devi 123

5
Belenggu Oleh: Devi Tania Ridwan Permadani gelap membingkai semestamu Tuhan, malam ini suara jangkrik terdengar begitu nyaring di telingaku. Angin menerpa wajahku seolah menampar kulitku, mereka berbisik menyuruhku tidur dan kembali menyelami mimpi. Namun, malam ini kembali sama, kesunyian, kesendirian membuatku menderita meskipun Aku tinggal di kota metropolitan seperti Jakarta. Istanaku layaknya kuburan, tak ada senyuman dan kehangatan di dalamnya. Perkenalkan, Aku Rini seorang gadis remaja berusia 17 tahun yang tak memiliki seorang teman, bukankah begitu menyedihkan? Entahlah, Aku pun tidak tahu? Mereka takut melihatku, ya... memang aku tak sempurna seperti gadis lainnya, kedua kakiku diamputasi sejak Aku berusia 12 tahun akibat kecelekaan hebat yang merenggut nyawa orang-orang yang Aku cintai. Ayah dan Ibuku, Aku merindukan kalian kuharap kalian tersenyum ke arahku buak bersedih karenaku. “Ahhhhhh tolong..... tolong.............!!!!!” teriakku dengan histeris. “Ada apa Non?” Bi Ijah begitu panik mendengar Aku berteriak histeris. Aku tak tahu apa yang terjadi pada diriku setiap tepat pukul 12 malam, Aku selalu berteriak seperti orang kerasukan, jika tidur Aku takut tak bisa bangun lagi. Bayangan hitam itu selalu hadir menatapku begitu nyalang dan penuh kebencian apa salahku padanya?

description

123

Transcript of devi 123

Page 1: devi 123

BelengguOleh: Devi Tania Ridwan

Permadani gelap membingkai semestamu Tuhan, malam ini suara jangkrik terdengar begitu nyaring di telingaku. Angin menerpa wajahku seolah menampar kulitku, mereka berbisik menyuruhku tidur dan kembali menyelami mimpi.

Namun, malam ini kembali sama, kesunyian, kesendirian membuatku menderita meskipun Aku tinggal di kota metropolitan seperti Jakarta.

Istanaku layaknya kuburan, tak ada senyuman dan kehangatan di dalamnya.

Perkenalkan, Aku Rini seorang gadis remaja berusia 17 tahun yang tak memiliki seorang teman, bukankah begitu menyedihkan? Entahlah, Aku pun tidak tahu?

Mereka takut melihatku, ya... memang aku tak sempurna seperti gadis lainnya, kedua kakiku diamputasi sejak Aku berusia 12 tahun akibat kecelekaan hebat yang merenggut nyawa orang-orang yang Aku cintai. Ayah dan Ibuku, Aku merindukan kalian kuharap kalian tersenyum ke arahku buak bersedih karenaku.

“Ahhhhhh tolong..... tolong.............!!!!!” teriakku dengan histeris.

“Ada apa Non?” Bi Ijah begitu panik mendengar Aku berteriak histeris.

Aku tak tahu apa yang terjadi pada diriku setiap tepat pukul 12 malam, Aku selalu berteriak seperti orang kerasukan, jika tidur Aku takut tak bisa bangun lagi. Bayangan hitam itu selalu hadir menatapku begitu nyalang dan penuh kebencian apa salahku padanya?

Satu bulan berlalu, Aku merasa sosok hitam itu selalu mengikutiku, bukan hanya dalam mimpi tapi dalam dunia nyata. Dia melihatku, berbisik padaku dan meminta izin untuk tinggal dalam ragaku. Aku dan bayangan hitam itu tak terpisahkan. Berkatnya Aku mampu melihat dimensi lain dalam hidup ini, dimensi kedua atau ketiga, entahlah Aku belum tahu pasti.

Aku sadar, Aku tak hidup sendiri di rumah besar ini, terlalu banyak keanehan di dalamnya yang tak dapat dipikirkan oleh logika ataupun rumus algoritma sekalipun. Melainkan kesucian hati yang akan menjawabnya sendiri. Banyak makhluk aneh yang Aku lihat di rumahku malam ini. Aku sangat takut mereka akan menyobek kulitku dengan kuku-kuku panjangnya dan menghisap darahku dengan gigi-gigi runcingnya bahkan mungkin memakanku hidup-hidup dengan mulutnya yang berukuran di atas rata-rata. Kurasa jika sebuah lemari dilemparkan ke dalam mulut itu, masih ada celah untuk benda lain masuk ke dalamnya.

Page 2: devi 123

Aku mohon ini hanya mimpi. Sesering apapun Aku menutup mata mereka tetap ada. Kini Aku menyadari bahwa mereka adalah dimensi lain mungkin jin, setan atau hantu yang sering orang katakan.

Selama bertahun-tahun Aku berdampingan dengan mereka. Aku tak asing lagi jika Aku terbangun dipelukan wanita berbaju putih yang berambut panjang bahkan wajahnya tak berbentuk sekalipun. Aku tak bisa apa-apa atau ketika mereka bersenandung di tengah malam bermain dengan air dan tertawa terkikik itu adalah hal yang mengguncang jiwaku.

Hidup ini terlalu gila untuk kujalani sendiri. Kini usiaku menginjak 20 tahun, sedikit demi sedikit Aku berusaha menata hidup agar terlihat lebih normal. Diawali dengan memasang kaki buatan hingga kumampu berjalan, berlari dan tersenyum kembali. Mendapatkan banyak teman dulu adalah mimpi bagiku, namun kini aku cukup berbahagia dengan orang-orang yang begitu menyayangiku.

“Tuhan, kumohon agar kebahagiaan ini tak hilang dalam sekejap mata jangan kau ambil dariku disaat Aku mulai tahu bagaimana cara menghargai hidup,” ucapku sambil menutup diariku.

***

“Rin, aku kangen sudah lama tidak berjumpa denganmu selama praktikum di Batam, kau sehat?” tanya Ica sahabat yang paling Aku sayangi.

Kupeluk tubuhnya yang terlihat lebih kurus dari biasanya.

“Sama, Aku pun begitu rindu padamu. Aku sehat, sangat sehat jika melihatmu Ca.”

Ica tersenyum mendengar apa yang Aku katakan. Tapi Aku menangkap suatu hal yang ganjil di wajahnya.

“Apa kamu sakit Ca?”

“Tidak, aku tak sakit, hanya saja aku merasa ada keanehan yang terjadi selama aku jauh darimu Rin,” Ia menatap wajahku begitu lekat seolah ia takkan pernah melihatku lagi.

“Maksudmu Ca? Aku tak mengerti. Bisa kau jelaskan padaku?”

“Tapi kau harus merahasiakan hal itu, bagaimana?”

Aku mengangguk sebagai jawaban.

“Selama aku di Batam, Aku hampir mengalami dua kecelakaan maut, namun kurasa Tuhan masih memberiku kesempatan untuk menghirup udara. Pertama, Aku hampir menerobos pembatas jalan dan masuk ke dalam jurang yang tak tahu ujungnya dimana. Kedua, aku hampir tertabrak mobil truk. Bayangan hitam yang selalu menghalangi penglihatanku ketika mengemudi

Page 3: devi 123

dan menyebrang jalan adalah penyebab kegundahanku. Aku akan segera meninggalkanmu Rin. Bayangan hitam itu ingin aku mati.”

Bagai tersambar petir Aku terkejut mendengarnya. Bayangan hitam, siapa dia sebenarnya, mengapa dia kembali.

“Kau mendengarkanku kan?” ucap Ica yang terihat khawatir melihat ekspresiku.

“Ca, kau tak kan meningglkanku kan? Kau kan tetap jadi sahabatku kan?” kugenggam tangannya.

“Tentu saja, kau sahabatku. Mengapa kau berkata seperti itu? Bukankah kita telah berjanji untuk selalu bersama dan mewujudkan mimpimu untuk datang ke Negeri Sungai Nil.”

Aku terisak mendengar ucapannya dan kupeluk erat tubuhnya. Aku merasa tak kan pernah melihat senyumnya lagi. Itulah percakapan terakhir antara Aku dan Ica di kampus.

***

“Rin, kamu dimana?”tanya Dika dengan suara panik di telpon.

“Aku di rumah, Dik,” jawabku malas.

“Cepat ke apartemennya Ica!”

“Ada apa dik, ini sudah malam,” jawabku kesal.

“Ica meninggal, ia terpeleset di balkon dan jatuh dari gedung apartemennya. Kepalanya pecah, kita tak akan pernah bertemu dengannya lagi. Kau masih peduli kan dengan dia?”

Seketika itu aku terduduk lemas, aku menangis sejadi-jadinya.

Langit seolah bersedih dan menitikkan air matanya atas kepergian Ica. Begitupun Aku tak jauh berbeda dengan langit sendu sore hari ini. Siapakah sebenarnya kau bayangan hitam? Apa yang kau inginkan dariku? Tak puaskah kau ambil semua orang-orang yang Aku sayangi, Ica, Rendi kekasihku, Bi Ijah yang selalu menemaniku, semuanya kau ganggu. Aku begitu terkejut bayangan hitam itu ada di belakangku ia berbisik Aku menyukaimu. Kau puas? Kau adalah milikku, tak kan kubiarkan seorangpun membagi hatimu dan cintamu yang hanya milikku. Aku terbangun dari mimpi yang menyeramkan itu. Apa dia sudah gila? Dia mencintaiku?

Malam ini langit begitu mempesona, begitu berbeda dengan suara hatiku yang begitu kalut memikirkan perkataan bayangan hitam itu. Aku berteriak.

“Jika kau berani tunjukkan siapa dirimu sebenarnya!”

Page 4: devi 123

Secepat kilat dia berada di belakangku dia berbisik.

“Lihat aku!”

Aku terperangah melihat rupanya yang begitu......... tampan dan rupawan bah titisan Dewa yang turun dari langit. Dia menyeringai ke arahku, tiba-tiba wajahnya berubah kembali menjadi sangat menyeramkan. Matanya berwarna putih, kulit wajahnya melepuh mengeluarka darah dan nanah dari pori-pori kulitnya. Hidung dan mulutnya tak terlihat, tiba-tiba beribu ular dan lintah keluar dari jubah hitamnya.

“Ahhhhhhhh tolooonnnngg... tolonggg aku,” seketika itu Aku tak tahu apa yang terjadi pada diriku. Ternyata itu mimpi, aku terbangun dengan peluh di keningku dan panggilan ibuku. Aku bisa gila bukankah ibuku sudah tiada, aku tak mau hidup lagi. Kuambil sebilah pisau dan kuiris telingaku, aku tak mau mendengar suara-suara yang menyeramkan itu lagi. Kucongkel mataku agar aku tak melihat bayangan hitam itu lagi. Terimakasih Tuhan, aku sudah tak kuat. Bolehkah aku memilih mati?

Aku naik ke atap rumahku dan menghempaskan tubuh ini hingga gaya gravitasi bumi ini menarik. Selamat tinggal.

***