Dermatitis Atopi

35
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Definisi Dermatitis atopi adalah keadaan peradangan kulit kronik dan residif yang disertai gatal umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada penderita atau keluarganya.. Kata ”atopi” pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1928) yaitu suatu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarga (herediter), misalnya asma bronkhiale, rhinitis alergika, konjungtivitis alergika dan ada kecenderungan untuk mudah terserang urtikaria. (1,2,3) Dermatitis atopi dikenal juga sebagai eksema konstitusional, eksema fluksoral, neurodermatitis deseminata, prurigo Besnien dan eksema atopi. (2,4)

description

Dermatitis atopismf ilmu penyakit kulitRSK Dr. SitanalaTangerang

Transcript of Dermatitis Atopi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Definisi

Dermatitis atopi adalah keadaan peradangan kulit kronik dan residif yang disertai

gatal umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak, sering

berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat

atopi pada penderita atau keluarganya.. Kata ”atopi” pertama kali

diperkenalkan oleh Coca (1928) yaitu suatu istilah yang dipakai untuk sekelompok

penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarga (herediter),

misalnya asma bronkhiale, rhinitis alergika, konjungtivitis alergika dan ada

kecenderungan untuk mudah terserang urtikaria. (1,2,3)

Dermatitis atopi dikenal juga sebagai eksema konstitusional, eksema fluksoral,

neurodermatitis deseminata, prurigo Besnien dan eksema atopi. (2,4)

1.2 Epidemiologi

Belakangan ini prevalensi DA makin meningkat dan hal ini

merupakan masalah besar karena terkait bukan saja dengan

kehidupan penderita tetapi juga melibatkan keluarganya. Di Amerika

Serikat, Eropa, Jepang, Australia dan Negara-negara industri lainnya,

prevalensi DA pada anak mencapai 10 – 20 persen, sedangkan pada

dewasa 1 – 3 persen. Di Negara agraris, prevalensi ini lebih rendah.

Perbandingan wanita dan pria adalah 1,3:1. (3)

DA cenderung diturunkan. Bila seorang ibu menderita atopi

maka lebih dari seperempat anaknya akan menderita DA pada 3 bulan

pertama. Bila salah satu orang tua

menderita atopi maka lebih separuh anaknya menderita alergi sampai

usia 2 tahun dan bila kedua orang tua menderita atopi, angka ini

meningkat sampai 75 persen (3).

1.3 Etiologi

Penyebab dermatitis atopi belum diketahui. Sekitar 70% penderita ditemukan

riwayat stigmata atopi pada pasien atau anggota keluarga, yaitu berupa ; (4,5)

1. Rhinitis alergika, asma bronkhiale, hay fever

2. Alergi terhadap berbagai alergen protein (polivalen)

3. Pada kulit : Dermatitis atopi, dermatografisme putih dan kecenderungan

timbul urtikaria.

4. Reaksi abnormal terhadap perubahan suhu (panas dan dingin) dan stress.

5. Resistensi menurun terhadap infeksi virus dan bakteri.

6. Lebih sensitif terhadap serum dan obat.

7. Kadang-kadang terdapat katarak juvenelis.

1.4 Patogenesis

Penyakit ini dipengaruhi multifaktorial, seperti faktor genetik,

imunologik, lingkungan, sawar kulit dan farmakologik. Konsep dasar

terjadinya DA adalah melalui reaksi imunologik.(3)

Faktor Genetik

DA adalah penyakit dalam keluarga dimana pengaruh maternal

sangat besar. Walaupun banyak gen yang nampaknya terkait dengan

penyakit alergi, tetapi yang paling menarik adalah peran Kromosom 5

q31 – 33 karena mengandung gen penyandi IL3, IL4, IL13 dan GM – CSF

(granulocyte macrophage colony stimulating factor) yang diproduksi

oleh sel Th2. Pada ekspresi DA, ekspresi gen IL-4 juga memainkan

peranan penting. Predisposisi DA dipengaruhi perbedaan genetik

aktifitas transkripsi gen IL-4. Dilaporkan adanya keterkaitan antara

polimorfisme spesifik gen kimase sel mas dengan DA tetapi tidak

dengan asma bronchial ataupun rinitif alergik. Serine protease yang

diproduksi sel mas kulit mempunyai efek terhadap organ spesifik dan

berkontribusi pada resiko genetik DA.(3)

Respons imun pada kulit

Salah satu faktor yang berperan pada DA adalah faktor

imunologik. Di dalam kompartemen dermo-epidermal dapat

berlangsung respon imun yang melibatkan sel Langerhans (SL)

epidermis, limfosit, eosinofil dan sel mas. Bila suatu antigen (bisa

berupa alergen hirup, alergen makanan, autoantigen ataupun super

antigen) terpajan ke kulit individu dengan kecenderungan atopi, maka

antigen tersebut akan mengalami proses : ditangkap IgE yang ada

pada permukaan sel mas atau IgE yang ada di membran SL epidermis.

(3)

Bila antigen ditangkap IgE sel mas (melalui reseptor FcεRI), IgE

akan mengadakan cross linking dengan FcεRI, menyebabkan degranulasi

sel mas dan akan keluar histamin dan faktor kemotaktik lainnya.

Reaksi ini disebut reaksi hipersensitif tipe cepat (immediate type

hypersensitivity). Pada pemeriksaan histopatologi akan nampak

sebukan sel eosinofil. Selanjutnya antigen juga ditangkap IgE, sel

Langerhans (melalui reseptor FcεRI, FcεRII dan IgE-binding protein),

kemudian diproses untuk selanjutnya dengan bekerjasama dengan

MHC II akan dipresentasikan ke nodus limfa perifer (sel Tnaive) yang

mengakibatkan reaksi berkesinambungan terhadap sel T di kulit, akan

terjadi diferensiasi sel T pada tahap awal aktivasi yang menentukan

perkembangan sel T ke arah TH1 atau TH2. Sel TH1 akan mengeluarkan

sitokin IFN-γ, TNF, IL-2 dan IL-17, sedangkan sel TH2 memproduksi IL-4,

IL-5 dan IL-13. Meskipun infiltrasi fase akut DA

didominasi oleh sel TH2 namun kemudian sel TH1 ikut berpartisipasi.(3)

Jejas yang terjadi mirip dengan respons alergi tipe IV tetapi

dengan perantara IgE sehingga respons ini disebut IgE mediated-delayed

type hypersensitivity. Pada pemeriksaan histopatologi nampak sebukan sel

netrofil. Selain dengan SL dan sel mas, IgE juga berafinitas tinggi

dengan FcεRI yang terdapat pada sel basofil dan terjadi pengeluaran

histamin secara spontan oleh sel basofil. Garukan kronis dapat

menginduksi terlepasnya TNF α dan sitokin pro inflamasi epidermis

lainnya yang akan mempercepat timbulnya peradangan kulit DA.

Kadang-kadang terjadi aktivasi penyakit tanpa rangsangan dari luar

sehingga timbul dugaan adanya autoimunitas pada DA.(3)

Pada lesi kronik terjadi perubahan pola sitokin. IFN-γ yang

merupakan sitokin Th1 akan diproduksi lebih banyak sedangkan kadar

IL-5 dan IL-13 masih tetap tinggi. Lesi kronik berhubungan dengan

hiperplasia epidermis. IFN dan GM-CSF mampu menginduksi sel basal

untuk berproliferasi menghasilkan pertumbuhan keratinosit epidermis.

Perkembangan sel T menjadi sel TH2 dipacu oleh IL-10 dan

prostaglandin (P6) E2. IL-4 dan IL-13 akan menginduksi peningkatan

kadar IgE yang diproduksi oleh sel B.(3)

Respons sistemik

Perubahan sistemik pada DA adalah sebagai berikut: (3)

- Sintesis IgE meningkat.

- IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat.

- Ekspresi CD23 pada sel B dan monosit meningkat.

- Respons hipersensitivitas lambat terganggu

- Eosinofilia

- Sekresi IL-4, IL-5 dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat

- Sekresi IFN-γ oleh sel TH1 menurun

- Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.

- Kadar CAMP-Phosphodiesterase monosit meningkat disertai peningkatan

IL-13

dan PGE2

Sawar kulit

Umumnya penderita DA mengalami kekeringan kulit. Hal ini

diduga terjadi akibat kadar lipid epidermis yang menurun, trans epidermal

water loss meningkat, skin capacitance (kemampuan stratum korneum

meningkat air) menurun. Kekeringan kulit ini mengakibatkan ambang

rangsang gatal menjadi relatif rendah dan menimbulkan sensasi untuk

menggaruk. Garukan ini menyebabkan kerusakan sawar kulit sehingga

memudahkan mikroorganisme dan bahan iritan/alergen lain untuk

melalui kulit dengan segala akibat-akibatnya.(3)

Faktor lingkungan

Peran lingkungan terhadap tercetusnya DA tidak dapat dianggap

remeh. Alergi makanan lebih sering terjadi pada anak usia <5 tahun.

Jenis makanan yang menyebabkan alergi pada bayi dan anak kecil

umumnya susu dan telur, sedangkan pada dewasa sea food dan kacang-

kacangan. Tungau debu rumah (TDR) serta serbuk sari merupakan

alergen hirup yang berkaitan erat dengan asma bronkiale pada atopi

dapat menjadi faktor pencetus DA. 95% penderita DA mempunyai IgE

spesifik terhadap TDR. Derajat sensitisasi terhadap aeroalergen

berhubungan langsung dengan tingkat keparahan DA. Suhu dan

kelembaban udara juga merupakan faktor pencetus DA, suhu udara

yang terlampau panas/dingin, keringat dan perubahan udara tiba-tiba

dapat menjadi masalah bagi penderita DA. Hubungan psikis dan

penyakit DA dapat timbal balik. Penyakit yang kronik residif dapat

mengakibatkan gangguan emosi. Sebaliknya stres akan merangsang

pengeluaran substansi tertentu melalui jalur imunoendokrinologi yang

menimbulkan rasa gatal. Kerusakan sawar kulit akan mengakibatkan

lebih mudahnya mikroorganisme dan bahan iritan (seperti sabun,

detergen, antiseptik, pemutih, pengawet) memasuki kulit. (3)

1.5 Manifestasi Klinis

Gejala utama dari dermatitis atopi adalah gatal (pruritus). Akibat garukan akan

terjadi berbagai kelainan kulit seperti likenifikasi dan lesi eksematosa berupa eritem,

papula-vesikuler, erosi, eksoriasi dan krusta. (1)

Berdasarkan golongan umur, morfologi dan lokalisasi dermatitis atopi dapat

dibagi dalam 3 bentuk klinis yaitu : (1,2,4,6)

1. Bentuk Infantil (2 bulan – 2 tahun)

Paling sering terjadi pada umur 2 – 6 bulan. Lesi mulai timbul di muka (pipi dan

dahi) dan skalp, dapat pula mengenai tempat lain yaitu badan leher, lengan dan

tungkai. Lesi yang timbul beruap eritem dan papulovesikuler miliar yang sangat

gatal, berbatas tegas. Karena garukan akan menjadi erosi, eksoriasi dan krusta.

Tempat predileksi yaitu pada kedua pipi (milk eksema), lipatan siku, lipatan lutut

dan biasanya simetris.

2. Bentuk Anak ( 3 – 10 tahun)

Dapat merupakan kelanjutan dari bentuk infantil atau timbul sendiri. Lesi

biasanya kering (tidak eksudatif), batas tegas, karena garukan timbul eksoriasi

memanjang, hiperkeratosis, hiperpigmentasi dan kadang hipopigmentasi. Tempat

predileksi yaitu pada tengkuk, lipatan siku dan paha, pergelangan tangan dan kaki,

jarang mengenai muka.

3. Bentuk Dewasa (13 – 30 tahun)

Lesi kulit selalu kering, sukar berkeringat, ambang rasa gatal sangat rendah

sehingga bila penderita berkeringat merasa sangat gatal. Kelainan kulit berupa

likenifikasi, papul, eksoriasi dan krusta. Tempat predileksi dimuka (dahi, kelopak

mata dan perioral), leher, dada bagian atas, lipaatan siku dan lutut, punggung

tangan, biasanya simetris.

Kelainan lain yang biasanya menyertai dermatitis atopi adalah xerosis

kutis, iktiosis, hiperlinearis palmaris et plantaris, pomfoliks, pitriasis alba, keratosis

pilaris, lipatan Dennie Morgan, penipisan alis bagian luar, katarak sub kapsularis

anterior, lidah geografik, liken spinularis dan keratokonus. (1)

1.6 Pemeriksaan Penunjang (1,2)

- Pada pemeriksaan darah perifer ditemukan eosinofilia dan peningkatan kadar Ig E

- Dermatografisme putih (+)

Pada kulit normal jika digores akan menimbulkan 3 respon yaitu ;

1. Garis merah pada tempat yang di gores selama 15 detik

2. Warna merah menjalar ke daerah sekitar garis selama beberapa detik

3. Timbul edem setelah beberapa detik

Pada pasien dengan dermatitis atopi penggoresan pada kulit tidak akan menimbulkan

kemerahan sekitar garis, melainkan kepucatan selama 2 detik sampai 5 menit dan edem

tidak timbul. Keadaan ini disebut dermatografisme putih

- Pada pemberian suntikan asetil kolin secara intra kutan 1/5000 akan menyebabkan

hiperemia pada orang normal. Pada pasien dermatitis atopi akan timbul vasokontriksi,

terlihat kepucatan selama 1 jam.

- Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi, eritem akan berkurang. Bila disuntikkan

secara parenteral tampak eritem bertambah pada kulit yang normal.

1.7 Diagnosa

Untuk dapat menegakkan diagnosa dermatitis atopi secara praktis dapat dilakukan

hanya berdasarkan anamnesa dan gejala klinis. Namun demikian terdapat kriteria

dermatitis atopi menurut Hanifin dan Rajka yaitu : (1,4,6, 7)

Harus terdapat :

1. Pruritus

2. Morfologi dan distribusi khas

3. Cenderung kronis dan

kambuh

Ditambah 2 atau lebih (kriteria

mayor) :

1. Riwayat atopi pada keluarga

2. Tes kulit tipe cepat reaktif

3. Dermatografisme putih (+)

4. Katarak sub kapsular anterior

Ditambah 4 atau lebih (kriteria minor)

1. Xerosis /iktiosis/hiperlinier

palmaris

2. Pitriasis alba

3. Keratosis piliaris

4. Kepucatan fasial

5. Tanda Dennie Morgan

6. Peningkatan Ig E

7. Keratokonus

8. Kecenderungan mendapat

dermatitis non spesifik di tangan

9. Kecenderungan infeksi kulit

berulang

1.8 Diagnosa Banding

Diagnosa banding bentuk infantil adalah dermatitis seboroika, pada bentuk anak

dan dewasa adalah neurodermatitis sirkumkripta dan dermatitis kontak alergika. (1,4)

1.9 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan seperti pada dermatitis umumnya, terutama menghindari faktor

pencetus/ faktor predisposisi. Pengobatan yang bersifat kuratif belum diketahui secara

pasti. Yang penting adalah mencegah agar pasien tidak menggaruk agar tidak terjadi

infeksi sekunder. Dianjurkan menggunakan sabun yang banyak mengandung lemak,

minyak mineral dan minyak pelumas. Pada bayi pembatasan diet dapat membantu

(jangan memberi minum air jeruk dan susu sapi), tapi hal ini tidak efektif pada bentuk

anak dan dewasa.(1,5)

Pengobatan sistemik bertujuan untuk mengurangi rasa gatal dan mencegah gelisah

yaitu dengan memberikan antihistamin seperti Chlorpheniramine maleat, prometazin,

hydroxyzin. Jika sangat gatal dapat diberikan klorpromazin. Bila mengalami infeksi

sekunder dapat diberikan antibiotik eritromisin. Untuk kortikosteroid sistemik tidak di

anjurkan kecuali bila kelainan luas atau hanya pada kasus eksaserbasi akut dapat

diberikan kortikosteroid jangka waktu pendek (7-10 hari) mengingat efek samping

osteoporosis dan katarak(1,5,8)

Pengobatan topikal diberikan bila terdapat eksudatif berat atau stadium akut.

Pada bayi dapat diberikan kompres terbuka denagn menggunakan larutan asam salisil

1/1000 atau kalium permanganas 1/10.000. setelah kelainan kering dilanjutkan dengan

hidrokortison krim 1-2%. Pada anak dan dewasa tidak menggunakan kompres karena

kelinan kulit kering melainkan menggunakan salep karena daya penetrasi salep lebih

baik. Salep kortikosteroid dapat dipilih, dan untuk meningkatkan daya penetrasi dapat

ditambahkan dengan asam salisilat 3-5% pada kortikosteroid topikal. Obat lain yang

dapat digunakan adalah likuor karbonas detergen 2-5% atau ter, berkhasiat vasokontriksi,

desinfeksi, antipruritus dan memperbaiki keratinisasi abnomal dengan cara mengurangi

proliferasi epidermal dan infiltrasi dermal. Efek samping penggunaan ter yang lama

adalah folikulitis dan fotosensitisasi. Ter dapat dikombinasi dengan kortikosteroid

topikal. Obat lain juga bisa dengan urea 10% membuat kulit lemas, hidrofilik,

antibakterial dan dapat dikombinasi dengan kortikosteroid topikal.(1)

Antihistamin. AH1 berefek menghambat efek histamin pada pembuluh darah,

bronkus dan bermacam otot polos, selain itu bermanfaat untuk mengobati reaksi

hipersensitivitas atau kelainan lain yang disertai pelepasan endogen berlebihan.

Efektivitas histamin melawan reaksi hipersensitivitas tergantung pada beratnya gejala

akibat histamin. Efek perangsangan histamin terhadap sekresi cairan lambung tidak

dapat dihambat oleh AH1, namun AH1 dapat menghambat sekresi saliva dan sekresi

kelenjar eksokrin lain akibat histamin. Terhadap susunan saraf pusat (SSP) AH1 mampu

menghambat maupun merangsang. Efek perangsangan biasanya terjadi pada keracunan

AH1, efek perangsangan tersebut dapat berupa eksitasi dan gelisah. Sedangkan efek

penghambatan berupa rasa kantuk, namun kepekan masing-masing pasien berbeda-beda.

AH1 terbaru yang tidak menembus sawar darah otak adalah terfenadin, loratadin dan

astemizol (golongan AH1 non sedatif). AH1 juga efektif untuk mengatasi mual dan

muntah akibat peradangan labirin atau sebab lain. (1,8)

Korikosteroid Topikal berefek sebagai anti inflamasi, anti pruritus, anti mitotik,

anti alergi dan vasokontriksi. Ada 7 golongan berdasarkan daya anti inflamasi dan anti

mitotiknya, dimana golongan I sangat kuat dan golongan VII paling lemah.

Pemilihannya berdasarkan kesesuaian, aman, efek samping minimal, murah dan

disesuaikan faktor jenis penyakit kulit, luas lesi, dalamnya lesi, stadium lesi, lokalisasi

serta umur penderita. Sedangkan aplikasinya sebaiknya 2-3 kali/hari sampai gejala

sembuh dan hati-hati dengan gejala takifilaksis yaitu menurunnya respon kulit terhadap

glukokortikoid karena pemberian obat berulang-ulang berupa toleransi akut yang berarti

efek vasokontriksinya akan menghilang setelah diistirahatkan beberapa hari efek

vasokontriksinya akan timbul kembali dan akan menghilang bila obat tetap dilanjutkan.

Adapun lama penggunaan sebaiknya tidak boleh lebih dari 4-6 minggu untuk yang lemah

sedangkan untuk yang kuat tidak boleh lebih dari 2 minggu. Efek samping terjadi bila

digunakan lama dan berlebihan, serta menggunakan kortikosteroid secara oklusif. Makin

tinggi potensialnya makin cepat efek sampingnya. Gejala dari efek samping yang terjadi

adalah : (1,6)

1. Atropi

2. Strieatrofise

3. Telangiektasis

4. Purpura

5. Dermatosis akneformis

6. Hiperkeratosis setempat

7. Hipopigmentasi

8. Dermatitis perioral

9. Menghambat penyembuhan ulkus

10. infeksi mudah terjadi dan meluas

11. Gambaran klinis penyakit infeksi menjadi kabur

Untuk mencegah efek samping tersebut dapat dimulai dengan dosis yang

dianjurkan tidak lebih dari 30 gram sehari tanpa oklusi, jika menggunakan cara oklusi

jangan lebih dari 12 jam. Pada bayi, mempunyai kulit tipis maka gunakan kortikosteroid

topilkal golongan lemah, begitu pula pada kasus akut. Pada sub akut dipakai yang

potensi sedang dan pada yang kronis dan tebal dipakai kortikosteroid golongan kuat, dan

bial telah membaik diturunkan frekuensinya menjadi 1 kali sehari atau diganti potensi

sedang/lemah. Pada wajah dan lipatan gunakan golongan sedang/lemah, serta jangan

digunakan pada infeksi bakterial, mikotik, virus dan skabies. Hati-hati sekitar mata untuk

mencegah katarak dan glaukoma. (1,9)

1.10 Prognosis

Penderita dermatitis atopi yang bermula sejak bayi, sebagian (40%) dapat sembuh

secara spontan, sebagian berlanjut ke bentuk anak dan dewasa. Ada pula yang

menyatakan bahwa 40-50% sembuh pada usia 15 tahun, sebagian besar sembuh pada usia

30 tahun. Secara umum bila ada riwayat dermatitis atopi di keluarga bersamaan denagn

asma bronkhial, masa awitan lambat atau dermatitisnya akan semakin berat maka

penyakitnya akan lebih persisten. (1,6)

BAB II

SIMULASI KASUS

2.1. Kasus

Anamnesa

Nn. Riana, usia 25 tahun, pekerjaan pegawai BKD. Alamat Jl. Sinar No. 112,

datang dengan keluhan gatal-gatal. Gatal-gatal muncul sejak 2 hari yang lalu

dengan adanya bintil-bintil kecil muncul di tengkuk, leher, lipatan siku, belakang

lutut dan pinggang. Bintil-bintil tidak berisi cairan. 2 hari yang lalu penderita

mendapat kiriman ikan peda dari orang tuanya, dan mengkonsumsi dalam jumlah

cukup banyak, karena biasanya tidak gatal-gatal bila makan ikan peda. Penderita

hanya gatal-gatal bila makan ayam ras dan udang. Pasien sudah makan CTM dan

pakai bedak salisil, tapi masih gatal-gatal lagipula di kantor menjadi mengantuk.

Dalam keluarga ada riwayat gatal-gatal yang sama (saudara), asma (ibu), dan pilek

bila pagi (nenek).

Pemeriksaan

Tanda vital : TD = 110/70 mmHg

N = 88 x/’

t = 37,5o C

RR = 20 x/’

Pemeriksaan fisik :

Kulit : tengkuk, leher, fossa cubiti, fossa poplitea, sekitar pinggang nampak papul-

papul yang tersebar, tidak basah dan ada bekas garukan.

Kepala, thorax, abdomen dan ekstremitas : tidak ada kelainan

Tes dermatografisme putih : positif

Diagnosa : Dermatitis atopik

2.2. Tujuan Pengobatan

- Kausatif belum diketahui dengan pasti namun konsep dasar

terjadinya Dermatitis Atopi adalah melalui reaksi

imunologik

- Mengatasi simptomatik dengan anti histamin, anti radang dan

anti pruritus.

2.3. Daftar Kelompok Obat beserta Jenisnya8

Kelompok Obat Jenis Obat Contoh1. Antihistamin Etanolamin - Difenhidramin

- Dimenhidrinat- Karbinosamin maleat

Etilendiamin - Tripelenamin HCl- Tripenelamin sitrat- Pirilamin maleat

Alkilamin - Brofeniramin maleat- Klorfeniramin maleat- Dekstroeniramin maleat

Piperazin - Klorsisiklin HCl- Siklizzin laktat- Meklizin HCl- Hidroksizin HCl

Fenotiazin - Prometazin HCl- Metdilazin HCl

Piperidin ( AH non sedatif) - Terfenadin- Astemizol- Loratadin

2. Anti pruritus antipruritus - Acid salicyl- Kalamin

2.4 Perbandingan Kelompok Obat beserta Jenisnya

Terapi SimptomatisKelompok/Jenis

ObatKhasiat (Efek) Keamanan BSO

(Efek Samping Obat)

Kecocokan (Kontra Indikasi

BSO)Etanolamin Antikolinergis dan

sedatif kuatSedasi Jangan diberikan

pada pasien yang

EtilendiaminPropilaminAlkilaminPiperaziFenotiazin

Piperidin

AntihistaminAntihistaminAntihistaminAntihistaminAntihistamin

Antihistamin non sedasi

Sedatif ringanLong actingLong actingLong actingAntihistamin dan antikolenergik tidak terlalu kuat, meredakan batukNon sedatif yang berefek anti alergi

mengalami serangan asma akut, glaukoma, kesulitan mengosongkan kandung kencing, bayi dan ibu menyususi, hipersensitiv.

Hipersensitivitas

Asam salisilat Biang keringat, gatal karena udara panas, antiseptik kulit, astringent dan gatal karena gigitan serangga dan ruam popok pada bayi

Caladine Gangguan pada kulit yang gatal karena terik matahari, biang keringst, gigitan serangga,astringent dan alergi kulit

2.5 Pilihan dan Alternatif Obat Yang Digunakan sebagai Antihistamin10

Uraian Obat pilihan Obat alternativeNama Obat Loratadin TerfenadinNama Generik, nama paten, kekuatan

Generik : Loratadin (tab. 10 mg;kaptabs 10 mg;Sirup 1 mg/ml, 5 mg/5 ml) ).

Generik : Terfenadin Suspensi : 30 mg/5 mlTablet : 60 mg

Paten : Alernitis (tablet 10 mg), Allohex (tablet 10 mg, sirup 5 mg/5 ml), Alloris (tablet 10 mg, sirup 5 mg/5 ml)

Paten : Alpenaso (tablet 60 mg), Arisdan (tablet 60 mg), Forrhin ( tablet 60 mg)

BSO yang diberikan Tablet sesuai keadaan penderita Tablet sesuai keadaan penderita

Dosis referensi 10 mg/hari. Anak : 2- 12 tahunDibawah 30 kg : 5 mg/hariDiatas 30 kg : 10 mg/hari

Alergi kulit : 120 mg/hari dosis tunggal atau dosis terbagi dua.Anak : 3-6 tahun: 15 mg 2 kali per hari;6-12 tahun: 30 mg 2 kali per hari

Dosis kasus tersebut dan alasannya

1 tablet/hari ( 10 mg/hari) karena pasien sudah dewasa (25 tahun)

2 tablet/ hari ( 120 mg/ hari)

Frekuensi pemberian dan alasan

1 kali/hari bisa diberikan kapan saja karena merupakan antihistamin non sedative (tidak menyebabkan ngantuk)

2 kali/hari karena sesuai dengan waktu paruhnya 12-24 jam

Cara pemberian Peroral, sesuai keadaan penderita Peroral, sesuai keadaan penderita

Saat pemberian dan alasannya

Sebelum makan karena dipengaruhi oleh makanan

Sebelum makan karena dipengaruhi oleh makan

Lama pemberian 5 hari jika gatal masih ada 5 hari jika gatal masih ada

2.6 Obat Pilihan dan Alternatif yang digunakan sebagai Antipruritus10

Uraian Obat Pilihan Obat AlternatifNama obat Acid salicylat KalaminNama generik dan nama paten dan kekuatannya

Generik: Bedak Salicyl 100 gPaten : Yod saben 100 gram

Generik : tidak adaPaten : Caladine

BSO yang diberikan dan alasannya

Bedak tabur karena lebih mudah cara penggunaannya

Bedak tabur karena lebih mudah cara penggunaannya

Dosis referensi Dosis pada kasus tersebut dan alasannyaFrekuensi pemberian 3-4 x/hari pada kulit yang

gatal2x/ hari

Cara pemberian dan alasannya

Ditaburkan pada tempat yang gatal

taburkan pada tempat yang gatal

Saat pemberian dan alasannya

Setelah mandi atau bila berkeringat

Setelah mandi pagi dan sore hari

Lama pemberian 5 – 7 hari jika gatal masih ada 5 -7 hari jika gejala gatal masih ada

2.7 Resep yang Benar dan Rasional untuk Kasus Tersebut

Resep obat pilihan

dr. Xania

SIP 9050/06/AR/2011

Alamat rumah Alamat Praktek

Jl. Gatot Subroto Jl. S. Parman No.40

Banjarmasin Banjarmasin

Banjarmasin, 23 Februari 2011

R/ Loratadin tab 10 mg No.V

S 1dd tab I p.c o.n

R/ Salycilat talc 100 mg No. I

S prn 4 dd pulv.adsp (pruritus)

Pro : Nn. Riana

Umur : 25 tahun

Alamat : Jl. Sinar No. 112 Banjarbaru

Resep obat Alternatif

dr. Xania

SIP 9050/06/AR/2011

Alamat rumah Alamat Praktek

Jl. Gatot Subroto Jl. S. Parman No.40

Banjarmasin Banjarmasin

Banjarmasin, 23 Februari 2011

R/ Terfenadin tab. 60 mg No.X

S 2 dd tab I a.c o.n

R/ Caladine talc 100 g No. I

S prn 2dd m.et.v ue (pruritus)

Pro : Nn. Riana

Umur : 25 tahun

Alamat : Jl. Sinar No. 112 Banjarbaru

2.8 Pengendalian Obat

Pada kasus ini dilakukan pengendalian obat dengan cara memperhatikan dosis,

lama pemberian dan efek samping dari obat yang diberikan. Penentuan dosis obat telah

disesuaikan dengan aturan dosis untuk orang dewasa.

Pengobatan dalam kasus ini dibagi menjadi 2 terapi simptomatik yaitu

antihistamin dan antipruritus. Karena terapi kausatif pada kasus dermatitis ini masih

belum diketahui secara pasti. Hanya dengan cara memberikan informasi kepada pasien

untuk menghindari faktor predisposisi/pencetus seperti

- Menghindarkan pemakaian bahan-bahan iritan (deterjen, alkohol,

astringen, pemutih, dll)

- Menghindarkan suhu yang terlalu panas dan dingin, kelembaban

tinggi.

- Menghindarkan aktifitas yang akan mengeluarkan banyak keringat.

- Menghindarkan makanan-makanan yang dicurigai dapat

mencetuskan DA.

- Melakukan hal-hal yang dapat mengurangi jumlah TDR/agen

infeksi, seperti menghindari penggunaan kapuk/karpet/mainan

berbulu.

- Menghindarkan stres emosi.

- Mengobati rasa gatal.

Prinsip utama pada pengobatan atopi adalah mencegah agar pasien tidak

menggaruk sebab akan memperberat kelainan kulit sehingga dapat menyebabkan

terjadinya infeksi sekunder. Sedangkan pengobatan simptomatik diindikasikan untuk

mengatasi rasa gatal. Pemberian dilakukan hanya bila gejala gatal timbul. Dimana disini

dipilih loratadin sebagai antihistamin karena merupakan antihistamin non sedatif yang

tidak akan menyebabkan mengantuk sehingga tidak mengganggu aktifitas (kerja).

Pemberian obat antihistamin diberikan selama 3-5 hari karena pengobatannya hanya

bersifat simptomatis yaitu selama gejala gatal masih ada. Penggunaan bedak salisyl

adalah sebagai terapi tambahan untuk antipruritus karena kandungan asam salisilat pada

bedak salicyl akan menambah efek/daya kerja dari kortikosteroid yang bersifat

keratolitik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda Suria et Sularsito Sri Adi. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 1999.

2. Hassan, Rusepno. Dermatitis Atopi dalam Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Infomedika. Jakarta, 1998.

3. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Informasi Obat Nasional Indonesia. Departemen Kesehatan RI. Jakarta, 2000

4. Lorraine M Wilson, Sylvia. Ekzema dan gangguan Vaskuler dalam Patofisiologi Penyakit. EGC. Jakarta, 2006.

5. Mansjoer Arif. Dermatitis Atopi dalam Kapita Selekta Jilid 2 edisi III. Media Aesculaplus. FKUI, Jakarta, 2001.

6. Siregar, RS. Pioderma dalam Saripati Penyakit Kulit Edisi II. EGC, Jakarta. 2005.

7. Ardhie AM. Dermatitis Dan Peran Steroid Dalam Penanganannya. Klinik Kulit dan Kelamin RASB Harapan Kita Jakarta. DEXA MEDIA. No. 4, Vol. 17,2004.

8. Ganiswara, Sulistia. Antihistamin dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi. IV. FKUI, Jakarta, 2001.

9. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Informasi Obat Nasional Indonesia. Departemen Kesehatan RI. Jakarta, 2000

10. Seto, Sagung. Informatorium Obat Nasional Indonesia 2008. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2008