CAPD LP

66
DEPARTEMEN MEDIKAL LAPORAN INDIVIDU CKD (CRONIC KIDNEY DISEASE) DENGAN CAPD (CONTINUOUS AMBULATORY PERITONEAL DIALYSIS) Oleh : Aprillia Nur Aida (0810720014) JURUSAN ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Transcript of CAPD LP

Page 1: CAPD LP

DEPARTEMEN MEDIKAL

LAPORAN INDIVIDU

CKD (CRONIC KIDNEY DISEASE) DENGAN CAPD (CONTINUOUS

AMBULATORY PERITONEAL DIALYSIS)

Oleh :

Aprillia Nur Aida

(0810720014)

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2012

Page 2: CAPD LP

LAPORAN PENDAHULUAN

CKD (CRONIC KIDNEY DISEASE) DENGAN CAPD (CONTINUOUS

AMBULATORY PERITONEAL DIALYSIS)

CRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

A. Definisi

Gagal ginjal kronis merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) yang

berlangsung pelahan-lahan karena penyebab berlangsung lama dan menetap

yang mengakibatkan penumpukan sisa metabolit (toksik uremik)sehingga

ginjal tidak dapat memenuhi kebutuhan biasa lagi dan menimbulkan gejala

sakit ( Hudak & Gallo, 1996 ).

Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan

gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan

tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan

dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain

dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001; 1448). Gagal ginjal kronis terjadi

dengan lambat selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, dengan

penurunan bertahap dengan fungsi ginjal dan peningkatan bertahap dalam

gejala-gejala, menyebabkan penyakit ginjal tahap akhir (PGTA).

Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari

3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti

proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal

kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60

ml/menit/1,73m², sebagai berikut:

1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,

dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:

Kelainan patologik

Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada

pemeriksaan pencitraan

2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan

atau tanpa kerusakan ginjal

(Sumber: Chonchol, 2005)

Page 3: CAPD LP

B. Etiologi

Berdasarkan data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian

Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak

sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%)

dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).

a. Glomerulonefritis

Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang

etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran

histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber

terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder.

Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri

sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat

penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik

(LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006).

Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara

kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat

medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar,

2006).

b. Diabetes melitus

Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes

melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau

kedua-duanya.

Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini

dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan.

Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-

lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum

yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan

yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan,

sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa

darahnya (Waspadji, 1996).

c. Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah

diastolik ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer,

2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu

Page 4: CAPD LP

hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau

idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar,

1998).

d. Ginjal polikistik

Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material

yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan

kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula.

Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai

keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang

paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit

ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian

besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini

dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan

autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa

(Suhardjono, 1998).

C. Faktor risiko

Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes

melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan

individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal

dalam keluarga (National Kidney Foundation, 2009).

D. Klasifikasi

Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan melalui

penghitungan nilai Glumerular Filtration Rate (GFR). Untuk menghitung GFR

dokter akan memeriksakan sampel darah penderita ke laboratorium untuk

melihat kadar kreatinin dalam darah. Kreatinin adalah produk sisa yang

berasal dari aktivitas otot yang seharusnya disaring dari dalam darah oleh

ginjal yang sehat.

Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :

Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)

Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)

Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat ( 30 s/d 59 ml/min )

Stadium 4, dengan penurunan GFR parah ( 15 s.d 29 ml/min)

Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)

Page 5: CAPD LP

Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance

Creatinin Test ) dapat digunakan dengan rumus :

Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )

72 x creatini serum

Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

Stadium 1

Seseorang yang berada pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK)

biasanya belum merasakan gejala yang mengindikasikan adanya kerusakan

pada ginjalnya. Hal ini disebabkan ginjal tetap berfungsi secara normal

meskipun tidak lagi dalam kondisi tidak lagi 100 persen, sehingga banyak

penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam stadium 1. Kalaupun

hal tersebut diketahui biasanya saat penderita memeriksakan diri untuk

penyakit lainnya seperti diabetes dan hipertensi.

Stadium 2

Sama seperti pada stadium awal, tanda – tanda seseorang berada pada

stadium 2 juga dapat tidak merasakan gejala yang aneh karena ginjal tetap

dapat berfungsi dengan baik. Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya saat

penderita memeriksakan diri untuk penyakit lainnya seperti diabetes dan

hipertensi.

Stadium 3

Seseorang yang menderita GGK stadium 3 mengalami penurunan GFR

moderat yaitu diantara 30 s/d 59 ml/min. dengan penurunan pada tingkat ini

akumulasi sisa – sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah yang

disebut uremia. Pada stadium ini muncul komplikasi seperti tekanan darah

tinggi (hipertensi), anemia atau keluhan pada tulang. Gejala- gejala juga

terkadang mulai dirasakan seperti :

Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.

Kelebihan cairan : Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat ginjal

tidak dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal

ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian

bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat mengalami sesak

nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam tubuh.

Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan

adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami

perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur

Page 6: CAPD LP

dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan

terkadang penderita sering trbangun untuk buang air kecil di tengah

malam.

Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada

dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal

seperti polikistik dan infeksi.

Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur

disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupunrestless legs.

Penderita GGK stadium 3 disarankan untuk memeriksakan diri ke seorang

ahli ginjal hipertensi (nephrolog). Dokter akan memberikan rekomendasi

terbaik serta terapi – terapi yang bertujuan untuk memperlambat laju

penurunan fungsi ginjal. Selain itu sangat disarankan juga untuk meminta

bantuan ahli gizi untuk mendapatkan perencanaan diet yang tepat.

Penderita GGK pada stadium ini biasanya akan diminta untuk menjaga

kecukupan protein namun tetap mewaspadai kadar fosfor yang ada dalam

makanan tersebut, karena menjaga kadar fosfor dalam darah tetap rendah

penting bagi kelangsungan fungsi ginjal. Selain itu penderita juga harus

membatasi asupan kalsium apabila kandungan dalam darah terlalu tinggi.

Tidak ada pembatasan kalium kecuali didapati kadar dalam darah diatas

normal. Membatasi karbohidrat biasanya juga dianjurkan bagi penderita

yang juga mempunyai diabetes. Mengontrol minuman diperlukan selain

pembatasan sodium untuk penderita hipertensi.

Stadium 4

Pada stadium ini fungsi ginjal hanya sekitar 15 – 30 persen saja dan

apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam

waktu dekat diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal / dialisis atau

melakukan transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam

darah atau uremia biasanya muncul pada stadium ini. Selain itu besar

kemungkinan muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi),

anemia, penyakit tulang, masalah pada jantung dan penyakit kardiovaskular

lainnya.

Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 adalah :

Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.

Kelebihan cairan : Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat

ginjal tidak dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam

Page 7: CAPD LP

tubuh. Hal ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan sekitar

kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat

mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam

tubuh.

Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan

adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami

perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur

dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan

terkadang penderita sering trbangun untuk buang air kecil di tengah

malam.

Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada

dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal

seperti polikistik dan infeksi.

Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur

disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupunrestless legs.

Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.

Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang

dikonsumsi tidak terasa seperti biasanya.

Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi

melalui bau pernafasan yang tidak enak.

Sulit berkonsentrasi

Stadium 5 (gagal ginjal terminal)

Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk

bekerja secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal

(dialisis) atau transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup.

Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain :

Kehilangan napsu makan

Nausea.

Sakit kepala.

Merasa lelah.

Tidak mampu berkonsentrasi.

Gatal – gatal.

Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.

Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.

Keram otot

Page 8: CAPD LP

Perubahan warna kulit

E. Prognosis

Pada penyakit gagal ginjal dini (mikro albuminuria)sudah mempunyai

prognostik morbiditas dan mortalitas kardio vaskuler. Dengan memberatnya

kelainan ginjal, disertai dengan penurunan fungsi ginjal, prognosis terbukti

semakin buruk,menuju gagal ginjal yang memerlukan dialisis, komplikasi

organ target yang mengurangi kualitas hidup dan meningkatkan angka

kematian ( Suhardjono, 2001 ).

F. Patofisiologi

Bagan pohon masalah terlampir

G. Tanda Dan Gejala

Penurunan fungsi ginjal akan mengakibatkan berbagai manifesotasi klinik

mengenai dihampir semua sistem tubuh manusia, seperti:

Gangguan pada Gastrointestinal

Dapat berupa anoreksia, nausea, muntah yang dihubungkan dengan

terbentuknya zat toksik (amoniak, metal guanidin) akibat metabolisme protein

yang terganggu oleh bakteri usus sering pula faktor uremikum akibat bau

amoniak dari mulut. Disamping itu sering timbul stomatitis, cegukan juga

sering yang belum jelas penyebabnya. Gastritis erosif hampir dijumpai pada

90 % kasus Gagal Ginjal Kronik, bahkan kemungkinan terjadi ulkus peptikum

dan kolitis uremik.

Kulit

Kulit berwarna pucat, mudah lecet, rapuh, kering, timbul bintik-bintik hitam

dan gatal akibat uremik atau pengendapan kalsium pada kulit.

Hematologi

Anemia merupakan gejala yang hampr selalu ada pada Gagal Ginjal

Kronik. Apabila terdapat penurunan fungsi ginjal tanpa disertai anemia perlu

dipikirkan apakah suatu Gagal Ginjal Akut atau Gagal Ginjal Kronik dengan

penyebab polikistik ginjal yang disertai polistemi. Hemolisis merupakan sering

timbul anemi, selain anemi pada Gagal Ginjal Kronik sering disertai

pendarahan akibat gangguan fungsi trombosit atau dapat pula disertai

trombositopeni. Fungsi leukosit maupun limposit dapat pula terganggu

Page 9: CAPD LP

sehingga pertahanan seluler terganggu, sehingga pada penderita Gagal Ginjal

Kronik mudah terinfeksi, oleh karena imunitas yang menurun.

Sistem Saraf Otot

Penderita sering mengeluh tungkai bawah selalu bergerak-gerak

(restlesslessleg syndrome), kadang tersa terbakar pada kaki, gangguan syaraf

dapat pula berupa kelemahan, gangguan tidur, gangguan konsentrasi, tremor,

kejang sampai penurunan kesadaran atau koma.

Sistem Kardiovaskuler

Pada gagal ginjal kronik hampir selalu disertai hipertensi, mekanisme

terjadinya hipertensi pada Gagal Ginjal Kronik oleh karena penimbunan garam

dan air, atau sistem renin angiostensin aldosteron (RAA). Sesak nafas

merupakan gejala yang sering dijumpai akibat kelebihan cairan tubuh, dapat

pula terjadi perikarditis yang disertai efusi perikardial. Gangguan irama

jantung sering dijmpai akibat gangguan elektrolit.

Sistem Endokrin

Gangguan seksual seperti penurunan libido, ion fertilitas sering dijumpai

pada Gagal Ginjal Kronik, pada wanita dapat pula terjadi gangguan

menstruasi sampai aminore. Toleransi glukosa sering tergangu paa Gagal

Ginjal Kronik, juga gangguan metabolik vitamin D.

Gangguan lain

Akibat hipertiroid sering terjadi osteoporosis, osteitis, fibrasi, gangguan

elektrolit dan asam basa hampir selalu dijumpai, seperti asidosis metabolik,

hiperkalemia, hiperforfatemi, hipokalsemia.

Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat

kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan

hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan

neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular (Sukandar, 2006).

H. Pemeriksaan Penunjang

Urine

- Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak

keluar (anuria)

- Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus

bakteri, lemak, partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor,

kecoklatan menunjukan adanya darah, HB, mioglobin.

Page 10: CAPD LP

- Berat jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan

kerusakan ginjal berat).

- Osmolalitas : Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan

tubular, dan rasio urine/serum sering 1:1

- Klirens keratin : Mungkin agak menurun

- Natrium : Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu

mereabsorbsi natrium.

- Protein : Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan

kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.

Darah

- BUN / Kreatin : Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi kadar

kreatinin 16 mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5)

- Hitung darah lengkap : Ht : Menurun pada adanya anemia

Hb:biasanya kurang ari 78 g/dL

- SDM : Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada

azotemia.

- GDA : pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi

karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen

dan amonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun,

PCO2 menurun .

- Natrium Serum : Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan Natrium” atas

normal (menunjukan status dilusi hipernatremia).

- Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan

perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada tahap

akhir, perubahan

- EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 MPq atau lebih besar.

- Magnesium/Fosfat : Meningkat

- Kalsium : Menurun

- Protein (khususnya Albumin) : Kadar serum menurun dapat

menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan,

penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang asam

amino esensial.

- Osmolalitas Serum : Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama

dengan urine.

Page 11: CAPD LP

Piolegram Intravena

- Piolegram Retrograd : Menunujukkan abnormallitas pelvis ginjal dan

ureter.

- Arteriogram Ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi

ekstravaskular massa.

Sistouretrogram Berkemih : Menunjukan ukuran kandung kemih,

refluks ke dalam ureter, terensi.

Ultrasono Ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista,

obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.

Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan

sel jaringan untuk diagnosis histoligis.

Endoskopi Ginjal, Nefroskopi : Dilakukan untuk menentukan pelvis

ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif.

EKG : Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan

asam/basa.

Foto Kaki, Tengkorak, Kolmna Spiral dan Tangan : Dapat menunjukan

demineralisasi.

I. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain :

1. Hiperkalemia

2. Perikarditis

3. Hipertensi

4. Anemia

5. Penyakit tulang

(Smeltzer & Bare, 2001)

J. Penatalaksanaan

1. Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal

secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin

azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara

keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).

Page 12: CAPD LP

a. Peranan diet

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau

mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan

terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

b. Kebutuhan jumlah kalori

Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat

dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif

nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.

c. Kebutuhan cairan

Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya

jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.

d. Kebutuhan elektrolit dan mineral

Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung

dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

2. Terapi simtomatik

a. Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium

(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik

dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus

segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20

mEq/L.

b. Anemia

Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu

pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi

darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.

c. Keluhan gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering

dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan

utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain

adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang

harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan

simtomatik.

d. Kelainan kulit

Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.

Page 13: CAPD LP

e. Kelainan neuromuskular

Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis

reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal

paratiroidektomi.

f. Hipertensi

Pemberian obat-obatan anti hipertensi.

g. Kelainan sistem kardiovaskular

Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang

diderita.

3. Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,

yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa

hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).

a. Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah

gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh

terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan

memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu

indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam

indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik,

bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan

diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic

Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif,

yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah,

dan astenia berat (Sukandar, 2006).

Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai

sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya

dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah

kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas

hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi

sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang

mahal (Rahardjo, 2006).

Page 14: CAPD LP

b. Dialisis peritoneal (DP)

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal

Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi

medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari

65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem

kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami

perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV

shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal)

dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik

disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu

keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan

sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar,

2006).

c. Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan

faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:

1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh

(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih

70-80% faal ginjal alamiah.

2. Kualitas hidup normal kembali

3. Masa hidup (survival rate) lebih lama

4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan

dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan

5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

CAPD (CONTINUOUS AMBULATORY PERITONEAL DIALYSIS)

A. Definisi CAPD

CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) adalah metode

pencucian darah dengan menggunakan peritoneum (selaput yang melapisi perut

dan pembungkus organ perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas

dan kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dari darah dapat dengan mudah

tersaring melalui peritoneum ke dalam rongga perut. Cairan dimasukkan melalui

sebuah selang kecil yang menembus dinding perut ke dalam rongga perut.

Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu sehingga limbah metabolic dari

aliran darah secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut, kemudian cairan

Page 15: CAPD LP

dikeluarkan, dibuang, dan diganti dengan cairan yang baru (Surya Husada,

2008).

Pada dialysis peritoneal, permukaan peritoneum yang luasnya sekitar

22.000 cm2 berfungsi sebagai permukaan difusi. Cairan dialisat yang tepat dan

steril dimasukkan ke dalam cavum peritoneal menggunakan kateter abdomen

dengan interval. Ureum dan creatinin yang keduanya merupakan produk akhir

metabolism yang diekskresikan oleh ginjal dikeluarkan (dibersihkan) dari darah

melalui difusi dan osmosis ketika produk limbah mengalir dari daerah dengan

konsentrasi tinggi (suplai darah peritoneum) ke daerah dengan konsentrasi

rendah (cavum peritoneal) melalui membrane semipermeable (membrane

peritoneum). Ureum dibersihkan dengan kecepatan 15 hingga 20 ml/menit,

sedangkan creatinin dikeluarkan lebih lambat.

B. Tujuan CAPD

Tujuan terapi CAPD ini adalah untuk mengeluarkan zat-zat toksik serta

limbah metabolic, mengembalikan keseimbangan cairan yang normal dengan

mengeluarkan cairan yang berlebihan dan memulihkan keseimbangan elektrolit.

C. Indikasi CAPD

Pasien yang rentan terhadap perubahan cairan, elektrolit dan metabolic

yang cepat (hemodinamik yang tidak stabil)

Penyakit ginjal stadium terminal yang terjadi akibat penyakit diabetes

Pasien yang berisiko mengalami efek samping pemberian heparin

secara sistemik

Pasien dengan akses vascular yang jelek (lansia)

Adanya penyakit kardiovaskuler yang berat

Hipertensi berat, gagal jantung kongestif dan edema pulmonary yang

tidak responsive terhadap terapi dapat juga diatasi dengan dialysis

peritoneal.

D. Kontraindikasi CAPD

Riwayat pembedahan abdominal sebelumnya (kolostomi, ileus,

nefrostomi)

Adhesi abdominal

Page 16: CAPD LP

Nyeri punggung kronis yang terjadi rekuren disertai riwayat kelainan

pada discus intervertebalis yang dapat diperburuk dengan adanya

tekanan cairan dialisis dalam abdomen yang kontinyu

Pasien dengan imunosupresi

E. Cara Kerja CAPD

a. Pemasangan Kateter untuk Dialisis Peritoneal

Sebelum melakukan Dialisis peritoneal, perlu dibuat akses sebagai tempat

keluar masuknya cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) dari dan ke dalam

rongga perut (peritoneum). Akses ini berupa kateter yang “ditanam” di dalam

rongga perut dengan pembedahan. Posisi kateter yaitu sedikit di bawah pusar. 

Lokasi dimana sebagian kateter muncul dari dalam perut disebut “exit site”.

Sebelum pemasangan kateter peritoneal, dokter mencuci dan

mendesinfeksi abdomen. Anastesi lokal diberikan di daerah tengah abdomen

sekitar 5 cm di bawah umbilicus. Dokter membuat insisi kecil dan kateter

multinilon dimasukkan ke dalam rongga peritoneum. Kemudian, daerah tersebut

ditutup dengan balutan.

Proses pemasangan:

Mula-mula, alat perangkat harus disiapkan. Ini terdiri dari alat baxter

“dineal”R61L” yang besar dengan tetes rangkap dimana diikatkan dua kantong

cairan dialysis 1 L. Dari pipa umum, alat tetes rangkap ada suatu pipa tambahan

yang menuju ke belakang, ini untuk meng“syphon off” cairan dari peritoneum.

Seluruh pipa harus terisi dengan cairan yang dipakai. Sebuah kantong

pengumpulan steril yang besar (paling sedikit volume 2 L) diikatkan pada pipa

keluar.

Kemudian, anastesi local (lignocain 1-2%) disuntikkan ke linea alba antara

pusar atau umbilicus dan symphisis pubis, biasanya kira-kira 2/3 bagian dari

pubis. Bekas luka pada dinding abdominal harus dihindari dan kateter dapat

dimasukkan sebelah lateral dari selaput otot rectus abdominus. Anastesi local

yang diberikan cukup banyak (10-15 ml) dan yang paling penting untuk meraba

peritoneum dan mengetahui bahwa telah diinfiltrasi, bila penderita gemuk,

sebuah jarum panjang (seperti jarum cardiac atau pungsi lumbal) diperlukan

untuk menganastesi peritoneum.

Suatu insisi kecil (sedikit lebih pendek dari garis tengah kanula) dibuat di

kulit dengan pisau nomor 11. Kateter peritoneal kemudian didorong masuk ke

Page 17: CAPD LP

ruang peritoneal dengan gerakan memutar (seperti sekrup). Sewaktu sudah

masuk, pisau ditarik 1 inci dan kateter diarahkan ke pelvis. Kdang-kadang

dinding atau selaput peritoneum terasa sebagai dua lapis yang dapat dibedakan,

keduanya harus ditembus sebelum menarik pisau dan mengarahkan kateter.

Pada waktu ini, harus segera dijalankan atau dialirkan 2 L cairan dan

diperhatikan reaksi penderita, minimalkan rasa tidak nyaman. Segera setelah

cairan ini masuk, harus di “syphon off” untuk melihat bahwa system tersebut

mengalir lancar, sesuaikan posisi kateter untuk menjamin bahwa aliran cukup

baik. Beberapa inci dari kateter akan menonjol dari abdomen dan ini dapat

dirapikan bila perlu. Namun paling sedikit 1 atau 2 inci harus menonjol dari

dinding perut. Hal ini kemudian dikuatkan ditempat dengan elastoplas. Dengan

tiap trokat ada suatu pipa penyambung yang pendek yang menghubungkan

kateter ke alat perangkat.

b. Pemasukan Ciran Dialisat

Dialisis Peritoneal diawali dengan memasukkan cairan dialisat (cairan

khusus untuk dialisis) ke dalam rongga perut melalui selang kateter, lalu

dibiarkan selama 4-6 jam. Ketika dialisat berada di dalam rongga perut, zat-zat

racun dari dalam darah akan dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh akan ditarik

ke dalam cairan dialisat.

Sekitar 2 L dialisat dihangatkan sesuai dengan suhu tubuh kemudian

disambungkan dengan kateter peritoneal melalui selang.dialisat steril dibiarkan

mengalir secepat mungkin kedalam rongga peritoneum. Dialisat steril 2 L

dihabiskan dalam waktu 10 menit. Kemudian klem selang ditutup. Osmosis

cairan yang maksimal dan difusi –solut/butiran ke dalam dialisat mungkin terjadi

dalam 20-30 menit. Pada akhir dwell-time (waktu yang diperlukan dialisat

menetap di dalam peritoneum), klem selang dibuka dan cairan dibiarkan mengalir

Page 18: CAPD LP

karena gravitasi dari rongga peritoneum ke luar (ada kantong khusus). Cairan ini

harus mengalir dengan lancar. Waktu drainase (waktu yang diperlukan untuk

mengeluarkan semua dialisat dari rongga peritoneum) adalah 10-15 menit.

Drainase yang pertama mungkin berwarna merah muda karena trauma yang

terjadi waktu memasang kateter peritoneal. Pada siklus ke-2 atau ke-3, drainase

sudah jernih dan tidak boleh ada lagi drainase yang bercampur dengan darah.

Setelah cairan dikeluarkan dari rongga peritoneum, siklus yang selanjutnya harus

segera dimulai. Pada pasien yang sudah dipasang kateter peritoneal, sebelum

memasukkan dialisat kulit diberi obat bakterisida. Setelah dialisis selesai, kateter

dicuci lagi dan ujungnya ditutup dengan penutup yang steril.

Zat-zat racun yang terlarut di dalam darah akan pindah ke dalam cairan

dialisat melalui selaput rongga perut (membran peritoneum) yang berfungsi

sebagai “alat penyaring”, proses perpindahan ini disebut Difusi.

Cairan dialisat mengandung dekstrosa (gula) yang memiliki kemampuan

untuk menarik kelebihan air, proses penarikan air ke dalam cairan dialisat ini

disebut Ultrafiltrasi.

c. Proses Penggantian Cairan Dialisis

Proses ini tidak menimbulkan rasa sakit dan hanya membutuhkan waktu

singkat (± 30 menit). Terdiri dari 3 langkah:

1. Pengeluaran cairan

Cairan dialisat yang sudah mengandung zat-zat racun dan kelebihan air

akan dikeluarkan dari rongga perut dan diganti dengan cairan dialisis yang baru.

Proses pengeluaran cairan ini berlangsung sekitar 20 menit.

Page 19: CAPD LP

2. Memasukkan cairan

2 L cairan dialirkan pada kira-kira setiap 45-60 menit, biasanya hanya

memakan waktu 5 menit untuk mengalirkan. Cairan dialisat dialirkan ke dalam

rongga perut melalui kateter.

3. Waktu tinggal

Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam rongga perut

selama 4-6 jam, tergantung dari anjuran dokter. Atau cairan ditinggal dalam

ruang peritoneum untuk kira-kira 20 menit dan kemudian 20 menit dibiarkan

untuk pengeluaran. Setelah itu, 2 L cairan lagi dialirkan. Hal ini diulang tiap

jam untuk 36 jam atau lebih lama bila perlu. Suatu catatan, keseimbangan

kumulatif dari cairan yang mengalir ke dalam dan keluar harus dilakukan

dengan dasar tiap 24 jam. Suatu kateter “Tenchoff” yang fleksibel dapat

dipakai juga dapat ditinggal secara permanen untuk CAPD dari penderita

yang mengalami gagal ginjal tahap akhir.

Page 20: CAPD LP

Proses penggantian cairan di atas umumnya diulang setiap 4 atau 6

jam (4 kali sehari), 7 hari dalam seminggu.

F. Prinsip-prinsip CAPD

CAPD bekerja berdasrkan prinsip-prinsip yang sama seperti pada bentuk

dialisis lainnya, yaitu: difusi dan osmosis. Namun, karena CAPD merupakan

terapi dialisis yang kontinyu, kadar produk limbah nitrogen dalam serum berada

dalam keadaan yang stabil. Nilainya tergantung pada fungsi ginjal yang masih

tersisa, volume dialisa setiap hari, dan kecepatan produk limbah tesebut

diproduksi. Fluktuasi hasil-hasil laboritorium ini pada CAPD tidak bergitu ekstrim

jika dibandingkan dengan dialysis peritoneal intermiten karena proses dialysis

berlangsung secara konstan. Kadar eletrilit biasanya tetap berada dalam kisaran

normal.

Semakin lama waktu retensi, kliren molekul yang berukuran sedang

semakin baik. Diperkirakan molekul-molekul ini merupakan toksik uremik yang

signifikan. Dengan CAPD kliren molekul ini meningkat. Substansi dengan berat

molekul rendah, seperti ureum, akan berdifusi lebih cepat dalam proses dialysis

daripada molekul berukuran sedang, meskipun pengeluarannya selama CAPD

lebih lambat daripada selama hemodialisa. Pengeluaran cairan yang berlebihan

pada saat dialysis peritonial dicapai dengan menggunakan larutan dialisat

hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang tinggi sehingga tercipta

gradient osmotic. Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25% harus tersedia dengan

bebepara ukuran volume, yaitu mulai dari 500 ml hingga 3000 ml sehingga

memungkinkan pemulihan dialisat yang sesuai dengan toleransi, ukuran tubuh

dan kebutuhan fisiologik pasien. Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin

Page 21: CAPD LP

besar gradient osmotic dan semakin banyak cairan yang dikeluarkan. Pasien

harus diajarkan cara memilih larutan glukosa yang tepat berdasarkan asupan

makanannya.

Pertukaran biasanya dilakukan empat kali sehari. Teknik ini berlangsung

secara kontinyu selama 24 jam sehari, dan dilakukan 7 hari dalam seminggu.

Pasien melaksanakan pertukaran dengan interval yang didistribusikan sepanjang

hari (misalnya, pada pukul 08.00 pagi, 12.00 siang hari, 05.00 sore dan 10.00

malam). Dan dapat tidur pada malam harinya. Setipa pertukaran biasanya

memerlukan waktu 30-60 menit atau lebih; lamanya proses ini tergantung pada

lamanya waktu retensi yang ditentukan oleh dokter. Lama waktu penukaran

terdiri atas lima atau 10 menit periode infus (pemasukan cairan dialisat), 20 menit

periode drainase (pengeluaran ciiran dialisat) dan waktu rentensi selama 10

menit, 30 menit atau lebih.

G. Efektifitas CAPD, Keuntungan serta Kerugian

1. Efektifitas CAPD

Selain bisa dikerjakan sendiri, proses penggantian cairan dengan cara

CAPD lebih hemat waktu dan biaya, tak menimbulkan rasa sakit, dan fungsi

ginjal yang masih tersisa dapat dipertahankan lebih lama (Wurjanto, 2010).

Menurut Wurjanto, CAPD adalah cara penanganan penderita gagal ginjal, yakni

dialisis yang dilakukan melalui rongga peritoneum (rongga perut) di mana yang

berfungsi sebagai filter adalah selaput/membran. Cara kerjanya, diawali dengan

memasukkan cairan dialisis ke dalam rongga perut melalui selang kateter yang

telah ditanam dalam rongga perut. Teknik ini memanfaatkan selaput rongga

perut untuk menyaring dan membersihkan darah. Ketika cairan dialisis berada

dalam rongga perut, zat-zat di dalam darah akan dibersihkan, juga kelebihan air

akan ditarik. Cara CAPD antara lain hanya butuh 30 menit, dilakukan di rumah

oleh pasien bersangkutan, tidak ada tusukan jarum yang menyakitkan, fungsi

ginjal yang tersisa bisa lebih lama, dialisis dapat dilakukan setiap saa, dan

pasiennya lebih bebas atau dapat bekerja seperti biasa (Wurjanto, 2010).

2. Keuntungan CAPD dibandingkan HD :

Terdapat tiga keuntungan utama dari penggunaan dialisis peritoneal:

a) Bisa mengawetkan fungsi ginjal yang masih tersisa. Seperti diketahui

sebenarnya saat mencapai GGT, fungsi ginjal itu masih tersisa sedikit. Di

Page 22: CAPD LP

samping untuk membersihkan kotoran, fungsi ginjal (keseluruhan) yang penting

lainnya adalah mengeluarkan eritropoetin (zat yang bisa meningkatkan HB) dan

pelbagai hormon seks. Berbeda dengan dialisis yang lain, dialisis peritoneal tidak

mematikan fungsi-fungsi tersebut.

b) Angka bertahan hidup sama atau relatif lebih tinggi dibandingkan

hemodialisis pada tahun-tahun pertama pengobatan Meskipun pada akhirnya,

semua mempunyai usia juga, tetapi diketahui bahwa pada tahun-tahun pertama

penggunaan dialisis peritoneal menyatakan angka bertahan hidup bisa sama

atau relatif lebih tinggi.

c) Harganya lebih murah pada kebanyakan negara karena biaya untuk

tenaga/fasilitas kesehatan lebih rendah (Tapan, 2004).

Keuntungan tambahan yang lain yaitu:

a) Dapat dilakukan sendiri di rumah atau tempat kerja

b) Pasien menjadi mandiri (independen), meningkatkan percaya diri

c) Simpel, dapat dilatih dalam periode 1-2 minggu.

d) Jadwal fleksibel, tidak tergantung penjadwalan rumah sakit sebagaimana

HD

e) Pembuangan cairan dan racun lebih stabil

f) Diit dan intake cairan sedikit lebih bebas

g) Cocok bagi pasien yang mengalami gangguan jantung

h) Pemeliharaan residual renal function lebih baik pada 2-3 tahun pertama.

3. Kelemahan CAPD :

a) Resiko infeksi. Peritonitis merupakan komplikasi yang sering. Juga dapat

terjadi infeksi paru karena goncangan diafragma

b) Pengobatan yang tidak nayman dan penderita sebagian tidak boleh

bergerak di tempat tidur. Kateter harus diganti setiap 4-5 hari

c) Pengeluaran protein dari dialisat, sampai pada 40 gram/24 jam. Baik

subnutrisi (pengeluaran asam amino) maupun hipovolemia (pengeluaran

albumin) dapat terjadi.

d) BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi (Iqbal et al, 2005).

Page 23: CAPD LP

Table 1. Perbandingan hemodialisis dengan dialisis mandiri

Kategori Hemodialisa (HD) Dialisis Mandiri

(CAPD)

Segi

kepraktisan

Harus dilakukan di Rumah Sakit,

lamanya proses 4-5 jam

Dapat dilakukan di

rumah/tempat kerja,

lamanya proses 30 menit

Biaya Sekali cuci darah Rp. 500 ribu-1

juta, seminggu bisa 2-3 kali. Total

biaya per bulannya akan mencapai

akan mencapai Rp. 4-5 juta

Satu kantong dialisat

(cairan pencuci darah)

Rp. 40 ribu sehari

penggantian dialisat.

Biaya per bulannya

mencapai Rp. 5,5 juta.

Pantangan Pantang beragam makanan

terutama yang tinggi protein

Tidak perlu diet ketat

Resiko

komplikasi

Fungsi ginjal dan jantung dapat

menurun karena dipaksa bekerja

lebih keras selama proses

pencucian darah. Dengan

pengeluaran darah, darah tidak

cukup aman dari resiko

kontaminasi. Butuh terapi hormon

eritropoetin untuk mengimbangi

penurunan kadar Hb

Fungsi ginjal, jantung,

dan darah relatif aman

karena tidak terganggu.

Kadar Hb relativ lebih

tinggi dibandingkan

dengan hemodialis,

sehingga dibutuhkan

lebih sedikit eritroprotein.

Namun, CAPD rawan

infeksi sehingga pasien

perlu dilatih untuk

menjaga kebersihan

badannya

H. Penyulit-penyulit selama CAPD

a. Cairan yang tidak kembali

1. Pada permulaan: adalah biasa untuk pengembalian kurang dari 1

liter penggantian pertama terutama bila kateter tidak diletakkan rendah dalam

pelvis juga, bila penderita dehidrasi 2,3 atau 4 liter cairan dapat terambil dan

tidak pernah kembali. Sehubungan dengan itu bila liter pertama tidak kembali,

liter selanjutnya dialirkan dan kemudian yang liter ke tiga diberikan untuk melihat

Page 24: CAPD LP

tanda-tanda pembesaran dan rasa tidak enak di perut. Bila liter ke tiga tidak

kembali dan terdapat dalam abdomen maka kateter atau posisi kateter harus

diganti. Bila kateter pada awalnya salah meletakkan antara lapisan dinding perut,

cairan akan mengalir masuk tetapi biasanya tidak ada pengeluaran. Hal ini dapat

diketahui dengan: 1. Kesulitan dalam memajukan keteter, 2. Sakit pada waktu

memperdalam kateter, 3. Sakit menyebar yang hebat pada waktu mengalirkan

cairan masuk, 4. Sakit kencang di perut, 5. Bila katerter ditarik tampak terputar

keras atau melengking ke sudut kanan. Kateter paling baik dimasukkan kembali

pada tempat lain yang bukan tempat pertama karena peritoneum terkoyak dari

dinding perut pada tempat tersebut

2. Kemudian pada dialysis, cairan yang tidak kembali dapat karena

perubahan posisi penderita atau barangkali menunjukkan penggumpalan atau

penyumbatan kateter. Hal ini harus dipindah perlahan-lahan dan bila perlu

diganti. Hal ini dapat sering dilakukan pada seluruh lubang yang telah dibuat

tanpa perlu kesibukan selanjutnya. Penggumpalan tidak akan terjadi bila

digunakan heparin dan jika terjadi lebih sering disebabkan oleh infeksi.

b. Sakit pada saat pengaliran cairan masuk. Beberapa penderita

mengalami lebih dari rasa tidak enak selama setiap pengaliran masuk, barangkali

karena penarikan dari peletakkan lama. Sakit di awal mungkin disebabkan

karena kateter salah letak. Bila larutan tidak hangat, kolik dapat terjadi. Bila rasa

sakit ada setiap kali cairan ke dalam, hal ini biasanya dapat dihilangkan dengan

petidin. Beberapa penderita mengalami sakit hanya dengan larutan glukosa

pekat (6,36 g/100ml). Perkembangan rasa sakit dapat diindikasikan terjadinya

penimbunan cairan yang berlebihan dalam perut atau terjadi peritonitis.

c. Kebocoran di sekitar tempat masuk kateter adalah sering, pada

dialysis yang diperpanjang. Perubahan kecil pada posisi atau sudut tempat

masuk kateter sering mengakibatkan kebocoran seluruhnya. Jahitan kulit pada

lubang masuk dapat membantu. Hal ini harus dilaporkan dan ditangani segera.

d. Cairan keruh dengan atau tanpa sakit atau demam bias berarti

peritonitis. Setelah pengambilan specimen untuk pewarnaan dan biakan gram,

dokter dapat menambah antibiotic spektrum luas pada dialisat.

e. Darah dalam dialisat, sejumlah kecil sering terdapat pada

awalnya, perdarahan kemudian kadang-kadang terjadi. Untuk mengentikannya

dengan menambah heparin dan melanjutkan dialysis. Perdarahan hebat sangat

jarang.

Page 25: CAPD LP

I. Komplikasi CAPD

Peritonitis

Komplikasi yang bisa terjadi pada pelaksanaan Dialisa Peritonial

Ambulatory Continous adalah radang selaput rongga perut atau peritonitis.

Gejala yang muncul seperti cairan menjadi keruh dan atau nyeri perut dan atau

demam. Peritonitis merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai dan paling

serius. Komplikasi ini terjadi pada 60% hingga 80% pasien yang menjalani

dialysis peritoneal. Sebagian besar kejadian peritonitis disebabkan oleh

kontaminasi staphylococcus epidermis yang bersifat aksidental. Kejadian ini

mengakibatkan gejala ringan dan prognosisnya baik. Meskipun demikian,

peritonitis akibat staphylococcus aureus menghasilkan angka morbiditas yang

lebih tinggi, mempunyai prognosis yang lebih serius dan berjalan lebih lama.

Mikroorganisme gram negative dapat berasal dari dalam usus, khususnya bila

terdapat lebih dari satu macam mikroorganisme dalam cairan peritoneal dan bila

mikroorganisme tersebut bersifat anaerob. Manifestasi peritonitis mencakup

cairan drainase (effluent) dialisat yang keruh dan nyeri abdomen yang difus.

Hipotensi dan tanda-tanda syok lainnya dapat terjadi jika staphylococcus

merupakan mikroorganisme penyebab peritonitis. Pemeriksaan cairan drainase

dilakukan untuk penghitungan jumlah sel, pewarnaan gram, dan pemeriksaan

kultur untuk mengenali mikroorganisme serta mengarahkan terapi. Untuk

mencegah komplikasi seperti ini, sangatlah penting penderita selalu:

1. Membersihkan tangan sebelum melakukan penukaran atau menyentuh

kateter.

2. Menjaga lubang keluar kateter itu bersih dan sehat

3. Tidak mengkontaminasi peralatan yang steril (gunakan masker selama

proses penukaran cairan)

4. Carilah tempat yang bersih, nyaman dan aman sebelum melakukan

penukaran cairan dialisat tersebut

5. Jika hendak bepergian, jangan lupa mengontak 3 minggu sebelumnya

sentra-sentra dialisa di kota tujuan

Jika telah terjadi komplikasi seperti ini, biasanya dokter akan

menginstruksikan untuk menambah obat pada cairan pencuci (dialisat) tersebut.

Hal ini bisa dilakukan sendiri oleh pasien.

Page 26: CAPD LP

Kebocoran

Kebocoran cairan dialisat melalui luka insisi atau luka pada pemasangan

kateter dapat segera diketahui sesudah kateter dipasang. Biasanya kebocoran

tersebut berhenti spontan jika terapi dialysis ditunda selama beberapa ahri untuk

menyembuhkan luka insisi dan tempat keluarnya kateter. Selama periode ini,

factor-faktor yang dapat memperlambat proses kesembuhan seperti aktivitas

abdomen yang tidak semestinya atau mengejan pada saat BAB harus dikurangi.

Kebocoran melalui tempat pemasangan kateter atau ke dalam dinding abdomen

dapat terjadi spontan beberapa bulan atau tahun setelah pemasangan kateter

tersebut.

Perdarahan

Cairan drainase (effluent) dialisat yang mengandung darah kadang-kadang

dapat terlihat, khususnya pada pasien wanita yang sedang haid. Kejadian ini

sering dijumpai selama beberapa kali pertukaran pertama mengingat sebagian

darah akibat prosedur tersebut tetap berada dalam rongga abdomen pada

banyak kasus penyebab terjadinya perdarahan tidak ditemukan. Pergeseran

kateter dari pelvis kadang-kadang disertai dengan perdarahan. Sebagian pasien

memperlihatkan cairan drainase dialisat yang berdarah sesudah ia menjalani

pemeriksaan enema atau mengalami trauma ringan. Perdarahan selalu berhenti

setelah satu atau dua hari sehingga tidak memerlukan intervensi yang khusu.

Terapi pertukaran yang lebih sering dilakukan selama waktu ini mungkin

diperlukan untuk mencegah obstruksi kateter oleh bekuan darah.

Hernia abdomen

Hernia abdomen mungkin terjadi akibat peningkatan tekanan intraabdomen

yang terus menerus. Tipe hernia yang pernah terjadi adalah tipe insisional,

inguinal, diafragmatik dan umbilical. Tekanan intraabdomen yang secara

persisten meningkat juga akan memperburuk gejala hernia hiatus dan hemoroid.

Hipertrigliseridemia

Hipertrigliseridemia sering dijumpai pada pasien-pasien yang menjalani

CAPD sehingga timbul kesan bahwa terapi ini mempermudah aterogenesis.

Nyeri punggung bawah dan anoreksia

Nyeri punggung bawah dan anoreksia terjadi akibat adanya cairan dalam

rongga abdomen disamping rasa manis yang selalu terasa pada indera

pengecap serta berkaitan dengan absorbsi glukosa dapat pula terjadi pada terapi

CAPD

Page 27: CAPD LP

Gangguan citra rubuh dan seksualitas

Meskipun CAPD telah memberikan kebebasan yang lenih besar untuk

mengontrol sendiri terapinya kepada pasien penyakit renal stadium terminal,

namun bentuk terapi ini bukan tanpa masalah. Pasien sering mengalami

gangguan citra tubuh dengan adanya kateter abdomen dan kantong penampung

serta selang dibadannya.

J. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan CAPD

Fase persiapan sebelum dilakukan CAPD

Persiapan bagi klien dan keluarga yang menjalani CAPD tergantung dari

status fisik dan psikologis klien, tingkat kesadaran, pengalaman sebelumnya

mengenai terapi dialysis dan pemahaman serta adaptasi klien terhadap prosedur

tersebut. Mungkin klien yang akan menjalani hemodialis peritoneal berada dalam

kondisi akut sehingga memerlukan terapi jangka pendek untuk memperbaiki

kondisi yang berat pada status cairan dan elektrolit.

Prosedur dialisis peritoneal perlu dijelaskan terlebih dahulu kepada pasien

dan surat persetujuan (inform consent) yang sudah ditandatangani harus sudah

diperoleh sebelum prosedur tersebut dilaksanakan. data dasar mengenai tanda-

tanda vital, berat badan dan kadar elektrolit serum harus dicatat. pengosongan

kandung kemih dan usus diperlukan untuk memperkecil resiko tertusuknya

organ-organ internal. Perawat juga harus mengkaji rasa cemas klien dan

memberikan dukungan serta petunjuk mengenai prosedur yang akan

dilaksanakan. Kateter untuk dialysis peritoneal harus dipasang di kamar operasi,

sehingga hal ini harus dijelaskan kepada klien dan keluarganya.

Selanjutnya, sebelum prosedur dilakukan, ukur tekanan darah, nadi dan

berat badan pasien untuk data dasar dalam mengkaji adanya perubahan selama

prosedur berlangsung. Perlu dikaji juga pengetahuan pasien tentang dialysis

peritoneal dan tingkat kecemasan yang dialaminya. Biasanya, sedative ringan

diberikan sebelum pemasangan kateter peritoneal. Obat sedatif dapat membantu

relaksasi dan mempermudah pemasangan kateter peritoneal. Berikan pula

penjelasan bahwa penderita dengan dialysis peritoneal tidak boleh bergerak

selama tindakan dan karena itu dianjurkan istirahat di tempat tidur. Bila mungkin

harus bangun dari tempat tidur dua kali sehari dan setidak-tidaknya harus

melakukan latihan pernafasan teratur dan latihan kaki. Bila dialysis dapat

dilakukan di kursi, akan lebih baik. Perhatian pada bagian–bagian yang tertekan

Page 28: CAPD LP

adalah vital karena kehilangan protein masuk ke dalam cairan dialysis,

pemasukan protein yang cukup harus dipertahankan dan penderita harus

didorong untuk makan diet normal. Penambahan vitamin yang larut dalam air

juga perlu. Penderita harus ditimbang setiap hari.

Persiapan Peralatan untuk Dialysis Peritoneal

Disamping merakit peralatan untuk dialysis peritoneal, perawat harus

berkonsultasi dengan dokter untuk menentukan konsentrasi larutan dialisat yang

akan digunakan dan obat-obatan yang akan ditambahkan pada dialisat tersebut.

Heparin dapat ditambahkan untuk mencegah pembentukan bekuan fibrin yang

dapat menyumbat kateter peritoneal. Kalium klorida dapat diresepkan untuk

mencegah hipokalemia. Antibiotic dapat diberikan untuk mengobati peritonitis.

Sebelum menambahkan obat-obatan ini, larutan dialisat dihangatkan

hingga mencapai suhu tubuh untuk mencegah gangguan rasa nyaman nyeri,

selain itu tindakan-tindakan ini dapat menyebabkan dilatasi pembuluh-pembuluh

darah peritoneum sehingga meningkatkan klierens ureum. Larutan yang terlalu

dingin menyebabkan nyeri dan vasokonstriksi dan menurunkan klirens

sedangkan larutan yang terlalu panas dapat membakar peritoneum. Peralatan

yang digunakan untuk menghangatkan larutan dialisat harus dipantau dengan

cermat untuk menjamin suhu yang diinginkan.

Sesaat sebelum dialysis dimulai, peralatan dan selang untuk dialysis

dirakit. Selang tersebut diisi dengan larutan dialisat yang sudah dipersiapkan

untuk mengurangi jumlah udara yang masuk kedalam kateter serta kavum

peritoneal, yang dapat menyebabkan gangguan rasa nyaman pada abdomen

dan mengganggu penetesan serta pengaliran keluar cairan dialisat tersebut.

Perlengkapan untuk prosedur dialysis peritonial ambulatory kontinous:

Swabs cairan

pembersih kulit, misalnya

hibitane dalam alcohol atau iodine

tiga (kertas) handuk

kassa persegi

lignocaine 1% atau 2%

alat suntik 10 ml nos1 dan 25

jarum

pisau no. 11

sarung tangan

gunting

kantong pengumpulan steril

besar

trokat atau kateter peritonial

“Brown” dan R611

set “Baxter” dari CSSD

Page 29: CAPD LP

Cairan Dialysis

Cairan dialysis dipersiapkan secara steril dan harus tetap demikian.

Larutan yang biasa dipakai (dialaflex) mengandung eletrolit plasma normal

ditambah glukosa 1,36% tetapi tanpa kalium urea fosfat atau sulfat karena

semua ini biasanya terdapat berlebihan pada payah ginjal. Semua kantong harus

dihangatkan sampai sesuai suhu tubuh kalau tidak dilakukan penderita dapat

menjadi sangat dingin. Bila kalium plasma penderita tidak tinggi, dokter akan

menambahkan sampai 5 mEq/K+ pada tiap kantong 1 liter (sampai 2,5 ml dari 20

mEq/10 ml larutan). Heparin 500 unit ditambahkan pada tiap kantong 2 liter untuk

mencegah pembentukan fibrin dan kateter. Sebelum menambahkan sesuatu

pada kantong, ujung atasnya harus dibersihkan dengan baik methanol atau

sejenis. Hal ini perlu sebelum memasukkan dalam set dialysis ke kantong.

Penambahan harus ditulis dikantong dan kantong harus dibuat sekali setiap

waktu dan memakai masker setiap kali membuat.

Bila penderita edema akibat kelebihan cairan, payah jantung dan lain-lain

air dapat dikeluarkan dari penderita dengan memakai kantung Dialaflex yang

mengandung glukosa 6,36%. Larutan yang sangat kuat ini menyedot air dari

penderita ke ruang peritonial dan 5, 10, 15 L air atau lebih dapat dikeluarkan.

Suatu pengawasan harus dilakukan pada tekanan darah dan nadi tiap jam bila

dipakai 2 larutan 6,36%, karena dapat mengakibatkan hipotensi dayok bila cairan

dikeluarkan teralu cepat. Gula darah harus diukur selama memakai larutan

6,36%. Larutan ini tidak boleh dipakai sering lebih dari 1:4 penggantian.

Pemasangan Kateter untuk Dialysis Peritoneal

Idealnya, kateter peritoneal dipasang dalam kamar operasi untuk

mempertahankan teknik aseptic dan memperkecil kemungkinan kontaminasi.

sebuah kateter stylet dapat digunakan jika diperkirakan dialisi peritoneal akan

dilakukan dalam waktu singkat. Sebelum prosedur ini dilakukan, kulit abdomen

dibersihkan dengan larutan aseptic lokal untuk mengurangi jumlah bakteri pada

kulit dan untuk mengurangi resiko kontaminasi serta infeksi pada lokasi

pemasangan kateter. Dokter melakukan penyuntikan infiltrasi anestesi local ke

dalam kulit dan jaringan subkutan pasien sebelum prosedur pemasangan keteter

dilakukan.Insisi kecil atau sebuah tusukan dilakukan pada abdomen bagian

bawah, 3 hingga 5 cm dibawah umbilicus, di daerah ini relative tidak

mengandung banyak pembuluh darah besar sehingga perdarahan yang terjadi

Page 30: CAPD LP

tidak begitu besar. sebuah trokar (sebuah alat yang berujung tajam) digunakan

untk menusuk peritoneum sementara pasien mengencangkan otot abdomennya

dengan cara menganggkat kepalanya. Keteter dimasukkan melalui trokar dan

kemudian diatur posisisnya. caiaran yang sudah disiapkan diinfuskan ke dalam

cavum peritoneal dengan mendorong omentum (lapisan peritoneal yang

membentang dari organ-organ abdomen) menjauhi kateter. sebuah jahitan dapat

dibuat untuk mempertahankan kateter pada tempatnya.

K. Pengakajian

a. Identitas klien

b. Riwayat Penyakit

c. Riwayat penyakit infeksi

d. Riwayat penykit batu/obstruksi

e. Riwayat pemakaian obat-obatan

f. Riwayat penyakit endokrin

g. Riwayat penyakit vaskuler

h. Riwayat penyakit jantung

i. Data interdialisis (klien hemodialisis rutin)

j. Data interdialisis meliputi :

Berat badan kering klien atau Dry Weight, yaitu : berat badan di mana

klien merasa enak, tidak ada udema ekstrimitas, tidak merasa melayang dan

tidak merasa sesak ataupun berat, nafsu makan baik, tidak anemis.

Berat badan interdialisis : Berat badan hemodialisis sekarang – Berat

badan post hemodialisis yang lalu (Kg).

Kapan terakhir hemodialisis.

k. Keadaan umum klien

Data subjektif : lemah badan, cepat lelah, melayang.

Data objektif : nampak sakit, pucat keabu-abuan, kurus, kadang – kadang

disertai edema ekstremitas, napas terengah-engah.

l. Pemeriksaan Fisik

Kepala: Retinopati, Konjunktiva anemis, Sclera ikteric dan kadang –

kadang, disertai mata merah (red eye syndrome), rambut ronok, muka tampak

sembab, bau mulut amoniak

Leher: Vena jugularis meningkat/tidak, Pembesaran kelenjar/tidak,

Page 31: CAPD LP

Dada: Gerakkan napas kanan/kiri seimbang/simetris, Ronckhi

basah/kering, Edema paru,

Abdomen: Ketegangan, Ascites (perhatikan penambahan lingkar perut

pada kunjungan berikutnya), Kram perut, Mual/munta

Kulit: Gatal-gatal, Mudah sekali berdarah (easy bruishing), Kulit kering

dan bersisik, keringat dingin, lembab, perubahan turgor kulit

Ekstremitas: Kelemahan gerak, Kram, Edema (ekstremitas atas/bawah)

Ekstremitas atas : sudahkah operasi untuk akses vaskuler

System kardiovaskuler

Data subjektif : sesak napas, sembab, batuk dengan dahak/riak,

berdarah/tidak.

Data objektif : hipertensi, kardiomegali, nampak sembab dan susah

bernapas.

System pernapasan

Data subjektif : merasa susah bernapas, mudah terengah-engah saat

beraktifitas.

Data objektif : edema paru, dispnea, ortopnea, kusmaul.

Sistem pencernaan

Data subjektif napsu makan turun, mual/muntah, lidah hilang rasa,

cegukan, diare (lender darah, encer) beberapa kali sehari.

Data objektif : cegukan, melena/tidak.

Sistem Neuromuskuler

Data subjektif : tungkai lemah, parestesi, kram otot, daya konsentrasi turun,

insomnia dan gelisah, nyeri/sakit kepala.

Data objektif : neuropati perifer, asteriksis dan mioklonus, nampak

menahan nyeri.

Sistem genito – urinaria

Data subjektif : libido menurun, noktoria, oliguria/anuria, infertilitas (pada

wanita).

Data objektif : edema pada system genital.

System psikososial

Integritas ego

Stressor : financial, hubungan dan komunikasi

Merasa tidak mampu dan lemah

Denial, cemas, takut, marah, mudah tersinggung

Page 32: CAPD LP

Perubahan body image

Mekanisme koping klien/keluarga kurang efektif

Pemahaman klien dan keluarga terhadap diagnosis, penyakit dan

perawatannya, kadang masih kurang.

Interaksi social

Denial, menarik diri dari lingkungan

Perubahan fungsi peran dikeluarga dan masyarakat.

L. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan CAPD

adalah:

1. Resiko tinggi kelebihan volume cairan b.d tidak adekuatnya gradient

osmotik, retensi cairan (malposisi kateter atau terlipat atau adanya bekuen,

distensi usus, peritonitis dan jaringan parut peritonium). aatau masukan peroral

berlebihan.

2. Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d penggunaan dialisat

hipertonik sehingga pembuangan cairan berlebihan.

3. Resiko tinggi trauma b.d kateter dimasukkan dalam rongga peritoneal.

4. Nyeri akut b.d pemasangan kateter pada lapisan abdomen

5. Resiko tinggi infeksi (peritonitis) b.d kontaminasi kateter selama

pemasangan.

6. Pola pernapasan tidak efektif b.d penekanan pada abdomen, diafragma.

a. Rencana Asuhan Keperawata

Dx. 1 Resiko tinggi kelebihan volume cairan b.d tidak adekuatnya gradient

osmotik, retensi cairan (malposisi kateter atau terlipat atau adanya bekuen,

distensi usus, peritonitis dan jaringan parut peritonium). aatau masukan peroral

berlebihan.

Tujuan :

Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam tidak terjadi kelebihan volume

caiaran.

Kriteria Hasil :

1. Aliran dialisat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan

2. Tidak mengalami peningkatan BB secara cepat, edema dan kongesti

paru.

Page 33: CAPD LP

3. Terjadi balance cairan antara yang masuk dan keluar.

4. Tidak terjadi nyeri perut

Intervensi Rasional

1. 1. Catat volume cairan yang masuk,

keluar dan kumulasi keseimbangan caiaran.

2. Menimbang berat badan

pasien sebelum dan sesudah

menjalani dialisat

3. Kaji patensi kateter, kesulitan

drainase, perhatikan adanya

lembaran atau plak fibrin.

4. Tinggikan kepala tempat tidur,

lakukan tekanan perlahan pada

abdomen.

5. Perhatikan adanya distensi

abdomen sehubungan dengan

penurunan bising usus, perubahan

konsistensi feses, keluhan konstipasi.

6. Observati TTV, perhatikan

adanya hipertensi berat, nadi kuat,

distensi JVD. edema perifer.

7. Evaluasi adanya takipnea,

dispnea, peningkatan upaya

pernapasan.

Kolaborasi:

8. Perubahan program dialisat

sesuai indikasi

1. Jumlah aliran harus sama atau

lebih dari yang dimasukkan.

Keseimbangan positif menunjukkan

kebutuhan evaluasi lebih lanjut.

2. Indikator akurat status

keseimbangan cairan. keseimbangan

positif dengan peningkatan BB

menunjukakn retensi cairan.

3. Melambatnya kecepatan

aliran/adanya fibrin menunjukkan

hambatan keteter parsial yang perlu

dievaluasi.

4. dapat meningkatkan aliran bila

kateter salah posisi/obstruktif oleh

omentum.

5. Distensi abdomen/konstipasi

dapat mempengaruhi keseimbangan

cairan.

6. Peningkatan nadi

menunjukkan hipovolume.

Peningkatan kelebihan cairan

berpotensi Gjk./edema paru.

7. Distensi abdomen/kompresi

diafragma dapat mengganggu napas.

8. perubahan mungkin diperlukan

dalam konsentrasi glukosa atau

natrium untuk memudahkan efisiensi

Page 34: CAPD LP

9. Awasi natrium serum

10. Tambahkan heparin pada

dialisat awal, bantu irigasi kateter

dengan garam faal heparinasi

11. Pertahankan pembatasan

cairan sesuai dengan indikasi

dialysis.

9. Hipernatremia dapat terjadi,

meskipun kadar serum dapat

menunjukkan efek pengenceran dari

kelebihan cairan.

10. mencegah dalam

pembentukan fibrin yang dapat

menghambat kateter peritoneal.

11. Pembatasan caiaran dapat

dilanjutkan untuk menurunkan

kelebihan volume cairan.

Dx. 2 Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d penggunaan dialisat

hipertonik sehingga pembuangan cairan berlebihan.

Tujuan :

Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam tidak terjadi kekurangan volume

caiaran.

Kriteria Hasil :

1. Aliran dialisat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan

2. Tidak mengalami penurunan BB secara cepat.

3. Terjadi balance cairan antara yang masuk dan keluar (kseimbangan

negatif).

4. TTV dalam batas normal.

5. Tidak mengalami tanda-tanda dehidrasi.

Intervensi Rasional

1. Catat volume cairan yang

masuk, keluar dan kumulasi

keseimbangan caiaran.

2. Berikan jadwal untuk pengaliran

dialisat dari abdomen.

3. Menimbang berat badan pasien

sebelum dan sesudah menjalani

dialisat.

1. Memberikan informasi

tentang status keseimbangan cairan

pada akhir setip pertukaran.

2. Waktu tinggal lama,

khususnya bila menggunakan cairan

glukosa 4,5 dapat menyebabkan

kehilangan cairan berlebihan.

3. Mendeteksi kecepatan

pembuangan cairan dengan

membandingkan dengna berat

Page 35: CAPD LP

4. Awasi TD dan nadi. Perhatikan

tingginya pulsasi jugular.

5. Perhatikan keluhan pusing,

mual, peningkatan rasa haus.

6. Inspeksi kelembapan mukosa,

turgor kulit, nadi perifer dan CRT.

7. Kolaborasi:

Awasi pemeriksaan laboratorium

sesuai indikasi: natrium serum dan

kadar glukosa.

8. Kadar kalium serum.

badan dasar.

4. Penurunan TD, hipotensi

postural dan takikardi adalah tanda

didi hipovolemia.

5. Dapat menunjukkan

hipovolemia.

6. Indikator dehidrasi dan

membutuhkan peningkatan

pemasukan /perubahan dalam

kekuatan dialisat.

7. Caiaran hipertonik dapat

menyebabkan hipernatremia dan

membuang lebih banyak air

daripada natrium.. Selain itu glukosa

dapat diabsorbsi dri dialisat

sehingga meningkatkan glukosa

serum.

8. Hipokalemia dapat terjadi

dan dapat menyebabkan disritmia

jantung.

Dx. 3 Resiko tinggi trauma b.d kateter dimasukkan dalam rongga peritoneal.

Tujuan :

Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam, tidak terjadi injuri pada rongga

peritoneum.

Kriteria hasil :

Tidak ada tanda-tanda terjadi injuri pada rongga peritoneum

Klien tidak mengeluh nyeri pada abdomen.

Intervensi Rasional

1. Biarkan klien mengosonkan

kandung kemih, usus untuk

menghindari penusukan organ interna

2. Fiksasi keteter dengan plester.

Tekankan pentingnya pasien

1. Kandung kemih kososng lebih

jauh dari tempat pemasukan kateter

dan mlam enurunkan kemungkinan

tertusuk saat pemasangan kateter.

2. Menurunkan resiko trauma

dengan manipulasi kateter.

Page 36: CAPD LP

menghindari penarikan atau

pendorongan kateter.

3. Perhatikan adanya fekal dalam

dialisat atau dorongan kuat untuk

defikasi, disertai diare berat.

4. Perhatikan keluhan tiba-tiba

ingin berkemih, atau haluaran urine

besar menyertai berjalannya dialysis

awal.

5. Hentikan dialysis bila terjadi

perforasi usus/kandung kemih.

Biarkan kateter dialysis pada

tempatnya.

3. Menduga perforasi usus

dengan percampuran dialisat dan isi

usus.

4. Menunjukkan perforasi

kandung kemih dengan kebocoran

dialista dalam kandung kemih. Adanya

kandungan glukosa dalam dialisat,

akan meninggikan kadar glukosa

urine.

5. Tindakan cepat akan

mencegah cidera selanjutnya. Bedah

perbaikan segera dibutuhkan.

Membiarkan kateter pada tempatnya

memudahkan diagnosa /lokasi

perforasi.

Dx. 4 Nyeri akut b.d pemasangan kateter pada lapisan abdomen

Tujuan :

Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam, keluhan nyeri klien dapat

diatasi.

Kriteria Hasil :

1. Klien menyatakan penurunan keluhan nyeri.

2. Ekspresi wajah rileks

3. Klien dapat beristirahat dengan baik.

Intervensi Rasional

1. Kaji keluhan nyeri klien, ukur

dengan skala nyeri.

2. Jelaskan ketidaknyamanan

awal biasanya hilang setelah

pertukaran pertama

3. Awasi nyeri yang mulai selama

aliran dan berlanjut selama fase

equilibrasi. lambatkan keceatan infuse

1. Membantu identifikasi sumber

nyeri dan intervensi yang tepat.

2. Penjelasan dapat

meningkatkan ansietas dan

kenyamanan.

3. Nyeri dapat terjadi pada waktu

ini bila dialim menyebabkan iritasi

kimia terhadap membrane

Page 37: CAPD LP

sesuai dengan indikasi.

4. Perhatikan ketidaknyamanan

yang paling dirasakan mendekati

akhir aliran masuk. masukkan tidak

lebih dari 2000ml dalam sekali watu.

5. Perhatikan keluhan nyeri pada

area bahu. cegah udara masuk ke

rongga peritoneum selama infuse.

6. Tinggikan kepala tempat tidur

pada interval tertentu. Balikkan pasien

dari satu sisi ke sisi lain. Berikan

perawatan punggung dan masasae

ringan .

7. Hangatkan dialisat sebelum

diinfuskan.

8. Awasi nyeri abdomen hebat

dan peningkatan sushu tubuh.

9. Dorong penggunaan teknik

relaksasi.

Kolaborasi:

10. Pemberian analgesic.

11. Tambahkan natrium hidroksida

pada dialisat sesuai indikasi.

peritoneum.

4. Mungkin akibat distensi

abdomen dari dialisat. jumlah infuse

mungkin harus dikurangi pada

walnya.

5. Masuknya udara yang kurang

hati-hati ke dalam abdomen

mengiritasi diafragma dan

mengakibatkan nyeri pada bahu.

Pertukaran lebih kecil mungkin

diperlukan sampai kondisi klien

membaik.

6. Perubahan posisi dapat

menghilangkan ketidaknyamanan.

7. Dapat meningkatakan

kecepatan pembuangan ureum

melelui dialysis pembuluh darah.

dialisat yang terlalu dingan dapat

menyebabkan vasokonstriksi,

ketidaknyamanan, dan dapat

mencetuskan henti jantung.

8. Dapat mengindikasikan

adanya peritonitis.

9. Mengurangi ketidaknyamanan.

10. Menghilangkan nyeri dan

ketidaknyamanan.

11. Kadang digunakan untuk

mengubah pH bila klien tidak toleran

terhadap keasaman dialisat.

Page 38: CAPD LP

Dx. 5 Resiko tinggi infeksi (peritonitis) b.d kontaminasi kateter selama

pemasangan.

Tujuan :

Setelah dilakuakn perawatan selama 4-8 jam, klien tidak mengalami infeksi

akibat proses dialysis.

Kriteria Hasil :

Klien tidak menunjukkan tanda-tanda Infeksi: nyeri, hipertermi, kemerahan terdapat

pus

Intervensi Rasional

1. Gunakan teknik aseptic saat

pemasangan kateter. ganti balutan

kapanpun balutan dibuka dang anti

selang sesuai dengan protocol.

2. Ganti balutan dengan hati-hati

dan tidak mengubah posisi kateter.

Perhatikan karater, warna. bau

drainase dari sekitar tempat

pemasangan.

3. Observasi warna dan

kejernihan haluaran.

4. Berikan pelindung betadine

pada distal, klem bagian kateter bila

terapi intermiten digunakan.

5. Selidiki keluhan mual muntah,

nyeri abdomen, nyeri tekan lepas,

demam, dan leukositosis.

6. KIE pada pasien cara

pencegahan infeksi

Kolaborasi:

7. Awsi jumlah SDP dari haluaran

1. Mencegah introduksi organism

dan komtaminasi yang dapat

menyebaban infeksi.

2. Perubahan atau pergerakan

kateter menyebabkan perdarahan

3. Keluaran keruh diduga infeksi

peritoneal.

4. Menurunkan resiko masuknya

bakteri melalui kateter.

5. Menunjukkan peritonitis yang

membutuhanintervensi segera.

6. SDP pada awal dapat

menunjukkan respon normal terhadap

subtsansi asing, namun berlanjutnya

peningkatan menunjukkan adanya

infeksi.

7. Mengidentifikasi organism dan

intervensi yang tepat.

Page 39: CAPD LP

8. Ambil specimen darah atau

keluaran caiarn untuk dikultur

sensitivitasnya.

9. Awasi klirens ginjal (BUN,

kretinine)

10. Berikan antibiotic secara

sistemik atau dalam dialisat sesuai

indikasi.

8. Antibiotik dan dosis pilihan

akan dipengaruhi oleh fungsi ginjal.

9. Mengetahui fungsi ginjal

10. Mengurangi infeksi dan

mencegah sepsis.

Dx. 6 Pola pernapasan tidak efektif b.d penekanan pada abdomen, diafragma.

Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam tidak terjadi

gangguan pola napas.

Kriteria Hasil :

1. Pola napas efektif yang ditunjukkan oleh: bunyi napas jelas dan tidak ada

suara napas tambahan.

2. GDA dalam batas normal

3. tidak ada distress napas (takipnea, diaphoresis, gelisah)

Intervensi Rasional

1. Kaji frekuensi napas dan

kedalaman napas

2. Auskultasi bunyi napas

3. Tinggikan kepala tempat tidur

dan tingkatkan latihan napas dalam

dan batuk.

Kolaborasi

4. Kaji GDA, oksimetri

5. Berikan O2 sesuai indikasi

1. Gangguan pola napas selam

dialysis diduga akibat tekanan

diafragma, distensi abdomen atau

terjadinya komplikasi.

2. Suara napas yang tidak normal

dapat disebabkan peningkatan caiaran

dalam paru, tertahannya sekresi atau

infeksi.

3. Memudahkan ekspansi dada.

4. Perubahan pada PaO2/PaCO2

dan kongesti pada hasil foto dapat

menunjukkan masalah pada paru.

5. Memaksimalkan oksigen untuk

Page 40: CAPD LP

6. Berikan analgesic sesuai

indikasi

penyerapan vascular, pencegahan

hiposia.

6. Menghilangkan nyeri,

pernapasan nyaman, upaya batuk

maksimal.

3.5 Pendidikan Pasien Untuk CAPD

Setelah penempatan kateter dialisis peritoneal, yang harus dilakukan perawat

antara lain:

memberikan petunjuk tentang perawatan dressing dan kapan balutan

dapat dilepas

melakukan penggantian selang kateter 4-8 minggu sekali atau maksimal

6 bulan sekali pada jenis kateter tertentu (sesuai dengan merk).

Mengajarkan klien untuk memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan

apabila:

a. Nanah atau cairan yang mengalir keluar dari situs exit.

b. Cairan dialisat yang mengalir dari abdomen terlihat pekat

c. Tidak ada cairan dialisat mengalir keluar dari perut pasien selama

pertukaran, bahkan setelah mengubah posisi dan menggunakan jarum suntik.

d. Pasien mengalami demam (suhu tubuh tinggi) atau kedinginan.

e. Pasien mengalami nyeri tumpul di perut Anda saat melakukan pertukaran

dialisis.

f. Ada benjolan baru yang telah tumbuh di perut pasien saat pasien

melakukan pertukaran CAPD.

g. Area di sekitas exit site kemerahan, meradang atau terasa sakit

Sedangkan hal-hal yang harus dilakukan pasien, antara lain:

1. Perawatan Kateter Dan Exit Site:

Mandi setiap hari untuk menjaga kebersihan kulit, khususnya di sekitar exit

site. Jangan mandi berendam.

Ganti pakaian dalam maupun pakaian luar setiap hari

Page 41: CAPD LP

Jangan gunakan bahan kimia, misalnya alkohol dan bahan yang

mengandung klorida untuk membersihkan exit site atau kateter. Anda hanya

boleh menggunakan sabun dan air untuk membersihkan exit site dan keteter

Gunakan krim antibiotic untuk merawat exit site setiap hari pada saat

mengganti balutan kateter (dilakukan setelah mandi) untuk menghindari resiko

infeksi (peritonitis)

Jangan gunakan krim, salep, atau bedak tabur di sekitar exit site

Jaga posisi keteter krim agar tetap berada pada tempatnya (tidak tertarik,

tertekuk, terputar, atau tersangkut) dengan menempelkannya pada kulit dengan

bantuan plester.

Keringkan exit site dengan kassa khusus bukan dengan handuk mandi.

2. Urutan perawatan kateter CAPD:

Buka balutan lama kateter lalu keringkan tangan. Bersihkan permukaan

tangan dengan antiseptic.

Buka kemasan balutan yang baru kemudian bersihkan tangan dengan tisu.

Bersihakan selang kateter dengan kassa/kapas beralkhohol sebanyak

beberapa kali usapan. Biarkan 30 detik sampai alkhohol mongering

Oleskan krim antibiotic sebesar biji kacang pada Katter exit site.

Tutup kembali dengan balutan baru.

3. Perawatan untuk infeksi pada exit site:

Menyarankan kepada klien untuk datang ke fasilitas kesehatan untuk

dilakukan pemeriksaan kultur untuk mengetahui apak terjadi infeksi disana.

Apabila terjadi infeksi maka klien akan diberri antibiotik. Tanda-tanda

infeksi diantaranya adalah merah, meradang, keluar nanah atau terasa sakit,

gatal dan panas.

Menyarankan kepada klien agar penggunaan antibiotic tidak dihentikan

lebih cepat sebelum waktunya meskipun gejala membaik karena apbila dilakukan

penghentian sebelum waktunya maka kuman akan mudah sekali untuk tumbuh

lagi

Menganjurkan kepada klien agar memberi tahu apabila ada alergi terhadap

antibiotic

Memberitahu kepada klien bahwa setelah menjalani pengobatan dengan

antibiotic klien akan diminta untuk datang kembali ke unit dialysis untuk

doperiksa apakah infeksi sudah teratasi.

Page 42: CAPD LP

4. Yang perlu dilakukan apbila infeksi tidak menjadi lebih baik:

Beberapa kuman sangat sulit untuk menyingkirkan jika mereka mulai

tumbuh di sekitar situs keluar Anda.

Infeksi pada exit site dapat menimbulkan peritonitis

Apabila peritonitis terjdai maka cairan dialisi akan menjdai lebih pekat dank

lien mengalami nyeri perut maka perlu disarankan kepada klien untuk melakukan

perawatan di rumah sakit

Kateter perlu dilepas jika infeksi tetap tidak sembuh

Menyarankan kepada klien Sangat penting untuk memeriksa exit site setiap

hari terhadap terjadinya infeksi

sesegera mungkin lakukan pengobatan

5. Hal-hal yang dapat pasien lakukan untuk mengurangi resiko infeksi

peritonium:

Selalu mencuci tangan dengan baik sebelum membersihkan exit site dan

mengeringkan exit site dengan benar.

Pertahankan balutan exit site dalam keadaan kering

Bersihkan exit site setiap hari dan selalu mengecek keadaan exit site.

Rawat exit site dengan krim yang diresepkan oleh dokter

Lakukan perawatan exit site segera setelah pasien mandi.

Hindari trauma pada daerah exit site.

Berikan pakaian atau wadah khusus untuk meletakkan dan melindingi

kateter.

6. Keadaan yang mengharuskan pasien segera menghubungi tenaga medis:

Pasien mengalami kesulitan BAB dan gangguan pencernaan

Pasien mengalami sakit perut, dan Anda adalah muntah (muntah).

Sesak/kesulitan saat bernapas

Timbul lubang disekitar kateter pada perut (Reuters,2010)

Selain hal-hal yang perlu diketagui oleh perawat maupun pasien diatas, yang

paling penting pasien juga perlu diberi pengajaran untuk melaksanakan sendiri

CAPD setelah kondisinya secara medis dianggap stabil. Pelajaran dapat

diberikan secara rawat jalan atau rawat inap. Biasanya latihan CAPD

memerlukan waktu 5 hari hingga 2 minggu.

1. Program Latihan

Page 43: CAPD LP

Selama periode latihan, pasien diaajrkan tentang materi anatomi dan fisiologi

dasar ginjal, proses penyakitnya, prosedur terapi pertukaran, komplikasi yang

mungkin terjadi serta respon yang tepat terhadap komplikasi tersebut,

pemeriksaan tanda-tanda vital, perawatan kateter, teknik membasuh tangan

yang baik, dan yang paling penting adalah siapa yang harus dihubungi bila timbul

suatu masalah serta kapan menghubunginya. Karena konsekuensi peritonitis,

pasien dan keluarganya harus mandapat pelajran tentang tanda-tanda peritonitis,

tindakan preventif dan srategi penanganan dini.

2. Terapi Diet

Perawat, ahli gizi dan pekerja sosial harus menemui pasien beserta keluarga

selama periode latihan pada saat-saat tertentu sesudahnya. Informasi dan

instruksi tentang diet harus diberikan. Meskipun diet pada pasien dengan terapi

CAPD merupakan diet yang bebas, ada beberapa rekomendasi yang perlu

disampaikan. Karena protein akan hilang pada dialysis peritoneum kontinyu,

maka pasien dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang tinggi protein

dengan gizi yang baik dan seimbang. Mereka juga dianjurkan untuk

meningktakan asupan serat setiap hari untuk membantu mencegah konstipasi

yang dapat menghambat aliran cairan dialisat kedalam atau keluar cavum

peritoneal. Pasien sering menglami pertambahan berat badan sebanyak 1,5

hingga 2,5 kg dalam waktu 1 bulan setelah CAPD dimulai, oleh sebab itu pasien

diminta untuk mengurangi asupan karbohidratnya, untuk menghindari kenaikan

berat badan yang berlebihan. Asupan natrium, kalium dan cairan sesuai dengan

yang dianjurkan.

3. Asupan Cairan

Pasien biasanya kehilangan 2 liter cairan lebih atau diatas 8 liter cairan

dialisat yang diinfuskan kedalam rongga abdomen selama periode 24 jam,

keadaan ini memungkinkan asupan cairan yang normal bahkan pada pasien

yang anefrik (pasien tanpa ginjal).

4. Perawatan Tindak Lanjut

Pasien diajarai menurut kemampuan sendiri dan tingkat pengetahuannya

untuk belajar, banyaknya materi yang diberikan harus dapat dipahami pasien

tanpa merasa terganggu atau terlalu dijejalkan informasi yang berlebihan.

Perawatan tindak lanjut melalui telepon, kunjungan klien ke klinik rawat jalan,

serta perawatan di rumah yang kontinyu akan membantu pasien untuk beralih

Page 44: CAPD LP

kapada perawatan di rumah dan berperan aktif dalam perawatan kesehatannay

sendiri. Kemampuan pasien untuk memeriksa apakah pilihannya yang berkenaan

dengan terapi dialysis atau pengendalian tekanan darah yang sudah tepat, atau

hanya untuk membicarakan suatu masalah sederhana sering masih bergantung

pada perawat. Pasien mungkin akan dikunjungi oleh tim CAPD dalam klinik rawat

jalan sekali dalam sebulan atau lebih jika diperlukan. Prosedur pertukaran yang

dilakukan sendiri oleh pasien harus dievaluasi pada saat itu untuk memastikan

apakah teknik aseptic yang ketat masih dipatuhi.

SUMBER RUJUKAN

Page 45: CAPD LP

Carpenito, L.J. 1999. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2

Jakarta : EGC

Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans:

Guidelines for planning and documenting patients care. Alih bahasa:

Kariasa,I.M. Jakarta: EGC; 2000

Rindiastuti, Yuyun. 2006. Deteksi Dini Dan Pencegahan Penyakit Gagal Ginjal

Kronik

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &

Suddarth volume 2. Jakarta: EGC.

Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.