Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An
-
Upload
reza-ahsani-ahmad -
Category
Documents
-
view
224 -
download
0
Transcript of Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An
BUNGA BANK
(STUDI KOMPARASI ANTARA PENDAPAT NAHDLATUL ULAMA
DAN MUHAMMADIYAH)
SKRIPSI
DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AHINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT-SYARATGUNA MEMPEROLEH GELAR SARJANA
DALAM ILMU HUKUM ISLAM
OLEH :
RIZAL BIN JAMI’ANNIM: 99363560
DI BAWAH BIMBINGAN :
1. DRS. H. FUAD ZEIN, MA.
2. DRS. SLAMET KHILMI.
PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
F A K U L T A S S Y A R I ‘ A H
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2004
BAB. I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Kegiatan ekonomi dari masa ke masa terus mengalami perkembangan,
yang dahulu ada kini tidak ada, atau sebaliknya. Dulu institusi pemodal seperti
bank tidak dikenal dan sekarang ada. Maka persoalan baru dalam fiqh
muamalah muncul ketika pengertian riba dihadapkan pada persoalan bank. Di
satu pihak, bunga bank (interest bank) terperangkap dalam kriteria riba, di sisi
lain, bank mempunyai fungsi sosial yang besar, bahkan dapat dikatakan tanpa
bank suatu negara akan hancur.1
Dalam Ensiklopedia Indonesia, bahwa Bank (perbankan) ialah suatu
lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-
jasanya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang, dengan
mengedarkan alat tukar baru dalam bentuk uang atau giral. Jadi kegiatannya
bergerak dalam bidang keuangan serta kredit dan meliputi dua fungsi yang
penting yaitu sebagai perantara pemberi kredit dan menciptakan uang.2 Ada
yang mendefinisikan bank merupakan sebuah lembaga keuangan yang bergerak
menghimpun dana dari masyarakat dan kemudian dana tersebut disalurkan
1 Muhammad Zuhri, Riba dalam al-Qur’an dan Masalah Perbankan: Sebuah Tilikan Antisipatif, cet. I (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), hlm. 4.
2 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo Husada, 1996), hlm. 39-40
kepada yang memerlukan, baik perorangan maupun kelembagaan, dengan
sistem bunga.3
Sistem hubungan perekonomian dan keuangan zaman sekarang ini, baik
dalam maupun luar negeri, adalah melalui saluran bank. Tidak ada suatu negara
mana pun yang tidak mempunyai perusahan bank, karena bank dapat
melancarkan segala perhubungan dan lebih menjamin selamatnya pengiriman.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa tujuan dari suatu bank adalah mencari
keuntungan dan keuntungan itu dicapai dengan berniaga kredit. Bank mendapat
kredit dari orang luar dengan membayar bunga. Sebaliknya bank memberikan
kredit dari kepada orang luar dengan memungut bunga yang lebih besar dari
pada yang dibayarkannya. Jadi sedikit penjelasan di atas, maka yang disebut
bunga bank adalah tambahan yang harus dibayarkan oleh orang yang berhutang
kepada bank atau keuntungan yang diberikan pihak bank kepada orang yang
menyimpan uang di bank dengan besar-kecil sesuai dengan ketentuan yang
berlaku di bank tersebut. Tetapi konsensus pendapat-pendapat menganggap
bahwa bunga bank merupakan tambahan tetap bagi modal, dikemukakan bahwa
tambahan yang tetap ini merupakan biaya yang layak bagi proses produksi.4
Jadi selisih bunga itulah keuntungan bank. Sehingga bunga merupakan
suatu masalah yang tidak dapat dilepaskan dari perusahan bank dunia (umum).
Mengenai kedudukan bank tersebut, Moh. Hatta mengatakan bahwa sampai saat
ini berbagai ulama ada yang mengharamkan pemungutan bunga. Dengan 3 Djejen Zainudin dan Suparta, Fiqh, (Semarang: Toha Putra, 1996), hlm. 71
4 M. Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam,alih bahasa Nastangin (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1997), hlm. 120
larangan itu maka hilanglah sendi tempat bank berdiri. Kalau bunga tidak boleh
dipungut, maka tidak dapat pula orang Islam untuk mendirikan bank. Lebih
lanjut ia juga berpendapat, ada pula ulama yang mengatakan, bahwa memungut
rente itu merupakan perbuatan yang tidak terpuji, tetapi apabila masyarakat
mengkehendakinya, rente itu dibolehkan juga. Hal seperti ini menimbulkan
pemahaman masyarakat tentang sifat hukum dalam Islam mempertimbangkan
buruk dengan baik. Jika lebih besar baiknya dari pada buruknya, hukumnya
menjadi harus, pekerjaan seperti itu diperbolehkan.5
Sementara Mirza Nurul Huda sebagaimana dikutip oleh A. Chatib,
memaparkan, bahwa satu segi kegiatan yang terpenting dari bank perdagangan
adalah menerima titipan uang dari orang-orang dan meminjamkan dengan
jangka pendek kepada orang lain guna menegakkan perdagangannya yang
direncanakan. Oleh karena itu, maka bunga bank berdiri dan ada untuk mencari
keuntungan. Apabila kita menghapus bunga—sebagaimana yang diwajibkan
oleh negara Islam—maka bagaimana bank akan bekerja.6
Dalam Islam telah mengharamkan adanya riba. Masyarakat masa awal
Islam belum mengenal sistem perbankan modern dalam arti praktis, sehingga
dalam menanggapi fenomena ini, terjadi pebedaan pendapat. Beda pandangan
dalam menilai permasalahan ini menimbulkan kesimpulan–kesimpulan hukum
yang berbeda pula, dalam hal boleh atau tidaknya, halal haramnya umat Islam
bermu’amalah dengan bank. Jika kembali kepada ajaran Islam di mana al-
5 Fuad M Fahruddin, Riba dalam Bank: Koprasi, Perseroan dan Asuransi, (Bandung: al-Ma’arif, 1985), hlm. 21
6 A. Chotib, Bank dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1962), hlm. 16
Quran sendiri telah melarang bentuk mu’amalah yang mengandung unsur riba.
Dasar persoalan riba dapat diketahui dengan jelas dan tegas dalam 3 ( tiga )
tempat :
1. Dalam al-Quran Surat al-Ruum : 39, sewaktu Nabi masih di Makkah di
hadapan orang Arab Musyrikin.
2. Dalam al-Quran Surat Ali Imran : 130-132, sewaktu Nabi sudah pindah ke
Madinah.
3. Dalam al-Quran Surat al-Baqarah : 275-280
Fenomena yang menarik kaitannya dengan ini adalah adanya respon dua
organisasi besar Islam Indonesia dalam menyikapi masalah bunga bank tersebut,
yaitu Nahdlatul Ulama melalui Bahsul Masail-nya dan Muhammadiyah dengan
Majlis Tarjih-nya. Salah satu keputusan hukum tentang bunga bank yang
selama ini telah beredar dalam kalangan umat Islam di antaranya adalah
keputusan Mu’tamar NU XII di Malang pada tanggal 12 Rabi’ah as-Sani 1356
H atau 25 Maret 1937 No 204, dan hasil sidang Majlis Tarjih Muhammadiyah
tahun 1968 di Sidoarjo.
Telah menjadi sebuah pertanyaan besar masalah bunga bank ini dalam
mu’tamar NU—terjadilah pembahasan yang begitu panjang tentang bagaimana
hukum menitipkan uang dalam bank, hingga kemudian pemerintah menetapkan
pajak kerena alasan mendapatkan bunga. Halalkah bunga itu? Dan bagaimana
hukumnya menitipkan uang dalam bank karena menjaga keamanan saja dan
tidak menginginkan bunga? Jawaban dari pertanyaan tersebut diambil dengan
merujuk pada keputusan Mu’tamar NU II di Surabaya pada tanggal 12
Rabi’ah as-Sani 1346 H atau 9 Oktober 1927 No. 28. yang memutuskan bahwa
hukum bunga bank dan sehubunganya itu sama dengan hukum gadai yang telah
ditetapkan dalam mu’tamar tersebut.
Di antara hasil keputusan Mu’tamar NU II di Surabaya, tentang gadai
telah menghasilkan tiga pendapat yaitu:
a. Haram: sebab termasuk hutang yang dipungut manfaatnya (rente).
b. Halal: sebab tidak ada syarat sewaktu akad, menurut ahli hukum yang
terkenal bahwa adat yang berlaku itu tidak termasuk menjadi syarat.
c. Syubhat (tidak tentu haram halalnya): sebab para ahli hukum masih terjadi
selisih pendapat.7
Sebagai catatan penting dalam keputusan mu’tamar tersebut—bahwa
untuk lebih berhati–hati ialah dengan mengambil pendapat pertama—yakni
yang telah mengharamkannya. Adapun menitipkan uang dalam bank karena
untuk keamanannya saja hukumnya makruh, dengan syarat apabila telah
diyakini kalau uang tersebut akan digunakan untuk hal-hal yang bertentangan
dengan ajaran agama.
Sementara keputusan Munas ‘Alim Ulama NU di Bandar Lampung
tanggal 21-25 Januari 1992. mengenai keputusan hukum bunga Bank ditempuh
melalui prosedur yang lebih metodologis lagi, sebagai penyeimbang keputusan
Muktamar NU XII di Malang. Adapun hasil keputusannya sebagai berikut :
a. Haram, kerena bunga bank dipersamakan dengan riba secara mutlak
7 Abu Hamdan Abdu al-Jalil Hamid, Ahkam al-Fuqaha’ fi al-Muqarrarat Mu’tamarat Nahdatu al-Ulama’, (Semarang: Toha Putra, t.t.), I:22. sebagai perbandingan lihat Abu Hamdan Abdu al-Jalil Hamid, Ahkam al-Fuqaha’ fi al-Muqarrarat Mu’tamarat Nahdatu al-Ulama’, (Semarang: Toha Putra, t.t.), II: 71.
b. Boleh, kerena bunga bank tidak dipersamakan dengan riba
c. Subhat, kerena masih belum jelas
Sementara itu, salah satu respon dari Muhammadiyah melalui keputusan
Majlis Tarjih tahun 1968 di Sidoarjo Jawa Timur tentang masalah–masalah fiqh
kontemporer (khususnya mengenai bunga bank) telah dilakukan dengan cara
berijtihad. Dalam berijtihad Majlis Tarjih menempuh tiga metode:
1. Ijtihad Bayani, yaitu menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat
dalam nash al-Quran dan al-Hadis
2. Ijtihad Qiyasi, yakni menyelesaikan kasus baru dengan cara
menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam nash
al-Quran dan al-Hadis
3. Ijtihad Istislahi, yakni menyelesaikan beberapa kasus baru yang tidak
terdapat dalam kedua sumber di atas, dengan cara menggunakan penalaran
yang didasarkan atas kemaslahatan.
Dalam menetapkan hukum bunga bank, Majlis Tarjih mangaitkannya
dengan masalah riba, apakah bunga bank identik dengan riba atau tidak?, untuk
memastikan jawaban tersebut, Majlis Tarjih menggunakan qiyas sebagai
metode ijtihadnya.8 Bagi Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba adalah
adanya pengisapan atau penganiayaan (az-Zulm) terhadap peminjaman dana.
Konsekuensinya, kalau ‘illat itu ada pada bunga bank, maka bunga bank sama
8 Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, cet. I (Jakarta: Logos Publishing House, 1995 ), hlm. 64
dengan riba dan hukumnya riba. Sebaliknya kalau ‘illat itu tidak ada pada bunga
bank, maka bunga bank bukan riba, kerana itu tidak haram.9
Bagi Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba disinyalir juga ada pada
bunga bank, sehingga bunga bank disamakan dengan riba dan hukumnya adalah
haram. Namun keputusan tersebut hanya berlaku untuk bank milik swasta.
Adapun bunga bank yang diberikan oleh bank milik negara pada para
nasabahnya atau sebaliknya, termasuk perkara musytabihat, tidak haram dan
tidak pula halal secara mutlak.10
Dari diskripsi di atas nampak bahwa kedua organisasi tersebut
mempunyai konsep yang berbeda bahkan berseberangan. Namun, keduanya
mempunyai sisi kesamaan yaitu demi kemaslahatan umat manusia, meskipun
implimentasinya juga berbeda. Perbedaan tersebut terjadi karena adanya sudut
pandang yang mempenagruhinya dalam menetapkan hukum tersebut.
Oleh karena itu penyusun tertarik untuk mencoba meneliti dan
menelusuri kembali permasalahan-permasalahan hukum bunga bank tersebut
menurut pendapat Nahdlatul Ulama melalui Bahsul Masail-nya dan
Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih-nya, dengan titik tekan pada permaslahan
dasar yang melatarbelakangi dari perbedaan tersebut mengenai bunga bank
adalah melalui metode pengambilan keputasan hukumnya yang diambil dari
segi kajian fiqhnya,
B. Pokok Masalah.9 Ibid., hlm. 125-126.
10 Urain selengkapnya dapat dilihat dalam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta: Persatuan, t.t), hlm 304-307
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penyusun perlu membatasi
rumusan pokok masalah yang diteliti agar mengfokus dan tidak meluas,
sehingga menjadi jelas. Adapun pokok masalahnya sebagai berikut :
1. Metode Istinbat hukum apakah yang digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU)
dan Muhammadiyah dalam memandang hukum bunga bank?
2. Bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah
mengenai hukum bunga bank dilihat dari segi hujjahnya?
C. Tujuan Dan Kegunaan.
Adapun tujuan dan kegunaan dari penyusunan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1. Tujuan penelitian .
a. Untuk menjelaskan metode istinbat apakah yang dipakai oleh Nahdlatul
Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam memandang hukum bunga bank
b. Untuk menggambarkan atau menjelaskan bagaimana pandangan
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah mengenai hukum bunga
bank dilihat dari segi hujjahnya.
2. Kegunaan dari penelitian adalah:
a. Bagi kehidupan secara umum, yaitu memberikan atau membangkitkan
pengertian dan kesadaran bagi kebanyakan masyarakat yang masih
beranggapan bahwa sistem perbankkan yang belaku sekarang ini masih
belum tepat atau mengena dengan ketentuan-ketentuan agama yang telah
diyakini karena hukum bunga bank masih menjadi perselisihan pendapat
dan juga agar mereka memiliki landasan yang kuat dalam menjalani
aktifitas perekonomian
b. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu syariah, yaitu
memberikan pemahamam yang kokoh bagi pemikiran hukum Islam
sebagai upaya untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah
kontemporer yang dihadapi umat Islam, khususnya masalah hukum
bunga bank.
D. Telaah Pustaka
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, menuntut para
ulama untuk melakukan restrukturisasi terhadap hazanah keislaman ke arah
yang lebih inovatif. Termasuk di dalamnya melakukan ijtihad di bidang fiqh
(hukum Islam) secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Mengingat
kedudukan dan fungsi ijtihad dalam yurisprudensi, maka kajian tentang fiqh
yang kontemporer akan selalu menjadi aktual.
Studi tentang NU dan Muhammadiyah telah banyak dilakukan baik dari
kalangan NU dan Muhammadiyah sendiri maupun dari luar serta telah
dikodifikasikan.11 Seperti halnya Kacung Maridjan, dosen Fisip Unair, ia
mengungkapkan bahwa dalam menghadapi perubahan-perubahan sosial yang
11 Studi tentang NU telah banyak dilakukan oleh banyak tokoh. Misalnya, M. Masyhur Amin menulis tentang sejarah berdirinya NU dan pasang surut perjalanan organisasi tersebut. Baca M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraan, cet. I (Yogyakarta: al-Amin Press, 1996), hlm. 55 dst. Kemudian lihat juga Khoirul Fathoni dan Muhammad Zein, NU Pasca Khittah: Prospek Ukhuwah dengan Muhammadiyah, cet. I (Yogyakarta: Media Mandala Manggala, 1992), hlm. 9. Topik ini juga dibahas dalam desertasi yang telah diterbitkan dalam sebuah buku. Lihat M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fiqh dalam Politik, cet. II (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 38-45.
begitu cepat, NU tidak menutup kemungkinan akan melakukan pembaharuan
(tajdid) bahkan islah pemikiran, dengan catatan bahwa pembaharuan tersebut
tetap berakar pada kaidah-kaidah yang telah dianutnya. Hal ini perna dilakukan
dalam Munas ‘Alim Ulama di Cilacap. Meskipun buku tersebut tidak
berorientasi terhadap tema pokok karya ini. Namun, Kacung Maridjan banyak
memaparkan mengenai hukum bunga bank menurut NU dalam beberapa kali
mu’tamar.12
Kajian yang lain dilakukan oleh Sugiri. Dalam skripsinya, dia meneliti
NU sebagai organisasi kerakyatan—meminjam bahasa Dawam Raharja—dari
segi penetapan hukum secara umum. Dia juga membahas istinbat hukum.
Dalam NU, kalimat istinbat tidak popular, apalagi dengan diartikan ijtihad. Hal
ini sulit dilakukan, karena adanya keterbatasan yang disadari oleh jami’iyyah.13
Salah satu buku yang dikeluarkan PBNU, Ahkam al-Fuqaha’ fi al-
Muqarrarat Mu’tamarat Nahdatu al-Ulama. Merupakan buku yang memuat banyak
tentang hasil-hasil keputusan mu’tamar yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama
dalam merespon berbagai masalah-masalah kontemporer mengenai hukum Islam.
Di antaranya adalah tentang bunga bank14
Sementara A. Wahid Zaini, pengarang buku dan kolomnis produktif,
dalam bukunya Dunia Pemikiran Kaum Santri secara gamblang dan detail
menjelaskan hukum tentang bunga bank yang telah diputuskan oleh Munas
12 Kacung Maridjan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Erlangga, 1992).
13 Sugiri, Studi Perbandingan Pelaksanaan Tata Cara Penetapan Hukum antara Majlis Tarjih Muhammadiyah dan Syuriah NU, skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1998.
14 Abu Hamdan Abdu al-Jalil Hamid, Ahkam al-Fuqaha’ fi al-Muqarrarat Mu’tamarat Nahdatu al-Ulama’, (Semarang: Toha Putra, t.t.).
‘Alim Ulama di Bandar Lampung, dan Majlis Tarjih Muhamdiyah di Sidorajo.
Dengan harapan agar forum kajian atau musyawarah yang diikuti oleh ulama
dan ahli-ahli perbankan agar kajiannya lebih komprehensip dan hasilnya
diharapkan lebih mendekati bahkan sesuai dengan realita yang ada. 15
Begitu juga dengan Majlis Tarjih Muhammadiyah yang bertugas
merespon dan memutuskan persoalan–persoalan hukum Islam termasuk
masalah–masalah kontemporer dengan metode ijtihadnya., di antaranya adalah
masalah yang telah menjadi tema pokok pembahasan penyusun yaitu mengenai
bunga bank. Di mana hasil keputusan–keputusan Majlis Tarjih tersebut
selanjutnya hasil keputusan-keputusannya dibukukan dalam Himpunan Putusan
Tarjih,16 di samping ada arsip–arsip tersendiri dari setiap Mu’tamar Tarjih.
Selanjutnya kajian yang lebih lengkap membahas tentang metode ijtihad
Majlis Tarjih adalah buku karya Fathur Rahman Djamil,17 buku ini secara detail
telah menyoroti ijtihad yang dilakukan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah
(khususnya tentang bunga bank) dengan berusaha untuk mengungkapkan
kegiatan-kegiatan Majlis Tarjih Muhammadiyah yang merupakan motor
penggerak tajdid Muhammadiyah.
Adapun penelitian ini tentunya berbeda dengan beberapa penelitian dan
buku yang tersebut di atas. Dalam penelitian ini, lebih difokuskan terhadap
penulusuran kajian tentang hasil dan keputusan mu’tamar Nahdlatul Ulama
15 A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri (Yogayakarta: LKPSM: 1994).
16 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah,, (Yogyakarta: Persatuan, t.t.).
17 Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, cet. I ( Jakarta : Logos Publishing House, 1995 ).
(NU) dan Muhammadiyah tentang bunga bank, dalam kapasitas keduanya
sebagai representasi pemberlakuan hukum Islam dan merupakan organsisi
Islam terbesar di Indonesia
E. Kerangka Teoretik.
Dewasa ini perbincangan mengenai riba di kalangan negeri dan para
pemikir Islam mulai mencuat kembali. Sehingga upaya-upaya melakukan usaha
yang bertujuan menghindari persoalan riba mulai dilakukan. Istilah dan persepsi
mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam. Orang sering lupa bahwa hukum
larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang Muslim Amerika, Cyril
Glasse, bahwa riba tidak diberlakukan di negeri Islam modern manapun.
Sementara itu kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa di dunia Kristenpun,
selama satu milenium, riba adalah barang yang terlarang dalam pandangan para
teolog, cendekiawan maupun menurut undang-undang yang ada.18
Di sisi lain, apabila dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek
riba yang merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai
penguasa terpaksa melakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis
pembungaan uang.19 Perdebatan panjang di kalangan ahli fiqh tentang riba
belum menemukan titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan
18 Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer, cet. I ( Yogyakarta: UUI Pres, 2000), hlm. 143.
19 Ibid., hlm. 143-144.
yang kuat. Akhirnya timbul pendapat yang bermacam-macam mengenai bunga
bank dan riba.
Apakah sama persoalan “Riba” dengan “Bunga” itu? Pada lahirnya
memang sama saja rupanya, kedua-duanya adalah bunga dari pada harta yang
dipinjamkan. Akan tetapi pada sifatnya dalam kemajuan masyarakat sampai
sekarang ada perbedaan yang cukup besar.20 Pro dan kontra sekitar hukum
bunga bank bukan saja terjadi di kalangan sarjana muslim.
Sebagaimana dikatakan Charles Gide, seorang ahli politik dan filsafat,
menyebutkan, bahwa semua agama, lebih-lebih Islam, telah mengharamkan
riba. Memang sudah sewajarnya apabila riba itu diharamkan. Sebab ketika itu,
orang berhutang hanya semata-mata untuk mencukupi kebutuhan hidup
kesehariannya yang sangat mendesak, bukan untuk modal usaha, sebagaimana
yang banyak dilakukan orang masa sekarang.
Sejalan dengan apa yang diungkapkan Gide, Hatta sebagaimana
dijelaskan A. Chotib, juga membedakan antara pinjaman yang terjadi di masa
agraris, ketika periode bercocok tanam, yang umumnya orang meminjamkan
uang bukan untuk modal usaha melainkan hanya karena keterpaksaan untuk
menutupi kebutuhan hidup. Sementara untuk masa sekarang, orang meminjam
uang umumnya bertujuan untuk modal usaha. Atau bunga yang semata-mata
konsumtif adalah riba sedangkan bunga yang sifatnya produktif adalah sebagian
20 A. Chatib, Bank dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 38.
dari keuntungan yang diperoleh dengan bantuan orang lain (bunga), jadi bunga
produktif menurut Hatta adalah boleh.21
Dalam tafsir al-Manar, Abduh (w-1905 M) dan di dalam fatwa-
fatwanya, sebagaimana dicatat ‘Ammarah, menyebutkan bahwa Muhammad
Abduh membolehkan menyimpan uang di bank dan juga boleh mengambil
bunga simpanannya, dengan kata lain ia mehalalkan bunga bank.22 Hal ini
menurutnya, didasarkan pada maslahah-mursalah (kesejahteraan). Larangan
riba menurut Muhammad Abduh adalah untuk menghindari adanya unsur
eksploitasi dan menghindari memakan harta orang lain secara batil (al-Baqarah :
188).
Sementara bunga bank, menurut Abduh tidak menimbulkan adanya
pemerasan dan tidak ada persamaannya dengan apa yang diharamkan al-Qur’an
(al-Baqarah :188). Alasan lain yang menghalalkan menabung uang dan
sekaligus mengambil bunga bank, menurut Abduh ada tiga alasan yaitu
Pertama, karena dengan keberadaan perbankan yang ada sekarang tidak
menciptakan penindasan, malahan sebaliknya mendorong kemajuan
perekonomian. Kedua, bahwa menyimpan uang di bank, pada intinya sama
artinya dengan perkongsian dalam bentuk lain. Ketiga, mendorong orang untuk
maju di segala bidang, termasuk ekonomi, adalah sikap yang sangat dianjurkan
21 Ibid.
22 Sebagaimana dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, cet, I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.59.
dalam Islam. Sedangkan operasi dan jasa bank yang ada sekarang tampaknya
memang mendorong kemajuan ekonomi.23
Salah satu ulama Indonesia, yang menghalalkan bunga bank, menurut
catatan Khoiruddin Nasution selanjutnya adalah H. Abdullah Ahmad, seorang
ulama yang berasal dari Padang, Sumatera Barat. Dia mengatakan, bunga bank
boleh diambil dengan syarat, persentase bunga tersebut diumumkan lebih
dahulu, sehingga jika bunga diumumkan sebelumnya maka berarti seorang yang
meminjam rela dengan bunga yang diumumkan.24 Di sini sebagai tambahan,
hendaknya agar prosentase bunga hendaknya selalu dikontrol oleh pemerintah
agar bank dalam menetapkan bunga tidak sembarangan, namun mengikuti UU
pemerintah
Sementara A. Hasan, pemimpin Perguruan Persis Bangil, Jawa Timur,
mengatakan bahwa riba yang haram, menurutnya, mempunyai sifat :25
1. Terpaksa, yaitu orang terpaksa menunda hutang karena tidak mampu
membayar dan pihak si peminjam menerima dengan syarat ada
bayaran tambahan.
23 Ibd., hlm. 61-62
24 Ibid., hlm. 69-70
25 A. Hasan. Soal-Jawab: Tentang Berbagai Masalah Agama, (Bandung: Diponegoro, 1983), hlm. 368-369.
2. Darar, yaitu pinjaman yang sekiranya digunakan untuk berdagang
dengan uang tersebut tidak akan bisa untuk yang cukup buat makan,
minum dan bayar hutang.
3. Berlipat ganda.
Adapun yang dihalalkan sifat-sifatnya adalah:
1. Tidak ganda-berganda.
2. Tidak membawa kepada ganda berganda.
3. Tidak mahal, artinya sekiranya orang berusaha dengan uang tersebut
tidak akan membawa kepada kerugian.
4. Pinjaman yang produktif.
Sedangkan pada tokoh yang kontra terhadap bunga bank, di antaranya
adalah Mahmud Abu Su’ud, penasihat bank Pakistan, mengungkapkan bahwa
bunga itu ditinjau dari segi moril dan materiil adalah memberi kemelaratan, segi
morilnya ialah pengakuan dari para ahli ekonomi bahwa bunga itu memberi
kemelaratan yang besar kepada rakyat dan segi materiilnya ialah bahwa
kebanyakan orang yang meminjam uang itu orang-orang kaya, dan mengambil
bunga dari orang-orang miskin yang meminjam uang itu tidak selayaknya.
Selanjutnya, Afif Abdulfatah Tabbarah berpendapat bahwa memungut
bunga dari bank adalah haram, karena bunga itu riba. Agama Islam sudah
menetapkan bahwa modal dan usaha itu harus bersekutu di dalam untung dan
rugi. Dan memungut bunga yang tetap itu berarti bahwa modal itu selalu
mendapat untung, meskipun usahanya rugi.
Tokoh yang berpendapat bahwa bunga itu haram karena sangat
berpegang teguh pada konteks al-Qur’an (dalam arti konteksnya bukan
maknanya) yang mana al-Qur’an dan as-Sunnah—dua sumber pokok Islam
melarang keras adanya bunga karena kezalimannya (QS. al-Muzammil dan QS.
al-Baqarah) dan mengatakan bahwa beberapa orang Islam terpelajar yang silau
oleh pesona lahiriyah peradaban Eropa mengatakan bahwa yang dilarang Islam
adalah riba bukan bunga. Oleh karenanya Daoualibi, seorang ahli politik dan
jurnalis Syiria mengatakan, Islam semestinya membedahkan antara bunga yang
dihubungkan dengan tujuan produktif dan konsumtif. Bagi pinjaman yang
berhubungan dengan usaha dan tujuan produktif, seperti untuk tujuan dangang
atau usaha yang lainya, maka menjadi pantas untuk mendapatkan bagian dari
keuntungan yang diperoleh si peminjam. Sebaliknya, untuk pinjaman yang
sifatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari peminjam, maka tidak
dipungut bunga dan digunakan prinsip saling tolong menolong.26
Kemudian menurut M. Abdul Manan, dalam bukunya “Teori dan
Praktek Ekonomi Islam”, menyebutkan bahwa riba dengan nama bunga bank
tidak akan mengubah sifatnya, karena bunga adalah suatu tambahan modal yang
dipinjam, karena itu ia adalah riba baik dalam jiwa maupun peraturan hukum
Islam. Dan ia menambahkan sebetulnya, tidak ada perbedaan yang cukup
26 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, hlm. 63.
mendasar antara bunga dan riba. Islam dengan tegas melarang semua bentuk
bunga betapapun hebat, dan meyakinkannya nama yang diberikan kepadanya.27
Tetapi dalam ekonomi kapitalis bunga adalah pusat berputarnya sistem
perbankan. Dikemukan juga bahwa tanpa bunga, sistem perbankan menjadi
tidak bernyawa, dan seluruh kegiatan perekonomian akan lumpuh. Sedangkan
Islam adalah kekuatan dinamis dan progresif, dan jelas dibuktikan bahwa
konsep Islam tentang suatu sistem perbankan bebas bunga lebih unggul dari
pada perbankan modern. Pada taraf ini dapat ditetapkan bahwa suku bunga sama
sekali tidak ada hubungan dengan pengaruh volume menabung.
K.H. Mas Mansur, pernah menjabat sebagai Ketua Umum PP
Muhammadiyah, berpendapat, bahwa bunga bank, mendirikan bank, mengurus,
mengerjakan dan berhubungan dengan bank adalah haram. Sementara, M.
Bustami Ibrahim (Medan) adalah ulama Indonesia lain, yang mengharamkan
bunga bank. Dalam upaya menolak bunga bank, ia berkata:
“Kita tidak usah berkilah ke sini dan kemari untuk mencari-cari jalan. Sebab Allah Maha Tahu apa yang tersembunyi dibalik itu, yang sama sekali di luar kemampuan manusia. Kita sudah melihat dengan mata kepala sendiri tentang apa manfaat dan kemudaratan bank. Maka walau bagaimana pun keadaan memaksanya, yang haram tetap haram. Sejalan dengan itu, dalam hal bank, sedikit dan banyak, dengan langsung atau perantara hukumnya adalah tetap haram.”28
Perlu dicatat, bahwa larangan adanya bunga tidak lebih dari pada sebuah
usaha proteksi terhadap orang lemah dan melawan eksploitasi yang sekaligus
27 Abdul Manan, Teori dan Praktek, hlm. 165.
28 Sebagaimana dikutip A. Chatib, Bank dalam Islam, hlm. 93.
mendorong penanaman modal dan buruh untuk bekerja sama dengan sebutan
Mudarabah.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan sekripsi ini digunakan jenis penelitian pustaka
(library research), yaitu penelitian yang menjadikan bahan kepustakaan ini
dijadikan sebgai sumber (data) utama, baik data primer maupun sekunder.
2. Sifat Penelitian
Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif,29 analitik dan komparatif.
Penelitian ini berusaha memaparkan tentang hukum bunga bank secara
umum sebelum akhirnya akan mendeskripsikan kerangka pendapat dua
organisasi yang diteliti yaitu NU lewat Bahsul Masail-nya dan
Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih-nya, melalui data yang diperoleh,
kemudian dilakukan analisis interpretasi tentang bagaimana metode
pengambilan keputusan hukum yang dilakukan oleh kedua organisasi
tersebut dengan membangun korelasi yang dianggap signifikan. Kemudian
menjelaskan mengenai persamaan dan perbedaan pandangan tentang
keharaman dan kebolehan mengambil bunga bank
3. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam memperoleh data adalah
menggunakan pendekatan normatif, yaitu suatu usaha untuk menjelaskan
29 ) Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, cet. XIII (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), hlm. 6
tentang keharaman dan kebolehan mengambil bunga di bank dengan melihat
keputusan hukum yang dimiliki NU dan Muhammadiyah dipandang dari
sisi hukum Islam. Artinya, penelitian ini juga dapat dilihat baik dari kaidah
ushuliyah maupun fiqhiyyah. Hal ini penting, karena masalah bunga bank
merupakan satu bagian dari kajian Islam (fiqh) dan merupakan salah satu
persoalan kontemporer dari sekian banyak persoalan atau masalah-masalah
baru.
4. Pengumpulan Data
Karena penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, maka
pengumpulan data adalah dengan mengumpulkan karya-karya dari kedua
organisasi tersebut. Adapun data primer, dalam NU adalah diambil dari hasil
Keputusan Mu’tamar NU XII di Malang pada tanggal 12 Rabi’ah as-Sani
1356 H atau 25 Maret 1937 No 204. Sedangkan Muhammadiyah, dari hasil
Keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo Jawa
Timur. Sementara data sekunder diambil dari buku-buku yang dikarang
oleh tokoh-tokoh lain yang dapat mendukung pendalaman dan ketajaman
dalam analisis penelitian ini.
5. Analisis Data
Dalam menganalisis dan menginterpretasikan data yang telah
terkumpul. penyusun menggunakan cara berfikir komparasi. Komparasi,
yaitu yakni membandingkan sebuah pendapat dengan pendapat yang lain
tentang hal yang sama (hukum bunga bank), baik yang memiliki nuansa
pemikiran yang hampir sama atau bahkan yang sangat bertentangan.30
Dalam penelitian ini, Pendapat NU dikomparasikan dengan pendapat
Muhammadiyah, sehingga dapat diketahui persamaan maupun perbedaan
pendapat keduanya dan dapat ditarik suatu kesimpulan yang konkrit tentang
persoalan yang diteliti.
G. Sistematika Pembahasan.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan pokok-pokok bahasan
secara sistematis yang terdiri dari lima bab dan pada tiap-tiap bab terdiri dari
sub-sub sebagai perinciannya. Adapun sistematika pembahasannya adalah
sebagai berikut :
Bab satu (I) merupakan pendahuluan yang berisi: pertama, latar
belakang masalah yang memuat alasan-alasan pemunculan masalah yang
diteliti. Kedua, pokok masalah merupakan penegasan terhadap apa yang
terkandung dalam latar belakang masalah. Ketiga, tujuan yang akan dicapai dan
kegunaan (manfaat) yang diharapkan tercapainya penelitian ini. Keempat, telaah
pustaka sebagai penelusuran terhadap literatur yang telah ada sebelumnya dan
kaitannya dengan objek penelitian. Kelima, kerangka teoretik menyangkut pola
fikir atau kerangka berfikir yang digunakan dalam memecahkan masalah.
Keenam, metode penelitian berupa penjelasan langkah-langkah yang akan
ditempuh dalam mengumpulkan dan menganalisis data. Ketujuh, sistematika
pembahasan sebagai upaya yang mensistematiskan penyusunan.
30 Anton Bakker dan Achmad Charis Zubar, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta : Kanisius, 1992), hlm. 71.
Selanjutnya, tahap kedua yaitu isi, terdiri dari tiga bab, yakni bab II, III,
dan IV. Bab kedua mengulas tentang gambaran umum masalah bunga bank. Hal
ini diperlukan untuk memberikan gambaran tentang keberadaan dan praktek
bunga bank saat ini. Bab ini terbagi atas enam sub, pertama, membahas sejarah
bunga bank. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kapan bunga bank itu ada
(dari masa pra-Islam hingga datangnya Islam). Kedua, bagaimana Islam menilik
pengertian dan landasan hukum bunga bank. Ketiga, membahas mengenai
macam-macam riba dan dampaknya. Keempat, menjelaskan betapa pentingnya
fungsi bank dalam kegiatan transaksi ekonomi dan kehidupan modern ini.
Kelima, menerangkan sejauhmana perbedaan bank konvensional dan bank Islam
dan, Kelima, mengupas mengenai riba, bunga bank dan masyarakat Indonesia.
Pemaparan ini perlu untuk memahami akibat hukum yang timbul dari
dilaksanakannya praktek bunga bank dalam masyarakat Indonesia sekarang.
Sedangkan bab ketiga membahas pandangan Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah mengenai bunga bank ditinjau dari hukum Islam. Hal ini
diperlukan karena pada dasarnya penelitian ini terfokus pada praktek bunga
bank tersebut. Bab ini terbagi menjadi menjadi tiga sub, pertama, mengulas
tentang sejarah dan latarbelakang lahirnya Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah ditinjau dari segi sosial-kemasyarakatannya. Kedua,
menjelaskan pokok-pokok pikiran Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Kelima, mengupas pandangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah tentang
bunga bank. Hal ini dimaksudkan untuk memahami secara utuh atau mnyeluruh
terhadap pandangan kedua organisasi tersebut dalam merespon praktek
pembungaan dalam bank konvensional.
Selanjutnya, bab keempat, memuat pendapat NU maupun
Muhammadiyah yang berkenaan dengan segi-segi persamaan dan perbedaan
antara keduanya tentang bunga bank dalam kerangka perbandingan (komparatif)
ditinjau dari segi ketentuan hukum dan metode yang digunakan (istinbatnya).
Sehingga dari ulasan ini diharapkan akan ada kejelasan bagaimana hukum Islam
memandang keberadaan bunga bank.
Bab kelima (V) sebagai bab terakhir dari keseluruhan rangkaian
pembahasan, memaparkan kesimpulan dan pembahasan bab-bab sebelumnya
sehingga memperjelas jawaban terhadap persolan yang dikaji serta saran-saran
dari penulis berkenaan dengan pengembangan keilmuan agar dapat mencapai
hal-hal yang lebih baik dan lebih maju.
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG BUNGA BANK
A. Sejarah Bunga Bank Konvensional.
Bangsa-bangsa dahulu telah mengenal bank, tetapi bank ini berlainan
dengan bank modern, sesuai dengan awal tingkat kejadiaannya transaksi di
waktu itu. Saat itu belum ada mata uang dan baru muncul pada abad
pertengahan, maka timbullah lembaga perbankan yang mereka gunakan
sebagai alat mata uang, pertukaran uang dengan yang lain dan
penyimpanan. Hal ini sesuai dengan tingkat kemajuan yang mereka capai
pada saat itu. Mereka belum mengoperasikan uang yang didepositokan pada
para bankir. Kemudian para bankir berpendapat bahwa adalah lebih baik
kalau uang tersebut sebagian mereka kelola, karena pada umumnya pemilik
uang tidak menginkan uang yang mereka titipkan itu dioperasikan. Sehingga,
dengan uang yang dititipkan itu mereka dapat mengoperasikannya dalam
jumlah tertentu, seraya mereka pun dapat mengembalikan uang titipan ini
pada saat penitipnya memintanya kembali. Dengan cara semacam ini, penitip
(deposan) tidak mengetahui bahwa uangnya telah dioperasikan atau
dikembangkan oleh si bankir, karena yang bersangutan dapat
mengembalikan kepada pemiliknya kapan saja uang itu ditariknya kembali,
karena uang yang dititipkan pada si bankir itu banyak, sehingga ia dapat
memperbesar operasinya dan mendatangkan keuntungan yang besar pula.1
Dengan demikian si bankir berpendapat bahwa suatu hal yang
menguntungkan bagi dirinya kalau penitip uang (deposan) diberi bagian dari
keuntungan uang yang mereka titipkan kepadanya, sehingga uang mereka
pun berkembang pula, dengan cara ini, si penitip memperoleh keuntungan
dan si bankir juga mendapatkan untung yang jauh lebih besar. Bilamana si
deposan tidak diberi keuntungan, barangkali mereka tidak akan menitipkan
uangnya lagi pada si bankir atau tidak mengizinkan untuk dikembangkan.
Karena itu, akhirnya orang-orang lain dapat digalakkan untuk menitipkan
uang mereka padanya, sehingga akan bertambah investasi dan
keuntungannya. Dari sinilah kemudian lahir gagasan lembaga perbankan
modern (bank konvensional). Yang menjadi sandaran paling besar bagi
kelangsungan hidup perbankan adalah deposito, sekalipun bersandar juga
pada dua sumber lain, yaitu:2
1. Modal, meliputi modal yang diberikan pemegang saham dan modal yang
didapat dari keuntungan.
2. Kredit, hal ini dilakukan oleh bank-bank dagang bila membutuhkan
modal, dan dipinjam dari bank sentral atau bank lain.
Menurut catatan sejarah, usaha perbankan sudah dikenal kurang
lebih 2500 tahun sebelum masehi dalam masyarakat Mesir Purba dan Yunani
1 Abu Sura’i Abdul Hadi, Bunga Bank dalam Islam, alih bahasa M. Tholib, (Surabaya: al-Ikhlas, 1993), hlm. 95.
2 Ibid., hlm. 96.
Kuno, kemudian masyarakat Romawi.3 Karena itu, sepantasnya kalau Plato
(427-347 SM) sudah berbicara tentang bahaya rente. Perkembangan bank
modern mulai berkemabang di Italia dalam abad pertengahan yang dikuasai
oleh beberapa keluarga untuk pembiayaan kepausan dan perdagangan wol,
kemudian perbankan berkembang pesat sesudah memasuki abad ke-18 dan
19.
Bank diambil dari kata banco, bahasa Italia, artinya meja.4 Dulu para
penukar uang (money changer) melakukan pekerjaan mereka di pelabuhan-
pelabuhan tempat para kelasi kapal datang dan pergi, para pengembara, dan
wiraswastawan turun-naik kapal. Money changer itu meletakkan uang di
atas sebuah meja (banco) di hadapan mereka. Aktivitas di atas banco inilah
yang menyebabkan para ahli ekonomi menelusuri sejarah perbankan,
mengaitkan kata banco dengan lembaga keuangan yang bergerak dalam
bidang ini dengan nama “bank”. Dengan demikian, bank di sini berfungsi
sebagai penukaran uang antar bangsa yang berbeda-beda mata uangnya.5
Secara kultural, tiap peradaban manusia sebenarnya menolak
keberadaan bunga bank. Apalagi dengan legitimasi ajaran agama, penolakan
pun semakin kuat. Akan tetapi, kepentingan pragmatis ekonomi kapitalis
meluluhlantakkannya. Para ulama fiqh mulai membicarakan tentang bunga
3 Usia lembaga perbankan sebenranya sudah tua, sejak awal hingga sekarang, bank mengalami perkembangan melalui tahapan-tahapan. Perkembangannya dapat diklasifikasikan menjadi empat tahap, yaitu; (1) Sebelum tahun 500 (2) Antara tahun 500 sampai dengan tahun 1500 (3) Antara tahun 1550 sampai dengan tahun 1750 dan (4) Antara 1750 sampai sekarang. Lihat Soetatwo Hadiwigeno, Lembaga-lembaga Keuangan dan Bank, (Yogyakarta: UGM Press, 1984), hlm. 15-67
4 M. Zuhri, Riba dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan: Sebuah Tilikan Antisipatif, cet.I (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 142-143.
5 Ibid.
bank (riba), ketika mereka memecahkan berbagai macam persoalan muamalah.
Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan riba sesuai dengan periode
larangan. Sampai akhirnya datang larangan yang tegas pada akhir periode
penetapan hukum riba. Riba pada agama-agama langit (samawi) telah
dinyatakan haram, sebagaimana yang tertuang dalam Perjanjian Lama Kitab
Keluaran ayat 25 pasal 22: “Bila kamu menghutangi seseorang di antara warga
bangsamu uang maka janganlah kamu berlaku laksana seorang pemberi
hutang, jangan kamu meminta keuntungan padanya untuk pemilik uang.”
Namun orang Yahudi beranggapan bahwa riba itu hanyalah terlarang kalau
dilakukan di kalangan sesama Yahudi. Tetapi tidak terlarang dilakukan terhadap
non-Yahudi. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Kitab Ulangan ayat 20 pasal
23.6
Kapan sebenarnya manusia mulai mempraktekkan riba? Tak ada
catatan pasti tentang ini. Yang jelas, pada masa Nabi Musa AS. orang-orang
Yahudi dilarang mempraktekkan bunga. Larangan ini, terdapat di Old
Testament (Perjanjian Lama) dan UU Talmud. Di antaranya, Kitab
Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19: “Janganlah engkau
membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan atau
apa pun yang dapat dibungakan”.7
Larangan serupa juga tercantum di Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22
ayat 25 dan Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7. Ini menunjukkan, sebelum
turunnya larangan ini, manusia telah mempraktekkan riba. Apalagi dalam al-
Qur’an surat an-Nisa’: 160-161 ditegaskan bahwa Allah akan memberikan
azab yang keras kepada orang-orang Yahudi yang memakan riba. Jadi,
6 Sebagaimana dikutip Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer, cet. I ( Yogyakarta: UII Pres, 2000), hlm. 144.
7 Dwi Hardianto, Sejarah Riba dari Masa ke Masa, www.sabili.or.id, hlm, 1
sebelum dan hingga masa Nabi Musa AS, manusia telah mempraktekkan
riba.8
Pada masa Yunani (abad VI SM–I M), terdapat beberapa jenis bunga
yang besarnya dikategorikan menurut kegunaannya. Untuk pinjaman biasa
antara 6-18%, pinjaman properti 6-12%, pinjaman antar kota 7-12%, sedang
pinjaman perdagangan dan industri 12-18%. Tapi, praktek ini dicela dua ahli
filsafat, Plato dan Aristoteles. Plato beralasan, penerapan bunga menyebabkan
perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Selain itu, lanjut Plato,
bunga merupakan alat kelompok kaya untuk mengeksploitasi masyarakat
miskin. Sedangkan Aristoteles menyatakan, uang adalah alat tukar, bukan alat
untuk menghasilkan tambahan melalui bunga. Sehingga, pengambilan bunga
secara tetap merupakan ketidakadilan.
Meski dikecam, praktek riba kian tumbuh subur, terutama pada masa
Romawi (Abad V SM–IV M). Bahkan, saat Unciaria (342 SM) berkuasa di
Byzantium, praktek bunga malah dilegalkan dengan UU. Dalam UU itu,
masyarakat dibolehkan mengambil bunga selama tingkat bunganya sesuai
dengan tingkat maksimal yang dibenarkan UU’ (maximum legal rate). Meski
begitu, pengambilannya tidak boleh dengan cara bunga-berbunga (double
countable). Bunga yang dikenal saat itu adalah: bunga maksimal 8-12%, bunga
pinjaman biasa di Roma dan pinjaman khusus Byzantium 4-12%, sedangkan
bunga untuk daerah taklukan mencapai 6-100%.9
8 Ibd.
9 Ibid., hlm 2
Ibnu Abi Zayd (w 136 H754 M) mengungkapkan bahwa praktek riba
juga melanda bangsa Arab pra-Islam, di mana riba dilakukan dengan berlipat
ganda baik terhadap uang maupun berbagai macam komoditi, serta perbedaan
umur berlaku bagi binatang ternak. Apabila sudah mencapai jatuh tempo, pihak
piutang (kreditur) akan menanyakan kepada pihak yang berutang (debitur),
apakah engkau akan melunasi sekarang atau menambah pembayaran jumlah
utang yang engkau pinjam? Jika pihak debitur mempunyai sesuatu maka ia akan
membayarkannya, tetapi jika hutangnya berupa binatang ternak, maka umurnya
dapat meningkat (pada waktu pembayarannya). Apabila hutangnya berupa uang
atau jenis komoditi lain, maka ia dapat meningkatkan dengan berlipat ganda
pada waktu pengambilannya dalam jangka setiap tahun. Bila debitur tidak dapat
membayarnya, maka hutang tersebut dapat berlipat lagi, misalnya hutang 100
dalam satu tahun dapat meningkat menjadi 200, jika tidak dibayar pada tahun
berikutnya, hutang akan akan meningkat lagi secara berlipat ganda menjadi
400. jelasnya, keterlambatan hutang akan bertambah berlipat ganda pada setiap
tahunnya.10
Sementara, di belahan dunia yang lain, pada rentang waktu yang hampir
bersamaan, di saat gereja masih mengharamkan riba (abad I–XII M), ternyata
telah berkembang dengan pesat praktek perekonomian tanpa riba. Praktek ini,
dimulai setahap demi setahap seiring keberhasilan dakwah Rasulullah SAW
hingga terbentuknya negara Islam pertama di Madinah (sekitar tahun 3 H).
10 Sebagaimana dikutip oleh Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, alih bahasa Muhammad Ufuqul Mubin. cet I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 38
Pelarangan total terhadap riba ini pun tercantum dengan tegas dalam QS. ar-
Rum: 39, an-Nisa: 160-161, Ali Imran: 130, al-Baqarah: 278-279 dan Hadis-
hadis Nabi sendiri. 11
Sepeninggal Rasulullah SAW. Seiring meluasnya pengaruh dan
kekuasaan Islam hingga 2/3 dunia, perekonomian dan perdagangan di negeri-
negeri Islam pun kian pesat berkembang. Di masa itu bermunculan ekonom-
ekonom muslim yang tetap konsisten memandang riba itu haram dan keji.
Misalnya, Abu Yusuf (182 H/798 M) dengan kitabnya al-Kharraj yang
membahas keuangan publik dan akuntansi syariah. Kemudian, al-Gazali (451-
505 H/1055-1110 M) dengan kitabnya Ihya’ Ulumu ad-Din, Ibnu Taimiyah
(661-728 H/1263-1328 M) dengan kitabnya al-Hisbah tentang konsep harga
yang adil, hingga Shah Waliyullah (1114-1176 H/1703-1762 M) dengan
kitabnya al-Baliqa tentang rasionalisasi pendapatan.
Tetapi, prinsip keadilan dan kebersamaan yang dibangun oleh sistem
ekonomi Islam, akhirnya harus tersingkir dari peta perkembangan ekonomi
dunia yang kian kapitalistik dan pragmatis. Melunturnya praktek ekonomi tanpa
riba di sebagian besar negeri muslim, berjalan berkelindan dengan menurunnya
pamor dan kekuasaan negeri-negeri muslim di belahan dunia mana pun.
Puncaknya terjadi pada 4 November 1922, ketika Daulah Usmaniyah Turki
sebagai pemegang amanah kekhalifahan harus rela melepas kekuasaannya,
setelah berkuasa selama 633 tahun di Asia, Eropa, dan Afrika.
Seiring perjalanan waktu, kekejian sistem riba secara ekonomi maupun
sosial, mulai terkuak ke permukaan. Publik pun mulai melirik kembali sistem
11 Dwi Hardianto, Sejarah Riba,. hlm. 2-3.
ekonomi tanpa riba yang pernah dicampakkannya. Akhirnya, dunia Islam pun
merespon ramai-ramai keinginan umat untuk kembali hidup tanpa riba. Tak
heran, di penghujung tahun 1970-an, beberapa negara Islam mulai
mengembangkan industri keuangan tanpa riba. Apalagi setelah berdiri Bank
Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB), sebagai hasil dari
Sidang OKI di Karachi, Pakistan, Desember 1970.12
Pada akhirnya, ulama pun terlibat aktif untuk mendukung kembalinya
sistem tanpa riba ini. Tak heran, jika kemudian ulama-ulama sedunia
mengeluarkan fatwa yang pada intinya menegaskan kembali bahwa bunga (riba)
apa pun bentuknya tetap haram, sedikit atau banyak. Di antara fatwa itu adalah:
Pertama, fatwa dari Pertemuan OKI di Karachi tahun 1970. Kedua, Fatwa
Kantor Mufti Negara Mesir tahun 1989 hingga 1900 yang memutuskan bunga
bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan. Ketiga, Konferensi II
Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) di Universitas Al-Azhar, Cairo, Muharram
1385 H/Mei 1965 menetapkan, tak ada keraguan sedikit pun atas keharaman
praktek membungakan uang seperti dilakukan oleh bank-bank konvensional.
Keempat, Fatwa Lembaga Fiqh Rabitah Alam Islami Makkah dan Konferensi
Islam Internasional di Jedah tahun 1976.13
B. Pengertian dan Landasan Hukum Bunga Bank.
Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest. Secara
istilah sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan, bahwa 12 Ibid., hlm 3.
13 Uraian selengkapnya lihat Anwar Abbas “Hukum Bunga Bank Konvensional”, makalah disampaikan pada diskusi Majlis Tarjih tentang Bunga Bank, diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah, Jakarta, 22 Desember 2003, hlm 4-6.
“interest is a charge for a financial loan, usually a percentage of the amount
loaned”. Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya
dinyatakan dengan presentase dari uang yang dipinjamkan. Pendapat lain
menyatakan “interest yaitu sejumlah uang yang dibayar atau dikalkulasi untuk
penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan degan satu tingkat
atau prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang sekarang sering
dikenal dengan suku bunga modal“.14
Ada yang memebedakan antara riba dan rente (bunga) seperti
Mohammad Hatta. Mantan Wakil Presiden RI, sebagaimana dikutip oleh
Masjfuk Zuhdi, menerangkan bahwa riba adalah untuk pinjaman yang bersifat
kosumtif, sedangkan rente adalah untuk pinjaman yang bersifat produktif,
demikian pula istilah usury dan interest, bahwa usury ialah bunga pinjaman
yang sangat tinggi, sehingga melampaui suku bunga yang diperbolehkan oleh
hukum. Sedangkan interest ialah bunga pinjaman yang relatif rendah. Tetapi
dalam realitas atau praktek menurut Maulana Muhammad Ali adalah sukar
untuk membedahkan antara usury dan interest, sebab pada hakekatnya kedua-
keduanya memberatkan bagi para peminjam.15
Oleh karena itu, apabila menarik pelajaran sejarah masyarakat Barat,
terlihat jelas bahwa “interest” dan “usury” yang telah dikenal saat ini pada
hakikatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam
prosentase. Istilah usury muncul karena belum mapannya pasar keuangan pada
14 Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan, hlm. 146-147.
15 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah,cet VIII (Jakarta: Surya Grafindo, 1998), hlm, 103.
zaman itu sehingga penguasa harus menetapkan suatu tingkat bunga yang
dianggap wajar. Namun setelah mapannya lembaga dan pasar keuangan, kedua
istilah itu menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat bunga di pasar yang
sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran.16
Berbicara mengenai bunga bank, maka tidak bisa lepas dari yang
namanya riba. Dan kata riba itu sendiri dari bahasa Arab yang secara etimologis
berarti “tambahan” (az-Ziyadah)”.17 atau “kelebihan”18—yakni tambahan
pemabayaran atas uang pokok d pinjaman. Ada pendapat lain yang mengatakan
bahwa riba merupakan kelebihan sepihak yang dilakukan oleh salah satu dari
orang yang sedang bertransaksi.
Pengertian riba di atas masih sangat umum sifatnya, dan belum
memberikan ketentuan jenis riba apa yang diharamkan. Untuk mendekatkan
pemahaman, ada ulama yang berependapat pentingnya melihat dan
mempertimbangkan kata sandang yang ada dalam kata riba, di dalam al-Qur’an,
dengan melihat fungsi kata sandang tersebut, diharapkan akan memperoleh
pemahaman yang lebih mendekati pada kebenaran.
16 Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan, hlm. 147
17 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, cet, I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 37 sebagai perbandingan lihat Imam Taqiyuddin dalam kitabnya Kifayah al-Akhyar fi Halli Gayati al-Ikhtisar, (ttp: Darul Haya, tt), hlm. 246.
18 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, hlm. 102. Sementara Makhalul Ilmi. SM mengatakan bahwa arti “kelebihan” tidak berhenti di sini saja—karena “kelebihan” yang lahir akibat dilakukannya transaksi ekonomi antara dua pihak atau lebih disebut sebagai riba, termasuk mengambil keuntungan atas suatu transaksi jual beli yang lazim berlaku dalam tatanan masyarakat bangsa-bangsa di dunia sejak dahulu hingga sekarang. Sudah barang tentu bukanlah yang dimaksud al-Qur’an demikian, karena tegas-tegas salah satu ayatnya menyebutkan: “Allah menghalalkan jual beli dan mengaharamkan riba”. Makhalul Ilmi, Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syari’ah, cet. I (Yogayakarta: UII Press, 2002), hlm. 19.
Dalam pandangan sebagian mufassir, kata sandang (definite article alif
lam), berarti menunjuk kasus tertentu (ma’rifah). Maka makna kata ar-riba
yang dimaksud adalah praktek pengambilan untung dari debitur yang sudah
biasa di kalangan orang-orang Arab pra-Islam ketika al-Qur’an belum
diturunkan, dengan pemahaman ini, kesimpulan awal yang barangkali sangat
penting untuk dicatat, bahwa untuk bias memahami ayat secara lebih tepat dan
mengena, seorang harus mengetahui sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat
(asbab an-Nuzul), barulah kemudian dapat diketahui apa arti riba sebenarnya.19
Oleh karena itu, pengertian riba menurut terminologi (pendapat ulama)
adalah bunga kredit yang harus diberikan oleh orang yang berhutang kepada
orang yang berpiutang, sebagai imbalan untuk menggunakan sejumlah uang
milik berpiutang dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.20 Misalnya si A
memberi pinjaman pada si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang
pokok pinjaman serta sekian persen tambahannya.
Di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah terdapat beberapa ayat yang
membicarakan riba secara eksplisit di antaranya adalah:
- Firman Allah SWT :
كلوا .1 تا ال امنوا لعلكم يايهاالدين الله واتقوا مضفة اضعافا الربوا
.21 تقلحون
19 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, hlm. 38
20 Ali as-Sabuni, Rawai ‘al-Bayan fi at-Tafsir Ayati al-Ahkam, (ttp: Dar al-Qur’an, 1391/1972), I: 383.
21 Ali-Imran (3): 130. Ayat ini jelas menyatakan bahwa, memakan bunga dapat menyebabkan rakus, tamak, kikir, dan egois bagi orang yang mengambilnya; dan kebencian, kemarahan, kecemburuan bagi orang yang membayarkannya. Oleh karena itu, Allah telah mengecam dan melarang riba dan menganjurkannya untuk berbuat amal baik sebagai suatu penangkal terhadap
الربوا .2 وحرم البيع الله . 22 واحل
كنتم .3 ان بوا الر من بقي ما روا ود الله اتقوا امنوا الدين ياايها
تبتم . مؤمنين وان ورسوله الله من بحرب نوا فاد تفعلوا لم فان
التظلمون اموالكم رءوس 23والتظلمون فلكم
- Hadis Nabi SAW:
وشاهد .1 وكاتبه وموكله الربا اكل وسلم عليه الله صلى الله رسول لعن
. 24 يه
النسيئة .2 فى الربا .25 انما
Dari beberapa ayat dan hadis yang telah disebutkan tadi jelaslah bahwa
riba itu betul-betul dilarang dalam agama Islam. Muncul sebuah pertanyaan,
apakah semua riba termasuk dalam katagori arti atau maksud dari ayat dan
hadits di atas?. Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah—ada beberapa
pendapat dari para ulama. Di sini dijelaskan riba nasi’ah jelas-jelas dilarang
karena ayat tersebut diturunkan karenanya (kejadian di masa jahiliyah). Jadi,
dengan kata lain, turunnya ayat itu karena adanya riba nasi’ah. Menurut Ibnu
Qayyim dalam kitab ‘Ilami al-Muwaqi’in, sebagaimana dikutip Sulaiman
praktek riba. Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam,jlid 4 (Yogayakarta: Dana Bakti Wakaf, 1996), hlm. 131.
22 Al-Baqarah (2): 275
23 Al-Baqarah (2): 278-279
24 Muslim, Sahih Muslim, “Babu La’ana Akila ar-Riba wa Muwakkalah” (Bandung: al-Ma’arif, tt), I: 697. Hadis sahih riwayat Muslim dari Jabir. Lihat juga al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Bulug al-Maram (Surabaya: al-Hidayah, tt), hlm.169.
25 Muslim, Sahih Muslim, “Babu Bai’ at-Ta’am Mislan bi Mislin”. (Bandung: al-Ma’arif, tt), I: 694-697
Rasjid, mengatakan, bahwa “riba nasi’ah adalah riba yang dilakukan oleh kaum
jahili di masa jahiliyah. Mereka menta-khirkan utang dari waktu yang
semestinya dengan menambah bayaran; apabila terlambat lagi, ditambah pula
terus-menerus, tiap keterlambatan wajib ditambah lagi, sampai utang yang
asalnya seratus rupiah akhirnya menjadi beribu-ribu. Kalau dengan gadai,
barang yang tergadai juga tetap tergadai”26
Pelarangan riba nasi’ah mempunyai pengertian bahwa penetapan
keuntungan positif atas uang yang harus dikembalikan dari suatu pinjaman
sebagai imbalan karena menanti, pada dasarnya tidak diizinkan oleh syari’ah.
Tidak ada perbedan apakah uang itu dalam prosentase yang pasti dari uang
pokok atau tidak, atau suatu jumlah yang harus dibayar di muka atau
dikemudian hari, atau diberikan dalam bentuk hadiah atau jasa yang diterima
sebagai syarat pinjaman. Inti dari permaslahan di sini adalah keuntungan positif
yang ditetapkan di muka. Penting untuk dicatat bahwa menurut syari’ah, waktu
tunggu selama pembayaran kembali pinjaman tidak dengan sendirinya
memberikan justifikasi atas keuntungan positif dimaksud.27
Hakikat pelarangan tersebut adalah tegas, mutlak, dan tidak mengandung
perdebatan. Tidak ada ruang untuk mengatakan bahwa riba mengacu sekedar
pada pinjaman dan bukan bunga, karena Nabi melarang mengambil, meskipun
kecil, pemberian jasa atau kebaikan sebagai syarat pinjaman, sebagai tambahan
26 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam: Hukum Fiqh Lengkap, (Bandung: Sinar Baru Algasindo, 1997), hlm. 293.
27 Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan, hlm. 149.
dari uang pokok.28 Meskipun demikian, jika pemgembalian pinjaman pokok
dapat bersifat positif atau negatif tergantung pada hasil akhir suatu bisnis, yang
tidak diketahui terlebih dahulu. Ini diperbolehkan asal ditanggung bersama
menurut prinsip-prinsip keadilan yang ditetapkan dalam syari’ah.
C. Macam-macam Riba dan Dampaknya.
Para ahli hukum Islam (fuqaha’) secara sederhana membagi riba
menjadi empat macam yaitu: Pertama riba fadli, yaitu menukarkan dua barang
yang sejenis dengan barang yang tidak sama. Kedua riba qardi, yaitu berutang
dengan syarat ada keuntungan bagi yang memberi hutang. Ketiga riba yad,
yaitu berpisah dari tempat akad sebelum timbang-terima. Keempat riba nasi’ah,
yaitu disyaratkan salah satu dari kedua barang yang ditukarkan tersebut
ditangguhkan penyerahannya.29 Riba nasi’ah juga disebut riba duyun—yakni
riba yang timbul akibat utang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung
muncul bersama resiko dan hasil usaha muncul bersama biaya. Transaksi
semacam ini karena mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban
hanya karena berjalannya waktu.30
Sebagian ulama ada yang membagi riba tersebut atas tiga macam, yaitu
riba fadli, riba yad, dan riba nasi’ah. Riba qardi termasuk ke dalam riba
nasi’ah. Barang-barang yang berlaku riba padanya adalah emas, perak, dan
28 Ibid.
29 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, hlm. 290.
30 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi dan Ilustrasi, cet. I (Yogyakarta: Ekonsia, 2003), hlm 6.
makanan yang mengenyangkan atau berguna untuk yang mengenyangkan,
misalnya garam. Jual beli barang tersebut, kalau sama sejenisnya—seperti emas
dengan emas, gandum dengan gandum—diperlukan tiga syarat: 1. Tunai; 2.
Serah terima; dan 3. Sama timbangannya. Kalau jenisnya berlainan, tetapi ‘illat
ribanya satu—seperti emas dengan perak—boleh tidak sama timbangannya,
tetapi mesti tunai dan timbang terima. Kalau jenis dan ‘illat ribanya berlainan
perak dengan beras, boleh dijual bagaimana saja seperti barang-barang yang
lain; berarti tidak diperlukan suatu syarat dari yang tiga tersebut.31
Sementara Ibnu Qayyim, membagi riba atas dua bagian: jali dan khafi.
Riba jali adalah riba nasi’ah, diharamkan karena mendatangkan mandharat
yang besar. Riba yang sempurna (riba al-kamil) adalah riba nasi’ah. Riba ini
berjalan pada masa jahiliyah. Sedangkan riba khafi diharamkan untuk merutup
terjadinya riba jali (wa al-khafi haramun li annahu zari’atun ila al-jali).32
Semua agama samawi (revealed relegion) telah melarang praktek bunga
bank, karena dapat menimbulkan dampak bagi masyarakat pada umumnya dan
bagi mereka yang terlibat langsung pada praktek riba pada khususnya. Adapun
dampak akibat dari praktek riba adalah:
1. Menyebabkan eksploitasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap si miskin.
2. Uang modal besar yang dikuasai oleh the haves tidak disalurkan ke
dalam usaha-usaha yang produktif, misalnya pertanian, perkebunan,
industri, dan sebagainya yang dapat ciptakan lapangan kerja banyak,
31 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, hlm 290.
32 Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Sukarja, “Riba, Bunga Bank, dan Kredit Perumahan” dalam Chuzaimah T. Yanggo dkk (ed.), Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet. I (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 35.
yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi pemilik modal itu
sendiri, tetapi modal besar itu justru disalurkan dalam perkreditan
berbunga yang belum produktif.
3. Bisa menyebabkan kebangkrutan usaha dan pada gilirannya bisa
mengakibatkan keretakan rumah tangga, jika si peminjam itu tidak
mampu untuk mengembalikan pinjaman dan bunganya.33
4. Riba dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan mengurangi
semangat kerja sama atau saling menolong dengan sesama manusia,
dengan mengenakan tambahan kepada peminjam akan menimbulkan
prasaan bahwa peminjam tidak tahu kesulitan dan tidak mau tahu
penderitaan orang lain.
5. Riba merupakan salah satu bentuk penjajahan. Kreditur yang
meminjamkan modal dengan menenutut pembayaran lebih kepada
peminjam dengan nilai yang telah disepakati bersama menjadikan
kreditur mempunyai legitimasi untuk melakukan tindakan-tindakan yang
tidak baik untuk menuntut keasepakatan tersebut. Karena dalam
kesepakatan kreditur telah memperhitungkan keuntungan yang telah
diperoleh dari kelibahan bunga yang akan didapat, dan itu sebenarnya
hanya berupa pengharapan dan belum terwujud.34
D. Fungsi Bank
33 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, hlm. 103
34 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga, hlm 12.
Karena pembahasan ini sangat erat kaitannya dengan lembaga bank,
maka ada baiknya lebih dahulu diuraikan pengertian bank secara singkat dan
sederhana. Bank atau perbankan adalah suatu lembaga keuangan yang usaha
pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalulintas pelayanan
dan peredaran uang dengan tujuan memenuhi kebutuhan kredit dengan modal
sendiri atau orang lain.35 Selain itu, bank juga mempunyai fungsi mengedarkan
alat tukar baru dalam bentuk uang bank atau giral.
Dari tinjauan bahasa, kata bank berasal dari bahasa Italia, Banco, yang
berarti meja.36 Penyebutan ini didasarkan pada alasan, bahwa orang yang
mengerjakan bank ini, umumnya memakai meja di tepi jalan untuk melayani
orang-orang yang hendak berhubungan dengan mereka (pengelola bank).
Pekerjaan semacam ini sudah dikenal dan dilakukan sejak zaman dahulu kala,
dan lebih khusus dan lebih banyak dikerjakan oleh orang-orang Yahudi. Ketika
ada kesewenang-wenangan dari pihak pengelola bank, maka pemerintah ikut
campur dan melakukan pengawasan serta membuat peraturan untuk
menghindari kesewenang-wenangan yang telah terjadi
Oleh karenanya, peraturan dan pengawasan yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap adanya bank tersebut, merupakan usaha untuk mencegah
penipuan, atau tindakan yang bersifat aniaya. Namun pengawasan dan peraturan
itu sendiri belum seluruhnya memenuhi prinsip-prinsip keadilan, dan masih
banyak terjadi hal-hal yang bersifat negatif.35 Ahmad Sukarja, “Riba, Bunga Bank”, hlm. 43. Sebagai perbandingan Baca A. Wahid
Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri (Yogayakarta: LKPSM: 1994), hlm. 69-70.
36 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, hlm. 39..
Semakin lama lembaga ini mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Akibatnya, muncullah definisi bank, yang diformulasikan oleh pemikir-pemikir
dan ahli-ahli di bidang sosial, khususnya pemikir ahli ekonomi. Pierson, seorang
ahli ekonomi dari Belanda abad ke-19 misalnya, mendefinisikan bank sebagai
badan yang menerima kredit. Sementara Somary mendefinisikan bank sebagai
lembaga yang mengambil kredit. Dari definisi yang kedua ini, terkesan pihak
bank berlaku aktif. Lebih lengkap lagi G.M. Verrijn mendefinisikan bank
sebagai lembaga yang berusaha memuaskan keperluan pihak kreditor, baik
dengan uang yang diterimanya sebagai petaruh orang lain, maupun dengan jalan
megeluarkan uang baru sebagai uang kertas atau giro.37
Menurut kenyataan sejarah, bahwa bank adalah suatu perusahaan yang
bertujuan untuk mencari keuntungan yang diperoleh dari selisih bunga yang
harus dibayarkan kepada pemberi pinjaman. Atau bunga-bunga yang harus
dibayarkan kepada pemberi pinjaman atau yang menitipkan uangnya, dengan
bunga yang didapat dari pemberian pinjaman kepada orang lain. Kalau ia
membayar bunga tiga persen kepada orang yang memberi pinjaman sedang ia
menerima lima persen dari orang yang meminjam. Maka ia mendapat
keuntungan dua persen. Di samping itu bank juga mendapat imbalan bagi
kegiatan-kegiatan lainnya, umpamanya dalam pelayanan pengiriman, pertukaran
mata uang dan sebagainya.38 Adapun fungsi bank, sebagaimana diformulasikan
para ahli ekonomi, bertujuan untuk memajukan perekonomian atau
kesejahteraan masyarakat secara umum, dan khususnya pihak-pihak yang
37 Ibid.38 Ahmad Sukarja, “Riba, Bunga Bank”, hlm. 43-44
terlibat dalam lembaga perbankan. Hatta misalnya mengatakan, bank merupkan
sendi kemajuan masyarakat. Bahkan menurutnya, masyarakat tidak bisa maju
seperti sekarang ini tanpa adanya lembaga bank. Untuk membuktikan fakta
pernyataannya, Hatta memberikan bukti, bahwa masyarakat yang tidak
menggunakan jasa bank menjadi masyarakat yang terbelakang.39
Sementara Najetullah, dengan uraiannya yang lebih rinci mengatakan,
bahwa peranan atau fungsi utama dari bank adalah sebagai perantara keuangan
antara para penabung (rumah tangga) dengan para investor (perusahaan).40
Tabungan bertambah dengan jutaan rumah tangga. Sedangkan perusahaan
terbatas pada puluhan ribu saja. Dengan demikian, bank mempunyai peranan
ynag sangat penting dan menentukan dalam mengalokasikan sumber-sumber
keuangan yang tersedia di dalam masyarakat. Sebagai konsekuensinya,
kebutuhan masyarakat modern tidak terbatas pada tukar menukar dengan mata
uang logam dan sejenisnya saja, melainkan kemudian muncul kebutuhan cek
dan sejenisnya. Lebih lanjut menurutnya fungsi bank adalah tempat simpanan
dalam bentuk rekening, simpanan aman barang-barang berharga, dan
pengiriman uang dalam jarak jauh. Akan tetapi fungsi bank yang lebih pokok,
ungkap Najetullah, adalah sebagai:41 (1) perantara keuangan antar penabung dan
pemakai akhir—yaitu rumah tangga dan perusahaan; dan (2) menawarkan
sejumlah pelayanan lain misalnya, simpan-aman, kemudahan-kemudahan
39 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, hlm. 39-40.
40 Muhammad Najetullah, Bank Islam, alih bahasa Asep Hikmat Suhendi (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), hlm. 58.
41 Ibid.
seperti cek, transfer, jaminan pembayaran dan penerimaan jual-beli, manajemen,
promosi dan seterusnya.
Menurut Afzalur Rahman, bank berfungsi menerima deposito,
memberikan pinjaman dan menerbitkan cek, transfer deposit bank dari
perorangan atau perusahaan dan memberikan berbagai macam pelayanan
kepada nasabahnya, termasuk bisnis taransaksi penukaran uang asing, membeli
dan menjual jaminan penukaran atas nama mereka, serta bertindak sebagai
pengawas maupun yang diberi kepercayaan. Bank juga memiliki fungsi
menyediakan fasilitas pinjaman kepada para nasabahnya dalam bentuk kartu
kredit dan overdraft. Bentuk kartu kerdit dimaksudkan untuk digunakan para ibu
rumah tangga dan para pembelanja lainnya serta para bisnismen. Karena
besarnya nasabah bisnis, fasilitas overdraft sangat bermanfaat dan biasanya
dilakukan pembaharuan negeoisasi pada saat interklien mengadakan persetujuan
dengan bank mengenai batas kredit, dan membuka kesempatan untuk menarik
cek atas uangnya pada batas limit yang telah ditentukan. Untuk segala
pelayanan ini, bank mengenakan suatu bunga atau menarik komisi atas
pelayanannya dan para nasabahnya dikenakan bunga.42
E. Bank Konvensional (sistem bunga) dan Bank Islam.
Bank sebagai lembaga keuangan yang melalui kegiatan-kegiatannya
menarik uang dari yang menyalurkannya kepada masyarakat, dengan usaha
pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan
42 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, alih bahasa Soeroyo dan Nastangin (Yogayakarta: Dana Bakti Wakaf, 1996), hlm. 345-346
peredaran uang. Bagi negara yang sedang berusaha meningkatkan ekonominya
mempunyai peranan dan posisi yang sangat penting, terutama kaitannya dengan
kontak-kontak ekonomi negara lain. Sulit dibayangkan melakukan kegiatan-
kegiatan ekomomi tanpa behubungan dengan bank.
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat Islam hampir tidak
bisa menghindari diri dari bermuamalah dengan bank konvensional dalam
segala aspek kehidupannya, termasuk kehidupan agamanya. Misalnya ibadah
haji di Indonesia umat Islam masih harus memakai jasa bank, apalagi dalam
kehidupan ekonomi tidak bisa lepas dari yang namanya jasa perbankan. Sebab
tanpa jasa bank, perekonomian Indonesia tidak selancar dan semaju seperti
sekarang ini.43
Istilah “Bank Konvensional”44 dalam hal ini dimaksudkan sebagai
sebutan bagi bank yang dipraktekkan orang pada umumnya sebelum bank Islam
lahir. Yaitu bank dengan penerapan sistem bunga.45 Usia lembaga perbankan
sebenarnya sudah tua sehingga ketika orang Islam mulai melakukan kontak
dengan bank, ia sudah berada pada tahap perbangkan dengan pola modern. 43 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, hlm. 111-112.
44 Bank non Islam atau konvensional, ialah sebuah lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan dana, baik perorangan atau badan guna investasi dalam usaha-usaha yang produktif dan semacamnya dengan adanya sistem bunga. Ibid., hlm. 109.
45 Teori dan sistem bunga muncul sejak manusia mulai melakukan pemikiran ekonomi. Para filosof Yunani Kuno telah melakukan pembahasan tentang bunga, diantara filosof tersebut adalah Plato dan Aristoteles. Mereka melarang dan mengutuk orang yang melakukan aktivitas ekonomi dengan sistem bunga. Mereka memandang uang bukan sesuatu yang dapat berbunga atau membuahkan harta, akan tetapi uang adalah merupakan alat tukar. Setelah itu, maka pemikiran bunga semakin berkembang. Para pakar ekonomi masa lalu telah mengembangkan berbagai teori atau sistem bunga uang. Pro dan kontra pembahasannya selalu terjadi di antara mereka. Namun secara umum, perkembangan teori bunga dapat dikelompokkan menjadi dua. Yaitu kelompok pertama adalah teori bunga murni dan kelompok kedua adalah teori bunga moneter. Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syari’ah, cet. I (Yogayakarta: UII Press, 2001), hlm. 14.
Karenanya, benar bahwa kegiatan perbankan dengan sistem bunga disebut
sebagai persoalan baru dalam kajian keislaman.
Dalam perekonomian modern, pada dasarnya bank adalah lembaga
perantara dan penyalur dana antara pihak yang berkelebihan dana dengan pihak
yang kekurangan dana. Peran ini disebut “Financial Intermediary”. Dalam
melaksanakan tugasnya yang paling menonjol sebagai financial intermediary
itu, bank dapat dikatakan membeli uang dari masyarakat pemilik dana ketika ia
menerima simpanan, dan menjual uang kepada masyarakat yang memerlukan
dana ketika ia memberi pinjaman kepada mereka. Dalam kegiatan ini muncul
apa yang disebut bunga. Sri Edi Swasano, seorang pakar muslim dalam disipilin
ilmu ekonomi, berpendapat bahwa bunga adalah harga uang dalam transaksi
jual-beli tersebut. Dengan demikian, bunga yang ditarik oleh bank dari pemakai
jasa, merupakan ongkos adminitrasi dan ongkos sewa. Sehingga dari sini
kelihatan bahwa penyimpanan uang di bank akan mendapat bagian keuntungan
dari bank berupa bunga yang diambilkan dari bunga yang diterima oleh bank.46
Sebagai bank yang menerapkan sistem bunga, mekanisme perbankan
konvensional sebagian besar ditentukan oleh kemampuannya dalam
menghimpun dana masyarakat melalui pelayanan dan bunga yang menarik47
Suatu tingkat bunga simpanan akan dikatakan menarik manakalah: Pertama,
lebih tinggi dari tingkat inflasi, karena pada tingkat bunga yang lebih renda,
dana yang disimpan nilainya akan dikikis inflasi. Kedua, lebih tinggi dari 46 Muhammad Zuhri, Riba dalam al-Qur’an dan Masalah Perbankan (Jakarta: Raja
Gradindo Persada, 1996), hlm. 148.
47 Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan, hlm. 155-156.
tingkat bunga riil di luar negeri karena pada tingkat bunga yang lebih rendah
dengan dianutnya sistem devisa bebas, dana-dana besar akan lebih
menguntugkan untuk disimpan (diinvestasikan) di luar negeri. Ketiga, lebih
bersaing di dalam negeri, karena penyimpanan dana akan memilih bank yang
paling tinggi menawarkan tingkat bunga simpanannya dan memberikan
berbagai jenis bonus atau hadiah. Kemudian pada sisi penyaluran dana tingkat
bunga simpanan itu ditambah dengan prosentasi tertentu untuk spread yang
terdiri dari; Biaya operasional, Cadangan kredit macet, Cadangan wajib, dan
Profit marjin, dibebankan kepada peminjam dana. Artinya peminjam dana-lah
yang sebenarnya membayar bunga simpanan dan spread bagi bank tersebut.
Sebagai intermediary, bank lalu memperoleh spread sebagai salah satu
sumber pendapat yang pada umumnya justru merupakan pendapatan utama.
Hal tersebut di atas mengandung makna bahwa satu tingkat bunga simpanan
yang tinggi itu bisa terjadi karena adanya tingkat inflasi yang tinggi, tingkat
bunga riil di luar negeri yang tinggi, dan tingkat persaingan antar bank yang
tinggi. Sebaliknya suatu tingkat buga pinjaman yang tinggi bisa terjadi karena
tingkat bunga simpanan yang tinggi sebagai sumber dana dan tingkat spread
yang tinggi pula.48 Proses penentuan tingkat bunga seperti tersebut di atas
cenderung lebih mudah mengakomodir kenaikan dari pada penurunan tingkat
bunga. Karena untuk menurunkan tingkat bunga harus dimulai dari menurunkan
tingkat bunga simpanan yang mengandung resiko pindahnya penyimpanan dana
dari bank yang menurunkan tingkat bunga ke bank yang memberikan tingkat
48 Ibid.
bunga lebih tinggi. Oleh sebab itu, siapa yang berani terlebih dahulu
menurunkan tingkat bunga? Tentu saja tidak ada walaupun melalui kesepakatan
antar bank yang ada. Kesepakatan semacam itu sulit dilaksanakan karena
adanya perbedaan kekuatan masing-masing bank. Di lain pihak, beban bunga
pinjaman yang dibayar peminjam kepada bank itu lazimnya sebanyak mungkin
akan digeserkan oleh peminjam dana kepada penanggung yang terakhir.
Jadi, apabila peminjam dana adalah perorangan untuk keperluan
konsumtif, maka beban bunga pinjaman tadi tentunya harus ditangani sendiri.
Tetapi apabila peminjam dana adalah pedangang maka logislah apabila beban
bunga pinjaman itu digeserkannya kepada harga barang yang dijual.49 Dari
mekanisme kerja antar bank dengan nasabah inilah, baik nasabah peminjam
maupun nasabah penyimpan, maka bank konvensional tidak dapat
mempertahankan hidupnya, apalagi mengembangkannya tanpa mekanisme
sistem bunga. Oleh karenanya, di sini dapat diambil sedikit pengertian segi
positif bank dari sistem bunga yaitu dengan melalui sistem bunga, bank dapat
melaksanakan aktivitas perbankannya, namun dibalik semua segi positif dari
sistem bunga, ternyata masih banyak kejelekan-kejelekan dari diterapkannya
bank konvensional (sistem bunga). Diantaranya adalah:50 Pertama, dengan
sistem ini, para wisatawan, pemerintah dan kelompok konsumen, berada dalam
posisi yang terpojok. Sebab, kelompok ini akan mempunyai beban hutang dari
sumber keuangan.
49 Ibid.
50 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, hlm. 67
Kedua, kelompok yang bisa mendapatkan pinjaman pada umumnya
hanyalah kelompok yang mempunyai jaminan yang lebih tinggi dan lebih
terjamin. Sementara banyak kelompok lain yang lebih membutuhkan pinjaman
dan mempunyai usaha yang lebih layak untuk dikembangkan, tidak
mendapatkan pinjaman hanya karena tidak memiliki jaminan yang cukup dan
aman.51 Ketiga, mengakibatkan tidak meratanya distribusi pendapatan. Sebagai
contoh konkrit, dapat dilihat pekerjaan yang dilakukan perusahan, mulai dari
proses produksi, pengelolahan sampai pada proses pemasaran. Dengan usaha
yang sedemikian berat, pihak perusahaan masih penuh tanda tanya, antara
berhasil atau tidak. Sementara pihak bank sendiri, hanya dan tinggal mengambil
bunga bulanan.52 Keempat, perbankan dengan sistem bunga tidak mengenal
adanya perbedaan antara peminjam komsumtif dan produktif. Padahal terlalu
banyak orang yang meminjam uang untuk kebutuhan kosumsi, baik berupa
kebutuhan sehari-hari, maupun untuk bekal masa depan yang sangat
dibutuhkan, seperti rumah dan semacamnya. Semua kebutuhan konsumen
tersebut, sama sekali tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan.
Sementara bank mebebankan bunga yang sama dengan perusahaan-perusahaan
yang masih ada kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan.53 Kelima, pihak
bank juga tidak membedakan antara kebutuhan usaha dengan kebutuhan-
kebutuhan umum, seperti kebutuhan air minum, listrik dan semacamnya.
Padahal hal-hal semacam itu merupakan kebutuhan masyarakat secara umum. 51 Ibid.
52 Ibid.
53 Ibid
Sementara pihak bank tidak membedakan kebutuhan tersebut dengan pinjaman
untuk kepentingan lainnya. Akibatnya adalah munculnya konsentrasi kekuatan
keuangan di pihak bank. Sehinga akibat selanjutnya adalah munculnya
ketidakmerataan pendapatan, yang bisa terjadi akan memunculkan inflasi.54
Untuk itu Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin, berusaha melalui
para pakar muslim yang berkecimpung dalam dunia ekonomi untuk
memberikan solusi terhadap sistem bunga bank, yaitu dengan mendirikan bank
Islam,55 di mana prinsip yang dipakai dalam bank Islam ini adalah tidak
didasarkan pada sistem bunga, melainkan lewat sistem bagi hasil.56 Bank tanpa
bunga ini akan menyediakan fasilitas kredit dan melaksanakan semua fungsi
bank perdagangan. Prinsip bagi hasil akan mendorong investor untuk menanam
uang mereka di bank non konvensional, sebab kongsi dalam bank ini akan
menanggung untung dan rugi secara bersama, yang berbeda dengan sistem
perbankan modern di mana kerugian hanya akan ditanggung oleh peminjam,
54 Ibid., hlm. 67-68.
55 Bank Islam adalah sebuah lembaga keuangan yang menjalankan operasinya menurut hukum syariat Islam—yakni menggunakan sistem bagi hasil. Sudah tentu bank Islam tidak memakai sistem bunga, sebab bunga dilarang dalam Islam. Sementara pemikiran ke arah pembentukan Bank Islam telah menghasilkan deklarasi yang dicetuskan oleh Menteri-menteri Keuangan negara-negara Islam di Jedah pada tahun 1393 H atau 1973 M. Pada tahun 1975 secara resmi dibuka Islamic Development Bank, berpusat di Jedah Saudi Arabia. Keanggotaannya terdiri dari negara-negara Islam. Pada awal berdirinya bank ini beranggotakan 22 negara, dan sampai tahun 1988 telah berkembang menjadi 44 negara. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, hlm. 109. Dan Ahmad Sukarja, “Riba, Bunga Bank”, hlm. 46.
56 Barang kali timbul pertanyaan dalam dunia perbankan modern, apakah yang dimaksud dengan bagi hasil? Bagi hasil menurut termenologi asing (Inggris) dikenal dengan sebutan profit sharing. Profit sharing dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Secara definitif profit sharing diartikan: “distribusi beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan”. Lebih lanjut dikatakan, bahwa hal itu dapat berbentuk suatu bonus uang tunai tahunan yang didasarkan pada laba yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya, atau dapat berbentuk pembayaran mingguan atau bulanan. Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil, hlm. 22.
sedangkan pemberi pinjaman dalam hal ini adalah pihak bank akan selalu
mendapatkan keuntungan.57
Sebagai pengganti sistem bunga, bank Islam menggunakan berbagai cara
atau prinsip yang bersih dari unsur riba, antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama. Wadiah, yaitu titipan uang, barang, dan surat-surat berharga atau
deposito. Lembaga fiqh Islam “wadiah” ini, bisa diterapkan oleh bank Islam
dalam operasinya menghimpun dana dari masyarakat, dengan cara menerima
deposito berupa uang, surat-surat berharga sebagai amanat yang wajib dijaga
keselamatannya oleh bank Islam. Bank berhak menggunakan dana yang
didepositokan itu tanpa harus membayar imbalannya (rente atau riba), tetapi
bank harus menjamin bisa mengembalikan dana itu pada waktu pemiliknya
(depositor) memerlukannya.58
Kedua. Mudarabah, yaitu suatu usaha kerjama antara tenaga kerja
dengan pemilik modal bergabung bersama-sama sebagai mitra usaha untuk
kerja. Ini bukan semata-mata usaha dalam arti modern. Ia punya kelebihan
karena Islam telah memberikan kode etik ekonomi yang menggabungkan nilai
material dan spiritual untuk jalankan sistem ekonominya. Kode etik ekonomi ini
harus dicerminkan bila prinsip mudarabah dilaksanakan dalam praktek. Sistem
perbankan Islam dapat membantu pembentukan lembaga tertentu atas dasar
mudarabah dan dengan demikian, dapat menyelesaikan pertentangan yang
berabad-abad lamanya antara tenaga kerja dan majikannya.59 57 Muhammad Muslehuddin, Sistem Perbankan dalam Islam (Jakarta: PT. Rhineka Cipta,
1994), hlm. 51.
58 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, hlm. 10959 Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam: Dasar-dasar Ekonomi Islam
(Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1997), hlm. 167.
Sungguh menyenangkan melihat bank Islam turut mngurus kontrak
mudarabah, yaitu bank memberikan modal, sedangkan para nasabah
memberikan keahlian mereka, sementara keuntungan dibagi menurut rasio yang
disetujui. Telah dikemukan bahwa prinsip mudarabah dapat dimintakan dalam
hal transaksi jangka pendek yang dapat membiayai dirinya sendiri (self
liquidating), dan akibatnya permintaan untuk pinjaman jangka pendek sedikit-
banyak dapat dikurangi, karena dalam ekonomi Islam pinjaman jangka pendek
dengan bunga seperti yang diberikan bank dagang tradisional atau lembaga
diskonto tidak akan tersedia.60
Ketiga. Musyarakah (persekutuan), yaitu kerja sama antara pihak bank
dan pihak pengusaha yang sama-sama memiliki andil (saham) pada usaha
persekutuan (join venture). Karena itu, kedua belah pihak berpartisipasi
langsung mengelola usaha perseketuan tersebut mulai dari menanggung untung
dan ruginya bersama atas dasar perjanjian profit and lose sharing (PLS
agreement).61 Sehingga dengan musyarakah ini, baik bank atau klien menjadi
mitra usaha dengan menyumbangkan modal dalam berbagai tingkat dan
mencapai kata sepakat atas suatu rasio laba di muka untuk suatu waktu
tertentu.62
60 Ibid., hlm. 168 Ibid., hlm. 168
61 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, hlm. 109-110.
62 Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, hlm 168
Keempat. Murabahah, yaitu jual beli barang dengan tambahan harga
atau cost plus atas dasar harga pembelian yang pertama secara jujur. Dengan
murabahah ini, orang pada hakikatnya ingin mengubah bentuk bisnisnya dari
kegiatan pinjam-meminjam menjadi transaksi jual beli (lending activity menjadi
sale and purchase transaction).63 Di sini bank Islam bisa membelikan atau
menyediakan barang-barang yang diperlukan oleh pengusaha untuk dijual lagi,
dan bank minta tambahan harga (cost plus) atas harga pembelinya. Syarat
transaksi murabahah ini adalah si pemilik barang, dalam hal ini bank Islam
harus memberikan informasi yang sebenarnya atau sejujurnya kepada pembeli
tentang harga pembeliannya dan keuntungan bersihnya (profit margin) dari pada
cost plus-nya itu.
Kelima. Qard Hasan, yaitu pinjaman yang baik (benevolent loan). Bank
Islam dapat memberikan pinjaman tanpa bunga kepada para nasabah yang baik,
terutama nasabah yang memiliki deposito di bank Islam itu sebagai salah satu
service dan penghargaan bank terhadap para deposan, karena deposan tidak
menerima bunga atas depositonya dari bank Islam.64
Keenam. Bank Islam dalam melakukan transaksi juga diperbolehkan
memungut dan menerima pembayaran untuk;65 1. Mengganti biaya-biaya yang
langsung dikeluarkan oleh bank dalam melaksanakan pekerjaan untuk
kepentingan nasabah, misalnya biaya telegram, telepon, telex dalam
63 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, hlm. 110
64 Ibid.
65 Ibid., hlm 111.
memindahkan atau memeberitahukan rekening nasabah dan sebagainya. 2.
Membayar gaji para karyawan bank yang melakukan pekerjaan untuk
kepentingan nasabah, dan untuk sarana dan prasarana yang disediakan oleh
bank, dan biaya adminitrasi pada umumnya.
Dari keterangan tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa perbedaan
prinsipil antara sistem bank konvensional dengan bank bebas bunga (bank
Islam) adalah terletak pada cara penentuan keuntungan. Pada bank konvensional
misalnya, jasa atau bunga pinjaman ditentukan lebih dahulu dan diperhitungkan
menurut besar bunga yang ditetapkan dan jumlah pinjaman atau tabungan.66
Seorang atau suatu badan hukum yang meminjam uang dari bank sejak mulai
hari pinjaman atau sejak saat yang ditentukan dalam perjanjian, ia sudah
menanggung beban membayar bunga, tanpa diperhitungkan apakah uang
pinjaman itu akan mendatangkan hasil atau tidak.
Sementara bank Islam menetukan keuntungan menurut laba yang telah
diperoleh. Kedua belah pihak sama-sama menanggung untung dan rugi.
Keuntungan bisa naik atau turun tergantung kepada besar kecilnya laba yang
diperoleh. Kepada peminjam, bank Islam tidak menentukan bunga dan kepada
penabung tidak memberikan bunga, yang diberikan adalah keuntungan yang
diperhitungkan atas dasar besar kecilnya laba yang didapat.67
F. Riba, Bunga Bank, dan Masyarakat Indonesia.
66 Ahmad Sukarja, “Riba, Bunga Bank”, hlm. 49.
67 Ibid.
Evolusi konsep riba ke bunga tidak lepas dari perkembangan lembaga
keuangan, khususnya bank. Lembaga keuangan timbul, karena kebutuhan modal
untuk membiayai industri dan perdagangan. Modalnya terutama berasal dari
kaum pedagang. Oleh karena itu, para bankir pada umumnya berasal dari
pedagang. Dalam menjalankan bisnis, para pedagang, pengusaha selalu
membutuhkan modal. Bisnis kecil-kecilan biasanya pelakunya dapat mengatasi
modalnya sendiri. Tetapi, apabila bisnis telah menunjukkan pada perkembangan
yang besar, dan untuk mengembangkan usahanya biasanya membutuhkan
modal yang cukup besar. Dalam hal ini modal harus dicarikan dari sumber yang
lain,. Tetapi siapa orangnya yang mau meminjamkan uangnya dengan cuma-
cuma, apalagi dalam jumlah besar? Dari sisnilah timbul keperluan bank sebagai
perantara antara mereka yang membutuhkan kredit dengan mereka yang
memiliki surplus modal. Bank tidak memandang untuk keperluan konsumsi,
produksi, perdagangan atau jasa, tetapi pada umumnya pinjaman diarahkan
kepada kegiatan usaha. Kalaupun ada yang memerlukan untuk konsumsi, bank
hanya bersedia memberikan pinjaman jika ada jaminan bahwa hutang itu akan
bisa dibayar.68
Dalam menjalankan transaksi bank harus mengenakan ongkos untuk
peminjam, karena bank pun harus membayar ongkos itu untuk memberikan
pinjaman. Di sini dikenal apa yang disebut sebagai modal murni, yaitu tingkat
bunga nominal dikurangi beberapa ongkos, seperti biaya-biaya adminitrasi,
jaminan terhadap keamanan hutang pokok maupun bunganya, kemungkinan
68 Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan, hlm. 150.
merosotnya daya beli uang, baik karena inflasi maupun nilai tukarnya terhadap
mata uang asing, dan juga ongkos-onkos yang diperlukan untuk menjaga
keutuhan uang karena pembayaran dengan cara angsuran. Semua ongkos itu
tentunya harus dipikul oleh debitur. Bank hanya menarik semua ongkos itu
dalam rangka menjaga amanat dari para pemilik modal.
Oleh karenanya, mereka yang memiliki uang, baik besar maupun kecil
sebenarnya menanggung beban dan resiko dengan meminjamkan atau
menyimpan uangnya itu ke bank. Pertama, ia kehilangan kesempatan untuk
memanfaatkan uangnya itu. Baik untuk keperluan usaha maupun konsumsi.
Kedua, nilai uangnya bisa merosot, apalagi karena adanya inflasi dan nilai tukar
uang yang kini sudah bisa diperhitungkan, walaupun tidak terlalu persis. Ketiga,
pemilik uang juga menaggung resiko uang tidak kembali, dan karena itu, maka
bank perlu memperhitungkannya, demi keamann pemilik modal, agar bisa
dipercaya untuk menyimpan uang masyarakat.69
Sementara itu, dalam perkembangannya lembaga keuangan syari’ah
dengan berbagai instrumen yang telah ada telah menimbulkan optimisme akan
perubahan sikap masyarakat terhadap keberadaan riba, tetapi masih ada
beberapa alasan yang menjadikan bunga kurang bisa diterima sebagai riba oleh
sebagian masyarakat. Adapun alasannya antara lain:70
1. Masalah emosi keagamaan.
69 Ibid., hlm. 151
70 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, 13.
Wacana bunga sebagai riba masuk dalam urusan keyakinan. Hal ini
menjadikan justifikasi bagi beberapa orang untuk menerima atau menolak
bunga sebagai riba. Oleh karenanya berbicara mengenai keberadaan bunga
sebagai riba oleh sementara pihak akan menyinggung keyakinan pihak lain
—yang menganggap bunga bukan termasuk katagori riba—dan ini akan
menimbulkan sikap emosional dalam memposisikan keberadaan pelarangan
riba. Hal ini yang menyebabkan sukarnya menjelaskan mengapa riba itu
dilarang?.71
2. Selain riba, ada maisir (perjudian) dan garar (risiko).
Selain praktek riba yang dilarang, praktek maisir dan garar juga
dilarang dalam Islam. Popularitas riba diakibatkan posisi riba yang banyak
digunakan untuk melegitimasi haramnya bunga. Sehingga praktek garar dan
maisir yang sebenarnya perlu disejajarkan dengan masalah riba kurang
begitu mendapatkan perhatian. Dan ini lebih dikarenakan masir dan garar
kurang populer untuk melegitimasi dilarangnya praktek-praktek perbankan
yang tidak sesuai dengan syari’ah, sebagaimana pelarangan riba. Sehingga
kadangkala keberadaan pelarangan riba dalam perbankan dipandang
semata-semata sebagai antitesis dari keberadaan bunga, dan lebih
menkhawatirkan adalah pemahaman ini memposisiskan pelarangan riba
bukan untuk bertujuan memberikan kemaslahatan bagi seluruh umat
manusia, tetapi posisi pelarangan riba hanya karena adanya bunga.72
71 Ibid., hlm. 13-14
72 Ibid.
3. Kritik yang berlebihan terhadap lembaga keuangan syari’ah.
Sebagian masyarakat yang menolak bunga sebagai riba—berlebihan
terhadap permasalahan lembaga keuangan syari’ah, tetapi tidak mau lebih
jauh mengetahui ada apa dibalik permasalahan di lembaga keuangan
syari’ah tersebut. Sedikit masalah dalam lembaga keuangan syari’ah selalu
mendapat perhatian yang besar dibanding dengan lembaga keuangan
konvensional—walaupun derajat permasalahannya sama. Hal ini
dikarenakan lembaga keuangan syari’ah menanggung konsekuwensi untuk
dianggap lebih baik dibanding dengan lembaga keuangan konvensional,
karena awal eksistensinya telah dianggap sebagai kritik lembaga keuangan
konvensional—yang menggunakan sistem bunga atau riba.73
4. Kurangnya dukungan akademisi.
Masih banyak institusi pendidikan lebih mengenalkan bunga sebagai
bagian instrumen moneter dari pada sistem keuangan di dalam suatu negara.
Hal ini diakibatkan sebagaian akademisi mengambil rujukan berbagai
literatur konvensional. Sehingga sistem moneter non-ribawi kurang begitu
dikenal oleh kalangan akademisi dan masyarakat. Bahkan, timbul
kecenderungan beberapa pihak bersikap tidak peduli atau sebaliknya terlalu
kritis—berlebihan—terhadap keberadaan bagi hasil (profit sharing) sebagai
instrumen moneter.74
73 Ibid.
74 Ibid.
5. Lebih familier dengan sistem bank konvensional.
Kenyataan ini lebih disebabkan karena masyarakat lebih
berkepentingan terhadap lembaga konvensional dibanding dengan lembaga
keuangan syari’ah, di mana selama ini banyak bergaul dengan sistem
keuungan konvensional. Sehingga ia merasa bahwa apa yang ia lakukan
sekarang tidak menimbulkan konsekuensi buruk bagi mereka dan mereka
pun menerima sebagai bagian dari sistem ekonomi yang berjalan.Sehingga
keberadaan pelarangan riba dalam lembaga keuangan syari’ah lebih
dianggap sebagai sebuah wacana normatif belaka.75
BAB. III
BUNGA BANK DALAM PERSPEKTIF
NAHDLATUL ULAMA (NU) DAN MUHAMMADIYAH
Nahdlatul Ulama dan Pandangannya tentang Bunga Bank
Sejarah dan Latar Belakang Lahirnya.
75 Ibid., hlm. 15
Memahami Nahdlatul Ulama (NU) sebagai sebuah organisasi sosial
keagamaan, secara komprehensip dan proporsional, maka tidak dapat
mengesampingkan aspek-aspek historis (aspek sejarah), yaitu peristiwa-
peristiwa yang melatarbelakangi dan mendorong lahirnya Nahdlatul Ulama.1
Pada saat kegiatan reformasi mulai berkembang luas, para ulama
belum begitu terorganisasi. Namun mereka sudah saling mempunyai
hubungan yang sangat kuat. Perayaan pesta seperti haul, ulang tahun
kematian kyai, secara berkala mengumpulkan masyarakat sekitar atau pun
para mantan murid pesantren mereka yang kini tersebar di seluruh
nusantara. Selain itu. Perkawinan di antara anak-anak para kyai atau para
murid yang baik, sering kali mempererat hubungan ini. Tradisi yang
mengharuskan seorang santri pergi dari satu pesantern ke pesantren yang
yang lainnya guna menambah ilmu pengetahuan agamanya juga ikut andil
dalam memperkuat jaringan ini.2
Jauh sebelum lahir sebagai organisasi , NU telah ada dalam bentuk
komunitas (jama’ah) yang diikat oleh aktivitas sosial keagamaan yang
mempunyai karekter Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Wujudnya sebagai
organisasi tidak lain adalah “penegasan formal dari mekanisme informal
para ulama sepaham”. Arti penting dibentuknya organisasi ini tidak lepas
1 Peristiwa-peristiwa yang paling mendasar melatarbelakangi lahirnya NU adalah: adanya pertentangan pendapat antara Islam Tradisionalis dengan Islam Modern, semangat nasionalisme, basis sosial Islam Tradisional dan peristiwa-peristiwa internasional dsb. Uraian selengkapnya lihat www.nu.online.or.id. Sejarah NU, hlm. 1-2. atau M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya, cet, I (Yogyakarta: Al-Amin Press. 1996), hlm. 21.
2 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, alih bahasa Lesmana cet. I (Yogyakarta: LKIS, 1999), hlm. 7-8.
dari konteks waktu itu, terutama berkaitan dengan upaya menjaga eksistensi
jama’ah tradisional berhadapan dengan arus paham pembaharuan Islam,
yang ketika itu telah terlembagakan, antara lain dalam Muhammadiyah.3
Masuknya paham pembaharuan ke Indonesia diawali oleh semakin
banyaknya umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji ke Tanah
suci, sejak dibukanya Terusan Suaez (1869). Bersamaan dengan itu, di
Timur Tengah sedang merebak ajaran pembaharuan dan purifikasi ajaran
Islam, seperti gerakan pembaharuan Muhammad bin Abdul Wahab yang
kemudian dikenal sebagai Gerakan atau Paham Wahabiyah, maupun
pemikiran Pan-Islamisme Jamaluddin al-Afgani yang kemudian dilanjutkan
oleh Muhammad Abduh. Tak pelak, kontak pemikiran intensif antara
jama’ah haji Indonesia dengan paham pembaharuan ini berlangsung. Oleh
karenanya, ketika kembali ke Tanah Air, para jamaah haji membawa
pemikiran itu untuk memurnikan ajaran Islam dari unsur-unsur yang
dianggap dari tradisi di luar Islam.4
Tidak semua kalangan menerima paham pembaharuan itu secara
bulat-bulat. Sekelompok ulama pesantren (yang nota bene juga haji) menilai
bahwa penegakan ajaran Islam secara murni tidak selalu berimplikasi
perombakan total terhadap tradisi lokal.5 Taradisi ini bisa saja diselaraskan
dengan ajaran Islam secara luwes. Kalangan yang dikenal sebagai kelompok
3 A. Gafar Karim, Metamorfosis: NU dan Politisasi Islam Indonesia, cet, I (Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 47.
4 Ibid., hlm. 47-48
5 Ibid., hlm. 48
tradisionalis ini mengamati upaya purifikasi ajaran Islam itu dengan cemas.
Sebab tidak mustahil jika hal itu dilakukan secara frontal dan radikal akan
munggungncang keyakainan masyarakat. Terlebih lagi, upaya itu ternyata
mulai berindikasi pendrobakan taradsisi keilmuan yang selama ini dianut
oleh para ulama pesantren.
Oleh karenanya, pada abad XX, dalam kurun waktu sepuluh tahun,
seseorang yang sangat dinamis yang pernah belajar di Makkah, yakni KH.
Abdul Wahab Hasbullah,6 mengorganisir Islam tradisionalis dengan
dukungan seorang kyai asal Jombang Jawa Timur yang sangat disegani, KH.
Hasyim Asy’ari. Sejak bermukim di Makkah, Kyai Wahab aktif di Sarekat
Islam (SI). Sebuah perkumpulan saudagar muslim, yang sejak semula
bertujuan untuk memompa semangat nasionalisme dan menangkal para
pencuri dengan sistem ronda serta memperbaiki posisi pedagang muslim,
Arab, dan Jawa, dalam bersaing mengahadapi keterunan Tionghoa.7 Kyai
Wahab juga berkerja sama dengan tokoh nasionalis, Soetomo, dalam sebuah
kelompok diskusi, Islam Studie Club.
6 KH. Abdul Wahab Hasbullah dilahirkan pada tahun 1888 di Jombang, Jawa Timur. Sejak kecil beliau telah menerima pendidikan Islam di tingkat dasar sampai berusia 13 tahun dari ayahnya sendiri, KH. Hasbullah, pengasuh Pondok Pesantren Tambak Baras Jombang. Setelah itu beliau meneruskan ke Pesantren Langitan selama satu tahun, kemudian melanjutkan ke Pesantren Mojosari di Nganjuk, Jawa Timur. selama empat tahun, selanjutnya beliau memperdalam ilmu agamanya ke Pesantren Kademangan di Bangkalan, Madura. Yang diasuh oleh KH. Kholil, kemudian melanjutkan ke Pesantren Tebuireng untuk belajar ilmu alat kepada KH. Hasyim Asy’ari, setelah dari Tebuireng kemudian KH. Abdul Wahab Hasbullah melanjutkan belajar ke Arab Saudi. M. Yeonus Noor dan Ismail S. Ahmad, “KH. Abdul Wahab Hasbullah: Santri Kelana Sejati”, dalam Huwaidy Abdussami dan Ridwan Fakla AS (ed.), Biografi 5 Rais ‘Am NU, Cet. I (Yogyakarta: LTN-NU, 1995), hlm. 27-29.
7 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, hlm. 8
Keterlibatan Kyai Wahab dalam SI tampaknya kurang memberikan
kepuasan pada dirimya, karena dalam perkembangannya SI lebih cenderung
mengarah kepada persoalan-persoalan politik.8 Sebenarnya Kyai Wahab
menginginkan untuk membangun semangat nasionalisme melalui jalur
pendidikan. Sebab dengan demikian langkah yang ditempuh selain
mengobarkan semangat perjuangan juga membangun dan meningkatkan
kapasitas intelektual para pemuda.
Untuk mewujudkan obsesinya tersebut Kyai Wahab ketika bertemu
dengan Kyai Mas Mansur, yang kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah,
mengajak berunding untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan guna
mendidik dan mengobarkan semangat nasionalisme para pemuda dalam
rangka memperoleh kemerdekaan RI. Ide yang dicetuskan oleh Kyai Wahab
tersebut nampaknya mendapat sambutan hangat dari tokoh-tokoh
masyarakat. Terbukti pada tahun 1916, KH. Wahab mendirikan sebuah
madrasah yang bernama “Nahdatu al-Watan” (Kebangkitan Tanah Air),
dengan gedungnya yang besar dan bertingkat di Surabaya—madrasah ini
mempunyai tujuan untuk mendidik para remaja guna mendapat ilmu
pengetahuan agama yang cukup, disamping juga sebagai markas
penggemblengan para pemuda sebagai calon pemimpin muda untuk
kegiatan dakwah—yang sering dikenal dengan “Jam’iyah Nasihin”.9
Kemudian menjelang tahun 1919, sebuah madrasah baru yang sehaluan
8 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 41
9 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, hlm.9.
berdiri lagi di daerah Ampel, Surabaya, dengan nama Taswiru al-Afkar,10
yang tujuan utamanya adalah menyediakan tempat bagi anak-anak untuk
mengaji dan belajar, lalu ditujukan menjadi “sayap” untuk membela
kepentingan kelompok Islam Tradisionalis.11
Perdebatan antara kaum tradisionalis dengan kaum reformis menjadi
semakin seru pada tahun dua puluhan.12 Sehingga dalam beberapa diskusi,
termasuk di forum Sarekat Islam (SI), KH. Wahab berhadapan dengan
Ahmad Soerkati. Seorang guru besar dari Sudan, Afrika Timur, pendiri
gerakan reformasi al-Irsyad. Demikian pula dengan Ahmad Dahlan,
seorang pendiri Muhammadiyah.
Selanjutnya, pada tahun 1924-an merupakan masa-masa ramainya
perdebatan masalah khilafiyah dalam Islam; mengenai bid’ah, mengenai
ijtihad, mengenai madzhab dan masalah-masalah fiqhiyah lainnya. Berkali-
kali telah diadakan munazarah (perdebetan sehat) untuk menyelesaikan
10 Taswiru al-Afkar atau dikenal juga dengan Nahdatu al-Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sossial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdatu at-Tujjar, (pergerakan kaum sudagar) serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdatul at-Tujjar itu, maka Taswiru al-Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Taswiru al-Afkar juga merupakan sebuah kelompok diskusi yang mana kegiatan di dalamnya adalah membahas persoalan-persoalan agama dan kehidupan masyarakat, yang dipelopori oleh Kyai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Kyai Mas Mansur, Kyai Mangun, dan Kyai Wahab Hasbullah. M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik, hlm. 33. Atau www.nu.online.or.id. . Sejarah NU, hlm. 1.
11 Dikatakan kelompok Islam Tradisionalis karena memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Petama, berpegang teguh pada produk fiqh dan kalam serta tasawwuf seperti yang terungkap dalam kitab-kitab kuning dan tidak suka melakukan pembaharuan ajaran Islam. Apa yeng yang terungkap dalam teks kitab itu yang dipegangi secara utuh oleh kelompok ini. M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik, hlm. 11-12.
Kedua, tradisi kefeodalan yang masih kental dikalangan mereka, kefeodalan ini nampaknya memperoleh legitimasi dari kitab Ta’lim al-Muta’allim yang terlalu mengagung-agungkan seorang guru. M. Mashur Amin. “Anatomi Umat Islam”, dalam Bankit, N0. 6, 1993, hlm. 59-62.
Ketiga, pintu ijtihad telah tertutup atau setidak-setidaknya sulit dilakukan, karena syarat-syarat yang harus dipenuhi jauh dari kemungkinan bisa dipenuhi bagi orang biasa. A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri (Yogayakarta: LKPSM: 1994), hlm. 11-173.
12 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, hlm.9.
masalah ini. Di Surabaya, munazarah diikuti oleh para ulama dari berbagai
daerah, sebagian di bawah kepimimpinan KH. Abdul Wahab Hasbullah,
sebagian di bawah naungan KH. Mas Mansur, dan sebagian lagi dipimpin
oleh Sorkati. Dalam munazarah ini Kyai Wahab tetap mempertahankan
adanya bermazhab, sementara pihak lain menentangnya dengan gencar,
bahkan membid’ah-bid’ahkan masalah-masalah semacam ziarah kubur,
sholat tarawih 20 rakaat, pembacaan qunut pada saat sholat shubuh dan lain
sebagainya, selalu dipertahankan oleh Kyai Wahab sementara yang lainnya
masih tetap menentangnya.13
Masalah-masalah khilafiyah yang diperdebatkan seperti ini, menurut
Kyai Wahab telah dianggap selesai, dan tidak perlu diperdebatkan lagi,
karena masing-masing pihak mempunyai dasar atau dalil sendiri-sendiri.
Dan dalam perdebatan yang diadakan berulang-ulang kali itu pun, Kyai
wahab telah banyak memaparkan dalil-dalil yang kuat dan tidak dapat
dibantah lagi, namun pihak penentang tidak mau menerimanya dengan
alasan kalau dalil yang diutarakan oleh Kyai Wahab adalah alasan yang
dibuat-buat. Walaupun belum berhasil mengajak pihak penentang untuk
menerima kebenaran yang telah disampaikannya itu, akan tetapi Kyai
Wahab telah berhasil menunjukkan pada dunia Islam tentang alasan
kebenaran paham yang dianutnya—yaitu paham Ahlu as-Sunnah Wa al-
Jama’ah—paham Ahlu al-Mazhabi al-Arba’ah. Dan beliau hanya mampu
ikhtiar, sedangkan hidayah hanya bisa diberikan oleh Allah SWT.
Walaupun Kyai Abdul Wahab Hasbullah telah mengakhiri
perdebatan itu dengan penuh toleransi, berjiwa besar dan menganggap
perdebatan itu telah selesai segala-segalanya. Namun, kaum pembaharu
(reformis) tetap tidak mau mengimbangi sikap terpuji yang ditunjukkan oleh
Kyai Wahab itu, malahan telah berbuat sepihak atau tidak adil.14 Di antara
buktinya adalah, pada bulan Agustus tahun 1925 diadakan kongres al-Islam
ke-4 yang bermaksud membahas surat undangan yang datangnya dari Raja
13 Ali As’ad, ke-NU-an. (Yogyakarta: PWNU DIY Prees, 1981), hlm. 19.
14 Ibid., hlm.20.
Ibnu Sa’ud Arab Saudi, untuk menghadiri pertemuan internasional di Hijaz.
Dalam kongres tersebut forum lebih didominasi oleh kelompok Islam
Modern (pembaharu), sehingga tidak dibicarakan secara jelas hal-hal yang
berkaitan dengan Islam Tradisional. Bahkan terjadi perselisihan mengenai
kongres yang mana seharusnya dihadiri hingga akhirnya kongres berakhir
tanpa adanya suatu keputusan yang jelas. 15
KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai wakil dari kelompok Islam
Tradisionalis menghendaki agar delegasi yang dikirim ke Hijaz meminta
jaminan kepada Raja Ibnu Sa’ud untuk menghormati mazhab-mazhab fiqh
dan memperbolehkan melakukan praktek-praktek peribadatan atau
keagamaan secara tradisional. Demikian pula meminta untuk meniadakan
pelarangan melaksanakan tarikat dan ziarah kubur ke makam-makam orang-
orang suci di Makkah dan sekitarnya.16 Usulan itu sering dilontorkan oleh
Kyai Wahab dalam berbagai pertemuan-pertemuan dengan ulama lain,
namun kurang mendapat sambutan, bahkan kongres yang selalu didominasi
oleh kelompok Islam Modern tidak begitu menghiraukan usulan Kyai
Wahab tersebut. Mereka, kelompok Islam Modernis cenderung mendukung
pendapat Raja Ibnu Sa’ud.
Sebelum kongres al-Islam ke-5 di Bandung, telah diadakan suatu
rapat antar organisasi-organisasi pembaharu di Cianjur dan memutuskan
untuk mengirim utusan yang terdiri dari dua orang pembaharu ke Makkah—
yakni, HOS. Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansur (Muhammadiyah). Satu
bulan kemudian, ternyata kongres al-Islam tidak menyambut baik gagasan
15 M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik, hlm. 47.
16 Ibid., hlm. 48.
KH. Wahab yang menyarankan agar usulan-usulan kaum tradisonalis
mengenai praktek-praktek peribadatan atau keagamaan agar di bawah oleh
delegasi Indonesia.17 Penolakan yang memang masuk akal itu—karena
sebagian kaum reformis menyambut baik pembersihan dalam kebiasaan
ibadah agama di Arab Saudi.
Selanjutnya, dikarenakan Kyai Wahab dan kelompok Islam
Tradisionalis semakin tidak mendapat tempat dalam berbagai forum, maka
Kyai Wahab mengambil inisiatif untuk mengadakan pertemuan sendiri.
Akhirnya sebelum kongres al-Islam ke-5 dilaksanakan pada tanggal 6
Januari 1926, Kyai Wahab dan para ulama di Surabaya mengadakan
pertemuan dengan tujuan membahas pengiriman delegasi ke Kongres Islam
Internasional di Hijaz (Makkah). Pertemuan tersebut dilaksanakan di rumah
Kyai Wahab, atas undangan Komite Hijaz. Oleh karenanya, untuk
memudahkan tugas ini, pada tanggal 31 Januari 1926 diputuskan beberapa
hal yaitu;18
Pertama, mengutus KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Ahmad Ghana’im Al-Mishri agar dapat mewakili mereka di hadapan Raja Ibnu Sa’ud dalam Kongres Islam Internasional tersebut, untuk mencerahkan persoalan-persoalan peribadatan dan keagamaan yang akan dilaksanakan di Makkah.
Kedua, mendirikan sebuah jam’iyah yang dapat menampung aspirasi kelompok Islam tradisionalis, yaitu Nahdlatul Ulama (NU)—artinya; organisasi kembangkitan ulama.
17 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, hlm. 11.
18 Ali As’ad, ke-NU-an, hlm. 21.
Kedua utusan ini ternyata membawa hasil yang memuaskan, seperti
yang telah diharapakan sejak semula—yakni janji-janji yang diberikan oleh
penguasa hijaz (Raja Ibnu Sa’ud-Arab Saudi), sebagaimana berikut:
1. Meskipun penguasa Hijaz dan Nejed (Saudi Arabia sekarang) beraliran
Wahabi, tetapi beliau akan bersikap adil serta melindungi adanya ajaran
empat mazhab.
2. Tidak dilarangnya pengajaran Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah (paham
yang berhaluan empat mazhab) yang biasa berlaku dalam Masjid al-
Haram sejak dahulu kala.
3. Tidak akan mengganggu atau melarang orang-orang yang akan berziarah
ke makam-makam yang ada di wilayah Hijaz dan Nejed, terutama
makam-makam yang bersejarah. Misalnya, makam-makam para Nabi,
Sahabat, dan lain sebagainya.19
Selain rapat Hijaz memutuskan dua hal tersebut di atas, rapat juga
menyusun pengurus besar NU yang terdiri dari dua bagian yaitu, Syuriyah
dan Tanfiziyah.20 Pengurus Syuriyah saat itu adalah:
Rais Akbar : KH. Hasyim Asy’ari (Tebuireng, Jombang)
Wakil Rais Akbar : KH. Dahlan (Kebondalem, Surabaya)
Katib Awal : KH. Abdul Wahab Hasbullah (Surabaya)
Katib Tsani : KH. Abdul Halim (Leuwimunding, Cirebon)
‘Awam : KHM. Alwi Abdul Aziz (Surabaya)
KH. Ridwan (Surabaya)
KH. Sa’id (Surabaya)
19 Janji-janji tersebut selanjutnya termaktup di dalam surat resmi Raja Ibnu Sa’ud, Nomor: 2082, tanggal 24 Dzulhijjah H/13 Juni 1928 M. Ali As’ad, ke-NU-an, hlm. 21-22
20 Ibid., hlm. 22-23.
KH. Bisyri Syamsuri (Denanyar, Jombang)
KH. Abdullah Ubaid (Surabaya)
KH. Nachrawi (Malang)
KH. Amin (Surabaya)
KH. Masykuri (Lasem)
KH. Nachrawi (Surabaya)
Musytasyar : KHR. Asnawi (Kudus)
KH. Ridwan (Semarang)
KH. MS. Nawawi (Sidogiri, Pasuruan)
KH. Dhoro Muntaha (Bangkalan, Madura)
Syeikh Ahmad Ghona’im Al-Mishry (Mesir)
KHR. Hambali (Kudus).
Sedangkan pengurus Tanfiziyah adalah:
Ketua : H. Hasan Gipo (Blora, Surabaya)
Seketaris : Muhammad Shiddiq (Pemalang)
Bendahara : H. Burhan (Surabaya)
Pembantu : H. Saleh Syamil (Surabaya)
H. Ihsan (Surabaya)
H. Ja’far (Surabaya)
H. Utsman (Surabaya)
H. Achzab (Surabaya)
H. Nawawi (Surabaya)
H. Dahlan (Surabaya)
H. Mangun (Surabaya)
Latar belakang lahirnya NU tersebut di atas perlu mendapat
perhatian, sebab karakteristik organisasi atau jam’iyah ini lebih berakar dari
sini. Satu hal yang perlu dicatat dari proses kelahiran yang pada hakekatnya
merupakan reaksi terhadap arus pembaharuan Islam tersebut— bahwa pola
perilaku reaktif semacam itu ternyata menjadi inheren dalam dinamika NU
selanjutnya.21
Pokok-pokok Pikiran.
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan yang
berhaluan Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah,22 sebagai wadah pengemban dan
mengamalkan ajaran Islam Ala Ahadi al-Mazhabi al-Arba’ah dalam rangka
mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.23 Dengan kata lain
sebagai salah satu ormas tertua, NU merupakan satu-satunya organisasi
masa yang secara keseluruhan bahwa Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah
sebagai mazhabnya.24 Sehingga, ketika NU berpegang pada mazhab, berarti
mengambil produk hukum Islam (fiqh) dari empat Imam Mazhab, yaitu
mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali.25
Dalam kenyataan NU lebih condong pada pendapat Imam asy-Syafi’I, oleh
karenanya NU sering “dicap” sebagai penganut fanatik mazhab Syafi’i. Hal
21 A. Gafar Karim, Metamorfosis, hlm. 50.
22 Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah pada hakekatnya adalah ajaran Islam yang sebenarnya, seperti yang diajarkan dan daiamalkan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabatmnya. Oleh karena itu Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah sudah timbul bersamaan dengan munculnya agama Islam sejak disampaikan syari’ah dan ajarannya oleh Rasulullah SAW. Jadi, golongan Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah adalah golongan pengikut setia ajaran yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW beserta para sahabatnya. A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran, hlm 39.
23 Sekretariat Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Hasil-hasil Muktamar XXX Nahdhatul Ulama (Jakarta: Sek. Jen. PBNU, 1999), hlm.23.
24 Mohamad Shodik, Gejolak Santri Kota: Aktivitas Muda NU Merambah Jalan Lain, cet. I (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 86.
25 Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam: Dalam Perspektif Historis dan Ideologis, cet. I (Yogyakarta: LPPI, 2000), hlm. 58.
ini dapat dilihat dari cara NU mengambil sebuah rujukan dalam
menyelesaikan kasus-kasus atau permasalahan-permasalahan yang muncul.
Alasan yang sering dilontarkan adalah umat Islam Indonesia manyoritas
bermazhab Syafi’i.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah yang
bertujuan membagun atau mengembangkan insan dan masyarakat yang
bertaqwa kepada Allah SWT senantiasa berpegang teguh pada kaidah-
kaidah keagamaan (ajaran Islam) dan kaidah-kaidah fiqh lainnya dalam
merumuskan pendapat, sikap dan langkah guna memajukan jam’iyah
tersebut. Dalam bidang keagamaan dan kemasyarakatan alam pikiran
(pokok ajaran) Nahdlatul Ulama (NU) secara ringkas dapat dibagi menjadi
tiga bidang ajaran yaitu; bidang aqidah, fiqh, dan tasawuf.26
Dalam bidang aqidah yang dianut oleh NU sejak didirikan pada 1926
adalah Islam atas dasar Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Faham ini menjadi
landasan utama bagi NU dalam menentukan segala langkah dan
kebijakannya, baik sebagai organisasi keagamaan murni, maupun sebagai
organisasi kemasyarakatan. Hal ini ditegaskan dalam Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)., bahwa NU mengikuti Ahlu as-
Sunnah Wa al-Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan (mazhab).
Adapun faham Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah yang dianut NU adalah
faham yang dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur
26 M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik, hlm. 80. Lihat juga Mohamad Shodik, Gejolak Santri Kota, hlm. 97.
al-Maturidi.27 Keduanya dikenal memiliki keahlian dan keteguhan dalam
mempertahankan i’tiqad (keimanan) Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah seperti
yang telah disyaratkan oleh Nabi SAW dan para sahabatnya. Jadi dalam
melaksanakan ajaran Islam, bila dikaitkan dengan masalah-masalah aqidah
harus memilih salah satu di antara dua yaitu al-Asy’ari dan al-Maturidi.
Sementara dalam bidang fiqh ditegaskan bahwa: Nahdlatul Ulama
(NU) sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah beraqidah Islam menurut faham
Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah dan mengikuti faham salah satu mazhab
empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Namun dalam prakteknya para
Kyai adalah penganut kuat dari pada mazhab Syafi’i.28
Jadi dengan demikian NU memegang produk hukum Islam (fiqh)
dari salah satu empat mazhab tersebut—artinya bahwa dalam rangka
mengamalkan ajaran Islam, NU menganut dan mengikuti bahkan
mengamalkan produk hukum Islam (fiqh) dari salah satu empat mazhab
empat sebagai konsekuensi dari menganut faham Ahlu as-Sunnah Wa al-
Jama’ah. Walaupun demikian tidak berarti terus Nahdlatul Ulama tidak lagi
menganut ajaran yang diterapkan Rasulullah SAW. sebab keempat mazhab
tersebut dalam mempraktekkan ajaran Islam juga mengambil landasan dari
al-Qur’an dan as-Sunnah di samping Ijma’ dan Qiyas sebagai sumber pokok
penetapan hukum Islam.29
27 Ibid., hlm. 81
28 Mohamad Shodik, Gejolak Santri Kota, hlm. 97.
29 M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad hlm. 83
Adapun alasan kenapa Nahdlatul Ulama dalam bidang hukum Islam
(fiqh) lebih berpedoman kepada salah satu dari empat mazhab;30 Pertama,
al-Qur’an sebagai dasar hukum Islam yang pokok atau utama bersifat
universal, sehingga hanya Nabi SAW. yang tahu secara mendetail maksud
dan tujuan apa yang terkandung dalam al-Qur’an. Nabi SAW sendiri
menunjukkan dan menjelaskan makna dan maksud dar al-Qur’an tersebut
melalui sunnah-sunnah beliau—yaitu berupa perkataan, perbuatan, dan
taqrir. Kedua, sunnah Nabi SAW. yang berupa perkataan, perbuatan,
maupun taqrirnya yang hanya diketahui oleh para sahabat yang hidup
bersamaan (semasa) dengan beliau, oleh karena itu perlu untuk memeriksa,
menyelidiki dan selanjutnya berpedoman pada keterangan-leterangan para
sahabat tersebut. Namun sebagian ulama tidak memperbolehkan untuk
mengikuti para sahabat dengan begitu saja. Maka dari itu untuk
mendapatkan kepastian dan kemantapan, maka jalan yang ditempuh adalah
merujuk kepada para ulama mujtahidin yang tidak lain adalah imam
madzhab yang empat—artinya bahwa dalam mengambil dan menggunakan
produk fiqh (hukum Islam) dari ulama mujtahidin harus dikaji, diteliti dan
dpertimbangkan terlebih dahulu sebelum dijadikan pedoman dan landasan
bagi Nahdhatul Ulama.
Oleh karena itu, untuk meneliti dan mengkaji suatu produk fiqh
(hukum Islam) dalam NU ada suatu forum pengkajian produk-produk
hukum fiqh yang biasa disebut “Bahsul Masail ad-Diniyah (pembahasan
30 Ibid., hlm. 83-84
masalah-masalah keagamaan)”.31 Jadi dalam forum ini berbagai masalah
keagamaan akan digodok dan diputuskan hukumnya, yang selanjutnya
keputusan tesebut akan menjadi pegangan bagi Jam’iyah Nahdlatul Ulama.
Faham Nahdlatul Ulama dalam bidang tasawuf. Tasawuf sebenarnya
merupakan dari ibadah yang sulit dipisahkan dan merupakan hal yang
penting, terutama yang berkaitan dengan makna hakiki dari suatu ibadah.
Jika fiqh merupakan bagian lahir dari suatu ibadah yang segala ketentuan
pelaksanaannya sudah ditetapkan dalam agama, untuk mendalami dan
memahami bagian dari ibadah, maka jalan yang dapat ditempuh adalah
melalui tasawuf itu sendiri.
Di antara berbagai macam aliran tasawuf yang tumbuh dan
berkembang, NU mengikuti aliran tasawuf yang dipelopori oleh Imam
Junaid al-Bagdadi dan Imam al-Gazali. Imam Junaid al-Bagdadi adalah
salah seorang sufi terkenal yang wafat pada tahun 910 M di Irak, sedangkan
Imam al-Gazali adalah seorang ulama besar yang berasal dari Persia.
Untuk kepentingan ini, yaitu membentuk sikap mental dan kesadaran
batin yang benar dalam beribadah bagi warga Nahdlatul Ulama, maka pada
tahun 1957 para tokoh NU membentuk suatu badan “Jam’iyah at-Tariqah
al-Mu’tabarah” badan ini merupakan wadah bagi warga NU dalam
mengikuti ajaran tasawuf tersebut. Dalam perkembangannya pada tahun
1979 saat muktamar NU di Semarang badan tersebut diganti namanya
“Jam’iyah at-Tariqah al-Mu’tabarah an-Nadiyyah”.32 Dengan melihat nama
31 Ibid., hlm. 84.
32 Ibid., hlm. 85
badan tersebut di mana di dalamnya ada kata nadhiyyin ini menunjukkan
identitasnya sebagai badan yang berada dalam linkungan Nahdhatul Ulama.
Selanjutnya, sejalan dengan derap langkah pembangunan yang
sedang dilakukan, maka Nahdlatul Ulama sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari masyarakat dan bangsa harus mempunyai sikap dan
pendirian dalam dan turut berpartisipasi dalam pembangunan tersebut. Sikap
dan pendirian Nahdlatul Ulama ini selanjutnya menjadi pedoman dan acuan
warga NU dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara. Sikap
NU dalam bidang kemasyarakatan diilhami dan didasari oleh sikap dan
faham keagamaan yang telah dianut. Sikap kemasyarakatan NU bercirikan
pada sifat: tawasut dan i’tidal, tasamuh, tawazun dan amar ma’ruf nahi
munkar.33 Sikap ini harus dimiliki baik oleh aktifis Nahdlatul Ulama
maupun segenap warga dalam berorganisasi dan bermasyarakat:
1. Sikap Tawasut dan I’tidal.
Tawasut artinya tengah, sedangkan I’tidal artinya tegak. Sikap
tawasuth dan i’tidal maksudnya adalah sikap tengah yang berintikan
kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan
lurus ditengah-tengah kehidupan bersama.34 Dengan sikap dasar ini,
maka NU akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan
33 Ibid., hlm. 86-88.
34 Mohamad Shodik, Gejolak Santri Kota, hlm. 98.
bertindak lurus dan selalu bersikap membangun serta menghindari
segala bentuk pendekatan yang bersifat tatarruf (ekstrim).
2. Sikap Tasamuh.
Maksudnya adalah Nahdlatul Ulama bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan teruma hal-hal yang bersifat furu’ atau yang menjadi masalah khilafiyah maupun dalam masalah yang berhubungan dengan kemasyarakatan dan kebudayaan.
3. Sikap Tawazun.
Yaitu sikap seimbang dalam berkhidmad. Menyesuaikan
berkhidmad kepada Allah SWT, khidmat sesama manusia serta kepada
lingkungan sekitarnya. Menserasikan kepentingan masa lalu, masa kini
dan masa yang akan datang.
4. Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Segenap warga Nahdlatul Ulama diharapkan mempunyai kepekaan untuk mendorong berbuat baik dan bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat, serta mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahakan nilai-nilai kehidupan manusia.
Dengan adanya beberapa aspek tersebut di atas, diharapkan agar
kehidupan umat Islam pada umumnya dan warga Nahdlatul Ulama pada
khususnya, akan dapat terpelihara secara baik dan terjalin secara harmonis
baik dalam lingkungan organisasi maupun dalam segenap elemen
masyarakat yang ada. Demikian pula perilaku warga Nahdlatul Ulama agar
senantiasa terbentuk atas dasar faham keagamaan dan sikap
kemasyarakatan, sebagai sarana untuk mencapai cita-cita dan tujuan yang
baik bagi agama maupun masyarakat.
Pandangannya tentang Bunga Bank.
Persoalan bank dan bunganya dalam pandangan Nahdlatul Ulama
(NU) telah menjadi persoalan yang signifikan, sehingga perlu mendapat
perhatian yang cukup besar dari para ulama NU. Kaitannya dengan masalah
bunga bank, NU melalui forum kajian Bahsul Masailnya telah
mengaharamkannya, hal ini dikarenakan bunga bank disamakan dengan
gadai yang digunakan pada zaman jahiliyah, jika pemilik barang gadai tidak
bisa membayar uang pada waktunya, maka barang gadaiannya lepas dari
pemiliknya dan menjadi milik penggadai dan hal ini telah ditetapkan
hukumnya dalam Mu’tamar II tahun 1927 di Surabaya.
Dalam masalah bunga bank ini terdapat tiga pendapat dari para ahli
hukum (ulama):35
a. Haram : Karena termasuk barang yang dipungut manfaatnya
(rente).
b. Halal : Sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sebab menurut
para ahli hukum terkenal, bahwa adat yang berlaku
itu tidak termasuk menjadi syarat.
c. Syubhat : (tidak tentu halal-haramnya)Sedangkan mu’tamar memutuskan, bahwa yang lebih hati-hati
adalah pendapat mu’tamirin yang pertama—yakni mengaharamkan adanya bunga dalam dunia perbankan. Sikap NU ini didasari dengan mengambil hujjah dari kitab mu’tabar yaitu :
ففاسد لمقرض جرنفع بشرط القرض 36 واما
Adapun hukum menitipkan uang di bank, demi keamanan saja, NU menyatakan makruh kalau meyakinkan bahwa uangnya tersebut akan digunakan untuk kegiatan yang melanggar norma-norma agama.37
Dalam keputusan lain juga telah ditetapkan:Mengigat bahwa dalam bank, pihak debitur memiliki dan bertanggungjawab penuh atas uang yang dipinjamkan dan bunganya ditentukan atas dasar untung rugi atau besar kecilnya keuntungan dari hasil usahanya, maka transaksi bank tersebut termasuk dalam akad qard dan dengan sendirinya bunga bank termasuk riba qard. Dilihat dari sudut ini bahwa besar kecilnya bunga tergantung pada lama atau sebentarnya tempo pengambilan bunga bank
35 Abu Hamdan Abdu al-Jalil Hamid, Ahkam al-Fuqaha’ fi al-Muqarrarat Mu’tamarat Nahdatu al-Ulama’, (Semarang: Toha Putra, t.t.), I: 22.
36 Sayyid Bakr ad-Dimyati, Ianah at-Talibin (Semarang: Toha Putra t.t.), hlm. 56.
37 A Abu Hamdan Abdu al-Jalil Hamid, Ahkam al-Fuqaha’, hlm. 71. Atau Zuhdi Mukhdlor, NU dan Beberapa Soal Keagamaan, cet I (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1992), hlm. 40
cenderung masuk dalam riba nasi’ah—yang berlipat ganda.38
Meskipun telah diambil kesepakatan tentang hukum bunga bank, tampaknya para muktamirin masih berbeda pendapat, terutama dalam Munas ‘Alim Ulama di Bandar Lampung, 21-25 Januari 1992, khususnya mengenai hukum bunga bank konvensional. Di antaranya sebagai berikut:
a. Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank
dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya adalah haram.
b. Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan
riba, sehingga hukumnya adalah boleh.
c. Ada pendapat yang mengatakan bunga bank hukumya syubhat
(tidak identik dengan riba).
Untuk menyelesaikan masalah tersebut, NU memberikan solusi: Mengingat warga NU merupakan potensi yang terbesar dalam pembangunan nasional dan dalam kehidupan sosial ekonominya, diperlukan adanya suatu lembaga keuangan sebagai peminjam dan pembina yang memenuhi syarat sesuai dengan keyakian keyakian warga NU, maka dipandang perlu untuk mencari jalan keluar menentukan sistem perbankan yang sesuai dengan hukum Islam—yakni bank tanpa suku bunga dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Sebelum tercapainya cita-cita di atas, hendaknya sistem perbankan yang dijalankan sekarang ini harus segera diperbaiki
b. Perlu diataur—dalam penghimpunan dana masyarakat dengan
prinsip:39
1) Wadi’ah (simpanan) bersyarat atau dhamanah, yang
digunakan untuk menerima giro (current account) dan
tabungan (seving account) serta pinjaman dari lembaga
38 Tim Penyusun, Keputusaan Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung 1992, Lajnah wa Ta’lif wa Nasyr, (Semarang: Sumber Barakah, 1993), hlm. 20.
39 Sekretariat Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, “Bank Dalam Islam”, materi pelengkap disajikan pada Munas ‘Alim Ulama NU tentang hukum bunga bank, diselenggarakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Bandar Lampung, 21-25 Januari 1992, hlm. 28-29.
keuangan lain yang menganut sistem yang sama—Dalam hal
ini yang menerima simpanan dana (bank) bertanggungjawab
atas pengembalian dana tersebut sesuai dengan akad.
2) Mudarabah—dalam prinsip ini pemilik dana bersepakat
dengan bank untuk melakukan usaha bersama dengan
membagi keuntungan yang diperoleh dengan suatu rasio yang
telah disepakati terlebih dahulu.
Dalam prakteknya, bentuk ini disebut investment account (deposito berjangka), mislanya 3 bulan, 6 bulan dan sebagainya, yang pada garis besarnya dapat dinyatakan dalam:1) Genaral Investment (GIA).—Peraturan perbankan mewajibkan
pengembalian dana nasabah secara utuh pada saat jatuhnya jangka
waktu deposito, atau dapat ditarik seluruhnya jika dikehendaki oleh
nasabah karena ia sebagai titipan (wadi’ah/amanat).
2) Special Investment (SIA).—Dana digunakan untuk membiayai
proyek atau jenis perdagangan tertentu sesuai dengan kesepakatan
kedua belah pihak. Sumber dana Bank Islam dapat juga dalam bentuk
infaq, zakat, sedekah, hibah dan lain-lainnya. Special Investment ini
meliputi:
a) Penanaman dana dan kegiatan usaha. Dalam penanaman
dana atau kegiatan usaha lainnya, bank Islam pada dasarnya
bergerak dalam tiga bidang yaitu:
- Pembiayaan proyek
- Pembiayaan perdagangan perkongsian
- Pemberian jasa atas dasar upaya melalui usaha patungan,
profit sharing dan sebagainya.
b) Untuk proyek financing sistem yang dapat digunakan, atara
lain:
(1) Mudarabah muqaradah
(2) Musyarakah
(3) Murabahah
(4) Pemberian kredit dengan service change (bukan
bunga)
(5) Ijarah
(6) Bai’ ad-Dain, termasuk di dalamnya Bai’ as-Salam
(7) Al-Qard al-Hasan (pinjaman kredit tanpa bunga, dan
tanpa service change)
(8) Bai’ al-‘Ajil.
c) Untuk aqriten participation, bank dapat membuka LC (letter
of credit) dan pengeluaran surat pinjaman. Untuk ini dapat
ditempuh kegiatan tersebut dengan dasar:
(1) Wakalah
(2) Musyarakah
(3) Murabahah
(4) Ijarah
(5) Sewa-beli
(6) Bai’ as-Salam
(7) Bai’ al-Ajil
(8) Kafalah (garansi bank)
(9) Working capital financing (pembiayaan modal kerja)
melalui purshase order dengan menggunak prinsip
murabahah
d) Untuk jasa-jasa perbankan (banking service) lainnya, seperti
pengiriman dan transfer uang, jual beli valuta asing dan
penukarannya dan lain-lain, tetap dapat dilakukan dengan
menggunakan prinsip tanpa bunga.40
Selanjutnya berkaitan dengan bank-bank yang ada sekarang (bank yang didirikan pemerintah). Nahdlatul Ulama tetap memperbolehkan beroperasinya bank-bank dan bahkan pemerintah dapat mendirikan bank-bank yang baru, karena kebutuhan yang kuat (hajat rajihah). Dalam hal ini NU menetapkan:
Indonesia sebagai negara yang melindungi tegaknya semua ajaran yang dianut oleh mayoritas penduduknya berada dalam posisi yang serba sulit. Di satu pihak negara dihadapkan pada sistem ekonomi modern yang tidak bisa lepas dari perbankan, di lain pihak negara didhadapkan pada ajaran agama yang mengharamkan adanya bunga. Dengan adanya kebutuhan yang mendesak dan tidak dapat dihindari itu, sementara bank Islam belum bisa memenuhi kebutuhan, maka sambil melakukan perbaikan secara bertahap, negara diperbolehkan untuk meneruskan operasinya bank milik pemerintah dan mendirikan bank-bank negara yang baru, disesuaikan dengan kadar kebutuhan.41
Tampaknya pernyataan NU di atas masih terdapat sedikit kerancuan. Satu sisi NU mengharamkan bunga bank, di sisi lain NU memperbolehkan terbentuknya bank-bank pemerintah walaupun dengan keadaan darurat (emergency). Sehubungan dengan keadaan tersebut, NU membagi tiga katagori bagi umat Islam kaitannya dengan bank. Pertama,
40 Ibid., hlm. 30-37.
41 Tim Penyusun, Keputusan , hlm. 2.
orang Islam yang dalam hidupnya tidak dapat terlepas dari bank seperti para pengusaha,, para kontraktor dan lain sebagainya, dengan alasan darurat, maka boleh bermuamalah dengan bank. Kedua, orang Islam yang tidak terikat pada bank tetapi sangat butuh pada bank, maka hukumnya boleh berhubungan dengan bank tetapi disesuaikan dengan kadar kebutuhannya. Ketiga, bagi orang Islam yang tidak membutuhkan bank hukumnya haram untuk berhubungan dengan bank.42
B. Muhammadiyah dan Pandangannya Tentang Bunga Bank.1. Sejarah dan Latar Belakang Lahirnya.
Sebelum masuknya agama Islam di Indonesia, masyarakat Inndonesia kebanyakan memeluk agama Hindu dan Budha dengan segalah amalan dan tradisi yang ada di dalamnya. Sementara itu pula agama Islam telah sampai ke Nusantara telah melawati perjalanan yang sangat panjang. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri lagi adanya kenyataan berbagai pengaruh kepercayaan lain yang menempel secara tidak sengaja ke tubuh ajaran Islam. Melihat kondisi yang semacam itu dapat dimaklumi kalau akhirnya dalam prakateknya umat Islam di Indonesia pada saat ini memperlihatkan hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.43
Dalam kehidupan beraqidah (keyakinan hidup) agama Islam mengajarkan pada umatnya untuk memiliki tauhid yang murni, bersih dari berbagai macam syirik maupun khurafat (tahayul). Namun dalam prakteknya banyak orang Islam yang percaya terhadap benda-benda keramat semacam keris, tombak, batu aji, percaya pada hari baik dan hari buruk, bulan baik dan bulan buruk dan lain sebagainya. Mereka sering pergi kekuburan-kuburan yang dianggap keramat, seperti kuburan para wali, ulama besar, dan sebagainya dengan tujuan untuk meminta berkah kepada mereka. Mereka percaya terhadap ramalan bintang, ramalan burung, ramalan nasib, ramalan dukun dan ramalan gaib lainnya.
Sementara dalam kehidupan beribadah, agama Islam memberikan tuntunan secara pasti sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW. Bertitik-tolak pada prinsip ini dalam ilmu usul fiqh ada kaidah yang menyatakan bahwa “dalam ibadah mahdah semua amalan terlarang, kecuali hal-hal yang telah di ajarkan Nabi SAW. Sedangkan dalam urusan keduniaan semua amalan diperbolehkan, kecuali yang secara jelas telah dilarang oleh oleh agama”. Rasulullah sendiri telah menyatakan dengan tegas bahawa “semua rekan-rekan (bid’ah) dalam ibadah mahdiyah adalah sesat, dan semua yang sesat akan masuk
42 Ibd., hlm. 22.43 www.muhammadiyah.online.or.id, Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah, hlm. 1.
lihat juga Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah, hlm. 72.
neraka”. Namun dalam kenyataannya masih banyak sekali umat Islam yang dalam praktek ubudiyahnya bercampur-aduk antara apa yang diajarkan oleh agama Islam dengan berbagai amalan yang berasal dari kepercayaan lain, sebagi contoh dapat dilihat masih mentradisinya sesaji yang ditujukan kepada para arwah, kepada roh-roh halus, selamatan saat kematian, semacam mentuju hari; empat puluh hari, seratus hari, seribu hari dengan dibacakan bacaan tertentu seperti bacaan tahlil, surat Yasin, ayat Kursi dan sebagainya.44 Bukankah hal semacam itu bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam sebagaimana yang telah digariskan dalam al-Qur’an surat al-Fatihah ayat 5, al-Baqarah ayat 286, al-An’am ayat 164 dan an-Najm ayat 39.
Sementara itu pondok pesantren yang merupakan salah satu lembaga pendidikan khas milik umat Islam di Indonesia, sekaligus merupakan sistem pendidikan yang sangat khas Indonesia. Ditilik dari sejarahnya sistem ini sebenarnya sudah ada dan berkembang sejak zaman Hindu-Budha, dan terus berlanjut ketika Indonesia memasuki zaman Islam. Sistem pondok pesantren yang dikembangkan oleh umat Islam Indonesia telah banyak memberikan sumbangan bagi nusa dan bangsa dari sejak sebelum masa penjajahan Belanda hingga masa penjajahan Belanda.
Lewat lembaga pesantren dilahirkan kader-kader umat Islam dan bangsa yang tidak sedikit jumlahnya. Namun kalau ditinjau dari fungsinya selaku lembaga yang harus menyiapkan kader-kader umat dan bangsa pada masa mendatang dalam rangka menghadapi tantatangan kemajuan zaman yang tidak perna mengenal berhenti, maka akan terasa bahwa muatan isi yang ada dalam sistem pondok pesantren yang hanya mengajarkan “mata pelajaran agama” dalam arti sempit, yaitu terbatas dalam bidang; fiqh agama atau fiqhuddin sebagaimana yang disyaratkan dalam surat at-Taubah ayat 122, yang meliputi pelajaran bahasa Arab, terjemah dan tafsir, hadits, akhlak atau tasawuf, aqaid, ilmu mantiq (logika) dan ilmu falaq. Sedangkan pelajaran yang berhubungan dengan urusan keduniaan, yang sering dikenal dengan istilah ilmu pengetahuan umum semacam sejarah, ilmu bumi (geografi), fisika, kimia, biologi, matematika, ekonomi, sosiologi dan sebagainya sama sekali belum diperkenalkan di lembaga pendidikan pondok pesantrem. Padahal justru lewat ilmu-ilmu pengetahuan ini seorang akan lebih mampu melaksanakan tugas-tugas keduniaan, satu dari tugas yang diemban oleh “Khalifah Allah”. Padahal semestinya lembaga pendidikan Islam sudah seharusnya menyiapkan diri menjadi lembaga pembibitan kader-kader penerus cita-cita Islam dan siap mengemban amanat Allah sebagai khalifah di muka bumi.45
Menigingat fungsi pendidikam Islam seperti ini, maka apa yang ada dalam lembaga pendidikan pondok pesantren pada saat itu dirasakan
44 Ibid., hlm. 73.45 Ibid., hlm. 74.
oleh KHA. Dahlan masih ada satu kekurangan mendasar yang harus segera disempurnakan. Kalau pada awalnya sistem pondok pesantren membekali kepada para santri-santrinya hanya dengan ilmu-ilmu agama semata, maka untuk penyempurnaannya diberikan juga kepada mereka ilmu-ilmu pengetahuan umum, sehingga dengan pengetahuan umum tersebut akan lahirlah dari lembaga pendidikan ini manusia yang bertaqwa kepada Allah menjadi “Cerdas lagi Ttrampil”, yang dalam terminologi al-Qur’an disebut sebagai Ulul Albab.46
Demikian pula dengan kedatangan bangsa-bangsa Eropa terutama bangsa Belanda ke Indonesia, khususnya dalam aspek kebudayaan, peradaban dan keagamaan telah membawa pengaruh buruk terhadap perkembangan agama Islam di Indonesia. Sebagaimana halnya bengsa-bangsa Eropa lainnya, bangsa Belanda pun ketika masuk negeri Indonesia juga mengibarkan panji-panji “Tiga G”, yaitu Glory, Gold, dan Gospel. Ketiga G tersebut sebenarnya menggambarkan motif kedatangan kaum penjajah ke negeri-negeri jajahannya. Yang pertama motif politik (Glory = menang); suatu motif untuk menjajah dan menguasai negeri jajahannya sebagai negeri kekuasaannya. Kedua motif ekonomi (Gold = emas atau kekayaan); suatu motif untuk mengekploitasi, memeras dan mengeruk harta kekayaan negeri jajahan. Dan ketiga (Gospel = Injil); motif untuk menyebarluaskan agama Kristen kepada anak negeri jajahan, atau motif untuk mengubah agama penduduk, yang Islam atau bukan Islam agar menjadi Kristen. Ketiga motif tersebut di atas, khususnya motif yang terkhir (Kristenisasi)47 inilah yang menjadikan KH. Ahmad Dahlan khawatir dengan perkembangan Islam selanjutnya—umat Islam banyak ikut-ikutan dengan ajakan pemerintah Hindia Belanda dengan menerima dan menerapkan kebudayaan Barat yang telah dibawanya.
Selanjutnya pendidikan model Barat yang mereka kembangkan, dengan ciri-cirinya yang sangat menonjolkan sifat intelektualistik, individualistik, elistis dan diskriminatis, sama sekali tidak memperhatikan dasar-dasar asas moral kegamaan (sekuler), sehingga lahirlah generasi baru bangsa Indonesia yang terkena pengaruh paham rasionalisme dan individualisme dalam pola berfikir mereka. Bahkan lebih jauh dari pada itu, H.J. Benda sebagaimana dikutip oleh Mustafa Kamal Pasha, menyatakan bahwa dalam analisisnya terakhir maka pendidikan Barat adalah sebagai satu-satunya alat yang paling pasti untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia. Apa yang diharapakan oleh pemerintah Hindia Belanda seperti di atas tanda-tandanya akan segera terlihat, antara lain seperti muculnya generasai baru bangsa Indonesia yang bersikap acuh tak acuh terhadap agama Islam, kalau tidak malah melecehkannya. Mereka menganggap selama
46 Ibid., hlm. 75.
47 Ibid. Lihat juga www.muhammadiyah.online.or.id, Latar Belakang, hlm. 1.
mereka masih menampakkan ke-Islam-annya, mereka rasanya belum dapat disebut sebagai orang modern, orang yang berkemajuan tinggi dan sebagainya.48
Dari beberapa faktor di atas , tampaknya telah membuat KH. Ahmad Dahlan merasa terpanggil untuk memurnikan kembali ajaran-ajaran Islam dari beberapa pengaruh tersebut, dengan banyak melakukan dakwah dan pengajian yang berisi faham baru dalam Islam dan menitikberatkan dalam segi amaliyah. Baginya, Islam adalah agama amal—suatu agama yang mendorong umatnya untuk banyak melakukan kerja dan berbuat sesuatu yang bermanfaat. Dengan bekal pendalamnya terhadap pemahaman al-Qur’an dan as-Sunnah, sampailah KH. Ahmad Dahlan pada pendirian dan tindakannya yang banyak bersifat pengamalan Islam dalam kehidupan nyata.
Akhirnya, pada tahun 1911 KH. Ahmad Dahlan mendirikan “Sekolah Muhammadiyah”.49 Dalam sekolah tersebut, dimasukkan pula beberapa pelajaran yang lazim diajarkan di sekolah model Barat, seperti ilmu bumi, ilmu alam, ilmu hayat, dan sebagainya. Begitu pula diperkenalkan cara-cara baru dalam pengajaran ilmu-ilmu keagamaan sehingga lebih menarik dan menyerap. Dengan murid yang tidak begitu banyak, jadilah “Sekolah Muhammadiyah” tersebut sebagai tempat persemaian bibit-bibit pembaharu dalam Islam di Indonesia.
Sebagai puncaknya, berdirlah organisasi atau jam’iyah pembaharu dalam Islam sebagai wahana untuk menjembatani dan menyelamatkan ajaran Islam dari adanya pengaruh obyektif yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal bagi perkembangan Islam selanjutnya di Indonesia. Maka pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 yang bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 Jam’iyah Muhammadiyah berdiri—yang di dalam anggaran dasarnya pertama kalinya bertujuan: “Menyebarkan Pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. kepada penduduk bumi-putera, di dalam residensi Yogyakarta” serta “Memajukan perihal agama Islam kepada sekutu-sekutunya”.50
2. Pokok-pokok Pikiran.
Muhammadiyah merupakan salah satu orgnisasi Islam pembaharu di
Indonesia. Muhammadiyah yang dibangun oleh K.H. Ahmad Dahlan51
48 Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah, hlm. 76-77.
49 Ibid., hlm. 56
50 Ibid., hlm. 57.51 K.H. Ahmad Dahlan. Ia lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta, tahun 1868 M dengan
nama Muhammad Darwis. Ayahnya adalah K.H. Abubakar, seorang Khotib masjid Besar Kesultanan Yogyakarta, yang apabila dilacak silsilahnya sampai kepada Maulana Malik Ibrahim.
sesungguhnya merupakan salah satu mata rantai yang panjang dari gerakan
pembaharuan Islam yang dimulai sejak tokoh pertamanya, yaitu Ibnu
Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Sayyid
Jamaludin al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida, dan sebagainya.
Pengaruh gerakan pembaharuan tersebut terutama berasal dari Muhammad
Abduh melalui tafsirnya, al-Manar, suntingan dari Rasyid Rida serta
majalah al-Urwatu al-Wusqa.
Muhammadiyah sebagai persyarikatan yang merupakan gerakan
Islam. Maksud gerakannya adalah melakukan dakwah Islam amar ma’ruf
nahi munkar yang ditujukan dalam dua bidang perseorangan dan
masyarakat. Dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang yang
pertama terbagi mrenjadi dua golongan, kepada yang Islam bersifat
pembaharuan (tajdid) yaitu mengembalikan kepada ajaran-ajaran agama
Islam yang asli dan murni dengan jalan menghilangkan bid’ah, khurafat, dan
lain sebagainya. Yang kedua kepada yang belum Islam—bersifat seruan dan
ajakan untuk mengikuti atau memeluk ajaran agama Islam. Adapun Dakwah
Ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim, Penghulu kesultanan Yogyakarta. Pada usia delapan tahun ia telah lancar membaca al-Quran hingga khatam. Kemudian ia belajar fiqh kepada K.H. Muhammad Shaleh, dan nahwu kepada K.H. Muhsin. Keduanya adalah kakak ipar Muhammad Darwis sendiri. Ia juga berguru kepada K.H. Muhammad Nur dan K.H. Abdul Hamid dalam berbagai ilmu. Pada tahun 1889 M ia dinikahkan dengan saudara sepupunya, Siti Walidah, putri K.H. Muhammad Fadil, Kepala Penghulu Kesultanan Yogyakarta. Beberapa bulan setelah pernikahannya, atas anjuran ayah-bundanya, Muhammad Darwis menunaikan ibadah haji. Ia tiba di Makkah pada bulan Rajab 1308 H (1890 M). Setelah menunaikan umrah, Ia bersilaturahmi dengan para ulama, baik dari Indonesia maupun Arab. Di antaranya, ia mendatangi ulama mazhab Syafi'i Bakri Syata' dan mendapat ijazah nama Haji Ahmad Dahlan. Ia telah berganti nama, dan juga bertambah ilmunya. Sepulang dari ibadahnya itu, ia membantu ayahnya mengajar santri-santri remaja. Sehingga, ia mendapat sebutan K.H. Ahmad Dahlan. www.muhammadiyah.online.or.id, Tokoh Pendirinya, hlm, 1-2.
dan amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang yang kedua adalah kepada
masyarakat, bersifat perbaikan dan bimbingan serta peringatan. Kesemuanya
itu dilakukan bersama dengan bermusyawarah atas dasar taqwa dan
mengharap keridhaan Allah semata-mata.52 Dengan melaksanakan dakwah
amar ma’ruf nahi munkar dengan cara masing-masing yang sesuai,
Muhammadiyah menggerakkan masyarakat menuju tujuaannya adalah;
terwujudnya masyarakat yang Islam yang sebenar-benarnya.
Dalam perjuangan melaksanakan usaha menunju tujuan terwujudnya
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya di mana kesejahteraan, kebaikan
dan kebahagiaan luas merata serta menuju tujuan terwujudnya masyarakat
utma, adil dan makmur yang diridhai Allah SWT. Maka Muhammadiyah
mendasarkan segala gerak dan amal usahanya atas prinsip-primsip yang
tersimpul dalam Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, yaitu:53
a. Hidup manusia harus berdasarakan tauhid, ibadah dan taat kepada
Allah SWT.
Dalam melaksanakan segala gerak dan kegiatannya maka tauhid
dan tawakkal kepada Allah SWT harus senantiasa menjadikan landasan
dasar utamanya, dengan maksud semata-semata untuk beribadah serta
mentaati semua perintah dan larangan-Nya. Dasar seperti inilah yang
harus menjadi ciri milik pribadi setiap warga Muhammadiyah sehingga
52 Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah, hlm. 181.
53 Ibid., hlm. 205-206
dapat menjadi contoh teladan dalam bangunan dan perbaikan negara dan
masyarakat.
b. Hidup Manusia bermasyarakat.
Muhammadiyah adalah salah satu faktor yang kuat dalam
perkembangan masyarakat serta warga Muhammadiyah merupakan
anggota masyarakat yang tidak diam, akan tetepi bergerak maju, aktif
dinamais dalam membangun. Oleh karena itu, gerakan Muhammadiyah
harus aktif dan menonjol di tengah-tengah masyarakat untuk memimpin
atau paling tidak menjadi sosok penerang yang cemerlang dalam
kehidupan bermasyarakat.
c. Menegakkan ajaran Islam dengan keyakinan bahwa ajaran Islam
adalah asatu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama
untuk kebahagian dunia dan akhirat.
Muhammadiyah berkeyakinan bahwa tidak ada dasar landasan
yang dapat membahagiakan manusia di dunia ini kecuali dengan dasar
al-Qur’an dan as-Sunnah yang akan membawa kebahagian manusia yang
hakiki di akhirat kelak. Oleh karena itu, apa pun ajaran Islam yang
terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah wajib dan mutlak dipatuhi
oleh setiap warga Muhammadiyah. Segala kebijaksanaan pimpinan serta
taktik daa srrategi perjuangan harus dinilai dan sesuai dengan prinsip-
prinsip ajaran Islam.
d. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat
adalah wajib, sebagai ibadah kepda Allah dan berbuat ihsan dan islah
kepada kemanusiaan.
Setelah Muhammadiyah dapat berdiri tegak dan berjalan di
atas landasan seperti di atas, barulah kuat untuk menegakkan dan
menjunjung tinggi ajaran Islam serta mampu mengatasi berbagai
rintangan, hambatan, tantangan dan segala halangan yang akan
terjadi.
e. Ittiba’ kepada langkah perjuangan Nabi Muhammad SAW.
Ittiba’ atau mengikuti jejak langkah perjuangan Rasulullah SAW.
adalah wajib menjadi syarat yang tidak boleh tidak harus dan wajib
dilakukan oleh setiap muslim, dan sesungguhnya dalam rangka
menggerakkan Umat Islam ke arah ittiba’ itulah hakikatnya
Muahammadiyah didirikan
Umat Islam wajib mencontoh sikap keteguhan Rasulullah dalam
menghadapi penderitaan dan rintangan, kesabaran dalam duka dan derita
serta kesyukurannya dalam menerima nikmat-nikmat Allah SWT—di
mana umat Islam harus senantiasa berusaha memiliki sifat-sifat yang
dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
f. Melancarkan amal usaha dan perjuangannya dengan ketertiban
organisasi.
Muhammadiyah beramal dan berjuang dengan berorganisasi
yang didasarkan atau musyawarah bersama. Menghimpun dan mendidik
kader pimpinan, mengaktifkan gerak anggota, menentukan peraturan-
peraturan untuk mencapai hasil yang jauh kebih besar dan lebih dapat
menanggulangi berbagai rintangan dan halangan karena bergerak dengan
menggunakan sebuah organisasi.
3. Pandangannya tentang Bunga Bank
Mu’tamar Majlis Tarjih Muhammadiyah setelah mempelajari:54
a. Uraian tentang masalah bunga bank dalam segala seginya yang
disampaikan oleh Nandang Komar, Direktur Bank Negara Indonesia
Unit 1 Cabang Surabaya.
b. Pembahasan dari para Mu’tamirin
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT.Menyadari:
1) Bahwa bank dalam sistem ekonomi-pertukaran adalah mempunyai
fungsi yang vital dalam perekonomian pada masa sekarang
2) Bahwa bank dalam wujudnya sekarang bukan merupakan lembaga yang
lahir dari cita-cita sosial ekonomi Islam.
3) Bunga adalah sendi dari sistem perbankan yang berlaku selama ini.
54 Uraian selengkapnya dapat dilihat dalam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta: Persatuan, t.t), hlm. 304-305.
4) Bahwa umat Islam sebagai umat pada dewasa ini tidak dapat melepaskan
diri daripada pengaruh perbankan yang secara langsung atau tidak
langsung telah menguasai perekonomian umat Islam.
Mengingat:
1) Bahwa nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah dengan jelas mengharamkan
riba.
2) Bahwa fungsi bank dalam perekonomian modern sekarang ini bukan
hanya menjadi sumber penghasilan bagi bank, melainkan juga berfungsi
sebagai alat politik perekonomian Negara untuk kesejahteraan umat
(stabilisasi ekonomi).
3) Bahwa adanya undang-undang yang mengatur besar kecilnya bunga
adalah untuk mencegah kemungkinan terjadinya penghisapan pihak
yang kuat terhadap pihak yang lemah di samping untuk melindungi
berlangsungnya kehidupan bank itu sendiri.
4) Bahwa hingga saat ini belum ada konsepsi sistem perekonomian yang
disusun dan dilaksanakan dengan kaidah Islam.
Menimbang:
1) Bahwa nas-nas al-Qur’an dan as-Sunnah tentang haramnya riba
mengesankan adanya ‘illat terjadinya penghisapan oleh pihak yang kuat
terhadap yang lemah.
2) Bahwa perbankan adalah suatu sistem lembaga perekonomian yang
belum pernah dialami umat Islam pada masa Rasulullah SAW.
3) Bahwa hasil keuntungan Bank-bank milik Negara pada akhirnya akan
kembali untuk kemaslahatan umat.
4) Bahwa termasuk atau tidaknya bunga bank ke dalam pengertian riba
Syar’i dirasa belum mencapai bentuk yang meyakinkan
Memutuskan:
1) Riba hukumnya haram, dengan nas sarih al-Qur’an dan as-Sunnah.
2) Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba
hukumnya halal.
3) Bunga bank yang diberikan oleh Bank-bank milik Negara kepada para
nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara
Musytabihat.55
4) Menyarankan kepada PP. Muhammadiyah untuk mengusahakan
terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya lembaga
perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
55 Kata-kata Musytabihat dalam pengertian bahasa adalah perkara yang tidak jelas. Adapun menurut pengertian Syara’ ialah bahwasannya yang halal itu sudah jelas, demikian pula yang haram yaitu yang diterangkan oleh al-Qur’an atau al-Hadits dengan nash-nash sharihnya. Misalnya, daging unta adalah halal untuk dimakan, daging khinzir adalah haram dan lain-lain, selain yang ditentukan hukumnya dengan jelas itu, terdapat beberapa hal yang hukumnya tidak jelas bagi seseorang atau beberapa orang apakah itu halal atau haram, sehingga dari mereka timbul rasa ragu-ragu dan tidak dapat menentukan salah satu diantara dua macam hukum itu. Perkara yang masih meragukan karena tidak jelasnya inilah yang disebut Musytabihat. Ibid., hlm. 307.
BAB IV
ANALISIS KOMPARATIF PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA DAN MUHAMMADIYAH TENTANG BUNGA BANK
A. Ketentuan Hukum Bunga Bank.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa bank merupakan lembaga keuangan yang fungsi utamanya adalah menerima dan menyalurkan dana. Penerimaan dana masyarakat selalu dihubungkan dengan penyalurannya kepada orang atau lembaga yang memerlukan dana itu. Besar bunga yang diberikan oleh bank kepada pemasok modal disesuaikan dengan bunga yang dikenakan kepada peminjam dari bank. Selisih antara bunga yang diberikan kepada pemasok modal dan bunga yang dikenakan kepada peminjam merupakan keuntungan bank itu sendiri. Biasanya bank hanya akan memberikan kredit kepada orang atau lembaga yang diduga kuat dapat mengembangkan usahanya, dan bukan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan kata lain, bank hanya memberikan pinjaman yang bersifat produktif, bukan konsumtif.1
Karena itu, wajar kalau pemilik modal dan bank mendapatkan keuntungan, seiring dengan keuntungan yang akan diperoleh pengusaha yang meminjamkan modal. Sedangkan bagi orang yang memerlukan bantuan keuangan untuk kebutuhan harian atau (misalnya untuk biaya pengobatan), tidak selayaknya menggunakan jasa bank dengan sistem bunga tersebut. Sehingga di sini perlu adanya lembaga sosial yang menyediakan dana yang bersifat non-profit. Jika kepada orang yang terakhir ini dibebankan bunga, maka kemungkinan adanya unsur “pemerasan” yang menjadi illat haramnya riba, menjadi lebih besar. Karena itu, pembebanan tambahan atas pokok pinjaman menjadi riba, sebagaimana yang dikehendaki al-Qur’an.
Terjadinya riba (yang sekarang sering lebih dikenal dengan istilah bunga bank) merupakan kenyataan “normatif tekstual” yang dinyatakan jelas dalam al-Qur'an.2 Demikian pula didukung oleh kenyataan “historis” yang menunjukkan bahwa bunga bank telah berkembang di tengah-tengah masyarakat sebelum datangnya Islam. Kemudian Islam dengan ajarannya tentang riba bermaksud mengatur melalui cara melaksanakan sistem bagi hasil dalam mejalankkan segala transaksi perekonomian.
Dalam dataran pemikiran tersebut baik NU maupun Muhammadiyah sepakat bahwa riba hukumnya adalah haram karena nash tentang itu sudah jelas, tetapi kedua organisasi tersebut masih berbeda pendapat di dalam melihat hukum bunga bank karena pada dasarnya nas al-Qur’an dan al-Hadits yang tegas tentang pelarangan bunga bank tidak ada.
Maka untuk menganalisis lebih jauh dari pernyataan NU dan Muhammadiyah tentang bunga bank, sebelumnya perlu dikemukan terlebih dahulu tentang keharaman riba dalam al-Qur’an secara berangsur-angsur (tadriji) yang biasa berlaku dalam proses penetapan hukum, yaitu:
المضعفون - هم فاولئك الله وجه تريدون زكوة من اتيتم وما عندالله يربوا فال الناس اموال في ليربوا ربا من اتيتم .وما
3
اليما - عدابا منهم للكافرين واعتدنا باالباطل الناس اموال واكلهم عنه وقدنهوا الربوا 4 .واخدهم
1 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, cet. I (Jakarta: Logos Publishing House, 1995 ), hlm. 128.
2 Ali-Imran (3): 130. dan al-Baqarah (2): 278-279
3 3 ِِِِِِِِِAr-Rum (30): 39.
4 An-Nisa’ (4): 161.
تاكلوا - ال امنوا لعلكم يايهاالدين الله واتقوا مضعفة اضعافا .5 تقلحون الربوا
مؤمنين - كنتم ان الربوا من مابقي ودروا الله اتقوا امنوا الدين وان .ياايها ورسوله الله من بحرب فادنوا تفعلوا لم فان
التظلمون اموالكم رءوس فلكم 6 والتظلمون تبتم
Dari ayat-ayat di atas, walaupun minimal ada empat tahapan dalam pengaharaman riba, tetapi yang relevan untuk pembahasan ini adalah paling tidak pada tahap ayat ketiga dan keempat, karena dalam memahami dua ayat tersebut masih menjadi perdebatan panjang oleh para ulama. Maka tulisan ini hanya menekankan pada kedua ayat tersebut.7
Dengan memperhatikan ayat ketiga dan kempat di atas, terlihat dengan jelas tentang pengharaman riba, namun masih bersifat parsial (juz’i), karena belum bersifat menyeluruh (kulli), yaitu pada surat Ali Imran ayat 130. sebab pengaharaman tersebut baru pada katagori riba yang berlipat ganda (ad’afan muda’afah) dan sangat memberatkan bagi peminjam. Sedangkan sebab turunnya (asbab an-Nuzul) ayat tersebut, menurut satu riwayat dari ‘Ata’ disebutkan bahwa, kaum Saqif biasa meminjamkan uang kepada keluarganya Mugirah, pada waktu jatuh tempo mereka berjanji akan membayar lebih di kemudian hari apabila diberi tenggang waktu. Dengan lain perkataan, jikalau tidak bisa membayar pada waktu pembayaran, disuruh untuk menunda dengan syarat menambahkan jumlah dikarenakan penundaan waktu pembayaran, baik berupa mata uang maupun benda (barter). Keadaan ini disebabkan oleh faktor ketidakmampuan membayar pinjaman. Tegasnya, tambahan itu dikenakan berdasarkan perjanjian pada waktu transaksi utang piutang itu berlangsung. Itulah yang dimaksud riba nasi’ah dalam literatur fiqh.8
Sejalan dengan dengan ayat di atas, di dalam melihat kata-kata ad’afan muda’afah (berlipat ganda). Persoalannya adalah apakah kata ad’afan muda’afah dalam ayat tersebut dianggap sebagai kriteria (syarat) dalam pelarangan riba atau untuk menerangkan kondisi obyektif dan sekaligus mengecam terhadap perbuatan atau praktek riba. Oleh karenanya dalam menyikapi hal ini menurut Fuad Zein, diperlukan ihwal analisis hukum bunga bank, dengan berpijak kepada kerangka penalaran bayani dan ta’lili untuk menelusuri karakteristik riba yang disebutkan dalam al-Qur’an.9
1. Penalaran Bayani.
Dalam al-Qur’an surat Ali Imran: 130, riba diberi sifat “berlipat ganda”. Tidak demikian dengan yang tersurat di dalam surat al-Baqarah: 278. dalam ayat ini disebutkan bahwa setiap pengambilan yang melebihi jumlah pokok modal disebut riba. Ada kesan paradok antara dua ayat dari surat di atas. Sehingga ada ulama yang mengatakan, riba yang terlarang adalah yang mempunyai unsur berlipat ganda (ad’afan muda’afah). Ada pula yang tidak membatasi riba harus berlipat ganda, seperti pendapat fuqaha pada umumnya.
Dalam akhir surat al-Baqarah: 278, yang artinya “..…kamu tidak berbuat zalim, dan tidak pula menjadi korbannya”. Jika ini dijadikan tolak ukur riba, maka jalan tengah dapat ditemukan, yaitu betapapun kecilnya tambahan itu apabila menimbulkan kesengsaraan (zulm) maka termasuk riba. Hanya saja, karena di masa Rasulullah riba selalu mengambil bentuk ad’afan muda’afah, tidak dalam bentuk lain. Dengan demikian, ad’afan muda’afah relevan dengan ketidakadilan.10
5 Ali Imran (3): 130.
6 Al-Baqarah (2): 278-279.
7 Uraian tentang penjelasan ayat tersebut di atas, baca Abu Zahra, Buhus fi ar-Riba, (ttp: Dar al-Buhus al-Ilmiyyah, 1970), hlm 25-30.
8 Riba nasi’ah juga disebut riba duyun—yakni riba yang timbul akibat utang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al-Gummu bi al-Gummi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al-Kharaj bi ad-Damam). Transaksi semacam ini karena mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban hanya karena berjalannya waktu. Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi dan Ilustrasi, cet. I (Yogyakarta: Ekonsia, 2003), hlm. 6
9 Fuad Zein, “Aplikasi Ushul Fiqh Dalam Mengkaji Keuangan Kontemporer”, dalam Ainur Rafiq (ed.), Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, cet. I (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002), hlm. 175.
10 Ibid., hlm. 176.
Lebih lanjut Fuad Zein mengungkapkan, perlu dijadikan pertimbangan, bahwa di masa Rasulullah tidak ada inflasi, karena mata uang yang berlaku adalah emas dan perak (dinar dan dirham). Karenanya, pengembalian hutang sebesar jumlah pinjaman menggambarkan keadilan. Dalam suatu kurun waktu di mana inflasi melanda mata uang tertentu, maka pengembalian suatu hutang sebesar jumlah pinjaman tidak mengambarkan keadilan. Sebaliknya menimbulkan kerugian sepihak. Kalau statemen la tazlimun wa la tuzlamun (al-Baqarah: 278) maka kembalian hutang sebesar pinjaman berikut bunga yang proporsional dengan besarnya inflasi akan menjamin keadilan daripada tanpa tambahan. Kalau demikian, maka pemahaman lebih adil tentang pokok modal masa sekarang untuk kasus Indonesia, adalah modal yang dihitung berdasarkan nilai kurs, bukan berdasarkana nilai nominal. Dengan cara ini maka pihak pemberi pinjaman maupun yang meminjam tidak dirugikan.
2. Penalaran Ta’lili.
Berdasarkan dan merujuk pada pengertian riba pada pembahasan sebelumnya, di mana riba didefinisikan dengan kata-kata ziyadah, yakni “tambahan yang diperjanjikan atas besarnya pinjamaan ketika pelunasan hutang…”. Jadi tekanannya adalah pada “ziyadah” sebagai ciri pokok riba.
Riba dapat juga didefinisikan dengan “tambahan atas besarnya
pinjaman ketika pelunasan hutang yang mendatangkan kesengsaraan pihak
peminjam.” Di sini titik tekanannya ada pada “kesengsaraan atau zulm”,
bukan “tambahan”. “Tambahan” sebagai an-nau’ atau spicies, sedangkan
“kesengsaraan” sebagai al-jins atau genus atau ‘illat. Sama halnya dengan
ungkapan “khamr adalah minuman yang memabukkan,” maka khamr adalah
sesuatu yang didefinisikan, minuman sebagai an-nau’ atau spicies, dan
memabukkan sebagai al-jins atau genus atau ‘illat., ungkap Fuad Zein.
Dengan demikian, bahwa esensi riba adalah “tambahan” dan ada
juga yang mengatakan esensinya adalah zulm. jika kembali pada pangkal
persoalan larangan riba, maka “tambahan” tidak memiliki makna apa-apa.
Sebaliknya, ketidakadilan adalah hal yang bertentangan dengan tujuan
penetapan prinsip ekonomi Islam. Karenanya, ‘illat pelarangan riba
seharusnya adalah zulm bukan “tambahan”. 11
Orang yang berpandangan pada teks tentu akan menyatakan bahwa kata ad’afan muda’afah tersebut merupakan syarat keharaman riba, di antara tokoh yang berpandangan seperti itu adalah Rasyid Rida. Di dalam makalahnya “Hukum Bunga Konvensional”12 Anwar Abbas menjelaskan tiga alasan yang dikemukan Rida untuk
11 Ibid., hlm. 177.
12 Anwar Abbas “Hukum Bunga Bank Konvensional”, makalah disampaikan pada diskusi Majlis Tarjih tentang Bunga Bank, diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah, Jakarta, 22 Desember 2003, hlm 1-2.
membuktikan bahwa kata riba yang termaktub dalam surat al-Baqarah adalah riba yang merujuk kepada riba yang berbentuk ad’afan muda’afah.
Pertama, kaidah kebahasaan, yaitu kaidah pengulangan kosakata yang berbentuk makrifah—di mana apabila ada suatu kosakata berbentuk makrifah berulang, maka pengertian kosakata kedua (yang diulang) sama dengan kosakata yang pertama. Kata riba pada Ali-Imran ayat 130 dalam bentuk makrifah demikian halnya dalam al-Baqarah 287, sehingga hal ini berarti bahwa riba yang dimaksud pada ayat tahapan terakhir sama dengan riba yang dimaksud pada ayat pada tahapan kedua yaitu berbentuk ad’afan muda’afah.
Kedua, kaidah memahami ayat yang tidak bersyarat berdasarkan ayat yang sama tetapi bersyarat. Penerapan kaidah ini pada ayat-ayat riba adalah memahami arti riba pada ayat al-Baqarah yang tidak bersyarat itu berdasarkan kata riba yang bersyarat ad’afan muda’afah pada ayat Ali- Imran. Sehingga yang dimaksud dengan riba pada ayat tahapan terakhir adalah riba yang berlipat ganda.
Ketiga, diamati oleh Rasyid Rida bahwa pembicaraan al-Qur’an tentang riba selalu digandengkan atau dihadapkan dengan pembicaraan tentang sedekah, dan riba dinamainya sebagai “zulm” (penganiayaan atau penderitaan). Jadi dengan demikian riba yang diharamkan itu adalah riba yang ad’afan muda’afah (yang berlipat ganda), sedangkan riba yang kecil seperti 8 % atau 10 %, tidak termasuk riba yang diharamkan atau dilarang al-Qur’an.
Pendapat Rasyid Rida ini masih menimbulkan sebuah pertanyaan.
Apakah hal ini berarti bahwa bila penambahan atau kelebihan itu tidak bersifat
“berlipat ganda” menjadi tidak diharamkan oleh al-Quran? Jawaban untuk
pertanyaan tersebut, menurut Quraish Syihab adalah terdapat pada kata kunci
berikutnya, yaitu fa lakum ru’usu amwalikum (bagimu modal-modal kamu)
(QS 2: 279). Dalam arti bahwa yang berhak mereka peroleh kembali hanyalah
modal-modal mereka. Jika demikian, setiap penambahan atau kelebihan dari
modal tersebut yang dipungut dalam kondisi yang sama dengan apa yang terjadi
pada masa turunnya ayat-ayat riba ini tidak dapat dibenarkan. Dan dengan
demikian kata kunci ini menetapkan bahwa segala bentuk penambahan atau
kelebihan baik berlipat ganda atau tidak dalam sebuah transaksi, telah
diharamkan oleh al-Quran dengan turunnya ayat tersebut. Dan ini berarti bahwa
kata ad’afan muda’afah bukan syarat tetapi sekadar penjelasan tentang riba
yang sudah lumrah mereka praktekkan.13
Sehingga di sini menjadikan persoalan, di mana kata ad’afan muda’afah
tidak penting lagi, karena apakah ia syarat atau bukan, apakah yang dimaksud
13 M. Quraish Syihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, cet. XXVI (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 266.
dengannya pelipatgandaan atau bukan, pada akhirnya yang diharamkan adalah
segala bentuk kelebihan. Namun perlu digarisbawahi bahwa kelebihan yang
dimaksud adalah dalam kondisi yang sama seperti yang terjadi pada masa
turunnya al-Quran dan yang diisyaratkan oleh penutup ayat pada al-Baqarah
279 tersebut, yaitu la tazlimuna wa la tuzlamun (kamu tidak menganiaya dan
tidak pula dianiaya).
Penjelesan yang diperoleh dari riwayat-riwayat tentang praktek riba
pada masa turunnya al-Quran, sebagaimana telah dikemukakan di atas,
menunjukkan bahwa praktek tersebut mengandung penganiayaan dan
penindasan terhadap orang-orang yang membutuhkan dan yang seharusnya
mendapat uluran tangan. penjelasan tersebut dikonfirmasikan oleh ayat al-
Baqarah 279 di atas, sebagaimana ia sebelumnya diperkuat dengan
diperhadapkannya uraian tentang riba dan sedekah, seperti dikemukakan
Rasyid Rida, yang menunjukkan bahwa kebutukan si peminjam sedemikian
mendesaknya dan keadaannya sedemikian parah, sehingga sewajarnya ia
diberi bantuan sedekah, bukan pinjaman, atau paling tidak diberi punjaman
tanpa meniadakan sedekah. Kemudian pada ayat 280 ditegaskan bahwa,
“Dan jika orang yang berhutang tidak mampu membayar pada waktu yang
ditetapkan, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan”.
Ayat-ayat di atas lebih memperkuat penjelasan bahwa kelebihan yang
dipungut, apalagi bila berbentuk pelipatgandaan, merupakan penganiayaan
terhadap si peminjam.14
Sejalan dengan pendapat di atas, ketika membahas ad’afan muda’afah, yang merupakan bantahan terhadap orang yang berpendapat bahwa riba yang diharamkan hanya riba yang berlipat ganda, Ali as-Sabuni mengatakan: Pertama, lafad tersebut bukanlah qayyid dan syarat. Tujuan dari ungkapan ini hanya menerangkan tentang praktek yang dilakukan orang-orang Jahiliyah Arab pra-Islam. Kedua, kaum muslimin telah sepakat tentang pengharaman riba baik sedikit maupun banyak. Pengharaman riba sedikit karena mendorong banyaknya. as-Sabuni beralasan, Islam ketika mengharamkan seluruhnya (kulli) sebab kaidah sadd az-zari’ah. Dan kebolehan yang sedikit niscaya akan menarik kepada yang banyak. Untuk menguatkan pendapatnya, al-Sabuni menulis ayat-ayat yang melarang riba sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Baqarah dan Ali Imran. Demikian juga dengan hadis:
14 Ibid., hlm. 267
وشاهد وكاتبه وموكله الربا اكل وسلم عليه الله صلي رسولوالله .15 يه لعنJika dikaitkan dengan istilah ushul fiqh, maka menyikapi kata ad’afan
muda’afah, tidak bisa dijadikan mafhum al-Mukhalafah. Artinya, jika rente
(bunga bank) tidak berlipat ganda boleh dipungut, sebab batasan qayyid dalam
nas tersebut hanya untuk membatasi hukum. Jika qayyid mempunyai tujuan lain,
seperti untuk dorongan (targib), memberikan peringatan (tarhib), atau agar
orang menjahuinya (tanfir), maka tidak dapat ditarik mafhum al-mukhalafah.
Oleh karenanya dalam mensifati ad’afan muda’afah dalam ayat tersebut semata-mata agar orang-orang mukmin menjahuinya (tanfir), karena yang dimaksud riba adalah menambah pada setiap tahun (waktu).16 Dan dalil yang menunjukkan bahwa sifat tersebut hanya agar dijauhi (tanfir) adalah firman Allah:
التظلمون اموالكم رءوس فلكم تبتم 17 والتظلمون وان
Setelah memeperhatikan penafsiran-penafsiran ayat di atas, dapat dikatakan bahwa riba yang dilarang Allah dalam ayat-ayat tersebut adalah masih umum sifatnya, tidak membedakan sedikit atau banyak, produktif atau konsumtif. Dan jenis riba ini adalah riba yang telah dipraktekkan dalam sistem perekonomian masyarakat jahiliyah Arab pra-Islam. Dengan demikian, jelas bahwa pada masa jahiliyah apabila terjadi akad perdagangan yang dikenakan bunga terhadap debitur oleh si kreditur tetap diharamkan.
Selanjutnya, untuk mengetahui bahwa bunga bank termasuk riba yang telah ditetapkan hukum keharamannya, perlu dikaji lebih dalam mengenai “kriteria” mengapa bunga bank tersebut diharamkan oleh NU, terutama yang berakaitan dengan para debitur yang ingin mengembangkan usahanya dengan menggunakan jasa perbankan, sehingga umat Islam (umumnya) dalam kehidupan dapat berusaha menghindarkan diri dari bermuamalah dengan perkara yang dilarang oleh ajaran Islam. Sebagaimana diketauhi bahwa bank merupakan lembaga keuangan yang fungsi utamanya adalah menerima dan menyalurkan dana.18
Pemberian kredit oleh pihak bank kepada nasabah dengan mempersyaratkan bunga tertentu dalam persentase pinjamannya. Bahkan apabila nasabah tidak bisa melunasi kreditnya pada waktu yang telah ditentukan oleh pihak bank (kreditur) maka pinjaman itu bisa menjadi berlipat ganda. Dan jika nasabah dibebankan bunga, maka kemungkinan adanya unsur “penambahan atas jumlah pinjaman dengan tenggang waktu” menjadi lebih besar. Karena itu, pembebanan tambahan atas pokok pinjaman menjadi riba, sebagaimana yang dikehendaki al-Qur’an.19
Sebaliknya, tambahan tanpa risiko tidak dapat dikatagorikan dalam riba, karena Nabi SAW. pernah malakukannya. Kemudian, bagaimana apabila hal itu dihubungkan dengan pemberian bunga oleh pihak bank atas simpanan para nasabah dan diberikannya dalam prosentasi oleh pihak bank sendiri untuk kepentingan para nasabahnya, sepenjang para nasabah tidak mempersyaratkan tambahan bunga kepada bank, karena bank sebagai debitur memberikan bunga atas kehendaknya sendiri.
Sehubungan dengan itu, walaupun NU tidak menjelaskan secara detail tentang hal di atas, NU menyatakan bahwa menitipkan uang di bank dengan alasan demi keamanan dan meyakinkan bahwa uangnya tidak digunakan untuk larangan agama adalah makruh.20 Inipun apabila seorang nasabah yang tidak ingin menarik bunga. Pernyataan NU ini tidak disertai dengan ungkapan yang jelas, yaitu pada kalimat “larangan agama”. Tampaknya batasan “larangan agama”
15 Tentang hadis di atas, lihat Muslim, Sahih Muslim, “Bab La’ana Akali ar-Riba wa Muawakkalah”. (Bandung: al-Ma’arif, t.t.), I: 697. Hadis sahih riwayat Muslim dari Jabir.
16 Abu Zahrah, ‘Ilm Usul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.), hlm. 151-152.
17 Al-Baqarah (2): 27918 Muhammad Najetullah, Bank Islam, alih bahasa Asep Hikmat Suhendi (Bandung:
Penerbit Pustaka, 1984), hlm. 58. Atau Bambang Sugono, Pengantar Hukum Perbankan (Bandung: Mandar Maju, 1996), hlm. 11-16.
19 Al-Baqarah (2): 278-27920 Abu Hamdan Abdu al-Jalil Hamid, Ahkam al-Fuqaha’ fi al-Muqarrarat Mu’tamarat
Nahdatu al-Ulama’, (Semarang: Toha Putra, t.t.), II: 71.
yang dimaksud adalah meliputi larangan bagi pihak bank untuk menyalurkan uang kepada debitur yang memakai jasa bank dengan tambahan pinjaman atau pihak bank sebagai kreditur meminjamkan dana kepada perseorangan (bunga konsumtif). jadi, apabila bank tempat para nasabah menyimpan uang, memakainya untuk larangan agama, NU tetap mengharamkan praktek bunga bank tersebut.
NU nampaknya sependapat dengan Yusuf al-Qardawi. Dia meyatakan bahwa bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah riba yang diharamkan. Artinya, apa yang diambil seseorang tanpa melalui usaha perdagangan dan tanpa bersusah payah sebagai tambahan pokok hartanya, maka yang demikian itu termasuk riba. Hal ini juga berimplementasi dengan ibadah mahdahnya, yaitu tidak boleh memberikan zakat atau bersedekah dengan hasil bunga bank tersebut. al-Qardawi kemudian menguatkan pendapatnya, bahwa segala sesuatu yang haram, tidak boleh dimiliki dan wajib disedekahkan sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama muhaqqiq, sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa uang itu tidak boleh diambil meskipun untuk disedekahkan, ia harus membiarkannya atau membuangnya. Akan tetapi, hal ini juga betentangan denga kaidah syar’iyah yang melarang menyia-nyiakan harta dan tidak memanfaatkannya.21
Lebih lanjut NU mengungkapkan, bahwa pengambilan bunga bank oleh nasabah yang menyimpan uangnya di bank adalah haram. Tetapi NU lebih tegas dalam menetapkan hukumnya yaitu apabila pihak bank menggunakannya untuk perbuatan yang telah dilarang agama.
Sementara Muhammadiyah agaknya masih ragu terhadap ada atau tidak adanya ‘illat riba pada bank milik negara, hal ini terlihat dengan penetapan, bahwa hukum bunga bank milik negara adalah musytabihat. Alasan mengatakan musytabihat, adalah karena ada dua kecenderungan yaitu halal atau haram,22 di samping juga karena dalam bank itu tidak dibedakan antara orang yang meminjam uang untuk konsumsi dan meminjam untuk diproduksikan. Maka hal ini harus dihindari, kecuali dalam keadaan darurat (terpaksa). Tampaknya keputusan Muhammadiyah ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank boleh karena darurat, seperti pendapat Mustafa az-Zarqani, yang mengatakan bahwa bank merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindarkan. Karenanya umat Islam boleh bermu’amalah dengan bank atas pertimbangan darurat.23 Lebih lanjut, Muhammadiyah menyatakan, bahwa riba yang diharmakan oleh agama adalah sifat pembungaan yang selalu disertai unsur penyalahgunaan kesempatan dan penindasan. Sedang yang berlaku dewasa ini sama sekali tidak menimbulkan rasa penindasan atau kekecewaan oleh siapapun yang berkepentingan.24
Akan tetapi, jika Muahmmadiyah berkeyakinan bahwa ‘illat haramnya riba adalah pemerasan (zulm), maka Muhammadiyah dapat menetapkan hukumnya yang tegas, apakah hukumnya bunga bank negara itu haram atau halal. Dengan kata lain, apabila ‘illat itu ada, maka dapat dinyatakan bahwa bunga adalah haram, dan apabila tidak ada ‘illat maka bunga bank dapat dinyatakan halal.25 Alasan yang mendasari Muhammadiyah masih ragu untuk menetapkan kehalalan bunga bank negara adalah karena adanya pendapat anggota panitia perumus hasil mu’tamar tarjih yang menyatakan, bahwa dalam masyarakat terdapat praktek pembungaan uang yang berlaku pada salah satu bank swasta di Indonesia.—Seseorang yang akan menitipkan sejumlah uang pada bank tersebut untuk memperoleh bunga tiap bulannya sebanyak 10 %, suatu pembungaan yang tidak kecil.—Kemudian bank itu pada gilirannya memberikan pinjaman kepada pedagang dengan menarik bunga sebesar 15 %.26
Gambaran dalam keadaan ekonomi seperti di Indonesia dewasa ini, besar sekali adanya kemungkinan si pedagang meminjamkan lagi uang pinjaman itu kepada pihak keempat untuk mendapatkan keuntungan bunga lagi. Sebenarnya, kalau praktek bank itu ada, maka tindakan itu telah menyalahi ketentuan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI), sebagai bank sentral. Dalam ketentuan itu disebutkkan, bahwa suku bunga maksimal pada saat Majlis Tarjih bermu’tamar adalah 18 % per-tahunnya. Jadi tindakan tersebut merupakan penyimpangan dari peraturan yang berlaku. Sekiranya itu merupakan penyimpangan yang dilakukan oleh sebagian bank swasta, maka kurang bijaksana kalau Muhammadiyah menetapkan hukum haram terhadap bunga bank milik swasta secara keseluruhan, apalagi terhadap bunga bank milik negara.27
21 Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa Kontenporer, alih bahasa As’ad Yasin (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 765-766
22 Urain selengkapnya dapat dilihat dalam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta: Persatuan, t.t), hlm 304-305. Lihat juga Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad, hlm.129.
23 A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri (Yogayakarta: LKPSM: 1994), hlm. 71.
24 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan, hlm. 305.2
25 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad, hlm. 129.
26 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan, hlm. 305.
27 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad, hlm. 130.
Asumsi yang menguatkan bahwa Muhammadiyah, pada dasarnya
cenderung kepada halalnya bunga bank milik negara, dikuatkan oleh
pengamatan Kasman Singodimedjo (wakil ketua-III PP. Muhammadiyah
periode 1971-1974) terhadap putusan Majlis Tarjih tentang bunga bank itu.
Menurut pengamatannya, Muhammadiyah sebenarnya sudah membenarkan
praktek bank konvensional (yang memakai sistem bunga). Argumentasi yang
dimajukannya adalah bahwa penjelasan Majlis Tarjih Muhammadiyah tentang
bunga bank disebutkan: “kecuali apabila ada suatu kepentingan masyarakat atau
kepentingan pribadi yang sesuai dengan maksud-maksud dari pada tujuan
agama Islam pada umumnya, maka tidak ada halangan perkara musytabihat
tersebut dikerjakan sekedar sesuai dengan kepentingan itu”.28 Pertanyaan yang
diajukan oleh Kasman Singodimedjo adalah, apakah ketika putusan itu diambil
telah terdapat kepentingan-kepentingan seperti yang disebutkan di atas?
Ternyata, jawabannya telah terdapat dalam konsideran dan penjelasan dari
putusan tersebut. Di antara konsideran dan penjelasan yang menjawab persoalan
tersebut adalah:29
1. Konsideran “mengingat” no.2: “bahwa fungsi bunga bank dalam
perekonomian modern sekarang ini bukan hanya menjadi sumber
penghasilan bagi bank, melainkan juga berfungsi sebagai alat politik
perekonomian negara untuk kesejahteraan umat (stabilitasi ekonomi)”.
28 Ibid., hlm. 131
29 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan, hlm. 304-305.
2. Konsideran “menimbang” no.3: “bahwa hasil keuntungan bank-bank milik
negara pada akhirnya akan kembali untuk kemaslahatan umat”.
3. Konsideran “menyadari” no.3: “bunga adalah sendi dari sistem perbankan
yang berlaku selama ini”.
4. Konsideran “menyadari” no.1: “bahwa bank dalam sistim ekonomi
pertukaran adalah mempunyai fungsi yang vital bagi perekonomian pada
masa sekarang”.
5. Konsideran “menyadari” no.4: ‘bahwa umat Islam sebagai umat pada
dewasa ini tidak dapat melepaskan diri daripada pengaruh perbankan yang
lansung atau tidak langsung mengenai perekonomian umat Islam”.
6. Konsideran “mengingat” no.3: “bahwa adanya undang-undang yang
mengatur besar kecilnya bunga adalah untuk mencegah terjadinya
penghisapan pihak yang kuat terhadap yang lemah, disamping untuk
melindungi berlangsungnya kehidupan bank itu sendiri”.
7. penjelasan dari mu’tamar tarjih sendiri: “bank negara dianggap badan yang
mencakup hampir semua kebaikan dalam alam perekonomian modern dan
dipandang memiliki norma yang menguntungkan masyarakat dibidang
kemakmuran. Bunga yang dipungut dalam sistim perkreditan adalah sangat
rendah sehingga sama sekali tidak ada pihak yang dikecewakan”.
8. Penjelasan dari mu’tamar tarjih sendiri: “…tetapi terang diinsafi bahwa segi
positif daripada bank perkreditan sangat besar bagi dunia perekonomian”.
9. Penjelasan dari mu’tamar tarjih sendiri: “…sedang (pembangunan) yang
berlaku selama ini sama sekali tidak menimbulkan rasa penindasan atau
kekecewaan oleh siapapun yang bersangkutan”.
B. Metode Pemahaman Dalil (Istinbat)
Untuk memutuskan atau menetapkan suatu hukum, ulama tentunya memiliki metode pemahaman dalil (istinbat). Karena penetapan hukum tidak dilakukan secara gegabah (kurang hati-hati), hanya orang-orang tertentu yang dapat melakukan dan dianggap telah memenuhi kapasitas berijtihad (memiliki ilmu-ilmu yang kompeten).
Secara umum, ijtihad dapat dikatakan sebagai suatu upaya berfikir secara optimal dalam menggali hukum Islam dari sumbernya untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat. 30
Antara upaya ijtihad di satu pihak dan tuntutan perubahan sosial di pihak lain terdapat suatu interaksi. Ijtihad, baik langsung atau tidak dipengaruhi oleh perubahan-perubahan sosial, sedangkan disadari bahwa perubahan-perubahan sosial itu harus diberi arah oleh hukum sehingga dapat mewujudkan kebutuhan dan kemaslahatan umat manusia.
Ijtihad dalam kehidupan manusia merupakan kebutuhan yang bersifat kontinuitas di mana realitas kehidupan ini senantiasa berubah, begitupun situasi masyarakatnya yang senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan. Ijtihad yang benar tentunya yang dapat menjelaskan kehendak agama (maqasid at-tasyri’) dengan kebutuhan masyarakat, dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum Islam sebagai produk ijtihad hendaknya mampu mengelaborasikan nilai-nilai dan aturan normatif yang telah mentradisi dalam sebuah tatanan suci (syari’ah) yang telah menjadi landasan hidup beragama. Hal ini sesuai dengan penerapan sosial hukum, bahwa suatu hukum hendaknya dapat memainkan peranan ganda yang sama-sama penting. Pertama, hukum dapat dijadikan sebagai kontrol sosial terhadap perubahan-perubahan yang berlangsung dalam kehidupan manusia. Kedua, hukum dapat dijadikan sebagai alat rekayasa sosial dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat manusia, sebagai tujuan hakekat hukum itu sendiri.31
Masalah bunga bank pada hakekatnya tidak lepas dari dua hal yang mendasar, yakni peraturan syar’i dan kondisi masyarakat (sosio kultural). Kemudian dari dua dasar tersebut kemudian menimbulkan berbagai interpretasi. Pandangan NU maupun Muhammadiyah sebenarnya bermuara pada nas yang sama mengenai riba, yaitu Q.S.: Ali Imran 130 dan al-Baqarah: 278-279.
Persoalan riba tidak akan terlepas dari masalah teori pembungaan uang. Identifikasi ini juga telah begitu kuat di masyarakat. Sepertinya telah menjadi kehendak sejarah, bahwa bunga (interest) dalam institusi keuangan dewasa ini menjadi instrumen yang sangat urgen di hampir sistem ekonomi dunia. Bunga (interest) telah diterima sebagai suatu kewajaran dan dianggap sebagai salah satu ciri perekonomian modern. Bahkan bunga telah menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk dinikmati dan dimanfaatkan dalam proses perputaran keungan dan kegiatan bisnis. Dalam pada itu bank dan institusi keuangan lainnya (lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan IDB) sebagai lembaga perantara antara sektor riil dan moneter telah mendesain sedemikian rupa untuk menjadikan bunga supaya bisa merangsang terlaksananya tabungan dan kredit (baik konsumtif maupun produktif).32
Betapapun kredit dari bank itu dimaksudkan untuk usaha yang bersifat produktif, sehingga uang yang dipinjamkan akan menghasilkan keuntungan kepada debitur, seharusnya perlu ditinjau kembali. Karena adakah jaminan bahwa pinjaman selamanya akan mendapat keuntungan dari usahanya (perusahaan)?. Sedangkan bunga akan terus dikenakan selama masih ada simpanan atau pinjaman, tidak terbatas jangka waktunya dan pihak bank tidak melihat, apakah peminjam mendapat keuntungan atau malah rugi dari pinjaman tersebut. Dengan sistem bunga, kelihatan pihak pemberi pinjaman (kreditur) membiarkan wiraswastawan menanggung risiko ketidakpastian itu sendirian, yang sebenarnya adalah resiko kedua belah pihak. Keadaan semacam ini yang menggambarkan ketidakadilan.
Dalam masalah ini, NU berpendapat bahwa pihak debitur yang bertransaksi dengan bank harus bertanggung jawab penuh atas uang yang dipinjamnya dan bunganya ditentukan atas dasar untung rugi atau besar kecilnya keuntungan dari hasil usahanya. Maka transaksi tersebut termasuk aqad qard dan dengan sendirinya bunga bank yang terikat aturan, haram hukumnya, karena termasuk riba qard. NU memandang, bahwa setiap pinjaman kredit yang
30 Lihat Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Usul Fiqh (Kairo: Dar al-Kuwaitiyyah, 1968), hlm. 216.
31 Soerjono Soekamto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: Rajawali Press, 1980), hlm. 115-116.
32 Abd. Salam Arief, “Bank Islam: Suatu Alternatif Pemberdayaan Ekonomi Umat”, dalam, Asy-Syir’ah, No. 7. TH. 2000, (Yogyakarta: Fak. Syari’ah Press, 2000), hlm. 63-64.
menarik manfaat yang diberikan oleh debitur yang dipersyaratkan oleh kreditur, bukan merupakan kebaikan hati dari pihak debitur. Karena hal ini juga bertentangan dengan firman Allah:
التظلمون اموالكم رءوس 33 والتظلمون فلكم
Ikhtiar dari permasalahan itu tidak terlepas dari praktek riba dalam pemikiran hukum, bukan pada ayat-ayat mengenai keharaman riba itu sendiri, melainkan pada benda-benda yang boleh atau tidak tatkala dilakukan secara riba. Dan hal ini bermula dari tidak adanya permasalahan yang muncul menyangkut pemahaman masalah riba nasi’ah di kalangan para ulama dalam kurun waktu yang lama, sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh kaum jahiliyah pra-Islam. Sebuah hadis yang bisa diambil sebagai dasar para ulama untuk riba adalah:
ص النبى قال الصامت بن عبادة والملح .م.عن بالتمر والتمر بالشعير والشعير باالبر والبر بالفضة والفضة بالدهب الدهببيد يدا كان ادا شئتم كيف فبيعوا االصناف هده احتلفت فادا بيد يدا بسواء سواء بمثل مثال 34 .بالملح
Rumusan yang digunakan para ulama terhadap ketidakbolehan terjadi riba nasi’ah pada kebutuhan jenis barang tersebut, bila dibandingkan dengan rumusan mufassirin tidak ada perbedaan, dan rumusan itu dapat dilihat bahwa riba nasi’ah mempunyai unsur:
1. Terjadi karena peminjaman dalam jangka waktu tertentu.
2. Pihak peminjam berkewajiban memberi tambahan kepada debitur untuk mengangsur atau melunasi,
sesuai dengan pinjaman,
3. Obyek peminjaman berupa benda ribawi.35
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan (khulasah), menurut metode pengambilan hukum yang dilakukan NU mengikuti prosedur pengambilan dengan cara ilhaq al-masail bi nazairiha. NU menjadikan riba qard sebagai mulhaq ‘alaihi, transaksi bank adalah mulhiq. Hukum mulhaq ‘alaihi adalah haram dan wajh al-‘ilhaqnya adalah timbangan atau takaran dan juga standar harga emas dan perak atau harga saja. Kecenderungan pernyatan NU ini agaknya memperlihatkan corak fiqh Syafi’I (Syafi’i oriented).
Atas dasar keterangan ini, maka NU mengambil hukum bunga bank diharamkan baik kecil atau besar, sedikit atau banyak. Keharaman yang berlipat ganda atau besar, hukumnya sama dengan ad’afan muda’afah (riba jahiliyyah), yakni haram li zatihi. Adapun bunga yang kecil atau sedikit termasuk riba khafi yang hukumnya haram karena untuk menutup riba yang besar haram li sadd az-zari’ah. Namun demikian, keharaman karena sadd az-zari’ah diperbolehkan karena adanya hajah maslahah.
Adapun Muhammadiyah dalam menetapkan bunga bank bermaksud
menggunakan qiyas sebagai metode penetapan hukumnya. Bagi
Muhammadiyah, ‘illat diharamkannya riba adalah adanya penghisapan atau
penganiayaan terhadap pihak peminjam. Konsekuwensinya, kalau ‘illat itu ada
pada bunga bank, maka bunga pada bank sama dengan riba dan hukumnya
haram. Sebaliknya, kalau ‘illat tidak ada pada bunga bank, maka bunga bank
bukan riba, karena itu tidak haram.36
33 Al-Baqarah (2): 279.
34 Muslim, Sahih Muslim, “Bab as-Sarf wa Bai’ az-Zahab bi al-Waraq Naqdan”. (Bandung: al-Ma’arif, t.t.), hlm, 692. Lihat juga al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Bulugu al-Maram (Surabaya: al-Hidayah, t.t.), I: 170.
35 Muhammad Zuhri, Riba dalam al-Qur’an dan Masalah Perbankan: Sebuah Tilikan Antisipatif, cet. I (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), hlm. 109.
36 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad, hlm. 125-126
Untuk memahami masalah ini secara utuh, berikut ini dijelaskan cara
kerja qiyas dalam menetapkan kasus bunga bank. ‘Asl dalam kasus ini adalah
riba yang terdapat dalam al-Quran. Far’u-nya adalah bunga bank. Hukmu al-
Asl-nya adalah bahwa riba itu hukumnya haram. ‘illat diharamkannya riba
adalah zulm atau penghisapan dan pemerasan terhadap peminjam. Menurut
Muhammadiyah, oleh karena riba itu telah terdapat pada bunga bank, maka
bunga bank sama dengan riba dan hukumnya haram. Tetapi kesimpulan ini
hanya berlaku untuk bank swasta. Adapun bunga bank pada bank-bank milik
negara, ‘illat-nya belum meyakinkan. Karena itu, menurut Muhammadiyah,
hukum bunga bank milik pemerintah adalah musytabihat, tidak haram dan tidak
pula halal secara mutlak.37
Telah dijelaskan bahwa illat adalah sifat tertentu yang dapat diketahui
secara objektif (zahir), dapat diketahui tolak ukurnya (mundabit), dan sesuai
dengan ketentuan hukum (munasib). ‘illat dapat diambil dari hikmah
ditetapkannya hukum. Hikmah baru dapat ditetapkan sebagai ‘illat kalau
terdapat mazhinnat atau indikator yang menunjukkan bahwa hikmah itu telah
ada pada kasus tersebut. Hubungannya dengan masalah riba, apakah sifat zulm
itu sudah dapat dikatakan ‘illat atau baru hikmah? Kalau sudah termasuk ‘illat
apakah indikator yang menunjukkan hal tersebut? Dengan memperhatikan
praktek riba pada masa ayat al-Quran ini diturunkan, dapat difahami bahwa
pemerasan merupakan hikmah diharamkannya riba. Hikmah ini dapat menjadi
‘illat setelah adanya mazhinnat, yaitu bahwa tambahan itu dipersyaratkan ketika
37 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan, hlm. 304-306.
transaksi utang-piutang itu berlangsung. Oleh karena ‘Illat ini tidak secara
eksplisit disebutkan dalam al-Quran maupun al-Hadis, maka kedudukannya
termasuk ‘illat mustanbatah, dan bukan ‘illat mansusat. Karena itu, ketika
Muhammadiyah menyatakan bahwa’illat diharamkan riba adalah pemerasan
kreditur kepada debitur, tentu sudah melalui proses pencarian ‘illat, atau yang
dalam ushul fiqih dikenal sebagai masalik al-‘illat.38
Secara garis besar proses penemuan ‘illat dapat dilakukan melalui tiga
tahap. Tahap pertama adalah takhrij al-manat, yakni menginventarisasi
beberapa sifat yang dapat dijadikan ‘illat. Tahap kedua adalah tanqih al-manat,
yakni menyeleksi beberapa sifat yang telah diinventarisasi pada tahap pertama.
Sedangkan tahap ketiga adalah tahqiq al-manat, yakni membuktikan keefektifan
‘illat haramnya riba, apakah dapat diterapkan dalam kasus bunga bank atau
tidak.39
Berdasarkan cara kerja itu, pertama sekali dicari dan dihimpun beberapa
sifat yang dapat dijadikan ‘illat haramnya riba. Pada tahap ini diperoleh
informasi, bahwa sifat yang dapat dijadikan riba adalah pemerasan atau
penganiayaan (istiglal wa az-zulm), tambahan tanpa risiko (ziyadah al-Khaliyat
‘an al-‘Iwad) dan tambahan yang berlipat ganda (ziyadah al-Muda’afat). Tahap
berikutnya diadakan seleksi, mana di antara ketiga sifat itu yang dianggap
relevan. Dalam tahap ini dapat diketahui, bahwa sifat “tambahan tanpa resiko”
tidak dapat dijadikan ‘illat, karena ternyata nabi sendiri pernah memberikan 38 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad, hlm. 127.
39 Ibd.
kelebihan pembayaran kepada kreditur. Begitu pula sifat “tambahan yang
berlipat ganda” semata-mata tidak dapat dijadikan ‘illat, karena Allah SWT
menyatakan “wa in tubtum falakum ru’usu amwalikum”. Dari sini tinggalah
sifat “pemerasan dan penganiayaan” yang dapat dijadikan ‘illat haramnya riba.
Sifat yang terakhir ini, di samping dapat dilihat dalam sabab an-Nuzul ayat
terakhir tentang riba, juga diisyaratkan oleh ungkapan al-Quran sendiri: “la
tazlimuna wa la tuzlamun”. 40
Melalui proses pencarian ‘illat seperti di atas dapat disimpulkan bahwa
pemerasan dan penganiayaan merupakan ‘illat diharamkannya riba. ‘illat di sini
masih perlu diteliti lagi, dalam kaitannya dengan penerapan kasus bunga bank,
karena sifat itu belum dapat diketahui tolak ukurnya (mundabit). Untuk itu
ditetapkan ketentuan bahwa unsur pemerasan itu telah dianggap ada manakala
ada “perjanjian pada awal transaksi utang piutang itu”. Persyaratan ini dianggap
sebagai mazinnat, yaitu pemerasan. Inilah yang dianut mayoritas oleh ahli ushul
fiqh.41
Pernyataan Muhammadiyah mengenai bunga bank seperti di atas tidak
lepas dari komitmennya untuk menggunakan tolak ukur kemaslahatan yang
menjadi tujuan utama diyariatkan hukum dalam Islam. Menurut pendapatnya,
bahwa kepentingan dan kebutuhan umat Islam tidak boleh diabaikan. Sebab
kalau kepentingan itu diabaikan, maka akan berakibat modal berada pada tangan
orang non-muslim. Pada gilirannya harta ummat Islam akan semakin menipis,
40 Ibid.
41 Ibid., hlm. 128.
sementara harta orang-orang non-muslim akan semakin banyak jumlahnya.
Dalam kondisi demikian, kemungkinan terjadinya kemiskinan di kalangan umat
Islam akan semakin besar pula. Tidak mustahil hal ini akan membawa kepada
kekufuran. Jadi, menjaga stabilitas ekonomi umat Islam berarti menjaga
keutuhan agama yang dianut mereka. Menjaga harta dari kepunahan dan
menjaga agama merupakan aspek esensial (daruriyat).42
Dapat dikatakan, bahwa Muhammadiyah menggunakan qiyas sebagai metode penetapan hukum bunga bank. Hikmah dan ‘illat, yang menjadi faktor penentu dalam metode ini, difahami oleh organisasi ini sebagai satu istilah yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karena itu, Muhammadiyah mengalami kesulitan untuk memutuskan kasus bunga bank ini. Lebih jauh dari itu, organisasi ini juga menggunakan istihsan bi ad-darurat sebagai metode penetapan hukum bunga bank. Namun metode ini juga tidak sepenuhnya ditetapkan. Baginya, meskipun berdasarkan qiyas jali ternyata bunga bank itu sama dengan riba, tapi demi kepentingan umat Islam, maka hukum haram riba tidak dapat diterapkan sepenuhnya pada kasus bunga bank.43
BAB. V
P E N U T U P
A. Kesimpulan.
1. Bahwa dalam merespon tentang masalah bunga bank, NU telah melakukan
ijtihad (jama’i) ketika menghadapai persoalan fiqh kontemporer, khususnya
persoalan bunga bank, akan tetapi juga tidak meninggalkan cara-cara lama.
Yaitu bermazhab secara qauli, dengan hanya mengambil pendapat ulama
(Syafi’iyah) secara sporadis dan apa adanya. Ijtihad bagi NU hanya
dilakukan jika “benar-benar” persoalan hukum Islam yang dihadapi tidak
ditemukan dalam kitab-kitab mu’tabar. Dan paling jauh menerapkan metode
ijtihad yang telah dibangun oleh ulama terdahulu, karena sebagai cermin
sikap tawaddu’ NU kepada mereka. Lebih lanjut, dalam hal ini (masalah
42 Ibid., hlm. 132
43 Ibid., hlm. 133.
bunga bank) NU memandang bahwa hukum tentang bunga bank adalah
sebagaimana yang telah diputuskan dalam Sidang Lajnah Bahsul Masa’il
NU di Malang, Jawa Timur tahun 1937, yang memutuskan: Pertama, haram,
karena termasuk utang yang dipungut rente. Kedua, halal, karena tidak ada
syarat pada waktu aqad, sementara adat yang berlaku tidak dapat begitu saja
dijadikan syarat. Ketiga, syubhat, sebab para ahli berselisih paham
tentangnya. Meski begitu, Lajnah memutuskan, pilihan yang lebih berhati-
hati adalah bunga bank haram.
2. Sementara Muhammadiyah menggunakan qiyas sebagai metode ijtihad dalam
merespon bunga bank. Bagi Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba
adalah adanya pengisapan atau penganiayaan (az-Zulm) terhadap
peminjaman dana. Konsekuensinya, kalau ‘illat itu ada pada bunga bank,
maka bunga bank sama dengan riba dan hukumnya riba. Sebaliknya kalau
‘illat itu tidak ada pada bunga bank, maka bunga bank bukan riba, kerana itu
tidak haram. Bagi Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba disinyalir juga
ada pada bunga bank, sehingga bunga bank disamakan dengan riba dan
hukumnya adalah haram. Namun keputusan tersebut hanya berlaku untuk
bank milik swasta. Adapun bunga bank yang diberikan oleh bank milik
negara pada para nasabahnya atau sebaliknya, termasuk perkara
musytabihat, tidak haram dan tidak pula halal secara mutlak. Pendapat
Muhammadiyah mengacu pada hasil mu’tamar Majlis Tarjih
Muhammadiyah di Sidoarjo Jawa Timur, tahun 1968 yang memutuskan:
Pertama, riba hukumnya haram dengan nas sarih al-Qur’an dan as-Sunnah.
Kedua, Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba
hukumnya halal. Ketiga, Bunga yang diberikan oleh bank milik negara
kepada para nasabahnya atau sebaliknya, termasuk perkara musytabihat
(yang meragukan).. Keempat, Menyarankan pada PP Muhammadiyah untuk
mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya
lembaga perbankan, yang sesuai dengan kaidah Islam.
3. Baik NU Maupun Muhammadiyah sama-sama sependapat bahwa riba
hukumnya adalah haram hal ini berdasarkan pada nas sarih al-Qur’an dan al-
Hadis yang dengan jelas-jelas telah mengharamkan adanya praktek riba.
Meskipun dalam melihat aplikasi hukum Islam tentang riba sama-sama
mengharamkanya, tetapi NU dan Muhammadiyah memiliki cara pandang
atau berfikir yang berbeda. Bagi NU bahwa hukum bunga bank adalah
haram baik itu bank milik swasta maupun bank milik negara. Lebih lanjut,
NU mengungkapkan bahwa bunga yang diambil oleh penabung di bank
adalah riba yang diharamkan. Artinya, apa yang diambil seseorang tanpa
melalui usaha perdagangan dan tanpa bersusah payah sebagai tambahan
pokok hartanya, maka yang demikian itu termasuk riba.. NU kemudian
menguatkan pendapatnya, bahwa pengambilan bunga bank oleh nasabah
yang menyimpan uangnya di bank adalah haram. Dalam hal ini NU lebih
tegas dalam menetapkan keharaman bunga bank—yaitu apabila pihak bank
menggunakannya untuk perbuatan yang telah dilarang agama. Sedangkan
bagi Muhammadiyah agaknya masih ragu terhadap ada atau tidak adanya
‘illat riba pada bank milik negara, hal ini terlihat dengan penetapan, bahwa
hukum bunga bank milik negara adalah musytabihat. Alasan mengatakan
musytabihat, adalah karena ada dua kecenderungan yaitu halal atau haram,
di samping juga karena dalam bank itu tidak dibedakan antara orang yang
meminjam uang untuk konsumsi dan meminjam untuk diproduksikan. Maka
hal ini harus dihindari, kecuali dalam keadaan darurat (terpaksa).
Tampaknya keputusan Muhammadiyah ini sejalan dengan pendapat yang
mengatakan bahwa bunga bank boleh karena darurat, seperti pendapat
Mustafa az-Zarqani, yang mengatakan bahwa bank merupakan kenyataan
yang tidak dapat dihindarkan. Karenanya umat Islam boleh bermu’amalah
dengan bank atas pertimbangan darurat. Lebih lanjut, Muhammadiyah
menyatakan, bahwa riba yang diharamkan oleh agama adalah sifat
pembungaan yang selalu disertai unsur penyalahgunaan kesempatan dan
penindasan. Sedang yang berlaku dewasa ini sama sekali tidak menimbulkan
rasa penindasan atau kekecewaan oleh siapapun yang berkepentingan.
B. Saran-saran.
1. Dalam melihat permaslahan fiqh yang akan diberi ketetapan norma
hukumnya, baik NU maupun Muhammadiyah hendaknya mengkaji
permasalahan yang ada tersebut dari berbagai sudut pandang yang
menyangkut hakekat permasalahan, latar belakang sosial, ekonomi politik,
budaya dan yang semisalnya, di samping juga dengan tidak
mengesampingkan al-Qur’an dan al-Hadis sebagai rujukan utama dalam
menetapkan hukum Islam. Karena fiqh sebagai suatu bentuk ketetapan
hukum akan selalu berubah sesuai dengan masyarakat yang dihadapinya
(salih li kulli zaman wa makan). Sehingga akhirnya dalam memberikan
norma hukum yang ada dapat bersesuaian dengan kebutuhan yang telah
berkembang dan berlaku di tengah-tengah masyarakat.
2. Diperlukan adanya forum kajian atau musyawarah yang harus dilakukan
oleh NU atau Muhammadiyah yang diikuti oleh para ulama dan ahli-ahli
perbankan agar kajiannya lebih komprehensif dan hasilnya diharapakan
lebih mendekati bahkan sesuai dengan realita yang sebenarnya.
3. Dalam menyikapi perbedaan persepsi tentang bunga bank yang berkisar
pada persoalan prosedurnya, maka disarankan agar bagaimana prosedur itu
dapat disesuaikan dengan keyakinan banyak pihak yang akan menggunakan
jasa bank, karena sesuai dengan perundang-undangan yang ada sekarang ini,
maka masih ada kemungkinan untuk diupayakan terwujudnya ketentuan
hukum bunga bank yang lebih sempurna bagi masyarakat.
4. Untuk para cendekiawan terutama kalangan muda untuk pro aktif dan serius
menggali sekaligus ikut memecahkan masalah-masalah fiqh kontemporer,
agar dapat memperkaya hazanah pemikiran dengan tidak membatasi disiplin
ilmu, tokoh maupun kelompoknya, sehingga tidak membuka ruang konflik
yang membodohkan. Tetapi lebih mengembangkan sikap toleran dan saling
memahami sehingga sikap mengklaim diri atau kelompoknya yang paling
benar dapat terhindarkan.