Case Mati 2

39
SEPSIS DAN SYOK SEPTIK Definisi Systemic inflammatory response syndrome adalah pasien yang memiliki dua atau lebih dari kriteria berikut: Suhu > 38°C atau < 36°C Denyut jantung >90 denyut/menit Respirasi >20/menit atau PaCO 2 < 32 mmHg Hitung leukosit > 12.000/mm 3 atau >10% sel imatur Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui. Meskipun SIRS, sepsis dan syok sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat bakteriemia. Syok merupakan keadaan dimana terjadi gangguan sirkulasi yang menyebabkan perfusi jaringan menjadi tidak adekuat sehingga mengganggu metabolisme sel/jaringan. Syok septik merupakan keadaan dimana terjadi penurunan tekanan darah (sistolik < 90mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik > 40mmHg) disertai tanda kegagalan sirkulasi, meski telah dilakukan resusitasi secara adekuat atau perlu vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ. 1 Terdapat beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis, diantaranya memasukkan pertanda biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive protein, sebagai langkah awal dalam diagnosis sepsis. 2 1

description

1

Transcript of Case Mati 2

Page 1: Case Mati 2

SEPSIS DAN SYOK SEPTIK

Definisi

Systemic inflammatory response syndrome adalah pasien yang memiliki dua

atau lebih dari kriteria berikut:

Suhu > 38°C atau < 36°C

Denyut jantung >90 denyut/menit

Respirasi >20/menit atau PaCO2 < 32 mmHg

Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau >10% sel imatur

Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui. Meskipun SIRS,

sepsis dan syok sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus

terdapat bakteriemia. Syok merupakan keadaan dimana terjadi gangguan sirkulasi

yang menyebabkan perfusi jaringan menjadi tidak adekuat sehingga mengganggu

metabolisme sel/jaringan. Syok septik merupakan keadaan dimana terjadi penurunan

tekanan darah (sistolik < 90mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik > 40mmHg)

disertai tanda kegagalan sirkulasi, meski telah dilakukan resusitasi secara adekuat

atau perlu vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ.1

Terdapat beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis, diantaranya

memasukkan pertanda biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive

protein, sebagai langkah awal dalam diagnosis sepsis.2

Etiologi

Penyebab terbesar adalah bakteri gram negatif. Produk yang berperan penting

terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS), yang merupakan komponen terluar

dari bakteri gram negatif. LPS merupakan penyebab sepsis terbanyak, dapat langsung

mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, yang dapat menimbulkan gejala

septikemia. LPS tidak toksik, namun merangsang pengeluaran mediator inflamasi

yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Bakteri gram positif, jamur, dan virus, dapat

juga menyebabkan sepsis dengan prosentase yang lebih sedikit. Peptidoglikan yang

1

Page 2: Case Mati 2

merupakan komponen dinding sel dari semua kuman, dapat menyebabkan agregasi

trombosit. Eksotoksin dapat merusak integritas membran sel imun secara langsung.2

Patofisiologi Syok Septik

Endotoksin yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses

inflamasi yang melibatkan berbagai mediator inflamasi, yaitu sitokin, neutrofil,

komplemen, NO, dan berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan

proses homeostasis dimana terjadi keseimbangan antara inflamasi dan antiinflamasi.

Bila proses inflamasi melebihi kemampuan homeostasis, maka terjadi proses

inflamasi yang maladaptif, sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang destruktif,

kemudian menimbulkan gangguan pada tingkat seluler pada berbagai organ.

Terjadi disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO yang

menyebabkan maldistribusi volume darah sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan

syok. Pengaruh mediator juga menyebabkan disfungsi miokard sehingga terjadi

penurunan curah jantung.

Lanjutan proses inflamasi menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang

dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/MOF). Proses MOF

merupakan kerusakan pada tingkat seluler (termasuk difungsi endotel), gangguan

perfusi jaringan, iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang

diperkirakan turut berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi,

malnutrisi kalori protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada eritrosit, dan efek

samping dari terapi yang diberikan.1

Penatalaksanaan Sepsis

Dalam melakukan evaluasi pasien sepsis, diperlukan ketelitian dan

pengalaman dalam mencari dan menentukan sumber infeksi, menduga patogen yang

menjadi penyebab (berdasarkan pengalaman klinis dan pola kuman di RS setempat),

sebagai panduan dalam memberikan terapi antimikroba empirik.

2

Page 3: Case Mati 2

Penatalaksanaan yang baik dapat mengurangi mortalitas akibat sepsis berat & syok

sepsis.

1. Resusitasi

Resusitasi harus dimulai sesegera mungkin setelah diagnosis sepsis tegak. Hal ini

dimaksudkan untuk stabilisasi keadaan pasien yang mengancam jiwa.

2. Antibiotik

Antibiotik merupakan terapi utrama pada penderita sepsis. Terapi antibiotik intravena

harus segera diberikan dalam satu jam pertama sejak diagnosis tegak. Pemilihan

antibiotik secara empiris yang tepat telah terbukti bermakna menurunkan mortalitas

pada pasien sepsis. Antibiotik empiris harus yang berspektrum luas dan poten

terhadap kuman dugaan penyebab sepsis. Pemberian antibiotik harus disesuikan

setelah hasil kultur dan kepekaan keluar, serta mempertimbangkan perbaikan klinis.

3. Obat vasopressor-sympathomimetic amine

Pada keadaan tidak dapat diatasi dengan pemberian cairan saja maka perlu diberi

obatr vasopressor, golongan sympathomimetic amine. Norepinefrin merupakan

vasopressor pilihan utama untuk syok sepsis.4,5

SINDROM GERIATRI

Sindrom geriatri adalah serangkaian kondisi klinis pada orang tua yang dapat

mempengaruhi kualitas hidup pasien dan dikaitkan dengan kecacatan.

Penatalaksanaan pasien dilakukan berdasarkan prinsip pengobatan pada geriatri.

Sindrom geriatri adalah suatu kondisi klinis, bukan penyakit. Sindrom geriatri

merupakan gabungan antara penurunan fisiologik dan berbagai proses patologik.

Ilmu geriatri ini baru dikatakan berkembang dengan nyata pada tahun 1935 di

Inggris oleh seorang dokter wanita, Marjorie Warren dari West-Middlesex Hospital

yang dianggap sebagai pelopornya.7

Sindrom geriatri meliputi gangguan kognitif, depresi, inkontinensia,

ketergantungan fungsional, dan jatuh. Sindrom ini dapat menyebabkan angka

3

Page 4: Case Mati 2

morbiditas yang signifikan dan keadaan yang buruk pada usia tua yang lemah.

Sindrom ini biasanya melibatkan beberapa sistem organ. Sindrom geriatrik mungkin

memiliki kesamaan patofisiologi meskipun presentasi yang berbeda, dan memerlukan

intervensi dan strategi yang fokus terhadap faktor etiologi.6

Pada tahun 2000 jumlah orang lanjut usia sebesar 7,28% dan pada tahun 2020

diperkirakan mencapai 11,34%. Dari data USA-Bureau of the Census, bahkan

Indonesia diperkirakan akan mengalami pertambahan warga geriatri terbesar di

seluruh dunia, antara tahun 1990-2025, yaitu sebesar 414%.7

Menurut Kane RL (2008), sindrom geriatri memiliki beberapa karakteristik,

yaitu: usia> 60 tahun, multipatologi, tampilan klinis tidak khas, polifarmasi, fungsi

organ menurun, gangguan status fungsional, dan gangguan nutrisi.

Dalam bidang geriatri dikenal beberapa masalah kesehatan yang sering

dijumpai baik mengenai fisik atau psikis pasien usia lanjut. Menurut Solomon dkk:

The “13 i” yang terdiri dari Immobility (imobilisasi), Instability (instabilitas dan

jatuh), Intelectual impairement (gangguan intelektual seperti demensia dan delirium),

Incontinence (inkontinensia urin dan alvi), Isolation (depresi), Impotence (impotensi),

Immuno-deficiency (penurunan imunitas), Infection (infeksi), Inanition (malnutrisi),

Impaction (konstipasi), Insomnia (gangguan tidur), Iatrogenic disorder (gangguan

iatrogenic) dan Impairement of hearing, vision and smell (gangguan pendengaran,

penglihatan dan penciuman).8

Infeksi pada usia lanjut (usila) merupakan penyebab kesakitan dan kematian

no.2 setelah penyakit kardiovaskular di dunia. Hal ini terjadi akibat beberapa hal

antara lain: adanya penyakit komorbid kronik yang cukup banyak, menurunnya daya

tahan/imunitas terhadap infeksi, menurunnya daya komunikasi usila sehingga

sulit/jarang mengeluh, sulitnya mengenal tanda infeksi secara dini. Ciri utama pada

semua penyakit infeksi biasanya ditandai dengan meningkatnya temperatur badan,

dan hal ini sering tidak dijumpai pada usia lanjut, 30-65% usia lanjut yang terinfeksi

sering tidak disertai peningkatan suhu badan, malah suhu badan dibawah 36B C lebih

sering dijumpai. Keluhan dan gejala infeksi semakin tidak khas antara lain berupa

konfusi/delirium sampai koma, adanya penurunan nafsu makan tiba-tiba, badan

4

Page 5: Case Mati 2

menjadi lemas, dan adanya perubahan tingkah laku sering terjadi pada pasien usia

lanjut.9

Terapi pengobatan pada pasien usia lanjut secara signifikan berbeda dari

pasien pada usia muda, karena adanya perubahan kondisi tubuh yang disebabkan oleh

usia, dan dampak yang timbul dari penggunaan obat-obatan yang digunakan

sebelumnya. Masalah polifarmasi pada pasien geriatri sulit dihindari dikarenakan

oleh berbagai hal yaitu penyakit yang diderita banyak dan biasanya kronis, obat

diresepkan oleh beberapa dokter, kurang koordinasi dalam pengelolaan, gejala yang

dirasakan pasien tidak jelas, pasien meminta resep, dan untuk menghilangkan efek

samping obat justru ditambah obat baru. Karena itu diusulkan prinsip pemberian obat

yang benar pada pasien geriatri dengan cara mengetahui riwayat pengobatan lengkap,

jangan memberikan obat sebelum waktunya, jangan menggunakan obat terlalu lama,

kenali obat yang digunakan, mulai dengan dosis rendah, naikkan perlahan-lahan,

obati sesuai patokan, beri dorongan supaya patuh berobat dan hati-hati mengguakan

obat baru.8

Pasien telah diberikan penatalaksanaan berupa pemberian terapi

medikamentosa yang sesuai dengan keadaan geriatri, pemberian nutrisi dan cairan

yang cukup serta latihan yang cukup untuk meningkatkan kualitas hidup pasien

dengan sindrom geriatri.

BRONKOPNEUMONIA 10,11

Definisi

Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang

disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan

paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan

toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.

Etiologi

5

Page 6: Case Mati 2

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu

bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang

diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif,

sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif,

sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir

ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang

ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri

Gram negatif.

Patogenesis

Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru.

Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi

ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak

dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada

kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran

napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan :

1. Inokulasi langsung

2. Penyebaran melalui pembuluh darah

3. Inhalasi bahan aerosol

4. Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi.

Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria

atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat

mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila

terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi

aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini

merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian

kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga pada

keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse).

Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml, sehingga

6

Page 7: Case Mati 2

aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum

bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada pneumonia mikroorganisme biasanya

masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat

disaluran napas bagian atas sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi

pada beberapa penelitian tidak di temukan jenis mikroorganisme yang sama.

Klasifikasi

1. Berdasarkan klinis dan epideologis :

a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)

b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial pneumonia)

c. Pneumonia aspirasi

d. Pneumonia pada penderita Immunocompromised

pembagian ini penting untuk memudahkan penatalaksanaan.

2. Berdasarkan bakteri penyebab

a.Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri

mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada

penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.

b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia

c. Pneumonia virus

d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada

penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised)

3. Berdasarkan predileksi infeksi

a.Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan orang

tua.

Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder

disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda asing atau proses

keganasan

7

Page 8: Case Mati 2

b.Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru.

Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang

dihubungkan dengan obstruksi bronkus

c. Pneumonia interstisial

Diagnosis

1. Gambaran klinis

a. Anamnesis

Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh

meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-

kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.

b. Pemeriksaan fisik

Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi

dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus dapat

mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler

sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi

ronki basah kasar pada stadium resolusi.

2. Pemeriksaan penunjang

a. Gambaran radiologis

Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk

menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai

konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta

gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab

pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya

gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae,

Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran

bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi

yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.

b. Pemeriksaan labolatorium

Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya

lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis

8

Page 9: Case Mati 2

leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan

diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur

darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah

menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis

respiratorik.

Pengobatan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik

pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji

kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu :

1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia.

3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.

maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara

umum pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat

sebagai berikut :

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

Golongan Penisilin

TMP-SMZ

Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi

Marolid baru dosis tinggi

Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

Aminoglikosid

Seftazidim, Sefoperason, Sefepim

9

Page 10: Case Mati 2

Tikarsilin, Piperasilin

Karbapenem : Meropenem, Imipenem

Siprofloksasin, Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

Vankomisin

Teikoplanin

Linezolid

Hemophilus influenzae

TMP-SMZ

Azitromisin

Sefalosporin genereasi 2 atau 3

Fluorokuinolon respirasi

Legionella

Makrolid

Fluorokuinolon

Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

Doksisiklin

Makrolid

Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

Doksisikin

Makrolid

Fluorokuinolon

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah sebagai berikut :

10

Page 11: Case Mati 2

• Efusi pleura.

• Empiema.

• Abses Paru.

• Pneumotoraks.

• Gagal napas.

• Sepsis

ILUSTRASI KASUS

Telah dirawat seorang pasien perempuan berumur 80 tahun di bangsal

Penyakit Dalam sejak tanggal 14 Februari 2015 jam 20.00 WIB dengan :

Keluhan Utama: Penurunan kesadaran sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang : (alloanamnesa)

11

Page 12: Case Mati 2

Penurunan kesadaran sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya

pasien masih bisa di ajak komunikasi lama kelamaan pasien lebih banyak

tidur dan sulit untuk di ajak komunikasi.

Sesak nafas meningkat sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas

sudah dirasakan sejak 15 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas tidak

berhubungan dengan aktivitas, cuaca dan makanan. Terbangun tengah malam

karena sesak tidak ada. Sesak nafas seperti bunyi menciut tidak ada.

Nafsu makan menurun sejak 1 bulan yang lalu. Pasien hanya menghabiskan

sepertiga porsi makan, kira-kira 5 sendok makan dengan makan 3 kali sehari.

Penurunan berat badan sejak 1 bulan yang lalu. Keluarga tidak mengetahui

berapa jumlah penurunan berat badan.

Badan lemah, letih dan lesu sejak 1 bulan yang lalu.

Luka lecet pada punggung sejak 1 minggu yang lalu. Luka baru disadari

keluarga pasien saat mau memandikan pasien. Kulit punggung tampak

kemerahan, tidak berdarah, tidak bernanah.

Batuk sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk berdahak namun dahak

susah untuk dikeluarkan. Batuk darah tidak ada.

Demam sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam tinggi, terus

menerus, tidak menggigil, tidak berkeringat banyak.

Mual dan muntah tidak ada.

Riwayat jatuh tidak ada.

Buang air kecil biasa.

Buang air besar biasa.

Sejak 1 bulan ini pasien lebih banyak berbaring di tempat tidur.

Pasien sebelumnya telah dirawat di RSUD Lubuk Basung selama 4 hari

karena penurunan kesadaran kemudian dirujuk ke RS. M.Djamil untuk

penatalaksanaan lebih lanjut.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hipertensi tidak ada.

12

Page 13: Case Mati 2

Riwayat DM tidak ada.

Riwayat stroke tidak ada.

Riwayat batuk lama tidak ada.

Riwayat minum obat TBC tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang menderita penyakit seperti ini.

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kebiasaan

Pasien janda, tidak mempunyai anak, tidak bekerja dan biaya hidup dari

keponakannya sekitar ± Rp. 1 juta/ bulan. Pasien tinggal dirumah dengan

seorang cucu ( anak dari keponakannya ) yang berusia 28 tahun. Pekerjaannya

wiraswasta dan kebiasaan cucu jarang di rumah. Keponakannya berkunjung

sekali dalam 3 bulan.

Pemeriksaan Umum

Kesadaran : Apati

Tekanan darah : 60/40 mmHg

Nadi : 110x/ menit, reguler, pengisian kurang

Nafas : 36x/menit

Suhu : 39 °C

Keadaan umum : buruk

Keadaan gizi : kurang

Berat badan : 35 Kg

Tinggi badan : 150 cm

BMI : 15,55 (underweight)

Edema : (-)

Ikterus : (-)

Anemis : (-)

13

Page 14: Case Mati 2

Sianosis : (+)

Indeks ADL Barthel (BAI) sedang sakit : 0 Kesan : Kertergantungan total

MMSE: tidak bisa dilakukan

GDS : tidak bisa dilakukan

MNA : tidak bisa dinilai

Kulit : ptekie (-), turgor kulit menurun

Kelenjar getah bening : tidak teraba pembesaran KGB

Kepala : normocephal, tidak ada benjolan

Rambut : beruban, mudah dicabut

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Telinga : aurikula normal, meatus externa tidak hiperemis

Hidung : deviasi septum tidak ada

Tenggorokan : faring tidak hiperemis

Gigi dan mulut : karies (+), kandidiasis oral (-)

Leher : JVP 5 - 2 cmH2O, kelenjar tiroid tak teraba

Paru

Inspeksi : simetris kanan dan kiri, statis dan dinamis

Palpasi : fremitus sulit dinilai

Perkusi : sonor, batas pekak hepar sukar dinilai.

Auskultasi : bronkovesikuler, ronkhi (+/+) basah halus nyaring di

kedua lapang paru, wheezing (-/-)

Paru Belakang

Inspeksi : simetris, kiri = kanan.

Palpasi : fremitus sulit dinilai

Perkusi : sonor, peranjakan paru sukar dinilai.

Auskultasi : bronkovesikuler, ronkhi (+/+) basah halus nyaring di

kedua lapang paru, wheezing (-/-)

Jantung :

Inspeksi : iktus tidak terlihat

14

Page 15: Case Mati 2

Palpasi : iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V, seluas kuku

ibu jari, tidak kuat angkat

Perkusi : batas atas: RIC II, kanan : Linea parasternalis dekstra,

kiri : 1 jari medial LMCS RIC V

Auskultasi : irama murni, teratur, M1>M2 ,P2 < A2, bising (-)

Abdomen

Inspeksi : tak membuncit

Palpasi : hepar tidak teraba, lien tidak teraba

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal

Punggung : nyeri tekan & nyeri ketok CVA tidak bisa dinilai,

ulkus dekubitus (+), tidak berdarah, tidak bernanah,

tidak tampak jaringan otot.

Alat kelamin : tidak ada kelainan

Anus : tidak ada kelainan

Anggota gerak : Akral dingin, Reflek fisiologis +/+,

Reflek patologis -/-, edema -/-

LABORATORIUM

Darah

Hemoglobin : 12,1 gr/dl

Hematokrit : 36%

Leukosit : 9.000 /mm³

Trombosit : 147.000/mm3

LED : 24 mm/jam I

Hitung jenis : 0/0/3/92/5/0

15

Page 16: Case Mati 2

Urinalisis

Protein : (+) Leukosit : (4-5/LPB)

Bilirubin : (-) Eritrosit : (1-2/LPB)

Glukosa : (-) Epitel : gepeng

Urobilinogen : (+) Kristal : (-)

Feses :

Warna : coklat Eritrosit : (-)

Konsistensi : lembek Lekosit : 0-1/LPB

Darah : (-) Amuba : (-)

Lendir : (-) Parasit : (-)

EKG

Irama : sinus QRS komplek : 0,08 detik

HR : 102 x/’ ST elevasi : (-)

Aksis : normal ST depresi : (-)

Gel P : normal T inverted : (-)

Q patologis : (-) R/S di V1 : < 1

PR interval : 0,16 detik S V1 + RV5 : < 35 mm

Kesan : Sinus Takikardi

Daftar Masalah:

Penurunan kesadaran

Syok sepsis

Bronkopneumonia

Malnutrisi

Immobilisasi

Ulkus dekubitus

Hipokalemia

16

Page 17: Case Mati 2

Diagnosis Kerja :

Syok Sepsis ec Bronchopneumonia Duplex (HAP) dengan gagal nafas tipe 1

Sindroma Geriatri: immobilisasi, malnutrisi, ulkus dekubitus

Hipokalemia ec dehidrasi ec low intake

Diagnosis Banding :

Syok sepsis ec ulkus dekubitus

Terapi :

Istirahat / NGT/ MC 6x150 cc / O2 NRM 10 liter/menit

Loading NaCl 0,9% hingga TD ≥ 100 mmHg atau produksi urin mencapai

0,5- 1 cc/kgbb/jam

Inj. Meropenenm 3x1 gr (iv)

Inf. Levofloxacin 1 x 500 mg (iv)

Inj. Metil Prednisolon 2 x 30 mg (iv)

Parasetamol 3 x 500 mg (po)

Ambroxol 3 x 30 mg (po)

Mobilisasi bertahap Mika/Miki setiap 2 jam

Redressing 2 x sehari

Kontrol intensif / 15 menit

Balans cairan

Pemeriksaan Anjuran:

Cek elektrolit

Kultur darah

Kultur urin

Kultur sputum

Kultur pus

Eksertise Rontgen Thoraks

Prokalsitonin

17

Page 18: Case Mati 2

EKG

Follow Up 15 februari 2015

Pukul 00.30

S/ penurunan kesadaran (+), demam (+), sesak nafas (+), batuk (+)

O/ KU : buruk Nadi : 120 x/’

Kesadaran : sopor Nafas : 36 x/’

TD : 60/40 mmHg Suhu : 38C

AGD

pH : 7,55 HCO3 : 41,1 mmol/L

pCO2 : 47 mmHg BEecf : 18,7 mmol/L

pO2 : 52 mmHg SO2 : 91%

Natrium : 130 mmol/L Ureum : 80 mg/dl

Kalium : 1,7 mmol/L Kreatinin : 0,5 mg/dl

GDS : 103 mg/dl

Kesan: Alkalosis respiratorik dengan gagal nafas tipe 1

Hiponatremia dan Hipokalemia

Jumlah urin : ± 40 cc/jam

Kesan : Syok belum teratasi

Sikap :

- Drip Norepinefrin 4 mg dalam 50 cc NaCl 0,9% (dalam syringe

pump) mulai dengan 0,01 µg/kgBB/menit titrasi tiap 15 menit hingga

TD ≥ 100 mmHg, maksimal 0,1 µg/kgBB/menit.

- Koreksi KCL 30 meq dalam 200 cc NaCl 0,9% habis dalam 4 jam

Pukul 01.30 WIB

18

Page 19: Case Mati 2

S/ penurunan kesadaran (+),demam (+), sesak nafas (+), batuk (+)

O/ KU : buruk Nadi : 118 x/’

Kesadaran : sopor Nafas : 36 x/’

TD : 90/50 mmHg Suhu : 37,8C

Jumlah urin : ± 50 cc/jam

Kesan: syok belum teratasi

Advis : Drip Norepinefrin 0,04 µg/kgBB/menit titrasi naik

Pukul 01.45 WIB

S/ penurunan kesadaran (+), demam (+), sesak nafas (+), batuk (+)

O/ KU : buruk Nadi : 116 x/’

Kesadaran : sopor Nafas : 38 x/’

TD : 100/60 mmHg Suhu : 37,6C

Jumlah urin : ± 60 cc/jam

Kesan: syok teratasi dengan Norepinefrin 0,05 µg/kgBB/menit

Pukul TD Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Suhu Vascon

00.30 60/40 120 36 38 0,34cc/j

00.45 60/50 118 38 37,6 0,67cc/j

01.00 70/50 118 36 37,4 1,01cc/j

01.15 80/50 116 34 37,3 1,35cc/j

01.30 90/60 112 34 37,3 1,69cc/j

Follow Up 16 Februari 2015

Pukul 07.00 WIB

S/ penurunan kesadaran (+), sesak nafas (+), batuk (+)

O/ KU : buruk Nadi : 100 x/’

Kesadaran : sopor Nafas : 30 x/’

TD : 100/60 mmHg Suhu : 37,3C

19

Page 20: Case Mati 2

Jumlah urin : ± 90 cc/jam

Konsul Konsultan Penyakit Tropik Infeksi

Kesan : Syok Sepsis ec Bronkopneumonia ( HAP )

DD/ - syok sepsis ec ulkus dekubitus

Sikap : - Kontrol intensif / 15 menit

- Kultur darah, urin, sputum, kultur pus

Konsul Konsultan Geriatri :

Kesan : - Sindrom Geriatri : imobilisasi, malnutrisi dengan ulkus dekubitus

Grade II

Advis : - Diet MC 6x150 Kkal via NGT Diet dinaikkan bertahap

- Pasang kasur dekubitus

- Mobilisasi mika/miki per 1 jam

- Oral Higienis

- Konsul Gizi

Konsul Konsultan Pulmonologi

Kesan : Hospital acquired pneumonia (HAP)

Advis :

- Kultur Sputum

- Ekspertise Rontgen Thorax,

Follow up : 17 Februari 2015

Pukul 07.00 WIB

S/ Penurunan kesadaran (+),demam (+), sesak (+)

KU : buruk Nadi : 106 x/’

Kesadaran : sopor Nafas : 27 x/’

TD : 100/60 mmHg Suhu : 38 C

Jumlah urin : ± 80 cc/jam

20

Page 21: Case Mati 2

Keluar hasil Labor :

Na : 130 mmol/L

K : 2,7 mmol/L

Kesan : hipokalemia perbaikan

Keluar Hasil Expertise Rontgen Thorax

Kesan : Bronkopneumonia

18 Februari 2015

Pukul 07.00 WIB

S/ penurunan kesadaran (+),demam (+), sesak (+)

KU : buruk Nadi : 110 x/’

Kesadaran : sopor Nafas : 32 x/’

TD : 90/50 mmHg Suhu : 38 C

Jumlah urin : ± 70 cc/jam

Kesan : Syok sepsis ec bronkopnemonia

Sikap :

- Drip Norepinefrin 0,05 µg/kgbb/menit titrasi naik atau produksi urin

mencapai 0,5-1 cc/kgbb/jam

- Drip Dobutamin 2-20 µg /KgBB/jam, titrasi naik sampai TD ≥ 100 mmHg

- Kontrol Intensif / 15 menit

- Balance Cairan

Pukul 08.30 WIB

KU : buruk Nadi : 70 x/’ pengisian kurang, halus

Kesadaran : coma Nafas : 28 x/’

TD : 50/- mmHg Suhu : 37C

21

Page 22: Case Mati 2

Kesan : Syok tidak teratasi

Sikap : - Norepinefrin 0,1 µg/kgBB/menit ( maksimal )

Pukul TD Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Suhu Vascon

08.30 50/- 70 28 37 1,69cc/j

08.45 80/50 60 26 37,2 2,36cc/j

09.00 70/50 40 26 37 3,04cc/j

09.15 60/pulse Halus 24 37,1 3,34cc/j

09.30 60/pulse Halus 14 37 3,34cc/j

Pukul 09.30 WIB

Pasien apnoe, tekanan darah tidak terukur, akral dingin, nadi tidak teraba, pupil

midriasis, reflek cahaya (-). EKG flat. Pasien dinyatakan meninggal dihadapan

keluarga, dokter, dokter muda dan paramedik dengan penyebab kematian syok sepsis

ec HAP.

Tanggal 20 Februari 2015

Keluar hasil kultur darah : steril

Keluar hasil kultur swab tenggorok : Klebsiella spp sensitif meropenem

Keluar hasil kultur urin : ditemukan candida sppDISKUSI

Telah dilaporkan seorang perempuan, 80 tahun dirawat di bangsal Penyakit

Dalam RSUP Dr M Djamil Padang sejak 14 Februari 2015 pukul 20.00 WIB dengan

diagnosis akhir:

Syok Sepsis ec Bronchopneumonia Duplex (HAP)

Sindroma Geriatri: imobilisasi dan ulkus dekubitus grade II

Syok yang terjadi pada pasien ini tergolong syok sepsis, Sepsis pada pasien

ini ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang ditemukan yaitu suhu badan > 38ºC,

frekuensi nadi jantung > 90 x/menit dan frekuensi nafas > 20 x/menit, meskipun

22

Page 23: Case Mati 2

jumlah leukosit pada pasien ini tidak melebihi 12.000/mm3 namun telah memenuhi

kriteria diagnosis sepsis. Sumber infeksi pada pasien ini berasal dari infeksi paru-paru

yaitu Bronkhopneumonia dupleks.

Bronkopneumonia pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesa,

pemeriksaan fisik, laboratorium & pemeriksaan penunjang. Pasien ini awal masuk

dengan sesak nafas, batuk, demam. Dari pemeriksaan paru, di temukan suara

pernafasan bronkovesikuler ronkhi basah halus nyaring di kedua lapang paru.

Ekspertise rontgen thoraks dengan kesan bronkopneumonia. Pasien diberikan

antibiotik yang adekuat sesuai kultur. Pada pasien geriatri yang imobilisasi dan

berbaring lama mudah terinfeksi dan sering mengalami bronkopneumonia.

Untuk penatalaksanaan syok sepsis pada pasien ini pada awalnya diberikan

cairan kristaloid untuk memperbaiki perfusi jaringan, namun setelah pemberian

loading cairan NaCl 0,9% sebanyak 2 liter dan jumlah urin sudah tercukupi keadaan

syok pada pasien masih belum teratasi, dan kemudian diberikan vasoaktif berupa

norepinefrin dengan dosis awal 0,01 µg/kgbb/jam dititrasi tiap 15 menit hingga

maksimal 0,1 µg/kgBB/jam dan dobutamin dengan dosis 2-20 µg/kgbb/jam.

Penatalaksanaan sepsis telah sesuai hasil kultur, kultur yang di ambil melalui

swab tenggorok karena pasien tidak sadar sehingga tidak bisa dilakukan kultur

sputum. Pada analisa swab tenggorok ditemukan kuman Klebsiella yang sensitif

dengan Meropenem. Menurut literatur kuman ini yang paling sering terdapat pada

pasien sepsis. Di USA, sepsis penyebab kematian utama pasien ICU secara umum,

dengan rata-rata kematian 20% untuk sepsis, 40% untuk sepsis berat, dan >60%

untuk syok sepsis.

Hipokalemia yang dialami pasien ini dikarenakan low intake dan sudah

dikoreksi lewat intravena dan mengalami perbaikan.

Permasalahan lain dari pasien ini adalah dimana sudah terjadi ulkus dekubitus

grade II karena imobilisasi lama dan malnutrisi pada pasien. Untuk penanganan ulkus

dekubitus sudah diberikan berupa pemasangan kasur dekubitus, mobilisasi miring

kanan miring kiri dan redressing ulkus dua kali sehari.

23

Page 24: Case Mati 2

Penanganan pada pasien ini hendaknya diberikan pelayanan kesehatan secara

menyeluruh (baik segi promosi, prevensi, kurasi, dan rehabilitasi) untuk pasien usia

lanjut yang dilakukan oleh tenaga medik/paramedik di rumah pasien dengan

keterlibatan anggota keluarga lain yang tinggal di rumah dan dirumah sakit.

Perawatan di rumah sebenarnya bukan monopoli pasien berusia lanjut, namun data di

luar negeri menunjukkan dari seluruh upaya perawatan di rumah yang diberikan oleh

tenaga kesehatan profesional, 85%nya dilakukan terhadap pasien-pasien berusia

lanjut. Perawatan di rumah secara prinsip dapat dilakukan oleh siapa saja, mulai dari

tenaga kesehatan profesional (dokter, perawat, fisioterapis), ahli gizi, care-giver,

hingga pekerja sosial. Yang penting adalah bahwa untuk melakukan perawatan usia

lanjut di rumah siapapun harus dibekali prinsip-prinsip pelayanan kesehatan bagi usia

lanjut yang bersifat paripurna dan interdisiplin.

DAFTAR PUSTAKA

1. Chen K dan Pohan H.T. 2007. Penatalaksanaan Syok Septik dalam Sudoyo, Aru

W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pp: 187-9.

2. Hermawan A.G. 2007. Sepsis daalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang.

Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit

Dalam FKUI. Pp: 1840-3.

24

Page 25: Case Mati 2

3. Purwadianto A dan Sampurna B. 2000. Kedaruratan Medik Edisi Revisi. Jakarta:

Bina Aksara. Pp: 55-6.

4. Chen Khie. Penatalaksanaan Syok Septik: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, ed

IV jilid I, Pusat Penerbit Departemen IPD FKUI 2006: 187 – 189.

5. Hadisaputro S. Perkembangan Mutakhir Sepsis dan Syok Septik Dalam:

Pendidikan kedokteran Berkelanjutan ke II Ilmu Penyakit Dalam. Badan Penerbit

Universitas Diponegoro 1997: 5 – 18.

6. Panita L, Kittisak S, Suvanee S, Wilawan H. 2011. Prevalence and recognition of

geriatri syndromes in an outpatient clinic at a tertiary care hospital of Thailand.

Medicine Department; Medicine Outpatient Department, Faculty of Medicine, Sr

nagarind Hospital, Khon Kaen University, Khon Kaen 40002, Thailand. Asian

Biomedicine. 5(4): 493-497.

7. Pranarka, Kris. 2011. Simposium geriatric syndromes: revisited. Semarang:

Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

8. Setiati S, Harimurti K, Roosheroe AG. 2006. Buku ajar ilmu penyakit dalam.

Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Indonesia. hlm. 1335-1340.

9. Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB, Resnick B. 2008. Essentials of clinical

geriatris. 6th ed. New York, NY: McGraw-Hill.

10. Pneumonia Komuniti Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003.

11. Fishman’s. Pulmonary Disease and Disorders. 3rd Ed. United State of America.

McGraw-Hill Companies, 1998.

25