CR SN WORD
-
Upload
karimah-ihda-husna-yain -
Category
Documents
-
view
228 -
download
0
description
Transcript of CR SN WORD
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
SINDROM NEFROTIK
I. Anatomi dan Fisiologi Ginjal
Ginjal terletak di dalam ruang retroperitoneum sedikit di atas ketinggian
umbilikus dan kisaran panjang serta beratnya berturut-turut dari kira-kira 6 cm
dan 24 g pada bayi cukup bulan sampai 12 cm atau lebih dari 150 g pada orang
dewasa. Ginjal mempunyai lapisan luar, korteks yang berisi glomeruli, tubulus
kontortus proksimalis dan distalis dan dukturs koletivus, serta di lapisan dalam,
medula yang mengandung bagian-bagian tubulus yang lurus, lengkung (ansa)
Henie, vasa rekita dan duktus koligens terminal.
Pasokan darah pada setiap ginjal biasanya terdiri dari arteri renalis utama yang
keluar dari aorta ; arteri renalis multipel bukannya tidak lazim dijumpai. Arteri
renalis utama membagi menjadi medula ke batas antara korteks dan medula. Pada
daerah ini, arteri interlobaris bercabang membentuk arteri arkuata, dan
membentuk arteriole aferen glomerulus. Sel-sel otot yang terspesialisasi dalam
dinding arteriole aferen, bersama dengan sel lacis dan bagian distal tubulus
(mukula densa) yang berdekatan dengan glomerulus, membentuk aparatus
jukstaglomeruler yang mengendalikan sekresi renin. Arteriole aferen membagi
menjadi anyaman kapiler glomerulus, yang kemudian bergabung menjadi arteriole
eferen. Arteriole eferen glomerulus dekat medula (glomerulus jukstamedullaris)
lebih besar dari pada arteriole di korteks sebelah luar dan memberikan pasokan
darah (vasa rakta) ke tubulus dan medula.
Setiap ginjal mengandung sekitar satu juga neron (glomerulus dan tubulus
terkait). Pada manusia, pembentukan nefron telah sempurna pada saat lahir, tetapi
1
maturasi fungsional belum terjadi sampai di kemudian hari. Karena tidak ada
nefron baru yang dapat dibentuk sesudah lahir, hilangnya nefron secara progresif
dapat menyebabkan insufisiensi ginjal.
Anyaman kapiler glomerulus yang terspesialisasi berperan sebagai mekanisme
penyaringan ginjal. Kapiler glomerulus dilapisi oleh endotelium yang mempunyai
sitoplasma sangat tipis yang berisi banyak lubang (fenestrasi). Membrana basalis
glomerulus (BMG) membentuk lapisan berkelanjutan antara endotel dan sel
mesangium pada satu sisi dengan sel epitel pada sisi yang lain. Membran
mempunyai 3 lapisan. (1) lamina densa yang sentralnya padat-elektron, (2) lamina
rara interna, yang terletak di antara lamina densa dan sel-sel endotelian ; dan (3)
lamina rara eksterna, yang terletak di antara lamina densa dan sel-sel epitel. Sel
epitel viteviscera menutupi kapiler dan menonjolkan “tonjolan kaki” sitplasma,
yang melekat pada lamina rara eksternal. Di antara tonjolan kaki ada ruangan atau
celah filtrasi. Mesangium (sel mesangium dan matriks) teletak di antara kapiler-
kapiler glomerulus pada sisi endotel membrana basalis dan menbentuk bagian
tengah dinding kapiler. Mesangium dapat berperan sebagai struktur pendukung
pada kepiler glomerulus dan mungkin memainkan peran dalam pengaturan aliran
darah glomerulus, filtrasi dan pembangunan makromolekul (seperti kompleks
imun) dari glomerulius, melalui fagositosis intraseluler atau dengna pengakutan
melalui saluran interseluler ke daerah jukstagomerulus. Kapsula Bowman, yang
mengelilingi glomerulus, terdiri dari (1) membrana basalis, yang merupakan
kelanjutan dari membrana basalis kapiler glomerulus dan tubulus proksimalis, dan
(2) sel-sel epitel parietalis, yang merupakan kelanjutan sel-sel epitel viscera.
Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volumer dan komposisi cairan
ekstrasel dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini
dikotnrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpasi dan sekresi tubulus. Fungsi utama
ginjal mencakup, fungsi ekskresi yaitu mempertahankan osmolalitis plasma
sekitar 258 m osmol dengan mengubah-ubah ekresi air, mempertahankan pH
plasma skitar 7,4 denganmengeluarkan kelebihan H+ dan membentuk kembali
HCO3, mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein, terutama
2
urea, asam urat dan kreatinin dan fungsi Non-ekskresi yaitu menghasilkan renin-
penting untuk pengaturan tekanan darah, menghasilkan eritropoietin-faktor
penting dalam stimulasi produk sel darah merah oleh sumsum tulang,
metabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
Gambar 1. Anatomi Ginjal
II. Definisi
Sindrom nefrotik adalah sekumpulan gejala, yang bercirikan hilangnya protein
(albumin) melalui ginjal (urin) dalam jumlah cukup banyak, yang berhubungan
dengan disfungsi ginjal. Penyakit ini mudah dikenali dengan adanya berbagai
macam gejala klinis yang terdiri dari (1). proteinuria massif (>3,5 g/ 1,73 m2/ 24
jam pada orang dewasa atau 40 mg/m²/jam pada anak-anak), (2).
hipoalbuminemia (<3 g/dl), (3). edema (penumpukan cairan dalam jaringan di
seluruh badan), dan (4). hiperlipidemia (>250 mg/dl). Adakalanya diikuti dengan
gejala lain seperti lipiduria, hiperkoagubilitas, hematuri, hipertensi, atau
menurunnya fungsi ginjal.
III. Etiologi
Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder
akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue
disease), obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik seperti tercantum pada
tabel dibawah.
3
Tabel Klasifikasi dan Penyebab Sindroma Nefrotik:
I. Glomerulonefritis primer:
- GN lesi minimal (GNLM)
- Glomerulosklerosis fokal (GSF)
- GN membranosa (GNMN)
- Gn membranoproliferatif (GNMP)
- GN proliferative lain
II. Glomerulonefritis sekunder akibat:
Infeksi
- HIV, hepatitis virus B dan C
- Sifilis, malaria, skistosoma
- Tuberkulosis, lepra
Keganasan
Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma
Hodgkin, myeloma multiple, dan karsinoma ginjal.
Penyakit jaringan penghubung
Lupus eritematosus sistemik, arthritis rheumatoid,
MCTD (mixed connective tissue disease)
Efek obat dan toksin
Obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas,
penisilamin, probenesid, air raksa, kaptopril, heroin.
Lain-lain :
Diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklamsia, rejeksi
alograf kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah
Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab sindroma nefrotik
yang paling sering. Dalam kelompok glomerulonefritis primer, glomerulonefritis
lesi minimal (GNLM), glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS),
glomerulonefritis membranosa (GNMN), dan glomerulonefritis
membranoproliferatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang sering
ditemukan. Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai misalnya pada
4
glomerulonefrotis pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat
obat misalnya obat anti inflamasi nonsteroid atau preparat emas organik, dan
akibat penyakit sistemik misalnya pada lupus eritematosus sistemik dan diabetes
mellitus.
IV. Patofisiologi
Proteinuria
Proteinuria umunya diterima kelainan utama pada SN, sedangkan gejala klinis
lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder. Proteinuria dinyatakan “berat”
untuk membedakan dengan proteinuria yang lebih ringan pada pasien yang bukan
sindrom nefrotik. Eksresi protein sama atau lebih besar dari 40 mg/jam/m2 luas
permukaan badan, dianggap proteinuria berat.
Selektivitas protein
Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi bergantung pada
kelainan dasar glomerulus. Pada SNKM protein yang keluar hampir seluruhnya
terdiri atas albimin dan disebut sebagai proteinuria selektif. Derajat selektivitas
proteinuria dapat ditetapkan secara sederhana dengan membagi rasio IgG urin
terhadap plasma (BM 150.000) dengan rasio urin plasma transferin (BM 88.000).
Rasio yang kurang dari 0.2 menunjukkan adanya proteinuria selektif. Pasien SN
dengan rasio rendah umumnya berkaitan dengan KM dan responsif terhadap
steroid. Namun karena selektivitas protein pada SN sangat bervariasi maka agak
sulit untuk membedakan jenis KM dan BKM (Bukan kelainan minimal) dengan
pemeriksaan ini dianggap tidak efisien.
Perubahan pada filter kapiler glomerulus
Umumnya karakteristik perubahan permeabilitas membran basal bergantung pada
tipe kelainan glomerulus pada SN. Pada SNKM terdapat penurunan klirens
protein netral dengan semua berat molekul, namun terdapat peningkatan klirens
protein bermuatan negatif seperti albumin. Keadaan ini menunjukkan bahwa di
5
samping hilangnya sawar muatan negatif juga terdapat perubahan pada sawar
ukuran celah pori atau kelainan pada kedua-duanya.
Proteoglikan sulfat heparan yang menimbulkan muatan negatif pada lamina rara
interna dan eksterna merupakan sawar utama penghambat keluarnya molekul
muatan negatif, seperti albumin. Dihilangkannya proteoglikan sulfat heparan
dengan hepartinase mengakibatkan timbulnya albuminaria.
Di samping itu sialoprotein glomerulus yaitu polianion yang terdapat pada
tonjolan kaki sel epitel, tampaknya berperan sebagai muatan negatif di daerah ini
yang penting untuk mengatur sel viseral epitel dan pemisahan tonjolan-tonjolan
kaki sel epitel. Suatu protein dengan berat molekul 140.000 dalton, yang disebut
podocalyxin rupanya mengandung asam sialat ditemukan terbanyak kelainan pada
model eksperimenal nefrosisis aminonkleosid. Pada SNKM, kandungan
sialoprotein kembali normal sebagai respons pengobatan steroid yang
menyebabkan hilangnya proteinuria.
Hipoalbuminemia
Jumlah albumin di dalam ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar dan
pengeluaran akibat degradasi metabolik, eksresi renal dan gastrointestinal. Dalam
keadaan seimbang, laju sintesis albumin, degradasi ini hilangnya dari badan
adalah seimbang. Pada anak dengan SN terdapat hubungan terbalik antara laju
sekresi protein urin dan derajat hipoalbuminemia. Namun keadaan ini tidak
responsif steroid, albumin serumnya dapat kembali normal atau hampri normal
dengan atau tanpa perubahan pada laju ekskresi protein. Laju sintesis albumin
pada SN dalam keadaan seimbang ternyata tidak menurun, bahkan meningkat atau
normal.
Jumlah albumin absolut yang didegradasi masih normal atau di bawah normal,
walaupun apabila dinyatakan terhadap pool albumin intravaskular secara relatif,
maka katabolisme pool fraksional yang menurun ini sebetulnya meningkat.
Meningkatnya katabolisme albumin di tubulus renal dan menurunnya katabolisme
6
ekstrarenal dapat menyebabkan keadaan laju katabolisme absolut yang normal
albumin plasma yang rendah tampaknya disebabkan oleh meningkatnya eksresi
albumin dalam urin dan meningkatnya katabolisme fraksi pool albumin (terutama
disebabkan karena meningkatnya degradasi di dalam tubulus renal) yang
melampaui daya sintesis hati. Gangguan protein lainnya di dalam plasma adalah
menurunnya - 1 globulin, (normal atau rendah), dan - 2-globulin, B globulin
dna figrinogen meningkat secara relatif atau absolut. Meningkatnya - 2 globulin
disebabkan oleh retensi selektif protein berberat molekul tinggi oleh ginjal dengan
adanya laju sintesis yang normal. Pada beberapa pasien, terutama mereka dengan
SNKM, IgM dapat meningkat dan IgG menurun.
Kelainan metabolisme lipid
Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia dan kenaikan ini tampak lebih
nyata pada pasien dengan KM. Umumnya terdapat korelasi tebalik antara
konsentrasi albumin serum dan kolesterol. Kadar trigliserid lebih bervariasi dan
bahkan dapat normal pada pasien dengan hipoalbuminemia ringan. Pada pasien
dengan analbuminemia kongenital dapat juga timbul hiperlipidemia yang
menunjukkan bahwa kelainan lipid ini tidak hanya disebabkan oleh penyakti
ginjalnya sendiri. Pada pasien SN konsentrasi lipoprotein densitas sangat rendah
(VLDL) dan lipoprotien densitas rendah (LDL) meningkat, dan kadang-kadang
sangat mencolok. Lipoprotein densitas tinggi (HDL) umumnya normal atau
meningkat pada anak-anak dengan SN walaupun rasio kolesterol-HDL terhadap
kolesterol total tetap rendah. Seperti pada hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat
disebabkan oleh sintesis yang meningkat atau karena degradasi yang menurun.
Bukti menunjukkan bahwa keduanya abnormal. Meningkatnya produksi
lipoprotein di hati, diikuti dengan meningkatnya sintesis albumin dan sekudner
terhadap lipoprotein, melalui jalur yang berdekatan. Namun meningkatnya kadar
lipid dapat pula terjadi pada laju sintesis albumin yang normal. Menurunnya
aktivitas ini mungkin sekunder akibat hilangnya -glikoprotein asam sebagai
perangsang lipase. Apabila albumin serum kembali normal, baik secara spontan
ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kelainan lipid ini
menjadi normal kembali. Gejala ini mungkin akibat tekanan onkotik albumin
7
serumnya, karena ofek yang sama dapat ditimbulkan dengan pemberian infus
pilivinilpirolidon tanpa mengubah keadaan hipoalbuminemianya. Pada beberapa
pasien, HDL tetap meningkat walaupun terjadi remisi pada SN-nya pada pasien
lain VLDL dan LDL tetap meningkat pada SN relaps frekuensi yang menetap
bahkan selama remisi. Lipid dapt juga ditemukan di dalam urin dalam bentuk titik
lemak oval dan maltase cross. Titik lemak itu merupakan tetesan lipid di dalam
sel tubulus yang berdegenerasi. Maltese cross tersebut adalah ester kolesterol
yang berbentuk bulat dengan palang di tengah apbila dilihat dengan cahaya
polarisal.
Edema
Ada 2 hipotesis yang menjelaskan terjadinya retensi natrium dan edema pada
sindrom nefrotik
1. Hipotesis Underfill
Teori klasik mengenai pembentukan edema ini (underfilled theory) adalah
menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan cairan merembes
ke ruang interstitial. Dengan meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus,
albumin keluar menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia.
Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan onkotik koloid plasma
intravaskular. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan transudat melewati
dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstitial yang menyebabkan
terbentuknya edema.
8
Sebagai akibat pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri
dalam peredaran menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif.
Menurunnya volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi
timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai
usaha badan untuk menjaga volume dan tekanan intravaskular agar tetap normal
dan dapat dianggap sebagai peristiwa kompensasi sekunder. Retensi cairan, yang
secara terus-menerus menjaga volume plasma, selanjutnya akan mengencerkan
protein plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma dan
akhirnya mempercepat gerak cairan masuk ke ruang interstitial. Keadaan ini jelas
memperberat edema sampai terdapat keseimbangan hingga edema stabil.
Dengan teori underfilled ini diduga terjadi kenaikan kadar renin plasma dan
aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia. Hal ini tidak ditemukan pada
semua pasien dengan SN.
2. Hipotesis Overfill
Pada hipotesis ini mekanisme utamanya adalah defek pada tubulus primer di
ginjal (intrarenal). Di tubulus distal terjadi retensi natrium (primer) dengan akibat
terjadi hipervolemia dan edema. Jadi edema terjadi akibat overfilling cairan ke
9
jaringan interstitial. Pada hipotesis ini karena terjadi hipervolemia, sistem RAA
atau aldosteron akan menurun. Demikian pula ADH tetapi kadar ANP meningkat
karena tubulus resisten terhadap ANP. Akibatnya retensi Na tetap berlangsung
sehingga terjadi edema.
2 bentuk patofisiologi SN, yaitu tipe nefrotik dan tipe nefritik.Kelompok pertama
(underfill) disebut juga tipe nefrotik dan yang paling sering terjadi pada SN
kelainan minimal (minimal change nephrotic syndrome = MCNS). Tipe nefrotik
ditandai dengan volume plasma rendah dan vasokonstriksi perifer dengan kadar
renin plasma dan aldosteron yang tinggi. Laju filtrasi glomerulus (LFG) masih
baik dengan kadar albumin yang rendah. Kelompok ke dua (overfill) disebut tipe
nefritis biasanya di jumpai pada SN bukan kelainan minimal (BKM) atau
glomerulonefritis kronik. SN bukan kelainan minimal pada dasarnya memang
suatu glomerulonefritis kronik. Selain adanya hipervolemia juga sering di jumpai
hipertensi, kadar renin dan aldosteron rendah atau normal dan ANP tinggi.
Pembentukan edema pada SN merupakan suatu proses yang dinamis dan mungkin
saja kedua proses tersebut berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada
individu yang sama, karena patogenesis penyakit gromerulus mungkin satu
kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.
V. Manisfestasi klinis
a. Edema
Walaupun proteinuria kambuh pada hampir 2/3 kasus, kambuhnya edema
dapat dicegah pada umumnya dengan pengobatan segera. Namun edema persisten
dengan komplikasi yang menggangu merupakan masalah klinik utama bagi
mereka yang menjadi non responden dan pada mereka yang edemanya tidak
dapat segera diatasi. Edema umumnya terlihat pada kedua kelopak mata. Edema
minimal terlihat oleh orangtua atau anak yang besar sebelum kedokter melihat
pasien untuk pertama kali dan memastikan kelainan ini. Edema dapat menetap
atau bertabah, baik lambat atau cepat atau dapat menghilangkan dan timbul
10
kembali. Selama periode ini edema periorbital sering disebabkan oleh cuaca
dingin atau alergi. Lambat laun edema menjadi menyeluruh, yaitu ke pinggang,
perut dan tungkai bawah sehingga penyakit yang sebenarnya menjadi tambah
nyata. Edema berpindah dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas dalam
posisi berdiri. Kadang-kadang pada edema yang masif terjadi robekan pada kulit
secara spontan dengan keluarnya cairan. Pada keadaan ini, edema telah mengenai
semua jaringan dan menimbulkan asites, pembengkakan skrotum atau labia,
bahkan efusi plerura. Muka dan tungkai pada pasien ini mungkin bebas dari
edema dan memperlihatkan jaringan seperti malnustrisi sebagai tanda adanya
edema menyeluruh sebelumnya.
b. Gangguan gastrointestinal
Gangguan ini sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN. Diare sering
dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan ini rupanya tidak
berkaitan dengan infeksi namun diduga penyebabnya adalah edema submukosa di
mukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin
disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada
beberapa pasien, nyeri di perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada
keadaan SN yang kambuh. Kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis
harus disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksan lainnya. Bila
komplikasi ini tidak ada, kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui namun
dapat disebabkan karena edema dinding perut atau pembengkakan hati. Kadang
nyeri dirasakan terbatas pada daerah kuadran atas kanan abdomen. Nafsu makan
kurang berhubungan erat dengan beratnya edema yang diduga sebagai akibatnya.
Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan malnutrisi berat
yang kadang ditemukan pada pasien SN non-responsif steroid dan persisten. Pada
keadaan asites terjadi hernia umbilikalis dan prolaps ani.
Gangguan pernapasan
Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pelura maka
pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini
dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan obat furosemid.
11
Gangguan fungsi psikososial
Keadaan ini sering ditemukan pada pasien SN, seperti halnya pada penyakit
berat umumnya yang merupakan stres nonspesifik .Perasaan-perasaan ini
memerlukan diskusi, penjelasan dan kepastian untuk mengatasinya.
VI. Diagnosis
Diagnosis SN dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
laboratoriumberupa proteinuri masif (> 3,5 g/1,73 m2luas permukaan tubuh/hari),
hipoalbuminemi (<3 g/dl) karena protein vital ini dibuang melalui urin dan
pembentukannya terganggu, edema (kadar natrium dalam urin rendah dan kadar
kalium dalam urin tinggi), hiperlipidemi, lipiduri dan hiperkoagulabilitas.
Pemeriksaan tambahan seperti venografi diperlukan untuk menegakkan diagnosis
trombosis vena yang dapat terjadi akibat hiperkoagulabilitas. Pada SN primer
untuk menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal yang menentukan prognosis
dan respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal.
VII.Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid
Pengobatan baku kortikosteroid adalah prednison atau prenisolon
dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kgBB) setiap hari selama 4 minggu,
dilanjutkan denan 40 mg/m2/hari secara intermiten (3 hari dalam 1 minggu) atau
dosis alternating (selang sehari) selama 4 minggu. Bila terjadi kambuh setelah
pengobatan dihentikan, maka pengobatan diulang dengan cara buku yaitu dosis
penuh tiap hari sampel terjadi remisi dan dilanjutkan dengan 4 minggu dosis
intermiten atau selang sehari. Dengan memperpanjang pemberian prednison
tersebut diharapkan akan mengurangi terjadinya kambuh sering, tanpa menambah
risiko efek samping steroid.
2. Sitostatika
Penggunaan obat sitostatika telah dilaporkan oleh beberapa peneliti dan
dapat memperpanjang remisi, bahkan pada beberapa penderita menimbulkan
12
remisi permanen. Siklosfosfamid dan klorambusil merupakan obat yang banyak
dipakai dengan efek yang hampir sama.
a. Siklofosfamid
Siklofosfamid diberikan dengan dosis 2-3 mg/kgBB selama 8
minggu dilaporkan efektif dalam mengurangi jumlah kambuh pada SNP-KS.
Sekitar 60% kasus yang diberi siklofosfamid tetap remisi selama 2 tahun setelah
obat dihendikan dan 40% kasus tetap remisi selama 5 tahun.
b. Klorambusil
Klorombusil mempunyai efek sama dengan siklofosfamid dalam
memperpanjang masa remisi SNP-KS dan SNP-DS. Studi kolaboratif Jerman
mendaptkan remisi 87% kasus selama 30 bulan pada penderita kambuh sering.
3. Siklosporin A
Siklosporin A (Si A) adalah suatu imunosupresan yang banyak
digunakan pada transplantasi ginjal, merupakan obat alternatif lain di samping
steroid. SiA besifat menghambatr generasi dan aktival sel T sitotoksik. Akhir-
akhir ini SiA dicoba pada SNP-KS dan resisten steroid. Pada kasus SNP-KS dan
SNP-DS. Tejani dkk melaporkan 11 dari 13 kasus mengalami remisi dengan
pemberian SiA selam 8 minggu. Niaudet dkk memberikan SiA 2-8 bulan, 80%
dilaporkan mengalami remisi. Namun bila obat dihentikan akan terjadi
kekambuhan kembali, sehingga dikatakan obat ini menimbulkan efek dependen
SiA. Pada kasus SNP-RS pemberian SiA tidak memberiakn hasil memuaskan.
Dosis yang dipakai adalah 5 mg/kgBB/hari, disesuaikan dengan kadar SiA darah
200-400 /ml. Obat ini dapat menimbulkan nefritis interstisialis sehingga pada
pemberian jangka panjang perlu dilakukan pemantauan denan biopsi ginjal.
karena obat ini mahal harganya dan hasilnya kurang memuaskan, pemakaian obat
ini pada kasus SN belum dapat diterima sebagai pengobatan alternatif. Jika SiA
akan dipakai sebaiknya untuk kasus yang sudah tidak mempan dengan obat
sitostatika lainnya.
13
4. Levamisol
Levamisol adalah suatu anti hemintik yang ternyata mempunyai efek
imunologis menstimuloasi sel T. sesuai dengan teori Shalhoub pada sindrom
nefrotik ditemukan adanya gangguan fungsi sel T. akhir-akhir perhatian pada
levamisol muncul kembali dengan waktu pemberian yang lebih lama.
Perhimpunan Nefrologi Pediatri Inggris melakukan uji klinis dengan kontrol pada
kasus SNP-DS dan melaporkan bahwa levamisol dapat memperpanjang masa
remisi. Efek samping yang dilaporkan hanya sedikit dan sebagaian besar penderita
adalah SNP-KM. Dosis yang dipakai adalah 2-3 hari (+ 4 bulan) pada 61 kasus
SNP-DS. Pada kasus yang diberi levamisol, 14 orang anak tetap dalam remisi
sedangkan pada yang tidak diberi levamisol hanya 4 orang anak yang tetap remisi.
Efek samping yang dapat ditemukan adalah gejala gastrointestinal, mual dan
muntah, serta agranulositosis yang bersifat reversibel apabila obat dihentikan.
VIII. Komplikasi
1. Infeksi
Infeksi terjadi karena terjadinya penurunan mekanisme pertahanan
tubuh yaitu gama globulin serum, penurunan konsetnrasi IgG, abnormalitas
komplemen, penurunan konsentrasi transferin dan seng, serta pungsi lekosit yang
berkurang. Infeksi yang serign terjadi berupa pertonitis primer, selulitas infeksi
saluran kemih, bronkpneumonia dan infeksi virus.
2. Tromboemboli dan gangguan koagulasi
Pada penderita SN terjadi hiperkoagulasi dan dapat menimbulkan
tromboemboli baik pada pembuluh darah vena maupun arteri. Keadaan ini
disebabkan oleh faktor-faktor :
perubahan zymogen dan kofaktor dalam hal ini penignkatan faktor
V, faktor X, faktor VII, Fibrinogen dan faktor von Willebrand.
perubahan fungsi platelet karena hipoalbuminemai, hiperlipodemia
perubahan fungsi sel endotelial karena perubahan sirkulasi lipid
Peran obat kortikosteroid : yakni meningkatkan konsentrasi Fc. VIII
dan memperpendek Protrombin time dan PTT Namun dalam dosisi
14
besar kostikosteroid akan menignkatkan AT III dan mencegah agregasi
trombost.
Diuretik akan menurunkan voluem plasma sehingga meninggikan
angka hematokrit dengan demikian viskositas darah dan konsentrasi
fibrinogen akan meningkat.
3. Perubahan metabolisme lemak, karbohidrat dan protein
Pada penderita SN terjadi peningkatan total kolesterol, LDL dan VLDL
seta apolipoprotein di dalam plasma sementara HDL dapt normal atau turun
khususnya HDL 2. Hiperlipidemia ini berlangsung lama dan tidak terkontrol dapat
mempercepat proses aterosklerosis pembuluh darah koroner. Aorta dan arteria
renalis. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penyakti jantung eskemik ataupun
trombosis arteri Renalis.
Tidak sepeti pada lemak, penelitian mengenai perubahan metabolisme karbohidrat
belum komprehensif. Namun telah diketahui pada hati yang mensintesis protein
lebih besar akan meningkatkan ptikogenolisis, selain itu didapatkan penignkatan
ambang vespin terhadap insulin dan glukosa. Hal ini dapat terjadi
hipoalbuminemia pada keadaan malnutrisi kronik. Sejumlah protein plasma yang
penting pada transport besi, hormon dan obat-obatan, karena molekulnya kacil,
dengan mudah keluar melalui urin, kehilangan zat-zat tersebut akan
mengakibatkan hal-hal sebagai berikut :
Transferin ion yang menurun menyebabkan anemia
Penurunan seruloplasmin belum dilaporkan akibat klinisnya
Berkurangnya albumin pengikat seng dan besi menyebabkan hipogensia
dan penurunan sel-sel imunitas.
Berhubungan protein pengikat vitamin D akan mempengaruhi
metabolisme kalsium sehingga terjadi osteomalasia dan hiper paratiroid.
Berkurangnya protein pengikat kostisol menyebabkan dibutuhkannay dosis
lebih besar terhadap kortikosteroid.
15
Kehilangan sejumlah besar protein ini akan menyebabkan penderita jatuh dalam
keadaan malnutrisi. Karena itu dilanjutkan diet tinggi protein diberikan 2-3 5
gram/kg/24 jam untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen. Diet rendha
protein, meski dapat mengurangi proteinuria dalam jangka penek mempunyai
risiko kesimbangan negatif di masa mendatang.
4. Gagal Ginjal Akut (GGA)
Komplikasi ini mekanismenya belum jelas. Namun banyak ditemukan
pada penderita SN dengan lesi minimal dan gromerulosklerosis fokal.
diperkirakan akibat hipovelemia dan penurunan perfusi ke ginjal. akibat dari GG
pada penderita SN cukup serius. 18% meninggal. 20% dapt bertahan tapi tidak
ada perbaikan fungsi ginjal dan memerlukan dialisis.
IX. PROGNOSIS
Prognosis sindroma nefrotik tergantung dari beberapa factor antara lain umur,
jenis kelamin, penyulit pada saat pengobatan dan kelainan histopatologi ginjal.
prognosis pada umur muda lebih baik daripada umur lebih tua, pada wanita lebih
baik daripada laki-laki. Makin dini terdapat penyulitnya, biasanya prognosisnya
lebih buruk. Kelainan minimal mempunyai respons terahdap kortikosteroid lebih
baik dibandingkan dengan lesi dan mempunyai prognosis paling buruk pada
glomerulonefritis proliferatif. Sebab kematian pada sindroma nefrotik
berhubungan dengan gagal ginjal kronis disertai sindroma uremia, infeksi
sekunder (misalnya pneumonia).
16
BAB I
LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN
IDENTIFIKASI PASIEN
Nama Lengkap : Ny Yeni Triasih
Jenis Kelamin : Perempuan
Tgl.Lahir/Umur : 21-08-1988 / 27 tahun
Suku Bangsa : Jawa
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Punduh Pidada, Pesawaran
ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis
Tanggal : 23 November 2015
Waktu : 11.53 WIB
Keluhan Utama : Perut membesar
Keluhan Tambahan : Kaki bengkak, Urin sedikit
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien Perempuan, usia 27 tahun datang dengan keluhat perut membesar sejak 1
bulan SMRS. Perutnya dirasakan semakin hari semakin membesar dan bertambah
tegang. Pada awalnya pasien mengalami bengkak pada kedua kaki diikuti dengan
perut yang membesar. Bengkak tidak disertai rasa nyeri. Tidak ada mual dan
muntah. Riwayat demam tidak ada sebelumnya. Buang air kecil berwarna kuning
pekat dan volume berkurang sejak + 2 minggu lalu. Urine berwarna merah
17
disangkal. Buang air besar pasien lancar dengan konsistensi cair dengan warna
kekuningan. Nafsu makan pasien baik.
Pada sekitar 3 tahun yang lalu pasien mengalami keluhan berupa kulit wajah yang
mengelupas dan kemerahan dan oleh dokter yang memeriksa dikatakan menderita
lupus. Sejak saat itu pasien rutin berobat ke dokter Spesialis Penyakit Dalam dan
rutin meminum obat lupus. Sekarang keluhan lupus yang pernah diderita tidak ada
lagi. Semenjak memderita lupus pasien juga mengalami darah tinggi dan rutin
minum obat.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat kista pada rahim pada sekitar 5 tahun lalu dan dikatakan sembuh dengan
obat-obatan.
Riwayat Penyakit Keluarga
Dari riwayat penyakit dalam keluarga, tidak ada keluarga yang memiliki keluhan
yang sama seperti pasien.
Berat Badan
Berat badan rata-rata (kg) : 38 kg
Berat badan sekarang (kg) : 40 kg
Riwayat Makanan
Frekuensi /hari : 2-3 kali/hari
Jumlah /hari : 3 piring sehari dengan porsi sedikit
Variasi /hari : bervariasi
Nafsu makan : Menurun sejak sakit
18
Pendidikan
( ) SD ( V ) SLTP ( ) SLTA ( ) Sekolah Kejuruan
( ) Akademi ( ) Kursus ( ) Tidak Sekolah
PEMERIKSAAN JASMANI (Tanggal 16 Oktober 2015)
Pemeriksaan Umum
Tinggi badan : 147 cm
Berat badan : 40 kg
Tekanan darah : 160/120 mmHg
Nadi : 100 x/menit, tegangan dan isi cukup
Pernapasan (frek.& tipe) : 24 x/menit
Suhu : 36,80C
Keadaan gizi : normal (IMT = 18,51)
Kesadaran : Compos Mentis
Sianosis : -
Edema umum : -
Cara berjalan : Normal
Mobilitas (aktif/pasif) : pasif
ASPEK KEJIWAAN
Tingkah laku : Wajar
Alam perasaan : Biasa
Proses berpikir : Wajar
KULIT
Warna : Asianosis, sawo matang
Pertumbuhan rambut : warna hitam, tidak mudah rontok
Pembuluh darah : tidak terlihat
Suhu raba : afebris
Lembab/kering : kering
Turgor : baik
19
Ikterus : Tidak
Lapisan lemak : Cukup
Edema : Ekstremitas inferior
KELENJAR GETAH BENING
Tidak teraba pembesaran
KEPALA
Ekspresi wajah : wajar
Permukaan wajah : normal
Simetri muka : simetris
Rambut : hitam
MATA
Exopthalmus : -
Enophtalmus : -
Kelopak : normal
Lensa : jernih
Konjungtiva : anemis +/+
Sklera : ikterik -/-
TELINGA
Normal
MULUT
Gigi geligi dan gusi : tidak ada caries
Faring : tidak hiperemis
Lidah : tidak kotor
LEHER
Tekanan Vena Jungularis (JVP) : 5+2 cm H20 (Normal)
20
Kelenjar tiroid : tidak teraba pembesaran
Kelenjar limfe : tidak teraba pembesaran
DADA
Bentuk : simetris
Pembuluh darah : normal
Buah dada : normal
PARU-PARU DEPAN
Inspeksi Simetris
Palpasi Fremitus taktil dan vokal kiri > kanan
Perkusi Kiri : Sonor
Kanan : Sonor
Auskultasi Kiri : vesikuler (+), wheezing (-), Ronkhi (-)
Kanan : vesikuler ( + ), wheezing (-), Ronkhi (-)
BELAKANG
Inspeksi Simetris
Palpasi Fremitus Simetris
Perkusi Kiri : Sonor
Kanan : Sonor
Auskultasi Kiri : vesikuler (+), wheezing (-), Ronkhi (-)
Kanan : vesikuler ( + ), wheezing (-), Ronkhi (-)
JANTUNG
Inspeksi : ictus cordis terlihat di linea midclavicula sinistra ICS 5
Palpasi : ictus cordis teraba di linea midclavicula sinistra ICS 5
Perkusi
Batas pinggang jantung : linea parasternal sinistra ICS 3
Batas kanan jantung : linea parasternal dextra ICS 5
Batas kiri jantung : linea midclavicula sinistra ICS 5
Auskultasi : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
21
ABDOMEN
Inspeksi : cembung
Palpasi
Dinding perut : Tegang
Hati : Tidak Teraba
Limpa : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement (-), nyeri cva (-)
Perkusi : Redup, Shifting Dullnes (+), Fluid Wave (+)
Auskultasi : bising usus (+) normal (7 kali/ menit)
ALAT KELAMIN (tidak ada indikasi)
ANGGOTA GERAK
Lengan Kanan Kiri
Otot tidak ada kelainan tidak ada kelainan
Tonus : normal normal
Massa : tidak teraba tidak teraba
Sendi : normal, nyeri (-) normal, nyeri (-)
Gerakan : normal normal
Tungkai dan Kaki
Luka : tidak ditemukan
Varises : (-)
Otot (tonus dan massa) : normotonus
Sendi : nyeri sendi (-)
Gerakan : aktif
Edema : (+) / (+)
REFLEKS
Tidak ada kelainan
22
LABORATORIUM
Darah Lengkap (20/11/2015)
Pemeriksaan Hasil Normal
Hb6,8 g/dl 12-16 g/dl
Ht21 vol% 37-47 vol%
Leukosit 7.000/mm3 4800-10.800/mm3
Trombosit 244.000/ mm3 150.000-400.000/ mm3
LED 50 mm/jam 0-15 mm/jam
Basofil 0% 0-1 %
Eosinofil 0% 2-4%
Batang 0% 3-5%
Segmen 57% 50-70%
Limfosit 35% 25-40%
Monosit 8% 2-8%
Kimia Darah (20/11/2015)
Pemeriksaan Hasil Normal
SGOT 16 < 31 U/L
SGPT 8 < 31 U/L
Protein Total 4,8 6,4 – 8,3 g/dl
Albumin 2,5 3,5 – 5,2 g/dl
23
Gula Darah Nacture 122 < 110
Ureum 174 mg/dl 13 - 43 mg/dl
Creatinin 16,50 mg dl0,6 - 1,0 mg/dl
Kolesterol Total 365 128 – 222 mg/dl
HDL 39 37 – 83 mg/dl
LDL 210 71 – 164 mg/dl
Trigliserida 579 37 – 144 mg/dl
Asam Urat 21,0 2,6 – 6,0 mg/dl
RINGKASAN
Pasien Perempuan bernama Ny Y T, usia 27 tahun datang dengan keluhat perut
membesar sejak 1 bulan SMRS. Perutnya dirasakan semakin hari semakin
membesar dan bertambah tegang. Pada awalnya pasien mengalami bengkak pada
kedua kaki diikuti dengan perut yang membesar. Bengkak tidak disertai rasa
nyeri. Tidak ada mual dan muntah. Riwayat demam tidak ada sebelumnya. Buang
air kecil berwarna kuning pekat dan volume berkurang sejak + 2 minggu lalu.
Urine berwarna merah disangkal. Buang air besar pasien lancar dengan
konsistensi cair dengan warna kekuningan. Nafsu makan pasien baik.
Pada sekitar 3 tahun yang lalu pasien mengalami keluhan berupa kulit wajah yang
mengelupas dan kemerahan dan oleh dokter yang memeriksa dikatakan menderita
lupus. Sejak saat itu pasien rutin berobat ke dokter Spesialis Penyakit Dalam dan
rutin meminum obat lupus. Sekarang keluhan lupus yang pernah diderita tidak ada
lagi. Semenjak memderita lupus pasien juga mengalami darah tinggi dan rutin
minum obat.
24
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit
sedang, keadaan compos mentis. Tekanan darah pasien 160/120 mmHg, nadi 100
x/menit, pernafasan 24 x/menit. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan inspeksi
cembung, palpasi tegang, perkusi redup, Shifting Dullness (+), Fluid Wave (+),
Hepar lien tidak teraba, bising usus normal.
Dari pemeriksaan laboratorium ditemukan Hb 6,8 g/dl, Protein total 4,8 g/dl,
Albumin 2,5 g/dl, ureum 174 mg/dl, creatinine 16, 50 mg/dl , Kolesterol Total 365
mg/dl, LDL 210 mg/dl, Trigeliserida 579 mg/dl, Asam urat 21,0 mg/dl.
DIAGNOSIS
Sindroma Nefrotik e.c Lupus Eritematosus Sistemik
DIAGNOSIS BANDING
Nefritis Lupus
Gagal Ginjal Akut
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Biopsi Renal
Rontgen Thoraks
Pemeriksaan Serologi, anti dsDNA
PENATALAKSANAAN
Non Farmakologi
Tirah baring
Pasang Kateter
Diit dengan :
Energi cukup (35 kkal/KgBB/hari) ; ±1400 kkal/hari
Protein sedang 1 gr/KgBB/hari ; ± 40 gram/hari
Lemak sedang 15 – 29 % dari kebutuhan energi total
Natrium dibatasi ± 1 – 3 gram/hari
25
Intake cairan dibatasi ± 600cc/hari
Farmakologi
Tranfusi PRC 600 cc
Infus NaCl VIII gtt/m
Injeksi Furosemide 2 Ampul / 12 Jam
Bicnat tablet 3x1
Asam Folat tablet 3x1
Amlodipin 10 mg tablet 1x1
Simvastatin 20mg tablet 1x1
26
FOLLOW UP
Hari/Tanggal Keluhan Status Present Penatalaksanaan
,21 November
2015
- Perut terasa begah- Perut membesar- BAK sedikit
KU : tampak sakit sedang Kes : CM
Vital sign Nadi : 145xRR : 68xT : 36,7ºcTD : 220/130
Pem.FisikKonjungtiva Anemis +/+Abdomen: cembung,tegang, shifting dullness (+) , Fluid Wave (+), bising usus (+)
Hasil Lab: Hb 6,8 g/dl Protein total 4,8
g/dl, Albumin 2,5 g/dl, ureum 174 mg/dl, creatinine 16, 50
mg/dl, Kolesterol Total
365 mg/dl, LDL 210 mg/dl, Trigeliserida 579
mg/dl, Asam urat 21,0
mg/dl.
Diit dengan : Energi cukup (35
kkal/KgBB/hari) ; ±1400 kkal/hari
Protein sedang 1 gr/KgBB/hari ; ± 40 gram/hari
Lemak sedang 15 – 29 % dari kebutuhan energi total
Natrium dibatasi ± 1 – 3 gram/hari
Intake cairan dibatasi ± 600cc/hari
Tranfusi PRC 600 cc
Infus NaCl VIII gtt/m
Injeksi Furosemide 2 Ampul / 12 Jam
Bicnat tablet 3x1 Asam Folat tablet
3x1 Amlodipin 10 mg
tablet 1x1 Simvastatin 20mg tablet 1x1
27
3 November 2015
- Perut Membesar-BAK sedikit
KU : Tampak sakit sedangKes : CM
Vital sign TD :130/70mmhgNadi : 96xRR : 20xT : 36,3ºc
Pem.FisikKonjungtiva Anemis +/+Abdomen: cembung,tegang, shifting dullness (+) , Fluid Wave (+), bising usus (+) (+) ,bising usus (+)
- Diet hari ke II - Injeksi
Furosemide 2 Ampul / 6 Jam
Metil Prednisolone 8 mg 3x2
Omeprazole 20 mg tablet 2x1 AC
Asam Folat tablet 3x1
Micardis 80 mg tablet 0-0-1
Simvastatin 20mg tablet 1x1
Allopurinol 100mg tablet 2x1
28
BAB III
ANALISIS KASUS
Telah dilaporkan sebuah kasus seorang wanita berumur 27 tahun 10 bulan
dengan diagnosis kerja sindroma nefrotik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan perut membesar, kaki bengkak
dan BAK sedikit. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang dilakukan maka diagnosis pasien ini adalah sindroma nefrotik
dengan penyebab utamanya dipikirkan oleh karena glomerulonefritis sekunder et
causa sistemik lupus eritematosus yang diderita pasien ±3 tahun yang lalu.
Dari hasil anamnesis diketahui bahwa edema dimulai dari wajah, terutama
pada edema palpebra, ekstremitas bawah kemudian edema menjadi menyeluruh,
yaitu ke perut dan ekstremitas bawah. Patofisiologi terjadinya edema pada
sindroma nefrotik adalah diawali dengan terjadinya reaksi antigen-antibodi pada
glomerulus yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas membrane basalis
glomerulus sehingga terjadinya proteinuria massif dan hipoalbuminemia.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan Keadaan umum : tampak sakit sedang,
Kesadaran : compos mentis, Tekanan Darah : 160 / 120 mmhg, Frekuensi denyut
nadi : 100 x /menit, Frekuensi nafas : 24 x/ menit, Suhu : 36,8 oC, Panjang badan :
147 cm, Berat badan: 40 kg, Status gizi : Gizi cukup (IMT= 18,51). Pada
pemeriksaan sistemik didapatkan edema palpebra (+), pemeriksaan abdomen
didapatkan inspeksi cembung, palpasi tegang, perkusi redup, Shifting Dullness
(+), Fluid Wave (+), dan edema pada kedua tungkai. Adanya edema yang dimulai
dari mata-muka terutama pada pagi hari sesuai dengan manifestasi klinis edema
pada sindroma nefrotik. Pada pasien ini ditemukan adanya hipertensi yang dapat
menyokong ke arah kelainan histopatologi glomerulopati bukan kelainan minimal,
ataupun yang dapat disebabkan oleh efek samping pemakaian kortikosteroid
jangka panjang pada pengobatan lupus 3 tahun yang lalu. Harus diwaspadai juga
29
efek samping lainnya dari pemakaian steroid jangka panjang, misalnya cushing
syndrome, infeksi tuberkulosis dan infeksi lainnya selain karena daya tahan tubuh
penderita sindrom nefrotik yang sudah terganggu akibat ekskresi Imunoglobulin
karena glomerulopati, serta adanya atrofi otot. Maka dari itu, sebaiknya pasien
dilakukan uji tuberculin untuk mengetahui kemungkinan resiko infeksi TB.
Pada pemeriksaan fisik Ny. Yeni didapatkan konjungtiva anemis dan lidah
pucat. Hal tersebut dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium darah lengkap
dan didapatkan Hb 6,8 g/dl dengan kata lain pasien juga mengalami anemia
sedang. Sindrom nefrotik merupakan manifestasi glomerulonefritis terbanyak
pada anak, dengan gejala utama berupa proteinuria masif dan selektif. Sindrom ini
mempengaruhi eritropoiesis melalui 2 cara, yaitu mempengaruhi kadar
eritropoietin (EPO) dan transferin dalam darah. Pada pasien sindrom nefrotik,
terjadi kehilangan EPO melalui urin, sehingga kadarnya di dalam darah menurun.
Pada SN relaps, kadar EPO di dalam darah sangat menurun dan berhubungan
dengan peningkatan proteinuria. Keadaan ini menyebabkan anemia, yang dapat
kembali normal seiring dengan pencapaian keadaan remisi.
Di samping defisiensi EPO, pasien SN juga kehilangan transferin melalui
urin. Transferin ialah glikoprotein ukuran sedang yang terutama disintesis di hati.
Transferin bertugas mengikat ion atom feri ke prekursor eritroid. Pada keadaan
SN relaps, transferin hilang melalui glomerulus. Karena transferin mengikat 2
atom ion feri, maka kehilangan transferin melalui urin mengakibatkan defisiensi
zat besi. Defisiensi zat besi pada SN dapat teratasi pada keadaan remisi atau
dengan penggantian cadangan besi. Transferinuria menyebabkan disosiasi zat besi
di dalam lumen tubulus proksimal, sehingga zat besi yang bebas akan
menghasilkan zat radikal bebas di dalam lumen tubulus ginjal yang kemudian
memicu kerusakan tubulointerstisial ginjal, selanjutnya menyebabkan kerusakan
ginjal progresif.
Kehilangan protein yang masif melalui urin dan peningkatan katabolisme
protein akan mengakibatkan pasien SN mengalami balans nitrogen yang negatif
pada saat relaps. Keadaan kekurangan protein secara umum ini pada pasien SN
30
berperan pada terjadinya anemia. Di samping itu, pada SN terdapat disfungsi sel
T dan hipogamaglobulinemia yang menyebabkan pasien SN sangat rentan
terhadap infeksi. Infeksi yang berulang, mempunyai peran pula dalam terjadinya
anemia pada SN. Anemia pada SN akan membaik seiring dengan berkurangnya
proteinuria seperti pada keadaan remisi.
Penegakan diagnosis juga didasarkan dari hasil pemeriksaan laboratorium
kimia darah dimana didapatkan Protein Total 4,8 g/dl, Albumin 2,5 gr/dl dengan
kesan hipoalbuminemia. Pada sindrom nefrotik biasanya dapat terjadi keluaran
protein hingga 5 – 15 gram protein tiap 24 jam. Hipoalbuminemia ini merupakan
kondisi yang cenderung dapat menimbulkan transudasi cairan dari ruang
intravaskuler ke ruang intersisial dikarenakan penurunan tekanan onkotik plasma.
Hal inilah dapat dimanifestasikan sebagai edema anasarka. Penurunan aliran
plasma ginjal dan GFR yang terjadi dapat mengaktifkan mekanisme rennin-
angiotensin-aldosteron, akibatnya terjadi peningkatan produksi ADH. Garam dan
air diretensi oleh ginjal sehingga dapat memperberat edema yang telah terjadi.
Jika rangkaian proses ini terjadi terus berulang kali, inilah yang menyebabkan
terjadinya edema massif. Pada pasien ini terdapat adanya hipoalbuminemia,
sehingga lebih baik diberikan albumin untuk lebih mendukung proses diuresisnya,
daripada hanya memberikan antidiuretik tanpa memperbaiki kadar albuminya.
Selain itu gejala lain yang menunjukan kearah sindroma nefrotik adalah
proteinuria. Dari anamnesis pasien menyebutkan jika urinnya berbuih - buih dan
keruh. Hal ini menandakan terjadinya suatu proteinuria yang artinya kekeruhan
pada urin masih dapat dilihat dan tampak butir – butir dalam kekeruhan, yang
kadar protein kira-kira 0,05-0,2 %. Diharapkan karena hasil didaptkan positif agar
dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan urin yang kuantitatif. Namun pada pasien
ini belum dilakukan urinalisis sehingga belum diketahui secara kuantitatif nilai
proteinuria pada pasien.
Pada pemeriksaan kolesterol total 365 mg/dl, LDL 210 mg/dl, dan
Trigliserida 579 mg/dl kesan hiperkolesterolemia. Pada pasien ini terdapat
peningkatan kadar Asam urat 21,0 mg/dl sehingga didapatkan kesan
31
hiperurisemia. Seperti pada hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan
oleh sintesis yang meningkat atau karena degradasi yang menurun. Bukti
menunjukkan bahwa keduanya abnormal. Meningkatnya produksi lipoprotein di
hati, diikuti dengan meningkatnya sintesis albumin dan sekudner terhadap
lipoprotein, melalui jalur yang berdekatan. Namun meningkatnya kadar lipid
dapat pula terjadi pada laju sintesis albumin yang normal. Menurunnya aktivitas
ini mungkin sekunder akibat hilangnya -glikoprotein asam sebagai perangsang
lipase. Apabila albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun
dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kelainan lipid ini menjadi
normal kembali.
Pada pasien dengan dugaan sindrom nefrotik seharusnya dilakukan
pemeriksaan penunjang laboratorium elektrolit untuk mengetahui ada atau
tidaknya komplikasi sindrom nefrotik berupa gangguan mineral pada pasien ini
yang disebabkan oleh albumin serum yang rendah sehingga menurunnya kalsium
terikat dan adanya gangguan penyerapan kalsium pada gastrointestinal. Biopsi
ginjal dapat dilakukan untuk lebih mengetahui gambaran kerusakan ginjal,
resistensi kortikosteroid dan prognosisnya, sehingga dapat ditentukan terapi yang
tepat sesuai dengan kondisi kerusakan ginjalnya. Selain itu juga diperlukannya
rontgen thorax untuk melihat apakah telah terjadi adanya efusi pleura.
DAFTAR PUSTAKA
32
1. Purnawan Junadi, Atiek. S. Soemasto, Gusna Amelz. Kapita Selekta
Kedokteran, Edisi Kedua, Penerbit Media Aescullapius, FKUI, 1982.
2. Prof. DR. Dr. A. Halim Mubin, SpPD, MSc, KPTI, Ilmu Penyakit Dalam,
Diagnosis dan Terapi. p : 19 - 23
3. M.W. Haznam, Terapi Standard Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FKUP –
RSHS.
4. Rani,azis A, Soegondo,sidartawan, Uyainah Z,Anna. Panduan Pelayanan
5. Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.edisi 3.
Jakarta : Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
6. Persatuan Ahli Ilmu Penyakit Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Jilid I, Edisi IV, Balai Penerbit FKUI, Salemba, 2006
33