Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

172
BUNGA BANK (STUDI KOMPARASI ANTARA PENDAPAT NAHDLATUL ULAMA DAN MUHAMMADIYAH) SKRIPSI DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT-SYARAT GUNA MEMPEROLEH GELAR SARJANA DALAM ILMU HUKUM ISLAM OLEH : RIZAL BIN JAMI’AN NIM: 99363560 DI BAWAH BIMBINGAN : 1. DRS. H. FUAD ZEIN, MA. 2. DRS. SLAMET KHILMI. PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM F A K U L T A S S Y A R I ‘ A H

Transcript of Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Page 1: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

BUNGA BANK

(STUDI KOMPARASI ANTARA PENDAPAT NAHDLATUL ULAMA

DAN MUHAMMADIYAH)

SKRIPSI

DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AHINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT-SYARATGUNA MEMPEROLEH GELAR SARJANA

DALAM ILMU HUKUM ISLAM

OLEH :

RIZAL BIN JAMI’ANNIM: 99363560

DI BAWAH BIMBINGAN :

1. DRS. H. FUAD ZEIN, MA.

2. DRS. SLAMET KHILMI.

PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

F A K U L T A S S Y A R I ‘ A H

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2004

Page 2: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

BAB. I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Kegiatan ekonomi dari masa ke masa terus mengalami perkembangan,

yang dahulu ada kini tidak ada, atau sebaliknya. Dulu institusi pemodal seperti

bank tidak dikenal dan sekarang ada. Maka persoalan baru dalam fiqh

muamalah muncul ketika pengertian riba dihadapkan pada persoalan bank. Di

satu pihak, bunga bank (interest bank) terperangkap dalam kriteria riba, di sisi

lain, bank mempunyai fungsi sosial yang besar, bahkan dapat dikatakan tanpa

bank suatu negara akan hancur.1

Dalam Ensiklopedia Indonesia, bahwa Bank (perbankan) ialah suatu

lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-

jasanya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang, dengan

mengedarkan alat tukar baru dalam bentuk uang atau giral. Jadi kegiatannya

bergerak dalam bidang keuangan serta kredit dan meliputi dua fungsi yang

penting yaitu sebagai perantara pemberi kredit dan menciptakan uang.2 Ada

yang mendefinisikan bank merupakan sebuah lembaga keuangan yang bergerak

menghimpun dana dari masyarakat dan kemudian dana tersebut disalurkan

1 Muhammad Zuhri, Riba dalam al-Qur’an dan Masalah Perbankan: Sebuah Tilikan Antisipatif, cet. I (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), hlm. 4.

2 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo Husada, 1996), hlm. 39-40

Page 3: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

kepada yang memerlukan, baik perorangan maupun kelembagaan, dengan

sistem bunga.3

Sistem hubungan perekonomian dan keuangan zaman sekarang ini, baik

dalam maupun luar negeri, adalah melalui saluran bank. Tidak ada suatu negara

mana pun yang tidak mempunyai perusahan bank, karena bank dapat

melancarkan segala perhubungan dan lebih menjamin selamatnya pengiriman.

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa tujuan dari suatu bank adalah mencari

keuntungan dan keuntungan itu dicapai dengan berniaga kredit. Bank mendapat

kredit dari orang luar dengan membayar bunga. Sebaliknya bank memberikan

kredit dari kepada orang luar dengan memungut bunga yang lebih besar dari

pada yang dibayarkannya. Jadi sedikit penjelasan di atas, maka yang disebut

bunga bank adalah tambahan yang harus dibayarkan oleh orang yang berhutang

kepada bank atau keuntungan yang diberikan pihak bank kepada orang yang

menyimpan uang di bank dengan besar-kecil sesuai dengan ketentuan yang

berlaku di bank tersebut. Tetapi konsensus pendapat-pendapat menganggap

bahwa bunga bank merupakan tambahan tetap bagi modal, dikemukakan bahwa

tambahan yang tetap ini merupakan biaya yang layak bagi proses produksi.4

Jadi selisih bunga itulah keuntungan bank. Sehingga bunga merupakan

suatu masalah yang tidak dapat dilepaskan dari perusahan bank dunia (umum).

Mengenai kedudukan bank tersebut, Moh. Hatta mengatakan bahwa sampai saat

ini berbagai ulama ada yang mengharamkan pemungutan bunga. Dengan 3 Djejen Zainudin dan Suparta, Fiqh, (Semarang: Toha Putra, 1996), hlm. 71

4 M. Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam,alih bahasa Nastangin (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1997), hlm. 120

Page 4: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

larangan itu maka hilanglah sendi tempat bank berdiri. Kalau bunga tidak boleh

dipungut, maka tidak dapat pula orang Islam untuk mendirikan bank. Lebih

lanjut ia juga berpendapat, ada pula ulama yang mengatakan, bahwa memungut

rente itu merupakan perbuatan yang tidak terpuji, tetapi apabila masyarakat

mengkehendakinya, rente itu dibolehkan juga. Hal seperti ini menimbulkan

pemahaman masyarakat tentang sifat hukum dalam Islam mempertimbangkan

buruk dengan baik. Jika lebih besar baiknya dari pada buruknya, hukumnya

menjadi harus, pekerjaan seperti itu diperbolehkan.5

Sementara Mirza Nurul Huda sebagaimana dikutip oleh A. Chatib,

memaparkan, bahwa satu segi kegiatan yang terpenting dari bank perdagangan

adalah menerima titipan uang dari orang-orang dan meminjamkan dengan

jangka pendek kepada orang lain guna menegakkan perdagangannya yang

direncanakan. Oleh karena itu, maka bunga bank berdiri dan ada untuk mencari

keuntungan. Apabila kita menghapus bunga—sebagaimana yang diwajibkan

oleh negara Islam—maka bagaimana bank akan bekerja.6

Dalam Islam telah mengharamkan adanya riba. Masyarakat masa awal

Islam belum mengenal sistem perbankan modern dalam arti praktis, sehingga

dalam menanggapi fenomena ini, terjadi pebedaan pendapat. Beda pandangan

dalam menilai permasalahan ini menimbulkan kesimpulan–kesimpulan hukum

yang berbeda pula, dalam hal boleh atau tidaknya, halal haramnya umat Islam

bermu’amalah dengan bank. Jika kembali kepada ajaran Islam di mana al-

5 Fuad M Fahruddin, Riba dalam Bank: Koprasi, Perseroan dan Asuransi, (Bandung: al-Ma’arif, 1985), hlm. 21

6 A. Chotib, Bank dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1962), hlm. 16

Page 5: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Quran sendiri telah melarang bentuk mu’amalah yang mengandung unsur riba.

Dasar persoalan riba dapat diketahui dengan jelas dan tegas dalam 3 ( tiga )

tempat :

1. Dalam al-Quran Surat al-Ruum : 39, sewaktu Nabi masih di Makkah di

hadapan orang Arab Musyrikin.

2. Dalam al-Quran Surat Ali Imran : 130-132, sewaktu Nabi sudah pindah ke

Madinah.

3. Dalam al-Quran Surat al-Baqarah : 275-280

Fenomena yang menarik kaitannya dengan ini adalah adanya respon dua

organisasi besar Islam Indonesia dalam menyikapi masalah bunga bank tersebut,

yaitu Nahdlatul Ulama melalui Bahsul Masail-nya dan Muhammadiyah dengan

Majlis Tarjih-nya. Salah satu keputusan hukum tentang bunga bank yang

selama ini telah beredar dalam kalangan umat Islam di antaranya adalah

keputusan Mu’tamar NU XII di Malang pada tanggal 12 Rabi’ah as-Sani 1356

H atau 25 Maret 1937 No 204, dan hasil sidang Majlis Tarjih Muhammadiyah

tahun 1968 di Sidoarjo.

Telah menjadi sebuah pertanyaan besar masalah bunga bank ini dalam

mu’tamar NU—terjadilah pembahasan yang begitu panjang tentang bagaimana

hukum menitipkan uang dalam bank, hingga kemudian pemerintah menetapkan

pajak kerena alasan mendapatkan bunga. Halalkah bunga itu? Dan bagaimana

hukumnya menitipkan uang dalam bank karena menjaga keamanan saja dan

tidak menginginkan bunga? Jawaban dari pertanyaan tersebut diambil dengan

merujuk pada keputusan Mu’tamar NU II di Surabaya pada tanggal 12

Page 6: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Rabi’ah as-Sani 1346 H atau 9 Oktober 1927 No. 28. yang memutuskan bahwa

hukum bunga bank dan sehubunganya itu sama dengan hukum gadai yang telah

ditetapkan dalam mu’tamar tersebut.

Di antara hasil keputusan Mu’tamar NU II di Surabaya, tentang gadai

telah menghasilkan tiga pendapat yaitu:

a. Haram: sebab termasuk hutang yang dipungut manfaatnya (rente).

b. Halal: sebab tidak ada syarat sewaktu akad, menurut ahli hukum yang

terkenal bahwa adat yang berlaku itu tidak termasuk menjadi syarat.

c. Syubhat (tidak tentu haram halalnya): sebab para ahli hukum masih terjadi

selisih pendapat.7

Sebagai catatan penting dalam keputusan mu’tamar tersebut—bahwa

untuk lebih berhati–hati ialah dengan mengambil pendapat pertama—yakni

yang telah mengharamkannya. Adapun menitipkan uang dalam bank karena

untuk keamanannya saja hukumnya makruh, dengan syarat apabila telah

diyakini kalau uang tersebut akan digunakan untuk hal-hal yang bertentangan

dengan ajaran agama.

Sementara keputusan Munas ‘Alim Ulama NU di Bandar Lampung

tanggal 21-25 Januari 1992. mengenai keputusan hukum bunga Bank ditempuh

melalui prosedur yang lebih metodologis lagi, sebagai penyeimbang keputusan

Muktamar NU XII di Malang. Adapun hasil keputusannya sebagai berikut :

a. Haram, kerena bunga bank dipersamakan dengan riba secara mutlak

7 Abu Hamdan Abdu al-Jalil Hamid, Ahkam al-Fuqaha’ fi al-Muqarrarat Mu’tamarat Nahdatu al-Ulama’, (Semarang: Toha Putra, t.t.), I:22. sebagai perbandingan lihat Abu Hamdan Abdu al-Jalil Hamid, Ahkam al-Fuqaha’ fi al-Muqarrarat Mu’tamarat Nahdatu al-Ulama’, (Semarang: Toha Putra, t.t.), II: 71.

Page 7: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

b. Boleh, kerena bunga bank tidak dipersamakan dengan riba

c. Subhat, kerena masih belum jelas

Sementara itu, salah satu respon dari Muhammadiyah melalui keputusan

Majlis Tarjih tahun 1968 di Sidoarjo Jawa Timur tentang masalah–masalah fiqh

kontemporer (khususnya mengenai bunga bank) telah dilakukan dengan cara

berijtihad. Dalam berijtihad Majlis Tarjih menempuh tiga metode:

1. Ijtihad Bayani, yaitu menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat

dalam nash al-Quran dan al-Hadis

2. Ijtihad Qiyasi, yakni menyelesaikan kasus baru dengan cara

menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam nash

al-Quran dan al-Hadis

3. Ijtihad Istislahi, yakni menyelesaikan beberapa kasus baru yang tidak

terdapat dalam kedua sumber di atas, dengan cara menggunakan penalaran

yang didasarkan atas kemaslahatan.

Dalam menetapkan hukum bunga bank, Majlis Tarjih mangaitkannya

dengan masalah riba, apakah bunga bank identik dengan riba atau tidak?, untuk

memastikan jawaban tersebut, Majlis Tarjih menggunakan qiyas sebagai

metode ijtihadnya.8 Bagi Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba adalah

adanya pengisapan atau penganiayaan (az-Zulm) terhadap peminjaman dana.

Konsekuensinya, kalau ‘illat itu ada pada bunga bank, maka bunga bank sama

8 Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, cet. I (Jakarta: Logos Publishing House, 1995 ), hlm. 64

Page 8: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

dengan riba dan hukumnya riba. Sebaliknya kalau ‘illat itu tidak ada pada bunga

bank, maka bunga bank bukan riba, kerana itu tidak haram.9

Bagi Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba disinyalir juga ada pada

bunga bank, sehingga bunga bank disamakan dengan riba dan hukumnya adalah

haram. Namun keputusan tersebut hanya berlaku untuk bank milik swasta.

Adapun bunga bank yang diberikan oleh bank milik negara pada para

nasabahnya atau sebaliknya, termasuk perkara musytabihat, tidak haram dan

tidak pula halal secara mutlak.10

Dari diskripsi di atas nampak bahwa kedua organisasi tersebut

mempunyai konsep yang berbeda bahkan berseberangan. Namun, keduanya

mempunyai sisi kesamaan yaitu demi kemaslahatan umat manusia, meskipun

implimentasinya juga berbeda. Perbedaan tersebut terjadi karena adanya sudut

pandang yang mempenagruhinya dalam menetapkan hukum tersebut.

Oleh karena itu penyusun tertarik untuk mencoba meneliti dan

menelusuri kembali permasalahan-permasalahan hukum bunga bank tersebut

menurut pendapat Nahdlatul Ulama melalui Bahsul Masail-nya dan

Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih-nya, dengan titik tekan pada permaslahan

dasar yang melatarbelakangi dari perbedaan tersebut mengenai bunga bank

adalah melalui metode pengambilan keputasan hukumnya yang diambil dari

segi kajian fiqhnya,

B. Pokok Masalah.9 Ibid., hlm. 125-126.

10 Urain selengkapnya dapat dilihat dalam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta: Persatuan, t.t), hlm 304-307

Page 9: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penyusun perlu membatasi

rumusan pokok masalah yang diteliti agar mengfokus dan tidak meluas,

sehingga menjadi jelas. Adapun pokok masalahnya sebagai berikut :

1. Metode Istinbat hukum apakah yang digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU)

dan Muhammadiyah dalam memandang hukum bunga bank?

2. Bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah

mengenai hukum bunga bank dilihat dari segi hujjahnya?

C. Tujuan Dan Kegunaan.

Adapun tujuan dan kegunaan dari penyusunan skripsi ini adalah sebagai

berikut :

1. Tujuan penelitian .

a. Untuk menjelaskan metode istinbat apakah yang dipakai oleh Nahdlatul

Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam memandang hukum bunga bank

b. Untuk menggambarkan atau menjelaskan bagaimana pandangan

Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah mengenai hukum bunga

bank dilihat dari segi hujjahnya.

2. Kegunaan dari penelitian adalah:

a. Bagi kehidupan secara umum, yaitu memberikan atau membangkitkan

pengertian dan kesadaran bagi kebanyakan masyarakat yang masih

beranggapan bahwa sistem perbankkan yang belaku sekarang ini masih

belum tepat atau mengena dengan ketentuan-ketentuan agama yang telah

diyakini karena hukum bunga bank masih menjadi perselisihan pendapat

Page 10: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

dan juga agar mereka memiliki landasan yang kuat dalam menjalani

aktifitas perekonomian

b. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu syariah, yaitu

memberikan pemahamam yang kokoh bagi pemikiran hukum Islam

sebagai upaya untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah

kontemporer yang dihadapi umat Islam, khususnya masalah hukum

bunga bank.

D. Telaah Pustaka

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, menuntut para

ulama untuk melakukan restrukturisasi terhadap hazanah keislaman ke arah

yang lebih inovatif. Termasuk di dalamnya melakukan ijtihad di bidang fiqh

(hukum Islam) secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Mengingat

kedudukan dan fungsi ijtihad dalam yurisprudensi, maka kajian tentang fiqh

yang kontemporer akan selalu menjadi aktual.

Studi tentang NU dan Muhammadiyah telah banyak dilakukan baik dari

kalangan NU dan Muhammadiyah sendiri maupun dari luar serta telah

dikodifikasikan.11 Seperti halnya Kacung Maridjan, dosen Fisip Unair, ia

mengungkapkan bahwa dalam menghadapi perubahan-perubahan sosial yang

11 Studi tentang NU telah banyak dilakukan oleh banyak tokoh. Misalnya, M. Masyhur Amin menulis tentang sejarah berdirinya NU dan pasang surut perjalanan organisasi tersebut. Baca M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraan, cet. I (Yogyakarta: al-Amin Press, 1996), hlm. 55 dst. Kemudian lihat juga Khoirul Fathoni dan Muhammad Zein, NU Pasca Khittah: Prospek Ukhuwah dengan Muhammadiyah, cet. I (Yogyakarta: Media Mandala Manggala, 1992), hlm. 9. Topik ini juga dibahas dalam desertasi yang telah diterbitkan dalam sebuah buku. Lihat M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fiqh dalam Politik, cet. II (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 38-45.

Page 11: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

begitu cepat, NU tidak menutup kemungkinan akan melakukan pembaharuan

(tajdid) bahkan islah pemikiran, dengan catatan bahwa pembaharuan tersebut

tetap berakar pada kaidah-kaidah yang telah dianutnya. Hal ini perna dilakukan

dalam Munas ‘Alim Ulama di Cilacap. Meskipun buku tersebut tidak

berorientasi terhadap tema pokok karya ini. Namun, Kacung Maridjan banyak

memaparkan mengenai hukum bunga bank menurut NU dalam beberapa kali

mu’tamar.12

Kajian yang lain dilakukan oleh Sugiri. Dalam skripsinya, dia meneliti

NU sebagai organisasi kerakyatan—meminjam bahasa Dawam Raharja—dari

segi penetapan hukum secara umum. Dia juga membahas istinbat hukum.

Dalam NU, kalimat istinbat tidak popular, apalagi dengan diartikan ijtihad. Hal

ini sulit dilakukan, karena adanya keterbatasan yang disadari oleh jami’iyyah.13

Salah satu buku yang dikeluarkan PBNU, Ahkam al-Fuqaha’ fi al-

Muqarrarat Mu’tamarat Nahdatu al-Ulama. Merupakan buku yang memuat banyak

tentang hasil-hasil keputusan mu’tamar yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama

dalam merespon berbagai masalah-masalah kontemporer mengenai hukum Islam.

Di antaranya adalah tentang bunga bank14

Sementara A. Wahid Zaini, pengarang buku dan kolomnis produktif,

dalam bukunya Dunia Pemikiran Kaum Santri secara gamblang dan detail

menjelaskan hukum tentang bunga bank yang telah diputuskan oleh Munas

12 Kacung Maridjan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Erlangga, 1992).

13 Sugiri, Studi Perbandingan Pelaksanaan Tata Cara Penetapan Hukum antara Majlis Tarjih Muhammadiyah dan Syuriah NU, skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1998.

14 Abu Hamdan Abdu al-Jalil Hamid, Ahkam al-Fuqaha’ fi al-Muqarrarat Mu’tamarat Nahdatu al-Ulama’, (Semarang: Toha Putra, t.t.).

Page 12: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

‘Alim Ulama di Bandar Lampung, dan Majlis Tarjih Muhamdiyah di Sidorajo.

Dengan harapan agar forum kajian atau musyawarah yang diikuti oleh ulama

dan ahli-ahli perbankan agar kajiannya lebih komprehensip dan hasilnya

diharapkan lebih mendekati bahkan sesuai dengan realita yang ada. 15

Begitu juga dengan Majlis Tarjih Muhammadiyah yang bertugas

merespon dan memutuskan persoalan–persoalan hukum Islam termasuk

masalah–masalah kontemporer dengan metode ijtihadnya., di antaranya adalah

masalah yang telah menjadi tema pokok pembahasan penyusun yaitu mengenai

bunga bank. Di mana hasil keputusan–keputusan Majlis Tarjih tersebut

selanjutnya hasil keputusan-keputusannya dibukukan dalam Himpunan Putusan

Tarjih,16 di samping ada arsip–arsip tersendiri dari setiap Mu’tamar Tarjih.

Selanjutnya kajian yang lebih lengkap membahas tentang metode ijtihad

Majlis Tarjih adalah buku karya Fathur Rahman Djamil,17 buku ini secara detail

telah menyoroti ijtihad yang dilakukan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah

(khususnya tentang bunga bank) dengan berusaha untuk mengungkapkan

kegiatan-kegiatan Majlis Tarjih Muhammadiyah yang merupakan motor

penggerak tajdid Muhammadiyah.

Adapun penelitian ini tentunya berbeda dengan beberapa penelitian dan

buku yang tersebut di atas. Dalam penelitian ini, lebih difokuskan terhadap

penulusuran kajian tentang hasil dan keputusan mu’tamar Nahdlatul Ulama

15 A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri (Yogayakarta: LKPSM: 1994).

16 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah,, (Yogyakarta: Persatuan, t.t.).

17 Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, cet. I ( Jakarta : Logos Publishing House, 1995 ).

Page 13: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

(NU) dan Muhammadiyah tentang bunga bank, dalam kapasitas keduanya

sebagai representasi pemberlakuan hukum Islam dan merupakan organsisi

Islam terbesar di Indonesia

E. Kerangka Teoretik.

Dewasa ini perbincangan mengenai riba di kalangan negeri dan para

pemikir Islam mulai mencuat kembali. Sehingga upaya-upaya melakukan usaha

yang bertujuan menghindari persoalan riba mulai dilakukan. Istilah dan persepsi

mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam. Orang sering lupa bahwa hukum

larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang Muslim Amerika, Cyril

Glasse, bahwa riba tidak diberlakukan di negeri Islam modern manapun.

Sementara itu kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa di dunia Kristenpun,

selama satu milenium, riba adalah barang yang terlarang dalam pandangan para

teolog, cendekiawan maupun menurut undang-undang yang ada.18

Di sisi lain, apabila dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek

riba yang merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai

penguasa terpaksa melakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis

pembungaan uang.19 Perdebatan panjang di kalangan ahli fiqh tentang riba

belum menemukan titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan

18 Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer, cet. I ( Yogyakarta: UUI Pres, 2000), hlm. 143.

19 Ibid., hlm. 143-144.

Page 14: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

yang kuat. Akhirnya timbul pendapat yang bermacam-macam mengenai bunga

bank dan riba.

Apakah sama persoalan “Riba” dengan “Bunga” itu? Pada lahirnya

memang sama saja rupanya, kedua-duanya adalah bunga dari pada harta yang

dipinjamkan. Akan tetapi pada sifatnya dalam kemajuan masyarakat sampai

sekarang ada perbedaan yang cukup besar.20 Pro dan kontra sekitar hukum

bunga bank bukan saja terjadi di kalangan sarjana muslim.

Sebagaimana dikatakan Charles Gide, seorang ahli politik dan filsafat,

menyebutkan, bahwa semua agama, lebih-lebih Islam, telah mengharamkan

riba. Memang sudah sewajarnya apabila riba itu diharamkan. Sebab ketika itu,

orang berhutang hanya semata-mata untuk mencukupi kebutuhan hidup

kesehariannya yang sangat mendesak, bukan untuk modal usaha, sebagaimana

yang banyak dilakukan orang masa sekarang.

Sejalan dengan apa yang diungkapkan Gide, Hatta sebagaimana

dijelaskan A. Chotib, juga membedakan antara pinjaman yang terjadi di masa

agraris, ketika periode bercocok tanam, yang umumnya orang meminjamkan

uang bukan untuk modal usaha melainkan hanya karena keterpaksaan untuk

menutupi kebutuhan hidup. Sementara untuk masa sekarang, orang meminjam

uang umumnya bertujuan untuk modal usaha. Atau bunga yang semata-mata

konsumtif adalah riba sedangkan bunga yang sifatnya produktif adalah sebagian

20 A. Chatib, Bank dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 38.

Page 15: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

dari keuntungan yang diperoleh dengan bantuan orang lain (bunga), jadi bunga

produktif menurut Hatta adalah boleh.21

Dalam tafsir al-Manar, Abduh (w-1905 M) dan di dalam fatwa-

fatwanya, sebagaimana dicatat ‘Ammarah, menyebutkan bahwa Muhammad

Abduh membolehkan menyimpan uang di bank dan juga boleh mengambil

bunga simpanannya, dengan kata lain ia mehalalkan bunga bank.22 Hal ini

menurutnya, didasarkan pada maslahah-mursalah (kesejahteraan). Larangan

riba menurut Muhammad Abduh adalah untuk menghindari adanya unsur

eksploitasi dan menghindari memakan harta orang lain secara batil (al-Baqarah :

188).

Sementara bunga bank, menurut Abduh tidak menimbulkan adanya

pemerasan dan tidak ada persamaannya dengan apa yang diharamkan al-Qur’an

(al-Baqarah :188). Alasan lain yang menghalalkan menabung uang dan

sekaligus mengambil bunga bank, menurut Abduh ada tiga alasan yaitu

Pertama, karena dengan keberadaan perbankan yang ada sekarang tidak

menciptakan penindasan, malahan sebaliknya mendorong kemajuan

perekonomian. Kedua, bahwa menyimpan uang di bank, pada intinya sama

artinya dengan perkongsian dalam bentuk lain. Ketiga, mendorong orang untuk

maju di segala bidang, termasuk ekonomi, adalah sikap yang sangat dianjurkan

21 Ibid.

22 Sebagaimana dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, cet, I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.59.

Page 16: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

dalam Islam. Sedangkan operasi dan jasa bank yang ada sekarang tampaknya

memang mendorong kemajuan ekonomi.23

Salah satu ulama Indonesia, yang menghalalkan bunga bank, menurut

catatan Khoiruddin Nasution selanjutnya adalah H. Abdullah Ahmad, seorang

ulama yang berasal dari Padang, Sumatera Barat. Dia mengatakan, bunga bank

boleh diambil dengan syarat, persentase bunga tersebut diumumkan lebih

dahulu, sehingga jika bunga diumumkan sebelumnya maka berarti seorang yang

meminjam rela dengan bunga yang diumumkan.24 Di sini sebagai tambahan,

hendaknya agar prosentase bunga hendaknya selalu dikontrol oleh pemerintah

agar bank dalam menetapkan bunga tidak sembarangan, namun mengikuti UU

pemerintah

Sementara A. Hasan, pemimpin Perguruan Persis Bangil, Jawa Timur,

mengatakan bahwa riba yang haram, menurutnya, mempunyai sifat :25

1. Terpaksa, yaitu orang terpaksa menunda hutang karena tidak mampu

membayar dan pihak si peminjam menerima dengan syarat ada

bayaran tambahan.

23 Ibd., hlm. 61-62

24 Ibid., hlm. 69-70

25 A. Hasan. Soal-Jawab: Tentang Berbagai Masalah Agama, (Bandung: Diponegoro, 1983), hlm. 368-369.

Page 17: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

2. Darar, yaitu pinjaman yang sekiranya digunakan untuk berdagang

dengan uang tersebut tidak akan bisa untuk yang cukup buat makan,

minum dan bayar hutang.

3. Berlipat ganda.

Adapun yang dihalalkan sifat-sifatnya adalah:

1. Tidak ganda-berganda.

2. Tidak membawa kepada ganda berganda.

3. Tidak mahal, artinya sekiranya orang berusaha dengan uang tersebut

tidak akan membawa kepada kerugian.

4. Pinjaman yang produktif.

Sedangkan pada tokoh yang kontra terhadap bunga bank, di antaranya

adalah Mahmud Abu Su’ud, penasihat bank Pakistan, mengungkapkan bahwa

bunga itu ditinjau dari segi moril dan materiil adalah memberi kemelaratan, segi

morilnya ialah pengakuan dari para ahli ekonomi bahwa bunga itu memberi

kemelaratan yang besar kepada rakyat dan segi materiilnya ialah bahwa

kebanyakan orang yang meminjam uang itu orang-orang kaya, dan mengambil

bunga dari orang-orang miskin yang meminjam uang itu tidak selayaknya.

Selanjutnya, Afif Abdulfatah Tabbarah berpendapat bahwa memungut

bunga dari bank adalah haram, karena bunga itu riba. Agama Islam sudah

menetapkan bahwa modal dan usaha itu harus bersekutu di dalam untung dan

Page 18: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

rugi. Dan memungut bunga yang tetap itu berarti bahwa modal itu selalu

mendapat untung, meskipun usahanya rugi.

Tokoh yang berpendapat bahwa bunga itu haram karena sangat

berpegang teguh pada konteks al-Qur’an (dalam arti konteksnya bukan

maknanya) yang mana al-Qur’an dan as-Sunnah—dua sumber pokok Islam

melarang keras adanya bunga karena kezalimannya (QS. al-Muzammil dan QS.

al-Baqarah) dan mengatakan bahwa beberapa orang Islam terpelajar yang silau

oleh pesona lahiriyah peradaban Eropa mengatakan bahwa yang dilarang Islam

adalah riba bukan bunga. Oleh karenanya Daoualibi, seorang ahli politik dan

jurnalis Syiria mengatakan, Islam semestinya membedahkan antara bunga yang

dihubungkan dengan tujuan produktif dan konsumtif. Bagi pinjaman yang

berhubungan dengan usaha dan tujuan produktif, seperti untuk tujuan dangang

atau usaha yang lainya, maka menjadi pantas untuk mendapatkan bagian dari

keuntungan yang diperoleh si peminjam. Sebaliknya, untuk pinjaman yang

sifatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari peminjam, maka tidak

dipungut bunga dan digunakan prinsip saling tolong menolong.26

Kemudian menurut M. Abdul Manan, dalam bukunya “Teori dan

Praktek Ekonomi Islam”, menyebutkan bahwa riba dengan nama bunga bank

tidak akan mengubah sifatnya, karena bunga adalah suatu tambahan modal yang

dipinjam, karena itu ia adalah riba baik dalam jiwa maupun peraturan hukum

Islam. Dan ia menambahkan sebetulnya, tidak ada perbedaan yang cukup

26 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, hlm. 63.

Page 19: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

mendasar antara bunga dan riba. Islam dengan tegas melarang semua bentuk

bunga betapapun hebat, dan meyakinkannya nama yang diberikan kepadanya.27

Tetapi dalam ekonomi kapitalis bunga adalah pusat berputarnya sistem

perbankan. Dikemukan juga bahwa tanpa bunga, sistem perbankan menjadi

tidak bernyawa, dan seluruh kegiatan perekonomian akan lumpuh. Sedangkan

Islam adalah kekuatan dinamis dan progresif, dan jelas dibuktikan bahwa

konsep Islam tentang suatu sistem perbankan bebas bunga lebih unggul dari

pada perbankan modern. Pada taraf ini dapat ditetapkan bahwa suku bunga sama

sekali tidak ada hubungan dengan pengaruh volume menabung.

K.H. Mas Mansur, pernah menjabat sebagai Ketua Umum PP

Muhammadiyah, berpendapat, bahwa bunga bank, mendirikan bank, mengurus,

mengerjakan dan berhubungan dengan bank adalah haram. Sementara, M.

Bustami Ibrahim (Medan) adalah ulama Indonesia lain, yang mengharamkan

bunga bank. Dalam upaya menolak bunga bank, ia berkata:

“Kita tidak usah berkilah ke sini dan kemari untuk mencari-cari jalan. Sebab Allah Maha Tahu apa yang tersembunyi dibalik itu, yang sama sekali di luar kemampuan manusia. Kita sudah melihat dengan mata kepala sendiri tentang apa manfaat dan kemudaratan bank. Maka walau bagaimana pun keadaan memaksanya, yang haram tetap haram. Sejalan dengan itu, dalam hal bank, sedikit dan banyak, dengan langsung atau perantara hukumnya adalah tetap haram.”28

Perlu dicatat, bahwa larangan adanya bunga tidak lebih dari pada sebuah

usaha proteksi terhadap orang lemah dan melawan eksploitasi yang sekaligus

27 Abdul Manan, Teori dan Praktek, hlm. 165.

28 Sebagaimana dikutip A. Chatib, Bank dalam Islam, hlm. 93.

Page 20: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

mendorong penanaman modal dan buruh untuk bekerja sama dengan sebutan

Mudarabah.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan sekripsi ini digunakan jenis penelitian pustaka

(library research), yaitu penelitian yang menjadikan bahan kepustakaan ini

dijadikan sebgai sumber (data) utama, baik data primer maupun sekunder.

2. Sifat Penelitian

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif,29 analitik dan komparatif.

Penelitian ini berusaha memaparkan tentang hukum bunga bank secara

umum sebelum akhirnya akan mendeskripsikan kerangka pendapat dua

organisasi yang diteliti yaitu NU lewat Bahsul Masail-nya dan

Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih-nya, melalui data yang diperoleh,

kemudian dilakukan analisis interpretasi tentang bagaimana metode

pengambilan keputusan hukum yang dilakukan oleh kedua organisasi

tersebut dengan membangun korelasi yang dianggap signifikan. Kemudian

menjelaskan mengenai persamaan dan perbedaan pandangan tentang

keharaman dan kebolehan mengambil bunga bank

3. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam memperoleh data adalah

menggunakan pendekatan normatif, yaitu suatu usaha untuk menjelaskan

29 ) Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, cet. XIII (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), hlm. 6

Page 21: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

tentang keharaman dan kebolehan mengambil bunga di bank dengan melihat

keputusan hukum yang dimiliki NU dan Muhammadiyah dipandang dari

sisi hukum Islam. Artinya, penelitian ini juga dapat dilihat baik dari kaidah

ushuliyah maupun fiqhiyyah. Hal ini penting, karena masalah bunga bank

merupakan satu bagian dari kajian Islam (fiqh) dan merupakan salah satu

persoalan kontemporer dari sekian banyak persoalan atau masalah-masalah

baru.

4. Pengumpulan Data

Karena penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, maka

pengumpulan data adalah dengan mengumpulkan karya-karya dari kedua

organisasi tersebut. Adapun data primer, dalam NU adalah diambil dari hasil

Keputusan Mu’tamar NU XII di Malang pada tanggal 12 Rabi’ah as-Sani

1356 H atau 25 Maret 1937 No 204. Sedangkan Muhammadiyah, dari hasil

Keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo Jawa

Timur. Sementara data sekunder diambil dari buku-buku yang dikarang

oleh tokoh-tokoh lain yang dapat mendukung pendalaman dan ketajaman

dalam analisis penelitian ini.

5. Analisis Data

Dalam menganalisis dan menginterpretasikan data yang telah

terkumpul. penyusun menggunakan cara berfikir komparasi. Komparasi,

yaitu yakni membandingkan sebuah pendapat dengan pendapat yang lain

tentang hal yang sama (hukum bunga bank), baik yang memiliki nuansa

Page 22: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

pemikiran yang hampir sama atau bahkan yang sangat bertentangan.30

Dalam penelitian ini, Pendapat NU dikomparasikan dengan pendapat

Muhammadiyah, sehingga dapat diketahui persamaan maupun perbedaan

pendapat keduanya dan dapat ditarik suatu kesimpulan yang konkrit tentang

persoalan yang diteliti.

G. Sistematika Pembahasan.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan pokok-pokok bahasan

secara sistematis yang terdiri dari lima bab dan pada tiap-tiap bab terdiri dari

sub-sub sebagai perinciannya. Adapun sistematika pembahasannya adalah

sebagai berikut :

Bab satu (I) merupakan pendahuluan yang berisi: pertama, latar

belakang masalah yang memuat alasan-alasan pemunculan masalah yang

diteliti. Kedua, pokok masalah merupakan penegasan terhadap apa yang

terkandung dalam latar belakang masalah. Ketiga, tujuan yang akan dicapai dan

kegunaan (manfaat) yang diharapkan tercapainya penelitian ini. Keempat, telaah

pustaka sebagai penelusuran terhadap literatur yang telah ada sebelumnya dan

kaitannya dengan objek penelitian. Kelima, kerangka teoretik menyangkut pola

fikir atau kerangka berfikir yang digunakan dalam memecahkan masalah.

Keenam, metode penelitian berupa penjelasan langkah-langkah yang akan

ditempuh dalam mengumpulkan dan menganalisis data. Ketujuh, sistematika

pembahasan sebagai upaya yang mensistematiskan penyusunan.

30 Anton Bakker dan Achmad Charis Zubar, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta : Kanisius, 1992), hlm. 71.

Page 23: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Selanjutnya, tahap kedua yaitu isi, terdiri dari tiga bab, yakni bab II, III,

dan IV. Bab kedua mengulas tentang gambaran umum masalah bunga bank. Hal

ini diperlukan untuk memberikan gambaran tentang keberadaan dan praktek

bunga bank saat ini. Bab ini terbagi atas enam sub, pertama, membahas sejarah

bunga bank. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kapan bunga bank itu ada

(dari masa pra-Islam hingga datangnya Islam). Kedua, bagaimana Islam menilik

pengertian dan landasan hukum bunga bank. Ketiga, membahas mengenai

macam-macam riba dan dampaknya. Keempat, menjelaskan betapa pentingnya

fungsi bank dalam kegiatan transaksi ekonomi dan kehidupan modern ini.

Kelima, menerangkan sejauhmana perbedaan bank konvensional dan bank Islam

dan, Kelima, mengupas mengenai riba, bunga bank dan masyarakat Indonesia.

Pemaparan ini perlu untuk memahami akibat hukum yang timbul dari

dilaksanakannya praktek bunga bank dalam masyarakat Indonesia sekarang.

Sedangkan bab ketiga membahas pandangan Nahdlatul Ulama dan

Muhammadiyah mengenai bunga bank ditinjau dari hukum Islam. Hal ini

diperlukan karena pada dasarnya penelitian ini terfokus pada praktek bunga

bank tersebut. Bab ini terbagi menjadi menjadi tiga sub, pertama, mengulas

tentang sejarah dan latarbelakang lahirnya Nahdlatul Ulama dan

Muhammadiyah ditinjau dari segi sosial-kemasyarakatannya. Kedua,

menjelaskan pokok-pokok pikiran Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Kelima, mengupas pandangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah tentang

bunga bank. Hal ini dimaksudkan untuk memahami secara utuh atau mnyeluruh

Page 24: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

terhadap pandangan kedua organisasi tersebut dalam merespon praktek

pembungaan dalam bank konvensional.

Selanjutnya, bab keempat, memuat pendapat NU maupun

Muhammadiyah yang berkenaan dengan segi-segi persamaan dan perbedaan

antara keduanya tentang bunga bank dalam kerangka perbandingan (komparatif)

ditinjau dari segi ketentuan hukum dan metode yang digunakan (istinbatnya).

Sehingga dari ulasan ini diharapkan akan ada kejelasan bagaimana hukum Islam

memandang keberadaan bunga bank.

Bab kelima (V) sebagai bab terakhir dari keseluruhan rangkaian

pembahasan, memaparkan kesimpulan dan pembahasan bab-bab sebelumnya

sehingga memperjelas jawaban terhadap persolan yang dikaji serta saran-saran

dari penulis berkenaan dengan pengembangan keilmuan agar dapat mencapai

hal-hal yang lebih baik dan lebih maju.

Page 25: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG BUNGA BANK

A. Sejarah Bunga Bank Konvensional.

Bangsa-bangsa dahulu telah mengenal bank, tetapi bank ini berlainan

dengan bank modern, sesuai dengan awal tingkat kejadiaannya transaksi di

waktu itu. Saat itu belum ada mata uang dan baru muncul pada abad

pertengahan, maka timbullah lembaga perbankan yang mereka gunakan

sebagai alat mata uang, pertukaran uang dengan yang lain dan

penyimpanan. Hal ini sesuai dengan tingkat kemajuan yang mereka capai

pada saat itu. Mereka belum mengoperasikan uang yang didepositokan pada

para bankir. Kemudian para bankir berpendapat bahwa adalah lebih baik

kalau uang tersebut sebagian mereka kelola, karena pada umumnya pemilik

uang tidak menginkan uang yang mereka titipkan itu dioperasikan. Sehingga,

dengan uang yang dititipkan itu mereka dapat mengoperasikannya dalam

jumlah tertentu, seraya mereka pun dapat mengembalikan uang titipan ini

pada saat penitipnya memintanya kembali. Dengan cara semacam ini, penitip

(deposan) tidak mengetahui bahwa uangnya telah dioperasikan atau

dikembangkan oleh si bankir, karena yang bersangutan dapat

mengembalikan kepada pemiliknya kapan saja uang itu ditariknya kembali,

Page 26: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

karena uang yang dititipkan pada si bankir itu banyak, sehingga ia dapat

memperbesar operasinya dan mendatangkan keuntungan yang besar pula.1

Dengan demikian si bankir berpendapat bahwa suatu hal yang

menguntungkan bagi dirinya kalau penitip uang (deposan) diberi bagian dari

keuntungan uang yang mereka titipkan kepadanya, sehingga uang mereka

pun berkembang pula, dengan cara ini, si penitip memperoleh keuntungan

dan si bankir juga mendapatkan untung yang jauh lebih besar. Bilamana si

deposan tidak diberi keuntungan, barangkali mereka tidak akan menitipkan

uangnya lagi pada si bankir atau tidak mengizinkan untuk dikembangkan.

Karena itu, akhirnya orang-orang lain dapat digalakkan untuk menitipkan

uang mereka padanya, sehingga akan bertambah investasi dan

keuntungannya. Dari sinilah kemudian lahir gagasan lembaga perbankan

modern (bank konvensional). Yang menjadi sandaran paling besar bagi

kelangsungan hidup perbankan adalah deposito, sekalipun bersandar juga

pada dua sumber lain, yaitu:2

1. Modal, meliputi modal yang diberikan pemegang saham dan modal yang

didapat dari keuntungan.

2. Kredit, hal ini dilakukan oleh bank-bank dagang bila membutuhkan

modal, dan dipinjam dari bank sentral atau bank lain.

Menurut catatan sejarah, usaha perbankan sudah dikenal kurang

lebih 2500 tahun sebelum masehi dalam masyarakat Mesir Purba dan Yunani

1 Abu Sura’i Abdul Hadi, Bunga Bank dalam Islam, alih bahasa M. Tholib, (Surabaya: al-Ikhlas, 1993), hlm. 95.

2 Ibid., hlm. 96.

Page 27: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Kuno, kemudian masyarakat Romawi.3 Karena itu, sepantasnya kalau Plato

(427-347 SM) sudah berbicara tentang bahaya rente. Perkembangan bank

modern mulai berkemabang di Italia dalam abad pertengahan yang dikuasai

oleh beberapa keluarga untuk pembiayaan kepausan dan perdagangan wol,

kemudian perbankan berkembang pesat sesudah memasuki abad ke-18 dan

19.

Bank diambil dari kata banco, bahasa Italia, artinya meja.4 Dulu para

penukar uang (money changer) melakukan pekerjaan mereka di pelabuhan-

pelabuhan tempat para kelasi kapal datang dan pergi, para pengembara, dan

wiraswastawan turun-naik kapal. Money changer itu meletakkan uang di

atas sebuah meja (banco) di hadapan mereka. Aktivitas di atas banco inilah

yang menyebabkan para ahli ekonomi menelusuri sejarah perbankan,

mengaitkan kata banco dengan lembaga keuangan yang bergerak dalam

bidang ini dengan nama “bank”. Dengan demikian, bank di sini berfungsi

sebagai penukaran uang antar bangsa yang berbeda-beda mata uangnya.5

Secara kultural, tiap peradaban manusia sebenarnya menolak

keberadaan bunga bank. Apalagi dengan legitimasi ajaran agama, penolakan

pun semakin kuat. Akan tetapi, kepentingan pragmatis ekonomi kapitalis

meluluhlantakkannya. Para ulama fiqh mulai membicarakan tentang bunga

3 Usia lembaga perbankan sebenranya sudah tua, sejak awal hingga sekarang, bank mengalami perkembangan melalui tahapan-tahapan. Perkembangannya dapat diklasifikasikan menjadi empat tahap, yaitu; (1) Sebelum tahun 500 (2) Antara tahun 500 sampai dengan tahun 1500 (3) Antara tahun 1550 sampai dengan tahun 1750 dan (4) Antara 1750 sampai sekarang. Lihat Soetatwo Hadiwigeno, Lembaga-lembaga Keuangan dan Bank, (Yogyakarta: UGM Press, 1984), hlm. 15-67

4 M. Zuhri, Riba dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan: Sebuah Tilikan Antisipatif, cet.I (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 142-143.

5 Ibid.

Page 28: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

bank (riba), ketika mereka memecahkan berbagai macam persoalan muamalah.

Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan riba sesuai dengan periode

larangan. Sampai akhirnya datang larangan yang tegas pada akhir periode

penetapan hukum riba. Riba pada agama-agama langit (samawi) telah

dinyatakan haram, sebagaimana yang tertuang dalam Perjanjian Lama Kitab

Keluaran ayat 25 pasal 22: “Bila kamu menghutangi seseorang di antara warga

bangsamu uang maka janganlah kamu berlaku laksana seorang pemberi

hutang, jangan kamu meminta keuntungan padanya untuk pemilik uang.”

Namun orang Yahudi beranggapan bahwa riba itu hanyalah terlarang kalau

dilakukan di kalangan sesama Yahudi. Tetapi tidak terlarang dilakukan terhadap

non-Yahudi. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Kitab Ulangan ayat 20 pasal

23.6

Kapan sebenarnya manusia mulai mempraktekkan riba? Tak ada

catatan pasti tentang ini. Yang jelas, pada masa Nabi Musa AS. orang-orang

Yahudi dilarang mempraktekkan bunga. Larangan ini, terdapat di Old

Testament (Perjanjian Lama) dan UU Talmud. Di antaranya, Kitab

Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19: “Janganlah engkau

membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan atau

apa pun yang dapat dibungakan”.7

Larangan serupa juga tercantum di Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22

ayat 25 dan Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7. Ini menunjukkan, sebelum

turunnya larangan ini, manusia telah mempraktekkan riba. Apalagi dalam al-

Qur’an surat an-Nisa’: 160-161 ditegaskan bahwa Allah akan memberikan

azab yang keras kepada orang-orang Yahudi yang memakan riba. Jadi,

6 Sebagaimana dikutip Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer, cet. I ( Yogyakarta: UII Pres, 2000), hlm. 144.

7 Dwi Hardianto, Sejarah Riba dari Masa ke Masa, www.sabili.or.id, hlm, 1

Page 29: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

sebelum dan hingga masa Nabi Musa AS, manusia telah mempraktekkan

riba.8

Pada masa Yunani (abad VI SM–I M), terdapat beberapa jenis bunga

yang besarnya dikategorikan menurut kegunaannya. Untuk pinjaman biasa

antara 6-18%, pinjaman properti 6-12%, pinjaman antar kota 7-12%, sedang

pinjaman perdagangan dan industri 12-18%. Tapi, praktek ini dicela dua ahli

filsafat, Plato dan Aristoteles. Plato beralasan, penerapan bunga menyebabkan

perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Selain itu, lanjut Plato,

bunga merupakan alat kelompok kaya untuk mengeksploitasi masyarakat

miskin. Sedangkan Aristoteles menyatakan, uang adalah alat tukar, bukan alat

untuk menghasilkan tambahan melalui bunga. Sehingga, pengambilan bunga

secara tetap merupakan ketidakadilan.

Meski dikecam, praktek riba kian tumbuh subur, terutama pada masa

Romawi (Abad V SM–IV M). Bahkan, saat Unciaria (342 SM) berkuasa di

Byzantium, praktek bunga malah dilegalkan dengan UU. Dalam UU itu,

masyarakat dibolehkan mengambil bunga selama tingkat bunganya sesuai

dengan tingkat maksimal yang dibenarkan UU’ (maximum legal rate). Meski

begitu, pengambilannya tidak boleh dengan cara bunga-berbunga (double

countable). Bunga yang dikenal saat itu adalah: bunga maksimal 8-12%, bunga

pinjaman biasa di Roma dan pinjaman khusus Byzantium 4-12%, sedangkan

bunga untuk daerah taklukan mencapai 6-100%.9

8 Ibd.

9 Ibid., hlm 2

Page 30: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Ibnu Abi Zayd (w 136 H754 M) mengungkapkan bahwa praktek riba

juga melanda bangsa Arab pra-Islam, di mana riba dilakukan dengan berlipat

ganda baik terhadap uang maupun berbagai macam komoditi, serta perbedaan

umur berlaku bagi binatang ternak. Apabila sudah mencapai jatuh tempo, pihak

piutang (kreditur) akan menanyakan kepada pihak yang berutang (debitur),

apakah engkau akan melunasi sekarang atau menambah pembayaran jumlah

utang yang engkau pinjam? Jika pihak debitur mempunyai sesuatu maka ia akan

membayarkannya, tetapi jika hutangnya berupa binatang ternak, maka umurnya

dapat meningkat (pada waktu pembayarannya). Apabila hutangnya berupa uang

atau jenis komoditi lain, maka ia dapat meningkatkan dengan berlipat ganda

pada waktu pengambilannya dalam jangka setiap tahun. Bila debitur tidak dapat

membayarnya, maka hutang tersebut dapat berlipat lagi, misalnya hutang 100

dalam satu tahun dapat meningkat menjadi 200, jika tidak dibayar pada tahun

berikutnya, hutang akan akan meningkat lagi secara berlipat ganda menjadi

400. jelasnya, keterlambatan hutang akan bertambah berlipat ganda pada setiap

tahunnya.10

Sementara, di belahan dunia yang lain, pada rentang waktu yang hampir

bersamaan, di saat gereja masih mengharamkan riba (abad I–XII M), ternyata

telah berkembang dengan pesat praktek perekonomian tanpa riba. Praktek ini,

dimulai setahap demi setahap seiring keberhasilan dakwah Rasulullah SAW

hingga terbentuknya negara Islam pertama di Madinah (sekitar tahun 3 H).

10 Sebagaimana dikutip oleh Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, alih bahasa Muhammad Ufuqul Mubin. cet I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 38

Page 31: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Pelarangan total terhadap riba ini pun tercantum dengan tegas dalam QS. ar-

Rum: 39, an-Nisa: 160-161, Ali Imran: 130, al-Baqarah: 278-279 dan Hadis-

hadis Nabi sendiri. 11

Sepeninggal Rasulullah SAW. Seiring meluasnya pengaruh dan

kekuasaan Islam hingga 2/3 dunia, perekonomian dan perdagangan di negeri-

negeri Islam pun kian pesat berkembang. Di masa itu bermunculan ekonom-

ekonom muslim yang tetap konsisten memandang riba itu haram dan keji.

Misalnya, Abu Yusuf (182 H/798 M) dengan kitabnya al-Kharraj yang

membahas keuangan publik dan akuntansi syariah. Kemudian, al-Gazali (451-

505 H/1055-1110 M) dengan kitabnya Ihya’ Ulumu ad-Din, Ibnu Taimiyah

(661-728 H/1263-1328 M) dengan kitabnya al-Hisbah tentang konsep harga

yang adil, hingga Shah Waliyullah (1114-1176 H/1703-1762 M) dengan

kitabnya al-Baliqa tentang rasionalisasi pendapatan.

Tetapi, prinsip keadilan dan kebersamaan yang dibangun oleh sistem

ekonomi Islam, akhirnya harus tersingkir dari peta perkembangan ekonomi

dunia yang kian kapitalistik dan pragmatis. Melunturnya praktek ekonomi tanpa

riba di sebagian besar negeri muslim, berjalan berkelindan dengan menurunnya

pamor dan kekuasaan negeri-negeri muslim di belahan dunia mana pun.

Puncaknya terjadi pada 4 November 1922, ketika Daulah Usmaniyah Turki

sebagai pemegang amanah kekhalifahan harus rela melepas kekuasaannya,

setelah berkuasa selama 633 tahun di Asia, Eropa, dan Afrika.

Seiring perjalanan waktu, kekejian sistem riba secara ekonomi maupun

sosial, mulai terkuak ke permukaan. Publik pun mulai melirik kembali sistem

11 Dwi Hardianto, Sejarah Riba,. hlm. 2-3.

Page 32: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

ekonomi tanpa riba yang pernah dicampakkannya. Akhirnya, dunia Islam pun

merespon ramai-ramai keinginan umat untuk kembali hidup tanpa riba. Tak

heran, di penghujung tahun 1970-an, beberapa negara Islam mulai

mengembangkan industri keuangan tanpa riba. Apalagi setelah berdiri Bank

Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB), sebagai hasil dari

Sidang OKI di Karachi, Pakistan, Desember 1970.12

Pada akhirnya, ulama pun terlibat aktif untuk mendukung kembalinya

sistem tanpa riba ini. Tak heran, jika kemudian ulama-ulama sedunia

mengeluarkan fatwa yang pada intinya menegaskan kembali bahwa bunga (riba)

apa pun bentuknya tetap haram, sedikit atau banyak. Di antara fatwa itu adalah:

Pertama, fatwa dari Pertemuan OKI di Karachi tahun 1970. Kedua, Fatwa

Kantor Mufti Negara Mesir tahun 1989 hingga 1900 yang memutuskan bunga

bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan. Ketiga, Konferensi II

Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) di Universitas Al-Azhar, Cairo, Muharram

1385 H/Mei 1965 menetapkan, tak ada keraguan sedikit pun atas keharaman

praktek membungakan uang seperti dilakukan oleh bank-bank konvensional.

Keempat, Fatwa Lembaga Fiqh Rabitah Alam Islami Makkah dan Konferensi

Islam Internasional di Jedah tahun 1976.13

B. Pengertian dan Landasan Hukum Bunga Bank.

Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest. Secara

istilah sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan, bahwa 12 Ibid., hlm 3.

13 Uraian selengkapnya lihat Anwar Abbas “Hukum Bunga Bank Konvensional”, makalah disampaikan pada diskusi Majlis Tarjih tentang Bunga Bank, diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah, Jakarta, 22 Desember 2003, hlm 4-6.

Page 33: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

“interest is a charge for a financial loan, usually a percentage of the amount

loaned”. Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya

dinyatakan dengan presentase dari uang yang dipinjamkan. Pendapat lain

menyatakan “interest yaitu sejumlah uang yang dibayar atau dikalkulasi untuk

penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan degan satu tingkat

atau prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang sekarang sering

dikenal dengan suku bunga modal“.14

Ada yang memebedakan antara riba dan rente (bunga) seperti

Mohammad Hatta. Mantan Wakil Presiden RI, sebagaimana dikutip oleh

Masjfuk Zuhdi, menerangkan bahwa riba adalah untuk pinjaman yang bersifat

kosumtif, sedangkan rente adalah untuk pinjaman yang bersifat produktif,

demikian pula istilah usury dan interest, bahwa usury ialah bunga pinjaman

yang sangat tinggi, sehingga melampaui suku bunga yang diperbolehkan oleh

hukum. Sedangkan interest ialah bunga pinjaman yang relatif rendah. Tetapi

dalam realitas atau praktek menurut Maulana Muhammad Ali adalah sukar

untuk membedahkan antara usury dan interest, sebab pada hakekatnya kedua-

keduanya memberatkan bagi para peminjam.15

Oleh karena itu, apabila menarik pelajaran sejarah masyarakat Barat,

terlihat jelas bahwa “interest” dan “usury” yang telah dikenal saat ini pada

hakikatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam

prosentase. Istilah usury muncul karena belum mapannya pasar keuangan pada

14 Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan, hlm. 146-147.

15 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah,cet VIII (Jakarta: Surya Grafindo, 1998), hlm, 103.

Page 34: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

zaman itu sehingga penguasa harus menetapkan suatu tingkat bunga yang

dianggap wajar. Namun setelah mapannya lembaga dan pasar keuangan, kedua

istilah itu menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat bunga di pasar yang

sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran.16

Berbicara mengenai bunga bank, maka tidak bisa lepas dari yang

namanya riba. Dan kata riba itu sendiri dari bahasa Arab yang secara etimologis

berarti “tambahan” (az-Ziyadah)”.17 atau “kelebihan”18—yakni tambahan

pemabayaran atas uang pokok d pinjaman. Ada pendapat lain yang mengatakan

bahwa riba merupakan kelebihan sepihak yang dilakukan oleh salah satu dari

orang yang sedang bertransaksi.

Pengertian riba di atas masih sangat umum sifatnya, dan belum

memberikan ketentuan jenis riba apa yang diharamkan. Untuk mendekatkan

pemahaman, ada ulama yang berependapat pentingnya melihat dan

mempertimbangkan kata sandang yang ada dalam kata riba, di dalam al-Qur’an,

dengan melihat fungsi kata sandang tersebut, diharapkan akan memperoleh

pemahaman yang lebih mendekati pada kebenaran.

16 Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan, hlm. 147

17 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, cet, I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 37 sebagai perbandingan lihat Imam Taqiyuddin dalam kitabnya Kifayah al-Akhyar fi Halli Gayati al-Ikhtisar, (ttp: Darul Haya, tt), hlm. 246.

18 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, hlm. 102. Sementara Makhalul Ilmi. SM mengatakan bahwa arti “kelebihan” tidak berhenti di sini saja—karena “kelebihan” yang lahir akibat dilakukannya transaksi ekonomi antara dua pihak atau lebih disebut sebagai riba, termasuk mengambil keuntungan atas suatu transaksi jual beli yang lazim berlaku dalam tatanan masyarakat bangsa-bangsa di dunia sejak dahulu hingga sekarang. Sudah barang tentu bukanlah yang dimaksud al-Qur’an demikian, karena tegas-tegas salah satu ayatnya menyebutkan: “Allah menghalalkan jual beli dan mengaharamkan riba”. Makhalul Ilmi, Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syari’ah, cet. I (Yogayakarta: UII Press, 2002), hlm. 19.

Page 35: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Dalam pandangan sebagian mufassir, kata sandang (definite article alif

lam), berarti menunjuk kasus tertentu (ma’rifah). Maka makna kata ar-riba

yang dimaksud adalah praktek pengambilan untung dari debitur yang sudah

biasa di kalangan orang-orang Arab pra-Islam ketika al-Qur’an belum

diturunkan, dengan pemahaman ini, kesimpulan awal yang barangkali sangat

penting untuk dicatat, bahwa untuk bias memahami ayat secara lebih tepat dan

mengena, seorang harus mengetahui sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat

(asbab an-Nuzul), barulah kemudian dapat diketahui apa arti riba sebenarnya.19

Oleh karena itu, pengertian riba menurut terminologi (pendapat ulama)

adalah bunga kredit yang harus diberikan oleh orang yang berhutang kepada

orang yang berpiutang, sebagai imbalan untuk menggunakan sejumlah uang

milik berpiutang dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.20 Misalnya si A

memberi pinjaman pada si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang

pokok pinjaman serta sekian persen tambahannya.

Di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah terdapat beberapa ayat yang

membicarakan riba secara eksplisit di antaranya adalah:

- Firman Allah SWT :

كلوا .1 تا ال امنوا لعلكم يايهاالدين الله واتقوا مضفة اضعافا الربوا

.21 تقلحون

19 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, hlm. 38

20 Ali as-Sabuni, Rawai ‘al-Bayan fi at-Tafsir Ayati al-Ahkam, (ttp: Dar al-Qur’an, 1391/1972), I: 383.

21 Ali-Imran (3): 130. Ayat ini jelas menyatakan bahwa, memakan bunga dapat menyebabkan rakus, tamak, kikir, dan egois bagi orang yang mengambilnya; dan kebencian, kemarahan, kecemburuan bagi orang yang membayarkannya. Oleh karena itu, Allah telah mengecam dan melarang riba dan menganjurkannya untuk berbuat amal baik sebagai suatu penangkal terhadap

Page 36: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

الربوا .2 وحرم البيع الله . 22 واحل

كنتم .3 ان بوا الر من بقي ما روا ود الله اتقوا امنوا الدين ياايها

تبتم . مؤمنين وان ورسوله الله من بحرب نوا فاد تفعلوا لم فان

التظلمون اموالكم رءوس 23والتظلمون فلكم

- Hadis Nabi SAW:

وشاهد .1 وكاتبه وموكله الربا اكل وسلم عليه الله صلى الله رسول لعن

. 24 يه

النسيئة .2 فى الربا .25 انما

Dari beberapa ayat dan hadis yang telah disebutkan tadi jelaslah bahwa

riba itu betul-betul dilarang dalam agama Islam. Muncul sebuah pertanyaan,

apakah semua riba termasuk dalam katagori arti atau maksud dari ayat dan

hadits di atas?. Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah—ada beberapa

pendapat dari para ulama. Di sini dijelaskan riba nasi’ah jelas-jelas dilarang

karena ayat tersebut diturunkan karenanya (kejadian di masa jahiliyah). Jadi,

dengan kata lain, turunnya ayat itu karena adanya riba nasi’ah. Menurut Ibnu

Qayyim dalam kitab ‘Ilami al-Muwaqi’in, sebagaimana dikutip Sulaiman

praktek riba. Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam,jlid 4 (Yogayakarta: Dana Bakti Wakaf, 1996), hlm. 131.

22 Al-Baqarah (2): 275

23 Al-Baqarah (2): 278-279

24 Muslim, Sahih Muslim, “Babu La’ana Akila ar-Riba wa Muwakkalah” (Bandung: al-Ma’arif, tt), I: 697. Hadis sahih riwayat Muslim dari Jabir. Lihat juga al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Bulug al-Maram (Surabaya: al-Hidayah, tt), hlm.169.

25 Muslim, Sahih Muslim, “Babu Bai’ at-Ta’am Mislan bi Mislin”. (Bandung: al-Ma’arif, tt), I: 694-697

Page 37: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Rasjid, mengatakan, bahwa “riba nasi’ah adalah riba yang dilakukan oleh kaum

jahili di masa jahiliyah. Mereka menta-khirkan utang dari waktu yang

semestinya dengan menambah bayaran; apabila terlambat lagi, ditambah pula

terus-menerus, tiap keterlambatan wajib ditambah lagi, sampai utang yang

asalnya seratus rupiah akhirnya menjadi beribu-ribu. Kalau dengan gadai,

barang yang tergadai juga tetap tergadai”26

Pelarangan riba nasi’ah mempunyai pengertian bahwa penetapan

keuntungan positif atas uang yang harus dikembalikan dari suatu pinjaman

sebagai imbalan karena menanti, pada dasarnya tidak diizinkan oleh syari’ah.

Tidak ada perbedan apakah uang itu dalam prosentase yang pasti dari uang

pokok atau tidak, atau suatu jumlah yang harus dibayar di muka atau

dikemudian hari, atau diberikan dalam bentuk hadiah atau jasa yang diterima

sebagai syarat pinjaman. Inti dari permaslahan di sini adalah keuntungan positif

yang ditetapkan di muka. Penting untuk dicatat bahwa menurut syari’ah, waktu

tunggu selama pembayaran kembali pinjaman tidak dengan sendirinya

memberikan justifikasi atas keuntungan positif dimaksud.27

Hakikat pelarangan tersebut adalah tegas, mutlak, dan tidak mengandung

perdebatan. Tidak ada ruang untuk mengatakan bahwa riba mengacu sekedar

pada pinjaman dan bukan bunga, karena Nabi melarang mengambil, meskipun

kecil, pemberian jasa atau kebaikan sebagai syarat pinjaman, sebagai tambahan

26 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam: Hukum Fiqh Lengkap, (Bandung: Sinar Baru Algasindo, 1997), hlm. 293.

27 Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan, hlm. 149.

Page 38: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

dari uang pokok.28 Meskipun demikian, jika pemgembalian pinjaman pokok

dapat bersifat positif atau negatif tergantung pada hasil akhir suatu bisnis, yang

tidak diketahui terlebih dahulu. Ini diperbolehkan asal ditanggung bersama

menurut prinsip-prinsip keadilan yang ditetapkan dalam syari’ah.

C. Macam-macam Riba dan Dampaknya.

Para ahli hukum Islam (fuqaha’) secara sederhana membagi riba

menjadi empat macam yaitu: Pertama riba fadli, yaitu menukarkan dua barang

yang sejenis dengan barang yang tidak sama. Kedua riba qardi, yaitu berutang

dengan syarat ada keuntungan bagi yang memberi hutang. Ketiga riba yad,

yaitu berpisah dari tempat akad sebelum timbang-terima. Keempat riba nasi’ah,

yaitu disyaratkan salah satu dari kedua barang yang ditukarkan tersebut

ditangguhkan penyerahannya.29 Riba nasi’ah juga disebut riba duyun—yakni

riba yang timbul akibat utang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung

muncul bersama resiko dan hasil usaha muncul bersama biaya. Transaksi

semacam ini karena mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban

hanya karena berjalannya waktu.30

Sebagian ulama ada yang membagi riba tersebut atas tiga macam, yaitu

riba fadli, riba yad, dan riba nasi’ah. Riba qardi termasuk ke dalam riba

nasi’ah. Barang-barang yang berlaku riba padanya adalah emas, perak, dan

28 Ibid.

29 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, hlm. 290.

30 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi dan Ilustrasi, cet. I (Yogyakarta: Ekonsia, 2003), hlm 6.

Page 39: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

makanan yang mengenyangkan atau berguna untuk yang mengenyangkan,

misalnya garam. Jual beli barang tersebut, kalau sama sejenisnya—seperti emas

dengan emas, gandum dengan gandum—diperlukan tiga syarat: 1. Tunai; 2.

Serah terima; dan 3. Sama timbangannya. Kalau jenisnya berlainan, tetapi ‘illat

ribanya satu—seperti emas dengan perak—boleh tidak sama timbangannya,

tetapi mesti tunai dan timbang terima. Kalau jenis dan ‘illat ribanya berlainan

perak dengan beras, boleh dijual bagaimana saja seperti barang-barang yang

lain; berarti tidak diperlukan suatu syarat dari yang tiga tersebut.31

Sementara Ibnu Qayyim, membagi riba atas dua bagian: jali dan khafi.

Riba jali adalah riba nasi’ah, diharamkan karena mendatangkan mandharat

yang besar. Riba yang sempurna (riba al-kamil) adalah riba nasi’ah. Riba ini

berjalan pada masa jahiliyah. Sedangkan riba khafi diharamkan untuk merutup

terjadinya riba jali (wa al-khafi haramun li annahu zari’atun ila al-jali).32

Semua agama samawi (revealed relegion) telah melarang praktek bunga

bank, karena dapat menimbulkan dampak bagi masyarakat pada umumnya dan

bagi mereka yang terlibat langsung pada praktek riba pada khususnya. Adapun

dampak akibat dari praktek riba adalah:

1. Menyebabkan eksploitasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap si miskin.

2. Uang modal besar yang dikuasai oleh the haves tidak disalurkan ke

dalam usaha-usaha yang produktif, misalnya pertanian, perkebunan,

industri, dan sebagainya yang dapat ciptakan lapangan kerja banyak,

31 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, hlm 290.

32 Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Sukarja, “Riba, Bunga Bank, dan Kredit Perumahan” dalam Chuzaimah T. Yanggo dkk (ed.), Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet. I (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 35.

Page 40: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi pemilik modal itu

sendiri, tetapi modal besar itu justru disalurkan dalam perkreditan

berbunga yang belum produktif.

3. Bisa menyebabkan kebangkrutan usaha dan pada gilirannya bisa

mengakibatkan keretakan rumah tangga, jika si peminjam itu tidak

mampu untuk mengembalikan pinjaman dan bunganya.33

4. Riba dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan mengurangi

semangat kerja sama atau saling menolong dengan sesama manusia,

dengan mengenakan tambahan kepada peminjam akan menimbulkan

prasaan bahwa peminjam tidak tahu kesulitan dan tidak mau tahu

penderitaan orang lain.

5. Riba merupakan salah satu bentuk penjajahan. Kreditur yang

meminjamkan modal dengan menenutut pembayaran lebih kepada

peminjam dengan nilai yang telah disepakati bersama menjadikan

kreditur mempunyai legitimasi untuk melakukan tindakan-tindakan yang

tidak baik untuk menuntut keasepakatan tersebut. Karena dalam

kesepakatan kreditur telah memperhitungkan keuntungan yang telah

diperoleh dari kelibahan bunga yang akan didapat, dan itu sebenarnya

hanya berupa pengharapan dan belum terwujud.34

D. Fungsi Bank

33 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, hlm. 103

34 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga, hlm 12.

Page 41: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Karena pembahasan ini sangat erat kaitannya dengan lembaga bank,

maka ada baiknya lebih dahulu diuraikan pengertian bank secara singkat dan

sederhana. Bank atau perbankan adalah suatu lembaga keuangan yang usaha

pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalulintas pelayanan

dan peredaran uang dengan tujuan memenuhi kebutuhan kredit dengan modal

sendiri atau orang lain.35 Selain itu, bank juga mempunyai fungsi mengedarkan

alat tukar baru dalam bentuk uang bank atau giral.

Dari tinjauan bahasa, kata bank berasal dari bahasa Italia, Banco, yang

berarti meja.36 Penyebutan ini didasarkan pada alasan, bahwa orang yang

mengerjakan bank ini, umumnya memakai meja di tepi jalan untuk melayani

orang-orang yang hendak berhubungan dengan mereka (pengelola bank).

Pekerjaan semacam ini sudah dikenal dan dilakukan sejak zaman dahulu kala,

dan lebih khusus dan lebih banyak dikerjakan oleh orang-orang Yahudi. Ketika

ada kesewenang-wenangan dari pihak pengelola bank, maka pemerintah ikut

campur dan melakukan pengawasan serta membuat peraturan untuk

menghindari kesewenang-wenangan yang telah terjadi

Oleh karenanya, peraturan dan pengawasan yang dilakukan oleh

pemerintah terhadap adanya bank tersebut, merupakan usaha untuk mencegah

penipuan, atau tindakan yang bersifat aniaya. Namun pengawasan dan peraturan

itu sendiri belum seluruhnya memenuhi prinsip-prinsip keadilan, dan masih

banyak terjadi hal-hal yang bersifat negatif.35 Ahmad Sukarja, “Riba, Bunga Bank”, hlm. 43. Sebagai perbandingan Baca A. Wahid

Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri (Yogayakarta: LKPSM: 1994), hlm. 69-70.

36 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, hlm. 39..

Page 42: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Semakin lama lembaga ini mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Akibatnya, muncullah definisi bank, yang diformulasikan oleh pemikir-pemikir

dan ahli-ahli di bidang sosial, khususnya pemikir ahli ekonomi. Pierson, seorang

ahli ekonomi dari Belanda abad ke-19 misalnya, mendefinisikan bank sebagai

badan yang menerima kredit. Sementara Somary mendefinisikan bank sebagai

lembaga yang mengambil kredit. Dari definisi yang kedua ini, terkesan pihak

bank berlaku aktif. Lebih lengkap lagi G.M. Verrijn mendefinisikan bank

sebagai lembaga yang berusaha memuaskan keperluan pihak kreditor, baik

dengan uang yang diterimanya sebagai petaruh orang lain, maupun dengan jalan

megeluarkan uang baru sebagai uang kertas atau giro.37

Menurut kenyataan sejarah, bahwa bank adalah suatu perusahaan yang

bertujuan untuk mencari keuntungan yang diperoleh dari selisih bunga yang

harus dibayarkan kepada pemberi pinjaman. Atau bunga-bunga yang harus

dibayarkan kepada pemberi pinjaman atau yang menitipkan uangnya, dengan

bunga yang didapat dari pemberian pinjaman kepada orang lain. Kalau ia

membayar bunga tiga persen kepada orang yang memberi pinjaman sedang ia

menerima lima persen dari orang yang meminjam. Maka ia mendapat

keuntungan dua persen. Di samping itu bank juga mendapat imbalan bagi

kegiatan-kegiatan lainnya, umpamanya dalam pelayanan pengiriman, pertukaran

mata uang dan sebagainya.38 Adapun fungsi bank, sebagaimana diformulasikan

para ahli ekonomi, bertujuan untuk memajukan perekonomian atau

kesejahteraan masyarakat secara umum, dan khususnya pihak-pihak yang

37 Ibid.38 Ahmad Sukarja, “Riba, Bunga Bank”, hlm. 43-44

Page 43: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

terlibat dalam lembaga perbankan. Hatta misalnya mengatakan, bank merupkan

sendi kemajuan masyarakat. Bahkan menurutnya, masyarakat tidak bisa maju

seperti sekarang ini tanpa adanya lembaga bank. Untuk membuktikan fakta

pernyataannya, Hatta memberikan bukti, bahwa masyarakat yang tidak

menggunakan jasa bank menjadi masyarakat yang terbelakang.39

Sementara Najetullah, dengan uraiannya yang lebih rinci mengatakan,

bahwa peranan atau fungsi utama dari bank adalah sebagai perantara keuangan

antara para penabung (rumah tangga) dengan para investor (perusahaan).40

Tabungan bertambah dengan jutaan rumah tangga. Sedangkan perusahaan

terbatas pada puluhan ribu saja. Dengan demikian, bank mempunyai peranan

ynag sangat penting dan menentukan dalam mengalokasikan sumber-sumber

keuangan yang tersedia di dalam masyarakat. Sebagai konsekuensinya,

kebutuhan masyarakat modern tidak terbatas pada tukar menukar dengan mata

uang logam dan sejenisnya saja, melainkan kemudian muncul kebutuhan cek

dan sejenisnya. Lebih lanjut menurutnya fungsi bank adalah tempat simpanan

dalam bentuk rekening, simpanan aman barang-barang berharga, dan

pengiriman uang dalam jarak jauh. Akan tetapi fungsi bank yang lebih pokok,

ungkap Najetullah, adalah sebagai:41 (1) perantara keuangan antar penabung dan

pemakai akhir—yaitu rumah tangga dan perusahaan; dan (2) menawarkan

sejumlah pelayanan lain misalnya, simpan-aman, kemudahan-kemudahan

39 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, hlm. 39-40.

40 Muhammad Najetullah, Bank Islam, alih bahasa Asep Hikmat Suhendi (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), hlm. 58.

41 Ibid.

Page 44: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

seperti cek, transfer, jaminan pembayaran dan penerimaan jual-beli, manajemen,

promosi dan seterusnya.

Menurut Afzalur Rahman, bank berfungsi menerima deposito,

memberikan pinjaman dan menerbitkan cek, transfer deposit bank dari

perorangan atau perusahaan dan memberikan berbagai macam pelayanan

kepada nasabahnya, termasuk bisnis taransaksi penukaran uang asing, membeli

dan menjual jaminan penukaran atas nama mereka, serta bertindak sebagai

pengawas maupun yang diberi kepercayaan. Bank juga memiliki fungsi

menyediakan fasilitas pinjaman kepada para nasabahnya dalam bentuk kartu

kredit dan overdraft. Bentuk kartu kerdit dimaksudkan untuk digunakan para ibu

rumah tangga dan para pembelanja lainnya serta para bisnismen. Karena

besarnya nasabah bisnis, fasilitas overdraft sangat bermanfaat dan biasanya

dilakukan pembaharuan negeoisasi pada saat interklien mengadakan persetujuan

dengan bank mengenai batas kredit, dan membuka kesempatan untuk menarik

cek atas uangnya pada batas limit yang telah ditentukan. Untuk segala

pelayanan ini, bank mengenakan suatu bunga atau menarik komisi atas

pelayanannya dan para nasabahnya dikenakan bunga.42

E. Bank Konvensional (sistem bunga) dan Bank Islam.

Bank sebagai lembaga keuangan yang melalui kegiatan-kegiatannya

menarik uang dari yang menyalurkannya kepada masyarakat, dengan usaha

pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan

42 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, alih bahasa Soeroyo dan Nastangin (Yogayakarta: Dana Bakti Wakaf, 1996), hlm. 345-346

Page 45: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

peredaran uang. Bagi negara yang sedang berusaha meningkatkan ekonominya

mempunyai peranan dan posisi yang sangat penting, terutama kaitannya dengan

kontak-kontak ekonomi negara lain. Sulit dibayangkan melakukan kegiatan-

kegiatan ekomomi tanpa behubungan dengan bank.

Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat Islam hampir tidak

bisa menghindari diri dari bermuamalah dengan bank konvensional dalam

segala aspek kehidupannya, termasuk kehidupan agamanya. Misalnya ibadah

haji di Indonesia umat Islam masih harus memakai jasa bank, apalagi dalam

kehidupan ekonomi tidak bisa lepas dari yang namanya jasa perbankan. Sebab

tanpa jasa bank, perekonomian Indonesia tidak selancar dan semaju seperti

sekarang ini.43

Istilah “Bank Konvensional”44 dalam hal ini dimaksudkan sebagai

sebutan bagi bank yang dipraktekkan orang pada umumnya sebelum bank Islam

lahir. Yaitu bank dengan penerapan sistem bunga.45 Usia lembaga perbankan

sebenarnya sudah tua sehingga ketika orang Islam mulai melakukan kontak

dengan bank, ia sudah berada pada tahap perbangkan dengan pola modern. 43 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, hlm. 111-112.

44 Bank non Islam atau konvensional, ialah sebuah lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan dana, baik perorangan atau badan guna investasi dalam usaha-usaha yang produktif dan semacamnya dengan adanya sistem bunga. Ibid., hlm. 109.

45 Teori dan sistem bunga muncul sejak manusia mulai melakukan pemikiran ekonomi. Para filosof Yunani Kuno telah melakukan pembahasan tentang bunga, diantara filosof tersebut adalah Plato dan Aristoteles. Mereka melarang dan mengutuk orang yang melakukan aktivitas ekonomi dengan sistem bunga. Mereka memandang uang bukan sesuatu yang dapat berbunga atau membuahkan harta, akan tetapi uang adalah merupakan alat tukar. Setelah itu, maka pemikiran bunga semakin berkembang. Para pakar ekonomi masa lalu telah mengembangkan berbagai teori atau sistem bunga uang. Pro dan kontra pembahasannya selalu terjadi di antara mereka. Namun secara umum, perkembangan teori bunga dapat dikelompokkan menjadi dua. Yaitu kelompok pertama adalah teori bunga murni dan kelompok kedua adalah teori bunga moneter. Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syari’ah, cet. I (Yogayakarta: UII Press, 2001), hlm. 14.

Page 46: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Karenanya, benar bahwa kegiatan perbankan dengan sistem bunga disebut

sebagai persoalan baru dalam kajian keislaman.

Dalam perekonomian modern, pada dasarnya bank adalah lembaga

perantara dan penyalur dana antara pihak yang berkelebihan dana dengan pihak

yang kekurangan dana. Peran ini disebut “Financial Intermediary”. Dalam

melaksanakan tugasnya yang paling menonjol sebagai financial intermediary

itu, bank dapat dikatakan membeli uang dari masyarakat pemilik dana ketika ia

menerima simpanan, dan menjual uang kepada masyarakat yang memerlukan

dana ketika ia memberi pinjaman kepada mereka. Dalam kegiatan ini muncul

apa yang disebut bunga. Sri Edi Swasano, seorang pakar muslim dalam disipilin

ilmu ekonomi, berpendapat bahwa bunga adalah harga uang dalam transaksi

jual-beli tersebut. Dengan demikian, bunga yang ditarik oleh bank dari pemakai

jasa, merupakan ongkos adminitrasi dan ongkos sewa. Sehingga dari sini

kelihatan bahwa penyimpanan uang di bank akan mendapat bagian keuntungan

dari bank berupa bunga yang diambilkan dari bunga yang diterima oleh bank.46

Sebagai bank yang menerapkan sistem bunga, mekanisme perbankan

konvensional sebagian besar ditentukan oleh kemampuannya dalam

menghimpun dana masyarakat melalui pelayanan dan bunga yang menarik47

Suatu tingkat bunga simpanan akan dikatakan menarik manakalah: Pertama,

lebih tinggi dari tingkat inflasi, karena pada tingkat bunga yang lebih renda,

dana yang disimpan nilainya akan dikikis inflasi. Kedua, lebih tinggi dari 46 Muhammad Zuhri, Riba dalam al-Qur’an dan Masalah Perbankan (Jakarta: Raja

Gradindo Persada, 1996), hlm. 148.

47 Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan, hlm. 155-156.

Page 47: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

tingkat bunga riil di luar negeri karena pada tingkat bunga yang lebih rendah

dengan dianutnya sistem devisa bebas, dana-dana besar akan lebih

menguntugkan untuk disimpan (diinvestasikan) di luar negeri. Ketiga, lebih

bersaing di dalam negeri, karena penyimpanan dana akan memilih bank yang

paling tinggi menawarkan tingkat bunga simpanannya dan memberikan

berbagai jenis bonus atau hadiah. Kemudian pada sisi penyaluran dana tingkat

bunga simpanan itu ditambah dengan prosentasi tertentu untuk spread yang

terdiri dari; Biaya operasional, Cadangan kredit macet, Cadangan wajib, dan

Profit marjin, dibebankan kepada peminjam dana. Artinya peminjam dana-lah

yang sebenarnya membayar bunga simpanan dan spread bagi bank tersebut.

Sebagai intermediary, bank lalu memperoleh spread sebagai salah satu

sumber pendapat yang pada umumnya justru merupakan pendapatan utama.

Hal tersebut di atas mengandung makna bahwa satu tingkat bunga simpanan

yang tinggi itu bisa terjadi karena adanya tingkat inflasi yang tinggi, tingkat

bunga riil di luar negeri yang tinggi, dan tingkat persaingan antar bank yang

tinggi. Sebaliknya suatu tingkat buga pinjaman yang tinggi bisa terjadi karena

tingkat bunga simpanan yang tinggi sebagai sumber dana dan tingkat spread

yang tinggi pula.48 Proses penentuan tingkat bunga seperti tersebut di atas

cenderung lebih mudah mengakomodir kenaikan dari pada penurunan tingkat

bunga. Karena untuk menurunkan tingkat bunga harus dimulai dari menurunkan

tingkat bunga simpanan yang mengandung resiko pindahnya penyimpanan dana

dari bank yang menurunkan tingkat bunga ke bank yang memberikan tingkat

48 Ibid.

Page 48: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

bunga lebih tinggi. Oleh sebab itu, siapa yang berani terlebih dahulu

menurunkan tingkat bunga? Tentu saja tidak ada walaupun melalui kesepakatan

antar bank yang ada. Kesepakatan semacam itu sulit dilaksanakan karena

adanya perbedaan kekuatan masing-masing bank. Di lain pihak, beban bunga

pinjaman yang dibayar peminjam kepada bank itu lazimnya sebanyak mungkin

akan digeserkan oleh peminjam dana kepada penanggung yang terakhir.

Jadi, apabila peminjam dana adalah perorangan untuk keperluan

konsumtif, maka beban bunga pinjaman tadi tentunya harus ditangani sendiri.

Tetapi apabila peminjam dana adalah pedangang maka logislah apabila beban

bunga pinjaman itu digeserkannya kepada harga barang yang dijual.49 Dari

mekanisme kerja antar bank dengan nasabah inilah, baik nasabah peminjam

maupun nasabah penyimpan, maka bank konvensional tidak dapat

mempertahankan hidupnya, apalagi mengembangkannya tanpa mekanisme

sistem bunga. Oleh karenanya, di sini dapat diambil sedikit pengertian segi

positif bank dari sistem bunga yaitu dengan melalui sistem bunga, bank dapat

melaksanakan aktivitas perbankannya, namun dibalik semua segi positif dari

sistem bunga, ternyata masih banyak kejelekan-kejelekan dari diterapkannya

bank konvensional (sistem bunga). Diantaranya adalah:50 Pertama, dengan

sistem ini, para wisatawan, pemerintah dan kelompok konsumen, berada dalam

posisi yang terpojok. Sebab, kelompok ini akan mempunyai beban hutang dari

sumber keuangan.

49 Ibid.

50 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, hlm. 67

Page 49: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Kedua, kelompok yang bisa mendapatkan pinjaman pada umumnya

hanyalah kelompok yang mempunyai jaminan yang lebih tinggi dan lebih

terjamin. Sementara banyak kelompok lain yang lebih membutuhkan pinjaman

dan mempunyai usaha yang lebih layak untuk dikembangkan, tidak

mendapatkan pinjaman hanya karena tidak memiliki jaminan yang cukup dan

aman.51 Ketiga, mengakibatkan tidak meratanya distribusi pendapatan. Sebagai

contoh konkrit, dapat dilihat pekerjaan yang dilakukan perusahan, mulai dari

proses produksi, pengelolahan sampai pada proses pemasaran. Dengan usaha

yang sedemikian berat, pihak perusahaan masih penuh tanda tanya, antara

berhasil atau tidak. Sementara pihak bank sendiri, hanya dan tinggal mengambil

bunga bulanan.52 Keempat, perbankan dengan sistem bunga tidak mengenal

adanya perbedaan antara peminjam komsumtif dan produktif. Padahal terlalu

banyak orang yang meminjam uang untuk kebutuhan kosumsi, baik berupa

kebutuhan sehari-hari, maupun untuk bekal masa depan yang sangat

dibutuhkan, seperti rumah dan semacamnya. Semua kebutuhan konsumen

tersebut, sama sekali tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan.

Sementara bank mebebankan bunga yang sama dengan perusahaan-perusahaan

yang masih ada kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan.53 Kelima, pihak

bank juga tidak membedakan antara kebutuhan usaha dengan kebutuhan-

kebutuhan umum, seperti kebutuhan air minum, listrik dan semacamnya.

Padahal hal-hal semacam itu merupakan kebutuhan masyarakat secara umum. 51 Ibid.

52 Ibid.

53 Ibid

Page 50: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Sementara pihak bank tidak membedakan kebutuhan tersebut dengan pinjaman

untuk kepentingan lainnya. Akibatnya adalah munculnya konsentrasi kekuatan

keuangan di pihak bank. Sehinga akibat selanjutnya adalah munculnya

ketidakmerataan pendapatan, yang bisa terjadi akan memunculkan inflasi.54

Untuk itu Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin, berusaha melalui

para pakar muslim yang berkecimpung dalam dunia ekonomi untuk

memberikan solusi terhadap sistem bunga bank, yaitu dengan mendirikan bank

Islam,55 di mana prinsip yang dipakai dalam bank Islam ini adalah tidak

didasarkan pada sistem bunga, melainkan lewat sistem bagi hasil.56 Bank tanpa

bunga ini akan menyediakan fasilitas kredit dan melaksanakan semua fungsi

bank perdagangan. Prinsip bagi hasil akan mendorong investor untuk menanam

uang mereka di bank non konvensional, sebab kongsi dalam bank ini akan

menanggung untung dan rugi secara bersama, yang berbeda dengan sistem

perbankan modern di mana kerugian hanya akan ditanggung oleh peminjam,

54 Ibid., hlm. 67-68.

55 Bank Islam adalah sebuah lembaga keuangan yang menjalankan operasinya menurut hukum syariat Islam—yakni menggunakan sistem bagi hasil. Sudah tentu bank Islam tidak memakai sistem bunga, sebab bunga dilarang dalam Islam. Sementara pemikiran ke arah pembentukan Bank Islam telah menghasilkan deklarasi yang dicetuskan oleh Menteri-menteri Keuangan negara-negara Islam di Jedah pada tahun 1393 H atau 1973 M. Pada tahun 1975 secara resmi dibuka Islamic Development Bank, berpusat di Jedah Saudi Arabia. Keanggotaannya terdiri dari negara-negara Islam. Pada awal berdirinya bank ini beranggotakan 22 negara, dan sampai tahun 1988 telah berkembang menjadi 44 negara. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, hlm. 109. Dan Ahmad Sukarja, “Riba, Bunga Bank”, hlm. 46.

56 Barang kali timbul pertanyaan dalam dunia perbankan modern, apakah yang dimaksud dengan bagi hasil? Bagi hasil menurut termenologi asing (Inggris) dikenal dengan sebutan profit sharing. Profit sharing dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Secara definitif profit sharing diartikan: “distribusi beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan”. Lebih lanjut dikatakan, bahwa hal itu dapat berbentuk suatu bonus uang tunai tahunan yang didasarkan pada laba yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya, atau dapat berbentuk pembayaran mingguan atau bulanan. Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil, hlm. 22.

Page 51: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

sedangkan pemberi pinjaman dalam hal ini adalah pihak bank akan selalu

mendapatkan keuntungan.57

Sebagai pengganti sistem bunga, bank Islam menggunakan berbagai cara

atau prinsip yang bersih dari unsur riba, antara lain adalah sebagai berikut:

Pertama. Wadiah, yaitu titipan uang, barang, dan surat-surat berharga atau

deposito. Lembaga fiqh Islam “wadiah” ini, bisa diterapkan oleh bank Islam

dalam operasinya menghimpun dana dari masyarakat, dengan cara menerima

deposito berupa uang, surat-surat berharga sebagai amanat yang wajib dijaga

keselamatannya oleh bank Islam. Bank berhak menggunakan dana yang

didepositokan itu tanpa harus membayar imbalannya (rente atau riba), tetapi

bank harus menjamin bisa mengembalikan dana itu pada waktu pemiliknya

(depositor) memerlukannya.58

Kedua. Mudarabah, yaitu suatu usaha kerjama antara tenaga kerja

dengan pemilik modal bergabung bersama-sama sebagai mitra usaha untuk

kerja. Ini bukan semata-mata usaha dalam arti modern. Ia punya kelebihan

karena Islam telah memberikan kode etik ekonomi yang menggabungkan nilai

material dan spiritual untuk jalankan sistem ekonominya. Kode etik ekonomi ini

harus dicerminkan bila prinsip mudarabah dilaksanakan dalam praktek. Sistem

perbankan Islam dapat membantu pembentukan lembaga tertentu atas dasar

mudarabah dan dengan demikian, dapat menyelesaikan pertentangan yang

berabad-abad lamanya antara tenaga kerja dan majikannya.59 57 Muhammad Muslehuddin, Sistem Perbankan dalam Islam (Jakarta: PT. Rhineka Cipta,

1994), hlm. 51.

58 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, hlm. 10959 Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam: Dasar-dasar Ekonomi Islam

(Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1997), hlm. 167.

Page 52: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Sungguh menyenangkan melihat bank Islam turut mngurus kontrak

mudarabah, yaitu bank memberikan modal, sedangkan para nasabah

memberikan keahlian mereka, sementara keuntungan dibagi menurut rasio yang

disetujui. Telah dikemukan bahwa prinsip mudarabah dapat dimintakan dalam

hal transaksi jangka pendek yang dapat membiayai dirinya sendiri (self

liquidating), dan akibatnya permintaan untuk pinjaman jangka pendek sedikit-

banyak dapat dikurangi, karena dalam ekonomi Islam pinjaman jangka pendek

dengan bunga seperti yang diberikan bank dagang tradisional atau lembaga

diskonto tidak akan tersedia.60

Ketiga. Musyarakah (persekutuan), yaitu kerja sama antara pihak bank

dan pihak pengusaha yang sama-sama memiliki andil (saham) pada usaha

persekutuan (join venture). Karena itu, kedua belah pihak berpartisipasi

langsung mengelola usaha perseketuan tersebut mulai dari menanggung untung

dan ruginya bersama atas dasar perjanjian profit and lose sharing (PLS

agreement).61 Sehingga dengan musyarakah ini, baik bank atau klien menjadi

mitra usaha dengan menyumbangkan modal dalam berbagai tingkat dan

mencapai kata sepakat atas suatu rasio laba di muka untuk suatu waktu

tertentu.62

60 Ibid., hlm. 168 Ibid., hlm. 168

61 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, hlm. 109-110.

62 Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, hlm 168

Page 53: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Keempat. Murabahah, yaitu jual beli barang dengan tambahan harga

atau cost plus atas dasar harga pembelian yang pertama secara jujur. Dengan

murabahah ini, orang pada hakikatnya ingin mengubah bentuk bisnisnya dari

kegiatan pinjam-meminjam menjadi transaksi jual beli (lending activity menjadi

sale and purchase transaction).63 Di sini bank Islam bisa membelikan atau

menyediakan barang-barang yang diperlukan oleh pengusaha untuk dijual lagi,

dan bank minta tambahan harga (cost plus) atas harga pembelinya. Syarat

transaksi murabahah ini adalah si pemilik barang, dalam hal ini bank Islam

harus memberikan informasi yang sebenarnya atau sejujurnya kepada pembeli

tentang harga pembeliannya dan keuntungan bersihnya (profit margin) dari pada

cost plus-nya itu.

Kelima. Qard Hasan, yaitu pinjaman yang baik (benevolent loan). Bank

Islam dapat memberikan pinjaman tanpa bunga kepada para nasabah yang baik,

terutama nasabah yang memiliki deposito di bank Islam itu sebagai salah satu

service dan penghargaan bank terhadap para deposan, karena deposan tidak

menerima bunga atas depositonya dari bank Islam.64

Keenam. Bank Islam dalam melakukan transaksi juga diperbolehkan

memungut dan menerima pembayaran untuk;65 1. Mengganti biaya-biaya yang

langsung dikeluarkan oleh bank dalam melaksanakan pekerjaan untuk

kepentingan nasabah, misalnya biaya telegram, telepon, telex dalam

63 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, hlm. 110

64 Ibid.

65 Ibid., hlm 111.

Page 54: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

memindahkan atau memeberitahukan rekening nasabah dan sebagainya. 2.

Membayar gaji para karyawan bank yang melakukan pekerjaan untuk

kepentingan nasabah, dan untuk sarana dan prasarana yang disediakan oleh

bank, dan biaya adminitrasi pada umumnya.

Dari keterangan tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa perbedaan

prinsipil antara sistem bank konvensional dengan bank bebas bunga (bank

Islam) adalah terletak pada cara penentuan keuntungan. Pada bank konvensional

misalnya, jasa atau bunga pinjaman ditentukan lebih dahulu dan diperhitungkan

menurut besar bunga yang ditetapkan dan jumlah pinjaman atau tabungan.66

Seorang atau suatu badan hukum yang meminjam uang dari bank sejak mulai

hari pinjaman atau sejak saat yang ditentukan dalam perjanjian, ia sudah

menanggung beban membayar bunga, tanpa diperhitungkan apakah uang

pinjaman itu akan mendatangkan hasil atau tidak.

Sementara bank Islam menetukan keuntungan menurut laba yang telah

diperoleh. Kedua belah pihak sama-sama menanggung untung dan rugi.

Keuntungan bisa naik atau turun tergantung kepada besar kecilnya laba yang

diperoleh. Kepada peminjam, bank Islam tidak menentukan bunga dan kepada

penabung tidak memberikan bunga, yang diberikan adalah keuntungan yang

diperhitungkan atas dasar besar kecilnya laba yang didapat.67

F. Riba, Bunga Bank, dan Masyarakat Indonesia.

66 Ahmad Sukarja, “Riba, Bunga Bank”, hlm. 49.

67 Ibid.

Page 55: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Evolusi konsep riba ke bunga tidak lepas dari perkembangan lembaga

keuangan, khususnya bank. Lembaga keuangan timbul, karena kebutuhan modal

untuk membiayai industri dan perdagangan. Modalnya terutama berasal dari

kaum pedagang. Oleh karena itu, para bankir pada umumnya berasal dari

pedagang. Dalam menjalankan bisnis, para pedagang, pengusaha selalu

membutuhkan modal. Bisnis kecil-kecilan biasanya pelakunya dapat mengatasi

modalnya sendiri. Tetapi, apabila bisnis telah menunjukkan pada perkembangan

yang besar, dan untuk mengembangkan usahanya biasanya membutuhkan

modal yang cukup besar. Dalam hal ini modal harus dicarikan dari sumber yang

lain,. Tetapi siapa orangnya yang mau meminjamkan uangnya dengan cuma-

cuma, apalagi dalam jumlah besar? Dari sisnilah timbul keperluan bank sebagai

perantara antara mereka yang membutuhkan kredit dengan mereka yang

memiliki surplus modal. Bank tidak memandang untuk keperluan konsumsi,

produksi, perdagangan atau jasa, tetapi pada umumnya pinjaman diarahkan

kepada kegiatan usaha. Kalaupun ada yang memerlukan untuk konsumsi, bank

hanya bersedia memberikan pinjaman jika ada jaminan bahwa hutang itu akan

bisa dibayar.68

Dalam menjalankan transaksi bank harus mengenakan ongkos untuk

peminjam, karena bank pun harus membayar ongkos itu untuk memberikan

pinjaman. Di sini dikenal apa yang disebut sebagai modal murni, yaitu tingkat

bunga nominal dikurangi beberapa ongkos, seperti biaya-biaya adminitrasi,

jaminan terhadap keamanan hutang pokok maupun bunganya, kemungkinan

68 Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan, hlm. 150.

Page 56: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

merosotnya daya beli uang, baik karena inflasi maupun nilai tukarnya terhadap

mata uang asing, dan juga ongkos-onkos yang diperlukan untuk menjaga

keutuhan uang karena pembayaran dengan cara angsuran. Semua ongkos itu

tentunya harus dipikul oleh debitur. Bank hanya menarik semua ongkos itu

dalam rangka menjaga amanat dari para pemilik modal.

Oleh karenanya, mereka yang memiliki uang, baik besar maupun kecil

sebenarnya menanggung beban dan resiko dengan meminjamkan atau

menyimpan uangnya itu ke bank. Pertama, ia kehilangan kesempatan untuk

memanfaatkan uangnya itu. Baik untuk keperluan usaha maupun konsumsi.

Kedua, nilai uangnya bisa merosot, apalagi karena adanya inflasi dan nilai tukar

uang yang kini sudah bisa diperhitungkan, walaupun tidak terlalu persis. Ketiga,

pemilik uang juga menaggung resiko uang tidak kembali, dan karena itu, maka

bank perlu memperhitungkannya, demi keamann pemilik modal, agar bisa

dipercaya untuk menyimpan uang masyarakat.69

Sementara itu, dalam perkembangannya lembaga keuangan syari’ah

dengan berbagai instrumen yang telah ada telah menimbulkan optimisme akan

perubahan sikap masyarakat terhadap keberadaan riba, tetapi masih ada

beberapa alasan yang menjadikan bunga kurang bisa diterima sebagai riba oleh

sebagian masyarakat. Adapun alasannya antara lain:70

1. Masalah emosi keagamaan.

69 Ibid., hlm. 151

70 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, 13.

Page 57: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Wacana bunga sebagai riba masuk dalam urusan keyakinan. Hal ini

menjadikan justifikasi bagi beberapa orang untuk menerima atau menolak

bunga sebagai riba. Oleh karenanya berbicara mengenai keberadaan bunga

sebagai riba oleh sementara pihak akan menyinggung keyakinan pihak lain

—yang menganggap bunga bukan termasuk katagori riba—dan ini akan

menimbulkan sikap emosional dalam memposisikan keberadaan pelarangan

riba. Hal ini yang menyebabkan sukarnya menjelaskan mengapa riba itu

dilarang?.71

2. Selain riba, ada maisir (perjudian) dan garar (risiko).

Selain praktek riba yang dilarang, praktek maisir dan garar juga

dilarang dalam Islam. Popularitas riba diakibatkan posisi riba yang banyak

digunakan untuk melegitimasi haramnya bunga. Sehingga praktek garar dan

maisir yang sebenarnya perlu disejajarkan dengan masalah riba kurang

begitu mendapatkan perhatian. Dan ini lebih dikarenakan masir dan garar

kurang populer untuk melegitimasi dilarangnya praktek-praktek perbankan

yang tidak sesuai dengan syari’ah, sebagaimana pelarangan riba. Sehingga

kadangkala keberadaan pelarangan riba dalam perbankan dipandang

semata-semata sebagai antitesis dari keberadaan bunga, dan lebih

menkhawatirkan adalah pemahaman ini memposisiskan pelarangan riba

bukan untuk bertujuan memberikan kemaslahatan bagi seluruh umat

manusia, tetapi posisi pelarangan riba hanya karena adanya bunga.72

71 Ibid., hlm. 13-14

72 Ibid.

Page 58: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

3. Kritik yang berlebihan terhadap lembaga keuangan syari’ah.

Sebagian masyarakat yang menolak bunga sebagai riba—berlebihan

terhadap permasalahan lembaga keuangan syari’ah, tetapi tidak mau lebih

jauh mengetahui ada apa dibalik permasalahan di lembaga keuangan

syari’ah tersebut. Sedikit masalah dalam lembaga keuangan syari’ah selalu

mendapat perhatian yang besar dibanding dengan lembaga keuangan

konvensional—walaupun derajat permasalahannya sama. Hal ini

dikarenakan lembaga keuangan syari’ah menanggung konsekuwensi untuk

dianggap lebih baik dibanding dengan lembaga keuangan konvensional,

karena awal eksistensinya telah dianggap sebagai kritik lembaga keuangan

konvensional—yang menggunakan sistem bunga atau riba.73

4. Kurangnya dukungan akademisi.

Masih banyak institusi pendidikan lebih mengenalkan bunga sebagai

bagian instrumen moneter dari pada sistem keuangan di dalam suatu negara.

Hal ini diakibatkan sebagaian akademisi mengambil rujukan berbagai

literatur konvensional. Sehingga sistem moneter non-ribawi kurang begitu

dikenal oleh kalangan akademisi dan masyarakat. Bahkan, timbul

kecenderungan beberapa pihak bersikap tidak peduli atau sebaliknya terlalu

kritis—berlebihan—terhadap keberadaan bagi hasil (profit sharing) sebagai

instrumen moneter.74

73 Ibid.

74 Ibid.

Page 59: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

5. Lebih familier dengan sistem bank konvensional.

Kenyataan ini lebih disebabkan karena masyarakat lebih

berkepentingan terhadap lembaga konvensional dibanding dengan lembaga

keuangan syari’ah, di mana selama ini banyak bergaul dengan sistem

keuungan konvensional. Sehingga ia merasa bahwa apa yang ia lakukan

sekarang tidak menimbulkan konsekuensi buruk bagi mereka dan mereka

pun menerima sebagai bagian dari sistem ekonomi yang berjalan.Sehingga

keberadaan pelarangan riba dalam lembaga keuangan syari’ah lebih

dianggap sebagai sebuah wacana normatif belaka.75

BAB. III

BUNGA BANK DALAM PERSPEKTIF

NAHDLATUL ULAMA (NU) DAN MUHAMMADIYAH

Nahdlatul Ulama dan Pandangannya tentang Bunga Bank

Sejarah dan Latar Belakang Lahirnya.

75 Ibid., hlm. 15

Page 60: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Memahami Nahdlatul Ulama (NU) sebagai sebuah organisasi sosial

keagamaan, secara komprehensip dan proporsional, maka tidak dapat

mengesampingkan aspek-aspek historis (aspek sejarah), yaitu peristiwa-

peristiwa yang melatarbelakangi dan mendorong lahirnya Nahdlatul Ulama.1

Pada saat kegiatan reformasi mulai berkembang luas, para ulama

belum begitu terorganisasi. Namun mereka sudah saling mempunyai

hubungan yang sangat kuat. Perayaan pesta seperti haul, ulang tahun

kematian kyai, secara berkala mengumpulkan masyarakat sekitar atau pun

para mantan murid pesantren mereka yang kini tersebar di seluruh

nusantara. Selain itu. Perkawinan di antara anak-anak para kyai atau para

murid yang baik, sering kali mempererat hubungan ini. Tradisi yang

mengharuskan seorang santri pergi dari satu pesantern ke pesantren yang

yang lainnya guna menambah ilmu pengetahuan agamanya juga ikut andil

dalam memperkuat jaringan ini.2

Jauh sebelum lahir sebagai organisasi , NU telah ada dalam bentuk

komunitas (jama’ah) yang diikat oleh aktivitas sosial keagamaan yang

mempunyai karekter Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Wujudnya sebagai

organisasi tidak lain adalah “penegasan formal dari mekanisme informal

para ulama sepaham”. Arti penting dibentuknya organisasi ini tidak lepas

1 Peristiwa-peristiwa yang paling mendasar melatarbelakangi lahirnya NU adalah: adanya pertentangan pendapat antara Islam Tradisionalis dengan Islam Modern, semangat nasionalisme, basis sosial Islam Tradisional dan peristiwa-peristiwa internasional dsb. Uraian selengkapnya lihat www.nu.online.or.id. Sejarah NU, hlm. 1-2. atau M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya, cet, I (Yogyakarta: Al-Amin Press. 1996), hlm. 21.

2 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, alih bahasa Lesmana cet. I (Yogyakarta: LKIS, 1999), hlm. 7-8.

Page 61: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

dari konteks waktu itu, terutama berkaitan dengan upaya menjaga eksistensi

jama’ah tradisional berhadapan dengan arus paham pembaharuan Islam,

yang ketika itu telah terlembagakan, antara lain dalam Muhammadiyah.3

Masuknya paham pembaharuan ke Indonesia diawali oleh semakin

banyaknya umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji ke Tanah

suci, sejak dibukanya Terusan Suaez (1869). Bersamaan dengan itu, di

Timur Tengah sedang merebak ajaran pembaharuan dan purifikasi ajaran

Islam, seperti gerakan pembaharuan Muhammad bin Abdul Wahab yang

kemudian dikenal sebagai Gerakan atau Paham Wahabiyah, maupun

pemikiran Pan-Islamisme Jamaluddin al-Afgani yang kemudian dilanjutkan

oleh Muhammad Abduh. Tak pelak, kontak pemikiran intensif antara

jama’ah haji Indonesia dengan paham pembaharuan ini berlangsung. Oleh

karenanya, ketika kembali ke Tanah Air, para jamaah haji membawa

pemikiran itu untuk memurnikan ajaran Islam dari unsur-unsur yang

dianggap dari tradisi di luar Islam.4

Tidak semua kalangan menerima paham pembaharuan itu secara

bulat-bulat. Sekelompok ulama pesantren (yang nota bene juga haji) menilai

bahwa penegakan ajaran Islam secara murni tidak selalu berimplikasi

perombakan total terhadap tradisi lokal.5 Taradisi ini bisa saja diselaraskan

dengan ajaran Islam secara luwes. Kalangan yang dikenal sebagai kelompok

3 A. Gafar Karim, Metamorfosis: NU dan Politisasi Islam Indonesia, cet, I (Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 47.

4 Ibid., hlm. 47-48

5 Ibid., hlm. 48

Page 62: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

tradisionalis ini mengamati upaya purifikasi ajaran Islam itu dengan cemas.

Sebab tidak mustahil jika hal itu dilakukan secara frontal dan radikal akan

munggungncang keyakainan masyarakat. Terlebih lagi, upaya itu ternyata

mulai berindikasi pendrobakan taradsisi keilmuan yang selama ini dianut

oleh para ulama pesantren.

Oleh karenanya, pada abad XX, dalam kurun waktu sepuluh tahun,

seseorang yang sangat dinamis yang pernah belajar di Makkah, yakni KH.

Abdul Wahab Hasbullah,6 mengorganisir Islam tradisionalis dengan

dukungan seorang kyai asal Jombang Jawa Timur yang sangat disegani, KH.

Hasyim Asy’ari. Sejak bermukim di Makkah, Kyai Wahab aktif di Sarekat

Islam (SI). Sebuah perkumpulan saudagar muslim, yang sejak semula

bertujuan untuk memompa semangat nasionalisme dan menangkal para

pencuri dengan sistem ronda serta memperbaiki posisi pedagang muslim,

Arab, dan Jawa, dalam bersaing mengahadapi keterunan Tionghoa.7 Kyai

Wahab juga berkerja sama dengan tokoh nasionalis, Soetomo, dalam sebuah

kelompok diskusi, Islam Studie Club.

6 KH. Abdul Wahab Hasbullah dilahirkan pada tahun 1888 di Jombang, Jawa Timur. Sejak kecil beliau telah menerima pendidikan Islam di tingkat dasar sampai berusia 13 tahun dari ayahnya sendiri, KH. Hasbullah, pengasuh Pondok Pesantren Tambak Baras Jombang. Setelah itu beliau meneruskan ke Pesantren Langitan selama satu tahun, kemudian melanjutkan ke Pesantren Mojosari di Nganjuk, Jawa Timur. selama empat tahun, selanjutnya beliau memperdalam ilmu agamanya ke Pesantren Kademangan di Bangkalan, Madura. Yang diasuh oleh KH. Kholil, kemudian melanjutkan ke Pesantren Tebuireng untuk belajar ilmu alat kepada KH. Hasyim Asy’ari, setelah dari Tebuireng kemudian KH. Abdul Wahab Hasbullah melanjutkan belajar ke Arab Saudi. M. Yeonus Noor dan Ismail S. Ahmad, “KH. Abdul Wahab Hasbullah: Santri Kelana Sejati”, dalam Huwaidy Abdussami dan Ridwan Fakla AS (ed.), Biografi 5 Rais ‘Am NU, Cet. I (Yogyakarta: LTN-NU, 1995), hlm. 27-29.

7 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, hlm. 8

Page 63: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Keterlibatan Kyai Wahab dalam SI tampaknya kurang memberikan

kepuasan pada dirimya, karena dalam perkembangannya SI lebih cenderung

mengarah kepada persoalan-persoalan politik.8 Sebenarnya Kyai Wahab

menginginkan untuk membangun semangat nasionalisme melalui jalur

pendidikan. Sebab dengan demikian langkah yang ditempuh selain

mengobarkan semangat perjuangan juga membangun dan meningkatkan

kapasitas intelektual para pemuda.

Untuk mewujudkan obsesinya tersebut Kyai Wahab ketika bertemu

dengan Kyai Mas Mansur, yang kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah,

mengajak berunding untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan guna

mendidik dan mengobarkan semangat nasionalisme para pemuda dalam

rangka memperoleh kemerdekaan RI. Ide yang dicetuskan oleh Kyai Wahab

tersebut nampaknya mendapat sambutan hangat dari tokoh-tokoh

masyarakat. Terbukti pada tahun 1916, KH. Wahab mendirikan sebuah

madrasah yang bernama “Nahdatu al-Watan” (Kebangkitan Tanah Air),

dengan gedungnya yang besar dan bertingkat di Surabaya—madrasah ini

mempunyai tujuan untuk mendidik para remaja guna mendapat ilmu

pengetahuan agama yang cukup, disamping juga sebagai markas

penggemblengan para pemuda sebagai calon pemimpin muda untuk

kegiatan dakwah—yang sering dikenal dengan “Jam’iyah Nasihin”.9

Kemudian menjelang tahun 1919, sebuah madrasah baru yang sehaluan

8 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 41

9 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, hlm.9.

Page 64: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

berdiri lagi di daerah Ampel, Surabaya, dengan nama Taswiru al-Afkar,10

yang tujuan utamanya adalah menyediakan tempat bagi anak-anak untuk

mengaji dan belajar, lalu ditujukan menjadi “sayap” untuk membela

kepentingan kelompok Islam Tradisionalis.11

Perdebatan antara kaum tradisionalis dengan kaum reformis menjadi

semakin seru pada tahun dua puluhan.12 Sehingga dalam beberapa diskusi,

termasuk di forum Sarekat Islam (SI), KH. Wahab berhadapan dengan

Ahmad Soerkati. Seorang guru besar dari Sudan, Afrika Timur, pendiri

gerakan reformasi al-Irsyad. Demikian pula dengan Ahmad Dahlan,

seorang pendiri Muhammadiyah.

Selanjutnya, pada tahun 1924-an merupakan masa-masa ramainya

perdebatan masalah khilafiyah dalam Islam; mengenai bid’ah, mengenai

ijtihad, mengenai madzhab dan masalah-masalah fiqhiyah lainnya. Berkali-

kali telah diadakan munazarah (perdebetan sehat) untuk menyelesaikan

10 Taswiru al-Afkar atau dikenal juga dengan Nahdatu al-Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sossial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdatu at-Tujjar, (pergerakan kaum sudagar) serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdatul at-Tujjar itu, maka Taswiru al-Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Taswiru al-Afkar juga merupakan sebuah kelompok diskusi yang mana kegiatan di dalamnya adalah membahas persoalan-persoalan agama dan kehidupan masyarakat, yang dipelopori oleh Kyai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Kyai Mas Mansur, Kyai Mangun, dan Kyai Wahab Hasbullah. M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik, hlm. 33. Atau www.nu.online.or.id. . Sejarah NU, hlm. 1.

11 Dikatakan kelompok Islam Tradisionalis karena memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Petama, berpegang teguh pada produk fiqh dan kalam serta tasawwuf seperti yang terungkap dalam kitab-kitab kuning dan tidak suka melakukan pembaharuan ajaran Islam. Apa yeng yang terungkap dalam teks kitab itu yang dipegangi secara utuh oleh kelompok ini. M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik, hlm. 11-12.

Kedua, tradisi kefeodalan yang masih kental dikalangan mereka, kefeodalan ini nampaknya memperoleh legitimasi dari kitab Ta’lim al-Muta’allim yang terlalu mengagung-agungkan seorang guru. M. Mashur Amin. “Anatomi Umat Islam”, dalam Bankit, N0. 6, 1993, hlm. 59-62.

Ketiga, pintu ijtihad telah tertutup atau setidak-setidaknya sulit dilakukan, karena syarat-syarat yang harus dipenuhi jauh dari kemungkinan bisa dipenuhi bagi orang biasa. A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri (Yogayakarta: LKPSM: 1994), hlm. 11-173.

12 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, hlm.9.

Page 65: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

masalah ini. Di Surabaya, munazarah diikuti oleh para ulama dari berbagai

daerah, sebagian di bawah kepimimpinan KH. Abdul Wahab Hasbullah,

sebagian di bawah naungan KH. Mas Mansur, dan sebagian lagi dipimpin

oleh Sorkati. Dalam munazarah ini Kyai Wahab tetap mempertahankan

adanya bermazhab, sementara pihak lain menentangnya dengan gencar,

bahkan membid’ah-bid’ahkan masalah-masalah semacam ziarah kubur,

sholat tarawih 20 rakaat, pembacaan qunut pada saat sholat shubuh dan lain

sebagainya, selalu dipertahankan oleh Kyai Wahab sementara yang lainnya

masih tetap menentangnya.13

Masalah-masalah khilafiyah yang diperdebatkan seperti ini, menurut

Kyai Wahab telah dianggap selesai, dan tidak perlu diperdebatkan lagi,

karena masing-masing pihak mempunyai dasar atau dalil sendiri-sendiri.

Dan dalam perdebatan yang diadakan berulang-ulang kali itu pun, Kyai

wahab telah banyak memaparkan dalil-dalil yang kuat dan tidak dapat

dibantah lagi, namun pihak penentang tidak mau menerimanya dengan

alasan kalau dalil yang diutarakan oleh Kyai Wahab adalah alasan yang

dibuat-buat. Walaupun belum berhasil mengajak pihak penentang untuk

menerima kebenaran yang telah disampaikannya itu, akan tetapi Kyai

Wahab telah berhasil menunjukkan pada dunia Islam tentang alasan

kebenaran paham yang dianutnya—yaitu paham Ahlu as-Sunnah Wa al-

Jama’ah—paham Ahlu al-Mazhabi al-Arba’ah. Dan beliau hanya mampu

ikhtiar, sedangkan hidayah hanya bisa diberikan oleh Allah SWT.

Walaupun Kyai Abdul Wahab Hasbullah telah mengakhiri

perdebatan itu dengan penuh toleransi, berjiwa besar dan menganggap

perdebatan itu telah selesai segala-segalanya. Namun, kaum pembaharu

(reformis) tetap tidak mau mengimbangi sikap terpuji yang ditunjukkan oleh

Kyai Wahab itu, malahan telah berbuat sepihak atau tidak adil.14 Di antara

buktinya adalah, pada bulan Agustus tahun 1925 diadakan kongres al-Islam

ke-4 yang bermaksud membahas surat undangan yang datangnya dari Raja

13 Ali As’ad, ke-NU-an. (Yogyakarta: PWNU DIY Prees, 1981), hlm. 19.

14 Ibid., hlm.20.

Page 66: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Ibnu Sa’ud Arab Saudi, untuk menghadiri pertemuan internasional di Hijaz.

Dalam kongres tersebut forum lebih didominasi oleh kelompok Islam

Modern (pembaharu), sehingga tidak dibicarakan secara jelas hal-hal yang

berkaitan dengan Islam Tradisional. Bahkan terjadi perselisihan mengenai

kongres yang mana seharusnya dihadiri hingga akhirnya kongres berakhir

tanpa adanya suatu keputusan yang jelas. 15

KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai wakil dari kelompok Islam

Tradisionalis menghendaki agar delegasi yang dikirim ke Hijaz meminta

jaminan kepada Raja Ibnu Sa’ud untuk menghormati mazhab-mazhab fiqh

dan memperbolehkan melakukan praktek-praktek peribadatan atau

keagamaan secara tradisional. Demikian pula meminta untuk meniadakan

pelarangan melaksanakan tarikat dan ziarah kubur ke makam-makam orang-

orang suci di Makkah dan sekitarnya.16 Usulan itu sering dilontorkan oleh

Kyai Wahab dalam berbagai pertemuan-pertemuan dengan ulama lain,

namun kurang mendapat sambutan, bahkan kongres yang selalu didominasi

oleh kelompok Islam Modern tidak begitu menghiraukan usulan Kyai

Wahab tersebut. Mereka, kelompok Islam Modernis cenderung mendukung

pendapat Raja Ibnu Sa’ud.

Sebelum kongres al-Islam ke-5 di Bandung, telah diadakan suatu

rapat antar organisasi-organisasi pembaharu di Cianjur dan memutuskan

untuk mengirim utusan yang terdiri dari dua orang pembaharu ke Makkah—

yakni, HOS. Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansur (Muhammadiyah). Satu

bulan kemudian, ternyata kongres al-Islam tidak menyambut baik gagasan

15 M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik, hlm. 47.

16 Ibid., hlm. 48.

Page 67: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

KH. Wahab yang menyarankan agar usulan-usulan kaum tradisonalis

mengenai praktek-praktek peribadatan atau keagamaan agar di bawah oleh

delegasi Indonesia.17 Penolakan yang memang masuk akal itu—karena

sebagian kaum reformis menyambut baik pembersihan dalam kebiasaan

ibadah agama di Arab Saudi.

Selanjutnya, dikarenakan Kyai Wahab dan kelompok Islam

Tradisionalis semakin tidak mendapat tempat dalam berbagai forum, maka

Kyai Wahab mengambil inisiatif untuk mengadakan pertemuan sendiri.

Akhirnya sebelum kongres al-Islam ke-5 dilaksanakan pada tanggal 6

Januari 1926, Kyai Wahab dan para ulama di Surabaya mengadakan

pertemuan dengan tujuan membahas pengiriman delegasi ke Kongres Islam

Internasional di Hijaz (Makkah). Pertemuan tersebut dilaksanakan di rumah

Kyai Wahab, atas undangan Komite Hijaz. Oleh karenanya, untuk

memudahkan tugas ini, pada tanggal 31 Januari 1926 diputuskan beberapa

hal yaitu;18

Pertama, mengutus KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Ahmad Ghana’im Al-Mishri agar dapat mewakili mereka di hadapan Raja Ibnu Sa’ud dalam Kongres Islam Internasional tersebut, untuk mencerahkan persoalan-persoalan peribadatan dan keagamaan yang akan dilaksanakan di Makkah.

Kedua, mendirikan sebuah jam’iyah yang dapat menampung aspirasi kelompok Islam tradisionalis, yaitu Nahdlatul Ulama (NU)—artinya; organisasi kembangkitan ulama.

17 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, hlm. 11.

18 Ali As’ad, ke-NU-an, hlm. 21.

Page 68: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Kedua utusan ini ternyata membawa hasil yang memuaskan, seperti

yang telah diharapakan sejak semula—yakni janji-janji yang diberikan oleh

penguasa hijaz (Raja Ibnu Sa’ud-Arab Saudi), sebagaimana berikut:

1. Meskipun penguasa Hijaz dan Nejed (Saudi Arabia sekarang) beraliran

Wahabi, tetapi beliau akan bersikap adil serta melindungi adanya ajaran

empat mazhab.

2. Tidak dilarangnya pengajaran Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah (paham

yang berhaluan empat mazhab) yang biasa berlaku dalam Masjid al-

Haram sejak dahulu kala.

3. Tidak akan mengganggu atau melarang orang-orang yang akan berziarah

ke makam-makam yang ada di wilayah Hijaz dan Nejed, terutama

makam-makam yang bersejarah. Misalnya, makam-makam para Nabi,

Sahabat, dan lain sebagainya.19

Selain rapat Hijaz memutuskan dua hal tersebut di atas, rapat juga

menyusun pengurus besar NU yang terdiri dari dua bagian yaitu, Syuriyah

dan Tanfiziyah.20 Pengurus Syuriyah saat itu adalah:

Rais Akbar : KH. Hasyim Asy’ari (Tebuireng, Jombang)

Wakil Rais Akbar : KH. Dahlan (Kebondalem, Surabaya)

Katib Awal : KH. Abdul Wahab Hasbullah (Surabaya)

Katib Tsani : KH. Abdul Halim (Leuwimunding, Cirebon)

‘Awam : KHM. Alwi Abdul Aziz (Surabaya)

KH. Ridwan (Surabaya)

KH. Sa’id (Surabaya)

19 Janji-janji tersebut selanjutnya termaktup di dalam surat resmi Raja Ibnu Sa’ud, Nomor: 2082, tanggal 24 Dzulhijjah H/13 Juni 1928 M. Ali As’ad, ke-NU-an, hlm. 21-22

20 Ibid., hlm. 22-23.

Page 69: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

KH. Bisyri Syamsuri (Denanyar, Jombang)

KH. Abdullah Ubaid (Surabaya)

KH. Nachrawi (Malang)

KH. Amin (Surabaya)

KH. Masykuri (Lasem)

KH. Nachrawi (Surabaya)

Musytasyar : KHR. Asnawi (Kudus)

KH. Ridwan (Semarang)

KH. MS. Nawawi (Sidogiri, Pasuruan)

KH. Dhoro Muntaha (Bangkalan, Madura)

Syeikh Ahmad Ghona’im Al-Mishry (Mesir)

KHR. Hambali (Kudus).

Sedangkan pengurus Tanfiziyah adalah:

Ketua : H. Hasan Gipo (Blora, Surabaya)

Seketaris : Muhammad Shiddiq (Pemalang)

Bendahara : H. Burhan (Surabaya)

Pembantu : H. Saleh Syamil (Surabaya)

H. Ihsan (Surabaya)

H. Ja’far (Surabaya)

H. Utsman (Surabaya)

H. Achzab (Surabaya)

H. Nawawi (Surabaya)

H. Dahlan (Surabaya)

H. Mangun (Surabaya)

Latar belakang lahirnya NU tersebut di atas perlu mendapat

perhatian, sebab karakteristik organisasi atau jam’iyah ini lebih berakar dari

sini. Satu hal yang perlu dicatat dari proses kelahiran yang pada hakekatnya

merupakan reaksi terhadap arus pembaharuan Islam tersebut— bahwa pola

Page 70: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

perilaku reaktif semacam itu ternyata menjadi inheren dalam dinamika NU

selanjutnya.21

Pokok-pokok Pikiran.

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan yang

berhaluan Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah,22 sebagai wadah pengemban dan

mengamalkan ajaran Islam Ala Ahadi al-Mazhabi al-Arba’ah dalam rangka

mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.23 Dengan kata lain

sebagai salah satu ormas tertua, NU merupakan satu-satunya organisasi

masa yang secara keseluruhan bahwa Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah

sebagai mazhabnya.24 Sehingga, ketika NU berpegang pada mazhab, berarti

mengambil produk hukum Islam (fiqh) dari empat Imam Mazhab, yaitu

mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali.25

Dalam kenyataan NU lebih condong pada pendapat Imam asy-Syafi’I, oleh

karenanya NU sering “dicap” sebagai penganut fanatik mazhab Syafi’i. Hal

21 A. Gafar Karim, Metamorfosis, hlm. 50.

22 Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah pada hakekatnya adalah ajaran Islam yang sebenarnya, seperti yang diajarkan dan daiamalkan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabatmnya. Oleh karena itu Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah sudah timbul bersamaan dengan munculnya agama Islam sejak disampaikan syari’ah dan ajarannya oleh Rasulullah SAW. Jadi, golongan Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah adalah golongan pengikut setia ajaran yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW beserta para sahabatnya. A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran, hlm 39.

23 Sekretariat Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Hasil-hasil Muktamar XXX Nahdhatul Ulama (Jakarta: Sek. Jen. PBNU, 1999), hlm.23.

24 Mohamad Shodik, Gejolak Santri Kota: Aktivitas Muda NU Merambah Jalan Lain, cet. I (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 86.

25 Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam: Dalam Perspektif Historis dan Ideologis, cet. I (Yogyakarta: LPPI, 2000), hlm. 58.

Page 71: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

ini dapat dilihat dari cara NU mengambil sebuah rujukan dalam

menyelesaikan kasus-kasus atau permasalahan-permasalahan yang muncul.

Alasan yang sering dilontarkan adalah umat Islam Indonesia manyoritas

bermazhab Syafi’i.

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah yang

bertujuan membagun atau mengembangkan insan dan masyarakat yang

bertaqwa kepada Allah SWT senantiasa berpegang teguh pada kaidah-

kaidah keagamaan (ajaran Islam) dan kaidah-kaidah fiqh lainnya dalam

merumuskan pendapat, sikap dan langkah guna memajukan jam’iyah

tersebut. Dalam bidang keagamaan dan kemasyarakatan alam pikiran

(pokok ajaran) Nahdlatul Ulama (NU) secara ringkas dapat dibagi menjadi

tiga bidang ajaran yaitu; bidang aqidah, fiqh, dan tasawuf.26

Dalam bidang aqidah yang dianut oleh NU sejak didirikan pada 1926

adalah Islam atas dasar Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Faham ini menjadi

landasan utama bagi NU dalam menentukan segala langkah dan

kebijakannya, baik sebagai organisasi keagamaan murni, maupun sebagai

organisasi kemasyarakatan. Hal ini ditegaskan dalam Anggaran Dasar dan

Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)., bahwa NU mengikuti Ahlu as-

Sunnah Wa al-Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan (mazhab).

Adapun faham Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah yang dianut NU adalah

faham yang dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur

26 M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik, hlm. 80. Lihat juga Mohamad Shodik, Gejolak Santri Kota, hlm. 97.

Page 72: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

al-Maturidi.27 Keduanya dikenal memiliki keahlian dan keteguhan dalam

mempertahankan i’tiqad (keimanan) Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah seperti

yang telah disyaratkan oleh Nabi SAW dan para sahabatnya. Jadi dalam

melaksanakan ajaran Islam, bila dikaitkan dengan masalah-masalah aqidah

harus memilih salah satu di antara dua yaitu al-Asy’ari dan al-Maturidi.

Sementara dalam bidang fiqh ditegaskan bahwa: Nahdlatul Ulama

(NU) sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah beraqidah Islam menurut faham

Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah dan mengikuti faham salah satu mazhab

empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Namun dalam prakteknya para

Kyai adalah penganut kuat dari pada mazhab Syafi’i.28

Jadi dengan demikian NU memegang produk hukum Islam (fiqh)

dari salah satu empat mazhab tersebut—artinya bahwa dalam rangka

mengamalkan ajaran Islam, NU menganut dan mengikuti bahkan

mengamalkan produk hukum Islam (fiqh) dari salah satu empat mazhab

empat sebagai konsekuensi dari menganut faham Ahlu as-Sunnah Wa al-

Jama’ah. Walaupun demikian tidak berarti terus Nahdlatul Ulama tidak lagi

menganut ajaran yang diterapkan Rasulullah SAW. sebab keempat mazhab

tersebut dalam mempraktekkan ajaran Islam juga mengambil landasan dari

al-Qur’an dan as-Sunnah di samping Ijma’ dan Qiyas sebagai sumber pokok

penetapan hukum Islam.29

27 Ibid., hlm. 81

28 Mohamad Shodik, Gejolak Santri Kota, hlm. 97.

29 M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad hlm. 83

Page 73: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Adapun alasan kenapa Nahdlatul Ulama dalam bidang hukum Islam

(fiqh) lebih berpedoman kepada salah satu dari empat mazhab;30 Pertama,

al-Qur’an sebagai dasar hukum Islam yang pokok atau utama bersifat

universal, sehingga hanya Nabi SAW. yang tahu secara mendetail maksud

dan tujuan apa yang terkandung dalam al-Qur’an. Nabi SAW sendiri

menunjukkan dan menjelaskan makna dan maksud dar al-Qur’an tersebut

melalui sunnah-sunnah beliau—yaitu berupa perkataan, perbuatan, dan

taqrir. Kedua, sunnah Nabi SAW. yang berupa perkataan, perbuatan,

maupun taqrirnya yang hanya diketahui oleh para sahabat yang hidup

bersamaan (semasa) dengan beliau, oleh karena itu perlu untuk memeriksa,

menyelidiki dan selanjutnya berpedoman pada keterangan-leterangan para

sahabat tersebut. Namun sebagian ulama tidak memperbolehkan untuk

mengikuti para sahabat dengan begitu saja. Maka dari itu untuk

mendapatkan kepastian dan kemantapan, maka jalan yang ditempuh adalah

merujuk kepada para ulama mujtahidin yang tidak lain adalah imam

madzhab yang empat—artinya bahwa dalam mengambil dan menggunakan

produk fiqh (hukum Islam) dari ulama mujtahidin harus dikaji, diteliti dan

dpertimbangkan terlebih dahulu sebelum dijadikan pedoman dan landasan

bagi Nahdhatul Ulama.

Oleh karena itu, untuk meneliti dan mengkaji suatu produk fiqh

(hukum Islam) dalam NU ada suatu forum pengkajian produk-produk

hukum fiqh yang biasa disebut “Bahsul Masail ad-Diniyah (pembahasan

30 Ibid., hlm. 83-84

Page 74: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

masalah-masalah keagamaan)”.31 Jadi dalam forum ini berbagai masalah

keagamaan akan digodok dan diputuskan hukumnya, yang selanjutnya

keputusan tesebut akan menjadi pegangan bagi Jam’iyah Nahdlatul Ulama.

Faham Nahdlatul Ulama dalam bidang tasawuf. Tasawuf sebenarnya

merupakan dari ibadah yang sulit dipisahkan dan merupakan hal yang

penting, terutama yang berkaitan dengan makna hakiki dari suatu ibadah.

Jika fiqh merupakan bagian lahir dari suatu ibadah yang segala ketentuan

pelaksanaannya sudah ditetapkan dalam agama, untuk mendalami dan

memahami bagian dari ibadah, maka jalan yang dapat ditempuh adalah

melalui tasawuf itu sendiri.

Di antara berbagai macam aliran tasawuf yang tumbuh dan

berkembang, NU mengikuti aliran tasawuf yang dipelopori oleh Imam

Junaid al-Bagdadi dan Imam al-Gazali. Imam Junaid al-Bagdadi adalah

salah seorang sufi terkenal yang wafat pada tahun 910 M di Irak, sedangkan

Imam al-Gazali adalah seorang ulama besar yang berasal dari Persia.

Untuk kepentingan ini, yaitu membentuk sikap mental dan kesadaran

batin yang benar dalam beribadah bagi warga Nahdlatul Ulama, maka pada

tahun 1957 para tokoh NU membentuk suatu badan “Jam’iyah at-Tariqah

al-Mu’tabarah” badan ini merupakan wadah bagi warga NU dalam

mengikuti ajaran tasawuf tersebut. Dalam perkembangannya pada tahun

1979 saat muktamar NU di Semarang badan tersebut diganti namanya

“Jam’iyah at-Tariqah al-Mu’tabarah an-Nadiyyah”.32 Dengan melihat nama

31 Ibid., hlm. 84.

32 Ibid., hlm. 85

Page 75: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

badan tersebut di mana di dalamnya ada kata nadhiyyin ini menunjukkan

identitasnya sebagai badan yang berada dalam linkungan Nahdhatul Ulama.

Selanjutnya, sejalan dengan derap langkah pembangunan yang

sedang dilakukan, maka Nahdlatul Ulama sebagai bagian yang tidak

terpisahkan dari masyarakat dan bangsa harus mempunyai sikap dan

pendirian dalam dan turut berpartisipasi dalam pembangunan tersebut. Sikap

dan pendirian Nahdlatul Ulama ini selanjutnya menjadi pedoman dan acuan

warga NU dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara. Sikap

NU dalam bidang kemasyarakatan diilhami dan didasari oleh sikap dan

faham keagamaan yang telah dianut. Sikap kemasyarakatan NU bercirikan

pada sifat: tawasut dan i’tidal, tasamuh, tawazun dan amar ma’ruf nahi

munkar.33 Sikap ini harus dimiliki baik oleh aktifis Nahdlatul Ulama

maupun segenap warga dalam berorganisasi dan bermasyarakat:

1. Sikap Tawasut dan I’tidal.

Tawasut artinya tengah, sedangkan I’tidal artinya tegak. Sikap

tawasuth dan i’tidal maksudnya adalah sikap tengah yang berintikan

kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan

lurus ditengah-tengah kehidupan bersama.34 Dengan sikap dasar ini,

maka NU akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan

33 Ibid., hlm. 86-88.

34 Mohamad Shodik, Gejolak Santri Kota, hlm. 98.

Page 76: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

bertindak lurus dan selalu bersikap membangun serta menghindari

segala bentuk pendekatan yang bersifat tatarruf (ekstrim).

2. Sikap Tasamuh.

Maksudnya adalah Nahdlatul Ulama bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan teruma hal-hal yang bersifat furu’ atau yang menjadi masalah khilafiyah maupun dalam masalah yang berhubungan dengan kemasyarakatan dan kebudayaan.

3. Sikap Tawazun.

Yaitu sikap seimbang dalam berkhidmad. Menyesuaikan

berkhidmad kepada Allah SWT, khidmat sesama manusia serta kepada

lingkungan sekitarnya. Menserasikan kepentingan masa lalu, masa kini

dan masa yang akan datang.

4. Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Segenap warga Nahdlatul Ulama diharapkan mempunyai kepekaan untuk mendorong berbuat baik dan bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat, serta mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahakan nilai-nilai kehidupan manusia.

Dengan adanya beberapa aspek tersebut di atas, diharapkan agar

kehidupan umat Islam pada umumnya dan warga Nahdlatul Ulama pada

khususnya, akan dapat terpelihara secara baik dan terjalin secara harmonis

baik dalam lingkungan organisasi maupun dalam segenap elemen

masyarakat yang ada. Demikian pula perilaku warga Nahdlatul Ulama agar

senantiasa terbentuk atas dasar faham keagamaan dan sikap

kemasyarakatan, sebagai sarana untuk mencapai cita-cita dan tujuan yang

baik bagi agama maupun masyarakat.

Pandangannya tentang Bunga Bank.

Persoalan bank dan bunganya dalam pandangan Nahdlatul Ulama

(NU) telah menjadi persoalan yang signifikan, sehingga perlu mendapat

perhatian yang cukup besar dari para ulama NU. Kaitannya dengan masalah

bunga bank, NU melalui forum kajian Bahsul Masailnya telah

mengaharamkannya, hal ini dikarenakan bunga bank disamakan dengan

Page 77: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

gadai yang digunakan pada zaman jahiliyah, jika pemilik barang gadai tidak

bisa membayar uang pada waktunya, maka barang gadaiannya lepas dari

pemiliknya dan menjadi milik penggadai dan hal ini telah ditetapkan

hukumnya dalam Mu’tamar II tahun 1927 di Surabaya.

Dalam masalah bunga bank ini terdapat tiga pendapat dari para ahli

hukum (ulama):35

a. Haram : Karena termasuk barang yang dipungut manfaatnya

(rente).

b. Halal : Sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sebab menurut

para ahli hukum terkenal, bahwa adat yang berlaku

itu tidak termasuk menjadi syarat.

c. Syubhat : (tidak tentu halal-haramnya)Sedangkan mu’tamar memutuskan, bahwa yang lebih hati-hati

adalah pendapat mu’tamirin yang pertama—yakni mengaharamkan adanya bunga dalam dunia perbankan. Sikap NU ini didasari dengan mengambil hujjah dari kitab mu’tabar yaitu :

ففاسد لمقرض جرنفع بشرط القرض 36 واما

Adapun hukum menitipkan uang di bank, demi keamanan saja, NU menyatakan makruh kalau meyakinkan bahwa uangnya tersebut akan digunakan untuk kegiatan yang melanggar norma-norma agama.37

Dalam keputusan lain juga telah ditetapkan:Mengigat bahwa dalam bank, pihak debitur memiliki dan bertanggungjawab penuh atas uang yang dipinjamkan dan bunganya ditentukan atas dasar untung rugi atau besar kecilnya keuntungan dari hasil usahanya, maka transaksi bank tersebut termasuk dalam akad qard dan dengan sendirinya bunga bank termasuk riba qard. Dilihat dari sudut ini bahwa besar kecilnya bunga tergantung pada lama atau sebentarnya tempo pengambilan bunga bank

35 Abu Hamdan Abdu al-Jalil Hamid, Ahkam al-Fuqaha’ fi al-Muqarrarat Mu’tamarat Nahdatu al-Ulama’, (Semarang: Toha Putra, t.t.), I: 22.

36 Sayyid Bakr ad-Dimyati, Ianah at-Talibin (Semarang: Toha Putra t.t.), hlm. 56.

37 A Abu Hamdan Abdu al-Jalil Hamid, Ahkam al-Fuqaha’, hlm. 71. Atau Zuhdi Mukhdlor, NU dan Beberapa Soal Keagamaan, cet I (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1992), hlm. 40

Page 78: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

cenderung masuk dalam riba nasi’ah—yang berlipat ganda.38

Meskipun telah diambil kesepakatan tentang hukum bunga bank, tampaknya para muktamirin masih berbeda pendapat, terutama dalam Munas ‘Alim Ulama di Bandar Lampung, 21-25 Januari 1992, khususnya mengenai hukum bunga bank konvensional. Di antaranya sebagai berikut:

a. Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank

dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya adalah haram.

b. Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan

riba, sehingga hukumnya adalah boleh.

c. Ada pendapat yang mengatakan bunga bank hukumya syubhat

(tidak identik dengan riba).

Untuk menyelesaikan masalah tersebut, NU memberikan solusi: Mengingat warga NU merupakan potensi yang terbesar dalam pembangunan nasional dan dalam kehidupan sosial ekonominya, diperlukan adanya suatu lembaga keuangan sebagai peminjam dan pembina yang memenuhi syarat sesuai dengan keyakian keyakian warga NU, maka dipandang perlu untuk mencari jalan keluar menentukan sistem perbankan yang sesuai dengan hukum Islam—yakni bank tanpa suku bunga dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Sebelum tercapainya cita-cita di atas, hendaknya sistem perbankan yang dijalankan sekarang ini harus segera diperbaiki

b. Perlu diataur—dalam penghimpunan dana masyarakat dengan

prinsip:39

1) Wadi’ah (simpanan) bersyarat atau dhamanah, yang

digunakan untuk menerima giro (current account) dan

tabungan (seving account) serta pinjaman dari lembaga

38 Tim Penyusun, Keputusaan Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung 1992, Lajnah wa Ta’lif wa Nasyr, (Semarang: Sumber Barakah, 1993), hlm. 20.

39 Sekretariat Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, “Bank Dalam Islam”, materi pelengkap disajikan pada Munas ‘Alim Ulama NU tentang hukum bunga bank, diselenggarakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Bandar Lampung, 21-25 Januari 1992, hlm. 28-29.

Page 79: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

keuangan lain yang menganut sistem yang sama—Dalam hal

ini yang menerima simpanan dana (bank) bertanggungjawab

atas pengembalian dana tersebut sesuai dengan akad.

2) Mudarabah—dalam prinsip ini pemilik dana bersepakat

dengan bank untuk melakukan usaha bersama dengan

membagi keuntungan yang diperoleh dengan suatu rasio yang

telah disepakati terlebih dahulu.

Dalam prakteknya, bentuk ini disebut investment account (deposito berjangka), mislanya 3 bulan, 6 bulan dan sebagainya, yang pada garis besarnya dapat dinyatakan dalam:1) Genaral Investment (GIA).—Peraturan perbankan mewajibkan

pengembalian dana nasabah secara utuh pada saat jatuhnya jangka

waktu deposito, atau dapat ditarik seluruhnya jika dikehendaki oleh

nasabah karena ia sebagai titipan (wadi’ah/amanat).

2) Special Investment (SIA).—Dana digunakan untuk membiayai

proyek atau jenis perdagangan tertentu sesuai dengan kesepakatan

kedua belah pihak. Sumber dana Bank Islam dapat juga dalam bentuk

infaq, zakat, sedekah, hibah dan lain-lainnya. Special Investment ini

meliputi:

a) Penanaman dana dan kegiatan usaha. Dalam penanaman

dana atau kegiatan usaha lainnya, bank Islam pada dasarnya

bergerak dalam tiga bidang yaitu:

- Pembiayaan proyek

- Pembiayaan perdagangan perkongsian

Page 80: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

- Pemberian jasa atas dasar upaya melalui usaha patungan,

profit sharing dan sebagainya.

b) Untuk proyek financing sistem yang dapat digunakan, atara

lain:

(1) Mudarabah muqaradah

(2) Musyarakah

(3) Murabahah

(4) Pemberian kredit dengan service change (bukan

bunga)

(5) Ijarah

(6) Bai’ ad-Dain, termasuk di dalamnya Bai’ as-Salam

(7) Al-Qard al-Hasan (pinjaman kredit tanpa bunga, dan

tanpa service change)

(8) Bai’ al-‘Ajil.

c) Untuk aqriten participation, bank dapat membuka LC (letter

of credit) dan pengeluaran surat pinjaman. Untuk ini dapat

ditempuh kegiatan tersebut dengan dasar:

(1) Wakalah

(2) Musyarakah

(3) Murabahah

(4) Ijarah

(5) Sewa-beli

(6) Bai’ as-Salam

Page 81: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

(7) Bai’ al-Ajil

(8) Kafalah (garansi bank)

(9) Working capital financing (pembiayaan modal kerja)

melalui purshase order dengan menggunak prinsip

murabahah

d) Untuk jasa-jasa perbankan (banking service) lainnya, seperti

pengiriman dan transfer uang, jual beli valuta asing dan

penukarannya dan lain-lain, tetap dapat dilakukan dengan

menggunakan prinsip tanpa bunga.40

Selanjutnya berkaitan dengan bank-bank yang ada sekarang (bank yang didirikan pemerintah). Nahdlatul Ulama tetap memperbolehkan beroperasinya bank-bank dan bahkan pemerintah dapat mendirikan bank-bank yang baru, karena kebutuhan yang kuat (hajat rajihah). Dalam hal ini NU menetapkan:

Indonesia sebagai negara yang melindungi tegaknya semua ajaran yang dianut oleh mayoritas penduduknya berada dalam posisi yang serba sulit. Di satu pihak negara dihadapkan pada sistem ekonomi modern yang tidak bisa lepas dari perbankan, di lain pihak negara didhadapkan pada ajaran agama yang mengharamkan adanya bunga. Dengan adanya kebutuhan yang mendesak dan tidak dapat dihindari itu, sementara bank Islam belum bisa memenuhi kebutuhan, maka sambil melakukan perbaikan secara bertahap, negara diperbolehkan untuk meneruskan operasinya bank milik pemerintah dan mendirikan bank-bank negara yang baru, disesuaikan dengan kadar kebutuhan.41

Tampaknya pernyataan NU di atas masih terdapat sedikit kerancuan. Satu sisi NU mengharamkan bunga bank, di sisi lain NU memperbolehkan terbentuknya bank-bank pemerintah walaupun dengan keadaan darurat (emergency). Sehubungan dengan keadaan tersebut, NU membagi tiga katagori bagi umat Islam kaitannya dengan bank. Pertama,

40 Ibid., hlm. 30-37.

41 Tim Penyusun, Keputusan , hlm. 2.

Page 82: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

orang Islam yang dalam hidupnya tidak dapat terlepas dari bank seperti para pengusaha,, para kontraktor dan lain sebagainya, dengan alasan darurat, maka boleh bermuamalah dengan bank. Kedua, orang Islam yang tidak terikat pada bank tetapi sangat butuh pada bank, maka hukumnya boleh berhubungan dengan bank tetapi disesuaikan dengan kadar kebutuhannya. Ketiga, bagi orang Islam yang tidak membutuhkan bank hukumnya haram untuk berhubungan dengan bank.42

B. Muhammadiyah dan Pandangannya Tentang Bunga Bank.1. Sejarah dan Latar Belakang Lahirnya.

Sebelum masuknya agama Islam di Indonesia, masyarakat Inndonesia kebanyakan memeluk agama Hindu dan Budha dengan segalah amalan dan tradisi yang ada di dalamnya. Sementara itu pula agama Islam telah sampai ke Nusantara telah melawati perjalanan yang sangat panjang. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri lagi adanya kenyataan berbagai pengaruh kepercayaan lain yang menempel secara tidak sengaja ke tubuh ajaran Islam. Melihat kondisi yang semacam itu dapat dimaklumi kalau akhirnya dalam prakateknya umat Islam di Indonesia pada saat ini memperlihatkan hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.43

Dalam kehidupan beraqidah (keyakinan hidup) agama Islam mengajarkan pada umatnya untuk memiliki tauhid yang murni, bersih dari berbagai macam syirik maupun khurafat (tahayul). Namun dalam prakteknya banyak orang Islam yang percaya terhadap benda-benda keramat semacam keris, tombak, batu aji, percaya pada hari baik dan hari buruk, bulan baik dan bulan buruk dan lain sebagainya. Mereka sering pergi kekuburan-kuburan yang dianggap keramat, seperti kuburan para wali, ulama besar, dan sebagainya dengan tujuan untuk meminta berkah kepada mereka. Mereka percaya terhadap ramalan bintang, ramalan burung, ramalan nasib, ramalan dukun dan ramalan gaib lainnya.

Sementara dalam kehidupan beribadah, agama Islam memberikan tuntunan secara pasti sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW. Bertitik-tolak pada prinsip ini dalam ilmu usul fiqh ada kaidah yang menyatakan bahwa “dalam ibadah mahdah semua amalan terlarang, kecuali hal-hal yang telah di ajarkan Nabi SAW. Sedangkan dalam urusan keduniaan semua amalan diperbolehkan, kecuali yang secara jelas telah dilarang oleh oleh agama”. Rasulullah sendiri telah menyatakan dengan tegas bahawa “semua rekan-rekan (bid’ah) dalam ibadah mahdiyah adalah sesat, dan semua yang sesat akan masuk

42 Ibd., hlm. 22.43 www.muhammadiyah.online.or.id, Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah, hlm. 1.

lihat juga Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah, hlm. 72.

Page 83: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

neraka”. Namun dalam kenyataannya masih banyak sekali umat Islam yang dalam praktek ubudiyahnya bercampur-aduk antara apa yang diajarkan oleh agama Islam dengan berbagai amalan yang berasal dari kepercayaan lain, sebagi contoh dapat dilihat masih mentradisinya sesaji yang ditujukan kepada para arwah, kepada roh-roh halus, selamatan saat kematian, semacam mentuju hari; empat puluh hari, seratus hari, seribu hari dengan dibacakan bacaan tertentu seperti bacaan tahlil, surat Yasin, ayat Kursi dan sebagainya.44 Bukankah hal semacam itu bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam sebagaimana yang telah digariskan dalam al-Qur’an surat al-Fatihah ayat 5, al-Baqarah ayat 286, al-An’am ayat 164 dan an-Najm ayat 39.

Sementara itu pondok pesantren yang merupakan salah satu lembaga pendidikan khas milik umat Islam di Indonesia, sekaligus merupakan sistem pendidikan yang sangat khas Indonesia. Ditilik dari sejarahnya sistem ini sebenarnya sudah ada dan berkembang sejak zaman Hindu-Budha, dan terus berlanjut ketika Indonesia memasuki zaman Islam. Sistem pondok pesantren yang dikembangkan oleh umat Islam Indonesia telah banyak memberikan sumbangan bagi nusa dan bangsa dari sejak sebelum masa penjajahan Belanda hingga masa penjajahan Belanda.

Lewat lembaga pesantren dilahirkan kader-kader umat Islam dan bangsa yang tidak sedikit jumlahnya. Namun kalau ditinjau dari fungsinya selaku lembaga yang harus menyiapkan kader-kader umat dan bangsa pada masa mendatang dalam rangka menghadapi tantatangan kemajuan zaman yang tidak perna mengenal berhenti, maka akan terasa bahwa muatan isi yang ada dalam sistem pondok pesantren yang hanya mengajarkan “mata pelajaran agama” dalam arti sempit, yaitu terbatas dalam bidang; fiqh agama atau fiqhuddin sebagaimana yang disyaratkan dalam surat at-Taubah ayat 122, yang meliputi pelajaran bahasa Arab, terjemah dan tafsir, hadits, akhlak atau tasawuf, aqaid, ilmu mantiq (logika) dan ilmu falaq. Sedangkan pelajaran yang berhubungan dengan urusan keduniaan, yang sering dikenal dengan istilah ilmu pengetahuan umum semacam sejarah, ilmu bumi (geografi), fisika, kimia, biologi, matematika, ekonomi, sosiologi dan sebagainya sama sekali belum diperkenalkan di lembaga pendidikan pondok pesantrem. Padahal justru lewat ilmu-ilmu pengetahuan ini seorang akan lebih mampu melaksanakan tugas-tugas keduniaan, satu dari tugas yang diemban oleh “Khalifah Allah”. Padahal semestinya lembaga pendidikan Islam sudah seharusnya menyiapkan diri menjadi lembaga pembibitan kader-kader penerus cita-cita Islam dan siap mengemban amanat Allah sebagai khalifah di muka bumi.45

Menigingat fungsi pendidikam Islam seperti ini, maka apa yang ada dalam lembaga pendidikan pondok pesantren pada saat itu dirasakan

44 Ibid., hlm. 73.45 Ibid., hlm. 74.

Page 84: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

oleh KHA. Dahlan masih ada satu kekurangan mendasar yang harus segera disempurnakan. Kalau pada awalnya sistem pondok pesantren membekali kepada para santri-santrinya hanya dengan ilmu-ilmu agama semata, maka untuk penyempurnaannya diberikan juga kepada mereka ilmu-ilmu pengetahuan umum, sehingga dengan pengetahuan umum tersebut akan lahirlah dari lembaga pendidikan ini manusia yang bertaqwa kepada Allah menjadi “Cerdas lagi Ttrampil”, yang dalam terminologi al-Qur’an disebut sebagai Ulul Albab.46

Demikian pula dengan kedatangan bangsa-bangsa Eropa terutama bangsa Belanda ke Indonesia, khususnya dalam aspek kebudayaan, peradaban dan keagamaan telah membawa pengaruh buruk terhadap perkembangan agama Islam di Indonesia. Sebagaimana halnya bengsa-bangsa Eropa lainnya, bangsa Belanda pun ketika masuk negeri Indonesia juga mengibarkan panji-panji “Tiga G”, yaitu Glory, Gold, dan Gospel. Ketiga G tersebut sebenarnya menggambarkan motif kedatangan kaum penjajah ke negeri-negeri jajahannya. Yang pertama motif politik (Glory = menang); suatu motif untuk menjajah dan menguasai negeri jajahannya sebagai negeri kekuasaannya. Kedua motif ekonomi (Gold = emas atau kekayaan); suatu motif untuk mengekploitasi, memeras dan mengeruk harta kekayaan negeri jajahan. Dan ketiga (Gospel = Injil); motif untuk menyebarluaskan agama Kristen kepada anak negeri jajahan, atau motif untuk mengubah agama penduduk, yang Islam atau bukan Islam agar menjadi Kristen. Ketiga motif tersebut di atas, khususnya motif yang terkhir (Kristenisasi)47 inilah yang menjadikan KH. Ahmad Dahlan khawatir dengan perkembangan Islam selanjutnya—umat Islam banyak ikut-ikutan dengan ajakan pemerintah Hindia Belanda dengan menerima dan menerapkan kebudayaan Barat yang telah dibawanya.

Selanjutnya pendidikan model Barat yang mereka kembangkan, dengan ciri-cirinya yang sangat menonjolkan sifat intelektualistik, individualistik, elistis dan diskriminatis, sama sekali tidak memperhatikan dasar-dasar asas moral kegamaan (sekuler), sehingga lahirlah generasi baru bangsa Indonesia yang terkena pengaruh paham rasionalisme dan individualisme dalam pola berfikir mereka. Bahkan lebih jauh dari pada itu, H.J. Benda sebagaimana dikutip oleh Mustafa Kamal Pasha, menyatakan bahwa dalam analisisnya terakhir maka pendidikan Barat adalah sebagai satu-satunya alat yang paling pasti untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia. Apa yang diharapakan oleh pemerintah Hindia Belanda seperti di atas tanda-tandanya akan segera terlihat, antara lain seperti muculnya generasai baru bangsa Indonesia yang bersikap acuh tak acuh terhadap agama Islam, kalau tidak malah melecehkannya. Mereka menganggap selama

46 Ibid., hlm. 75.

47 Ibid. Lihat juga www.muhammadiyah.online.or.id, Latar Belakang, hlm. 1.

Page 85: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

mereka masih menampakkan ke-Islam-annya, mereka rasanya belum dapat disebut sebagai orang modern, orang yang berkemajuan tinggi dan sebagainya.48

Dari beberapa faktor di atas , tampaknya telah membuat KH. Ahmad Dahlan merasa terpanggil untuk memurnikan kembali ajaran-ajaran Islam dari beberapa pengaruh tersebut, dengan banyak melakukan dakwah dan pengajian yang berisi faham baru dalam Islam dan menitikberatkan dalam segi amaliyah. Baginya, Islam adalah agama amal—suatu agama yang mendorong umatnya untuk banyak melakukan kerja dan berbuat sesuatu yang bermanfaat. Dengan bekal pendalamnya terhadap pemahaman al-Qur’an dan as-Sunnah, sampailah KH. Ahmad Dahlan pada pendirian dan tindakannya yang banyak bersifat pengamalan Islam dalam kehidupan nyata.

Akhirnya, pada tahun 1911 KH. Ahmad Dahlan mendirikan “Sekolah Muhammadiyah”.49 Dalam sekolah tersebut, dimasukkan pula beberapa pelajaran yang lazim diajarkan di sekolah model Barat, seperti ilmu bumi, ilmu alam, ilmu hayat, dan sebagainya. Begitu pula diperkenalkan cara-cara baru dalam pengajaran ilmu-ilmu keagamaan sehingga lebih menarik dan menyerap. Dengan murid yang tidak begitu banyak, jadilah “Sekolah Muhammadiyah” tersebut sebagai tempat persemaian bibit-bibit pembaharu dalam Islam di Indonesia.

Sebagai puncaknya, berdirlah organisasi atau jam’iyah pembaharu dalam Islam sebagai wahana untuk menjembatani dan menyelamatkan ajaran Islam dari adanya pengaruh obyektif yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal bagi perkembangan Islam selanjutnya di Indonesia. Maka pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 yang bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 Jam’iyah Muhammadiyah berdiri—yang di dalam anggaran dasarnya pertama kalinya bertujuan: “Menyebarkan Pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. kepada penduduk bumi-putera, di dalam residensi Yogyakarta” serta “Memajukan perihal agama Islam kepada sekutu-sekutunya”.50

2. Pokok-pokok Pikiran.

Muhammadiyah merupakan salah satu orgnisasi Islam pembaharu di

Indonesia. Muhammadiyah yang dibangun oleh K.H. Ahmad Dahlan51

48 Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah, hlm. 76-77.

49 Ibid., hlm. 56

50 Ibid., hlm. 57.51 K.H. Ahmad Dahlan. Ia lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta, tahun 1868 M dengan

nama Muhammad Darwis. Ayahnya adalah K.H. Abubakar, seorang Khotib masjid Besar Kesultanan Yogyakarta, yang apabila dilacak silsilahnya sampai kepada Maulana Malik Ibrahim.

Page 86: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

sesungguhnya merupakan salah satu mata rantai yang panjang dari gerakan

pembaharuan Islam yang dimulai sejak tokoh pertamanya, yaitu Ibnu

Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Sayyid

Jamaludin al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida, dan sebagainya.

Pengaruh gerakan pembaharuan tersebut terutama berasal dari Muhammad

Abduh melalui tafsirnya, al-Manar, suntingan dari Rasyid Rida serta

majalah al-Urwatu al-Wusqa.

Muhammadiyah sebagai persyarikatan yang merupakan gerakan

Islam. Maksud gerakannya adalah melakukan dakwah Islam amar ma’ruf

nahi munkar yang ditujukan dalam dua bidang perseorangan dan

masyarakat. Dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang yang

pertama terbagi mrenjadi dua golongan, kepada yang Islam bersifat

pembaharuan (tajdid) yaitu mengembalikan kepada ajaran-ajaran agama

Islam yang asli dan murni dengan jalan menghilangkan bid’ah, khurafat, dan

lain sebagainya. Yang kedua kepada yang belum Islam—bersifat seruan dan

ajakan untuk mengikuti atau memeluk ajaran agama Islam. Adapun Dakwah

Ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim, Penghulu kesultanan Yogyakarta. Pada usia delapan tahun ia telah lancar membaca al-Quran hingga khatam. Kemudian ia belajar fiqh kepada K.H. Muhammad Shaleh, dan nahwu kepada K.H. Muhsin. Keduanya adalah kakak ipar Muhammad Darwis sendiri. Ia juga berguru kepada K.H. Muhammad Nur dan K.H. Abdul Hamid dalam berbagai ilmu. Pada tahun 1889 M ia dinikahkan dengan saudara sepupunya, Siti Walidah, putri K.H. Muhammad Fadil, Kepala Penghulu Kesultanan Yogyakarta. Beberapa bulan setelah pernikahannya, atas anjuran ayah-bundanya, Muhammad Darwis menunaikan ibadah haji. Ia tiba di Makkah pada bulan Rajab 1308 H (1890 M). Setelah menunaikan umrah, Ia bersilaturahmi dengan para ulama, baik dari Indonesia maupun Arab. Di antaranya, ia mendatangi ulama mazhab Syafi'i Bakri Syata' dan mendapat ijazah nama Haji Ahmad Dahlan. Ia telah berganti nama, dan juga bertambah ilmunya. Sepulang dari ibadahnya itu, ia membantu ayahnya mengajar santri-santri remaja. Sehingga, ia mendapat sebutan K.H. Ahmad Dahlan. www.muhammadiyah.online.or.id, Tokoh Pendirinya, hlm, 1-2.

Page 87: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

dan amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang yang kedua adalah kepada

masyarakat, bersifat perbaikan dan bimbingan serta peringatan. Kesemuanya

itu dilakukan bersama dengan bermusyawarah atas dasar taqwa dan

mengharap keridhaan Allah semata-mata.52 Dengan melaksanakan dakwah

amar ma’ruf nahi munkar dengan cara masing-masing yang sesuai,

Muhammadiyah menggerakkan masyarakat menuju tujuaannya adalah;

terwujudnya masyarakat yang Islam yang sebenar-benarnya.

Dalam perjuangan melaksanakan usaha menunju tujuan terwujudnya

masyarakat Islam yang sebenar-benarnya di mana kesejahteraan, kebaikan

dan kebahagiaan luas merata serta menuju tujuan terwujudnya masyarakat

utma, adil dan makmur yang diridhai Allah SWT. Maka Muhammadiyah

mendasarkan segala gerak dan amal usahanya atas prinsip-primsip yang

tersimpul dalam Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, yaitu:53

a. Hidup manusia harus berdasarakan tauhid, ibadah dan taat kepada

Allah SWT.

Dalam melaksanakan segala gerak dan kegiatannya maka tauhid

dan tawakkal kepada Allah SWT harus senantiasa menjadikan landasan

dasar utamanya, dengan maksud semata-semata untuk beribadah serta

mentaati semua perintah dan larangan-Nya. Dasar seperti inilah yang

harus menjadi ciri milik pribadi setiap warga Muhammadiyah sehingga

52 Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah, hlm. 181.

53 Ibid., hlm. 205-206

Page 88: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

dapat menjadi contoh teladan dalam bangunan dan perbaikan negara dan

masyarakat.

b. Hidup Manusia bermasyarakat.

Muhammadiyah adalah salah satu faktor yang kuat dalam

perkembangan masyarakat serta warga Muhammadiyah merupakan

anggota masyarakat yang tidak diam, akan tetepi bergerak maju, aktif

dinamais dalam membangun. Oleh karena itu, gerakan Muhammadiyah

harus aktif dan menonjol di tengah-tengah masyarakat untuk memimpin

atau paling tidak menjadi sosok penerang yang cemerlang dalam

kehidupan bermasyarakat.

c. Menegakkan ajaran Islam dengan keyakinan bahwa ajaran Islam

adalah asatu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama

untuk kebahagian dunia dan akhirat.

Muhammadiyah berkeyakinan bahwa tidak ada dasar landasan

yang dapat membahagiakan manusia di dunia ini kecuali dengan dasar

al-Qur’an dan as-Sunnah yang akan membawa kebahagian manusia yang

hakiki di akhirat kelak. Oleh karena itu, apa pun ajaran Islam yang

terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah wajib dan mutlak dipatuhi

oleh setiap warga Muhammadiyah. Segala kebijaksanaan pimpinan serta

taktik daa srrategi perjuangan harus dinilai dan sesuai dengan prinsip-

prinsip ajaran Islam.

Page 89: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

d. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat

adalah wajib, sebagai ibadah kepda Allah dan berbuat ihsan dan islah

kepada kemanusiaan.

Setelah Muhammadiyah dapat berdiri tegak dan berjalan di

atas landasan seperti di atas, barulah kuat untuk menegakkan dan

menjunjung tinggi ajaran Islam serta mampu mengatasi berbagai

rintangan, hambatan, tantangan dan segala halangan yang akan

terjadi.

e. Ittiba’ kepada langkah perjuangan Nabi Muhammad SAW.

Ittiba’ atau mengikuti jejak langkah perjuangan Rasulullah SAW.

adalah wajib menjadi syarat yang tidak boleh tidak harus dan wajib

dilakukan oleh setiap muslim, dan sesungguhnya dalam rangka

menggerakkan Umat Islam ke arah ittiba’ itulah hakikatnya

Muahammadiyah didirikan

Umat Islam wajib mencontoh sikap keteguhan Rasulullah dalam

menghadapi penderitaan dan rintangan, kesabaran dalam duka dan derita

serta kesyukurannya dalam menerima nikmat-nikmat Allah SWT—di

mana umat Islam harus senantiasa berusaha memiliki sifat-sifat yang

dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

f. Melancarkan amal usaha dan perjuangannya dengan ketertiban

organisasi.

Muhammadiyah beramal dan berjuang dengan berorganisasi

yang didasarkan atau musyawarah bersama. Menghimpun dan mendidik

Page 90: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

kader pimpinan, mengaktifkan gerak anggota, menentukan peraturan-

peraturan untuk mencapai hasil yang jauh kebih besar dan lebih dapat

menanggulangi berbagai rintangan dan halangan karena bergerak dengan

menggunakan sebuah organisasi.

3. Pandangannya tentang Bunga Bank

Mu’tamar Majlis Tarjih Muhammadiyah setelah mempelajari:54

a. Uraian tentang masalah bunga bank dalam segala seginya yang

disampaikan oleh Nandang Komar, Direktur Bank Negara Indonesia

Unit 1 Cabang Surabaya.

b. Pembahasan dari para Mu’tamirin

Dengan bertawakkal kepada Allah SWT.Menyadari:

1) Bahwa bank dalam sistem ekonomi-pertukaran adalah mempunyai

fungsi yang vital dalam perekonomian pada masa sekarang

2) Bahwa bank dalam wujudnya sekarang bukan merupakan lembaga yang

lahir dari cita-cita sosial ekonomi Islam.

3) Bunga adalah sendi dari sistem perbankan yang berlaku selama ini.

54 Uraian selengkapnya dapat dilihat dalam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta: Persatuan, t.t), hlm. 304-305.

Page 91: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

4) Bahwa umat Islam sebagai umat pada dewasa ini tidak dapat melepaskan

diri daripada pengaruh perbankan yang secara langsung atau tidak

langsung telah menguasai perekonomian umat Islam.

Mengingat:

1) Bahwa nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah dengan jelas mengharamkan

riba.

2) Bahwa fungsi bank dalam perekonomian modern sekarang ini bukan

hanya menjadi sumber penghasilan bagi bank, melainkan juga berfungsi

sebagai alat politik perekonomian Negara untuk kesejahteraan umat

(stabilisasi ekonomi).

3) Bahwa adanya undang-undang yang mengatur besar kecilnya bunga

adalah untuk mencegah kemungkinan terjadinya penghisapan pihak

yang kuat terhadap pihak yang lemah di samping untuk melindungi

berlangsungnya kehidupan bank itu sendiri.

4) Bahwa hingga saat ini belum ada konsepsi sistem perekonomian yang

disusun dan dilaksanakan dengan kaidah Islam.

Menimbang:

1) Bahwa nas-nas al-Qur’an dan as-Sunnah tentang haramnya riba

mengesankan adanya ‘illat terjadinya penghisapan oleh pihak yang kuat

terhadap yang lemah.

Page 92: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

2) Bahwa perbankan adalah suatu sistem lembaga perekonomian yang

belum pernah dialami umat Islam pada masa Rasulullah SAW.

3) Bahwa hasil keuntungan Bank-bank milik Negara pada akhirnya akan

kembali untuk kemaslahatan umat.

4) Bahwa termasuk atau tidaknya bunga bank ke dalam pengertian riba

Syar’i dirasa belum mencapai bentuk yang meyakinkan

Memutuskan:

1) Riba hukumnya haram, dengan nas sarih al-Qur’an dan as-Sunnah.

2) Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba

hukumnya halal.

3) Bunga bank yang diberikan oleh Bank-bank milik Negara kepada para

nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara

Musytabihat.55

4) Menyarankan kepada PP. Muhammadiyah untuk mengusahakan

terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya lembaga

perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.

55 Kata-kata Musytabihat dalam pengertian bahasa adalah perkara yang tidak jelas. Adapun menurut pengertian Syara’ ialah bahwasannya yang halal itu sudah jelas, demikian pula yang haram yaitu yang diterangkan oleh al-Qur’an atau al-Hadits dengan nash-nash sharihnya. Misalnya, daging unta adalah halal untuk dimakan, daging khinzir adalah haram dan lain-lain, selain yang ditentukan hukumnya dengan jelas itu, terdapat beberapa hal yang hukumnya tidak jelas bagi seseorang atau beberapa orang apakah itu halal atau haram, sehingga dari mereka timbul rasa ragu-ragu dan tidak dapat menentukan salah satu diantara dua macam hukum itu. Perkara yang masih meragukan karena tidak jelasnya inilah yang disebut Musytabihat. Ibid., hlm. 307.

Page 93: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

BAB IV

ANALISIS KOMPARATIF PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA DAN MUHAMMADIYAH TENTANG BUNGA BANK

A. Ketentuan Hukum Bunga Bank.

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa bank merupakan lembaga keuangan yang fungsi utamanya adalah menerima dan menyalurkan dana. Penerimaan dana masyarakat selalu dihubungkan dengan penyalurannya kepada orang atau lembaga yang memerlukan dana itu. Besar bunga yang diberikan oleh bank kepada pemasok modal disesuaikan dengan bunga yang dikenakan kepada peminjam dari bank. Selisih antara bunga yang diberikan kepada pemasok modal dan bunga yang dikenakan kepada peminjam merupakan keuntungan bank itu sendiri. Biasanya bank hanya akan memberikan kredit kepada orang atau lembaga yang diduga kuat dapat mengembangkan usahanya, dan bukan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan kata lain, bank hanya memberikan pinjaman yang bersifat produktif, bukan konsumtif.1

Karena itu, wajar kalau pemilik modal dan bank mendapatkan keuntungan, seiring dengan keuntungan yang akan diperoleh pengusaha yang meminjamkan modal. Sedangkan bagi orang yang memerlukan bantuan keuangan untuk kebutuhan harian atau (misalnya untuk biaya pengobatan), tidak selayaknya menggunakan jasa bank dengan sistem bunga tersebut. Sehingga di sini perlu adanya lembaga sosial yang menyediakan dana yang bersifat non-profit. Jika kepada orang yang terakhir ini dibebankan bunga, maka kemungkinan adanya unsur “pemerasan” yang menjadi illat haramnya riba, menjadi lebih besar. Karena itu, pembebanan tambahan atas pokok pinjaman menjadi riba, sebagaimana yang dikehendaki al-Qur’an.

Terjadinya riba (yang sekarang sering lebih dikenal dengan istilah bunga bank) merupakan kenyataan “normatif tekstual” yang dinyatakan jelas dalam al-Qur'an.2 Demikian pula didukung oleh kenyataan “historis” yang menunjukkan bahwa bunga bank telah berkembang di tengah-tengah masyarakat sebelum datangnya Islam. Kemudian Islam dengan ajarannya tentang riba bermaksud mengatur melalui cara melaksanakan sistem bagi hasil dalam mejalankkan segala transaksi perekonomian.

Dalam dataran pemikiran tersebut baik NU maupun Muhammadiyah sepakat bahwa riba hukumnya adalah haram karena nash tentang itu sudah jelas, tetapi kedua organisasi tersebut masih berbeda pendapat di dalam melihat hukum bunga bank karena pada dasarnya nas al-Qur’an dan al-Hadits yang tegas tentang pelarangan bunga bank tidak ada.

Maka untuk menganalisis lebih jauh dari pernyataan NU dan Muhammadiyah tentang bunga bank, sebelumnya perlu dikemukan terlebih dahulu tentang keharaman riba dalam al-Qur’an secara berangsur-angsur (tadriji) yang biasa berlaku dalam proses penetapan hukum, yaitu:

المضعفون - هم فاولئك الله وجه تريدون زكوة من اتيتم وما عندالله يربوا فال الناس اموال في ليربوا ربا من اتيتم .وما

3

اليما - عدابا منهم للكافرين واعتدنا باالباطل الناس اموال واكلهم عنه وقدنهوا الربوا 4 .واخدهم

1 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, cet. I (Jakarta: Logos Publishing House, 1995 ), hlm. 128.

2 Ali-Imran (3): 130. dan al-Baqarah (2): 278-279

3 3 ِِِِِِِِِAr-Rum (30): 39.

4 An-Nisa’ (4): 161.

Page 94: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

تاكلوا - ال امنوا لعلكم يايهاالدين الله واتقوا مضعفة اضعافا .5 تقلحون الربوا

مؤمنين - كنتم ان الربوا من مابقي ودروا الله اتقوا امنوا الدين وان .ياايها ورسوله الله من بحرب فادنوا تفعلوا لم فان

التظلمون اموالكم رءوس فلكم 6 والتظلمون تبتم

Dari ayat-ayat di atas, walaupun minimal ada empat tahapan dalam pengaharaman riba, tetapi yang relevan untuk pembahasan ini adalah paling tidak pada tahap ayat ketiga dan keempat, karena dalam memahami dua ayat tersebut masih menjadi perdebatan panjang oleh para ulama. Maka tulisan ini hanya menekankan pada kedua ayat tersebut.7

Dengan memperhatikan ayat ketiga dan kempat di atas, terlihat dengan jelas tentang pengharaman riba, namun masih bersifat parsial (juz’i), karena belum bersifat menyeluruh (kulli), yaitu pada surat Ali Imran ayat 130. sebab pengaharaman tersebut baru pada katagori riba yang berlipat ganda (ad’afan muda’afah) dan sangat memberatkan bagi peminjam. Sedangkan sebab turunnya (asbab an-Nuzul) ayat tersebut, menurut satu riwayat dari ‘Ata’ disebutkan bahwa, kaum Saqif biasa meminjamkan uang kepada keluarganya Mugirah, pada waktu jatuh tempo mereka berjanji akan membayar lebih di kemudian hari apabila diberi tenggang waktu. Dengan lain perkataan, jikalau tidak bisa membayar pada waktu pembayaran, disuruh untuk menunda dengan syarat menambahkan jumlah dikarenakan penundaan waktu pembayaran, baik berupa mata uang maupun benda (barter). Keadaan ini disebabkan oleh faktor ketidakmampuan membayar pinjaman. Tegasnya, tambahan itu dikenakan berdasarkan perjanjian pada waktu transaksi utang piutang itu berlangsung. Itulah yang dimaksud riba nasi’ah dalam literatur fiqh.8

Sejalan dengan dengan ayat di atas, di dalam melihat kata-kata ad’afan muda’afah (berlipat ganda). Persoalannya adalah apakah kata ad’afan muda’afah dalam ayat tersebut dianggap sebagai kriteria (syarat) dalam pelarangan riba atau untuk menerangkan kondisi obyektif dan sekaligus mengecam terhadap perbuatan atau praktek riba. Oleh karenanya dalam menyikapi hal ini menurut Fuad Zein, diperlukan ihwal analisis hukum bunga bank, dengan berpijak kepada kerangka penalaran bayani dan ta’lili untuk menelusuri karakteristik riba yang disebutkan dalam al-Qur’an.9

1. Penalaran Bayani.

Dalam al-Qur’an surat Ali Imran: 130, riba diberi sifat “berlipat ganda”. Tidak demikian dengan yang tersurat di dalam surat al-Baqarah: 278. dalam ayat ini disebutkan bahwa setiap pengambilan yang melebihi jumlah pokok modal disebut riba. Ada kesan paradok antara dua ayat dari surat di atas. Sehingga ada ulama yang mengatakan, riba yang terlarang adalah yang mempunyai unsur berlipat ganda (ad’afan muda’afah). Ada pula yang tidak membatasi riba harus berlipat ganda, seperti pendapat fuqaha pada umumnya.

Dalam akhir surat al-Baqarah: 278, yang artinya “..…kamu tidak berbuat zalim, dan tidak pula menjadi korbannya”. Jika ini dijadikan tolak ukur riba, maka jalan tengah dapat ditemukan, yaitu betapapun kecilnya tambahan itu apabila menimbulkan kesengsaraan (zulm) maka termasuk riba. Hanya saja, karena di masa Rasulullah riba selalu mengambil bentuk ad’afan muda’afah, tidak dalam bentuk lain. Dengan demikian, ad’afan muda’afah relevan dengan ketidakadilan.10

5 Ali Imran (3): 130.

6 Al-Baqarah (2): 278-279.

7 Uraian tentang penjelasan ayat tersebut di atas, baca Abu Zahra, Buhus fi ar-Riba, (ttp: Dar al-Buhus al-Ilmiyyah, 1970), hlm 25-30.

8 Riba nasi’ah juga disebut riba duyun—yakni riba yang timbul akibat utang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al-Gummu bi al-Gummi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al-Kharaj bi ad-Damam). Transaksi semacam ini karena mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban hanya karena berjalannya waktu. Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi dan Ilustrasi, cet. I (Yogyakarta: Ekonsia, 2003), hlm. 6

9 Fuad Zein, “Aplikasi Ushul Fiqh Dalam Mengkaji Keuangan Kontemporer”, dalam Ainur Rafiq (ed.), Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, cet. I (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002), hlm. 175.

10 Ibid., hlm. 176.

Page 95: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Lebih lanjut Fuad Zein mengungkapkan, perlu dijadikan pertimbangan, bahwa di masa Rasulullah tidak ada inflasi, karena mata uang yang berlaku adalah emas dan perak (dinar dan dirham). Karenanya, pengembalian hutang sebesar jumlah pinjaman menggambarkan keadilan. Dalam suatu kurun waktu di mana inflasi melanda mata uang tertentu, maka pengembalian suatu hutang sebesar jumlah pinjaman tidak mengambarkan keadilan. Sebaliknya menimbulkan kerugian sepihak. Kalau statemen la tazlimun wa la tuzlamun (al-Baqarah: 278) maka kembalian hutang sebesar pinjaman berikut bunga yang proporsional dengan besarnya inflasi akan menjamin keadilan daripada tanpa tambahan. Kalau demikian, maka pemahaman lebih adil tentang pokok modal masa sekarang untuk kasus Indonesia, adalah modal yang dihitung berdasarkan nilai kurs, bukan berdasarkana nilai nominal. Dengan cara ini maka pihak pemberi pinjaman maupun yang meminjam tidak dirugikan.

2. Penalaran Ta’lili.

Berdasarkan dan merujuk pada pengertian riba pada pembahasan sebelumnya, di mana riba didefinisikan dengan kata-kata ziyadah, yakni “tambahan yang diperjanjikan atas besarnya pinjamaan ketika pelunasan hutang…”. Jadi tekanannya adalah pada “ziyadah” sebagai ciri pokok riba.

Riba dapat juga didefinisikan dengan “tambahan atas besarnya

pinjaman ketika pelunasan hutang yang mendatangkan kesengsaraan pihak

peminjam.” Di sini titik tekanannya ada pada “kesengsaraan atau zulm”,

bukan “tambahan”. “Tambahan” sebagai an-nau’ atau spicies, sedangkan

“kesengsaraan” sebagai al-jins atau genus atau ‘illat. Sama halnya dengan

ungkapan “khamr adalah minuman yang memabukkan,” maka khamr adalah

sesuatu yang didefinisikan, minuman sebagai an-nau’ atau spicies, dan

memabukkan sebagai al-jins atau genus atau ‘illat., ungkap Fuad Zein.

Dengan demikian, bahwa esensi riba adalah “tambahan” dan ada

juga yang mengatakan esensinya adalah zulm. jika kembali pada pangkal

persoalan larangan riba, maka “tambahan” tidak memiliki makna apa-apa.

Sebaliknya, ketidakadilan adalah hal yang bertentangan dengan tujuan

penetapan prinsip ekonomi Islam. Karenanya, ‘illat pelarangan riba

seharusnya adalah zulm bukan “tambahan”. 11

Orang yang berpandangan pada teks tentu akan menyatakan bahwa kata ad’afan muda’afah tersebut merupakan syarat keharaman riba, di antara tokoh yang berpandangan seperti itu adalah Rasyid Rida. Di dalam makalahnya “Hukum Bunga Konvensional”12 Anwar Abbas menjelaskan tiga alasan yang dikemukan Rida untuk

11 Ibid., hlm. 177.

12 Anwar Abbas “Hukum Bunga Bank Konvensional”, makalah disampaikan pada diskusi Majlis Tarjih tentang Bunga Bank, diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah, Jakarta, 22 Desember 2003, hlm 1-2.

Page 96: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

membuktikan bahwa kata riba yang termaktub dalam surat al-Baqarah adalah riba yang merujuk kepada riba yang berbentuk ad’afan muda’afah.

Pertama, kaidah kebahasaan, yaitu kaidah pengulangan kosakata yang berbentuk makrifah—di mana apabila ada suatu kosakata berbentuk makrifah berulang, maka pengertian kosakata kedua (yang diulang) sama dengan kosakata yang pertama. Kata riba pada Ali-Imran ayat 130 dalam bentuk makrifah demikian halnya dalam al-Baqarah 287, sehingga hal ini berarti bahwa riba yang dimaksud pada ayat tahapan terakhir sama dengan riba yang dimaksud pada ayat pada tahapan kedua yaitu berbentuk ad’afan muda’afah.

Kedua, kaidah memahami ayat yang tidak bersyarat berdasarkan ayat yang sama tetapi bersyarat. Penerapan kaidah ini pada ayat-ayat riba adalah memahami arti riba pada ayat al-Baqarah yang tidak bersyarat itu berdasarkan kata riba yang bersyarat ad’afan muda’afah pada ayat Ali- Imran. Sehingga yang dimaksud dengan riba pada ayat tahapan terakhir adalah riba yang berlipat ganda.

Ketiga, diamati oleh Rasyid Rida bahwa pembicaraan al-Qur’an tentang riba selalu digandengkan atau dihadapkan dengan pembicaraan tentang sedekah, dan riba dinamainya sebagai “zulm” (penganiayaan atau penderitaan). Jadi dengan demikian riba yang diharamkan itu adalah riba yang ad’afan muda’afah (yang berlipat ganda), sedangkan riba yang kecil seperti 8 % atau 10 %, tidak termasuk riba yang diharamkan atau dilarang al-Qur’an.

Pendapat Rasyid Rida ini masih menimbulkan sebuah pertanyaan.

Apakah hal ini berarti bahwa bila penambahan atau kelebihan itu tidak bersifat

“berlipat ganda” menjadi tidak diharamkan oleh al-Quran? Jawaban untuk

pertanyaan tersebut, menurut Quraish Syihab adalah terdapat pada kata kunci

berikutnya, yaitu fa lakum ru’usu amwalikum (bagimu modal-modal kamu)

(QS 2: 279). Dalam arti bahwa yang berhak mereka peroleh kembali hanyalah

modal-modal mereka. Jika demikian, setiap penambahan atau kelebihan dari

modal tersebut yang dipungut dalam kondisi yang sama dengan apa yang terjadi

pada masa turunnya ayat-ayat riba ini tidak dapat dibenarkan. Dan dengan

demikian kata kunci ini menetapkan bahwa segala bentuk penambahan atau

kelebihan baik berlipat ganda atau tidak dalam sebuah transaksi, telah

diharamkan oleh al-Quran dengan turunnya ayat tersebut. Dan ini berarti bahwa

kata ad’afan muda’afah bukan syarat tetapi sekadar penjelasan tentang riba

yang sudah lumrah mereka praktekkan.13

Sehingga di sini menjadikan persoalan, di mana kata ad’afan muda’afah

tidak penting lagi, karena apakah ia syarat atau bukan, apakah yang dimaksud

13 M. Quraish Syihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, cet. XXVI (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 266.

Page 97: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

dengannya pelipatgandaan atau bukan, pada akhirnya yang diharamkan adalah

segala bentuk kelebihan. Namun perlu digarisbawahi bahwa kelebihan yang

dimaksud adalah dalam kondisi yang sama seperti yang terjadi pada masa

turunnya al-Quran dan yang diisyaratkan oleh penutup ayat pada al-Baqarah

279 tersebut, yaitu la tazlimuna wa la tuzlamun (kamu tidak menganiaya dan

tidak pula dianiaya).

Penjelesan yang diperoleh dari riwayat-riwayat tentang praktek riba

pada masa turunnya al-Quran, sebagaimana telah dikemukakan di atas,

menunjukkan bahwa praktek tersebut mengandung penganiayaan dan

penindasan terhadap orang-orang yang membutuhkan dan yang seharusnya

mendapat uluran tangan. penjelasan tersebut dikonfirmasikan oleh ayat al-

Baqarah 279 di atas, sebagaimana ia sebelumnya diperkuat dengan

diperhadapkannya uraian tentang riba dan sedekah, seperti dikemukakan

Rasyid Rida, yang menunjukkan bahwa kebutukan si peminjam sedemikian

mendesaknya dan keadaannya sedemikian parah, sehingga sewajarnya ia

diberi bantuan sedekah, bukan pinjaman, atau paling tidak diberi punjaman

tanpa meniadakan sedekah. Kemudian pada ayat 280 ditegaskan bahwa,

“Dan jika orang yang berhutang tidak mampu membayar pada waktu yang

ditetapkan, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan”.

Ayat-ayat di atas lebih memperkuat penjelasan bahwa kelebihan yang

dipungut, apalagi bila berbentuk pelipatgandaan, merupakan penganiayaan

terhadap si peminjam.14

Sejalan dengan pendapat di atas, ketika membahas ad’afan muda’afah, yang merupakan bantahan terhadap orang yang berpendapat bahwa riba yang diharamkan hanya riba yang berlipat ganda, Ali as-Sabuni mengatakan: Pertama, lafad tersebut bukanlah qayyid dan syarat. Tujuan dari ungkapan ini hanya menerangkan tentang praktek yang dilakukan orang-orang Jahiliyah Arab pra-Islam. Kedua, kaum muslimin telah sepakat tentang pengharaman riba baik sedikit maupun banyak. Pengharaman riba sedikit karena mendorong banyaknya. as-Sabuni beralasan, Islam ketika mengharamkan seluruhnya (kulli) sebab kaidah sadd az-zari’ah. Dan kebolehan yang sedikit niscaya akan menarik kepada yang banyak. Untuk menguatkan pendapatnya, al-Sabuni menulis ayat-ayat yang melarang riba sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Baqarah dan Ali Imran. Demikian juga dengan hadis:

14 Ibid., hlm. 267

Page 98: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

وشاهد وكاتبه وموكله الربا اكل وسلم عليه الله صلي رسولوالله .15 يه لعنJika dikaitkan dengan istilah ushul fiqh, maka menyikapi kata ad’afan

muda’afah, tidak bisa dijadikan mafhum al-Mukhalafah. Artinya, jika rente

(bunga bank) tidak berlipat ganda boleh dipungut, sebab batasan qayyid dalam

nas tersebut hanya untuk membatasi hukum. Jika qayyid mempunyai tujuan lain,

seperti untuk dorongan (targib), memberikan peringatan (tarhib), atau agar

orang menjahuinya (tanfir), maka tidak dapat ditarik mafhum al-mukhalafah.

Oleh karenanya dalam mensifati ad’afan muda’afah dalam ayat tersebut semata-mata agar orang-orang mukmin menjahuinya (tanfir), karena yang dimaksud riba adalah menambah pada setiap tahun (waktu).16 Dan dalil yang menunjukkan bahwa sifat tersebut hanya agar dijauhi (tanfir) adalah firman Allah:

التظلمون اموالكم رءوس فلكم تبتم 17 والتظلمون وان

Setelah memeperhatikan penafsiran-penafsiran ayat di atas, dapat dikatakan bahwa riba yang dilarang Allah dalam ayat-ayat tersebut adalah masih umum sifatnya, tidak membedakan sedikit atau banyak, produktif atau konsumtif. Dan jenis riba ini adalah riba yang telah dipraktekkan dalam sistem perekonomian masyarakat jahiliyah Arab pra-Islam. Dengan demikian, jelas bahwa pada masa jahiliyah apabila terjadi akad perdagangan yang dikenakan bunga terhadap debitur oleh si kreditur tetap diharamkan.

Selanjutnya, untuk mengetahui bahwa bunga bank termasuk riba yang telah ditetapkan hukum keharamannya, perlu dikaji lebih dalam mengenai “kriteria” mengapa bunga bank tersebut diharamkan oleh NU, terutama yang berakaitan dengan para debitur yang ingin mengembangkan usahanya dengan menggunakan jasa perbankan, sehingga umat Islam (umumnya) dalam kehidupan dapat berusaha menghindarkan diri dari bermuamalah dengan perkara yang dilarang oleh ajaran Islam. Sebagaimana diketauhi bahwa bank merupakan lembaga keuangan yang fungsi utamanya adalah menerima dan menyalurkan dana.18

Pemberian kredit oleh pihak bank kepada nasabah dengan mempersyaratkan bunga tertentu dalam persentase pinjamannya. Bahkan apabila nasabah tidak bisa melunasi kreditnya pada waktu yang telah ditentukan oleh pihak bank (kreditur) maka pinjaman itu bisa menjadi berlipat ganda. Dan jika nasabah dibebankan bunga, maka kemungkinan adanya unsur “penambahan atas jumlah pinjaman dengan tenggang waktu” menjadi lebih besar. Karena itu, pembebanan tambahan atas pokok pinjaman menjadi riba, sebagaimana yang dikehendaki al-Qur’an.19

Sebaliknya, tambahan tanpa risiko tidak dapat dikatagorikan dalam riba, karena Nabi SAW. pernah malakukannya. Kemudian, bagaimana apabila hal itu dihubungkan dengan pemberian bunga oleh pihak bank atas simpanan para nasabah dan diberikannya dalam prosentasi oleh pihak bank sendiri untuk kepentingan para nasabahnya, sepenjang para nasabah tidak mempersyaratkan tambahan bunga kepada bank, karena bank sebagai debitur memberikan bunga atas kehendaknya sendiri.

Sehubungan dengan itu, walaupun NU tidak menjelaskan secara detail tentang hal di atas, NU menyatakan bahwa menitipkan uang di bank dengan alasan demi keamanan dan meyakinkan bahwa uangnya tidak digunakan untuk larangan agama adalah makruh.20 Inipun apabila seorang nasabah yang tidak ingin menarik bunga. Pernyataan NU ini tidak disertai dengan ungkapan yang jelas, yaitu pada kalimat “larangan agama”. Tampaknya batasan “larangan agama”

15 Tentang hadis di atas, lihat Muslim, Sahih Muslim, “Bab La’ana Akali ar-Riba wa Muawakkalah”. (Bandung: al-Ma’arif, t.t.), I: 697. Hadis sahih riwayat Muslim dari Jabir.

16 Abu Zahrah, ‘Ilm Usul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.), hlm. 151-152.

17 Al-Baqarah (2): 27918 Muhammad Najetullah, Bank Islam, alih bahasa Asep Hikmat Suhendi (Bandung:

Penerbit Pustaka, 1984), hlm. 58. Atau Bambang Sugono, Pengantar Hukum Perbankan (Bandung: Mandar Maju, 1996), hlm. 11-16.

19 Al-Baqarah (2): 278-27920 Abu Hamdan Abdu al-Jalil Hamid, Ahkam al-Fuqaha’ fi al-Muqarrarat Mu’tamarat

Nahdatu al-Ulama’, (Semarang: Toha Putra, t.t.), II: 71.

Page 99: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

yang dimaksud adalah meliputi larangan bagi pihak bank untuk menyalurkan uang kepada debitur yang memakai jasa bank dengan tambahan pinjaman atau pihak bank sebagai kreditur meminjamkan dana kepada perseorangan (bunga konsumtif). jadi, apabila bank tempat para nasabah menyimpan uang, memakainya untuk larangan agama, NU tetap mengharamkan praktek bunga bank tersebut.

NU nampaknya sependapat dengan Yusuf al-Qardawi. Dia meyatakan bahwa bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah riba yang diharamkan. Artinya, apa yang diambil seseorang tanpa melalui usaha perdagangan dan tanpa bersusah payah sebagai tambahan pokok hartanya, maka yang demikian itu termasuk riba. Hal ini juga berimplementasi dengan ibadah mahdahnya, yaitu tidak boleh memberikan zakat atau bersedekah dengan hasil bunga bank tersebut. al-Qardawi kemudian menguatkan pendapatnya, bahwa segala sesuatu yang haram, tidak boleh dimiliki dan wajib disedekahkan sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama muhaqqiq, sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa uang itu tidak boleh diambil meskipun untuk disedekahkan, ia harus membiarkannya atau membuangnya. Akan tetapi, hal ini juga betentangan denga kaidah syar’iyah yang melarang menyia-nyiakan harta dan tidak memanfaatkannya.21

Lebih lanjut NU mengungkapkan, bahwa pengambilan bunga bank oleh nasabah yang menyimpan uangnya di bank adalah haram. Tetapi NU lebih tegas dalam menetapkan hukumnya yaitu apabila pihak bank menggunakannya untuk perbuatan yang telah dilarang agama.

Sementara Muhammadiyah agaknya masih ragu terhadap ada atau tidak adanya ‘illat riba pada bank milik negara, hal ini terlihat dengan penetapan, bahwa hukum bunga bank milik negara adalah musytabihat. Alasan mengatakan musytabihat, adalah karena ada dua kecenderungan yaitu halal atau haram,22 di samping juga karena dalam bank itu tidak dibedakan antara orang yang meminjam uang untuk konsumsi dan meminjam untuk diproduksikan. Maka hal ini harus dihindari, kecuali dalam keadaan darurat (terpaksa). Tampaknya keputusan Muhammadiyah ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank boleh karena darurat, seperti pendapat Mustafa az-Zarqani, yang mengatakan bahwa bank merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindarkan. Karenanya umat Islam boleh bermu’amalah dengan bank atas pertimbangan darurat.23 Lebih lanjut, Muhammadiyah menyatakan, bahwa riba yang diharmakan oleh agama adalah sifat pembungaan yang selalu disertai unsur penyalahgunaan kesempatan dan penindasan. Sedang yang berlaku dewasa ini sama sekali tidak menimbulkan rasa penindasan atau kekecewaan oleh siapapun yang berkepentingan.24

Akan tetapi, jika Muahmmadiyah berkeyakinan bahwa ‘illat haramnya riba adalah pemerasan (zulm), maka Muhammadiyah dapat menetapkan hukumnya yang tegas, apakah hukumnya bunga bank negara itu haram atau halal. Dengan kata lain, apabila ‘illat itu ada, maka dapat dinyatakan bahwa bunga adalah haram, dan apabila tidak ada ‘illat maka bunga bank dapat dinyatakan halal.25 Alasan yang mendasari Muhammadiyah masih ragu untuk menetapkan kehalalan bunga bank negara adalah karena adanya pendapat anggota panitia perumus hasil mu’tamar tarjih yang menyatakan, bahwa dalam masyarakat terdapat praktek pembungaan uang yang berlaku pada salah satu bank swasta di Indonesia.—Seseorang yang akan menitipkan sejumlah uang pada bank tersebut untuk memperoleh bunga tiap bulannya sebanyak 10 %, suatu pembungaan yang tidak kecil.—Kemudian bank itu pada gilirannya memberikan pinjaman kepada pedagang dengan menarik bunga sebesar 15 %.26

Gambaran dalam keadaan ekonomi seperti di Indonesia dewasa ini, besar sekali adanya kemungkinan si pedagang meminjamkan lagi uang pinjaman itu kepada pihak keempat untuk mendapatkan keuntungan bunga lagi. Sebenarnya, kalau praktek bank itu ada, maka tindakan itu telah menyalahi ketentuan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI), sebagai bank sentral. Dalam ketentuan itu disebutkkan, bahwa suku bunga maksimal pada saat Majlis Tarjih bermu’tamar adalah 18 % per-tahunnya. Jadi tindakan tersebut merupakan penyimpangan dari peraturan yang berlaku. Sekiranya itu merupakan penyimpangan yang dilakukan oleh sebagian bank swasta, maka kurang bijaksana kalau Muhammadiyah menetapkan hukum haram terhadap bunga bank milik swasta secara keseluruhan, apalagi terhadap bunga bank milik negara.27

21 Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa Kontenporer, alih bahasa As’ad Yasin (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 765-766

22 Urain selengkapnya dapat dilihat dalam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta: Persatuan, t.t), hlm 304-305. Lihat juga Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad, hlm.129.

23 A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri (Yogayakarta: LKPSM: 1994), hlm. 71.

24 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan, hlm. 305.2

25 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad, hlm. 129.

26 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan, hlm. 305.

27 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad, hlm. 130.

Page 100: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Asumsi yang menguatkan bahwa Muhammadiyah, pada dasarnya

cenderung kepada halalnya bunga bank milik negara, dikuatkan oleh

pengamatan Kasman Singodimedjo (wakil ketua-III PP. Muhammadiyah

periode 1971-1974) terhadap putusan Majlis Tarjih tentang bunga bank itu.

Menurut pengamatannya, Muhammadiyah sebenarnya sudah membenarkan

praktek bank konvensional (yang memakai sistem bunga). Argumentasi yang

dimajukannya adalah bahwa penjelasan Majlis Tarjih Muhammadiyah tentang

bunga bank disebutkan: “kecuali apabila ada suatu kepentingan masyarakat atau

kepentingan pribadi yang sesuai dengan maksud-maksud dari pada tujuan

agama Islam pada umumnya, maka tidak ada halangan perkara musytabihat

tersebut dikerjakan sekedar sesuai dengan kepentingan itu”.28 Pertanyaan yang

diajukan oleh Kasman Singodimedjo adalah, apakah ketika putusan itu diambil

telah terdapat kepentingan-kepentingan seperti yang disebutkan di atas?

Ternyata, jawabannya telah terdapat dalam konsideran dan penjelasan dari

putusan tersebut. Di antara konsideran dan penjelasan yang menjawab persoalan

tersebut adalah:29

1. Konsideran “mengingat” no.2: “bahwa fungsi bunga bank dalam

perekonomian modern sekarang ini bukan hanya menjadi sumber

penghasilan bagi bank, melainkan juga berfungsi sebagai alat politik

perekonomian negara untuk kesejahteraan umat (stabilitasi ekonomi)”.

28 Ibid., hlm. 131

29 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan, hlm. 304-305.

Page 101: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

2. Konsideran “menimbang” no.3: “bahwa hasil keuntungan bank-bank milik

negara pada akhirnya akan kembali untuk kemaslahatan umat”.

3. Konsideran “menyadari” no.3: “bunga adalah sendi dari sistem perbankan

yang berlaku selama ini”.

4. Konsideran “menyadari” no.1: “bahwa bank dalam sistim ekonomi

pertukaran adalah mempunyai fungsi yang vital bagi perekonomian pada

masa sekarang”.

5. Konsideran “menyadari” no.4: ‘bahwa umat Islam sebagai umat pada

dewasa ini tidak dapat melepaskan diri daripada pengaruh perbankan yang

lansung atau tidak langsung mengenai perekonomian umat Islam”.

6. Konsideran “mengingat” no.3: “bahwa adanya undang-undang yang

mengatur besar kecilnya bunga adalah untuk mencegah terjadinya

penghisapan pihak yang kuat terhadap yang lemah, disamping untuk

melindungi berlangsungnya kehidupan bank itu sendiri”.

7. penjelasan dari mu’tamar tarjih sendiri: “bank negara dianggap badan yang

mencakup hampir semua kebaikan dalam alam perekonomian modern dan

dipandang memiliki norma yang menguntungkan masyarakat dibidang

kemakmuran. Bunga yang dipungut dalam sistim perkreditan adalah sangat

rendah sehingga sama sekali tidak ada pihak yang dikecewakan”.

8. Penjelasan dari mu’tamar tarjih sendiri: “…tetapi terang diinsafi bahwa segi

positif daripada bank perkreditan sangat besar bagi dunia perekonomian”.

Page 102: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

9. Penjelasan dari mu’tamar tarjih sendiri: “…sedang (pembangunan) yang

berlaku selama ini sama sekali tidak menimbulkan rasa penindasan atau

kekecewaan oleh siapapun yang bersangkutan”.

B. Metode Pemahaman Dalil (Istinbat)

Untuk memutuskan atau menetapkan suatu hukum, ulama tentunya memiliki metode pemahaman dalil (istinbat). Karena penetapan hukum tidak dilakukan secara gegabah (kurang hati-hati), hanya orang-orang tertentu yang dapat melakukan dan dianggap telah memenuhi kapasitas berijtihad (memiliki ilmu-ilmu yang kompeten).

Secara umum, ijtihad dapat dikatakan sebagai suatu upaya berfikir secara optimal dalam menggali hukum Islam dari sumbernya untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat. 30

Antara upaya ijtihad di satu pihak dan tuntutan perubahan sosial di pihak lain terdapat suatu interaksi. Ijtihad, baik langsung atau tidak dipengaruhi oleh perubahan-perubahan sosial, sedangkan disadari bahwa perubahan-perubahan sosial itu harus diberi arah oleh hukum sehingga dapat mewujudkan kebutuhan dan kemaslahatan umat manusia.

Ijtihad dalam kehidupan manusia merupakan kebutuhan yang bersifat kontinuitas di mana realitas kehidupan ini senantiasa berubah, begitupun situasi masyarakatnya yang senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan. Ijtihad yang benar tentunya yang dapat menjelaskan kehendak agama (maqasid at-tasyri’) dengan kebutuhan masyarakat, dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum Islam sebagai produk ijtihad hendaknya mampu mengelaborasikan nilai-nilai dan aturan normatif yang telah mentradisi dalam sebuah tatanan suci (syari’ah) yang telah menjadi landasan hidup beragama. Hal ini sesuai dengan penerapan sosial hukum, bahwa suatu hukum hendaknya dapat memainkan peranan ganda yang sama-sama penting. Pertama, hukum dapat dijadikan sebagai kontrol sosial terhadap perubahan-perubahan yang berlangsung dalam kehidupan manusia. Kedua, hukum dapat dijadikan sebagai alat rekayasa sosial dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat manusia, sebagai tujuan hakekat hukum itu sendiri.31

Masalah bunga bank pada hakekatnya tidak lepas dari dua hal yang mendasar, yakni peraturan syar’i dan kondisi masyarakat (sosio kultural). Kemudian dari dua dasar tersebut kemudian menimbulkan berbagai interpretasi. Pandangan NU maupun Muhammadiyah sebenarnya bermuara pada nas yang sama mengenai riba, yaitu Q.S.: Ali Imran 130 dan al-Baqarah: 278-279.

Persoalan riba tidak akan terlepas dari masalah teori pembungaan uang. Identifikasi ini juga telah begitu kuat di masyarakat. Sepertinya telah menjadi kehendak sejarah, bahwa bunga (interest) dalam institusi keuangan dewasa ini menjadi instrumen yang sangat urgen di hampir sistem ekonomi dunia. Bunga (interest) telah diterima sebagai suatu kewajaran dan dianggap sebagai salah satu ciri perekonomian modern. Bahkan bunga telah menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk dinikmati dan dimanfaatkan dalam proses perputaran keungan dan kegiatan bisnis. Dalam pada itu bank dan institusi keuangan lainnya (lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan IDB) sebagai lembaga perantara antara sektor riil dan moneter telah mendesain sedemikian rupa untuk menjadikan bunga supaya bisa merangsang terlaksananya tabungan dan kredit (baik konsumtif maupun produktif).32

Betapapun kredit dari bank itu dimaksudkan untuk usaha yang bersifat produktif, sehingga uang yang dipinjamkan akan menghasilkan keuntungan kepada debitur, seharusnya perlu ditinjau kembali. Karena adakah jaminan bahwa pinjaman selamanya akan mendapat keuntungan dari usahanya (perusahaan)?. Sedangkan bunga akan terus dikenakan selama masih ada simpanan atau pinjaman, tidak terbatas jangka waktunya dan pihak bank tidak melihat, apakah peminjam mendapat keuntungan atau malah rugi dari pinjaman tersebut. Dengan sistem bunga, kelihatan pihak pemberi pinjaman (kreditur) membiarkan wiraswastawan menanggung risiko ketidakpastian itu sendirian, yang sebenarnya adalah resiko kedua belah pihak. Keadaan semacam ini yang menggambarkan ketidakadilan.

Dalam masalah ini, NU berpendapat bahwa pihak debitur yang bertransaksi dengan bank harus bertanggung jawab penuh atas uang yang dipinjamnya dan bunganya ditentukan atas dasar untung rugi atau besar kecilnya keuntungan dari hasil usahanya. Maka transaksi tersebut termasuk aqad qard dan dengan sendirinya bunga bank yang terikat aturan, haram hukumnya, karena termasuk riba qard. NU memandang, bahwa setiap pinjaman kredit yang

30 Lihat Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Usul Fiqh (Kairo: Dar al-Kuwaitiyyah, 1968), hlm. 216.

31 Soerjono Soekamto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: Rajawali Press, 1980), hlm. 115-116.

32 Abd. Salam Arief, “Bank Islam: Suatu Alternatif Pemberdayaan Ekonomi Umat”, dalam, Asy-Syir’ah, No. 7. TH. 2000, (Yogyakarta: Fak. Syari’ah Press, 2000), hlm. 63-64.

Page 103: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

menarik manfaat yang diberikan oleh debitur yang dipersyaratkan oleh kreditur, bukan merupakan kebaikan hati dari pihak debitur. Karena hal ini juga bertentangan dengan firman Allah:

التظلمون اموالكم رءوس 33 والتظلمون فلكم

Ikhtiar dari permasalahan itu tidak terlepas dari praktek riba dalam pemikiran hukum, bukan pada ayat-ayat mengenai keharaman riba itu sendiri, melainkan pada benda-benda yang boleh atau tidak tatkala dilakukan secara riba. Dan hal ini bermula dari tidak adanya permasalahan yang muncul menyangkut pemahaman masalah riba nasi’ah di kalangan para ulama dalam kurun waktu yang lama, sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh kaum jahiliyah pra-Islam. Sebuah hadis yang bisa diambil sebagai dasar para ulama untuk riba adalah:

ص النبى قال الصامت بن عبادة والملح .م.عن بالتمر والتمر بالشعير والشعير باالبر والبر بالفضة والفضة بالدهب الدهببيد يدا كان ادا شئتم كيف فبيعوا االصناف هده احتلفت فادا بيد يدا بسواء سواء بمثل مثال 34 .بالملح

Rumusan yang digunakan para ulama terhadap ketidakbolehan terjadi riba nasi’ah pada kebutuhan jenis barang tersebut, bila dibandingkan dengan rumusan mufassirin tidak ada perbedaan, dan rumusan itu dapat dilihat bahwa riba nasi’ah mempunyai unsur:

1. Terjadi karena peminjaman dalam jangka waktu tertentu.

2. Pihak peminjam berkewajiban memberi tambahan kepada debitur untuk mengangsur atau melunasi,

sesuai dengan pinjaman,

3. Obyek peminjaman berupa benda ribawi.35

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan (khulasah), menurut metode pengambilan hukum yang dilakukan NU mengikuti prosedur pengambilan dengan cara ilhaq al-masail bi nazairiha. NU menjadikan riba qard sebagai mulhaq ‘alaihi, transaksi bank adalah mulhiq. Hukum mulhaq ‘alaihi adalah haram dan wajh al-‘ilhaqnya adalah timbangan atau takaran dan juga standar harga emas dan perak atau harga saja. Kecenderungan pernyatan NU ini agaknya memperlihatkan corak fiqh Syafi’I (Syafi’i oriented).

Atas dasar keterangan ini, maka NU mengambil hukum bunga bank diharamkan baik kecil atau besar, sedikit atau banyak. Keharaman yang berlipat ganda atau besar, hukumnya sama dengan ad’afan muda’afah (riba jahiliyyah), yakni haram li zatihi. Adapun bunga yang kecil atau sedikit termasuk riba khafi yang hukumnya haram karena untuk menutup riba yang besar haram li sadd az-zari’ah. Namun demikian, keharaman karena sadd az-zari’ah diperbolehkan karena adanya hajah maslahah.

Adapun Muhammadiyah dalam menetapkan bunga bank bermaksud

menggunakan qiyas sebagai metode penetapan hukumnya. Bagi

Muhammadiyah, ‘illat diharamkannya riba adalah adanya penghisapan atau

penganiayaan terhadap pihak peminjam. Konsekuwensinya, kalau ‘illat itu ada

pada bunga bank, maka bunga pada bank sama dengan riba dan hukumnya

haram. Sebaliknya, kalau ‘illat tidak ada pada bunga bank, maka bunga bank

bukan riba, karena itu tidak haram.36

33 Al-Baqarah (2): 279.

34 Muslim, Sahih Muslim, “Bab as-Sarf wa Bai’ az-Zahab bi al-Waraq Naqdan”. (Bandung: al-Ma’arif, t.t.), hlm, 692. Lihat juga al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Bulugu al-Maram (Surabaya: al-Hidayah, t.t.), I: 170.

35 Muhammad Zuhri, Riba dalam al-Qur’an dan Masalah Perbankan: Sebuah Tilikan Antisipatif, cet. I (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), hlm. 109.

36 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad, hlm. 125-126

Page 104: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Untuk memahami masalah ini secara utuh, berikut ini dijelaskan cara

kerja qiyas dalam menetapkan kasus bunga bank. ‘Asl dalam kasus ini adalah

riba yang terdapat dalam al-Quran. Far’u-nya adalah bunga bank. Hukmu al-

Asl-nya adalah bahwa riba itu hukumnya haram. ‘illat diharamkannya riba

adalah zulm atau penghisapan dan pemerasan terhadap peminjam. Menurut

Muhammadiyah, oleh karena riba itu telah terdapat pada bunga bank, maka

bunga bank sama dengan riba dan hukumnya haram. Tetapi kesimpulan ini

hanya berlaku untuk bank swasta. Adapun bunga bank pada bank-bank milik

negara, ‘illat-nya belum meyakinkan. Karena itu, menurut Muhammadiyah,

hukum bunga bank milik pemerintah adalah musytabihat, tidak haram dan tidak

pula halal secara mutlak.37

Telah dijelaskan bahwa illat adalah sifat tertentu yang dapat diketahui

secara objektif (zahir), dapat diketahui tolak ukurnya (mundabit), dan sesuai

dengan ketentuan hukum (munasib). ‘illat dapat diambil dari hikmah

ditetapkannya hukum. Hikmah baru dapat ditetapkan sebagai ‘illat kalau

terdapat mazhinnat atau indikator yang menunjukkan bahwa hikmah itu telah

ada pada kasus tersebut. Hubungannya dengan masalah riba, apakah sifat zulm

itu sudah dapat dikatakan ‘illat atau baru hikmah? Kalau sudah termasuk ‘illat

apakah indikator yang menunjukkan hal tersebut? Dengan memperhatikan

praktek riba pada masa ayat al-Quran ini diturunkan, dapat difahami bahwa

pemerasan merupakan hikmah diharamkannya riba. Hikmah ini dapat menjadi

‘illat setelah adanya mazhinnat, yaitu bahwa tambahan itu dipersyaratkan ketika

37 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan, hlm. 304-306.

Page 105: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

transaksi utang-piutang itu berlangsung. Oleh karena ‘Illat ini tidak secara

eksplisit disebutkan dalam al-Quran maupun al-Hadis, maka kedudukannya

termasuk ‘illat mustanbatah, dan bukan ‘illat mansusat. Karena itu, ketika

Muhammadiyah menyatakan bahwa’illat diharamkan riba adalah pemerasan

kreditur kepada debitur, tentu sudah melalui proses pencarian ‘illat, atau yang

dalam ushul fiqih dikenal sebagai masalik al-‘illat.38

Secara garis besar proses penemuan ‘illat dapat dilakukan melalui tiga

tahap. Tahap pertama adalah takhrij al-manat, yakni menginventarisasi

beberapa sifat yang dapat dijadikan ‘illat. Tahap kedua adalah tanqih al-manat,

yakni menyeleksi beberapa sifat yang telah diinventarisasi pada tahap pertama.

Sedangkan tahap ketiga adalah tahqiq al-manat, yakni membuktikan keefektifan

‘illat haramnya riba, apakah dapat diterapkan dalam kasus bunga bank atau

tidak.39

Berdasarkan cara kerja itu, pertama sekali dicari dan dihimpun beberapa

sifat yang dapat dijadikan ‘illat haramnya riba. Pada tahap ini diperoleh

informasi, bahwa sifat yang dapat dijadikan riba adalah pemerasan atau

penganiayaan (istiglal wa az-zulm), tambahan tanpa risiko (ziyadah al-Khaliyat

‘an al-‘Iwad) dan tambahan yang berlipat ganda (ziyadah al-Muda’afat). Tahap

berikutnya diadakan seleksi, mana di antara ketiga sifat itu yang dianggap

relevan. Dalam tahap ini dapat diketahui, bahwa sifat “tambahan tanpa resiko”

tidak dapat dijadikan ‘illat, karena ternyata nabi sendiri pernah memberikan 38 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad, hlm. 127.

39 Ibd.

Page 106: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

kelebihan pembayaran kepada kreditur. Begitu pula sifat “tambahan yang

berlipat ganda” semata-mata tidak dapat dijadikan ‘illat, karena Allah SWT

menyatakan “wa in tubtum falakum ru’usu amwalikum”. Dari sini tinggalah

sifat “pemerasan dan penganiayaan” yang dapat dijadikan ‘illat haramnya riba.

Sifat yang terakhir ini, di samping dapat dilihat dalam sabab an-Nuzul ayat

terakhir tentang riba, juga diisyaratkan oleh ungkapan al-Quran sendiri: “la

tazlimuna wa la tuzlamun”. 40

Melalui proses pencarian ‘illat seperti di atas dapat disimpulkan bahwa

pemerasan dan penganiayaan merupakan ‘illat diharamkannya riba. ‘illat di sini

masih perlu diteliti lagi, dalam kaitannya dengan penerapan kasus bunga bank,

karena sifat itu belum dapat diketahui tolak ukurnya (mundabit). Untuk itu

ditetapkan ketentuan bahwa unsur pemerasan itu telah dianggap ada manakala

ada “perjanjian pada awal transaksi utang piutang itu”. Persyaratan ini dianggap

sebagai mazinnat, yaitu pemerasan. Inilah yang dianut mayoritas oleh ahli ushul

fiqh.41

Pernyataan Muhammadiyah mengenai bunga bank seperti di atas tidak

lepas dari komitmennya untuk menggunakan tolak ukur kemaslahatan yang

menjadi tujuan utama diyariatkan hukum dalam Islam. Menurut pendapatnya,

bahwa kepentingan dan kebutuhan umat Islam tidak boleh diabaikan. Sebab

kalau kepentingan itu diabaikan, maka akan berakibat modal berada pada tangan

orang non-muslim. Pada gilirannya harta ummat Islam akan semakin menipis,

40 Ibid.

41 Ibid., hlm. 128.

Page 107: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

sementara harta orang-orang non-muslim akan semakin banyak jumlahnya.

Dalam kondisi demikian, kemungkinan terjadinya kemiskinan di kalangan umat

Islam akan semakin besar pula. Tidak mustahil hal ini akan membawa kepada

kekufuran. Jadi, menjaga stabilitas ekonomi umat Islam berarti menjaga

keutuhan agama yang dianut mereka. Menjaga harta dari kepunahan dan

menjaga agama merupakan aspek esensial (daruriyat).42

Dapat dikatakan, bahwa Muhammadiyah menggunakan qiyas sebagai metode penetapan hukum bunga bank. Hikmah dan ‘illat, yang menjadi faktor penentu dalam metode ini, difahami oleh organisasi ini sebagai satu istilah yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karena itu, Muhammadiyah mengalami kesulitan untuk memutuskan kasus bunga bank ini. Lebih jauh dari itu, organisasi ini juga menggunakan istihsan bi ad-darurat sebagai metode penetapan hukum bunga bank. Namun metode ini juga tidak sepenuhnya ditetapkan. Baginya, meskipun berdasarkan qiyas jali ternyata bunga bank itu sama dengan riba, tapi demi kepentingan umat Islam, maka hukum haram riba tidak dapat diterapkan sepenuhnya pada kasus bunga bank.43

BAB. V

P E N U T U P

A. Kesimpulan.

1. Bahwa dalam merespon tentang masalah bunga bank, NU telah melakukan

ijtihad (jama’i) ketika menghadapai persoalan fiqh kontemporer, khususnya

persoalan bunga bank, akan tetapi juga tidak meninggalkan cara-cara lama.

Yaitu bermazhab secara qauli, dengan hanya mengambil pendapat ulama

(Syafi’iyah) secara sporadis dan apa adanya. Ijtihad bagi NU hanya

dilakukan jika “benar-benar” persoalan hukum Islam yang dihadapi tidak

ditemukan dalam kitab-kitab mu’tabar. Dan paling jauh menerapkan metode

ijtihad yang telah dibangun oleh ulama terdahulu, karena sebagai cermin

sikap tawaddu’ NU kepada mereka. Lebih lanjut, dalam hal ini (masalah

42 Ibid., hlm. 132

43 Ibid., hlm. 133.

Page 108: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

bunga bank) NU memandang bahwa hukum tentang bunga bank adalah

sebagaimana yang telah diputuskan dalam Sidang Lajnah Bahsul Masa’il

NU di Malang, Jawa Timur tahun 1937, yang memutuskan: Pertama, haram,

karena termasuk utang yang dipungut rente. Kedua, halal, karena tidak ada

syarat pada waktu aqad, sementara adat yang berlaku tidak dapat begitu saja

dijadikan syarat. Ketiga, syubhat, sebab para ahli berselisih paham

tentangnya. Meski begitu, Lajnah memutuskan, pilihan yang lebih berhati-

hati adalah bunga bank haram.

2. Sementara Muhammadiyah menggunakan qiyas sebagai metode ijtihad dalam

merespon bunga bank. Bagi Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba

adalah adanya pengisapan atau penganiayaan (az-Zulm) terhadap

peminjaman dana. Konsekuensinya, kalau ‘illat itu ada pada bunga bank,

maka bunga bank sama dengan riba dan hukumnya riba. Sebaliknya kalau

‘illat itu tidak ada pada bunga bank, maka bunga bank bukan riba, kerana itu

tidak haram. Bagi Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba disinyalir juga

ada pada bunga bank, sehingga bunga bank disamakan dengan riba dan

hukumnya adalah haram. Namun keputusan tersebut hanya berlaku untuk

bank milik swasta. Adapun bunga bank yang diberikan oleh bank milik

negara pada para nasabahnya atau sebaliknya, termasuk perkara

musytabihat, tidak haram dan tidak pula halal secara mutlak. Pendapat

Muhammadiyah mengacu pada hasil mu’tamar Majlis Tarjih

Muhammadiyah di Sidoarjo Jawa Timur, tahun 1968 yang memutuskan:

Pertama, riba hukumnya haram dengan nas sarih al-Qur’an dan as-Sunnah.

Page 109: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

Kedua, Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba

hukumnya halal. Ketiga, Bunga yang diberikan oleh bank milik negara

kepada para nasabahnya atau sebaliknya, termasuk perkara musytabihat

(yang meragukan).. Keempat, Menyarankan pada PP Muhammadiyah untuk

mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya

lembaga perbankan, yang sesuai dengan kaidah Islam.

3. Baik NU Maupun Muhammadiyah sama-sama sependapat bahwa riba

hukumnya adalah haram hal ini berdasarkan pada nas sarih al-Qur’an dan al-

Hadis yang dengan jelas-jelas telah mengharamkan adanya praktek riba.

Meskipun dalam melihat aplikasi hukum Islam tentang riba sama-sama

mengharamkanya, tetapi NU dan Muhammadiyah memiliki cara pandang

atau berfikir yang berbeda. Bagi NU bahwa hukum bunga bank adalah

haram baik itu bank milik swasta maupun bank milik negara. Lebih lanjut,

NU mengungkapkan bahwa bunga yang diambil oleh penabung di bank

adalah riba yang diharamkan. Artinya, apa yang diambil seseorang tanpa

melalui usaha perdagangan dan tanpa bersusah payah sebagai tambahan

pokok hartanya, maka yang demikian itu termasuk riba.. NU kemudian

menguatkan pendapatnya, bahwa pengambilan bunga bank oleh nasabah

yang menyimpan uangnya di bank adalah haram. Dalam hal ini NU lebih

tegas dalam menetapkan keharaman bunga bank—yaitu apabila pihak bank

menggunakannya untuk perbuatan yang telah dilarang agama. Sedangkan

bagi Muhammadiyah agaknya masih ragu terhadap ada atau tidak adanya

‘illat riba pada bank milik negara, hal ini terlihat dengan penetapan, bahwa

Page 110: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

hukum bunga bank milik negara adalah musytabihat. Alasan mengatakan

musytabihat, adalah karena ada dua kecenderungan yaitu halal atau haram,

di samping juga karena dalam bank itu tidak dibedakan antara orang yang

meminjam uang untuk konsumsi dan meminjam untuk diproduksikan. Maka

hal ini harus dihindari, kecuali dalam keadaan darurat (terpaksa).

Tampaknya keputusan Muhammadiyah ini sejalan dengan pendapat yang

mengatakan bahwa bunga bank boleh karena darurat, seperti pendapat

Mustafa az-Zarqani, yang mengatakan bahwa bank merupakan kenyataan

yang tidak dapat dihindarkan. Karenanya umat Islam boleh bermu’amalah

dengan bank atas pertimbangan darurat. Lebih lanjut, Muhammadiyah

menyatakan, bahwa riba yang diharamkan oleh agama adalah sifat

pembungaan yang selalu disertai unsur penyalahgunaan kesempatan dan

penindasan. Sedang yang berlaku dewasa ini sama sekali tidak menimbulkan

rasa penindasan atau kekecewaan oleh siapapun yang berkepentingan.

B. Saran-saran.

1. Dalam melihat permaslahan fiqh yang akan diberi ketetapan norma

hukumnya, baik NU maupun Muhammadiyah hendaknya mengkaji

permasalahan yang ada tersebut dari berbagai sudut pandang yang

menyangkut hakekat permasalahan, latar belakang sosial, ekonomi politik,

budaya dan yang semisalnya, di samping juga dengan tidak

mengesampingkan al-Qur’an dan al-Hadis sebagai rujukan utama dalam

menetapkan hukum Islam. Karena fiqh sebagai suatu bentuk ketetapan

Page 111: Bunga Bank (Studi Komparasi Pendapat NU Dan Muhamadiyah)-99363560-Rizal Bin Jami'An

hukum akan selalu berubah sesuai dengan masyarakat yang dihadapinya

(salih li kulli zaman wa makan). Sehingga akhirnya dalam memberikan

norma hukum yang ada dapat bersesuaian dengan kebutuhan yang telah

berkembang dan berlaku di tengah-tengah masyarakat.

2. Diperlukan adanya forum kajian atau musyawarah yang harus dilakukan

oleh NU atau Muhammadiyah yang diikuti oleh para ulama dan ahli-ahli

perbankan agar kajiannya lebih komprehensif dan hasilnya diharapakan

lebih mendekati bahkan sesuai dengan realita yang sebenarnya.

3. Dalam menyikapi perbedaan persepsi tentang bunga bank yang berkisar

pada persoalan prosedurnya, maka disarankan agar bagaimana prosedur itu

dapat disesuaikan dengan keyakinan banyak pihak yang akan menggunakan

jasa bank, karena sesuai dengan perundang-undangan yang ada sekarang ini,

maka masih ada kemungkinan untuk diupayakan terwujudnya ketentuan

hukum bunga bank yang lebih sempurna bagi masyarakat.

4. Untuk para cendekiawan terutama kalangan muda untuk pro aktif dan serius

menggali sekaligus ikut memecahkan masalah-masalah fiqh kontemporer,

agar dapat memperkaya hazanah pemikiran dengan tidak membatasi disiplin

ilmu, tokoh maupun kelompoknya, sehingga tidak membuka ruang konflik

yang membodohkan. Tetapi lebih mengembangkan sikap toleran dan saling

memahami sehingga sikap mengklaim diri atau kelompoknya yang paling

benar dapat terhindarkan.