Booklet LKM

40
Senin, 17 Maret 2014 LKM EXPO Lembaga Kajian Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta Resensi Buku Peluncuran Buku LKM UNJ Materi Kuliah Umum "Manusia dan Modernitas"

description

Buku terbitan Lembaga Kajian Mahasiswa

Transcript of Booklet LKM

Page 1: Booklet LKM

Senin, 17 Maret 2014

LKM EXPOLembaga Kajian Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta

Resensi Buku Peluncuran Buku LKM UNJ

Materi Kuliah Umum"Manusia dan Modernitas"

Page 2: Booklet LKM

2 LKM EXPO 2014

Page 3: Booklet LKM

3

DAFTAR ISIDaftar isi 3

Kuliah UmumProf. Mudji Sutrisno, SJ 5

Salam Pembuka! 14

Resensi Buku “Endemik Modernitas”Rizky Pudjianto 16

Resensi Buku “Hikayat Kampung Jakarta”Restu Suci Cahyaningrum 20

Resensi Buku “Landmark Jakarta”Fitriana Prajayanti 24

Resensi Buku “Manusia Kampus”Ida Ayu Nurafidllah 28 Resensi Buku “Masyarakat Desa”Yanu Setyaningsih 32

Resensi Buku “Menali Kehidupan danMeraut Kesabaran”Hadi Setioko 36

Page 4: Booklet LKM

4 LKM EXPO 2014

Page 5: Booklet LKM

5Kuliah Umum

I. Pascamodern Menuju Globalisasi; Arti dan Ciri

Masyarakat yang mengalami perkembangan, setelah melampaui tahap modernitas, akan sampai pada tahap pascamodernitas atau pascamodern. Pascamodernisme sebagai posisi teoritik dan filsafat yang bersumber pada pascastrukturalisme merupakan gaya seni dan estetik yang menolak prinsip-prinsip dan pemikiran-pemikiran modernisme. Di samping itu, pascamodernisme juga merupakan proses yang mendorong perubahan sosial yang menggerakkan transisi dari modernitas ke pascamodernitas. Sementara itu,yang dimaksud dengan globalisasi adalah proses dimana secara ekonomi, politis, sosial, kebudayaan dunia semakin terhubungkan satu sama lain.

Kebudayaan pascamodern dapat dikenali dari beberapa cirinya, yaitu ketika budaya dan media masa makin penting dan besar pengaruhnya dalam hidup bermasyarakat; kehidupan sosial dan ekonomi lebih berpusat pada konsumsi simbol-simbol dan gaya hidup dari pada produksi barang melalui kerja industri; ide mengenai realitas dan

Jalan Kebudayaan Menghadapi Globalisasi

Oleh: Mudji Sutrisno Budayawan dan Guru Besar STF Driyarkara dan

Universitas Indonesia

Page 6: Booklet LKM

6 LKM EXPO 2014

representasinya menjadi masalah; citra dan sejarah sebagai prinsip-prinsip yang menata produksi budaya; tampilan dan pertunjukan yang bergaya menjadi penting seperti parodi, ironi, ekletisme pop semakin menonjol ke depan; tatakota berbasis konsumsi mendominasi pada perkotaan pada dinamika jasa hiburan, kenikmatan dan gaya hidup di mall, taman hiburan, rumah-rumah, villa tematis dan hibriditas model-model perumahan (ala Raffles city, gaya Spanyol, lihatlah di Kepala Gading dan Cibubur).

II. Definisi Kebudayaan

Apa sebenarnya kebudayaan itu? Antropolog A.L Kroeber dan C. Kluckhon dalam buku Culture; A Critical Review of Concepts and Definitions (1952), mencatat 160 rumusan definisi kebudayaan, yang kemudian dipilah lagi dalam enam pengertian pokok kebudayaan. Definisi yang pertama adalah definisi deskriptif yang secara condong melihat budaya sebagai keseluruhan pemahaman yang merajut hidup sosial yang sekaligus menunjuk bidang-bidang kajian budaya. Berikutnya, secara historis, budaya cenderung dinilai sebagai warisan yang ditradisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Definisi normatif mencakup dua hal, sebagai jalan hidup yang membentuk pola perilaku dan tindakan konkrit serta menaruh budaya sebagai aturan, juga melihat budaya sebagi gugusan nilai. Definisi psikologis melihat budaya dalam perannya (fungsi) untuk memecahkan masalah dalam komunikasi, belajar dan memenuhi kebutuhan material dan emosionalnya. Definisi struktural menempatkan budaya sebagai bentukan sistem yang mengaitkan orang, fakta, laku sejarah menjadi sebuah abstraksi struktural. Budaya juga ditempatkan dalam asal-usulnya, eksistensi dan

Page 7: Booklet LKM

7Kuliah Umum

tetap bertahannya, inilah yang akan menjadi definisi genetis. Disini budaya lahir dari interaksi antar manusia yang men-tranmisi-kan nilai lewat tradisi dari generasi ke generasi.

Untuk mempokuskan lebih sempit dalam sehari-hari, Raymond Williams dalam bukunya yang berjudul Keywords (1976) menerangkan tiga makna kebudayaan yang paling sering dipakai dewasa ini. Pertama, budaya adalah setiap dinamika perkembangan intelektual spritual dan estetika invidu, kelompok atau masyarakat. Kedua, kebudayaan merangkum kegiatan-kegiatan intelektual dan estetik serta produk-produknya seperti film, kesenian, teater. Disini kebudayaan dipakai amat sering utnuk menamai kesenian. Ketiga, kebudayaan itu menyangkut seluruh cara hidup, kepercayaan, aktivitas dan kebiasaan seseorang, kelompok atau masyarakat.

III. Bingkai-Bingkai Refleksi

1. Bingkai Ekonomis

Fenomena globalisasi sebagai fenomena saling terhubungkannya duni menjadi satu dalam bingkai ekonomis merupakan the development of neos liberal capitalism heldped by technological and informational changes, including aspect like liberazation of international trade, expansion of foreign investment, cross-border production system, privitazion of teh public sector, liberazation of labour laws, and other government regualatory system (group of experts on hold world economy and social ethics(2002)).

Page 8: Booklet LKM

8 LKM EXPO 2014

Jadi, ekonomi pasar global dipacu oleh badan-badan internasional seperti Bank Dunia IMF, WTO yang menempatkan globalisasi sebagai proses ekonomisasi, didukung teknologi maju dan informasi dan komunikasi yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi dampak kultural serta paradoks ketegangan. Misalnya, seorang buruh tekstil di USA dalam dirinya terbelah mengalami diuntungkan dengan bisa membeli baju impor dari Cina yang murah sekali sebagai consumer, namum ia terancam pekerjaannya karena pabriknya tidak bisa memberi gaji lebih tinggi lagi karena saingan harga tektil internasional.

Jika globalisasi itu telah terjadi, maka timbul pula beberapa paradoks sebagai berikut; keterbukaan ke dunia global (satu universum komunikasi sejagat) versus neokolonialisme dan imperialisme (ekonomi, politis dan kultural); kebebasan invidu untuk (freedom for) mengakses informasi lewat jaringan internet, versus mengelompokkannya kembali tertutup dalam komunalisme dengan kebangkitan komunal-komunal radikal serta proyek-proyeknya untuk survival penyeragaman budaya dan gaya hidup, penampilan versus bangkitnya dan menguatnya identitas-identitas kelompok atau etnik, lokal berdasarkan primordialisme; konsumerisme versus sustainable development, lokal versus kewargaan global; diturunkannya fungsi posisi agama-agama lembaga karena “materialisasi”, yaitu harta, uang, materi, kekuasaan, gengsi, gaya hidup, kebebasan ekspresi dan seks serta individualisme ekstrim lebih menarik dan tampil daripada simbol-simbol agama yang “kuno” dan “tradisional”.

Dari bingkai ekonomis diatas yang berada di dalamnya

Page 9: Booklet LKM

9Kuliah Umum

adalah seperangkat ide, tindakan praktis sistemik dan gerak jaringan yang menomor-satukan laba (keuntungan).

Market are human institutions and they need rich institutional context (atate, laws, civil society, trust, etc.) to work properly. Markets are an instrument for efficient allocation of resources for production, minimizing waste.

2. Bingkai Konsumeristis

Hasil langsung globalisasi yang ada di depan kita dan kita hidup di dalamnya adalah masyarakat yang konsumeristis dengan cirri utama masyarakat tidak membeli barang-barang materi atas dasar kegunaan untuk kebutuhan hidup hariannya, tetapi membeli komoditas karena mau terus memuaskan hasrat beli konsumsi yang dipacu oleh iklan-iklan demi gaya hiidup, demi identitas posisi sosial hasil citraan serta menikmati tindakan membeli sistem tanda bersama itu untuk prestige identitas. Contohnya dengan penikmatan mobil-mobil jaguar, baju dan kosmetika Armana, St.Yves, St.Laurent yang dibeli dan dipakai sebagai ikon modern.

Cirri utama dari konsumeristis misalnya ketika media massa dijadikan eksotisme liturgi penikmatan dan ruang ekspresi kebebasan dan tubuh manusia menjadi objek konsumen. Logika komoditas menjadi logika umum yang mengatur kebudayaan, hubungan antar manusia termasuk fantasi, hasrat-hasrat manusia dengan logika komoditas ini, hasrat-hasrat dimanipulasi, diproduksi, ditata menjadi “citra”, imajinasi dan model-model yang tiap kali dikonsumsi, dipanggungkan dan digairahkan.

Page 10: Booklet LKM

10 LKM EXPO 2014

Apa yang hilang dari itu semua? Yang hilang bukan hanya refleksi mengenai diri manusia saja, tetapi perspektif manusia mengenai dirinya itulah yang lenyap. Jadi masyarakat konsumenristis tidak hanya kehilangan banyangan dirinya, refleksi tentang dirinya, tetapi juga seluruh cermin sudah tidak ada lagi. Inilah keterasingan manusia dalam masyarakat konsumeristis. Bila ia terasing dengan citranya, lalu sesamanya akan ia sapa bagaimana? Secara singkat dapat dikatakan bahwa manusia subjek dalam tantangan dibentuk citranya oleh dunia citraan-citraan yang mengasingkannya.

3. Bingkai Nilai

Dengan materialisasi uang, maka hubungan antara manusia disempitkan dalam hubungan yang saling “membendakan” dalam proses reifikasi. Ukuran nilai acu adalah laba, imbalan materi, uang, praktis dan nilai-nilai pragmatis rill langsung yang memundurkan nilai “abstrak” solidaritas, rela peduli untuk korban dan memberi tanpa hitung-hitungan.

Logika nilai uang sebagai nilai tukar yang mereduksi nilai-nilai spiritual, inspirasi, kreasi atau kekayaan-kekayaan nilai lain yang tidak bisa ditukar dengan nilai uang. Kita bisa membandingkan sejarah dipakainya uang sebagai nilai tukar yang langsung berparadoks dengan nilai guna.

Terjadi erosi budaya-budaya tradisional dan kepercayaan-kepercayaan agamis yang didasari berlansung dimana-mana, terutama ketika “yang transenden” digantikan dengan yang imanen. Dalam menghadapi situasi krisis acuan

Page 11: Booklet LKM

11Kuliah Umum

nilai ini, strategi kebudayaan menempuh jalan proses sebagai berikut:

Counter culture. Perlu adanya peta dan map of our values dengan pertanyaan; adakah nilai itu masih dihidupi (question of being); Question of Belonging, dihayati sampai dibatinkan menjadi milik; Question of Becoming.

Jalan Kebudayaan

Menghadapi segala perkembangan di era globalisasi, diperlukan strategi kebudayaan, yaitu jalan para pendiri bangsa RI, jalan cerdas dan jalan mempertemukan kepentingan versus nilai.

Jalan para pendiri bangsa RI ditapaki dengan menguasai logika, pemikiran, bahasa, cara-cara organisasi “penjajahnya” dan merebutnya dengan pencerdasan kehidupan bangsa. Contohnya sebagaimana yang dilakukan oleh Bung Karno, Bung Hatta, Agus Salim, Tan Malaka dan sutan Sjahrir.

Jalan cerdas mengutamakan kesadaran bahwa tiap individu kita, di satu pihak adalah subjek pencipta sejarahnya dengan perilaku cerdas kerena nurani jernih yang bisa diharapkan membuat sistem, konstuksi struktur yang cerdas bagi hidup bersama. Ini merupakan tataran proses peradaban nilai dalam pembatinan pendidikan nilai-nilai. Sementara di lain pihak, disadari pula bahwa tiap manusia lahir dalam tradisi nilai budaya yang sudah ada lebih dahulu entah berupa adat, adab, agama atau kearifan lokal. Disini

Page 12: Booklet LKM

12 LKM EXPO 2014

ia “sudah dibentuk oleh tradisi kearifan-kearifan budaya tempat ia lahir dan berasal. Disini kebudayaan sering di tafsirkan sebagai “beban tradisi” atau tugas di pundak untuk dihidupi menghadapi tantangan perubahan-perubahan dunia. Maka muncul proses-proses bernama reaktualisasi, restrukturalisasi, retradisionalisasi budaya.

Padahal yang kita butuhkan adalah strategi transformasi budaya, yang berarti kritis terhadap nilai yang menjajah kita, yang (membuat) dehumanis terhadap sesama maupun lingkungan hidup serta membahasakan secara baru setelah menguji diuji tantangannya. Transformasi budaya nilai-nilai ini melalui proses, dialektika, assimilasi inkulturatif ataupun asmosis (mengambil yang baik untuk dihayati ke depan dengan proses saling membuahi hingga muncul ketangguhan nilai itu.

Contoh paling cerdas adalah khasanah kekayaan pribahasa-pribahasa kita yang dengan cerdas kearifan-kearifan. Nusantara mampu menguji hidup dan merangkum tantangan global dengan mengukurnya dari pemuliaan kehidupan yang dirayakan dan dihidupi dalam seni, festival, upacara religi.

Misalnya, ukuran imbang dalam menghayati hidup terumuskan padat, penuh makna dalam satu peribahasa “bayang-bayang hendaknya sepanjang badan”. Sang cahaya itulah yang membuat bayang-bayang dan pada manusia jangan melebihi anugerah badanmu!

Jalan ketiga berupa ruang berperangnya kepentingan

Page 13: Booklet LKM

13Kuliah Umum

berlangsung melawan nilai. Disinilah perang politik dan ekonomi atau perang ekonomi budaya atau politik kebudayaan terjadi. Padahal jalan peradaban untuk mempertemukannya adalah duduk bersama lalu menyepakati “kepentingan demi nilai kebersamaan” agar globalisasi tidak menghancurkan bumi semesta kebersamaan kita, tidak menghabiskan kekayaan alam serta tidak memaparkan jurang mengerikan antara konsumsi Negara maju untuk kosmetika dan kultur tubuh lebih besar dari jumlah miliaran dolar yang dikumpulkan PBB untuk membantu air bersih dan sekolah di Negara amat miskin. Ini contoh paradoks global! diantara kita? Para agamawan dan agamis. Lewat perang atau jalan tanpa kekerasan? Politik Negara dan pemerintah jadi menentukan ketika globalisasi menyangkut perjuangan kepentingan masing-masing Negara untuk daulat budayanya, daulat ekonomi dan politiknya agar daulat sosial terhayati!***

Page 14: Booklet LKM

14 LKM EXPO 2014

Kabar gembira bagi para pencinta literasi, bahwa penggiat Lembaga Kajian Mahasiswa, Universitas Negeri Jakarta kini akan melaunching buku-bukunya.

Proses panjang dalam sebuah pembelajaran di sebuah lembaga penalaran ini, menghasilkan berbagai pemikiran yang di tuliskan dalam suatu wadah, yaitu buku.

LKM bergerak dalam tiga ranah, yaitu kajian, penulisan dan public speaking. Layaknya sebuah tubuh, kajian dan public speaking bagaikan roh dan penulisan adalah jasadnya. Dalam kegiatan kajian biasanya di LKM membahas sebuah persoalan dari ranah pendidikan, politik, budaya, dll. Kegiatan public speaking pun dilakukan untuk menumbuhkan keterampilan dalam berbicara di depan orang banyak. Dalam kegiatan penulisan sendiri, di LKM banyak belajar tentang menulis feature, yaitu sebuah tulisan bertutur, yang menceritakan suatu hal dengan penggambaran yang jelas dan nyata. Sehingga buku yang akan di launching oleh penggiat LKM ini dituliskan dengan gaya feature.

Di dalam bulletin ini, kami menghadirkan tulisan pemikiran Prof.Dr.Mudji Sutrisno. SJ dan Irsyad Ridho, M.Hum tentang Manusia dan Modernitas. Kedua tokoh tersebut adalah pembimbing para Penggiat LKM dalam

SALAM PEMBUKA

Page 15: Booklet LKM

15Salam Pembuka

mengembangkan organisasi ini. Ada juga 6 tulisan resensi buku terbaru hasil karya penggiat LKM UNJ, adapun keenam buku itu adalah Landmark Jakarta, Endemik Modernitas, Manusia Kampus, Masyarakat Desa, Menali Kehidupan dan Meraut Kesabaran dan Hikayat Kampung Jakarta. Besar harapan buku-buku tersebut dapat bermanfaat dan menjadi acuan untuk terus berkarya.

Salam

Tim Redaksi

Page 16: Booklet LKM

16 LKM EXPO 2014

Syarat pembangunan adalah meningkatkan harkat dan martabat bagi manusia untuk berkehidupan yang lebih layak, maka fungsi pembangunan memiliki peran sangat

penting dalam membentuk pola struktur sosial masyarakat. Jalannya pembangunan sangat menentukan manusia, jika pembangunan itu salah maka harus ada yang di korbankan dari pembangunan. Namun jika pembangunan itu benar, maka keadilan, kesejahteraan, serta rasa tanggung jawab melekat dalam diri manusia sebagai makhluk sosial.

Kota yang seharusnya menjadi contoh pembangunan karena penyebaran teknologi lebih pesat di perkotaan, malah menyimpan banyak masalah, semua rekam jejak masalah

Pemerataan Pembangunan: Menuntaskan atau Meneteskan Kemiskinan?

Oleh: Rizky Pujianto

Judul : Endemik Modernitas (Polemik Pembangunan Jakarta)

Penulis : Tim Penulis LKM UNJ

Ukuran : 11x19 cm

Halaman : 160 halaman

Penerbit : Pustaka Kaji

Page 17: Booklet LKM

17Pemerataan Pembangunan: Menuntaskan atau Meneteskan Kemiskinan?

sangat terlihat jelas dalam buku ( ENDEMIK MODERNITAS, Polemik Pembangunan Jakarta). Tulisan Hesti Herminiati menggambarkan wajah-wajah manusia kota yang tidak diuntungkan dari proses pembangunan. Kemiskinan, termarjinalkan, dan terdiskriminasi melekat dalam perkampungan Gang Sungsit kawasan Pulogadung.

Dalam buku Endemik Modernitas Hesni mencoba mengungkapkan bagaimana perjalanan wanita paruh baya bernama Emak Suparmi begitu sapaan akrab oleh masyarakat Gang Singsut, ia harus melawan kerasnnya hidup dengan menjajakan gorengan dan minuman untuk menafkahi anaknya setelah dihantam badai perceraian oleh suaminya. Single parent menjadi status Emak Suparmi, namun semua itu bukanlah akhir dari kehidupannya yang masih panjang terbentang dari cita-citanya.

Selain itu bukan hanya masalah personal dari tiap-tiap individu, Hesni juga mengungkap ketidak diuntungkannya dari proses pembangunan. Ini terlihat dari pencemaran air di Gang tersebut yang justru sebagai kebutuhan utama untuk kebutuhan sehari-hari warga berbau busuk dan licin. Bahkan Gang Sungsit bisa dikatakan sebagai lingkungan tidak sehat, keberadaannya terletak dekat dengan kali yang di penuhi oleh-sampah-sampah kiriman, industri, dan pasar. Bahkan warga harus menghadapi banjir tahunan, dengan lama surut hampir satu bulan, namun sekalipun warga harus rela menjalani hidup dengan kondisi demikian.

Kemudian representasi pembangunan yang timpang juga di perlihatkan oleh tulisan Wicakti Woro, menggambarkan perkembangan hutan bakau di Muara Angke mengalami penurunan dari 1.000 Ha kini tersisa 200

Page 18: Booklet LKM

18 LKM EXPO 2014

Ha. Kondisi demikian menyebabkan durasi banjir semakin cepat menyambangi daerah Muara Angke, hingga banjir seakan menjadi takdir yang harus terus dirasakan oleh warga sekitar Muara Angke. Pembangunan perumahan pantai indah kapuk (PIK), pusat perbelanjaan, dan Industri telah meluluh lantakan penghuni pohon bakau oleh marga satwa setempat, demi mengedepankan kenyamanan bagi manusia dan mengacuhkan para marga satwa. Jika mengutip bahasa Freud Horisond dalam tulisan Rianto dalam buku Endemik Modernitas, mengatakan sumber krisis ekonomi paling utama adanya praktik monopoli tanah dan spekulasi tanah.

Kita telah kehilangan keseimbangan yang diakibatkan oleh pembangunan, kita tahu bahwa penghuni alam bukan hanya manusia seorang, ada banyak mahkluk lainya yang ingin hidup damai dan tentram. Namun kita telah menyikut penghuni alam itu, demi memuaskan hasrat bagi manusia untuk menguasai alam. Padahal jika di tinjau manfaat hutan bakau memiliki fungsi ekologis dalam menjaga keseimbangan, diantaranya pertama sebagai fungsi hidrologis dalam menjaga kandungan air dan penyedia habitat satwa, kedua nilai ekonomis, yakni hutan bakau sebagai penghasil kayu dan plasma nuftah, dan ketiga sebagai aspek sosial, yakni hutan bakau menyediakan sarana penelitian dan pendidikan bagi para pengunjungnya. Kini akibatnya pembangunan kita terancam kehilangan fungsi ekologis sebagai naspek penyeimbang diantara berbagai mahkluk alam.

Kini sosok pemuda bernama Hasim mengisahkan, dalam dirinya kehilangan akan suara-suara kera yang dahulu meriuk-riuk menghiasi suasana daerah Muara Angke. Kini suara itu harus hilang berganti dengan suara bising kendaraan akibat kemacetan dan suara bising industri yang

Page 19: Booklet LKM

19Pemerataan Pembangunan: Menuntaskan atau Meneteskan Kemiskinan?

bergemuruh karena gilasan kuatnya sepatu pembangunan demi keuntungan dan kenyamanan manusia itu sendiri.

Disini kita sebenarnya di ajak melawan atau sekalipun kita diajak untuk melumpuhkan kekuatan alam, padahal sebenarnya itu hanya akan mencelakakan manusia, pembangunan yang kini kita rasakan tidak lagi menyatu dengan alam, dan tidak lagi berdampingan dengan alam, lebih dari itu kita kini mencoba memusuhi alam. Selain itu peran pemerintah sebagai power legitimation selalu berat sebelah dalam menindak dan memberikan keputusan, dan janji yang sangat sulit terealisasikan.

Tentu membaca Endemik Modernitas bisa menjadi refleksi bagi kita tentang keadaan pembangunan abad-21, sudah saatnya pembangunan kita harus menyatu dan berdampingan dengan alam agar manusia bisa tetap harmonis dengan makhluk lainnya di bumi ini. Semoga.

Page 20: Booklet LKM

20 LKM EXPO 2014

Jakarta, kota metropolitan yang sibuk oleh sebab ia adalah ibu kota negara. Di sini, segalanya berpusat, mulai soal perekonomian, pemerintahan, kekuasaan, dan

segalanya. Semua orang berporos kepadanya setiap kali ingin memperbaiki hidup. Di tengah kota ini kita akan menjumpai gedung pencakar langit yang tinggi, perumahan mewah dan fasilitas umum yang tergolong baik. Aksesbilitas yang memadai dengan keberadaan jalanan yang cukup besar dan lebar menjadi salah satu keunggulannya.

Sebagai ibu kota dengan segala kemodernitasannya, Jakarta menggundang pesona jutaan manusia. Penghuninya bukan lagi warga asli, malah jumlahnya kian kalah dengan

Melihat Jakarta dari Gang Kecil

Oleh: Restu Suci. C

Judul : Hikayat Kampung

Jakarta

Penulis : Tim Penulis LKM

UNJ

Ukuran : 11x19 cm

Halaman : 164 Halaman

Penerbit : Pustaka Kaji

Page 21: Booklet LKM

21Melihat Jakarta dari Gang Kecil

banyaknya kaum pendatang. Segala suku hadir hidup di sini. Mereka berbaur dan bersosialisasi dengan penduduk asli dalam suatu lingkungan tempat tinggal di penjuru kota. Menyebar. Dari pusat hingga pinggiran kota. Di sinilah, kota Jakarta menjadi potret kehidupan masyarakat Indonesia sekaligus.

Namun jika kita melirik sedikit di sudut kota ini, dalam ruang yang terbatas, Jakarta bukan saja ditutupi oleh gedung pencakar langit yang tinggi atau perumahan mewah. Tapi, di balik bangunan itu, terselip ruang yang menyimpan cerita bagi warganya. Di situlah kehidupan bermula dalam ruang yang tak sebesar populasi Jakarta secara keseluruhan. Ruang-ruang yang terhubung dengan gang-gang kecil. Di gang-gang itulah, kemetropolitan kota diragukan.

Gang-gang menjadi akses ke tempat padat penduduk Jakarta. Dengan melewati gang-gang tersebut, kita dekat dengan masyarakat, sehingga kita dapat menyoroti setiap hal yang detail. Melihat sisi kehidupan, dari segala aspek, ekonomi, sosial dan budaya. Semua terlihat dengan pengamatan yang tak palsu.

Demikianlah yang dilakukan oleh pembelajar LKM (Lembaga Kajian Mahasiswa), para penggiat literasi, dalam sebuah buku Hikayat Kampung Jakarta. Melalui buku ini, kita akan sama-sama melihat bagaimana sebuah reportase berhasil menangkap informasi yang bukan saja sekedar informatif bagi yang baca, namun juga menyentuh melalui kisah tokoh yang memiliki keteguhan prinsip di tengah arus modernitas. Buku ini ditulis dengan gaya penulisan yang ringan, bernama feature. Namun, tentu saja informasi yang disampaikan bukan sembarangan. Secara keseluruhan,

Page 22: Booklet LKM

22 LKM EXPO 2014

Hikayat Kampung Jakarta berusaha menelisik sisi lain dari megahnya kota, penulisnya bercerita tentang Jakarta dalam perspektif kesederhanaan yang luhur lewat realitas-realitas sosial yang tersaji.

Dalam buku ini terdapat 14 judul tulisan dengan kisah yang berbeda. Kisah-kisah yang dipaparkan dalam buku ini sedikit banyak mewakili kisah dalam aspek kehidupan, antara lain berkisah bagaimana musik adalah sebuah ikon budaya yang lestari di sebuah gang kecil. Hadi Setioko yang mengangkat fakta tersebut. Ia mencoba menggungkapkan ektensitensi musik tanjidor. Di tengah modernitas kota, musik ini masih hadir dalam gang yang bernama Gang Kecapi. Di sanalah, musik ini masih berbunyi dan memanjakan telinga di kala kebisingan kota. Hadi juga menceritakan seorang tokoh berusia 60 tahun bernama Sait yang terus konsisten dan setia turut melestarikan musik tradisional dan asli Betawi yang dulunya berjaya ini.

Ada pula cerita lain yang juga menarik dalam buku ini, tulisan Anis Septiani yang melihat sisi lain dari Jakarta. Sesuatu yang mungkin saja tidak pernah diketahui oleh kebanyakan orang. Dia mengangkat cerita perekonomian sapi perah yang berlokasi di kawasan elit Kuningan. Di sana hidup beberapa produsen susu sapi yang memulai usahanya sejak tahun 60an. Anis menguak sejarah seputar kawasan Kuningan tempo dulu sebagai sebuah kampung. Namun, beda dulu beda saat ini, usaha sapi perah yang awalnya digeluti oleh banyak warga, kini hanya ada 10 produsen yang masih bertahan. Di tulisan Anis, kita akan melihat bentuk kontadiktif kehidupan perekonomian masyarakat dalam satu kawasan, antara Kuningan elit dan Kuningan tempat usaha susu sapi. Di sisi lain, tulisan Anis memang informatif dengan mengatakan jika

Page 23: Booklet LKM

23Melihat Jakarta dari Gang Kecil

kawasan tersebut dulunya adalah tempat produksi susu sapi terbesar di Jakarta, bahkan ada salah satu gang yang dinamai dengan gang susu.

Lain pula dengan tulisan Annissa Dewanti Putri, seorang mahasiswi Jurusan Teknik Sipil yang berkisah mengenai sebuah fungsi gang sebagai tempat melakukan pekerjaan. Dewan menegaskan jika bukan saja orang Betawi dan orang Jawa yang hidup di sana, tapi ada ratusan meuble yang tercipta di gang yang memang terkenal dengan usaha furniture.

Lalu ada pula tulisan dari Risda Maleva Juni tentang perjalanannya menelusuri daerah padat penduduk di wilayah Jakarta Utara. Dalam kisahnya, Risda bersikap sangat peka atas rasa cemas akan kehidupan warga yang tinggal di bawah menara tegangan tinggi, lebih dikenal dengan sebutan SUTET. Ia mencoba menggambarkan kehidupan normal warga, meski bahaya kapan saja bisa mengancam mereka.

Membaca Hikayat Kampung Jakarta akan memberikan nilai lain dari sebuah fungsi gang-gang kecil yang ada di Jakarta bahwa gang bukan sekedar jalanan tanpa nilai. Melalui gang-gang itulah, kita akan lebih dekat dengan masyarakat, melihat apa yang mereka lakukan, bagaimana mereka hidup dan sebagainya. Sebab gang menjadi salah satu tempat aktivitas sosial, tempat bertemu dan bersosialisasi, tempat perdagangan dan pertukaran barang bahkan untuk melakukan pekerjaan.

Page 24: Booklet LKM

24 LKM EXPO 2014

Jakarta, kota terbesar dan tersibuk yang ada di Indonesia tidak akan pernah ada habisnya untuk diceritakan. Dengan segala permasalahan perkotaan yang kompleks, kota

Jakarta seolah-olah masih menyimpan sejuta misteri yang masih belum terkuak. Ditambah lagi dengan masyarakatnya yang makin beragam dari waktu ke waktu, cerita-cerita tentangnya selalu memiliki corak warna yang begitu kaya.

Sebagai layaknya sebuah kota yang megah, sebuah ibu kota negara biasanya memiliki landmark yang menjadi simbol dari eksistensi kemetropolitan sebuah kota. Namun landmark tidak hanya menjadi simbol dari kejayaan dan kemodernitas dari sebuah kota. Kejayaan masa lalu yang tidak berlanjut

Realitas Sosial Jakarta dalam Masa Lampau, Masa Kini, dan Masa Mendatang

Oleh Fitriana Prajayanti

Judul : Landmark Jakarta

Penulis : Tim Penulis LKM

UNJ

Ukuran : 11x19 cm

Halaman : 242 Halaman

Penerbit : Pustaka Kaji

Page 25: Booklet LKM

25Realitas Sosial Jakarta dalam Masa Lampau, Masa Kini, dan Masa Mendatang

dan kemiskinan merupakan contoh realita yang ikut terekam bersamaan dengan terceritakannya kisah tentang landmark di kota Jakarta.

Penulis-penulis yang tergabung dalam LKM UNJ dalam bukunya Landmark Jakarta, Relasi Sosial dan Ruang Publik ini mencoba untuk mengulik sisi lain dari kota Jakarta melalui landmark-landmarknya. Banyak hal baru yang asing bagi masyarakat Jakarta sendiri untuk diangkat dalam buku ini seperti sejarah keberadaan landmark itu sendiri dengan kekinian eksistensiannya. Selain itu masalah klasik perkotaan seperti kemiskinan, kesemrautan, dan ketidakadilan banyak mewarnai kisah didalamnya.

Namun dengan gaya penulisan jurnalisme sastrawi yang kadang berangkat dari nilai personal dari penulisnya masing-masing, berbagai permasalahan yang ada di dalam setiap ceritanya begitu mengesankan sesuatu yang berbeda. Sejarah dan realita sosial nyatanya masih tetap bisa diceritakan dengan objektif sekaligus merenggut emosi kesan yang berarti.

Kisah-kisah yang dituliskan oleh mahasiswa-mahasiswi LKM UNJ ini sebagian diantaranya ada yang berupa pemaparan realitas perubahan makna eksistensi sebuah landmark di Jakarta. Seperti yang dituliskan oleh Larissa Huda dalam kisahnya yang berjudul Citius Altius Fortius, yang menceritakan tentang Gelora Bung Karno di daerah Senayan Jakarta. Menurut apa yang Larissa kisahkan, Gelora Bung Karno yang dulunya menjadi simbol kebanggaan bagi Indonesia dalam memfasilitasi bidang olahraga sekarang justru bergeser maknanya menjadi dikenal dengan daerah yang begitu metropolis. Tempat dimana kebutuhan shopping

Page 26: Booklet LKM

26 LKM EXPO 2014

kalangan menengah keatas justru menjadi lebih termanjakan.

Ada pula hal yang sepele namun sangat menarik dalam buku ini seperti telah diceritakan oleh Luthfy Mairizal Putra tentang kehidupan orang-orang yang tinggal dan bermatapencahariaan di daerah Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Mahasiswa yang berkuliah di jurusan ekonomi dan koperasi UNJ ini memotret realita baik itu dimasa lampau maupaun masa sekarang dari Lapangan Banteng. Lapangan Banteng yang sudah berdiri sejak abad ke 17 itu ternyata telah memiliki berbagai macam kegunaan yang terus berubah hingga zaman sekarang di abad ke 21 ini. Berjuta kisah dari orang-orang yang hidup didalamnya tidak bisa terlepas dari eksistensinya. Salah satu kisah yang ia ceritakan yaitu tentang seorang waria bernama Ari. Lapangan Banteng menjadi tempat dimana Ari bertemu dengan pelanggan-pelanggannya, dimana salah satu atau dua kisah pertemuan mereka diceritakan oleh Luthfy, dan menjadi pemberi corak yang unik dari sekian juta kisah yang bersinggungan dengan tempat tersebut.

Dalam buku ini, banyak pula sisi personal dari penulis yang coba untuk disinggungkan kedalam informasi yang ingin disampaikan dari sebuah landmark. Namun informasi tersebut tetap tidak kehilangan nilai objektifisannya. Malahan justru dengan upaya ini, makna informasi dari sebuah tempat menjadi lebih mendalam dan spesifik. Seperti cerita perjalanan yang dikisahkan oleh Hamzah Muhammad Al-Ghozi , seorang mahasiswa UNJ, pegiat sastra kampus yang sangat mencintai seni. Perjalanannya menelusuri jejak sejarah dan makna eksistensi dari Gedung Kesenian Jakarta menjadi bacaan yang penuh dengan semangat untuk mengapresiasi kegiatan seni, karena ia telah berhasil mengawinkan

Page 27: Booklet LKM

27Realitas Sosial Jakarta dalam Masa Lampau, Masa Kini, dan Masa Mendatang

informasi tentang GKJ dengan rasa kecintaannya tersebut .

Lalu ada pula tulisan dari Hilda Nurwulandari tentang perjalanannya menelusuri daerah museum kemaritiman dan sekitarnya. Dalam kisahnya, museum kemaritiman yang daerah sekitarnya masih dimiriskan dengan gambaran kemiskinan rakyat pesisir pantai, Hilda mencoba untuk mengangkat tidak hanya nilai sejarah dan perkembangan makna dari daerah tersebut. Ia juga mencoba untuk mengisahkan optimisme akan rencana dan harapan dari penduduk sekitar dan seorang pemandu wisata akan tempat yang sesungguhnya, bisa memberikan rasa kebanggaan yang lebih lagi terhadap warga Jakarta jika saja tempat tersebut bisa lebih teratur dan bersih.

Landmark adalah suatu tempat yang menjadi symbol sebuah kota karena memiliki makna sejarah yang mendalam, baik yang kisah masa lalunya berkaitan dengan sejarah kota itu sendiri atau sejarah nasional negaranya. Landmark biasanya dibangun berupa bangunan fisik seperti taman kota, patung, dan monumen. Akan tetapi landmark seolah-olah yang peruntukannya sebagai pengingat akan nilai-nilai historis, justru berbaur begitu saja dengan realitas perkotaan yang begitu dekat dengan masalah-masalah yang ada didalamnya.

Realitas atau kenyataan tidak hanya melulu soal masalah yang dirasakan oleh rakyat Jakarta dimasa kini. Realitas yang diantaranya berupa masalah perkoataan di Jakarta, nyatanya selalu berkaitan dengan masa lalu dan juga masa depan, yang terangkum dalam harapan-harapan dari para penghuni kota terpadat di bangsa kita ini. Dan landmark-landmark di dalamnya dapat merepresentasikan itu semua.

Page 28: Booklet LKM

28 LKM EXPO 2014

Sekitar sepuluh jam setiap harinya sebagian besar mahasiswa menghabiskan waktunya di kampus. Bahkan bisa jadi lebih. Seperti memiliki perekat tersendiri,

mahasiswa dan kampus adalah bahasan yang tidak pernah ada habisnya. Mahasiswa dan kampus berinteraksi secara konstan setiap harinya. Sehingga tercipta sebuah budaya yang mengakar dari generasi ke generasi ataupun budaya baru karena adanya manusia-manusia baru pula.

Dalam esai antologinya kali ini, Manusia Kampus menceritakan berbagai kisah mahasiswa, kampus dan sekitarnya. Mulai dari komunitas yang terdapat dikampus seperti komunitas vespa, komunitas Bike to Campus (B2C),

Kala Kampus Menggoda

Oleh: Ida Ayu Nurfadillah

Judul : Manusia Kampus

Penulis : Tim Penulis LKM

UNJ

Ukuran : 11x19 cm

Halaman : 116 Halaman

Penerbit : Pustaka Kaji

Page 29: Booklet LKM

29Kala Kampus Menggoda

komunitas mahasiswa pedagang sampai komunitas ORMAWA gedung G. Menariknya buku antologi ini tentu bukan hanya menceritakan tentang komunitas saja. Dengan gaya bahasa bertutur atau biasa disebut feature, para penulis memaparkan tulisannya secara apik dan ciamik sehingga mudah dipahami pembaca.

Kampus A bukan satu-satunya setting dalam esai antologi ini. Adit seorang mahasiswa Fisika 2009 yang berkuliah di Kampus B Universitas Negeri Jakarta menceritakan tentang sekumpulan mahasiswa yang menjadi marbot masjid di kampusnya. Tekanan biaya kos yang tidak murah membuat sekelompok mahasiswa ini berinisiatif menjadikan masjid MUA sebagai tempat melepas penat di kala malam. Namun tentu saja dengan mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan para pengurus mesjid. Bukan hanya tempat beristirahat, sekelompok mahasiswa marbot ini menjadikan waktu malam mereka untuk mendiskusikan banyak hal, sehingga mesjid tidak lagi terlihat sepi.

Kebiasaan sekelompok mahasiswa nongkrong juga tak luput dari perhatian penulis. Seperti dalam esai berjudul “Nongkrong disudut parkir” dan esai “The Beach, Santai Kaya di Pantai Selow Kaya di Pulau” digambarkan bahwa manusia kampus (baca: mahasiswa) tidak jauh dari kata “nongkrong”. Baik yang nongkrong karena berkepentingan atau nongkrong sebatas ngobrol mengisi senggang sambil menunggu mata kuliah selanjutnya. Bagi yang sudah memiliki pasangan, nongkrong juga merupakan salah satu cara mengisi waktu di sela-sela kuliah. Hal ini yang digambarkan Nirwana Fauziah, seorang mahasiswa Ekonomi angkatan 2009. Menggunakan judul “Sambil Kuliah, Mencari Cinta”, Nirwana menggambarkan bagaimana peran cinta yang tak ingin kalah

Page 30: Booklet LKM

30 LKM EXPO 2014

saing dalam sebuah pergerumulan kaum adam hawa di kampus.

Pemaparan esai feature yang sebagian besar ditulis menggunakan pembabakan akan membuat pembaca lebih mudah dan fokus dalam memahami apa yang ingin penulis sampaikan. Bagaimanapun, jumlah pemaparan yang tidak seimbang dari satu penulis ke penulis lainnya membuat timbulnya ketidakharmonisan jika dilihat dari segi estetik. Sehingga beberapa tulisan terkesan lengkap dan detail sementara beberapa lagi tidak.

Terlepas dari itu, buku antologi esai ini sangat berguna bagi mereka yang ingin lebih tahu bagaimana kehidupan kampus dengan manusia-manusia didalamnya. Sehingga bagi pembaca yang berstatus mahasiswa bisa jadi esai ini mengkritik. Sedangkan bagi yang baru akan menempuh dunia kampus atau yang sudah melewati status mahasiswa, esai ini menjadi gambaran yang boleh jadi menggelitik.

Page 31: Booklet LKM

31Kala Kampus Menggoda

Page 32: Booklet LKM

32 LKM EXPO 2014

Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan pedesaan. Meskipun demikian belum semua pedesaan tersentuh oleh

pembangunan. Akibatnya ketika mendengar kata “orang desa” presepsi masyarakat adalah orang-orang udik dengan perekonomian menengah ke bawah dan berpendidikan rendah.

Untuk mengetahui bagaimana kondisi pedesaan yang sesungguhnya, anggota Lembaga Kajian Mahasiswa UNJ mengadakan bakti sosial sekaligus penelitian di perkampungan Cikopak. Perkampungan ini terletak di desa Kalaparea, Sukabumi, Jawa Barat.

Potret Perkampungan Tertinggal

Oleh: Yanu Setianingsih

Judul Buku : Masyrakat Desa-Kumpulan Kisah Anomali Kampung Cikopak

Penulis : Tim Penulis LKM UNJ

Ukuran : 11x19 cm

Halaman : 112 Halaman

Penerbit : Pustaka Kaji

Page 33: Booklet LKM

33Potret Perkampungan Tertinggal

Seperti umumnya pedesaan di Jawa, masyarakat perkampungan Cikopak banyak yang bermata pencaharian sebagai petani. Para petani mendirikan sebuah perkumpulan tani. Meski hidup dalam keterbatasan mereka tak segan untuk menolong sesamanya. Hal ini di tunjukkan oleh motto salah satu tokoh masyarakat.

Sesuai dengan motto hidup yang selalu Mang Unus pegang yaitu, “Sebagus-bagus manusia itu adalah manfaatnya” ucap Mang Unus sembari tersenyum. (hlm. 37)

Orang-orang seperti ini sangat jarang ditemui oleh masyarakat individualis di kota.

Bukannya belajar bagaimana untuk menjadi karakter berbudi luhur di perkampungan Cikopak, orang kota malah mengeksploitasi sumberdaya manusianya. Lagi-lagi kaum Kartinilah yang menjdi korban. Perjuangan Kartini seolah menjadi sebuah bumerang. Memang wanita tak perlu lagi sembunyi di dapur. Akan tetapi di luar mereka tetap menjadi buruh.

Wanita karier tak hanya populer di perkotaan saja. Di perkampungan Cikopak, kaum wanita juga bekerja keras untuk menunjang perekonomian keluarga. Bedanya, para wanita di sini bekerja dengan upah minim tanpa tunjangan yang memadai. Sangat sulit bagi mereka untuk meningkatkan karier. Sementara itu, kaum pria menjadi ‘bapak rumah tangga’. Pekerjaan kaum pria tak lain adalah menggantikan pekerjaan ibu di dapur dan mengurus anak.

Bukan tanpa alasan hal ini sampai terjadi. Faktor ekonomi adalah penyebab utamanya. Para pebisnis besar

Page 34: Booklet LKM

34 LKM EXPO 2014

tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Mereka membuka cabang industrinya di desa terdekat. Bak superhero yang datang ketika dibutuhkan, hanya saja mereka menolong dengan pamrih meski tak terang-terangan.

Hukum ekonomi mereka terapkan disini. Bagaimana cara meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya? Jadilah pabrik membuka lowongan pekerjaan tanpa syarat pendidikan tinggi. Namun pelamar kerja haruslah perempuan. Jadilah tenaga kerja wanita ini di eksploitasi habis-habisan tanpa bisa protes. Karena protes seperti apapun tak akan digubris. Pilihannya mau bekerja keras atau dipecat.

Masalah perkampungan Cikopak tak hanya terhenti di bidang ekonomi saja. Pendidikan dan kesehatannya pun mendapat perhatian yang minim. Hanya ada satu sekolah dasar di perkampungan ini. Keadaan bangunan fisiknyapun menyedihkan. Sementara untuk kesehatan, mereka juga hanya mempunyai satu puskesmas. Pada saat ada persalinan, bukan dokter atau bidan yang membantu melainkan seorang “Paraji”.

Masyarakat kampung menganggap pendidikan itu ‘wajib ditempuh’ tanpa memahami makna pendidikan itu sendiri. Sehingga bagi mereka bersekolah itu yang penting lulus dan dapat ijazah. Mereka tak terlalu memusingkan apakah kelak ilmu yang didapat akan berguna atau tidak. Tak heran jika ada dua orang anak berkebutuhan khusus dijinkan untuk bersekolah di sekolah dasar ini.

Ironis sekali memang. Dikala pemerintah menggembar-gemborkan peningkatan kualitas pendidikan, namun banyak

Page 35: Booklet LKM

35Potret Perkampungan Tertinggal

masyarakat tak memahami makna penting pendidikan itu sendiri. Masih banyak sekolah-sekolah yang tak tersentuh pembangunan sama sekali. Padahal dari sekolah itulah masyarakat mulai mengenal dunia pendidikan.

Buku yang disusun oleh Tim Penulis LKM UNJ ini cukup menggambarkan keadaan di desa tertinggal. Bagi masyarakat yang dibesarkan di kota besar fenomena tersebut tentu tak lazim. Akan tetapi bagi masyarakat perkampungan itu adalah hal yang wajar. Beberapa desa di negara ini mengalami masalah yang sama. Selalu faktor ekonomi dan pendidikan rendah yang menjadi masalah utama.

Menelusuri masalah tanpa berusaha menemukan solusi tidak akan menghasilkan perubahan. Oleh karena itu, Tim Penulis mencoba mencari solusi pemecahan masalahnya. Dalam buku ini, penulis mencoba menerangkan pemecahan masalah tersebut. Mereka memilih solusi sederhana sehingga dapat diimplementasikan oleh masyarakat perkampungan Cikopak. Harapannya perkampungan Cikopak bisa menjadi perkampungan maju dan menjadi pelopor perkampungan lainnya di Indonesia.

Page 36: Booklet LKM

36 LKM EXPO 2014

Tepat rabu sore saya membaca ulang tulisan teman-teman penulis Lembaga Kajian Mahasiswa UNJ-angkatan Plato. Dari balik layar kaca bercahaya saya

membaca huruf-huruf terangkai makna membentuk jejak kecil dan berujung pada kata yang ingin kuucap “Warisan Budaya”.

Sedikit bercerita, awal-awalnya, entah bulan apa, saya sangat penasaran pada isi tulisan ini. Kala itu saya masih muda untuk bergumul jauh pada ruang kecil 305. Hingga pada suatu hari hasrat memuncak membuat saya diam-diam mencuri tulisan ini. Tercurilah oleh saya kumpulan tulisan ini yang masih dalam bentuk proses editing. Selintas membaca,

Menuang Kembali: Boboko dan Pengrajinnya

Oleh: Hadi Setioko

Judul : Menali Kehidupan

dan Meraut

Kesabaran

Penulis : Tim Penulis LKM

UNJ

Ukuran : 11x18 cm

Penerbit : Pustaka Kaji

Page 37: Booklet LKM

37Menuang Kembali: Boboko dan Pengrajinnya

tulisan ini sudah hampir mendekati kata selesai kala itu. Maaf, semoga sang empunya tak marah atas perbuatan saya ini.

Kala itu saya tak membaca secara keseluruhan. Lompat-lompat tulisan. Hanya sekedar ingin tahu siapa penulisnya dan seperti apa tulisannya. Sampai di situlah hasrat saya sesungguhnya, penasaran. Namun kini tujuannya berbeda ketika saya berkesempatan mengisi kolom resensi untuk peluncuran buku ini. Sayapun tertegun kembali untuk membaca tulisan ini dengan hikmat secara keseluruhan.

Bersyukur saya membaca ulang tulisan ini. Saya kembali tertawa dari suguhan karikatur yang membentuk bayangan berkelebat akan sosok asli si penulis. Tentu sangat memicu gelak tawa dan membantu menambah keseruan membaca. Dari beberapa tulisan inipun nampak mampu menggandeng pikiran dalam memahami kisah kehidupan masyarakatnya. Terkadang campuran emosi jiwa setelah membaca satu persatu membuat saya cengeng dan berseru hati. Ah, sungguh asik untuk dikonsumsi.

Semakin jauh bergumul rupanya semakin meggelitik haru batin dan emosional jiwa saya. Membaca kembali kumpulan tulisan ini membawa imajinasi saya untuk membayangkan singkat betapa luasnya seni budaya Indonesia. Bisa saya singkat dengan satu kata yaitu keanekaragaman. Keanekaragaman dari budaya dan seni melalui boboko menandakan bahwa masih dapat kita yakini negeri ini terus menetaskan sumber daya manusia yang kreatif dan inovatif.

Tentu modernitas adalah zaman yang menuntut pertimbangan baik buruk. Perputaran waktu yang genit yang

Page 38: Booklet LKM

38 LKM EXPO 2014

kini sering terbalut lewat kata teknologi misalnya seperti tidak membuat masyarakat Trajaya (tempat penghasil boboko) menjadi masyarakat yang melupakan seni dan tradisi. Rupanya masyarakat pengrajin ini masih senantiasa setia bergelut pada kegiatan seni tradisi tersebut, pengrajin boboko.

Mengungkap dari tulisan ini tentu dengan beragam tujuan mengapa pengrajin boboko ini masih ada dan terus hidup sampai sekarang. Entah zaman, waktu senggang, tradisi atau sebagai tumpuaan kehidupan adalah aspek dasar kokoh dan abadinya pengrajin boboko, saya kira. Lebih dari itu tentu boboko mempunyai nilai lebih untuk kita maknai bersama. Baik dari niai kehidupan dari masyarakat yang bergantung pada boboko atau dari teman-teman Lkm UNJ yang merasakan nilai tersebut dari meliput kisah pengrajin boboko.

Gaya tulisan jurnalisme yag dipakai dalam tulisan inipun begitu tersaji alirannya. Gaya tulisan yag terkadang kita kenal dengan gaya tulisan feature membuat tulisan ini renyah untuk di kunyah. Betapa tidak bermula dari gerbang tulisan dari Restu Suci Cahyaningrum bercerita proses penciptaan sebuah boboko. Sajian pertama yang menarik untuk pembaca dapat berkenalan dengan siapa itu sebenarnya boboko.

Bermula dari selenjer bambu, potongan bilah, belahan, sayatan hingga rajutan hingga membentuk bakul bernama boboko membentuk penggambaran sistematis santai dari tulisan feature ini. Dari setiap bagian proses itu terselip pula kisah kesabaran dan pengharapan dari balik proses penciptaan boboko. Prosesnya mengajarkan kita untuk memaknai suatu keberprosesan hidup, begitulah kira-kira

Page 39: Booklet LKM

39Menuang Kembali: Boboko dan Pengrajinnya

yang ingin disampaikan.

Beberapa teman-teman Plato LKM UNJ pun mampu menggambarkan suasana pedesaan yang kental dan kuat. Dari interaksi sosial dan suguhan latar situasi begitu mengimajiasi pikiran kita sebagai pembaca. Tulisan Agus purnomo dan Suryaningtyas mampu mendeskripsikan secara gamblang kiranya gerak-gerik, percakapan dan suasana seperti di alun-alun tempat pusat perdangangan boboko. Seakan kita dibawa tepat diposisi dimana pasar itu berlangsung.

Tidak salah memang ketika sebuah tulisan mampu membentuk daya magis batin melalui kisah pilu yang berangkat dari konflik personal tokoh yang tersaji. Hampir beberapa penulis pula menampilkan pertempuran antara harapan dan kenyataan dari setiap tokoh. Melalui sentuhannya yang apik tergambarlah kisah suatu keluarga sedari anak pengrajin yang harus putus sekolah lantaran keterbatasan ekonomi atau gambaran dari salah satu orang tua yang mengharuskan menjadi tenaga kerja Indonesia demi penghidupan.

Ada pula yang berharga dari nilai-nilai kemanusiaan yang coba diangkat dari tulisan ini. Isi tulisan mampu membangun rasa bagaimana kita harus peka terhadap kehidupan masyarakat suatu desa. Terlepas dari kenikmatan modernitas yang kini terasa sangat penting bagi kita untuk terus melestarikan bentuk dari warisan budaya negeri ini. Mari!

Page 40: Booklet LKM

40 LKM EXPO 2014