DEMAM TIFOID - CASE-20151209-163633485
-
Upload
fadhil-el-naser -
Category
Documents
-
view
252 -
download
0
description
Transcript of DEMAM TIFOID - CASE-20151209-163633485
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 DEFINISI
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi yang ditandai dengan demam berkepanjangan,
bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial serta invasi dan
multiplikasi bakteri ke dalam sel fagosit monouklear dari hati, limpa, kelenjar limfe
usus, dan Payer’s patches.1
1.2 EPIDEMIOLOGI
Agka pasti kasus demam tifoid di dunia sulit ditentukan karena penyakit ini
dikenal mempunyai gejala dengan spketrum klinisnya sangat luas. Diperkirakan
angka kejadian dari 150/100.000/tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun di
Asia. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan
insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan
760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun.
Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91%
kasus.1,2 Salmonella typhii dapat hidup di dalam tubuh manusia, yang merupakan
natural reservoir bagi kuman ini. Manusia yang terinfeksi Salmonella typhii dapat
mengeksresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, tinja dalam jangak waktu yang
sangat bervariasi. Salmonella typhii yang berada di luar tubuh manusia dapat hidup
1
utnuk beberapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu, kotoran kering, dan
pada pakaian.1
Terjadinya penularan Salmonella typhii sebagian besar melalui
makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita, biasanya
keluar bersama-sama dengan tinja (oral fekal). Penularan juga dapat terjadi melalui
transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia kepada
bayinya.
1.3 ETIOLOGI
Salmonella typhii merupakan bakteri Gram-negatif yang mempunyai flagel,
tidak berkapsul, tidak membentuk spora, dan fakultatif anaerob. Kuman ini
mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligoskarida, flagelar antigen (H)
yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida.
Lapisan luar dinding sel bakteri ini dibentuk oleh makromolekular lipopolisakarida
kompleks yang dinamakan endoteoksin.1 Kebanyakan spesies resistent terhadap agen
fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam
atau 60 º C (140 º F) selama 15 menit.3 Salmonella memiliki antigen somatik O dan
antigen flagella H. Antigen O adalah komponen lipopolisakarida dinding sel yang
stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil panas.3
Antigen O
2
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman.
Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap
pemanasan 100°C selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang encer.4
Antigen H
Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S.
typhii dan berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H fase-1
tunggal yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif
pada pemanasan di atas suhu 60°C dan pada pemberian alkohol atau asam.4
Antigen Vi
Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhii (kapsul) yang melindungi
kuman dari fagositosis, mempunyai struktur kimia glikolipid, dan akan rusak
bila dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60°C, dengan pemberian asam dan
fenol. Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya karier.4
Outer Membrane Protein (OMP)
Antigen OMP S.typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar
membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap
lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan
protein nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas
protein OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang
berfungsi untuk difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap
proteolisis dan denaturasi pada suhu 85–100°C. Protein nonporin terdiri atas
protein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifat sensitif terhadap protease,
tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti
3
menemukan antigen OMP S typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein
50 kDa/52 kDa.4
1.4 PATOGENESIS
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang berawal dari
ingesti organisme:
1) Penempelan dan invasi sel-sel Payer’s patch,
2) Bakteri bertahan hidup dan bermutiplikasi di makrofag Payer’s patch, nodus
limfatikus mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem
retikuloendotelial
3) Bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah
4) Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus
dan menyebakan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.
Sebagian besar bakteri Salmonella typhii yang masuk bersama makanan dan
minuman ke dalam tubuh melalui mulut akan mati saat melewati lambung dengan
suasan asam (pH<2). Kondisi-kondisi dengan seperti aklorhidiria, gastrektomi,
pengobatan dengan antagonis resptor H2, inhibitor pompa proton, atau antasida
dalam jumlah besar akan mengurangi dosis infeksi. Bakteri yang masih hidup akan
mencapai usus halus dan melekat pada sel-sel mukosa, menginvasi mukosa, dan
menembus dinding usus tepatnya di ileum dan yeyunum. Sel-sel M yang merupakan
epitel khusus yang melapisi Peyer’s patches merupakan tempat internalisasi
Salmonella typhii . Selanjutnya bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti
4
aliran ke kelenjar limfe mesenterika dan sebagian melewati sirkulasi sistemik sampai
ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Multiplikasi kuman Salmonella typhii
terjadi dalam sel fagosit mononuklear dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika,
hati, dan limfe.
Setelah melalui periode inkubasi (yang lamanya tergantung pada oleh jumlah
dan virulensi kuman serta respon imun pejamu), makan kuman ini akan keluar
melalui dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi
sitemik. Selanjutnya kuman dapat mencapai organ manapaun terutama hati, limpa,
sum-sum tulang, Payer patch dari ileum terminal, dan kandung empedu.1 Dengan
melewati kapiler-kapiler yang terdapat dalam dinding empedu atau secara tidak
langsung melalui kapiler-kapiler hati dan kanalikuli empedu, maka bakteria dapat
mencapai empedu yang larut disana. Melalui empedu yang infektif terjadilah invasi
ke dalam usus untuk kedua kalinya yang lebih berat daripada invasi tahap pertama.
Invasi tahap kedua ini menimbulkan lesi yang luas pada jaringan limfe usus kecil
sehingga gejala-gejala klinik menjadi jelas. Demam tifoid merupakan salah satu
bekteremia yang disertai oleh infeksi menyeluruh dan toksemia yang dalam. Berbagai
macam organ mengalami kelainan, contohnya sistem hematopoietik yang membentuk
darah, terutama jaringan limfoid usus kecil, kelenjar limfe abdomen, limpa dan
sumsum tulang.3
Pada awal minggu kedua dari penyakit demam tifoid terjadi nekrosis
superfisial yang disebabkan oleh toksin bakteri atau yang lebih utama disebabkan
oleh sumbatan pembuluh-pembuluh darah kecil oleh hiperplasia sel limfoid (disebut
sel tifoid). Mukosa yang nekrotik kemudian membentuk kerak, yang dalam minggu
5
ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang berbentuk bulat atau lonjong tak
teratur dengan sumbu panjang ulkus sejajar dengan sumbu usus. Pada umumnya
ulkus tidak dalam meskipun tidak jarang jika submukosa terkena, dasar ulkus dapat
mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran serosa.3
Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk ulkus, maka
perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga perforasi dari usus. Kedua komplikasi
tersebut yaitu perdarahan hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering
menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid. Meskipun demikian, beratnya
penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai dengan beratnya ulserasi. Toksemia yang
hebat akan menimbulkan demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan
usus dan perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat. Sedangkan
perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat.
Pada serangan demam tifoid yang ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun
perforasi.3
Pada stadium akhir dari demam tifoid, ginjal kadang-kadang masih tetap
mengandung kuman Salmonella spp sehingga terjadi bakteriuria.3
1.5 MANIFESTASI KLINIS
Periode inkubasi demam tifoid pada anak antara 5-40 hari dengan rata-rata
antara 10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis
ringan sampai dengan berat ehingga harus dirawat. Variasi gejala ini disebabkan
galur Salmonela, status nutrisi dan imunologik pejamu.
a) Demam
Semua penderita demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit
dengan gambaran demam berupa step-ladder temperature chart yang ditandai
6
dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap setiap harinya
dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam
akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun perlahan, kecuali
jika terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam
akan menetap
b) Gejala sistemik/gangguan kesadaran
Gejala sistemik yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala,
malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan. Pada
kasusu yang berat dapat terjadi syok hipovolemik karena kurang asupan
cairan dan makanan. Pada sebagian pasien llidah tampak kotor dengan putih
di tengah sdang tepi dan ujungnya kemerahan. Bronkitis banyak dijumpai
pada demam tifoid. Bradikardi relatif jarang dijumpai pada anak.
c) Gejala gastrointestinal
Gejala gastrointestinal dapat berupa diare, obstipasi, atau obstipasi kemudian
disusul episode diare. Banyak dijumpai gejala meteorismus dan
hepatomegali.1
1.6 DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdsarkan gejala klinis berupa demam, gangguan
gastrointestinal, dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan
kriteria ini maka seorang klinisi dapat membuat diagnosa tersangka demam tifoid.
Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S.typhii dari darah.
Pemeriksaan penunjan ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis,
menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakit dan hasil pengobatan serta
timbulnya penyulit.1
1) Hematologi
7
Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit perdarahan
usus atau perforasi. Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi dapat
pula normal atau tinggi. Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan
limfositosis relatif. LED (Laju Endap Darah) : meningkat. Jumlah trombosit
dapat normal atau menurun (trombositopenia).
2) Kimia Klinik
Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan
sampai hepatitis akut.
3) Imunologi
a. Tes Widal
Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi
(didalam darah) terhadap antigen kuman Samonella typhi atau paratyphi
(reagen). Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling
sering diminta terutama di negara dimana penyakit ini endemis seperti di
Indonesia. Sebagai uji cepat (rapitd test) hasilnya dapat segera diketahui.
Hasil positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi. Karena itu antibodi jenis
ini dikenal sebagai Febrile agglutinin.
Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat
memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat
disebabkan oleh faktor-faktor, antara lain pernah mendapatkan vaksinasi,
reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik
(pernah sakit), dan adanya faktor rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat
disebabkan oleh karena antara lain penderita sudah mendapatkan terapi
8
antibiotika, waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan
umum pasien yang buruk, dan adanya penyakit imunologik lain.
Diagnosis Demam Tifoid atau Paratifoid dinyatakan bila titer O ≥
1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali, bahkan mungkin sekali
nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit demam tifoid ini
endemis di Indonesia. Titer O meningkat setelah akhir minggu 1. Melihat hal-
hal di atas maka permintaan tes widal ini pada penderita yang baru menderita
demam beberapa hari kurang tepat. Bila hasil reaktif (positif) maka
kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu tetapi dari kontak
sebelumnya.1,3,4
4) Mikrobiologi
a. Kultur (Gall culture/ Biakan empedu)
Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan
Demam Typhoid atau paratyphoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka
diagnosis pasti untuk Demam Tifoid atau Paratifoid. Sebalikanya jika hasil
negatif, belum tentu bukan Demam Tifoid atau Paratifoid, karena hasil biakan
negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah
darah terlalu sedikit kurang dari 2mL), darah tidak segera dimasukan ke
dalam medial Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman
terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu
pertama sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah mendapat
vaksinasi.3,4 Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui
karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2 - 7
9
hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan
bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian
untuk stadium lanjut atau carrier digunakan urin dan tinja.3,4
1.7 DIAGNOSIS BANDING
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara
klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya, yakni:
Influenza
Gastroenteritis
Bronkitis
Bronkopneumonia
Tuberkulosis
Injeksi jamur sistemik
Bruselosis
Tularemia
Shigelosis
Malaria
Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukemia, limfoma, dan penyakit
Hodgkin dapat diajdikan sebagai diagnosis banding.1
1.8 TATALAKSANA
a) Tirah baring
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah
baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta
pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah
10
sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi
kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama.1
b) Antibiotik
Kloramfenikol (drug of choice): 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4
kali pemberian selama 10-14 hari atau sampai 5-7 hari setelah demam
turun.
Ampisilin: 200mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian secara
intravena
Amoksisilin: 100 mg/kgBB/hari diabgi dalam 4 kali pemberian per
oral memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walaupun
penurunan demam lebih lama.
Kombinasi trimethoprim sulfametoksazol (TMP-SMZ): TMP 10
mg/kgBB/hari atau SMZ 50 mg/kgBB/hari diabgi dalam 2 dosis.
Sefalosporin generasi ketiga seperti Seftriakson 100 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4 gram /hari) selama 5-7 hari
atau sefotaksim 150-200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis.1
c) Deksametason
Pda demam tifoid kasus berat seperti delirium, stypor, koma, dan syok
pemberian deksametason intravena (3 mg/kgBB diberikan dalam 30 menit
untuk dosis awal, dilanjutkan denagn 1 mg/kgBb tiap 6 jam sampai 48 jam).1
d) Diet
11
Makanan yang diberikan adalah makanan yang tidak berserat dan mudah
dicerna, setelah demam reda dapat diberikan makanan yang lebih padat
dengan kalori cukup.
1.9 KOMPLIKASI
Pada minggu ke-2 atau lebih, sering timbul komplikasi demam tifoid mulai
dari yang ringan sampai berat bahkan kematian. Komplikasi yang sering terjadi pada
demam tifoid adalah perdarahan usus dan perforasi merupakan komplikasi serius dan
perlu diwaspadai dari demam tifoid yang muncul pada minggu ke-3.1 Perdarahan usus
umumnya ditandai keluhan nyeri perut, perut membesar, nyeri pada perabaan,
seringkali disertai dengan penurunan tekanan darah dan terjadinya syok, diikuti
dengan perdarahan saluran cerna sehingga tampak darah kehitaman yang keluar
bersama tinja. Perdarahan usus muncul ketika ada luka di usus halus, sehingga
membuat gejala seperti sakit perut, mual, muntah, dan terjadi infeksi pada selaput
perut (peritonitis). Jika hal ini terjadi, diperlukan perawatan medis yang segera.1
Komplikasi lain yang lebih jarang, antara lain :
1) Anak dengan panas tinggi umumnya tidak mau makan karena ada diare.
Sehingga dapat terjadi kekurangan cairan (dehidrasi) dan elektrolit.
2) Kejang Demam
3) Gangguan Kesadaran
4) Pembengkakan dan peradangan pada otot jantung (miokarditis).
5) Pneumonia
6) Peradangan pankreas (pankreatitis)
12
7) Infeksi ginjal atau kandung kemih
8) Infeksi dan pembengkakan selaput otak (meningitis).
9) Masalah psikiatri seperti halusinasi dan paranoid psikosis.5
10)
1.10 PROGNOSIS
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, dan ada atau
tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka
mortalitas <1%. Di negara berkembang angka mortalitasnya >10%, biasanya karena
keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan
pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.1
BAB II
13
LAPORAN KASUS
Identitas pasien
Nama : RD
Umur : 7 7/12 tahun
No. MR : 930119
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal masuk: 26 November 2015
Keluhan utama: Keluar darah dari hidung 10 jam sebelum masuk rumah sakit
Riwayat penyakit sekarang
Demam sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, hilang timbul, tidak
menggigil, tidak berkeringat
Keluar darah dari hidung 7 hari sebelum masuk rumah sakit, frekuansi 1 kali,
jumlah ± 1 sendok makan, darah berhanti sendiri. Keluar darah kembali dari
hidung 4 hari yang lalu, frekuensi 1 kali, jumlah ± ¼ sendok makan, darah
berhanti sendiri
Batuk berdahak sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit
Muntah bercampur darah 8 jam sebelum masuk rumah sakit, berwarna
kehitaman, frekuensi 1 kali
Sesak nafas tidak ada
14
Riwayat keluar cairan dari kedua telinga tidak ada
Keluar darah dari hidung sejak usia 5 tahun, tidak dipengaruhi demam
Riwayat kontak dengan penderita TBC tidak ada
BAK jumlah dan warna biasa, riwayat nyeri BAK tidak ada
BAB warna dan konsistensi biasa
Anak telah dirawat di RSUD Painan selama 7 hari dan telah mendapatkan
terapi ceftriaxone 2x450 mg, transamin 3x150 mg, telah dilakukan
pemeriksaan darah dengan hasil Hb 14,6, leukosit 9600, trombosit
324.000/mm3, SGOT 91, SGPT 74, urinalisa normal. Karena keluar darah dari
hidung kembali, anak dirujuk ke Padang dengan keterangan demam tifoid +
epistaksis berulang.
Pemeriksaan fisik
Kesadaran: sadar
Tekanan darah: 100/70
mmHg
Nadi: 120 x/menit
Suhu: 37oC
Pernafasan: 24x/menit
Sianosis: tidak ada
Keadaan umum:
sedang
Keadaan gizi: baik
Tinggi badan: 103 cm
Berat badan: 18 kg
Edema: tidak ada
Ikterus: tidak ada
BB/U: 72%
TB/U: 81,74%
BB/TB: 105,8%
15
Kulit: Teraba hangat
Kelenjar Getah Bening: Teraba pembesaran di region colli sinistra, jumlah 1 buah, ukuran
0,5x0,5 cm
Kepala: Bulat, simetris
Rambut: Hitam, tidak mudah rontok
Mata: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Telinga: Tidak ditemukan kelainan
Hidung: Tidak ditemukan kelainan
Tenggorokan: Tonsil T1-T1, faring tidak hiperemis
Gigi dan mulut: Lidah kotor, pinggir hiperemis, Mukosa bibir dan mulut basah
Dada: Paru: Inspeksi: Normochest, simetris, retraksi tidak ada
Palpasi: Fremitus kira sama dengan kanan
Perkusi: Sonor
Auskultasi: vesikuler, wheezing tidak ada, ronkhi tidak ada
Jantung: Inspeksi: iktus kordis tidak terlihat
Palpasi: Iktus kordis tidak teraba
Perkusi: Batas jantung atas: RIC II, kanan: LSD. Kiri: 1 jari medial LMCS RIC
V
16
Auskultasi: irama regular, bising tidak ada
Perut: Inspeksi: distensi tidak ada
Palpasi: supel, hepar teraba 1/3-1/3, pinggir tajam, permukaan rata, lien tidak teraba
Perkusi: Timpani
Auskultasi Bising usus (+) normal
Alat kelamin: tidak ditemukan kelainan
Anus: tidak dilakukan pemeriksaan
Anggota gerak: Akral hangat, perfusi baik, CRT< 2 detik
Refleks fisiologis ++/++
Refleks patologis -/-
Diagnosis kerja:
Observasi demam lama ec. Suspek demam tifoid
Diagnosis banding:
Malaria
Infeksi saluran kemih
Pemeriksaan penunjang
Darah rutin: (27 – 11 – 2015)
Hb: 11,3 g/dL
17
Leukosit: 13.500/mm3
Hitung jenis: 0/0/1/90/9/0
Trombosit: 410.000/mm3
LED: 32
Parasit malaria (-)
Widal :S.ty.O 1/80
S.ty.H 1/80
Tubex (30-11-2015): 4
Urine:
Albumin: (-)
Leukosit: 1-2
Eritrosit: 0-1
Diagnosis:Demam tifoid
Tindakan pengobatan:
Kloramfenikol 4x450 mgi.v
AMpisilin 4x900 mg i.v
Paracetamol 200 mg (T ≥ 38,5oC)
ML 1600 kkal
18
IVFD KAEN 1B 4tts/menit (makro)
Follow up
Tanggal Subjektif Objektif Assessment Plan
30-11-
2015
Demam tidak
ada
Perdarahan
dari hidung
tidak ada
Batuk ada
dengan darah
Muntah
bercampur
darah tidak ada
Sesak nafas
tidak ada
BAK ada,
Jumlah dan
warna biasa
Intake sedikit
Sakit sedang,
sadar, Nadi:
100 x/i, nafas
25 x/i, T: 37oC
Mata:
konjungtiva
tidak anemis,
sclera tidak
ikterik
Thorax: cord
an pulmo
dalam batas
normal
Abdomen:
distensi tidak
ada, hepar
teraba 1/3-1/3,
lien tidak
teraba, bising
usus (+)
Observasi
demam lama
ec typhoid
IVFD KAEN 1B 4tpm
makro
ML 1600 kkal
Parasetamol 200 mg
(T ≥ 38,5oC)
Kloramfenikol 4x450
mg IV (4)
Ampicilin 4x900 mg
IV (4)
Ambroxol syr 2x1 sdm
19
normal, nyeri
tekan abdomen
(+)
Extremitas:
akral hangat,
perfusi baik
1-12-
2015
Demam tidak
ada
Perdarahan
dari hidung
tidak ada
Batuk
bercampur
darah tidak ada
Muntah
bercampur
darah tidak ada
Anak masih
tidak mau
makan
BAK ada,
Sakit berat,
sadar, Nadi: 90
x/i, nafas 27
x/i, T: 36,5oC
Mata:
konjungtiva
tidak anemis,
sclera tidak
ikterik
Thorax: cord
an pulmo
dalam batas
normal
Abdomen:
distensi tidak
Demam tifoid Parasetamol 200 mg
(T ≥ 38,5oC)
Kloramfenikol 4x450
mg IV (5)
Ampicilin 4x900 mg
IV (5)
Ambroxol syr 2x1 sdm
MLDSP 1000 kkal
MC 4x100kkal
20
jumlah dan
warna biasa
BAB tidak ada
Nyeri perut
tidak ada
ada, hepar
teraba 1/3-1/3,
lien tidak
teraba, bising
usus (+)
normal, nyeri
tekan abdomen
(-)
Extremitas:
akral hangat,
perfusi baik
2-12-
2015
Demam tidak
ada
Perdarahan
hidung tidak
ada
Batuk ada,
tidak berdarah
Muntah tidak
ada
Anak sudah
mau makan
Sakit sedang,
sadar, Nadi: 94
x/i, nafas 27
x/i, T: 36,5oC
Mata:
konjungtiva
tidak anemis,
sclera tidak
ikterik
Thorax: cord
an pulmo
Demam tifoid Parasetamol 200 mg
(T ≥ 38,5oC)
Kloramfenikol 4x450
mg IV (6)
Ampicilin 4x900 mg
IV (6)
Ambroxol syr 2x1 sdm
MLDSP 1000 kkal
MC 4x100kkal
21
BAK ada
jumlah dan
warna biasa
BAB ada,
warna
kehitaman,
konsistensi
lunak
dalam batas
normal
Abdomen:
distensi tidak
ada, hepar
teraba 1/3-1/3,
lien tidak
teraba, bising
usus (+)
normal, nyeri
tekan abdomen
(-)
Extremitas:
akral hangat,
perfusi baik
BAB III
22
DISKUSI
Telah dilaporkan seorang pasien perempuan berusia 7 tahun datang ke RSUP dr. M.
Djamil pada tanggal 27 November 2015 dengan keluhan utama Keluar darah dari hidung 10 jam
sebelum masuk rumah sakit. Pasien didiagnosis dengan demam tifoid. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Dari alloanamnesis dengan orang tua pasien didapatkan Demam sejak 2 minggu sebelum
masuk rumah sakit, hilang timbul, tidak menggigil, tidak berkeringat. Keluar darah dari hidung 7
hari sebelum masuk rumah sakit, frekuansi 1 kali, jumlah ± 1 sendok makan, darah berhanti
sendiri. Keluar darah kembali dari hidung 4 hari yang lalu, frekuensi 1 kali, jumlah ± ¼ sendok
makan, darah berhanti sendiri. Batuk berdahak sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Muntah
bercampur darah 8 jam sebelum masuk rumah sakit, berwarna kehitaman, frekuensi 1 kali.
Berdasarkan literature, semua penderita demam tifoid selalu menderita demam pada awal
penyakit dengan gambaran demam berupa step-ladder temperature chart yang ditandai dengan
demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap setiap harinya dan mencapai titik
tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu
ke-4 demam turun perlahan, kecuali jika terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan
lunak maka demam akan menetap. Gejala sistemik yang menyertai timbulnya demam adalah
nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan. Pada
kasusu yang berat dapat terjadi syok hipovolemik karena kurang asupan cairan dan makanan.
Pada sebagian pasien llidah tampak kotor dengan putih di tengah sdang tepi dan ujungnya
kemerahan. Bronkitis banyak dijumpai pada demam tifoid. Bradikardi relatif jarang dijumpai
pada anak. Gejala gastrointestinal dapat berupa diare, obstipasi, atau obstipasi kemudian disusul
episode diare. Banyak dijumpai gejala meteorismus dan hepatomegali.1
23
Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan tanggal 30 November Sakit sedang, sadar, Nadi:
100 x/i, nafas 25 x/i, T: 37oC Mata: konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, Thorax: cord
an pulmo dalam batas normal, Abdomen: distensi tidak ada, hepar teraba 1/3-1/3, lien tidak
teraba, bising usus (+) normal, nyeri tekan abdomen (+), Extremitas: akral hangat, perfusi baik.
Hasil pemeriksaan penunjang tanggal 27 November 2015, didapat kan Hb: 11,3 g/dL ,
Leukosit: 13.500/mm3, Hitung jenis: 0/0/1/90/9/0, Trombosit: 410.000/mm3 , LED: 32, Parasit
malaria (-), Widal : S.ty.O 1/80 dan S.ty.H 1/80, Tubex (30-11-2015): 4. Tindakan pengobatan
pada pasien ini adalah Kloramfenikol 4x450 mgi.v, Ampisilin 4x900 mg i.v, Paracetamol 200
mg (T ≥ 38,5oC), ML 1600 kkal, IVFD KAEN 1B 4tts/menit (makro).
DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo, SSP, Carna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis.
Edisi Kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.2008. Hal: 338-346.
24
2. Risky V. P., Ismoedijanto. Metode Diagnostik Demam Tifoid pada Anak. Available at
http://www.pediatrik.com/buletin/06224114418-f53zji.pdf.
3. Tirta Swarga. Demam Tifoid. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Muslim Indonesia. 2008
4. Puspa Wardani, Prihartini, Probohusodo. Kemampuan Uji Tabung Widal Menggunakan
Antigen Import dan Antigen Lokal. Indonesian Journal of Clinical and Medical Labolatory.
12. 1. 2005 : 31-7
5. Cleary TG. Salmonella. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Eds. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi 16. Philadelphia : WB Saunders, 2000:842-8.
25