BUDAYA LITERASI, MARTABAT BANGSA, DAN PENGAJARAN …
Transcript of BUDAYA LITERASI, MARTABAT BANGSA, DAN PENGAJARAN …
2 SEMNASBAHTERA
BUDAYA LITERASI, MARTABAT BANGSA, DAN
PENGAJARAN SASTRA
Prof. Dr. Suminto A. Sayuti
Universitas Negeri Yogyakarta
1/.
Bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang menjunjung tinggi budayanya.
Kebesaran atau potensi-potensi kebesaran suatu bangsa tidak hanya ditentukan oleh satu
faktor. Simultanitas dan sinergi sejumlah faktor yang bersifat lintasbidang, meniscayakan
tercapai atau terwujudkannya potensi kebesaran tersebut. Individu atau kelompok tertentu
mana pun tidak mungkin mampu bertindak untuk itu tanpa berbagi dan bersinergi secara
berbarengan. Dengan cara demikianlah suatu bangsa akan mampu menghasilkan warisan
yang berharga yang bersifat lintasgenerasi. Dalam hubungan ini, bahasa sebagai salah satu
aspek kebudayaan akan memainkan peran utamanya. Karena, dalam dan melalui tindakan
berbahasa nilai-nilai menjadi terwujud dan terkomunikasikan. Bahasa pun menjadi aspek
kebudayaan yang bersifat lintasgenerasi karena dalam bahasalah nilai-nilai budaya
“dirumahkan.” Budi dan bahasa merupakan dua hal yang merefleksikan identitas kebangsaan.
Artinya, makin tinggi budi (watak, perilaku, pekerti) suatu bangsa yang diwujudkan dalam
tindak berbahasa, makin bermartabat dan mulia juga bangsa pemiliknya. Artinya lebih jauh,
budaya literasi merupakan modal utama bagi sebuah peradaban bangsa.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, ada baiknya sejenak kita mengingat kembali
kelahiran bangsa ini secara kultural: peristiwa Sumpah Pemuda 1928. Dengan kesadaran
budaya yang penuh, para pemuda pendekar bangsa dari berbagai penjuru tanah air pada masa
itu mengikhlaskan ikatan-ikatan lokalitasnya demi kepentingan bangsa yang lebih besar.
“Puisi besar” Sumpah Pemuda yang begitu dahsyat dan cemerlang itu niscaya bukan
merupakan hasil pemikiran perseorangan, melainkan hasil kerja keras bersama ketika
berbagai perkumpulan pemuda dari berbagai penjuru secara konseptual berbagi dan bersinergi
untuk merumuskan kebangsaan, ketanahairan, dan kebahasaan berbasis realitas
keindonesiaan. Melalui tiga ayat “puisi besar” itulah Indonesia lahir dari rahim kebudayaan.
Tidak ada di antara kelompok-kelompok pemuda pada masa itu yang berupaya menjadikan
kelompoknya superordinat bagi yang lainnya. Mereka tidak memiliki niat untuk mengalahkan
kelompok lain karena mereka menyadari bahwa hidup itu bukan kalah dan menang. Mereka
hanya berpikir bagaimana kepentingan dan cita-cita bersama dapat dicapai, bagaimana
kebajikan sosial dapat ditegakkan sebagai “saka-guru” bagi terbangunnya “rumah-besar”
3 SEMNASBAHTERA
bernama Indonesia. Maknanya bagi mereka, kekuatan yang ada dan dimiliki oleh suatu
kelompok sebagai sebuah modal memang harus ditransformasikan secara ikhlas menjadi
kebajikan sosial dan kepentingan yang jauh lebih besar.
Dengan cara tersebut, nilai-nilai budaya yang beragam pun memperoleh rumahnya
yang tepat, yakni “rumah besar” yang berdiri kokoh di bumi pertiwi sebagai tempat serba-
neka budaya bertemu dan menyatu. Di dalamnya, nilai-nilai luhur bangsa yang bertumpu pada
makna kemerdekaan dan keadilan, kemajemukan dan persatuan, serta harkat dan kehormatan
bersama menjadi perhatian utama demi pencapaian cita-cita yang lebih besar, yang akhirnya
terwujud menjadi Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Sejak kita merdeka, sebagai bangsa, kita selalu berupaya agar kehidupan di berbagai
bidang seperti kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya tidak ketinggalan dengan
bangsa-bangsa lain di dunia. Bahkan, kita mendambakan lebih maju daripada bangsa-bangsa
lain. Gambaran selintas tersebut menunjukkan betapa pentingnya bahasa dan “berbahasa,”
betapa pentinya budaya literasi dalam kaitannya dengan pemartabatan dan pemberadaban
bangsa. “Gapura besar” yang bernama budaya literasi musti segera dibuka dan dimasuki.
2/.
Sejak semula, menjadi bangsa yang bermartabat di antara bangsa-bangsa lain, pada
dasarnya merupakan cita-cita kita bersama. Ia menjadi tujuan perubahan sosial dan
karenanya, harus dimaknai sebagai salah satu imperatif historis yang harus ditunaikan.
Bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang perikehidupannya didasarkan pada prinsip-
prinsip moral, yang di dalamnya organisasi-organisasi kewargaan disemai dan tumbuh, yang
di dalamnya perbedaan dalam sejumlah hal tetap mendapatkan harganya. Bangsa yang
bermartabat selalu mengandaikan pencarian keunggulan dan pengupayaan kebaikan untuk
menggantikan sesuatu yang hanya bersifat mediokratis dan filistinistik -- atmosfer yang
minatnya melulu kepada benda-benda material, bukan nilai-nilai intelektual dan artistik. Oleh
karena itu, perubahan menuju itu sekaligus harus mampu pula menemukan, menghidupkan,
dan menyegarkan kembali semangat kebebasan, individualisme, kemanusiaan, dan toleransi
dalam jiwa kita. Untuk itu, pengutamaan kecendekiaan dan pengayaan kultural merupakan
suatu hal yang tidak boleh diabaikan.
Perubahan sosial menuju bangsa yang bermartabat pada dasarnya merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari perubahan sosial yang selama ini sudah kita lakukan. Itulah
sebabnya, bagi kita, perubahan yang kini tengah berlangsung merupakan bagian dari
“panggilan atau tugas sejarah” yang harus ditunaikan secara sadar. Mengapa demikian?
Karena, perubahan sosial mana dan apapun hampir dipastikan memunculkan sejumlah akibat.
4 SEMNASBAHTERA
Oleh karena itu, walaupun proses tersebut merupakan bagian dari panggilan sejarah, ia juga
merupakan “sebab.” Pergeseran yang terus-menerus, pecah dan bercabangnya pandangan
dunia, dan dislokasi, untuk sekadar menyebut sejumlah contoh kasus, pada hakikatnya juga
merupakan akibat yang tak terhindarkan dari dipilihnya proses perubahan.
Akhir-akhir ini kita juga menyaksikan bagaimana histeria sosial terjadi, bahkan
sementara orang mengatakan bahwa sebagian masyarakat kita sedang mengidap schizofrenia
kultural, masyarakat manusia yang berwajah garang, berwatak keras, berperilaku keras dan
brutal, agresif, saling bermusuhan satu sama lain. Seperti sering diduga, hal itu antara lain
disebabkan oleh runtuhnya pilar-pilar nilai. Dalam hubungan ini, terwujudnya keterbukaan
dalam rangka menciptakan tegur-sapa dialektis-resiprokal di kalangan warga menjadi penting.
Karena apa? Karena, keterbukaan adalah konsekuensi dari perikemanusiaan, suatu pandangan
yang melihat sesama manusia secara positif dan optimis. Bangsa yang bermartabat adalah
bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, dan egaliter. Karenanya, proses
demokratisasi pun perlu dikawal oleh prinsip-prinsip etika dan kebenaran moral yang berasal
dari cita-cita peradaban dan warisan intelektual yang benar-benar berakar pada kultur sendiri,
yang hakikatnya selalu bersifat plural.
Yang namanya “merdeka” tentulah bukan hanya terbatas pada pengertian merdeka
politik (dalam batasan negara dan bangsa), tetapi juga merdeka dalam hal pemikiran dan jiwa
(dalam batasan sebagai manusia-manusia hamba Tuhan). Cita-cita ini mengandaikan pula
kemerdekaan dari semua bentuk dominasi “umat/manusia” lain. Keterbukaan penanganan
berbagai hal merupakan salah satu jalan menuju cita-cita bersama itu. Lalu di manakah
sesungguhnya posisi budaya literasi dalam konteks semacam ini.
Ketika politik dihayati dalam sejarah riil kebudayaan, di mana pun, politik amat biasa
memakai ekspresi bahasa (utamanya sastra, dan seni umumnya) sebagai alat atau kendaraan
demi mencapai tujuan politik itu dalam mewujudkan kepentingannya, dan politik dalam
artinya yang positif sering diabaikan. Seharusnya, “ruang batin cipta,” baik bagi ekspresi seni
maupun politik (dalam arti positif), menjadi jembatan tegur-sapa untuk secara bersama
memperjuangkan kemanusiaan.
Akan tetapi, dalam kenyataannya, di masa lalu politik kita hanya memanfaatkan sastra
(dan seni), bahkan jika diperlukan memanipulasikannya dengan beragam cara, bukan demi
tujuan pemanusiaan. Oleh karena itu, dilema utama para sastrawan (seniman) terletak pada
pilihan mengolah secara kreatif peresapan keresahan dan nilai-nilai yang dibungkam
kekuasaan, ataukah berhadapan dengan politik kekuasaan yang mengendalikannya. Dilema
5 SEMNASBAHTERA
ini mencapai kulminasinya pada diam-bisunya masyarakat yang tidak pernah disuarakan oleh
para kreator, sehingga masyarakat berada dalam tidur panjang keterpasungan.
Rekayasa ulang masyarakat, menciptakan masyarakat yang lebih terbuka, transparan,
dan toleran, dengan demikian, juga sangat bergantung pada tersedianya iklim intelektual yang
sehat. “Lembaga-lembaga kecendekiaan” musti dibangun dan diberdayakan, untuk melakukan
transformasi dan melepaskan diri dari telikung sikap tribalistik, feodalistik, dan fanatisme
yang berlebihan.
Para cendekiawan dan calon cendekiawan, harus berdiri di depan. Tidak bisa tidak:
budaya literasi harus menjadi identitas utama keberadaan “lembaga-lembaga kecendekiaan”
itu. Lembaga ini diharapkan mampun menjadi teladan masyarakat dalam hal, misalnya saja,
memperbaharui komitmen kepada nilai-nilai luhur seperti keadilan, kebajikan, dan kasih
sayang, sebagai nilai-nilai universal. “Gapura besar” yang bernama budaya literasi musti
segera dibuka dan dimasuki. Dengan demikian, multikulturalitas pun akan dengan mudah
disemai dan ditumbuhkan demi membentuk sebuah habitat budaya kewargaan yang sehat,
suatu habitat yang meniscayakan lingkungan politik membuka kemungkinan bagi partisipasi
penuh dan interaksi terbuka semua unsur masyarakat yang beragam. Tidak satu kelompok
atau sektor khusus pun diperlakukan tidak adil sehingga merasa teralienasikan, ditelantarkan,
atau ditindas.
Ketika ruang-ruang ekspresi telah dibuka, keberanian untuk berekspresi melalui
berbagai bentuk “bahasa pilihan” harus dibangunkan dalam diri kita masing-masing. Gerakan
literasi dapat dipertimbangkan sebagai salah satu format yang secara spiritual-psikologis ikut
mendukung berbagai upaya baru dalam rangka menemukan kembali tatanan sosial dan politik
sebagai bagian integral dari rangkaian perubahan sosial menuju bangsa yang bermartabat.
3/
Paparan di atas menunjukkan bahwa budaya literasi begitu kuat mendorong kehidupan,
utamanya dari sisi demokratisasi kehidupan itu secara keseluruhan. Hingga masa tertentu,
bahkan hari ini, tulisan dan buku-buku telah menjadi baling-baling terbaik dan tempat
penyimpanan pengetahuan, di samping sebagai sumber kesenangan yang tak tergantikan.
Walaupun demikian, dalam beberapa hal masa depannya tidak pasti. Tulisan dan buku
sebagai perwujudan budaya literasi bisa saja bakal “menemui ajalnya.” Tesis ini agaknya
tidak berlebihan tatkala disadari bahwa budaya audio-visual telah datang menyergap kita.
Bisa saja berbagai hal yang dikemukakan dalam teks-teks alfabetik akan dianggap sebagai
sesuatu yang anakronistik. Kini, beragam “narasi pemikiran” yang menuntut pengalaman
hidup kita tidak lagi dipindah dan disimpan dalam teks-teks yang dibuku-tuliskan, tetapi
6 SEMNASBAHTERA
disimpan dalam mesin-mesin, yakni mesin yang memiliki signal-signal dan bukan huruf-
huruf atau satuan-satuan lingual yang selama ini kita kenal sebagai sarananya. Cara
komunikasi semacam itulah yang kini dipandang, dan memang dalam kenyataannya, lebih
efektif, efisien, dan universal.
Harus diakui, untuk menjadikan suatu masyarakat menjadi literasi: paham dan
menguasai bagaimana membaca dan menulis, seharusnya lebih diperkenalkan hal-hal yang
menjadi sumber pengetahuan yang bersifat primordial, dan bukannya lebih diorientasikan
pada mesin. Akan tetapi, dalam kenyataannya, yang diutamakan bukan lagi buku-buku yang
dibaca secara individual, melainkan perkakas-perkakas praktis. Hiburan bagi semua orang,
terlebih-lebih anak-anak, telah dan agaknya akan terus dikerjakan dan diperoleh melalui
proyektor, layar monitor, speaker, dan tape. Periode alfabetik dalam sejarah manusia bisa saja
menjadi singkat hidupnya.
Sebagaimana dalam kehidupan umat manusia masa lalu, peradaban yang begitu baik
telah diciptakan tanpa buku-buku, sehingga jika sesuatu yang sama akan terjadi pada masa
yang akan datang, bukanlah sebuah kemustahilan. Akan tetapi, kita juga sah untuk menduga
dan berharap bahwa budaya literasi akan hidup terus di kantong-kantong kultural tertentu
karena kenikmatan dan keuntungannya, karena teks-teks tertulis merupakan suatu hal yang
membangkitkan rasa ingin tahu dan dapat menjadi sumber nilai kehidupan.
Kini televisi, misalnya saja, telah menggantikan surat kabar dan majalah sebagai
sumber informasi utama tentang kejadian-kejadian masa kini, dan walaupun pertumbuhan
jumlah pembaca di dunia tidak diragukan lagi, untuk mengatakannya secara relatif, kata-kata
tertulis pada masa kini telah berkurang pengaruhnya jika dibandingkan dengan pada masa
lalu. Buku-buku kurang penting bagi masyarakat literasi kini dibandingkan dengan
masyarakat literasi masa lalu. Orang boleh saja menduga bahwa keadaan semacam ini bakal
menjadi salah satu bagian dari bencana kemanusiaan, walaupun bisa juga anggapan semacam
ini dipandang berlebihan.
Kecemasan tersebut bukannya tidak beralasan. Bahwa budaya perkakas lebih mudah
dikendalikan, dimanipulasikan, dan didegradasikan oleh kekuasaan, semua orang
memahaminya. Ia berbeda dengan kata-kata tertulis dalam hal, misalnya saja dalam teks
kreatif, kerahasiaanya menyampaikan pesan-pesan dan tanda-tanda keabadian mengenai hati
nurani manusia lewat imaji-imaji dan simbol-simbol literer. Teks-teks kreatif sering
mewujudkan dirinya sebagai benteng terakhir kebebasan. Dengan kematiannya, jika tesis di
atas terbukti, kepatuhan pikiran pada kekuasaan politik dapat bersifat total. Di “kerajaan
perkakas audio-visual,” nahkoda teknologi kebudayaan adalah seorang raja produksi kultural.
7 SEMNASBAHTERA
Dan dalam masyarakat tertentu, seperti masyarakat kita, langsung atau tak langsung, hal itu
bisa saja menimbulkan sejumlah akibat yang tidak diinginkan. Karena apa? Karena,
perlawanan budaya pun tidak mungkin dilakukan, bahkan bisa saja tidak ada sama sekali.
Karena, prakarsa dalam aktivitas kultural akan secara mudah diganti dan akhirnya tergelincir
dalam pikiran-pikiran yang memperbudak.
Kita pun dapat terjebak secara bersama-sama menjadi masyarakat robot, yakni robot
yang mungkin juga menjadi bisu, kelu, dan goblok. Karena apa? Karena, tidak seperti teks-
teks tertulis, produk budaya perkakas cenderung membatasi imajinasi, memajalkan
sensibilitas, dan menciptakan pikiran-pikiran yang pasif. Pemikiran semacam ini bukanlah
perwujudan alergi pada budaya perkakas. Juga bukan merupakan sebuah “tangisan romantis”
dan pernyataan belasungkawa atas terancamnya eksistensi budaya literasi umumnya.
Yang jelas, pengaruh budaya perkakas tidak pernah menjadi sebanding dengan teks-
teks tertulis dalam hal pengaruhnya pada kejiwaan manusia, terlebih manusia yang sedang
tumbuh berkembang. Pengaruh produk budaya perkakas itu berlangsung hanya sebentar saja,
karena fantasi dan pikiran “penonton” begitu minimal dibandingkan dengan intelek dan
fantasi para pembaca buku. Oleh karena itu, kecemasan sebagaimana dikemukakan menjadi
wajar adanya. Hanya saja terasa terlampau sepihak. Karena, dalam kenyataannya kita pun
memiliki daya tolak terhadap produk-produk budaya perkakas. Karenanya pula, kita mestinya
tidak berpikir bahwa kekalahan buku-buku oleh perkakas akan benar-benar terjadi. Hakikat
kebudayaan, baik alfabetik maupun audio-visual, baik yang bebas maupun yang diperpudak,
tidak pernah buta dalam perspektif evolusi pengetahuan kita secara keseluruhan. Faktor yang
menentukannya tetaplah pada sikap kultural kita. Dalam kaitan ini, pembelajaran bahasa dan
sastra yang ditangani secara baik akan menemukan relevansi dan signifikansinya.
4/.
Seperti apa pun kurikulumnya, pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah hendaknya
diorientasikan pada pengalaman berbahasa dan bersastra. Orientasi itu dapat diturunkan
menjadi knowing, doing, dan being bahasa dan sastra; atau dapat dirumuskan dalam (istilah
Jawa) nga-3: ngerti, nglakoni, dan ngrasakke bahasa dan sastra. Karenanya, “teks” apapun
yang diisyaratkan di dalam kurikulum yang berlaku hendaknya diupayakan
kontekstualisasinya secara lebih luas, dengan cara didialogkan dengan “teks-teks” lain. Bagi
saya, pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah dengan kurikulum manapun esensinya sama .
Pengalaman berbahasa dan bersastra hendaknya tetap berfungsi kontributif bagi pencapaian
tujuan pendidikan secara keseluruhan. Fungsi-fungsi edukatif, ideologis, dan kultural harus
selalu melekat dalam praksis pembelajaran bahasa dan sastra di tingkat persekolahan. Dalam
8 SEMNASBAHTERA
kaitan inilah kehadiran seorang guru yang kreatif berada di atas segalanya. Seideal apapun
kurukulumnya, selengkap apapun fasilitas dan media pembelajaran yang ada, semuanya akan
sia-sia jika materi bahasa dan sastra tidak disikapi secara kreatif dalam praksis pembelajaran.
Mengajarkan bahasa dan sastra pada dasarnya merupakan sebuah upaya menciptakan
suatu sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar bahasa dan sastra itu
sendiri. Sistem lingkungan ini terdiri atas komponen-komponen yang saling mempengaruhi,
yang terdiri atas: (a) tujuan instruksional yang ingin dicapai; (b) teks sastra yang diajarkan; (c)
guru-siswa yang harus memainkan peranan serta ada dalam hubungan sosial tertentu; (d)
bentuk kegiatan pembelajaran yang dilakukan; (e) sarana dan prasarana belajar-mengajar
yang tersedia. Komponen-komponen sistem lingkungan ini saling mempengaruhi secara
bervariasi. Dengan demikian, setiap peristiwa belajar-mengajar bahasa dan sastra pun
menuntut “profil” yang unik.
Untuk mencapai tujuan belajar bahasa dan sastra harus diciptakan sistem lingkungan
belajar bahasa dan sastra yang khas pula. Dalam kaitan ini, tujuan-tujuan belajar bahasa dan
sastra yang diusahakan dengan tindakan instruksional untuk mencapai efek instruksional
menjadi penting. Akan tetapi, tujuan-tujuan yang lebih merupakan efek pengiring juga tidak
kalah pentingnya. Dinyatakan demikian karena siswa menjadi to live in lingkungan belajar
bahasa dan sastra, misalnya saja mereka menjadi berkemampuan berpikir kritis, berpikir
kreatif, dan bersikap terbuka dalam menerima pendapat orang lain, termasuk di dalamnya
adalah terbentuknya kesadaran bahwa bahasa dan sastra merupakan sebuah ruang tempat
mereka “merumahkan” pengalaman-pengalaman kemanusiaannya..
Seorang guru harus memilih satu (atau biasanya lebih) strategi belajar-mengajar jika
ingin mencapai efek instruksional, efek pengiring tertentu, atau karena ingin mencapai kedua-
duanya. Apapun yang dikehendaki, kesadaran pertama dan utama yang harus selalu dipegang
adalah bahwa penekanan lebih ditujukan pada “siswa-belajar bahasa dan sastra” dan bukan
pada “guru-mengajarkan sastra.” Karena, the learning process is complete only when the
learner understands, accepts and puts the knowledge acquired into practice. Oleh karena itu,
“continuous interplay between texts and the reader” menjadi imperatif yang seharusnya
ditunaikan dalam pelaksanaan pembelajaran.
Uraian di atas menunjukkan bahwa untuk dapat melaksanakan tugas secara profesional,
dalam arti memilih dan melaksanakan SBM yang efektif, seorang guru membutuhkan
wawasan yang cukup memadai tentang kemungkinan-kemungkinan strategi belajar-mengajar
bahasa dan sastra yang sesuai dengan tujuan-tujuan belajar bahasa dan sastra tersebut, baik
dalam arti efek instruksional maupun efek pengiring, yang ingin dicapai berdasarkan rumusan
9 SEMNASBAHTERA
tujuan pendidikan yang utuh. Di samping itu, ia juga memerlukan penguasaan teknis di dalam
menyiapkan (baca: mendesain) sistem lingkungan belajar-mengajar bahasa dan sastra berikut
implementasinya secara efektif. Dengan metode “menanamkan kerinduan,” niscaya pelajaran
bahasa dan sastra akan selalu dinantikan oleh para siswa.
Agar siswa merasa athome dan selalu merindukan kehadiran pelajaran bahasa dan
sastra hal-hal berikut ini perlu diperhatikan: (a) berikan peluang kepada siswa agar dirinya
terbuka terhadap pengalaman baru melalui dan dengan bahasa dan sastra, bukan tentang
bahasa dan sastra. Upayakan agar bahasa dan sastra menjadi sebuah “jagat” yang
menyediakan ruang bagi para siswa untuk menjelajahi pengalaman-pengalaman dan
alternatif-alternatif baru mengenai suatu keadaan; (b) doronglah siswa agar memiliki
keluwesan berpikir dengan cara melibatkan mereka dalam kesadaran bahwa bahasa adalah
sarana berpikir dan sastra merupakan dunia pemikiran reflektif; (c) sediakan peluang
kebebasan yang besar kepada para siswa dalam mengemukakan pandangan sesuai dengan
pilihan bahasa mereka sebagai “private domain.” Upayakan agar siswa tidak berdiam diri
tanpa mengemukakan pandangan apapun dalam komunitasnya. Bahasa dan sastra telah
menyediakan ruang bagi siapapun untuk membentuk kemungkinan baru berdasarkan suatu
objek yang teramati dan terhayati; (d) dorong dan kembangkan daya imajinasi siswa karena
pencarian alternatif baru hampir selalu dimulai dengan memberdayakan imajinasi, dan a good
imagination should be based on the reality. Peristiwa tertentu sesederhana apapun dapat
dijadikan sebagai suatu rangsang buat menggelandangkan imajinasi.
5/.
Secara sederhana, butir-butir di atas dapat dilaksanakan melalui membaca, menulis,
dan apresiasi sastra (MMAS), yang menghindarkan diri dari kecenderungan pemilihan materi
bahasa dan sastra yang berhenti pada informasi konseptual dan kognitif. Siswa dilibatkan
langsung dalam pengalaman berbahasa dan bersastra. Kaidah-kaidah teoretis berfungsi
menjadi bingkai pengalaman, bukan sebagai hal yang utama, demi peningkatan pengalaman
dan kemampuan berbahasa dan bersastra mereka di saat mendatang.
Kegiatan membaca diharapkan mampu mendorong, dan hendaknya selalu diikuti
dengan, kegiatan menulis. Dua jenis kemampuan berbahasa ini sudah dengan sendirinya akan
mencorong dua kemampuan yang lain, menyimak dan berbicara, apabila pentas pembelajaran
benar-benar diciptakan secara dinamis. Dengan cara demikian, sikap teguh para siswa dalam
mengajukan pandangan sedikit demi sedikit dapat ditumbuhkan. MMAS hendaknya mampu
menyediakan ruang bagi para siswa agar dalam menghadapi suatu kegagalan disikapi sebagai
munculnya tantangan dan situasi serta harapan baru untuk menemukan jawaban yang lebih
10 SEMNASBAHTERA
komprehensif. Dalam hubungan ini, mendorong kemandirian siswa dalam mengambil
keputusan sehingga berani menanggung resiko dan mantap dalam berkeyakinan dalam
MMAS menjadi penting. MMAS diposisikan sebagai sebuah ruang kesadaran bagi siswa
agar mereka tidak dengan mudah mengerjakan sesuatu sekedar ikut-ikutan saja, tidak mudah
menerima pendapat orang lain, dan tidak ragu-ragu untuk mengemukakan pendapatnya
sendiri karena pendapat yang disetujui orang banyak tidak selalu identik dengan kebenaran.
Apabila catatan-catatan yang sudah diberikan di atas mampu diimplementasikan dalam
praksis pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah, dalam kaitannya dengan kurikulum
manapun, niscaya kebuntuan dapat dihindari. Terlebih lagi jika praksis tersebut juga diberi
bingkai tambahan yang bersifat multidimensional dan multikultural yang tidak harus
kehilangan sifatnya yang ilmiah, relevan, sistematis, aktual, kontekstual, dan fleksibel
Artinya, pembelajaran bahasa dan sastra akan mampu menunaikan imperatif-imperatif yang
diembannya: edukatif, ideologis, dan kultural. Semoga begitu.
Lereng Merapi: Juli 2017