Case Hipertensi Ok

download Case Hipertensi Ok

of 55

Transcript of Case Hipertensi Ok

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    1/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

    RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CILEGON

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

    Topik : Hipertensi Urgensi + DM Tipe II

    Penyusun : Nanda Rizky Fathiya

    I. Identitas Pasien

    -Nama : Ny.A

    - Usia : 46 tahun

    - Pekerjaan : Petani

    - Agama : Islam

    - Alamat : Bojonegara-Cilegon

    - No. CM : xxxxxx

    - Tanggal Berobat : 1 Juli 2013

    - Pembiayaan : Askes

    - Ruangan : Nusa Indah

    II. Anamnesa

    Dilakukan secara auto-anamnesa pada tanggal 2 Juli 2013 di Ruang Nusa Indah RSUD

    Cilegon

    o Keluhan Utama : Sakit kepala berputar dan nyeri tengkuk sejak 3 hari SMRS

    o Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke IGD RSUD Cilegon dengan keluhan sakit

    kepala sejak 3 hari SMRS. Sakit kepala dirasakan berputar dan dirasakan nyeri hingga ke

    bagian tengkuk. Pasien juga mengeluhkan mual yang disertai muntah yang berisi cairan

    bercampur dengan makanan berwarna putih kekuningan tanpa disertai darah sebanyak 6 kali.

    Sebelum dibawa ke IGD, pasien merasakan pandangannya tiba-tiba kabur dan gelap namun

    tidak pingsan. Pasien tidak mengkonsumsi obat apapun hingga dibawa ke IGD. Pasien

    menyangkal adanya keluhan pada BAB dan BAK. Nafsu makan pasien menurun dalam 3 hari

    terakhir ini. Pasien tidak mengeluhkan adanya demam. Riwayat trauma disangkal.

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 1

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    2/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Pada satu tahun terakhir ini, pasien mengeluhkan kedua kaki dan tangannya sering

    kesemutan. Pasien juga mengeluh sering bolak-balik ke kamar mandi di malam hari.

    Penglihatannya juga dirasakan menurun. Sebelum masuk ke RS, pasien belum pernah

    mengecek kadar gula darahnya. Pasien mengaku memiliki riwayat hipertensi sejak 2 tahun

    yang lalu namun tidak rutin mengkonsumsi obat penurun tekanan darah dan kontrol ke dokter.

    Pasien memiliki kebiasaan makan ikan asin semasa mudanya, namun mengaku sudah

    berhenti mengkonsumi sejak mengetahui memiliki tekanan darah yang tinggi. Pasien tidak

    merokok, tetapi suami pasien merupakan seorang perokok.

    o Riwayat Penyakit Dahulu:

    Sakit seperti ini sebelumnya disangkal

    Riwayat Hipertensi sejak 2 tahun yang lalu

    Riwayat DM disangkal

    Riwayat Asma disangkal

    Riwayat alergi disangkal

    o Riwayat Penyakit Keluarga:

    Riwayat Hipertensi disangkal

    Riwayat DM disangkal

    o Anamnesis Sistem:

    Tanda checklist (+) menandakan keluhan pada sistem tersebut. Tanda strip (-)

    menandakan keluhan di sistem tersebut disangkal oleh pasien.

    Kulit

    (-) Bisul (-) Rambut (-) Keringat malam

    (-) Kuku (-) Ikterus (-) Sianosis

    (-) Lain-lain

    Kepala

    (-) Trauma (+) Nyeri kepala

    (-) Sinkop (-) Nyeri sinus

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 2

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    3/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Mata

    (-) Nyeri (-) Sekret

    (-) Radang (+) Gangguan penglihatan

    (-) Sklera Ikterus (-) Konjungtiva anemis

    Telinga

    (-) Nyeri (-) Tinitus

    (-) Sekret (-) Gangguan pendengaran

    (-) Kehilangan pendengaran

    Hidung

    (-) Trauma (-) Gejala penyumbatan

    (-) Nyeri (-) Gangguan penciuman

    (-) Sekret (-) Pilek (-) Epistaksis

    Mulut

    (-) Bibir (-) Lidah kotor

    (-) Gusi (-) Gangguan pengecapan

    (-) Selaput (-) Stomatitis

    Tenggorokan

    (-) Nyeri tenggorok (-) Perubahan suara(-) Nyeri menelan

    Leher

    (-) Benjolan/ massa (-) Nyeri leher

    Jantung/ Paru

    (-) Nyeri dada (-) Sesak nafas

    (-) Berdebar-debar (-) Batuk darah

    (-) Ortopnoe (-) Batuk

    Abdomen (Lambung / Usus)

    (-) Rasa kembung (-) Perut membesar

    (+) Mual (-) Wasir

    (+) Muntah (-) Mencret

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 3

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    4/55

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    5/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    - Tekanan Darah : 180/120

    - Nadi : 86 kali/menit

    - Respirasi : 20 kali/menit

    - suhu : 36 celcius

    - TB/BB : 155cm/50kg

    - Status Gizi : Baik

    STATUS GENERALIS:

    - Kulit : Berwarna sawo matang, keriput, tidak terdapat kelainan warna kulit, dan

    turgor kulit baik.

    - Kepala : Normocephal

    - Rambut: Tidak mudah dicabut.

    - Alis : Hitam, tumbuh lebat, tidak mudah dicabut.

    - Mata : Tidak exopthalmus, tidak enopthalmus, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak

    ikterik, lensa jernih, pupil bulat dan isokor, pergerakan bola mata baik.

    - Hidung : Tidak terdapat nafas cuping hidung, tidak deviasi septum, tidak ada sekret,

    dan tidak hiperemis.

    - Telinga : Bentuk normal, liang telinga luas, tidak ada secret, tidak ada darah, membran

    timpani intak.- Mulut : Bibir tidak sianosis, gigi geligi lengkap, gusi tidak hipertropi, lidah tidak

    kotor, mukosa mulut basah, tonsil T1-T1 tidak hiperemis, mukosa faring baik.

    - Leher : Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada submentalis,

    subklavikula, pre-aurikula, post-aurikula, oksipital, sternokleidomastoideus, dan

    supraklavikula. Tidak terdapat pembesaran tiroid, trakea tidak deviasi, dan Jugular

    Venous Pressure bernilai 5 - 2 cm H2O.

    - Thoraks : Normal, simetris kiri dan kanan.

    Paru-paru

    Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri pada saat statis dan

    dinamis, perbandingan transversal berbanding anteroposterior 2 : 1, tidak terdapat retraksi

    dinding dada, tidak terdapat pelebaran sela iga, tidak terlihat pelebaran vena, tidak

    terdapat bekas luka.

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 5

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    6/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Palpasi : Fremitus taktil dan vokal kanan dan kiri baik, tidak teraba massa, tidak

    terdapat krepitasi.

    Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru

    Auskultasi : Suara napas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

    Jantung

    Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

    Palpasi : Iktus kordis teraba di 2cm lateral ICS IV linea midklavikula sinistra, dan

    tidak terdapat thrill

    Perkusi : Batas jantung kanan pada ICS V linea sternalis dextra, batas jantung kiri

    ICS V linea midklavikula sinistra.Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, tidak terdapat murmur dan gallop

    - Abdomen

    Inspeksi : Tampak simetris, datar, tidak terdapat kelainan kulit, tidak tampak caput

    medusa maupun spider nevy.

    Auskultasi : Bising (+) bising aorta abdominalis terdengar.

    Palpasi : Supel, turgor baik, terdapat nyeri tekan pada epigastrium, hepatomegaly (-)

    splenomegaly (-)

    Perkusi : Suara timpani di semua lapang abdomen, tidak terdapat nyeri ketuk.

    - Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan

    - Ekstremitas : Akral hangat, cappilary refill kurang dari 2 detik, kekuatan

    otot, tidak terdapat udem pada semua ekstremitas.

    - Refleks fisiologis dan patologis : Refleks patologis ()

    Refleks fisiologis baik.

    Refleks sensorik baik

    IV. Pemeriksaan Penunjang

    Tanggal 1 juli 2013

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 6

    5 5

    5 5

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    7/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    GDS : 313 (

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    8/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Vital Signs:

    - Kesadaran : Composmentis

    - Keadaan Umum : Lemah

    - Tekanan Darah : 180/120

    - Nadi : 86 kali/menit

    - Respirasi : 20 kali/menit

    - suhu : 36 celcius

    - TB/BB : 155cm/50kg

    - Status Gizi : Baik

    Pemeriksaan penunjang :

    GDS : 313 (

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    9/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    - IVFD RL 20 tpm

    - Injeksi Ranitidin 2 x 1 amp

    - Amlodipin tab 1 x 10 mg

    - Curcuma tab 3 x 1

    - Lansoprazol cap 1 0 - 1

    - Co. Sp.PD

    IX. Prognosis

    - Quo ad vitam : ad bonam

    - Quo ad functionam : dubia ad bonam

    - Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

    X. Analisa Kasus

    1. Apakah penegakan diagnosis pada pasien ini sudah benar?

    Definisi :

    Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang

    sangat tinggi dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan organ target.

    Hipertensi urgensi (mendesak) ditandai dengan kenaikan TD diastolik > 120 mmHg dan dengan

    tanpa kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24 jam

    sampai batas yang aman.

    Sedangkan diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

    karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-

    duanya.

    Diagnosis

    Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

    penunjang. Penilaian dari anamnesis membantu menegakkan diagnosis 60 70%. Dari

    anamnesis dapat ditemukan keluhan sakit kepala berputar dan nyeri tengkuk tanpa adanya

    keterlibatan target organ. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan peningkatan tekanan darah

    menjadi 180/120.

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 9

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    10/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Pasien juga mengeluhkan tanda-tanda gejala Klasik diabetes mellitus seperti polidipsia

    dan poliuri. Tanda gejala lainnya adalah seperti rasa kesemutan pada tangan dan kaki serta

    penurunan tajam penglihatan. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan peningkatan Gula Darah

    sewaktu.

    2. Apakah penatalaksanaan pada pasien ini sudah adekuat?

    Penatalaksanaan untuk Hipertensi urgensi berbeda dengan penatalaksanaan pada

    hipertensi biasa maupun hipertensi emergensi. Pada hipertensi urgensi, tujuan penatalaksanaan

    adalah menurunkan TD dalam 24 jam sampai batas yang aman agar tidak terjadi komplikasi

    yang lebih berat lagi. Dilakukan pengawasan dalam 3-6 jam dengan menggunakan obat oral

    berjangka kerja pendek

    Untuk menurunkan gula darah, diperlukan penanganan yang sesuai agar target dapat

    dicapai. Pada pasien ini dilakukan sleeding scale dengan menggunakan insulin kerja cepat.

    Digunakan sebelum makan dengan pemantauan Gula darah jam sebelum makan lalu kemudian

    diganti dengan menggunakan OHO golongan biguanid.

    3.Bagaimana edukasi pada pasien ini?

    Edukasi pada Ny. A merupakan edukasi untuk penyakit hipertensi dan penyakit

    Diabetes Mellitusnya. Hal yang harus di edukasikan meliputi pola makan, olahraga, dan

    pengobatan dan pemantauan secara rutin ke dokter.

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 10

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    11/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    FOLLOW UP

    02-07-2013 S/ mual disertai muntah >10 kali berisi

    cairan bercampur makanan tanpa

    disertai darah, Sakit kepala berputar,Nyeri tengkuk, Lemas, Belum BAB

    sejak kemarin, BAK lancer, nafsumakan menurun.

    O/ KU : lemah

    Ks : composmentis

    TD : 170/100 mmHg

    N : 96 x/menit

    R : 20 x/menit

    S : 36, 7 C

    Mata : CA -/- SI -/-

    Cor : BJ I-II reguler,murmur (-),gallop

    (-)

    Pulmo : SN.Vesikuler, Wh -/-,Rh -/-

    Abd : I : Datar, simetris, supel, NT (+),

    BU (+)

    Ext : akral hangat,edema (-)

    Non farmakologis :- Tirah baring

    - IVFD RL 30 tpm

    - Diet DMFarmakologis :

    inj Ceftriaxone 1 x 2 g

    Ondansetron 3 x 4 mg

    Oral Betahistin 3 x 1

    Flunarizin 2 x 5 mg

    Captopril 3 x 12,5 mg

    Lansoprazol 1 0 1

    Domperidon 3 x 1

    Antacyd 3 x II C

    Cek GDS sleeding scale makan

    Pagi : GDS 212 ACT 5ui

    Siang GDS : 137, Actrapid (-)

    Malam GDS jam sebelum makan :

    150 ACT (-)

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 11

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    12/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    A/ HT urgensi + vertigo + DM II +

    Dyspepsia

    03-07-2013 S/ Sakit kepala berputar, nyeritengkuk, mual (+), muntah (-), Lemas,

    Belum BAB, BAK lancar, nafsu

    makan menurun

    O/ KU : lemah

    Ks : Composmentis

    TD : 180/100 mmHg

    N : 88 x/menit

    R : 20 x/menit

    S : 36,5 C

    Mata : CA -/- SI -/-

    Cor : BJ I-II regular, murmur (-),

    gallop (-)

    Pulmo : SN.Vesikuler, Wh -/-,Rh -/-

    Abd : Datar, simetris, supel, BU +, NT

    +

    Ext : akral hangat,edema (-)

    A/ Hipertensi Urgensi + vertigo + DMII + Dyspepsia

    Non-farmakologi

    Tirah Baring

    IVFD RL 30 tpm

    Diet DM

    Farmakologi:

    Inj:

    Ceftriaxone 1 x 2g

    Ranitidin 2 x 1 amp

    Ondansetron 3 x 4 mg

    Oral :

    Flunarizin 2 x 10mg

    Betahistin 3 x 1

    Eperison HCL 3 x 1

    Captopril 3 x 25 mg

    Pagi : GDS jam sebelum makan : 168

    Act

    Siang cek GDS jam sebelum makan :220, Act : 5 ui

    Malam GDS jam sebelum makan :

    104 Act (-)

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 12

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    13/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    04-07-2013 S/ Sakit kepala berputar, nyeritengkuk, mual (+), muntah (-), Lemas,

    Belum BAB, BAK lancer, nafsu

    makan menurun

    O/ KU : lemah

    Ks : Composmentis

    TD : 150/90 mmHg

    N : 88 x/menit

    R : 20 x/menit

    S : 36,3 C

    Mata : CA -/- SI -/-

    Cor : BJ I-II regular, murmur (-),gallop (-)

    Pulmo : SN.Vesikuler, Wh -/-,Rh -/-

    Abd : Datar, simetris, supel, BU +, NT+

    Ext : akral hangat,edema (-)

    A/ Hipertensi Urgensi + vertigo + DMII + Dyspepsia

    Non-farmakologis :

    Tirah baring

    Diet DM

    Farmakologis:

    IVFD RL 30 tpm

    Inj : Ceftriaxone 1 x 2g

    Ondansetron 3 x 4mg

    Ranitidin 2 x 1 amp

    Oral : Antacyd 3 x IIC

    Betahistin 3 x 1

    Eperison HCL 3 x 1

    Amlodipin 1 x 10 mg

    Captopril 3 x 25 mg

    Domperidon 3 x 1

    Lansoprazol 1 0 1

    Pagi GDS jam sebelum makan : 129

    Act (-)

    Siang GDS jam sebelum makan : 193

    Act (-)

    Malam GDS jam sebelum makan :

    178 Act (-)

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 13

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    14/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    05-07-2013 S/ Sakit kepala berputar, nyeritengkuk, mual (+), muntah (-), Belum

    BAB, BAK lancar, nafsu makan

    menurun

    O/ KU : lemah

    Ks : Composmentis

    TD : 130/80 mmHg

    N : 88 x/menit

    R : 20 x/menit

    S : 36,5 C

    Mata : CA -/- SI -/-

    Cor : BJ I-II regular, murmur (-),gallop (-)

    Pulmo : SN.Vesikuler, Wh -/-,Rh -/-

    Abd : Datar, simetris, supel, BU +, NT+

    Ext : akral hangat,edema (-)

    A/ Hipertensi Urgensi + vertigo + DMII + Dyspepsia

    Pemeriksaan lanjut : CT Scan Kepala

    Non-farmakologi

    Tirah baring

    Diet DM

    Farmakologi

    Inj :IVFD RL 30 tpm

    Ceftriaxone 1 x 2g

    Ondansetron 3 x 4 mg

    Ranitidin 2 x 1 amp

    Antacyd 3 x IIC

    Betahistin 3 x 1

    Flunarizin 2 x 10 mg

    Eperison HCL 3 x 1

    Amlodipin 1 x 5 mg

    Captopril 3 x 25 mg

    Domperidon 3 x 1

    Lansoprazol 1 0 1

    Pagi : GDS jam sebelum makan : 129

    Act (-)

    Siang :GDS 1 / jam sebelum makan :

    242 act (5ui)

    Malam : GDS jam sebelum makan :

    73 act (-)

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 14

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    15/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    06-07-2013 S/ Sakit kepala berputar mulaiberkurang, nyeri tengkuk mulai

    berkurang, mual sudah mulai

    berkurang, Belum BAB (-), BAK

    lancar, nafsu makan membaik

    O/ KU : lemah

    Ks : Composmentis

    TD : 140/90 mmHg

    N : 88 x/menit

    R : 20 x/menit

    S : 37,2 C

    Mata : CA -/- SI -/-

    Cor : BJ I-II regular, murmur (-),

    gallop (-)

    Pulmo : SN.Vesikuler, Wh -/-,Rh -/-

    Abd : Datar, simetris, supel, BU +, NT

    +

    Ext : akral hangat,edema (-)

    A/ Hipertensi Urgensi + vertigo +

    Infark + DM II + Dyspepsia

    Non-farmakologi

    Tirah baring

    Diet DM

    Farmakologi

    Inj :IVFD RL 30 tpm

    Ceftriaxone 1 x 2g

    Ondansetron 3 x 4 mg

    Ranitidin 2 x 1 amp

    Piracetam 3 x 3g

    Citicoline 3 x 500mg

    Oral : Aspilet 1 x 1

    CPG 1 x 75 mg

    Metformin 500mg (0-0-1)

    Antacyd 3 x IIC

    Betahistin 3 x 1

    Flunarizin 2 x 10 mg

    Eperison HCL 3 x 1

    Amlodipin 1 x 5 mg

    Captopril 3 x 25 mg

    Domperidon 3 x 1

    Lansoprazol 1 0 1

    Supp : Dulcolax supp II

    Pagi : GDS jam sebelum makan : 161

    Act (-)

    Siang : Cek GDS 24 jam

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 15

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    16/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    08-07-2013 S/ Sakit kepala berputar berkurang,nyeri tengkuk berkurang, mual (-),

    muntah (-), BAB lancar, BAK lancar,

    nafsu makan membaik

    O/ KU : sedang

    Ks : Composmentis

    TD : 130/90 mmHg

    N : 86 x/menit

    R : 20 x/menit

    S : 36,7 C

    Mata : CA -/- SI -/-

    Cor : BJ I-II regular, murmur (-),gallop (-)

    Pulmo : SN.Vesikuler, Wh -/-,Rh -/-

    Abd : Datar, simetris, supel, BU +, NT(-)

    Ext : akral hangat,edema (-)

    A/ Hipertensi Urgensi + vertigo +Infark + DM II

    Non-farmakologi

    Tirah baring

    Diet DM

    Farmakologi

    Inj :IVFD RL 30 tpm

    Ceftriaxone 1 x 2g

    Ranitidin 2 x 1 amp

    Oral : Aspilet 1 x 1

    CPG 1 x 75 mg

    Metformin 2x500mg

    Antacyd 3 x IIC

    Betahistin 3 x 1

    Flunarizin 2 x 10 mg

    Amlodipin 1 x 5 mg

    Captopril 3 x 25 mg

    Domperidon 3 x 1

    Lansoprazol 1 0 1

    Siang : Cek GDS 24 jam : 212

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 16

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    17/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    09-07-2013 S/ BAB lancar, BAK lancar, nafsumakan membaik

    O/ KU : sedang

    Ks : Composmentis

    TD : 110/70 mmHg

    N : 84 x/menit

    R : 20 x/menit

    S : 36,5 C

    Mata : CA -/- SI -/-

    Cor : BJ I-II regular, murmur (-),gallop (-)

    Pulmo : SN.Vesikuler, Wh -/-,Rh -/-

    Abd : Datar, simetris, supel, BU +, NT

    (-)

    Ext : akral hangat,edema (-)

    A/ Hipertensi Urgensi + vertigo +

    Infark + DM II

    RAWAT JALAN

    Oral : Aspilet 1 x 1

    CPG 1 x 75 mg

    Citicoline tab 3 x 500mg

    Metformin 500mg (0-0-1)

    Antacyd 3 x IC

    Betahistin 3 x 1

    Flunarizin 2 x 10 mg

    Eperison HCL 3 x 1

    Amlodipin 1 x 5 mg

    Captopril 3 x 25 mg

    Domperidon 3 x 1

    Lansoprazol 1 0 1

    Siang : Cek GDS 24 jam : 190

    Kontrol : 5 hari

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. KRISIS HIPERTENSI

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 17

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    18/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Definisi

    Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan

    darah yang sangat tinggi dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi

    kelainan organ target. Pada umumnya terjadi pada pasien yang lalai atau tidak

    memakan obat anti hipertensi.

    Epidemiologi

    Salah satu penyebab penyakit kardiovaskular adalah hipertensi yang tidak

    terkontrol. Prevalensi hipertensi di Amerika Serikat dilaporkan sebesar 29% dari

    populasi di Indonesia sebesar 31,7%. Hal yang lebih serius lagi adalah terdapat

    1% saja yang tercatat sebagai hipertensi krisis dari prevalensi hipertensi namun

    dampak klinisnya sangat buruk karena angka kematian pasien yang datang ke unit

    gawat darurat meningkat dari 70% sampai 90% dalam observasi satu tahun.

    Faktor Resiko

    a. Penderita hipertensi yang tidak teratur minum obat

    b. Kehamilan (yang bisa menyebabkan eklampsia)

    c. Penyakit parenkim ginjal berhubungan dengan RAA

    d. Penggunaan NAPZA(kokain amfetamin)

    e. Penderita dengan rangsangan simpatis tinggi (luka bakar, trauma kepala,dll)

    KlasifikasiMembedakan kedua golongan krisis HT ini bukanlah dari tingginya TD, tapi dari

    kerusakan organ sasaran. Kenaikan TD yang sangat pada seorang penderita dipikirkan

    suatu keadaan emergensi bila terjadi kerusakan secara cepat dan progresif dari sistem

    syaraf sentral, miokardinal, dan ginjal. HT emergensi dan urgensi perlu dibedakan

    karena cara penaggulangan keduanya berbeda. Secara praktis krisis hipertensi dapat

    diklasifikasikan berdasarkan prioritas pengobatan, sebagai berikut :

    1) Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg,

    disertai kerusakan berat dari organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau lebih

    penyakit/kondisi akut (tabel I). Keterlambatan pengobatan akan menyebebabkan

    timbulnya sequele atau kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu

    dalam satu sampai beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan intensive

    care unit atau (ICU).

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 18

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    19/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Tabel 1. Hipertensi Emergensi

    2) Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa

    kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam

    24 jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral. (tabel II).

    Tabel 2. Hipertensi Urgensi

    Tingginya TD yang dapat menyebabkan kerusakan organ sasaran tidak hanya

    dari tingkatan TD aktual, tapi juga dari tingginya TD sebelumnya, cepatnya

    kenaikan TD, bangsa, seks dan usia penderita. Penderita hipertensi kronis dapat

    mentolelir kenaikan TD yang lebih tinggi dibanding dengan normotensi, sebagai

    contoh : pada penderita hipertensi kronis, jarang terjadi hipertensi ensefalopati,

    gangguan ginjal dan kardiovaskular dan kejadian ini dijumpai bila TD

    Diastolik > 140 mmHg. Sebaliknya pada penderita normotensi ataupun pada

    penderita hipertensi baru dengan penghentian obat yang tiba-tiba, dapat timbul

    hipertensi ensefalopati demikian juga pada eklampsi, hipertensi ensefalopati

    dapat timbul walaupun TD 160/110 mmHg.

    Patofisiologi

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 19

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    20/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    a. Hipertensi essensial yang tidak diobati adanya resistensi vascular idiopatik

    sewaktu-waktu dipacu stress dll krisis hipertensi

    b. Kehamilan (eklampsia) bahan vasokontriktor dari plasenta iskemik hipertensi

    yg suatu saat bisa jadi krisis

    c. Penyakit ginjal pengaktifan system RAA vasokontriksi hipertensi yg bisa

    jadi krisis

    d. Penggunaan amfetamin dan kokain, feokromositoma, cushing syndrome

    katekolamin vasokontriksi + denyut jantung krisis

    e. Rangsangan simpatis tinggi (luka bakar, trauma kepala) simpatis

    vasokontriksi + denyut jantung krisis

    Manifestasi Klinis

    Gejala klinis yang timbul tergantung ada tidaknya organ yang terganggu, dan organ apa

    yang terganggu. Menurut data, Berikut gejala berdasarkan organ yang terganggu.

    - Mata : hypertensive retinopathy

    hipertensi edema papil, perdarahan retina penglihatan kabur

    - Otak : bisa menjadi stroke, hypertensive encelopathy

    Hipertensi iskemik sakit kepala, gangguan kesadaran, deficit neurologis

    local

    - Jantung : Hypertensive Heart Failure

    Hipertensi beban jantung sementara pemenuhan kebutuhan jantung

    iskemik miokardium sesak, nyeri dada

    - Ginjal : penyakit ginjal hipertensi

    Hipertensi iskemik jaringan ginjal proteinuria, azotemia

    Tekanan

    darah

    Funduskopi Status neurologi Jantung Ginjal GIT

    > 220/140

    mmHg

    Perdarahan Sakit kepala,

    kacau

    Denyut jelas Uremia Mual,

    muntah

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 20

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    21/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Eksudat,

    Edema papil

    Gangguan

    kesadaran,

    kejang

    Membesar

    Dekompensas

    i, oliguria

    Proteinuri

    a

    Tabel 3. Manifestasi Klinis pada Hipertensi Emergensi

    Kelompok Biasa Mendesak Darurat

    Tekanan darah > 180/110 > 180/110 > 220/140

    Gejala Tidak ada, kadang sakit

    kepala

    Gelisah

    Sakit kepala hebat,

    sesak napas

    Sesak napas, nyeri dada,

    kacau, gangguan

    kesadaran

    PF Organ target tidak ada Gangguan organ

    target

    Ensefalopati, edema paru,

    gangguan fungsi ginjal,

    iskemia jantung

    Pengobatan Awasi 1-3 jam

    Mulai/teruskan obat

    oral, naikkan dosis

    Awasi 3-6 jam, obat

    oral berjangka kerja

    pendek

    Pasang jalur intravena,

    periksa lab standar, terapi

    obat intravena

    Rencana Periksa ulang dalam 3

    hari

    Periksa ulang dalam

    24 jam

    Rawat ruangan

    Tabel 4. Krisis Hipertensi

    Diagnosis

    Diagnosis krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi

    tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan

    yang menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah dapat mendiagnosa

    suatu krisis hipertensi.

    Anamnesis

    Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat. Hal yang penting ditanyakan :

    Riwayat hipertensi : lama dan beratnya.

    Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 21

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    22/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Usia : sering pada usia 40 60 tahun.

    Gejala sistem syaraf ( sakit kepala, perubahan mental, ansietas )

    Gejala sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine berkurang ).

    Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung, kongestif dan oedem

    paru, nyeri dada )

    Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis

    Riwayat kehamilan : tanda eklampsi.

    Pemeriksaan Fisik: Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran TD ( baring dan berdiri )

    mencari kerusakan organ sasaran ( retinopati, gangguan neurologi, payah jantung kongestif,

    altadiseksi ). Perlu dibedakan komplikasi krisis hipertensi dengan kegawatan neurologi

    ataupun payah jantung, kongestif dan oedema paru. Perlu dicari penyakit penyerta lain

    seperti penyakit jantung koroner.

    Pemeriksaan Penunjang

    Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu :

    1) Pemeriksaan yang segera seperti :

    a. Darah : rutin, BUN, creatirine, elektrolit.

    b. Urine : Urinalisa dan kultur urine.

    c. EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi.

    d. Foto dada : apakah ada oedema paru ( dapat ditunggu setelah pengobatan

    terlaksana ).

    2) Pemeriksaan lanjutan ( tergantung dari keadaan klinis dan hasil pemeriksaan yang

    pertama ) :

    a. Sangkaan kelainan renal : IVP, Renald angiography ( kasus tertentu ), biopsi

    renald ( kasus tertentu ).

    b. Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : Spinal tab, CAT Scan.

    c. Bila disangsikan Feokhromositoma : urine 24 jam untuk Katekholamine,

    metamefrin, venumandelic Acid ( VMA ).

    Penatalaksanaan

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 22

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    23/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Pada jam pertama turunkan tekanan darah yaitu 20% dari Mean arterial Preassure awal.

    Kemudian 2-6 jam TD diturunkan sampai 160/100 mmHg Selanjutnya 6-24 jam kemudian

    diturunkan sampai

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    24/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    sama 1-5 ug/kg/menit

    Nitroprusid IV 0.25 ug/kg/menit Langsung 2-3 menit Selang infus lapis

    perak

    Tabel 6. Obat Hipertensi Intravena

    B. DIABETES MELLITUS

    1. Definisi

    Menurut WHO 1980 dalam PERKENI 2011 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan

    sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi secara

    umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang

    merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan

    gangguan fungsi insulin

    Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

    hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

    Diabetes Melitus adalah suatu penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar

    glukosa didalam darah. Penyakit ini dapat menyerang segala lapisan umur dan sosial ekonomi.

    Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005 dalam PERKENI 2011, Diabetesmelitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang

    terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

    2. Klasifikasi

    Diabetes melitus diklasifikasikan menurut etiologinya seperti yang tertera pada tabel 2.

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 24

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    25/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Tabel 7 . Klasifikasi diabetes menurut etiologinya

    American Diabetes Association (ADA) dalam standards of Medical Care in Diabetes (2009)

    memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi 4 tipe yang disajikan dalam (Dewi, Debhryta

    Ayu, 2009):

    1. Diabetes melitus tipe 1, yaitu diabetes melitus yang dikarenakan oleh adanya

    destruksi sel pankreas yang secara absolut menyebabkan defisiensi insulin.

    2. Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan

    sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin.

    3. Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh beberapa faktor

    lain seperti kelainan genetik pada fungsi sel pankreas, kelainan genetik pada

    aktivitas insulin, penyakit eksokrin pankreas (cystic fibrosis), dan akibat

    penggunaan obat atau bahan kimia lainnya (terapi pada penderita AIDS dan terapisetelah transplantasi organ).

    4. Diabetes melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa atau dialami

    selama masa kehamilan.

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 25

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    26/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    3. Etiologi dan Faktor Resiko

    Penyebab yang berhubungan dengan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin :

    a. Faktor genetic

    b. Usia (meningkat diatas 65 tahun)

    c. Obesitas

    d. Riwayat keluarga

    4. Patofisiologi

    Insulin merupakan hormon kunci untuk mengatur kadar gula darah. Secara umum,

    kadar gula yang normal dipertahankan oleh interaksi yang seimbang antara sekresi

    insulin dan efektivitas kerja insulin. Dalam keadaan puasa, glukosa yang diproduksi oleh

    hati, dan setengahnya digunakan untuk metabolisme glukosa otak. Sisanya ditutupi oleh

    berbagai jaringan, terutama otot dan jaringan adiposa. Dalam situasi ini, tingkat insulin

    rendah dan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap penyerapan glukosa otot.

    Normalnya hati dapat meningkatkan produksi glukosa menjadi 4 kali lipat dari biasanya

    atau lebih, dan efek utama dari tingkat insulin yang relatif rendah adalah untuk mencegah

    produksi glukosa hati. Setelah makan, insulin disekresi dalam jumlah yang lebih besar

    dari biasanya untuk menurunkan produksi glukosa hati dan menyebabkan penyerapan

    glukosa dan lemak otot meningkat.

    Sel pankreas normalnya mampu beradaptasi terhadap perubahan dalam kerja

    insulin, artinya, penurunan kerja insulin disebabkan oleh penurunan sekresi insulin (dan

    sebaliknya). Adaptasi sel beta pankreas berfungsi untuk mencegah perkembangan

    diabetes di sejumlah orang yang resisten terhadap kerja insulin. Ketika adaptasi sel-sel

    beta tidak adekuat, hal tersebut akan berkembang menjadi toleransi glukosa terganggu

    (TGT) atau diabetes tipe 2. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa disfungsi sel-

    beta memiliki peranan yang sangat penting dalam patogenesis diabetes tipe 2.

    Perlu dicatat, bahwa terjadi sedikit peningkatan kadar glukosa pada saat puasa dan

    saat setelah makan pada orang-orang dengan resistensi insulin. Padahal seharusnya pada

    keadaan ini dirangsang pelepasan insulin. Jadi, ketika efektifitas kerja insulin menurun

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 26

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    27/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    (misalnya pada orang yang gemuk), fisiologis tubuh biasanya mengimbanginya dengan

    meningkatkan kerja sel beta. Semakin tinggi konsentrasi glukosa saat puasa dan 2 jam

    setelah makan, maka seharusnya semakin tinggi pula jumlah insulin yanmg dilepaskan

    oleh sel beta pankreas. Walaupun peningkatan insulin dalam jumlah kecil, perlahan-lahan

    hal ini akan menjadi racun pada sel-sel beta pankreas di kemudian hari (toksisitas

    glukosa).

    Pada pasien dengan diabetes melitus tak tergantung insulin (DMTTI),

    penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat. DMTTI ditandai dengan kelainan dalam

    sekresi insulin maupun dalam kerja insulin. Resistensi insulin terjadi ketika efek biologis

    insulin tidak normal (efektivitas kerjanya menurun) untuk mencegah pelepasan glukosa

    dalam otot rangka dan penekanan produksi glukosa endogen di hati. Dalam keadaan

    berpuasa, jaringan otot hanya berperan kecil dalam memberikan glukosa (kurang dari

    20%), sedangkan produksi glukosa endogen (hati) memiliki peran yang lebih besar atas

    kadar glukosa yang beredar dalam plasma. Pada pasien dengan diabetes tipe 2 dan pada

    pasien dengan glukosa puasa terganggu, terjadi percepatan produksi glukosa endogen.

    Pada orang-orang yang memiliki resistensi terhadap insulin, awalnya masih memiliki

    kompensasi yang terlihat dengan tingginya kadar insulin. Pada orang yang mengalami

    resistensi insulin hepatik (dengan meningkatkan produksi glukosa hepatik) akan menjadi

    pendorong terjadinya hiperglikemia pada diabetes tipe 2.

    Resistensi insulin telah diketahui berkaitan dengan obesitas. Hal ini berkaitan

    dengan sejumlah hormon yang beredar, sitokin dan bahan bakar metabolik, seperti asam

    lemak bebas tak jenuh yang berasal dari adipocyte dan kerja insulin. Pada orang yang

    gemuk, adipocytes berjumlah banyak, sehingga membuat mereka tidak terpengaruh

    terhadap kemampuan insulin untuk menekan lipolisis, terutama di lemak visceral atau

    subkutan. Hasilnya akan menyebabkan asam lemak bebas tak jenuh dan gliserol menjadi

    meningkat, sehingga akan memperburuk resistensi insulin pada otot rangka dan hati.

    Diabetes melitus tergantung insulin (DMTI) adalah penyakit autoimun yang

    ditentukan secara genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju pada proses

    bertahap perusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Individu yang peka

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 27

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    28/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    secara genetik tampaknya memberikan respon terhadap kejadian-kejadian pemicu yang

    diduga berupa infeksi virus dengan memproduksi antibodi terhadap sel-sel beta, yang

    akan mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa.

    5. Manifestasi Klinis

    Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala khas berupa poliuria,

    polidispia, lemas dan berat badan menurun. Gejala lain yang mungkin dikemukakan

    pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensia pada pria, serta pruritus

    vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan dan gejala khas, ditemukan pemeriksaan glukosa

    darah sewaktu >200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Umumnya

    hasil pemeriksaan satu kali saja glukosa darah sewaktu abnormal belum cukup kuat untuk

    diagnosis klinis DM

    6. Diagnosis

    Diagnosis diabetes melitus harus berdasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa

    darah. Dalam menentukan diagnosis diabetes melitus harus diperhatikan asal bahan darah

    yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang

    dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah

    plasma vena. Untuk memastikan diagnosis diabetes melitus, pemeriksaan glukosa darah

    sebaiknya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya. Walaupun demikian sesuai

    dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh, vena maupun kapiler

    dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan

    WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler

    Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya

    DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini :

    1. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat

    badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

    2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi

    ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 28

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    29/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk

    menegakkan diagnosis diabetes melitus. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa

    126 mg/dl juga digunakan untuk acuan diagnosis diabetes melitus. Untuk kelompok tanpa

    keluhan khas diabetes melitus, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja

    abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Diperlukan

    pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa

    darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau

    dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca

    pembebanan 200 mg/dl.

    Tabel 8. Kriteria diagnosis diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006

    Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan pemeriksaan penyaring. Uji

    diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala atau tanda diabetes

    melitus, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasikan mereka yang

    tidak bergejala, yang mempunyai resiko diabetes melitus. Serangkaian uji diagnostik akan

    dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untukmemastikan diagnosis definitif.

    Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan Daibetes melitus,

    toleransi glukosa terganggu (TGT) maupun glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga

    dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 29

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    30/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju diabetes melitus. Kedua keadaan

    tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya diabetes melitus dan penyakit kardiovaskular

    di kemudian hari.

    Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu

    atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral

    (TTGO) standar.

    Cara pelaksanaan TTGO

    Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan

    karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.

    Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih

    tanpa gula tetap diperbolehkan. Diperiksa kadar glukosa darah puasa

    Diberikan glukosa 75 g (orang dewasa), atau 1,75 g/Kg BB (anak-anak), dilarutkan

    dalam 250 ml air dan diminum dalam waktu 5 menit.

    Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah

    minum larutan glukosa selesai.

    Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa

    Selama proses pemeriksaan, subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.

    Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat

    digolongkan ke dalam kelompok TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT (Glukosa

    Darah Puasa Terganggu) dari hasil yang diperoleh.

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 30

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    31/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Tabel 9. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar penyaring dan diagnosis

    diabetes melitus

    Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik untuk menentukan

    diagnosis diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu dan glukosa darah puasa tergagnggu.

    Berikut adalah langkah-langkah penegakkan diagnosis diabetes melitus, TGT, dan GDPT.

    Gambar 1. Langkah-langkah diagnostik diabetes melitus dan toleransi glukosa terganggu.

    Penatalaksanaan

    Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah diabetes melitus tipe 2, yang umumnya

    mempunyai latar belakang kelainan yang diawali dengan terjadinya resistensi insulin. Awalnya

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 31

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    32/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    resistensi insulin masih belum menyebabkan diabetes secara klinis. Pada saat tersebut sel beta

    pankreas masih dapat mengkompensasi keadaan ini dan terjadi suatu hiperinsulinemia dan

    glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi

    ketidaksanggupan sel beta pankreas, baru akan terjadi diabetes melitus secara klinis, yang

    ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria diagnosis

    diabetes mellitus.

    Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup

    penyandang diabetes.

    Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus dibagi menjadi dua yaitu :

    1. Jangka pendek, hilangnya keluhan dan tanda diabetes melitus, mempertahankan rasa

    nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.

    2. Jangka panjang, tercegah dan terhambatnya progresifitas penyulit mikroangiopati,

    makroangiopati, dan neyropati.

    Tujuan akhir pengelolaan diabetes melitus adalah turunnya morbiditas dan mortalitas

    diabetes melitus. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,

    tekanan darah, berat badan dan profil lipid, melalu pengelolaan pasien secara holistik dengan

    mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan tingkah laku.

    Langkah pertama dalam mengelola diabetes melitus selalu dimulai dengan pendekatan non

    farmakologis, yaitu berupa perencanaan makan atau terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani danpenurunan berat badan bila didapat berat badan lebih atau obesitas. Bila dengan langkah-langkah

    tesebut sasaran pengendalian belum tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan obat atau

    intervensi farmakologis. Dalam melakukan pemilihan obat perlu diperhatikan titik kerja obat

    sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia seperti yang tertera pada

    gambar 2.

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 32

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    33/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Gambar 2. Sarana farmakologis dan titik kerja obat untuk pengendalian kadar glukosa

    darah.

    Gambar 3. Alur Penatalaksanaan DM tipe II

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 33

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    34/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Untuk penatalaksanaan diabetes melitus, di Indonesia, pendekatan yang digunakan

    adalah berdasarkan dari pilar penatalaksanaan diabetes melitus yang sesuai dengan

    konsensus penatalaksanaan diabetes melitus menurut PERKENI tahun 2006. Adapun

    pilar penatalaksanaan diabetes melitus sebagai berikut :

    Edukasi

    Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah

    terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlikan partisipasi

    aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju

    perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan

    edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.

    Tujuan dari perubahan perilaku adalah agar penyandang diabetes dapat menjalani

    pola hidup sehat. Perilaku yang diharapkan adalah:

    1. Mengikuti pola makan sehat

    2. Meningkatkan kegiatan jasmani

    3. Menggunakan obat diabetes dan obat-obat pada keadaan khusus secara aman, teratur

    4. Melakukan Pementauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan data

    yang ada

    5. Melakukan perawatan kaki secara berkala6. Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi sakit akut dengan tepat

    7. Mempunyai ketrampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau bergabung

    dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga untuk mengerti

    pengelolaan penyandang diabetes.

    8. Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.

    Terapi Gizi Medis.

    Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara

    total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim

    (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri). Setiap penyandang

    diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 34

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    35/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    terapi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran

    makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan

    kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu

    ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah

    makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau

    insulin.

    Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain :

    1. Menurunkan berat badan

    2. Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik

    3. Menurunkan kadar glukosa darah

    4. Memperbaiki profil lipid5. Meningkatkan sensitifitas reseptor insulin

    6. Memperbaiki sistem koagulasi darah

    Adapun tujuan dari terapi medis ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan :

    1. Kadar glukosa darah mendekati normal

    Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl

    Glukosa darah 2jam setelah makan 40 mg/dl

    Trigliserida < 150 mg/dl

    4. Berat badan senormal mungkin

    Komposisi bahan makanan terdiri dari makronutrien yang meliputi kerbohidrat,

    protein dan lemak, serta mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral, harus diatur

    sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan diabetisi secara tepat.

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 35

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    36/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Adapun komposisi bahan makanan yang direkomendasikan untuk diabetisi menurut

    konsensus penatalaksanaan diebetes melitus di Indonesia menurut PERKENI tahun 2006

    adalah sebagai berikut :

    1. Karbohidrat, sebagai sumber energi, diberikan pada diabetisi tidak boleh lebih dari

    55-65% dari total kebutuhan energi dalam sehari, atau tidak boleh lebih dari 70%jika

    dikombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA =

    monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram karbohidrat terdapat kandungan

    energi sebesar 4 kilokalori.

    2. Protein, jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari total

    kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal dimana diperlukan pembatasan

    asupan protein sampai 40 gram perhari, maka perlu ditambahkan suplementasi asamamino esensial. Protein mengandung energi sebesar 4 kilokalori/gram.

    3. Lemak, mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per gramnya. Bahan

    makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti

    vitamin A, D, E, dan K. Berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak dibedakan

    menjadi lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak jenuh dan

    kolesterol disarankan bagi diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid

    tidak normal yang sering tidak normal dijumpai pada diabetes. Asam lemak tidak

    jenuh rantai tunggal (monounsaturated fatty acid = MUFA), merupakan salah satu

    asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan profil lipid. Pemberian

    MUFA pada diet diabetisi dapat menurunkan trigliserida, kolesterol total, kolesterol

    VLDL dan meningkatkan kolesterol HDL. Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai

    panjang (polyunsaturated fatty acid= PUFA) dapat melindungi jantung, menurunkan

    kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak

    omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan

    aktifitas enzim lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan

    perifer, sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol LDL.

    4. Serat, seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan

    mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 36

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    37/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat dan bahan

    lain yang baik untuk kesehatan. Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/1000

    kkal/hari.

    5. Kebutuhan kalori, Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang

    dibutuhkanpenyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan

    kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah atau

    dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat

    badan, dll.

    Latihan jasmani.

    Pengelolaan diabetes yang meliputi empat pilar, aktivitas fisik merpakan salah

    satu dari keempat pilar tersebut. Aktivitas minimal otot skeletal lebih dari sekedar

    yang diperlukan untuk ventilasi basal paru, dibutuhkan untuk semua orang termasuk

    diabetisi sebagai kegiatan sehari-hari

    Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat

    badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali

    glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat

    aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani

    sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.

    Tabel 10. Aktifitas fisik sehari-hari.

    Intervensi Farmakologis

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 37

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    38/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai

    dengan pengaturan makan dan latihan jasmani. Dalam melakukan pemilihan

    intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam-

    macam penyebab terjadinya hiperglikemia.

    Obat hipoglikemik oral (OHO)

    Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi beberapa golongan :

    1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid

    Sulfonilurea, obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi

    insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan

    berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien

    dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada

    berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi

    serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja

    panjang.

    Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan

    penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri

    dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid

    (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara

    oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.

    2. Penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion

    Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome

    Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-), suatu reseptor inti di sel otot

    dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin

    dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga

    meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan

    pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat

    edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang

    menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauanfaal hati secara berkala.

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 38

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    39/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    3. Penghambat glukoneogenesis: metformin

    Metformin, obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati

    (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.

    Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin

    dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >

    1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia

    (misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin

    dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat

    diberikan pada saat atau sesudah makan.

    4. Penghambat glukosidase alfa (acarbose)

    Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga

    mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose

    tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering

    ditemukan ialah kembung dan flatulens.

    Cara Pemberian OHO, terdiri dari

    1. OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai

    respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir

    maksimal

    2. Sulfonilurea generasi I & II : 15 30 menit sebelum makan

    3. Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan

    4. Repaglinid, Nateglinid : sesaat/ sebelum makan

    5. Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan

    6. Penghambat glukosidase (Acarbose) : bersama makansuapan pertama

    7. Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 39

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    40/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Tabel 11. Mekanisme kerja, efek samping utama, dan pengaruh terhadap penurunan A1C

    (Hb-glikosilat)

    Tabel 12. Obat hiperglikemia oral

    Insulin

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 40

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    41/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan

    oleh sel beta pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta,

    insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh

    untik keperluan regulasi glukosa darah. Insulin diperlukan pada keadaan :

    1. Penurunan berat badan yang cepat

    2. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

    3. Ketoasidosis diabetik

    4. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

    5. Hiperglikemia dengan asidosis laktat

    6. Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal

    7. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

    8. Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan

    perencanaan makan

    9. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

    10.Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

    Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:

    1. insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

    2. insulin kerja pendek (short acting insulin)

    3. insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)

    4. insulin kerja panjang (long acting insulin)

    5. insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin)

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 41

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    42/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Tabel 13. Farmakokinetik insulin berdasarkan waktu kerja.

    Penilaian hasil terapi

    Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau secara terencana

    dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan

    yang dapat dilakukan adalah :

    Pemeriksaan kadar glukosa darah

    Tujuan pemeriksaan glukosa darah:

    a) Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai

    b) Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi

    Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan

    glukosa 2 jam posprandial secara berkala sesuai dengan kebutuhan. Kalau karena salah satu hal

    terpaksa hanya dapat diperiksa 1 kali dianjurkan pemeriksaan 2 jam posprandial.

    Pemeriksaan A1C

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 42

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    43/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau hemoglobin

    glikosilasi disingkat sebagai A1C, merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek

    perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil

    pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan minimal 2 kali dalam

    setahun.

    Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)

    Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. Saat ini banyak

    dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan

    mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat

    dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan

    cara standar yang dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen kering perlu

    dibandingkan dengan cara konvensional.

    PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin.

    Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada terapi. Waktu yang dianjurkan adalah,

    pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan (menilai ekskursi maksimal glukosa), menjelang

    waktu tidur (untuk menilai risiko hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk menilai adanya

    hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika mengalami gejala seperti

    hypoglycemic spells. Prosedur PGDM dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

    Kriteria pengendalian DM

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 43

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    44/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Tabel 14. Kriteria pengendalian diabetes melitus

    Komplikasi

    Komplikasi akut

    1. Ketoasidosis diabetik : Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensasi-kekacauan

    metabolik yang ditandai dengan trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama

    disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan

    komplikasi akut diabetes melitus yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat

    darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat bahkan

    sampai menyebabkan syok. KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin

    absolut atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, dan

    hormon pertumbuhan), keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat

    dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. KAD

    ditegakkan dengan kriteria diagnosis sebagai berikut

    1. Kadar glukosa > 250 mg%

    2. pH < 7,35

    3. HCO3 rendah

    4. Anion gap yang tinggi

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 44

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    45/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    5. Keton serum positif

    2. Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik : ditandai oleh hiperglikemia,

    hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat,

    hiperglikemia berat dan seringkali disertai gangguanneurologis dengan atau tanpa adanya

    ketosis. Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu

    (beberapa hari sampai beberapa minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus

    disertai poliuri, polidipsi, dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang

    dari 10% kasus. Faktor pencetus dapat dibagi menjadi enam kategori : infeksi,

    pengobatan, noncompliance, DM tak terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan penyakit

    penyerta.

    Faktor yang memulai timbulnya HHNK adalah diuresis glukosuria. Glukosuria

    mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang

    semakin memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi

    mengeliminasi glukosa di atas ambang batas tertentu. Namun demikian, penurunan

    volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan menurunkan

    laju filtrasi glomerular, menyebabkan kadar glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih

    banyak dibanding natrium menyebabkan kadar hiperosmolar. Insulin yang ada tidak

    cukup untuk menurunkan kadar glukosa darah, terutama jika terdapat resistensi insulin

    3. Hipoglikemia : ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    46/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Pada keadaan hiperglikemia, akan terjadi peningkatan jalur polyol, peningkatan

    pembentukan Protein Glikasi non enzimakti serta peningkatan proses glikosilasi itu sendiri, yang

    menyebabkan peningkatan stress oksidatif dan pada akhirnya menyebabkan komplikasi baik

    vaskulopati, retinopati, neuropati ataupun nefropati diabetika.

    a. Komplikasi Mikrovaskular

    Timbul akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil khususnya kapiler.

    Komplikasi ini spesifik untuk diabetes melitus.

    Retinopati diabetika : Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dan

    gejala berkurangnya ketajaman penglihatan atau gangguan lain pada mata yang

    dapat mengarah pada kebutaan. Retinopati diabetes dibagi dalam 2 kelompok,

    yaitu Retinopati non proliferatif dan Proliferatif. Retinopati non proliferatif

    merupkan stadium awal dengan ditandai adanya mikroaneurisma, sedangkan

    retinoproliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan pembuluh darah kapiler,

    jaringan ikat dan adanya hipoksia retina. Pada stadium awal retinopati dapat

    diperbaiki dengan kontrol gula darah yang baik, sedangkan pada kelainan sudah

    lanjut hampir tidak dapat diperbaiki hanya dengan kontrol gula darah, malahan

    akan menjadi lebih buruk apabila dilakukan penurunan kadar gula darah yang

    terlalu singkat.

    Nefropati diabetika : Diabetes mellitus tipe 2, merupakan penyebab nefropati

    paling banyak, sebagai penyebab terjadinya gagal ginjal terminal. Kerusakan

    ginjal yang spesifik pada DM mengakibatkan perubahan fungsi penyaring,

    sehingga molekul-molekul besar seperti protein dapat lolos ke dalam kemih (mis.

    Albuminuria). Akibat nefropati diabetika dapat timbul kegagalan ginjal yang

    progresif. Nefropati diabetic ditandai dengan adanya proteinuri persisten ( > 0.5

    gr/24 jam), terdapat retinopati dan hipertensi. Dengan demikian upaya preventif

    pada nefropati adalah kontrol metabolisme dan kontrol tekanan darah.

    Komplikasi Makrovaskular

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 46

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    47/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Timbul akibat aterosklerosis dan pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya arteri

    akibat timbunan plak ateroma. Makroangioati tidak spesifik pada diabetes, namun pada DM

    timbul lebih cepat, lebih seing terjadi dan lebih serius. Komplikasi makroangiopati umumnya

    tidak ada hubungannya dengan kontrol kadar gula darah yang balk. Tetapi telah terbukti secara

    epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu faktor resiko mortalitas kardiovaskular,

    dimana peninggian kadar insulin menyebabkan risiko kardiovaskular semakin tinggi pula.

    Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor aterogenik dan diduga berperan penting dalam

    timbulnya komplikasi makrovaskular.

    Penyakit Jantung Koroner : Berdasarkan studi epidemiologis, maka diabetes

    merupakan suatu faktor risiko koroner. Aterosklerosis koroner ditemukan pada 50-70%

    penderita diabetes. Akibat gangguan pada koroner timbul insufisiensi koroner atau anginapektoris (nyeri dada paroksismal serti tertindih benda berat dirasakan didaerah rahang

    bawah, bahu, lengan hingga pergelangan tangan) yang timbul saat beraktifitas atau emosi

    dan akan mereda setelah beristirahat atau mendapat nitrat sublingual.Akibat yang paling

    serius adalah infark miokardium, di mana nyeri menetap dan lebih hebat dan tidak

    mereda dengan pembenian nitrat.

    Stroke : Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua tersering pada

    penderita diabetes. Kira-kira sepertiga penderita stroke juga menderita diabetes. Stroke

    lebih sering timbul dan dengan prognosis yang lebih serius untuk penderita diabetes.

    Akibat berkurangnya aliran atrteri karotis interna dan arteri vertebralis timbul gangguan

    neurologis akibat iskemia

    Penyakit pembuluh darah : Proses awal terjadinya kelainan vaskuler adalah adanya

    aterosklerosis, yang dapat terjadi pada seluruh pembuluh darah. Risiko ini akan

    meningkat lagi apabila terdapat keadaan keadaan seperti dislipidemia, obes, hipertensi

    atau merokok.Penyakit pembuluh darah pada diabetes lebih sering dan lebih awal terjadi

    pada penderita diabetes dan biasanya mengenai arteri distal (di bawah lutut). Pada

    diabetes, penyakit pembuluh darah perifer biasanya terlambat didiagnosis yaitu bila sudah

    mencapai fase IV.

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 47

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    48/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Neuropati : Umumnya berupa polineuropati diabetika, kompikasi yang sering terjadi

    pada penderita DM, lebih 50 % diderita oleh penderita DM. Mnifestasi klinis dapat

    berupa gangguan sensoris, motorik, dan otonom. Proses kejadian neuropati biasanya

    progresif di mana terjadi degenerasi serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri atau

    bahkan baal. Yang terserang biasanya adalah serabut saraf tungkai atau lengan.Neuropati

    disebabkan adanya kerusakan dan disfungsi pada struktur syaraf akibat adanya

    peningkatan jalur polyol, penurunan pembentukan myonositol, penurunan Na/K ATP ase,

    sehingga menimbulkan kerusakan struktur syaraf, demyelinisasi segmental, atau atrofi

    axonal.

    Pencegahan

    Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes terdiri dari tiga tahap, yaitu:

    1. Pencegahan Primer

    Pencegahan ini merupakan suatu upaya yang ditujukan pada kelompok risiko tinggi. Mereka

    yang belum menderita DM, tetapi berpotensi untuk menderita penyakit ini, yaitu mereka yang

    tergolong kelompok usia dewasa (di atas 45 tahun), kegemukan, tekanan darah tinggi (lebih dari

    140/90 mmHg), riwayat keluarga DM, dll. Upaya yang perlu dilakukan pada tahap ini adalah

    upaya untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut.

    Menjelaskan kepada masyarakat bahwa mencegah penyakit jauh lebih baik daripada

    mengobatinya. Kampanye makanan sehat dengan pola tradisional yang mengandung lemak

    rendah atau pola makanan seimbang dengan alternatif terbaik dan harus sudah mulai ditanamkan

    pada anak-anak sekolah sejak taman kanak-kanak. Selain makanan, cara hidup berisiko lainnya

    harus dihindari. Menjaga berat badan agar tidak gemuk, dengan berolah raga teratur. Dengan

    menganjurkan berolah raga kepada kelompok risiko tinggi, misalnya anak-anak pasien diabetes,

    merupakan salah satu upaya pencegahan primer yang sangat efektif dan murah.

    2. Pencegahan Sekunder

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 48

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    49/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Pencegahan ini berupa upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit dengan

    tindakan deteksi dini dan dilakukan sejak awal penyakit. Penyuluhan mengenai DM dan

    pengelolaannya memegang peran yang penting untuk meningkatkan kepatuhan berobat.

    Syarat untuk mencegah komplikasi adalah kadar glukosa darah harus selalu terkendali

    mendekati angka normal sepanjang hari sepanjang tahun. Tekanan darah dan kadar lipid juga

    harus normal. Agar tidak ada resistensi insulin, dalam upaya pengendalian kadar glukosa darah

    dan lipid, diutamakan cara-cara non farmakologis dahulu secara maksimal, misalnya dengan diet

    dan olah raga, tidak merokok, dan lain-lain. Bila tidak berhasil baru menggunakan obat, baik

    secara oral maupun insulin.

    Pada pencegahan sekunder pun, penyuluhan tentang perilaku sehat harus dilaksanakan

    ditambah dengan peningkatan pelayanan kesehatan primer di pusat-pusat pelayanan kesehatan,

    3. Pencegahan Tersier

    Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang diakibatkannya, termasuk ke dalam

    pencegahan tersier. Upaya ini terdiri dari 3 tahap:

    a. Pencegahan komplikasi diabetes, yang pada konsensus dimasukkan sebgai

    pencegahan sekunder

    b. Mencegah berlanjutnya komplikasi untuk tidak menjurus kepada penyakit organ

    c. Mencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena kegagalan organ atau

    jaringan.

    Daftar Pustaka

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 49

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    50/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    1. American Diabetes Association, 2010. Standards of Medical Care in Diabetes.

    http://care.diabetesjournals.org/content/33/Supplement_1/S11.extract diakses pada

    tanggal 3 Juli 2013

    2. Hiswani. 2009. Penyuluhan Kesehatan Pada Penderita Diabetes Melitus. Medan :

    Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

    3. PERKENI. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di

    Indonesia.

    4. PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di

    Indonesia.

    5. Sudoyo, Aru W [et.al]. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III. Ed V. Jakarta :

    Balai Penerbit FK UI.

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 50

    http://care.diabetesjournals.org/content/33/Supplement_1/S11.extracthttp://care.diabetesjournals.org/content/33/Supplement_1/S11.extract
  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    51/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    AMLODIPINE

    Farmakologi

    Amlodipine merupakan antagonis kalsium golongan dihidropiridin (antagonis ion kalsium) yang menghambat influks

    (masuknya) ion kalsium melalui membran ke dalam otot polos vaskular dan otot jantung sehingga mempengaruhi

    kontraksi otot polos vaskular dan otot jantung. Amlodipine menghambat influks ion kalsium secara selektif, di mana

    sebagian besar mempunyai efek pada sel otot polos vaskular dibandingkan sel otot jantung.

    Efek antihipertensi amlodipine adalah dengan bekerja langsung sebagai vasodilator arteri perifer yang dapat menyebabkan

    penurunan resistensi vaskular serta penurunan tekanan darah. Efek antiangina amlodipine adalah melalui dilatasi arteriol

    perifer sehingga dapat menurunkan resistensi perifer total (afterload), karena amlodipine tidak mempengaruhi frekuensi

    denyut jantung, pengurangan beban jantung akan menyebabkan penurunan kebutuhan oksigen miokardial serta kebutuhan

    energi. Amlodipine menyebabkan dilatasi arteri dan arteriol koroner baik pada keadaan oksigenisasi normal maupun

    keadaan iskemia. Pada pasien angina, dosis amlodipine satu kali sehari dapat meningkatkan waktu latihan, waktu

    timbulnya angina, waktu timbulnya depresi segmen ST dan menurunkan frekuensi serangan angina serta penggunaan

    tablet nitrogliserin. Amlodipine tidak menimbulkan perubahan kadar lemak plasma dan dapat digunakan pada pasien

    asma, diabetes serta gout.

    Indikasi

    Amlodipine digunakan untuk pengobatan hipertensi, angina stabil kronik, angina vasospastik (angina prinzmetal atau

    variant angina). Amlodipine dapat diberikan sebagai terapi tunggal ataupun dikombinasikan dengan obat antihipertensi

    dan antiangina lain.

    Kontra Indikasi

    Amlodipine tidak boleh diberikan pada pasien yang hipersensitif terhadap amlodipine dan golongan dihidropiridin lainnya.

    Dosis

    Penggunaan dosis diberikan secara individual, bergantung pada toleransi dan respon pasien. Dosis awal yang dianjurkan

    adalah 5 mg satu kali sehari, dengan dosis maksimum 10 mg satu kali sehari. Untuk melakukan titrasi dosis, diperlukan

    waktu 7-14 hari. Pada pasien usia lanjut atau dengan kelainan fungsi hati, dosis yang dianjurkan pada awal terapi 2,5 mg

    satu kali sehari. Bila amlodipine diberikan dalam kombinasi dengan antihipertensi lain, dosis awal yang digunakan adalah

    2,5 mg. Dosis yang direkomendasikan untuk angina stabil kronik ataupun angina vasospastik adalah 5-10 mg, dengan

    penyesuaian dosis pada pasien usia lanjut dan kelainan fungsi hati. Amlodipine dapat diberikan dalam pemberian bersama

    obat-obat golongan tiazida, ACE inhibitor, -bloker, nitrat dan nitrogliserin sublingual.

    Efek Samping

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 51

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    52/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Secara umum amlodipine dapat ditoleransi dengan baik, dengan derajat efek samping yang timbul bervariasi dari ringan

    sampai sedang. Pada penelitian klinik dengan kontrol plasebo yang mencakup penderita dengan hipertensi dan angina,

    efek samping yang umum terjadi adalah sakit kepaia, edema, somnolen, palpitasi, nyeri abdomen, lelah, mual, dan pusing-

    pusing. Tidak ada keiainan-kelainan tes laboratorium yang signifikan secara klinis yang berkaitan dengan amlodipine.

    Efek samping lain yang sedikit ditemukan pada pengalaman klinis adalah pruritus, rash, astenia, kram otot, hiperplasia

    gingiva, dispepsia dan yang jarang ditemukan eritema multiforme. Seperti pada calcium channel blockers, efek samping

    lain jarang dilaporkan dan tidak bisa dibedakan dari gejala penyakit penyebabnya: infark miokard, aritmia (termasuk

    takikardi ventrikular dan fibrilasi atrium) dan nyeri dada.

    Belum ada penelitian pemakaian amlodipine pada wanita hamil, sehingga penggunaannya selama kehamilan hanya bila

    keuntungannya lebih besar dibandingkan risikonya pada ibu dan janin. Belum diketahui apakah amlodipine diekskresikan

    ke dalam air susu ibu. Karena keamanan amlodipine pada bayi baru lahir belum jelas benar, maka sebaiknya amlodipine

    tidak diberikan pada ibu menyusui. Efektivitas dan keamanan amlodipine pada pasien anak belum jelas benar.

    Peringatan dan Perhatian

    Penggunaan pada penderita gagal ginjal.

    Amlodipine sebagian besar dimetabolisme menjadi metabolit inaktif, dan 10% diekskresikan dalam bentuk utuh melalui

    urin. Perubahan-perubahan kadar amlodipine dalam plasma tidak ada korelasi dengan derajat kegagalan ginjal. Dosis

    normal amlodipine dapat digunakan pada penderita tersebut namun amlodipine tidak dapat didialisis.

    Penggunaan pada penderita gagal fungsi hepar.

    Waktu paruh amlodipine menjadi lebih panjang pada penderita gagal fungsi hepar, oleh karena itu perlu perhatian khusus

    pada penggunaannya. Dosis rekomendasi belum ada yang pasti.

    Penggunaan pada ibu hamil dan menyusui.

    Keamanan penggunaan amlodipine pada ibu hamil dan menyusui belum diteliti. Amlodipine tidak menunjukkan toksik

    pada penelitian reproduktif pada binatang yang diberi dosis 50 kali (dosis maksimum yang direkomendasikan pada

    manusia), efek yang timbul yaitu hanya memperpanjang parturisi dan kerja pada tikus percobaan. Berdasarkan hal tersebut

    di atas, penggunaan pada ibu hamil dan menyusui hanya direkomendasikan bila tidak ada altematif lain yang lebih aman

    dan bila penyakitnya itu sendiri membawa risiko yang besar pada ibu dan anak.

    Penggunaan pada penderita lanjut usia.

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 52

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    53/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi plasma puncak amlodipine sama, baik pada orang tua maupun orang

    muda. Klirens amlodipine akan menurun dengan peningkatan AUC dan eliminasi waktu paruh penderita lanjut usia,

    karena mudah ditoleransi dengan baik. Oleh karena itu, dosis normal dapat direkomendasikan pada penderita lanjut usia.

    Interaksi Obat

    Amlodipine dapat diberikan bersama dengan penggunaan diuretik golongan tiazida, -bloker, -bloker, ACE inhibitor, nitrat,

    nitrogliserin sublingual, antiinflamasi non-steroid, antibiotika, serta obat hipoglikemik oral.

    Pemberian bersama digoxin tidak mengubah kadar digoxin serum ataupun bersihan ginjal digoxin pada pasien normal.

    Amlodipine tidak mempunyai efek terhadap ikatan protein dari obat-obat : digoxin, phenytoin, warfarin dan indomethacin.

    Pemberian bersama simetidin atau antasida tidak mengubah farmakokinetik amlodipine.

    Penyimpanan:

    Simpan pada suhu kamar, di bawah 30C (Yiya, 2009).

    Over dosis :

    Walaupun tidak ada peneiitian yang menyebutkan tentang overdosis amlodipine, tetapi dari data yang ada menunjukkan

    bahwa overdosis dapat menyebabkan vasodilatasi perifer yang berlebihan dengan tanda selanjutnya berupa hipotensi

    sistemik yang lebih lama. Hipotensi yang signifikan secara klinik karena overdosis amlodipine memerlukan dukungan

    -katdiovaakuleiLaktif-termasuk pemantauan jantung dan fungsi pernapasan, peninggian anggota badan, dan perhatian

    terhadap volume cairan sirkulasi daripengeluaran urin. Bahan vasokonstriktor dapat membantu memulihkan tegangan

    vaskular dan tekanan darah, diberikan bila tidak ada kontraindikasi terhadap penggunaannya. Karena amlodipine sebagianbesar terikat dengan protein, dialisis tidak menguntungkan / tidak direkomendasikan. Pada beberapa kasus, pencucian /

    kuras lambung dapat membantu menurunkan laju absorpsi amlodipine (Lapi laboratories, 2009).

    PIO Amlodipine :

    Obat ini merupakan salah satu penyekat saluran kalsium untuk pengobatan hipertensi yang kerjanya lebih aktif di

    pembuluh darah. Penyekat saluran kalsium (calcium channel blocker) adalah suatu kelompok obat yang dapat menurunkan

    tekanan darah dengan jalan mengurangi masuknya ion kalsium melalui saluran kalsium, lambat masuk ke dalam sel otot

    polos, otot jantung dan saraf, sehingga menyebabakan relaksasi.

    Untuk penggunaannya, biasanya dokter meresepkan dosis yang paling sesuai dengan kondisi pasien. Penting untuk

    memulainya dengan dosis rendah dan kemudian ditingkatkan secara bertahap. Jangan menghentikan obat tanpa

    berkonsultasi dulu dengan dokter, kecuali bila dicurigai adanya efek samping yang disebabkan oleh obat. Dosis satu kali

    sehari akan menghasilkan penurunan tekanan darah yang berlangsung selama 24 jam. Onset kerja amlodipine adalah

    perlahan-lahan, sehingga tidak menyebabkan terjadinya hipotensi akut.

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 53

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    54/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Obat ini memiliki beberapa efek samping yang biasanya dapat ditoleransi dengan baik, tetapi pasien perlu waspada

    terhadap beberapa efek sampingnya seperti konstipasi, sakit kepala, mual, pembengkakan pada pergelangan kaki, dan rasa

    panas. Oleh karena itu, obat ini diminum 1 kali sehari setiap pagi setelah makan. Bila tekanan darah menjadi rendah dapat

    membuat beberapa orang merasa pusing atau kepala terasa ringan. Ini dapat dihindari dengan membatasi berdiri terlalu

    cepat setelah berbaring.

    Bila terdapat hal-hal yang terjadi pada diri pasien, cepat hubungi dokter. Hal-hal tersebut di antaranya :

    - Mengalami efek yang tidak diinginkan dan menggangu

    - Sedang hamil atau berencana untuk hamil

    - Memiliki gagal jantung

    LAPORAN KASUS

    HIPERTENSI URGENSI

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 54

  • 7/29/2019 Case Hipertensi Ok

    55/55

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    Disusun oleh:

    Nanda R Fathiya 1102009200

    Pembimbing:

    dr. Didiet Pratignyo, Sp.PD

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

    RSUD Cilegon

    Periode 13 Mei 2013 20 Juli 2013

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

    JAKARTA