DEFISIENSI IMUN SEKUNDER

19
DEFISIENSI IMUN SEKUNDER Imunodefisiensi adalah sekumpulan keadaan yang berlainan, dimana sistem kekebalan tubuh tidak dapat berfungsi secara adekuat, sehingga infeksi lebih sering terjadi, lebih sering berulang, luar biasa berat, dan berlangsung lebih lama dari biasanya. Terbentuknya sistem imunokompeten penting untuk melindungi tubuh terhadap invasi dari luar. Karenanya setiap defisiensi pada salah satu kompenen dari sistem imun itu dapat mengganggu aktivitas seluruh sistem pertahanan tubuh. Perubahan patologis dari fungsi imunologis pada awalnya dikelompokkan sebagai: 1) reaksi hipersensitivitas dimana stimuli imunogenik kecil menimbulkan respon imun besar, 2) penyakit autoimun dimana kemampuan untuk membedakan diri sendiri dari bukan diri sendiri, hilang, 3) Sindrom imunodefisiensi dimana kemampuan untuk memberikan respons imun efisien dirusak atau tidak ada. Imunodefisiensi dapat dibagi menjadi defisiensi non spesifik yang meliputi defesiensi komplemen, interferon dan lisozim, sel NK, dan sistem fagositosit. Defisiensi spesifik yang meliputi defisiensi congenital atau primer, defisiensi imun spesifik fisiologik, dan defisiensi imun yang didapat atau sekunder.

description

vv

Transcript of DEFISIENSI IMUN SEKUNDER

Page 1: DEFISIENSI IMUN SEKUNDER

DEFISIENSI IMUN SEKUNDER

Imunodefisiensi adalah sekumpulan keadaan yang berlainan, dimana sistem kekebalan tubuh

tidak dapat berfungsi secara adekuat, sehingga infeksi lebih sering terjadi, lebih sering berulang, luar

biasa berat, dan berlangsung lebih lama dari biasanya. Terbentuknya sistem imunokompeten penting

untuk melindungi tubuh terhadap invasi dari luar. Karenanya setiap defisiensi pada salah satu kompenen

dari sistem imun itu dapat mengganggu aktivitas seluruh sistem pertahanan tubuh. Perubahan patologis

dari fungsi imunologis pada awalnya dikelompokkan sebagai:

1) reaksi hipersensitivitas dimana stimuli imunogenik kecil menimbulkan respon imun

besar,

2) penyakit autoimun dimana kemampuan untuk membedakan diri sendiri dari bukan diri

sendiri, hilang,

3) Sindrom imunodefisiensi dimana kemampuan untuk memberikan respons imun efisien

dirusak atau tidak ada.

Imunodefisiensi dapat dibagi menjadi defisiensi non spesifik yang meliputi defesiensi

komplemen, interferon dan lisozim, sel NK, dan sistem fagositosit. Defisiensi spesifik yang meliputi

defisiensi congenital atau primer, defisiensi imun spesifik fisiologik, dan defisiensi imun yang didapat

atau sekunder.

Dari sudut pandang etiologis, imunodefisiensi dapat diklasifikasikan sebagai primer dan

sekunder. Imunodefisiensi primer atau congenital diakibatkan paling sering oleh abnormalitas yang

ditentukan secara genetic yang merusak respons humoral dan/atau selular. Imunodefisiensi sekunder atau

didapat adalah kondisi yang terjadi sebagai akibat dari keadaan penyakit (keganasan, malnutrisi, infeksi

virus) atau akibat tindakan medis (khususnya obat imunosupresif.

Penyakit imunodefisiensi yang didapat (sekunder), dapat berupa:

1. Penyakit keturunan dan kelainan metabolisme

- Diabetes

Page 2: DEFISIENSI IMUN SEKUNDER

- Sindroma Down

- Gagal ginjal

- Malnutrisi

- Penyakit sel sabit5

2. Bahan kimia dan pengobatan yang menekan sistem kekebalan

- Kemoterapi kanker

- Kortikosteroid

- Obat immunosupresan

- Terapi penyinaran5

3. Infeksi

- Cacar air

- Infeksi sitomegalovirus

- Campak Jerman (rubella kongenital)

- Infeksi HIV (AIDS)

- Mononukleosis infeksiosa

- Campak

- Infeksi bakteri yang berat

- Infeksi jamur yang berat

- Tuberkulosis yang berat5

4. Penyakit darah dan kanker

- Agranulositosis

- Semua jenis kanker

- Anemia aplastik

- Histiositosis

- Leukemia

- Limfoma

Page 3: DEFISIENSI IMUN SEKUNDER

- Mielofibrosis

- Mieloma5

5. Pembedahan dan trauma

- Luka bakar

- Pengangkatan limpa5

6. Lain-lain

- Sirosis karena alkohol

- Hepatitis kronis

- Penuaan yang normal

- Sarkoidosis

- Lupus eritematosus sistemik.5

Penyebab sekunder defisiensi imun lebih umum dibandingkan penyebab primer. Kadar

komponen imun yang rendah menunjukkan produksi yang menurun atau katabolisme (“hilangnya”

komponen imun) yang dipercepat.

            Hilangnya protein yang sampai menyebabkan hipogamaglobulinemia dan hipoproteinemia terjadi

terutama melalui ginjal (sindrom nefrotik) atau melalui saluran cerna (protein-losing enteropathy).

Hilangnya imunoglobulin melalui renal setidaknya bersifat selektif parsial, sehingga kadar IgM masih

dapat normal meskipun kadar IgG serum dan albumin menurun. Protein juga dapat hilang dari saluran

cerna melalui penyakit inflamatorius aktif seperti penyakit Crohn, kolitis ulseratif dan penyakit seliak.

            Kerusakan sintesis paling terlihat adalah pada malnutrisi. Defisiensi protein menyebabkan

perubahan pada banyak organ, termasuk sistem imun. Kerusakan produksi antibodi spesifik setelah

imunisasi, dan defek pada imunitas seluler, fungsi fagosit dan aktivitas komplemen dihubungkan dengan

nutrisi yang buruk, dan membaik setelah suplementasi diet protein dan kalori yang cukup.

            Pasien dengan penyakit limfoproliferatif sangat rentan terhadap infeksi. Leukemia limfositik

kronik yang tidak diobati umumnya berhubungan dengan hipogamaglobulinemia dan infeksi rekuren

yang cenderung bertambah berat dengan progresifitas penyakit. Limfoma Non-Hodgkin mungkin

Page 4: DEFISIENSI IMUN SEKUNDER

berhubungan dengan defek pada imunitas humoral dan seluler. Penyakit Hodgkin biasanya berhubungan

dengan kerusakan yang nyata dari imunitas seluler, namun imunoglobulin serum masih normal sampai

fase akhir penyakit.

            Risiko infeksi pasien dengan mieloma multipel 5-10 kali lebih tinggi dibandingkan kelompok

kontrol. Frekuensi infeksi oportunistik pada pasien dengan keganasan diseminata menandakan adanya

defek imun, meskipun sulit membedakan efek imunosupresif dari penyakit ataupun efek pengobatan.

Obat imunosupresif mempengaruhi beberapa aspek fungsi sel, terutama limfosit dan polimorf, namun

hipogamaglobulinemia berat jarang terjadi. Pasien dengan obat untuk mencegah penolakan organ

transplan juga dapat timbul infeksi oportunsistik meskipun tidak biasa. Bentuk iatrogenik lain dari

defisiensi imun sekunder adalah yang berhubungan dengan splenektomi.

Infeksi pada imunokompromais

Individu yang secara alami atau medikal mengalami imunokompromais rentan terhadap infeksi. Sumber

infeksi dapat berasal dari patogen umum yang juga menginvasi pada individu sehat, dan juga dari agen

oportunistik. Dua hal penting dalam infeksi pada imunokompromais adalah sebagian besar infeksi

disebabkan oleh patogen umum yang biasanya dapat diidentifikasi dan dikontrol dengan terapi yang tepat.

Kedua, kesulitan terjadi karena organisme oportunistik sulit untuk diisolasi dan tidak berespons terhadap

obat yang tersedia.

            Terdapat dua jalur masuk utama bagi organisme oportunistik, yaitu orofaring dan saluran cerna

bagian bawah. Paru menjadi tempat tersering dalam infeksi pada pejamu imunokompromais. Manifestasi

klinis berupa demam non-spesifik, dispnea dan batuk kering dengan gambaran foto dada infiltrat

pulmonal. Namun sarana penunjang seperti sputum dan kultur darah tidak banyak membantu, lebih

dipilih bilas bronkoalveolar, biopsi transbronkial dan biopsi paru terbuka. Pentingnya diagnosis dini dan

tatalaksana sangat ditekankan mengingat infeksi paru pada pasien imunokompromasi memiliki angka

mortalitas lebih dari 50%.

Page 5: DEFISIENSI IMUN SEKUNDER

MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS

Dalam penegakan diagnosis defisiensi imun, penting ditanyakan riwayat kesehatan pasien dan

keluarganya, sejak masa kehamilan, persalinan dan morbiditas yang ditemukan sejak lahir secara detail.

Riwayat pengobatan yang pernah didapat juga harus dicatat, disertai keterangan efek pengobatannya,

apakah membaik, tetap atau memburuk. Bila pernah dirawat, operasi atau transfusi juga dicatat. Riwayat

imunisasi dan kejadian efek simpangnya juga dicari.

Walaupun penyakit defisiensi imun tidak mudah untuk didiagnosis, secara klinis terdapat

berbagai tanda dan gejala yang dapat membimbing kita untuk mengenal penyakit ini. Sesuai dengan

gejala dan tanda klinis tersebut maka dapat diarahkan terhadap kemungkinan penyakit defisiensi imun.

Defisiensi antibodi primer yang didapat lebih sering terjadi dibandingkan dengan yang

diturunkan, dan 90% muncul setelah usia 10 tahun. Pada bentuk defisiensi antibodi kongenital, infeksi

rekuren biasanya terjadi mulai usia 4 bulan sampai 2 tahun, karena IgG ibu yang ditransfer mempunyai

proteksi pasif selama 3-4 bulan pertama. Beberapa defisiensi antibodi primer bersifat diturunkan melalui

autosom resesif atauX-linked. Defisiensi imunoglobulin sekunder lebih sering terjadi dibandingkan

dengan defek primer.

            Pemeriksaan fisik defisiensi antibodi jarang menunjukkan tanda fisik diagnostik, meskipun dapat

menunjukkan infeksi berat sebelumnya, seperti ruptur membran timpani dan bronkiektasis. Tampilan

klinis yang umum adalah gagal tumbuh.

Pemeriksaan laboratorium penting untuk diagnosis. Pengukuran imunoglobulin serum dapat

menunjukkan abnormalitas kuantitatif secara kasar. Imunoglobulin yang sama sekali tidak ada

(agamaglobulinemia) jarang terjadi, bahkan pasien yang sakit berat pun masih mempunyai IgM dan IgG

yang dapat dideteksi. Defek sintesis antibodi dapat melibatkan satu isotop imunoglobulin, seperti IgA

atau grup isotop, seperti IgA dan IgG. Beberapa individu gagal memproduksi antibodi spesifik setelah

imunisasi meskipun kadar imunoglobulin serum normal. Sel B yang bersirkulasi diidentifikasi dengan

antibodi monoklonal terhadap antigen sel B. Pada darah normal, sel-sel tersebut sebanyak 5-15% dari

populasi limfosit total. Sel B matur yang tidak ada pada individu dengan defisiensi antibodi

Page 6: DEFISIENSI IMUN SEKUNDER

membedakan infantile X-linked agammaglobulinaemia dari penyebab lain defisiensi antibodi primer

dengan kadar sel B normal atau rendah.

Gejala klinis penyakit defisiensi imun

Gejala yang biasanya dijumpai

Infeksi saluran napas atas berulang

Infeksi bakteri yang berat

Penyembuhan inkomplit antar episode infeksi, atau respons pengobatan inkomplit

Gejala yang sering dijumpai

Gagal tumbuh atau retardasi tumbuh

Jarang ditemukan kelenjar atau tonsil yang membesarInfeksi oleh mikroorganisma yang tidak lazim

Lesi kulit (rash, ketombe, pioderma, abses nekrotik/noma, alopesia, eksim, teleangiektasi, warts

yang hebat)

Oral thrush yang tidak menyembuh dengan pengobatan

Jari tabuh

Diare dan malabsorpsi

Mastoiditis dan otitis persisten

Pneumonia atau bronkitis berulang

Penyakit autoimun

Kelainan hematologis (anemia aplastik, anemia hemolitik, neutropenia, trombositopenia)

Gejala yang jarang dijumpai

Berat badan turun

Demam

Periodontitis

Page 7: DEFISIENSI IMUN SEKUNDER

Limfadenopati

Hepatosplenomegali

Penyakit virus yang berat

Artritis atau artralgia

Ensefalitis kronik

Meningitis berulang

Pioderma gangrenosa

Kolangitis sklerosis

Hepatitis kronik (virus atau autoimun)

Reaksi simpang terhadap vaksinasi

Bronkiektasis

Infeksi saluran kemih

Lepas/puput tali pusat terlambat (> 30 hari)

Stomatitis kronik

Granuloma

Keganasan limfoid

(Dikutip dari Stiehm, 2005)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang merupakan sarana yang sangat penting untuk mengetahui penyakit defisiensi

imun. Karena banyaknya pemeriksaan yang harus dilakukan (sesuai dengan kelainan klinis dan

mekanisme dasarnya) maka pada tahap pertama dapat dilakukan pemeriksaan penyaring dahulu, yaitu:

1. Pemeriksaan darah tepi

1. Hemoglobin

2. Leukosit total

Page 8: DEFISIENSI IMUN SEKUNDER

3. Hitung jenis leukosit (persentasi)

4. Morfologi limfosit

5. Hitung trombosit

2. Pemeriksaan imunoglobulin kuantitatif (IgG, IgA, IgM, IgE)

3. Kadar antibodi terhadap imunisasi sebelumnya (fungsi IgG)

1. Titer antibodi Tetatus, Difteri

2. Titer antibodi H.influenzae

4. Penilaian komplemen (komplemen hemolisis total = CH50)

5. Evaluasi infeksi (Laju endap darah atau CRP, kultur dan pencitraan yang sesuai)

 

Langkah selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan lanjutan berdasarkan apa yang kita cari (Tabel 28-9).

 

Pemeriksaan lanjutan pada penyakit defisiensi imun

Defisiensi Sel B

Uji Tapis:

Kadar IgG, IgM dan IgA

Titer isoaglutinin

Respon antibodi pada vaksin (Tetanus, difteri, H.influenzae)

Uji lanjutan:

Enumerasi sel-B (CD19 atau CD20)

Kadar subklas IgG

Kadar IgE dan IgD

Titer antibodi natural (Anti Streptolisin-O/ASTO, E.coli

Respons antibodi terhadap vaksin tifoid dan pneumokokus

Foto faring lateral untuk mencari kelenjar adenoid

Page 9: DEFISIENSI IMUN SEKUNDER

Riset:

Fenotiping sel B lanjut

Biopsi kelenjar

Respons antibodi terhadap antigen khusus misal phage antigen

Ig-survival in vivo

Kadar Ig sekretoris

Sintesis Ig in vitro

Analisis aktivasi sel

Analisis mutasi

Defisiensi sel T

Uji tapis:

Hitung limfosit total dan morfologinya

Hitung sel T dan sub populasi sel T : hitung sel T total, Th dan Ts

Uji kulit tipe lambat (CMI) : mumps, kandida, toksoid tetanus,

tuberkulin

Foto sinar X dada : ukuran timus

Uji lanjutan:

Enumerasi subset sel T (CD3, CD4, CD8)

Respons proliferatif terhadap mitogen, antigen dan sel alogeneik

HLA typing

Analisis kromosom

Riset:

Advance flow cytometry

Analisis sitokin dan sitokin reseptor

Page 10: DEFISIENSI IMUN SEKUNDER

Cytotoxic assay (sel NK dan CTL)

Enzyme assay (adenosin deaminase, fosforilase nukleoside purin/PNP)

Pencitraan timus dab fungsinya

Analisis reseptor sel T

Riset aktivasi sel T

Riset apoptosis

Biopsi

Analisis mutasi

Defisiensi fagosit

Uji tapis:

Hitung leukosit total dan hitung jenis

Uji NBT (Nitro blue tetrazolium), kemiluminesensi : fungsi metabolik

neutrofil

Titer IgE

Uji lanjutan:

Reduksi dihidrorhodamin

White cell turn over

Morfologi spesial

Kemotaksis dan mobilitas random

Phagocytosis assay

Bactericidal assays

Riset:

Adhesion molecule assays (CD11b/CD18, ligan selektin)

Oxidative metabolism

Enzyme assays (mieloperoksidase, G6PD, NADPH)

Page 11: DEFISIENSI IMUN SEKUNDER

Analisis mutasi

Defisensi komplemen

Uji tapis:

Titer C3 dan C4

Aktivitas CH50

Uji lanjutan:

Opsonin assays

Component assays

Activation assays (C3a, C4a, C4d, C5a)

Riset:

Aktivitas jalur alternatif

Penilaian fungsi(faktor kemotaktik, immune adherence)

 

PENGOBATAN

Sesuai dengan keragaman penyebab, mekanisme dasar, dan kelainan klinisnya maka pengobatan

penyakit defisiensi imun sangat bervariasi. Pada dasarnya pengobatan tersebut bersifat suportif, substitusi,

imunomodulasi, atau kausal.

Pengobatan suportif meliputi perbaikan keadaan umum dengan memenuhi kebutuhan gizi dan

kalori, menjaga keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam-basa, kebutuhan oksigen, serta melakukan

usaha pencegahan infeksi. Substitusi dilakukan terhadap defisiensi komponen imun, misalnya dengan

memberikan eritrosit, leukosit, plasma beku, enzim, serum hipergamaglobulin, gamaglobulin,

imunoglobulin spesifik. Kebutuhan tersebut diberikan untuk kurun waktu tertentu atau selamanya, sesuai

dengan kondisi klinis.

Pengobatan imunomodulasi masih diperdebatkan manfaatnya, beberapa memang bermanfaat dan

ada yang hasilnya kontroversial. Obat yang diberikan antara lain adalah faktor tertentu (interferon),

Page 12: DEFISIENSI IMUN SEKUNDER

antibodi monoklonal, produk mikroba (BCG), produk biologik (timosin), komponen darah atau produk

darah, serta bahan sintetik seperti inosipleks dan levamisol.

Terapi kausal adalah upaya mengatasi dan mengobati penyebab defisiensi imun, terutama pada

defisiensi imun sekunder (pengobatan infeksi, suplemen gizi, pengobatan keganasan, dan lain-lain).

Defisiensi imun primer hanya dapat diobati dengan transplantasi (timus, hati, sumsum tulang) atau

rekayasa genetik.

Tatalaksana defisiensi antibodi

Terapi pengganti imunoglobulin (immunoglobulin replacement therapy) merupakan keharusan

pada anak dengan defek produksi antibodi. Preparat dapat berupa intravena atau subkutan. Terapi

tergantung pada keparahan hipogamaglobulinemia dan komplikasi. Sebagian besar pasien dengan

hipogamaglobulinemia memerlukan 400-600 mg/kg/bulan  imunoglobulin untuk mencegah infeksi atau

mengurangi komplikasi, khususnya penyakit kronik pada paru dan usus. Imunoglobulin intravena (IVIG)

merupakan pilihan terapi, diberikan dengan interval 2-3 minggu. Pemantauan dilakukan terhadap

imunoglobulin serum, setelah mencapai kadar yang stabil (setelah 6 bulan), dosis infus dipertahankan di

atas batas normal.

Tatalaksana defek imunitas seluler

Tatalaksana pasien dengan defek berat imunitas seluler, termasuk SCID tidak hanya melibatkan

terapi antimikrobial namun juga penggunaan profilaksis. Untuk mencegah infeksi maka bayi dirawat di

area dengan tekanan udara positif. Pada pasien yang terbukti atau dicurigai defek sel T harus dihindari

imunisasi dengan vaksin hidup atau tranfusi darah. Vaksin hidup dapat mengakibatkan infeksi diseminata,

sedangkan tranfusi darah dapat menyebabkan penyakit graft-versus-host.

Tandur (graft) sel imunokompeten yang masih hidup merupakan sarana satu-satunya untuk

perbaikan respons imun. Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan terapi pada semua bentuk

SCID. Terapi gen sedang dikembangkan dan diharapkan dapat mengatasi defek gen.

Page 13: DEFISIENSI IMUN SEKUNDER

PROGNOSIS

Prognosis penyakit defisiensi imun untuk jangka pendek dipengaruhi oleh beratnya komplikasi

infeksi. Untuk jangka panjang sangat tergantung dari jenis dan penyebab defek sistem imun. Tetapi pada

umumnya dapat dikatakan bahwa perjalanan penyakit defisiensi imun primer buruk dan berakhir fatal,

seperti juga halnya pada beberapa penyakit defisiensi imun sekunder (AIDS). Diperkirakan sepertiga dari

penderita defisiensi imun meninggal pada usia muda karena komplikasi infeksi. Mortalitas penderita

defisiensi imun humoral adalah sekitar 29%. Beberapa penderita defisiensi IgA selektif dilaporkan

sembuh spontan Sedangkan hampir semua penderita defisiensi imun berat gabungan akan meninggal pada

usia dini.

Defisiensi imun ringan, terutama yang berhubungan dengan keadaan fisiologik (pertumbuhan,

kehamilan), infeksi, dan gangguan gizi dapat diatasi dengan baik bila belum disertai defek imunologik

yang menetap.

REFERENCES

Stiehm,E. Richard.. Stiehm’s Immune Deficiencies. Elsevier. 2005.

Stiehm, E. Richard. Immunologic disorders in infants and children. WB Saunders Co, 1989.

Stiehm, E. Richard, and Richard B. Johnston. "A history of pediatric immunology." Pediatric

research 57.3 (2005): 458-467.

Abbas AK, Lichtman AH,Pober JS. Disease caused by humoral and cell-mediatedimmune

reactions. Dalam: Cellular and molecular immunology. Philadelphia:WB Saunders, 1991;353-76.

Bratawidjaja, K.G., 2004.  Imunologi Dasar .edisi ke-6. Fakultas Kedokteran UI.Jakarta.