CR SN WORD

48
BAB I TINJAUAN PUSTAKA SINDROM NEFROTIK I. Anatomi dan Fisiologi Ginjal Ginjal terletak di dalam ruang retroperitoneum sedikit di atas ketinggian umbilikus dan kisaran panjang serta beratnya berturut-turut dari kira-kira 6 cm dan 24 g pada bayi cukup bulan sampai 12 cm atau lebih dari 150 g pada orang dewasa. Ginjal mempunyai lapisan luar, korteks yang berisi glomeruli, tubulus kontortus proksimalis dan distalis dan dukturs koletivus, serta di lapisan dalam, medula yang mengandung bagian-bagian tubulus yang lurus, lengkung (ansa) Henie, vasa rekita dan duktus koligens terminal. Pasokan darah pada setiap ginjal biasanya terdiri dari arteri renalis utama yang keluar dari aorta ; arteri renalis multipel bukannya tidak lazim dijumpai. Arteri renalis utama membagi menjadi medula ke batas antara korteks dan medula. Pada daerah ini, arteri interlobaris bercabang membentuk arteri arkuata, dan membentuk arteriole aferen glomerulus. Sel-sel otot 1

description

CR

Transcript of CR SN WORD

Page 1: CR SN WORD

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

SINDROM NEFROTIK

I. Anatomi dan Fisiologi Ginjal

Ginjal terletak di dalam ruang retroperitoneum sedikit di atas ketinggian

umbilikus dan kisaran panjang serta beratnya berturut-turut dari kira-kira 6 cm

dan 24 g pada bayi cukup bulan sampai 12 cm atau lebih dari 150 g pada orang

dewasa. Ginjal mempunyai lapisan luar, korteks yang berisi glomeruli, tubulus

kontortus proksimalis dan distalis dan dukturs koletivus, serta di lapisan dalam,

medula yang mengandung bagian-bagian tubulus yang lurus, lengkung (ansa)

Henie, vasa rekita dan duktus koligens terminal.

Pasokan darah pada setiap ginjal biasanya terdiri dari arteri renalis utama yang

keluar dari aorta ; arteri renalis multipel bukannya tidak lazim dijumpai. Arteri

renalis utama membagi menjadi medula ke batas antara korteks dan medula. Pada

daerah ini, arteri interlobaris bercabang membentuk arteri arkuata, dan

membentuk arteriole aferen glomerulus. Sel-sel otot yang terspesialisasi dalam

dinding arteriole aferen, bersama dengan sel lacis dan bagian distal tubulus

(mukula densa) yang berdekatan dengan glomerulus, membentuk aparatus

jukstaglomeruler yang mengendalikan sekresi renin. Arteriole aferen membagi

menjadi anyaman kapiler glomerulus, yang kemudian bergabung menjadi arteriole

eferen. Arteriole eferen glomerulus dekat medula (glomerulus jukstamedullaris)

lebih besar dari pada arteriole di korteks sebelah luar dan memberikan pasokan

darah (vasa rakta) ke tubulus dan medula.

Setiap ginjal mengandung sekitar satu juga neron (glomerulus dan tubulus

terkait). Pada manusia, pembentukan nefron telah sempurna pada saat lahir, tetapi

1

Page 2: CR SN WORD

maturasi fungsional belum terjadi sampai di kemudian hari. Karena tidak ada

nefron baru yang dapat dibentuk sesudah lahir, hilangnya nefron secara progresif

dapat menyebabkan insufisiensi ginjal.

Anyaman kapiler glomerulus yang terspesialisasi berperan sebagai mekanisme

penyaringan ginjal. Kapiler glomerulus dilapisi oleh endotelium yang mempunyai

sitoplasma sangat tipis yang berisi banyak lubang (fenestrasi). Membrana basalis

glomerulus (BMG) membentuk lapisan berkelanjutan antara endotel dan sel

mesangium pada satu sisi dengan sel epitel pada sisi yang lain. Membran

mempunyai 3 lapisan. (1) lamina densa yang sentralnya padat-elektron, (2) lamina

rara interna, yang terletak di antara lamina densa dan sel-sel endotelian ; dan (3)

lamina rara eksterna, yang terletak di antara lamina densa dan sel-sel epitel. Sel

epitel viteviscera menutupi kapiler dan menonjolkan “tonjolan kaki” sitplasma,

yang melekat pada lamina rara eksternal. Di antara tonjolan kaki ada ruangan atau

celah filtrasi. Mesangium (sel mesangium dan matriks) teletak di antara kapiler-

kapiler glomerulus pada sisi endotel membrana basalis dan menbentuk bagian

tengah dinding kapiler. Mesangium dapat berperan sebagai struktur pendukung

pada kepiler glomerulus dan mungkin memainkan peran dalam pengaturan aliran

darah glomerulus, filtrasi dan pembangunan makromolekul (seperti kompleks

imun) dari glomerulius, melalui fagositosis intraseluler atau dengna pengakutan

melalui saluran interseluler ke daerah jukstagomerulus. Kapsula Bowman, yang

mengelilingi glomerulus, terdiri dari (1) membrana basalis, yang merupakan

kelanjutan dari membrana basalis kapiler glomerulus dan tubulus proksimalis, dan

(2) sel-sel epitel parietalis, yang merupakan kelanjutan sel-sel epitel viscera.

Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volumer dan komposisi cairan

ekstrasel dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini

dikotnrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpasi dan sekresi tubulus. Fungsi utama

ginjal mencakup, fungsi ekskresi yaitu mempertahankan osmolalitis plasma

sekitar 258 m osmol dengan mengubah-ubah ekresi air, mempertahankan pH

plasma skitar 7,4 denganmengeluarkan kelebihan H+ dan membentuk kembali

HCO3, mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein, terutama

2

Page 3: CR SN WORD

urea, asam urat dan kreatinin dan fungsi Non-ekskresi yaitu menghasilkan renin-

penting untuk pengaturan tekanan darah, menghasilkan eritropoietin-faktor

penting dalam stimulasi produk sel darah merah oleh sumsum tulang,

metabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya.

Gambar 1. Anatomi Ginjal

II. Definisi

Sindrom nefrotik adalah sekumpulan gejala, yang bercirikan hilangnya protein

(albumin) melalui ginjal (urin) dalam jumlah cukup banyak, yang berhubungan

dengan disfungsi ginjal. Penyakit ini mudah dikenali dengan adanya berbagai

macam gejala klinis yang terdiri dari (1). proteinuria massif (>3,5 g/ 1,73 m2/ 24

jam pada orang dewasa atau 40 mg/m²/jam pada anak-anak), (2).

hipoalbuminemia (<3 g/dl), (3). edema (penumpukan cairan dalam jaringan di

seluruh badan), dan (4). hiperlipidemia (>250 mg/dl). Adakalanya diikuti dengan

gejala lain seperti lipiduria, hiperkoagubilitas, hematuri, hipertensi, atau

menurunnya fungsi ginjal.

III. Etiologi

Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder

akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue

disease), obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik seperti tercantum pada

tabel dibawah.

3

Page 4: CR SN WORD

Tabel Klasifikasi dan Penyebab Sindroma Nefrotik:

I. Glomerulonefritis primer:

- GN lesi minimal (GNLM)

- Glomerulosklerosis fokal (GSF)

- GN membranosa (GNMN)

- Gn membranoproliferatif (GNMP)

- GN proliferative lain

II. Glomerulonefritis sekunder akibat:

Infeksi

- HIV, hepatitis virus B dan C

- Sifilis, malaria, skistosoma

- Tuberkulosis, lepra

Keganasan

Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma

Hodgkin, myeloma multiple, dan karsinoma ginjal.

Penyakit jaringan penghubung

Lupus eritematosus sistemik, arthritis rheumatoid,

MCTD (mixed connective tissue disease)

Efek obat dan toksin

Obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas,

penisilamin, probenesid, air raksa, kaptopril, heroin.

Lain-lain :

Diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklamsia, rejeksi

alograf kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah

Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab sindroma nefrotik

yang paling sering. Dalam kelompok glomerulonefritis primer, glomerulonefritis

lesi minimal (GNLM), glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS),

glomerulonefritis membranosa (GNMN), dan glomerulonefritis

membranoproliferatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang sering

ditemukan. Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai misalnya pada

4

Page 5: CR SN WORD

glomerulonefrotis pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat

obat misalnya obat anti inflamasi nonsteroid atau preparat emas organik, dan

akibat penyakit sistemik misalnya pada lupus eritematosus sistemik dan diabetes

mellitus.

IV. Patofisiologi

Proteinuria

Proteinuria umunya diterima kelainan utama pada SN, sedangkan gejala klinis

lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder. Proteinuria dinyatakan “berat”

untuk membedakan dengan proteinuria yang lebih ringan pada pasien yang bukan

sindrom nefrotik. Eksresi protein sama atau lebih besar dari 40 mg/jam/m2 luas

permukaan badan, dianggap proteinuria berat.

Selektivitas protein

Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi bergantung pada

kelainan dasar glomerulus. Pada SNKM protein yang keluar hampir seluruhnya

terdiri atas albimin dan disebut sebagai proteinuria selektif. Derajat selektivitas

proteinuria dapat ditetapkan secara sederhana dengan membagi rasio IgG urin

terhadap plasma (BM 150.000) dengan rasio urin plasma transferin (BM 88.000).

Rasio yang kurang dari 0.2 menunjukkan adanya proteinuria selektif. Pasien SN

dengan rasio rendah umumnya berkaitan dengan KM dan responsif terhadap

steroid. Namun karena selektivitas protein pada SN sangat bervariasi maka agak

sulit untuk membedakan jenis KM dan BKM (Bukan kelainan minimal) dengan

pemeriksaan ini dianggap tidak efisien.

Perubahan pada filter kapiler glomerulus

Umumnya karakteristik perubahan permeabilitas membran basal bergantung pada

tipe kelainan glomerulus pada SN. Pada SNKM terdapat penurunan klirens

protein netral dengan semua berat molekul, namun terdapat peningkatan klirens

protein bermuatan negatif seperti albumin. Keadaan ini menunjukkan bahwa di

5

Page 6: CR SN WORD

samping hilangnya sawar muatan negatif juga terdapat perubahan pada sawar

ukuran celah pori atau kelainan pada kedua-duanya.

Proteoglikan sulfat heparan yang menimbulkan muatan negatif pada lamina rara

interna dan eksterna merupakan sawar utama penghambat keluarnya molekul

muatan negatif, seperti albumin. Dihilangkannya proteoglikan sulfat heparan

dengan hepartinase mengakibatkan timbulnya albuminaria.

Di samping itu sialoprotein glomerulus yaitu polianion yang terdapat pada

tonjolan kaki sel epitel, tampaknya berperan sebagai muatan negatif di daerah ini

yang penting untuk mengatur sel viseral epitel dan pemisahan tonjolan-tonjolan

kaki sel epitel. Suatu protein dengan berat molekul 140.000 dalton, yang disebut

podocalyxin rupanya mengandung asam sialat ditemukan terbanyak kelainan pada

model eksperimenal nefrosisis aminonkleosid. Pada SNKM, kandungan

sialoprotein kembali normal sebagai respons pengobatan steroid yang

menyebabkan hilangnya proteinuria.

Hipoalbuminemia

Jumlah albumin di dalam ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar dan

pengeluaran akibat degradasi metabolik, eksresi renal dan gastrointestinal. Dalam

keadaan seimbang, laju sintesis albumin, degradasi ini hilangnya dari badan

adalah seimbang. Pada anak dengan SN terdapat hubungan terbalik antara laju

sekresi protein urin dan derajat hipoalbuminemia. Namun keadaan ini tidak

responsif steroid, albumin serumnya dapat kembali normal atau hampri normal

dengan atau tanpa perubahan pada laju ekskresi protein. Laju sintesis albumin

pada SN dalam keadaan seimbang ternyata tidak menurun, bahkan meningkat atau

normal.

Jumlah albumin absolut yang didegradasi masih normal atau di bawah normal,

walaupun apabila dinyatakan terhadap pool albumin intravaskular secara relatif,

maka katabolisme pool fraksional yang menurun ini sebetulnya meningkat.

Meningkatnya katabolisme albumin di tubulus renal dan menurunnya katabolisme

6

Page 7: CR SN WORD

ekstrarenal dapat menyebabkan keadaan laju katabolisme absolut yang normal

albumin plasma yang rendah tampaknya disebabkan oleh meningkatnya eksresi

albumin dalam urin dan meningkatnya katabolisme fraksi pool albumin (terutama

disebabkan karena meningkatnya degradasi di dalam tubulus renal) yang

melampaui daya sintesis hati. Gangguan protein lainnya di dalam plasma adalah

menurunnya - 1 globulin, (normal atau rendah), dan - 2-globulin, B globulin

dna figrinogen meningkat secara relatif atau absolut. Meningkatnya - 2 globulin

disebabkan oleh retensi selektif protein berberat molekul tinggi oleh ginjal dengan

adanya laju sintesis yang normal. Pada beberapa pasien, terutama mereka dengan

SNKM, IgM dapat meningkat dan IgG menurun.

Kelainan metabolisme lipid

Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia dan kenaikan ini tampak lebih

nyata pada pasien dengan KM. Umumnya terdapat korelasi tebalik antara

konsentrasi albumin serum dan kolesterol. Kadar trigliserid lebih bervariasi dan

bahkan dapat normal pada pasien dengan hipoalbuminemia ringan. Pada pasien

dengan analbuminemia kongenital dapat juga timbul hiperlipidemia yang

menunjukkan bahwa kelainan lipid ini tidak hanya disebabkan oleh penyakti

ginjalnya sendiri. Pada pasien SN konsentrasi lipoprotein densitas sangat rendah

(VLDL) dan lipoprotien densitas rendah (LDL) meningkat, dan kadang-kadang

sangat mencolok. Lipoprotein densitas tinggi (HDL) umumnya normal atau

meningkat pada anak-anak dengan SN walaupun rasio kolesterol-HDL terhadap

kolesterol total tetap rendah. Seperti pada hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat

disebabkan oleh sintesis yang meningkat atau karena degradasi yang menurun.

Bukti menunjukkan bahwa keduanya abnormal. Meningkatnya produksi

lipoprotein di hati, diikuti dengan meningkatnya sintesis albumin dan sekudner

terhadap lipoprotein, melalui jalur yang berdekatan. Namun meningkatnya kadar

lipid dapat pula terjadi pada laju sintesis albumin yang normal. Menurunnya

aktivitas ini mungkin sekunder akibat hilangnya -glikoprotein asam sebagai

perangsang lipase. Apabila albumin serum kembali normal, baik secara spontan

ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kelainan lipid ini

menjadi normal kembali. Gejala ini mungkin akibat tekanan onkotik albumin

7

Page 8: CR SN WORD

serumnya, karena ofek yang sama dapat ditimbulkan dengan pemberian infus

pilivinilpirolidon tanpa mengubah keadaan hipoalbuminemianya. Pada beberapa

pasien, HDL tetap meningkat walaupun terjadi remisi pada SN-nya pada pasien

lain VLDL dan LDL tetap meningkat pada SN relaps frekuensi yang menetap

bahkan selama remisi. Lipid dapt juga ditemukan di dalam urin dalam bentuk titik

lemak oval dan maltase cross. Titik lemak itu merupakan tetesan lipid di dalam

sel tubulus yang berdegenerasi. Maltese cross tersebut adalah ester kolesterol

yang berbentuk bulat dengan palang di tengah apbila dilihat dengan cahaya

polarisal.

Edema

Ada 2 hipotesis yang menjelaskan terjadinya retensi natrium dan edema pada

sindrom nefrotik

1. Hipotesis Underfill

Teori klasik mengenai pembentukan edema ini (underfilled theory) adalah

menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan cairan merembes

ke ruang interstitial. Dengan meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus,

albumin keluar menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia.

Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan onkotik koloid plasma

intravaskular. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan transudat melewati

dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstitial yang menyebabkan

terbentuknya edema.

8

Page 9: CR SN WORD

Sebagai akibat pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri

dalam peredaran menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif.

Menurunnya volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi

timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai

usaha badan untuk menjaga volume dan tekanan intravaskular agar tetap normal

dan dapat dianggap sebagai peristiwa kompensasi sekunder. Retensi cairan, yang

secara terus-menerus menjaga volume plasma, selanjutnya akan mengencerkan

protein plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma dan

akhirnya mempercepat gerak cairan masuk ke ruang interstitial. Keadaan ini jelas

memperberat edema sampai terdapat keseimbangan hingga edema stabil.

Dengan teori underfilled ini diduga terjadi kenaikan kadar renin plasma dan

aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia. Hal ini tidak ditemukan pada

semua pasien dengan SN.

2. Hipotesis Overfill

Pada hipotesis ini mekanisme utamanya adalah defek pada tubulus primer di

ginjal (intrarenal). Di tubulus distal terjadi retensi natrium (primer) dengan akibat

terjadi hipervolemia dan edema. Jadi edema terjadi akibat overfilling cairan ke

9

Page 10: CR SN WORD

jaringan interstitial. Pada hipotesis ini karena terjadi hipervolemia, sistem RAA

atau aldosteron akan menurun. Demikian pula ADH tetapi kadar ANP meningkat

karena tubulus resisten terhadap ANP. Akibatnya retensi Na tetap berlangsung

sehingga terjadi edema.

2 bentuk patofisiologi SN, yaitu tipe nefrotik dan tipe nefritik.Kelompok pertama

(underfill) disebut juga tipe nefrotik dan yang paling sering terjadi pada SN

kelainan minimal (minimal change nephrotic syndrome = MCNS). Tipe nefrotik

ditandai dengan volume plasma rendah dan vasokonstriksi perifer dengan kadar

renin plasma dan aldosteron yang tinggi. Laju filtrasi glomerulus (LFG) masih

baik dengan kadar albumin yang rendah. Kelompok ke dua (overfill) disebut tipe

nefritis biasanya di jumpai pada SN bukan kelainan minimal (BKM) atau

glomerulonefritis kronik. SN bukan kelainan minimal pada dasarnya memang

suatu glomerulonefritis kronik. Selain adanya hipervolemia juga sering di jumpai

hipertensi, kadar renin dan aldosteron rendah atau normal dan ANP tinggi.

Pembentukan edema pada SN merupakan suatu proses yang dinamis dan mungkin

saja kedua proses tersebut berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada

individu yang sama, karena patogenesis penyakit gromerulus mungkin satu

kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.

V. Manisfestasi klinis

a. Edema

Walaupun proteinuria kambuh pada hampir 2/3 kasus, kambuhnya edema

dapat dicegah pada umumnya dengan pengobatan segera. Namun edema persisten

dengan komplikasi yang menggangu merupakan masalah klinik utama bagi

mereka yang menjadi non responden dan pada mereka yang edemanya tidak

dapat segera diatasi. Edema umumnya terlihat pada kedua kelopak mata. Edema

minimal terlihat oleh orangtua atau anak yang besar sebelum kedokter melihat

pasien untuk pertama kali dan memastikan kelainan ini. Edema dapat menetap

atau bertabah, baik lambat atau cepat atau dapat menghilangkan dan timbul

10

Page 11: CR SN WORD

kembali. Selama periode ini edema periorbital sering disebabkan oleh cuaca

dingin atau alergi. Lambat laun edema menjadi menyeluruh, yaitu ke pinggang,

perut dan tungkai bawah sehingga penyakit yang sebenarnya menjadi tambah

nyata. Edema berpindah dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas dalam

posisi berdiri. Kadang-kadang pada edema yang masif terjadi robekan pada kulit

secara spontan dengan keluarnya cairan. Pada keadaan ini, edema telah mengenai

semua jaringan dan menimbulkan asites, pembengkakan skrotum atau labia,

bahkan efusi plerura. Muka dan tungkai pada pasien ini mungkin bebas dari

edema dan memperlihatkan jaringan seperti malnustrisi sebagai tanda adanya

edema menyeluruh sebelumnya.

b. Gangguan gastrointestinal

Gangguan ini sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN. Diare sering

dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan ini rupanya tidak

berkaitan dengan infeksi namun diduga penyebabnya adalah edema submukosa di

mukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin

disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada

beberapa pasien, nyeri di perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada

keadaan SN yang kambuh. Kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis

harus disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksan lainnya. Bila

komplikasi ini tidak ada, kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui namun

dapat disebabkan karena edema dinding perut atau pembengkakan hati. Kadang

nyeri dirasakan terbatas pada daerah kuadran atas kanan abdomen. Nafsu makan

kurang berhubungan erat dengan beratnya edema yang diduga sebagai akibatnya.

Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan malnutrisi berat

yang kadang ditemukan pada pasien SN non-responsif steroid dan persisten. Pada

keadaan asites terjadi hernia umbilikalis dan prolaps ani.

Gangguan pernapasan

Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pelura maka

pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini

dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan obat furosemid.

11

Page 12: CR SN WORD

Gangguan fungsi psikososial

Keadaan ini sering ditemukan pada pasien SN, seperti halnya pada penyakit

berat umumnya yang merupakan stres nonspesifik .Perasaan-perasaan ini

memerlukan diskusi, penjelasan dan kepastian untuk mengatasinya.

VI. Diagnosis

Diagnosis SN dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan

laboratoriumberupa proteinuri masif (> 3,5 g/1,73 m2luas permukaan tubuh/hari),

hipoalbuminemi (<3 g/dl) karena protein vital ini dibuang melalui urin dan

pembentukannya terganggu, edema (kadar natrium dalam urin rendah dan kadar

kalium dalam urin tinggi), hiperlipidemi, lipiduri dan hiperkoagulabilitas.

Pemeriksaan tambahan seperti venografi diperlukan untuk menegakkan diagnosis

trombosis vena yang dapat terjadi akibat hiperkoagulabilitas. Pada SN primer

untuk menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal yang menentukan prognosis

dan respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal.

VII.Penatalaksanaan

1. Kortikosteroid

Pengobatan baku kortikosteroid adalah prednison atau prenisolon

dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kgBB) setiap hari selama 4 minggu,

dilanjutkan denan 40 mg/m2/hari secara intermiten (3 hari dalam 1 minggu) atau

dosis alternating (selang sehari) selama 4 minggu. Bila terjadi kambuh setelah

pengobatan dihentikan, maka pengobatan diulang dengan cara buku yaitu dosis

penuh tiap hari sampel terjadi remisi dan dilanjutkan dengan 4 minggu dosis

intermiten atau selang sehari. Dengan memperpanjang pemberian prednison

tersebut diharapkan akan mengurangi terjadinya kambuh sering, tanpa menambah

risiko efek samping steroid.

2. Sitostatika

Penggunaan obat sitostatika telah dilaporkan oleh beberapa peneliti dan

dapat memperpanjang remisi, bahkan pada beberapa penderita menimbulkan

12

Page 13: CR SN WORD

remisi permanen. Siklosfosfamid dan klorambusil merupakan obat yang banyak

dipakai dengan efek yang hampir sama.

a. Siklofosfamid

Siklofosfamid diberikan dengan dosis 2-3 mg/kgBB selama 8

minggu dilaporkan efektif dalam mengurangi jumlah kambuh pada SNP-KS.

Sekitar 60% kasus yang diberi siklofosfamid tetap remisi selama 2 tahun setelah

obat dihendikan dan 40% kasus tetap remisi selama 5 tahun.

b. Klorambusil

Klorombusil mempunyai efek sama dengan siklofosfamid dalam

memperpanjang masa remisi SNP-KS dan SNP-DS. Studi kolaboratif Jerman

mendaptkan remisi 87% kasus selama 30 bulan pada penderita kambuh sering.

3. Siklosporin A

Siklosporin A (Si A) adalah suatu imunosupresan yang banyak

digunakan pada transplantasi ginjal, merupakan obat alternatif lain di samping

steroid. SiA besifat menghambatr generasi dan aktival sel T sitotoksik. Akhir-

akhir ini SiA dicoba pada SNP-KS dan resisten steroid. Pada kasus SNP-KS dan

SNP-DS. Tejani dkk melaporkan 11 dari 13 kasus mengalami remisi dengan

pemberian SiA selam 8 minggu. Niaudet dkk memberikan SiA 2-8 bulan, 80%

dilaporkan mengalami remisi. Namun bila obat dihentikan akan terjadi

kekambuhan kembali, sehingga dikatakan obat ini menimbulkan efek dependen

SiA. Pada kasus SNP-RS pemberian SiA tidak memberiakn hasil memuaskan.

Dosis yang dipakai adalah 5 mg/kgBB/hari, disesuaikan dengan kadar SiA darah

200-400 /ml. Obat ini dapat menimbulkan nefritis interstisialis sehingga pada

pemberian jangka panjang perlu dilakukan pemantauan denan biopsi ginjal.

karena obat ini mahal harganya dan hasilnya kurang memuaskan, pemakaian obat

ini pada kasus SN belum dapat diterima sebagai pengobatan alternatif. Jika SiA

akan dipakai sebaiknya untuk kasus yang sudah tidak mempan dengan obat

sitostatika lainnya.

13

Page 14: CR SN WORD

4. Levamisol

Levamisol adalah suatu anti hemintik yang ternyata mempunyai efek

imunologis menstimuloasi sel T. sesuai dengan teori Shalhoub pada sindrom

nefrotik ditemukan adanya gangguan fungsi sel T. akhir-akhir perhatian pada

levamisol muncul kembali dengan waktu pemberian yang lebih lama.

Perhimpunan Nefrologi Pediatri Inggris melakukan uji klinis dengan kontrol pada

kasus SNP-DS dan melaporkan bahwa levamisol dapat memperpanjang masa

remisi. Efek samping yang dilaporkan hanya sedikit dan sebagaian besar penderita

adalah SNP-KM. Dosis yang dipakai adalah 2-3 hari (+ 4 bulan) pada 61 kasus

SNP-DS. Pada kasus yang diberi levamisol, 14 orang anak tetap dalam remisi

sedangkan pada yang tidak diberi levamisol hanya 4 orang anak yang tetap remisi.

Efek samping yang dapat ditemukan adalah gejala gastrointestinal, mual dan

muntah, serta agranulositosis yang bersifat reversibel apabila obat dihentikan.

VIII. Komplikasi

1. Infeksi

Infeksi terjadi karena terjadinya penurunan mekanisme pertahanan

tubuh yaitu gama globulin serum, penurunan konsetnrasi IgG, abnormalitas

komplemen, penurunan konsentrasi transferin dan seng, serta pungsi lekosit yang

berkurang. Infeksi yang serign terjadi berupa pertonitis primer, selulitas infeksi

saluran kemih, bronkpneumonia dan infeksi virus.

2. Tromboemboli dan gangguan koagulasi

Pada penderita SN terjadi hiperkoagulasi dan dapat menimbulkan

tromboemboli baik pada pembuluh darah vena maupun arteri. Keadaan ini

disebabkan oleh faktor-faktor :

perubahan zymogen dan kofaktor dalam hal ini penignkatan faktor

V, faktor X, faktor VII, Fibrinogen dan faktor von Willebrand.

perubahan fungsi platelet karena hipoalbuminemai, hiperlipodemia

perubahan fungsi sel endotelial karena perubahan sirkulasi lipid

Peran obat kortikosteroid : yakni meningkatkan konsentrasi Fc. VIII

dan memperpendek Protrombin time dan PTT Namun dalam dosisi

14

Page 15: CR SN WORD

besar kostikosteroid akan menignkatkan AT III dan mencegah agregasi

trombost.

Diuretik akan menurunkan voluem plasma sehingga meninggikan

angka hematokrit dengan demikian viskositas darah dan konsentrasi

fibrinogen akan meningkat.

3. Perubahan metabolisme lemak, karbohidrat dan protein

Pada penderita SN terjadi peningkatan total kolesterol, LDL dan VLDL

seta apolipoprotein di dalam plasma sementara HDL dapt normal atau turun

khususnya HDL 2. Hiperlipidemia ini berlangsung lama dan tidak terkontrol dapat

mempercepat proses aterosklerosis pembuluh darah koroner. Aorta dan arteria

renalis. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penyakti jantung eskemik ataupun

trombosis arteri Renalis.

Tidak sepeti pada lemak, penelitian mengenai perubahan metabolisme karbohidrat

belum komprehensif. Namun telah diketahui pada hati yang mensintesis protein

lebih besar akan meningkatkan ptikogenolisis, selain itu didapatkan penignkatan

ambang vespin terhadap insulin dan glukosa. Hal ini dapat terjadi

hipoalbuminemia pada keadaan malnutrisi kronik. Sejumlah protein plasma yang

penting pada transport besi, hormon dan obat-obatan, karena molekulnya kacil,

dengan mudah keluar melalui urin, kehilangan zat-zat tersebut akan

mengakibatkan hal-hal sebagai berikut :

Transferin ion yang menurun menyebabkan anemia

Penurunan seruloplasmin belum dilaporkan akibat klinisnya

Berkurangnya albumin pengikat seng dan besi menyebabkan hipogensia

dan penurunan sel-sel imunitas.

Berhubungan protein pengikat vitamin D akan mempengaruhi

metabolisme kalsium sehingga terjadi osteomalasia dan hiper paratiroid.

Berkurangnya protein pengikat kostisol menyebabkan dibutuhkannay dosis

lebih besar terhadap kortikosteroid.

15

Page 16: CR SN WORD

Kehilangan sejumlah besar protein ini akan menyebabkan penderita jatuh dalam

keadaan malnutrisi. Karena itu dilanjutkan diet tinggi protein diberikan 2-3 5

gram/kg/24 jam untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen. Diet rendha

protein, meski dapat mengurangi proteinuria dalam jangka penek mempunyai

risiko kesimbangan negatif di masa mendatang.

4. Gagal Ginjal Akut (GGA)

Komplikasi ini mekanismenya belum jelas. Namun banyak ditemukan

pada penderita SN dengan lesi minimal dan gromerulosklerosis fokal.

diperkirakan akibat hipovelemia dan penurunan perfusi ke ginjal. akibat dari GG

pada penderita SN cukup serius. 18% meninggal. 20% dapt bertahan tapi tidak

ada perbaikan fungsi ginjal dan memerlukan dialisis.

IX. PROGNOSIS

Prognosis sindroma nefrotik tergantung dari beberapa factor antara lain umur,

jenis kelamin, penyulit pada saat pengobatan dan kelainan histopatologi ginjal.

prognosis pada umur muda lebih baik daripada umur lebih tua, pada wanita lebih

baik daripada laki-laki. Makin dini terdapat penyulitnya, biasanya prognosisnya

lebih buruk. Kelainan minimal mempunyai respons terahdap kortikosteroid lebih

baik dibandingkan dengan lesi dan mempunyai prognosis paling buruk pada

glomerulonefritis proliferatif. Sebab kematian pada sindroma nefrotik

berhubungan dengan gagal ginjal kronis disertai sindroma uremia, infeksi

sekunder (misalnya pneumonia).

16

Page 17: CR SN WORD

BAB I

LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN

IDENTIFIKASI PASIEN

Nama Lengkap : Ny Yeni Triasih

Jenis Kelamin : Perempuan

Tgl.Lahir/Umur : 21-08-1988 / 27 tahun

Suku Bangsa : Jawa

Status Perkawinan : Sudah Menikah

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Punduh Pidada, Pesawaran

ANAMNESIS

Diambil dari : Autoanamnesis

Tanggal : 23 November 2015

Waktu : 11.53 WIB

Keluhan Utama : Perut membesar

Keluhan Tambahan : Kaki bengkak, Urin sedikit

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien Perempuan, usia 27 tahun datang dengan keluhat perut membesar sejak 1

bulan SMRS. Perutnya dirasakan semakin hari semakin membesar dan bertambah

tegang. Pada awalnya pasien mengalami bengkak pada kedua kaki diikuti dengan

perut yang membesar. Bengkak tidak disertai rasa nyeri. Tidak ada mual dan

muntah. Riwayat demam tidak ada sebelumnya. Buang air kecil berwarna kuning

pekat dan volume berkurang sejak + 2 minggu lalu. Urine berwarna merah

17

Page 18: CR SN WORD

disangkal. Buang air besar pasien lancar dengan konsistensi cair dengan warna

kekuningan. Nafsu makan pasien baik.

Pada sekitar 3 tahun yang lalu pasien mengalami keluhan berupa kulit wajah yang

mengelupas dan kemerahan dan oleh dokter yang memeriksa dikatakan menderita

lupus. Sejak saat itu pasien rutin berobat ke dokter Spesialis Penyakit Dalam dan

rutin meminum obat lupus. Sekarang keluhan lupus yang pernah diderita tidak ada

lagi. Semenjak memderita lupus pasien juga mengalami darah tinggi dan rutin

minum obat.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat kista pada rahim pada sekitar 5 tahun lalu dan dikatakan sembuh dengan

obat-obatan.

Riwayat Penyakit Keluarga

Dari riwayat penyakit dalam keluarga, tidak ada keluarga yang memiliki keluhan

yang sama seperti pasien.

Berat Badan

Berat badan rata-rata (kg) : 38 kg

Berat badan sekarang (kg) : 40 kg

Riwayat Makanan

Frekuensi /hari : 2-3 kali/hari

Jumlah /hari : 3 piring sehari dengan porsi sedikit

Variasi /hari : bervariasi

Nafsu makan : Menurun sejak sakit

18

Page 19: CR SN WORD

Pendidikan

( ) SD ( V ) SLTP ( ) SLTA ( ) Sekolah Kejuruan

( ) Akademi ( ) Kursus ( ) Tidak Sekolah

PEMERIKSAAN JASMANI (Tanggal 16 Oktober 2015)

Pemeriksaan Umum

Tinggi badan : 147 cm

Berat badan : 40 kg

Tekanan darah : 160/120 mmHg

Nadi : 100 x/menit, tegangan dan isi cukup

Pernapasan (frek.& tipe) : 24 x/menit

Suhu : 36,80C

Keadaan gizi : normal (IMT = 18,51)

Kesadaran : Compos Mentis

Sianosis : -

Edema umum : -

Cara berjalan : Normal

Mobilitas (aktif/pasif) : pasif

ASPEK KEJIWAAN

Tingkah laku : Wajar

Alam perasaan : Biasa

Proses berpikir : Wajar

KULIT

Warna : Asianosis, sawo matang

Pertumbuhan rambut : warna hitam, tidak mudah rontok

Pembuluh darah : tidak terlihat

Suhu raba : afebris

Lembab/kering : kering

Turgor : baik

19

Page 20: CR SN WORD

Ikterus : Tidak

Lapisan lemak : Cukup

Edema : Ekstremitas inferior

KELENJAR GETAH BENING

Tidak teraba pembesaran

KEPALA

Ekspresi wajah : wajar

Permukaan wajah : normal

Simetri muka : simetris

Rambut : hitam

MATA

Exopthalmus : -

Enophtalmus : -

Kelopak : normal

Lensa : jernih

Konjungtiva : anemis +/+

Sklera : ikterik -/-

TELINGA

Normal

MULUT

Gigi geligi dan gusi : tidak ada caries

Faring : tidak hiperemis

Lidah : tidak kotor

LEHER

Tekanan Vena Jungularis (JVP) : 5+2 cm H20 (Normal)

20

Page 21: CR SN WORD

Kelenjar tiroid : tidak teraba pembesaran

Kelenjar limfe : tidak teraba pembesaran

DADA

Bentuk : simetris

Pembuluh darah : normal

Buah dada : normal

PARU-PARU DEPAN

Inspeksi Simetris

Palpasi Fremitus taktil dan vokal kiri > kanan

Perkusi Kiri : Sonor

Kanan : Sonor

Auskultasi Kiri : vesikuler (+), wheezing (-), Ronkhi (-)

Kanan : vesikuler ( + ), wheezing (-), Ronkhi (-)

BELAKANG

Inspeksi Simetris

Palpasi Fremitus Simetris

Perkusi Kiri : Sonor

Kanan : Sonor

Auskultasi Kiri : vesikuler (+), wheezing (-), Ronkhi (-)

Kanan : vesikuler ( + ), wheezing (-), Ronkhi (-)

JANTUNG

Inspeksi : ictus cordis terlihat di linea midclavicula sinistra ICS 5

Palpasi : ictus cordis teraba di linea midclavicula sinistra ICS 5

Perkusi

Batas pinggang jantung : linea parasternal sinistra ICS 3

Batas kanan jantung : linea parasternal dextra ICS 5

Batas kiri jantung : linea midclavicula sinistra ICS 5

Auskultasi : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)

21

Page 22: CR SN WORD

ABDOMEN

Inspeksi : cembung

Palpasi

Dinding perut : Tegang

Hati : Tidak Teraba

Limpa : Tidak teraba

Ginjal : Ballotement (-), nyeri cva (-)

Perkusi : Redup, Shifting Dullnes (+), Fluid Wave (+)

Auskultasi : bising usus (+) normal (7 kali/ menit)

ALAT KELAMIN (tidak ada indikasi)

ANGGOTA GERAK

Lengan Kanan Kiri

Otot tidak ada kelainan tidak ada kelainan

Tonus : normal normal

Massa : tidak teraba tidak teraba

Sendi : normal, nyeri (-) normal, nyeri (-)

Gerakan : normal normal

Tungkai dan Kaki

Luka : tidak ditemukan

Varises : (-)

Otot (tonus dan massa) : normotonus

Sendi : nyeri sendi (-)

Gerakan : aktif

Edema : (+) / (+)

REFLEKS

Tidak ada kelainan

22

Page 23: CR SN WORD

LABORATORIUM

Darah Lengkap (20/11/2015)

Pemeriksaan Hasil Normal

Hb6,8 g/dl 12-16 g/dl

Ht21 vol% 37-47 vol%

Leukosit 7.000/mm3 4800-10.800/mm3

Trombosit 244.000/ mm3 150.000-400.000/ mm3

LED 50 mm/jam 0-15 mm/jam

Basofil 0% 0-1 %

Eosinofil 0% 2-4%

Batang 0% 3-5%

Segmen 57% 50-70%

Limfosit 35% 25-40%

Monosit 8% 2-8%

Kimia Darah (20/11/2015)

Pemeriksaan Hasil Normal

SGOT 16 < 31 U/L

SGPT 8 < 31 U/L

Protein Total 4,8 6,4 – 8,3 g/dl

Albumin 2,5 3,5 – 5,2 g/dl

23

Page 24: CR SN WORD

Gula Darah Nacture 122 < 110

Ureum 174 mg/dl 13 - 43 mg/dl

Creatinin 16,50 mg dl0,6 - 1,0 mg/dl

Kolesterol Total 365 128 – 222 mg/dl

HDL 39 37 – 83 mg/dl

LDL 210 71 – 164 mg/dl

Trigliserida 579 37 – 144 mg/dl

Asam Urat 21,0 2,6 – 6,0 mg/dl

RINGKASAN

Pasien Perempuan bernama Ny Y T, usia 27 tahun datang dengan keluhat perut

membesar sejak 1 bulan SMRS. Perutnya dirasakan semakin hari semakin

membesar dan bertambah tegang. Pada awalnya pasien mengalami bengkak pada

kedua kaki diikuti dengan perut yang membesar. Bengkak tidak disertai rasa

nyeri. Tidak ada mual dan muntah. Riwayat demam tidak ada sebelumnya. Buang

air kecil berwarna kuning pekat dan volume berkurang sejak + 2 minggu lalu.

Urine berwarna merah disangkal. Buang air besar pasien lancar dengan

konsistensi cair dengan warna kekuningan. Nafsu makan pasien baik.

Pada sekitar 3 tahun yang lalu pasien mengalami keluhan berupa kulit wajah yang

mengelupas dan kemerahan dan oleh dokter yang memeriksa dikatakan menderita

lupus. Sejak saat itu pasien rutin berobat ke dokter Spesialis Penyakit Dalam dan

rutin meminum obat lupus. Sekarang keluhan lupus yang pernah diderita tidak ada

lagi. Semenjak memderita lupus pasien juga mengalami darah tinggi dan rutin

minum obat.

24

Page 25: CR SN WORD

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit

sedang, keadaan compos mentis. Tekanan darah pasien 160/120 mmHg, nadi 100

x/menit, pernafasan 24 x/menit. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan inspeksi

cembung, palpasi tegang, perkusi redup, Shifting Dullness (+), Fluid Wave (+),

Hepar lien tidak teraba, bising usus normal.

Dari pemeriksaan laboratorium ditemukan Hb 6,8 g/dl, Protein total 4,8 g/dl,

Albumin 2,5 g/dl, ureum 174 mg/dl, creatinine 16, 50 mg/dl , Kolesterol Total 365

mg/dl, LDL 210 mg/dl, Trigeliserida 579 mg/dl, Asam urat 21,0 mg/dl.

DIAGNOSIS

Sindroma Nefrotik e.c Lupus Eritematosus Sistemik

DIAGNOSIS BANDING

Nefritis Lupus

Gagal Ginjal Akut

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Biopsi Renal

Rontgen Thoraks

Pemeriksaan Serologi, anti dsDNA

PENATALAKSANAAN

Non Farmakologi

Tirah baring

Pasang Kateter

Diit dengan :

Energi cukup (35 kkal/KgBB/hari) ; ±1400 kkal/hari

Protein sedang 1 gr/KgBB/hari ; ± 40 gram/hari

Lemak sedang 15 – 29 % dari kebutuhan energi total

Natrium dibatasi ± 1 – 3 gram/hari

25

Page 26: CR SN WORD

Intake cairan dibatasi ± 600cc/hari

Farmakologi

Tranfusi PRC 600 cc

Infus NaCl VIII gtt/m

Injeksi Furosemide 2 Ampul / 12 Jam

Bicnat tablet 3x1

Asam Folat tablet 3x1

Amlodipin 10 mg tablet 1x1

Simvastatin 20mg tablet 1x1

26

Page 27: CR SN WORD

FOLLOW UP

Hari/Tanggal Keluhan Status Present Penatalaksanaan

,21 November

2015

- Perut terasa begah- Perut membesar- BAK sedikit

KU : tampak sakit sedang Kes : CM

Vital sign Nadi : 145xRR : 68xT : 36,7ºcTD : 220/130

Pem.FisikKonjungtiva Anemis +/+Abdomen: cembung,tegang, shifting dullness (+) , Fluid Wave (+), bising usus (+)

Hasil Lab: Hb 6,8 g/dl Protein total 4,8

g/dl, Albumin 2,5 g/dl, ureum 174 mg/dl, creatinine 16, 50

mg/dl, Kolesterol Total

365 mg/dl, LDL 210 mg/dl, Trigeliserida 579

mg/dl, Asam urat 21,0

mg/dl.

Diit dengan : Energi cukup (35

kkal/KgBB/hari) ; ±1400 kkal/hari

Protein sedang 1 gr/KgBB/hari ; ± 40 gram/hari

Lemak sedang 15 – 29 % dari kebutuhan energi total

Natrium dibatasi ± 1 – 3 gram/hari

Intake cairan dibatasi ± 600cc/hari

Tranfusi PRC 600 cc

Infus NaCl VIII gtt/m

Injeksi Furosemide 2 Ampul / 12 Jam

Bicnat tablet 3x1 Asam Folat tablet

3x1 Amlodipin 10 mg

tablet 1x1 Simvastatin 20mg tablet 1x1

27

Page 28: CR SN WORD

3 November 2015

- Perut Membesar-BAK sedikit

KU : Tampak sakit sedangKes : CM

Vital sign TD :130/70mmhgNadi : 96xRR : 20xT : 36,3ºc

Pem.FisikKonjungtiva Anemis +/+Abdomen: cembung,tegang, shifting dullness (+) , Fluid Wave (+), bising usus (+) (+) ,bising usus (+)

- Diet hari ke II - Injeksi

Furosemide 2 Ampul / 6 Jam

Metil Prednisolone 8 mg 3x2

Omeprazole 20 mg tablet 2x1 AC

Asam Folat tablet 3x1

Micardis 80 mg tablet 0-0-1

Simvastatin 20mg tablet 1x1

Allopurinol 100mg tablet 2x1

28

Page 29: CR SN WORD

BAB III

ANALISIS KASUS

Telah dilaporkan sebuah kasus seorang wanita berumur 27 tahun 10 bulan

dengan diagnosis kerja sindroma nefrotik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan perut membesar, kaki bengkak

dan BAK sedikit. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang yang dilakukan maka diagnosis pasien ini adalah sindroma nefrotik

dengan penyebab utamanya dipikirkan oleh karena glomerulonefritis sekunder et

causa sistemik lupus eritematosus yang diderita pasien ±3 tahun yang lalu.

Dari hasil anamnesis diketahui bahwa edema dimulai dari wajah, terutama

pada edema palpebra, ekstremitas bawah kemudian edema menjadi menyeluruh,

yaitu ke perut dan ekstremitas bawah. Patofisiologi terjadinya edema pada

sindroma nefrotik adalah diawali dengan terjadinya reaksi antigen-antibodi pada

glomerulus yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas membrane basalis

glomerulus sehingga terjadinya proteinuria massif dan hipoalbuminemia.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan Keadaan umum : tampak sakit sedang,

Kesadaran : compos mentis, Tekanan Darah : 160 / 120 mmhg, Frekuensi denyut

nadi : 100 x /menit, Frekuensi nafas : 24 x/ menit, Suhu : 36,8 oC, Panjang badan :

147 cm, Berat badan: 40 kg, Status gizi : Gizi cukup (IMT= 18,51). Pada

pemeriksaan sistemik didapatkan edema palpebra (+), pemeriksaan abdomen

didapatkan inspeksi cembung, palpasi tegang, perkusi redup, Shifting Dullness

(+), Fluid Wave (+), dan edema pada kedua tungkai. Adanya edema yang dimulai

dari mata-muka terutama pada pagi hari sesuai dengan manifestasi klinis edema

pada sindroma nefrotik. Pada pasien ini ditemukan adanya hipertensi yang dapat

menyokong ke arah kelainan histopatologi glomerulopati bukan kelainan minimal,

ataupun yang dapat disebabkan oleh efek samping pemakaian kortikosteroid

jangka panjang pada pengobatan lupus 3 tahun yang lalu. Harus diwaspadai juga

29

Page 30: CR SN WORD

efek samping lainnya dari pemakaian steroid jangka panjang, misalnya cushing

syndrome, infeksi tuberkulosis dan infeksi lainnya selain karena daya tahan tubuh

penderita sindrom nefrotik yang sudah terganggu akibat ekskresi Imunoglobulin

karena glomerulopati, serta adanya atrofi otot. Maka dari itu, sebaiknya pasien

dilakukan uji tuberculin untuk mengetahui kemungkinan resiko infeksi TB.

Pada pemeriksaan fisik Ny. Yeni didapatkan konjungtiva anemis dan lidah

pucat. Hal tersebut dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium darah lengkap

dan didapatkan Hb 6,8 g/dl dengan kata lain pasien juga mengalami anemia

sedang. Sindrom nefrotik merupakan manifestasi glomerulonefritis terbanyak

pada anak, dengan gejala utama berupa proteinuria masif dan selektif. Sindrom ini

mempengaruhi eritropoiesis melalui 2 cara, yaitu mempengaruhi kadar

eritropoietin (EPO) dan transferin dalam darah. Pada pasien sindrom nefrotik,

terjadi kehilangan EPO melalui urin, sehingga kadarnya di dalam darah menurun.

Pada SN relaps, kadar EPO di dalam darah sangat menurun dan berhubungan

dengan peningkatan proteinuria. Keadaan ini menyebabkan anemia, yang dapat

kembali normal seiring dengan pencapaian keadaan remisi.

Di samping defisiensi EPO, pasien SN juga kehilangan transferin melalui

urin. Transferin ialah glikoprotein ukuran sedang yang terutama disintesis di hati.

Transferin bertugas mengikat ion atom feri ke prekursor eritroid. Pada keadaan

SN relaps, transferin hilang melalui glomerulus. Karena transferin mengikat 2

atom ion feri, maka kehilangan transferin melalui urin mengakibatkan defisiensi

zat besi. Defisiensi zat besi pada SN dapat teratasi pada keadaan remisi atau

dengan penggantian cadangan besi. Transferinuria menyebabkan disosiasi zat besi

di dalam lumen tubulus proksimal, sehingga zat besi yang bebas akan

menghasilkan zat radikal bebas di dalam lumen tubulus ginjal yang kemudian

memicu kerusakan tubulointerstisial ginjal, selanjutnya menyebabkan kerusakan

ginjal progresif.

Kehilangan protein yang masif melalui urin dan peningkatan katabolisme

protein akan mengakibatkan pasien SN mengalami balans nitrogen yang negatif

pada saat relaps. Keadaan kekurangan protein secara umum ini pada pasien SN

30

Page 31: CR SN WORD

berperan pada terjadinya anemia. Di samping itu, pada SN terdapat disfungsi sel

T dan hipogamaglobulinemia yang menyebabkan pasien SN sangat rentan

terhadap infeksi. Infeksi yang berulang, mempunyai peran pula dalam terjadinya

anemia pada SN. Anemia pada SN akan membaik seiring dengan berkurangnya

proteinuria seperti pada keadaan remisi.

Penegakan diagnosis juga didasarkan dari hasil pemeriksaan laboratorium

kimia darah dimana didapatkan Protein Total 4,8 g/dl, Albumin 2,5 gr/dl dengan

kesan hipoalbuminemia. Pada sindrom nefrotik biasanya dapat terjadi keluaran

protein hingga 5 – 15 gram protein tiap 24 jam. Hipoalbuminemia ini merupakan

kondisi yang cenderung dapat menimbulkan transudasi cairan dari ruang

intravaskuler ke ruang intersisial dikarenakan penurunan tekanan onkotik plasma.

Hal inilah dapat dimanifestasikan sebagai edema anasarka. Penurunan aliran

plasma ginjal dan GFR yang terjadi dapat mengaktifkan mekanisme rennin-

angiotensin-aldosteron, akibatnya terjadi peningkatan produksi ADH. Garam dan

air diretensi oleh ginjal sehingga dapat memperberat edema yang telah terjadi.

Jika rangkaian proses ini terjadi terus berulang kali, inilah yang menyebabkan

terjadinya edema massif. Pada pasien ini terdapat adanya hipoalbuminemia,

sehingga lebih baik diberikan albumin untuk lebih mendukung proses diuresisnya,

daripada hanya memberikan antidiuretik tanpa memperbaiki kadar albuminya.

Selain itu gejala lain yang menunjukan kearah sindroma nefrotik adalah

proteinuria. Dari anamnesis pasien menyebutkan jika urinnya berbuih - buih dan

keruh. Hal ini menandakan terjadinya suatu proteinuria yang artinya kekeruhan

pada urin masih dapat dilihat dan tampak butir – butir dalam kekeruhan, yang

kadar protein kira-kira 0,05-0,2 %. Diharapkan karena hasil didaptkan positif agar

dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan urin yang kuantitatif. Namun pada pasien

ini belum dilakukan urinalisis sehingga belum diketahui secara kuantitatif nilai

proteinuria pada pasien.

Pada pemeriksaan kolesterol total 365 mg/dl, LDL 210 mg/dl, dan

Trigliserida 579 mg/dl kesan hiperkolesterolemia. Pada pasien ini terdapat

peningkatan kadar Asam urat 21,0 mg/dl sehingga didapatkan kesan

31

Page 32: CR SN WORD

hiperurisemia. Seperti pada hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan

oleh sintesis yang meningkat atau karena degradasi yang menurun. Bukti

menunjukkan bahwa keduanya abnormal. Meningkatnya produksi lipoprotein di

hati, diikuti dengan meningkatnya sintesis albumin dan sekudner terhadap

lipoprotein, melalui jalur yang berdekatan. Namun meningkatnya kadar lipid

dapat pula terjadi pada laju sintesis albumin yang normal. Menurunnya aktivitas

ini mungkin sekunder akibat hilangnya -glikoprotein asam sebagai perangsang

lipase. Apabila albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun

dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kelainan lipid ini menjadi

normal kembali.

Pada pasien dengan dugaan sindrom nefrotik seharusnya dilakukan

pemeriksaan penunjang laboratorium elektrolit untuk mengetahui ada atau

tidaknya komplikasi sindrom nefrotik berupa gangguan mineral pada pasien ini

yang disebabkan oleh albumin serum yang rendah sehingga menurunnya kalsium

terikat dan adanya gangguan penyerapan kalsium pada gastrointestinal. Biopsi

ginjal dapat dilakukan untuk lebih mengetahui gambaran kerusakan ginjal,

resistensi kortikosteroid dan prognosisnya, sehingga dapat ditentukan terapi yang

tepat sesuai dengan kondisi kerusakan ginjalnya. Selain itu juga diperlukannya

rontgen thorax untuk melihat apakah telah terjadi adanya efusi pleura.

DAFTAR PUSTAKA

32

Page 33: CR SN WORD

1. Purnawan Junadi, Atiek. S. Soemasto, Gusna Amelz. Kapita Selekta

Kedokteran, Edisi Kedua, Penerbit Media Aescullapius, FKUI, 1982.

2. Prof. DR. Dr. A. Halim Mubin, SpPD, MSc, KPTI, Ilmu Penyakit Dalam,

Diagnosis dan Terapi. p : 19 - 23

3. M.W. Haznam, Terapi Standard Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FKUP –

RSHS.

4. Rani,azis A, Soegondo,sidartawan, Uyainah Z,Anna. Panduan Pelayanan

5. Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.edisi 3.

Jakarta : Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.

6. Persatuan Ahli Ilmu Penyakit Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,

Jilid I, Edisi IV, Balai Penerbit FKUI, Salemba, 2006

33