cerpen
Transcript of cerpen
Nama : ALVIN FIKRANZA
Kelas : VII G
No. Absen : 06
PERANG LABA-LABA
Sewaktu aku berusia 5 tahun aku mendapatkan pengalaman yang memalukan sekaligus
menyeramkan bagiku. Pada suatu malam yang sepi tepat pukul 10.30 WIB aku terbangun dari
dunia mimpi dan langsung menuju kamar mandi untuk buang air kecil, entah mengapa aku tidak
bisa tidur kembali, aku berusaha menutup mataku namun rasa kantuk belum juga datang,seperti
ada firasat buruk yang akan terjadi.
Memang benar, sewaktu aku meraih guling dan menolehkan kepala kelangit-langit
kamarku, betapa terkejutnya aku saat aku menemukan lima ekor laba-laba yang cukup besar
nyaris jatuh dari sarangnya.Memang aku paling takut pada hewan berkaki banyak itu,rasanya
ingin sekali aku teriak tapi pasti aku akan membangunkan seisi rumah bahkan tetanggaku bisa-
bisa bangun.Terpaksa aku tahan sampai-sampai keringat dingin dan hampir ngompol.
Satu jam kemudian salah satu laba-laba itu tiba-tiba tertiup angin dan terjatuh dan
mendarat diatas kepalaku, secara spontan aku mengambil kamus bahasa inggrisku yang tebal
yang ada didekatku lalu memukulkanya ke wajahku. Sialnya kamusku yang sangat tebal itu tak
mengenai laba-laba malah hanya melukai hidungku sampai mengeluarkan darah,seperti
mengejekku laba-laba yang terjatuh itu menari-nari dibawah tempat tidurku kemudian sembunyi
entah kemana.Namun Aku hanya bisa pasrah dan kembali menatap ke empat laba-laba yang
tersisa.
Tak beberapa lama , salah satu laba-laba itu seperti sengaja menjatuhkan diri, namun
aku sudah bersiap di tempat dengan membawa beberapa bantal, sapu dan guling seperti akan
perang. Saat laba-laba itu sampai di tempat tidur, langsung saja aku melempar semua benda
yang aku bawa tadi dan aku injak-injak saja semuanya. Tak berhenti disitu, bahkan ketiga laba-
laba yang masih diatas seperti ingin menyerang, mereka menjatuhkan diri satu per satu. Aku
yang sudah kehabisan akal langsung saja aku meraih semua benda yang ada didekatku dan
melemparnya. Dan tepat mengenai semua laba-laba itu. Aku sangat kegirangan mendapati
semua laba-laba itu mati.
Namun beberapa saat kemudian tepat pukul 02.30WIB pintu kamarku terbuka dan
mendapati ayah,ibu,kakak serta pembantuku seperti keheranan saat melihat situasi kamarku
yang seperti kapal pecah. “ Kamu ini ngapain aja sih dek, kok rame banget!” seru kakaku, “Lha
iya, kamu itu mengganggu orang yang sedang tidur, memang apa yang kamu lakukan sih? ”
tambah ayahku. “Anu yah ada laba-laba gede banget,serem deh .” jawabku.”Ah, kamu ini
keterlaluan! Cuma gara-gara laba-laba aja kok sampai seperti ini!”seru kakakku. “Ya sudah gak
apa-apa, lha hidungmu kenapa nak? Kok sampai berdarah gitu?” tanya ibu. “Tidak apa-apa bu,
cuma luka kecil.”jawabku dengan kebohongan.”Sudah-sudah, kamu tidur sama kakakmu dulu
sana dan besok bibi minah tolong rapikan kamar Riani ya.”pinta ayah dengan bijaksana.”Baik
pak, besok pagi-pagi akan saya kerjakan.”jawab bibi Minah. “Ya bi,sekarang kita tidur yuk,
ngantuk nih!”pintaku sambil mengucek-ucek mataku yang mengantuk.”Iya-iya ayo tidur semua!”
jawab ibu.
Begitu sampai di kamar tidur kakakku, aku langsung menuju tempat tidur sambil melirik
ke langit-langit seraya berkata “Yee, gak perang sama laba-laba lagi.” Kakakku melirikku sambil
tertawa kecil dan berkata “ Udah tidur dulu besok kamu harus sekolah kan?” “Oke kak” jawabku.
Dan beberapa menit kemudian aku sudah tertidur pulas.
UNSUR INTRINSIK CERPEN PERANG LABA-LABA
Nilai Intrinsik
1. Tema : Phobia atau Ketakutan yang berlebihan
2. Tokoh : Riani, kakak, ibu, ayah, bibi Minah.
3. Watak :
a. Riani : Penakut, Ceroboh, Pembohong
b. Kakak : Pemarah, Mudah tertawa
c. Ayah : Pemarah, Bijaksana
d. Ibu : Sabar, Perhatian
e. Bibi Minah : Rajin
4. Alur : Maju
5. Sudut pandang : Orang pertama
6. Amanat : Jangan menjadi orang yang terlalu penakut oleh apapun, Jangan terlalu
takut terhadap sesuatu terlalu berlebihan, karena tidak baik untuk kesehatan
7. Setting/latar :
a. Tempat : Kamar tidur Riani, kamar mandi, kamar tidur kakak
b. Waktu : Malam hari, pukul 10.30 WIB sampai pagi hari pukul 02.30 WIB
c. Suasana : Sepi
Nama : ROBBY ALFI N
Kelas : VII G
No. Absen : 34
LUKA ODEN
“Satu, dua, tiga.”
Mulut kecil Oden menghitung kepingan logam yang perlahan dimasukannya ke dalam
celengan tanah miliknya.
“Tiga ratus!” Oden sumringah, dielusnya sayang celengannya. Kemudian dengan
perlahan dimasukannya ke dalam kotak berkas yang dipungutnya di tempat sampah, hati-hati
seklai seperti membelai bayi.
Saat Oden menggoyangkan kotak bekas itu, maka suara keping logam yang beradu
menjadi sumber suara di dalam gubuk itu, dan bagi Oden suara-suara itu merupakan suara
paling indah melebihi suara penyanyi dangdut yang dulu pernah didengarnya.
Detik itu menjadi kegembiraan Oden. Namun detik berikutnya kesenangan itu terganggu,
bocah itu merasa ada sesuatu yang jatuh dikepalanya. Diusapnya basah, ini artinya air, hujan!
Oden segera mengambil beberapa kaleng bekas cat yang biasa disusun semacam
pyramid, benar-benar kaleng multidungsi!
Dengan cetakan diletakannya kaleng itu pada titik-titik rawan gubuknya. Setelah selesai,
Oden duduk diatas tikar tidurnya sambil memperhatikan air yang jatuh ke kaleng, bunyi jatuhnya
nyaring mengganggu sekali, mala mini sepertnya ia tidak bisa tidur.
Hujan, sebenarnya Oden benci hujan. Keadaani ni akan membuatnya kelaparan sedikit
lebih lama, karena bibinya pasti tidak akan sudi susah-susah menyambanginya saat hujan.
Sejak awal Oden sudah diperlakukan berbeda, gubuk yang ditempatinya sengaja dibangun
untuk mengatur jarak dengan keluarganya. Masih diingatnya dengan sangat jelas suara-suara
yang mengingingkannya dirinya menjauh.
“Anak haram membawa sial, empat puluh rumah dari sini!”. “Anak jadah pembawa
petaka”. “Anak jadah pembawa onar”. “Anak jadah…”. “Anak haram..”. “Dosa…”. “Petaka…”.
“Sial…”
Entah apalagi yang mereka katakan, karena semakin Oden melangkah pergi, suara-
suara itu kian sayup. Bila disuruh memilih, Oden lebih baik dipukul ibunya dan ditendang
ayahnya. Setidaknya, artinya bila itu terjadi ia mempunyai orang tua. Oden berjanji tidak seperti
malin kundang yang durhakan pada ibunya. Bocah berusia 6 tahun itu mempunyai seribu janji
pada Tuhan apabila ia bertemu dengan ibunya. Tapi seribu sayang, tak ada satupun kisah
ibunya yang sesuai dengan telinga kecilnya.
Oden layaknya selebritis, terkenal di kalangan ibu-ibu penggosip, namun tak kalah tenar
di warung-warung pinggri desa, banyak yang Oden dengar tentang ibunya, versi tentang sejarah
kelahiranya pun beragam, kata orang-orang, ibunya itu orang gila yang bunting diperkosa orang
mabuk, tapi beredar pula berita bahwa ibunya orang gila yang dijadikan bulan-bulanan oleh
preman kampong. Bahkan, ada yang mengatakan laki-laki yang menggagahi ibunya masih
anggota keluarga.
Benar-benar beban mental bagi pikiran sederhana anak seusia Oden. Dibesarkan dalam
lingkungan di mana orang-orang selalu mencibirnya,, membuat Oden hidup dalam ruang
imajinasinya sendiri, benar-benar sendiri. Ini lebih menyakitkan dibanding sakit dan cacatnya
tubuh, lebih menyakitkan disbanding perlakuan kasar pada fisik.
Anak itu jijik melihat ibu-ibu penggosip, mereka seperti belatung-belatung yang berpesta
di atas bangkai tikus, kotor dan menjijikan!
Hanya satu kabar bagus yang menyentuh gendang telinganya, merembes ke pembuluh
darah dekat hati, hangat, meningkatkan adrenalin. Angin segar, ini benar-benar angin segar
bagi Oden. Sekarang, ia tahu keberadaan ibunya. Yang sejak itu merindukan buaiannya,
merindukan putting susunya.
Inilah impian Oden, Selagalas, tempat yang dianggap tujuan hidupnya, tempat yang
dilihat sebagai suatu istana dalam imajinasinya, tujuan dari segala usahanya. Mengingat itu,
oden sperti mendengar suara kepingan logam, yang beradu, syahdu dan benar-benar nikmat.
Bila uang dalam celengannya itu sudah cukup ia akan langsung pergi ke tempat
impiannya itu, Selagalas.
Tiba-tiba Oden meringis, perutnya merasa melilit, sedangkan hujan di luar semakin
deras, Oden tersenyum kecut, suara air yang jatuh ke dalam kaleng juga sudah tidak terlalu
nyaring, rupanya kaleng-kaleng itu sudah penuh, air mulai merembes ke lantai tanah dan gubuk
Oden becek.
Oden semakin merapatkan tubuhnya, tubuh kurus itu menggigil, Oden menekuk
tubuhnya dan sedikit menekan perutnya yang kian sakit, perlahan Oden tertidur, ia mulai lupa
akan hujan, lupa, lupa…
Dalam tidurnya Oden tersenyum, sneyum hangat layaknya anak dalam buaian ibu. Ia
seperti mendengar nyanyian bidadari, lembut begitu lembut. Ah, … Oden, mimpi. Memang
terkadang mimpi itu indah. Tapi, bersiaplah untuk terjaga….
Unsur-Unsur Intrinsik:
1. Tema : Kerasnya Kehidupan
2. Alur : Maju
3. Tokoh & Perwatakan : Oden : tegar, pekerja keras, pemimpi. (Protagonis)
Bibi, keluarga, tetangga : Tidak bijaksana, tidak baik. (Antagonis)
4. Latar : Tempat : Gubuk, pedesaan.
Waktu : Malam hari ketika hujan
Suasana : Dingin, meresahkan, mencekam, memprihatinkan.
5. Sudut Pandang : Orang ketiga
6. Gaya Bahasa : Baku
7. Amanat :
Seburuk apapun keadaan kita, tetaplah bermimpi, tetaplah berusaha!
Bagaimanapun keadaan orang tua kita, tetaplah berbakti kepada mereka. Karena
bagaimanapun juga, mereka tetap orang tua kita.
Tetaplah tegar, tetaplah menjadi positif walaupun tidak ada orang yang mendukungmu!
Jangan berbicara sembarangan, karena bisa jadi apa yang kita bicarakan itu belum
benar serta menyakiti perasaan orang lain.
Apa yang anda lakukan sekarang akan berdampak pada kehidupan anak cucu anda
nanti. Maka berbuat baiklah!.
Nama : ADAM WILDAN
Kelas : VII G
No. Absen : 01
SI “ALHAMDULILLAH”
Pada zaman dahulu di Desa lembah neundeut ada seorang pemuda yang memelihara
seekor kuda sejak dari kecil yang sangat penurut, nama kuda itu adalah “Alhamdulillah”, kuda
itu sangat penurut, apabila di panggil langsung datang. Jika di suruh berjalan kita hanya berkata
“Alhamdulillah” langsung tancap kuda itu akan berjalan, sedangkan jika mau berhenti kita ucap
“Astagfirullah” si kuda akan langsung berhenti. Mungkin karena di rawat sejak kecil dan latihan
yang rutin membuat si kuda menjadi penurut.
Oman adalah pemilik kuda pintar tersebut, dia sangat sayang dengan kudanya. Di suatu
sore hari Oman sedang mengajak bermain kudanya itu keliling taman dekat rumahnya. Ketika
sedang di taman Oman bertemu dengan seorang temannya bernama Asep "Assalamualaikum....
gimana kabarnya, kudanya bagus bangeeet.."?
"Baik... ia ni kuda penurut, tinggal ucap hamdalah dia akan berjalan, dan kalau mau
berhenti tingal ucap “istigfar"
" aku boleh nyoba gak"?
" oh.. monggo..."
Sang teman mulai mengucapkan hamdalah untuk menjalankannya. "alhamdulilah
berangkatlah kuda" dia merasa bosan karna kudanya jalannya terlalu pelan, dia memukul kuda
supaya berjalan lebih cepat ,tapi belum berhasil juga, akhirnya dia memukul dan mengucapkan
alhamdulillah dengan keras. "PLAK..... ALHAMDULIILLAH......" Kuda itu berjalan dengan
cepat ,sehingga orang itu tidak bisa mengendalikanya, di depan matanya terlihat jurang yang
sangat dalam , karena sangat gugup dia lupa kata-kata untuk menghentikan kudanya, semua kata-
kata keluar dari mulutnya. "ALLAH” kuda belum berhenti. "ROSULALLAH." kuda itu masih
belum bisa berhenti. " INALILAH." kuda itu masih tak mau behenti.
Dia sudah putus asa , dia mengucapkan istigfar untuk yang terakhir kalinya. "
ASTAGFIRULOH." Tiba-tiba kuda itu berhenti pas di depan jurang itu, dia sangat senang, dan
mengucapkan puji syukur kepada Allah. "Alhamdulillah ya Allah kau masih menolongku".
karena ucapanya itu, kuda tiba-tiba berjalan dan....dan ,,..
UNSUR INTRINSIK
1. Tema Kuda penurut
2. Alur Cerita Alur maju, karena jalan cerita di jelaskan secara runtut
3. Penokohan:
a. Tokoh utama (Alhamdulillah) : berwatak penurut dan pintar
b. Tokoh Pembantu : Oman, wataknya penyayang
Asep, mempunyai Rasa ingin tahu yang tinggi
4. Latar:
a. Tempat
Desa lembah neundet,
Taman dekat rumah, dan perjalanan, dekat jurang dalam.
b. Waktu : Zaman dahulu, Sore hari
c. Suasana : Diawal cerita suasana yang timbul biasa saja, tetapi di akhir cerita
menegangkan karena terdapat konflik.
5. Sudut Pandang :
“Dia” terbatas (mereka tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya seperti
halnya tokoh pertama.)
6. Gaya Bahasa
Aptronim (adalah pemberian nama yang cocok dengan sifat atau pekerjaan.)