Case Oligohidramnion
-
Upload
vidro-alif-gunawan -
Category
Documents
-
view
102 -
download
2
description
Transcript of Case Oligohidramnion
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien
gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama
kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif atau darurat)
harus dipersiapkan dengan baik. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi
pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi
yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan
prognosis dan persiapan pada pada hari operasi. Tahap penatalaksanaan anestesi yang
terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan pemeliharaan. Serta tahap pemulihan dan
perawatan pasca anestesi.
Seksio sesarea ialah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka
dinding perut dan dinding uterus. Dewasa ini cara ini jauh lebih aman daripada
dahulu berhubung dengan adanya antibiotika, transfusi darah, teknik operasi yang
lebih sempurna dan anestesi yang lebih baik. Karena itu kini ada kecenderungan
untuk melakukan seksio sesarea tanpa dasar yang cukup kuat. Dalam hubungan ini
perlu diingat bahwa seorang ibu yang telah mengalami pembedahan itu merupakan
seorang yang mempunyai parut uterus, dan tiap kali kehamilan serta persalinan
berikut memerlukan pengawasan yang cermat berhubung dengan bahaya ruptura
uteri.
Prinsip dilakukan tindakan seksio sesarea diantaranya keadaan yang tidak
memungkinkan janin dilahirkan per vaginam, dan atau keadaan gawat darurat yang
memerlukan pengakhiran kehamilan / persalinan segera, yang tidak mungkin
menunggu kemajuan persalinan per-vaginam secara fisiologis. Indikasi dilakukan
tindakan seksio sesarea salah satu diantaranya ialah oligohidramnion, yakni suatu
keadaan dimana air ketuban kurang dari normal, yaitu kurang dari 500 cc.
WHO (World Health Organization) memperkirakan bahwa angka persalinan
dengan seksio sesarea sekitar 10-15% dari semua proses persalinan di negara-negara
berkembang dibandingkan dengan 20% di Britania Raya dan 23% di Amerika
Serikat. Kanada pada 2003 memiliki angka 21%. Data statistik dari 1990-an
menyebutkan bahwa kurang dari 1 kematian dari 2.500 yang menjalani bedah caesar,
dibandingkan dengan 1 dari 10.000 untuk persalinan normal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Oligohidramnion
2.1.1. Definisi Oligohidramnion
Oligohidramnion adalah suatu keadaan dimana air ketuban kurang dari
normal, yaitu kurang dari 500 cc.
Definisi lainnya menyebutkan sebagai AFI yang kurang dari 5 cm. Karena
VAK tergantung pada usia kehamilan maka definisi yang lebih tepat adalah AFI yang
kurang dari presentil 5 ( lebih kurang AFI yang <6.8 cm saat hamil cukup bulan) 13.
2.1.2. Patofisiologi Oligohidramnion
Mekanisme atau patofisiologi terjadinya oligohidramnion dapat dikaitkan
dengan adanya sindroma potter dan fenotip pottern, dimana, Sindroma Potter dan
Fenotip Potter adalah suatu keadaan kompleks yang berhubungan dengan gagal ginjal
bawaan dan berhubungan dengan oligohidramnion (cairan ketuban yang sedikit).
Fenotip Potter digambarkan sebagai suatu keadaan khas pada bayi baru lahir,
dimana cairan ketubannya sangat sedikit atau tidak ada. Oligohidramnion
menyebabkan bayi tidak memiliki bantalan terhadap dinding rahim. Tekanan dari
dinding rahim menyebabkan gambaran wajah yang khas (wajah Potter). Selain itu,
karena ruang di dalam rahim sempit, maka anggota gerak tubuh menjadi abnormal
atau mengalami kontraktur dan terpaku pada posisi abnormal.
Oligohidramnion juga menyebabkan terhentinya perkembangan paru-paru
(paru-paru hipoplastik), sehingga pada saat lahir, paru-paru tidak berfungsi
sebagaimana mestinya. Pada sindroma Potter, kelainan yang utama adalah gagal
ginjal bawaan, baik karena kegagalan pembentukan ginjal (agenesis ginjal bilateral)
maupun karena penyakit lain pada ginjal yang menyebabkan ginjal gagal berfungsi.
Dalam keadaan normal, ginjal membentuk cairan ketuban (sebagai air kemih)
dan tidak adanya cairan ketuban menyebabkan gambaran yang khas dari sindroma
Potter.
Gejala Sindroma Potter berupa :
Wajah Potter (kedua mata terpisah jauh, terdapat lipatan epikantus, pangkal
hidung yang lebar, telinga yang rendah dan dagu yang tertarik ke belakang).
Tidak terbentuk air kemih
Gawat pernafasan14.
2.1.3. Epidemiologi Oligohidramnion
Sekitar 8% wanita hamil memiliki cairan ketuban terlalu sedikit.
Olygohydramnion dapat terjadi kapan saja selama masa kehamilan, walau pada
umumnya sering terjadi di masa kehamilan trimester terakhir. Sekitar 12% wanita
yang masa kehamilannya melampaui batas waktu perkiraan lahir (usia kehamilan 42
minggu) juga mengalami olygohydrasmnion, karena jumlah cairan ketuban yang
berkurang hamper setengah dari jumlah normal pada masa kehamilan 42 minggu1
2.1.4. Etiologi Oligohidramnion
Penyebab oligohydramnion tidak dapat dipahami sepenuhnya. Mayoritas
wanita hamil yang mengalami tidak tau pasti apa penyebabnya. Penyebab
oligohydramnion yang telah terdeteksi adalah cacat bawaan janin dan bocornya
kantung/ membran cairan ketuban yang mengelilingi janin dalam rahim. Sekitar 7%
bayi dari wanita yang mengalami oligohydramnion mengalami cacat bawaan, seperti
gangguan ginjal dan saluran kemih karena jumlah urin yang diproduksi janin
berkurang. Masalah kesehatan lain yang juga telah dihubungkan dengan
oligohidramnion adalah tekanan darah tinggi, diabetes, SLE, dan masalah pada
plasenta. Serangkaian pengobatan yang dilakukan untuk menangani tekanan darah
tinggi, yang dikenal dengan namaangiotensin-converting enxyme inhibitor (mis
captopril), dapat merusak ginjal janin dan menyebabkan oligohydramnion parah dan
kematian janin. Wanita yang memiliki penyakit tekanan darah tinggi yang kronis
seharusnya berkonsultasi terlebih dahulu dengan ahli kesehatan sebelum
merencanakan kehamilan untuk memastikan bahwa tekanan darah mereka tetap
terawasi baik dan pengobatan yang mereka lalui adalah aman selama kehamilan
mereka.
Fetal :
Kromosom
Kongenital
Hambatan pertumbuhan janin dalam rahim
Kehamilan postterm
Premature ROM (Rupture of amniotic membranes)
Maternal :
Dehidrasi
Insufisiensi uteroplasental
Preeklamsia
Diabetes
Hypoxia kronis
Induksi Obat :
Indomethacin and ACE inhibitors
Idiopatik2
2.1.5. Faktor Resiko Oligohidramnion
Wanita dengan kondisi berikut memiliki insiden oligohidramnion yang tinggi :
Anomali kongenital ( misalnya : agenosis ginjal,sindrom patter ).
Retardasi pertumbuhan intra uterin.
Ketuban pecah dini ( 24-26 minggu ).
Sindrom pasca maturitas15
2.1.6. Manifestasi Klini Oligohidramnion
Uterus tampak lebih kecil dari usia kehamilan dan tidak ada ballotemen.
Ibu merasa nyeri di perut pada setiap pergerakan anak.
Sering berakhir dengan partus prematurus.
Bunyi jantung anak sudah terdengar mulai bulan kelima dan terdengar lebih jelas.
Persalinan lebih lama dari biasanya.
Sewaktu his akan sakit sekali.
Bila ketuban pecah, air ketuban sedikit sekali bahkan tidak ada yang keluar16.
2.1.7. Diagnosis dan Pemeriksaan Oligohidramnion
Pemeriksaan dengan USG dapat mendiagnosa apakah cairan ketuban terlalu
sedikit atau terlalu banyak. Umumnya para doketer akan mengukur ketinggian cairan
dalam 4 kuadran di dalam rahim dan menjumlahkannya. Metode ini dikenal dengan
nama Amniotic Fluid Index (AFI). Jika ketinggian amniotic fluid (cairan ketuban)
yang di ukur kurang dari 5 cm, calon ibu tersebut didiagnosa mengalami
oligohydramnion. Jika jumlah cairan tersebut lebih dari 25 cm, ia di diagnosa
mengalami poluhydramnion17
2.1.8. Penatalaksanaan Oligohidramnion
Sebenarnya air ketuban tidak akan habis selama kehamilan masih normal dan
janin masih hidup. Bahkan air ketuban akan tetap diproduksi, meskipun sudah pecah
berhari-hari. Walau sebagian berasal dari kencing janin, air ketuban berbeda dari air
seni biasa, baunya sangat khas. Ini yang menjadi petunjuk bagi ibu hamil untuk
membedakan apakah yang keluar itu air ketuban atau air seni.
Supaya volume cairan ketuban kembali normal, dokter umumnya
menganjurkan ibu hamil untuk menjalani pola hidup sehat, terutama makan dengan
asupan gizi berimbang. Pendapat bahwa satu-satunya cara untuk memperbanyak
cairan ketuban adalah dengan memperbanyak porsi dan frekuensi minum adalah
”salah kaprah”. Tidak benar bahwa kurangnya air ketuban membuat janin tidak bisa
lahir normal sehingga mesti dioperasi sesar. Bagaimanapun, melahirkan dengan cara
operasi sesar merupakan pilihan terakhir pada kasus kekurangan air ketuban.
Meskipun ketuban pecah sebelum waktunya, tetap harus diusahakan persalinan
pervaginam dengan cara induksi yang baik dan benar.
Studi baru-baru ini menyarankan bahwa para wanita dengan kehamilan
normal tetapi mengalami oligohydramnion dimasa-masa terakhir kehamilannya
kemungkinan tidak perlu menjalani treatment khusus, dan bayi mereka cenderung
lahir denga sehat. Akan tetapi wanita tersebut harus mengalami pemantauan terus-
menerus. Dokter mungkin akan merekomendasikan untuk menjalani pemeriksaan
USG setiap minggu bahkan lebih sering untuk mengamati apakah jumlah cairan
ketuban terus berkurang. Jika indikasi berkurangnya cairan ketuban tersebut terus
berlangsung, dokter mungkin akan merekomendasikan persalinan lebih awal dengan
bantuan induksi untuk mencegah komplikasi selama persalinan dan kelahiran. Sekitar
40-50% kasus oligohydramnion berlangsung hingga persalinan tanpa treatment sama
sekali. Selain pemeriksaan USG, dokter mungkin akan merekomendasikan tes
terhadap kondisi janin, seperti tes rekam kontraksi untuk mengganti kondisi stress
tidaknya janin, dengan cara merekam denyut jantung janin. Tes ini dapat memberi
informasi penting untuk dokter jika janin dalam rahim mengalami kesulitan. Dalam
kasus demikian, dokter cenderung untuk merekomendasikan persalinan lebih awal
untuk mencegah timbulnya masalah lebih serius. Janin yang tidak berkembang
sempurna dalam rahim ibu yang mengalami oligohydramnion beresiko tinggi untuk
mengalami komplikasi selama persalinan, seperti asphyxia (kekurangan oksigen),
baik sebelum atau sesudah kelahiran. Ibu dengan kondisi janin seperti ini akan
dimonitor ketat bahkan kadang-kadang harus tinggal di rumah sakit.
Jika wanita mengalami oligohydramnion di saat-saat hampir bersalin, dokter
mungkin akan melakukan tindakan untuk memasukan laruran salin melalui leher
rahim kedalam rahim. Cara ini mungkin mengurangi komplikasi selama persalinan
dan kelahiran juga menghindari persalinan lewat operasi caesar. Studi menunjukan
bahwa pendekatan ini sangat berarti pada saat dilakukan monitor terhadap denyut
jantung janin yang menunjukan adanya kesulitan. Beberapa studi juga menganjurkan
para wanita dengan oligohydramnion dapat membantu meningkatkan jumlah cairan
ketubannya dengan minum banyak air. Juga banyak dokter menganjurkan untuk
mengurangi aktivitas fisik bahkan melakukan bedrest18
2.1.9. Prognosis Oligohidramnion
Semakin awal oligohidramnion terjadi pada kehamilan, semakin buruk
prognosisnya
Jika terjadi pada trimester II, 80-90% mortalitas3
2.1.10. Komplikasi Oligohidramnion
Kurangnya cairan ketuban tentu aja akan mengganggu kehidupan janin,
bahkan dapat mengakibatkan kondisi gawat janin. Seolah-olah janin tumbuh dalam
”kamar sempit” yang membuatnya tidak bisa bergerak bebas. Malah pada kasus
extrem dimana suah terbentuk amniotic band (benang atau serat amnion) bukan tidak
mustahil terjadi kecacatan karena anggota tubuh janin ”terjepit” atau ”terpotong” oleh
amniotic band tersebut.
Efek lainnya janin berkemungkinan memiliki cacat bawaan pada saluran
kemih, pertumbuhannya terhambat, bahkan meninggal sebelum dilahirkan. Sesaat
setelah dilahirkan pun, sangat mungkin bayi beresiko tak segera bernafas secara
spontan dan teratur.
Bahaya lainnya akan terjadi bila ketuban lalu sobek dan airnya merembes
sebelum tiba waktu bersalin. Kondisi ini amat beresiko menyebabkan terjadinya
infeksi oleh kuman yang berasal daribawah. Pada kehamilan lewat bulan, kekurangan
air ketuban juga sering terjadi karena ukuran tubuh janin semakin besar.
Masalah-masalah yang dihubungkan dengan terlalu sedikitnya cairan ketuban
berbeda-beda tergantung dari usia kehamilan. Oligohydramnion dapat terjadi di masa
kehamilan trimester pertama atau pertengahan usia kehamilan cenderung berakibat
serius dibandingkan jika terjadi di masa kehamilan trimester terakhir. Terlalu
sedikitnya cairan ketuban dimasa awal kehamilan dapat menekan organ-organ janin
dan menyebabkan kecacatan, seperti kerusakan paru-paru, tungkai dan lengan.
Olygohydramnion yang terjadi dipertengahan masa kehamilan juga
meningkatka resiko keguguran, kelahiran prematur dan kematian bayi dalam
kandungan. Jika ologohydramnion terjadi di masa kehamilan trimester terakhir, hal
ini mungkin berhubungan dengan pertumbuhan janin yang kurang baik. Disaat-saat
akhir kehamialn, oligohydramnion dapat meningkatkan resiko komplikasi persalinan
dan kelahiran, termasuk kerusakan pada ari-ari memutuskan saluran oksigen kepada
janin dan menyebabkan kematian janin. Wanita yang mengalami oligohydramnion
lebih cenderung harus mengalami operasi caesar disaat persalinannya19.
2.2. Anestesi Spinal
2.2.1. Definisi Anestesi Spinal
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan
tindakanpenyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid.
Anestesispinal/subaraknoid disebut juga sebagai blok spinal intradural atau blok
intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesic lokal ke
dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.
2.2.2. Mekanisme Kerja Anestesi Regional
Zat anestesi lokal memberikan efek terhadap semua sel tubuh, dimana tempat
kerjanya khususnya pada jaringan saraf. Penggunaan pada daerah meradang tidak
akan memberi hasil yang memuaskan oleh karena meningkatnya keasaman jaringan
yang mengalami peradangan sehingga akan menurunkan aktifitas dari zat anestesi
lokal (pH sekitar 5). Anestesi lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls
saraf, efeknya pada aksoplasma hanya sedikit saja. Sebagaimana diketahui, potensial
aksi saraf terjadi karena adanya peningkatan sesaat (sekilas) pada permeabilitas
membrane terhadap ion Na akibat depolarisasi ringan pada membran. Proses inilah
yang dihambat oleh obat anestesi lokal dengan kanal Na+ yang peka terhadap
perubahan voltase muatan listrik (voltase sensitive Na+ channels). Dengan
bertambahnya efek anestesi lokal di dalam saraf, maka ambang rangsang membran
akan meningkat secara bertahap, kecepatan peningkatan potensial aksi menurun,
konduksi impuls melambat dan faktor pengaman (safety factor) konduksi saraf juga
berkurang. Faktor-faktor ini akan mengakibatkan penurunan kemungkinan
menjalarnya potensial aksi, dan dengan demikian mengakibatkan kegagalan konduksi
saraf. Ada kemungkinan zat anestesi lokal meninggikan tegangan permukaan lapisan
lipid yang merupakan membran sel saraf, sehingga terjadi penutupan saluran
(channel) pada membran tersebut 3 sehingga gerakan ion (ionik shift) melalui
membran akan terhambat. Zat anestesi lokal akan menghambat perpindahan natrium
dengan aksi ganda pada membran sel berupa :
1. Aksi kerja langsung pada reseptor dalam saluran natrium. Cara ini akan terjadi
sumbatan pada saluran, sehingga natrium tak dapat keluar masuk membran.
Aksi ini merupakan hampir 90% dari efek blok. Percobaan dari Hille
menegaskan bahwa reseptor untuk kerja obat anestesi lokal terletak di dalam
saluran natrium.
2. Ekspansi membran.
Bekerja non spesifik, sebagai kebalikan dari interaksi antara obat dengan
reseptor. Aksi ini analog dengan stabilisasi listrik yang dihasilkan oleh zat non-
polar lemak misalnya barbiturat, anestesi umum dan benzocaine. Untuk dapat
melakukan aksinya, obat anestesi lokal pertama kali harus dapat menembus
jaringan, dimana bentuk kation adalah bentuk yang diperlukan untuk
melaksanakan kerja obat di membran sel. Jadi bentuk kation yang bergabung
dengan reseptor di membran sel yang mencegah timbulnya potensial aksi. Agar
dapat melakukan aksinya, obat anestesi spinal pertama kali harus menembus
jaringan sekitarnya.
2.2.3. Teknik Anestesi Spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja
operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat. Adapun langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal adalah
sebagai berikut :
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri
bantal kepala, selain nyaman untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil.
Buat pasien membungkuk maksimal agar processus spinosus mudah teraba.
Posisi lain adalah duduk.
2. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan
pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G
dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29Gdianjurkan
menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan
jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan
jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah,
untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala
pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan
keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan
(0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum
tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan
likuor tidak keluar, putar arah jarum 90o biasanya likuor keluar. Untuk analgesia
spinal kontinyu dapat dimasukan kateter. 5
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
(wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa 6cm.�
2.2.4. Indikasi Anestesi Spinal
Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untukpembedahan
daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papilla mammae ke
bawah). Anestesi spinal ini digunakan pada hampir semua operasi abdomen bagian
bawah (termasuk seksio sesaria), perineum dan kaki.
2.2.5. Kontraindikasi
Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif.Kontraindikasi
Absolut diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat suntikan, hipovolemia,
penyakit neurologis yang tidak diketahui, koagulopati, dan peningkatan tekanan
intrakanial, kecuali pada kasus-kasus pseudotumor cerebri. Sedangkan kontraindikasi
relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan (misalnya, infeksi ekstremitas
korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi yang tidak diketahui. Dalam
beberapa kasus, jika pasien mendapat terapi antibiotik dan tanda-tanda vital stabil,
anestesi spinal dapat dipertimbangkan, sebelum melakukan anestesi spinal, ahli
anestesi harus memeriksa kembali pasien untuk mencari adanya tanda-tanda infeksi,
yang dapat meningkatkan risiko meningitis. Syok hipovolemia pra operatif dapat
meningkatkan risiko hipotensi setelah pemberian anestesi spinal. Tekanan intrakranial
yang tinggi juga dapat meningkatkan risiko herniasi uncus ketika cairan serebrospinal
keluar melalui jarum, jika tekanan intrakranial meningkat. Setelah injeksi anestesi
spinal, herniasi otak dapat terjadi. Kelainan koagulasi dapat meningkatkan resiko
pembentukan hematoma, hal ini penting untuk menentukan jumlah waktu yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan operasi sebelum melakukan induksi anestesi spinal.
Jika durasi operasi tidak diketahui, anestesi spinal yang diberikan mungkin tidak
cukup panjang untuk menyelesaikan operasi dengan mengetahui durasi operasi
membantu ahli anestesi menentukan anestesi lokal yang akan digunakan, 6
penambahan terapi spinal seperti epinefrin dan apakah kateter spinal akan
diperlukan. Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah tempat operasi,
karena operasi diatas umbilikus akan sulit untuk menutup dengan tulang belakang
sebagai teknik tunggal. Anestesi spinal pada pasien dengan penyakit neurologis
seperti multiple sclerosis masih kontroversial karena dalam percobaan in vitro
didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih rentan terhadap toksisitas obat bius lokal.
Penyakit jantung yang level sensorik di atas T6 merupakan kontraindikasi relatif
terhadap anestesi spinal seperti pada stenosis aorta, dianggap sebagai kontraindikasi
mutlak untuk anestesi spinal, sekarang mungkin menggabungkan pembiusan spinal
dilakukan dengan hati-hati, dalam perawatan anestesi mereka deformitas dari
kolumna spinalis dapat meningkatkan kesulitan dalam menempatkan anestesi spinal.
Arthritis, kyphoscoliosis, dan operasi fusi lumbal. dalam kemampuan dokter anestesi
untuk performa anestesi spinal. Hal ini penting untuk memeriksa kembali pasien
untuk menentukan kelainan apapun pada anatomi sebelum mencoba anestesi spinal.
2.2.6. Komplikasi
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi
lambat. Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi, respirasi dan gastrointestinal.
a. Komplikasi sirkulasi :
1. Hipotensi
Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering terjadi. Biasanya
terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah
perlu diukur setiap 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah
perlu diukur setiap 2 menit selama periode ini. Jika tekanan darah sistolik turun
dibawah 75 mmHg (10 kPa), atau terdapat gejala-gejala penurunan tekanan
darah, maka kita harus bertindak cepat untuk menghindari cedera pada ginjal,
jantung dan otak. 7
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi
blok makin berat hipotensi. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan
memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl, Ringer laktat) secara cepat segera
setelah penyuntikan anestesi spinal dan juga berikan oksigen. Bila dengan
cairan infus cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan
vasopressor seperti efedrin 15-25 mg intramuskular. Jarang terjadi, blok spinal
total dengan anestesi dan paralisis seluruh tubuh. Pada kasus demikian, kita
harus melakukan intubasi dan melakukan ventilasi paru, serta berikan
penanganan seperti pada hipotensi berat. Dengan cara ini, biasanya blok spinal
total dapat diatasi dalam 2 jam.
2. Bradikardia
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena
blok simpatis. Jika denyut jantung di bawah 65 kali per menit, berikan atropin
0,5 mg intravena.
3. Sakit Kepala
Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu komplikasi anestesi
spinal yang sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal biasanya akan
memburuk bila pasien duduk atau berdiri dan hilang bila pasien berbaring.
Sakit kepala biasanya pada daerah frontal atau oksipital dan tidak ada
hubungannya dengan kekakuan leher. Hal ini disebabkan oleh hilangnya cairan
serebrospinal dari otak melalui pungsi dura, makin besar lubang, makin besar
kemungkinan terjadinya sakit kepala. Ini dapat dicegah dengan membiarkan
pasien berbaring secara datar (boleh
menggunakan satu bantal) selama 24 jam.
4. Komplikasi Respirasi
a. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi
paru-paru normal.
b. Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal
tinggi.8
c. Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla.
d. Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas, merupakan tanda-
tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan
pernafasan buatan.
5. Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis
berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal
merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan
posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48 jam pasca pungsi
lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan
pada kehamilan meningkat.
2.2.7. Obat-Obat Anestesi Spinal
A. Bupivakain
Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai
berikut : 1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride.
Bupivakain adalah derivat butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali
lebih kuat daripada asalnya. Obat ini bersifat long acting dan disintesa oleh BO
af Ekenstem dan dipakai pertama kali pada tahun 1963. Secara komersial
bupivakain tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Dengan kecenderungan yang
lebih menghambat sensoris daripada motoris menyebabkan obat ini sering
digunakan untuk analgesia selama persalinan dan pasca bedah. Pada tahun
terakhir, larutan bupivakain baik isobarik maupun hiperbarik telah banyak
digunakan pada blok subrakhnoid untuk operasi abdominal bawah. Pemberian
bupivakain isobarik, biasanya menggunakan konsentrasi 0,5%, volume 3-4 ml
dan dosis total 15-20 mg, sedangkan bupivakain hiperbarik diberikan dengan
konsentrasi 0,5%, volume 2-4 ml dan total dosis 15-22,5 mg. Bupivakain dapat
melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam jumlah kecil. Bila diberikan dalam
dosis ulangan, takifilaksis yang terjadi lebih ringan bila 9 dibandingkan dengan
lidokain. Salah satu sifat yang paling disukai dari bupivakain selain dari
kerjanya yang panjang adalah sifat blockade motorisnya yang lemah.
Toksisitasnya lebih kurang sama dengan tetrakain. Bupivakain juga mempunyai
lama kerja yang lebih panjang dari lignokain karena mempunyai kemampuan
yang lebih besar untuk mengikat protein. Untuk menghilangkan nyeri pada
persalinan, dosis sebesar 30 mg akan memberikan rasa bebas nyeri selama 2
jam disertai blokade motoris yang ringan. Analgesik paska bedah dapat
berlangsung selama 4 jam atau lebih, sedangkan pemberian dengan tehnik
anestesi kaudal akan memberikan efek analgesik selama 8 jam atau lebih. Pada
dosis 0,25 – 0,375 % merupakan obat terpilih untuk obstetrik dan analgesic
paska bedah. Konsentrasi yang lebih tinggi (0,5 – 0,75 %) digunakan untuk
pembedahan. Konsentrasi infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok saraf tepi 0,25 – 0,5 %,
epidural 0,5 – 0,75 %, spinal 0,5 %. Dosis maksimal pada pemberian tunggal
adalah 175 mg. Dosis rata-ratanya 3 – 4 mg / kgBB.
B. Klonidin
Klonidin adalah salah satu contoh dari agonis α2 yang digunakan untuk
obat antihipertensi (penurunan resistensi pembuluh darah sistemik) dan efek
kronotropik negatif. Lebih jauh lagi, klonidin dan obat α2 agonis lain juga
mempunyai efek sedasi. Dalam beberapa penelitian juga ditemukan efek
anestesi dari pemberian secara oral (3-5μg/kg), intramuscular (2μg/kg),
intravena (1- 3μg/kg), transdermal (0,1-0,3 mg setiap hari) intratekal 75-150μg)
dan epidural (1-2μg/kg) dari pemberian klonidin. Secara umum klonidin
menurunkan kebutuhan anestesi dan analgesi (menurunkan MAC) dan
memberikan efek sedasi dan anxiolisis. Selama anestesi umum, klonidin
dilaporkan juga meningkatkan stabilitias sirkulasi intraoperatif dengan
menurunkan tingkatan katekolamin. Selama anestesi regional, termasuk
peripheral nerve block, klonidin akan meningkatkan durasi dari blokade. Efek
langsung pada medula spinalis mungkin dibantu oleh reseptor postsinaptik α2
dengan ramus dorsalis. Keuntungan lain juga mungkin berupa menurunkan
terjadinya postoperative shivering, inhibisi dari kekakuan otot akibat obat
opioid, gejala withdrawal dari opioid, dan pengobatan10
dari beberapa sindrom nyeri kronis. Efek samping dapat berupa
bradikardia, hypotensi, sedasi, depresi nafas dan mulut kering. Klonidin adalah
agonis alfa2- adrenergik parsial selektif yang bekerja secara sentral yang
bekerja sebagai obat anti hipertensi melalui kemampuannya untuk menurunkan
keluaran sistem saraf simpatis dari sistem saraf pusat. Obat ini telah terbukti
efektif digunakan pada pasien dengan hipertensi berat atau penyakit renin-
dependen. Dosis dewasa yang biasa digunakan per oral adalah 0,2-0,3 mg.
Ketersediaan klonidin transdermal ditujukan untuk pemberian secara mingguan
pada pasien bedah yang tidak dapat diberikan obat per oral.
C. Epinefrin (Adrenalin)
Adrenalin (epinephrine), adalah hormon katekolamin yang dihasilkan
oleh bagian medula kelenjar adrenal, dan suatu neurotransmitter yang dilepas
oleh neuron neuron tertentu yang bekerja aktif di sistem saraf pusat. Epinephrin
merupakan stimulator yang kuat pada reseptor adrenergik sistem saraf simpatis,
dan stimulan jatung yang kuat, mempercepat frekuensi denyut jantung dan
meningkatkan curah jantung, meningkatkan glikogenolisis, dan mengeluarkan
efek metabolik lain. Epinephrine disimpan dalam granul kromatin dan akan
dilepas sebagai respon terhadap hipoglikemia, stres dan rangsangan lain.
Preparat sintetik epineprine bentuk levorotatori digunakan sebagai
vasokonstriktor topikal, stimulan jantung, dan bronkodilator, dapat diberikan
secara intranasal, intraoral, parenteral, atau inhalasi. Sedangkan norephineprin
(noradrenalin) adalah suatu katekolamin alamiah atau neurohormon yang
dilepaskan oleh saraf adrenergik pasca ganglion dan beberapa saraf otak, juga
diekskresi oleh medulla adrenal sebagai respon terhadap rangsangan
splanchnicus dan disimpan dalam granul kromafin. Norephineprin merupakan
neurotransmiter utama yang bekerja pada reseptor adrenergik α- dan β1.
Norephineprine merupakan vasopressor kuat dan biasanya dilepaskan dalam
tubuh sebagai respon terhadap hipotensi dan stres. Preparat farmasi senyawa
norephinephrine biasanya dalam bentuk garam bitartat.
D. Fentanyl
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik
narkotika digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan injeksi
IM (intramuskular) Fentanyl digunakan untuk menghilangkan sakit yang
disebabkan kanker. Menghilangkan periode sakit pada kanker adalah dengan 12
menghilangkan rasa sakit secara menyeluruh dengan obat untuk mengontrol
rasa sakit yang persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan hanya untuk pasien
yang siap menggunakan analgesik narkotika. Fentanyl bekerja di dalam sistem
saraf pusat untuk menghilangkan rasa sakit. Beberapa efek samping juga
disebabkan oleh aksinya di dalam sistem syaraf pusat. Pada pemakaian yang
lama dapat menyebabkan ketergantungan tetapi tidak sering terjadi bila
pemakaiannya sesuai dengan aturan. Ketergantungan biasa terjadi jika
pengobatan dihentikan secara mendadak. Sehingga untuk mencegah efek
samping tersebut perlu dilakukan penurunan dosis secara bertahap dengan
periode tertentu sebelum pengobatan dihentikan. Aksi sinergis dari fentanyl dan
anestesi lokal di blok neuraxial pusat (CNB) meningkatkan kualitas analgesia
intraoperatif dan juga memperpanjang analgesia pascaoperasi. Durasi biasa
pada efek analgesik adalah 30 sampai 60 menit setelah dosis tunggal intravena
sampai 100 mcg (0,1 mg). Dosis injeksi Fentanyl 12,5 μg menghasilkan efek
puncak, dengan dosis yang lebih rendah tidak memiliki efek apapun dan dosis
tinggimeningkatkan kejadian efek samping.
E. Efedrin
Efedrin (ephedrine) merupakan simpatomimetik yang didapat dari
tanaman genus Ephedra (misalnya Ephedra vulgaris) dan telah digunakan luas
di Cina dan India Timur sejak 5000 tahun yang lalu. Pengobatan tradisional
Cina menyebut efedrin dengan nama Ma huang. Efedrin mempunyai rumus
molekul C10H15NO dan nama lainnya adalah α-hydroxy-β-
methylaminopropylbenzene. Rumus bangun efedrin adalah sebagai berikut: 13
Efedrin telah banyak digunakan dalam praktek kedokteran termasuk dalam
bidang Anestesi. Efedrin bekerja pada reseptor α dan β, termasuk α1, α2, β1
dan β2, baik bekerja langsung ataupun tidak langsung. Efek tidak langsung
yaitu dengan merangsang pelepasan noradrenalin. Efedrin 25 mg sampai 50 mg
intramuskular atau subkutan bisa digunakan untuk mengatasi keadaan
hipotensi, 25 mg per oral sekali sehari untuk mengatasi hipotensi ortostatik,
juga sebagai bronkodilator dan dekongestan. Gangguan-gangguan alergi juga
bisa diatasi dengan efedrin, seperti asma bronkhial, kongesti nasal karena akut
koriza, rhinitis dan sinusitis. Efedrin 25 atau 30 mg subkutan, intramuskular
atau intravena lambat) dapat juga untuk mengatasi bronkospasme tetapi
epinefrin lebih efektif. Penggunaan efedrin di bidang anestesi pada kasus
hipotensi akibat regional anestesi, baik oleh karena spinal ataupun epidural
anestesi. Pemberian efedrin 10-25 mg iv pada orang dewasa sebagai pilihan
simpatomimetik mengatasi blokade susunan saraf simpatis yang disebabkan
anestesi regional ataupun untuk mengatasi efek hipotensi yang disebabkan obat-
obat anestesi. Untuk Ibu hamil yang menjalani prosedur seksio sesarea dengan
spinal anestesi, efedrin merupakan pilihan mengatasi hipotensi yang
diakibatkan oleh spinal anestesi. Efedrin selain meningkatkan tekanan darah,
sejalan dengan itu memperbaiki aliran darah plasenta. Selain itu efedrin juga
digunakan untuk mengatasi hipotensi akibat induksi dengan propofol. Efedrin
juga mampu mempercepat mula kerja rokuronium. Efedrin mencegah nyeri
akibat injeksi propofol. Pencampuran efedrin dengan propofol dapat menjaga
kestabilan hemodinamik dan mencegah nyeri akibat suntikan propofol.
2.2.7.1. Farmakokinetik
Efedrin dapat diberikan secara oral, topikal maupun parenteral. Efedrin
dapat diserap secara utuh dan cepat pada pemberian oral, subkutan ataupun
intramuskular. Bronkodilatasi terjadi dalam 15-60 menit setelah pemberian oral
dan bertahan selama 2-4 jam. Absorbsi efedrin yang diberikan lewat jalur
intramuskular lebih cepat (10-20 menit) dibanding dengan pemberian subkutan.
14 Pada pemberian intravena, efek klinik dapat langsung diobservasi. Lama
kerja terhadap efek tekanan darah bertahan sampai 1 jam pada pemberian
parenteral dan dapat bertahan selama 4 jam pada pemberian secara oral. Efedrin
juga dilaporkan melewati plasenta dan terdistribusi pada air susu ibu. Efedrin
dimetabolisme oleh liver dalam jumlah kecil melalui deaminasi oksidasi,
demetilasi, hidroksilasi aromatis dan konjugasi. Metabolitnya adalah p-
hidroksiefedrin, p hidroksinorefedrin, norefedrin dan konjugasinya. Efedrin dan
metabolitnya diekskresi terutama melalui urine dan dalam bentuk tidak
berubah. Eliminasi efedrin dan metabolitnya dipengaruhi oleh asiditas urine.
Eliminasi paruh waktu efedrin dilaporkan 3 jam pada pH urin 5 dan 6 jam pada
pH urin. Efek puncak efedrin terhadap curah jantung dicapai sekitar 4 menit
setelah injeksi.
2.2.7.2. Efek terhadap kardiovaskular
Efek kardiovaskular dari efedrin menyerupai epinefrin, tetapi respon
kenaikan tekanan darah sistemik kurang dibanding efedrin. Efedrin
membutuhkan 250 kali dibandingkan epinefrin untuk mendapatkan efek
kenaikan tekanan darah yang sama. Pemberian efedrin intravena meningkatkan
tekanan darah, denyut jantung dan curah jantung. Aliran darah renal dan splanik
menurun, tetapi aliran darah koroner dan otot skelet meningkat. Resistensi
vaskular sistemik berubah karena vasokonstriksi pada vascular beds diimbangi
dengan vasodilatasi oleh stimulasi β2 pada tempat-tempat yang lain. Efek
kardiovaskular tersebut pada reseptor α menyebabkan vasokonstriksi arteri dan
vena di perifer.
Mekanisme utama efek efedrin terhadap kardiovaskular adalah dengan
meningkatkan kontraktilitas otot jantung dengan aktivasi reseptor β1. Dengan
adanya antagonis reseptor β maka efek efedrin terhadap kardiovaskular adalah
dengan stimulasi reseptor α. Dosis kedua efedrin setelah pemberian dosis awal
mempunyai efektifitas lebih rendah dibanding dosis awal. Fenomena ini dikenal
dengan istilah takifilaksis, yang mana juga terjadi pada simpatomimetik dan
berhubungan dengan masa kerja obat. Takifilaksis terjadi oleh karena blokade
reseptor 15 adrenergik secara persisten. Sebagai contoh, efedrin menyebabkan
aktivasi reseptor adrenergik bahkan setelah peningkatan tekanan darah sistemik
terjadi pada subdosis. Ketika efedrin diberikan pada saat itu, reseptornya bisa
menempati batas minimal efedrin untuk peningkatan tekanan darah.
Takifilaksis mungkin karena kekurangan simpanan norepinefrin.
2.2.7.3.Toksisitas efedrin
Dosis besar efedrin parenteral dapat menyebabkan bingung, delirium,
halusinasi atau euphoria. Paranoid psikosis dan halusinasi penglihatan dan
pendengaran bisa terjadi pada dosis yang sangat besar. Efedrin bisa juga
menyebabkan sakit kepala, kesulitan bernafas, demam atau merasa hangat,
merasa kering pada hidung atau tenggorokan, takikardi, aritmia, nyeri dada,
berkeringat, tidak nyaman di perut, muntah, retensi urine, hipertensi yang
akibatnya perdarahan intrakranial, mual dan hilangnya selera makan.
2.2.8. Teknik Anestesi Spinal
Anestesi spinal adalah suatu metode anestesi dengan menyuntikkan obat
analgetik lokal kedalam ruang subarachnoid di daerah lumbal. Cara ini sering
digunakan pada persalinan per vaginam dan pada seksio sesarea tanpa komplikasi.
Pada seksio sesarea blokade sensoris spinal yang lebih tinggi penting. Hal ini
disebabkan karena daerah yang akan dianestesi lebih luas, diperlukan dosis agen
anestesi yang lebih besar, dan ini meningkatkan frekuensi serta intensitas reaksi-
reaksi toksik.
- Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak 500 - 1500 ml.
- Oksigen diberikan dengan masker 6 - 8 L/mt.
- Posisi lateral merupakan posisi yang paling enak bagi penderita.
- Kepala memakai bantal dengan dagu menempel ke dada, kedua tangan
memegang kaki yang ditekuk sedemikian rupa sehingga lutut dekat ke perut
penderita.
- L3 - 4 interspace ditandai, biasanya agak susah oleh karena adanya edema
jaringan.
- Skin preparation dengan betadin seluas mungkin.
- Sebelum penusukan betadin yang ada dibersihkan dahulu.
- Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2 % 2-3
ml, Jarum 22 - 23 dapat disuntikkan langsung tanpa lokal infiltrasi dahulu, juga
tanpa introducer dengan bevel menghadap ke atas.
- Kalau liquor sudah ke luar lancar dan jernih, disuntikan xylocain 5% sebanyak
1,25 - 1,5 cc.
- Penderita diletakan terlentang, dengan bokong kanan diberi bantal sehingga
perut penderita agak miring ke kiri, tanpa posisi Trendelenburg.
- Untuk skin preparation, apabila penderita sudah operasi boleh mulai.
- Tensi penderita diukur tiap 2 - 3 menit selama 15 menit pertama, selanjutnya
tiap 15 menit.
- Apabila tensi turun dibawah 100 mmHg atau turun lebih dari 20 mmHg
dibanding semula, efedrin diberikan 10 - 15 mg l.V.
- Setelah bayi lahir biasanya kontraksi uterus tidak baik, sehingga perlu
diberikan metergin IV
1.1. gambar 1 anatomi lapisan punggung lumbal
2. Indikasi anestesi spinal pada seksio sesarea
Biasanya anestesi spinal dilakukan untuk pembedahan pada daerah yang
diinervasi oleh cabang Th.4 (papila mammae kebawah) :
1) Vaginal delivery
2) Ekstremitas inferior
3) Seksio sesarea
4) Operasi perineum
5) Operasi urologic
3. Kontra indikasi anestesi spinal pada seksio sesarea :
1) Infeksi tempat penyuntikan
2) Gangguan fungsi hepar
3) Gangguan koagulasi
4) Tekanan itrakranial meninggi
5) Alergi obat lokal anstesi
6) Hipertensi tak terkontrol
7) Pasien menolak
8) Syok hipovolemik
9) Sepsis
4. Obat anestesi spinal pada seksio sesarea :
Obat anestetik yang sering digunakan:
1) Lidocain 1-5 %
2) Bupivacain 0,25-0,75 %
5. Komplikasi anestesi spinal pada seksio sesarea :
1) Hipotensi
2) Brakikardi
3) Sakit kepala spinal (pasca pungsi)
4) Menggigil
5) Mual-muntah
6) Depresi nafas
7) Total spinal
8) Sequelae neurologic
9) Penurunan tekanan intrakranial
10)Meningitis
11) Retensi urine
2.2.9. Komplikasi analgesia spinal
1. Hipotensi
Hipotensi disebabkan sympathectomy temporer, komponen blokade
midthoracic yang tidak dapat dihindari dan tidak diinginkan. Berkurangnya
venous return (peningkatan kapasitas vena dan pengumpulan volume darah dari
kaki) dan penurunan afterload (penurunan resistensi pembuluh darah sistemik)
menurunkan maternal mean arterial pressure (MAP), menimbulkan nausea,
kepala terasa melayang dan dysphoria, dan berkurangnya perfusi uteroplacental.
Jika MAP ibu dipelihara, maka gejala pada ibu dapat dihindari dan
uteroplacental perfusion tetap baik.3,4,5,6,7,9,10
Insidensi hipotensi (tekanan sistolik turun di bawah 100 mmHg, atau
penurunannya lebih dari 30 mmHg dari pada sebelum induksi) dapat mencapai
80%. Keadaan ini antara lain disebabkan oleh karena Pada posisi pasien
terlentang terjadi kompresi parsial atau total vena kava inferior dan aorta oleh
masa uterus (beratnya kurang lebih 6 kg). 90% pasien yang mengalami
kompresi parsial tidak menunjukkan gejala hipotensi. Keadaan ini
disebabkanoleh mekanisme kompensasi dengan kenaikan venokonstriktor
neurogenik. Sedangkan 10% sisanya dapat menderita hipotensi berat (tekanan
sistolik bisa sampai 70 mmHg); dan hampir 75% mengalami gangguan darah
balik, sehingga curah jantung berkurang sampai 50%. 6,7,9
2. Blokade spinal Total
Blokade spinal total dengan paralisis respirasi dapat mempersulit
analgesia spinal. paling sering, blokade spinal total merupakan akibat
pemberian dosis agen analgesia jauh melebihi toleransi oleh wanita hamil.
hipotensi dan apnoe cepat timbul dan harus segera diatasi untuk mencegah henti
jantung. pada wanita tidak melehirkan uterus dipindahkan ke lateral untuk
mengurangi kompresi aortakaval. ventilaasi yang efektif diberikan melaului
tuba trackhea kalau mungkin.,untuk melindungi aspirasi. kalau wanita tersebut
hipotensif, cairan intravena diberikan dan efedrin mungkin membantu untuk
meninggikan curah jantung. peninggian tungkai akan meningkatkan aliran balik
vena dan membantu memulihkan hipotensi harus disediakan persiapan untuk
resusitasi jantung kalau terjadi henti jantung.
3. Kecemasan dan Rasa sakit
Setiap orang yang ada diruang operasi harus selalu ingat bahwa wanita
yang berada dibawah analgesia regional tetap sadar.harus hati-hati sekali
berbicara dan melakukan aktivitas yang berkaitan dengan perawtan ibu dan
janinnya,sehingga ibu tersebut tidak menginterpretasikan ucapan ucapan atau
tindakan tindakan tersebut sebagai indikaasi bahwa ia dan janinnya dalam
bahaya, atau kesejahteraan kurang diperhatikan. wanita tersebut biasanya
menyadari setiap manipulasi bedah yang dilakukan dan menerima setiap perast
sebagai perasaan yang tertekan. ia merasa tidak enak terhadap manipulasi -
manipulasi diatas blkokade spinal total sering kali, derajat penghilang rasa nyeri
dari analgesia spinal tidak adekuat. dalam keadaan ini, langkah penghilang rasa
nyeri yang dapat diberikan sebelum persalinan dengan memberikan 50 sampai
70 persen nitrogen oksida dengan oksigen. segera setelah pengkleman tali pusat
berbagai macam teknik dapat dilakukan untuk memberikan analgesia yang
efektif. morfin, meperidin, atau fentanil yang diberikan secara intravena paada
waktu ini sering memberikan analgesia dan euforia yang bagus sekali saat
operasi selesai.
4. Sakit kepala pasca pungsi
Kebocoran cairan serebrospinal dari tempat pungsi meninges dianggap
merupakan faktor utama timbulnya sakit kepala. kiranya, kalau wanita tersebut
duduk atau berdiri volume cairan serebrospinal yang berkurang tersebu
menimbulkan tarikan pada struktur-struktur sistem saraf pusat yang sensitif rasa
nyeri. kemungkinan komplikasi yang tidak menyenangkan ini dapat dikurangi
dengan menggunakan jarum spinal ukuran kecil dan menghindari banyak
tusukan pada meninges. membaringkan wanita tersebut datar pada
punggungnya selama beberapa jam, telah dianjurkan untuk mencegah nyeri
kepala pascaspinal, tetapi tidak ada bukti yang baik bahwa prosedur ini sangat
efektif. hidarasi yang banyak telah dikalim bermanfaat, tertapi tidak ada bukti
penggunaan yang mendukung. pemakaian blood patch cukup efektif. beberapa
mL darah wanita tersebut tanpa antikoagulan disuntikan secara epidural
ditempat pungsi dural tersebut. salin yang disuntikan serupa dalam volume
yang lebih besar juga telah diklaim menghilangkan sakit kepala penyokong
abdomen dapat dikurang dengan cara menggunakan jarum spinal ukuran kecil,
korset atau ikat perut tampaknya menghasilkan mengurangi sakit kepala, tetap
berbaring selama 24 jam pascaoperasi. Dan nyeri kepala tersebut membaik jelas
pada hari ketiga dan menghilang pada hari kelima.3,7
5. Disfungsi kandung kencing
Dengan analgesia spinal, sensasi kandung kencing mungkin dilumpuhkan
dan pengosongan kandung kencing terganggu selama beberapa jam setelah
persalinan. akibatnya, distensi kandung kencing sering merupakan komplikasi
masa nifas, terutama kalau telah dan masih diberikan volume cairan intravena
yang banyak. kombinasi dari (1) infus seliter atau lebih lebih cairan, (2) blokade
saraf dari analgesia epidural atau spinal, (3) efek antidiuretik oksitosin yang
diinfuskan setelah lahir dan kemudian dihentikan, (4) rasa sakit akibat
episiotomi yang besar, (5) kegagalan menemukan distensi ksndung kencing
pada wanita tersebut secepatnya, dan (6) kegagalan menghilangkan distensi
kandung kencing dengan cepat dengan kateterisasi, sangat mungkin
mengakibatkan disfungsi kandung kencing yang cukup menyulitkan dan infeksi
kandung kencing.
6. Oksitosin dan hipertensi
Secara berlawanan, hipertensi yang ditimbulkan oleh ergonovin
(Ergotrate) atau metilergonovin (Methergin) yang disuntikan setelah persalinan,
sangat sering terjadi pada wanita yang telah menerima blok spinal atau epidural.
7. Arakhnoiditis dan meningitis
Tidak ada lagi ampul anestesika lokal yang disimpan dalam alkohol,
formalin, pengawet atau pelarut lain yang sangat toksik. jarum dan kateter
sekarang jarang dibersihkan secara kimiwai sehingga dapat digunakan kembali.
sebagai gantinya, digunkan perlengkapan sekali pakai, dan praktek sekarang ini,
ditambah dengan teknik aseptik yang ketat, jarang sekali terjadi meningitis dan
arakhnoiditis.
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. CT
Umur : 24tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : jl. Bukit Raya Palembang
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
No. RM : 19.86.08
Masuk RS : 23 -06- 2013
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Hamil 42 minggu dengan air ketuban yang sedikit
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RS Muhamdyah Palembang dengan keluhan hamil
42 minggu dengan air ketuban yang sedikit, pasien sebelumnya kontrol ke
bidan, lalu bidan menyarankan kontrol ke dokter kandungan karena
kehamilannya sudah lewat bulan. Saat datang ke poli kebidanan dan
kandungan RSMP di USG dan diberitahu air ketubannya sudah sedikit dan
disarankan untuk dirawat. Pasien mengaku ini merupaka kehamilan ke 2.
Setelah dirawat pasien direncanakan untuk terminasi kehamilan
dengan diinduksi tetapi tidak ada kemajuan persalinan sehingga direncanakan
untuk SC. Sebelumnya pasien sudah dioperasi.
Riwayat Penyakit Terdahulu :
- Hipertensi disangkal
- Penyakit jantung disangkal
- DM disangkal
- Asma disangkal
Pemeriksaan Fisik :
- Keadaan umum : sedang
- Kesadaran : CM
- Tanda vital : Tensi : 120/80 mmHg
Pernapasan : 20 x/menit
Nadi : 89 x/menit
Suhu : 36,7 °C
Pemeriksaan Fisik Lainnya :
- Kepala : normocephale
- Mata : Si -/-, RC +/+, Ca -/-
- Tht : dbn
- Leher : pembesaran KGB (-), tiroid (-)
- Thorax : Simetris Statis Dinamis
- Pulmo : vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
- Cor : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen : BU (+) normal
- Ekstremitas : akral hangat, pitting edema
Pemeriksaan Laboratorium :
- Hb : 11 g/dl
- Ht : 31 %
- Leukosit : 10.000 ul
- Trombosit : 347.000 ul
- Eritrosit : 3,4 juta
- GDS : 90 mg/dl
Diagnosis Kerja
G2P1A0 hamil 42 minggu belum inpartu dengan oligohidramnion,
janin tunggal hidup.
Terapi
- Rencanakan terminasi kehamilan dengan SC
Laporan Anestesi
1. Diagnosis pra – bedah : G2P1A0 hamil 42 minggu belum inpartu dengan
oligohidramnion,
2. Diagnosis Pasca – bedah : P2A0 hamil 42 minggu belum inpartu dengan
oligohidramnion,
3. Jenis pembedahan : SC
4. Persiapan anestesi :
Informed consent
Puasa } 8 jam pre operasi
5. Jenis anestesi : regional anestesi
6. Premedikasi anestesi : ondansentron 8mg/4ml
7. Teknik anestesi : Spinal
Pasien dalam posisi duduk dan kepala menunduk.
Desinfeksi di sekitar daerah tusukan yaitu di regio L3-L4
Blok dengan jarum spinal no.26 pada regio L3-L4
Barbotage (+), LCS keluar (+) jernih, darah (-)
8. Obat anestesia : Bucain spinal 3 cc
9. Oksigenasi : Kanul O2 2 liter/menit
10.Posisi : Terlentang
11. Status fisik : ASA II
12. Induksi mulai : 09.00 WIB
13. Operasi mulai : 09.10 WIB
14. Operasi selesai : 10.00 WIB
15. Berat badan : 62 kg
16. Lama operasi : 1 jam.
17. Pasien puasa : 8 jam
18. Infus durante operasi : RL 2 colf (1000ml)
19. Cairan keluar : darah (150 cc), urin (200cc)
20. Post Op (dalam ruang pemulihan) :
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 63 x/menit
Aldrete Score : Total = 9, dapat masuk ke ruang perawatan.
PENILAIAN PASCA ANESTESI
Pulih dari anestesi umum atau regional secara rutin dikelola di kamar pulih
atau unit perawatan pasca anestesi. Idealnya dapat bangun dari anesthesia secara
bertahap, tanpa keluhan dan mulus. Kenyataannya sering dijumpai hal – hal yang
tidak menyenangkan akibat stress pasca operasi atau pasca anesthesia yang berupa
gangguan napas, gangguan kardiovaskular, gelisah, kesakitan, mual –muntah,
menggigil dan kadang – kadang perdarahan. Selama di unit perawatan pasca anestesi
pasien dinilai tingkat pilih – sadarnya untuk criteria pemindahan ke ruang perawatan
biasa
Aldrete Score
KESADARAN :
2. sadar, orientasi baik
1. dapat dibangunkan
0. tidak dapat dibangunkan
WARNA KULIT :
2. Merah muda, tanpa oksigen saturasi 92%
1. pucat atau kehitaman, perlu oksigen agar saturasi 90%
0. sianosis
AKTIFITAS
2. 4 ekstremitas bergerak
1. 2 ekstremitas bergerak
0. tidak ada ekstremitas bergerak
RESPIRASI
2. dapat nafas dalam, batuk
1. Nafas dangkal, sesak nafas
0. apnoe atau obstruksi
KARDIOVASKULER
2. tekanan darah berubah ≤ 20%
1. berubah 20 – 30%
0. berubah ≥ 50%
Keterangan :
- 9-10 pindah dari unit perawatan pasca anestesi
- 7-8 Pindah ke ruangan
- 5-6 Pindah ke bangsal
BAB III
DISKUSI KASUS
Persiapan prabedah
Pada pasien ini didiagnosis G2P1A0 hamil 42 minggu belum inpartu dengan
Oligohidramnion, dengan status fisik ASA II, akan dilakukan tindakan pembedahan
berupa section caesar. Pada pembedahan tersebut akan dilakukan anestesi spinal
karena memenuhi indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal, yaitu bedah obstetri –
ginekologi dan merupakan tindakan pembedahan yang berlokasi di abdomen bawah.
Pada tindakan pembedahan tersebut juga tidak terdapat kontraindikasi dari anestesi
spinal. Atas dasar tersebut maka, anestesi spinal menjadi pilihan. Setelah dianamnesis
pada pasien ini seelumnya pernah mengalami operasi sehingga tidak diketahui apakah
ada alergi, sesak nafas ataupun mual muntah pada pasien. Pasien juga tidak memilki
kebiasaan merokok ataupun minum alcohol yang dapat mempberikan penyulit pada
saat dilakukan anestesi. Pada pemeriksaa fisik tidak ditemukan adanya kelainan baik
itu pada inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua system organ. Berdasarkan
diagnosis pasien dianjurkan untuk pemeriksaan lab, pemeriksaan lab yang didapatkan
adalah :
- Hb : 11 g/dl
- Ht : 31 %
- Leukosit : 10.000 ul
- Trombosit : 347.000 ul
- Eritrosit : 3,4 juta
- GDS : 90 mg/dl
Sebelumnya pasien sudah dipuasakan selama 6 jam, dimana puasa bertujuan untuk
regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas yang merupakan
resiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesi.
Premedikasi
Pada premedikasi pasien diberikan ondansentron sebanyak 8mg yang tujuan
pemberianya adalah untuk mengurangi mual muntah pasca bedah. Jika terdapat
kecemasan pasien, maka dapat juga ditambah dengan midazolam untuk mengurangi
kecemasan, pada pasien ini terlihat kecemasan yang berlebihan sehingga perlu
diberikan midazolam.
Ondansetron
Sebelum pembedahan sebaiknya lambung dalam keadaan kosong sehingga
bila terjadi reflek esophagus tidak terjadi aspirasi isi lambung.
Mual dan regurgitasi disebabkan oleh hipoksia selama anestesi, anestesi
yang terlalu dalam tekanan tinggi karena lambung penuh atau akibat
tekanan dalam rongga perut yang tinggi.
Farmakologi :
Bekerja sebagai antagonis reseptor 5-HT yang terdapat pada
kemoreseptor trigger zone di area post rema otak dan aferen vagal
saluran cerna.
Indikasi :
Untuk mencegah mual muntah.
Pada kasus ini pasien diberikan ondansetron 8mg secara intravena,
diharapkan dapat mencegah mual muntah pasca bedah.
Midazolam
Mula kerjanya cepat, yakni 30 menit dan brtahan hingga 5-7 jam.
Induksi dan pemulihan lambat, untuk anestesia berimbang dan sedasi;
kardiovaskuler stabil; amnesia akut.
Antidotum : Flumazenil
Dosis : obat tidur 7,5-15 mg (maleat) a.n.; premedikasi anestesia lokal oral
25 mg 45 menit sebelumnya, i.m. 5 mg (klorida)
Induksi anestesi
Pada kasus ini menggunakan bucain spinal yang disuntikkan memakai jarum
spinal no.26 pada regio L3 – L4. Bucain 0,5% berisi bupivacain, merupakan anestesi
lokal yang digunakan untuk mencegah rasa nyeri dengan memblok konduksi
sepanjang serabut saraf secara reversible. Obat menembus saraf dalam bentuk tidak
terionisasi (lipofilik), tetapi saat di dalam akson terbentuk beberapa molekul
terionisasi, dan molekul-molekul ini memblok kanal Na+, serta mencegah
pembentukan potensial aksi. Bupivacaine memiliki onset 5 – 8 menit dengan durasi
sampai 150 menit. Dosis bupivacaine untuk blokade hingga T10 adalah 8-15 mg,
sedangkan hingga blockade T4 adalah 14-20 mg. Bupivacaine memiliki periode
analgesia yang tetap setelah kembalinya sensasi.
Dosis efedrin IV adalah 0,25 – 0,1 mg/kgBB dengan onset hampir langsung
dan durasi kerja 10 – 60 menit.
Pemeliharaan anestesi
Pemeliharaan anestesi dapat dikerjakan dengan cara intravena, inhalasi, atau
kombinasi keduanya. Pemeliharaa anestesi biasanya mengacu pada trias anestesi
yaitu hypnosis, analgesia cukup agar pasien selama pembedahan tidak menimbulkan
nyeri, dan relaksasi otot lurik yang cukup. Pada pasien ini pemeliharaan anestesi
hanya menggunakan O2 tanpa obat-obatan yang lain.
Terapi Cairan dan Elektrolit Pasca Bedah
1. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi. Kebutuhan air
untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar ± 50 ml/kgBB/24 jam.
Penggantian cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila perlu larutan
garam isotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat minum dan
makan.
2. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:
- Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan 1°C suhu
tubuh
- Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah.
- Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan
humidifikasi.
3. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan yang
belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya diberikan
transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut oksigen.
4. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan tersebut.
Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi tekanan darah,
frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter pupil, jalan nafas, frekuensi
nafas, suhu tubuh dan warna kulit.
Operasi selesai dalam waktu 1 jam , pasien masuk ke ruang pulih sadar
dengan tekanan darah 120/ 60 mmHg dan Nadi 89 x/menit, dengan aldrete score 9
(dapat masuk ruang perawatan).
Selama operasi diberikan 2 colf infuse RL dikarenakan untuk mengganti
kebutuhan cairan karena puasa selama 8 jam dan stress operasi. Dengan perhitungan
kebutuhan cairannya adalah sebagai berikut :
1. Kebutuhan cairan rumatan/jam (Berat badan 67 kg) :
- 10 kg pertama : 10 kg x 4 ml/KgBB/jam = 40 ml/jam
- 10 kg kedua : 10 kg x 2 ml/kgBB/jam = 20 ml/jam
- > 10 kg selanjutnya : 47 kg x 1 ml/kgBB/jam = 47 ml/jam
- Total : 107 ml/jam
2. Pengganti cairan puasa (puasa 8 jam)
- Puasa x kebutuhan cairan rumatan = 8 jam x 107ml/jam = 856 ml
3. Stress operasi (operasi sedang 4 – 6 ml/kgBB/jam)
- 6 ml/KgBB/jam x 67Kg = 402 ml/jam
4. Kebutuhan cairan durante operasi (operasi selama 1 jam)
- jam pertama : 107 ml + 856ml + 402 ml = 1.365 ml
- - total kebutuhan : 1.365 ml
Selama operasi cairan urin yang keluar berjumlah 200 ml (produksi urin
normal minimal 0,5 – 1 ml/KgBB/jam).
Tabel 1.1. monitoring selama operasi
Jam Tensi Nadi SaO2 Keterangan
09.00 110/60 78 100% Masuk ruang operasi, infuse RL 500cc, mulai induksi
dengan bucain spinal 3 cc
09.05 150/100 79 100% injeksi ondancentron 4ml.
09.10 120/70 80 100% Mulai Operasi.
09.15 105/70 77 100% Injeksi miloz 1 ml.
09.30 120/70 83 100% Injeksi Induksin 2 ml drip dalam infuse RL 500 cc
09.45 120/70 89 100% Injeksi asam traneksamat I.V. 8 ml
09.55 120/70 79 100% Operasi selesai
10.00 130/70 80 100% Pasien dipindahkan ke ruangan
BAB IV
KESIMPULAN
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif atau cito) harus
dipersiapkan dengan sebaik mungkin. Prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi
pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra-
anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi,
menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi. Tahap penatalaksanaan
anestesi yang terdiri dari premedikasi, induksi anestesi, pemeliharaan, serta tahap
pemulihan pasca operasi dan perawatan pasca anestesi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief, S.A, Suryadi K.A. Dachlan M.R. 2009. Petunjuk praktis anestesiologi FKUI. Jakarta : FKUI.
2. Martaadisoebrata. D, & Sumapraja, S. Penyakit Serta Kelainan Plasenta & Selaput Janin. ILMU KEBIDANAN. Yayasan Bina pustaka SARWONO PRAWIROHARDJO. Jakarta.2002 Hal 341-348.
3. Mochtar. R. Penyakit Trofoblas. SINOPSIS OBSTETRI. Jilid I. Edisi2. Penerbit Buku Kedokteran. ECG. Jakarta. 1998. Hal. 238-243.
4. Rustam, mochtar.1998. Sinopsis Obstetri; obstetri fisiologi, obstetri patologi edisi ke 2. Jakarta: EGC.
5. Wikojosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Kandungan Edisi Ke2 Cetakan Ke4. Jakarta: YBB- SP.
6. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstorm KD. Williams obstetric. 22nd ed. New York. McGraw-Hill Companies, Inc; 2005.
7. Fox H. The placenta , membranes and umbilical cord. In: Chamberlain G, Steer P, editors. Turnbull’s obstetrics. 3rd ed. London: Churchill Livingstone; 2002.
8. Laughlin D, Knuppel RA. Maternal-placental-fetal unit;fetal & early neonatal physiology. In: DeCherney AH, Nathan L. Current obstetric & gynecologic diagnosis & treatment. 9th ed. New York: The McGraw-Hill Companies;2003.
9. Chamberlain G, editor. Obstetrics by ten teacher. 16th ed. New York: Oxford University Press;1995.Gilbert WM. Amniotic fluid dynamics. NeoReviews 2006;7;e292-e299.
10. Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF, Nygaard I, editors. Danforth’s obstetrics and gynecology. 10th ed. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
11. Neilson JP. Fetal medicine in clinical practice. In: Ketih D, Edmons, editors. Dewhurst’s textbook of obstetrics and gynaecology for postgraduates. 6th ed. London: Blackwell Publishing; 1999.Barbati A, Renzo GCD. Main clinical analyses on amniotic fluid. Acta Bio Medica Ateneo Parmenese. 2004; 75 Suppl 1: 14-17.