Biokimia Digestif
-
Upload
bara-kharisma -
Category
Documents
-
view
36 -
download
10
description
Transcript of Biokimia Digestif
I. PENDAHULUAN
A. Judul
Penentuan Aktivitas Enzim Amilase Saliva dan Darah
B. Hari dan Tanggal
Selasa, 09 Juni 2015
C. Tujuan
1. Mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan untuk mengetahui aktivitas
enzim amilase pada saliva dan darah.
2. Mahasiswa dapat mengetahui aktivitas enzim amilase saliva dan darah
dengan bantuan praktikum yang dilakukan.
1
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Enzim
Enzim adalah polimer biologis yang mengkatalisis reaksi kimia yang
memungkinkan berlangsungnya kehidupan seperti yang kita kenal.
Keberadaan dan pemeliharaan rangkaian enzim yang lengkap dan seimbang
merupakan hal yang esensial untuk mengurangikan nutrien menjadi energi
dan chemical building block (bahan dasar kimiawi); menyusun bahan –bahan
dasar tersebut menjadi protein, DNA, membran, sel dan jaringan; serta
memanfaatkan energi untuk melakukan motilitas sel, fungsi saraf, dan
kontraksi otot. Dengan pengecualian molekul RNA katalitik atau ribozim,
enzim adalah protein ( Murray, 2009).
Kekurangan jumlah atau aktivitas katalitik enzim-enzim kunci dapat
terjadi akibat kelainan genetik, kekurangan gizi, atau toksin. Defek enzim
dapat disebabkan oleh mutasi genetik atau infeksi oleh virus atau bakteri
patogen (misalnya Vibrio cholerae). Enzim yang mengatalisis perubahan satu
atau lebih senyawa (substrat) menjadi satu atau lebih senyawa lain (produk)
meningkatkan laju reaksi setidaknya kali dibandingkan jika tidak dikatalisis.
Seperti semua katalisis lain, enzim tidak berubah secarapermaneen atau
dikonsumsi sebagai konsekuensi dari keikutsertaannya dalam reaksi yang
bersangkutan ( Murray, 2009).
B. Fungsi Enzim
Enzim merupakan senyawa protein yang dapat mengkatalisis seluruh
reaksi kimia dalam sistem biologis. Semua enzim murni yang telah diamati
sampai saat ini adalah protein. Aktivitas katalitiknya bergantung kepada
integritas strukturnya sebagai protein. Enzim dapat mempercepat reaksi
biologis, dari reaksi yang sederhana, sampai ke reaksi yang sangat rumit.
Enzim bekerja dengan cara menempel pada permukaan molekul zat-zat yang
bereaksi sehingga mempercepat proses reaksi. Percepatan reaksi terjadi
karena enzim menurunkan energi pengaktifan yang dengan sendirinya akan
2
mempermudah terjadinya reaksi. Enzim mengikat molekul substrat
membentuk kompleks enzim substrat yang bersifat sementara dan lalu terurai
membentuk enzim bebas (kembali ke bentuk semula) dan produknya (Murray
et al, 2012).
C. Klasifikasi Enzim
Enzim diklasifikasikan berdasarkan tipe reaksi. Nama enzim yang
sering digunakan menjelaskan tipe reaksi yang dikatalisis, diikuti akhiran –
ase seperti contohnya dehidrogenase yang mengeluarkan atom-atom
hidrogen, protease menghidrolisis protein, dan isomerase mengatalisis tata
ulang dalam konfigurasi (Murray et al, 2012).
Menurut International Union of Biochemists (IUB) mengelompokkan
enzim menjadi enam kelas (Murray et al, 2012) :
a. Oksidoreduktase
Enzim yang mengatalisis oksidasi dan reduksi.
b. Transferase
Enzim yang mengatalisis pemidahan gugus seperti gugus glikosil, metil, atau fosforil.
c. Hidrolase
Enzim yang mengatalisis pemutusan hidrolitik (C-C, C-O, C-N, dan ikatan lain.
d. Liase
Enzim yang mengatalisis pemutusan C-C, C-O, C-N, dan ikatan lain dengan mengeliminasi atom yang menghasilkan ikatan rangkap.
e. Isomerase
Enzim yang mengatalisis perubahan geometrik atau strukturaldi dalam satu molekul.
f. Ligase
Enzim yang mengatalisis penyatuan dua molekul yang dikaitkan dengan hidrolisis ATP.
3
D. Spesifitas Enzim
1. Relative, low or bond activity
Pada spesifisitas jenis ini, enzim berperan pada substrat yang
memiliki struktur sama, dan mempunyai ikatan sama, atau termasuk ke
dalam kelompok gugus tertentu. Contohnya:
a. Amilase, yang bekerja pada α 1-4 glikosidat, mengikat pati, dekstrin
dan glikogen.
b. Lipase, yang menghidrolisis ikatan ester pada berbagai trigliserida
(Selim, 2014)
2. Moderate, structural or group speficivity
Pada tipe spesifisitas ini, enzim spesifik tidak hanya untuk tipe
ikatan namun juga spesifik terhadap struktur yang mengelilinginya.
a. Pepsin, yang merupakan endopeptidase, bekerja dengan
menghidrolisis central peptide bonds asam amino grup pada asam
amino aromatic , seperti phenyl alanine, tryptophan, dan tyrosine.
b. Tripsin, merupakan endopeptidase yang bekerja dengan
menghidrolisis ikatan sentral peptide asam amino grup pada asam
amino dasar, seperti arginine, lysine, dan histidine.
c. Chymotripsin, merupakan endopeptidase yang menghidrolisis ikatan
sentral peptida carboxyl grup pada asam amino aromatic.
d. Carboxypeptide, merupakan eksopeptidase yang menghidrolisis
ikatan peptide perifer terminal carboxyl pada rantai polipeptida
(Selim, 2014).
3. Absolute, high or substrate specificity
Menurut Selim (2014) jenis spesifitas absolut yaitu enzim hanya
spesifik bekerja pada satu substrat seperti :
4
a. Uricase, spesifik asam urea
b. Arginase, spesifik arginine
c. Carbonic anhydrase, spesifik pada asam karbonat
d. Lactase, sucrase dan maltase, yang masing-masing berurutan spesifik
laktosa, sukrosa dan maltosa.
4. Optical or Stereo-specificity
Pada tipe spesifisitas ini, enzim tidak hanya spesifik substrat namun
juga pada konfigurasi optikal nya, seperti:
a. L-amino acid oxidase bekerja hanya pada asam amino L
b. α – glycosidase bekerja hanya pada ikatan α – glikosidat, yang
terdapat pada pati, dekstrin dan glikogen (Selim, 2014)
5. Dual specificity
Terdapat 2 mekanisme dual specificity pada enzim, yaitu sebagai
berikut
a. Enzim dapat bereaksi pada 2 substrat dalam 1 tipe reaksi, contohnya
enzim xanthine oxidase bereaksi pada xanthine dan hypoxanthine (2
substrat) pada reaksi oksidasi (1 reaksi) (Selim, 2014).
b. Enzim dapat bereaksi pada 1 substrat dalam 2 reaksi, contohnya enzim
isositrat dehidrogenase, enzim bereaksi pada isositrat (1 substrat)
dengan oksidasi dan diikuti karboksilasi (2 reaksi berbeda) (Selim,
2014).
5
E. Inhibitor Enzim
Beberapa jenis molekul dapat mempengaruhi aktivitas enzim.
Aktivitas dari enzim dapat dipengaruhi oleh beberapa jenis molekul, salah
satunya adalah inhibitor. Inhibitor merupakan suatu senyawa yang dapat
menghambat atau menurunkan laju reaksi yang dikatalisis oleh enzim (Katili,
2009). Berdasarkan reaksi kimianya, inhbitor dapat dibedakan menjadi 2,
yaitu inhibitor irreversibel dan inhbitor reversibel. Inhibitor irreversibel
adalah inhibitor yang reaksi kimianya berjalan satu arah atau tidak dapat
balik, dimana setelah inhibitor mengikat enzim, inhibitor tidak dapat
dipisahkan dari sisi aktif enzim. Keadaan ini menyebabkan enzim tidak dapat
mengikat substrat atau inhibitor merusa k beberapa komponen (gugus fungsi)
pada sisi katalitik molekul enzim. Inhibitor reversibel adalah inhibitor yang
reaksi kimianya berjalan dua arah atau dapat balik, bekerja dengan mengikat
sisi aktif enzim melalui reaksi reversibel dan inhibitor ini dapat dipisahkan
atau dilepaskan kembali dari ikatannya. Enzim + Inhibitor EIInhibitor
reversibel terdiri dari tiga jenis, yaitu inhibitor yang bekerja secara
kompetitif, non-kompetitif, dan un-kompetitif (Katili, 2009).
1. Inhibitor Kompetiti
Pada inihibitor kompetitif, inhibitor dan substrat berkompetisi untuk
berikatan dengan enzim. Seringkali inhibitor kompetitif memiliki struktur
yang sangat mirip dengan substrat asli enzim. Sebagai
contoh, metotreksat adalah inihibitor kompetitif untuk enzimdihidrofolat
reduktase. Kemiripan antara struktur asam folat dengan obat ini
ditunjukkan oleh gambar di samping bawah. Perhatikan bahwa pengikatan
inhibitor tidaklah perlu terjadi pada tapak pengikatan substrat apabila
pengikatan inihibitor mengubah konformasi enzim, sehingga menghalangi
pengikatan substrat. Pada inhibitor kompetitif, kelajuan maksimal reaksi
tidak berubah, namun memerlukan konsentrasi substrat yang lebih tinggi
untuk mencapai kelajuan maksimal tersebut, sehingga meningkatkan Km
(Katili, 2009).
6
2. Inhibitor tak Kompetitif
Pada inhibitor tak kompetitif, inhibitor tidak dapat berikatan dengan
enzim bebas, namun hanya dapat dengan komples ES. Kompleks EIS
yang terbentuk kemudian menjadi tidak aktif. Jenis inhibitor ini sangat
jarang, namun dapat terjadi pada enzim-enzim multimerik (Katili, 2009).
F. Kofaktor Enzim
Kofaktor adalah komponen enzim nonprotein yang berfungsi untuk
mengaktifkan enzim. Kofaktor bersifat stabil terhadap perubahan suhu atau
reaksi kimia. Kofaktor memiliki beberapa jenis, yakni aktivator, gugus
prostetik, dan koenzim (Saryono, 2011).
Aktivator adalah kofaktor berupa ion-ion anorganik yang berikatan
lemah dengan suatu enzim. Ion-ion yang berperan sebagai aktivator enzim
adalah ion tembaga, zink, kalium, kalsium, mangan, besi, kobalt, dan lain-lain
(Saryono, 2011).
Gugus prostetik secara kimiawi hampir sama dengan koenzim, yaitu
senyawa nonprotein yang dapat terdialisis dan termostabil, namun ikatannya
dengan apoenzim cukup kuat sehingga biasanya tidak bersifat reversibel.
Sifat ikatannya dengan apoenzim inilah yang membedakan gugus prostetik
dengan koenzim. Tidak seperti koenzim yang dapat terikat, kemudian dapat
terlepas dan diikat lagi oleh apoenzim selama kerja enzim. Gugus prostetik
umumnya berada dalam keadaan terikat terus menerus menjadi satu dengan
bagian apoenzim. Hanya saja, dalam mekanisme kerja enzim, gugus prostetik
mengalami perubahan-perubahan bentuk, misalnya dari keadaan tereduksi
berubah menjadi keadaan teroksidasi, kemudian berubah lagi menjadi
keadaan tereduksi, dan seterusnya. Beberapa contoh gugus prostetik adalah
molibdopterin, lipoamida, dan biotin (Saryono, 2011).
Koenzim adalah kofaktor berupa molekul organik kecil yang
mentransferkan gugus kimia/elektron dari satu enzim ke enzim yang lain,
sedangkan kofaktor adalah berupa bahan anorganik. Banyak enzim yang
7
mengkatalis proses pemindahan gugus dan reaksi lain memerlukan,
disamping substratnya, sebuah molekul organik sekunder yang dikenal
sebagai koenzim, karena tanpa koenzim, enzim tersebut tidak aktif. Koenzim
akan memperbesar kemampuan katalik sebuah enzim sehingga jauh melebihi
kemampuan yang ditawarkan hanya oleh gugus fungsional asam aminonya,
yang menyusun massa enzim tersebut. Koenzim yang berikatan erat bersama
enzim lewat ikatan kovalen atau gaya non kovalen, pemindahan gugus serta
isomerisasi, dan reaksi yang membentuk ikatan kovalen. Reaksi lisis,
termasuk reaksi hidrolisis, yang dikatalisis oleh enzim – enzim pencernaan,
tidak memerlukan koenzim (Murray et al., 2012).
G. Fungsi Protein
Protein merupakan salah satu sumber utama energy, bersama sumber
energi lainnya seperti karbohidrat dan lemak. Namun demikian energy dari
protein terlalu mahal jika dibanding energy dari karbohidrat. Sehingga
menjadi tidak ekonomis jika, sebagian energy besar energy yang diperlukan
oleh tubuh berasal dari protein. Energy dari karbohidrat jauh lebih murah dan
mudah didapat dibandingkan dengan energi yang berasal dari protein. Selain
itu fungsi lain dari protein mennurut Sheerwood (2012) yaitu :
1. Protein berfungsi sebagai zat pembangun, yang berfungsi dalam
pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan, menggantikan sel-sel yang
telah mati dan aus terpakai sebagai protein struktural.
2. Protein berfungsi dalam mekanisme pertahanan tubuh melawan
berbagai mikroba dan zat toksik lainnya yang datang dari luar dan
masuk ke dalam tubuh.
3. Protein sebagai zat pengatur berfungsi dalam pengaturan proses-proses
metabolisma dalam bentuk enzim dan hormone. Proses-proses
metabolic atau reaksi biokimia diatur dan dilangsungkan atas
pengaturan enzim. Sedangkan aktivitas enzim diatur lagi oleh hormone,
8
agar terjadi hubungan yang harmonis antara proses metabolisma yang
satu dengan yang lainnya.
Protein berfungsi dalam menyimpan dan meneruskan sifat-sifat
keturunan dalam bentuk genes pada kromosom. Genes ini tersimpan codon
untuk sintesa protein enzim tertentu, sehingga proses metabolisme diturunkan
dari orang tua kepada anaknya dan diteruskan ke generasi berikutnya secara
berkesinambungan (Sherwood, 2012).
H. Sumber Asupan Protein
Protein (menurut sumbernya) dibagi menjadi dua golongan, yaitu
protein yang berasal dari tumbuhan (protein nabati) dan dari hewan (protein
hewani). Protein hewani merupakan protein sempurna karena mengandung
asam amino esensial. Protein hewani dapat diperoleh dari daging yang
berwarna merah, telur, susu, kepiting, tahu, tempe, ikan lele, cumi serta
daging ayam tanpa kulit (Diah Aryulina, 2009).
Protein nabati merupakan protein tidak sempurna karena kandungan
asam amino esensialnya kurang lengkap. Jumlahnya kurang untuk memenuhi
kebutuhan tubuh kecuali dari kacang-kacangan terutama kedelai. Sumber
protein lain yang berasal tumbuh-tumbuhan ialah buncis, kecambah, jamur,
brokoli, kol, dan lainnya. Sementara buah-buahan yang mengandung protein
diantaranya apel, manggis, jeruk, pisang, blueberry, jambu biji, alpukat,
kurma, jagung manis dan yang lainnya (Diah Aryulina, 2009).
I. Klasifikasi Protein
Klasifikasi protein dapat dilakukan dengan berbagai cara :
1. Berdasarkan bentuknya (Marks, 2005) :
a. Protein fibriler (skleroprotein)
Protein fibriler Adalah protein yang berbentuk serabut.
Protein ini tidak larut dalam pelarut-pelarut encer, baik larutan
9
garam, asam basa ataupun alkohol. Contohnya kolagen yang
terdapat pada tulang rawan, miosin pada otot, keratin pada rambut,
dan fibrin pada gumpalan darah.
b. Protein globuler atau steroprotein
Protein globuler adalah protein yang berbentuk bola. Protein
ini larut dalam larutan garam dan asam encer, juga lebih mudah
berubah dibawah pengaruh suhu, konsentrasi garam, pelarut asam
dan basa dibandingkan protein fibriler. Protein ini mudah
terdenaturasi, yaitu susunan molekulnya berubah diikuti dengan
perubahan sifat fisik dan fisiologiknya seperti yang dialami oleh
enzim dan hormon.
2. Berdasarkan kelarutannya, protein globuler dapat dibagi dalam
beberapa grup yaitu (Aydin, 2011) :
a. Albumin
Albumin bersifat larut dalam air dan terkoagulasi oleh panas.
Contohnya albumin telur, albumin serum, dan laktalbumin dalam
susu.
b. Globulin
Glpbulin bersifat tidak larut dalam air, terkoagulasi oleh
panas, larut dalam larutan garam encer, mengendap dalam larutan
garam konsentrasi tinggi. Contohnya adalah legumin dalam
kacang-kacangan.
c. Glutelin
Glutelin bersifat tidak larut dalam pelarut netral tetapi larut
dalam asam atau basa encer. Contohnya glutelin gandum
d. Prolamin atau gliadin
Prolamin atau gliadin bersifat larut dalam alkohol 70-80%
dan tak larut dalam air maupun alkohol absolut. Contohnya
prolamin dalam gandum.
e. Histon
10
Histon bersifat larut dalam air dan tidak larut dalam amoniak
encer. Contohnya adalah histon dalam hemoglobin.
f. Protamin
Protamin bersifat protein paling sederhana dibandingkan
protein-protein lainnya, tetapi lebih kompleks dari pada protein dan
peptida, larut dalam air dan tidak terkoagulasi oleh
panas.Contohnya salmin dalam ikan salmon.
3. Berdasarkan hasil hidrolisa total suatu protein dikelompokkan sebagai
berikut (Aydin, 2011) :
a. Asam amino esensial
Asam amino esensial yaitu asam amino yang tidak dapat
disintesa oleh tubuh dan harus tersedia dalam makanan yang
dikonsumsi. Pada orang dewasa terdapat delapan jenis asam amino
esensial :
1) Lisin
2) Threonin
3) Leusin
4) Phenylalanin
5) Isoleusin
6) Methionin
7) Valin
8) Tryptophan
Sedangkan untuk anak-anak yang sedang tumbuh ,
ditambahkan dua jenis lagi ialah Histidin dan Arginin.
b. Asam amino non esensial
Asam amino non esensial yaitu asam amino yang dapat
disintesa oleh tubuh.Ialah :
1) Alanin
2) Tirosin
3) Asparagin
4) Sistein
11
5) Asam aspartat
6) Glisin
7) Asam glutamat
8) Serin
9) Glutamin
10) Prolin
J. Struktur Protein Dan Asam Amino
Asam amino merupakan unit dasar stuktur protein. Suatu asam amino
terdiri dari gugus amino, gugus karboksil, atom H dan gugus R tertentu yang
semuanya terikat pada atom karbon yang berebelahan dengan gugus karboksil
(asam). Sedangkan gugus R menyatakan rantai samping. Glisin merupakan
asama amino yang paling sederhana dengan satu rantai hidrogen sebagai
rantai samping (Sari, 2007).
Gugus karboksil asam amino terikat pada gugus amino asam amino
lainnya dengan ikatan peptida secara kovalen membentuk rantai polipeptida.
Pada pembentukan suatu dipeptida pada dari dua asam amino terjadi
pengeluaran satu molekul air. Ikatan peptida sangat stabil dan hidrolisis kimia
memerlukan kondisi yang sangat ekstrim. Dalam tubuh, ikatan peptida
diuraikan oleh enzim proteolitik yang disebut protease atau peptidase (Sari,
2007).
Berdasarkan tingkatan struktur Martoharsono (2006) membagi protein
dalam beberapa golongan berikut ini
1. Struktur primer
Struktur primer adalah struktur dasar dari protein. Susunan
linier asam amino dalam protein yang merupakan suatu rangkaian
unik dari asam amino yang menentukan sifat dasar dari berbagai
protein, dan secara umum menentukan bentuk struktur sekunder
dan tersier.
12
2. Struktur sekunder
Struktur sekunder adalah rantai polipeptida yang berlipat-
lipat dan merupakan bentuk tiga dimensi dengan cabang-cabang
rantai polipeptidanya tersusun saling berdekatan. Kekuatan tarik
menarik yang dimiliki asam amino dalam rangkaian protein dapat
menyebabkan struktur protein yang meilngkar, melipat. bentuk
yang dihasilkan dapat dalam bentuk spiral, heliks maupun
lembaran. Bentuk ini dinamakan struktur sekunder. Dalam
kenyataannya struktur protein biasanya merupakan polipeptida
yang terlipat-lipat dalam bentuk tiga dimensi dengan cabang-
cabang rantai polipeptidanya tersusun saling berdekatan. Protein
terbentuk oleh adanya ikatan hidrogen antar asam amino dalam
rantai sehingga strukturnya tidak lurus, melainkan bentuk zig zag
dengan gugus R mencuat keatas dan kebawah. Contoh struktur ini
adalah bentuk α-heliks pada wol, serta bentuk heliks pada kolagen.
Gambar II. 1. Skema α-heliks (Martoharsono, 2006).
3. Struktur tersier
Struktur tersier adalah susunan dari struktur sekunder yang
satu dengan struktur sekunder yang lain. Biasanya bentuk-bentuk
sekunder ini dihubungkan oleh ikatan hidrogen, ikatan garam,
ikatan hidrofobik, dan ikatan disulfida. Ikatan disulfida merupakan
ikatan yang terkuat dalam mempertahankan struktur tersier protein.
Selain itu, Ikatan hidrofobik terjadi antara ikatan-ikatan nonpolar
13
dari molekul-molekul, sedang ikatan-ikatan garam tidak begitu
penting peranannya terhadap struktur tersier molekul. Ikatan garam
mempunyai kecenderungan bereaksi dengan ion-ion di sekitar
molekul (Martoharsono, 2006).
Gambar II.2. Ikatan yang Mempertahankan Struktur Sekunder,
dan Struktur Tersier Protein; a. Interaksi
elektrostatik;b.Ikatan hidrogen; c. Ikatan
hidrofobik; d. Interaksi hidrofilik, e. Ikatan
disulfida (Martoharsono, 2006).
4. Struktur kuartener
Struktur primer, sekunder, dan tersier umumnya hanya
melibatkan satu rantai polipeptida, tetapi bila struktur ini
melibatkan beberapa polipeptida dalam membentuk suatu protein,
maka disebut dengan struktur kuartener.
Gambar II.3. Tingkatan Struktur Protein (Martoharsono, 2006).
14
K. Sifat Kimiawi Protein
1. Denaturasi Protein
Denaturasi protein adalah perubahan struktur sekunder, tersier dan
kuartener tanpa mengubah struktur primernya (tanpa memotong ikatan
peptida). Denaturasi protein ini dipengaruhi oleh panas, tekanan, gaya
mekanik, pH, bahan kimia (UNY, 2008).
1) Suhu
Denaturasi karena panas biasanya terjadi pada suhu 40–80°C.
Stabilitas protein terhadap suhu berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi
oleh (UNY, 2008):
a. Komposisi asam amino
Protein dengan residu asam amino hidrofobik lebih
stabil daripada protein hidrofilik.
b. Ikatan disulfida
Adanya ikatan disulfida menyebabkan protein tahan
terhadap denaturasi pada suhu tinggi.
c. Jembatan garam
Adanya jembatan garam menyebabkan protein tahan
terhadap denaturasi pada suhu tinggi.
d. Waktu pemanasan
Waktu pemanasan pendek mengakibatkan denaturasi
reversibel, sedang waktu pemanasan panjang mengakibatkan
denaturasi irreversibel.
e. Kadar air
Semakin tinggi kadar air maka protein menjadi semakin
tidak stabil.
f. Bahan tambahan
Penambahan gula dan garam akan menstabilkan protein
2) Tekanan hidrostatis
Denaturasi karena protein dapat terjadi pada suhu 25 °C apabila
tekanan cukup besar. Protein yang terdenaturasi karena tekanan (<
15
2 kbar) umumnya bersifat reversibel setelah beberapa jam (UNY,
2008).
3) Gaya mekanik
Gaya mekanik dapat berupa pengocokan dapat menyebabkan
denaturasi protein. Hal ini disebabkan oleh pengikatan gelembung
udara dan adsorpsi molekul protein pada perbatasan (interface)
udara-cairan (UNY, 2008).
4) pH
Denaturasi karena pH bersifat reversibel, kecuali terjadi:
a. Hidrolisis sebagian pada ikatan peptida
b. Rusaknya gugus sulfhidril
c. Agregasi
Pada titik isoelektrik (pI) kelarutan protein akan berkurang
sehingga protein akan menggumpal dan mengendap (UNY, 2008).
5) Garam
Pada konsentrasi rendah, garam akan menstabilkan protein,
sedang pada konsentrasi tinggi, garam akan mendenaturasi protein
(UNY, 2008).
6) Pelarut organik
Pada konsentrasi rendah, pelarut organik akan menstabilkan
protein, sedang pada konsentrasi tinggi, pelarut organik akan
mendenaturasi protein (UNY, 2008).
7) Zat terlarut (solut) organik
Solut organik dapat memecah ikatan hidrogen yang akhirnya
menyebabkan denaturasi protein. Contoh solut organik adalah urea
dan guanidin HCl (UNY, 2008).
16
III. METODE PRAKTIKUM
A. Alat dan Bahan
1. Pemeriksaan Amylase Saliva
a. Cawan petri
b. Gelas kimia
c. Tabung reaksi
d. Pipet tetes
e. Lidi
f. Penjepit tabung reaksi
g. Bunsen
h. Korek api
i. Kertas saring
j. Saliva
k. Larutan amilum 1%
l. Larutan NaCl 0,2%
m. Larutan iod 0,01%
2. Pemeriksaan Amylase Serum
a. Spuit 3 cc
b. Torniquet
c. Rak tabung reaksi
d. Mikropipet 10-100 µl
e. Mikropipet 100-1000 µl
f. Blue tip
g. Yellow tip
h. Vasuum tube non EDTA
i. Sentrifugator
j. Spektrofotometri
k. Working reagen
l. Serum darah
m. Alkohol 70%
17
3. Pemeriksaan Protein Total
a. Spuit 3 cc
b. Torniquet
c. Rak tabung reaksi
d. Mikropipet 10-100 µl
e. Mikropipet 100-1000 µl
f. Blue tip
g. Yellow tip
h. Vasuum tube non EDTA
i. Sentrifugator
j. Spektrofotometri
k. Reagen biuret
l. Serum darah
m. Alkohol 70%
B. Cara Kerja
1. Pemeriksaan Amylase Saliva
18
Berkumur menggunakan
NaCl 0,2% selama 2-3
menit
Buang NaCl 0,2% dari mulut
Tampung saliva kedalam kertas
saring
Diamkan saliva beberapa menit hingga tersaring kedalam gelas
kimia
Tuangkan saliva yang ada
kedalam 2 tabung reaksi secara merata
Panaskan salah satu tabung
reaksi diatas api bunsen
Teteskan larutan iodium
dan amilum kedalam cawan petri di 3 titik
berbeda
Tetesi 2 titik dengan saliva
yang dipanaskan dan
yang tidak dipanaskan
Amati perubahan
warna larutan
2. Pemeriksaan Amylase Serum
3. Pemeriksaan Protein Total
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
19
Sampling darah vena 3 cc
Masukkan darah kedalam vacuum
tube non EDTA dan sentrifuge
Campurkan 20 µl serum dan 1 cc working reagen kedalam tabung
reaksi
HomogenkanPeriksa menggunakan
spektrofotometri
Sampling darah vena 3 cc
Masukkan darah kedalam vacuum tube non EDTA dan sentrifuge
Campurkan 20 µl serum dan 1 cc reagen biuret
kedalam tabung reaksi
Inkubasi selama 5 menit dalam suhu
ruangan
HomogenkanPeriksa menggunakan
spektrofotometri
A. Hasil
1. Saliva
Dipanaskan Tidak dipanaskan
Waktu
5’ I Ungu Ungu
5’II Ungu Ungu sedikit muda
5’III Ungu sedikit muda Ungu muda
2. Amilase darah
79, 158 µ/m
3. Protein
7 g/dl
B. Pembahasan
1. Amilase Saliva
Pemeriksaan amilase saliva menggunakan sampel yang didapatka
dari probandus berusia 20 tahun. Pemeriksaan dilakukan dalam 1
cawan petri yang terdiri dari, 3 tetesan gabungan amilum dan iodium
yang diberi jarak agar tidak tercampur. Satu tetesan gabungan amilum
dan iodium dibiarkan sebagai kontrol. Hasil yang didapatkan setelah
tetesan amilum dan iodium diberikan tetesan saliva sebanyak 4 kali
dibagi dalam 20 menit, yaitu;
a. Pada pemberian saliva dengan pemanasan, warna biru tua pada
tetesan gabungan amilum dan iodium mengalami perubahan warna
secara perlahan menjadi lebih muda.
b. Pada pemberian saliva yang tanpa pemanasan, warna biru tua pada
amilum dan iodium memudar menjadi putih secara cepat.
Pemeriksaan kali ini yaitu untuk mengetahui durasi waktu aktivitas
yang dibutuhkan enzim amilase saliva, untuk memecah amilum sehingga
20
hasilnya tersisa warna dari iodiumnya. Peningkatan suhu juga akan
meningkatkan laju reaksi, namun bila melewati suhu optimum (terlalu
dingin atau panas), akan menurunkan aktivitas enzim karena terjadi
denaturasi protein (Murray, 2009).
Terlihat hasil pada pemberian tetesan saliva yang telah dipanaskan
dengan api bunsen, enzim amilase telah inaktif sebagian, jadi hanya
sedikit amilase yang memecah amilum, sehingga hanya sedikit
memberikan perubahan warna biru tua pada tetesan gabungan amilum
dan iodium. Sedangkan pada pemberian tetesan saliva yang tanpa
pemanasan secara cepat memecah amilum, sehingga terlihat warna
bening saat pemberian tetesan saliva terakhir di menit ke-20 (Murray,
2009).
Probandus tidak dalam keadaan dehidrasi, maupun keadaan yang
merupakan faktor resiko adanya gangguan pada sekresi saliva. Namun
dalam pemeriksaan kali ini, bisa saja terjadi kesalahan praktikkan yang
mempengaruhi hasil dari pemeriksaan amilase saliva.
2. Amilase Darah
Berdasarkan praktikum penentuan aktivitas enzim amilase darah
yang telah dilakukan pada probandus oleh praktikan, didapatkan
aktivitas amilase normal yaitu 74,158 µ/m. Kadar normal amilase darah
adalah =<100 U/L untuk pria dan wanita sehingga pada praktikum ini,
didapatkan hasil normal.
Amilase adalah enzim yang mengkatalisis pemecahan pati menjadi
gula . Amilase terdapat pada air liur manusia , di mana ia memulai
proses kimia pencernaan . Enzim Amilase dapat terbagi menjadi α-
Amilase, β-Amilase, γ-Amilase . Amilase dapat diperoleh dari berbagai
sumber seperti tanaman, binatang dan mikroorganisme. Enzim Amilase
bekerja memecah karbohidrat rantai panjang seperti amilum dan
dekstrin, akan diurai menjadi molekul yang lebih sederhana maltosa.
Pankreas juga membuat amilase ( amilase alfa ) untuk menghidrolisis
21
pati makanan menjadi disakarida dan trisakarida yang dikonversi oleh
enzim lain untuk glukosa untuk memasok tubuh dengan energi.
Tumbuhan dan beberapa bakteri juga menghasilkan amilase (Erhard,
2011).
Darah serum amilase dapat diukur untuk tujuan diagnosa medis .
Konsentrasi normal yaitu sekitar 21-101 U / L. Amylase darah lebih
tinggi dari konsentrasi normal dapat mencerminkan salah satu dari
beberapa kondisi medis, termasuk peradangan akut dari pankreas
(bersamaan dengan lebih spesifik lipase ), dapat juga perforasi ulkus
peptikum , torsi dari suatu kista ovarium , pencekikan ileus ,
macroamylasemia dan gondok. Amilase dapat diukur dalam cairan tubuh
lainnya, termasuk air seni dan peritoneal cairan (Erhard, 2011).
3. Protein Total
Pada praktikum pemeriksaan total protein kali ini, didapatkan dari
serum darah probandus laki-laki berumur 20 tahun. Setelah dilakukan
pemeriksaan sampai dengan dilakukan pemeriksaan dengan alat
spektrofotometer, angka yang muncul sebagai hasil pemeriksaan adalah
7 gr/dl. Interpretasi dari hasil tersebut adalah normal, tidak ada kelainan.
Hal-hal yang menyebabkan nilai palsu antara lain karena ketidaksesuaian
suhu, inkubasi yang terlalu lama, atau kesalahan input dari praktikan
(Murray, 2009).
Nilai normal dari pemeriksaan total protein berkisar pada angka
6,2 – 8,5 gr/dl pada probandus usia 3 tahun sampai dewasa. Kadar
protein total dapat meningkat pada keadaan dehidrasi, multiple myeloma
dan penyakit hati menahun. Sementara kadarnya menurun pada penyakit
ginjal dan stadium akhir gagal hati (Murray, 2009).
V. APLIKASI KLINIS
A. Sialorrhea
22
Sialorrhea atau hipersalivasi, merupakan kondisi yang sangat jarang
terjadi yang berhubungan dengan hipersekresi atau kesulitan menelan. Hal ini
dapat disebabkan oleh berbagai macam keadaan meliputi adanya benda asing
didalam tubuh, lesi inflamasi, penyakit parkinson rabies, ingesti benda-benda
metal (merkuri), dan obat yang obat yang merangsang ptyalism. Biasanya
obat-obatan yang bersifat parasimpatomimetic, contohnya : neostigmine dan
pilocarpine (Alper, Arjmand, Stool, L, & Casselbrant, 2011).
Gejala klinisnya dapat dilihat dari lendir yang berlebihan, serta
hipersalivasi kronik meningkatkan permeabilitas mukosa sehingga dapat
merusak epitel barrier sehingga meningkatkan risiko terjadinya infeksi,
terutama infeksi oleh Candida Albicans. Epitel yang terinfeksi akan
menunjukkan warna kemerahan, dan tanda-tanda inflamasi yang kahirnya
dapat menjadi ulkus (Alper, Arjmand, Stool, L, & Casselbrant, 2011).
B. Parotitis
Parotitis merupakan penyakit yang disebabkan virus mumps yang
menyerang beberapa lokasi diantaranya kelenjar ludah di bawah lidah,
kelenjar ludah di bawah rahang dan dibawah telinga, biasanya disertai dengan
demam dan dan nyeri pada pembengkakan parotid. Penularan mumps yaitu
melalui droplet dan kontak langsung dengan saliva penderita. Virus mumps
memilki masa inkubasi 18-21 hari dan 1-3 hari masa prodromal berupa
malaise sebelum peradangan berkembang (Alper, Arjmand, Stool, L, &
Casselbrant, 2011).
Gejala penyakit ini dimulai dari demam yang mendadak tinggi,
kadang-kadang disertai batuk pilek, pusing, mual dan pegal-pegal otot
terutama otot-otot di daerah leher.Terasa nyeri saat menelan dan mulut kering
karena kelenjar ludah tak mengeluarkan ludah dan tanda khusus adalah
bengkak di kedua rahang/pipi (Alper, Arjmand, Stool, L, & Casselbrant,
2011).
Parotitis / Gondongen dapat sembuh dengan sendirinya dengan
perbaikan kondisi tubuh, mengkonsumsi makanan yang bergizi serta minum
23
yang cukup. Pemberian obat-obatan seperti penurun panas serta obat batuk
pilek sangat membantu proses penyembuhan (Alper, Arjmand, Stool, L, &
Casselbrant, 2011).
C. Xerostomia
Xerostomia adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan
keluhan subjektif dari kekeringan mulut. Xerostomia sering terjadi ketika
kadar saliva yang menggenangi membran mukosa mulut berkurang.
Xerostomia dapat terjadi akibat beberapa faktor, diantaranya adalah
(Suwantuntula et al, 2009) :
1. Obat-obatan
Xerostomia adalah efek samping yang sering dan signifikan
dari obat-obatan yang banyak diresepkan. Obat-obatan yang
mempunyai efek antikolinergik seperti antidepresan, antipsikotik,
anti retroviral, dan muscle relaxants dapat menyebabkan
xerostomia (Suwantuntula et al, 2009).
2. Usia
Xerostomia umumnya terjadi pada orang yang sudah tua.
Keadaan ini disebabkan karena adanya perubahan atropi pada
kelenjar saliva sesuai dengan pertambahan umur yang akan
menurunkan produksi saliva dan mengubah komposisinya. Seiring
dengan bertambahnya usia, terjadi proses aging, dimana kelenjar
parenkim hilang dan digantikan oleh jaringan ikat dan lemak,
lining sel ductus intermediate juga mengalami atrofi. Keadaan ini
mengakibatkan pengurangan jumlah saliva (Suwantuntula et al,
2009).
3. Terapi radiasi leher dan kepala
Terapi radiasi pada kepala dan leher untuk perawatan kanker
telah terbukti dapat mengakibatkan rusaknya struktur kelenjar
saliva dengan berbagai derajat kerusakan. Jumlah kerusakan
24
kelenjar saliva tergantung dari jumlah dosis radiasi yang diberikan
selama terapi radiasi (Suwantuntula et al, 2009).
4. Gangguan pada kelenjar saliva
Salahsatu penyakit lokal tertentu yang mempengaruhi
kelenjar saliva dan menyebabkan berkurangnya aliran saliva.
Salah satunya adalah sindrome sjogren, yang merupakan kondisi
autoimun yang berkaitan dengan infiltrasi limfositik dari kelenjar
saliva, sehingga mengakibatkan sekresinya berkurang
(Suwantuntula et al, 2009).
Pasien dengan xerostomia sering mengeluhkan masalah makan,
berbicara, menelan dan mengenakan gigi palsu. Makanan yang kering dan
renyah, seperti sereal dan crackers terkadang sulit untuk dikunyah dan
ditelan. Pasien dengan xerostomia juga sering mengeluhkan gangguan
pengecapan rasa (dysgeusia), nyeri pada lidah (glossodynia) dan
meningkatnya kebutuhan minum, khususnya pada malam hari. Xerostomia
dapat menyebabkan timbulnya karies pada gigi, pembesaran kelenjar
parotis, radang dan fissura pada bibir (cheilitis), inflamasi atau ulcerasi
pada lidah dan mucosa buccal, dan oral candidiasis (Bartels, 2010).
D. Tes ELISA
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) adalah suatu teknik
biokimia yang terutama digunakan dalam bidang imunologi untuk
mendeteksi kehadiran antibodi atau antigen dalam suatu sampel. ELISA
telah digunakan sebagai alat diagnostik dalam bidang medis, patologi
tumbuhan, dan juga berbagai bidang industri. Pengertian sederhananya,
sejumlah antigen yang tidak dikenal ditempelkan pada suatu permukaan,
kemudian antibodi spesifik dicucikan pada permukaan tersebut, sehingga
akan berikatan dengan antigennya. Antibodi ini terikat dengan suatu
enzim, dan pada tahap terakhir, ditambahkan substansi yang dapat diubah
oleh enzim menjadi sinyal yang dapat dideteksi. ELISA fluoresensi, saat
cahaya dengan panjang gelombang tertentu disinarkan pada suatu sampel,
kompleks antigen/antibodi akan berfluoresensi sehingga jumlah antigen
25
pada sampel dapat disimpulkan berdasarkan besarnya fluoresensi (Lequin,
2005).
Penggunaan ELISA melibatkan setidaknya satu antibodi dengan
spesifitas untuk antigen tertentu. Sampel dengan jumlah antigen yang tidak
diketahui diimobilisasi pada suatu permukaan solid (biasanya berupa
lempeng mikrotiter polistirene), baik yang non-spesifik (melalui
penyerapan pada permukaan) atau spesifik (melalui penangkapan oleh
antibodi lain yang spesifik untuk antigen yang sama, disebut ‘sandwich’
ELISA). Setelah antigen diimobilisasi, antibodi pendeteksi ditambahkan,
membentuk kompleks dengan antigen. Antibodi pendeteksi dapat
berikatan juga dengan enzim, atau dapat dideteksi secara langsung oleh
antibodi sekunder yang berikatan dengan enzim melalui biokonjugasi. Di
antara tiap tahap, plate harus dicuci dengan larutan deterjen lembut untuk
membuang kelebihan protein atau antibodi yang tidak terikat. Setelah
tahap pencucian terakhir, dalam plate ditambahkan substrat enzimatik
untuk memproduksi sinyal yang visibel, yang menunjukkan kuantitas
antigen dalam sampel. Teknik ELISA yang lama menggunakan substrat
kromogenik, meskipun metode-metode terbaru mengembangkan substrat
fluorogenik yang jauh lebih sensitive (Lequin, 2005).
VI. KESIMPULAN
1. Enzim adalah polimer biologis yang mengkatalisis reaksi kimia yang
memungkinkan berlangsungnya kehidupan seperti yang kita kenal.
26
2. Protein merupakan salah satu sumber utama energy, bersama sumber energi
lainnya seperti karbohidrat dan lemak.
3. Pada ketiga uji yang dilakukan didapatkan hasil normal
4. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi hasil uji lab Biokimia
27
DAFTAR PUSTAKA
Alper, C. M., Arjmand, E. M., Stool, S. E., L, M., & Casselbrant. 2011. Pediatric
Otolaryngology Volume 1. Philadelpia: Elsevier Science.
Aryulina, D., Choirul, M., Syalfinaf, M., & Endang, W. W. 2009. Biologi
Terapan Pangan. Jakarta: Gelora Aksara Pratama.
Bartels CL. 2010. Xerostomia Information for Dentist. Montana: School of
Pharmacy and Allied Health Sciences University of Montana.
Erhard, Friedrich Leuchs. 2011. Wirkung des Speichels auf Starke (Pengaruh air
liur pada pati). Poggendorff's Annalen der Physik und Chemie, Vol. 98(8),
623
Lequin, R.M. 2005. Enzyme Immunoassay (EIA)/Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay (ELISA). Clinical Chemistry 51 (12), 2415–2418.
Martoharsono, S. 2006. Biokimia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Murray, R.K., Granner, D.K., & Rodwell, V.W. 2009. Biokimia Harper. Jakarta:
EGC
Sari, M.I. 2007. Struktur Protein. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Saryono. 2011. Biokimia Enzim. Yogyakarta: Nuha Medika.
Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. Penerbit buku
kedokteran EGC : Jakarta
UNY. 2008. Bahan Ajar Kimia Pangan. Yogyakarta : Universitas Negeri
Yogyakarta
28