Kel. 16 Depresi Pada Lansia
-
Upload
khairani-latifa -
Category
Documents
-
view
101 -
download
14
Transcript of Kel. 16 Depresi Pada Lansia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Teori Lansia
2.1.1 Batasan Lansia
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Lanjut Usia meliputi:
a. Usia pertengahan (Middle Age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun.
b. Lanjut usia (Elderly) ialah kelompok usia antara 60 dan 74 tahun.
c. Lanjut usia tua (Old) ialah kelompok usia antara 75 dan 90 tahun.
d. Usia sangat tua (Very Old) ialah kelompok di atas usia 90 tahun.
2.1.2. Proses Menua
Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa kanak-kanak, masa
dewasa dan masa tua (Nugroho, 1992). Tiga tahapan ini berbeda baik secara
biologis maupun secara psikologis. Memasuki masa tua berarti mengalami
kemunduran secara fisik maupun secara psikis. Kemunduran fisik ditandai dengan
kulit yang mengendor, rambut putih, penurunan pendengaran, penglihatan
menurun, gerakan lambat, kelainan berbagai fungsi organ vital, sensitivitas
emosional meningkat.
Menurut Teori-Teori Biologi
1) Teori Genetik dan Mutasi (Somatic Mutatie Theory)
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk
spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan
biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul/DNA dan setiap sel pada
saatnya akan mengalami mutasi. Sebagai contoh yang khas adalah mutasi
dari sel-sel kelamin. (terjadi penurunan kemampuan fungsional sel).
2) "Pemakaian dan Rusak" kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-sel
tubuh lelah (terpakai).
3) Reaksi dari kekebalan sendiri (Auto Immune Theory)
Di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat
khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat tersebut
sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit.
4) Teori "Immunologi Slow Virus" (Immunology Slow Virus Theory)
Sistem imun menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan
masuknya virus ke dalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan organ
tubuh.
5) Teori Stres
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh.
Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan
internal, kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah
terpakai.
6) Teori Radikal Bebas
Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal
bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan
organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel
tidak dapat regenerasi.
7) Teori Rantai Silang
Sel-sel yang tua atau usang, reaksi kimianya menyebabkan ikatan
yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan
kurangnya elastis, kekacauan, dan hilangnya fungsi.
8) Teori Program
Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang
membelah setelah sel-sel tersebut mati.
Teori Kejiwaan Sosial
1) Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Ketentuan akan meningkatnya pada penurunan jumlah kegiatan secara
langsung. Teori ini menyatakan bahwa pada lanjut usia yang sukses
adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial.
Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari lanjut
usia.
Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap
stabil dari usia pertengahan ke lnjut usia.
2) Kepribadian berlanjut (Continuity Theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia.
Teori ini merupakan gabungan dari teori di atas. Pada teori ini menyatakan
bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang lanjut usia sangat
dipengaruhi oleh tipe personality yang dimilikinya.
3) Teori Pembebasan (Disengagement Theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang
secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya
atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan
interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas
sehingga sering terjadi kehilangan ganda (Triple Loos), yakni :
a) Kehilangan peran (Loos of Role)
b) Hambatan kontak sosial (Restraction of Contact and Relation Ships)
c) Berkurangnya komitmen (Reduced commitment to Social Mores and
Values)
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketuaan
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketuaan adalah (Nugroho, 2000:19):
Hereditas = ketuaan genetic
Nutrisi = makanan
Status kesehatan
Pengalaman hidup
Lingkungan
Stres
Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia
1) Perubahan-perubahan Fisik
Meliputi perubahan dari tingkat sel sampai ke semua sistem organ
tubuh diantaranya sistem pernafasan, pendengaran, penglihatan, kardio
vaskuler, sistem pengaturan temperatur tubuh, sistem respirasi,
muskuloskletal, gastrointestinal, genitourinaria, endokrin dan integumen
2) Perubahan-perubahan mental
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental
Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa
Kesehatan umum
Tingkat pendidikan
Keturunan (Hereditas)
Lingkungan
Gangguan saraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian
Gangguan gizi akibat kehilakngan jabatan
Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan
teman-teman dan family
Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik : perubahan terhadap
gambaran diri, perubahan konsep diri.
3) Perkembangan Spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya
(Maslow, 1970).
Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini
terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari. (Murray
dan Zentner, 1970).
4) Penyakit yang sering dijumpai pada lansia
Menurut "The national Old People's Welfare Council" Di Inggris
mengemukakan bahwa penyakit atau gangguan umum pada lanjut usia ada 12
macam, yakni (Nugroho, 2000: 42):
1. Depresi mental
2. Gangguan pendengaran
3. Bronkitis kronis
4. Gangguan pada tungkai / sikap berjalan
5. Gangguan pada koksa / sendi panggul
6. Anemia
7. Demensia
2.2 Pengertian Depresi
Depresi adalah gangguan alam perasaan (mood) yang ditandai dengan
kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sehingga hilangnya
kegairahan hidup, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality
Testing Ability, masih baik), kepribadian tetap utuh atau tidak mengalami
keretakan kepribadian (Splitting of personality), prilaku dapat terganggu tetapi
dalam batas-batas normal (Hawari Dadang, 2001).
Selain itu depresi dapat juga diartikan sebagai salah satu bentuk gangguan
kejiwaan pada alam perasaan (afektif mood), yang ditandai dengan kemurungan,
kelesuan, ketidakgairahan hidup, perasaan tidak berguna, putus asa dan lain
sebagainya.
Depresi adalah suatu jenis keadaan perasaan atau emosi dengan komponen
psikologis seperti rasa sedih, susah, merasa tidak berguna, gagal, putus asa dan
penyesalan atau berbentuk penarikan diri, kegelisahan atau agitasi (Afda
Wahywlingsih dan Sukamto).
Depresi adalah suatu kelainan alam perasaan berupa hilangnya minat atau
kesenangan dalam aktivitas-aktivitas yang biasa dan pada waktu yang lampau
(Townsend,1998:179). Rentang respon emosi individu dapat berfluktuasi dalam
rentang respon emosi dari adaptif sampai maladaptif. Respon depresi merupakan
emosi yang mal adaptif (Keliat,1996:2).
2.3 Jenis-jenis Depresi
Penggolongan depresi dapat dibedakan (Wilkinson,1995:18 - 26):
1) Menurut gejalanya
- Depresi neurotic
Depresi neurotik biasanya terjadi setelah mengalami peristiwa yang
menyedihkan tetapi yang jauh lebih berat daripada biasanya. Penderitanya
seringkali dipenuhi trauma emosional yang mendahului penyakit misalnya
kehilangan orang yang dicintai, pekerjaan, milik berharga, atau seorang kekasih.
Orang yang menderita depresi neurotik bisa merasa gelisah, cemas dan sekaligus
merasa depresi. Mereka menderita hipokondria atau ketakutan yang abnormal
seperti agrofobia tetapi mereka tidak menderita delusi atau halusinasi.
- Depresi psikotik
Secara tegas istilah 'psikotik' harus dipakai untuk penyakit depresi yang
berkaitan dengan delusi dan halusinasi atau keduanya.
- Psikosis depresi manik
Depresi manik biasanya merupakan penyakit yang kambuh kembali
disertai gangguan suasana hati yang berat. Orang yang mengalami gangguan ini
menunjukkan gabungan depresi dan rasa cemas tetapi kadang-kadang hal ini
dapat diganti dengan perasaan gembira, gairah, dan aktivitas secara berlebihan
gambaran ini disebut 'mania'.
- Pemisahan diantara keduanya
Para dokter membedakan antara depresi neurotik dan psikotik tidak
hanya berdasarkan gejala lain yang ada dan seberapa terganggunya perilaku
orang tersebut.
2) Menurut Penyebabnya
- Depresi reaktif
Pada depresi reaktif, gejalanya diperkirakan akibat stres luar seperti
kehilangan seseorang atau kehilangan pekerjaan.
- Depresi endogenus
Pada depresi endogenous, gejalanya terjadi tanpa dipengaruhi oleh
faktor lain.
- Depresi primer dan sekunder
Tujuan penggolongan ini adalah untuk memisahkan depresi yang
disebabkan penyakit fisik atau psiatrik atau kecanduan obat atau alkohol (depresi
'sekunder') dengan depresi yang tidak mempunyai penyebab-penyebab ini
(depresi 'primer'). Penggolongan ini lebih banyak digunakan untuk penelitian
tujuan perawatan.
3) Menurut arah penyakit
- Depresi tersembunyi
Diagnosa depresi tersembunyi (atau atipikal) kadang-kadang dibuat
bilamana depresi dianggap mendasari gangguan fisik dan mental yang tidak
dapat diterangkan, misalnya rasa sakit yang lama tanpa sebab yang nyata atau
hipokondria atau sebaliknya perilaku yang tidak dapat diterangkan seperti wanita
lanjut usia yang suka mengutil.
- Berduka
Proses kesedihan itu wajar dan merupakan reaksi yang diperlukan
terhadap suatu kehilangan. Proses ini membuat orang yang kehilangan itu mampu
menerima kenyataan tersebut, mengalami rasa sakit akibat kesedihan yang
menimpa, menderita putusnya hubungan dengan orang yang dicintai dan
penyesuaian kembali.
- Depresi pascalahir
Banyak wanita kadang-kadang mengalami periode gangguan emosional
dalam 10 hari pertama setelah melahirkan bayi ketika emosi mereka masih labil
dan mereka merasa sedih dan suka menangis. Seringkali hal itu berlangsung
selama satu atau dua hari kemudian berlalu.
- Depresi dan manula
Usia tua merupakan saat meningkatnya kerentanan terhadap depresi.
Namun, kadang-kadang depresi pada manula ditutupi oleh penyakit fisik dan
cacat tubuh seperti penglihatan atau pendengaran yang terganggu. Oleh karena
itu, sangatlah penting untuk mengingat kemungkinan terjadinya penyakit depresi
pada orang tua.
Faktor Pencetus
Ada empat sumber utama stresor yang dapat mencetuskan gangguan alam
perasaan (Sundeen,Stuart,1998:260):
1) Kehilangan keterikatan, yang nyata atau yang dibayangkan, termasuk
kehilangan cinta, seseorang, fungsi fisik, kedudukan, atau harga diri. Karena
elemen aktual dan simbolik melibatkan konsep kehilangan, maka persepsi
pasien merupakan hal yang sangat penting.
2) Peristiwa besar dalam kehidupan sering dilaporkan sebagai pendahulu
episode depresi dan mempunyai dampak terhadap masalah-masalah yang
dihadapi sekarang dan kemampuan menyelesaikan masalah.
3) Peran dan ketegangan peran telah dilaporkan mempengaruhi
perkembangan depresi, terutama pada wanita.
4) Perubahan fisiologik diakibatkan oleh obat-obatan atau berbagai penyakit
fisik, seperti infeksi, neoplasma, dan gangguan keseimbangan metabolik,
dapat mencetuskan gangguan alam perasaan.
Pengelolaan Depresi Pada Usia Lanjut (FKUI,2000:60 - 76)
1. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada usia lanjut :
a. Obat-obatan
Beberapa jenis obat seperti digoksin, L-dopa, steroid, penyekat beta dan anti
hipertensi lainnya, pemberian benzodiazepin jangka panjang, fenobarbiton, dan
pemakaian neuroleptik jangka lama dapat mengakibatkan depresi.
b. Neurobiologik
Perubahan neuroendokrinologik seperti hormon, neurotransmiter (serotonin,
dopamin, dll) menyebabkan usia lanjut rentan terhadap depresi. Depresi pada usia
lanjut dapat diakibatkan oleh proses neurodegeneratif, misalnya depresi sebagai
gejala dari demensia.
c. Psikososial
- Kepribadian pasien sebelum sakit turut berperan dalam manifestasi gejala depresi,
misalnya orang yang pencemas semasa mudanya ketika mengalami depresi di usia
lanjut memperlihatkan gambaran depresi neurotik yang menyolok.
- Dukungan sosial yang buruk, kapasitas membina keakraban yang lemah juga
berperan dalam terjadinya depresi.
- Berbagai peristiwa kehidupan seperti kematian pasangan, problem keuangan yang
berat, pindah rumah, peringatan peristiwa sedih, anak yang cacat menanjak
dewasa, dan sebagainya lebih sering terjadi pada pasien-pasien usia lanjut dengan
depresi dibandingkan dengan usia lanjut yang sehat.
2. Gambaran Klinis Depresi Pada Usia Lanjut
Seorang usia lanjut yang mengalami depresi kebanyakan menyangkal
adanya mood depresi. Yang terlihat adalah gejala hilangnya tenaga (loyo),
hilangnya rasa senang, tidak bisa tidur atau keluhan rasa sakit dan nyeri. Menurut
Brodaty (1991) gejala yang sering tampil adalah ansietas (kecemasan), preokupasi
gejala fisik, perlambatan motorik, kelelahan, mencela diri sendiri, pikiran bunuh
diri dan insomnia.
Gambaran klinik depresi pada pasien berusia lanjut (dibandingkan dengan
pasien yang lebih muda), adalah mereka lebih banyak menonjolkan gejala
somatiknya disamping mengeluh tentang gangguan memori, dan umumnya
cenderung meminimalkan atau menyangkal mood depresinya. Hal lain yang tidak
menguntungkan adalah pasien usia lanjut umumnya kurang mau mencari bantuan
psikiater karena tak dapat menerima penjelasan yang bersifat psikologis untuk
gangguan depresi yang mereka alami.
3. Diagnosis Depresi
Gangguan depresi dibedakan dalam depresi ringan, sedang dan berat sesuai
dengan banyak dan beratnya gejala serta dampaknya terhadap fungsi kehidupan
seseorang. Menurut ICD 10, pada gangguan depresi ada 3 gejala utama yaitu :
Mood terdepresi (suasana perasaan hati murung / sedih),
Hilang minat atau gairah,
Hilang tenaga dan mudah lelah, yang disertai dengan gejala lain seperti :
Konsentrasi menurun,
Harga diri menurun,
Perasaan bersalah,
Pesimis memandang masa depan,
Ide bunuh diri atau menyakiti diri sendiri,
Pola tidur berubah,
Nafsu makan menurun.
Tabel 2.1Pedoman Berat Ringannya Depresi
Depresi GejalaUtama
Gejala lain Fungsi Keterangan
Ringan 2 2 Baik Distress +
Sedang 2 3 atau 4 Terganggu Berlangsung
minimal 2 minggu
Berat 3 4 Terganggu Intensitas gejala
berat sangat berat
Sumber:Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI,2000
4. Pemeriksaan pasien Depresi
Salah satu langkah awal yang penting dalam penatalaksanaan depresi adalah
mendeteksi atau mengidentifikasi. Sampai saat ini belum ada suatu konsensus atau
prosedur khusus untuk penapisan / skrining depresi pada populasi usia lanjut.
Salah satu instrumen yang dapat membantu adalah Geriatric Depression Scale
(GDS) yang terdiri atas 30 pertanyaan yang harus dijawab oleh pasien sendiri.
GDS ini dapat dimampatkan menjadi hanya 15 pertanyaan saja.
Bilamana ditemukan tanda-tanda yang mengarah pada depresi, harus
dilakukan lagi pemeriksaan yang lebih rinci sebagai berikut :
1. Riwayat klinik / anamnesis
a. riwayat keluarga
b. gangguan psikiatri yang lampau
c. kepribadian
d. riwayat sosial
e. ide / percobaan bunuh diri
f. gangguan-gangguan somatik
g. perkembangan gejala-gejala depresi
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien depresi sangat penting karena gejala-gejala depresi
sering disertai dengan penyakit fisik.
3. Pemeriksaan kognitif
Penilaian Mini Mental State Examination (MMSE) pada usia lanjut yang
menunjukkan gejala depresi bermanfaat dalam tindak lanjut penatalaksanaan
pasien. Perbaikan pada MMSE setelah dilakukan terapi terhadap depresi,
menunjukkan bahwa pasien dengan depresi mengalami masalah konsentrasi dan
memori yang mempengaruhi fungsi kognitifnya.
4. Pemeriksaan status mental
- Penampilan dan perilaku
- Mood / suasana perasaan hati
- Pembicaraan
- Isi pikiran
- Gejala ansietas
- Gejala hipokondriakal
5. Pemeriksaan lainnya
Mengingat pasien usia lanjut rentan terhadap gangguan metabolik sekunder akibat
penyakit depresi yang berat, seperti tidak adekuatnya asupan cairan, maka perlu
dipertimbangkan pemeriksaan sebagai berikut :
- ureum dan elektrolit
- darah lengkap dan hitung jenis
- Vitamin B12 dan Folat
- Tes fungsi Tiroid
- Foto dada
- Lain-lain : serum sifilis,Electro Cardio Graphy ( ECG),Electro Encephalo Graphy
( EEG), CT-scan dst.
5. Prognosis
Prognosis depresi pada usia lanjut tidaklah berbeda dengan prognosis pada
usia yang lebih muda. Umumnya pasien akan sembuh dan tetap dapat berfungsi
dengan baik jika depresi diobati dan ditatalaksana dengan baik. Hasil terapi yang
kurang baik tampaknya berhubungan dengan episode awal yang parah dan adanya
komorbiditas dengan penyakit kronik.
6. Penatalaksanaan Depresi Pada usia Lanjut
1. Terapi fisik
a. Obat
Secara umum, semua obat antidepresan sama efektivitasnya. Pemilihan jenis
antidepresan ditentukan oleh pengalaman klinikus dan pengenalan terhadap
berbagai jenis antidepresan. Biasanya pengobatan dimulai dengan dosis separuh
dosis dewasa, lalu dinaikkan perlahan-lahan sampai ada perbaikan gejala.
b. Terapi Elektrokonvulsif (ECT)
Untuk pasien depresi yang tidak bisa makan dan minum, berniat bunuh diri atau
retardasi hebat maka ECT merupakan pilihan terapi yang efektif dan aman. ECT
diberikan 1- 2 kali seminggu pada pasien rawat nginap, unilateral untuk
mengurangi confusion/memory problem. Terapi ECT diberikan sampai ada
perbaikan mood (sekitar 5 - 10 kali), dilanjutkan dengan anti depresan untuk
mencegah kekambuhan.
2. Terapi Psikologik
a. Psikoterapi
Psikoterapi individual maupun kelompok paling efektif jika dilakukan bersama-
sama dengan pemberian antidepresan. Baik pendekatan psikodinamik maupun
kognitif behaviour sama keberhasilannya. Meskipun mekanisme psikoterapi tidak
sepenuhnya dimengerti, namun kecocokan antara pasien dan terapis dalam proses
terapeutik akan meredakan gejala dan membuat pasien lebih nyaman, lebih
mampu mengatasi persoalannya serta lebih percaya diri.
b. Terapi kognitif
Terapi kognitif - perilaku bertujuan mengubah pola pikir pasien yang selalu
negatif (persepsi diri, masa depan, dunia, diri tak berguna, tak mampu dan
sebagainya) ke arah pola pikir yang netral atau positif. Ternyata pasien usia lanjut
dengan depresi dapat menerima metode ini meskipun penjelasan harus diberikan
secara singkat dan terfokus. Melalui latihan-latihan, tugas-tugas dan aktivitas
tertentu terapi kognitif bertujuan mengubah perilaku dan pola pikir.
c. Terapi keluarga
Problem keluarga dapat berperan dalam perkembangan penyakit depresi, sehingga
dukungan terhadap keluarga pasien sangat penting. Proses penuaan mengubah
dinamika keluarga, ada perubahan posisi dari dominan menjadi dependen pada
orang usia lanjut. Tujuan terapi terhadap keluarga pasien yang depresi adalah
untuk meredakan perasaan frustasi dan putus asa, mengubah dan memperbaiki
sikap / struktur dalam keluarga yang menghambat proses penyembuhan pasien.
d. Penanganan Ansietas (Relaksasi)
Teknik yang umum dipergunakan adalah program relaksasi progresif baik secara
langsung dengan instruktur (psikolog atau terapis okupasional) atau melalui tape
recorder. Teknik ini dapat dilakukan dalam praktek umum sehari-hari. Untuk
menguasai teknik ini diperlukan kursus singkat terapi relaksasi.
7. Dukungan Keluarga dalam Kaitannya dengan Depresi Pada Lansia
Keluarga memainkan suatu peranan yang signifikan dalam kehidupan pada
hampir semua orang lanjut usia (lansia). Ketika keluarga tidak menjadi bagian
kehidupan seseorang yang telah lansia, umumnya menyebabkan orang tersebut
tidak mempunyai tempat tinggal, atau ada masalah-masalah yang telah
berlangsung lama dan keterasingan. Sebaliknya, kepercayaan yang umum, ketika
orang lansia akan membutuhkan bantuan keluarga menyediakan sekurang-
kurangnya 80% dukungan / bantuan. Dibandingkan dengan "kenyamanan di hari
tua", keluarga saat ini menyediakan kepedulian yang lebih luas selama periode
waktu yang lama (Schmall, Pratt, 1993).
Walaupun anak yang telah dewasa adalah suatu sumber utama yang
memberi bantuan terhadap orangtua yang lansia, beberapa trend demografi dan
sosial mempunyai akibat / impak yang signifikan pada kemampuan anggota
keluarga dalam menyediakan dukungan. Hal ini tidak berarti bahwa keluarga
bertanggung jawab atas timbulnya depresi pada seseorang namun sudah jelas
bahwa banyak masalah depresi berkisar di seputar kesulitan dalam cara anggota
keluarga saling berkomunikasi dan saling berhubungan.
Tanda Dan Gejala Depresi
Perilaku yang berhubungan dengan depresi menurut Kelliat (1996) meliputi
beberapa aspek seperti:
1. Afektif
Kemarahan, ansietas, apatis, kekesalan, penyangkalan perasaan, kemurungan, rasa
bersalah, ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian, harga diri rendah, kesedihan.
2. Fisiologik
Nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung, konstipasi, pusing, keletihan,
gangguan pencernaan, insomnia, perubahan haid, makan berlebihan/kurang,
gangguan tidur, dan perubahan berat badan.
3. Kognitif
Ambivalensi, kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan minat
dan motivasi, menyalahkan diri sendiri, mencela diri sendiri, pikiran yang
destruktif tentang diri sendiri, pesimis, ketidakpastian.
4. Perilaku
Agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat aktivitas, kecanduan obat,
intoleransi, mudah tersinggung, kurang spontanitas, sangat tergantung, kebersihan
diri yang kurang, isolasi sosial, mudah menangis, dan menarik diri.
Menurut PPDGJ-III (Maslim,1997), tingkatan depresi ada 3 berdasarkan gejala-
gejalanya yaitu:
1. Depresi Ringan
Gejala :
a) Kehilangan minat dan kegembiraan
b) Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan
menurunnya aktivitas.
c) Kosentrasi dan perhatian yang kurang
d) Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang
2. Depresi Sedang
Gejala :
a) Kehilangan minat dan kegembiraan
b) Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan
menurunnya aktivitas.
c) Kosentrasi dan perhatian yang kurang
d) Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang
e) Pandangan masa depan yang suram dan pesimis
3. Depresi Berat
Gejala :
a) Mood depresif
b) Kehilangan minat dan kegembiraan
c) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah
yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.
d) Konsentrasi dan perhatian yang kurang
e) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
f) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
g) Perbuatan yang membahayakan dirinya sendiri atau bunuh diri
h) Tidur terganggu
i) Disertai waham, halusinasi
j) Lamanya gejala tersebut berlangsung selama 2 minggu
2.5.1.3. Karakteristik Depresi Pada Lanjut Usia
Meskipun depresi banyak terjadi dikalangan lansia,- depresi ini sering di
diagnosis salah atau diabaikan. Rata-rata 60-70% lanjut usia yang mengunjungi
praktik dokter umum adalah mereka dengan depresi, tetapi ; acapkali tidak
terdeteksi karena lansia lebih banyak memfokuskan pada keluhan badaniah yang
sebetulnya ; adalah penyerta dari gangguan emosi (Mahajudin, 2007).
Menurut Stanley & Beare (2007), sejumlah faktor yang menyebabkan
keadaan ini, mencakup fakta bahwa depresi pada lansia dapat disamrkan atau
tersamarkan oleh gangguan fisik lainnya (masked depression). Selain itu isolasi
sosial, sikap orang tua, penyangkalan pengabaian terhadap proses penuaan
normal menyebabkan tidak terdeteksi dan tidak tertanganinya gangguan ini.
Depresi pada orang lanjut usia dimanifestasikan dengan adanya keluhan tidak
merasa berharga, sedih yang berlebihan, murung, tidak bersemangat, merasa
kosong, tidak ada harapan, menuduh diri, ide-ide pikiran bunuh diri dan pemilihan
diri yang kurang bahkan penelantaran diri (Wash, 1997).
Samiun (2006) menggambarkan gejala-gejala depresi pada lansia :
1. Kognitif
Sekurang-kurangnya ada 6 proses kognif pada lansia yang menunjukkan gejala
depresi. Pertama, individu yang mengalami depresi memiliki self-esteem yang
sangat rendah. Mereka berpikir tidak adekuat, tidak mampu, merasa dirinya tidak
berarti, merasa rendah diri dan merasa bersalah terhadap kegagalan yang dialami.
Kedua, lansia selalu pesimis dalam menghadapi masalah dan segala sesuatu yang
dijalaninya menjadi buruk dan kepercayaan terhadap dirinya (self-confident) yang
tidak adekuat. Ketiga, memiliki motivasi yang kurang dalam menjalani hidupnya,
selalu meminta bantuan dan melihat semuanya gagal dan sia-sia sehingga merasa
tidak ada gunanya berusaha. Keempat, membesar-besarkan masalah dan selalu
pesimistik menghadapi masalah. Kelima, proses berpikirnya menjadi lambat,
performance intelektualnya berkurang. Keenam, generalisasi dari gejala depresi,
harga diri rendah, pesimisme dan kurangnya motivasi.
2. Afektif
Lansia yang mengalami depresi merasa tertekan , murung, sedih, putus asa,
kehilangan semangat dan muram. Sering merasa terisolasi, ditolak dan tidak
dicintai. Lansia yang mengalami depresi menggambarkan dirinya berada dalam
lubang gelap yang tidak dapat terjangkau dan tidak dapat keluar dari sana.
3. Somatik
Masalah somatik yang sering dialami lansia yang mengalami depresi seperti pola
tidur yang terganggu ( insomnia ), gangguan pola makan dan dorongan seksual
yang berkurang. Lansia lebih rentan terhadap penyakit karena sistem kekebalan
tubuhnya melemah, selain karena aging proces juga karena orang yang mengalami
depresi menghasilkan sel darah putih yang kurang (Schleifer et all, 1984 ; Samiun,
2006).
4. Psikomotor
Gejala psikomotor pada lansia depresi yang dominan adalah retardasi motor.
Sering duduk dengan terkulai dan tatapan kosong tanpa ekspresi, berbicara sedikit
dengan kalimat datar dan sering menghentikan pembicaraan karena tidak memiliki
tenaga atau minat yang cukup untuk menyelesaikan kalimat itu. Dalam pengkajian
depresi pada lansia, menurut Sadavoy et all (2004) gejala-gejala depresi
dirangkum dalam SIGECAPS yaitu gangguan pola tidur (sleep) pada lansia yang
dapat berupa keluhan susah tidur, mimpi buruk dan bangun dini dan tidak bisa
tidur lagi, penurunan minat dan aktifitas (interest), rasa bersalah dan menyalahkan
diri (guilty), merasa cepat lelah dan tidak mempunyai tenaga (energy), penurunan
konsentrasi dan proses pikir (concentration), nafsu makan menurun (appetite),
gerakan lamban dan sering duduk terkulai (psychomotor) dan penelantaran diri
serta ide bunuh diri (suicidaly)
2.5.1.4. Penyebab Depresi
Menurut Stuart dan Sundeen ( 1998 ), faktor penyebab depresi ialah :
A. Faktor Predisposisi
1. Faktor genetik, dianggap mempengaruhi transmisi gangguan afektif melalui riwayat keluarga dan keturunan.
2. Teori agresi menyerang kedalam, menunjukkan bahwa depresi terjadi karena perasaan marah yang ditunjukkan kepada diri sendiri.
3. Teori kehilangan obyek, menunjuk kepada perpisahan traumatika individu dengan benda atau yang sangat berarti.
4. Teori organisasi kepribadian, menguraikan bagaimana konsep diri yang negatif dan harga diri rendah mempengaruhi sistem keyakinan dan penilaian seseorang terhadap stressor.
5. Model kognitif, menyatakan bahwa depresi merupakan masalah kognitif yang di dominasi oleh evaluasi negatif seseorang terhadap diri sesorang, dunia seseorang dan masa depan seseorang.
6. Model ketidakberdayaan yang dipelajari ( learned helplessness ), menunjukkkan bukan semata-mata trauma menyebabkan depresi tetapi keyakinan bahwa seseorang tidak mempunyai kendali terhadap hasil yang penting dalam kehidupannya, oleh karena itu ia mengulang respon yang tidak adaptif.
7. Model perilaku, berkembang dari teori belajar sosial, yang mengasumsi penyebab depresi terletak pada kurangnya keinginan positif dalam berinteraksi dengan lingkungan.
8. Model biologik, menguraikan perubahan kimia dalam tubuh yang terjadi selama depresi, termasuk definisi katekolamin, disfungsi endokri, hipersekresi kortisol, dan variasi periodik dalam irama biologis.
B. Stresor Pencetus
Ada 4 sumber utama stresor yang dapat mencetuskan gangguan alam perasaan
( depresi ) menurut Stuart dan Sundeen ( 1998 ), yaitu :
1. Kehilangan keterikatan yang nyata atau dibayangkan, termasuk kehilangan cinta
seseorang, fungsi fisik, kedudukan atau harga diri. Karena elemen aktual dan
simbolik melibatkan konsep kehilangan, maka persepsi seseorang merupakan hal
sangat penting.
2. Peristiwa besar dalam kehidupan, hal ini sering dilaporkan sebagai pendahulu
episode depresi dan mempunyai dampak terhadap masalah-masalah yang dihadapi
sekarang dan kemampuan menyelesaikan masalah.
3. Peran dan ketegangan peran telah dilaporka mempengaruhi perkembangan
depresi, terutama pada wanita.
4. Perubahan fisiologik diakibatkan oleh obat-obatan atau berbagai penyakit fisik.
Seperti infeski, neoplasma, dan gangguan keseimbangan metabolik, dapat
mencentuskan gangguan alam perasaan. Diantara obat-obatan tersebut terdapat
obat anti hipertensi dan penyalahgunaan zat yang menyebabkan kecanduan.
Kebanyakan penyakit kronik yang melemahkan tubuh juga sering disertai depresi.
Menurut Townsed (1998), penyebab depresi adalah gabungan dari faktor predisposisi (teori biologis terdiri dari genetik dan biokimia), dan faktor pencetus (teori psikososial terdiri dari psikoanalisis, kognitif, teori pembelajaran, teori kehilangan objek).
2.5.1.5. Penyebab Depresi Pada Lanjut Usia
Depresi pada lansia merupakan permasalahan kesehatan jiwa (mental health)
yang serius dan kompleks, tidak hanya dikarenakanaging process tetapi juga
faktor lain yang saling terkait. Sehingga dalam mencari penyebab depresi pada
lansia harus dengan multiple approach. Menurut Samiun (2006) ada 5 pendekatan
yang dapat menjelaskan terjadinya depresi pada lansia yaitu :
1. Pendekatan Psikodinamik
Salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan mencintai dan dicintai, rasa
aman dan terlindung, keinginan untuk dihargai, dihormati dan lain-lain. Menurut
Hawari (1996), seseorang yang kehilangan akan kebutuhan afeksional tersebut
(loss of love object) dapat jatuh dari kesedihan yang dalam. Sebagai contoh
seorang kehilangan orang yang dicintai (terhadap suami atau istri yang
meninggal), kehilangan pekerjaan/jabatan dan sejenisnya akan dan menyebabkan
orang itu mengalami kesedihan yang mendalam, kekecewaan yang diikuti oleh
rasa sesal, bersalah dan seterusnya, yang pada gilirannya orang akan jatuh dalam
depresi.
Freud mengemukakan bahwa depresi terjadi sebagai reaksi terhadap
kehilangan. Perasaan sedih dan duka cita sesudah kehilangan objek yang dicintai
(loss of love object), tetapi seringkali mengalami perasaan ambivalensi terhadap
objek tersebut (mencintai tetapi marah dan benci karena telah meninggalkan).
Orang yang mengalami depresi percaya bahwa intropeksi merupakan satu-satunya
cara ego untuk melepaskan suatu objek, sehingga sering mengritik, marah dan
menyalahkan diri karena kehilangan objek tadi (Kaplan et all, 1997). Depresi yang
terjadi pada lanjut usia adalah dampak negatif kejadian penurunan fungsi tubuh
dan perubahan yang terjadi terutama perubahan psikososial. Perubahan-perubahan
tersebut diatas seringkali menjadi stresor bagi lanjut usia yang membutuhkan
adaptasi biologis dan biologis. Menurut Maramis (1995), pada lanjut usia
permasalahan yang menarik adalah kurangnya kemampuan dalam beradaptasi
secara psikologis terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya. Penurunan
kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dan stres lingkungan sering
menyebabkan depresi.
Strategi adaptasi yang seringkali digunakan lansia yang mengalami depresi
adalah strategi pasif (defence mcanism) seperti menghindar, menolak, impian,
displacement dan lain-lain (Coyne ett all, 1981 ; Samiun, 2006). Hubungan stress
dan kejadian depresi seringkali melibatkan dukungan sosial (social support) yang
tersedia dan digunakan lansia dalam menghadapi stresor. Ada bukti bahwa
individu yang memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang cukup, kurang
mengalami depresi bila berhadapan dengan stres (Billings, et all, 1983 ; Samiun ,
2006).
2. Pendekatan Perilaku Belajar
Salah satu hipotesis untuk menjelaskan depresi pada lansia adalah individu
yang kurang menerima hadiah (reward) atau penghargaan dan hukuman
(punishment) yang lebih banyak dibandingkan individu yang idak depresi
(Lewinsohn, 1974 ; Libet & Lewinsohn, 1997 ; Samiun, 2006). Dampak dari
kurangnya hadiah dan hukuman yang lebih banyak ini mengakibatkan lansia
merasakan kehidupan yang kurang menyenangkan, kecenderungan memiliki self-
esteem yang kurang dan mengembangkan self-concept yang rendah. Hadiah dan
hukuman bersumber dari lingkungan (orang-orang dan peristiwa sekitar) dan dari
diri sendiri. Situasi akan bertambah buruk jika seseorang menilai hadiah yang
diterima terlalu rendah dan hukuman yang diterima terlalu tinggi terutama untuk
tingkah laku mereka sendiri, sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan antara
nilai reward dan punishment itu. Peran hadiah dan hukuman terhadap diri sendiri
yang tidak tepat dapat menimbulkan depresi (Rehm, 1997 ; Wicoxon, et all,
1997 ; Samiun 2006).
Faktor lain dari lingkungan yang berkenaan dari hadiah dan hukuman adalah
seseorang jika pindah ke tempat lain yang dapat mengakibatkan kehilangan
sumber-sumber hadiah dan perubahan dari tingkah laku yang mendapat hadiah
sehingga aktifitas yang sebelumnya dihadiahi menjadi tidak berguna. Standar
untuk hadiah dan hukuman yang meningkat menyebabkan performansi yang
diperlukan untuk mendapat hadiah lebih tinggi. Kehilangan hadiah yang
sebelumnya diterima dapat menyebabkan depresi apabila sumber alternatif untuk
mendapat hadiah tidak ditemukan.
3. Pendekatan Kognitif
Menurut Beck (1967 ; 1976), Samiun (2006), seseorang yang mengalami
depresikarena memiliki kemapanan kognitif yang negatif (negative cognitive sets)
untuk menginterpretasikan diri sendiri, dunia dan masa depan mereka. Misalnya,
seseorang yang berhasil mendapatkan pekerjaan akan mengabaikan keberhasilan
tersebut dan menginterpretasikan sebagai suatu yang kebetulan dan tetap
memikirkan kegagalannya. Akibat dari persepsi yang negatif itu, individu akan
memiliki self-concept sebagai seorang yang gagal, menyalahkan diri, merasa masa
depannya suram dan penuh dengan kegagalan. Masalah utam pada lansia yang
depresi adalah kurangnya rasa percaya diri (self-confidence) akibat persepsi diri
yang negatif (Townsend, 1998).
Negative cognitive sets digunakan individu secara otomatis dan tidak
menyadari adanya distorsi pemikiran dan adanya interpretasi alternative yang
lebih positif, sehingga menyebabkan tingkat aktifitas berkurang karena merasa
tidak ada alasan berusaha. Individu menjadi tidak dapat mengontrol aspek-aspek
negative dari kehidupannya dan merasa tidak berdaya (helplessness). Perasaan
ketidakberdayaan ini yang menyebabkan depresi (Abramson, 1978; Peterson,
1984; Samiun, 2006).
Menurut Kaplan et all (1997), Interpretasi yang keliru (misinterpretation)
kognitif yang sering adalah melibatkan distorsi negative pengalaman hidup,
penilaian diri yang negative, pesimistis dan keputusasaan. Pandangan negative
dan ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness) tersebut selanjutnya
menyebabkan perasaan depresi. Pengalaman awal memberikan dasar pemikiran
diri yang negative dan ketidakberdayaan ini, sepertio pola asuh orang tua, kritik
yang terus menerus tanpa diimbangi dengan pujian, dan kegagalan-kegagalan
yang sering dialami individu (Beck, et al., 1979; Samiun, 2006).
4. Pendekatan Humanistik – Eksitensial
Teori humanistic dan eksistensial berpendapat bahwa depresi terjadi karena
adanya ketidakcocokan antara reality self dan ideal self. Individu yang menyadari
jurang yang dalam antara reality self dan ideal self dan tidak dapat dijangkau,
sehingga menyerah dalam kesedihan dan tidak berusaha mencapai aktualisasi diri.
Menyerah merupakan factor yang penting terjadinya depresi. Individu merasa
tidak ada lagi pilihan dan berhenti hidup sebagai seeorang yang real. Pada lansia
yang gagal untuk bereksistensi diri menyadari bahwa mereka tidak mau berada
pada kondisinya sekarang yang mengalami perubahan dan kurang mampu
menyesuaikan diri, sehingga kehidupan fisik mereka segera berakhir. Kegagalan
bereksistensi ini merupakan suatu kematian simbolis sebagai seseorang yang real.
5. Pendekatan Fisiologis
Teori fisiologis menerangkan bahwa depresi terjadi karena aktivitas
neurologis yang rendah (neurotransmiter norepinefrin dan serotonin) pada sinaps-
sinaps otak yang berfungsi mengatur kesenangan. Neurotransmitter ini
memainkan peranan penting dalam fungsi hypothalamus, seperti mengontrol tidur,
selera makan, seks dan tingkah laku motor (Sachar, 1982; Samiun, 2006),
sehingga seringkali seseorang yang mengalami depresi disertai dengan keluhan-
keluhan tersebut.
Pendekatan genetic terhadap kejadian depresi dengan penelitian saudara
kembar. Monozogotik Twins (MZ) berisiko mengalami depresi 4,5 kali lebih
besar (65%) daripada kembar bersaudara (Dizigotik Twins/DZ) yang 14%
(Nurberger & Gershon, 1982; Samiun, 2006). Secara keseluruhan dapat dikatakan
bahwa secara genetic depresi itu diturunkan.
Menurut Mangoenprasodjo (2004), depresi pada lansia merupakan perpaduan
interaksi yang unik dari berkurangnya interaksi social, kesepian, masalah social
ekonomi, perasaan rendah diri karena penurunan kemampuan rendah diri,
kemandirian, dan penurunan fungsi tubuh, serta kesedihan ditinggal orang yang
dicintai, factor kepribadian, genetic, dan factor biologis penurunan neuron-neuron
dan neurotransmitter di otak. Perpaduan ini sebagai factor terjadinya depresi pada
lansia. Kompleksitasnya perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia, sehingga
depresi pada lansia dianggap sebagai hal yang wajar terjadi.
2.5.1.6. Depresi Lanjut Usia Pasca Kuasa (POST POWER SYNDROME)
Depresi pada pasca kuasa adalah perasaan sedih yang mendalam yang
dialami seseorang setelah mengalami pension. Salah satu factor penyebab depresi
pada pasca kuasa adalah karena adanya perubahan yang berkaitan dengan
pekerjaan atau kekuasaan ketika pension. Meskipun tujuan ideal pension adalah
agar para lansia dapat menikmati hati tua atau jaminan hari tua, namun dalam
kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pension sering dirasakan sebagai
kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri
(Rini J, 2001). Menurut Kuntioro (2002), reaksi setelah orang memasuki masa
pension lebih tergantung dari model kepribadiannya. Untuk mensiasati agar masa
pension tidak merupakan beban mental lansia, jawabannya adalah sangat
tergantung pada sikap dan mental individu dalam masa pensiun, dalam
kenyataannya ada yang menerima ada yang takut kehilangan ada yang merasa
senang memiliki jaminan hari tua da nada juga yang seolah-olah acuh terhadap
pension (pasrah). Masing-masing sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi
masing-masing individu baik positif maupun negative. Dampak positif lebih
menentramkan driri lansia dan dampak negative akan mengganggu kesejahteraan
hidup.
Secara umum peristiwa kehidupan meliputi kehilangan harga diri,
gangguan interpersonal, peristiwa social yang tidak diinginkan dan gangguan pola
kehidupan yang besar. Kejadian yang tidak diinginkan juga sering menjadi factor
presipitasi depresi. Kejadian di masa lampau (perpisahan dan segala macam
kehilangan) lebih sering memperburuk gejal kejiwaan, perubahan kesehatan fisik,
gangguan penampilan peran social dan depresi (Stuart dan Larairam, 1998).
Menurut Hawari (1996) orang yang mempunyai jabatan adalah orang yang
mempunyai kekuasaan, wewenang, dan kekuatan (power). Orang yang kehilangan
jabatan berarti orang yang kehilangan kekuasaan dan kekuatan (powerless),
artinya sesuatu yang dimiliki dan dicintai kini telah tiada (loss of love object).
Dampak dari loss of love object ini adalah terganggunya keseimbangan
mental/emosional dengan manifestasi berbagai keluhn fisik, kecemasan dan
terlebih-lebih depresi. Keluhan-keluhan tersebut di atas disertai dengan perubahan
sikap dan perilaku, merupakan kumpulan gejala yang disebut sindroma pasca
kuasa (post power syndrome). Perubahan sikap dan perilaku tersebut merupakan
dampak atau keluhan psikososial dari orang yang baru kehilangan jabatan atau
kekuasaan.
Kehilangan jabatan atau kekuasaan berarti perubahan posisi, yang dahulu
kuat kini merasa lemah. Perubahan posisi ini mengakibatkan perubahan dalam
alam fikir (rasio) dan alam perasaan pada diri yang bersangkutan. Kalau keluhan-
keluhan yang bersifat fisik (somatik) dan kejiwaan (kekecewaan atau depresi) itu
sifatnya kedalam, tertutup dan tidak terbuka maka keluhan psikososial inilah yang
sering menampakan diri dalam bentuk ucapan maupun sikap dan perilaku.
Keluhan-keluhan psikososial terjadi disebabkan karena perubahan posisi
yang mengakibatkan perubahan persepsi dari diri yang bersangkutan terhadap
kondisi psikososial di luar dirinya. Guna menghindari rasa kecewa dan tidak
senang itu, orang menggunakan mekanisme defensive antara lain berupa
makanisme proyeksi dan rasionalisasi itulah maka terjadi perubahan persepsi
seseorang terhadap kondisi psikososial sekelilingnya. Menurut Maramis (1995),
bahwa stress psikologis terutama pada jiwa, seperti kecemasan, kekecewaan dan
rasa bersalah yang menimbulkan mekanisme penyesuaian psikologis. Mungkin
pada sewaktu-waktu, hanya gejala badaniah atau gejala psiokologik saja yang
menonjol, tetapi kita harus mengingat bahwa manusia itu senantiasa bereaksi
secara holistic, yaitu bahwa seluruh manusia itu terlibat dalam hal ini.
Karena manusia bereaksi secara holistic, maka depresi terdapat juga
komponen psikologik dan komponen somatic. Gejala-gejala psikologik ialah
menjadi pendiam, rasa sedih, pesimistis, putus asa, nafsu bekerja dan bergaul
kurang, tidak dapat mengambil keputusan lekas lupa timbul pikiran bunuh diri.
Sedangkan gejala badaniah ialah penderita kelihatan tidak senang, lelah tak
bersemangat atau apatis, bicara dan gerak-geriknya pelan dan kurang hidup,
terdapat anoreksia (kadang-kadang makan terlalu banyak sebagai pelarian),
insomnia (sukar untuk tertidur) dan konstipasi.
2.5.1.7. Faktor-faktor yang menyebabkan depresi pada lanjut usia yang tinggal di Institusi
Terjadinya depresi pada lanjut usia yang tinggal dalam institusional seperti tinggal
di panti wreda (Endah dkk, 2003) :
a. Faktor Psikologis
Motivasi masuk panti wreda sangat penting bagi lanjut usia untuk
menentukan tujuan hidup dan apa yang ingin dicapainya dalam kehidupan di
panti. Tempat dan situasi yang baru, orang0orang yang belum dikenal, aturan dan
nilai-nilai yang berbeda, dan keterasingan merupakan stressor bagi lansia yang
membutuhkan penyesuaian diri. Adanya keinginan dan motivasi lansia untuk
tinggal dipanti akan membuatnya bersemangat meningkatkan toleransi dan
kemampuan adaptasi terhadap situasi baru.
Menurut Maramis (1995), pada lanjut usia permasalah yang menarik
adalah kekurangan kemampuan dalam beradaptasi secara psikologis terhadap
perubahan yang terjadi pada dirinya. Penurunan kemampuan beradaptasi terhadap
perubahan dan stress lingkungan sering menyebabkan depresi. Hubungan stress
dan kejadian depresi seringkali melibatkan dukungan social (social support) yang
tersedia dan digunakan lansia dalam menghadapi stressor. Ada bukti bahwa
individu yang memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang cukup, kurang
mengalami depresi bila berhadapan dengan stress (Billings, et all, 1983; Samiun,
2006).
Rasa kurang percaya diri atau tidak berdaya dan selalu menganggap bahwa
hidupnya telah gagal karena harus menghabiskan sisa hidupnya jauh dari orang-
orang yang dicintai mengakibatkan lansia memandang masa depan suram dan
selalu menyesali diri, sehingga mempengaruhi kemampuan lansia dalam
beradaptasi terhadap situasi baru tinggal di institusi.
b. Faktor Psikososial
Kunjungan keluarga yang kurang, berkurangnya interaksi social dan
dukungan social mengakibatkan penyesuaian diri yang negative pada lansia.
Menurunnya kepasitas hubungan keakraban dengan keluarga dan berkurangnnya
interaksi dengan keluarga yang dicintai dapat menimbulkan perasaan tidak
berguana, merasa disingkirkan, tidak dibutuhkan lagi dan kondisi ini dapat
berperan dalam terjadinya depresi. Tinggal di institusi membuat konflik bagi
lansia antara integritas, pemuasan hidup dan keputusasaan karena kehilangan
dukungan social yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk memelihara dan
mempertahankan kepuasan hidup dan self-esteemnya sehingga mudah terjadi
depresi pada lansia (Stoudemire, 1994).
Kemampuan adaptasi dan lamanya tinggal dipanti mempengaruhi
terjadinya depresi. Sulit bagi lansia meninggalkan tempat tinggal lamanya. Pada
lansia yang harus meninggalkan rumah tempat tinggal lamanya (relokasi) oleh
karena masalah kesehatan atau social ekonomi merupakan pengalaman yang
traumatic karena berpisah dengan kenangan lama dan pertalian persahabatan yang
telah memberikan perasaan aman dan stabilitas sehingga sering mengakibatkan
lansia merasa kesepian dan kesendirian bahkan kemeorosotan kesehatan dan
depresi (Friedman, 1995).
Pekerjaan di waktu muda dulu yang berkaitan dengan peran social dan
pekerjaannya yang hilang setelah memasuki masa lanjut usia dan tinggal di
institusi mengakibatkan hilangnya gairah hidup, kepuasaan dan penghargaan diri.
Lansia yang dulunya aktif bekerja dan memiliki peran penting dalam
pekerjaannya kemudian berhenti bekerja mengalami penyesuaian diri dengan
peran barunya sehingga seringkali menjadi tidak percaya dan rendah diri (Rini,
2001).
c. Faktor Budaya
Perubahan social ekonomi dan nilai social masyarakat, mengakibatkan
kecenderungan lansia tersisihkan dan terbengkalai tidak mendapatkan perawatan
dan banyak yang memilih untuk menaruhnya di panti lansia (Darmojo & Martono,
2004). Pergeseran system keluarga (family system) dari extendend family ke
nuclear family akibat industrialisasi dan urbanisasi mengakibatkan lansia
terpinggirkan. Budaya industrialisasi dengan sifat mandiri dan individualis
menggangap lansia sebagai “trouble maker” dan menjadi beban sehingga langkah
penyelesainnya dengan menitipkan di panti. Akibatnya bagi lansia memperburuk
psikologisnya dan mempengaruhi kesehatannya.
Tinggal di panti wreda harusnya merupakan alternative yang terakhir bagi
lansia, karena tinggal dalam keluarga adalah yang terbaik bagi lansia sesuai
dengan tugas perkembangan keluarga yang memiliki lansia untuk
mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan dan mempertahankan ikatan
keluarga antargenerasi (Duvall, 1985 yang dikutip oleh Friedman, 1998).
2.5.1.8. Skala Pengukuran Depresi Pada Lanjut Usia
Depresi dapat mempengaruhi perilaku dan aktivitas seseorang terhadap
lingkungannya. Gejala depresi pada lansia diukur menurut tingkatan sesuai
dengan gejala yang termanifestasi. Jika dicurigai terjadi depresi, harus dilakukan
pengkajian dengan alat pengkajian yang terstandarisasi dan dapat dipercayai serta
valid dan memang dirancang untuk diujikan kepada lansia. Salah satu yang paling
mudah digunakan untuk diinterprestasikan di berbagai tempat, baik oleh peneliti
maupun praktisi klinis adalah Geriatric Depression Scale (GDS). Alat ini
diperkenalkan oleh Yesavage pada tahun 1983 dengan indikasi utama pada lanjut
usia, dan memiliki keunggulan mudah digunakan dan tidak memerlukan
keterampilan khusus dari pengguna. Instrument GDS ini memiliki sensitivitas 84
% dan specificity 95 %. Tes reliabilitas alat ini correlates significantly of 0,85
(Burns, 1999). Alat ini terdiri dari 30 poin pertanyaan dibuat sebagai alat
penapisan depresi pada lansia. GDS menggunakan format laporan sederhana yang
diisi sendiri dengan menjawab “ya” atau “tidak” setiap pertanyaan, yang
memrlukan waktu sekitar 5-10 menit untuk menyelesaikannya. GDS merupakan
alat psikomotorik dan tidak mencakup hal-hal somatic yang tidak berhubungan
dengan pengukuran mood lainnya. Skor 0-10 menunjukkan tidak ada depresi, nilai
11-20 menunjukkan depresi ringan dan skor 21-30 termasuk depresi sedang/berat
yang membutuhkan rujukan guna mendapatkan evaluasi psikiatrik terhadap
depresi secara lebih rinci, karena GDS hanya merupakan alat penapisan.
Spesifikasi rancangan pernyataan perasaan (mood) depresi seperti tabel berikut:
Table 5.1 Spesifikasi rancangan kuesioner GDS
Butir Soal
Parameter Favorable UnfavorableMinat aktivitas 2, 12, 20, 28 27Perasaan sedih 16, 25 9, 15, 19Perasaan sepi dan bosan 3, 4Perasaan tidak berdaya 10, 17, 24Perasaan bersalah 6, 8, 11, 18, 23 1Perhatian/konsentrasi 14, 26, 30 29Semangat atau harapan terhadap masa depan
13, 22 5, 7, 21
Skoring nilai 1 diberikan pada pernyataan Favorable untuk jawaban “ya”
dan nilai 0 untuk jawaban “tidak” sedangkan pernyataan Unfavorable, jawaban
“tidak” diberi nilai 1 dan jawaban “ya” diberi nilai 0.
Assasment Tool geriatric depressions scale (GDS) untuk mengkaji depresi pada
lansia sebagai berikut:
No.
Pernyataan Ya Tidak
1. Apakah bapak/ibu sekarang ini merasa puas dengan kehidupannya?
2. Apakah bapak/ibu telah meninggalkan banyak kegiatan atau kesenangan akhir-akhir ini?
3. Apakah bapak/ibu sering merasa hampa/kosong di dalam hidup ini?
4. Apakah bapak/ibu sering merasa bosan?5. Apakah bapak/ibu merasa mempunyai harapan yang baik di
masa depan?6. Apakah bapak/ibu merasa mempunyai pikiran jelek yang
menganggu terus menerus?
7. Apakah bapak/ibu memiliki semangat yang baik setiap saat?8. Apakah bapak/ibu takut bahwa sesuatu yang buruk akan
terjadi pada anda?9. Apakah bapak/ibu merasa bahagia sebagian besar waktu?10 Apakah bapak/ibu sering merasa tidak mampu berbuat apa-
apa?11. Apakah bapak/ibu sering merasa resah dan gelisah?12. Apakah bapak/ibu lebih senang tinggal dirumah daripada
keluar dan mengerjakan sesuatu?13. Apakah bapak/ibu sering merasa khawatir tentang masa
depan?14. Apakah bapak/ibu akhir0akhir ini sering pelupa?15. Apakah bapak/ibu piker bahwa hidup bapak/ibu sekarang ini
menyenangkan?16. Apakah bapak/ibu sering merasa sedih dan putus asa?17. Apakah bapak/ibu merasa tidak berharga akhir-akhir ini?18. Apakah bapak/ibu sering merasa khawatir tentang masa
lalu?19. Apakah bapak/ibu merasa hidup ini menggembirakan?20 Apakah sulit bagi bapak/ibu untuk memulai kegiatan yang
baru?21. Apakah bapak/ibu merasa penuh semangat?22. Apakah bapak/ibu merasa situasi sekarang ini tidak ada
harapan?23. Apakah bapak/ibu berpikir bahwa orang lain lebih baik
keadaannya daripada bapak/ibu?24. Apakah bapak/ibu sering marah karena hal-hal yang sepele?25. Apakah bapak/ibu sering merasa ingin menangis?26. Apakah bapak/ibu sulit berkonsentrasi?27. Apakah bapak/ibu merasa senang waktu bangun tidur dipagi
hari?28. Apakah bapak/ibu tidak suka berkumpul di pertemuan
social?29. Apakah mudah bagi bapak/ibu membuat sesuatu keputusan?30. Apakah pikiran bapak/ibu masih tetap mudah dalam
memikirkan sesuatu seperti dulu?
2.5.1.9. Upaya Penanggulangan Depresi Pada Lansia
Dalam pendekatan pelayanan kesehatan pada kelompok lanjut usia sangat
perlu ditekannkan pendekatan yang mencakup fisik, psikologis, spiritual dan
sosial. Hal tersebut karena pendekatan daru satu aspek saja tidak akan menunjang
pelayanan kesehatan pada lanjut usia yang membutuhkan suatu pelayanan yang
komprehensif. Pendekatan inilah yang dalam bidang kesehatan jiwa (mental
health) disebut pendekatan eclectic holistik, yaitu suatu pendekatan yang tidak
tertuju pada kondisi fisik saja, akan tetapi juga mencakup aspek psychological,
psikososial, spiritual dan lingkungan yang menyertainya. Pendekatan Holistik
adalah pendekatan yang menggunakan semua upaya untuk meningkatan derajat
kesehatan lanjut usia, secara utuh dan menyeluruh (Hawari, 1996).
Ada beberapa upaya penanggulangan depresi dengan eclectic holistic approach,
diantaranya:
1) Pendekatan Psikodinamik
Focus pendekatan psikodinamik adalah penanganan terhadap konflik-
konflik yang berhubungan dengan kehilangan dan stress. Upaya penanganan
depresi dengan mengidentifikasi kehilangan dan stress yang menyebabkan
depresi, mengatasi, dan mengembangkan cara-cara menghadapi kehilangan dan
stressor dengan psikoterapi yang bertujuan untuk memulihkan kepercayaan diri
(self confidence) dan memperkuat ego. Menurut Kaplan et all (1887), pendekatan
ini tidak hanya untuk menghilangkan gejala, tetapi juga untuk mendapatkan
perubahan struktur dan karakter kepribadian yang bertujuan untuk perbaikan
kepercayaan pribadi, keintiman, mekanisme mengatasi stressor, dan kemampuan
untuk mengalami berbagai macam emosi.
Pendekatan keagaman (spiritual) dan budaya sangat dianjurkan pada
lansia. Pemikiran-pemikiran dari ajaran agama apapun mengandung tuntunan
bagaimana dalam kehidupan di dunia ini manusia tidak terbebas dari rasa cemas,
tegang, depresi, dan sebagainya. Demikian pula dapat ditemukan dalam doa-doa
yang paada intinya memohon kepada Tuhan agar dalam kehidupan ini manusia
diberi ketenangan, kesejahteraan dan keselamatan baik di dunia dan di akhirat
(Hawari, 1996).
2) Pendekatan Perilaku Belajar
Penghargaan atas diri yang kurang akibat dari kurangnya hadiah dan
berlebihannya hukuman atas diri dapat di atasi dengan pendekatan perilaku
belajar. Caranya dengan identifikasi aspek-aspek leingkungan yang merupakan
sumber hadiah dan hukuman. Kemudian diajarkan keterampilan dan strategi baru
untuk mengatasi, menghindari, atau mengurangi pengalaman yang menghukum,
seperti assertive training, latihan keterampilan social, latihan relaksasi, dan latihan
manajemen waktu. Usaha berkutnya adalah peningkatan hadiah dalam hidup
dengan self-reinforcement, yang diberikan segera setelah tugas dapat diselesaikan.
Menurut Samiun (2006), ada tiga hal yang p[erlu diperhatikan dalam
pemberian hadiah dan hukuman, yaitu tugas dan teknik yang diberikan terperinci
dan spesifik untuk aspek hadiah dan hukuman dari kehidupan tertentu dari
individu. Teknik ini dapat untuk mengubah tingkah laku supaya meningkatkan
hadiah dan mengurangi hukuman, serta individu harus diajarkan keterampilan
yang diperlukan untuk meningkatkan hadiah dan mengurangi hukuman.
3) Pendekatan Kognitif
Pendekatan ini bertujuan untuk mengubah pandangan dan pola pikit
tentang keberhasilan masa lalu dan sekarang dengan cara mengidentifikasi
pemikiran negative yang mempengaruhi suasana hati dan tingkah laku, menguji
individu untuk menentukan apakah pemikirannya benar dan menggantikan pikiran
yang tidak tepat dengan yang lebih baik (Beck, et al, 1979; Samiun, 2006). Dasar
dari pendekatan ini adalah kepercayaaan (belief) individu yang terbentuk dari
rangkaian verbalisasi diri (self-talk) terhadap peristiwa/pengalaman yang dialami
yang menentukan emosi dan tingkah laku diri.
Menurut Kaplan et all (1997), upaya pendekatan ini adalah menghilangkan
episode depresi dan mencegah rekuren dengan membantu mengidentifikasi dan uji
kognisi negative, mengembangkan cara berpikir alternative, fleksibel dan positif,
serta melatih respon kognitif dan perilaku yang baru dan penguatan perilaku dan
pemikiran yang positif.
4) Pendekatan Humanistik Eksistensial
Tugas utama pendekatan ini adalah membantu individu menyadari
kebaradaannya didunia ini dengan memperluas kesadaran diri, menemukan
dirinya kembali dan bertanggung jawab terhadap arah hidupnya. Dalam
pendekatan ini, individu yang harus berusaha membuka pintu menuju dirinya
sendiri, melonggarkan belengu deterministic yang menyebabkan terpenjara secara
psikologis (Corey, 1993; Samiun, 2006). Dengan mengeksplorasi alternative ini
membuat pandangan menjadi real, individu menjadi sadar siapa dia sebelumnya,
sekarang dan lebih mempu menetapkan masa depan.
5) Pendekatan Farmakologis
Dari berbagai jenis upaya untuk gangguan depresi ini, maka terapi
psikofarmaka (farmakoterapi) dengan obat anti depresan merupakan pilihan
alternative. Hasil terapi dengan obat anti depresan adalah baik dengan
dikombinasikan dengan upaya psikoterapi.
2.5.2. Berduka Cita
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu
yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau
keseluruhan. Periode duka cita merupakan suatu periode yang sangat rawan bagi
seorang penderita lanjut usia. Meninggalnya pasangan hidup, seorang teman dekat
atau bahkan seekor hewan yang sangat disanyangi bias mendadak memutuskan
ketahanan kejiwaan yang sudah rapuh dari seorang lansia, yang selanjutnya akan
memicu terjadinya gangguan fisik dn kesehatannya. Periode 2 tahun pertama
setelah ditinggal mati pasangan hidup atau teman dekat tersebut merupakan
periode yang sangat rawan. Pada periode ini orang tersebut justru harus dibiarkan
untuk dapat mengekspresikan dukacita tersebut. Sering diawali dengan perasaan
kosong, kemudian diikuti dengan menangis dan kemudian suatu periode depresi.
Depresi akibat duka-cita pada usia lanjut biasanya tidak bersifat self limiting.
Dokter atau petugas kesehatan harus memberi kesempatan pada episode tersebut
berlalu. Diperlukan pendamping yang dengan penuh empati mendengarkan
keluhan, memberikan hiburan dimana perlu dan tidak membiarkan tiap episode
berkepanjangan dan berjalan terlalu berat. Apabila upaya diatas tidak berhasil,
bahkan timbul depresi berat, konsultasi psikiatrik mungkin diperlukan, dengan
kemungkinan diberikan obat anti depresan.
2.5.3. Kesepian
Kesepian atau loneliness, biasanya dialami oleh seseorang lanjut usia pada
saat meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat, terutama bila dirinya sendiri
saat itu juga mengalami berbagai penurunan status kesehatan, misalnya menderita
berbagai penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik,
terutama gangguan pendengaran (Brocklehurts-Allen, 1987).
Harus dibedakan antara kesepian dengan hidup sendiri. Banyak di antara
lansia hidup sendiri tidak mengalami kesepian, karena aktivitas social yang masih
tinggi, tetapi dilain pihak terdapat lansia yang walaupun hidup di lingkungan yang
beranggotakan cukup banyak, tohh mengalami kesepian.
Pada penderita kesepian ini peran dari organisasi social sangat berarti,
karena bias bertindak menghibur, memberikan motivasi untuk lebih meningkatkan
peran social penderita, di samping memberikan bantuan pengerjaan pekerjaan di
rumah bila memang terdapat disabilitas penderita dalam hal-hal tersebut.
Diagnosa Keperawatan
1. Kesepian berhubungan dengan menarik diriTujuan :
1. Pasien mampu mengekspresikan perasaannya2. Pasien mampu kembali bersosialisasi dengan lingkungan
Intervensi Bina hubungan saling percaya Bantu klien menguraikan kelebihan dan kekurangan interpersonal. Bantu klien membina kembali hubungan interpersonal yang positf / adaptif dan
memberikan kepuasan timbal balik :a) Beri penguatan dan kritikan yang positifb) Dengarkan semua kata-kata klien dan jangan menyela saat klien bertanya.c) Berikan penghargaan saat klien dapat berprilaku yang positifd) Hindari ketergantungan klien Libatkan dalam kegiatan ruangan. Ciptakan lingkungan terapeutik Libatkan keluarga/system pendukung untuk membantu mengatasi masalah klien.
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan konsep diri dan depresiTujuan :
1) Pasien mampu berpartisipasi dalam memutuskan perawatan dirinya2) Pasien mampu melakukan kegiatan dalam menyelesaikan masalahnya
Intervensi Bicara secara langsung dengan klien, hargai individu dan ruang pribadinya jika
tepat Beri kesempatan terstruktur bagi klien untuk membuat pilihan perawatan Beri kesempatan bagi pasien untuk bertanggung jawab terhadap
perawatan dirinya Beri kesempatan menetapkan tujuan perawatan dirinya. Contoh : minta pasien
memilih apakah mau mandi, sikat gigi atau gunting kuku. Beri kesempatan untuk menetapkan aktifitas perawatan diri untuk mencapai
tujuan. Contoh : Jika pasien memilih mandi, bantu pasien untuk menetapkan aktifitas untuk mandi (bawa sabun, handuk, pakaian bersih)
Berikan pujian jika pasien dapat melakukan kegiatannya.
Tanyakan perasaan pasien jika mampu melakukan kegiatannya. Sepakati jadwal pelaksanaan kegiatan tersebut secara teratur. Bersama keluarga memilih kemampuan yang bisa dilakukan pasien saat ini Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian terhadap kemampuan yang masih
dimiliki pasien. Anjurkan keluarga untuk membantu pasien melakukan kegiatan sesuai
kemampuan yang dimiliki. Anjurkan keluarga memberikan pujian jika pasien melakukan kegiatan sesuai
dengan jadwal kegiatan yang sudah dibuat.
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ansietasTujuan :
1) Pasien mampu mengidentifikasi penyebab gangguan pola tidur2) Pasien mampu memenuhi kebutuhan istirahat dan tidur
Intervensi Identifikasi gangguan dan variasi tidur yang dialami dari pola yang biasanya Anjurkan latihan relaksasi, seperti musik lembut sebelum tidur Diskusikan cara-cara utuk memenuhi kebutuhan tidur Kurangi tidur pada siang hari Minum air hangat/susu hangat sebelum tidur Hindarkan minum yang mengandung kafein dan coca cola Mandi air hangat sebelum tidur Dengarkan musik yang lembut sebelum tidur Anjurkan pasien untuk memilih cara yang sesuai dengan kebutuhannya) Berikan pujian jika pasien memilih cara yang tepat untuk memenuhi kebutuhan
tidurnya Anjurkan keluarga untuk menciptakan lingkungan yang tenang untuk
memfasilitasi agar pasien dapat tidur.
4. Resiko membahayakan diri berhubungan dengan perasaan tidak berharga dan putusasaTujuan :
1) Pasien tidak membahayakan dirinya sendiri2) Pasien mampu memilih alternatif penyelesaian masalah yang konstruktif
Intervensi Identifikasi derajat resiko / potensi untuk bunuh diri Bantu pasien mengenali perasaan yang menjadi penyebab timbulnya ide bunuh
diri. Ajarkan beberapa alternatif cara penyelesaian masalah yang konstruktif. Bantu pasien untuk memilih cara yang palin tepat untuk menyelesaikan masalah
secara konstruktif. Beri pujian terhadap pilihan yang telah dibuat pasien dengan tepat. Anjurkan pasien mengikuti kegiatan kemasyarakatan yang ada di lingkungannya Lakukan tindakan pencegahan bunuh diri Mendiskusikan dengan keluarga koping positif yang pernah dimiliki klien dalam
menyelesaikan masalah
5. Harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tak efektif sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.Tujuan :
1) Klien merasa harga dirinya naik.2) Klien mengunakan koping yang adaptif.3) Klien menyadari dapat mengontrol perasaannya.
Intervensi Bina hubungan saling percaya dan keterbukaan. Maksimalkan partisipasi klien dalam hubungan terapeutik. Bantu klien menerima perasaan dan pikirannya. Bantu klien menjelaskan konsep dirinya dan hubungannya dengan orang lain
melalui keterbukaan. Berespon secara empati dan menekankan bahwa kekuatan untuk berubah ada pada
klien. Mengeksplorasi respon koping adaptif dan mal adaptif terhadap masalahnya. Bantu klien mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah. Bantu klien untuk melakukan tindakan yang penting untuk merubah respon
maladaptif dan mempertahankan respon koping yang adaptif. Identifikasi dukungan yang positif dengan mengaitkan terhadap kenyataan. Berikan kesempatan untuk menangis dan mengungkapkan perasaannya.
Ciri-ciri tiga macam depresi (Tumlahaye,1998).
Kehilangan semangat (ringan)Patah semangat (serius)
Putus asa (berat)
Mental
™ Ragu-ragu
™ Kemurkaan
™ Kasihan diri sendiri
™ Kritik diri sendiri
™ Kemarahan
™ Kasihan diri sendiri
™ Penolakan diri sendiri
™ Kepahitan
Kasihan diri sendiri
Fisik
™ Kehilangan nafsu makan
™ Tidak dapat tidur
™ Penampilan yang tidak teratur
™ Kelesuan
™ Kecemasan
™ Menangis
™ Pengungsian diri
™ Kepasifan
emosional™ Ketidakpatuhan
™ Kesedihan
™ Mudah tersinggung
™ Keadaan yang sulit
™ Penderita kesepian
™ Tiada harapan
™ Skizophegenia
™ Keadaan tertinggal
™ Ragu-ragu akan tuhan™ Kemarahan akan sabda-sabda tuhan
Spiritual
™ Tidak senang akan tuhan
™ Tidak berterima kasih dan tidak percaya
™ Menolak akan tuhan
™ Mengeluh terhadap tuhan
™ Acuh tak acuh akan nasehat
™ Tidak percaya terhadap tuhan
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA DENGAN DEPRESI
1. A. Pengkajian 1. Identitas diri klien2. Struktur keluarga : Genoogram3. Riwayat Keluarga4. Riwayat Penyakit Klien
Kaji ulang riwayat klien dan pemeriksaan fisik untuk adanya tanda dan gejala karakteristik yang berkaitan dengan gangguan tertentu yang didiagnosis.
1. Kaji adanya depresi.2. Singkirkan kemungkinan adanya depresi dengan scrining yang tepat,
seperti geriatric depresion scale.3. Ajukan pertanyaan-pertanyaan pengkajian keperawatan4. Wawancarai klien, pemberi asuhan atau keluarga.
Lakukan observasi langsung terhadap :
1. Perilaku.
Bagaimana kemampuan klien mengurus diri sendiri dan melakukan aktivitas hidup sehari-hari?
Apakah klien menunjukkan perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial?
Apakah klien sering mengluyur danmondar¬mandir? Apakah ia menunjukkan sundown sindrom atau
perseveration phenomena?
1. Afek
Apakah kilen menunjukkan ansietas? Labilitas emosi? Depresi atauapatis? lritabilitas? Curiga? Tidak berdaya? Frustasi?
1. Respon kognitif
Bagaimana tingakat orientasi klien? Apakah klien mengalamikehilangan ingatan tentang hal¬hal yang baru
saja atau yang sudah lamaterjadi? Sulit mengatasi masalah, mengorganisasikan atau mengabstrakan? Kurang mampu membuat penilaian? Terbukti mengalami afasia, agnosia, atau,apraksia?
1. Luangkan waktu bersama pemberi asuhan atau keluarga 1. Identifikasi pemberian asuhan primer dan tentukan berapa lama ia
sudah menjadi pemberi asuhan dikeluarga tersebut.2. ldentifikasi sistem pendukung yang ada bagi pemberi asuhan dan
anggota keluarga yang lain.3. Identifikasi pengetahuan dasar tentang perawatan klien dan sumber
daya komunitas (catat hal-hal yang perlu diajarkan).4. Identifikasi sistem pendukung spiritual bagi keluarga.5. Identilikasi kekhawatiran tertentu tentang klien dan kekhawatiran
pemberiasuhan tentang dirinya sendiri.
Klasifikasi Data o Data Subyektif
1. Lansia Tidak mampu mengutarakan pendapat dan malas berbicara.2. Sering mengemukakan keluhan somatic seperti ; nyeri abdomen dan dada,
anoreksia, sakit punggung,pusing.3. Merasa dirinya sudah tidak berguna lagi, tidak berarti, tidak ada tujuan
hidup, merasa putus asa dan cenderung bunuh diri.4. Pasien mudah tersinggung dan ketidakmampuan untuk konsentrasi.
Data Obyektif
1. Gerakan tubuh yang terhambat, tubuh yang melengkung dan bila duduk dengan sikap yang merosot.
2. Ekspresi wajah murung, gaya jalan yang lambat dengan langkah yang diseret.
3. Kadang-kadang dapat terjadi stupor.4. Pasien tampak malas, lelah, tidak ada nafsu makan, sukar tidur dan sering
menangis.5. Proses berpikir terlambat, seolah-olah pikirannya kosong, konsentrasi
terganggu, tidak mempunyai minat, tidak dapat berpikir, tidak mempunyai daya khayal.
Pada pasien psikosa depresif terdapat perasaan bersalah yang mendalam, tidak masuk akal (irasional), waham dosa, depersonalisasi dan halusinasi. Kadang-kadang pasien suka menunjukkan sikap bermusuhan (hostility), mudah tersinggung (irritable) dan tidak suka diganggu. Pada pasien depresi juga mengalami kebersihan diri kurang dan keterbelakangan psikomotor.
1. B. Diagnosa Keperawatan 1. Mencederai diri berhubungan dengan depresi.2. Gangguan alam perasaan: depresi berhubungan dengan koping
maladaptif.
1. C. Rencana Tindakan Keperawatan
DX I : Mencederai diri berhubungan dengan depresi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1X24 jam lansia tidak mencederai diri.
Kriteria Hasil:
1. Lansia dapat mengungkapkan perasaanya.2. Lansia tampak lebih bahagia.3. Lansia sudah bisa tersenyum ikhlas.
Intervensi
1. Bina hubungan saling percaya dengan lansia.
Rasional : hubungan saling percaya dapat mempermudah dalam mencari data-data tentang lansia.
1. Lakukan interaksi dengan pasien sesering mungkin dengan sikap empati dan Dengarkan pemyataan pasien dengan sikap sabar empati dan lebih banyak memakai bahasa non verbal. Misalnya: memberikan sentuhan, anggukan.
Rasional : Dengan sikap sabar dan empati lansia akan merasa lebih diperhatikan dan berguna.
1. Pantau dengan seksama resiko bunuh diri/melukai diri sendiri. Jauhkan dan simpan alat-alat yang dapat digunakan olch pasien untuk mencederai dirinya/orang lain, ditempat yang aman dan terkunci.
Rasional : Meminimalkan terjadinya perilaku mencederai diri
DX 2 : Gangguan alam perasaan: depresi berhubungan dengan koping maladaptif
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1X24 jam lansia merasa tidak stres dan depresi.
Kriteria Hasil :
1. Klien dapat meningkatkan harga diri2. Klien dapat menggunakan dukungan sosial3. Klien dapat menggunakan obat dengan benar dan tepat
Intervensi :
1. Klien dapat meningkatkan harga diri
Tindakan:
1. Bantu untuk memahami bahwa klien dapat mengatasi keputusasaannya.
Rasional : Membangun motivasi pada lansia
1. Kaji dan kerahkan sumber-sumber internal individu.
Rasional :Individu lebih percaya diri
1. Bantu mengidentifikasi sumber-sumber harapan (misal: hubungan antar sesama, keyakinan, hal-hal untuk diselesaikan).
Rasional : Menumbuhkan semangat hidup lansia
1. Klien dapat menggunakan dukungan sosial
Tindakan:
1. Kaji dan manfaatkan sumber-sumber ekstemal individu (orang-orang terdekat, tim pelayanan kesehatan, kelompok pendukung, agama yang dianut).
Rasional : Lansia tidak merasa sendiri
1. Kaji sistem pendukung keyakinan (nilai, pengalaman masa lalu, aktivitas keagamaan, kepercayaan agama).
Rasional : Meningkatkan nilai spiritual lansia
1. Lakukan rujukan sesuai indikasi (misal : konseling pemuka agama).
Rasional : Untuk menangani klien secara cepat dan tepat
1. Klien dapat menggunakan obat dengan benar dan tepat
Tindakan:
1. Diskusikan tentang obat (nama, dosis, frekuensi, efek dan efek samping minum obat).
Rasional : Untuk memberi pemahaman kepada lansia tentang obat
1. Bantu menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar pasien, obat, dosis, cara, waktu).
Rasional : Prinsip 5 benar dapat memaksimalkan fungsi obat secara efektif
1. Anjurkan membicarakan efek dan efek samping yang dirasakan.
Rasional : Menambah pengetahuan lansia tentang efek – efek samping obat.
1. Beri reinforcement positif bila menggunakan obat dengan benar.
Rasional : Lansia merasa dirinya lebih berharga
1. A. Kesimpulan
Menurut organisasi kesehatan adalah usia pertengahan (midlle age) kelompok usia45-70 tahun usia lanjut (elders) antara 60-70 tahun usia tua (old) antara 75-90thn usia dangat tua(very old) diatas 90 tahun.
Menurut prof koesmoto setyonegoro lanjut usia adalah orang yg berumur 65 tahun keatas.World Health Organization (WHO) mengelompokkan usia lanjut sebagai berikut :
1. Middle Aggge (45-59 tahun)2. Erderly (60-74 tahun)3. Old (75-90 tahun)4. Very old (> 91 tahun)
Faktor-faktor yang mempengaruhi tua adalah herediter, nutrisi, status kesehatan, pengalaman hidup, lingkungan, stres.
Aging proses adalah suatu periode menarik diri yang tak terhindarkan dengan karakteristik menurunnya interaksi antara lansia dengan orang lain di sekitarnya. Individu diberi kesempatan untuk mempersiapkan dirinya menghadapi “ketidamampuan” dan bahkan kematia (Cox, 1984).
1. B. Saran
Asuhan keperawatan pada lansia haruslah diakukan secara profesional dan komprehensip, yaitu dengan memandang pada aspek boi-psiko-sosial-spiritual pada lansia. Aspek psikologis pada lansia merupakan aspek yang tak kala penting dari aspek yang lain, olehnya itu pelaksanaan asuhan keperawataan lansia dengan gangguan psikososial harus dilakukan dengan sebaik-baiknya demi terciptanya lansia yang sehat jasmani dan rohani.
Gejala dan Penanganan Depresi pada LansiaUsia Lanjut atau disebut lansia di Indonesia adalah orang-orang yang sudah mencapai usia di atas 60 tahun. Menurut WHO ada 3 kriteria dari Llansia ini,
yaitu: elderly dengan usia 64-74 tahun, older dengan usia 75-90 tahun, dan very old yaitu lansia yang berusia lebih dari 90 tahun. Inilah saatnya seseorang menikmati masa tua dengan tenang. Namun ada kalanya masa lansia justru membuat lansia mengalami depresi. Bahkan, kebanyakan depresi menghinggapi para lansia di masa tuanya.
Depresi merupakan gangguan emosional yang sifatnya berupa perasaan tertekan, tidak merasa bahagia, sedih, merasa tidak berharga, tidak mempunyai semangat, tidak berarti, dan pesimis terhadap hidup. Depresi pada Lansia dapat disebabkan oleh banyak hal. Misalnya kehidupan ekonomi mereka yang tidak dijamin oleh keluarganya sehingga mereka tetap harus bekerja, ketakutan mereka untuk diasingkan dari keluarga, ketakutan tidak dipedulikan oleh anak-anaknya, dan lain sebagainya.
Gejala Depresi pada Lansia
Untuk menangani depresi pada lansia, kita harus mengetahui terlebih dahulu gejala-gejala depresi pada lansia yaitu sebagai berikut.
Bad mood hampir sepanjang hari. Insomnia atau hipersomnia. Hilangnya minat dan rasa senang dalam aktivitas mereka. Berat badan merosot atau bertambah drastis. Kelelahan dan tidak memiliki tenaga. Agitasi atau retardasi psikomotor. Sulit untuk berkonsentrasi. Menurunnya harga diri. Adanya perasaan bersalah pada diri mereka. Perasaan pesimis dalam memandang masa depan. Adanya perubahan pada pola tidur. Berkurangnya nafsu makan. Perasaan tidak berguna atau rasa bersalah yang berlebihan. Pikiran yang berulang tentang kematian. Adanya tindakan percobaan bunuh diri.
Penanganan Depresi pada Lansia
Bila ditangani dengan baik dan cepat, para lansia yang terkena depresi ini tetap dapat sembuh dan bisa kembali seperti sedia kala. Penanganan depresi pada lansia ini ada 2 jenis:
1. Penyembuhan dari dalam diri lansia itu sendiri.
Ini adalah penanganan yang terpenting karena penyembuhan ini berasal dari kemauan dan pengertian dari dirinya sendiri. Biasanya, proses penyembuhannya akan lebih cepat berhasil. Caranya bisa dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
Mengadakan pertemuan atau aktivitas berkumpul dengan banyak orang sehingga dapat melakukan pertukaran informasi dengan orang lain sehingga dapat membangkitkan semangat hidup.
Kontak sosial dilakukan dengan cara menulis surat, mengirim email, menulis pesan lewat media elektronik atau media publikasi tertulis.
Mengisi waktu dengan aktivitas ringan seperti seperti menonton televisi, menyiram bunga, olahraga, mendengarkan radio, atau hobi lainnya untuk mengisi waktu dan menghilangkan kebosanan sehingga dapat menimbulkan perasaan senang.
Menanamkan pikiran untuk berani beradaptasi dengan perubahan yang ada. Menggap masa tua adalah kesempatan untuk melakukan hal-hal yang sebelumnya ketika masih muda tidak dapat dilakukan karena kesibukan pekerjaan dan lain sebagainya.
Selalu berusaha untuk berpikir positif, karena segala hal yang dilakukan akan menjadi lebih menyenangkan dan membahagiakan jika segala sesuatunya dilihat dari sisi positifnya. Dengan begitu, pada akhirnya dapat memberikan kepuasan bagi dirinya sendiri.
2. Penyembuhan dari keluarga dekat hingga keluarga yang jauh, tetangga, teman, dan lingkungan sekitar.Dukungan dari orang-orang terdekat juga sangat penting untuk penyembuhan depresi pada lansia. Caranya yaitu:
Menjenguk lansia sesekali agar ia tidak merasa dilupakan. Luangkan waktu untuk menikmati kebersamaan dengan mereka agar
mereka bahagia. Temani mereka dalam aktivitasnya agar mereka tidak bosan. Rawatlah mereka dengan ketulusan dan sepenuh hati untuk menumbuhkan
semangatnya kembali. Berikanlah yang terbaik untuk mereka.
DAFTAR PUSTAKA
http://huseinmakhrudy.blogspot.com/2013/06/konsep-lansia-dengan-depresi.html
Martono Hadi dan Kris Pranaka. 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI. Jakarta:
Fakultas Kedokteran UNIVERSITAS INDONESIA
Depkes R.I. 1999. Kesehatan keluarga, Bahagia di Usia Senja. Jakarta: Medi MediaNugroho Wahyudi. 1995. Perawatan Usia Lanjut. Jakarta: EGC
http://desiartikaratnasary.blogspot.com/2013/04/asuhan-keperawatan-lansia-
dengan.html
http://pinkersaya.wordpress.com/2012/11/24/askep-lansia-dengan-gangguan-
psikologis-depresi/
http://www.pondokpemulihan.com/gejala-dan-penanganan-depresi-pada-lansia/