Case Sirosis Hepatis
description
Transcript of Case Sirosis Hepatis
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit sirosis hepatis merupakan penyebab kematian terbesar setelah
penyakit kardiovaskuler dan kanker (Lesmana, 2004). Diseluruh dunia sirosis hepatis
menempati urutan ketujuh penyebab kematian. Sekitar 25.000 orang meninggal setiap
tahun akibat penyakit ini. Sirosis hepatis merupakan penyakit hati yang sering
ditemukan dalam ruang perawatan dalam. Gejala klinis dari sirosis hepatis sangat
bervariasi, mulai dari tanpa gejala sampai dengan gejala yang sangat jelas. Apabila
diperhatikan, laporan di negara maju, maka kasus sirosis hepatis yang datang berobat
kedokter hanya kira-kira 30% dari seluruh populasi penyakit ini dan lebih dari 30%
lainnya ditemukan secara kebetulan ketika berobat , sisanya ditemukan saat otopsi
(Sutadi, 2003).
Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), pada tahun 2000 sekitar 170 juta
umat manusia terinfeksi sirosis hepatis. Angka ini meliputi sekitar 3% dari seluruh
populasi manusia di dunia dan setiap tahunnya infeksi baru sirosis hepatis bertambah
3-4 juta orang. Angka prevalensi penyakit sirosis hepatis di Indonesia, secara pasti
belum diketahui. Prevalensi penyakit sirosis hepatis pada tahun 2003 di Indonesia
berkisar antara 1-2,4%. Dari rata-rata prevalensi (1,7%), diperkirakan lebih dari 7 juta
penduduk Indonesia mengidap sirosis hepatis (Anonim, 2008).
Menurut Ali (2004), angka kasus penyakit hati menahun di Indonesia sangat
tinggi. Jika tidak segera diobati, penyakit itu dapat berkembang menjadi sirosis atau
kanker hati, sekitar 20 juta penduduk Indonesia terserang penyakit hati menahun.
Angka ini merupakan perhitungan dari prevalensi penderita dengan infeksi hepatitis B
di Indonesia yang berkisar 5-10 persen dan hepatitis C sekitar 2-3 persen. Dalam
perjalanan penyakitnya, 20-40 persen dari jumlah penderita penyakit hati menahun itu
akan menjadi sirosis hati dalam waktu sekitar 15 tahun, tergantung sudah berapa lama
seseorang menderita hepatitis menahun itu.
Sirosis hepatis merupakan penyakit yang sering dijumpai di seluruh dunia
termasuk di Indonesia, kasus ini lebih banyak ditemukan pada kaum laki-laki
dibandingkan kaum wanita dengan perbandingan 2-4 : 1 dengan umur rata-rata
terbanyak antara golongan umur 30-59 tahun dengan puncaknya sekitar 40-49 tahun
(Hadi, 2008).
BAB II
LAPORAN KASUS : SIROSIS HEPATIS
2. 1 Identitas Umum Pasien
Nama : TN. WH
Jenis Kelamin : Pria
Umur : 60 tahun 8 bulan 27 hari
RM : 381759
Alamat : Kopo Sayati 3/3 Sayati Kec. Margahayu Kab. Bandung
Pekerjaan : Buruh
Agama : Islam
Ruangan : IGD – Mawar – ICU
Tanggal Masuk : 20 Oktober 2012 pukul 14.10
Tanggal Pemeriksaan : 22 Oktober 2012
2. 2 Anamnesis
Autoanamnesis IGD ( 20 Oktober 2012)
Keluhan Utama : Perut membesar
Pasien mengeluhkan perutnya membesar sejak 2 minggu SMRS. Perut
membesar disertai dengan nyeri ulu hati dan mual. Disangkal adanya muntah.
Keluhan ini diikuti dengan bengkak pada kedua kaki sejak k.l 1 minggu SMRS.
Pasien juga mengeluhkan adanya sesak yang semakin lama semakin
bertambah berat. Sesak timbul jika berjalan jauh atau tidur dalam posisi terlentang,
sehingga pasien merasa lebih nyaman tidur dalam posisi setengah duduk. Pasien
menyangkal sering terbangun di malam hari karena sesak nafas. Disangkal adanya
riwayat demam, batuk lama atau bunyi mengi pada saat bernafas
Pasien mengeluh sejak 1 bulan SMRS merasa menjadi mudah lelah dan lemas,
nafsu makan menurun disertai dengan penurunan berat badan k.l sekitar 5 kilogram.
Mata pasien tampak menjadi kuning sejak 1 bulan SMRS.
Sebelumnya pasien pernah dirawat dengan keluhan yang sama 10 bulan
SMRS, namun sudah 3 bulan terakhir tidak kontrol. Obat-obatan yang rutin diminum
oleh pasien adalah Furosemid, Ranitidine dan antasida.
BAB : frekuensi 1x/hari, keras, berwarna hitam
BAK : warna kuning pekat seperti air teh sejak 1 bulan SMRS, jumlah sedikit-sedikit.
RPD : HT (-) DM (-) Sakit Kuning (-)
Kebiasaan : Merokok + Sudah berhenti k.l 20 tahun yang lalu, minum minuman
beralkohol (+)
2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum :
Kesan sakit : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Keadaan Gizi : cukup
Ekspresi : tenang
Posisi : tidak tampak letak paksa
Tanda – tanda vital :
TD : 100/70 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Respirasi : 22 x/menit
Suhu : 36,8 oC
Pemeriksaan Sistematik
Mata : Conjungtiva anemis +/+, sklera ikterik +/+
THT : sekret -, epistaksis –
Mulut : Mukosa basah
Leher : KGB coli t.t.m, JVP meningkat
Thorax : B/P simetris, retraksi –
Cor : Bunyi jantung murni reguler, murmur -
Pulmo : VBS +/+ ka=ki, Rh+/+ basah halus pada basal paru, Wh -/-
Abdomen : Cembung, Soepel, BU(+) Normal
Ascites + , Shifting Dullness +, H/L Sulit dinilai
Extremitas : Akral hangat, CRT < 2’, pitting edema +/+
2. 4. Diagnosis Kerja / Differensial Diagnosis
Asites e.c DD/ - CHF fc III – IV
- CKD
- Sirosis Hepatis
2. 5 Pemeriksaan Penunjang
Hematologi rutin
Hb : 14,5 g/dl
Ht : 46 %
Leukosit : 6.500 / mm3
Trombosit : 221.000 / mm3
Pem. Kimia Klinik
GDS : 120 mg/dl
Ureum : 34 mg/dl
Kreatinin : 1,11 mg/dl
SGOT : 31,8 U/l / SGPT : 15,6 U/l
Bilirubin Total : 1,83 mg/dl
Bilirubin Direk : 1,35 mg/dl
Bilirubin Indirek : 0,48 mg/dl
Protein Total : 8,80 g/dl/ Albumin : 4,54 g/dl/ Globulin : 4,26 g/dl
Pemeriksaan Foto Thorax PA
Efusi pleura bilateral
Edema paru
EKG : OMI Inferior
2. 6 Terapi
O2 2-4 liter/menit
Venflon
Ondansetron 3 x 4 mg
Furosemid 3 x 2 amp
Ranitidine 2x1 amp iv
KSR 1x1 tab
Spironolakton 1x1 tab
Kateterisasi Jika urine (-) lakukan forced diuretik
2.7 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : ad malam
2. 9 Resume
Seorang pria berusia 60 tahun datang ke IGD RSUD Soreang dengan keluhan
perut membesar sejak 2 minggu SMRS disertai dengan nyeri ulu hati, nausea tanpa
disertai vomitus, edema ekstremitas inferior (+), dyspnea d’effort (+), orthopnea (+) ,
disangkal adanya paroxysimal nocturnal dyspnea, orthopnea, keringat malam ataupun
riwayat demam dan batuk lama.
Sejak 1 bulan SMRS pasien juga mengeluhkan adanya anoreksia, malaise dan
penurunan berat badan sebanyak 5 kg disertai dengan ikterik pada mata. BAK
menjadi seperti air teh dengan jumlah sedikit-sedikit setiap BAK. BAB menjadi
berwarna hitam dan keras.
Pasien pernah dirawat dengan keluhan serupa 10 bulan SMRS namun sudah 3
bulan tidak kontrol, disangkal adanya riwayat HT, DM dan Sakit Kuning, Pasien
pernah memiliki kebiasaan merokok dan minum minuman beralkohol sekitar 20 tahun
yang lalu.
Pemeriksaan Fisik : KU: Compos mentis dengan Vital Sign dbn, Sclera
Icteric, JVP meningkat, Batas Jantung Kiri melebar 2 jari lateral LMCS, Pada
pemeriksaan paru ditemukan Rhonki basah halus pada basal paru tanpa adanya
wheezing, Pada Abdomen, ditemukan ascites dengan shifting dullness, bising usus +,
dan hepar serta lien sulit dinilai. Pitting edema pada ekstremitas inferior +
Diagnosis sementara adalah : Asites e.c DD/ CHF
- CKD
- Sirosis Hepatis
Pemeriksaan Penunjang didapatkan Bilirubin Total : 1,83 mg/dl (meningkat),
Bilirubin Direk : 1,35 mg/dl (meningkat), Protein Total : 8,80 g/dl(meningkat),
Globulin : 4,26 g/dl (meningkat)
Pemeriksaan Foto Thorax PA didapatkan Efusi pleura bilateral dan edema paru.
Pemeriksaan EKG : OMI Inferior.
Terapi yang didapatkan : O2 2-4 liter/menit, Venflon, Ondansetron 3 x 4 mg,
Furosemid 3 x 2 amp, Ranitidine 2x1 amp iv, KSR 1x1 tab, Spironolakton 1x1 tab,
Kateterisasi Jika urine (-) lakukan forced diuretik
Pada hari pertama dan kedua perawatan, kondisi pasien dalam kondisi stabil,
dilakukan pemeriksaan tambahan berupa HBsAg, Profil lipid (dbn), As. Urat (13,44
mg/dl) serta USG dengan hasil menyokong gambaran sirosis hepatis dan
splenomegali. Produksi Urine pasien pada hari pertama 700 cc/24 jam dan pada hari
kedua 750 cc/24 jam. Diagnosis sementara adalah Sirosis Hepatis + CHF fc ?. Terapi
dilanjutkan dengan penambahan dosis spironolakton menjadi 3 x 100 mg dan
curcuma 3x1 tab.
Pada hari ketiga perawatan (17.00), pasien menjadi bertambah sesak dan
delirium. Produksi urine menurun menjadi hanya 20 cc/jam. Disarankan untuk masuk
ICU dan dilakukan forced diuresis. Di ICU kesadaran pasien menurun menjadi sopor
dan tekanan darah turun menjadi 70/palp, diberikan terapi Dopamine 1
mcg/kgbb/menit, Dobutamine 5 mcg/kgbb/menit, setelahnya tekanan darah sempat
naik menjadi 85/60 mmHg. Sejak masuk ICU, produksi urine pasien (-), dilakukan
forced diuresis mulai dengan pemberian lasix 4 amp iv dinaikkan menjadi 8 amp iv
dan 12 amp iv, namun urine tetap tidak keluar.
Pada hari keempat perawatan (2.10) pasien apnea, TD tidak terukur dan nadi
tidak teraba, setelah dilakukan RJP pasien dinyatakan meninggal di ICU di hadapan
dokter, perawat dan keluarga.
2. 10 Permasalahan
Penegakkan diagnosis pada pasien kasus ini
Penatalaksanaan penyakit
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Sirosis hati (liver cirrhosis) merupakan perjalanan patologi akhir berbagai
macam penyakit hati. Istilah sirosis diperkenalkan pertama kali oleh Laennec pada
tahun1826. Diambil bahasa Yunani scirrhus atau kirrhos yang artinya warna oranye
dan dipakai untuk menunjukan warna oranye atau kuning kecoklatan permukaan hati
yang tampak saat otopsi.
Batasan fibrosis sendiri adalah penumpkan berlebihan matriks ekstaselular
(seperti kolagen, glikoprotein, proteoglikan) dalam hati.
Menurut SHERLOCK; secara anatomis sirosis hati ialah terjadinya fibrosis
yang sudah meluas dengan terbentuknya nodul-nodul pada semua bagian hati, tidak
hanya pada satu lobulus saja.
Menurut GALL; sirosis hati ialah penyakit hati kronis dimana terjadi
kerusakan sel hati ynag terus – menerus, dan terjadi regenerasi noduler serta
proliferasi jaringan ikat yang difus untuk menahan terjadinya nekrose parenkim atau
timbulnya inflamasi.
3.2 Epidemiologi
Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki – laki daripada
wanita, didapat perbandingan 1,6 : 1. Menurut ARYONO, 78% penderita sirosis
dalam golongan umur 30 – 60 tahun. Puncaknya sekitar usia 40 – 49 tahun. Menurut
JULIUS dan HANIF di RSUP Padang puncaknya antara 30 – 49 tahun, dan 64,8%
pada laki – laki.
3.3 Etiologi
Penyebab pasti sirosis hati belum jelas, tapi di antaranya disebutkan:
1. Factor kekurangan gizi.
2. Hepatitis virus.
3. Zat hepatotoksik
4. Penyakit Wilson
5. Hemokromatosis
6. Sebab – sebab lain;
1. Kelemahan jantung yang lama mengakibatkan sirosis kardiak.
2. Obstruksi saluran empedu menyebabkan sirosis biliaris primer.
3.4 Manifestasi klinis
3.4.1 Gejala-gejala Sirosis
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga ditemukan pada waktu
pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau kerena kelainan penyakit lain.
Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera
makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-
laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya
dorongan seksualitas.
Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala yang lebih menonjol
terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangya
rambut badan, gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi. Dapat disertai gangguan
pembekuaan darah, perdarahan gusi, epiktasis, gangguan siklus haid, ikterus dengan
air kemih seperti teh pekat, muntah darah atau/dan melena, serta perubahan mental,
meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma.
3.4.2 Temuan Klinis
Temuan klinis sirosis meliputi :
Spider nevi
Eritema Palmaris
Kuku-kuku Muchrche
Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia Palmaris
Ginekomastia
Atrofi testis
Splenomegali
Hepatomegali
Asites
Fetor hepatikum
Ikterus
Asterixis-bilateral
Gambar 1. gambaran klinis pada sirosis hati
3.4.3 Gambaran Laboratoris
Adanya sirosis dicurigai apabila ditemukan kelaninan pemeriksaan laboratorium
meliputi :
Peningkatan SGOT dan SGPT, SGOT lebih meningkat dari SGPT tetapi bila
normal tidak mengenyampingkan adanya sirosis.
Peningkatan alkali fosfatase
Peningkatan Gamma-glutamil transpeptidase
Peningkatan bilirubin
Peningkatan globulin
Pemanjangan waktu PT
Penurunan albumin
Anemia
Pemeriksaan barium meal dapat melihat varises
Pemeriksaan Imaging seperti CT scan dan MRI utuk melihat perubahan
morfologi hati
3.5 Komplikasi
1. Edema dan asites
Dengan makin beratnya sirosis, terjadi pengiriman sinyal ke ginjal untuk
melakukan retensi garam dan air dalam tubuh. Garam dan air yang berlebihan,
pada awalnya akan berkumpul dalam jaringan di bawah kulit disekitar tumit
dan kaki, karena efek gravitasi pada saat duduk atau berdiri dan berkurang
pada malam hari sebagai hasil menghilangnya efek gravitasi pada waktu tidur.
Dengan makin beratnya sirosis dan makin banyak air dan garam yang
diretensi, air akhirnya akan berkumpul dalam rongga abdomen antara dinding
perut dan organ dalam perut. Penimbunan cairan ini disebut asites yang
berakibat pembesaran perut, keluhan tak enak dalam perut dan peningkatan
berat badan.
2. Perdarahan gastrointestinal akibat hipertensi portal sehingga timbul varises
esophagus yang gampang pecah.
Gambar 2. obstruksi aliran darah dalam sirkulasi portal, dengan hipertensi portal dan pengalihan aliran darah ke jalur vena yang lain, termasuk vena di lambung dan esofagus.
Pada pasien sirosis, jaringan ikat dari hati menghambat aliran darah dari usus
yang kembali ke jantung. Kejadian ini dapat meningkatkan tekanan dalam
vena porta (hipertensi portal). Sebagai hasil peningkatan aliran darah dan
peningkatan tekanan vena porta ini, vena-vena di bagian bawah esofagus dan
bagian atas lambung akan melebar, sehingga timbul varises esofagus dan
lambung. Makin tinggi tekanan portalnya, makin besar varisesnya, dan makin
besar kemungkinannya pasien mengalami perdarahan varises. Perdarahan
varises biasanya hebat dan tanpa pengobatan yang cepat dapat berakibat fatal.
Keluhan perdarahan varises bisa berupa muntah darah atau hematemesis.
Bahan muntahan dapat berwarna merah bercampur bekuan darah, atau seperti
kopi (coffee grounds appearance) akibat efek asam lambung terhadap darah.
Buang air besar berwarna hitam lembek (melena), dan keluhan lemah dan
pusing pada saat posisi berubah (orthostatic dizziness atau fainting), yang
disebabkan penurunan tekanan darah mendadak saat melakukan perubahan
posisi berdiri dari berbaring.
3. Ensefalopati hepatik
Beberapa protein makanan yang masuk ke dalam usus akan digunakan oleh
bakteri-bakteri normal usus. Dalam proses pencernaan ini, beberapa bahan
akan terbentuk dalam usus. Bahan-bahan ini sebagian akan terserap kembali
ke dalam tubuh. Beberapa diantaranya, misalnya amonia, berbahaya terhadap
otak. Dalam keadaan normal bahan-bahan toksik dibawa dari usus lewat vena
porta masuk ke dalam hati untuk didetoksifikasi. Pada sirosis, sel-sel hati tidak
berfungsi normal, baik akibat kerusakan maupun akibat hilangnya hubungan
normal sel-sel ini dengan darah. Akibatnya bahan-bahan toksik dalam darah
tidak dapat masuk sel hati,sehingga terjadi akumulasi bahan ini dalam darah.
Jika bahan-bahan ini terkumpul cukup banyak, fungsi otak akan terganggu.
Kondisi ini disebut ensefalopati hepatik. Tidur lebih banyak pada siang
dibanding malam (perubahan pola tidur) merupakan tanda awal ensefalopati
hepatik. Keluhan lain dapat berupa mudah tersinggung, tidak mampu
konsentrasi atau menghitung, kehilangan memori, bingung, dan penurunan
kesadaran bertahap. Akhirnya ensefalopati hepatik yang berat dalam
menimbulkan koma dan kematian.
4. Sindroma hepatorenal
Pasien dengan sirosis yang memburuk dapat berkembang menjadi sindroma
hepatorenal. Sindroma ini merupakan komplikasi serius karena terdapat
penurunan fungsi ginjal namun ginjal secara fisik sebenarnya tidak mengalami
kerusakan sama sekali. Penurunan fungsi ginjal ini disebabkan perubahan
aliran darah ke dalam ginjal. Batasan sindroma hepatorenal adalah kegagalan
ginjal secara progresif untuk membersihkan bahan-bahan toksik dari darah
dan kegagalan memproduksi urin dalam jumlah adekuat, meskipun fungsi lain
ginjal yang penting, misalnya retensi garam tidak terganggu. Bila fungsi hati
membaik atau dilakukan transplantasi hati, ginjal akan bekerja normal lagi.
5. Karsinoma hepatoseluler. Beberapa penderita sirosis ditemukan juga
karsinoma hati akibat hiperplasi yang menjadi karsinoma.
6. Infeksi akibat penurunan daya tahan tubuh seperti peritonitis, pneumoni,
sistitits, endokarditis, glomerulonefritis, pielonefritis, sepsis.
3.6 Pengobatan
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganannya. Terapi ditujukan mengurangi
progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakkan hati,
pencegahan dan penanganan komplikasi. Bila tidak ada koma hepatik diberikan diet
yang mengandung protein 1g/Kg BB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari.
Tatalaksana pasien sirosis kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi
kerusakan hati. Terapi ini ditujukan untuk menghilangkan etiologi, diantaranya :
alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati.
Hepatitis autoimun bisa diberikan kortikosteroid atau imunosupresif. Pada
hemokromatosis flebotomi setiap minggu sampai konsentrasi besi menjadi normal
dan diulang sesuai kebutuhan. Pada penyakit non-alkoholik; menurunkan berat badan
akan mencegah terjadinya sirosis.
Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin merupakan terapi utama.
Lamvudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama
setahun. Interferon alfa diberikan secara subkutan 3 MIU, tiga kali seminggu 4-6
bulan, namun ternyata juga banyak yang kambuh.
Pada hepatitis C kronik; kombinasi interferon dan ribavirin merupakan terapi
standar. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU tiga kali
seminggu dan dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6 bulan.
Pada pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih
mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang,
menempatkan sel stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik akan
merupakan terapi utama.
3.6. 1Pengobatan sirosis dekompensata
- Asites
Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2
gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretic.
Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari.
Penurunan berat badan dimonitor 0.5kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1Kg/hari
dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa
dikombinasi dengan furosemid 20-40 mg/hari dengan dosis maksimal 160mg/hari.
Parasintesis dilakukan jika asites terlampau besar. Pengeluaran asites bisa sampai 4-6
liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.
- Ensefalopati hepatik
Laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan ammonia. Neomisin bisa
digunakan unuk menurangi bakteri sus penghasil ammonia, diet prtein dikurangi
sampai 0,5 gr/kg berat badan per hari, terutama diberikan yang kaya asam amino
rantai cabang.
- Varises esophagus
Sebelum berdarah dan sesudah berdarah dapat diberikan obat beta-blocker
(propanolol). Waktu perdarahan akut, bisa diberikan prearat somatostatin atau
oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi.
- Peritonitis bakerial spontan
Diberikan antibiotik seperti sefotaksim intravena, amoksisilin, atau
aminoglikosida.
- Sindrom hepatorenal
Mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati, mengatur keseimbangan garam
dan air.
- Transplantasi hati
Terapi definitif pada pasien sirosis decompensata. Namun sebelum dilakukan
transplantasi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi resipien dahulu.
3. 7 Prognosis
Prognosis pasien sirosis tergantung ada tidaknya komplikasi sirosis. Pasien
sirosis kompensata mempunyai harapan hidup lebih lama, jika tidak berkembang
menjadi sirosis dekompensata.
Untuk pasien sirosis hati yang direncanakan tindakan bedah, penilaian
prognosis pasien dilakukan dengan melakukan penilaian skor menurut Child-
Turcotte-Pough (skor CTP). Sementara untuk penilaian pasien sirosis yang
direncanakan transplantasi hati menggunakan skor MELD (Model for End-stage Liver
Disease) atau PELD (Pediatric for End-stage Liver Disease).
CTP score :
Klasifikasi CTP 1 2 3
Bilirubin (mg/dL) <2 2 – 3 >3
Pasien PBC dan PSC <4 4 – 10 >10
Albumin (g/dL) >3.5 2.8 – 3.5 <2.8
PT memanjang >3.5 4 – 6 >6
INR <1,7 1.8 – 2.3 >23
Asites - Sedikit atau terkontrol
obat
Sedang atau berat
Ensefalopati - 1 – 2 3 – 4
Skor MELD atau PELD :
Skor MELD : 3.8*log (bilirubin) + 11,2*log (INR) + 9.6* (kreatinin) +6.4
Interval skor MELD = 6 – 40
Menurut SHERLOCK, sirosis hati bukanlah penyakit yang progresif. Dengan
terapi yang adekuat dapat terjadi perbaikan. Menurut READ, STEIGMAN jika sudah
terdapat kegagalan hati dan hipertensi portal prognosanya jelek.
BAB IV
ANALISIS KASUS DAN PEMBAHASAN
Seorang pria berusia 60 tahun datang ke IGD RSUD Soreang dengan keluhan
utama perut membesar sejak 2 minggu SMRS disertai dengan nyeri ulu hati, nausea
tanpa disertai vomitus, edema ekstremitas inferior (+), dyspnea d’effort (+), orthopnea
(+) ,
Sejak 1 bulan SMRS pasien juga mengeluhkan adanya anoreksia, malaise dan
penurunan berat badan sebanyak 5 kg disertai dengan ikterik pada mata. BAK
menjadi seperti air teh dengan jumlah sedikit-sedikit setiap BAK. BAB menjadi
berwarna hitam dan keras.
Pasien pernah dirawat dengan keluhan serupa 10 bulan SMRS namun sudah 3
bulan pasien tidak kontrol. Pasien pernah memiliki kebiasaan merokok dan minum
minuman beralkohol sekitar 20 tahun yang lalu.
Pemeriksaan Fisik : KU: Compos mentis dengan Vital Sign dbn, Sclera
Icteric, JVP meningkat, Batas Jantung Kiri melebar 2 jari lateral LMCS, Pada
pemeriksaan paru ditemukan Rhonki basah halus pada basal paru tanpa adanya
wheezing, Pada Abdomen, ditemukan spider naevi +, ascites dengan shifting dullness,
bising usus +, dan hepar serta lien sulit dinilai. Pitting edema pada ekstremitas inferior
+.
Pemeriksaan Penunjang didapatkan Bilirubin Total : 1,83 mg/dl (meningkat),
Bilirubin Direk : 1,35 mg/dl (meningkat), Protein Total : 8,80 g/dl(meningkat),
Globulin : 4,26 g/dl (meningkat)
Pemeriksaan Foto Thorax PA didapatkan Efusi pleura bilateral dan edema paru.
Pemeriksaan EKG : OMI Inferior
USG menyokong gambaran sirosis hepatis dan splenomegali.
Diagnosis kerja pasien ini adalah Sirosis Hepatis dan CHF fc ? . Dengan
diagnosis tersebut maka pasien mendapatkan terapi O2 2-4 liter/menit, Venflon,
Ondansetron 3 x 4 mg, Furosemid 3 x 2 amp, Ranitidine 2x1 amp iv, KSR 1x1 tab,
Spironolakton 1x1 tab.
Menurut David. C. Wolf (2012) gejala awal sirosis (kompensata) meliputi
perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung,
mual dan berat badan menurun, sedangkan pada tahap lanjut dari sirosis
(dekompensata) dapat menimbulkan komplikasi berupa hipertensi porta dengan
manifestasi timbulnya asites yang menimbulkan rasa nyeri atau tidak nyaman,
splenomegali yang dapat menimbulkan rasa nyeri pada perut kanan atas, perdarahan
varises esofagus yang dapat menimbulkan hematemesis dan melena, timbulnya
pembuluh darah kolateral pada kulit abdomen (caput medusa) dan pembengkakan
pada ekstremitas bawah.
Selain itu, pasien dengan sirosis juga dapat mengalami peningkatan konversi
hormon steroid androgen menjadi estrogen di kulit, jaringan adiposa, otot dan tulang.
Pada pasien pria dapat timbul ginekomastia dan impotensi. Hilangnya rambut ketiak
dan rambut pubis dapat pula ditemukan pada pasien pria dan wanita. Keadaan
hiperestrogenemia juga mengakibatkan timbulnya spider angiomata dan palmar
eritema. (David. C. Wolf, 2012)
Kelainan hematologi seperti anemia dan trombositopenia dapat terjadi akibat
dari splenomegali dan penurunan kadar trombopoietin. Kelainan pembekuan darah
juga dapat terjadi akibat penurunan produksi faktor pembekuan darah akibat
kerusakan sel parenkim hepar. (David. C. Wolf, 2012)
Gangguan fungsi paru-paru dapat terjadi pada pasien sirosis hepatis, dimana
dapat ditemukan efusi pleura dan elevasi diafragma yang diakibatkan oleh asites yang
hebat, akibatnya dapat terjadi gangguan ventilasi-perfusi paru. Edema interstitial juga
dapat menurunkan kapasitas difusi paru-paru sehingga dapat menimbulkan sesak pada
pasien. (David. C. Wolf, 2012)
Adanya sirosis dicurigai apabila ditemukan kelaninan pemeriksaan
laboratorium meliputi :
Peningkatan SGOT dan SGPT, SGOT lebih meningkat dari SGPT tetapi bila
normal tidak mengenyampingkan adanya sirosis.
Peningkatan alkali fosfatase
Peningkatan Gamma-glutamil transpeptidase
Peningkatan bilirubin
Peningkatan globulin
Pemanjangan waktu PT
Penurunan albumin
Anemia
Pemeriksaan barium meal dapat melihat varises
Pemeriksaan Imaging seperti USG untuk melihat perubahan morfologi hati
Penegakkan Diagnosis Sirosis Hepatis berdasarkan anamnesis dimana
didapatkan :
Perut membesar sejak dua minggu yang lalu
Mual dan nyeri ulu hati
Penurunan nafsu makan
Lemah
Berat Badan Menurun
Kuning pada mata
BAK seperti air teh dengan jumlah sedikit-sedikit
BAB berwarna hitam
Riwayat minum-minuman beralkohol (+)
Riwayat pernah dirawat dengan keluhan serupa (+)
Sedangkan pada pemeriksaan fisik didapatkan hal-hal yang menunjang ke arah Sirosis
Hepatis diantaranya :
Sclera icteric
Spider naevi (+)
Asites (+) shifting dullness (+) H/L Sulit dinilai
Rhonkhi basah pada basal paru efusi pleura bilateral
edema ekstremitas +/+
Pemeriksaan lab yang mendukung ke arah sirosis hepatis adalah ditemukannya
peningkatan Bilirubin Total : 1,83 mg/dl, Bilirubin Direk : 1,35 mg/dl, Protein Total :
8,80 g/dl, Globulin : 4,26 g/dl, sedangkan kadar SGOT/SGPT, Ureum dan Creatinin
serta GDS dalam batas normal.
Pemeriksaan Foto Thorax PA didapatkan Efusi pleura bilateral dan edema paru.
USG menyokong gambaran sirosis hepatis dan splenomegali.
Pada pasien sirosis yang mengalami asites, menurut David. C. Wolf (2012)
terapi yang diberikan adalah :
Restriksi asupan sodium : kurang dari 2000 mg/hari, bahkan pada pasien
dengan asites refreakter diet diusahakan kurang dari 500 mg/hari.
Diuretik
o Spironolakton 50-300 mg/hari
o Furosemide (Lasix) 40-240 mg/hari dibagi dalam 1-2 dosis terbagi.
Albumin
Large-volume paracentesis
Peritoneovenous shunt
Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt
Pada kasus ini, pasien mendapatkan terapi O2 2-4 liter/menit, Venflon, Ondansetron 3
x 4 mg, Furosemid 3 x 2 amp, Ranitidine 2x1 amp iv, KSR 1x1 tab, Spironolakton
1x1 tab, sesuai dengan literatur.
Prognosis pada pasien sirosis dapat diprediksi mempergunakan Child-Pugh
Score, yaitu :
Klasifikasi CTP 1 2 3
Bilirubin (mg/dL) <2 2 – 3 >3
Pasien PBC dan PSC <4 4 – 10 >10
Albumin (g/dL) >3.5 2.8 – 3.5 <2.8
PT memanjang >3.5 4 – 6 >6
INR <1,7 1.8 – 2.3 >23
Asites - Sedikit atau terkontrol
obat
Sedang atau berat
Ensefalopati - 1 – 2 3 – 4
Pada pasien didapatkan score CTP minimal 8 (delapan), karena kadar PT dan
INR tidak diperiksa. Score CTP lebih besar atau sama dengan 10 memberikan
gambaran ekspetansi hidup yang lebih rendah (kurang dari 50%) dalam satu tahun.
Masalah yang timbul pada pasien ini adalah rendahnya produksi urine sejak
pasien dirawat. Pada pasien diketahui bahwa sejak 1 bulan SMRS BAK frekuensi
menjadi berkurang dengan jumlah hanya sedikit tiap BAK. Pada hari pertama
perawatan jumlah produksi urine 700 cc/24 jam, hari kedua perawatan 750 cc/24 jam
dan menurun menjadi hanya 20 cc/jam pada hari ketiga perawatan, disertai dengan
keadaan umum pasien yang menjadi gelisah dan sesak.
Beberapa kemungkinan yang dapat mengakibatkan gagal ginjal akut pada pasien
sirosis, adalah sbb :
Pada pasien ini kemungkinan besar penyebab gagal ginjal akut adalah keadaan
hepatorenal syndrome.
Sindrom hepatorenal yang diusulkan oleh International Ascites Club (1994)
adalah sindroma klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati kronik dan kegagalan
hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan fungsi ginjal dan
abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktifitas sistem vasoactive endogen.4
SHR adalah komplikasi dari penyakit hati lanjut yang ditandai tidak hanya
gagal ginjal, tapi juga gangguan sistem hemodinamik dan aktifitas sistem vasoaktif
endogen. Patogenesis SHR belum diketahui pasti, tapi diduga karena pengurangan
pengisian sirkulasi arteriol sekunder karena vasodilatasi sirkulasi arteriol di splanik,
serta gangguan keseimbangan antara faktor vasokonstriktor dan vasodilator.
Menurut Pere Ginès, et al dalam Lancet 2003; 362: 1819–27, patogenesis terjadinya
HRS adalah sbb :
Penegakan Diagnosis SHR berdasarkan CJASN September 2006 vol. 1 no. 5
1066-1079 adalah sbb :
Pada pasien tiga dari empat kriteria mayor untuk penegakkan diagnosis
hepatorenal sindrom terpenuhi, Satu kriteria yang tidak terpenuhi yaitu tidak adanya
perbaikan fungsi renal setelah penghentian diuretic dan penambahan volume plasma
sebanyak 1,5 liter.
Menurut Andres Cardenas pada Am J Gastroenterol, 2005:100:460-467,
terdapat dua tipr HRS yaitu ;
Pada kasus sulit ditentukan apakah pasien mengalami HRS tipe 1 atau tipe 2 karena
pada saat terjadi penurunan produksi urine tidak dilakukan pengukuran kembali kadar
ureum dan kreatinin. Namun berdasarkan perjalanan waktu dan gejala yang timbul,
kemungkinan besar pasien menderita HRS tipe 2 dimana gejala berjalan lebih lambat
dan disertai dengan timbulnya asites yang berulang.
Penanganan HRS tipe 2 menurut Pere Ginès, et al dalam Lancet 2003; 362:
1819–27, adalah sbb :
Pada pasien telah diberikan diuretic dan restriksi cairan namun belum
dilakukan paresentesis ataupun pemberian albumin untuk menangani asites.
Masalah selanjutnya pada kasus ini adalah terjadinya penurunan kesadaran
pada pasien yang kemungkinan besar terjadi sebagai komplikasi dari sirosis hepatis
yaitu ensefalopati hepatikum.
Hepatic encephalopathy (HE) adalah suatu sindroma disfungsi neuropsikiatri
yang diakibatkan oleh portosystemic venous shunting, dengan ataupun tanpa adanya
kelainan intrinsik hati. Manifestasi klinis HE biasanya muncul sebagai perubahan
status mental yang bervariasi dari mulai hanya perubahan kepribadian sampai
timbulnya koma. (Munoz,2008).
Manifestasi klinis HE adalah sbb ;
Pada pasien awalnya hanya timbul keadaan delirium, nampak bingung jika
ditanya namun lama kelamaan pasien jatuh ke keadaan koma.
Beberapa faktor pencetus yang dapat mengakibatkan pasien sirosis jatuh ke
keadaan koma hepatikum, diantaranya adalah :
Pada pasien kemungkinan besar penyebab timbulnya hepatic encephalopathy
adalah adanya gagal ginjal akut akibat Hepatorenal Syndrome dimana terjadi
penurunan ekskresi ammonia melalui ginjal.
Menurut Munoz (2008), penatalaksanaan HE adalah dengan mengkoreksi
faktor pencetus, pemberian laktulosa, antibiotik oral dan diet protein (branched amino
acid preparat). Pada kasus, untuk penanganan HE pasien diberi tambahan terapi
komafusin.
Selain menyebabkan Hepatic Encephalopathy, Keadaan Hepatorenal
Syndrome pada pasien ini mengakibatkan overloading cairan, akibatnya beban
jantung pada pasien bertambah berat, sedangkan pasien sudah memiliki riwayat CHF
sebelumnya. Akibatnya timbul Syok Kardiogenik pada pasien. Pemberian dopamine
dan dobutamine sebagai agen vasokonstriktor pada pasien sempat memperbaiki
keadaan pasien, namun karena sudah terjadi kegagalan fungsi hepar, ginjal dan
jantung, maka pasien meninggal pada hari ke-empat perawatan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
Pasien datang dengan diagnosis sirosis hepatis dekompensata disertai dengan
adanya Gagal Jantung Kongestif. Pada perjalanan penyakit pasien mengalami
komplikasi berupa Hepatorenal Syndrome yang kemudian berakibat timbulnya Koma
Hepatikum dan Syok Kardiogenik. Kegagalan organ hepar, ginjal, jantung dan otak
mengakibatkan kematian pada pasien ini.
5.2 SARAN
Pemantauan input/uotput cairan pada pasien cirhosis dengan asites berat perlu
dilakukan dengan ketat dan dilaporkan segera untuk menghindari
keterlambatan penegakkan diagnosis dan pemberian terapi.
Pemeriksaan penunjang pada pasien kasus ini masih banyak terlewat dan
kurang lengkap, seperti hasil HbsAg, tidak dilakukannya pemeriksaan kadar
Ureum dan kreatinin ulang pada saat terjadi anuria.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, Aru W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Edisi IV.
Jakarta: Balai Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006.
2. Sulaiman, H Ali. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Edisi I. Jakarta: Jayabadi.
2007.
3. Fauci, dkk. Harrison’s principles of internal medicine. Edisi XVII.
Amerika serikat: The McGraw-Hill Companies. 2008.
4. Wadei, M.H, et al. Hepatorenal Syndrome: Pathophysiology and
Management. CJASN September 2006 vol. 1 no. 5 1066-1079.
5. Gines, P, et al. Hepatorenal Syndrome. Lancet 2003; 362: 1819–27.
6. Munoz, S.J. Hepatic Encephalopathy. Med Clin N Am 92 (2008) 795–812
7. Blei, et al. Practice Guidelines:Hepatic encephalopathy. AJG – Vol. 96,
No. 7, 2001
8. http://emedicine.medscape.com/article/185856-overview#aw2aab6c11