Dedi Damhudi.pdf

133
UNIVERSITAS INDONESIA EFEKTIFITAS PENGKAJIAN METODE NIHSS DAN ESS (FOKUS NEUROLOGI) DALAM MEMBUAT DIAGNOSA KEPERAWATAN AKTUAL PADA PASIEN STROKE BERAT FASE AKUT DI RSUP FATMAWATI JAKARTA TESIS Diajukan sebagai persyaratan untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah Oleh : DEDI DAMHUDI 0606037153 PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2008 Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Transcript of Dedi Damhudi.pdf

Page 1: Dedi Damhudi.pdf

UNIVERSITAS INDONESIA

EFEKTIFITAS PENGKAJIAN METODE NIHSS DAN ESS (FOKUS NEUROLOGI) DALAM MEMBUAT DIAGNOSA KEPERAWATAN

AKTUAL PADA PASIEN STROKE BERAT FASE AKUT DI RSUP FATMAWATI JAKARTA

TESIS  

Diajukan sebagai persyaratan untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Keperawatan

Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah

Oleh :

DEDI DAMHUDI 0606037153

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2008

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 2: Dedi Damhudi.pdf

LEMBAR PERSETUJUAN

Tesis ini telah diperiksa, disetujui dan dipertahankan di hadapan penguji Tesis Program Magister Kekhususan Medikal Bedah, Fakultas Ilmu Keperawatan

Universitas Indonesia

Jakarta, Juli 2008

Pembimbing I,

……………………….. Dewi Irawaty, MA., PhD

Pembimbing II,

………………………………... Rr. Tutik Sri Hayati, S.Kp., MARS

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 3: Dedi Damhudi.pdf

PANITIA SIDANG UJIAN TESIS PROGRAM MAGISTER KEKHUSUSAN MEDIKAL BEDAH

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN, UNIVERSITAS INDONESIA

Jakarta, Juli 2008

Penguji I,

…………………..……….. Dewi Irawaty, MA., PhD

Penguji II,

……………………….…….………... Rr. Tutik Sri Hayati, S.Kp., MARS

Penguji III,

……………………………..…….. Sri Purwaningsih, S.Kp., M.Kep

Penguji IV,

……………….……… Sri Yona, S.Kp., MN

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 4: Dedi Damhudi.pdf

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA Tesis, Juni 2008 Dedi Damhudi Efektifitas Pengkajian Metode NIHSS dan ESS (Fokus Neurologi) Dalam Membuat Diagnosa Keperawatan Aktual Pada Pasien Stroke Berat Fase Akut di RSUP Fatmawati Jakarta xiii + 84 hal + 8 tabel + 4 skema + 7 lampiran

Abstrak Faktor yang sangat penting pada tahap awal perawatan pada pasien stroke berat fase akut adalah mengetahui kondisi pasien sedini mungkin untuk mencegah komplikasi yang lebih parah dan kematian, oleh sebab itu diperlukan suatu metode pengkajian fokus sistem syaraf yang lengkap dan akurat seperti metode NIHSS dan ESS. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan keakuratan kedua metode ini hampir sama untuk melihat kondisi pasien stroke fase akut. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut di RSUP Fatmawati Jakarta. Penelitian ini menggunakan desain pra-eksperimen “Postest only design” sering juga disebut “The one shot case study”. Besarnya sampel menggunakan teknik “Non Random jenis Purposive Sampling” sehingga didapat 18 responden yang merupakan total sampel yaitu pasien yang dipilih sesuai kriteria inklusi. Kemudian dilakukan analisis dengan α = 0,05 menunjukkan hubungan sangat kuat (r = 0,904 ) berpola positif pada nilai NIHSS dan berpola negatif ( r = -0,912 ) dan p value =1.000. Penelitian ini menyimpulkan tidak ada perbedaan efektifitas penggunaan metode NIHSS dan ESS terhadap pembuatan diagnosa keperawatan yang aktual pada pasien stroke berat fase akut. Hal ini terjadi karena komponen pemeriksaan pada NIHSS juga terdapat pada ESS. Oleh sebab itu sebagai seorang perawat di ruang unit stroke sangatlah penting untuk menguasai pengkajian metode ini dalam rangka meningkatkan mutu asuhan keperawatan sehingga mempercepat proses penyembuhan pasien. Kata kunci : Diagnosa keperawatan, efektifitas, NIHSS, ESS Daftar Pustaka : 41 (1991 – 2008)

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 5: Dedi Damhudi.pdf

POST GRADUATE PROGRAM FACULTY OF NURSING UNIVERSITY OF INDONESIA Thesis, July 2008 Dedi Damhudi The Effect of the NIHSS and ESS Assessment Method on the Developing Actual Nursing Diagnosis on the Acute Phase Severe Stroke’s Patient in Fatmawati Hospital Jakarta xi + 84 pages + 8 tables + 4 schemes + 7 appendices

Abstract

The most important factor on early stage of caring patient with severe stroke is identifying patient condition as early as possible to prevent serious complication and death. Therefore, it is important to have assessment method that is focused on neurology system, comprehensive and accurate like NIHSS and ESS assessment method. The previous study shows that both NIHSS and ESS methods are effective to distinguish acute phase severe stroke’s patient. The goal of this study is to identify the effect of NIHSS and ESS assessment method on the developing actual nursing diagnosis on the acute phase severe stroke’s patient in Fatmawati Hospital Jakarta. This study uses experiment with post-test only design which is commonly called as the one shot case study. Non-random purposive sampling is the sampling method that is used in this study. Based on the inclusive criteria eighteen respondents were identified as samples in this study. The data analysis using α = 0,05 shows the strong positive relationship (r = 0,904) for NIHSS assessment value and negative pattern (r = -0,912) for ESS assessment value with the p value = 1.000. There is no significant different the effect of using NIHSS and ESS methods on developing actual nursing diagnosis on the acute phse severe stroke’s patient. This possibly happens since some of assessment components of NIHSS are the same with ESS assessment method. Therefore, it is important for the nurses to be able to use both assessment methods in order to improve the quality of nursing care and shorten the recovery process of the patient. Keywords: Nursing diagnosis, the effect, ESS, NIHSS Reference: 41 (1991-2008)

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 6: Dedi Damhudi.pdf

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, dengan petunjuk dan hidayah-

Nya peneliti dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Efektifitas pengkajian metode

NIHSS dan ESS (fokus neurologi) dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada

pasien stroke berat fase akut di RSUP Fatmawati Jakarta”. Tesis ini merupakan salah

satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Keperawatan Kekhususan

Keperawatan Medikal Bedah pada Program Studi Magister Keperawatan Fakultas Ilmu

Keperawatan Universitas Indonesia.

Selama proses penyusunan tesis ini, peneliti banyak sekali mendapat bantuan dan

dukungna dari berbagai pihak. Bersama ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima

kasih kepada :

1. Dewi Irawaty, M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas

Indonesia dan Pembimbing I yang telah banyak memberikan arahan dan masukan

serta konsep-konsep dalam proses penyusunan tesis ini

2. Krisna Yetty, S.Kp., M.App.Sc., selaku Ketua Program studi Pascasarjana Fakultas

Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

3. Rr. Tutik Sri Haryati, S.Kp., MARS, selaku Pembimbing II yang telah banyak untuk

memberikan arahan dan masukan serta konsep-konsep dalam proses penyusunan tesis

ini.

4. Direktur RSUP Fatmawati Jakarta beserta staf, yang telah memberikan kesempatan

kepada peneliti untuk melakukan studi pendahuluan dalam penyusunan proposal tesis

ini.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 7: Dedi Damhudi.pdf

5. Direktur Poltekkes Pontianak beserta staf, yang telah memberikan dukungan moril

dan materil serta kesempatan bagi peneliti untuk melanjutkan pendidikan di Program

studi Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

6. Pada Semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis dalam

menyelesaikan proposal tesis ini.

7. Orang tua, istri dan anak tercinta yang selalu secara ikhlas memberikan doa dan

dukungan moral kepada penulis.

8. Rekan-rekan seperjuangan, mahasiswa Program Magister Keperawatan Kekhususan

Keperawatan Medikal Bedah pada Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu

Keperawatan Universitas Indonesia Tahun 2006 atas dukungan dan motivasinya.

Menyadari akan keterbatasan yang dimiliki, peneliti meyakini bahwa tesis ini masih

jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran maupun masukan yang konstruktif

sangatlah diharapkan demi perbaikan bagi peneliti di masa yang akan datang. Akhir

kata, semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita

semua. Amin.

Jakarta, Juli 2008

Peneliti

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 8: Dedi Damhudi.pdf

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ………………………………………………………. i

LEMBAR PERSETUJUAN ………………………………………………. ii

PANITIA UJIAN SIDANG TESIS iii

ABSTRAK ……………………………………………………………....... iv

KATA PENGANTAR …………………………………………………….. vi

DAFTAR ISI …………………………………………………….............. viii

DAFTAR TABEL ………………………………………………………… xi

DAFTAR SKEMA ……………………………………………………….. xii

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………… xiii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………………………………………………

B. Rumusan Masalah …………………………………………..

C. Tujuan ……………………………………………………….

D. Manfaat Penulisan …………………………………………..

1

7

8

8

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Penyakit Stroke ……….....................................

1. Defenisi ...…………………………………………………

2. Etiologi …………………………………………..………

3. Patofisiologi ………………………………………………

4. Klasifikasi stroke …………………………………………

5. Tanda dan gejala …………………………………………

6. Pemeriksaan diagnostik ……………………………….…

7. Penatalaksanaan ……………………………….…………

B. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Stroke Fase Akut……..

1. Manajemen Keperawatan ………………………….…….

2. Pengkajian Keperawatan ………………………….……..

10

10

10

11

14

16

18

18

19

19

22

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 9: Dedi Damhudi.pdf

3. Diagnosa Keperawatan ………………………………..…

C. National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS) …….……

D. Eropean Stroke Scale (ESS) …………………………………

E. Kerangka Teori ………………………………………………

42

48

48

49

BAB III : KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI

OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep ……………………………………………

B. Hipotesis …………………………………………………….

C. Definisi Operasional ...............................................................

51

53

53

BAB IV : METODE PENELITIAN

A. Disain Penelitian …………………………………………….

B. Populasi dan Sampel ……………………………………..….

C. Tempat Penelitian …………………………………….……..

D. Waktu Penelitian ……………………………………….……

E. Etika Penelitian ………………………………………….…..

F. Alat Pengumpul Data ……………………………………..…

G. Prosedur Pengumpulan Data …………………………………

H. Analisis Data …………………………………………..…….

57

58

59

59

59

61

61

63

BAB V : HASIL PENELITIAN

A. Analisis Univariat ……….…………….…………………..…

B. Analisa Bivariat ……………..…….…………………..……..

C. Analisiskomponen Penilaian Metode NIHSS danESS ……...

67

69

72

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 10: Dedi Damhudi.pdf

BAB VI : PEMBAHASAN

A. Interprestasi dan Diskusi Hasil …………….………….………

B. Keterbatasan Penelitian ……………………………………….

C. Implikasi Untuk Keperawatan …………………………..…….

74

79

81

BAB VII : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan …………………………………………………...

B. Saran ……………………….…………………………..……..

82

83

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 11: Dedi Damhudi.pdf

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1. Defenisi operasioanal variabel penelitian ............................. ... 53

Tabel 5.1. Nilai Hasil Pengkajian Metode NIHSS dan ESS .…………… 67 Tabel 5.2. Perolehan Diagnosa Keperawatan Aktual NIHSS & ESS…... 68 Tabel 5.3. Korelasi Nilai NIHSS Terhadap Perolehan Diagnosa Aktual... 69 Tabel 5.4. Korelasi Nilai ESS Terhadap Perolehan Diagnosa Aktual....... 68 Tabel 5.5. Selisih Diagnosa Aktual NIHSS dan ESS ………….………. 70 Tabel 5.6. Efektifitas Metode NIHSS dan ESS.………………………… 71 Tabel 5.7. Komponen Penilaian NIHSS dan ESS……………………… 72

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 12: Dedi Damhudi.pdf

DAFTAR SKEMA

Halaman

Skema 2.1. Fatofisiologi stroke ........................................................... 13

Skema 2.2. Kerangka Teoritis .............................................................. 50

Skema 3.1. Kerangka Konsep Penelitian ............................................. 52

Skema 4.1. Desain Penelitian ............................................................... 57

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 13: Dedi Damhudi.pdf

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Persetujuan Responden

Lampiran 2. Tabel National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS)

Lampiran 3. Tabel Eropean Stroke Scale (ESS)

Lampiran 4. Instrumen penelitian pengkajian metode NIHSS

Lampiran 5. Instrumen penelitian pengkajian metode ESS

Lampiran 6. Rencana waktu penelitian

Lampiran 7. Daftar riwayat hidup

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 14: Dedi Damhudi.pdf

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“Stroke atau cedera serebrovaskuler (CVA) adalah ketidaknormalan fungsi sistem

saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh gangguan kenormalan aliran darah ke otak”.

Stroke dapat dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu iskemik (85 %) terjadinya

penyumbatan pembuluh darah, terjadi penurunan perfusi yang nyata dan perdarahan

(15 %) terjadinya ektravasasi perdarahan ke dalam otak atau ruangan sub araknoid

(Smeltzer & Bare, 2008, hlm. 2206).

Data WHO tahun 2007, menunjukkan 15 juta orang menderita stroke di seluruh

dunia setiap tahun. Sebanyak 5 juta orang mengalami kematian dan 5 juta mengalami

kecacatan yang menetap (Stroke center, 2007, Population stoke in the world, ¶ 1,

http://www.strokecenter.org/patients/stats.htm, diperoleh tanggal 10 Januari 2008).

Diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 orang penduduk Indonesia terkena serangan

stroke, dan sekitar 25% atau 125.000 orang meninggal dan sisanya mengalami cacat

ringan atau berat. (Yastroki, 2007, tahun 2020 angka kejadian stroke meningkat

tajam, ¶ 1, http://www.yastroki.or.id, diperoleh tanggal 10 Januari 2008).

Berdasarkan hasil catatan medis RSUP Fatmawati Jakarta, dari bulan Januari 2007

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 15: Dedi Damhudi.pdf

2

sampai Desember 2007 berjumlah 557 pasien stroke yang terbagi menjadi stroke

non hemoragik 266 orang dan stroke hemoragik 291orang.

Menurut American Association of Neuroscience Nurses (AANN) (2004, hlm.6),

”Waktu adalah faktor yang sangat penting dalam mengoptimalkan penanganan pasien

dengan stroke”. Sedangkan American Heart Association (AHA) dan National Stroke

Association (NSA) memberikan rekomendasi dalam memberikan perawatan harus

dilakukan dalam waktu 3 - 6 jam pertama terkena serangan untuk mendapatkan

hasil yang baik saat pasien pulang.

Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologi, bergantung pada lokasi lesi

(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat

dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder). Manifestasi klinis dari stroke itu antara

lain: kehilangan motorik, kehilangan komunikasi, gangguan persepsi, kerusakan

fungsi kognitif dan efek psikologik, disfungsi kandung kemih (Smeltzer & Bare 2008;

Black & Hawks, 2005; Ignativius & Workman, 2006; Hickey, 2003; Lemone &

Burke, 1996; Polaski & Tatro, 1996).

Sekitar 30%-40% penderita stroke dapat sembuh sempurna (bisa bekerja seperti

biasa) asalkan penanganan terhadap mereka dilakukan dalam jangka waktu 6 jam

setelah terjadinya serangan agar pasien tidak mengalami kecacatan. Bahkan ada yang

berpendirian bahwa penderita stroke dapat sembuh bila ditangani kurang dari 3 jam

setelah terjadi serangan. Hal ini disampaikan oleh dokter spesialis saraf dan konsultan

Neurologi RSPAD Gatot Subroto, dr Sutarto, Pd.SpS dalam Seminar Pencegahan

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 16: Dedi Damhudi.pdf

3

Stroke dan Penyakit Jantung, di Jakarta, Senin (29-9-2007). (Sinar Harapan, 2003,

penderita stroke dapat disembuhkan, ¶ 1, http://www.sinarharapan.co.id, diperoleh

tanggal 29 Oktober 2007).

Gejala sisa seperti jalannya pincang atau berbicaranya pelo masih bisa disembuhkan.

Sayangnya, sebagian besar penderita stroke datang ke rumah sakit setelah 48 jam

terjadinya serangan. Ini sangat memprihatinkan mengingat Insan Pasca Stroke (IPS)

biasanya merasa rendah diri dan emosinya tidak terkontrol dan selalu ingin

diperhatikan. (Sinar Harapan, 2003, penderita stroke dapat disembuhkan, ¶ 1,

http://www.sinarharapan.co.id, diperoleh tanggal 29 Oktober 2007).

”Fase akut pada stroke iskemik antara 1-3 hari, tetapi pengawasan yang berkelanjutan

terhadap semua sistem tubuh masih diperlukan selama pasien memerlukan

perawatan” (Smeltzer & Bare, 2008, hlm.2215). Pasien yang terkena stroke sangat

beresiko terhadap komplikasi yang banyak meliputi pengkondisian dan masalah

muskulo skletal, kesulitan menelan, disfungsi BAB/BAK, ketidakmampuan perwatan

diri sendiri dan kerusakan kulit. Selama fase akut pemeriksaan neurologi tetap

dipertahankan untuk memberikan data tentang kondisi pasien saat itu juga.

Langkah pertama pada proses keperawatan adalah pengkajian, yaitu pengumpulan

data oleh perawat. Informasi dikumpulkan dengan menggunakan metode observasi,

wawancara, pemeriksaan fisik dan intuisi serta dari sumber lain termasuk, pasien,

keluarga atau orang lain yang dekat dengan pasien, catatan kesehatan, tim kesehatan

lain serta sumber kepustakaan (Craven & Hirnle, 2007). Pengkajian meliputi aspek

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 17: Dedi Damhudi.pdf

4

bio-psiko-sosial dan spritual. Hasil pengkajian yang baik menentukan pembuatan

diagnosa yang tepat, begitu seterusnya terhadap langkah perencanaan, implementasi

dan evaluasi keperawatan.

Pengkajian sistem saraf mulai dilakukan perawat saat pasien masuk ke rumah sakit

atau ruangan perawatan (Polaski & Tatro,1996). Faktor yang sangat penting dalam

tahap awal perawatan dan pengobatan pada pasien stroke adalah mengetahui kondisi

pasien sedini mungkin. Metode pengkajian harus lengkap dan akurat untuk digunakan

sebagai dasar pengkajian selanjutnya (Black & Hawks, 2005).

Pasien stroke yang masuk ke ruangan bisa dalam kondisi stroke ringan, sedang dan

berat. Pada pasien stroke berat fase akut penanganan harus cepat untuk mencegah

komplikasi yang lebih parah dan kematian, oleh sebab itu diperlukan suatu alat

pengkajian yang cepat, tepat dan akurat. Pada stroke berat fase akut, pengkajian yang

sangat penting dilakukan oleh seorang perawat adalah pengkajian neurologi karena

pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi pasien saat itu.

Pengkajian neurologi termasuk jenis pengkajian fokus dan bersifat darurat karena

lingkup pengkajian hanya sistem persarafan dengan waktu yang singkat dan dapat

mengidentifikasi situasi yang menyakut penyelamatan nyawa pasien. Pengumpulan

data pada pengkajian neurologis dilakukan dengan wawancara, observasi dan

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 18: Dedi Damhudi.pdf

5

pemeriksaan fisik dengan teknik pemeriksaan review of system (khusus sistem

persarafan). Sampai saat ini metode yang digunakan untuk mengkaji kondisi pasien

stroke fase akut adalah National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS) dan

Eropean Stroke Scale (ESS) . (Edwards, 2007, acute assessment Scales, ¶ 1,

ttp://www.strokecenter.org, diperoleh tanggal 10 Januari 2008).

Berdasarkan hasil penelitian Adams, et al, (1999) dan Muir, et al, (1996), menyatakan

bahwa penggunaan metode NIHSS dapat digunakan untuk melihat kondisi pasien

stroke fase akut, dapat dilakukan dengan cepat, sensitivitas 0,71 (95% CI, 0,64 –

0,79), spesifisitas 0,90 (95% CI, 0,86 – 0,94) dan mempunyai kaitan yang erat dengan

metode pengukuran lain seperti Bartel Index dan GCS. Hasil penelitan Hanton, et al.

(1994) dan Muir, et al. (1996), disimpulkan bahwa metode ESS berguna untuk

melihat perkembangan pasien stroke akut, dapat dilakukan dengan cepat, mudah

dipelajari dan skor yang dipakai sederhana, sensitivitas 0,70 (95% CI, 0,62 – 0,77),

spesifisitas 0,89 (95% CI, 0,85 – 0,93) dan mempunyai hubungan yang erat dengan

skala pengukuran lain seperti MCA Neurological Scale, The Canadian Stroke Scale,

The Scandinavian Stroke Scale, The Bartel Index, The Rankin Scale.

Merujuk pada hasil penelitian Adams, et al, (1999) dan Muir, et al, (1996),

disimpulkan bahwa penggunaan metode NIHSS dan ESS sangatlah baik untuk

menentukan kondisi pasien stroke fase akut. Oleh sebab itu seorang perawat unit

stroke atau perawat mahir stroke sangat perlu menggunakan

metode ini dalam melakukan pengkajian neurologi terhadap pasien

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 19: Dedi Damhudi.pdf

6

yang masuk ke ruangan perawatan saraf untuk mendukung perumusan diagnosa yang

tepat.

Hasil studi pedahuluan di RSUP Fatmawati Jakarta, pengkajian pasien stroke fase

akut menggunakan format secara umum meliputi bio, psiko, sosial dan spiritual.

Sedangkan untuk pemeriksaan neurologi tidak mempunyai format khusus sehingga

hasil pemeriksaan neurologi kurang spesifik dan memerlukan waktu lama dalam

proses pengkajian pasien.

Menurut NANDA (2005, dalam Craven, 2007, hlm.171) “Diagnosa keperawatan

adalah keputusan klinis mengenai seseorang, keluarga atau masyarakat sebagai akibat

dari masalah-masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual atau potensial”.

Diagnosa keperawatan memberikan dasar-dasar pemilihan intervensi untuk

mendapatkan hasil yang menjadi tanggung gugal perawat.

“Diagnosa keperawatan aktual adalah diagnosa keperawatan yang menyajikan

keadaan secara klinis telah divalidasi melalui batasan karakteristik mayor yang dapat

diidentifikasi” (Carpenito, 1997, hlm.12). Diagnosa aktual menjadi prioritas yang

harus segera di tangani oleh seorang perawat karena sangat menentukan kondisi

pasien selanjutnya.

Sampai saat ini penelitian tentang efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS

dalam membuat diagnosa keperawatan yang aktual belum pernah dilakukan. Karena

belum adanya penelitian serta terbatasnya informasi tentang manfaat pengkajian

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 20: Dedi Damhudi.pdf

7

neurologis dengan metode NIHSS dan ESS mendorong peneliti untuk meneliti

efektifitas pengkajian neurologis dengan metode NIHSS dan ESS dalam membuat

diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut.

B. Rumusan Masalah

Pada stroke berat penangan harus cepat untuk mencegah komplikasi yang lebih parah

dan kematian, maka diperlukan suatu alat pengkajian neurologi yang cepat, tepat dan

akurat untuk mengetahui perkembangan pasien saat itu.

Untuk meningkatkan hasil pelayanan kesehatan pada pasien stroke memerlukan

kerjasama tim yang baik antara dokter, perawat dan tim kesehatan lainnya. Perawat

unit stroke adalah mitra dokter neurologi dalam melakukan asuhan keperawatan pada

pasien stroke. Oleh sebab itu diperlukan suatu wawasan yang luas dalam bermitra

dengan dokter neurologi salah satunya dalam melakuan pengkajian neurologi dengan

metode NIHSS dan ESS untuk membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien

stroke berat fase akut.

Studi tentang penggunaan metode NIHSS dan ESS dalam pengkajian untuk

pembuatan diagnosa keperawatan yang aktual belum pernah dilakukan, sehingga

belum diketahui efektifitas penggunaan kedua metode ini terhadap pembuatan

diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat pada fase akut.

C. Tujuan

1. Umum

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 21: Dedi Damhudi.pdf

8

Mengidentifikasi efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam membuat

diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut.

2. Khusus

a. Mengidentifikasi efektifitas pengkajian metode NIHSS dalam membuat

diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut.

b. Mengidentifikasi efektifitas pengkajian metode ESS dalam membuat diagnosa

keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut.

c. Mengidentifikasi selisih perolehan diagnosa keperawatan aktual pada pasien

stroke berat fase akut pada pengkajian metode NIHSS dan ESS.

D. Manfaat Penelitian

1. Perawat

a) Sebagai penambah wawasan bagi perawat unit stroke tentang manfaat

pengkajian fokus neurologi dengan menggunakan pengkajian metode NIHSS

dan ESS pada pasien dengan stroke berat fase akut

b) Dapat dengan mudah merumuskan diagnosa keperawatan yang tepat pada

pasien stroke berat fase akut menggunakan pengkajian metode NIHSS dan

ESS.

2. Pengetahuan

Sebagai bahan rujukan khususnya mengenai efektifitas pengkajian menggunakan

metode NIHSS dan ESS dalam menyusun rencana asuhan keperawatan khususnya

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 22: Dedi Damhudi.pdf

9

pembuatan diagnosa keperawatan aktual pada asuhan keperawatan pasien dengan

stroke berat fase akut.

3. Penelitian

Sebagai informasi awal untuk penelitian selanjutnya, terkait dengan perawatan

pasien stroke khususnya untuk pengembangan studi keperawatan medikal bedah

spesialis keperawatan medikal bedah saraf.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 23: Dedi Damhudi.pdf

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Penyakit Stroke

1. Definisi

“Stroke adalah gangguan tiba-tiba terhadap aliran darah ke otak” (Stroke center,

2007, Defenition of Stroke, http://www.strokecenter.org/patients/stats.htm,

diperoleh tanggal 10 Januari 2008). Menurut smeltzer & Bare (2008, hlm.2206)

“Stroke atau cedera serebrovaskuler (CVA) adalah ketidaknormalan fungsi sistem

saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh gangguan kenormalan aliran darah ke

otak”. Sedangkan menurut Black & Hawks (2005, hlm.2107) “Stroke adalah

istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan neurologis yang

disebabkan oleh gangguan aliran darah ke suatu bagian otak”.

2. Etiologi

Stroke biasanya disebabkan oleh salah satu dari empat kejadian ini, yaitu:

a. Trombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher)

b. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak

c. Iskemia (penurunan alirah darah ke area otak)

d. Hemoragi serebral (pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke

dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak)

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 24: Dedi Damhudi.pdf

11

3. Patofisiologi

Trombus dan embolus pada pembuluh darah otak mengakibatkan aliran darah ke

otak berkurang sehingga otak kekurangan oksigen. Iskemia terjadi ketika aliran

darah menurun kurang dari 25 ml per 100 g/menit. Akibatnya neuron tidak bisa

mempertahankan respirasi aerob. Mitokondria diubah menjadi respirasi anaerob

sehingga menghasilkan asam laktat dan perubahan pH. Perubahan ini juga

mengakibatkan penurunan neuron dalam memproduksi adenosin triphospat (ATP)

yang akan dijadikan bahan bakar dalam proses depolarisasi. Keseimbangan

elektrolit mulai terjadi dan fungsi sel mulai berhenti.

Penurunan aliran darah yang berkurang menuju menjadi penumbra dan

berkembang menjadi area infark. Bagian penumbra adalah jaringan otak yang

iskemik dan bisa diselamatkan dengan penanganan yang cepat. Alirahan yang

iskemik mengancam sel dan penumbra karena membran yang mengalami

depolarisasi pada dinding sel menyebabkan peningkatan kalsium yang masuk ke

dalam sel dan mengeluarkan glutamat. Jika hal ini berlanjut akan mengakibatkan

bertambahnya kerusakan pada selaput sel, kalsium dan glutamat banyak terbuang,

vasokontriksi dan menghasilkan radikal bebas. Proses ini memperbesar area

infark pada penumbra dan memperluas stroke iskemik. Area infark akan

menimbulkan edema otak sehingga menyebabkan gangguan saraf yang bersifat

sementara. Area edema akan berkurang dalam waktu beberapa jam atau beberapa

hari sehingga gangguan saraf secara perlahan dapat kembali normal. Apabila

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 25: Dedi Damhudi.pdf

12

stroke non hemoragik tidak diatasi dengan cepat dan tepat akan mengakibatkan

stroke hemoragik.

Stroke hemoragik tergantung pada penyebab dan jenis penyakit alirah darah di

otak. Gejala stroke hemoragik diakibatkan oleh pendarahan primer pada otak,

aneurisma atau kelainan bentuk arterivena yang menekan saraf kranial atau

jaringan otak atau lebih parah lagi ketika aneurisma atau kelainan arterivena

pecah menyebabkan pendarahan sub araknoid.

Pendarahan sub araknoid dapat terjadi sebagai akibat trauma atau hipertensi,

tetapi penyebab paling utama adalah kebocoran aneurisma pada area sirkulus

willis dan kelainan bentuk arteri-vena. Aneurisma dan kelainan bentuk arteri-

vena akan menekan pada saraf kranial atau jaringan otak atau lebih parah lagi

ketika aneurisma atau arteriovenous malformations (AVM) pecah, akan

menyebabkan pendarahan sub araknoid. Dengan meningkatnya tekanan dalam

otak yang diakibatkan oleh masuknya darah yang tiba-tiba kedalam ruangan sub

araknoid akan menekan dan merusak jaringan otak. Pendarahan sub araknoid juga

disebabkan oleh efek sekunder iskemia pada otak akibat terjadinya penurunan

tekanan perfusi dan vasospasme.

Perdarahan intraserebral paling umum pada pasien dengan hipertensi dan

atersoklerosis, karena perubahan degeneratif menyebabkan pecahnya pembuluh

darah otak. Pendarahan intraserebral juga bisa disebabkan oleh tumor otak dan

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 26: Dedi Damhudi.pdf

13

penggunaan obat-obatan seperti obat oral antikoagulan dan amphetamine.

Pendarahan bisanya terjadi pada lobus otak, basal ganglia, thalamus, pons dan

serebellum. Adakalanya, pendarahan dapat memecahkan dinding ventrikular

lateral dan menyebabkan pendarahan intraventrikular yang fatal (Smeltzer &

Bare, 2008; Black & Hawks, 2005).

Skema 2.1. Patofisiologi stroke

Sumber: (Smeltzer & Bare, 2008; Black & Hawks, 2005)

Oklusi (trombosis, emboli)

Iskemia

Asidosis Ketidakseimbangan ion

Glutamat Depolarisasi

Sel membrane dan protein rusak membentuk radikal bebas. Produksi protein menurun

Sel rusak dan mati

Kekurangan energi

Peningkatan kalsium ke dalam sel

Stroke iskemi aterosklerosis

serebral

Trauma, aneurisma, kelainan bentuk arteri-vena

Perdarahan sub araknoid Perdarahan

intraserebral

Pembuluh darah otak pecah

Pembuluh darah otak pecah

Hipertensi,

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 27: Dedi Damhudi.pdf

14

4. Klasifikasi Stroke

Pembagian jenis stroke dapat dibagi menurut etiologi dan perjalanan penyakitnya

a. Pembagian stroke menurut etiologinya

1) Stroke non hemoragik

b) Trombosis

c) Emboli

2) Stroke hemoragik

a) Pendarahan intra serebral

b) Pecahnya aneurisma dan kelainan bentuk arteri-vena (pendarahan sub

araknoid)

c) Lain-lain seperti: tumor otak yang mengalami perdarahan

b. Pembagian stroke menurut perjalanan penyakitnya

Sesuai dengan perjalanan penyakit tersebut, atau keadaan temporal (yang

didefinisikan sebagai sebagai pola kronologis perkembangan dan regresi klinis,

tanda-tanda dan gejala-gejala), maka stroke dapat dibagi menjadi tiga jenis

1) Transient Ischemic Attacks (TIA)

Ini merupakan gangguan neurologis fokal yang timbul secara tiba-tiba dan

menghilang dalam beberapa detik sampai beberapa jam.

a) Gangguan neurologis setempat

b) Terjadi selama beberapa detik - jam

c) Gejala hilang kurang dari 24 jam

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 28: Dedi Damhudi.pdf

15

2) RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit)

Terjadi lebih lama dari TIA, gejala hilang lebih dari 24 jam tetapi tidak

lebih dari 1 minggu

3) Progresif, (Stroke ini evolution)

Perkembangan stroke perlahan lahan sampai akut.

a) Munculnya gejala makin lama makin bertambah buruk

b) Proses progresif beberapa jam sampai beberapa hari

4) Stroke lengkap (Stroke complete)

Gangguan neurologis maksimal sejak awal serangan dan sedikit

memperlihatkan perbaikan.

a) Didahului dengan TIA yang berulang-ulang dan stroke in evolution

b) Bentuk kelainan neurologi sudah menetap

c) Gangguan neurologi sudah maksimal / berat sejak awal serangan.

d) Perbaikan hanya tampak sedikit

c. Pembagian stroke berdasarkan tingkat keparahan, (Rasyid dan Seortidewi, 2007,

hlm.35).

1) Stroke ringan: nilai NIHSS kurang dari 4

2) Stroke sedang: nilai NIHSS 4 - 15

3) Stroke berat: nilai NIHSS lebih dari 15

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 29: Dedi Damhudi.pdf

16

5. Tanda dan gejala

Stroke dapat menyebabkan berbagai defisit neurologi, tergantung pada lokasi lesi

(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya kurang dan

jumlah alirah darah kolateral. Gambaran klinik utama dikaitkan dengan

insufisiensi aliran darah ke otak dapat dihubungkan dengan tanda-tanda dan

gejala-gejala di bawah ini, (Black & Hawks, 2005) :

a. Vertebro basilaris (sirkulasi posterior, manifestasi biasanya bilateral)

1) Kelemahan salah satu dari empat anggota tubuh

2) Peningkatan refleks tendon

3) Ataksia

4) Tanda Babinski bilateral

5) Tanda-tanda serebelar

6) Disfagia

7) Disartria

8) Sinkope, stupor, koma, pusing, gangguan ingatan

9) Gangguan penglihatan (diplopia, nistagmus, ptosis, paralisis gerakan satu

mata)

10) Muka terasa baal

b. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior, gejala-gejalanya biasanya unilateral).

Lokasi lesi yang paling sering biasanya pada bifurkasio arteri karotis komunis

menjadi arteri karotis interna dan karotis eksterna. Dapat berbagai sindroma,

polanya tergantung dari jumlah sirkulasi kolateral.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 30: Dedi Damhudi.pdf

17

1) Kebutaan monokular , disebabkan karena insufisiensi aliran darah arteri ke

retina.

2) Terasa baal pada ekstremitas atas, dan mungkin juga menyerang wajah.

Hal ini disebabkan karena insufisiensi diantara arteri serebri arteri dan

serebri media. Kalau terjadi pada hemisfer yang dominan maka akan

timbul gejala-gejala afasia ekspresif.

c. Arteri serebri anterior , gejala yang paling primer adalah kebingungan :

1) Rasa kontralateral lebih besar pada tungkai. Lengan bagian proksimal

mungkim ikut terserang. Timbul gerakan volunter pada tungkai terganggu.

2) Gangguan sensori k ontra lateral.

3) Dimensia, reflek mencekram dan reflekspatologis (disfungsi lobus

frontalis).

d. Arteri serebri posterior ( dalam lobus otak tengah atau talamus)

1) Koma

2) Hemiparesis kontralateral

3) Afasia visual atau buta kata (aleksia).

4) Kelumpuhan saraf kranial ketiga -hemianopsia, koreo-athetosis.

e. Arteri Serebri media.

1) Mono paresis atau hemiparesis kontralateral (biasanya mengenai lengan)

2) Kadang-kadang hemianopsia kontralateral (kebutaan).

3) Afasia global (kalau hemisfier dominan yang terkena) gangguan semua

fungsi yang ada hubungannya dengan percakapan dan komunikasi.

4) Disfsagia.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 31: Dedi Damhudi.pdf

18

6. Pemeriksaan diagnostik

Menurut Smeltzer & Bare, (2008); Black & Hawks, (2005) , pemeriksaan

diagnostik yang sering dilakukan pada pasien strok antara lain:

a. CT Scan. Pemeriksaan awal untuk nenentukan apakah pasien termasuk stroke

hemoragik atau non hemoragik. Pemeriksaan ini dapat melihat adanya edema,

hematoma, iskemia dan infark.

b. Angiografi Serebral. Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik,

seperti perdarahan atau obstruksi arteri, ada tidaknya oklusi atau rupture.

c. Pungsi Lumbal. Menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada

trombosisi, emboli serebral, TIA.

d. MRI. Menunjukkan daerah yang mengalami infakr, hemoragik, kelainan

bentuk arteri-vena.

e. EEG. Mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak dan

mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.

7. Penatalaksanaan pasien stroke fase akut

Pasien yang koma saat masuk ke rumah sakit dinilai mempunyai prognosis yang

buruk. Sebaliknya pasien sadar penuh akan mempunyai harapan yang lebih baik.

Dengan mempertahankan jalan nafas dan ventilasi yang cukup adalah prioritas

utama pada fase akut. Menurut Smeltzer,et.al, (2002), .Intervensi yang dilakukan

pada fase akut antara lain:

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 32: Dedi Damhudi.pdf

19

a. Pasien ditempatkan pada posisi lateral atau semi telungkup dengan kepala di

tempat tidur ditinggikan 15-30 derajat sampai tekanan vena serebral

berkurang

b. Intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik perlu untuk pasien dengan stroke

massif, karena pada situasi ini henti pernafasan dapat mengancam kehidupan.

c. Memantau adanya komplikasi pulmonal (aspirasi, atelektasis, pneumonia)

yang mungkin berkaitan dengan kehilangan reflek jalan nafas, imobilitas atau

hipoventilasi.

d. Periksaan jantung untuk melihat abnormalitas ukuran, irama serta tanda gagal

jantung kongestif.

B. Asuhan Keperawatan Pasien dengan stroke fase akut

1. Manajemen keperawatan

Manajemen keperawatan pada pasien stroke tergantung pada gejala stroke dan

gangguan neurologi yang terjadi. Penanganan yang dini pada pasien stroke adalah

faktor kunci dalam mengoptimalkan hasil perawatan seperti di ruangan ICU atau

perawatan khusus unit stroke akut. Pemberian trombolitik atau neuroprotektif

dilakukan minimal 3-6 jam setelah terkena stroke iskemik (Hickey, 2003,

hlm.556).

Menurut Smeltzer & Bare (2008, hlm, 2215), ”Fase akut pada stroke iskemik

antara 1-3 hari, tetapi pengawasan yang berkelanjutan terhadap semua sistem

tubuh masih diperlukan selama pasien memerlukan perawatan”. Pasien yang

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 33: Dedi Damhudi.pdf

20

terkena stroke sangat beresiko terhadap komplikasi yang banyak meliputi

pengkondisian dan masalah muskulo skletal, kesulitan menelan, disfungsi

BAB/BAK, ketidakmampuan perawatan diri sendiri dan kerusakan kulit. Selama

fase akut pemeriksaan neurologi tetap dipertahankan untuk memberikan data

tentang kondisi pasien meliputi:

a. Perubahan tingkat kesadaran atau tingkat respon yang ditunjukkan melalui

pergerakan, pertahanan terhadap perubahan posisi, respon terhadap stimulus,

orientasi waktu, tempat dan orang.

b. Ada atau tidak adanya gerakan yang di sengaja atau tidak di sengaja pada

ektrimitas; kekuatan otot, postur tubuh, dan posisi kepala.

c. Kekakuan atau kelemahan leher

d. Pembukaan mata, perbandigan ukuran pupil, rekasi pupil terhadap cahaya dan

posisi mata

e. Warna wajah dan ektrimitas; suhu dan kelembaban kulit.

f. Kualitas dan jumlah nadi dan pernafasan; analisa gas darah, suhu tubuh dan

tekanan arterial.

g. Kemampuan bicara.

h. Jumlah cairan yang diberikan, volume urin yang keluar selama 24 jam.

i. Adanya pendarahan.

j. Tekanan darah dalam rentang yang normal.

”Waktu adalah faktor yang sangat penting dalam mengoptimalkan penanganan

pasien dengan stroke”, (AANN, 2004, hlm. 6). AHA dan NSA memberikan

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 34: Dedi Damhudi.pdf

21

rekomendasi dalam memberikan perawatan harus dilakukan dalam waktu 3 -6

jam pertama terkena serangan untuk mendapatkan hasil yang baik saat pasien

pulang. Intervensi keperawatan stroke fase akut meliputi langkah-langkah

sebagai berikut:

a. Monitor jalan nafas dan pastikan kelengkapannya tersedia.

b. Monitor tanda-tanda gangguan pernafasan dan antisipasi adanya tindakan

intubasi.

c. Pertahankan saturasi oksigen lebih dari 90 %.

d. Pertahankan pemasangan intra vena.

e. Monitor sesering mungkin seperti tanda-tanda vital tiap 15 menit, gangguan

neurologi, saturasi oksigen dan irama jantung.

f. Berikan posisi pasien dengan kepala tegaklurus dan kepala tinggikan 30

derajat untuk mencegah aspirasi dan arus balik vena.

g. Kolaborasi pemeriksaan CT Scan untuk menentukan apakah pasien

memerlukan trombolitik atau intervensi akut yang lain.

h. Kolaborasi pemberian Insulin bila gula darah melebihi 150 mg/dl. Glukosa

yang tinggi dapat memperburuk keadaan.

i. Turunkan suhu bila lebih dari 38 °C, karena suhu yang tinggi memperburuk

keadaan.

j. Jika pasien diberikan terapi trombolitik, pasien perlu diobservasi ketat karena

bisa mendapatkan reaksi anapilaktik seperti sumbatan total saluran

pernafasan.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 35: Dedi Damhudi.pdf

22

2. Pengkajian keperawatan

a. Definisi

Menurut Carpenito (1997, hlm. 45), “Pengkajian adalah pengumpulan data

yang sengaja dilakukan secara sistematis untuk menentukan keadaan

kesehatan pasien sekarang dan masa lalu dan untuk mengevaluasi pola koping

pasien sekarang dan masa lalu”.

Langkah pertama pada proses keperawatan disebut pengkajian, yaitu

pengumpulan data oleh perawat. Informasi dikumpulkan dengan

menggunakan metode observasi, wawancara, pemeriksaan fisik dan intuisi

dan dari sumber lain termasuk, pasien, keluarga atau orang lain yang dekat

dengan pasien, catatan kesehatan, tim kesehatan lain dan sumber kepustakaan

(Craven & Hirnle, 2007).

Tahap ini semua data/informasi tentang pasien yang dibutuhkan, dikumpulkan

dan dianalisa untuk menentukan diagnosa keperawatan. Pengkajian

keperawatan terdiri dari tiga tahap yaitu; pengumpulan, pengelompokan atau

pengorganisasian serta menganalisa dan merumuskan diagnosa keperawatan.

b. Jenis pengkajian

Pengkajian memiliki banyak bentuk, tergantung pada situasi klinis, keadaan

Pasien, waktu yang tersedia dan tujuan pengumpulan data. Jenis pengkajian

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 36: Dedi Damhudi.pdf

23

antara lain: pengkajian awal, pengkajian fokus, pengkajian ulang dan

pengkajian darurat (Craven & Hirnle, 2007).

1) Pengkajian awal

Pengkajian ini dilakukan saat pasien masuk ke rumah sakit. Tujuannya

adalah untuk melihat kondisi pasien, mengidentifikasi fungsi pola

kesehatan yang bermasalah dan mendapatkan data yang dasar yang

mendalam dimana data ini penting untuk mengevaluasi keadaan pasien

baik data aktual ataupun potensial.

2) Pengkajian fokus

Pengumpulan data tentang masalah yang sudah diidentifikasi. Pengkajian

ini mempunyai lingkup yang lebih sedikit dan memerlukan waktu yang

singkat. Seorang perawat biasanya hanya mengkaji masalah khusus yang

ditemukan selama proses pengkajian.

3) Pengkajian ulang

Pengkajian yang dilakukan setelah pengkajian awal untuk mengevaluasi

perubahan pada fungsi kesehatan pasien. Pengkajian ini membandingkan

status pasien dengan data dasar pada masa lalu untuk melihat perubahan

pada semua fungsi pola kesehtan setelah beberapa waktu yang lalu.

4) Pengkajian darurat

Mengidentifikasi situasi yang menyakut penyelamatan nyawa pasien

dimana penyelamatan nyawa menjadi prioritas utama.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 37: Dedi Damhudi.pdf

24

c. Pengumpulan data

1) Tipe data

Ada 2 tipe data pada pengkajian yaitu:

a) Data subjektif

Data yang didapatkan dari Pasien sebagai suatu pendapat terhadap

suatu situasi dan kejadian. Misalnya penjelesan pasien tetang nyeri,

lemah, frustasi, mual atau malu.

b) Data objektif

Data yang didapat dari observasi dan diukur. Misalnya frekuensi

pernafasan, tekanan darah, edema, berat badan.

2) Karateristik data

Pengumpulan data Pasien memiliki karakteristik seperti lengkap, akurat,

nyata dan relevan.

d. Sumber data

Sumber dalam pengkajian bisa berasal dari Pasien, orang terdekat, catatan

Pasien, riwayat penyakit, konsultasi, hasil pemeriksaan diagnostik, catatan

medis dan anggota tim kesehatan lainnya, perawat lain serta kepustakaan.

(Nursalam, 2001)

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 38: Dedi Damhudi.pdf

25

e. Metode pengumpulan data

Ada tiga metode yang digunakan dalam pengumpulan data pada tahap

pengkajian yaitu: wawancara, observasi dan pemeriksaan fisik.

1) wawancara

Wawancara adalah pola komunikasi yang dilakukan untuk tujuan spesifik

dan difokuskan pada area dengan isi yang spesifik. Dalam keperawatan,

tujuan utama dari mewawancara adalah mendapatkan riwayat kesehatan

keperawatan, mengidentifikasi kebutuhan kesehatan dan faktor resiko

serta menentukan perubahan spesifik dalam tingkat kesejahteraan dan pola

kehidupan. Ada empat tahap dalam wawancara yaitu: persiapan,

pembukaan atau perkenalan, isi atau tahap kerja dan terminasi.

2) Observasi

Observasi adalah mengamati perilaku dan keadaan pasien untuk

memperoleh data tentang kesehatan dan keperawatan pasien. Kegiatan

observasi meliputi 2S HFT (sight, smell, hearing, feeling dan taste).

Kegiatan ini mencakup aspek fisik, mental, sosial dan spiritual.

3) pemeriksaan fisik.

Pemeriksaan fisik dipergunakan untuk memperoleh data objek dari

riwayat keperawatan pasien. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan

bersamaan dengan wawancara. Fokus pengkajian fisik yang dilakukan

perawat adalah pada kemampuan fungsional pasien. Sebagai contoh, jika

ada pasien dengan gangguan system persarafan, maka perawat mengkaji

apakah gangguan tersebut mempengaruhi pasien dalam melaksanakan

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 39: Dedi Damhudi.pdf

26

kegiatan sehari-hari. Tujuan dari pengkajian fisik adalah untuk

menentukan status kesehatan pasien, mengidentifikasi masalah kesehatan

dan mengambil data dasar untuk menentukan rencana tindakan

keperawatan (Potter & Perry, 2006).

Metode atau teknik pemeriksaan fisik terdiri dari: inspeksi, palpasi,

perkusi dan auskultasi.Sedangkan ada tiga pendekatan yang digunakan

pada pemeriksaan fisik yaitu pertama head-to-toe (kepala sampai ke kaki),

kedua review of system (sistem tubuh seperti sistem penafasan,

pencernaan, kardiovaskuler, persyarafan, pekencingan, muskuloskletal,

integument dan reproduksi), dan ketiga pola fungsi kesehatan Gordon

(Crafen & Hirnle, 2007).

Pengkajian sistem saraf mulai dilakukan perawat saat pasien masuk ke rumah

sakit atau ruang perawatan meliputi aspek bio-psiko-sosial dan spritual. Pada

stroke berat fase akut salah satu aspek pengkajian yang sangat penting dilakukan

oleh seorang perawat adalah pengkajian neurologi karena pengkajian ini bertujuan

untuk mengetahui kondisi pasien sedini mungkin (Polaski & Tatro, 1996).

Pengkajian neurologi termasuk jenis pengkajian fokus karena pengkajian ini

mempunyai lingkup yang lebih sedikit yaitu sistem persarafan saja dan

memerlukan waktu yang singkat. Pengkajian neurologi juga termasuk jenis

pengkajian darurat karena mengidentifikasi situasi yang menyakut

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 40: Dedi Damhudi.pdf

27

penyelamatan nyawa pasien dimana penyelamatan nyawa menjadi prioritas

utama. Kita ketahui banyak sekali pasien stroke berat fase akut yang meninggal

karena kesalahan pengkajian sehingga penangannya juga salah yang berakibat

kematian pasien lebih cepat. Pengumpulan data pada pengkajian neurologis

dilakukan dengan teknik wawancara, observasi dan pemeriksaan fisik dengan

teknik pemeriksaan review of system (khusus sistem tubuh persarafan).

”Pengkajian neurologi dilakukan 1 jam sekali di ruangan intensive care unit, 2

jam sekali di ruangan transisi dan 4 jam sekali di ruangan biasa” (AANN,

2004,hlm. 4) Pengkajian dilakukan dengan metode NIHSS dan ESS. Hasil

pengkajian ini, akan didapatkan diagnosa aktual terhadap pasien dengan stroke

berat fase akut.

Pengkajian neurologi adalah suatu proses yang membutuhkan ketelitian dan

pengalaman, yang terdiri dari sejumlah pemeriksaan pada fungsi yang spesifik.

Walaupun pemeriksaan neurologi sering terbatas pada pemeriksaan yang

sederhana, namun hal ini penting diketahui oleh orang yang melakukan

pemeriksaan, sehingga mampu untuk melakukan pemeriksaan neurologi dengan

teliti dengan melihat riwayat penyakit dan keadaan fisik lainnya. Menurut

(Priharjo,1996; Bates, 1998; Jarvis, 2000; Smeltzer & Bare, 2002; Lumbantobing,

2006), pengkajian neurologi terdiri dari:

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 41: Dedi Damhudi.pdf

28

a. Fungsi serebral

Serebral yang tidak normal dapat menyebabkan gangguan dalam komunikasi,

fungsi intelektual, dan dalam pola tingkah laku emosional. Pemeriksaan

fungsi serebral meliputi:

1) Status mental

Fungsi serebral yang adekuat ditentukan melalui pengkajian status mental

pasien. Pengkaji mengobservasi penampilan pasien dan tingkah lakunya,

dengan melihat cara berpakaian pasien, kerapihan, dan kebersihan diri.

Observasi postur, sikap, gerakan-gerakan tubuh, ekspresi wajah dan

aktivitas motorik, semuanya ini sering memberikan informasi penting

tentang pasien. Gaya bicara pasien dan tingkat kesadaran juga diobservasi.

Apakah gaya bicara pasien jelas atau masuk akal? Apakah pasien sadar

dan berespons atau mengantuk dan stupor?

2) Fungsi intelektual

Fungsi intelektual dikaji bila ragu-ragu terhadap kompetensi intelektual

pasien. Sering pasien dalam kondisi toksik atau mereka yang mempunyai

kerusakan korteks frontal pada saat dikaji kelihatan tidak benar-benar

normal atau kehilangan sam atau lebih dari kapasitas integritas intelektual

yang ada. Pertama, pengkaji menentukan apakah pasien diorientasikan

pada wakm, tempat, dan orang. Apakah pasien mengetahui hari apa hari

ini, tahun berapa, dan siapa nama pasien sekarang? Apakah pasien tahu

dimana ia berada? Apakah pasien mengetahui siapa yang mengkaji dan

apa tujuan ia berada di ruangan?

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 42: Dedi Damhudi.pdf

29

3) Daya pikir

Mengkaji kemampuan berpikir pasien sangat penting selama

melaksanakan kegiatan wawancara. Apakah pikiran pasien bersifat

spontan, alamiah, jernih, relevan, dan masuk akal? Apakah pasien

mempunyai kesulitan berpikir, khayalan dan keasyikan sendiri? Apa yang

menjadi pikiran pasien? Pikiran pasien asik sendiri dengan hal kematian,

kejadian-kejadian tidak masuk akal, hal-hal yang bersifat halusinasi, dan

pikiran paranoid, semuanya penting dan membutuhkan evaluasi yang lebih

teliti.

4) Status Emosional

Pengkajian fungsi emosional juga mencakup status emosional pasien.

Apakah tingkah laku pasien alamiah dan datar atau peka dan pemarah,

cemas, apatis atau euforia? Apakah alam perasaannya berubah-ubah

secara normal atau iramanya tidak dapat diduga dan gembira menjadi

sedih selama wawancara? Apakah tingkah lakunya sesuai dengan kata-

kata atau isi dan pikirannya? Apakah komunikasi verbal sesuai dengan

tampilan komunikasi non-verbal?

5) Persepsi

Pengkaji kini dapat mempertimbangkan daerah yang lebih spesifik dan

fungsi kortikal yang lebih tinggi. Agnosia adalah ketidakmampuan

menginterprestasikan atau mengenal benda yang dilihat dengan

menggunakan perasaan spesial. Pasien dapat melihat sebuah pulpen tetapi

tidak tahu disebut apa atan apa yang dapat dilakukan dengan benda itu.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 43: Dedi Damhudi.pdf

30

Pasien mampu untuk menggambarkan benda tersebut tetapi tidak untuk

menginterpretasikan fungsinya. Pasien ada yang mengalami agnosia

auditori dan agnosia taktil, demikian pula agnosia visual. Masing-masing

kelainan fungsi melibatkan bagian dan korteks.

6) Kemampuan Motorik

Pengkajian terhadap integrasi motor kortikal dapat terlihat dengan

memerintabkan pasien üntuk melakukan aktivitas yang berhubungan

dengan keterampilan (melempar sebuah bola, menggerakkan kursi).

Keberhasilan dalam melakukannya bergantung pada kemampuan orang

tersebut untuk mengerti aktivitas yang diinginkan dan kekuatan normal

dan motorik. Kegagalan yang ada merupakan tanda gangguan fungsi

serebral.

7) Kemampuan bahasa

Orang-orang dengan fungsi neurologi normal mampu mengerti dan

berkomunikasi dalam pembicaraan dan bahasa tulisan. Apakah jawaban

pasien terhadap pertanyaan yang diberikan relevan? Dapatkah ia membaca

kalimat dan surat kabar dan menjelaskan artinya? Dapatkah pasien

menuliskan namanya atan mengulang gambaran sederhana dan yang

digambarkan penguji? Defisiensi fungsi bahasa disebut afasia. Afasia

terbagi dua yaitu sensory/receptive aphasia: hilangnya kemampuan Pasien

untuk memahami tulisan dan perkataan. Aphasia ini terdiri atas auditori

dan visual. Motor/expressive aphasia: hilangnya kemampuan

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 44: Dedi Damhudi.pdf

31

mengekpresikan: kata-kata, kata atau kalimat dalam tulisan, symbol –

symbol.

8) Glasgow Coma Scale

Skala koma Glasgow (GCS), memberikan tiga bidang fungsi neurologi,

memberikan gambaran pada tingkat responsif pasien dan dapat digunakan

dalam pencarian yang luas pada saat mengevaluasi status neurologi pasien

yang mengalami cedera kepala. Evaluasi ini tidak dapat digunakan dalam

pengkajian neurologi yang lebih dalam, cukup hanya mengevaluasi

motorik pasien, verbal, dan respons membuka mata. Nilai terendah adalah

3 (respons paling sedikit), nilai tertinggi adalah 15 (paling berespons).

Nilai 7 atau nilai di bawah 7 umumnya dikatakan sebagai koma dan

membutuhkan intervensi keperawatan bagi pasien koma tersebut. Adapun

penilaian GCS adalah sebagai berikut:

Membuka mata Nilai

a) Spontan 4

b) Terhadap bicara (suruh pasien membuka mata) 3

c) Dengan rangsangan nyeri 2

d) Tidak ada reaksi 1

Respon verbal Nilai

a) Baik dan tidak ada disorientasi 5

b) Kacau (disorientasi waktu dan tempat) 4

c) Tidak tepat (tidak berupa kalimat dan tidak tepat) 3

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 45: Dedi Damhudi.pdf

32

d) Mengerang (hanya suara mengerang) 2

e) Tidak ada jawaban 1

Respon motorik Nilai

a) Menurut perintah (contoh, disuruh “angkat tangan”) 6

b) Mengetahui lokasi nyeri 5

c) Reaksi menghindar nyeri 4

d) Reaksi fleksi (dekortikasi) 3

e) Reaksi ekstensi (deserebrasi) 2

f) Tidak ada reaksi 1

b. Saraf-saraf cranial

1) N. I (Olfaktorius). Berfungsi sebagai saraf sensory untuk penghiduan.

Perawat dapat mengkaji dengan cara : minta pasien untuk menghidu

sesuatu yang aromatik dan tidak bersifat iritatif (Kopi, alkohol, pasta gigi)

dengan menutup mata. Bila pasien tidak mampu menyebutkan aroma yang

dihidu disebut dengan anosmia.

2) N. II (Optikus). Berfungsi sebagai saraf sensory. Perawat mengkaji dengan

cara :

a). Inspeksi : katarak, inflamasi atau keabnormalitasan yang lain

b). Test ketajaman penglihatan dengan snellen’s chart

c). Test lapang pandang

d). Memeriksa fundus mata dengan alat opthalmoscope

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 46: Dedi Damhudi.pdf

33

3) N. III (Okulomotorius). Hal yang dikaji ukuran kedua pupil dan

pergerakan pupil. Konstriksi pupil dapat dikaji perawat dengan penlight.

Normalnya bila diberi rangsangan maka akan terjadi kontriksi.

4) N. IV (Troklear). Untuk pergerakan mata ke arah inferior dan medial.

Pengkajian saraf ini dilakukan bersamaan dengan pengkajian saraf VI

5) N. V (Trigeminal). Memiliki divisi motorik dan sensorik. Untuk

pemeriksaan fungsi motorik denganmenggerakkan kedua dagu ke sisi atau

tersenyum, normal semua gerakan dapat dilakukan. Sedangkan untuk

pemeriksaan fungsi sensorik dilakukan dengan cara menyentuhkan kapas

lembut yang steril ke kornea atau sentuhan agak keras ke kelopak mata,

normal reaksi mata akan berkedip.

6) N. VI (Abdusen). Mengontrol pergerakan bola mata ke arah lateral.

Bersama N. III, dan N. IV dapat dikaji 6 posisi kardinal dari penglihatan.

7) N. VII (Fasial). Memiliki divisi sensorik dan motorik, divisi motorik untuk

mengontrol ekspresi wajah. Perawat dapat mengkaji dengan cara minta

pasien untuk mengerutkan dahi, tersenyum, mengembungkan pipi,

menaikkan alis mata, memejamkan mata dengan rapat dan rasakan adanya

tahanan pada saat membuka mata.

8) N. VIII (Vestibulokoklear). Merupakan saraf sensory yang terdiri dari 2

divisi yaitu : koklear dan vestibular. Koklear untuk pendengaran. Test

pendengaran dapat dilakukan dengan cara minta pasien untuk mendengar

bisikan lalu minta untuk melaporkan apa yang didengarkan atau

dengarkan bunyi garpu tala. Test bone dan air conduction dilakukan

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 47: Dedi Damhudi.pdf

34

dengan garpu tala. Audiometry dapat digunakan untuk pengkajian yang

tepat. Vestibular untuk membantu mempertahankan keseimbangan melalui

koordinasi otot-otot mata, leher dan extremitas. Tes keseimbangan dapat

dilakukan dengan cara Romberg test, calori test (oculovestibular reflex)

dan electronystagmography. Kemungkinan keabnormalan yang ditemukan

dapat disebabkan oleh Meniere,s syndrome dan neuroma acoustic.

9) N. IX (Glosofaringeus) dan N. X (Vagus). Merupakan saraf sensorik dan

motorik. Karena kedua saraf ini masuk ke pharynx maka pengkajian kedua

saraf ini bersamaan. Perawat dapat mengkaji N. IX dengan cara: minta

pasien untuk membuka mulut lebar-lebar sambil menyebutkan “ah”,

observasi posisi dan pergerakan dari uvula dan palatum, normalnya berada

di garis tengah. Kaji reflex gag dengan cara sentuh bagian pharynx dengan

spatel lidah, maka akan didapatkan respon gag ( respon muntah ). Kaji

respon menelan dengan memberikan Pasien sedikit minum. Kaji 1/3

bagian belakang lidah terhadap rasa.

10) N. XI (Aksesorius spinal). Merupakan saraf motorik yang mempersarafi

otot sternokleidomastoideus dan bagian atas dari otot trapezius. Perawat

dapat mengkaji dengan cara :

a). Minta pasien menaikkan bahu dengan dan tanpa tahanan

b). Minta pasien untuk memutarkan kepala ke kedua sisi secara

bergantian.

c). Dorong dagu ke belakang ke arah garis lurus

d). Dorong kepala ke depan dan lawan dengan tahanan

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 48: Dedi Damhudi.pdf

35

11) N. XII (Hipoglosus). Merupakan saraf motorik yang mempersarafi lidah.

Perawat dapat mengkaji dengan cara: minta pasien untuk membuka mulut

lebar-lebar dan lidah dikeluarkan dan dengan cepat lidah digerakkan ke

kiri – kanan, keluar- ke dalam, amati adanya deviasi. Minta pasien untuk

mendorong lidahnya ke daerah pipi dan apakah ada tekanan di daerah luar.

Kemungkinan keabnormalan yang ditemukan dapat disebabkan kerusakan

pembuluh darah besar di daerah leher.

c. System motorik

Pemeriksaan yang teliti pada sistem motorik mencakup pengkajian pada

ukuran otot, tonus otot, kekuatan otot, koordinasi dan keseimbangan. Pasien

diinstruksikan untuk berjalan menyilang di dalam ruangan, sementara

pengkaji mencatat postur dan gaya berjalan. Lihat keadaan ototnya, dan bila

perlu lakukan palpasi untuk melihat ukuran dan keadaan simetris.

1) Kekuatan Otot.

Kekuatan otot diuji melalui pengkajian kemampuan pasien untuk

melakukan fleksi dan ekstensi ekstremitas sambil dilakukan penahanan.

Fungsi pada otot individu atau kelompok otot dievaluasi deugan cara

menempatkan otot pada keadaan yang tidak menguntungkan. Adapun

penilaian kekuatan otot adalah sebagai berikut:

a) Nilai 5: Gerakan normal penuh menentang gravitasi degan penahanan

penuh

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 49: Dedi Damhudi.pdf

36

b) Nilai 4: Gerakan normal penuh menentang gravitasi degan sedikit

penahanan

c) Nilai 3: Gerakan normal menentang gravitasi

d) Nilai 2: Gerakan otot penuh menentang gravitasi dengan sokongan

e) Nilai 1: Tidak ada gerakan, tapi terlihat kontraksi otot

f) Nilai 0: Paralisis otot

2) Keseimbangan dan Koordinasi

Pengaruh serebelum pada sistem motorik terlihat pada kontrol

keseimbangan dan koordinasi. Koordinasi tangan dan ekstremitas atas

dikaji dengan cara meminta pasien melakukan gerakan cepat, berselang-

seling, dan uji menunjuk satu titik ke titik lain. Pertama, pasien diminta

untuk menepukkan tangan ke paha secepat mungkin. Masing-masing

tangan diuji secara terpisah. Kemudian pasien diinstruksikan untuk

membalikkan tangan dari posisi telentang ke posisi telungkup dengan

gerakan cepat.

3) Tes Romberg

Tes Romberg, adalah pemeriksaan pengukuran untuk keseimbangan.

Pasien berdiri dengan menggunakan sam kaki dengan taügan diturunkan

pada sisi yang sama, sementara kaki yang satu diangkat dan tangan yang

satunya dinaikkan ke atas, mula-mula kedua mata terbuka dan kemudian

kedua mata tertutup selama 20 sampai 30 detik. Penguji berdiri dekat

pasien dan meyakinkan pasien bahwa ia siap menyokong pasien jika

pasien akan jatuh. Bila sedikit goyang adalah normal. Selain tes serebelum

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 50: Dedi Damhudi.pdf

37

untuk keseimbangan pada saat pasien berjalan termasuk juga melompat di

tempat, menekuk lutut selang seling, dan berjalan dengan tumit dan kaki.

d. System sensorik

Sistem sensorik lebih kompleks dan sistem motorik karenä modal dan sensori

mempunyai perbedaan traktus, lokasi pada bagian yang berbeda pada medula

spinalis. Pengkajian sensori adalah secara subjektif, dengan luas dan

membutuhkan kerja sama pasien. Dianjurkan penguji mengenali penyebaran

saraf perifer yang berasal dan medula spinalis.

1) Sensasi taktil

Dikaji dengan menyentuh lembut gumpalan kapas pada masing-masing

sisi tubuh. Sensitivitas ekstremitas bagian proksimal dibandingkan dengan

bagian distal.

2) Sensasi nyeri dan suhu

Sensasi nyeri dan suhu ditransmisi bersama di bagian lateral medula

spinalis. Sehingga sensasi suhu tidak perlu dalam keadaan ini. Nyeri

superfisial dapat dikaji dengan menentukan sensitivitas pasien terhadap

objek yang tajam. Pasien diinstruksikan untuk membedakan antara ujung

yang tajam dan tumpul dengan menggunakan lidi kapas yang dipatahkan

atau spatel lidah, untuk keamanan hindari penggunaan peniti karena dapat

nierusak integritas kulit. Kedua sisi objek tajam dan tumpul digunakan

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 51: Dedi Damhudi.pdf

38

dengan intensitas yang sama pada semua pelaksanaan dan kedua sisi diuji

dengan simetris.

3) Vibrasi dan propriosepsi

Getaran dan propriosepsi ditransmisi bersama-sama pada bagian posterior

medulla. Getaran dapat dievaluasi melalui penggunaan garpu tala

frekuensi rendah (128 atau 256 Hertz). Letakkan garpu tala yang bergetar

pada sebuah tulang yang menonjol dan pasien ditanya apakah ia

merasakan sensasi dan instruksikan untuk memberi tanda pada penguji

bila sensasi dirasakan. Jika pasien tidak merasakan getaran pada tulang

yang menonjol bagian distal, penguji menaikkan getaran garpu tala sampai

dirasakan Idien. Setelah semua pengukuran sensasi, dibuat perbedaan dan

sam sisi ke sisi yang lain.

4) Merasakan posisi

Merasakan posisi, dapat ditentukan dengan menanyakan pasien saat pasien

tertutup matanya, kemudian jan kaki digerakkan ke arah mana pasien

mampu menunjukkan dengan gerakan. Vibrasi dan sensasi posisi sering

hilang bersamaan, sering terjadi di mana yang lain masih berfungsi.

5) Integrasi sensasi

Integrasi sensasi, di otak perlu dievaluasi. Hal ini dapat dilakukan dengan

membedakan dua titik. Jika pasien disentuh dengan dua objek tajam

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 52: Dedi Damhudi.pdf

39

bersamaan pada posisi tubuh yang berlawanan, apakah pasien merasakan

dua atau sam sentuhan? Pasien dengan keadaan normal melaporkan bahwa

sentuhan itu ada pada dua tempat. Jika hanya satu tempat yang dilaporkan,

yang satunya tidak diakui, hal ini menunjukkan terjadi kepunahan

(extinction). Uji yang baik terhadap kemampuan sensorik kortikal yang

lebih tinggi adalah stereognosis. Pasien diinstruksikan untuk menutup

kedua mata dan mengidentifikasi variasi objek (seperti kunci atau uang

logam) yang ditempatkan pada satu tangan oleh penguji.

e. Status reflek

Refleks motorik merupakan kontraksi yang tidak disadari dan respons otot

atau kelompok otot yang meregang tibatiba dekat daerah otot yang

dirangsang. Tendon terpengaruh langsung dengan palu refleks atau secara

tidak lang- sung melalui benturan pada ibu jan penguji yang ditempatkan rekat

pada tendon. Uji refleks ini memungkinkan orang yang menguji dapat

mengkaji lengkung refleks yang tidak disadari, yang bergantung pada adanya

reseptor bagian aferen, sinaps spinal, serabut eferen motorik dan adanya

beberapa pengaruh perubahan yang bervariasi pada tingkat yang lebih tinggi.

Biasanya refleks yang dapat diuji mencakup refleks bideps, brakhioradialis,

triseps, patela, dan pergelangan kaki (atau Achilles)

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 53: Dedi Damhudi.pdf

40

Derajat reflek mempunyai nilai antara 0 sampai 4+. Adapun penilian derajat

reflek adalah sebagai berikut:

4 +: hiperaktif dengan kionus terus menerus

3 +: hiperaktif

2 +: normal

1+ : hipoaktif

0: tidak ada refleks

1) Refleks Biseps.

Refleks biseps didapat melalui peregangan tendon biseps pada saat siku

dalam keadaan fleksi. Orang yang menguji menyokong lengan bawah

dengan satu tangan sambil menempatkan jari telunjuk dengan

menggunakan palu refleks.

2) Refleks Triseps

Pemeriksaan refleks triseps dilakukan dengan cara lengan pasien

difleksikan pada siku dan diposisikan di depan dada. Pemeriksan

menyokong lengan pasien dan mengidentifikasi tendon triseps dengan

mempalpasi 2,5 sampai 5 cm di atas siku. Pemukulan langsung pada

tendon normalnya menyebabkan kontraksi otot triseps dan ekstensi siku.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 54: Dedi Damhudi.pdf

41

3) Refleks Brakhioradialis

Pada saat pengkajian refleks brankhioradialis, penguji meletakkan lengan

pasien di atas meja laboratorium atau disilangkan di atas perut. Ketukan

palu dengan lembut 2,5 sampai 5 cm di atas siku. Pengkajian ini dilakukan

dengan lengan dalam keadaan fleksi dan supinasi.

4) Refleks Patella

Refleks patella ditimbulkan dengan cara mengetok tendon patella tepat di

bawah patella. Pasien dalam keadaan duduk atau tidur telentang. Jika

pasien telentang, pengkaji menyokong kaki untuk memudahkan relaksasi

otot. Kontraksi quadriseps dan ekstensi lutut adalah respons normal

5) Refleks Ankle

Pemeriksaan refleks ankle dilakukan dengan posisi pergelangan kaki

dalam keadaan rileks, kaki dalam keadaan dorsi fleksi pada pergelangan

kaki dan palu diketok pada bagian tendon Achilles. Refleks normal yang

muncul adalah fleksi pada bagian plantar. Jika pepguji tidak dapat

menimbulkan refleks pergelangan kaki dan kemungkinan tidak dapat

rileks, pasien diinstruksikan untuk berlutut pada sebuah kursi atau

tingginya sama dengan penguji.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 55: Dedi Damhudi.pdf

42

6) Refleks Kontraksi Abdominal

Refleks superfisial yang ada ditimbulkan oleh goresan pada kulit dinding

abdomen atau pada sisi paha untuk pria. Hasil yang didapat adalah

kontraksi yang tidak disadari otot abdomen, dan selanjutnya menyebabkan

skrotum tertarik.

7) Respons Babinski

Refleks yang diketahui jelas, sebagai indikasi adanya penyakit SSP yang

mempengaruhi traktus kortikospinal, disebut respons Babinski. Bila

bagian lateral telapak kaki seseorang digores, maka terjadi kontraksi kaki

dan menarik bersama-sama. Pasien yang mengalami penyakit susunan

saraf pusat pada sistem motorik, jari-jari kaki menyebar dan menjauh.

Keadaan mi normal pada bayi tetapi bila ada pada orang dewasa keadaan

mi abnormal. Beberapa variasi refleks-refleks lain memberi informasi.

Dan yang lainnya juga perlu diperhatikan tetapi tidak memberi inforrnasi

yang teliti.

3. Diagnosa keperawatan

a. Defenisi

“Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis mengenai seseorang, keluarga

atau masyarakat sebagai akibat dari masalah-masalah keseahtan/proses

kehidupan yang actual atau potensial” (Nanda, 2005, dalam Craven & Hirnle,

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 56: Dedi Damhudi.pdf

43

2007, hlm.171). Diagnosa keperawatan memberikan dasar-dasar pemilihan

intervensi untuk mencapat hasil yang menjadi tanggung gugat perawat.

Menurut Carpenito (1997, hlm.45). “Diagnosa keperawatan adalah suatu

pernyataan yang menguraikan respon manusiawi (keadaan kesehatan atau pola

interaksi yang bergantian antara actual dan potensial) dari individu atau

kelompok di mana perawat dapat secara legal mengidentifikasi dimana

perawat dapat meminta suatu intervensi yang pasti untuk memelihara keadaan

kesehatan, untuk mengurangi, menghilangkan atau mencegah perubahan”

b. Langkah-langkah menentukan diagnosa keperawatan

1) Klasifikasi data dan analisa data

Data tersebut bisa diperoleh dari keadaan baik yang tidak sesuai atau pun

sesuai dengan standar criteria yang sudah ada. Untuk itu perawat harus jeli

dan memahami tentang standar keperawatan sebagai bahan perbandingan,

apakah keadaan kesehatan pasien sesuai atau tidak dengan standar yang

ada. Pengelompokan data bisa berdasarkan “pola respon manusia

(taksonomi NANDA)” atau “pola fungsi kesehatan (Gordon)”

2) Interpretasi data

a) Menentukan kelebihan Pasien

Jika pasien memenuhi standar kriteria kesehatan, perawat kemudian

menyimpulkan bahwa pasien memiliki kelebihan dalam “hal tertentu”

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 57: Dedi Damhudi.pdf

44

dan kelebihan tersebut bisa digunakan untuk meningkatkan atau

membantu memecahkan masalah pasien yang dihadapinya.

b) Menentukan masalah Pasien

Jika pasien tidak memenuhi standar kriteria, maka pasien tersebut

mengalami keterbatasan dalam aspek kesehatannya dan memerlukan

pertolongan.

c) Menentukan masalah Pasien yang pernah dialami

Pada taham ini penting untuk menentukan masalah potensial pasien.

Misal, adanya tanda-tanda infkesi pada luka, tetapi tes laboratorium

tidak menunjukkan kelainan, sesuai dengan teori maka akan timbul

suatu infeksi. Perawat kemudian menyimpulkan bahwa daya tahan

tubuh pasien tidak mampu melawan infeksi.

d) Menentukan keputusan

(1) Tidak ada masalah tapi perlu peningkatan status dan fungsi

(2) Masalah yang kemungkinan terjadi

(3) Masalah actual atau resiko atau sindrom

(4) Masalah kolaboratif

3) Validasi data

a) Apakah data dasar mencukupi, akurat dan berasar dari beberapa

konsep keperawatan?

b) Apakah data yang signifikan menunjukkan gangguan pola?

c) Apakah ada data-data subyektif dan objektif mendukung terjadinya

gangguan pola pada pasien?

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 58: Dedi Damhudi.pdf

45

d) Apakah diagnosa keperawatan yang ada berdasarkan pemabahan ilmu

keperawatn dan keahlian klinik?

e) Apakah diagnosa keperawatan yang ada dapat dicegah, dikurangi dan

diselesaikan dengan melakukan tindakan keperawatan yang

independent?

4) Perumusan diagnoa keperawatan

Setelah perawat mengelompokkan, mengidentifikasi data-data yang

signifikan maka tugas perawat pada tahap ini adalah merumuskan suatu

diagnosa keperawawatan. Perumusan diagnosa keperawatan terdiri dari

aktual, resiko, kemungkinan (possible) dan perbaikan (wellness). (Craven

& Hirnle, 2008).

a) Aktual

Menjelaskan masalah nyata saat ini dengan data klinik yang

ditemukan. Syarat menegakkan diagnosa ini harus ada unsur masalah,

penyebab dan tanda gejala. Contoh: Kekurangan volume cairan tubuh

berhubungan dengan kehilangan cairan secara abnormal, ditandai

dengan muntah, diare, turgor jelek selama 3 hari.

b) Resiko

Menjelaskan masalah kesehatan yang nyata akan terjadi jika tidak

dilakukan intervensi. Syarat menegakkan diagnosa ini ada unsur

masalah, dan etiologi. Contoh: Resiko gangguan integritas kulit

berhubungan dengan diare yang terus menerus.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 59: Dedi Damhudi.pdf

46

c) Kemungkinan (Possible)

Menjelaskan bahwa perlu adanya data tambahan untuk memastikan

masalah keperawatan kemungkinan. Pada keadaan ini masalah dan

faktor pendukung belum ada tapi sudah ada faktor yang dapat

menimbulkan masalah. Syarat menegakkan diagnosa ini adanya

unsure masalah dan faktor yang mungkin dapat menimbulkan masalah

tapi belum ada. Contoh: Kemungkinan gangguan konsep diri; rendah

diri berhubungan dengan diare.

d) Perbaikan (wellness)

Diagnosa perbaikan adalah keputusan klinik tentang keadaan

individu, keluarga dan masyarakat dalam transisi dari tingkat sejahtera

tertentu ke tingkat sejahtera yang lebih tinggi. Syarat menegakkan

diagnosa ini harus ada sesuatu yang menyenangkan pada tingkah

kesejahteraan yang lebih tinggi dan adanya status dan fungsi yang

efektif. Contoh: potensial peningkatan hubungan dalam keluarga (

Ollivieri,1991; Crisp & Jackie, 2001; Potter & Perry, 2006; Craven,

F.R, & Hirnle, J.C. 2007).

Pada Pasien dengan stroke fase akut, banyak sekali diagnosa keperawatan yang

bisa muncul baik aktual, resiko, kemungkinan dan perbaikan. Diagnosa

keperawatan yang menjadi fokus perhatian perawat pada masa akut tanpa

mengabaikan diagnosa yang lain adalah diagnosa aktual karena menjadi prioritas

yang harus segera di tangani dan sangat menentukan kondisi pasien selanjutnya.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 60: Dedi Damhudi.pdf

47

Menurut (Smeltzer & Bare, 2008; Black & Hawks, 2005; Ignativius &

Workman, 2006; Hickey, 2003; Lemone & Burke, 1996; Polaski & Tatro,1996),

dari hasil data pengkajian ditemukan diagnosa keperawatan aktual yang sering

muncul pada fase akut adalah:

1) Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan tidak efektifnya

reflek batuk sebagai akibat sekunder dari ketidaksadaran.

2) Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan iskemia, edema otak

atau peningkatan TIK.

3) Perubahan persepsi atau sensori (penglihatan, perabaan, kinestetik)

berhubungan dengan penurunan kesadaran, gangguan sensasi atau gangguan

penglihatan.

4) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak atau

penurunan kesadaran.

5) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan defisit neurologi

6) Unilateral negleg (pengabaian sepihak) berhubungan dengan efek gangguan

kemampuan penglihatan atau hemianopsia.

7) Kelemahan menelan berhubungan dengan kelemahan neuromuskular.

8) Inkontinensia uri dan alvi berhubungan dengan disfungsi neurologi, gangguan

mobilitas, gangguan kognitif, gangguan komunikasi.

9) Gangguan proses pikir berhubungan dengan kerusakan otak, atau ketidak

mampuan mengikuti perintah

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 61: Dedi Damhudi.pdf

48

10) Self care defisit (kebersihan diri, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan

dampak stroke

C. NIHSS (National Institute of Health Stroke Scale)

NIHSS adalah suatu pengkajian yang dilakukan pada pasien stroke fase akut

untuk melihat tingkat keparahan kerusakan neurologis. Skala ini juga bisa

digunakan untuk untuk melihat kemajuan hasil perawatan fase akut dimana

penilaian ini dilakukan dua kali, yaitu saat masuk (hari pertama perawatan) dan

saat keluar dari perawatan. Perbedaan nilai saat masuk dan keluar dapat dijadikan

salah satu patokan keberhasilan perawatan.

NIHSS dikembangkan oleh para peneliti (Brott, et. al, 1989; Goldstein, et.al,

1989) dari Universitas of Cincinati Stroke Center dan telah dipakai secara luas

pada berbagai variasi terapi stroke. Tahun 1994 di lakukan revisi oleh Lyden et.al.

Validasi telah dilakukan oleh beberapa peneliti (Brott, et. al, 1989; Goldstein,

et.al, 1989; Haley, 1993) dan dikatakan mempunyai reliabilitas tinggi dari

beberapa kalangan antara lain dari para neurolog, dokter dan perawat mahir

stroke. Menurut Smeltzer & Bare (2008); Black & Hawks, (2005), nilai NIHSS

adalah antara 0-42, terdiri dari 11 komponen. Komponen-komponen tersebut

adalah sebagai berikut: ( Lampiran 2 )

D. ESS (Eropean Stroke Scale)

ESS adalah suatu pengkajian yang dilakukan pada pasien stroke fase akut untuk

melihat keadaan pasien secara khusus. ESS dikembangkan oleh Hanton, et.al,

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 62: Dedi Damhudi.pdf

49

(1994), berisikan 14 komponen penilaian yang spesifik dan prognostik terhadap

pasien stroke akut yang mengalami pendarahan arteri dibagian tengah.

Hasil penelitan Hanton, et.al,. (1994) dan Muir, et.al, (1996), disimpulkan bahwa

metode ESS berguna untuk melihat perkembangan pasien stroke akut, dapat

dilakukan dengan cepat, mudah dipelajari dan skor yang dipakai sederhana,

sensitivitas 0,70 (95% CI, 0,62 – 0,77), spesifisitas 0,89 (95% CI, 0,85 – 0,93)

dan mempunyai hubungan yang erat dengan skala pengukuran lain seperti MCA

Neurological Scale, The Canadian Stroke Scale, The Scandinavian Stroke Scale,

The Bartel Index, The Rankin Scale. Menurut Edwards, (2007), nilai ESS adalah

antara 0 – 100, terdiri dari 14 komponen. Komponen-komponen tersebut adalah

sebagai berikut: ( Lampiran 3 ).

E. Kerangka Teori

Kerangka teori pada penelitian ini akan membahas tentang pengkajian neurologi yang

spesifik menggunakan metode NIHSS dan ESS dapat membantu menegakkan

diagnosa keperawatan yang aktual atau utama pada pasien stroke berat fase akut.

”Pengkajian sistem saraf mulai dilakukan perawat saat pasien masuk ke rumah sakit

atau ruang perawatan” (Polaski & Tatro, 1996, hlm.321).

Pengkajian neurologi termasuk jenis pengkajian fokus karena pengkajian ini

mempunyai ruang lingkup yang lebih spesifik yaitu sistem persarafan saja dan

memerlukan waktu yang cepat. Pengkajian neurologi juga termasuk jenis pengkajian

darurat yang mengidentifikasi situasi yang menyakut penyelamatan nyawa Pasien

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 63: Dedi Damhudi.pdf

50

karena penyelamatan nyawa menjadi prioritas utama. Pengumpulan data pada

pengkajian neurologis dilakukan dengan teknik wawancara, observasi dan

pemeriksaan fisik dengan teknik pemeriksaan review of system (khusus sistem tubuh

persarafan). Pengkajian yang baik akan menghasilkan diagnosa keparawatan yang

tepat sehingga sangat membantu dalam proses keperawatan selanjutnya

Skema. 2.2. Kerangka Teroritis

Sumber: Model diagnosa keperawatan aktual (Carpenito, 1997; dan Nursalam, 2001)

Pengkajian dengan metode NIHSS & ESS

Pemeriksaan fisik

Data subjektif

review of system (sistem persyarafan)

Pengelompokan data Data objektif

Wawancara Observasi

Diagnosa Aktual

Validasi tanda dan gejala mayor

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 64: Dedi Damhudi.pdf

51

BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN

DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep pada penelitian ini adalah berdasarkan konsep tipe diagnosa

keperawatan (Carpenito, 1997) dan Nursalam (2001). “Waktu adalah faktor yang

sangat penting dalam mengoptimalkan penanganan pasien dengan stroke”, (AANN,

2004, hlm.6). AHA dan NSA memberikan rekomendasi dalam memberikan

perawatan harus dilakukan dalam waktu 3 - 6 jam pertama terkena serangan untuk

mendapatkan hasil yang baik saat pasien pulang.

”Selama fase akut pemeriksaan neurologi tetap dipertahankan untuk memberikan data

tentang kondisi pasien saat itu juga” (Smeltzer & Bare, 2008, hlm.2215). ”Metode

Pengkajian harus lengkap dan akurat untuk digunakan sebagai dasar pengkajian

selanjutnya” (Black & Hawks, 2005, hlm.2116).

Pengkajian yang bersifat fokus dan darurat pada pasien stroke berat fase akut

menggunakan metode NIHSS dan ESS sangatlah penting untuk mencegah kerusakan

jaringan otak yang lebih parah dan mempercepat kematian karena data hasil

pengkajian tersebut digunakan untuk kelanjutan proses perawatan. Hasil pengkajian

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 65: Dedi Damhudi.pdf

52

ini, diharapkan dapat menghasilkan rumusan diagnosa keperawatan aktual yang tepat

terhadap pasien dengan stroke berat fase akut sehingga intervensi dan implementasi

keperawatan dapat dilakasanakan sedini mungkin. Berdasarkan konsep-konsep diatas,

maka kerangka konsep penelitian dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut :

Skema 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

Pengkajian neurologis pada pasien stroke fase akut

Metode NIHSS

Metode ESS

11 komponen yaitu: 1. Tingkat Kesadaran,

menjawab pertanyaan, mengikuti perintah

2. Pandangan/tatapan mata

3. Penglihatan 4. Kelemahan Wajah 5. Motorik lengan kanan /

kiri 6. Motorik kaki kiri /

kanan 7. Ataksia anggota badan 8. Sensorik 9. Bahasa terbaik 10. Disartria 11. Unilateral negleg

14 komponen yaitu: 1. Tingkat kesadaran: 2. Pengertian 3. Bicara 4. Pandangan mata: 5. Tatapan mata: 6. Gerakan wajah: 7. Lengan tangan

menahan posisi 8. Peningkatan gerak

lengan tangan 9. Keluasan gerakan

pergelangan tangan 10. Jari 11. Kaki (mempertahankan

posisi): 12. Kaki (fleksi) 13. Dorsofleksi pada kaki: 14. Gaya berjalan

10 buah diagnosa aktual pada pasien stroke berat fase akut

1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas

berhubungan dengan tidak efektifnya reflek batuk sebagai akibat sekunder dari ketidaksadaran.

2. Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan iskemia, edema otak atau peningkatan TIK

3. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinesthetik) berhubungan perubahan tingakt kesadaran, gangguan sensasi atau gangguan penglihatan

4. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak atau perubahan tingkat kesadaran

5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan defisit neurologi

6. Unilateral negleg (pengabaian sepihak) berhubungan dengan efek gangguan kemampuan penglihatan atau hemianopsia

7. Kelemahan menelan berhubungan kelemahan neuromuskular (disphagia)

8. Inkontinensia uri dan alvi total berhubungan dengan disfungsi neurologi, gangguan mobilitas, gangguan kognitif, gangguan komunikasi.

9. Gg proses pikir berhubungan kerusakan otak, atau ketidak mampuan mengikuti perintah

10. Self care defisit (kebersihan diri, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan dampak stroke

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 66: Dedi Damhudi.pdf

53

B. Hipotesis

Ho: Tidak ada perbedaan efektifitas penggunaan metode NIHSS dan ESS dalam

pembuatan diagnosa keperawatan yang aktual pada pasien stroke fase akut.

Ha: Ada perbedaan efektifitas penggunaan metode NIHSS dan ESS dalam pembuatan

diagnosa keperawatan yang actual pada pasien stroke fase akut.

C. Definisi Operasional

Dibawah ini akan diuraikan mengenai definisi operasional, cara ukur, hasil ukur dan

skala pengukuran yang akan digunakan untuk masing-masing variabel penelitian. Hal

ini dilakukan dengan tujuan untuk memudahkan dalam menentukan metodelogi untuk

melakukan analisis terhadap variabel-variabel yang diteliti.

Tabel 3.1. Definisi Operasional, Cara Ukur, Hasil Ukur

dan Skala Ukur Variabel Penelitian

Variabel Penelitian

Definisi Operasional Cara Ukur Hasil ukur Skala

Independen : Metode pengkajian NIHSS dan ESS

NIHSS adalah suatu format pengkajian neurologis yang terdiri dari 11 komponen sedangkan ESS adalah Suatu format pengkajian neurologis yang terdiri dari 14 komponen

Studi pengkajian dengan metode NIHSS yang terdiri dari 11 komponen yaitu: 1. Tingkat

Kesadaran, menjawab pertanyaan, mengikuti perintah

2. Pandangan/tatapan mata

3. Penglihatan

1) Nilai NIHSS (National Institute of Health Stroke Scale

Rasio

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 67: Dedi Damhudi.pdf

54

Variabel Penelitian

Definisi Operasional Cara Ukur Hasil ukur Skala

Independen :

4. Kelemahan Wajah 5. Motorik lengan

kanan / kiri 6. Motorik kaki kiri /

kanan 7. Ataksia anggota

badan 8. Sensorik 9. Bahasa terbaik 10. Disartria 11. Unilateral negleg Metode ESS yang terdiri dari 14 komponen yaitu: 1. Tingkat kesadaran 2. Pengertian 3. Bicara 4. Pandangan mata 5. Tatapan mata 6. Gerakan wajah 7. Mempertahankan

posisi lengan tangan

8. Peningkatan gerak lengan tangan

9. Keluasan grakan pergelangan tangan

10. Jari 11. Kaki

(mempertahankan posisi):

12. Kaki (fleksi) 13. Dorsofleksi pada

kaki: 14. Gaya berjalan

1. Nilai ESS

(Eropean Stroke Scale )

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 68: Dedi Damhudi.pdf

55

Variabel Penelitian Definisi Operasional Cara Ukur Hasil ukur Skala

Dependen Diagosa aktual pada stroke berat fase akut

Diagnosa yang menunjukkan masalah yang ada dari pengkajian pada pasien stroke fase akut yang terdiri dari: 1. Tidak efektifnya

bersihan jalan nafas berhubungan dengan tidak efektifnya reflek batuk sebagai akibat sekunder dari ketidaksadaran.

2. Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan iskemia, edema otak atau peningkatan TIK

3. Perubahan

persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinestetik) berhubungan dengan perubahan tingakt kesadaran, gangguan sensasi atau gangguan penglihatan

4. Gangguan

komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak atau perubahan tingkat kesadaran

5. Gangguan mobilitas

fisik berhubungan defisit neurologi

Studi dokumentasi dengan menghitung jumlah diagnosa aktual yang diperoleh dari hasil pengkajian tiap komponen (Lampiran 4 dan lampiran 5)

Jumlah diagnosa keperawatan aktual yang diperoleh antara 1-10 buah pada pasien stroke berat fase akut

Interval

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 69: Dedi Damhudi.pdf

56

Variabel Penelitian Definisi Operasional Cara Ukur Hasil ukur Skala

Dependen 6. Unilateral negleg

(pengabaian sepihak) berhubungan dengan efek gangguan kemampuan penglihatan atau hemianopsia

7. Kelemahan menelan berhubungan kelemahan neuromuskular

8. Inkontinensia uri dan

alvi total berhubungan dengan disfungsi neurologi, gangguan mobilitas, gangguan kognitif, gangguan komunikasi.

9. Gangguan proses

pikir berhubungan kerusakan otak, atau ketidak mampuan mengikuti perintah

10. Self care defisit

(kebersihan diri, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan dampak stroke

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 70: Dedi Damhudi.pdf

57

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Disain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain pra-eksperimen postest only design. Dalam

rancangan ini perlakuan atau intervensi yang dilakukan (X), kemudian dilakukan

pengukuran observasi atau postest (02). Rancangan ini sering juga disebut “The one

shot case study” (Notoatmodjo, 2002, hlm.163). Dalam rancangan ini sama sekali

tidak ada kontrol dan hasil observasi hanya memberikan informasi yang bersifat

deskriptif. Rancangan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Skema 4.1. Desain penelitian

Eksperimen Postest

Keterangan:

Pengambilan data dilakukan pada setiap pasien stroke berat pada fase akut. Setiap

pasien dilakukan dengan dua metode pengkajian.

NIHSS X 11 021

X3 X 12 022 ESS

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 71: Dedi Damhudi.pdf

58

(X11): pengkajian metode NIHSS

(X12): pengkajian metode ESS

(021): jumlah perolehan diagnosa keperawatan aktual dari metode NIHSS

(022): jumlah perolehan diagnosa keperawatan aktual dari metode ESS

(X3): perbandingan (021) dengan (022)

B. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien stroke yang masuk ke ruang

perawatan saraf pada fase akut di RSUP Fatmawati Jakarta. Sampel penelitian dengan

kriteria inklusi sebagai berikut: pasien stroke berat dengan nilai NIHSS lebih dari 15

pada fase akut (1-3 hari masuk ke ruangan perawatan), stroke hemoragik dan non

hemoragik. Adapun kriteria ekslusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

pasien stroke ringan dan sedang, pasien stroke berat dengan nilai NIHSS kurang dari

15 pada fase akut, pasien stroke berat dengan nilai NIHSS lebih dari 15 pada fase

pemulihan.

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah “Non Random jenis

consecutive sampling, dimana semua pasien yang masuk ke ruang perawatan dan

memenuhi kriteria inklusi dimasukkan menjadi sampel penelitian sampai batas waktu

penelitian terpenuhi (Sabri & hastono, 2006; Sastroasmoro & Ismael, 2006). Setelah

dilakukan penelitian selama 4 minggu didapat 18 pasien yang memenuhi kriteria

inklusi sehingga jumlah sampel yang menjadi subyek penelitian berjumlah 18

responden.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 72: Dedi Damhudi.pdf

59

C. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Fatmawati Jakarta dengan alasan rumah sakit ini

merupakan rumah sakit rujukan untuk daerah Jakarta dan sekitarnya sehingga banyak

pasien stroke yang di rawat di rumah sakit tersebut. Ruangan yang digunakan adalah

ruangan IGD, ICU, Unit stroke dan kelas III penyakit saraf.

D. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan, terhitung mulai minggu keempat bulan

April sampai minggu ketiga bulan Mei . Jadual kegiatan yang telah dilakukan dalam

penelitian ini secara rinci ada di lampiran 6.

E. Etika Penelitian

Sebelum pasien menandatangani surat persetujuan menjadi responden (informed

consent), peneliti terlebih dahulu menjelaskan tujuan penelitian, petunjuk pengisian

kuesioner, hak-hak atas privacy, anonimity, kerahasiaan, self determination dan bebas

dari rasa tidak nyaman (Pollit & Hungler, 1999).

1. Self determination. Responden diberi kebebasan untuk memilih apakah bersedia

atau tidak untuk mengikuti kegiatan penelitian secara sukarela.

Setelah peneliti menjelaskan maksud, tujuan serta prosedur penelitian pasien atau

keluarganya diberikan kebebesan untuk menjadi responden atau tidak. Kalau

pasien atau keluarganya setuju maka langsung menandatangi lembar persetujuan

responden.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 73: Dedi Damhudi.pdf

60

2. Privacy respondent. Privasi responden dijaga dengan ketat dengan cara

merahasiakan informasi-informasi yang didapat hanya untuk kepentingan

penelitian. Seluruh data responden yang telah didapat dari hasil pemeriksaan

dengan metode NIHSS dan ESS disimpan dan dirahasiakan sepenuhnya oleh

peneliti. Data tersebut hanya peneliti gunakan dalam proses penelitian.

3. Anonymity. Selama penelitian nama responden tidak digunakan diganti dengan

nomor responden. Dalam pengisian data pada instrumen penelitian, nama pasien

tidak dicantumkan tetapi hanya inisial saja. Sebagai contoh Tn.A, Ny.B dan

seterusnya. Hal ini untuk menjaga kerahasiaan data yang diperoleh dari

responden.

4. Confidentiality. Peneliti menjaga kerahasiaan identitas responden dan informasi

yang diberikan. Selama proses penelitian, peneliti tidak membuka dan menyebar

luaskan identitas responden dan informasi dari hasil pemeriksaan. Hal ini untuk

menjaga kerahasiaan identitas responden dan informasi yang didapat dari hasil

penelitian.

5. Protection from discomfort. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan dengan

menciptakan suasana yang nyaman agar responden terhindar dari perasaan tidak

nyaman dan terancam. Disaat proses pemeriksaan dengan metode NIHSS dan

ESS dan menemukan responden yang merasa tidak nyaman maka proses

pemeriksaan dihentikan sejenak untuk istirahat sebentar dan dilanjutkan kembali

kalau kondisi responden sudah baik dan siap. Responden diberi hak untuk

menolak melanjutkan kembali pemeriksaan tersebut atau membatalkan menjadi

responden apabila pemeriksaan ini dianggap membahayakan responden.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 74: Dedi Damhudi.pdf

61

F. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan format pengkajian metode

NIHSS dan ESS yang terdiri:

1. Data demografi, yang terdiri dari: tanggal dan jam pengkajian, inisial responden,

umur, jenis kelamin dan jenis stroke.

2. Pengkajian metode NIHSS yang terdiri dari 11 komponen, pengkajian metode

ESS yang terdiri dari 14 komponen, data hasil pengkajian metode NIHSS dan

ESS, konversi data hasil pengkajian NIHSS dan ESS ke diagnosa keperawatan

aktual.

G. Prosedur Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, dilakukan oleh peneliti sendiri. Langkah-langkah

pengumpulan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Tahap persiapan

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin dari pembimbing penelitian, uji

etik oleh komite etik di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia dan

Direktur RSUP Fatmawati Jakarta. Setelah itu, peneliti melakukan koordinasi dan

sosialisasi dengan instansi terkait, perawat serta tenaga kesehatan lainnya di

ruangan IGD, ICU, Unit stroke dan kelas III penyakit saraf RSUP Fatmawati

Jakarta.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 75: Dedi Damhudi.pdf

62

2. Tahap pelaksanaan

Sebelum pengambilan data, peneliti terlebih dahulu berdiskusi dengan perawat di

ruangan untuk memilih pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi. Setelah itu

peneliti menemui pasien dan keluarga untuk memperkenalkan diri serta

menjelaskan tujuan penelitian, petunjuk pengisian kuesioner, hak-hak atas self

determination, privacy, anonimity, confidentiality dan protection from

discomfort. Adapun tahap pengambilan data adalah sebagai berikut:

a. Setiap responden dilakukan dua kali pengkajian yaitu menggunakan metode

NIHSS dan ESS. Tahap pertama pengkajian mengunakan metode NIHSS

yang terdiri dari 11 komponen (terlampir). Setelah itu 15 menit kemudian

dilakukan pengkajian menggunakan metode ESS yang terdiri dari 14

komponen (terlampir). Hasil pengkajian berupa data kelainan neurologi yang

terdapat pada komponen penelitian dari metode NIHSS dan ESS.

b. Terhadap hasil pengkajian metode NIHSS dan ESS dilakukan analisis untuk

perumusan diagnosa keperawatan aktual.

c. Setiap responden dihitung jumlah diagnosa keperawatan aktual yang

diidentifikasi berdasarkan hasil pengkajian NIHSS dan ESS. Diagnosa

keperawatan aktual yang diperoleh dari tiap komponen bisa berjumlah 0

sampai 5 buah dan jumlah total dari metode NIHSS dan ESS bisa berjumlah

1-10 buah.

d. Diagnosa keperawatan aktual yang diperoleh dari metode NIHSS dan ESS di

bandingkan.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 76: Dedi Damhudi.pdf

63

H. Analisis Data

Pengolahan dan analisis data hasil penelitian dilakukan dengan cara:

1. Pengolahan data

a. Editing

Memeriksa kelengkapan, kejelasan jawaban, relevansi dan konsistensi data.

Hasil pengkajian dari setiap respoden yang telah diisi pada intrumen

penelitian diperiksa kembali satu persatu untuk memastikan kelengkapan dan

kejelasan hasil pemeriksaan sehingga data yang di dapat relevan dengan

kondisi pasien saat itu juga.

b. Coding

Merubah atau mengkonversi data ke dalam bentuk kode sehingga

mempermudah saat meng-entry dan menganalisis data. Data yang sudah

diperoleh pada tiap komponen pemeriksaan dikonversi menjadi jumlah

diagnosa aktual yang muncul pada tiap komponen pemeriksaan dari metode

NIHSS dan ESS.

c. Processing

Memproses data yang dilakukan dengan cara meng-entry data dari hasil

pengkodean dengan bantuan komputer menggunakan program pengolahan

data statistik. Mengolah hasil jumlah diagnosa aktual yang muncul dari

metode NIHSS dan ESS menggunakan program komputer dengan Uji Tanda

Wilcoxon.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 77: Dedi Damhudi.pdf

64

d. Cleaning

Memeriksaan kembali data yang telah di- entry untuk memastikan semua

prosedur pengumpulan data dilakukan dengan baik dan benar.

2. Analisis data

a. Analisis pertama menggunakan univariat dilakukan pada Nilai NIHSS, ESS

dan diagnosa keperawatan aktual yang muncul dari hasil pengkajian dengan

metode NIHSS dan ESS. Dari hasil analisis ini akan diperoleh distribusi

frekuensi dan persentase dari masing-masing komponen. Dengan demikian,

diperoleh gambaran karakteristik dari masing-masing variabel.

b. Analisis kedua menggunakan Uji Korelasi untuk mengetahui keeratan

hubungan antara nilai NIHSS dan ESS terhadap diagnosa keperawatan aktual

yang diperoleh dan Uji Tanda Wilcoxon untuk mengetahui efektifitas

penggunaan metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan

aktual pada pasien stroke berat fase akut. Menurut (Pagano & Gauvreau,

1993; Budiarto, 2002; Sulaiman, 2005), Uji Tanda Wilcoxon digunakan

untuk membandingkan dua proporsi melalui dua sampel yang berpasangan

atau satu sampel yang diperlakukan dua kali perlakuan. Adapun cara analisis

Uji Tanda pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Menentukan derajat kemaknaan, α = 0.05

2) Melakukan pengkajian dengan metode NIHSS dan ESS pada tiap

responden.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 78: Dedi Damhudi.pdf

65

3) Catat perolehan jumlah diagnosa aktualnya pada setiap responden dari

pengkajian metode NIHSS dan ESS. Kedua hasil kemudian dibandingkan.

4) Bila metode ESS lebih banyak dalam perolehan diagnosa keperawatan

aktual dari metode NIHSS, maka diberi tanda (+)

5) Bila metode ESS lebih sedikit dalam perolehan diagnosa keperawatan

aktual dari metode NIHSS, maka diberi tanda (-)

6) Bila metode NIHSS dan ESS sama banyak dalam perolehan diagnosa

keperawatan aktual diberi tanda (0). Hasil ini tidak dianalisis.

7) Tanda negatif (-) dijumlahkan = T

8) Lihat tabel Uji Tanda yang sesuai dengan besarnya sampel (n) dan (α).

9) Untuk menolak hipotesis nol maka tanda (-) hasil pengamatan harus ≤ dari

nilai yang terdapat dalam tabel untuk Uji Tanda (Lampiran 7).

Selain analisis Uji Tanda Wilcoxon bisa juga menggunakan rumus Uji Tanda

Wilcoxon sebagai berikut:

)4/()2/

nnDz −

=+

Z+ : Perbedaan rata-rata efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam

membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase

akut.Uji Tanda Wilcoxcon

D : Jumlah tanda (+)

n/2 : Jumlah mean tanda (+)

)4/(n : Standar deviasi tanda (+)

n : Jumlah sampel yang dapat dianalisis, yaitu tanda (+) atau (-).

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 79: Dedi Damhudi.pdf

66

BAB V

HASIL PENELITIAN

Pada bab ini akan akan dibahas analisis hasil peneltian tentang “ Efektifitas pengkajian

metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke

berat fase akut di RSUP Fatmawati Jakarta“. Pengumpulan data dilakukan selama 30

hari kerja yaitu dari tanggal 30 April sampai dengan 30 Mei 2008. Dari 18 responden

diperoleh data distribusi normal. Proses analisis data dilakukan dengan menggunakan

bantuan program komputer.

Tahap pertama penyajian hasil penelitian disajikan dengan analisis univariat meliptui

nilai NIHSS, ESS dan diagnosa keperawatan aktual yang diperoleh dari hasil pengkajian

dengan metode NIHSS dan ESS untuk melihat karakteristik dari masing-masing

komponen. Tahap kedua dilakukan analisis bivariat Uji Korelasi untuk mengetahui

keeratan hubungan nilai NIHSS terhadap diagnosa aktual NIHSS dan nilai ESS terhadap

diagnosa aktual ESS, kemudian dilakukan Uji Tanda Wilcoxon untuk mengetahui

efektifitas penggunaan metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan

aktual pada pasien stroke berat fase akut.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 80: Dedi Damhudi.pdf

67

A. Analisis Univariat

1. Nilai NIHSS

Gambaran nilai hasil pengkajian menggunakan metode NIHSS dapat dilihat pada

tabel di bawah ini :

Tabel 5.1. Nilai Hasil Pengkajian Menggunakan Metode NIHSS dan ESS

Di RSUP Fatmawati Bulan Mei 2008 (n=18)

Variabel Mean SD Min-Max 95 % CI NIHSS

33,06 6,890 24 - 41 29,63 – 36,48

ESS

19,78 17,73 0 - 47 10,96 – 28,59

Berdasarkan tabel 5.1, hasil analisis didapatkan nilai NIHSS rata-rata 33,06 (95 %

CI: 29.63-36.48) dan nilai ESS rata-rata 19,78 (95 % CI: 10,96 – 28,59), dengan

standar deviasi nilai NIHSS 6,89 dan nilai ESS 17,73. Nilai terendah NIHSS

adalah 24, nilai ESS adalah 0 dan nilai tertinggi NIHSS adalah 41, nilai ESS

adalah 47. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95 % diyakini

rata-rata nilai NIHSS antara 29.63-36.48 dan ESS antara 29,63-36,48 pada

pasien stroke berat fase akut.

2. Jumlah Diagnosa Keperawatan Aktual dengan Metode NIHSS dan ESS

Gambaran jumlah diagnosa keperawatan aktual hasil pengkajian menggunakan

metode NIHSS dan ESS dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 81: Dedi Damhudi.pdf

68

Tabel 5.2. Perolehan Diagnosa Keperawatan Aktual Menggunakan Metode NIHSS dan

Metode ESS Di RSUP Fatmawati Bulan Mei 2008 (n=18)

Variabel Mean SD Jumlah Jumlah 95 % CI Minimal n Maksimal n

Diagnosa NIHSS

9.67 0,485 9 6 10 12 9.43 - 9.91

Diagnosa ESS

9.67 0,485 9 6 10 12 9.43 - 9.91

Berdasarkan tabel 5.2, hasil analisis diperoleh jumlah diagnosa keperawatan

aktual menggunakan pengkajian metode NIHSS dan metode ESS rata-rata 9,67

buah (95 % CI: 9,43 -9,91), dengan standar deviasi 0,485. Perolehan diagnosa

paling sedikit 9 buah berjumlah 6 responden dan paling banyak 10 buah

berjumlah 12 responden. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa

95 % diyakini rata-rata perolehan jumlah diagnosa keperawatan aktual

menggunakan pengkajian metode NIHSS dan metode ESS adalah diantara 9,43 –

9,91 pada pasien stroke berat fase akut.

B. Analisis Bivariat

1. Korelasi nilai NIHSS dengan Diagnosa Keperawatan Aktual NIHSS

Keeratan hubungan antara nilai NIHSS terhadap diagnosa keperawatan aktual

yang diperoleh pada pasien stroke berat fase akut, dapat dilihat pada tabel di

bawah ini :

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 82: Dedi Damhudi.pdf

69

Tabel 5.3. Korelasi nilai NIHSS terhadap Diagnosa Keperawatan Aktual Menggunakan

Metode NIHSS Di RSUP Fatmawati Bulan Mei 2008 (n=18)

VARIABEL Diagnosa NIHSS Nilai NIHSS

Diagnosa NIHSS Korelasi Pearson 1 0,904(**) p value 0,000

Nilai NIHSS Korelasi Pearson 0,904(**) 1 p value 0,000

Berdasarkan tabel 5.3, hasil analisis diperoleh nilai r = 0,904 dengan nilai

p value = 0,0005. Penelitian ini menyimpulkan ada hubungan bermakna antara

nilai NIHSS dengan diagnosa keperawatan aktual NIHSS. Hubungan nilai NIHSS

dengan perolehan diagnosa keperawatan sangat kuat atau sempurna dan berpola

positif artinya semakin besar nilai NIHSS semakin banyak diagnosa keperawatan

aktual yang diperolah pada pasien stroke berat fase akut.

2. Korelasi nilai ESS dengan Diagnosa Keperawatan Aktual ESS

Keeratan hubungan antara nilai ESS terhadap diagnosa keperawatan aktual yang

diperoleh pada pasien stroke berat fase akut, dapat dilihat pada tabel di bawah

ini :

Tabel 5.4. Korelasi nilai ESS terhadap Diagnosa Keperawatan Aktual Menggunakan

Metode ESS Di RSUP Fatmawati Bulan Mei 2008 (n=18)

VARIABEL Diagnosa NIHSS Nilai NIHSS

Diagnosa ESS Korelasi Pearson 1 -0,912(**) p value 0,000

Nilai ESS Korelasi Pearson -0,912(**) 1 p value 0,000

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 83: Dedi Damhudi.pdf

70

Berdasarkan tabel 5.4, hasil analisis diperoleh nilai r = -0,912 dengan nilai

p value = 0,0005. Penelitian ini menyimpulkan ada hubungan bermakna antara

nilai ESS dengan diagnosa keperawatan aktual ESS. Hubungan nilai ESS dengan

perolehan diagnosa keperawatan sangat kuat atau sempurna dan berpola negatif

artinya semakin kecil nilai ESS semakin banyak diagnosa keperawatan aktual

yang diperolah pada pasien stroke berat fase akut.

3. Efektifitas Metode NIHSS dan ESS Terhadap Diagnosa Keperawatan Aktual

Gambaran selisih diagnosa keperawatan aktual yang didapat dari hasil pengkajian

menggunakan metode NIHSS dan ESS dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 5.5. Selisih Diagnosa Keperawatan Aktual NIHSS dan ESS

Di RSUP Fatmawati Bulan Mei 2008 (n=18)

No. Responden

Dianosa Keperawatan

aktual

Selisih Diagnosa Keperawatan Aktual

(O21) - (O22)

Tanda ( T )

NIHSS (O21)

ESS (O22)

X3

1. 9 9 0 0 2. 10 10 0 0 3. 10 10 0 0 4. 9 9 0 0 5. 10 10 0 0 6. 10 10 0 0 7. 10 10 0 0 8. 10 10 0 0 9. 10 10 0 0 10. 9 9 0 0 11. 10 10 0 0 12. 9 9 0 0 13. 10 10 0 0 14. 10 10 0 0 15. 10 10 0 0 16. 9 9 0 0 17. 10 10 0 0 18. 9 9 0 0

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 84: Dedi Damhudi.pdf

71

Berdasarkan tabel 5.5, hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah diagnosa aktual

yang muncul dari hasil pengkajian dengan menggunakan metode NIHSS (O21)

dan metode ESS (O22) paling sedikit 9 buah dan paling banyak 10 buah.

Kemudian selisih diagnosa aktual yang dihasilkan dari masing-masing metode

pengkajian (X3) tidak ada. Jumlah tanda negatif (-) dan tanda (+) tidak ditemukan,

yang ada hanya tanda (0), hal ini menunjukkan bahwa jumlah diagnosa aktual

yang yang dihasilkan dari kedua metode adalah sama sehingga data dari 18

responden tidak bisa dianalisis (n = 0 ) dan ( T = 0 ). Hasil analisis lebih lanjut

menunjukkan bahwa dengan n = 0 akan memperoleh nilai h = 0. Maka secara

statistik hipotesa nol diterima.

Efektifitas pengkajian menggunakan metode NIHSS dan ESS terhadap diagnosa

keperawatan aktual yang didapat pada pasien stroke berat fase akut dapat dilihat

pada tabel di bawah ini :

Tabel 5.6. Efektifitas Metode NIHSS dan ESS Terhadap Diagnosa Keperawatan Aktual

Di RSUP Fatmawati Bulan Mei 2008 (n=18)

Variabel Mean SD Min-Max p value Diagnosa NIHSS 9,67 0,485 9 -10 1,000

Diagnosa ESS 9,67 0,485 9 -10 1,000

Berdasarkan tabel 5.6, hasil analisis diperoleh jumlah diagnosa keperawatan

aktual menggunakan pengkajian metode NIHSS dan metode ESS rata-rata 9,67

buah, dengan standar deviasi 0,485. Perolehan diagnosa paling sedikit 9 buah dan

paling banyak 10 buah. Hasil analisis lebih lanjut didapatkan p value 1,000

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 85: Dedi Damhudi.pdf

72

dengan α=0,005. Penelitian ini menyimpulkan bawah tidak ada perbedaan

bermakna dalam penggunaan metode NIHSS dan metode ESS untuk pembuatan

diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke. Kedua metode ini sama baiknya

untuk merumuskan diagnosa aktual pada pasien stroke berat fase akut.

C. Analisis Komponen Pengkajian Metode NIHSS dan ESS

Gambaran komponen pengkajian metode NIHSS dan ESS dapat terlihat pada tabel

dibawah ini.

Tabel 5.7 Komponen penilaian NIHSS dan ESS Di RSUP Fatmawati Bulan Mei 2008

No. Komponen NIHSS Komponen ESS 1. • Derajat kesadaran

• Menjawab pertanyaan • Mengikuti perintah

• Derajat kesadaran

• Pengertian/ Mengikuti perintah 2. • Gerakan mata konyugat

horizontal • Gerakan mata konyugat horizontal

3. • Lapangan pandang • Unilateral negleg

• Lapangan pandang

4. • Paresis wajah dan Sensorik • Gerakan wajah 5. • Motorik lengan kanan

• Motorik lengan kiri

• Motorik lengan (kemampuan lengan tangan untuk mempertahankan posisi dibentangkan)

• Lengan tangan (peningkatan gerak, tangan dibentangkan dengan posisi 90º vertikal.)

• Keluasan gerakan pergelangan tangan.

• Kemampuan jari mencubit 6. • Motorik tungkai kanan

• Motorik tungkai kiri

• Motorik kaki (mempertahankan posisi)

• Kaki (fleksi) • Dorso fleksi pada kaki

7. • Ataksia anggota badan • Gaya berjalan 8. • Bahasa terbaik

• Disartria • Bicara

TOTAL SKOR NIHSS: 0 – 42 TOTAL SKOR ESS: 0 – 100

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 86: Dedi Damhudi.pdf

73

Berdasarkan tabel 5.7, hasil analisis diperoleh bahwa komponen pemeriksaan pada

metode NIHSS juga terdapat pada metode ESS. Dari metode NIHSS yang terdiri dari

11 komponen dan metode ESS yang terdiri dari 14 komponen dapat digabung

menjadi 8 komponen yang sama yaitu: derajat kesadaran, gerakan mata konyugat,

lapangan pandang, sesorik, motorik tangan, motorik kaki, ataksia anggota badan dan

bahasa. Dari analisis tabel diatas dapat disimpulkan bahwa komponen pengkajian

metode NIHSS dan metode ESS adalah sama.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 87: Dedi Damhudi.pdf

BAB VI

PEMBAHASAN

Bab ini akan membahas mengenai hasil-hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang

telah dilaksanakan serta akan dikaitkan dengan literatur yang ada dan hasil-hasil

penelitian sejenis yang pernah dilakukan. Selain itu, juga akan dibahas tentang

keterbatasan-keterbatasan penelitian dan implikasi hasil penelitian ini terhadap

keperawatan.

A. Interpretasi dan Diskusi Hasil

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi efektifitas pengkajian

metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien

stroke berat fase akut. Oleh sebab itu, pembahasan hasil penelitian difokuskan pada

nilai NIHSS dan ESS, diagnosa aktual yang diperoleh serta efektifitas pengkajian

dengan metode ini. Interpretasi dan diskusi hasil penelitian secara lengkap akan

dibahas sebagai berikut:

1. Nilai NIHSS dan ESS

Berdasarkan analisis data sebelumnya, didapatkan nilai tertinggi dari metode

NIHSS adalah 41 dan nilai terendah dari metode ESS adalah 0. Hal ini

menunjukkan bahwa kondisi pasien sedang mengalami stroke sangat berat dengan

tingkat kesadaran koma. Hasil analisis juga didapatkan nilai terendah NIHSS

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 88: Dedi Damhudi.pdf

75

75

adalah 24 dan nilai tertinggi ESS adalah 47. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi

pasien sedang mengalami stroke berat dengan tingkat kesadaran somnolen sampai

prekoma.

Menurut (Smeltzer & Bare, 2008; Black & Hawks, 2005) mengatakan bahwa dari

11 komponen pemeriksaan pada metode NIHSS dan 14 komponen pemeriksaan

metode ESS terdapat satu komponen yang sangat mempengaruhi hasil

pemeriksaan komponen lain yaitu komponen tingkat kesadaran karena dengan

tingkat kesadaran somnolen, prekoma dan koma menunjukkan kondisi pasien

dalam keadaan stroke berat sampai sangat berat.

Pada pasien stroke berat dengan nilai NIHSS diatas 22 sangat beresiko tinggi

terjadinya pendarahan dan hasil akhir yang buruk sehingga akan mengakibatkan

gangguan neurologi seperti penurunan kesadaran somnolen sampai dengan koma,

hemianopsia, hemiparise, hemiplegi, ataksia, disartria, disphagia, parestesia,

apasia, kehilangan memori dan intelektual, emosi tidak stabil (Black & Hawks,

2005; Smeltzer & Bare, 2008). Kondisi seperti ini memberikan tanda bahwa

pasien memerlukan perawatan intensif seperti di ruangan ICU atau unit stroke dan

dilakukan pemeriksaan NIHSS 1 jam sekali untuk mencegah kerusakan saraf yang

lebih parah dan kematian (AANN (2004, hlm.4).

Gangguan neurologi yang terjadi akibat stroke, tergantung pada lokasi lesi dan

ukuran area infark yang terjadi. Menurut penelitian Bamford J. et.al (1991

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 89: Dedi Damhudi.pdf

76

76

mengatakan bahwa dari 675 pasien yang mendapat serangan stroke pertama dapat

dikelompokkan menjadi Total Anterior Circulation Infarct (TACI) 92 orang

(17%), Partial Anterior Circulation Infarct (PACI) 185 orang (34%), Posterior

Circulation Infarct (POCI)129 orang (24%) dan Lacunar Infarct (LACI) 137

orang (25%). Sedangkan hasil penelitian Orgogozo et.al, (1983) menyatakan

bahwa, pasien yang mengalami stroke 85 – 95 % akan menderita kekacauan

mental, gangguan penglihatan dan gangguan sensori.

2. Jumlah Diagnosa Aktual dengan Metode NIHSS dan ESS

Jumlah diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut sangat erat

kaitannya dengan hasil pengkajian menggunakan metode NIHSS dan ESS.

Semangkin tinggi nilai NIHSS semangkin banyak diagnosa aktual yang akan

diperoleh dan semangkin rendah nilai ESS semangkin banyak diagnosa aktual

yang akan diperoleh. Hubungan yang sangat kuat atau sempurna antara nilai

NIHSS dengan diagnosa keperawatan aktual terlihat pada r = 0,904 dan nilai ESS

dengan diagnosa keperawatan aktual terlihat pada r = -0,912.

Hal ini terlihat dari analisis data sebelumnya yaitu pada pasien dengan tingkat

kesadaran somnolen akan memiliki nilai NIHSS antara 24 sampai dengan 25 dan

nilai ESS antara 41 sampai dengan 47 akan mempunyai 9 diagnosa aktual.

Sedangkan pada pasien dengan tingkat kesadaran prekoma dan koma akan

memiliki nilai NIHSS antara 32 sampai dengan 41 dan nilai ESS antara 0 sampai

dengan 18 akan mempunyai 10 diagnosa aktual.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 90: Dedi Damhudi.pdf

77

77

Menurut (Smeltzer & Bare, 2008; Black & Hawks, 2005), menyatakan bahwa

pada kondisi prekoma dan koma komponen penilaian yang mengalami gangguan

antara lain: derajat kesadaran, gerakan mata konyugat horizontal, lapangan

pandang, paresis wajah, motorik lengan dan kaki, ataksia anggota badan, sensorik,

bahasa, disartria dan unilateral negleg. Semua penilaian komponen NIHSS dan

ESS terisi penuh dengan nilai yang maksimal sehingga diagnosa keperawatan

aktual yang diperoleh 10 buah. Sedangkan pada kondisi somenolen semua

penilaian komponen NIHSS dan ESS terisi penuh tetapi nilainya tidak maksimal

sehingga diagnosa keprawatan aktual yang diperoleh sebanyak 9 buah.

Menurut (Hickey, 2003) mengatakan bahwa masalah keperawatan yang akan

mucul pada pasien stroke berat fase akut dengan penurunan tingkat kesadaran

adalah; gangguan bersihan jalan nafas, perubahan persepsi atau sensori

(penglihatan, perabaan, kinestetik), gangguan komunikasi verbal, gangguan

mobilitas fisik, gangguan pola eliminasi uri dan alvi , gangguan proses pikir dan

ketidakmampuan merawat diri sendiri.

Berdasarkan analisis diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode NIHSS

dan ESS sangat baik dalam perumusan diagnosa keperawatan aktual pada pasien

stroke fase akut. Penggunaan metode NIHSS dan ESS untuk membuat diagnosa

keperawatan yang aktual pada pasien stroke berat fase akut belum pernah

dilakukan sehingga informasi tentang manfaatnya dalam proses pembuatan

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 91: Dedi Damhudi.pdf

78

78

diagnosa keperawatan masih sangat kurang, oleh sebab itu perlu adanya

sosialisasi dan pelatihan yang intensif tentang manfaat pengkajian dan kemudahan

merumuskan diagnosa keperawatan yang tepat pada pasien stroke berat fase akut

sehingga perawat unit stroke dapat menggunakan metode ini dengan baik dan

benar.

3. Efektifitas penggunaan metode NIHSS dan ESS

Berdasarkan analisis terdahulu menunjukkan bahwa perolehan jumlah diagnosa

aktual menggunakan metode NIHSS dan metode ESS sama banyaknya. Setelah

dianalisis lebih lanjut didapatkan bawah metode NIHSS dan ESS sama baiknya

untuk merumuskan diagnosa aktual pada pasien stroke berat fase akut. Hal ini

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan efektifitas penggunaan metode NIHSS

dan metode ESS terhadap pembuatan diagnosa keperawatan yang aktual pada

pasien stroke fase akut pada.

Persamaan efektifitas pengkajian pada metode NIHSS dan ESS disebabkan oleh

persamaan komponen penilaian yang terdiri dari tingkat kesadaran, gerakan mata

konyugat horizontal, lapangan pandang, paresis wajah, motorik lengan, motorik

kaki, ataksia anggota badan, sensorik, bahasa, disartria dan unilateral negleg.

Walaupun ada sedikit perbedaan elemen pemeriksaan tetapi tujuan sama seperti

pada NIHSS komponen paresis wajah, ataksia dan bahasa terbaik sedangkan pada

ESS komponen gerakan wajah, gaya berjalan dan bicara sehingga dapat

disimpulkan bahwa pemeriksaan ini sama.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 92: Dedi Damhudi.pdf

79

79

Hasil analisis diatas sejalan dengan hasil penelitian Berger et.al, (1999)

menyatakan bahwa penggunaan metode NIHSS dapat digunakan untuk melihat

kondisi pasien stroke fase akut dengan tingkat reabilitas mean kappa NIHSS 0.80

dan ESS 0.79. Hasil penelitian ini menunjukkan keakuratan kedua metode ini

hampir sama sehingga hasil dari kedua metode pengkajian ini juga akan sama.

Hasil penelitian Luo Zuming dan Hu Wanbao (2000), sejalan dengan analisis

peneliti yang menyatakan bahwa nilai Bartel Index mempunyai korelasi yang kuat

terhadap metode NIHSS ( r = 0,721) dan ESS (r = -,827). Dapat disimpulkan

bahwa metode NIHSS dan ESS sama baiknya untuk menilai Bartel Index (Scholar,

2000, Assessment on validity,reliability and simplicity of stroke scales and design

ora new scale, ¶ 1, http://scholar.ilib.cn,, diperoleh tanggal 2 Juli 2008).

Penelitian lain yang sejalan dengan analisis peneliti adalah hasil penelitian Adam

et.al (1999), mengatakan bahwa dengan metode NIHSS didapatkan OR 3,1 (95 %

CI: antara 1,5 – 6,4). Penelitian ini menyimpulkan bahwa metode NIHSS sangat

bagus memprediksi hasil akhir pasien yang menderita stroke dari fase akut sampai

fase pemulihan. Sedangkan hasil penelitian Loewen SC & Anderson BA (1990),

mengatakan bahwa penggunaan metode ESS mempunyai nilai korelasi (r = 0.83)

terhadap Barthel Index. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang

signifikan antara nilai ESS terhadap Barthel Index artinya adalah metode ESS

dapat menilai kemampuan aktivitas sehari-hari pasien dengan baik.

Menurut (Smeltzer & Bare, et.al, 2008; Black & Hawks 2005), mengatakan

bahwa pengkajian dengan metode NIHSS dan metode ESS dilakukan dengan tiga

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 93: Dedi Damhudi.pdf

80

80

teknik yaitu observasi, wawancara dan pemeriksaan fisik. Pada saat pelaksanaan

penelitian ditemukan bahwa penilaian pengkajian metode NIHSS dan ESS pada

pasien stroke berat fase akut tidak selamanya dilakukan dengan tiga teknik

sekaligus. Pada kondisi koma pemeriksaan hanya dilakukan dengan teknik

observasi dan pemeriksaan fisik. Hal ini disebabkan karena pada pasien dalam

keadaan koma sulit untuk melakukan teknik wawancara.

B. Keterbatasan Penelitian

1. Waktu pemeriksaan instrumen pengkajian

Waktu adalah faktor yang sangat penting dalam mengoptimalkan penanganan

pasien dengan stroke. Menurut AHA dan NSA memberikan rekomendasi dalam

memberikan perawatan harus dilakukan dalam waktu 3 - 6 jam pertama terkena

serangan untuk mendapatkan hasil yang baik saat pasien pulang (AANN, 2004,

hlm.6). Menurut Smeltzer & Bare (2008, hlm.2215), mengatakan bahwa fase akut

yang dialami pasien stroke antara 1-3 hari. Dari uraian diatas dapat disimpulkan

bahwa penggunaan metode NIHSS dan ESS pada pasien stroke fase akut sangat

bagus jika dilakukan pada waktu 3 -6 jam pertama terkena serangan karena dapat

mengetahui kondisi pasien secepat mungkin sehingga dapat mencegah komplikasi

yang lebih parah dan kematian.

Pada saat penelitian, pemeriksaan dengan metode NIHSS dan ESS dilakukan

antara 1-3 hari pertama saat pasien masuk ke rumah sakit. Hal ini hal ini terjadi

karena sebagian besar responden baru datang ke rumah sakit anatara 6 - 24 jam

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 94: Dedi Damhudi.pdf

81

81

setelah terjadinya serangan. Disisi lain penelitian ini hanya dilakukan oleh peneliti

sendiri dan peneliti tidak menetap di ruangan 24 jam dimana tempat penelitian

ada 4 ruangan yaitu IGD, ICU, Unit Stroke dan ruangan perawatan saraf kelas III.

Hal ini berdampak pada keterlambatan data yang diperoleh dari hasil pengkjian

dengan metode ini sehingga penanganan keperawatan untuk mengurangi

komplikasi akibat stroke dan berupaya mengembalikan keadaan penderita

kembali normal seperti sebelum serangan stroke agak sulit dilakukan.

C. Implikasi Untuk Keperawatan

Berdasarkan hasil beberapa uraian pada bab ini, peneliti berpendapat bahwa

penggunaan metode NIHSS dan ESS sangat bagus untuk menentukan diagnosa

keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut dan dari hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan efektifitas penggunaan metode NIHSS dan

ESS terhadap pembuatan diagnosa keperawatan yang aktual pada pasien stroke fase

akut. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan kedua metode ini sama-sama baik

untuk dipakai dalam proses pengkajian syaraf pada pasien stroke berat fase akut.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 95: Dedi Damhudi.pdf

82

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan dan hasil penelitian yang diperoleh, maka

dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Pengkajian dengan metode NIHSSS dan ESS sangat baik untuk melihat

perkembangan pasien stroke fase akut. Kedua metode ini dapat melihat tingkat

keparahan gangguan sistem saraf termasuk perubahan-perubahan pada gangguan

system saraf dari waktu ke waktu dari nilai total yang didapat pada masing-

masing metode pengkajian. Penilaian ini meliputi pengkajian perubahan tingkat

kesadaran, gerakan mata konyugat horizontal, lapangan pandang, paresis wajah,

motorik lengan, motorik kaki, ataksia anggota badan, sensorik, bahasa, disartria

dan unilateral negleg.

2. Terdapat hubungan yang sangat kuat antara nilai NIHSS (r = 0,904) dan nilai ESS

(r = -0,912) terhadap diagnosa aktual yang diperoleh. Hal ini terlihat pada pasien

dengan tingkat kesadaran somnolen memiliki nilai NIHSS antara 20 sampai

dengan 25 dan nilai ESS antara 41 sampai dengan 47 memiliki 9 diagnosa aktual.

Sedangkan pada pasien dengan tingkat kesadaran prekoma dan koma memiliki

nilai NIHSS antara 32 sampai dengan 41 dan nilai ESS antara 0 sampai dengan 18

memiliki 10 diagnosa aktual.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 96: Dedi Damhudi.pdf

83

3. Tidak ada perbedaan efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam

membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut. Dari

metode NIHSS terdapat 11 komponen dan ESS terdapat 14 komponen penilaian.

Sekilas terlihat komponen penilain yang dilakukan pada kedua metode ini berbeda,

tetapi setelah di interpretasikan ternyata penilaiannya sama. Dengan kata lain,

kedua metode ini sama-sama baik dalam perumusan diagnosa keperawatan yang

aktual pada pasien stroke fase akut pada derajat kemaknaan 0.05.

4. Pengkajian metode NIHSS dan ESS pada pasien stroke berat fase akut dalam

keadaan koma tidak dapat dilakukan dengan tiga teknik sekaligus (wawancara,

observasi, pemeriksaan fisik) tetapi bisa dilakukan dengan dua teknik yaitu

observasi dan pemeriksaan fisik. Hal ini disebabkan karena pada pasien dalam

keadaan koma sulit untuk melakukan teknik wawancara.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, peneliti mempunyai beberapa saran sebagai

berikut:

1. Teman sejawat perawat

a. Menggunakan metode NIHSS atau ESS sebagai salah satu cara dalam

melakukan pengkajian system saraf pada pasien stroke karena dengan metode

ini hasil pengkajian akan lebih akurat dan diagnosa aktual yang muncul akan

lebih tepat sehingga proses asuhan keperawatan akan lebih baik.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 97: Dedi Damhudi.pdf

84

b. Perlu adanya sosialisasi dan pelatihan yang intensif tentang manfaat

pengkajian dan kemudahan merumuskan diagnosa keperawatan yang tepat

pada pasien stroke berat fase akut menggunakan pengkajian metode NIHSS

dan ESS.

c. Saran tambahan yang bukan dihasilkan dari hasil penelitian.

Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa metode NIHSS dan ESS sama

baiknya dalam membuat diagnosa keperawatan yang aktual pada pasien stroke

berat fase akut. Tetapi berdasarkan pengalaman peneliti saat pengkajian

menggunakan metode NIHSS dan ESS, peneliti menganjurkan untuk

menggunakan metode NIHSS karena dapat dilakukan dengan cepat yaitu

antara 5 sampai 10 menit, mudah dipelajari dan dilaksanakan, skor yang

dipakai sederhana serta cakupan pemeriksaan lebih luas.

2. Pengetahuan

Sebagai rujukan khususnya mengenai efektifitas pengkajian menggunakan

metode NIHSS dan ESS dalam pembuatan diagnosa keperawatan aktual pada

asuhan keperawatan pasien dengan stroke berat fase akut.

3. Penelitian

Sebagai informasi awal untuk penelitian selanjutnya yang terkait tentang

pengkajian menggunakan metode NIHSS dan ESS dalam pembuatan diagnosa

keperawatan pada pasien stroke seperti:

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 98: Dedi Damhudi.pdf

85

a. Efektifitas pengkajian menggunakan metode NIHSS dan ESS dalam

pembuatan diagnosa keperawatan aktual pada asuhan keperawatan pasien

dengan stroke ringan dan sedang fase akut.

b. Efektifitas pengkajian menggunakan metode NIHSS dan ESS dalam

pembuatan diagnosa keperawatan resiko pada asuhan keperawatan pasien

dengan stroke ringan, sedang dan berat fase akut.

c. Perbandingan keunggulan dan kelemahan penggunaan metode NIHSS dan

ESS dalam pembuatan diagnosa keperawatan aktual dan resiko pada asuhan

keperawatan pasien dengan stroke ringan, sedang dan berat fase akut.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 99: Dedi Damhudi.pdf

DAFTAR PUSTAKA AANN. (2004). Guide to the care of the patient with Ischemic Stroke. USA: PDL

BioPharma. Adams, H.P Jr., Davis, P.H., Leira, E.C., Chang, K.C., Bendixen, B.H., Clarke, W.R.,

Woolson, R.F., Hansen, M.Dl. (1999), Baseline NIHSS stroke scale score strongly predicts outcome after stroke: A report of the trial of org 10172 in acute stroke treatment (TOAST). Neurology, 53, (1), 126-131.

Bamford, J., Sandercock, P., Dennis, M., Burn, J., Warlow, C., (1991), Classification

and natural history of clinically identifiable subtypes of cerebral infarction Lancet, 337, (8756), 1521-1526.

Bates, Barbara, (1998), Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan, edisi 2,

Jakarta: EGC Budiarto, E. (2002), Biostatistik untuk kedokteran dan kesehatan Masyarakat, edisi 1.

Jakarta: EGC. Black, M.J & Hawks, H.J. (2005). Medical-surgical nursing: Clinical management for

positive outcome. (7 th ed). St.Louis: Elsevier Inc. Berger K, Weltermann B, Kolominsky-Rabas P, Meves S, Heuschmann P, Böhner J,

Neundörfer B, Hense HW, Büttner T. (1999), The reliability of stroke scales. The german version of NIHSS, ESS and Rankin scales. Fortschr Neurol Psychiatri. 67(2), 81-93

Brott, T., Adams, H.P., Olinger, C.P., Marler, J.R., Barsan, W.G., Biller, J., Spilker, J.,

Holleran, R., Eberle, R., Hertzberg, V., Rorick, M., Moomaw, C.J., Walker, M., (1989), Measurements of acute cerebral infarction: a clinical examination scale. Stroke, (20), 864-870.

Carpenito, J.L. (1997). Application to clinical practice, (7 th ed). Philadelphia: Lippincott-Raven Publishers.

Craven, F.R, & Hirnle, J.C. (2007). Fundamentals of nursing: Human health and

function.(5 th ed). Philadelphia: Lippincott william & Wilkins. Edwards. (2007), Acute assessment scales, http://www.strokecenter.org/trials/scales/

index.htm, diperoleh tanggal 10 Januari 2008. Hantson L, et al. (1994), The eropean stroke scale. Stroke, 25, (1), 2215-2219.

Hastono, S.P., (2007), Analisa data kesehatan. Depok: FKM-UI.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 100: Dedi Damhudi.pdf

Hickey, V.J. (2003). The clinical practice of neurological and neurosurgical nursing. (5 th ed). Philadelphia: Lippincott william & Wilkins.

Ignatavicius, D.D & Workman, M.L. (2006). Medical-surgical nursing: Critical

thingking for colaborative care. St.Louis: Elsevier Inc. Jarvis, C. (2000), Physical examination and health assessment, (3 th ed).

Philadelphia: WB Saunders Company. Loewen, S.C., Anderson, B.A., (1990) Predictors of stroke outcome using objective

measurement scales. Stroke, 21(1), 78-81. Lemone, P & Burke, M.K. (1996). Medical-surgical nursing: Critical thinking in client

care. St.Louis: Cummings Publishing Company Inc.

Luo Zuming & Hu Wanbao.(2000), Assessment on validity, reliability and simplicity of stroke scales and design ora new scale. http://scholar.ilib.cn/abstract.aspx? A=zglcsjkx 2000z1064, diperoleh tanggal 2 Juli 2008.

Lumbantobing, S.M. (2006), Neurologi klinik: Pemeriksaan fisik dan mental, edisi 9. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Muir,K.W., Weir,C.J., Murray, G. D., Povey, C., Lees, K.R. (1996), Comparation of

neurological scale and scoring system for acute stroke prognosis. Ahajournals, 27, (10), 1817-1820.

Nursalam. (2001). Proses & dokumentasi keperawatan: Konsep dan praktik. edisi 1.

Jakarta: Salemba medika. Notoatmodjo, S. (2002). Metodologi penelitian kesehatan, edisi 2. Jakarta: PT. Rineka

Cipta. Ollivieri. (1991).Fundamentals of nursing : Conceps process and practise. California :

Addisson-Wesley. Orgogozo,J.M., Capildeo,R., Anagnostou, C.N., Juge, O., Péré, J.J., Dartigues, J.F.,

Steiner, T.J., Yotis, A., Rose, F.C., Development of a neurological score for the clinical evaluation of sylvian infarctions. Press Med, 12, (48), 3039-3044.

Pagano, M., & Gauvreau, K. (1993). Principles of biostatistics. California: Wadsworth

Publishing Company. Priharjo, R. (1996), Pengkajian Fisik Keperawatan. edisi 2.Jakarta: EGC. Polaski, L.A & Tatro, E.S. (1996). Luckmann’s core principles and practice of medical-

surgical nursing. (1 st ed). Philadelphia: WB. Sauders Company.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 101: Dedi Damhudi.pdf

Polit D.F. & Hungler B.P. (1999). Nursing research: principles and methods. (6 th ed). Philadelphia: Lippincott william & Wilkins.

Potter., & Perry. (2006). Buku ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan

Praktik, Vol 1, Alih bahasa Asih Yasmin, et.al. Jakarta: EGC. Rasyid, A & Soertidewi, L. (2007). Unit stoke: Manajemen stroke secara komprehensif.

Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Ilmu Kedokteran. Reeves, C. J, et al, (1999), Medical surgical nursing, New York: McGraw – Hill

Companies. Sabri, L., dan Hastanto, S.P. Statistik kesehatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sastroasmoro, S. (2006), Dasar-dasar metodelogi penelitian klinis. Jakarta: Sagung Seto. Smeltzer, C.S., et al. (2008). Brunner & suddarth’s texbook of medical-surgical nursing.

(11 th ed). Philadelphia: Lippincott and Wilkins.. Smeltzer, C.S.,et al. (2002), Buku ajar keperawatan medikal bedah Brunner & Suddarth,

alih bahasa Agung Waluyo et.al, editor edisi bahasa indonesia monica ester, ellen pangabean, Ed 8, Jakarta, EGC

Sinar Harapan. (2003). Penderita stroke dapatd disembuhkan. http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/lalu.html, diperoleh tanggal 29 Oktober 2007.

Stroke center, (2007). Population stoke in the world, http://www.strokecenter.org/patients/stats.htm, diperoleh tanggal 10 Januari 2008.

Sulaiman, W. (2005). Statistik non parametrik. Contoh kasus dan pemecahannya dengan

SPSS, edisi 2. Yagyakarta: Andi. Talley, O’Connor. (1993). Clinical examination : A Guidep physical diagnosis. Sydney:

Mc Lennan & Petty. Yastroki. (2002). Tahun 2020, Penderita stroke meningkat 2 Kali

http://www.yastroki.or.id/read.php?id=319, diperoleh tanggal 29 Oktober 2007

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 102: Dedi Damhudi.pdf

Lampiran 1

LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN

Judul penelitian : Efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut di RSUP Fatmawati Jakarta Peneliti : Dedi Damhudi, S.Kp Nomor Hp: 085214422595 Pembimbing : 1. Dewi Irawaty, MA., PhD 2. Rr. Tutik Sri Hayati, S.Kp., MARS

Tujuan : Saya diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian bagaimana efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut

Prosedur : Tahap pertama saya akan dikaji menggunakan metode NIHSS. Setelah itu, 15 menit kemudian dikaji menggunakan metode ESS. Disaat pengkajian saya bersedia bekerjasama dengan peneliti.

Gambaran resiko dan ketidaknyamanan yang mungkin akan terjadi : Saya mengerti bahwa resiko yang akan terjadi sangat kecil. Apabila selama proses pengkajian saya merasa tidak enak atau tidak nyaman, maka peneliti dan tim kesehatan yang ada di ruangan akan menangani saya dengan profesional.

Manfaat bagi subjek penelitian : Peran serta saya dalam penelitian ini akan membantu saya untuk mengerti bagaimana pengaruh pengkajian yang baik akan menghasilkan diagnosa yang tepat sehingga sangat menentukan kualitas asuhan keperawatan terhadap penyakit saya.

Kerahasiaan identitas/catatan penelitian : Saya mengerti bahwa catatan penelitian akan dirahasiakan. Saya berhak menolak untuk berperan serta dalam penelitian ini atau mengundurkan diri tanpa adanya hukuman atau kehilangan hak saya.

Jakarta, ............................................. Tanda tangan responden/wali responden Tanda tangan peneliti

...................................... ..................................

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 103: Dedi Damhudi.pdf

Lampiran 4

Nomor responden: ...........

INSTRUMEN PENELITIAN

Pengkajian metode National Institute of Health Stroke (NIHSS)

Petunjuk khusus bagian 1 :

a. Berisikan tentang data tentang data demografi pasien.

b. Setiap pertanya dijawab dengan singkat dan jelas

c. Beri tanda silang ( X ) pada salah satu jenis stroke

1. Data Responden

a. Tanggal dan jam pengkajian : ……………………………………….

b. Initial responden : ……………………………………….

c. Umur : ……………………………………….

d. Jenis kelamin : ……………………………………….

e. Jenis stroke : 1) Hemoragik 2) Non hemoragik

Petunjuk khusus bagian 2 :

a. Lakukan pengkajian sesuai cara pemeriksaan/petunjuk pada tiap-tiap komponen

b. Beri tanda silang ( X ) pada salah satu hasil pemeriksaan di komponen tersebut

c. Data hasil pemeriksaan dikompersi menjadi diagnosa aktual yang telah tersedia sesuai

dengan komponen masing masing

d. Jumlahkan seluruh diagnosa aktual yang diperoleh dari metode pengkajian NIHSS.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 104: Dedi Damhudi.pdf

2. Pengkajian metode NIHSS

No Komponen dan cara pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Diagnosa Keperawatan aktual

1. a. Derajat kesadaran Pemeriksa harus menilai apapun respon pasien jika saat pemeriksaan terdapat halangan pada pasien seperti selang endotrakeal, trauma /balutan orotrakeal. Nilai 3 hanya diberikan jika pasien tidak bergerak dalam merespon stimulus berbahaya/menyakitkan.

0= sadar penuh 1= somnolen 2= stupor 3= koma

1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan tidak efektifnya reflek batuk akibat sekunder dari ketidaksadaran

2. Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan iskemia, edema otak atau peningkatan TIK

3. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinestetik) berhubungan dengan penurunan kesadaran.

4. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan kesadaran.

5. Inkontinensia uri dan alvi total berhubungan dengan disfungsi neurologi, penurunan kesadaran.

b. Menjawab pertanyaan Tanyakan pada pasien tentang bulan dan tanggal kelahirannya. Jawaban haruslah benar. Pasien apasia dan stupor yang tidak dapat menjawab dengan benar diberi nilai 2. Pasien yang tidak mampu bicara karena intubasi endotrakeal, trauma orotrakeal, disatria berat dari penyebab lain, gangguan bahasa atau penyebab lain bukan dari akibat apasia diberi nilai 1.

0= dapat menjawab dua pertanyaan dengan benar (misalnya, bulan apa sekarang dan usia pasien)

1= hanya dapat menjawab satu pertanyaan dengan benar atau tidak dapat berbicara karena terpasang pipa endotrakea atau disartria

1. Gg proses pikir berhubungan dengan kerusakan otak, atau ketidak mampuan mengikuti perintah

2. Tidak ada diagnosa aktual

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 105: Dedi Damhudi.pdf

No Komponen dan cara pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Diagnosa Keperawatan aktual

Hanya jawaban awal yang dinilai dan pemeriksa tidak membantu pasien dengan petunjuk verbal atau non verbal.

2= tidak dapat menjawab kedua pertanyaan dengan benar atau afasia atau stupor menjawab kedua pertanyaan dengan benar atau afasia atau stupor

c. Mengikuti perintah Anjurkan pasien menutup dan membuka mata kemudian menggenggam dan melepaskan tangan pada tangan yang tidak paresis. Mengganti salah satu perintah dapat dilakukan jika tangan tidak dapat digunakan. Penilaian dapat diberikan jika usaha maksimal sudah dilakukan walaupun tidak lengkap karena kelemahan. Jika pasien tidak berespon terhadap perintah, tugas itu harus di contohkan kepada dia (tanpa suara) dan hasilnya dinilai (seperti tidak mengikuti, mengikuti satu atau dua perintah). Pasien dengan trauma, amputasi atau halangan fisik harus diberikan penyesuaian dengan salah satu perintah. Hanya jawaban pertama yang dinilai.

0= dapat melakkan dua perintah dengan benar (misalnya buka dan tutup mata, kepal dan buka tangan pada sisi yang sehat)

1= hanya dapat melakukan satu perintah dengan benar

2= tidak dapat melakukan kedua perintah dengan benar

1. Gg proses pikir berhubungan dengan kerusakan otak, atau ketidak mampuan mengikuti perintah

2. Tidak ada diagnosa aktual

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 106: Dedi Damhudi.pdf

No Komponen dan cara pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Diagnosa Keperawatan aktual

2. Gerakan mata konyugat horizontal Hanya gerakan horizontal mata yang di periksa. Jika pasien mempunyai deviasi konyugat pada mata yang terjadi secara reflek, dapat diberi nilai 1. Jika pasien mempunyai paresis saraf perifer yang terisolasi (N III, N IV, VI) diberi nilai 1. Gerakan mata konyugat horizontal dapat dilakukan pada semua pasien apasia. Pasien dengan trauma mata, yang diperban, sebelum terjadi kebutaan atau atau penyakit ketajaman penglihatan atau lapangan pandang harus dilakukan pemeriksaan dengan gerakan reflek yang di sesuaikan oleh pemeriksa. Kemampuan mempertahankan kontak mata dan diikuti gerakan dari sisi ke sisi akan sangat membantu dalan melihat adanya kelemahan gerakan mata konyugat sebagian.

0= normal 1= gerakan abnormal

hanya pada satu mata

2= deviasi konyugat yang kuat atau paresis konyugat total pada kedua mat

1. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinesthetik) berhubungan dengan gangguan penglihatan

2. Tidak ada diagnosa aktual

3. Lapangan pandang Lapangan pandang (bagian atas dan bawah) di uji dengan menggunakan hitungan jari. Jika pasien dapat melihat pada sisi jari yang bergerak dengan tepat, bisa beri nilai normal. Jika terdapat kebutaan sebelah atau enuklasi dapat diberi nilai apa adanya. Nilai 1 diberikan jika melihat

0= tidak ada gangguan

1= kuandranopia 2= hemianopia total 3= hemianopia

bilateral atau buta kortikal

1. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinesthetik) berhubungan dengan gangguan penglihatan

2. Unilateral negleg (pengabaian sepihak) berhubungan dengan efek gangguan kemampuan penglihatan atau hemianopsia

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 107: Dedi Damhudi.pdf

No Komponen dan cara pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Diagnosa Keperawatan aktual

dengan jelas tapi tidak simetris, termasuk jika terdapat quadranopia. Jika pasien buta oleh penyebab lain diberi nilai 3. Jika hal ini terkait dengan tingkat kesadaran (somnolen) hasilnya bisa untuk menilai point unilateral negleg.

4. Paresis Wajah Gunakan pertanyaan atau gunakan pantomime untuk mendorong pasien menunjukkan gigi atau mengangkat alis mata adan menutup mata. Nilai simetris wajah yang menyeringai adalah respon dari stimulus yang berbahaya terhadap kurangnya respon atau ketidak pahaman pasien. Jika wajah trauma atau terbalut, selang orotrakeal, atau penghalang lainnya pada wajah harus diangap normal terhadap penilaian.

0= normal 1= paresis ringan 2= paresis sebagian 3= paresis total

1. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinesthetik) berhubungan dengan gangguan sensasi

2. Tidak ada diagnosa aktual

5. a. Motorik lengan kanan Pasien mengangkat tangan 90º (jika duduk) atau 45º (jika baring telentang). Penilaian adanya ganguan apabila tangan tidak bisa mengapung dan jatuh sebelum 10 detik. Pasien apasia di anjurkan menggunakan alat bantu suara atau pantomime. Setiap lengan di uji dengan diputar, dimulai dengan lengan yang tidak paresis. Hanya pada kasus amputasi

0= tidak ada kelainan bila pasien bisa mengangkat kedua lengannya selama 10 detik

1= Lengan jatuh ke bawah sebelum 10 detik

2= Lengan terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh

3= tidak dapat melawan gravitasi

1. Self care defisit (kebersihan diri, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan dampak stroke

2. Tidak ada diagnosa aktual

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 108: Dedi Damhudi.pdf

No Komponen dan cara pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Diagnosa Keperawatan aktual

atau bahu yang mengalami penyambungan, pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa.

4= tidak ada gerakan X= tidak dapat

diperiksa

b. Motorik lengan kiri Pasien mengangkat tangan 90º (jika duduk) atau 45º (jika baring telentang). Penilaian adanya ganguan apabila tangan tidak bisa mengapung dan jatuh sebelum 10 detik. Pasien apasia di anjurkan menggunakan alat bantu suara atau pantomime. Setiap lengan di uji dengan diputar, dimulai dengan lengan yang tidak paresis. Hanya pada kasus amputasi atau bahu yang mengalami penyambungan, pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa.

0= tidak ada kelainan bila pasien bisa mengangkat kedua lengannya selama 10 detik

1= Lengan menyimpang ke bawah sebelum 10 detik

2= Lengan terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh

3= tidak dapat melawan gravitasi

4= tidak ada gerakan X= tidak dapat

diperiksa

1. Self care defisit (kebersihan diri, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan dampak stroke

1. Tidak ada diagnosa

aktual 1.

6. a. Motorik tungkai kanan Pasien mengangkat kaki 30º (di uji dengan posisi telentang). Penilaian adanya ganguan apabila kaki jatuh sebelum 5 detik. Pasien apasia di anjurkan menggunakan alat bantu suara atau pantomime, tetapi tidak dengan stimulus yang berbahaya. Setiap tungkai di uji dengan diputar, dimulai dengan lengan yang tidak paresis. Pada kasus amputasi / kaki yang mengalami penyambungan maka tidak dapat diperiksa.

0= tidak ada gangguan bila pasien bisa mengangkat kedua tungkai selama 10 detik dan diangkat bergantian.

1= Kaki jatuh ke bawah sebelum 5 detik

2= Kaki terjatuh ke kasur / tidak dapat diluruskan secara penuh

3= tidak dapat melawan gravitasi

4= tidak ada gerakan X= tidak dapat

diperiksa

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan defisit neurologi

3. Tidak ada diagnosa aktual

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 109: Dedi Damhudi.pdf

No Komponen dan cara pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Diagnosa Keperawatan aktual

b. Motorik tungkai kiri Pasien mengangkat kaki 30º (selalu di uji dengan posisi telentang/supinasi). Penilaian adanya ganguan apabila kaki jatuh sebelum 5 detik. Pasien apasia di anjurkan menggunakan alat bantu suara atau pantomime, tetapi tidak dengan stimulus yang berbahaya. Setiap tungkai di uji dengan diputar, dimulai dengan lengan yang tidak paresis. Hanya pada kasus amputasi atau kaki yang mengalami penyambungan, pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa.

0= tidak ada gangguan bila pasien bisa mengangkat kedua tungkai selama 5 detik dan diangkat bergantian.

1= Kaki jatuh ke bawah sebelum 5 detik

2= Kaki terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh

3= tidak dapat melawan gravitasi

4= tidak ada gerakan X= tidak dapat

diperiksa jika amputasi, penyambungan paha.

1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan defisit neurologi

2. Tidak ada diagnosa aktual

7. Ataksia anggota badan Bagian ini bertujuan untuk menemukan lesi serebral sepihak. Saat pemeriksaan, pasien membuka mata. Pemeriksaan dilakukan dengan cara gerakan tangan pasien dari jari-hidung-jari dan tumit-mata kaki-lutut. Pemeriksaan dilakukan pada kedua sisi dan penilaian adanya ataksia ditemukan jika ada kelemahan yang terlalu kuat. Ataksia tidak ditemukan pada pasien yang tidak paham terhadap instruksi atau paralisis. Hanya pada kasus amputasi atau penyambungan,

0= tidak ada 1= pada satu

ekstrimitas 2= pada dua atau

lebih ekstrimitas X= tidak dapat

diperiksa jika amputasi, penyambungan.

1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan defisit neurologi

2. Tidak ada diagnosa aktual

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 110: Dedi Damhudi.pdf

No Komponen dan cara pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Diagnosa Keperawatan aktual

pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa. Pada kasus kebutaan, pemeriksaan dilakukan dengan pasien menyentuh hidung dari posisi tangan dibentangkan.

8. Sensorik Adanya sensasi atau menyeringai apabila di lakukan tes dengan ujung jarum. Pemeriksa harus menguji pada banyak bagian tubuh seperti pada lengan, kaki, wajah dan badan untuk mendapatkan hasil yang akurat terhadap kehilangan hemisensorik. Nilai 2 ”berat atau kehilangan sensorik total” diberikan pada pasien yang mengalami kehilangan sensorik total atau sangat parah. Pasien stupor dan aphasia diberi nilai 1 atau 0. Pasien dengan stroke yang memiliki kehilangan sensasi bilateral diberi nilai 2. Jika pasien tidak berespon atau koma atau quadriplegi diberi nilai 2.

0= normal 1= defisit parsial

yaitu merasa tetapi berkurang

2= defisit berat yaitu jika pasien tidak merasa atau terdapat gangguan bilateral

1. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinesthetik) berhubungan dengan gangguan sensasi

2. Tidak ada diagnosa aktual

9. Bahasa terbaik Instruksikan pasien untuk melihat gambar dari pemeriksa. Tanyakan apa apa yang terjadi terkait dengan gambar, nama dari gambar tersebut dan membaca apa yang terdapat pada gambar tersebut. Pemahaman bahasa didapat dari respon

0= tidak ada afasia 1= afasia ringan-

sedang 2= afasia berat 3= tidak dapat bicara

(bisu) atau global afasia atau koma

1. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak atau penurunan kesadaran.

2. Inkontinensia uri dan BAB total berhubungan dengan disfungsi neurologi, gangguan komunikasi.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 111: Dedi Damhudi.pdf

No Komponen dan cara pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Diagnosa Keperawatan aktual

seperti halnya perintah-perintah pada proses pemeriksaan neurologi secara umum. Jika terdapat kekurangan penglihatan saat pemeriksaan, tanyakan pada pasien untuk mengidentifikasi benda yang diletakkan di tangan, ulangi dan hasilkan pembicaraan. Pasien yang mengalami intubasi sebaiknya ditanya dengan tulisan. Pasien dengan koma otomatis di beri nilai 3. Nilai 3 diberikan jika pasien bisu dan tidak dapat mengikuti perintah apapun.

1.

10. Disartria Kekurangan saat bicara dapat terlihat dengan menganjurkan untuk membaca atau mengulang kalimat yang ada dibacaan. Jika pasien memiliki afasia berat, kejelasan artikulasi dapat dinilai dari pembicaraan secara spontan. Jika pasien mempunyai intubasi atau halangan fisik lain terkait dengan bicara, pemeriksa harus mencatat tidak dapat diperiksa.

0= artikulasi normal 1= disartria ringan-

sedang 2= disartria berat X= tidak dapat

diperiksa jika intubasi atau halangan fisik lain terkait bicara.

2. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak

3. Kelemahan menelan berhubungan dengan kelemahan neuromuskular

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 112: Dedi Damhudi.pdf

No Komponen dan cara pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Diagnosa Keperawatan aktual

11. Unilateral Negleg atau tidak ada atensi Kurangnya informasi untuk mengidentifikasi adanya negleg perlu di prioritaskan selama pemeriksaan. Jika pasien mempunyai masalah penglihatan yang berat, dan stimulus pada kulit normal maka nilainya adalah normal. Jika pasien apasia tetapi mampu mengenali adanya benda di kedua sisinya berarti nilainya normal. Adanya pengabaian sepihak atau anosagnosia adalah suatu tanda yang tidak normal.

0= tidak ada 1= parsial 2= total

1. Unilateral negleg (pengabaian sepihak) berhubungan dengan efek gangguan kemampuan penglihatan atau hemianopsia

2. Tidak ada diagnosa aktual

Total perolehan diagnosa aktual:

.................................buah

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 113: Dedi Damhudi.pdf

Lampiran 5

Nomor responden: ...........

INSTRUMEN PENELITIAN

Pengkajian metode Eropean Stroke Scale (ESS)

Petunjuk khusus bagian 1 :

a. Berisikan tentang data tentang data demografi pasien.

b. Setiap pertanyaan dijawab dengan singkat dan jelas

c. Beri tanda silang ( X ) pada salah satu jenis stroke

1. Data Responden

a. Tanggal dan jam pengkajian : ……………………………………….

b. Initial responden : ……………………………………….

c. Umur : ……………………………………….

d. Jenis kelamin : ……………………………………….

e. Jenis stroke : 1) Hemoragik 2) Non hemoragik

Petunjuk khusus bagian 2 :

a. Lakukan pengkajian sesuai cara pemeriksaan/petunjuk pada tiap-tiap komponen

b. Beri tanda silang ( X ) pada salah satu hasil pemeriksaan di komponen tersebut

c. Data hasil pemeriksaan dikompersi menjadi diagnosa aktual yang telah tersedia sesuai

dengan komponen masing masing

d. Jumlahkan seluruh diagnosa aktual yang diperoleh dari metode pengkajian ESS.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 114: Dedi Damhudi.pdf

2. Pengkajian metode ESS

No Komponen dan cara pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Diagnosa keperawatan aktual

1. Derajat kesadaran: mengukur tingkat kesadaran pasien mulai dari kompos mentis, apatis, somnolen, stupor/pre coma dan koma.

10 = sadar penuh, merespon dengan baik

8= somnolen/mengantuk tetapi dapat dibangunkan dengan stimulus ringan , menjawab atau berespon

6= diperlukan stimulus yang berulang atau pasien lesu, diperlukan stimulus keras atau stimulus yang sedikit menyakitkan (nyeri ringan) untuk membuat pasien bergerak

4= tidak dapat dibangunkan dengan berbagai rangsangan, bereaksi dengan stimulus yang agak menyakitkan (nyeri sedang) untuk membuat pasien bergerak.

2= tidak dapat dibangunkan dengan berbagai rangsangan, bereaksi dengan stimulus yang sangat menyakitkan (nyeri berat) untuk membuat pasien begerak

0= tidak dapat dibangunkan dengan berbagai rangsangan, dan tidak bereaksi dengan stimulus yang sangat menyakitkan (nyeri berat) untuk membuat pasien begerak

1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan tidak efektifnya reflek batuk akibat sekunder dari ketidaksadaran.

2. Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan iskemia, edema otak atau peningkatan TIK.

3. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinestetik) berhubungan dengan penurunan kesadaran.

4. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan kesadaran

5. Inkontinensia uri dan alvi total berhubungan dengan disfungsi neurologi, penurunan kesadaran

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 115: Dedi Damhudi.pdf

No Komponen dan cara pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Diagnosa keperawatan aktual

2 Pengertian: Anjurkan pasien untuk mengikuti perintah seperti: (a) mengeluarkan lidah, (b) meletakkan jari ke hidung, (c) menutup kelopak mata. Pemeriksa tidak mencontohkan perintah tersebut.

8 = pasien melaksanakan 3 perintah

4= pasien melaksanakan 1-2 perintah

0= pasien tidak melaksanakan perintah

1. Gg proses pikir berhubungan dengan kerusakan otak, atau ketidak mampuan mengikuti perintah

2. Tidak ada diagnosa aktual

3 Bicara: pemeriksa membuat percakapan umum dengan pasien

8 = bicara normal 6= agak sulit bicara,

permbicaraan masih bisa dilakukan

4= sangat sulit bicara, pembicaraan sulit dilakukan

2= hanya ”ya” dan ”tidak” 0= tidak ada suara

1. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak

2. Kelemahan menelan berhubungan dengan kelemahan neuromuskular

3. Inkontinensia uri dan alvi total berhubungan dengan disfungsi neurologi, gangguan komunikasi.

4. Lapangan pandang:

pemeriksa berdiri dekat lengan pasien dan bandingkan pandangan mata pasien dengan mempercepat pergerakan jari dari batas luar ke arah dalam. Pasien di diminta untuk menatap pupil pemeriksa. Tes dilakukan dengan membuka satu mata menutup satunya dan begitu sebaliknya.

8 = normal 0= kurang/gangguan

1. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinesthetik) berhubungan dengan gangguan penglihatan

2. Unilateral negleg (pengabaian sepihak) berhubungan dengan efek gangguan kemampuan penglihatan

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 116: Dedi Damhudi.pdf

No Komponen dan cara pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Diagnosa keperawatan aktual

5. Gerakan mata konyugat horizontal: pemeriksa melihat kepada pasien dan bertanya kepada pasien dengan mengikuti jari pemeriksa. Pemeriksa mengobservasi posisi mata pasien istirahat/berhenti sejenak dan sesudah itu pergerakan penuh dengan mengikuti pergerakan jari dari kiri ke kanan lalu sebaliknya.

8 = normal 4= posisi mata di tengah, ada

penyimpangan ke salah satu sisi

2= posisi mata di samping, bisa kembali ke ke posisi tengah

0= posisi mata di samping, tidak bisa kembali ke posisi tengah

1. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinesthetik) berhubungan dengan gangguan penglihatan

2. Unilateral negleg (pengabaian sepihak) berhubungan dengan efek gangguan kemampuan penglihatan

6. Gerakan wajah: wajah pasien di dilihat pada saat berbicara dan senyum, dengan catatan ke tidaksemetrisan. Hanya otot-otot setengah bagian bawah pada wajah yang dikaji.

8= normal 4= paresis 0= paralisis

1. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinesthetik) berhubungan dengan gangguan sensasi

2. Tidak ada diagnosa aktual

7. Lengan tangan (kemampuan lengan tangan untuk mempertahankan posisi dibentangkan/angkat tangan): Anjurkan pasien menutup mata. Pasien yang tangannya aktif diangkat 45º dengan posisi datar horizontal, dengan kedua tangan pada posisi tengah

4 = lengan tangan mampu bertahan 5 detik

3= lengan tangan mampu bertahan 5 detik tapi posisi tangan telungkup

2= lengan tangan mampu mengapung kurang dari 5 detik tapi bisa dipertahankan dengan posisi lebih rendah

1= lengan tangan tidak mampu mempertahankan posisi tapi mampu melawan gravitasi.

1. Self care defisit (personal hygiene, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan dampak stroke

2. Tidak ada diagnosa aktual

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 117: Dedi Damhudi.pdf

No Komponen dan cara pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Diagnosa keperawatan aktual

berhadapan satu sama lain. Pasien di anjurkan untuk mempertahankan posisi selama 5 detik setelah pemeriksa melihat kekuatannya. Hanya sisi yang aktif yang dievaluasi

0= lengan tangan jatuh / tidak mampu melawan gravitasi

8. Lengan tangan (peningkatan gerak) Letakkan lengan tangan pada kaki dengan tangan di posisi tengah. Pasien diminta untuk mengangkat lengan tangan lalu dibentangkan dengan posisi 90º (vertikal).

4 = normal 3= lengan tangan lurus,

pergerakan tidak penuh 2= lengan tangan

fleksi/benkok 1= pergerakan sedikit-

sedikit/lambat 0= tidak bergerak

1. Self care defisit (personal hygiene, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan dampak stroke

2. Tidak ada diagnosa aktual

9. Keluasan grakan pergelangan tangan: pasien di uji dengan lengan bawah dialas. Tangan tidak di alas tetapi di lemaskan pada posisi telentang (pronasi). Pasien di diminta untuk mengangkat tangan.

8= normal (pergerakan terisolasi penuh, tidak ada penurunan kekuatan)

6= pergerakan terisolasi penuh, ada penurunan kekuatan

4= pergerakan tidak terisolasi

2= pergerakan sedikit-sedikit/lambat

0= tidak ada pergerakan

1. Self care defisit (personal hygiene, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan dampak stroke

2. Tidak ada diagnosa aktual

10. Jari: pasien diminta untuk mencubit dengan ibu jari dan telunjuk untuk melawan tarikan yang lemah.

8= kekuatan seimbang 4= kekuatan berkurang pada

sisi aktif 0= Jari tidak bisa mencubit

pada sisi aktif

1. Self care defisit (personal hygiene, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan dampak stroke

2. Tidak ada diagnosa aktual

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 118: Dedi Damhudi.pdf

No Komponen dan cara pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Diagnosa keperawatan aktual

11. Kaki (mempertahankan posisi): pemeriksa mengangkat kaki pasien pada posisi yang aktif, dengan paha yang tegak lurus pada tempat tidur dan kaki yang lebih rendah sejajar pada tempat tidur. Pasien diminta untuk menutup mata dan mempertahankan posisi kaki selama 5 detik tanpa di alas.

4= kaki bisa diangkat tinggi dan dapat mempertahankan posisi selama 5 menit

2= kaki turun pada posisi tengah, dapat mempertahankan posisi selama 5 menit

1= kaki dapat mempertahankan posisi selama 5 menit lalu jatuh pada tempat tidur tetapi tidak secara tiba-tiba.

0= kaki jatuh tiba-tiba pada tempat tidur

1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan defisit neurologi

2. Tidak ada diagnosa aktual

12. Kaki (fleksi): pasien posisi telentang (supinasi) dengan kaki di bentangkan. Pasien diminta untuk menekuk pinggul dan lutut.

4= normal 3= bergerak melawan

tahanan, kekuatan menurun

2= bergerak melawan gravitasi.

1= bergerak perlahan 0= tidak ada gerakan

1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan defisit neurologi

2. Tidak ada diagnosa aktual

13. Dorsofleksi pada kaki: kaki pasien di bentangkan, dengan pasien diminta untuk menekukkan punggu kaki.

8= normal (kaki dapat di bentangkan, pergerakan penuh, tidak ada penurunan kekuatan)

6= kaki dapat di bentangkan, pergerakan penuh, ada penurunan kekuatan

4= kaki dapat di bentangkan, pergerakan tidak penuh atau lutut fleksi atau kaki telentang

2= pergerakan perlahan 0= tidak ada gerakan

1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan defisit neurologi

2. Tidak ada diagnosa aktual

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 119: Dedi Damhudi.pdf

No Komponen dan cara pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Diagnosa keperawatan aktual

14. Gaya berjalan: Instruksikan pasien untuk berjalan seperti biasa dan lihat kondisi saat berjalan.

10= normal 8= gaya berjalan tidak

normal atau terbatas atau kecepatan terbatas

6= pasien dapat berjalan dengan bantuan

4= pasien dapat berjalan dengan batuan orang lain satu atau dua orang

2= pasien tidak dapat berjalan tapi dapat berdiri dengan bantuan

0= pasien tidak dapat berjalan/berdiri

1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan defisit neurologi

2. Tidak ada diagnosa aktual

Total perolehan diagnosa aktual:

.................................buah

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 120: Dedi Damhudi.pdf

Lampiran 2

Tabel National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS)

No Komponen cara pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Nilai

1. a. Derajat kesadaran Pemeriksa harus menilai apapun respon pasien jika saat pemeriksaan terdapat halangan pada pasien seperti selang endotrakeal, trauma /balutan orotrakeal. Nilai 3 hanya diberikan jika pasien tidak bergerak dalam merespon stimulus berbahaya/menyakitkan.

0= sadar penuh 1= somnolen 2= stupor 3= koma

b. Menjawab pertanyaan Tanyakan pada pasien tentang bulan dan tanggal kelahirannya. Jawaban haruslah benar. Pasien apasia dan stupor yang tidak dapat menjawab dengan benar diberi nilai 2. Pasien yang tidak mampu bicara karena intubasi endotrakeal, trauma orotrakeal, disatria berat dari penyebab lain, gangguan bahasa atau penyebab lain bukan dari akibat apasia diberi nilai 1. Hanya jawaban awal yang dinilai dan pemeriksa tidak membantu pasien dengan petunjuk verbal atau non verbal.

0= dapat menjawab dua pertanyaan dengan benar (misalnya, bulan apa sekarang dan usia pasien)

1= hanya dapat menjawab satu pertanyaan dengan benar atau tidak dapat berbicara karena terpasang pipa endotrakea atau disartria

2= tidak dapat menjawab kedua pertanyaan dengan benar atau afasia atau stupor

c. Mengikuti perintah Anjurkan pasien menutup dan membuka mata dan kemudian menggenggam dan melepaskan tangan bukan pada tangan paresis. Mengganti salah satu perintah dapat dilakukan jika tangan tidak dapat digunakan. Penilaian dapat diberikan jika usaha maksimal sudah dilakukan walaupun tidak lengkap karena kelemahan. Jika pasien tidak berespon terhadap perintah, tugas itu harus di contohkan kepada dia (tanpa suara) dan hasilnya dinilai (seperti tidak mengikuti, mengikuti satu atau dua perintah).

0= dapat melakkan dua perintah dengan benar (misalnya buka dan tutup mata, kepal dan buka tangan pada sisi yang sehat)

1= hanya dapat melakukan satu perintah dengan benar

2= tidak dapat melakukan kedua perintah dengan benar

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 121: Dedi Damhudi.pdf

No Komponen cara pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Nilai

2. Gerakan mata konyugat horizontal Hanya gerakan horizontal mata yang di periksa. Jika pasien mempunyai deviasi konyugat pada mata yang terjadi secara reflek, dapat diberi nilai 1. Jika pasien mempunyai paresis saraf perifer yang terisolasi (N III, N IV, VI) diberi nilai 1. Gerakan mata konyugat horizontal dapat dilakukan pada semua pasien apasia. Pasien dengan trauma mata, yang diperban, sebelum terjadi kebutaan atau atau penyakit ketajaman penglihatan atau lapangan pandang harus dilakukan pemeriksaan dengan gerakan reflek yang di sesuaikan oleh pemeriksa. Kemampuan mempertahankan kontak mata dan diikuti gerakan dari sisi ke sisi akan sangat membantu dalan melihat adanya kelemahan gerakan mata konyugat sebagian.

0= normal 1= gerakan abnormal

hanya pada satu mata 2= deviasi konyugat yang

kuat atau paresis konyugat total pada kedua mata

3. Lapangan pandang Lapangan pandang (bagian atas dan bawah) di uji dengan menggunakan hitungan jari. Jika pasien dapat melihat pada sisi jari yang bergerak dengan tepat, bisa beri nilai normal. Jika terdapat kebutaan sebelah atau enuklasi dapat diberi nilai apa adanya. Nilai 1 diberikan jika melihat dengan jelas tapi tidak simetris, termasuk jika terdapat quadranopia. Jika pasien buta oleh penyebab lain diberi nilai 3. Jika hal ini terkait dengan tingkat kesadaran (somnolen) hasilnya bisa untuk menilai point unilateral negleg.

0= tidak ada gangguan 1= kuandranopia 2= hemianopia total 3= hemianopia bilateral

atau buta kortikal

4. Paresis Wajah Tanya atau menggunakan pantomime untuk mendorong pasien menunjukkan gigi atau mengangkat alis mata adan menutup mata. Nilai simetris wajah yang menyeringai adalah respon dari stimulus yang berbahaya terhadap kurangnya respon atau ketidak pahaman pasien. Jika wajah trauma atau terbalut, selang orotrakeal harus diangap normal terhadap penilaian.

0= normal 1= paresis ringan 2= paresis sebagian 3= paresis total

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 122: Dedi Damhudi.pdf

No Komponen cara pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Nilai

5. a. Motorik lengan kanan Pasien mengangkat tangan 90º (jika duduk) atau 45º (jika baring telentang). Penilaian adanya ganguan apabila tangan tidak bisa mengapung dan jatuh sebelum 10 detik. Pasien apasia di anjurkan menggunakan alat bantu suara atau pantomime. Setiap lengan di uji dengan diputar, dimulai dengan lengan yang tidak paresis. Hanya pada kasus amputasi atau bahu yang mengalami penyambungan, pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa.

0= tidak ada kelainan bila pasien bisa mengangkat kedua lengannya selama 10 detik

1= Lengan jatuh ke bawah sebelum 10 detik

2= Lengan terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh

3= tidak dapat melawan gravitasi

4= tidak ada gerakan X= tidak dapat diperiksa

b. Motorik lengan kiri Pasien mengangkat tangan 90º (jika duduk) atau 45º (jika baring telentang). Penilaian adanya ganguan apabila tangan tidak bisa mengapung dan jatuh sebelum 10 detik. Pasien apasia di anjurkan menggunakan alat bantu suara atau pantomime. Setiap lengan di uji dengan diputar, dimulai dengan lengan yang tidak paresis. Hanya pada kasus amputasi atau bahu yang mengalami penyambungan, pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa.

0= tidak ada kelainan bila pasien bisa mengangkat kedua lengannya selama 10 detik

1= Lengan menyimpang ke bawah sebelum 10 detik

2= Lengan terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh

3= tidak dapat melawan gravitasi

4= tidak ada gerakan X= tidak dapat diperiksa

6. a. Motorik tungkai kanan Pasien mengangkat kaki 30º (selalu di uji dengan posisi telentang/supinasi). Penilaian adanya ganguan apabila kaki jatuh sebelum 5 detik. Pasien apasia di anjurkan menggunakan alat bantu suara atau pantomime, tetapi tidak dengan stimulus yang berbahaya. Setiap tungkai di uji dengan diputar, dimulai dengan lengan yang tidak paresis. Hanya pada kasus amputasi atau kaki yang mengalami penyambungan, pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa.

0= tidak ada gangguan bila pasien bisa mengangkat kedua tungkai selama 10 detik dan diangkat bergantian.

1= Kaki jatuh ke bawah sebelum 5 detik

2= Kaki terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh

3= tidak dapat melawan gravitasi

4= tidak ada gerakan X= tidak dapat diperiksa.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 123: Dedi Damhudi.pdf

No Komponen cara pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Nilai

b. Motorik tungkai kiri Pasien mengangkat kaki 30º (selalu di uji dengan posisi telentang/supinasi). Penilaian adanya ganguan apabila kaki jatuh sebelum 5 detik. Pasien apasia di anjurkan menggunakan alat bantu suara atau pantomime, tetapi tidak dengan stimulus yang berbahaya. Setiap tungkai di uji dengan diputar, dimulai dengan lengan yang tidak paresis. Hanya pada kasus amputasi atau kaki yang mengalami penyambungan, pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa.

0= tidak ada gangguan bila pasien bisa mengangkat kedua tungkai selama 5 detik dan diangkat bergantian.

1= Kaki jatuh ke bawah sebelum 5 detik

2= Kaki terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh

3= tidak dapat melawan gravitasi

4= tidak ada gerakan X= tidak dapat diperiksa

jika amputasi, penyambungan paha.

7. Ataksia anggota badan Bagian ini bertujuan untuk menemukan lesi serebral sepihak. Saat pemeriksaan, pasien membuka mata. Pemeriksaan dilakukan dengan cara gerakan tangan pasien dari jari-hidung-jari dan tumit-mata kaki-lutut. Pemeriksaan dilakukan pada kedua sisi dan penilaian adanya ataksia ditemukan jika ada kelemahan yang terlalu kuat. Ataksia tidak ditemukan pada pasien yang tidak paham terhadap instruksi atau paralisis. Hanya pada kasus amputasi atau penyambungan, pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa. Pada kasus kebutaan, pemeriksaan dilakukan dengan pasien menyentuh hidung dari posisi tangan dibentangkan.

0= tidak ada 1= pada satu ekstrimitas 2= pada dua atau lebih

ekstrimitas X= tidak dapat diperiksa

jika amputasi, penyambungan.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 124: Dedi Damhudi.pdf

No Komponen cara pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Nilai

8. Sensorik Adanya sensasi atau menyeringai apabila di lakukan tes dengan ujung jarum. Pemeriksa harus menguji pada banyak bagian tubuh seperti pada lengan, kaki, wajah dan badan untuk mendapatkan hasil yang akurat terhadap kehilangan hemisensorik. Nilai 2 ”berat atau kehilangan sensorik total” diberikan pada pasien yang mengalami kehilangan sensorik total atau sangat parah. Pasien stupor dan aphasia diberi nilai 1 atau 0. Pasien dengan stroke yang memiliki kehilangan sensasi bilateral diberi nilai 2. Jika pasien tidak berespon atau koma atau quadriplegi diberi nilai 2.

0= normal 1= defisit parsial yaitu

merasa tetapi berkurang 2= defisit berat yaitu jika

pasien tidak merasa atau terdapat gangguan bilateral

9. Bahasa terbaik Anjurkan pasien untuk melihat gambar dari pemeriksa. Tanyakan apa yang terjadi terkait dengan gambar, nama dari gambar tersebut dan membaca apa yang terdapat pada gambar tersebut. Pemahaman bahasa didapat dari respon seperti halnya perintah-perintah pada proses pemeriksaan neurologi secara umum. Jika terdapat kekurangan penglihatan saat pemeriksaan, tanya pasien untuk mengidentifikasi benda yang diletakkan di tangan, ulangi dan hasilkan pembicaraan. Pasien yang mengalami intubasi sebaiknya ditanya dengan tulisan. Pasien dengan koma otomatis di beri nilai 3. Nilai 3 diberikan jika pasien bisu dan tidak dapat mengikuti perintah apapun.

0= tidak ada afasia 1= afasia ringan-sedang 2= afasia berat 3= tidak dapat bicara (bisu)

atau global afasia atau koma

10. Disartria Kekurangan saat bicara dapat terlihat dengan menganjurkan untuk membaca atau mengulang kalimat yang ada dibacaan. Jika pasien memiliki afasia berat, kejelasan artikulasi dapat dinilai dari pembicaraan secara spontan. Jika pasien mempunyai intubasi atau halangan fisik lain terkait dengan bicara, pemeriksa harus mencatat tidak dapat diperiksa.

0= artikulasi normal 1= disartria ringan-sedang 2= disartria berat X= tidak dapat diperiksa

jika intubasi atau halangan fisik lain terkait bicara.

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 125: Dedi Damhudi.pdf

No Komponen cara pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Nilai

11. Unilateral Negleg atau tidak ada atensi Kurangnya informasi untuk mengidentifikasi adanya negleg perlu di prioritaskan selama pemeriksaan. Jika pasien mempunyai masalah penglihatan yang berat, dan stimulus pada kulit normal maka nilainya adalah normal. Jika pasien apasia tetapi mampu mengenali adanya benda di kedua sisinya berarti nilainya normal. Adanya pengabaian sepihak atau anosagnosia dapat dijadikan sebagai sesuatu yang tidak normal.

0= tidak ada 1= parsial 2= total

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 126: Dedi Damhudi.pdf

Lampiran 3

Tabel Eropean Stroke Scale (ESS)

No Komponen cara pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Nilai

1. Derajat kesadaran mengukur tingkat kesadaran pasien mulai dari kompos mentis, apatis, somnolen, stupor/pre coma dan koma.

10 = sadar penuh, merespon dengan baik

8= somnolen/mengantuk tetapi dapat dibangunkan dengan stimulus ringan , menjawab atau berespon

6= diperlukan stimulus yang berulang atau pasien lesu, diperlukan stimulus keras atau stimulus yang sedikit menyakitkan (nyeri ringan) untuk membuat pasien bergerak

4= tidak dapat dibangunkan dengan berbagai rangsangan, bereaksi dengan stimulus yang agak menyakitkan (nyeri sedang) untuk membuat pasien bergerak.

2= tidak dapat dibangunkan dengan berbagai rangsangan, bereaksi dengan stimulus yang sangat menyakitkan (nyeri berat) untuk membuat pasien begerak

0= tidak dapat dibangunkan dengan berbagai rangsangan, dan tidak bereaksi dengan stimulus yang sangat menyakitkan (nyeri berat) untuk membuat pasien begerak

2 Pengertian: anjurkan pasien untuk mengikuti perintah seperti: (a) mengeluarkan lidah, (b) meletakkan jari ke hidung, (c) menututup kelopak mata. Pemeriksa tidak mencontohkan perintah tersebut.

8 = pasien melaksanakan 3 perintah

4= pasien melaksanakan 1-2 perintah

0= pasien tidak melaksanakan perintah

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 127: Dedi Damhudi.pdf

No Komponen cara pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Nilai

3 Bicara: pemeriksa membuat percakapan umum dengan pasien

8 = bicara normal 6= agak sulit bicara, permbicaraan

masih bisa dilakukan 4= sangat sulit bicara, pembicaraan

sulit dilakukan 2= hanya ”ya” dan ”tidak” 0= tidak ada suara

4. Lapangan pandang: pemeriksa berdiri dekat lengan pasien dan bandingkan pandangan mata pasien dengan mempercepat pergerakan jari dari batas luar ke arah dalam. Pasien di diminta untuk menatap pupil pemeriksa. Tes dilakukan dengan membuka satu mata menutup satunya dan begitu sebaliknya.

8 = normal 0= kurang/gangguan

5. Gerakan mata konyugat horizontal: pemeriksa melihat kepada pasien dan bertanya kepada pasien dengan mengikuti jari pemeriksa. Pemeriksa mengobservasi posisi mata pasien istirahat/berhenti sejenak dan sesudah itu pergerakan penuh dengan mengikuti pergerakan jari dari kiri ke kanan lalu sebaliknya.

8 = normal 4= posisi mata di tengah, ada

penyimpangan ke salah satu sisi

2= posisi mata di samping, bisa kembali ke ke posisi tengah

0= posisi mata di samping, tidak bisa kembali ke posisi tengah

6. Gerakan wajah: wajah pasien di dilihat pada saat berbicara dan senyum, dengan catatan ke tidaksemetrisan. Hanya otot-otot setengah bagian bawah pada wajah yang dikaji.

8= normal 4= paresis 0= paralisis

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 128: Dedi Damhudi.pdf

No Komponen cara pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Nilai

7. Lengan tangan (kemampuan lengan tangan untuk mempertahankan posisi dibentangkan/angkat tangan): Anjurkan pasien menutup mata. Pasien yang tangannya aktif diangkat 45º dengan posisi datar horizontal, dengan kedua tangan pada posisi tengah berhadapan satu sama lain. Pasien di anjurkan untuk mempertahankan posisi selama 5 detik setelah pemeriksa melihat kekuatannya. Hanya sisi yang aktif yang dievaluasi

4 = lengan tangan mampu bertahan 5 detik

3= lengan tangan mampu bertahan 5 detik tapi posisi tangan telungkup

2= lengan tangan mampu mengapung kurang dari 5 detik tapi bisa dipertahankan dengan posisi lebih rendah

1= lengan tangan tidak mampu mempertahankan posisi tapi mampu melawan gravitasi

0= lengan tangan jatuh / tidak mampu melawan gravitasi

8. Lengan tangan (peningkatan gerak) Letakkan lengan tangan pada kaki dengan tangan di posisi tengah. Pasien diminta untuk mengangkat lengan tangan lalu dibentangkan dengan posisi 90º (vertikal).

4 = normal 3= lengan tangan lurus,

pergerakan tidak penuh 2= lengan tangan fleksi/benkok 1= pergerakan sedikit-

sedikit/lambat 0= tidak bergerak

9. Keluasan grakan pergelangan tangan: pasien di uji dengan lengan bawah dialas. Tangan tidak di alas tetapi di lemaskan pada posisi telentang (pronasi). Pasien di diminta untuk mengangkat tangan.

8= normal (pergerakan terisolasi penuh, tidak ada penurunan kekuatan)

6= pergerakan terisolasi penuh, ada penurunan kekuatan

4= pergerakan tidak terisolasi 2= pergerakan sedikit-

sedikit/lambat 0= tidak ada pergerakan

10. Jari: pasien diminta untuk mencubit dengan ibu jari dan telunjuk untuk melawan tarikan yang lemah.

8= kekuatan seimbang 4= kekuatan berkurang pada sisi

aktif 0= Jari tidak bisa mencubit pada

sisi aktif

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 129: Dedi Damhudi.pdf

No Komponen cara pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Nilai

11. Kaki (mempertahankan posisi): pemeriksa mengangkat kaki pasien pada posisi yang aktif, dengan paha yang tegak lurus pada tempat tidur dan kaki yang lebih rendah sejajar pada tempat tidur. Pasien diminta untuk menutup mata dan mempertahankan posisi kaki selama 5 detik tanpa di alas.

4= kaki bisa diangkat tinggi dan dapat mempertahankan posisi selama 5 menit

2= kaki turun pada posisi tengah, dapat mempertahankan posisi selama 5 menit

1= kaki dapat mempertahankan posisi selama 5 menit lalu jatuh pada tempat tidur tetapi tidak secara tiba-tiba.

0= kaki jatuh tiba-tiba pada tempat tidur

12. Kaki (fleksi): pasien posisi telentang (supinasi) dengan kaki di bentangkan. Pasien diminta untuk menekuk pinggul dan lutut.

4= normal 3= bergerak melawan tahanan,

kekuatan menurun 2= bergerak melawan gravitasi. 1= bergerak perlahan 0= tidak ada gerakan

13. Dorsofleksi pada kaki: kaki pasien di bentangkan, pasien diminta untuk menekukkan punggu kaki.

8= normal (kaki dapat di bentangkan, pergerakan penuh, tidak ada penurunan kekuatan)

6= kaki dapat di bentangkan, pergerakan penuh, ada penurunan kekuatan

4= kaki dapat di bentangkan, pergerakan tidak penuh atau lutut fleksi atau kaki telentang

2= pergerakan perlahan 0= tidak ada gerakan

14. Gaya berjalan: Instruksikan pasien untuk berjalan seperti biasa dan lihat kondisi saat berjalan.

10= normal 8= gaya berjalan tidak normal

atau terbatas atau kecepatan terbatas

6= pasien dapat berjalan dengan bantuan

4= pasien dapat berjalan dengan batuan orang lain satu atau dua orang

2= pasien tidak dapat berjalan tapi dapat berdiri dengan bantuan

0= pasien tidak dapat berjalan/berdiri

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 130: Dedi Damhudi.pdf

LEMBAR KONSULTASI

Judul Penelitian : Efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam membuat

diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut di

RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Mahasiswa : Dedi Damhudi.

Jurusan: Magister Keperawatan Kekhususan Keperawatan Medikal

Bedah

NPM: 0606037153

Pembimbing I: Dewi Irawaty, MA., PhD

No. Tanggal Materi konsul

Saran dan perbaikan Paraf

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 131: Dedi Damhudi.pdf

LEMBAR KONSULTASI

Judul Penelitian : Efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam membuat

diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut di

RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Mahasiswa : Dedi Damhudi.

Jurusan: Magister Keperawatan Kekhususan Keperawatan Medikal

Bedah

NPM: 0606037153

Pembimbing II : Rr. Tutik Sri Hayati, S.Kp., MARS

No. Tanggal Materi konsul

Saran dan perbaikan Paraf

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 132: Dedi Damhudi.pdf

UNIVERSITAS INDONESIA

TESIS  

EFEKTIFITAS PENGKAJIAN METODE NIHSS DAN ESS

(FOKUS NEUROLOGI) DALAM MEMBUAT DIAGNOSA KEPERAWATAN AKTUAL PADA PASIEN STROKE BERAT FASE AKUT

DI RSUP FATMAWATI JAKARTA

Oleh :

DEDI DAMHUDI 0606037153

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2008

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008

Page 133: Dedi Damhudi.pdf

Lampiran 7

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Dedi Damhudi Tempat & Tanggal Lahir : Tekarang, 26 Februari 1976 Alamat Rumah : Perumahan Dosen Akper Singkawang.

Jl. Dr. Sutomo No.46, RT. 32/RW.13, Kelurahan Pasiran, Kecamatan Singkawang Barat, Singakwang. Kalimantan Barat. Kode Pos : 79123.

Telepon / HP : 085214422595 Email : [email protected] Asal Institusi : Poltekkes Pontianak, Jurusan Keperawatan Singkawang

Jl. Dr. Sutomo No.46, RT. 32/RW.13, Kelurahan Pasiran, Kecamatan Singkawang Barat, Singkawang.

Kalimantan Barat. Kode Pos : 79123. Telp. (0562) 631917, Fax: (0562) 638884 Riwayat Pendidikan : 1. S-2 Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah FIK-UI, Angkatan tahun 2006 2. FIK-UI Jakarta, lulus tahun 2001 4. AKTA Mengajar IV, UT Pontianak, tahun 2003

5. Akper Muhammadiaya Pontianak, lulus tahun 1998 6. SMA Negeri 1, Tebas, lulus tahun 1994 7. SMP Negeri 1 Tebas, lulus tahun 1991 8. SD Negeri 27 Tebas, lulus tahun 1988

Riwayat Pekerjaan : 1. AKPER YARSI Pontianak, 2001 – 2002

2. Poltekkes Pontianak, Jurusan Keperawatan Singkawang 2002 - sekarang

Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008