Case Gawat Janin Decomp
-
Upload
annisa-chaerani-burhanuddin -
Category
Documents
-
view
47 -
download
4
description
Transcript of Case Gawat Janin Decomp
CASE REPORT
Anesthesi pada Pasien Obstetri dengan Decompensatio Cordis Fc III-IV
Disusun Oleh:
Henri Aprilio Purnomo (1102010120)
Nawar Najla Mastura (1102010204)
Pembimbing:
dr. Hj. Hayati Usman, SpAn
dr. Dhadi Ginanjar, SpAn
Kepaniteraan Klinik Bagian Anesthesi
Rumah Sakit Umum dr. Slamet Garut
Fakultas Kedokteran Universitas YARSI
2015
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr Wb
Segala puji bagi dan syukur kita panjatkan kepada allah SWT. Yang telah memberikan kesehatan kepada kami,sehingga kami dapat menyusun laporan kasus Anesthesi dengan judul “Anesthesia Pada Pasien Obstetri dengan Decompensatio Cordis Fc III-IV“. Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi syarat dalam mengikuti kepanitraan klinik ilmu Anesthesiology di RSUD dr. Slamet Garut. Dalam kesempatan ini kami ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar – besar nya kepada :
1. dr. Hj. Hayati Usman, SpAn selaku kepala SMF dan Konsulen Anesthesi RSU
dr. Slamet Garut yang telah banyak membimbing dan memberikan ilmu
kepada penyusun.
2. dr. Dhadi Ginanjar, SpAn selaku Konsulen Anesthesi RSU dr. Slamet Garut
yang telah banyak membimbing dan memberikan ilmu kepada penyusun.
3. Para penata dan perawat Anesthesia di bagian bedah sentral RSUD dr. Slamet Garut
4. Teman – teman sejawat dokter muda di lingkungan RSU dr. Slamet Garut
Kami menyadari bahwa laporan kasus yang kami kerjakan masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dan hargai. Akhir kata kami mengharapkan laporan kasus ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Garut, Januari 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
2
Kata Pengantar.............................................................................................................2
Daftar Isi......................................................................................................................3
Bab I
Pendahuluan.................................................................................................................4
Bab II
Status Pasien Anesthesi.................................................................................................6
Bab III
Pembahasan Gawat Janin dan Decompensatio Cordis .............................................. 15
Bab IV
Pembahasan Anesthesia pada pasien Decompensatio Cordis ....................................25
Bab V
Kesimpulan.................................................................................................................35
Daftar Pustaka............................................................................................................36
BAB I
PENDAHULUAN
3
Anesthesia merupakan hilangnya segala sensasi perasaan panas, dingin, rabaan, kedudukan tubuh, nyeri dan biasanya dihubungkan dengan orang yang hilang kesadarannya.
Anesthesiology adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan yang meliputi pemberian Anesthesi maupun analgesia; Penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan atau tindaka lainnya, bantuan resusitasi dan penmgobatan internsive pasien yang gawat, pemberian terapi inhalasi dan penenang nyeri menahun. Dalam dunia anesthesia dikenal”Trias Anesthesia” yang terdiri dari analghesia, hypnotic sedative dan muscle relaxan.
Faktor yang mempengaruhi pilihan cara Anesthesi adalah selalu mementingkan segi – segi keamanan pasien. Tergantung statu fisik, posisi pembedahan, keterampilan dan kebutuhan dokter pembedahan, keterampilan dan kenyamanan dokter anesthesi, keinginan pasien, bahaya kebakaran, peralatan anesthesi, lokasi operasi dan jenis operasi.
Kasus ini berawal dari pembedahan ibu hamil secara sectio cesaria yang mana janin berada dalam keadaan gawat janin karena ketuban pecah dini. Gawat janin (fetal distress) merupakan suatu keadaan bahaya yang relatif dari janin yang secara serius, yang mengancam kesehatan janin. Gawat janin juga umum digunakan untuk menjelaskan kondisi hipoksia yang bila tidak dilakukan penyelamatan akan berakibat buruk yaitu menyebabkan kerusakan atau kematian janin jika tidak diatasi secepatnya atau janin secepatnya dilahirkan. Hipoksia ialah keadaan jaringan yang kurang oksigen, sedangkan hipoksemia ialah kadar oksigen darah yang kurang. Asidemia ialah keadaan lanjut dari hipoksemia yang dapat disebabkan menurunnya fungsi respirasi atau akumulasi asam.
Pasien ibu hamil ini juga menderita gagal jantung atau dalam istilah medis dikenal
dengan decompensatio cordis. Dekompensasi kordis atau gagal jantung adalah suatu
sindroma klinis yang disebabkan oleh gagalnya mekanisme kompensasi otot miokard
dalam mengantisipasi peningkatan beban volume berlebihan ataupun beban tekanan
berlebih yang tengah dihadapinya, sehingga tidak mampu memompakan darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan tubuh. Kemampuan jantung sebagai
pompa sesungguhnya sangat bergantung pada kontraktilitas otot jantung. Dan
kemampuan kontraksi ini, ternyata tidak hanya ditentukan oleh kontraktilitas
sarkomer miokard itu sendiri, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh besarnya preload
(beban volume), afterload (beban tekanan), dan heart rate (frekuensi denyut jantung).
4
Yang perlu diperhatikan pada pasien ini adalah terapi cairan dan perdarahan selama
operasi serta pasca operasi.
Dari segi Anesthesi penanggulangan yang dilakukan adalah dengan menjaga keseimbangan cairan yang dibutuhkan ibu dan monitoring yang tepat saat berjalannya operasi.
BAB II
STATUS PASIEN ANESTHESIA
5
A. RESUME
Seorang wanita berusia 31 tahun usia kehamilan 8 bulan G2P1A0
datang ke bagian obgyn atas rujukan dari dokter di rumah bersalin. Pada saat
ke rumah bersalin ibu mengeluh keluar cairan jernih dari vagina. Dokter
mengatakan pasien mengalami ketuban pecah dini. Setelah itu langsung
dirujuk ke bagian obgyn di RSU dr. Slamet Garut. Kemudian bagian obgyn
memutuskan untuk melakukan sectio caesaria. Riwayat caesar sebelumnya
tidak ada. Riwayat hipertensi dan diabetes diderita pasien sejak 12 tahun
terkontrol. Pasien juga memiliki riwayat penyakit jantung sejak 7 tahun yang
lalu.
B. DATA UMUM
Nama : Ny. Herni
Umur : 31 tahun
Alamat : Banyuresmi, Garut kota
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
No.RM : 73-88-66
MRS : 26 Januari 2015
Tgl Operasi : 26 Januari 2015
Diagnosa : G2P1A0 dengan gawat janin dan Decompensatio
Cordis Fc III-IV
Tindakan : Sectio Caesaria
Operator : dr. Dadan Susandi, SpOG
Bagian : Obgyn
Anesthesi : dr. Dhadi Ginanjar, SpAn
C. PEMERIKSAAN PRA BEDAH
1. Anamnesa
Keluhan Utama : keluar cairan jernih dari vagina
6
Anamnesa Khusus :
Seorang wanita berusia 31 tahun usia kehamilan 8 bulan G2P1A0
datang ke bagian obgyn atas rujukan dari dokter di rumah bersalin. Pada saat
ke rumah bersalin ibu mengeluh keluar cairan jernih dari vagina. Dokter
mengatakan pasien mengalami ketuban pecah dini. Setelah itu langsung
dirujuk ke bagian obgyn di RSU dr. Slamet Garut. Kemudian bagian obgyn
memutuskan untuk melakukan sectio caesaria. Riwayat caesar sebelumnya
tidak ada. Riwayat hipertensi dan diabetes diderita pasien sejak 12 tahun
terkontrol. Pasien juga memiliki riwayat penyakit jantung sejak 7 tahun yang
lalu.
2. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 15
Airway : Tidak terintubasi
Tekanan darah : 190/110 mmHg
Nadi : 78 x/menit
RR : 24 x/menit
Suhu : 36,6 °C
SpO2 : 99%
Kepala :
Mata : Konjungtiva tidak anemis
Sclera : Ikterik (-)
Mallampati score : 1
Buka mulut : > 4 cm
Tiromental distance : >6 cm
Leher
7
JVP : meningkat
Pergerakan dan ekstensi tidak terbatas
Thorax
Paru
- Inspeksi : Bentuk dan gerak simetris
- Auskultasi : VBS kanan sama dengan kiri, tidak ada suara
tambahan seperti ronki dan wheezing
Jantung
Bunyi jantung I dan II regular, gallop S3 ( + ), murmur ( - )
Abdomen
Cembung lembut
Ekstremitas
Tidak terdapat edema pada ekstremitas bawah
3. Hasil Laboratorium
Hematologi
Darah Rutin Hasil Normal
Haemoglobin 12,4 g/dl 12 – 16 g/dlHematokrit 36% 35 – 47%Leukosit 10.100 mm3 3.800 – 10.600 mm3Trombosit 330.000 mm3 150.000-450.000
mm3Eritrosit 4,42 jut/mm3 3,6- 5,8 juta/mm3
Kimia Klinik
Hasil Normal
Glukosa Darah Sewaktu
86 g/dl 70 –100 mg/dl
8
Urinalisa
Urin Rutin Hasil Normal
MAKROSKOPIS
Warna KuningKejernihan JernihKIMIABerat Jenis 1.005 1.003 – 1.035pH 7.0 4.5-8.0Leukosit Esterase Negatif Negatif /µLNitrit Negatif NegatifAlbumin Negatif NegatifGlukosa Negatif NegatifKeton Negatif NegatifUrobilinogen Normal Normal (≤1)Bilirubin Negatif NegatifDarah Negatif Negatif /µLMIKROSKOPISEritrosit 0 - 1 0 – 2 / LPBLeukosit 0 - 1 0 – 5 / LPBSilinder Hialin Negatif 0 – 2 / LPKSilinder Lain-lain Negatif Negatif / LPKEpithel Squamous 0 - 1 < 10 / LPKEpithel Transisional Negatif < 10 / LPBEpithel Renal Tubular Negatif < 10 / LPBBakteri Negatif Negatif / LPBKristal NegatifKristal Abnormal Negatif Negatif / LPBLain-lain Negatif
Informed concent
Tindakan Anesthesi dilakukan setelah dijelaskan dan disetujui oleh keluaraga
pasien dan keluarga, ditandatangani oleh keluarga pasien.
9
Permasalahan :
Seorang wanita berusia 31 tahun usia kehamilan 8 bulan G2P1A0
datang ke bagian obgyn atas rujukan dari rumah bersalin. Pada saat ke rumah
bersalin ibu mengeluh keluar cairan jernih dari vagina. Setelah itu langsung
dirujuk ke bagian obgyn di RSU dr. Slamet Garut. Kemudian bagian obgyn
memutuskan untuk melakukan sectio caesaria. Riwayat sesar sebelumnya
disangkal oleh pasien. Riwayat hipertensi, diabetes, dan jantung diakui pasien.
Kemudian bagian obgyn memutuskan untuk melakukan sectio caesaria.
Operasi menggunakan teknik Anesthesi umum dengan status ASA IV E,
disebabkan pasien mengalami decompensatio cordis, diabetes mellitus, dan
hipertensi. Operasi dan tindakan Anesthesi telah dipahami dan disetujui oleh
pasien dan keluarga.
D. PROSEDUR ANESTHESI
STATUS FISIK : ASA IV Emergency
PREMIDIKASI : IV
Jam : 12.45 WIB
Obat : Ondansetron 4 mg
Hasil : Memuaskan
JENIS ANESTHESI : Umum
ANESTHESI UMUM
Induksi : Sempurna
Teknik : Semi close
Pengaturan nafas : Assist / kontrol
Posisi : Supine
10
1. Persiapan pra Anesthesi
Persiapan Alat :
S ( scope) : Stethoscope dan laryngoscope
T (tube) : Pipa trakea no 7
A (airway) : Orofaringeal airway (OPA)
T (tape) : Plester
I (introducer) : Stylet C
C (connector) : Penyambung pipa
S (suction) : Penghisap
Tensimeter dan monitor EKG
Tabung gas N2O dan O2
Spuit
Medikasi : 1. Rocuronium 2 mg
2. Propofol 150 mg
3. Fentanyl 200 mg
4. Rocuronium 48 mg
5. Fentanyl 150 mg
6. Induksin 10 IU
7. Ketorolac 30 mg
8. Sulfat Atropin 0,25 mg
9. Neostigmin 5 mg
Intubasi : dilakukan dengan menggunakan tube no.7 dengan balon dan tidak terdapat
kesulitan pasa saat intubasi.
Pemberian Cairan : 1. Gelatin
2. Gelatin
11
Saturasi oksigen
Saat dan pasca intubasi
HR : 78
SpO2 : 99%
Rumatan : N2O + O2+ Isofluran + Fentanyl 150 mg
E. MONITORING
Monitoring selama operasi ( 25 menit )
Tekanan darah : Tertinggi (saat masuk ruang OK : 200/120
mmHg)
Terendah (Saat operasi berlangsung : 120/60
mmHg)
Nadi : Tertinggi 90
Terendah 70
Saturasi oksigen : 94 – 99 %
PERHITUNGAN RENCANA PEMBERIAN CAIRANBB : 101 KgLama operasi : 25 menitPerdarahan : 1000 ccCairan yang diberikan : Gelatin 2 labu
Kebutuhan cairan maintenance untuk pasien dengan berat badan 101 kg :
4 x 10 = 402 x 10 = 201 x 81 = 81 +
141 cc
Puasa = (pasien dianggap tidak puasa)
12
Jumlah cairan selama operasi besar :6 x 101 x 1jam = 606 cc/jam
Perdarahan selama operasi :Darah yang disuccion = 700 ccCuci NaCl = 5 00 cc –
1.200 ccKassa besar = 8 kassa x 60 cc = 480 ccKassa kecil = 100 ccDarah yang berceceran = 2 0 cc +
Jumlah perdarahan = 1.600 cc
Perdarahan = 1.600 ccEBV ( +- 70 x BB ) = 70x 101 = 7070 ccGrade Perdarahan ;1600 x 100% = 25% (kurang dari 50%---SEDANG)7070
Total cairan yang dibutuhkan :
Cairan selama operasi = 606 ccPerdarahan = 1.600 cc
(606 cc + 1.600 cc = 2.206 cc)
Cairan yang diberikanPerdarahan = 2.206 ccKoloid = 2 x 500 = 1.000 cc –
1206 cc
Pemberian kristaloid seharusnya = 1206 x 3 = 3.618 ccPemberian RL (kristaloid) = 500 x 0 = 0 cc - Cairan yang belum diganti 3.618 `cc
Cairan Post Operasi141 x (24-0,5) = 3.313,5 cc
13
Kebutuhan cairan post operasi :Cairan sisa + cairan post op = 3.618 + 3.313,5 = 295 cc/jam = 74 gtt/menit
Sisa waktu 23,5
KEADAAN PASCA BEDAH
Pasien masuk recovery room dengan keadaan : Keadaan umum : Compos Mentis masih dalam pengaruh obat
Anesthesi Tekanan darah : 120/70 mmHg Nadi : 90 x/menit Respirasi : 30 x/menit Dipasang O2 : 3 L/menit
BAB III
PEMBAHASAN GAWAT JANIN
Gawat janin adalah suatu keadaan dimana janin tidak menerima O2 cukup, sehingga mengalami sesak.
14
Gawat janin adalah suatu keadaan bahaya dari janin yang secara serius dapat mengancam kesehatan janin.
FAKTOR PENYEBAB
Persalinan lama Obat perangsang kontraksi rahim Perdarahan Infeksi Kejang Kehamilan prematur dan post matur Tali pusat menumbung Ketuban pecah lama
TANDA-TANDA
Frekuensi denyut janin kurang dari 120x/menit atau lebih dari 160x/menit. Berkurangnya gerakan janin (Janin normal bergerak lebih dari 10x/hari) Ada air ketuban berwarna kehijauan atau berbau
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan menggunakan kardiotokografi Pemeriksaan sampel darah janin
PENANGANAN
15
Gawat janin dapat menyebabkan berakhirnya kehamilan karena pada gawat janin, maka harus segera dikeluarkan. Cara persalinan dengan tindakan, seperti ekstraksi cunam, ekstraksi forseps, vakum ekstraksi bahkan dapat diakhiri dengan tindakan sectio saesarea (SC).
AKIBAT BAGI JANIN
Asfiksia yaitu keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur, apabila tidak segera ditolong berakibat cacat bahkan kematian akibat kekurangan oksigen.
PENCEGAHAN
Pemeriksaan kehamilan atau antenatal care yang baik dan teratur bertujuan meminimalkan segala risiko yang mungkin muncul sebagai penyebab gawat janin.
PEMBAHASAN DECOMPENSATIO CORDIS
16
Berdasarkan definisi patofisiologik, gagal jantung (decompensatio cordis) atau dalam bahasa inggris Heart Failure adalah ketidak mampuan jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan pada saat istirahat atau kerja ringan. Hal tersebut akan menyebabkan respon sistemik khusus yang bersifat patologik (sistem saraf, hormonal, ginjal, dan lainnya) serta adanya tanda dan gejala yang khas.
Prevalensi gagal jantung di negara berkembang cukup tinggi dan makin meningkat. Oleh karena itu gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang utama. Setengah dari pasien yang terdiagnosis gagal jantung masih punya harapan hidup 5 tahun. Penelitian Framingham menunjukkan mortalitas 5 tahun sebesar 62% pada pria dan 42% wanita.
Berdasar perkiraan tahun 1989, di Amerika terdapat 3 juta penderita gagal jantung dan setiap tahunnya bertambah 400.000 orang. Walaupun angka-angka yang pasti belum ada untuk seluruh Indonesia, dapat diperkirakan jumlah penderita gagal jantung akan bertambah setiap tahunnya.
Definisi Klinik Gagal Jantung
Merupakan sindroma klinik yang terdiri dari sesak napas dan rasa cepat lelah yang disebabkan oleh kelainan jantung.
Klasifikasi Fungsional (NYHA)
1. I bila timbul gejala sesak napas atau capai pada aktivitas fisik yang berat.2. II bila timbul gejala sesak napas atau capai pada aktivitas yang sedang.3. III bila timbul gejala sesak napas atau capai pada aktivitas yang ringan.4. IV bila timbul gejala sesak napas atau capai pada aktivitas yang sangat ringan dan pada waktu istirahat.
Etiologi
Penyebab gagal jantung digolongkan menurut apakah gagal jantung tersebut menimbulkan gagal yang dominan sisi kiri atau dominan sisi kanan. Dominan sisi kiri : penyakit jantung iskemik, penyakit jantung hipertensif, penyakit katup aorta, penyakit katup mitral, miokarditis, kardiomiopati, amiloidosis jantung, keadaan curah tinggi ( tirotoksikosis, anemia, fistula arteriovenosa). Dominan sisi kanan : gagal jantung kiri, penyakit paru kronis, stenosis katup pulmonal, penyakit katup trikuspid, penyakit jantung kongenital (VSD, PDA), hipertensi pulmonal, emboli pulmonal masif.
17
Patofisiologi
Sebagai respon terhadap gagal jantung, ada 3 mekanisme primer yang dapat dilihat : (1) meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis, (2) meningkatnya beban awal akibat aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, (3) hipertrofi ventrikel. Ketiga respon kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung. Mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada awal perjalanan gagal jantung. Namun, dengan berlanjutnya gagal jantung kompensasi menjadi kurang efektif.
Sekresi neurohormonal sebagai respon terhadap gagal jantung antara lain : (1) norepinephrine menyebabkan vasokontriksi, meningkatkan denyut jantung, dan toksisitas myocite, (2) angiotensin II menyebabkan vasokontriksi, stimulasi aldosteron, dan mengaktifkan saraf simpatis, (3) aldosteron menyebabkan retensi air dan sodium, (4) endothelin menyebabkan vasokontriksi dan toksisitas myocite, (5) vasopresin menyebabkan vasokontrikso dan resorbsi air, (6) TNF α merupakan toksisitas langsung myosite, (7) ANP menyebabkan vasodilatasi, ekresi sodium, dan efek antiproliferatif pada myocite, (8) IL 1 dan IL 6 toksisitas myocite.
Berdasar hukum Fank-Starling, semakin teregang serabut otot jantung pada saat pengisian diastolik, maka semakin kuat kontraksinya dan akibatnya isi sekuncup bertambah besar. Oleh karena itu pada gagal jantung, terjadi penambahan volum aliran balik vena sebagai kompensasi sehingga dapat meningkatkan curah jantung.
Gambaran Klinik
Efek gagal jantung digolongkan sebagai gagal jantung ke depan (curah tinggi) dan gagal jantung ke belakang (curah rendah). Gagal jantung curah rendah terjadi apabila jantung tidak mampu mempertahankan curah jantung sistemik normal. Sedangkan gagal curah tinggi terjadi bila jantung tidak mampu mempertahankan curah jantung yang tinggi karena kebutuhan yang meningkat. Masing-masing terdiri dari dominan sisi kiri dan dominan sisi kanan.
Gambaran klinik gagal curah rendah kanan : hepatomegali, peningkatan vena jugularis, kongesti sistemik pasif, edema tungkai. Gagal curah rendah kiri : edema paru, hipoksemia, dispnea, hemoptisis, kongesti vena paru, dispnea waktu bekerja, PND, hipertensi pulmonal, hipertrofi dan gagal ventrikel kanan.
Gagal curah tinggi kanan : kematian mendadak, penurunan aliran arteri pulmonalis
18
(efek klinis minimal). Curah tinggi kiri : kematian mendadak, syok kardiogenik, sinkop, hipotensi, penurunan perfusi jaringan, vasokontriksi ginjal, retensi cairan, edema.
Pemeriksaan
Diagnosis klinik berdasar pada riwayat klinik, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan EKG, foto rontgen thorax, ekokardiografi, pemeriksaan radionuklir, dan pemeriksaan invasif.
Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis gagal jantung dibagi 2 menjadi kriteria utama dan kriteria tambahan. Kriteria utama : dispnea paroxismal nokturnal (PND), kardiomegali, gallop S-3, peningkatan tekanan vena, reflex hepatojugular, ronkhi. Kriteria tambahan : edema pergelangan kaki, batuk malam hari, dispnea waktu aktivitas, hepatomegali, efusi pleura, takikardi. Diagnosis ditetapkan atas adanya 2 kriteria utama atau 1 kriteria utama ditambah 2 kriteria tambahan.
Penatalaksanaan
Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung ditujukan pada 5 aspek : mengurangi beban kerja, memperkuat kontraktilitas miokard, mengurangi kelebihan cairan dan garam, melakukan tindakan terhadap penyebab, faktor pencetus dan penyakit yang mendasari.Pada umumnya semua penderita gagal jantung dianjurkan untuk membatasi aktivitas sesuai beratnya keluhan. Terapi nonfarmakologi antara lain: diet rendah garam, mengurangi berat badan, mengurangi lemak, mengurangi stress psikis, menghindari rokok, olahraga teratur. Beban awal dapat dikurangi dengan pembatasan cairan, pemberian diuretika, nitrat, atau vasodilator lainnya. Beban akhir dikurangi dengan obat-obat vasodilator, seperti ACE-inhibitor, hidralazin. Kontraktilitas dapat ditingkatkan dengan obat ionotropik seperti digitalis, dopamin, dan dobutamin.
KEHAMILAN DAN DECOMPENSATIO CORDIS
Kehamilan dapat menimbulkan perubahan pada sistem kardiovaskuler. Penyakit
kardiovaskuler dapat dijumpai pada wanita hamil atau tidak hamil. Pada kehamilan
dengan jantung normal, wanita dapat menyesuaikan kerjanya terhadap perubahan-
perubahan secara fisiologis. Perubahan tersebut disebabkan oleh :
19
a. Hipervolemia: dimulai sejak kehamilan 8 minggu dan mencapai puncaknya
pada 28-32 minggu lalu menetap.
b. Jantung dan diafragma terdorong ke atas oleh karena pembesaran rahim.
Pada kehamilan terjadi peningkatan denyut nadi, stroke volume, volume darah dan
tekanan darah. Kehamilan dapat menyebabkan payah jantung (decompensatio
cordis). Frekuensi penyakit jantung dalam kehamilan berkisar antara 1-4 %.
Pengaruh kehamilan terhadap penyakit jantung
Saat-saat yang berbahaya bagi penderita adalah :
a. Pada kehamilan 32-36 minggu, yaitu volume darah mencapai puncak nya
(hipervolumia).
b. Pada kala II, yaitu wanita mengerahkan tenaga untuk mengedan dan
memerlukan kerja jantung yang berat.
c. Pada pasca persalinan yaitu darah dari ruang intervilus plasenta yang sudah
lahir, kemudian masuk ke dalam sirkulasi darah ibu.
d. Pada masa nifas, karena ada kemungkinan infeksi.
Pengaruh penyakit jantung terhadap kehamilan
a. Dapat terjadi abortus
b. Prematur : lahir tidak cukup bulan
c. Dismatur : lahir cukup bulan tetapi berat badan lahir rendah
d. Lahir dengan skor APGAR rendah atau lahir mati
e. Kematian janin dalam rahim (IUFD)
Klasifikasi Penyakit Jantung dalam Kehamilan
a. Kelas 1 : tanpa ada pembatasan kegiatan fisik dan tanpa gejala pada kegiatan
biasa
b. Kelas II : sedikit dibatasi kegiatan fisiknya, saat istirahat tidak ada keluhan,
20
kegiatan fisik biasa menimbulkan gejala insufisiensi jantung. Gejalanya adalah lelah,
palpitasi, sesak napas, dan nyeri dada (angina pectoris)
c. Kelas III : kegiatan fisik sangat dibatasi, waktu istirahat tidak ada keluhan,
dan sedikit kegiatan fisik menimbulkan keluhan insufisiensi jantung.
d. Kelas IV : saat istirahat dapat timbul keluhan insufisiensi jantung, apalagi
kerja fisik yang tidak berat.
Kira-kira 80 % penderita adalah kelas I dan II serta kehamilan dapat meningkatkan
kelas tersebut menjadi II, III, dan IV. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi adalah
umur, anemia, adanya aritmia jantung, hipertrofi ventrikuler, dan pernah sakit
jantung.
Penegakan diagnosis
Penegakan diagnosis dapat melalui beberapa langkah di antaranya yaitu :
a. Anamnesis
1) pernah sakit jantung dan berobat pada dokter untuk penyakitnya
2) pernah demam rematik
b. Pemeriksaan : auskultasi atau palpasi terdapat empat kriteria (Burwell
danMetcalfe)
1) adanya bising sistolik, presistolik, atau bising terus-terusan
2) pembesaran jantung yang jelas
3) adanya bising jantung yang jelas disertai thrill
4) aritmia yang berat
c. Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG)
Apabila wanita hamil disangka menderita penyakit jantung sebaiknya dikonsultasikan
kepada ahli jantung. Keluhan dan gejala yang dapat muncul pada ibu hamil dengan
penyakit jantung antara lain mudah lelah, dispneu, nadi tidak teratur, dan sianosis.
Penanganan
1) Dalam kehamilan
21
a. memberikan pengertian kepada ibu hamil untuk melaksanakan pengawasan
antenatal yang teratur sesuai dengan jadwal yang ditentukan.
b. Kerjasama dengan ahli penyakit dalam atau kardiolog untuk penyakit
jantungnya, sehingga dapat dibina sedini mungkin.
c. Pencegahan terhadap kenaikan berat badan dan retensi air yang berlebihan.
Apabila terdapat anemia harus segera diatasi.
d. Timbulnya hipotensi atau hipertensi dapat memperberat kerja jantung
sehingga apabila muncul hal tersebut harus segera ditangani.
e. Apabila muncul keluhan yang agak berat seperti sesak napas, infeksi saluran
pernafasan, dan sianosis, maka pasien harus dirawat di rumah sakit untuk pengawasan
dan pengobatan yang lebih intensif.
f. Wanita hamil dengan penyakit jantung harus cukup istirahat, cukup tidur, diet
rendah garam, dan pembatasan jumlah cairan.
g. Sebaiknya pasien dirawat 1 minggu sebelum taksiran persalinan.
h. Pengobatan khusus berkaitan dengan kelas penyakit :
(1) Kelas I : tidak memerlukan pengobatan tambahan
(2) Kelas II : biasanya tidak memerlukan pengobatan tambahan. Pasien sebaiknya
mengurangi kerja fisik terutama antara kehamilan 28-36 minggu.
(3) Kelas III : memerlukan digitalisasi atau obat lainnya. Pasien sebaiknya
dirawat di rumah sakit sejak kehamilan 28-30 minggu.
(4) Kelas IV : pasien harus dirawat di rumah sakit dan diberikan pengobatan.
Pada kelas IV ini penanganan pasien melibatkan kardiolog.
2) Dalam persalinan
Pasien dengan penyakit jantung kelas I dan II biasanya dapat meneruskan kehamilan
dan bersalin pervaginaan dengan pengawasan yang baik dan bekerja sama dengan
ahli penyakit dalam (kardiolog).
22
a. Membuat daftar his, daftar nadi, pernafasan, tekanan darah, yang diawasi dan
dicatat setiap 15 menit dalam kala I dan setiap 10 menit dalam kala II. Apabila
terdapat gejala decompensatio cordis maka diobati dengan digitalis. Dapat diberikan
sedilanid dosis awal 0,8 mg dan ditambahkan sampai dosis 1,2-1,6 mg intravena
secara perlahan-lahan. Apabila diperlukan, suntikan dapat diulang 1-2 kali dalam dua
jam.
b. Kala II merupakan kala yang kritis bagi penderita. Apabila tidak timbul tanda-
tanda decompensatio cordis, persalinan dapat ditunggu, diawasi,dan ditolong secara
spontan. Apabila janin dalam 20-30 menit belum lahir, kala II dapat diperpendek
dengan ekstraksi vakum atau forceps. Apabila dijumpai cephalopelvic disproportion
maka dilakukan sectio caesaria dengan lokal Anesthesi atau lumbal atau kaudal
dengan pengawasan yang baik.
c. Untuk menghilangkan rasa sakit dapat diberikan obat analgesik seperti
petidin.
d. Kala II biasanya berjalan seperti biasa. Pemberian ergometrin dengan hati-hati
dinilai aman selama persalinan.
3) Pada Pasca Persalinan dan Nifas
Setelah bayi lahir, pasien dapat secara tiba-tiba jatuh kolaps karena darah tiba-tiba
membanjiri tubuh ibu sehingga kerja jantung menjadi sangat bertambah. Hal ini harus
dipahami dan diawasi oleh penolong. Selain itu, perdarahan merupakan komplikasi
yang cukup berbahaya. Oleh karena itu, pasien harus tetap diawasi dan dirawat
minimal 2 minggu setelah bersalin.
4) Penanganan Secara Umum
a. Pasien dengan penyakit jantung kelas III dan IV disarankan tidak hamil
karena kehamilan sangat membahayakan jiwanya.
b. Apabila hamil, sedini mungkin dipertimbangkan untuk dilakukan abortus
provokatus medisinalis.
c. Pada kasus tertentu, sangat dianjurkan untuk tidak hamil lagi dengan
melakukan tubektomi, setelah pasien dalam keadaan afebris dan tidak anemis.
23
d. Apabila pasien tidak berkenan disterilisasi, dianjurkan memakai kontrasepsi
berupa IUD (Intra Uterine Device).
Penatalaksanaan gagal jantung kongestif pada masa kehamilan tidak banyak berbeda
dengan keadaan gagal jantung lainnya. Masukan garam harus dikurangi dan aktivitas
fisik dibatasi sampai di bawah tingkatan yang menimbulkan gejala gagal jantung.
Pada wanita dengan gejala gagal jantung yang signifikan atau edema paru, terapi
standar dapat digunakan dengan menggunakan obat-obatan yang diberikan pada
wanita dengan kehamilan. Penggunaan obat ACE inhibitor harus dihindarkan. Gagal
jantung kongestif pada kehamilan adalah suatu keadaan dimana posisi supinasi sangat
bermanfaat karena akan mengurangi beban preload dengan obstruksi aliran darah dari
vena cava inferior.
BAB IV
PEMBAHASAN
ANESTHESIA PADA PASIEN OBSTETRI DENGAN DECOMPENSATIO CORDIS
24
Penatalaksanaan Anesthesia pada obstetri dengan decompensatio cordis berpedoman pada beberapa faktor, yang merupakan prinsip dasar :
Secara umum:
1. Mengenali pasien yang kritis dan/ atau pasien yang tidak sadar2. Memelihara jalan nafas3. Memelihara pasien yang pernapasannya tidak adekuat 4. Mengawasi sirkulasi5. Mengenali efek pengobatan6. Melakukan transportasi pasien yang kritis
Prinsip penatalaksanaan Anesthesi :
1. Penilaian pra bedah :A. Riwayat perjalanan penyakit dan penyebabnyaB. Data mengenai obat-obat yang dikonsumsi saat kehamilanC. Pemeriksaan laboratorium, EKG, foto thoraks
2. PremedikasiOndansentron 4 mg
3. AnesthesiaPrinsip umum anesthesia pada obstetri :
1) Oksigen harus di pertahankan dengan cukup
2) Pasanglah infus pada vena besar dan lakukan pre-oksigenasi
3) Berikan oksitosin dan ergometrin intravena jika diperlukan
4) Berikan cairan pengganti yang sesuai kebutuhan
5) Selain menjaga ibu, harus juga melakukan resusitasi bayi
6) Terapi cairan kristaloid dan koloid pada saat perdarahan
PEMBAHASAN KASUS :
Pada kasus ini, pasien mengalami ketuban pecah dini sehingga mengakibatkan gawat janin. Gawat janin menjelaskan kondisi hipoksia yang bila tidak dilakukan penyelamatan akan berakibat buruk yaitu menyebabkan kerusakan atau kematian janin jika tidak diatasi secepatnya atau janin secepatnya dilahirkan. Pasien ini juga menderita gagal jantung atau dalam istilah medis dikenal dengan decompensatio cordis. Dekompensasi kordis atau gagal jantung adalah suatu sindroma klinis yang disebabkan oleh gagalnya mekanisme kompensasi otot miokard dalam mengantisipasi peningkatan beban volume berlebihan ataupun beban tekanan berlebih yang tengah dihadapinya, sehingga tidak mampu memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan tubuh.
25
Anesthesi pada operasi secsio caesaria dengan penyulit gagal jantung
Tekhnik Anesthesi yang digunakan pada operasi Caesar dengan penyulit berupa
penyakit decompensatio cordis, sebenarnya dapat dilakukan dengan General
Anesthesi dan regional Anesthesi. Kedua cara tersebut, memiliki resiko yang cukup
besar bagi penderita. Hal ini disebabkan pada penderita mengalami gangguan
hemodinamik yang cukup berat.
Pada prinsipnya tekhnik Anesthesi yang dipergunakan, seminimal mungkin dicegah
untuk terjadi komplikasi yang berat. Tidak ada satupun jenis Anesthesi yang benar-
benar aman digunakan pada operasi bedah Caesar dengan penyulit gagal jantung.
Dibawah ini akan dijabarkan mengenai Anesthesi umum dan Anesthesi regional
beserta keuntungan dan kerugian, sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat
untuk menentukan jenis Anesthesi.
Anesthesi Umum (General Anesthesi)
Tindakan Anesthesi dilakukan dengan menghilangkan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Trias Anesthesi
yaitu : hipnotik, analgesik, relaksasi. Persiapan prabedah yang kurang memadai
merupakan faktor terjadinya kecelakaan dalam Anesthesia. Sebelum pasien dibedah
sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien
dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan kunjungan pra Anesthesi adalah untuk
mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan. Sebelum pasien diberi obat Anesthesi, langkah
selanjutnya adalah dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi
Anesthesi diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
Anesthesi diantranya :
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan
2. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
3. Mengurangi mual dan muntah pasca bedah
4. Mengurangi isi cairan lambung
26
5. Membuat amnesia
6. Memperlancar induksi Anesthesi
7. Meminimalkan jumlah obat Anesthesi
8. Mengurangi reflek yang membahayakan
OBAT PREMEDIKASI
a. Sulfas atropin 0,25 mg : Antikolinergik
Atropin dapat mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan utama untuk
mengurangi efek bronchial dan kardial yang berasal dari perangsangan parasimpatis,
baik akibat obat atau Anesthesikum maupun tindakan lain dalam operasi. Disamping
itu efek lainnya adalah melemaskan tonus otot polos organ-organ dan menurunkan
spasme gastrointestinal. Perlu diingat bahwa obat ini tidak mencegah timbulnya
laringospame yang berkaitan dengan Anesthesi umum.
Setelah penggunaan obat ini (golongan baladona) dalam dosis terapeutik ada perasaan
kering dirongga mulut dan penglihatan jadi kabur. Karena itu sebaiknya obat ini tidak
digunakan untuk Anesthesi regional atau lokal. Pemberiannya harus hati-hati pada
penderita dengan suhu diatas normal dan pada penderita dengan penyakit jantung
khususnya fibrilasi aurikuler.
Atropin tersedia dalam bentuk atropin sulfat dalam ampul 0,25 mg dan 0,50 mg.
Diberikan secara suntikan subkutis, intramuscular atau intravena dengan dosis 0,5-1
mg untuk dewasa dan 0,015 mg/kgBB untuk anak-anak.
b. Midazolam 2 mg: obat penenang(transquilaizer)
Midazolam adalah obat induksi tidur jangka pendek untuk premedikasi, induksi dan
pemeliharaan Anesthesi. Dibandingkan dengan diazepam, midazolam bekerja cepat
karena transformasi metabolitnya cepat dan lama kerjanya singkat. Pada pasien orang
tua dengan perubahan organik otak atau gangguan fungsi jantung dan pernafasan,
dosis harus ditentukan secara hati-hati. Efek obat timbul dalam 2 menit setelah
27
penyuntikan. Dosis premedikasi dewasa 0,07-0,10 mg/kgBB, disesuaikan dengan
umur dan keadaan pasien. Dosis lazim adalah 5 mg. pada orang tua dan pasien lemah
dosisnya 0,025-0,05 mg/kgBB. Efek sampingnya terjadi perubahan tekanan darah
arteri, denyut nadi dan pernafasan, umumnya hanya sedikit.
c. Ondansetron 4 mg
Suatu antagonis reseptor serotonin 5 – HT 3 selektif. Baik untuk pencegahan dan
pengobatan mual, muntah pasca bedah. Efek samping berupa ipotensi, bronkospasme,
konstipasi dan sesak nafas. Dosis dewas 2-4 mg.
OBAT INDUKSI
a. Atracurium 20 mg: nondepolarisasi
Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan dengan
reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya
menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.
Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasinya selama 20-45
menit dan dapat meningkat menjadi 2 kali lipat pada suhu 250 C, kecepatan efek
kerjanya 1-2 menit.
Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja pada sambungan saraf-otot
mencegah asetilkolin-esterase bekerja, sehingga asetilkolin dapat bekerja.
Antikolinesterase yang paling sring digunakan ialah neostigmin dengan dosis (0,04-
0,08 mg/kgBB) atau obat antikolinergik lainnya. Penawar pelumpuh otot bersifat
muskarinik menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardia, kejang bronkus,
hipermotilitas usus dan pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus disertai obat
vagolitik seperti atropin dosis 0,01-0,02 mg/kgBB atau glikopirolat 0,005-0,01
mg/kgBB sampai 0,2-0,3 mg/kgBB pada dewasa.
b. Propofol 80 mg
Propofol adalah obat Anesthesi intravena yang bekerja cepat dengan karakter
recovery Anesthesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual. Profofol merupakan
cairan emulsi minyak-air yang berwarna putih yang bersifat isotonik dengan
28
kepekatan 1% (1ml=10 mg) dan mudah larut dalam lemak. Profopol menghambat
transmisi neuron yang dihantarkan oleh GABA. Propofol adalah obat Anesthesi
umum yang bekerja cepat yang efek kerjanya dicapai dalam waktu 30 detik.
Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500ug/kgBB/menit infuse. Dosis sedasi
25-100ug/kgBB/menit infuse. Pada pasien yang berumur diatas 55 tahun dosis untuk
induksi maupun maintanance Anesthesi itu lebih kecil dari dosis yang diberikan
untuk pasien dewasa dibawah umur 55 tahun. Cara pemberian bisa secara suntikan
bolus intravena atau secara kontinu melalui infus, namun kecepatan pemberian harus
lebih lambat daripada cara pemberian pada oranag dewasa di bawah umur 55 tahun.
Pada pasien dengan ASA III-IV dosisnya lebih rendah dan kecepatan tetesan juga
lebih lambat.
MAINTAINANCE
a. N2O
N2O (gas gelak, laughling gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida) diperoleh
dengan memanaskan ammonium nitrat sampai 240°C (NH4 NO3 2H2O + N2O).
N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar,
dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian Anesthesi dengan N2O harus disertai
O2 minimal 25%. Gas ini bersifat Anesthesik lemah, tetapi analgesinya kuat,
sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada
Anesthesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu
Anesthesi lain seperti halotan dan sebaagainya. Pada akhir Anesthesi setelah N2O
dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi
pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya
hipoksia difusi, berikan O2 100% selama 5-10 menit.
Penggunaan dalam Anesthesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 yaitu
60% : 40%, 70% : 30%. Dosis untuk mendapatkan efek analgesik digunakan dengan
perbandingan 20% : 80%, untuk induksi 80% : 20%, dan pemeliharaan 70% : 30%.
N2O sangat berbahaya bila digunakan pada pasien pneumothorak,
pneumomediastinum, obstruksi, emboli udara dan timpanoplasti.
29
b. Halothane (Fluothane)
Halothane adalah obat Anesthesi inhalasi berbentuk cairan bening tak berwarana
yang mudah menguap dan berbau harum. Pemberian halothane sebaiknya bersama
dengan oksigen atau nitrous okside 70%-oksigen dan sebaiknya menggunakan
vaporizer yang khusus dikalibrasi untuk halothane agar konsentrasi uap dihasilkan itu
akurat dan mudah dikendalikan. Pada nafas spontan rumatan Anesthesi sekitar 1-2
vol% dan pada nafas kendali sekitar 0,5-1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan
respon klinis pasien. Kelebihan dosis menyebabkan depresi pernafasan, menurunnya
tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardia, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor,
depresi miokard dan inhibisi refleks baroreseptor. Paska pemberian halothane sering
menyebabkan pasien menggigi.
INTUBASI
Setelah dilakukan induksi Anesthesia yaitu tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, maka memungkinkan dimulainya Anesthesia dan pembedahan.
Induksi dapat dilakukan secara intrvena, intramuskular, inhalasi dan rektal. Sebelum
dilakukan induksi sebaiknya disiapkan terlebih dahulu peralatan dan obat-obatan
yang diperlukan. Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS:
S = Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope
T = Tubes Pipa trakea. Usia <>5 tahun dengan balon (cuffed)
A = Airway Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring (nasofaring) yang
digunakan untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak menymbat
jalan napas
T = Tape Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
I = Intro Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah dimasukkan
C = Connect Penyambung pipa dan perlatan Anesthesia
S = Suction Penyedot lendir dan ludah.
30
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk membersihkan
saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah
aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi.
Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal :
a. Mempermudah pemberian Anesthesia.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernafasan.
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak
sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
g. Obat.
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele tahun 2002 antara
lain :
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen
arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen
melalui masker nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai
bronchial toilet.
d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau
pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi
endotrakheal antara lain :
31
a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah
cricothyrotomy pada beberapa kasus.
b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal (Mansjoer Arif et.al.,
2000) biasanya dijumpai pada pasien-pasien dengan :
a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara
mental symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar memerlukan depresi
rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi.
c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi.
Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).
d. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang sendi
temporomandibuler, spondilitis servical spine.
e. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi
kepala pada leher di sendi atlantooccipital.
f. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan fleksi
leher.
Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa prosedur yang telah
ditetapkan antara lain :
a. Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput
diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup
keras atau botol infus 1 gram), sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea
dan laringoskop berada dalam satu garis lurus.
b. Oksigenasi. Setelah dilakukan Anesthesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan
oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit.
Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.
32
c. Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop
dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan
lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut.
Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis.
Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga
tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.
d. Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui
sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum
memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita
suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut.
Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan
kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan
selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
e. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi.
Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara
nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa
endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa
suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara
wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada
ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama.
Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau
gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-
kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin
membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah
diberikan oksigenasi yang cukup.
f. Ventilasi.
33
BAB V
KESIMPULAN
Seorang wanita berusia 31 tahun usia kehamilan 8 bulan G2P1A0 datang ke bagian
obgyn atas rujukan dari dokter di rumah bersalin. Pada saat ke rumah bersalin ibu
mengeluh keluar cairan jernih dari vagina. Setelah itu langsung dirujuk ke bagian
34
obgyn di RSU dr. Slamet Garut. Kemudian bagian obgyn memutuskan untuk
melakukan sectio caesaria.
Prosedur Anesthesi dilakukan dengan Anesthesi umum. Premedikasi menggunakan
Ondansentron 4 mg, Induksi menggunakan Propofol 50 mg & sebagai muscle
relaksan pada tahap awal digunakan Rocuronium 2 mg, kemudian diberikan lagi 48
mg. Untuk Analgesik diberikan Fentanyl 350 mg. Intubasi dilakukan dengan
menggunakan tube no.7 dengan balon & tidak terdapat kesulitan pasa saat intubasi.
Rumatan menggunakan N2O + O2+ isofluran + fentanyl. Respirasi dengan tekhnik
Semi Closed. Posisi pasien Supine. Trias Anesthesi dapat tercapai. Dari hasil
monitoring didapatkan tekanan darah paling tinggi saat masuk kamar OK yaitu
200/120mmHg & terrendah yaitu 120/60 mmHg pada saat operasi berlangsung. Nadi
tertinggi saat masuk yaitu 98x/menit & terendah 78x/menit. Pemberian cairan
menggunakan Gelatin.
Ibu mengalami ketuban pecah dini, sedangkan bayi mengalami Gawat Janin. Ibu juga
memiliki riwayat gagal jantung sejak 7 tahun yang lalu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abraham WT, Scarpinato L. Higher expectations for management of heart
failure: current recommendations. J Am Board Fam Pract 2002;15:39-49.
2. Cooper GM. Anesthesia and Analgesia for obstetric care. In: Cohen PJed. A
practice of Anaesthesia 6 edition.Boston: Edward Arnold,1995:1292-3.
35
3. Davis RC, Hobbs FDR, Lip GYH. ABC of heart failure: History and
epidemiology. BMJ 2000;320:39-42.
4. Davies MK, Gibbs CR, Lip GYH. ABC of heart failure: management: diuretics,
ACE inhibitors, and nitrates. BMJ 2000;320:428-31
5. Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH. ABC of heart failure Management: digoxin
and other inotropes, _ blockers, and antiarrhythmic and antithrombotic treatment.
BMJ 2000;320:495-8.
6. Gibbs CR, Jackson G, Lip GYH. ABC of heart failure: non-drug management.
BMJ 2000;320:366-9.
7. Gillespie ND. The diagnosis and management of chronic heart failure in the older
patient. British Medical Bulletin 2005;75 and 76: 49- 62.
8. Glosten B. Anaesthesia for Obstetric. In: Miller RD, ed. Anaesthesia. 5 th ed. .
Philadelphia Churchill Livingstone.2000:2024-67.
9. Hobbs FDR, Davis RC, Lip GYH. ABC of heart failure: heart failure in general
practice. BMJ 2000;320:626-9.
10. Jackson G, Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH. ABC of heart failure:
pathophysiology. BMJ 2000;320:167-70.McNamara DM. Neurohormonal and
cytokine activation in heart failure. In: Dec GW, editors. Heart failure a
comprehensive guide to diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker;
2005.p.117-36.
11. Lee TH. Practice guidelines for heart failure management. In: Dec GW, editors.
Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New York:
Marcel Dekker; 2005.p.449-65.
12. Maggioni AP. Review of the new ESC guidelines for the pharmacological
management of chronic heart failure. European Heart Journal Supplements
2005;7 (Supplement J):J15-J20.
13. Mikhael MS. Obstetric Anaesthesia. In: Morgan GE ed. Clinical Anesthesiology
1st edition. Los Angles: Prentice Hall International,1992:622.
14. Millane T, Jackson G, Gibbs CR, Lip GYH. ABC of heart failure: acute and
chronic management strategies. BMJ 2000;320:559-62.
36
15. Nieminen MS. Guideline on the diagnosis and treatment of acute heart failure –
full text the task force on acute heart failure of the european society of
cardiology. Eur Heart J 2005.
16. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and
restrictive). In: Dec GW, editor. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis
and treatment. New York: Marcel Dekker; 2005.p.137-56.
17. Senni M, Tribouilloy CM, Rodeheffer RJ, Jacobsen SJ, Evans JM, Bailey KR,
Redfield NM. Congestive heart failure in the community trends in incidence and
survival in 10-year period. Arch Intern Med 1999;159:29- 34.
18. Watson RDS, Gibbs CR, Lip GY H. ABC of heart failure: clinical features and
complications. BMJ 2000;320:236-9.
19. Williams Obstetrics. Edisi ke-14. Appleton Century-Crofts, New York, 1971,
halaman 1163-1190.
37