Chapter I

13
1 BAB I PENDAHULUAN I. A Latar Belakang Masalah Anak-anak memiliki kebutuhan yang harus dipuaskan agar dapat tumbuh secara normal bahkan sejak mereka masih bayi (Papalia, 2004). Kebutuhan- kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan fisik sampai psikologis yang pada umumnya dipenuhi oleh caregiver (orang tua, kakek/nenek, pengasuh, atau orang dewasa yang bertanggung jawab atas pengasuhan dan kesejahteraan anak) (Santrock, 1998). Dengan demikian, anak akan merasakan pengalaman cinta yang murni dan disiplin yang sehat. Kondisi tersebut memberikan mereka perasaan aman dan puas sehingga anak dapat berkembang sesuai dengan real self mereka (Horney, dalam Feist, 2002) Orang tua, sebagai caregiver utama, memiliki kontribusi yang sangat besar dalam memberikan cinta dan perhatian pada anak untuk mendukung perkembangan anak sehingga menjadi orang dewasa yang kompeten (Santrock, 1998). Memang, kebanyakan orang tua mencintai dan memelihara anak-anak mereka dengan baik, namun pada kenyataannya, beberapa orang tua tidak mampu atau tidak mau peduli dan ada pula yang dengan sengaja menyakiti atau membunuh anak-anak mereka. (Papalia, 2004). Bahkan, ada juga orang tua yang mengaku menyayangi anaknya namun tetap tega menyakiti anak atas nama disiplin dan kasih sayang (Santrock, 1998). Universitas Sumatera Utara

description

sdsvsd

Transcript of Chapter I

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    I. A Latar Belakang Masalah

    Anak-anak memiliki kebutuhan yang harus dipuaskan agar dapat tumbuh

    secara normal bahkan sejak mereka masih bayi (Papalia, 2004). Kebutuhan-

    kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan fisik sampai psikologis yang pada

    umumnya dipenuhi oleh caregiver (orang tua, kakek/nenek, pengasuh, atau orang

    dewasa yang bertanggung jawab atas pengasuhan dan kesejahteraan anak)

    (Santrock, 1998). Dengan demikian, anak akan merasakan pengalaman cinta yang

    murni dan disiplin yang sehat. Kondisi tersebut memberikan mereka perasaan

    aman dan puas sehingga anak dapat berkembang sesuai dengan real self mereka

    (Horney, dalam Feist, 2002)

    Orang tua, sebagai caregiver utama, memiliki kontribusi yang sangat besar

    dalam memberikan cinta dan perhatian pada anak untuk mendukung

    perkembangan anak sehingga menjadi orang dewasa yang kompeten (Santrock,

    1998).

    Memang, kebanyakan orang tua mencintai dan memelihara anak-anak

    mereka dengan baik, namun pada kenyataannya, beberapa orang tua tidak mampu

    atau tidak mau peduli dan ada pula yang dengan sengaja menyakiti atau

    membunuh anak-anak mereka. (Papalia, 2004). Bahkan, ada juga orang tua yang

    mengaku menyayangi anaknya namun tetap tega menyakiti anak atas nama

    disiplin dan kasih sayang (Santrock, 1998).

    Universitas Sumatera Utara

  • 2

    Berdasarkan data dari informasi dan dokumen di Pusat Kajian dan

    Perlindungan Anak (PKPA), ada sekitar 27,4 % dari 62 kasus penganiayaan

    terhadap anak di Sumatera Utara, dilakukan oleh orang tua sepanjang tahun 2006

    meliputi 11 kasus dilakukan oleh orang tua kandung, 4 kasus oleh orang tua tiri,

    dan 2 kasus oleh orang tua angkat. Tentunya, jumlah tersebut bukan merupakan

    angka keseluruhan anak yang mengalami penganiayaan oleh orang tua di

    Sumatera Utara. Fenomena seperti ini sering disebut sebagai aib keluarga

    sehingga tidak terbuka dan tidak melibatkan orang lain. Selain itu, anak juga

    merasa takut menceritakan perlakuan orang tuanya pada orang lain karena budaya

    di Indonesia mengharuskan anak sejak kecil patuh dan taat kepada orang tua.

    Anak sering dibelenggu dogma-dogma yang mengabaikan hak anak untuk

    mengemukakan pendapat.

    Peristiwa penganiayaan anak biasa dikenal dengan istilah child abuse atau

    child maltreatment. Child abuse atau child maltreatment meliputi dua perilaku

    yaitu abuse dan neglect. Abuse mengarah pada tindakan yang menimbulkan

    kerusakan pada anak, sedangkan neglect mengarah pada tidak ada tindakan sama

    sekali, yaitu pengabaian yang merusak anak. Perilaku abuse dan neglect ini

    memiliki empat tipe. Pertama, physical abuse, yaitu kekerasan terhadap fisik anak

    yang dapat berupa pukulan, tendangan atau pembakaran. Kedua, neglect,

    merupakan pengabaian atau kegagalan memenuhi kebutuhan fisik, emosi dan

    pendidikan dasar anak. Ketiga, sexual abuse, merupakan kegiatan seksual yang

    melibatkan anak. Keempat, emotional maltreatment, meliputi tindakan maupun

    tidak ada tindakan sama sekali (Papalia, 2004).

    Universitas Sumatera Utara

  • 3

    The Child Abuse Prevention and Treatment Act (CAPTA) (dalam

    McDonal, 2007) menyatakan bahwa child abuse merupakan penganiayaan

    terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua atau caregiver yang bertanggung

    jawab atas kesejahteraan anak, namun pada penelitian ini peneliti berfokus pada

    orang tua sebagai pelaku child abuse.

    Rafeinstein (2000) mengutip pengalaman Rebecca sebagai anak yang

    tumbuh dengan ibu yang abusive secara fisik dan verbal, serta ayah yang jarang

    ada di rumah :

    ......Ibuku sering memanggilku dengan sebutan bodoh atau idiot. Kalau aku melakukan kesalahan ibu akan memukul dan membenturkan kepalaku..... sedangkan ayah menyayangiku tapi tidak pernah ada saat aku membutuhkannya. Ia selalu sibuk dengan pekerjaannya.

    Pada umumnya, orang dewasa yang yang melakukan kekerasan terhadap

    anak mereka sendiri kurang memiliki kontrol atas dorongan agresi dan memiliki

    pemikiran yang tidak realistik bahwa anak-anak dapat memenuhi kebutuhan

    emosionalnya sendiri. Biasanya mereka juga memiliki sejarah kekerasan ketika

    mereka kecil (Kempe et al. dalam Berk, 2000). Sejarah kekerasan biasanya

    merupakan hasil dari pola asuh keluarga yang menerapkan hukuman sebagai dasar

    pendisiplinan. Orang tua kadang menghukum anak-anak mereka untuk

    menghentikan perilaku yang tidak diinginkan, mengontrol perilaku anak-anak

    sebagaimana dulu mereka dikontrol (Santrock, 1998).

    Papalia (2004) menambahkan bahwa anak-anak yang mengalami

    kekerasan berasal dari semua usia, namun angka tertinggi adalah usia 3 tahun ke

    bawah. Dari sepuluh kasus, sembilan diantaranya dilakukan oleh orang tua anak

    Universitas Sumatera Utara

  • 4

    biasanya ibu, kecuali untuk kasus sexual abuse. Selain itu, anak perempuan 4 kali

    lebih beresiko mengalami sexual abuse dibandingkan anak laki-laki.

    Karakteristik fisik maupun psikologis tertentu pada anak dapat pula

    memicu terjadinya child abuse. Anak yang hiperaktif, cengeng, mental retardasi,

    dan anak yang sulit diatur (Berns, 2004), bayi prematur, anak yang sakit parah,

    anak yang ceroboh, overaktif atau memiliki masalah perkembangan lain, serta

    anak hasil kehamilan yang tidak diinginkan (Berk, 2000) cenderung mengalami

    child abuse.

    Child abuse juga bisa dihubungkan dengan nilai budaya, hukum dan

    kebiasaan yang dipegang keluarga turun-temurun. Masyarakat yang memandang

    kekerasan sebagai cara yang tepat untuk mengatasi masalah cenderung melakukan

    child abuse. Di Amerika, dimana perilaku kekerasan secara luas diterima, lebih

    dari 90% orang tua melaporkan menggunakan tamparan dan memukul bokong

    untuk mendisiplinkan anak, sedangkan di negara-negara yang tidak menerima

    adanya hukuman fisik, seperti China, Jepang, Luxemburg dan Swedia, jarang

    terjadi child abuse (Staub; Zigler & Hall, dalam Berk, 2000)

    Faktor lain seperti rendahnya pendapatan, pengangguran, konflik

    perkawinan, domestic violence, stres pada orang tua, sering berpindah-pindah

    tempat tinggal, dan pemakaian obat-obatan terlarang juga mempengaruhi

    kemungkinan terjadinya child abuse (Berk, 2000).

    Child Abuse dapat menyebabkan akibat yang serius, baik bagi fisik,

    maupun psikis. Kekerasan fisik dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.

    Kekerasan seksual dapat mengakibatkan kerusakan organ reproduksi atau bahkan

    Universitas Sumatera Utara

  • 5

    tertular penyakit menular seksual, dan mungkin saja, kehamilan (Wibisono, 2004).

    Mengalami pengabaian dan kekerasan emosional mengakibatkan anak cenderung

    tumbuh dengan buruk dan mengalami masalah medis karena kekurangan nutrisi

    (Berns, 2004).

    Dampak psikis dari child abuse dapat berupa kesulitan berkonsentrasi,

    mengalami gangguan belajar, dan prestasi menurun. Anak-anak korban child

    abuse juga tidak mampu mengembangkan keterampilan sosial. Mereka

    berperilaku agresif sehingga cenderung ditolak teman sebaya atau malah menjadi

    pasif atau menarik diri karena merasakan ketidakberdayaan. Mereka juga takut

    orang tua akan kehilangan kontrol sehingga memilih menghindar dari orang tua

    (Papalia, 2004). Kurangnya pengasuhan yang normal selama masa kanak-kanak

    dapat menyebabkan individu mengganti kebutuhan akan cinta dan perasaan aman

    yang hilang dengan obat-obatan terlarang, alkohol, makanan, objek material, seks,

    dan berjudi (Berns, 2004). Selain itu, anak juga mengalami tekanan psikologis

    seperti takut, stres, trauma (Wibisono, 2004), rasa marah dan khayalan untuk

    membalas dendam (Herman, 1997).

    Kemarahan yang merupakan akumulasi dari perasaan dikhianati, dan

    ketidakberdayaan kemudian dapat berubah menjadi amukan yang kuat setelah

    anak dewasa. Anak juga mengalami kesulitan membangun kepercayaan, dan

    merasa tidak berharga (Crosson, 2002). Penderitaan akibat dampak-dampak

    kekerasan pada anak tidak hanya terjadi setelah mengalami tindak kekerasan

    tetapi juga dapat dialami anak sampai ia dewasa seperti gangguan psikologis yang

    Universitas Sumatera Utara

  • 6

    dapat berupa histeris, mimpi buruk, dan merasa peristiwa lalu muncul lagi

    (Wibisono, 2004).

    Biere (1992) memberi istilah adult survivor untuk orang dewasa yang

    memiliki pengalaman menjadi korban kekerasan pada masa kanak-kanak. Tanpa

    intervensi yang tepat, anak yang merasakan penderitaan akan tumbuh menjadi

    orang dewasa yang menderita juga. Mereka akan menjalani hidup dengan

    membawa trauma dan dampak negatif jangka panjang dari pengalaman mereka.

    Rebecca (dalam Rafeinstein, 2000) menceritakan efek pengalamannya

    sebagai korban child abuse berupa kemarahan yang terus dibawanya bahkan

    setelah ia dewasa dan berkeluarga:

    Aku menghabiskan seluruh masa kanak-kanakku dengan ketakutan melakukan sesuatu yang akan membuatnya jengkel. Sebagai hasilnya, aku hidup dengan rasa marah yang konstan.... Bertahun-tahun, aku menyesuaikan diri dengan semua kemarahan, yang menghabiskan energiku dan menghalangi kebahagiaanku. Aku juga secara fisik sering sakit. Aku benar-benar kacau."

    Banyak survivors mengungkapkan bahwa selain merasa marah, mereka

    juga merasakan ketidakberdayaan dan ketakutan ketika dianiaya atau melihat

    anggota keluarga lain (bahkan hewan peliharaan) dianiaya. Mereka kemudian

    belajar mengembangkan keahlian mengenal tanda-tanda akan terjadi kekerasan,

    misalnya perubahan ekspresi wajah, suara dan bahasa tubuh orang tua. Apabila

    orang tua menunjukan reaksi tersebut, mereka berusaha melindungi diri dengan

    menghindar atau melarikan diri, dan jika gagal, mereka akan berusaha menjadi

    anak yang baik untuk menenangkan orang tua (Herman, 1997). Seperti yang

    terjadi pada Asti (bukan nama sebenarnya) yang mengaku merasa takut ketika ibu

    Universitas Sumatera Utara

  • 7

    tirinya marah-marah sehingga ia memilih menghindar, berharap ibu tirinya tidak

    semakin marah.

    ..Ya kami baek-baek lah. Jangan sampek tambah marah pula dia kan.... Bis tu kami pigi aja masuk kamar. Takut kami mamak tiri kami tambah marah(komunikasi personal, 26 Agustus 2007)

    Menekan rasa marahnya dan berusaha menjadi anak yang baik membuat

    anak berespon secara pasif yaitu dengan tidak mengkomunikasikan perasaan,

    pikiran dan perilaku secara langsung kepada orang tua, melainkan dengan cara-

    cara seperti berdiam diri, tindakan agresif pasif, dan merenungi (ruminate) child

    abuse yang dialaminya serta perasaannya. Mereka tidak langsung mengatakan

    atau melakukan perbuatan yang menunjukkan bahwa mereka marah dan benci

    atas perilaku abusive yang dialaminya, melainkan terus mengingat-ingat dan

    menyimpan perasaan di dalam hati, atau melakukan sesuatu tanpa

    sepengetahuan orang tua (Worthington, 1999).

    Dalam trilogi novelnya, Dave (dalam Pelzer, 2003) menceritakan

    pengalaman pribadinya sebagai orang berhasil bertahan hidup setelah mengalami

    physical abuse, emotional abuse, dan neglect dari ibu kandungnya sendiri sejak ia

    berusia 4 tahun. Berikut kutipan yang menunjukan keadaan rumination Dave

    dewasa terhadap ibunya ketika ia berkunjung ke rumah ibunya:

    .....Ingin rasanya aku melompat dari dudukku, berdiri di depannya, lalu berteriak persis di depan wajahnya yang menjijikkan itu, Kau perempuan jalang tak waras! Kau anggap aku mainan! Budak yang bisa kau perintah seenaknya! Kau merendahkan diriku, menghapus namaku, dan menyiksaku sampai nyaris mati....... Masih dengan nafas berat, aku meneruskan kemarahanku dalam hati, Sadarkah kau apa yang bisa kulakukan terhadapmu sekarang ini, saat ini juga? Aku bisa mencekik lehermu yang tembam itu, dan membuat nyawamu melayang. Atau, aku bisa juga membuatmu menderita perlahan-lahan, perlahan-lahan sekali. Kau tidak

    Universitas Sumatera Utara

  • 8

    langsung kubunuh, tapi kucopot daya hidupmu perlahan-lahan. Aku bisa melakukannya, sungguh aku bisa (hal 281-282)

    Individu yang mengalami emosi-emosi tersebut di atas dikatakan sedang

    berada dalam keadaan unforgive (tidak memaafkan). Unforgiveness didefinisikan

    sebagai emosi "dingin" yang melibatkan rasa marah, sakit hati, dan rasa benci,

    bersamaan dengan motivasi untuk menghindari atau membalas transgresor

    (pelaku kejadian penyerangan). Emosi dingin tidak mudah hilang seiring

    berjalannya waktu, kecuali apabila dilakukan intervensi yang tepat (Worthington,

    1999).

    Emosi-emosi dingin ini mengakibatkan dampak buruk bagi individu yang

    mengalaminya antara lain menurunnya fungsi kekebalan tubuh dan depresi

    (Zechmeister, 2004). Worthington (dalam Lucia, 2005) juga mengatakan bahwa

    setiap kali seseorang merasa tidak memaafkan, orang tersebut menjadi lebih

    mungkin terkena masalah kesehatan. Emosi-emosi negatif dapat memperbesar

    kemungkinan terjadinya penyakit jantung dan kanker dan individu akan sulit

    mencapai kebahagiaan dalam hidupnya. Oleh karena itu, individu berusaha

    menghilangkan atau setidaknya mengurangi unforgiveness.

    Ada banyak cara sehingga seseorang dapat mengurangi unforgiveness,

    misalnya dengan langsung membalas, membalas dendam, menuntut keadilan atau

    dengan defense psikologis (represi, proyeksi, denial, dan sebagainya). Cara-cara

    tersebut mungkin dapat mengurangi beberapa emosi negatif, namun emosi negatif

    lainnya tetap akan ada atau bahkan semakin bertambah. Ada satu cara lagi untuk

    Universitas Sumatera Utara

  • 9

    mengatasi unforgiveness yaitu dengan forgiveness (pemaafan) (Worthington &

    Wade, 1999).

    Menurut Lucia (2005), ketika seseorang memaafkan, ia mengganti

    perasaan unforgiveness dengan emosi yang lebih positif, seperti empati, simpati,

    dan cinta. Forgiveness dapat mengurangi permusuhan dan stres negatif yang

    dirasakan seseorang.

    Forgiveness difasilitasi oleh peristiwa yang menyebabkan disonansi

    emosi. Disonansi emosi terjadi ketika korban mengalami emosi-emosi positif

    seperti empati, rasa kasihan, kerendahan hati, menyukai, humor, dan mencintai.

    Emosi-emosi ini bertolak belakang dengan emosi awal (unforgiveness) yang

    dirasakan korban sehingga korban merasa tidak nyaman dan akan berusaha

    menyeimbangkan emosinya. Akan tetapi, mengalami disonansi emosi tidak berarti

    menyebabkan forgiveness. Orang yang merasakan disonansi emosi juga mungkin

    saja malah kembali unforgive (Worthington & Wade, 1999).

    Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi forgiveness antara lain empati,

    rumination (merenungi kejadian yang menimbulkan sakit hati), kualitas

    hubungan, permintaan maaf (McCullough, 2000), agama dan kepercayaan

    (Worthington & Wade, 1999). Faktor-faktor tersebut ada yang berkorelasi positif

    dan ada yang berkorelasi negatif dan dapat mempengaruhi disonansi emosi pada

    diri korban, namun apakah individu forgive atau kembali unforgive ditentukan

    oleh korban sendiri. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Worthington & Wade

    (1999) bahwa forgiveness merupakan suatu pilihan internal korban untuk

    melepaskan unforgiveness.

    Universitas Sumatera Utara

  • 10

    Anda (bukan nama sebenarnya) memiliki ayah yang dulunya adalah

    seorang penjudi dan pemabuk. Sejak kecil ia dan anggota keluarganya yang lain

    sering dipukuli ayahnya. Perasaan unforgive-nya juga diperparah karena ia tidak

    tahan melihat ibunya menderita. Pada akhirnya, Anda memilih forgive setelah

    melihat ibunya bahagia setelah ayahnya sadar dan berubah.

    ..masalah abang sama bapak kan karna dia mabok-mabok itu. Kalo udah mabok woo.. Bukannya apa, Abang paling gak tahan nengok mamak. Dulu kalo dibilang dendam, dendam kali Abang sama dia Vi. Tapi nengok bapak sekarang udah berubah rasanya abang bersukur juga la. Gak penting sama Abang dia harus ngomong apa sama Abang. Yang penting dia udah berubah, terus nengok mamak udah seneng Abang juga seneng.. (komunikasi personal, tanggal 23 November 2007)

    Berbeda dengan Anda yang memilih forgive walaupun tanpa kata maaf,

    Asti (bukan nama sebenarnya) memilih tetap unforgive pada ayahnya walaupun

    ayahnya telah menyatakan penyesalan dan permintaan maaf padanya. Ia

    menghilangkan emosi positif yang muncul dalam dirinya akibat permintaan maaf

    ayahnya dengan meyakinkan dirinya bahwa penyesalan ayah sudah terlambat.

    Itulah ayah kami pun dah insaf juga. Tapi insaf pun ayah kami kekmana lah dah gak bisa lagi, Dev. Minta maaf pun dia, gak guna lagi. Tak bisa kumaafkan diaUdah lama kali kejadiannya. Tau ko Dev kayakmana perasaanku ini Dev?(komunikasi personal, 10 Agustus 2007)

    Forgiveness sendiri tidak menjamin adanya pemulihan hubungan

    (rekonsiliasi). Setelah memaafkan pun, survivor belum tentu memiliki hubungan

    yang erat seperti sebelum child abuse terjadi atau seperti layaknya hubungan

    orang tua dan anak pada umumnya. Akan tetapi, forgiveness lebih memberikan

    konsekuensi positif daripada unforgiveness, yang meliputi meningkatnya

    kesehatan fisik dan emosional (Lucia, 2005), penyembuhan trauma (Orcutt dalam

    Universitas Sumatera Utara

  • 11

    Worthington, 1999), mempunyai hubungan romantis dan persaudaraan yang stabil

    (Worthington, 1998), memperbaiki hubungan interpersonal dan meningkatkan

    kesejahteraan (well-being) (Konstam, 2000).

    Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa child abuse memiliki

    dampak-dampak buruk bagi anak, salah satunya anak akan membawa emosi

    negatif (unforgiveness) yang akan dibawa anak hingga dewasa apabila tidak

    tercapai solusi yang tepat dan dapat mengganggu hubungan anak dan orang tua.

    Setiap individu berbeda-beda responnya terhadap unforgiveness, namun, cara

    yang paling baik untuk mengurangi dan mengatasi unforgiveness adalah dengan

    forgiveness karena forgiveness dapat melepas perasaan dendam dalam jiwa

    seseorang, dan membantu individu memperbaiki hubungannya dengan orang

    tuanya sehingga menuntun orang tersebut ke hidup yang lebih bahagia.

    Forgiveness difasilitasi oleh peristiwa yang menyebabkan disonansi emosi. Akan

    tetapi, disonansi emosi tidak hanya menyebabkan forgiveness. Seseorang yang

    merasakan ketidaknyamanan disonansi emosi bisa saja kembali unforgive.

    Dinamika ini lah yang tertarik untuk peneliti teliti.

    I. B Identifikasi Masalah

    Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan masalah

    utama dalam penelitian ini yaitu bagaimana dinamika forgiveness pada orang

    dewasa yang pernah mengalami child abuse yang dilakukan oleh orang tua.

    Universitas Sumatera Utara

  • 12

    I. C Tujuan penelitian

    Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat dinamika forgiveness pada

    orang dewasa yang pernah mengalami child abuse yang dilakukan oleh orang tua.

    I. D Manfaat Penelitian

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain berupa

    manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut:

    1. Manfaat teoritis

    Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kajian psikologi

    klinis khususnya pada pembahasan mengenai forgiveness pada orang

    dewasa yang pernah mengalami child abuse.

    2. Manfaat praktis

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru dan masukan

    bagi orang dewasa yang pernah mengalami child abuse mengenai manfaat

    forgiveness sebagai suatu media penyembuhan, memberikan informasi dan

    wawasan baru bagi orang tua dan calon orang tua mengenai dampak

    pengasuhan bagi perkembangan jiwa anak, dan sebagai bahan bagi

    pembaca dan pihak-pihak yang berhubungan dengan penanganan child

    abuse. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi

    bagi penelitian selanjutnya.

    I.E. Sistematika Penulisan

    Adapun sistematika penulisan laporan penelitian ini adalah :

    Universitas Sumatera Utara

  • 13

    BAB I : Pendahuluan

    Berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan

    penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

    BAB II : Landasan Teori

    Berisi teori-teori yang digunakan dalam penelitian yang terdiri dari

    teori mengenai forgiveness dan child abuse, serta paradigma

    penelitian.

    BAB III : Metode Penelitian

    Berisi mengenai pendekatan yang digunakan, partisipan penelitian,

    metode pengambilan data, alat pengumpulan data dan prosedur

    penelitian.

    BAB IV : Hasil dan Analisis Hasil

    Berisi uraian mengenai gambaran hasil penelitian, termasuk di

    dalamnya deskripsi umum partisipan penelitian, hasil observasi, dan

    hasil wawancara, serta rangkuman analisis hasil penelitian antar

    partisipan.

    BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran

    Berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang diperoleh, diskusi

    tentang hal yang terkait dengan hasil penelitian dan saran, baik saran

    praktis maupun saran untuk penelitian lanjutan, yang berhubungan

    dengan hasil penelitian.

    Universitas Sumatera Utara