Eksistensi Martabat Manusia

22

Click here to load reader

Transcript of Eksistensi Martabat Manusia

Page 1: Eksistensi Martabat Manusia

MODUL I

MANUSIA dan AGAMA

Artinya:“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat

”Sesunggunya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka

bumi” Mereka berkata : Mengapa Engkau hendak menjadikan

khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan

kepadanya dan menumpahkan darah, padahal kami selalu

bertasbih memuji Engkau dan mensucikan Engkau? “Tuhan

berfirman sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu

ketahui”.1

QS al-Baqarah(2): 30

A. MANUSIA DAN ALAM SEMESTA

Sebelum Allah menciptakan Adam sebagai manusia pertama, alam

semesta telah diciptakan-Nya dengan tatanan kerja yang teratur, rapi dan serasi.

Keteraturan, kerapian dan keserasian alam semesta dapat dilihat pada

kenyataan. Berupa keteraturan, kerapian dan keserasian dalam hubungan

alamiah antara bagian-bagian didalamnya dengan pola saling melengkapi dan

mendukung. Misalnya, apa yang diberikan matahari untuk kehidupan alam

semesta. Selain berfungsi sebagai penerang diwaktu siang, matahari juga

berfungsi sebagai salah satu sumber energi bagi kehidupan. Dari pancaran

gerak edarnya yang bekerja menurut ketentuan Allah, manusia dapat menikmati

pertukaran musim, perbedaan suhu antara wilayah dengan wilayah yang lain.

Semua keteraturan dan ketentuan yang disebabkan sistem kerja matahari itu,

pada perkembangannya kemudian memebentuk sistem keteraturan dan

DISUSUN OLEH ; DRA. EVA MAULINA, MM

Page 2: Eksistensi Martabat Manusia

ketentuan lain yang telah ditetapkan oleh Allah. Misalnya iklim suatu daerah yang

berpengaruh pada keanekaan potensi alam, jenis flora dan fauna yang tumbuh

dan ada di daerah itu.

Keserasian, kerapian dan keteraturan yang kita yakini sebagai

sunnatullah yakni ketentuan dan hukum yang ditetapkan Allah. Melalui

sunnatullah inilah, bumi dan alam semesta dapat bekerja secara sistematik

(menurut suatu cara yang teratur rapi) dan berkesinambungan, tidak berubah-

ubah, tetap saling melengkapi. Misalnya, bagaimana matahari bekerja menurut

ketentuan Allah. Sejak diciptakan sampai akhir zaman, insya Allah, matahari

tetap berada pada titik pusat tata surya yang berputar mengelilingi sumbunya.

Dalam proses itu, menurut penelitian para ahli, gerak matahari selalu ketiggalan

3 menit 56 detik dari bintang-bintang yang ada di tata surya. Karena

keterlambatan itu, dalam 365 hari (jumlah hari dalam satu tahun) matahari sudah

melintasi sebuah ligkaran besar penuh di langit.2

Setiap waktu, secara teratur dan tetap matahari menyiramkan energi

kepada alam semesta, tanpa bergeser dari posisi yang ditetapkan Allah baginya.

Bumi, sebagai bagian alam semesta, menyerap sinar matahari yang turun secara

tetap, tidak berubah-ubah.

Dalam lingkup yang lain, bisa pula dilihat bagaimana sunnatullah

(ketetapan atau ketentuan-ketentuan Allah) berlaku pada benda atau makhluk

lain yang sepintas lalu, dianggap tidak berguna, namun ternyata bermanfaat

mempengaruhi benda atau makhluk lain. Lihatlah, bagaimana tumbuh-tumbuhan

yang membusuk atau kotoran hewan yang memiliki sunnatullah pada dirinya

sebagai pupuk untuk menumbuh suburkan tanaman.

Demikianlah kekuasaan dan kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya yang

menyebabkan masing-masing bagian alam ini berada dalam ketentuan yang

teratur rapi, hidup dalam suatu sistem hubungan sebab akibat sampai sampai ke

benda yang sekecil.apapun, ketentuan Allah ada dan berlaku, baik secara

mikrokosmos (berlaku terbatas pada zat benda kecil itu) maupun makrokosmos

(sistem yang menyeluruh)

Sunnatullah atau hukum Allah yang menyebabkan alam semesta selaras,

serasi dan seimbang dipatuhi sepenuhnya oleh partikel atau zarrah yang menjadi

unsur alam semesta ini. Ada tiga sifat utama sunnatullah yang disinggung dalam

Al-Qur’an yang dapat ditemukan oleh ahli ilmu pengetahuan dalam penelitian.

Ketiga sifat itu adalah : 1) Pasti, 2) Tetap, dan 3) Objektif 3

2

Page 3: Eksistensi Martabat Manusia

Sifat sunnatullah pertama adalah ketetapan, ketentuan, atau kepastian,

sebagaimana diutarakan dalam Al-Qur’an berikut ini :

Q.S, Al-Furqon (25): 2, yang artinya :

“Dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan

ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” 4

Q.S At-Thalaq (65) : 3 yang artinya :

“Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan (kepastian) bagi

tiap sesuatu” 5

Sifat sunnatullah yang pasti, tentu akan menjamin dan memberi

kemudahan kepada manusia membuat rencana. Seseorang yang memanfaatkan

sunnatullah dalam merencanakan satu pekerjaan yang besar, tidak perlu ragu

akan ketetapan perhitungannya dan setiap orang yang mengikuti dengan cermat

ketentuan-ketentuan yang sudah pasti itu bisa melihat hasil pekerjaan yang

dilakukannya. Karena itu pula, keberhasilan suatu pekerjaan (usaha atau amal)

dapat diperkirakan lebih dahulu. Jika dalam pelaksanaannya suatu rencana atau

pekerjaan orang itu kurang atau tidak berhasil, dapat dipastikan perhitungannya

yang salah bukan kepastian atau ketentuan yang terdapat dalam sunnatullah.

Manusia yang salah membuat suatu perhitungan atau perencanaan dengan

mudah dapat menelusuri kesalahan perhitungan dalam perencanaannya.

Sifat sunnatullah kedua yaitu tetap, tidak berubah-ubah.

Sifat ini diungkapkan dalam Al-Quran sebagai berikut :

Q.S Al-Isro (17): 77, yang artinya :

“Dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan Kami itu”. 6

Sifat itu selalu terbukti dalam praktek, sehingga seseorang perencana

dapat menghindari kerugian yang mungkin terjadi kalau rencana dilaksanankan.

Dengan sifat sunnatullah yang tidak berubah-ubah itu seorang ilmuan dapat

memperkirakan gejala alam yang terjadi dan memanfaatkan gejala alam itu.

Karena itu seorang ilmuan dengan mudah memahami gejala alam yang satu

dikaitkan dengan gejala alam yang lain yang senantiasa mempunyai hubungan

yang konsisten.

Sifat sunnatullah yang ketiga adalah obyektif. Sifat ini tergambar pada

firman Allah sebagai berikut :

Q.S. Al-Anbiya (21): 105, yang artinya :

“bahwasanya dunia akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh” 7

3

Page 4: Eksistensi Martabat Manusia

Q.S Ar-Rad (13): 11, yang artinya :

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum

sehingga mereka merubah keadaan yang ada oleh mereka sendiri”. 8

Saleh, artinya baik atau benar. Orang yang baik dan benar adalah “orang

yang bekerja menurut sunnatullah”. Jadi sunnatullah-lah yang menjadi ukuran

kebaikan dan kebenaran itu. Orang yang berkarya sesuai atau menurut

sunnatullah adalah orang yang “saleh“ atau orang yang baik dan benar.

Kesalehan yang dikarenakan telah menepati sunnatullah merupakan kesalehan

umum (universal). Kesalehan universal ini sebagai sifat objektif secara /

keilmuan, yang biasanya sangat signifikan dijumpai dikalangan para

pengembang IPTEK dan para intelektual lainnya.9. Mereka amat disiplin untuk

mengikuti logika cerdas dan sehat dibantu dengan upaya pembuktiaan hipotesis

yaitu penelitian (istiqra). Dengan demikian kebenaran yang terdapat dalam

sunnatullah adalah kebenaran objektif, berlaku bagi siapa saja dan dimana saja.

Untuk memperoleh predikat manusia saleh sekedar mentaati sunnatullah,

berlaku pada semua manusia tidak terbatas bagi kaum agamis semata sebab,

bagi yang tidak berkarya sebagaimana menurut keharusan aturan-aturan

sunnatullah, seperti pemalas, tidak menempati prinsip kerja yang efektif-efisien-

produktif dan lain-lain, tidak akan mendapat keberuntungan.

Dengan demikian sunnatullah itu berlaku objektif, karena tidak dipandang

saleh bagi orang islam (misalnya) yang ingin kaya tapi pemalas. Karena orang

islam tersebut tidak saleh terhadap sunnatullah.

Dengan kata “khalifah” Allah SWT memandatkan tanggung jawab kepada

manusia untuk memakmurkan bumi dengan visi kekaryaan dan kepelayanan.

Kekaryaan lebih dominan mentaati sistem sunnatullah dan kepelayanan lebih

dominan mentaati system dinullah. Dengan kekaryaan dan kepelayanan atau

ketaatan kepada kedua sistem tadi maka terbentuklah esensi manusia sebagai

khalifah 10

Diketahui bahwa alam semesta diciptakan Allah dengan hukum-hukum

yang berlaku baginya yang kemudian diserahkan-Nya kepada manusia untuk

dikelola dan dimanfaatkan. Pengelolaan dan pemanfaatan alam semesta itu

sendiri. Manusia yang diberi “wewenang” mengelola dan memanfaatkan alam

semesta diberi kedudukan “istimewa” sebagai khalifah. “Khalifah” arti harfiahnya

adalah pengganti atau wakil. Menurut ajaran islam, manusia, selain sebagai abdi

diberi kedudukan sebagai khalifah mengelola dan memanfaatkan alam semesta

terutama “mengurus” bumi ini. Agar dapat menjalankan kedudukannya itu diberi

4

Page 5: Eksistensi Martabat Manusia

bekal berupa potensi diantaranya adalah akal yang melahirkan berbagai ilmu

sebagai alat untuk mengelola dan memanfaatkan alam semesta serta mengurus

bumi ini. Ketika Adam diangkat menjadi khalifah dibumi, Allah mengajarkan

kepadanya ilmu pengetahuan tentang “nama-nama (benda)”, sebagaimana

firman-Nya :

Q.S Al-Baqarah (2): 31, yang artinya :

“Dia (Allah) telah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda)

seluruhnya”. 11

Pengetahuan yang diajarkan Allah kepada Adam ini merupakan

keunggulan komparatif manusia dari makhluk-makhluk lainnya.

Dengan akal dan ilmu yang dikuasainya akan mampu menjalankan

kedudukannya sebagai khalifah mengelola dan memanfaatkan alam semesta

serta mengurus bumi ini untuk kepentingan hidup dan kepentingan manusia

serta makhluk hidup lain dilingkungannya. Untuk pelaksanaan kedudukan itu,

manusia akan diminta pertanggung jawabannya di akhirat kelak. Manusia akan

ditanya apakah dalam menjalankan “amanat” yang dipercayakan kepadanya itu,

ia mengikuti atau tidak mengikuti pola dan garis-garis besar kebijaksanaan yang

diberikan kepadanya melalui nabi dan rasul yang termuat dalam ajaran agama.

Berkenaan dengan alam semesta, Al-Qur’an banyak mengungkapkan

tentang fenomena-fenomena alam yang menghubungkan manusia dengan Allah

sebagai Pencipta. Ungkapan-ungkapan ayat-ayat Al-Qur’an tentang alam lebih

banyak diarahkan kepada proses penghayatan terhadap kekuasaan Allah untuk

mendorong manusia beriman kepada-Nya melalui pengamatan dan penelitian

tentang alam semesta.

Dalam konsep Islam, alam adalah makhluk Allah yang diperuntukkan bagi

manusia sebagai bahan yang mendorong manusia untuk menyelidiki dan meneliti

fenomena alam sebagai bagian dari tugas kekhalifahannya, seperti tercantum

dalam Al-Qur’an :

Q.S. Al-An’am (6): 165, yang artinya :

“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan

meninggikan sebagian dari kamu atas sebagian yang lain beberapa

tingkat, untuk mengujimu atas apa yang telah diberikan-Nya

kepadamu”. 12

Q.S. Al-Ghosyiah (88): 17-20, yang artinya :

5

Page 6: Eksistensi Martabat Manusia

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia

diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan. Dan gunung-

gunung bagaimana ia ditegakkan. Dan bumi bagaimana ia

dihamparkan”. 13

Kekhalifahan manusia berhubungan dengan kemampuan manusia

menggunakan potensi alam yang dimilikinya dihubungkan dengan fenomena

alam yang muncul disekelilingnya. Inilah sebenarnya yang menjadi latar

belakang mengapa pencarian ilmu pengetahuan didalam konsep Islam

merupakan sesuatu yang diwajibkan Allah. Orang berilmu akan memperoleh

kesempatan yang lebih besar untuk memerankan dirinya sebagai khalifah yang

mampu mengelola dan mengambil manfaat yang benar bagi perwujudan sistem

islam dimuka bumi ini.

Sehubungan dengan keharusan manusia untuk mengenal alam

sekelilingnya dengan baik, maka Allah memerintahkan dalam firman-Nya :

Q.S Yunus (10): 101, yang artinya :

“Katakanlah (wahai Muhammad) perhatikanlah apa yang ada di langit

dan di bumi. Tidaklah beranfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-

rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak

beriman”. 14

Q.S Ali Imran (3): 190-191. artinya :

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih

bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang

yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil

berdiri atau duduk atau dalam keadaan terbaring dan mereka

memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : Ya

Tuhan kami, tiadakah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha

Suci Engkau, maka perihalah kami dari siksa neraka”. 15

Ayat ini memberikan penekanan kepada manusia untuk menyelidiki sifat-

sifat dan kelakuan alam sekelilingnya yang menjadi tempat tinggal dan sumber

hidupnya.Doa yang mengakhiri ayat diatas dapat dipahami secara kontekstual.

Betapa orang yang tidak melihat hikmah alam raya ini, yang menganggap bahwa

ciptaan Allah ini tidak berarti, mendapat sengsara di akhirat kelak, karena

pandangan itu merupakan sikap pesimisme terhadap alam raya, yang juga

merupakan bentuk penolakan (kufur) nikmat.

6

Page 7: Eksistensi Martabat Manusia

Fenomena alam itu, merupakan lapangan yang terbuka luas bagi

penyelidikan, penelitian atau observasi manusia dalam rangka memahami dan

membuka tabir keajaiban alam semesta ini. Pemahaman manusia ini adalah

kunci yang dapat membuka pintu keyakinan akan kekuasaan Allah sebagai

Pencipta seluruh alam semesta.16

B. HAKEKAT MANUSIA MENURUT ISLAM

Manusia adalah makhluk yang sangat menarik. Oleh karena itu ia telah

menjadi sasaran studi sejak dahulu, kini dan kemudian hari. Hampir semua

lembaga pendidikan tinggi mengkaji manusia, karya dan dampak karyanya

terhadap dirinya sendiri, masyarakat dan lingkungan hidupnya. Para ahli telah

mengkaji manusia menurut bidang studinya masing-masing, tetapi sampai

sekarang para ahli masih belum mencapai kata sepakat tentang manusia. Ini

terbukti dari banyaknya penamaan manusia, misalnya homo sapien (manusia

berakal), homo economicus (manusia ekonomi) yang kadang disebut economic

animal (binatang ekonomi) dan sebagainya. Al-Qur’an tidak menggolongkan

manusia kedalam kelompok binatang (animal) selama manusia menggunakan

akalnya dan karunia lainnya. Namun, kalau manusia tidak mempergunakan akal

dan berbagai urgensi pemberian Allah yang sangat tinggi nilainya yakni

pemikiran (rasio), kalbu, jiwa, raga, serta panca indera secara baik dan benar, ia

akan menurunkan derajatnya sendiri menjadi seperti hewan yang dinyatakan

Allah di dalam Al-Qur’an :

Q.S Al-Araf (7): 17, yang artinya :

“Mereka (maksudnya manusia punya hati tetapi tidak dipergunakan

untuk memahami ayat-ayat Allah), punya mata tetapi tidak

dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda) kekuasaan Allah, punya

telinga tetapi tidak mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka (manusia)

yang seperti itu sama (martabatnya) dengan hewan bahkan lebih

rendah (lagi) dari binatang itulah orang-orang yang lalai”. 17

Al-Quran mnyebutkan ‘manusia’ dengan kata :

‘Bani Adam’ (anak Adam, dalam terjemahan al-Qur’an)

Q.S : Al-Isra’ (17): 70 18

‘Basyar’ (manusia dalam kesamaan naluri dengan makhluk lain,

menurut Ali Sariti). Q.S Al-Kahfi (18): 110 19

7

Page 8: Eksistensi Martabat Manusia

‘aL-Insan/Insan’ (manusia dalam perbedaan dengan makhluk lain,

menurut Ali Sariti). Q.S AL-Insan (76): 1 20

‘an’Nass/Nass’ (manusia, dalam terjemah al’Quran)

Q.S An-Nass (114): 1 21

Berbagai rumusan tentang manusia telah dirumuskan oleh para ahli.

Salah satu diantaranya, berdasarkan studi isi Al-Quran dan Al Hadits, yang

maksudnya : Al-insan (manusia) adalah makhluk ciptaan Allah yang

mempergunakan akalnya mampu memahami dan mengamalkan wahyu serta

mangamati gejala-gejala alam, bertanggung jawab atas segala perbuatannya

dan berakhlak.

Allah menciptakan manusia dari “shalshalkal fakkhar” (Lumpur) dari

“hamain masnun“ (tanah hitam yan berbau busuk). Kemudian Allah

menghembuskan ruh-Nya kedalam diri manusia ciptaan-Nya dan penciptaan

lengkaplah sudah.22 Seperti firman Allah didalam Q.S. As Sajadah (32) : 8-10,

yang artinya :

“Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air

mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam

(tubuh) nya roh ciptaan-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu

pendengaran, penglihatan dan hati (tetapi) kamu sedikit sekali

bersyukur 23

Makna simbolis pengertian diatas adalah bahwa manusia itu mempunyai dua

dimensi. Dimensi Ketuhanan dan dimensi kerendahan atau kehinaan, sedangkan

makhluk lain hanya mempunyai satu dimensi. Dalam pengertian simbolis

”Lumpur” menunjuk pada keburukan, kehinaan, tidak berarti, stagnan dan mati.

Dimensi keilahian mengajak manusia cenderung untuk mendekatkan diri kepada-

Nya, guna mencapai kemuliaan.

Karena hakikat kejadian manusia inilah, maka manusia pada satu saat

mencapai derajat yang tinggi tetapi pada saat yang lain dapat meluncur dalam

derajat kerendahan dan kehinaan yang sangat dalam dan paling rendah.

Kehormatan dan arti penting manusia terletak dalam kehendak bebas

untuk menentukan arah hidupnya. Hanya manusialah yang dapat mengendalikan

keinginan dan kebutuhan fisiologisnya, sehingga manusia dapat bebas

menentukan berbuat baik atau jahat, patuh setia atau memberontak 24

Al-Qur’an memandang manusia sebagai makhluk biologis, psikologis dan

sosial. Manusia sebagai basyar tunduk pada takdir Allah, sama dengan makhluk

lain. Manusia sebagai insan dan an-nas bertalian dengan hembusan Ilahi atau

8

Page 9: Eksistensi Martabat Manusia

roh Allah yang memiliki kebebasan dalam memilih untuk tunduk atau menentang

aturan ketentuan Allah.

Menurut pandangan Murtadla Muttahhari manusia adalah makhluk serba

dimensi, Dimensi pertama, secara fisik manusia hampir sama dengan hewan,

membutuhkan makan, minum, istirahat dan menikah, supaya ia dapat hidup,

tumbuh dan berkembang. Dimensi kedua, manusia memiliki sejumlah emosi

yang bersifat etis, yaitu ingin memperoleh keuntungan dan menghindari

kerugian. Dimensi ketiga, manusia mempunyai perhatian terhadap keindahan.

Dimensi keempat, manusia memiliki dorongan untuk menyembah Tuhan.

Dimensi kelima, manusia memiliki kemampuan dan kekuatan yang berlipat

ganda, karena ia di karuniai akal, pikiran dan kehendak bebas, sehingga ia

mampu menahan hawa nafsu dan dapat menciptakan keseimbangan dalam

hidupnya. Dimensi keenam, manusia mampu mengenal dirinya sendiri. Jika ia

sudah mengenal dirinya, ia akan mencari dan ingin mengetahui: siapa

penciptanya ?, mengapa ia diciptakan?, dari apa ia diciptakan?, bagaimana

proses penciptaannya? dan untuk apa ia diciptakan ?.25

C. EKSISTENSI DAN MARTABAT MANUSIA

Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk pilihan Tuhan,

sebagai khalifah-Nya di muka bumi, serta sebagai makhluk yang semi samawi

dan semi duniawi, yang dalam dirinya ada fitrah mengakui Tuhan, bebas

terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta; serta

karunia keunggulan atas alam semesta, langit dan bumi.

Sebagai makhluk Allah, manusia mendapat amanat Allah yang harus

dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Tugas yang dipikul manusia di muka

bumi adalah tugas kekhalifahan, yaitu tugas kepemimpinan; wakil Allah di muka

bumi untuk mengelola dan memelihara alam.

Khalifah berarti wakil atau pengganti yang memegang kekuasaan.

Manusia menjadi khalifah, berarti manusia mendapatkan mandat dari Tuhan

untuk mewujudkan kemakmuran dimuka bumi. Kekuasaan mengolah serta

mendaya gunakan apa yang ada dimuka bumi untuk kepentingan hidupnya

sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Allah.

Agar manusia dapat menjalankan kekhalifahannya dengan baik, Allah

telah mengajarkan kepada manusia kebenaran dalam segala ciptaan-Nya,

1

3

9

Page 10: Eksistensi Martabat Manusia

manusia dapat menyusun konsep-konsep serta melakukan rekayasa membentuk

wujud baru dalam alam kebudayaan.

Disamping peran manusia sebagai khalifah di muka bumi yang memiliki

kebebasan, ia juga sebagai hamba Allah (Abdullah). Seorang hamba Allah harus

ta’at dan patuh kepada perintah Allah.

Kekuasaan manusia sebagai khalifah Allah dibatasi oleh aturan-aturan

dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh yang diwakilinya, yaitu

hukum-hukum Tuhan baik yang tertulis dalam kitab suci al-Qur’an, maupun yang

tersirat dalam kandungan alam semesta (al-Kaun). Seorang wakil yang

melanggar batas ketentuan yang diwakili adalah wakil yang mengingkari

kedudukan dan peranannya, serta mengkhianati kepercayaan yang diwakilinya.

Oleh karena itu, ia diminta pertanggungjawabannya terhadap penggunaan

kewenangannya dihadapan yang diwakilinya, sebagaimana firman Allah dalam

Al-Quran :

Q.S Fathir (35): 39, yang artinya :

“Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi.

Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa

dirinya sendiri...26

Makna yang esensial dari kata ’abd (hamba) adalah ketaatan, ketundukan

dan kepatuhan. Ketaatan, ketundukan dan kepatuhan manusia hanya layak

diberikan kepada Allah yang dicerminkan dalam ketaatan, kepatuhan dan

ketundukan pada kebenaran dan keadilan.

Dua peran yang dipegang manusia di muka bumi, sebagai khalifah dan

’abdun merupakan keterpaduan tugas dan tanggung jawab yang melahirkan

dinamika hidup yang sarat dengan kreatifitas dan amaliah yang selalu berpihak

pada kebenaran.

Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami, bahwa kualitas kemanusiaan

sangat tergantung pada kualitas komunikasinya dengan Allah dan kualitas

interaksi sosialnya dengan sesama manusia melalui muamalah.

D. PENGERTIAN AGAMA DALAM BERBAGAI BENTUKNYA

Dalam masyarakat Indonesia selain dari kata agama, dikenal pula kata

’din’ bahasa Arab dan kata ”religi” dari bahasa Eropa.Agama berasal dari

bahasa sanskrit. Satu pendapat mengatakan bahwa kata itu tersusun dari dua

kata, a = tidak, dan gama = pergi, kacau jadi arti agama tidak pergi dan tidak

kacau, tetap ditempat, diwarisi turun menurun. Agama memang mempunyai sifat

10

Page 11: Eksistensi Martabat Manusia

yang demikian. Ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti teks

untuk kitab suci dan agama-agama memang mempunyai kitab-kitab suci.

Selanjutnya dikatakan lagi Agama berarti tuntunan hidup bagi penganutnya.27

Din dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum dalam

bahasa Arab, kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan patuh, hutang,

balasan kebiasaan. Agama memang membawa peraturan-peraturan yang

merupakan hukum, yang harus dipatuhi orang. Agama selanjutnya memang

menguasai diri seseorang dan membuat ia tunduk dan patuh kepada Allah

dengan menjalankan ajaran-ajaran agama. Agama lebih lanjut lagi membawa

kewajiban-kewajiban yang kalau tidak dijalankan oleh seseorang menjadi hutang

baginya. Paham kewajiban kepatuhan membawa pula kepada paham balasan.

Yang menjalankan kewajiban dan patuh akan mendapat balasan baik dari

Tuhan. Yang tidak menjalankan kewajiban dan yang tidak patuh akan

mendapatkan balasan yang tidak baik.

Religi berasal dari bahasa Latin. Menurut satu pendapat asalnya ialah

relegere yang mengandung arti mengumpulkan, membaca. Agama memang

merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Allah. Ini terkumpul dalam

kitab suci yang harus dibaca. Tetapi menurut pendapat lain kata itu berasal dari

religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaran agama memang mempunyai sifat

mengikat bagi manusia.Dalam agama selanjutnya terdapat pula ikatan antara ruh

manusia dengan Allah dan agama lebih lanjut lagi memang mengikat manusia

dengan Allah.28

Oleh karena itu agama diberi definisi-definisi antara lain sebagai berikut :

1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan

kekuatan gaib yang harus dipatuhi.

2. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara

hidup tertentu.

3. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Allah kepada manusia melalui

rasul.29

E. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN AGAMA

Agama bagi manusia merupakan kebutuhan alamiah (fitrah) manusia.

Berbagai pendapat mengenai kefitrahan agama ini dapat dikaji pada beberapa

pemikiran. Misalnya Einsten menyatakan bahwa sifat sosial manusialah yang

pada gilirannya merupakan salah satu faktor pendorong terwujudnya agama.

Manusia menyaksikan maut merenggut ayahnya, ibunya, kerabatnya serta para

11

Page 12: Eksistensi Martabat Manusia

pemimpin besar. Direnggutnya mereka satu persatu, sehingga manusia merasa

kesepian dikala dunia telah kosong. Jadi harapan akan adanya sesuatu yang

dapat memberi petunjuk dan pengarahan, harapan menjadi pecinta dan dicintai,

keinginan bersandar pada orang lain dan terlepas dari perasaan putus asa,

semua itu membentuk dalam diri sendiri dasar kejiwaan untuk menerima

keimanan kepada Tuhan.30 William James seorang filosof Jerman menyatakan

bahwa kendatipun benar pernyataan bahwa hal-hal fisik dan material merupakan

sumber tumbuhnya beberapa keinginan batin, namun banyak pula keinginan

yang tidak bersesuaian dengan perhitungan-perhitungan material. Pada setiap

keadaan dan perbuatan keagamaan, kita selalu melihat berbagai bentuk sifat

seperti ketulusan, keikhlasan dan kerinduan, keramahan, kecintaan dan

pengorbanan. Gejala-gejala kejiwaan yang bersifat keagamaan memiliki

beberapa kepribadian dan karakteristik yang tidak selaras dengan semua gejala

umum kejiwaan manusia.31

Dari beberapa pendapat itu dapat dipahami bahwa manusia terutama

orang dewasa memiliki perasaan dan keinginan untuk melepaskan diri dari wujud

terbatas mereka dan mencapai wujud. Manusia tidak mungkin dapat melepaskan

keterbatasan dan ikatan tersebut kecuali berhubungan dengan Allah sebagai

sumber wujud. Melepaskan diri untuk mencapai sumber wujud ini menimbulkan

ketenangan dan ketentraman seperti yang diungkapkan dalam firman Allah :

Q.S Ar Rad (13): 28 yang artinya :

”Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram

dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah

hati jadi tentram.32

Agama sebagai fitrah manusia melahirkan keyakinan bahwa agama

adalah satu-satunya cara pemenuhan semua kebutuhan manusia. Posisi ini

semakin tampak dan tidak mungkin dapat digantikan dengan yang lain. Orang

mempercayai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi kebutuhan akan agama

semakin mengecil bahkan hilang sama sekali, tetapi kenyataan yang ditampilkan

sekarang ini menampakkan dengan jelas semakin maju ilmu pengetahuan dan

teknologi yang dicapai manusia, kebutuhan akan agama semakin mendesak

berkenaan dengan kebahagian sebagai sesuatu yang abstrak yang akan digapai

manusia. Ilmu dan teknologi serta kemajuan peradaban manusia melahirkan jiwa

yang kering dan haus akan sesuatu yang bersifat rohaniah. Kekecewaan dan

kegelisahan batin senantiasa menyertai perkembangan kesejahteraan manusia.

Satu-satunya cara untuk memenuhi perasaan-perasaan dan keinginan-

12

Page 13: Eksistensi Martabat Manusia

keinginan, itu dalam bentuknya yang sempurna dan memuaskan adalah

perasaan dan keyakinan agama seperti diungkapkan dalam firman Allah :

Q.S Arum (30): 30,

Artinya : ”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah),

(tetaplah diatas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia

menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah (itulah)

agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.33

Dari segi hubungan manusia dan Agama dapat ditelusuri melalui

pemenuhan kebutuhan intelektual manusia sebagai makhluk yang memiliki akal

pikiran atau rasio. Akal mendorong manusia untuk selalu ingin tahu tentang

berbagai hal yang dilihat, diraba dan dirasakannya karena itu manusia seringkali

disebut sebagai makhluk yang serba ingin tahu atau berfikir.

Dari keingin tahuan ini, manusia mencari dan menyelidiki apa yang ada

disekelilingnya. Informasi tentang pengalaman-pengalaman dan jawaban-

jawaban tentang apa yang diketahui menyebabkan manusia memiliki

pengetahuan, teknologi dan budaya. Kendati pun demikian tidak berarti manusia

memperoleh kepuasan, sebab sejalan dengan itu ada keinginan manusia untuk

membuka tabir misteri yang tidak dapat dijangkau dengan pengalaman dan

kemampuan akal semata-mata. Hal-hal yang luput dari indera dan akal manusia

itu adalah persoalan ghaib yang berkaitan dengan masalah ketuhanan.34

Manusia dengan pengalaman, perasaan dan pengetahuannya

mempercayai adanya sesuatu yang supranatural. Dzat yang mengatur dan

menguasai sistem kehidupan alam ini.

Perasaan ketuhanan pada dasarnya telah dimulai sejak manusia berada

dalam peradaban kuno, yang dikenal dengan kepercayaan animisme dan

dinamisme yaitu kepercayaan akan roh-roh halus melalui perantara benda-benda

yang dianggap memiliki kekuatan magis.

13

Page 14: Eksistensi Martabat Manusia

Mencari kebenaran tentang Tuhan ternyata tidak dapat diperoleh manusia

melalui pikiran semata-mata, kecuali diperoleh dari Tuhan sendiri. Artinya

informasi tentang Tuhan dinyatakan oleh Tuhan sendiri, atau dengan kata lain.

Informasi tentang Tuhan diberitahukan oleh Tuhan sendiri bukan dipikirkan oleh

manusia, sehingga dengan demikian informasi itu akan dapat diyakini

kebenarannya.

Informasi tentang Tuhan yang datang dari Tuhan sendiri adalah suatu

kebenaran yang mutlak, karena datang dari Tuhan sendiri. Hal ini dilukiskan

dalam firman Allah :

Q.S AlBaqarah (2): 118, yang artinya :

”Dari orang-orang yang tidak mengetahui berkata : Mengapa Allah

tidak (langsung) berbicara kepada kami atau datang tanda-tanda

kekuasan-Nya kepada kami ?. Demikian pula orang-orang yang

sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka itu : hati

mereka serupa. Sesungguhnya kami telah menjelaskan tanda-tanda

kekuasaan kami kepada kaum yang yakin”.35

Informasi itu hanya diberikan kepada orang yang dipilih Tuhan sendiri,

seperti firmannya :

Q.S Asy Syuun (42): 51, yang artinya :

“Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata

dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dengan

dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat)

lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia

Kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana”…36

Orang yang dipilih Allah untuk menerima informasi atau wahyu itu adalah

Nabi dan Rasul yang diberi jaminan oleh Allah sendiri untuk menginformasikan

wahyu kepada manusia lain dengan sebenarnya, seperti difirmankan-Nya :

Q.S An Najm (53): 2-3, yang artinya,

“Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru dan

tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur;an) menurut kemauan hawa

nafsunya. tiadalah yang diucapkannya ttu tiada lain hanyalah wahyu

yang diwahyukan (kepadanya). 37

14

Page 15: Eksistensi Martabat Manusia

Dengan demikian jelaslah bahwa kebenaran tentang Tuhan dalam

konteks Islam tidak datang dari pikiran manusia, tetapi datang melalui Tuhan

sendiri melalui wahyu yang diterima salah satu manusia yang ditunjuk dan dipilih

Tuhan sendiri. Jadi yakinlah bahwa informasi yang diterima manusia tentang

Tuhan akan mutlak kebenarannya.

DAFTAR KUTIPAN

Departemen Agama RI. “Al qur’an dan terjemahannya”, (Surabaya,

CV. Jaya Sakti, 1997), cet ke-3, h. 132 Ali Mohammad Daud, ”Pendidikan Agama Islam”, (Jakarta Raja

Grafindo Persada, 1995), cet, ke-2, h 10 3 Departemen Agama RI, op. cit; h. 154 Ibid, h. 559 5 Ibid, h. 9466 Ibid, h. 431 7 Ibid, h. 5088 Ibid, h. 370 9 Ibid, h. 1810 Muttahari, Murtadha, ”Perspektif alqur’an tentang manusia dan

Agama.” (Bandung, Mizan, 1993), cet ke-4 h. 11711 Departemen Agama RI, op. cit, h. 31 12 Ibid, h. 21713 Ibid, h. 105514 Ibid, h. 32215 Ibid, h. 109-11016 Mutahhari, Murtadha, op. cit, h. 12117 Departemen Agama RI, op. cit, h. 22318 Ibid, h. 43519 Ibid, h. 46020 Ibid, h. 100321 Ibid, h. 112222 Shariati, Ali, ”On The Sociology of Islam,” (Berkeley, 1974), h. 6723 Departemen Agama RI, op. cit, h. 66124 Shariati, Ali, op. Cit. h. 38

15

Page 16: Eksistensi Martabat Manusia

25 Mutahhari, Murtadha, op. cit, h. 12526 Departemen Agama RI, op. cit, h. 70227 Nasution, Harun, ”Islam di Tinjau dari Berbagai Aspeknya”, (Jakarta,

UI Press, 1986), cet ke-5, h. 928 Ibid, h. 1029 Ibid, h. 1230 Carrel, Alexis, ”Misteri Manusia”, (Bandung, Remadja Karya CV,

1987), cet ke-2, h. 3631 Ibid, h. 3632 Departemen Agama RI, op. cit, h. 37333 Ibid, h. 64534 Bueaille, Maurice, ”Asal-usul Manusia Menurut Bibel Al-Qur’an

Sains”, (Bandung, Mizan, 1984), cet pertama, h. 3035 Departemen Agama RI, op. cit, h. 3136 Ibid, h. 79137 Ibid, h. 871

16