Blepharofimosis Syndrome

33
Referat SINDROMA BLEFAROFIMOSIS Oleh M Ramadhandie Odiesta, S.Ked 04084821517041 Pembimbing dr. H. Elza Iskandar, SpM(K), MARS DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

description

Blepharofimosis Syndrome

Transcript of Blepharofimosis Syndrome

Referat

SINDROMA BLEFAROFIMOSIS

Oleh

M Ramadhandie Odiesta, S.Ked

04084821517041

Pembimbing

dr. H. Elza Iskandar, SpM(K), MARS

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2016

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Telaah Ilmiah

Sindroma Blefarofimosis

Oleh:

M Ramadhandie Odiesta, S.Ked

04084821517041

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 30 Mei 2016 s.d 04 Juni 2016

ii

Palembang, 10 Juni 2016

dr. H. Elza Iskandar, SpM(K), MARS

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan YME karena atas rahmat dan

berkat-Nya Telaah Ilmiah yang berjudul “Sindroma Blefarofimosis” ini dapat

diselesaikan tepat waktu. Telaah Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat

ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad

Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. H. Elza Iskandar,

SpM(K), MARS atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan

telaah Ilmiah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis

harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.

iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..............................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................ii

KATA PENGANTAR ..........................................................................................iii

DAFTAR ISI .........................................................................................................iv

DAFTAR GAMBAR..............................................................................................v

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................2

2.1 Anatomi dan Fisiologi Palpebra...............................................................2

2.2 Sindroma Blefarofimosis...........................................................................7

2.2.1. Definisi.............................................................................................7

2.2.2. Epidemiologi....................................................................................7

2.2.3. Etiologi.............................................................................................8

2.2.4. Gambaran Klinis...............................................................................8

2.2.5. Diagnosis Banding...........................................................................9

2.2.6. Penegakan Diagnosis......................................................................10

2.2.7. Penatalaksanaan..............................................................................15

BAB III KESIMPULAN.....................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar

1. Anatomi Palpebra.........................................................................................3

2. Potongan sagital palpebra superior..............................................................3

3. Gambaran klinis penderita sindroma blefarofimosis...................................7

4. Telekantus..................................................................................................10

5. Sindroma Blefarofimosis...........................................................................11

6. Bell’s Phenomenon....................................................................................13

7. Prosedur Mustarde untuk koreksi epikantus dan telekantus......................16

8. Prosedur Crawford untuk koreksi ptosis dengan suspensi frontal.............16

v

Halaman

BAB I

PENDAHULUAN

Kelopak mata atau mempunyai fungsi melindungi bola mata, serta

mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk fiir mata didepan kornea. Palpebra

merupakan alat menutup mata yang berguna untukmelindungi bola mata terhadap

trauma, trauma sinar dan pengeringan bola mata.1

Sindroma blefarofimosis adalah suatu penyakit yang mengenai kedua mata dan

diturunkan secara autosomal dominan dengan kumpulan tanda klinis berupa

blefarofimosis, ptosis berat, epikantus inversus, dan telekantus. Karena terjadi kelainan

pada kelopak mata dimana kelopak mata tidak dapat membuka sepenuhnya, visus bisa

menjadi terbatas. Sindroma blefarofimosis meningkatkan resiko terjadinya

permasalahan dalam perkembangan visus seperti miopia atau hiperopia. Hal ini juga

dapat mengakibatkan terjadinya strabismus dan ambliopia yang dapat mengenai satu

ataupun kedua mata.4

Angka kejadian sindroma blefarofimosis sampai saat ini belum diketahui.4

Namun, ada yang melaporkan angka kejadiannya berkisar antara 11-50 per 100.000

kelahiran.5 Sindroma blefarofimosis mempunyai dua tipe. Tipe I terdiri dari empat

manifestasi klinis utama berupa blefarofimosis, ptosis, epikantus inversus, dan

telekantus, ditambah dengan kegagalan ovarium prematur. Kegagalan ovarium prematur

menyebabkan periode menstruasi seorang wanita frekuensinya menjadi lebih kurang

dan akhirnya berhenti sebelum usia 40 tahun. Kegagalan ovarium prematur dapat

menyebabkan kesulitan untuk hamil (subfertilitas) atau tidak bisa hamil (infertilitas).4,5

Tipe II hanya terdiri dari empat manifestasi klinis dari kelainan kelopak mata.4

Dalam telaah ilmiah ini, penulis akan membahas lebih lanjut mengenai sindroma

blefarofimosis, etiologi, penegakan diagnosis, dan penatalaksanaannya.

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Palpebra

Struktur mata yang berfungsi sebagai proteksi lini pertama adalah palpebra.

Fungsinya adalah melindungi bola mata, mencegah benda asing masuk,

membersihkan permukaan mata dengan dari kotoran dan iritasi lain dengan

berkedip, serta mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk film air mata di

depan kornea dan juga membantu proses lubrikasi permukaan kornea.1

Pembukaan dan penutupan palpebra diperantarai oleh muskulus orbikularis

okuli dan muskulus levator palpebra. Muskulus orbikularis okuli pada kelopak mata

atas dan bawah mampu mempertemukan kedua kelopak mata secara tepat pada saat

menutup mata. Pada saat membuka mata, terjadi relaksasi dari muskulus orbikularis

okuli dan kontraksi dari muskulus levator palpebra di palpebra superior. Otot polos

pada palpebra superior atau muskulus palpebra superior (Müller muscle) juga

berfungsi dalam memperlebar pembukaan dari kelopak tersebut. Sedangkan,

palpebra inferior tidak memiliki muskulus levator sehingga muskulus yang ada

hanya berfungsi secara aktif ketika memandang kebawah. Selanjutnya adalah

lapisan superfisial dari palpebra yang terdiri dari kulit, kelenjar Moll dan Zeis,

muskulus orbikularis okuli dan levator palpebra. Lapisan dalam terdiri dari lapisan

tarsal, muskulus tarsalis, konjungtiva palpebralis dan kelenjar meibom. 2,3

2

3

Gambar 1. Anatomi Palpebra

Gambar 2. Potongan sagital palpebra superior

4

2.1.1. Kulit

Palpebra memiliki kulit yang tipis ± 1 mm dan tidak memiliki lemak

subkutan. Kulit disini sangat halus dan mempunyai rambut vellus halus dengan

kelenjar sebaseanya, juga terdapat sejumlah kelenjar keringat.

2.1.2 Orbikularis

Muskulus orbikularis okuli melekat pada pada kulit. Permukaan

dalamnya disarafi nervus facialis (VII), dan fungsinya adalah untuk menutup

palpebra. Otot ini terbagi dalam bagian orbital, praseptal, dan pratarsal. Bagian

orbita, yang terutama berfungsi untuk menutup mata kuat, adalah otot melingkar

tanpa insertio temporal. Otot praseptal dan pratarsal memiliki kaput medial

superfisial dan profundus, yang turut serta dalam pemompaan air mata. 2,3

2.1.3. Septum

Septum orbita merupakan jaringan fibrosa yang berasal dari periostium

yang berada di depan rima orbita bagian superior dan inferior. Pada palpebra

superior, septum orbita menyatu dengan levator aponeurosis lebih kurang 1-3

mm superior tarsus bukan pada orang etnis Asia. Lemak orbita terdapat di

belakang septum orbita dalam rongga preaponeurotik.

Fasia yang membatasi m.orbikularis okuli disebelah posterior, merupakan pagar

antara palpebra dan orbita sehingga jika terjadi radang di palpebra tidak dapat

masuk ke orbita. Pinggir dari palpebra, disebut margo palpebra, yang ke medial

membentuk kantus internus dan yang ke lateral membentuk kantus eksternus.

Kantus internus bentuknya tumpul sedangkan kantus eksternus bentuknya

lancip.

Di bagian depan dari margo palpebra, terdapat silia (bulu mata) 2-3 jajar

yang pendek dan melengkung ke luar. Akarnya terdapat didalam jaringan otot.

Di margo palpebra dekat kantus internus, terdapat tonjolan yang disebut papila

lakrimal yang ditengahnya terdapat punctum lakrimal. Lapisan paling belakang

dari palpebra dibentuk oleh konjungtiva palpebra dan foniks yang berlipat-lipat. 2,3

2.1.4. Tarsus

5

Tarsus adalah lempeng fibrosa kaku, yang dihubungkan pada tepian

orbita oleh tendo-tenso kantus medialis dan lateralis. Terdiri dari jaringan yang

rapat ddengan sedikit jaringan elastis. Gunanya untuk memberi bentuk pada

palpebra. Tarsus superior lebih besar dari tarsus inferior. Didalamnya terdapat

kurang lebih 20 glandula sebasea meiboom, yang tampak membayang sebagai

garis-garis yang kekuning-kuningan berjajaran dibawah konjungtiva dan

mengeluarkan isinya di margo palpebra yang tampak sebagai bintik-bintik halus.

Guna dari isi glandula meiboom adalah untuk menutup rapat margo palpebra

superior dan inferior pada waktu mengedip, sehingga air mata tidak dapat

meleleh ke pipi. Di medial dan lateral, tarsus bersatu membentuk ligamentum

tarsalis medialis dan ligamentum tarsalis lateralis, yang melekat pada pinggir

orbita. 2,3

2.1.5. Levator

Di bawah lemak terdapat kompleks muskulus levator-retraktor utama

palpebra superior-dan padanannya, fascia capsulopalpebrae di palpebra inferior.

Muskulus berorigo di apeks orbita. Saat memasuki palpebra, otot ini membentuk

aponeurosis yang melekat pada sepertiga bawah tarsus superior. Pada palpebra

inferior, fascia capsulo palpebralis berasal dari muskulus rektus inferior dan

berinsertio pada batas bawah tarsus. Ini berfungsi menarik palpebra inferior saat

melihat ke bawah. Muskulus tarsalis inferior membentuk lapisan berikut, yang

melekat pada konjungtiva. Otot simpatis ini menarik palpebra. Konjuingtiva

melapisi permukaan dalam palpebra. Konjungtiva palpebra menyatu dengan

konjungtiva yang berasala dari bola mata dan mengandung kelenjar-kelenjar

yang penting dalam pelumasan kornea.

2.1.6. Pembuluh Darah

Pembuluh darah di palpebra befungsi untuk membantu penyembuhan

luka dan mencegah infeksi. Arteri disini berasal dari 2 pembuluh darah besar,

yaitu arteri karotis interna yang merupakan pembuluh darah di daerah mata dan

bercabang di supraorbita dan lakrimal, dan arteri karotis eksterna yang

6

merupakan pembuluh darah di wajah yang bercabang di angular dan temporal.

Sirkulasi kolateral antara dua sistem pembuluh darah ini beranastomose

melewati palpebra superior dan inferior membentuk arcade marginal dan

kolateral.

Pembuluh darah vena pada palpebra ini dibagi menjadi 2 bagian yaitu

pretarsal dan posttarsal. Pada pretarsal bercabang menjadi vena angularis dari

medial dan vena temporalis superfisial dari lateral. Sedangkan pada posttarsal

bercabang menjadi vena orbitalis dan vena fasialis anterior, serta pleksus

pterigoid. 2,3

2.1.7. Persarafan

Saraf sensori di daerah palpebra dipersarafi oleh cabang pertama dan

kedua saraf V. Cabang saraf pertama yaitu supraorbita (V1) berinervasi di dahi

dan regio periokular lateral. Cabang saraf kedua yaitu maksilari (V2) berinervasi

di kelopak mata bawat dak pipi. Sedangkan saraf motornya adalah saraf ke III,

VII, dan saraf simpatis.

2.2 Sindroma Blefarofimosis

7

2.2.1. Definisi

Sindroma blefarofimosis adalah suatu kelainan pada kedua mata

dan diturunkan secara autosomal dominan dengan kumpulan tanda klinis

yaitu blefarofimosis, ptosis berat, epikantus inversus, dan telekantus.

Tanda lain yang dapat dijumpai pada sindroma ini adalah lateral lower

eyelid ectropion yang terjadi sekunder akibat defisiensi lamella anterior

kelopak mata bawah, nasal bridger yang tidak berkembang, hipoplasia

orbital rim bagian superior, lop ears, dan hipertelorisme.4

Gambar 3. Gambaran klinis penderita sindroma blefarofimosis

2.2.2. Epidemiologi

Sindroma ini lebih jarang terjadi. Tidak ada perbedaan dalam

prevalensi berdasarkan jenis kelamin, ras atau etnis yang dilaporkan.

Dari 101 pasien yang didiagnosa dengan Blepharophimosis Syndrome,

44 adalah perempuan dan 57 adalah laki-laki. 27 kasus ditemukan pada

usia 18 bulan dan 25 kasus sebelum usia 5 tahun. 34 pasien memiliki

ptosis bilateral yang parah dengan lubang palpebra kurang dari 4 mm.

Lebih dari setengah pasien (19 kasus) memiliki amblyopia bilateral, dari

19 kasus 10 pasien juga menderita strabismus, diantara 10 pasien

tersebut 5 pasien dengan telechantus lebih dari 35 mm.5

Sementara dalam penelitian oleh Chawla (2013) ditemukan rata-

rata pasien kasus ini berumur antara 4 sampai 8 tahun. Hasil ini

dinyatakan tidak jauh berbeda dari beberapa penelitian lainnya yang juga

melaporkan bahwa kasus ini dijumpai pada anak-anak berumur di bawah

8

8 tahun. Untuk jenis kelamin dilaporkan 52% adalah perempuan dan

48% laki-laki. Selain itu riwayat kejadian pada keluarga juga ditemui.7

2.2.3. Etiologi

Sindroma blefarofimosis merupakan penyakit autosomal dominan

yang dikaitkan dengan mutasi dominan yang diwariskan dalam gen

FOXL2 pada kromosom 3q23. Gen ini diekspresikan terutama dalam

perkembangan kelopak mata dan ovarium. Hampir 75% pasien dengan

sindroma blefarofimosis mempunyai hubungan dimana terdapat mutasi

dari gen FOXL2; sisanya, yaitu 25% mewakili mutasi baru atau ekspresi

ringan dari generasi sebelumnya. 4,8

Sebuah studi terhadap sepuluh individu dengan mutasi gen

FOXL2 dengan hasil yang menunjukkan adanya perubahan lateral dari

pungtum inferior yang mengakibatkan perubahan struktur temporal dari

kelopak mata bagian bawah. Hal ini merupakan suatu tanda penting

dalam mendiagnosis sindroma blefarofimosis.9

Studi lain menyebutkan adanya penyusunan kembali sitogenetik

dari kromosom 3q23 dimana terjadi ketidakseimbangan translokasi dan

delesi interstisial yang sering disertai adanya manifestasi klinis tambahan

seperti mikrosefali, ketidakmampuan intelektual, dan keterlambatan

pertumbuhan. Namun, bila terjadi keseimbangan translokasi 3q23, maka

akan menghasilkan sindroma blefarofimosis tanpa manifestasi klinis

tambahan.8

2.2.4. Gambaran Klinis

Selain terdapat empat tanda utama dari sindroma blefarofimosis,

yaitu blefarofimosis, ptosis berat, epikantus inversus, dan telekantus,

beberapa tanda yang mungkin dijumpai adalah lateral lower eyelid

ectropion, yang terjadi sekunder akibat defisiensi lamella anterior

kelopak mata bawah, nasal bridge yang tidak berkembang, hipoplasia

rima orbita bagian superior, lop ears, dan hipertolerisme. Manifestasi

9

klinis lain yang dapat ditemukan pada sindroma blefarofimosis antara

lain kelainan duktus lakrimal, ambliopia, strabismus, dan kesalahan

refraksi.

Adapun dua tipe dari sindrom blefarofimosis, yaitu:

Tipe I : terdiri dari empat manifestasi utama yaitu blefarofimosis,

ptosis, epikantus inversus dan telekantus dan disertai adanya

infertilitas pada perempuan yang disebabkan oleh kegagalan

ovarium prematur.

Tipe II : hanya terdiri dari dari empat manifestasi utama yaitu

blefarofimosis, ptosis, epikantus inversus dan telekantus. Tipe ini

ditandai oleh adanya penetrasi dan transmisi yang tidak sempurna

oleh laki-laki dan perempuan.

Gambar 4. Telekantus

2.2.5. Diagnosis Banding

Diagnosis banding sindroma blefarofimosis mencakup kondisi

dimana ptosis atau blefarofimosis menjadi manifestasi klinis utama.

Walau bagaimanapun dalam prakteknya, pada kebanyakan kasus

sindrom blefarofimosis dengan mudah dapat didiagnosis.

10

Diagnosis banding sindroma blefarofimosis :

1. Hereditary congenital ptosis 1 (PTOS1)

2. Hereditary congenital ptosis 2 (PTOS2)

3. Ohdo blepharophimosis Syndrome

4. Michels syndrome

5. Sindroma Noonan

6. Sindroma Marden-Walker

7. Sindroma Schwartz-Jampel

8. Sindroma Dubowitz

9. Sindroma Smith-Lemli-Opitz

2.2.6. Penegakan Diagnosis

Penegakan diagnosis sindrom blefarofimosis adalah dengan

ditemukannya empat manifestasi klinis berupa blefarofimosis, ptosis,

epikantus inversus, dan telekantus yang muncul saat lahir.8

Blefarofimosis12

Blefarofimosis adalah kondisi dimana terjadi penyempitan celah

horizontal dari kelopak mata. Pada orang dewasa, normalnya, ukuran

fissura palpebra horizontal 25-30 mm.

11

Pada individu dengan sindrom Blefarofimosis, ukuran fisura palpebra

horizontalnya hanya 20-22 mm.

Gambar 5. Sindroma blefarofimosis

Ptosis10

Ptosis adalah suatu keadaan dimana kelopak mata atas (palpebra

superior) turun di bawah posisi normal saat membuka mata yang dapat

terjadi unilateral atau bilateral. Kelopak mata yang turun akan menutupi

sebagian pupil sehingga penderita mengkompensasi keadaan tersebut

dengan cara menaikkan alis matanya atau menghiperekstensikan

kepalanya. Normalnya kelopak mata terbuka adalah 10 mm. Ptosis

biasanya mengindikasikan lemahnya fungsi dari otot levator palpebra

superior ( otot kelopak mata atas ). Rata – rata lebar fisura palpebra /

celah kelopak mata pada posisi tengah adalah berkisar 11 mm, panjang

fisura palpebra berkisar 28 mm. Batas kelopak mata atas biasanya

menutupi 2 mm kornea bagian atas, sehingga batas kelopak mata atas di

posisi tengah seharusnya 4 mm diatas refleks cahaya pada kornea.

12

Pemeriksaan fisik pada pasien ptosis dimulai dengan empat

pemeriksaan klinik :

1. Palpebra Fissure Height

Jarak ini diukur pada posisi celah terlebar antara kelopak bawah

dan kelopak atas pada saat pasien melihat benda jauh dengan pandangan

primer.

Fissura pada palpebra diukur pada posisi utama (orang dewasa

biasanya 10-12 mm dengan kelopak mata teratas menutup 1 mm dari

limbus). Jika ptosis unilateral, pemeriksa harus membedakan dengan

artifak strabismus vertikal (hipotropia) atau retraksi kelopak mata

kontralateral. Kelopak mata harus dieversi untuk menyingkirkan

penyebab lokal ptosis misalnya konjungtivitis papilar raksasa. Jika ptosis

asimetris, khususnya bila kelopak mata atas mengalami retraksi – dokter

harus secara manual mengangkat kelopak yang ptosis untuk melihat jika

terjadi jatuhnya kelopak atas pada mata lain.

2. Margin-reflex distance

Jarak ini merupakan jarak tepi kelopak mata dengan reflek cahaya

kornea pada posisi primer, normalnya ± 4 mm. Refleks cahaya dapat

terhalang pada kelopak mata pada kasus ptosis berat dimana nilainya nol

atau negatif. Bila pasien mengeluh terganggu pada saat membaca maka

jarak refleks-tepi juga harus diperiksa.

3. Upper lid crease

Jarak dari lipatan kelopak atas dengan tepi kelopak diukur.

Lipatan kelopak atas sering dangkal atau tidak ada pada pasien dengan

ptosis kongenital. 

4. Levator function

Untuk mengevaluasi fungsi otot levator, pemeriksa mengukur

penyimpangan total tepi kelopak mata, dari penglihatan ke bawah dan ke

atas, sambil menekan dengan kuat pada alis mata pasien untuk mencegah

kerja otot frontalis. Penyimpangan normal kelopak atas adalah 14-16

13

mm. Sebagai tambahan, jarak refleks kornea - kelopak mata dan jarak

tepi kelopak atas-lipatan kelopak atas diukur. 

5. Bells Phenomenon

Penderita disuruh menutup/memejamkan mata dengan kuat,

pemeriksa membuka kelopak mata atas, kalau bola mata bergulir ke atas

berarti Bells Phenomenon (+).

14

Gambar 6. Bell’s Phenomenon

Epikantus inversus7,13

Epikantus ditandai dengan lipatan vertical kulit di atas kantus medialis.

Ini khas pada orang Asia dan ada, dalam batas tertentu, pada kebanyakan

anak dari semua ras. Lipatan kulit tersebut sering cukup besar hingga

menutupi sebagian sclera nasalis dan menimbulkan “pseudoesotropia”.

Mata tampak juling bila aspek medial sclera tidak terlihat. Jenis paling

banyak adalah epikantus tarsalis, yaitu lipat palpebra superior menyatu di

medial dengan lipat epikantus. Pada epikantus inversus, yang merupakan

salah satu manifestasi dari sindroma blefarofimosis, lipatan kulitnya

menyatu dengan palpebra inferior. Penyebab epikantus adalah

pemendekan vertical kulit diantara kantus dan hidung. Koreksi bedah

diarahkan pada pemanjangan vertical dan pemendekan horizontal. Pada

anak normal, lipatan epikantus menghilang secara bertahap hingga

pubertas, dan jarang memerlukan pembedahan.7

Gambar 6: Epichantus inversus1

Telekantus

Telekantus adalah pergeseran lateral dari kantus bagian dalam dengan

jarak antara kedua pupil normal. Jarak normal antara kantus medialis

kedua mata atau jarak interkantus sama dengan panjang fissura palpebra

15

(kira-kira 30 mm pada orang dewasa). Jarak interkantus yang lebar bias

terjadi akibat disinsersi traumatic atau disgenesis kraniofasial congenital.

Telekantus ringan (missal pada sindroma blefarofimosis) dapat dikoreksi

dengan operasi kulit dan jaringan lunak. Namun, diperlukan rekonstruksi

kraniofasial besar bila orbita terpisah jauh, seperti pada penyakit

Crouzon. 7

Gambar 7: Telechantus4

2.2.7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan sindroma blefarofimosis memerlukan koordinasi

beberapa ahli, termasuk ahli genetika klinis, dokter spesialis mata anak,

dokter bedah okuloplastik, ahli endokrin, dan gyneecologist. Waktu yang

tepat untuk operasi kelopak mata masih kontroversial. Hal ini

mempertimbangkan berbagai alasan diantaranya operasi awal untuk

mencegah terjadinya ambliopia dan operasi yang terlambat untuk

memungkinkan pengukuran ptosis lebih dapat diandalkan.8

Operasi awal diperlukan untuk ptosis yang parah dan

ambliogenik. Perbaikan kantus biasanya ditangani setelah ptosis.

Meskipun ada beberapa pendapat yang memperbaiki kantus terlebih

dahulu.8

Tindakan rekonstruksi dapat dilakukan satu tahap, namun

beberapa ahli bedah lebih menyukai dilakukan dalam 2 tahap. Pertama,

16

telekantus dan epikantus dikoreksi dengan double Z-plasty dari

Mustarde, Y-V-plasty multiple, atau prosedur dari Roveda. Kadang-

kadang dikombinasi dengan wiring transnasal pada tendon kantus

medial. Jaringan ikat subkutan yang berjalan di bawah lipatan epikantus

juga diambil. Hal ini akan membuat terbentuknya flap yang datar.2

Gambar 8. Prosedur Mustarde untuk koreksi epikantus dan telekantus.

Setelah 3-4 bulan, dilakukan suspensi frontal bilateral untuk

mengkoreksi ptosisnya. Sebagai tambahan dapat dilakukan tindakan

rekonstruksi lainnya bila terdapat ektropion dan hipoplasia orbital rim

superior.2

Bila terdapat hipertolerisme (yaitu jarak tulang orbit yang

panjang, ditandai dengan jarak antar pupil yang lebar dan dikonfirmasi

dengan pemeriksaan radiografi) dilakukan tindakan operatif tulang orbita

sebelum dilakukan rekonstruksi.2

17

Gambar 9. Prosedur Crawford untuk koreksi ptosis dengan suspensi frontal

BAB III

KESIMPULAN

Sindroma blefarofimosis adalah suatu penyakit yang mengenai kedua mata dan

diturunkan secara autosomal dominan dengan kumpulan tanda klinis berupa

blefarofimosis, ptosis berat, epikantus inversus, dan telekantus. Sindroma blefarofimosis

mempunyai 2 tipe. Sindroma blefarofimosis tipe I terdiri dari empat manifestasi klinis

utama dan adanya kegagalan ovarium prematur. Sindroma blefarofimosis tipe II hanya

terdiri dari empat manifestasi klinis utama yaitu blefarofimosis, ptosis berat, epikantus

inversus, dan telekantus. Manifestasi klinis lain yang mengenai mata yang berhubungan

dengan sindroma blefarofimosis antara lain kelainan duktus lakrimalis, ambliopia,

strabismus, dan kesalahan refraksi.

Diagnosis sindroma blefarofimosis adalah dengan ditemukannya empat

manifestasi klinis berupa blefarofimosis, ptosis, epikantus inversus, dan telekantus yang

muncul saat lahir. Individu dengan sindroma blefarofimosis mempunyai penyusunan

kembali sitogenetik seperti delesi interstisial dan translokasi dari kromosom 3q23.

Pemeriksaan genetik molekular dari gen FOXL2, satu-satunya gen yang baru-baru ini

diketahui mempunyai hubungan dengan sindroma blefarofimosis, diakui secara klinis.

18

Penatalaksanaan sindroma blefarofimosis meliputi penatalaksanaan terhadap

manifestasi klinis yang didapatkan. Waktu yang tepat untuk melakukan operasi masih

kontroversial yang bergantung pada kondisi penderita. Tindakan rekonstruksi dapat

dilakukan satu tahap, namun beberapa ahli bedah lebih menyukai dilakukan dalam 2

tahap. Pertama, telekantus dan epikantus dikoreksi dengan double Z-plasty dari

Mustarde, Y-V-plasty multiple, atau prosedur dari Roveda. Setelah 3-4 bulan, dilakukan

suspensi frontal bilateral untuk mengkoreksi ptosisnya. Sebagai tambahan dapat

dilakukan tindakan rekonstruksi lainnya bila terdapat ektropion dan hipoplasia orbital

rim superior.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3.Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2010.

2. Kersten RC, Codere F, Dailey RA, et al 2005. BCSC 2005-2006. Section 7 Orbit,

eyelids and lacrimal system. San Fransisco: The Foundation of the American

Academy of Ophtalmology:153-154.

3. Steward WB. 1993. Ophtalmology monographs: Surgery of eyelid, orbit, and

lacrimal system volume 1. San Fransisco. The Foundation of the American

Academy of Ophtalmology:112-116.

4. Allen CE, Rubin PA. Blepharophimosis-ptosis-epicanthus inversus syndrome

(BPES): clinical manifestation and treatment. Int Ophthalmol Clin. 2008;48(2) :15-

23.

5. Blepharophimosis, ptosis, and epicanthus inversus syndrome. Genetics home

reference. Available at http://ghr.nlm.nih.gov/condition/blepharophimosis-ptosis-

and-epicanthus-inversus-syndrome , diakses tanggal 31 Maret 2016.

6. Blepharophimosis, ptosis, and epicanthus inversus syndrome type 1. Diunduh dari

http://rarediseases.info.nih.gov/GARD/Condition/23/Blepharophimosis_ptosis_and

19

_epicanthus_inversus_syndrome_type_1.aspx#ref_796 , diakses tanggal 31 Maret

2016.

7. Riordan, P. 2009. Blepharoptosis. Vaughan & Asbury; Oftalmologi Umum. Edisi

17. EGC: Jakarta.