lansia saluran pencernaan tidak dapat
mengimbangi ketidaksempurnaan fungsi kunyah sehingga akan
mempengaruhi kesehatan umum.9
3. Indera Pengecap dan Pencium
Dengan bertambahnya umur, kemampuan mengecap, mencerna, dan
memetabolisme makanan berubah. Penurunan indera pengecap dan
pencium pada lansia menyebabkan sebagian besar kelompok umur ini
3
tidak dapat lagi menikmati aroma dan rasa makanan. Gangguan rasa
pengecap pada proses penuaan terjadi karena pertambahan umur
berkorelasi negatif dengan jumlah ’taste buds’ atau tunas pengecap pada
lidah. Cherie Long (1986) dan Ruslijanto (1996) dalam Darmojo (2011)
menyatakan 80% tunas pengecap hilang pada usia 80 tahun.9 Wanita pasca
monopause cenderung berkurang kemampuannya dalam merasakan manis
dan asin. Keadaan ini dapat menyebabkan lansia kurang menikmati
makanan dan mengalami penurunan nafsu makan dan asupan makanan.
Gangguan rasa pengecap juga merupakan manifestasi penyakit sistemik
pada lansia yang disebabkan oleh kandidiasis mulut dan defisiensi nutrisi
terutama defisiensi seng.10 Selain itu, penurunan produksi saliva akan
menyebabkan mulut relatif kering (xerostomia) yang akan semakin
mengganggu indera pengecap atau perasa.4,9
4. Gastrointestinal
Esofagus terutama berfungsi untuk menyalurkan makan dari faring ke
lambung, dan gerakannya diatur secara khusus untuk fungsi tersebut.11
Pada manusia lanjut usia, reseptor pada esofagus kurang sensitif dengan
adanya makanan. Hal ini menyebabkan kemampuan peristaltik esofagus
mendorong makanan ke lambung menurun sehingga pengosongan
esofagus terlambat.9 Motilitas lambung dan pengosongan lambung
menurun seiring dengan meningkatnya usia. Di atas usia 60 tahun, sekresi
HCL dan pepsin berkurang yang menyebabkan penyerapan vitamin dan
zat besi menurun sehingga berpengaruh pada kejadian osteoporosis dan
osteomalasia pada lansia. Di usus halus juga ditemukan adanya kolonisasi
bakteri pada lansia dengan gastritis atrofi yang dapat menghambat
penyerapan vitamin B. Selain itu, motilititas usus halus dan usus besar
terganggu sehingga menyebabkan konstipasi sering terjadi pada lansia.12
5. Hematologi
Berbagai kelainan hematologi dapat terjadi pada usia lanjut sebagai akibat
dari proses menua pada sistem hematopoetik. Berdasarkan pengamatan
klinik dan laboratorik, didapatkan bukti bahwa pada batas umur tertentu,
4
sumsum tulang mengalami involusi, sehingga cadangan sumsum tulang
pada usia lanjut menurun. Beberapa variabel dalam pemeriksaan darah
lengkap (full blood count) seperti kadar hemoglobin, indeks sel darah
merah (MCV, MCH, MCHC), hitung leukosit,trombosit menunjukkan
perubahan yang berhubungan dengan umur.9 Anemia kekurangan zat besi
adalah salah satu bentuk kelainan hematologi yang sering dialami pada
lansia. Penyebab utama anemia kekurangan zat besi pada usia lanjut
adalah karena kehilangan darah yang terutama berasal dari perdarahan
kronik sistem gastrointestinal akibat berbagai masalah pencernaan seperti
tukak peptik, varises esofagus, keganasan lambung dan kolon.5
Menurunnya cairan saluran cerna (sekresi pepsin) dan enzim-enzim
pencernaan proteolitik mengakibatkan pencernaan protein tidak efisien.9
C. Status Gizi pada Lanjut Usia
Keadaan gizi seseorang mempengaruhi penampilan, pertumbuhan dan
perkembangannya, kondisi kesehatan serta ketahanan tubuh terhadap
penyakit. Pengkajian status gizi adalah proses yang digunakan untuk
menentukan status gizi, mengidentifikasi malnutrisi (kurang gizi atau gizi
lebih) dan menentukan jenis diet atau menu makanan yang harus diberikan
pada seseorang. Mengkaji status gizi usia lanjut sebaiknya menggunakan
lebih dari satu parameter sehingga hasil kajian lebih akurat. Pengkajian status
gizi pada usia lanjut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Anamnesis
Hal-hal yang perlu diketahui antara lain: Identitas, orang terdekat yang
dapat dihubungi, keluhan dan riwayat penyakit, riwayat asupan makanan,
riwayat operasi yang mengganggu asupan makanan, riwayat penyakit
keluarga, aktivitas sehari-hari, riwayat buang air besar atau buang air kecil,
dan kebiasaan lain yang dapat mengganggu asupan makanan.13
2. Pengukuran Antropometri
Pengukuran antropometri adalah pengukuran tentang ukuran, berat badan,
dan proporsi tubuh manusia dengan tujuan untuk mengkaji status nutrisi
5
dan ketersediaan energi pada tubuh serta mendeteksi adanya masalah-
masalah nutrisi pada seseorang.14 Pengukuran antropometri yang dapat
digunakan untuk menetukan status gizi pada lansia meliputi tinggi badan,
berat badan, tinggi lutut (knee high), lingkar betis, tebal lipatan kulit
(pengukuran skinfold), dan lingkar lengan atas.5
Cara yang paling sederhanan dan banyak digunakan adalah dengan
menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT).15 IMT merupakan indikator status
gizi yang cukup peka digunakan untuk menilai status gizi orang dewasa
diatas umur 18 tahun dan mempunyai hubungan yang cukup tinggi
dengan persen lemak dalam tubuh. IMT juga merupakan sebuah ukuran
“berat terhadap tinggi” badan yang umum digunakan untuk
menggolongkan orang dewasa ke dalam kategori underweight
(kekurangan berat badan), normoweight (berat badan normal), overweight
(kelebihan berat badan), dan obesitas (kegemukan). Rumus atau cara
menghitung IMT yaitu dengan membagi berat badan dalam kilogram
dengan kuadrat dari tinggi badan dalam meter (kg/m2).14
Pengukuran berat badan menggunakan timbangan injak yang sudah
ditera dengan ketelitian 0,1 kg dengan pakaian seminimal mungkin dan
tanpa alas kaki. Pengukuran tinggi badan dapat menggunakan alat
pengukur tinggi badan dengan ketelitian 0,1 cm. Pengukuran dilakukan
pada posisi berdiri tegak tanpa menggunakan alas kaki dengan pandangan
lurus ke depan.5
Tabel 1. Klasifikasi Pengukuran Indeks Massa Tubuh pada Orang Dewasa Asia (Klasifikasi WHO)14
Status Gizi IMT (kg/m2)
6
Underweight < 18,5
Normal 18,5 – 22,9
Overweight 23 – 24,9
Obes I 24 – 29,9
Obes II > 30
3. Mini Nutritional Assesment
Mini Nutritional Assesment (MNA) merupakan bentuk screening gizi
yang dilakukan untuk mengetahui apakah seorang lansia mempunyai
risiko mengalami malnutrisi akibat penyakit yang diderita dan atau
perawatan di rumah sakit. MNA merupakan metode yang banyak dipakai
karena sangat sederhana dan mudah dalam pelaksanaannya. Penelitian
yang dilakukan Ellen S (2009) di RSCM pada 193 responden,
mendapatkan penilaian status nutrisi berdasarkan skor total MNA memiliki
nilai keterandalan yang cukup baik. Kesimpulan pemeriksaan MNA
adalah menggolongkan pasien dalam keadaan status gizi baik,
berisiko malnutrisi atau malnutrisi berat. MNA mempunyai 2 bagian
besar yaitu screening dan assessment, dimana penjumlahan semua skor
akan menentukan seorang lansia pada status gizi baik, berisiko
malnutrisi atau malnutrisi.15
D. Masalah Gizi Pada Lanjut Usia
1. Malnutrisi Energi Protein
Malnutrisi energi protein adalah kondisi di mana energi dan atau protein
yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan metabolik. Malnutrisi energi
protein dapat terjadi karena buruknya asupan protein atau kalori,
meningkatnya kebutuhan metabolik bila terdapat penyakit atau trauma,
atau meningkatnya kehilangan zat gizi. Usia lanjut merupakan kelompok
yang rentan terhadap malnutrisi. Pada usia lanjut, stres ringan jangka
7
pendek sudah dapat menyebabkan timbulnya malnutrisi energi protein.
Status nutrisi memengaruhi berbagai sistem pada usia lanjut seperti
imunitas, cara berjalan dan keseimbangan, fungsi kognitif, serta
merupakan faktor risiko untuk timbulnya infeksi, jatuh, delirium, serta
mengurangi manfaat pengobatan. Terdapat hubungan antara malnutrisi
dengan mortalitas, lama rawat, banyaknya komplikasi, dan perawatan
kembali.16
2. Obesitas
Perubahan komposisi tubuh yang terjadi pada lansia memberikan
kontribusi terjadinya obesitas, terutama obesitas sentral. Proporsi lemak
intra abdominal meningkat progresif seiring dengan meningkatnya usia.
Penurunan asupan energi dan Total Energy Expenditure (TEE) juga
menurun karena penurunan aktivitas fisik terutama pada lansia yang sakit.
Pada lansia yang obes, penurunan berat badan dapat menurunkan kesakitan
karena arthritis, diabetes dan menurunkan risiko penyakit kardiovaskuler
serta meningkatkan kualitas hidup. Peningkatan aktivitas fisik pada lansia
dapat memperbaiki kekuatan otot dan kesehatan lansia secara
keseluruhan.17
3. Kehilangan Berat Badan
Menurut Schlenker (2000), kehilangan berat badan pada lansia dapat
dikelompokkan menjadi wasting, cachexia, dan sarcopenia. Wasting
merupakan kehilangan berat badan yang tidak disadari, pada umumnya
disebabkan oleh asupan yang tidak adekuat. Cachexia adalah kehilangan
massa tubuh bebas lemak yang tidak disadari yang disebabkan oleh proses
katabolisme, ditandai oleh peningkatan rate metabolik dan peningkatan
pemecahan protein. Sedangkan sarcopenia adalah kehilangan massa otot
yang tidak disadari sebagai bagian dari proses menua, kadang-kadang
tidak ada penyakit yang mendasari. Faktor risiko terjadinya malnutrisi
pada lansia antara lain beberapa faktor medis seperti selera makan rendah,
gangguan gigi geligi, disfagia, gangguan fungsi pada indera penciuman
dan pengecap, pernafasan, saluran cerna, neurologi, infeksi, cacat fisik dan
8
penyakit lain seperti kanker. Selain itu, adanya faktor psikologis seperti
depresi, kecemasan dan demensia mempunyai kontribusi yang besar dalam
menentukan asupan makanan dan zat gizi pada lansia.17
4. Defisiensi Vitamin dan Mineral
Tidak memadainya asupan mikronutrien sering terjadi pada usia lanjut,
bahkan pada negara yang telah sangat maju, yang berkaitan dengan
meningkatnya risiko penyakit kronik. Vitamin B6, B12, dan asam folat
dibutuhkan untuk mencegah akumulasi homosistein, suatu asam amino
yang secara konsisten berhubungan dengan risiko penyakit vaskular. Di
samping itu, juga terdapat hubungan antara rendahnya konsentrasi vitamin
B dan menurunnya fungsi kognitif. Data dari beberapa studi menunjukkan
bahwa kadar vitamin B yang rendah sering terjadi pada usia lanjut. Data
ini terkait dengan rendahnya asupan zat gizi tertentu dalam pola makan
sehari-hari.16
E. Gizi Pada Lanjut Usia
Pada prinsipnya kebutuhan gizi pada lanjut usia mengikuti prinsip gizi
seimbang. Konsumsi makanan yang cukup dan seimbang bermanfaat bagi
lanjut usia untuk mencegah atau mengurangi risiko penyakit degeneratif dan
kekurangan gizi. Kebutuhan gizi lanjut usia dihitung secara individu. Cara
perhitungan kebutuhan gizi:5
1. Perhitungan Kebutuhan Energi.
Berikut ini beberapa cara untuk menghitung kebutuhan energi:
a. Harris dan Benedict
Merupakan cara yang banyak digunakan untuk menetapkan kebutuhan
energi seseorang. Rumusnya dibedakan antara kebutuhan untuk laki-
laki dan perempuan.
Laki-laki : BEE = 66 + 13,7 (BB) + 5 (TB) - 6,8 (umur)
Perempuan : BEE = 655 + 9,6 (BB) + 1,7 (TB) - 4,7 (umur)
Faktor koreksi BEE untuk berbagai tingkat stress adaiah:
Stress ringan = 1,3 x BEE
9
Stress sedang = 1,5 x BEE
Stress berat = 2,0 x BEE
Kanker = 1,6 x BEE
b. Rule of Thumb (menggunakan BB ideal)
Cara cepat untuk menghitung kebutuhan energi adalah:
Laki-laki: 30 Kkal/ kgBB
Perempuan: 25 Kkal / kgBB
2. Perhitungan kebutuhan protein
a. Kecukupan protein sehari yang dianjurkan pada lanjut usia adalah
sekitar 0,8 gram/ kgBB atau 10-15% dari kebutuhan energi.
b. Dianjurkan memenuhi kebutuhan protein nabati lebih banyak dari
protein hewani. Sumber protein nabati yang dianjurkan adalah kacang-
kacangan dan produk olahannya. Sumber protein hewani yang
dianjurkan adaiah ikan, daging dan ayam tanpa lemak, susu tanpa
lemak.
3. Perhitungan kebutuhan lemak
a. Pada lanjut usia konsumsi lemak dianjurkan tidak melebihi 20-25% dari
kebutuhan energi dengan rasio lemak tidak jenuh : lemak jenuh = 2 : 1
b. Konsumsi kolesterol harus dibatasi, tidak melebihi 300 mgr/hari di
dalam makanan.
4. Perhitungan kebutuhan karbohidrat
Penggunaan karbohidrat relatif menurun pada lanjut usia, karena
kebutuhan energi juga menurun. Lanjut usia disarankan mengkonsumsi
karbohidrat komplek daripada karbohidrat sederhana, karena mengandung
vitamin, mineral dan serat. Perhitungan kebutuhan karbohidrat didasarkan
kepada sisa dari total energi setelah dikurangi energi dari protein dan
lemak. Lanjut usia dianjurkan mengkonsumsi karbohidrat 60-65% dari
total kebutuhan energi.
5. Perhitungan kebutuhan vitamin dan mineral
Perhitungan kebutuhan vitamin dan mineral didasarkan kepada angka
kecukupan gizi yang dianjurkan. Namun untuk kondisi tertentu, vitamin
10
dan mineral diberikan dalam jumlah yang lebih tinggi atau lebih rendah
dibandingkan angka kecukupan gizi yang dianjurkan.
6. Serat
Kebutuhan serat 25-30 gram/ hari
7. Kebutuhan cairan
Masukan cairan perlu diperhatikan karena adanya mekanisme rasa haus
dan menurunnya cairan tubuh total (penurunan massa lemak). Lanju usia
membutuhkan cairan antara 1,5 - 2 liter per hari (6-8 gelas)
Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2004.5
F. Dukungan Gizi Untuk Lanjut Usia
Pada lansia, meskipun tidak menunjukkan tanda-tanda Kurang Energi
Protein (KEP) yang jelas, dukungan gizi seringkali diperlukan untuk
11
mempertahankan kondisi kesehatan lansia dan mempercepat penyembuhan
penyakit yang diderita. Lansia yang tidak dapat mencerna makanan dengan
baik, kesadaran menurun, menderita penyakit kronis, mempunyai masalah
saluran cerna (malabsorpsi, maldigesti, gangguan motilitas) memerlukan
dukungan gizi.9 Dukungan gizi peroral diutamakan, namun apabila ada
gangguan pada saluran cerna bagian atas maka makanan enteral dapat
diberikan. Namun bila saluran cerna tidak dapat difungsikan, maka pilihan
terakhir adalah nutrisi parenteral.15,16
Pada pemberian peroral, makanan diberikan dalam porsi kecil dengan
frekuensi tergantung pada kemampuan makan pasien. Seorang lansia
dianjurkan untuk mengkonsumsi normal diet seoptimal mungkin disesuaikan
dengan kemampuannya. Pembatasan dapat diberikan sesuai dengan kondisi
penyakit pasien, namun pembatasan yang terlalu ketat dapat menyebabkan
asupan makanan menurun.16
Pemberian makanan enteral pada lansia dengan gangguan saluran
cerna bagian atas terbukti efektif memperbaiki status gizi. Pemberian
makanan melalui pipa akan cost-effective dalam menyediakan makro dan
mikronutrien yang adekuat dan memelihara fungsi usus. Pemilihan formula
makanan enteral pada lansia harus memperhatikan lama penggunaan tube,
komposisi makro dan mikronutrien, kemampuan pasien untuk mencerna
makanan, penyakit yang diderita, dan harga produk.9 Pemberian makanan
enteral memiliki komplikasi, antara lain iritasi, pipa yang berpindah tempat
atau tersumbat, serta banyak lansia tidak dapat mentolerir pipa yang masuk
melalui hidung. Perasaan tidak nyaman pada pasien menyebabkan gelisah dan
bahkan mencabut pipa yang sudah terpasang. Selain itu, diare merupakan
salah satu komplikasi yang sering muncul pada lansia yang mendapatkan
makanan melalui pipa nasogastrik. Diare ini dapat disebabkan oleh adanya
intoleransi laktosa, efek samping polifarmasi yang diberikan, kontaminasi
bakteri atau kekentalan makanan cair yang diberikan.16
Nutrisi parenteral diberikan pada lansia dengan asupan enteral yang
tidak mencukupi kebutuhan atau tidak memungkinkan diberikan makanan
12
melalui enteral (kontra indikasi diberikan makanan enteral). Bila nutrisi
parenteral hanya digunakan sebagai dukungan gizi tambahan, maka dapat
diberikan melalui vena perifer dengan cairan perifer. Namun apabila terdapat
indikasi untuk restriksi cairan, maka pilihan vena sentral lebih tepat dengan
lipid sebagai sumber energi utama.15,16 Penghitungan kebutuhan kalori per
hari pada lansia dapat dilakukan dengan formula Harris Benedict atau rule of
thumb. Glukosa merupakan sumber utama nutrisi parenteral. Namun pada
lansia seringkali terjadi gangguan toleransi glukosa, sehingga glukosa
diberikan mulai dosis kecil namun tidak kurang dari 100 gram/hari untuk
mencegah terjadinya ketosis dengan maksimal pemberian 4 mg/kgBB/menit.5
Pada lansia yang memerlukan pembatasan cairan atau gangguan
toleransi glukosa, pemberian energi dapat berupa lemak. Emulsi lemak 10-
20% dapat diberikan pada nutrisi parenteral untuk membantu pencapaian
kebutuhan energi. Pemberian protein pada cairan parenteral harus
memperhatikan fungsi ginjal dan fungsi hati. Pada lansia tanpa gangguan
fungsi ginjal, dosis awal pemberian protein adalah 1-1,5 g/kgBB/hari pada
lansia yang dirawat di rumah sakit. Pemberian cairan dan elektrolit pada
pasien lansia memerlukan monitoring khusus dengan adanya penurunan
fungsi ginjal, jantung, dan endokrin.9
BAB III
RINGKASAN
13
Gizi merupakan unsur penting untuk pencapaian derajat kesehatan yang
baik. Masalah gizi lanjut usia merupakan rangkaian proses masalah gizi sejak usia
muda yang manifestasinya terjadi pada lanjut usia. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa masalah gizi pada lanjut usia sebagian besar merupakan
masalah gizi lebih yang merupakan faktor risiko timbulnya penyakit degeneratif
seperti penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, hipertensi, gout rematik,
ginjal, perlemakan hati, dan lain-lain. Namun demikian masalah kurang gizi juga
banyak terjadi pada lanjut usia seperti Kurang Energi Kronik (KEK), anemia dan
kekurangan zat gizi mikro lain.
Perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi pada lansia seperti perubahan
komposisi tubuh, perubahan pada struktur gigi dan mulut, indera pengecap dan
pencium, sistem gastrointestinal, serta hematologi dapat mempengaruhi status
gizinya. Masalah gizi yang sering dijumpai pada lanjut usia antara lain malnutrisi
energi protein, obesitas, kehilangan berat badan, dan defisiensi vitamin dan
mineral.
Pada prinsipnya kebutuhan gizi pada lanjut usia mengikuti prinsip gizi
seimbang. Konsumsi makanan yang cukup dan seimbang bermanfaat bagi lanjut
usia untuk mencegah atau mengurangi risiko penyakit degeneratif dan kekurangan
gizi. Kebutuhan gizi lanjut usia dihitung secara individu.
Lansia yang tidak dapat mencerna makanan dengan baik, kesadaran
menurun, menderita penyakit kronis, mempunyai masalah saluran cerna
(malabsorpsi, maldigesti, gangguan motilitas) memerlukan dukungan gizi.
Dukungan gizi peroral diutamakan, namun apabila ada gangguan pada saluran
cerna bagian atas maka makanan enteral dapat diberikan. Namun bila saluran
cerna tidak dapat difungsikan, maka pilihan terakhir adalah nutrisi parenteral.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
14
1. Setiati S, Harimurti K, Govinda A. 2010. Proses Menua dan Implikasi
Kliniknya. Dalam: Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Simadibrata M, Setiati S
(eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, pp: 757-767.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Profil kesehatan
Indonesia 2011. http://www.depkes.go.id/downloads/Profil2011-v3.pdf -
diakses Juni 2014.
3. Azizah, Lilik Ma’rifatul. 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta:Graha
Ilmu, pp: 54-58.
4. Yoshida M, Suzuki R, Kikutani T. 2013. Nutrition and oral status in elderly
people. Japanese Dental Science Review, 14(50):9-14.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Pedoman Pelayanan Gizi
Lanjut Usia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, pp: 4-22.
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia.
7. Kawas, CH, Brookmeyer, R. 2001. Aging and the public health effects of
dementia. New England Journal of Medicine, 344(15):1160-1161.
8. Arisman. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC.
9. Muis S, Puruhita N. 2011. Gizi pada Lansia. Dalam: Darmojo, Martono H,
Pranaka K (eds). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), edisi ke-4. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI, pp: 634-651.
10. Seymour, R. 2006. Masalah Farmakologi Gigi pada Lansia. Dalam:
Hutauruk, C (ed). Perawatan Gigi Terpadu untuk Lansia. Jakarta: EGC.
11. Guyton AC, Hall JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: ECG,
pp: 693-699.
12. Setiati, S. 2000. Pedoman Praktis Perawatan Kesehatan: untuk Pengasuh
Orang Usia lanjut. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
13. Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
14. Syam AF. 2010. Malnutrisi. Dalam: Sudoyo A.W., Setiyohadi B.,
Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I.
15
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, pp: 354-
357.
15. Setiati S, Dinda R. 2010. Malnutrisi di Rumah Sakit. Dalam: Sudoyo A.W.,
Setiyohadi B., Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, pp: 358-365.
16. Sari NK. 2010. Gangguan Nutrisi pada Usia Lanjut. Dalam: Sudoyo A.W.,
Setiyohadi B., Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, pp: 347-353.
17. Schlenker E. 1998. Nutritional problems and deficiencies in the aging adult.
In: Schlenker E (ed). Nutrition in Aging. Boston: McGraw-Hill, pp: 295-325.
16