DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE
Transcript of DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE
GAMBARAN UMUM
DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE
PENULIS:
dr. NI KETUT SRI DINIARI, SpKJ (K)
DIVISI PSIKIATRI GERIATRI DEPARTEMEN PSIKIATRI
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena
atas karunia-Nya tinjauan pustaka ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Dalam
penyusunan tinjauan pustaka ini, penulis banyak memperoleh bimbingan-bimbingan, serta
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. dr. Luh Nyoman Alit Aryani, SpKJ(K), selaku Koordinator Program Studi Ilmu Kedokteran
Jiwa FK UNUD
2. dr. Ni Ketut Putri Ariani, SpKJ, selaku Kepala Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa FK
UNUD/ RSUP Sanglah Denpasardan yang selalu memberi semangat dan masukan dalam
pembuatan tinjuan pustaka ini.
4.Seluruh staf dosen pada Bagian/KSM Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah
Denpasar yang juga sudah memberikan dukungan baik berupa ide, bahan referensi, dan
dorongan moril dalam penulisan tinjauan pustaka ini.
5. Semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu, atas bantuan dan dukungan dalam
penyusunan tinjauan pustaka ini
Akhir kata penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih jauh dari sempurna
sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran, dan atas perhatiannya penulis mengucapkan
terima kasih.
Denpasar, Agustus 2018
Dr. N.K. SRI DINIARI, SpKJ (K)
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. ii
DAFTAR TABEL .................................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................ iv
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................................... v
BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 4
2.1 Epidemiologi Depresi Pada Perimenopause ................................................................................. 4
2.2 Definisi Depresi ............................................................................................................................ 6
2.3 Definisi Perimenopause .............................................................................................................. 13
2.4 Perubahan Hormonal pada Menopause ....................................................................................... 18
2.4.1 Vasomotor symptoms (VMS) .............................................................................................. 19
2.4.2 Perubahan Tidur ................................................................................................................... 20
2.4.3 Kekeringan vagina ............................................................................................................... 21
2.4.4 Gangguan Mood ................................................................................................................... 21
2.5 Depresi Pada Perimenopause ...................................................................................................... 23
2.5.1 Faktor Resiko Depresi Pada Perimenopause........................................................................ 26
2.5.2 Kualitas Hidup pada masa Perimenopause .......................................................................... 31
2.5.3 Penatalaksanaan Depresi Pada Perimenopause .................................................................... 31
BAB III. SIMPULAN .............................................................................................................. 39
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 40
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Gejala-gejala depresi .................................................................................................... 6
Tabel 2. Kriteria Diagnosa MDD berdasar DSM-5 ................................................................... 7
Tabel 3. Faktor resiko depresi . ................................................................................................ 12
Tabel 4. Alat Ukur Pemeriksaan MDD................................................................................... 13
Tabel 5. Nomenkelatur STRAW untuk fase menopause ........................................................ 18
Tabel 6. Prinsip Penanganan MDD secara Klinis ................................................................... 32
Tabel 7. Fase Terapi MDD ..................................................................................................... 33
Tabel 8. Penatalaksanaan Depresi pada Perimenopause ......................................................... 34
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. HPA axis ................................................................................................................ 11
Gambar 2. Perubahan Kadar Hormon Wanita ( Estrogen) (Karaoulanis, et al., 2012). .......... 14
Gambar 3. Tahapan Transisi Menopause (Zhou et al., 2012). ................................................. 17
Gambar 4. Kuesioner MRS (Mauas, Kopala-Sibley and Zuroff, 2014). ................................. 23
Gambar 5. Patofisiologi Depresi pada Perimenopause (Soares, 2010). ................................. 26
Gambar 6. Luaran penatalaksanaan depresi ............................................................................. 33
v
DAFTAR SINGKATAN
SWAN :Study of Women’s Health Across the Nation
VMS :Vasomotor sympthoms
MDD : Major depressive disorder
DSM -5 :Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fifth Edition
DSM –IV –TR: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fourth Edition, Text
Revision (DSM-IV-TR)
E2 :estradiol
HPA Aksis : hypothalamic-pituitary-adrenalaksis
MAO : monoamine oxidase
SSP : susunan saraf pusat
5-HT1 : 5-hydroxytryptamine
ESR1 : Estrogen Reseptor 1 (ESR1)
GABA : Gamma-Aminobutyric Acid
SSRIs : Selective serotonin reuptake inhibitors
SNRI : Selective serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors
GSM : genitourinaria menopause
HRT :Hormon Replacing Terapi
MRS :Menopause Rating Scale
NE : Norepinefrin
LC :locus cereolus
CRH :Corticotropine Releasing Hormone
BDI :Beck Depression Inventory
HAM-D :Hamilton Depression Rating Scale
ACTH :adrenocortocotropin-hormone
PST : Problem Solving Therapy
1
BAB I
PENDAHULUAN
Kasus bunuh diri sering terjadi beberapa tahun terakhir ini. Depresi berat
dianggap menjadi penyebab utama bunuh diri di seluruh dunia. Badan Kesehatan
Dunia (WHO) memperingati Hari Kesehatan Sedunia pada tanggal 7 April 2017
dengan memperingatkan bahwa depresi sebagai penyebab kesakitan dan kecacatan
utama yang berdampak pada 300 juta orang di seluruh dunia.Direktur Departemen
Kesehatan Mental dan Penyalahgunaan Obat-obatan WHO, Shekhar Saxena,
mengatakan depresi menjadi penyebab epidemi kematian akibat bunuh diri.Depresi
meningkat lebih dari 18 % antara tahun 2005 sampai 2015.
Perwujudan depresi di masyarakat dapat kita lihat pada kecenderungan
tingginya konflik di masyarakat, agresivitas di jalan raya, kekerasan dalam rumah
tangga, kesurupan massal baik di sekolah dan di pabrik-pabrik, meluasnya
penggunaan narkoba yang merupakan upaya pelarian dari tekanan jiwa, juga
maraknya kasus bunuh diri. Semua hal ini menunjukkan adanya depresi baik yang
bersifat individual atau perorangan, depresi yang bersifat massal maupun depresi
yang bersifat terselubung, makin serius di Indonesia. Hal itu memicu gangguan
kecemasan dan menjadi tanda awal depresi yang dapat menjadi keadaan patologis
atau keadaan yang semakin parah jika berlanjut.
Riset Kesehatan Dasar 2007 menyebutkan di Indonesia prevalensi
gangguan mental emosional pada penduduk berusia 15 tahun ke atas 11,6
persen.Gangguan mental emosional itu terutama adalah kecemasan dan depresi.
Prevalensi depresi global berkisar 5-10 persen dan angka di Indonesia tak jauh
berbeda. Prevalensi 5-10 persen itu sudah besar dan sudah bisa menjadi masalah
2
masyarakat. Jika penduduk Indonesia 220 juta jiwa, maka mencapai 11-22 juta
jiwa.
Seorang wanita melalui berbagai tahap kehidupan mulai dari pubertas,
menstruasi, kehamilan, hingga menopause, yang tidak lepas dari peran hormon
estrogen. Menopause adalah tahap akhir dari siklus kehidupan wanita yang ditandai
dengan berakhirnya siklus menstruasi. Ada beberapa tahapan yang dialami wanita
sebelum mengalami menopause.Perimenopause merupakan fase transisi menuju
menopause yang dimulai sebelum menopause terjadi. Fase perimenopause
menimbulkan dampak fisik maupun psikologis pada seorang wanita. Dampak
psikologisnya bisa berupa gejala depresi seperti kecemasan berlebihan, paranoid,
mudah marah dan tersinggung oleh hal-hal sepele, merasa dirinya adalah beban,
sedih berlebihan, tertekan, dan selalu berpikiran negatif hingga sulit tidur.
Beberapa tahun terakhir, media sosial dihebohkan dengan meme bertema
“The power of emak-emak”. Ibu atau mak yang biasanya digambarkan lemah
lembut dan penyayang belakangan menjelma menjadi sosok perkasa, berkuasa, dan
terkadang agresif. Hal tersebut mungkin terkait dengan depresi yang dialami oleh
wanita.
Beberapa penelitian menemukan kecenderungan seorang wanita pada fase
perimenopause mengalami depresi. Perimenopause digambarkan sebagai fase
dengan banyak masalah antara lain merasakan pergeseran dan perubahan dan psikis
yang mengakibatkan timbulnya satu krisis dan simptom-simptom psikologis yang
akan mempengaruhi kualitas hidup pada wanita.
3
Tinjauan pustaka ini akan membahas tentang psikodinamika terjadinya
depresi pada perimenopause dan penatalaksanaannya. Hal tersebut bertujuan agar
deteksi dini gejala depresi pada perimenopause dapat dilakukan secara rutin
sehingga kualitas hidup wanita pada fase perimenopause dapat ditingkatkan .
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi
Depresi adalah penyebab terbesar kecacatan di seluruh duniadengan
prevalensi 17 % mengalami gangguan depresi mayor dan wanita mempunyai
kemungkinan dua kali lebih banyak mengalamigangguan depresi mayor
dibandingkan laki-laki(OR: 1,7 ; interval kepercayaan 95%: 1.5-2.0)(Ali et al.,
2017).Wanita memiliki prevalensi mengalamimajor depressive disorder ( MDD )
sebesar 4,9% dibandingkan laki-laki (sebesar 2,8%) (MacQueen et al., 2016).The
Global Burden of Disease Study 2010 menemukan bahwa gangguan depresi
merupakan penyebab utama kedua kecacatan di seluruh dunia, dan MDD
bertanggung jawab atas 2,5% dari total beban penyakit di dunia. MDD dikaitkan
dengan penurunan produktivitas utama akibat bertambahnya waktu tunda kerja dan
juga masalah kesehatan (kehilangan produktivitas terkait penyakit saat bekerja).
Survei Kesehatan Mental WHO menemukan bahwa depresi menyumbang lebih dari
5% kehilangan produktivitas akibat penyakit akibat populasi(MacQueen et al.,
2016).
Faktor hormon reproduksi cenderung berkontribusi pada perbedaan jenis
kelamin dalam depresi, yang dimulai sekitar masa pubertas dan bertahan sampai
paruh baya. Pada beberapa wanita muncul kerentanan berkembang menjadi depresi
selama masa fluktuasi hormon, termasuk fase pramenstruasi dari siklus menstruasi,
periode postpartum, dan perimenopause. Fluktuasi estrogen dan progesteron
diketahui mempengaruhineurotransmiter terlibat dalam depresi, termasuk serotonin
dan norepinephrine(Kornstein, et al., 2010).
5
Di Amerika Serikat, 1,3 juta wanita mencapai menopause setiap
tahunnya.Diperkirakan bahwa ada 57 juta wanita di Amerika Serikat yang
setidaknya berumur 45 tahun; sekitar 6.000 di antaranya mengalami menopause
setiap hari. Usia onset natural menopause mungkin berbeda sedikit oleh ras dan
faktor lainnya, median usia onset adalah 47,5 tahun dan periode menstruasi terakhir
terjadi pada median usia 51,3 tahun pada wanita Kaukasia(Friedman et al., 2005).
Jumlah wanita menopause di Asia, menurut data WHO pada tahun 2025 melonjak
dari 107 juta jiwa akan menjadi 373 juta jiwa. Depkes RI (2005), memperkirakan
penduduk Indonesia pada tahun 2020 akan mencapai 262,6 juta jiwa dengan jumlah
wanita yang hidup dalam usia menopause sekitar 30,3 juta jiwa dengan usia rata-
rata 49 tahun yang mengalami menopause(Muniroh, 2013). Data BPS menunjukkan
bahwa 5.320.000 wanita Indonesia memasuki masa menopause per tahunnya(Putri
and Hamidah, 2012).
Sebagian besar wanita beralih ke masa menopause tanpa mengalami
masalah kejiwaan, diperkirakan 20% mengalami depresi selama
menopause(Kusumawardhani, 2006).Freeman dkk, 2004 dalamGibbs et al.,
2012menemukan wanita mengalami peningkatan skor depresi pada saat masa
perimenopause dan kemungkinan tiga kali lebih besar melaporkan gejala depresi
dibandingkan wanita pramenopause. Cohen et al. (2006) menemukan bahwa wanita
tanpa riwayat depresi berat yang mengalami hot flashes selama perimenopause
secara signifikan cenderung mengalami depresi dibandingkan wanita yang tidak
memasuki perimenopause (Gibbs, Lee, & Kulkarni, 2012).
6
2.2 Definisi Depresi
Depresi merupakan suatu sindrom gangguan mood yang ditandai dengan
sejumlah gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda pada masing -masing
individu. Bila manifestasi gejala depresi muncul dalam bentuk keluhan seperti
murung, sedih dan rasa putus asa maka diagnosis mudah ditegakkan. Tetapi bila
gejala depresi muncul dengan keluhan somatik( seperti nyeri kepala, nyeri ulu hati,
malas bekerja), depresi sering tidak terdiagnosis. Depresi berbeda dalam
manifestasi klinik, perjalanan penyakit, dan respon pengobatan berdasarkan berat
ringan gejala yang muncul dan kondisi medik lain/ gangguan psikiatrik lain sebagai
penyebab gangguan. Tabel 1 menampilkan beberapa gejala yang dapat muncul pada
pasien dengan gangguan depresi(Amir, 2016).
Tabel 1. Gejala-gejala depresi(Amir, 2016)
Kriteria diagnosis depresi berat ( MDD) dapat berdasarkan pada
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fifth Edition (DSM-5).
7
DSM-5, diperkenalkan pada tahun 2013, menyingkirkan kategori gangguan mood
yang luas dan mengklasifikasikan gangguan depresi secara terpisah dari gangguan
bipolar. Gejala mayor dan durasi dariMajor Depression Episode (MDE) DSM-5
tidak berubah dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fourth
Edition, Text Revision (DSM-IV-TR). Perubahan penting dalam DSM-5 mencakup
klasifikasi baru depresi kronis sebagai gangguan depresi persisten, yang terdiri dari
diagnosis DSM-IV-TR sebelumnya dari MDE kronis dan gangguan
distimia(MacQueen et al., 2016). Tabel2 memaparkan kriteria DSM-5 untuk
depresi(Lam et al., 2016)
Tabel 2. Kriteria Diagnosa MDD berdasar DSM-5(MacQueen et al., 2016)
8
Diagnosis depresi sesuai dengan katagori diagnosis Episode Depresif
menurut PPDGJ-III, adanya gejala utama ( pada derajat ringan, sedang dan
berat)ditandai dengan afek depresif, adanya kehilangan minat dan kesenangan yang
semula dinikmati dan berkurangnya energi yang menuju meningkatnyakeadaan
mudah lelah ( rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya
aktivitas. Disertai dengan gejala lainnya : konsentrasi dan perhatian berkurang,
harga diri dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang rasa bersalah dan tidak
berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan
membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu, nafsu makan terganggu.
Diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu atau bisa juga lebih pendek bila
gejala sangat berat, untuk penegakan diagnosis. Beberapa diantara gejala tersebut
mungkin mencolok dan memperkembangkan ciri khas yang dipandang secara luas
mempunyai makna klinis khusus yang disebut sebagai sindrom somatik. Biasanya
sindrom somatik ini hanya dianggap ada apabila terdapat empat (4) dari gejala
dijumpai. Contoh paling khas dari gejala somatik ini adalah :
1. Kehilangan minat atau kesenangan pada kegiatan yang biasanya
dapat dinikmati,
2. Tiadanya reaksi emosional terhadap lingkungan atau peristiwa yang
biasanya menyenangkan,
3. Bangun pagi lebih awal 2 jam atau lebih daripada biasanya,
4. Depresi yang lebih parah pada pagi hari,
5. Bukti obyektif dari retardasi atau agitasi psikomotor yang nyata (
disebutkan atau dilaporkan oleh orang lain),
6. Kehilangan nafsu makan yang mencolok,
9
7. Penurunan berat badan ( sering ditentukan sebagai 5% atau lebih
dari berat badan bulan terakhir),
8. Kehilangan libido secara mencolok.
Gangguan distimik adalah suatu kondisi penurunan mood atau anhedonia
kronik tanpa ciri psikotik. Pasien merasa sedih, sulit masuk tidur, merasa lebih baik
pada pagi hari ( khas), sangat sedih di sore dan malam hari, terlihat tanda-tanda
depresi. Kondisi tersebut berlangsung selama 2 tahun. Gangguan distimik sama
dengan MDD tetapi gejalanya lebih ringan. Sekitar 20% atau lebih pasien yang
mengalami MDD tidak sembuh sempurna dan secara kronik mengalami gejala sisa
berupa gejala distimia (Amir, 2016).
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa depresi diakibatkan karena
berkurangnya neurotransmiter monoamine, terutama norepinefrin ( NE) dan
serotonin. Teori ini diperkuat lagi dengan ditemukannya obat-obatan seperti
antidepresan trisiklik dan monoamine oksidase inhibitor yang bekerja
meningkatkan monoamine di celah sinap yang menyertai perbaikan gejala depresi.
Neurotransmiter monoamine terdiri dari :
1. Serotonin
Neuron serotoninergic berproyeksi dari nukleus rafe dorsalis batang otak ke
korteks serebri, hipotalamus, thalamus, ganglia basalis, septum dan
hipokampus. Proyeksinya ke tempat --tempat ini mendasari keterlibatannya
pada gangguan psikiatrik. Ada sekitar 14 reseptor serotonin. Serotonin
berfungsi sebagai pengatur tidur, selera makan dan libido. Sistem serotonin
yang berproyeksi ke nukleus suprakiasma hipotalamus berfungsi mengatur
ritmik sirkadian ( misal : siklus bangun tidur, temperatur tubuh, dan fungsi
10
aksis hypothalamic-pituitary-adrenal ( HPA Aksis)). Neurotransmiter
serotonin terganggu pada deresi. Beberapa penelitian dengan pencitraan
mendapatkan penurunan jumlah reseptor postsinap 5-HT1A dan 5-HT2A
pada pasien depresi berat. Triptofan merupakan prekursor serotonin,
menurun pada pasien depresi. Penurunan kadar triptofan dapat menurunkan
daya ingat, atensi dan fungsi eksekutif.
2. Noradrenergik
Badan sel neuron adrenergic terletak di locus cereolus (LC) batang batang
dan berproyeksi ke korteks serebri, sistem limbik, basal ganglia,
hipotalamus, dan thalamus. Stresor akut dapat meningkatkan aktivasi LC.
Stressor menetap dapat menurunkan kadar NE di forebrain medial.
Penurunan ini menyebabkan anergia, anhedonia, dan penurunan libido pada
depresi. NE hipotalamus berproyeksi ke paraventricular nucleus
hipotalamus. Aktivasi NE dapat meningkatkan sintesis dan pelepasan
Corticotropine Releasing Hormone (CRH).
3. Dopamine
Ada empat jaras dopamine di otak, yaitu : sistem tuberoinfundibular, sistem
nigrostriatal, sistem mesolimbic, sistem mesokortikal. Penurunan aktivitas
dopamine dikaitkan dengan gangguan kognitif, motorik dan anhedonia.
Neurotransmitter lain yang berperan dalam depresi adalah Gamma-Aminobutyric
Acid (GABA). GABA memiliki efek inhibisi terhadap monoamine, terutama pada
system mesokortek dan mesolimbic. Stresor kronik dapat mengurangi kadar GABA
dan antidepresan meningkatkan regulasi reseptor GABA (Amir, 2016).
11
Tubuh akan meningkatkan kewaspadaan jika terpapar stresor dengan
mengaktifkan kelenjar adrenal. Adrenal akan mengeluarkan hormone kortisol
untuk mempertahankan kehidupan. Kadar kortisol yang meningkat menyebabkan
terjadi mekanismeumpan balik negative, yaitu hipotalamus menekan sekresi CRH,
kemudian hipofisis akan menurunkan produksi adrenocortocotropin-hormone
(ACTH). Pesan akan diteruskan ke adrenal untuk mengurangi produksi kortisol.
Sistem CRH merupakan sistem yang paling berpengaruh oleh stresor yang dialami
seseorang pada awal kehidupan. Stresor di awal kehidupan menyebabkan
peningkatan sekresi CRH, penurunan sensitivitas reseptor CRH adenohipofisis,
perubahan yang menetap pada sistem neurobiologik yang mengakibatkan
kerentanan terhadap stress meningkat. Gambar 1 menampilkan mekanisme umpan
balik negatif dari HPA aksis.
Gambar 1. Mekanisme umpan balik negatif HPA axis(Kornstein et al., 2013)
12
MDD juga dikaitkan dengan penurunan kualitas hidup yang serius dan
memiliki dampak ekonomi yang besar karena biaya pekerjaan, biaya layanan
kesehatan, dan biaya yang berkaitan dengan bunuh diri. Faktor sosial (misalnya,
hubungan dan aktivitas sosial) memiliki keterkaitan yang kompleks dengan
gangguan depresi, termasuk peran substansial dalam penyebab MDD.Suasana hati
yang tertekan, kehilangan minat, konsentrasi terganggu, dan menyalahkan diri
sendiri adalah gejala yang paling terkait dengan gangguan sosial.Depresi pada
orang tua juga dapat mempengaruhi kesehatan mereka.anak-anak. Depresi ibu
perinatal dikaitkan dengan banyak efek samping pada anak-anak, termasuk
peningkatan masalah dengan regulasi emosional, gangguan internalisasi, gangguan
perilaku, hiperaktif, berkurangnya kompetensi sosial, keterikatan yang tidak aman,
depresi remaja, dan efek negatif pada perkembangan kognitif. Tabel 3 menampilan
faktor resiko MDD (Lam et al., 2016).
Tabel 3. Faktor resiko depresi(Lam et al., 2016).
Pasien jarang melaporkan stres dan sering melaporkan gejala somatik.
Pemeriksaan dalam waktu yang singkat singkat, membuat penilaian depresi yang
13
panjang menantang. Salah satu tantangan dalam perawatan primer adalah tingkat
deteksi rendah dalam mendiagnosis depresi(Sarri, Davies, & Lumsden, 2015).Skala
penilaian terhadap depresi mungkin dapat menilai beratnya gejala yang
muncul.Ada dua instrument yang sering digunakan untuk menilai depresi, yaitu
Beck Depression Inventory ( BDI) dimana pertanyaan dijawab sendiri oleh pasien
dan Hamilton Depression Rating Scale (HAM-D) dimana pertanyaan dinilai oleh
terapis(Amir, 2016).
Tabel 4. Alat Ukur Pemeriksaan MDD(MacQueen et al., 2016).
2.3 Definisi Perimenopause
Perimenopause didefinisikan dari sudut pandang endokrinologi oleh
tingkat FSH> 25 IU / L (indikasi adanya usaha gonadotropin untuk merangsang
fungsi ovarium yang menurun) dan tingkat estradiol (E2) <40 pg / ml (Gibbs et al.,
2012)dan E1 kurang dari 25 pg / ml(Soares, 2010). Tiga definisi paling banyak
digunakan dari sudut pandang klinis: pertama, ketika wanita memiliki irregular
periode atau amenore berkepanjangan kurang dari 12 bulan kedua, kedua, periode
14
waktu dengan ketidakteraturan haid lebih dari tujuh hari (mengenai hal yang umum
terjadi pada wanita yang bersangkutan) dengan atau tanpa amenore lebih dari tiga
bulan, dan ketiga, periode amenorea 3 sampai 11 bulan(Soares, 2010).
Perimenopause adalah hal yang normal, akan dialami oleh semua wanita yang
berusia 45-55 tahun, rata-rata usia 51 tahun (Kusumawardhani, 2006).
Gambar 2. Perubahan Kadar Hormon Wanita ( Estrogen)(Karaoulanis, et al., 2012).
E2 adalah hormon yang terkenal dengan perannya pada reproduksi dan
perilaku aktivitas seksual. Selain E2 ini juga ada sifat ansiolitik, meningkatkan
kemampuan belajar dan ingatan, dan meningkatkan kemampuan dari wanita untuk
merespon dengan tepat terhadap bahaya sinyal di lingkungan mereka. E2
memodulasi berbagai jalur di sistem saraf pusat (SSP) termasuk HPA aksis dan efek
modulasi pada neurotransmitter monoamine (Cekmez, et al., 2015). Estrogen
bekerja merangsang sintesis neurotransmiter, ekspresi reseptor, dan mempengaruhi
permeabilitas membran. Di antara mekanisme lainnya, estrogen menurunkan
aktivitas monoamine oxidase (MAO) di SSP, yang menghambat pemecahan
serotonin dan NE.Selain itu, estrogen meningkatkan sintesis serotonin,
15
meningkatkan reseptor 5-hydroxytryptamine (5-HT1), dan penurunkan reseptor 5-
HT2. Estrogen juga meningkatkan aktivitas norepinephrine di otak, mungkin
dengan menurunkan reuptake dan degradasi melalui penghambatan enzim MAO
dan catechol O-methyltransferase. Estrogen Reseptor 1 (ESR1) ditemukan dalam
konsentrasi tinggidi hipotalamusdaerah preoptik dan amigdala. ESR2 didapatkan
dominan di hippocampus,korteks dan talamus. Hal ini menunjukkan bahwa ESR1
memainkan lebih banyak peran penting dari ESR2 dalam fungsi afektif(Ryan and
Ancelin, 2012).
E2 terbukti memodulasi turn-overneurotransmitter dan merangsang
aktivitas serotonergik melalui regulasidari jumlah dan fungsi reseptor. E2
memodulasi sintesis, ketersediaan, dan metabolisme serotonin(neurotransmitter
kunci dalam depresi). Hal tersebut menunjukkan bahwa estrogen dapat
mempengaruhi mood. Wanita cenderung mengalami gangguan depresi selamafase
pertengahan sampai akhir luteal dari siklus menstruasi, periode dimana kadar
progesteronmemuncak dan kadar E2 menurun(Cekmez, et al., 2015).
KadarGABA menurun secara signifikan terdapat di wilayah ACC/mPFC
pada wanita pascamenopause yang menderita depresi.GABA merupakan
penghambat neurotransmitter utama di SSP, terutama terlokalisir ke neuron
inhibisi, secara kritis mempengaruhi fungsi kortikosteroid. Oleh karena itu, tingkat
GABA yang berkurang,terutama di korteks prefrontal dorsomedial dan korteks
prefrontal dorsallateral pada pasien depresi, dapat mengindikasikan adanya
kehilangan atau disfungsi neuron GABAergik pada wanita pascamenopause dengan
depresi. Normalisasi kadar GABA di otak dengan pengobatan dengan Selective
serotonin reuptake inhibitors (SSRIs)dikaitkan dengan perbaikan gejala
16
depresiyang selanjutnya menyiratkan bahwa temuantentang tingkat GABA yang
menurun dapat terlibat dalam patogenesis depresi pada wanita
pascamenopause(Wang et al., 2016).
Ketidakteraturan menstruasi merupakan ciri transisi menopause terjadi
karena penurunan fungsi folikel ovarium. Penurunan jumlah folikel yang tumbuh
ini menyebabkan penurunan produksi inhibin B. Penurunan inhibin B
menghilangkan penekanan fisiologis pada folikel stimulating hormone(FSH) yang
mengendalikan proses folliculogenesis dan terjadi peningkatanFSH. Pada awal
masa transisi, tingkat FSH tidak meningkat secara konsisten, dan seringkali
bervariasi dari bulan ke bulan karena folikel yang tumbuh itu bervariasi dari bulan
ke bulan bulan. Fase folikuler menjadi lebih pendek, dan akibatnya, produksi E2
menurun. Perubahan biologis yang terjadi selama perimenopause adalah proses
degenerative dari HPA aksis. Perubahan utama termasuk variasi hebat dalam kadar
hormon seks plasma, terutama fluktuasi E2 yang lebih tinggi dari pada
premenopause dan efek pada SSP oleh hormon seks seperti estrogen dan androgen
(Wang, et al., 2014).
17
Gambar 3. Tahapan Transisi Menopause(Zhou et al., 2012)
Penelitian Stages of Reproductive Aging Workshop (STRAW)pada tahun
2012menentukan berbagai tahap transisi menopause. Transisi menopause
berlangsung rata-rata selama 4 tahun dan dibagi menjadi fase awal dan akhir.
Transisi menopause diawali ketika ketidakteraturan menstruasi pertama kali
muncul, didefinisikan secara klasik sebagai periode peningkatan variabilitas
panjang siklus lebih dari 7 hari (Hess , et al., 2012).Tahap STRAW yang relevan
dengan topik ini mencakup tahap reproduksi akhir (-3band-3a), tahap transisi
menopause dan tahap menopause (-2 dan -1 ), dan postmenopause awal (+ 1a dan
+ 1b). Tahapan ini ditunjukkan pada Gambar 3(Santoro, 2016).
18
Tabel 5. Nomenkelatur STRAW untuk fase menopause(Burger et al., 2007).
2.4 Perubahan Hormonal pada Perimenopause
Perimenopausediketahui sebagai window of vulnerability, di mana
munculketidaknyamanan fisik, emosional dan hormonal. Gejala klinis yang muncul
disebut sindrom menopause atausindrom klimakterik (Karaoulanis, et al.,
2012).Sindrommenopause diantaranya: kecemasan, depresi, penurunan libido,
kekeringan vagina, insomnia, sulit berkonsentrasi, dan gejala vasomotor (hot
flashes dan keringat malam) (Whiteley, et al., 2013).
Beberapa gejala menopause dialami bisa cukup parah untuk mempengaruhi
normal mereka kegiatan sehari-hari. Sayangnya mayoritas wanita ini tidak sadar
akan perubahan yang ditimbulkan oleh menopause(Abdul Rahman, et al., 2010).
19
2.4.1 Vasomotor symptoms (VMS)
Hot flashes adalah gejala vasomotor utama pada menopause yang hampir
dialami secara universal oleh perempuan. Bukti epidemiologis terkini menunjukkan
bahwa prevalensihot flashes mulai meningkat pada masa perimenopause awal,
menjadi sekitar 39%, dan hampir dua kali lipat untuk tingkat pelaporan kumulatif
67% di antara wanita SWAN. Gejala vasomotor menyebabkan sejumlah besar
tekanandan pengurangan kualitas hidup terkait kesehatan (Santoro, 2016).Hormone
therapy (HT) merupakan terapi standar yang direkomendasikan oleh FDA untuk
keluhan hot flashes(Pinkerton, Stovall and Kightlinger, 2009)
Istilah 'hot flashes', 'hot flushes', 'night sweats', 'gejala klimakterik' dan
'VMS' sering digunakan secara bergantian. VMS yang paling menonjol dari
menopause, hot flash, digambarkan sebagai penyebaran rasa panas melalui tubuh
bagian atas yang progresif sering berlangsung antara 1 dan 5 menit, meskipun bisa
lebih pendek atau bertahan hingga 15 menit. Avis et al. menemukan bahwa hot
flashes dan keringat malam terjadi bersamaan . Keringat dan palpitasi dapat
menyertai hot flashes dan berkontribusi pada ketidaknyamanan pada wanita dalam
masa perimenopause.Kelelahan bisa berkembang sebagai akibat seringnya
terbangun di malam hari. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa gejala ini
mulai meningkat sebelum menopause, puncaknya dalam waktu 2-3 tahun setelah
menopause dan kemudian secara bertahap meruncing untuk kebanyakan wanita.
SWAN juga menunjukkan bahwa hot flashes dilaporkan mencapai 57% wanita
selama perimenopause dan 50% selama postmenopause. Faktor risiko untuk hot
flashes termasuk menopause akibat bedah (mengakibatkan penurunan kadar
20
estrogen secara mendadak), peningkatan IMT, merokok (masa lalu dan saat ini) dan
aktivitas fisik yang berat(Pinkerton, Stovall and Kightlinger, 2009).
Hot flashesdikaitkan dengan pelebaran perifer dengan peningkatan suhu
kulit dan aliran darah, biasanya dalam beberapa detik pertama hot flashes. Teori
Freedman adalah bahwa hot flashesdipicu oleh peningkatan pada suhu tubuh pada
wanita perimenopause. Jika peningkatan suhu tubuh melebihi batas atas maka
gejalahot flashdisertai dengan berkeringat dan vasodilatasi perifer terjadi. Jika suhu
melewati batas bawah, menggigil dapat terjadi. Fluktuasi tingkat estrogen dapat
meningkatkan sensitivitas reseptor 5-HT2A di pusat termoregulator
hipotalamus(Yousef, 2017).
2.4.2 Perubahan Tidur
Wanita mulai mengalami perubahan pola tidur mereka di usia 40-an, dan
ini cenderung memburuk selama masa perimenopause. Secara signifikan, wanita
yang lebih tua mengeluhkan insomnia dibandingkan dengan kelompok demografis
lainnya.Gangguan tidur telah dikaitkan dengan hot flashes. Ohayon mensurvei
sampel 3243 orang dewasa di California dan mengamati prevalensi variabel hot
flashessebesar 12,5% pada wanita pramenopause, 79% pada wanita
perimenopause, dan 39,3% wanita pascamenopause berhubungan dengan masing-
masing tingkat insomnia 36,5%, 56,6%, dan 50,7 %. Keluhan hot flashesyang lebih
parah, lebih mungkin seorang wanita melaporkan insomnia (Mauas, Kopala-Sibley
and Zuroff, 2014). Hubungan antara hot flashesdan tidur yang buruk tentu saja
intuitif, dan beberapa model penjelasan menganggap bahwa antisipasi hot flashes
dapat memengaruhi kemampuan seorang wanita untuk tertidur dan juga
kemampuannya untuk tetap tidur (Al-Safi and Santoro, 2000).
21
2.4.3 Kekeringan vagina
Gejala vagina umum terjadi pada wanita perimenopausedan kekeringan
vagina, khususnya, dilaporkan terjadi pada sekitar seperempat sampai
sepertigawanita. Gejala kekeringan vagina, iritasi, dan disuria telah diberi nama
sindrom genitourinaria menopause (GSM).Terjadi peningkatan PH vagina dari
nilai normal 3,8-4,5 menjadi 6,0-7,0 . Lingkungan vagina yang semakin alkali ini
meningkatkan v ulnerabilitas pada energi oportunistik(Yousef, 2017).
2.4.4 Gangguan Mood
Gejala depresi lebih mungkin dilaporkan oleh wanita yang mengalami
perimenopause. Depresi mayor ternyata lebih mungkin terjadi pada wanita selama
transisi menopause akhir. Penting untuk membedakan gejala depresi, yang terjadi
pada sebagian besar wanita, dari mayor depresi, yang merupakan diagnosis
kejiwaan yang jauh lebih serius. SWAN menemukan prevalensi gejala depresi pada
wanita pada masa premenopause sebesar 20,9%, pada masa perimenopause sebesar
27,8% dan turun menjadi 22% oleh postmenopause.
Berbagai alat atau instrumen telah dirancang untuk mengukur dan menilai
gejala selama masa menopause, di antaranya adalah Menopause Rating Scale
(MRS) yang dirancang untuk mengukur tingkat keparahan gejala
menopausedengan menilai profil gejala, terdiri dari 11 item(Rahman, Zainudin and
Mun, 2010). MRSmerupakan instrumen self reported yang telah banyak digunakan,
telah divalidasi dan telah digunakan dalam banyak penelitian klinis dan
epidemiologi. Penilaian meliputi :
(a) somatik : hot flash, ketidaknyamanan / palpitasi jantung, masalah tidur dan
masalah otot dan sendi;
22
(b) psikologis/mood : gejala depresi, mudah tersinggung, cemas dan kelelahan fisik
dan mental;
(c) masalah seksual-urogenital : masalah kandung kemih dan kekeringan pada
vagina.
Masing-masing dari sebelas gejala tersebut mengandung skala penilaian
dari "0" (tidak ada keluhan) sampai "4" (gejala sangat parah) (Rahman, Zainudin
and Mun, 2010).
23
Gambar 4. Kuesioner MRS(Mauas, Kopala-Sibley and Zuroff, 2014).
2.5 Depresi Pada Perimenopause
Fase perimenopause sangat berkaitan dengan perubahan afektif, mulai
dari gejala depresi ringan hingga terdiagnosa sebagai episode depresi berat (MDD).
Depresi pada perimenopause adalah keadaan depresi yang terjadi pada wanita yang
berada dalam periode waktu saat menjelang menopause (Kusumawardhani,
2006).SWAN mengukur “psychological distress“untuk sindrom depresi pada
masa perimenopausedengan gejala berupa : kesedihan, kegelisahan, dan mudah
24
tersinggung , dimana gejala tersebut bertahan selama ≥ 2 minggu(Sarri, Davies and
Lumsden, 2015).Skrining untuk depresi perimenopause, harus mempertimbangkan
faktor risiko tambahan utama termasuk episode depresi sebelumnya, stresor
psikososial, dan gejala klimakterik berat (misalnya, gangguan tidur, gejala
vasomotor) (Sarri, Davies, & Lumsden, 2015).
Penyebab gejala depresi yang mendasar selama perimenopause masih
belum jelas. Hormon seks dianggap memainkan peran penting dalam patologi
depresi perimenopause. Hipotesis penurunan estrogen untuk depresi
perimenopause adalah penurunan estrogen secara langsung dengan perubahan
biokimiawi pada otak dan postulat bahwa insufisiensi estrogen menyebabkan
depresi. Namun, mayoritas dari sebelumnya studi tentang hubungan langsung
antara depresi perimenopause dan hormon seks plasma telah ditunjukkan hasil yang
tidak konsisten(Wang, et al., 2014). Namun, apakah hormon memiliki dampak
langsung atau tidak langsung masih kontroversial.Gallicchio dkk, tidak
menemukan asosiasi yang signifikan secara statistikantara hormon (estradiol, FEI,
estrone, androstenedione, testosteron, FTI, DHEA-S, danSHBG) dan gejala depresi
pada wanita perimenopause. Namun, gejala menopause yang muncul dilaporkan
secara signifikan terkait dengan gejala depresi (Brown, et al., 2009).
Gejala VMS telah dikaitkan dengan depresi pada perimenopause.Terdapat
hubungan yang signifikan antara hot flashes dan depresi perimenopause. Keluhan
hot flashes dan gejala depresi terjadi di awal transisi menopause pada wanita tanpa
pengalaman sebelumnya dari gejala ini. Gejala depresi lebih cenderung mendahului
hot flashes pada wanita yang melaporkan kedua gejala tersebut. Temuan ini
mendukung konsep bahwa perubahan lingkungan hormonal dari perimenopause
25
adalah satu dari beberapa faktor yang terkait dengan timbulnya gejala
depresi(Borkolesa, et al., 2015).
Asosiasi seperti itu menambahkan dukungan terhadap ‘domino theory’ dari
patofisiologi depresi perimenopause yang mengalami gejala somatik. Gejala
somatik yang muncul seperti hot flashes, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi,
insomnia, dan gejala vasomotorkarena penurunankadar estrogen, menyebabkan
ketidaknyamanan secara mental dan fisik menjadi penyebab timbulnya depresi
selama perimenopause. Secara khusus, bila dikombinasikan dengan kekurangan
memahami atau mengendalikan kondisi menopause akan menyebabkan semakin
parahnya gejala depresi yang dialami (Whiteley, et al., 2013).Faktor psikososial dan
faktor perilaku (misalnya : dukungan sosial, kehilangan minat seks,peristiwa
traumatik) yang dialami wanita saat beralih ke masa menopause mungkin juga
merupakan pemicu munculnya gangguan mood pada umumnya dan gejala depresi
pada khususnya (Borkolesa, et al., 2015).
26
Gambar 5. Patofisiologi Depresi pada Perimenopause(Soares, 2010).
2.5.1 Faktor Resiko Depresi Pada Perimenopause
Mengidentifikasi risiko depresi pada perimenopause sangat penting
karena kecacatannya yang signifikan dan hubungan yang kuat dengan penyakit lain
pada wanita paruh baya seperti sindrom metabolik, osteoporosis, dan penyakit
kardiovaskular. Faktor risiko untuk depresi perimenopause antara lain: kerentanan
hormonal/factor biologi, gejala VMS yang muncul, dukungan social, stressful life
event, riwayat gangguan mood, status sosial ekonomi, merokok, olahraga, indeks
massa tubuh (BMI), dukungan sosial, mekanisme koping
(Borkoles et al., 2015).
2.5.1.1 Biologi
Pembahasan sebelumnya telah diketahui peran hormon reproduksi dalam
menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap depresi. Penelitian ini memusatkan
perhatian pada efek estradiol, estrogen yang dominan saat ini selama masa
Ketidakstabilan
Hormon
Gangguan tidur Hot
Flashes DEPRESI
27
reproduksi (WK, et al., 2017). Bukti penemuan biologis dan epidemiologis
mendukung peran estradiol (E2) pada depresi. Sebuah penelitian dengan wanita
berusia 40 sampai 60 tahun, didapatkan wanita yang memiliki gejala vasomotor
memiliki kemungkinan lebih besar menderita gejala depresi dibandingkan mereka
yang tidak memiliki gejala vasomotor, bahkan setelah mengendalikan latar
belakang depresi(Garcia-Portilla, 2009).Sebagian besar penelitian tentang mengapa
beberapa wanita tampaknya rentan terhadap depresi perimenopause berkisar pada
kadar estrogen yang berfluktuasi. Kemunculan depresi dan perubahan pada hormon
reproduksi secara intuitif menunjukkan bahwa mekanisme endokrin terlibat dalam
etiologi depresi perimenopause(Cekmez, et al., 2015).
Freeman dkk. (2004a) menemukan peningkatan risiko depresi berat selama
perimenopause dibandingkan dengan premenopause atau postmenopause, terlepas
dari variabel seperti riwayat depresi masa lalu, gejala vasomotor (VMS) dan
kualitas tidur. Hal ini menunjukkan bahwa itu adalah fluktuasi hormon reproduksi
yang memicu depresi pada wanita yang rentan. Melalui studi hewan dan manusia,
dan data klinis, diketahui bahwa hormon reproduksi progesteron dan estrogen dan
neurotransmiter yang bertanggung jawab atas mood, serotonin, berbagi jalur dan
lokasi reseptor yang umum di otak.Hal ini menunjukkan bahwa, bagi beberapa
wanita, mungkin ada kerentanan fisiologis yang menggarisbawahi untuk kesulitan
suasana hati yang berkaitan dengan kejadian reproduksi (Bromberger et al. 2010).
2.5.1.3 Riwayat Gangguan Psikiatri sebelumnya dan Riwayat Keluarga
Woodsetal, menemukan riwayat keluarga dengan depresisebagai faktor
risiko potensial untuk depresi pada 302 wanita AS berusia 35 sampai 55 tahun
(Shafiee et al., 2016).Depresi selama perimenopause terutama terkait dengan
28
episode depresi sebelumnya yang terkait dengan siklus menstruasi atau periode
perubahan fungsi hormonal yang berubah, seperti sindrom pramenstruasi dan
depresi pascamelahirkan. Lebih dari separuh wanita dengan depresi perimenopause
mengalami episode depresi sebelumnya (Cohen et al 2006; Freeman et al 2006a).
Dalam sebuah studi longitudinal, Avis et al. (1994) dalam Jamil & Khalid, 2016
menemukan bahwa depresi sebelumnya adalah variabel yang paling prediktif untuk
depresi berikutnya pada wanita berusia 45-55 tahun.
2.5.1.4Persepsi tentang menopause
Penelitian telah menunjukkan bahwa cara wanita mengalami menopause
dan harapan yang mereka dapatkan dalam masa transisi, mempengaruhi kondisi
psikologis mereka selama periode perimenopause. Avis dan McKinlay (1991)
menemukan bahwa wanita yang memiliki sikap negatif terhadap menopause
mempunyai gejala perimenopause lebih banyak dan cenderung mengalami depresi.
Pengalaman perimenopause dipengaruhi oleh faktor budaya, dan persepsi
kita tentang hal ini sangat bergantung pada pembelajaran sosial tentang apa yang
harus diantisipasi pada usia paruh baya. Wanita dengan keyakinan negatif
sebelumnya tentang perimenopause lebih cenderung mempunyai gejala klimakterik
yang parah. Keyakinan negatif tentang menopause dapat bertindak sebagai filter
untuk gejala yang dialami dan karenanya mempengaruhi persepsi perimenopause
perempuan(Gibbs, Lee and Kulkarni, 2012).
2.5.1.5Stressful life event
Hubungan antara peristiwa kehidupan yang penuh tekanan dan kejadian
depresi telah terdokumentasi dengan baik dalam literatur. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa perimenopause dan usia paruh baya dikaitkan dengan kejadian
29
kehidupan yang jauh lebih menekan daripada tahap lain kehidupan seorang wanita
(Schmidt et al., 2004). Peningkatan kejadian kejadian negatif ini didominasi
berkaitan dengan kejadian yang terkait dengan problem interpersonal (misalnya
anak-anak yang meninggalkan rumah dan kematian orang tua) (Gibbs, Lee and
Kulkarni, 2012).
2.5.1.6Mekanisme koping
Cara di mana seseorang mengatasi stres telah ditunjukkan untuk
memoderasi hubungan antara perimenopause dan gangguan mood. Ada banyak
penelitian yang meneliti bagaimana individu mengatasi stres, terutama karena hal
ini berkaitan dengan risiko episode depresi secara umum dan sejumlah penelitian
yang sangat sederhana yang melihat dampak gaya mengatasi depresi selama
perimenopause. Berkenaan dengan penelitian yang melihat depresi secara umum,
ada beberapa gaya penanggulangan yang berbeda yang diidentifikasi lebih efektif
daripada yang lainnya (Soares, 2010).
Carver dkk. (1989) dalam (Soares, 2010), dalam model strategi
penanggulangan multidimensi mereka, mengidentifikasi beberapa mekanisme
koping utama yang digunakan orang untuk mengatasi situasi yang penuh tekanan.
Antara lain : penanganan aktif, perencanaan, melakukan kegiatan lain yang lebih
positif, pengendalian diri yang ketat, pencarian dukungan sosial , pikiran yang
positif, penerimaan, penyangkalan, pendekatan keagamaan, melampiaskan emosi.
Mekanisme koping ini berimplikasi pada pengelolaan depresi pada perimenopause.
Tampaknya sumber psikologis seseorang mempengaruhi bagaimana mereka
mengatasi selama periode perimenopause. Tampaknya wanita-wanita yang
mungkin tidak menggunakan strategi penanganan yang paling membantu lebih
30
cenderung terkena dampak negatif selama periode kerentanan hormonal (Soares,
2010).
2.5.1.7 Dukungan sosial, status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan
Dukungan sosial telah ditemukan sebagai alat modulasi depresi
perimenopause yang penting. Dukungan sosial yang baik dianggap memoderatori
efek negatif dari peristiwa kehidupan selama paruh waktu, yang konsisten dengan
apa yang kita ketahui dari melihat depresi yang lebih luas. Harlow dkk. (1999)
dalam (Ali et al., 2017) menemukan bahwawanita yang belum pernah menikah atau
bercerai, janda atau berpisah berisiko tinggi mengalami depresi selama
perimenopause.
Status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan diketahui protektif terhadap
depresi. Dalam penelitian cross-sectional, Harlow dkk. (1999) menemukan bahwa
wanita yang saat ini bekerja dan mempunyai status sosial ekonomi yang lebih tinggi
cenderung memiliki skor depresi yang lebih rendah. Penelitian ini juga
menunjukkan bahwa pencapaian pendidikan yang lebih tinggi dikaitkan dengan
sedikit penurunan risiko depresi pada tahun-tahun perimenopause. Ada beberapa
kemungkinan yang bisa menjelaskan sifat proteksi pendidikan tinggi. Ini mungkin
karena wanita yang berpendidikan lebih baik cenderung memiliki pemahaman yang
lebih baik tentang perimenopause dan depresi. Selain itu, pendidikan dapat
menawarkan sumber penting bagi wanita, yang memungkinkan mereka untuk
beradaptasi terhadap perubahan selama perimenopause (Choi et al., 2004).
31
2.5.2 Kualitas Hidup pada Fase Perimenopause
Tidak semua wanita yang melaporkan terganggu oleh gejala menopause.
Beberapa penelitian besar telah menunjukkan hubungan antara gejala menopause
dan penurunkan kualitas hidup.Kualitas hidup diartikan sebagai persepsi individu
mengenai keberfungsian mereka di dalam bidang kehidupan. Lebih spesifiknya
adalah penilaian individu terhadap posisi mereka di dalam kehidupan, dalam
konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka hidup dalam kaitannya dengan
tujuan individu, harapan, standar serta apa yang menjadi perhatian(Friedman et al.,
2005).
SWAN mengukur hubungan kesehatan kualitas hidup sekitar 3.000
wanita dan ditemukan bahwa beberapa gejala yang terkait dengan menopause
(misal:hot flashes, keringat malam, kekeringan vagina, inkontinensia urine) juga
terkait dengan penurunan kualitas hidup (Lee & Kim, 2008).Beberapa wanita
pascamenopause dengan defisiensi estrogen jangka panjang mengalami perubahan
pada kardiovaskular atau tulang yang menyebabkan osteoporosis mempengaruhi
kualitas kehidupannya.
2.5.3 Penatalaksanaan Depresi Pada Perimenopause
Depresi pada perimenopause perlu diidentifikasi secara dini. Semakin dini
diberikan penatalaksanaan maka prognosisnya semakin baik. Penatalaksanaannya
pada dasarnya tergantung pada tingkat keparahan gejala depresi. Terapi mencakup
antidepresan, psikoterapi, terapi estrogen, dan meningkatkan aktifitas fisik(Garcia-
Portilla, 2009).Pada tahun 2009, Canadian Network for Mood and Anxiety
Treatments (CANMAT) menerbitkan sebuah revisi pedoman klinis berbasis bukti
32
untuk pengobatan gangguan depresi yang telah diperbaharui pada tahun 2016
(MacQueen et al., 2016).
Tabel 6. Prinsip Penanganan MDD secara Klinis(MacQueen et al., 2016)
Depresi merupakan penyakit kronis yang cenderung rekuren. Tujuan
pengobatan depresi adalah asimtomatik atau pulih ( recovery).Ada tiga jenis luaran
terapi depresi, yaitu :
1. Respon
Respon yaitu berkurangnya simtom depresi, bila dibandingkan dengan
ketika terapi dimulai ( base line), sebanyak 50% dinilai dengan HAM-D,
selama 3 minggu berturut-turut.
2. Remisi
Remisi yaitu simtom depresi hampir atau tidak ada sama sekali. Nilai skor
HAM-D adalah ≤ 7, berturut- turut selama 3 minggu. Remisi parsial yaitu :
1. Beberapa simtom depresi mayor masih ada ( residual simtom) tetapi tidak
lagi memenuhi kriteria episode depresi, atau 2. Simtom depresi sudah tidak
ada lagi tetapi waktunya kurang dari 2 bulan. Remisi parsial merupakan
33
factor resiko terjadinya relaps. Oleh karena itu, mengevaluasi simtom
residual merupakan strategi terapeutik untuk mencapai remisi sempurna.
3. Pulih
Pulih yaitu menetapnya remisi ( asimtomatik) dalam waktu lebih lama ( ± 4
– 6 bulan). Fungsi pekerjaan dan social kembali pulih seperti semula(Amir,
2016).
Gambar 6. Luaran penatalaksanaan depresi
Tabel 7. Fase Terapi MDD(MacQueen et al., 2016)
34
Tabel 8. Penatalaksanaan Depresi pada Perimenopause(Lam et al., 2016)
2.5.3.1 Psikoterapi
Cognitive Behavioral Therapy ( CBT )signifikan menurunkan skor pada
Beck DepressionInventory-IIpada pasien dengan depresi perimenopuse
(Lam et al., 2016).
Problem Solving Therapy (PST)merupakan salah satu bentuk CBT.
PSTtelah terbukti sama efektifnya dengan antidepresan untuk pengobatan
depresi berat pada perawatan primer. Ini dianggap sebagai terapi
pengembangan keterampilan singkat dan praktis yang mengobati depresi
dengan mengajarkan kepada pasien bagaimana secara sistematis
35
memecahkan masalah kehidupan sehari-hari saat ini.Tujuh langkah utama
PST adalah:
1. mengidentifikasi masalah
2. menetapkan sasaran terukur yang terkait dengan masalah
3. solusi brainstorming
4. mempertimbangkan pro dan kontra dari setiap solusi
5. memilih solusi
6. mengidentifikasi langkah-langkah untuk menerapkan solusi / menerapkan
solusi
7. Mengevaluasi pelaksanaan solusi pada kunjungan berikutnya
Pasien yang mengalami kesulitan mengidentifikasi masalah didorong
untuk berjalan melalui proses dengan menggunakan aktivitas menyenangkan yang
meningkat sebagai tujuannya. Ini sering merupakan cara positif untuk memulai
perubahan perilaku yang kecil dan dimulai. Pada kunjungan selanjutnya, pasien
mengevaluasi kepuasannya dengan menerapkan solusinya dan mengulangi
langkah-langkahnya dengan masalah pilihan lainnya(Larocco-cockburn et al.,
2014).
2.5.3.2 Psikofarmaka
A. Antidepresan
Agen antidepresan dan perawatan psikoterapeutik diterima secara luas
sebagai pengobatan lini pertama untuk depresi sepanjang masa hidup. Selective
serotonin reuptake inhibitors (SSRI) dan selective serotonin-norepinephrine
reuptake inhibitors (SNRI) mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan gejala
vasomotor terkait menopause sebesar 10% sampai 64%. Efek samping dari SSRI
36
dan SNRI, termasuk mual, konstipasi, dan mulut kering, umumnya tidak parah dan
sering mereda dalam minggu pertama.
SSRI dan SNRI adalah pengobatan lini pertama untuk depresi
perimenopause, namun terapi hormon dapat dipertimbangkan untuk wanita yang
mengalami gejala menopause kecuali ada kontraindikasi (Karaoulanis et al.,
2012).
1. SSRI
a) Citalopram
Freeman dkk, menemukan bahwa terapi SSRI (escitalopram) selama
delapan minggu pada kasus depresi perimenopause memperbaiki
gejala psikologis, vasomotor, dan somatik secara signifikan. Soares
dkk, menemukan bahwa pada wanita peri dan postmenopause
dengan gangguan depresi yang gagal menunjukkan remisi depresi
setelah terapi estrogen selama empat minggu, memperoleh manfaat
dari pengobatan tambahan selama delapan minggu dengan 20-60 mg
citalopram(Parry, 2010).
b) Fluoksetine
Merupakan terapi lini kedua atau ketiga pada depresi
perimenopause. Fluoksetin diabsorpsi secara oraldan
dimetabolisme terutama di hepar. Waktu paruh eliminasi fluoksetin
yaitu 1- 3 hari ( pemberianjangka pendek) dan 4 -6 hari ( pemberian
jangka panjang). Kemampuan fluoksetin menghambat ambilan
serotonin 23 kali lebih kuat dibanding penghambatan terhadap NE.
Afinitas terhadap muscarinic, kolinergik, histamin, α1 adrenergik, 5-
37
HT1 atau 5-HT 2 kurang. Afinitas pada saluran sodium jantung
kurang sehingga aman dari toksisitas jantung. Tidak ada
pengaruhnya pada aktivitas monoamine oxidase( MAO). Dosis
Fluoksetine 20- 60 mg selama 6 minggu terapi terbukti efektif dalam
terapi depresi. Pada wanita perimenopause, penambahan estrogen
lebih efektif daripada pemberian fluoksetin tunggal (Amir, 2016).
c) Paroksetin
Paroksetine terbukti efektif untuk mengurangi hot flashes dan
mungkin direkomendasikan bagi wanita yang ingin menghindari
risiko HRT. Paroksetin adalah SSRI yang palin kuat menghambat
NE. Afinitas terhadap antikolonergik cukup bermakna sehingga
menimbulkan adanya gejala mulut kering, konstipasi, mata kabur,
dan gangguan buang air kecil. Paroksetin tidak bekerja pada saluran
sodium cepat jantung sehingga tidak menimbulkan gangguan
konduksi jantung, paroksetin juga tidak menghambar aktifitas
MAO. Dosis paroksetine 10 – 50 mg per hari menunjukkan efek
antidepresan dibandingkan placebo (Amir, 2016).
d) Sertraline
Sertraline diabsorbsi secara oral, sediaan dalam bentuk tablet dan
cairan. Bila diberikan bersama makanan, rata-rata konsentrasi
plasmanya naik 25 %. Sekitar 98% terikat protein plasma.
Didemetilasi di hati menjadi N-desmethylsertraline dengan waktu
paruh 26 jam. Dosis sertraline untuk gangguan depresi 50-200 mg
perhari (Amir, 2016).
38
2) SNRI
Desvenlafaxine merupakan pilihan lini 1 pada terapi depresi
perimenopause. Meskipun kurang efektif daripada HRT, SSRI / SNRI ditunjukkan
untuk mengurangi hot flashes dan mungkin direkomendasikan bagi wanita yang
ingin menghindari risiko HRT. Dosis desvenlafaxine yang direkomendasikan
adalah 50 mg per hari. Sediaan yang tersedia 50 mg dan 100 mg(Parry, 2010).
B. Hormon Replement Therapy (HRT)
HRT masih dianggap sebagai pengobatan yang paling efektif untuk
mengurangi hot flashes pada wanita perimenopause.Terapi hormon yang
digunakan dalam HRT adalah lebih rendah dibandingkan dengan fluktuasi
hormon pramenopause wanita. Schmidt et al, menggunakan 0,05 mg / hari patch
17β-estradiol selama tiga minggu mengurangi gejala depresi pada wanita
perimenopause, terlepas dari adanya hot flashes atau durasi perawatan (Parry,
2010). Transdermal estradiol telah dievaluasi baik sebagai monotherapy dan terapi
tambahan untuk mengobati perimenopausaldepresi. Dalam 2 RCT kecil lainnya,
estrogen augmentasilebih unggul dibanding plasebo pada wanita perimenopause,
sementara tidak ada perbedaan antara transdermal estradioldan plasebo pada
wanita pascamenopause akhir.HRT direkomendasikan sebagai agen lini kedua
untuk wanitasiapa yang mengerti risikonya dan tidak memiliki
kontraindikasiterapi hormonal(Lam et al., 2016).
39
BAB III
SIMPULAN
Studi kasus oleh WHO memperkirakan di tahun 2020, gangguan depresi
akan menjadi alasan utama kecacatan di dunia. Depresi dialami wanita dua kali
lebih sering dibanding pria. Wanita lebih rentan mengalami depresi, salah satunya
karena mengalami perubahan hormon selama siklus reproduksi, seperti masa
menopause. Faktor hormon reproduksi cenderung berkontribusi pada perbedaan
jenis kelamin dalam depresi, yang dimulai sekitar masa pubertas dan bertahan
sampai paruh baya. Klasifikasi depresi saat ini didasarkan pada Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder, Fifth Edition (DSM-5). Depresi pada
perimenopause adalah keadaan depresi yang terjadi pada wanita yang berada dalam
periode waktu saat menjelang menopause. Faktor risiko untuk depresi
perimenopause antara lain: kerentanan hormonal/faktor biologi, gejala VMS yang
muncul, dukungan sosial, stressful life event, riwayat gangguan mood, status sosial
ekonomi, merokok, olahraga, indeks massa tubuh (BMI), dukungan sosial,
mekanisme koping. Pengobatan pada dasarnya tergantung pada tingkat keparahan
gangguan dan mencakup antidepresan dan/ atau psikoterapi, terapi estrogen, dan
meningkatkan aktifitas fisik.
40
DAFTAR PUSTAKA
Al-Safi, Z. and Santoro, N. (2000) ‘The Postmenopausal Woman’, Endotext, (3).
Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25905354.
Ali, A. et al. (2017) ‘Depression and Menopausal Symptoms in Perimenopausal
Women Attending Primary Care’, Journal of Evidence Based Medicine and
Healthcare, 4(44), pp. 2677–2681. doi: 10.18410/jebmh/2017/532.
Amir, N. (2016) Depresi, aspek neurobiologi, diagnosis dan tatalaksana.
Borkoles, E. et al. (2015) ‘The role of depressive symptomatology in peri- and post-
menopause’, Maturitas, 81(2), pp. 306–310. doi: 10.1016/j.maturitas.2015.03.007.
Burger, H. et al. (2007) ‘Nomenclature and endocrinology of menopause and
perimenopause.’, Expert review of neurotherapeutics, 7(11 Suppl), pp. 35–44. doi:
10.1586/14737175.7.11s.S35.
Friedman, S. H. et al. (2005) ‘Menopause-related quality of life in chronically
mentally ill women.’, International journal of psychiatry in medicine, 35(3), pp.
259–71. doi: 10.2190/BR03-8GYD-5L9J-LU17.
Garcia-Portilla, M. P. (2009) ‘Depression and perimenopause: A review’, Actas
Espanolas de Psiquiatria, 37(4), pp. 213–221.
Gibbs, Z., Lee, S. and Kulkarni, J. (2012) ‘What factors determine whether a
woman becomes depressed during the perimenopause?’, Archives of Women’s
Mental Health, 15(5), pp. 323–332. doi: 10.1007/s00737-012-0304-0.
Karaoulanis, S. E. et al. (2012) ‘The role of cytokines and hot flashes in
perimenopausal depression’, Annals of General Psychiatry, 11, pp. 1–7. doi:
10.1186/1744-859X-11-9.
Kornstein, S. G. et al. (2013) ‘Do menopausal status and use of hormone therapy
affect antidepressant treatment response? Findings from the Sequenced Treatment
Alternatives to Relieve Depression (STAR*D) study.’, Journal of women’s health
(2002), 22(2), pp. 121–31. doi: 10.1089/jwh.2012.3479.
Kusumawardhani, A. (2006) Depresi Perimenopause.
Lam, R. W. et al. (2016) ‘Canadian Network for Mood and Anxiety Treatments
(CANMAT) 2016 clinical guidelines for the management of adults with major
depressive disorder: Section 1. Disease burden and principles of care’, Canadian
Journal of Psychiatry, 61(9), pp. 510–523. doi: 10.1177/0706743716659416.
Larocco-cockburn, A. et al. (2014) ‘NIH Public Access’, 36(2), pp. 362–370. doi:
10.1016/j.cct.2013.08.001.Improving.
MacQueen, G. M. et al. (2016) ‘Canadian Network for Mood and Anxiety
Treatments (CANMAT) 2016 clinical guidelines for the management of adults with
major depressive disorder: Section 6. Special populations: Youth, women, and the
elderly’, Canadian Journal of Psychiatry, 61(9), pp. 588–603. doi:
10.1177/0706743716659276.
41
Mauas, V., Kopala-Sibley, D. C. and Zuroff, D. C. (2014) ‘Depressive symptoms
in the transition to menopause: The roles of irritability, personality vulnerability,
and self-regulation’, Archives of Women’s Mental Health, 17(4), pp. 279–289. doi:
10.1007/s00737-014-0434-7.
Muniroh, S. (2013) ‘Faktor yang Berpengaruh terhadap Skor Kecemasan pada
Wanita Menopause’, 2, pp. 51–56.
Parry, B. L. (2010) ‘Optimal management of perimenopausal depression’,
International Journal of Women’s Health, 2(1), pp. 143–151. doi:
10.2147/IJWH.S7155.
Pinkerton, J. V, Stovall, D. W. and Kightlinger, R. S. (2009) ‘Advances in the
Treatment of Menopausal Symptoms’, Women’s Health, 5(4), pp. 361–384. doi:
10.2217/WHE.09.31.
Putri, A. K. and Hamidah (2012) ‘Hubungan Antara Penerimaan Diri Dengan
Depresi Pada Wanita Perimenopause’, Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan
Mental, 1(2), pp. 1–6.
Rahman, S. A. S. A., Zainudin, S. R. and Mun, V. L. K. (2010) ‘Assessment of
menopausal symptoms using modified Menopause Rating Scale (MRS) among
middle age women in Kuching, Sarawak, Malaysia.’, Asia Pacific family medicine,
9(1), p. 5. doi: 10.1186/1447-056X-9-5.
Ryan, J. and Ancelin, M.-L. (2012) ‘Polymorphisms of Estrogen Receptors and
Risk of Depression’, Drugs, 72(13), pp. 1725–1738. doi: 10.2165/11635960-
000000000-00000.
Santoro, N. (2016) ‘Perimenopause: From Research to Practice’, Journal of
Women’s Health, 25(4), pp. 332–339. doi: 10.1089/jwh.2015.5556.
Sarri, G., Davies, M. and Lumsden, M. A. (2015) ‘Diagnosis and management of
menopause: summary of NICE guidance’, Bmj, 351(nov12 10), pp. h5746–h5746.
doi: 10.1136/bmj.h5746.
Shafiee, Z. et al. (2016) ‘The Effect of Spiritual Intervention on Postmenopausal
Depression in Women Referred to Urban Healthcare Centers in Isfahan: A Double-
Blind Clinical Trial’, Nursing and Midwifery Studies, Inpress(Inpress), pp. 1–7. doi:
10.17795/nmsjournal32990.
Soares, C. N. (2010a) ‘Can depression be a menopause-associated risk?’, BMC
Medicine. BioMed Central Ltd, 8(1), p. 79. doi: 10.1186/1741-7015-8-79.
Soares, C. N. (2010b) ‘Can depression be a menopause-associated risk?’, BMC
Medicine, 8. doi: 10.1186/1741-7015-8-79.
Wang, Z. et al. (2016) ‘GABA+ levels in postmenopausal women with mild-to-
moderate depression’, Medicine, 95(39), p. e4918. doi:
10.1097/MD.0000000000004918.
Yousef, E. (2017) ‘The Effect of Group Counseling on the Level of Depression and
Anxiety in a Sample of Women in the Menopausal Stage in Jordan’, 13(2), pp. 70–
77. doi: 10.3968/9300.
42
Zhou, B. et al. (2012) ‘The symptomatology of climacteric syndrome: Whether
associated with the physical factors or psychological disorder in
perimenopausal/postmenopausal patients with anxiety-depression disorder’,
Archives of Gynecology and Obstetrics, 285(5), pp. 1345–1352. doi:
10.1007/s00404-011-2151-z.
43
44