biokim chem2

download biokim chem2

of 12

description

dsvbfdbfdn

Transcript of biokim chem2

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

Asetilkolin merupakan salah satu jenis zat kimia perantara (neurotransmiter) yang dikeluarkan oleh sistem saraf melalui ujung akson neuron presinaps (Nuswantari, 2002). Neurotransmiter dikeluarkan dengan distribusi yang terbatas ke sel-sel sasaran spesifik di dekatnya, kemudian dengan cepat akan mengalami inaktivasi oleh enzim-enzim yang berada di taut sel saraf-sel sasaran atau diserap kembali sebelum mencapai darah oleh ujung-ujung saraf. Sel-sel sasaran untuk neuron tertentu memiliki reseptor yang akan menerima neurotransmiter yang bersangkutan. Namun, reseptor yang sama juga dapat dimiliki oleh sel-sel di tempat lain yang juga dapat berespon apabila terpajan (Sherwood, 2001).Dalam sistem saraf, pesan berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain dalam bentuk potensial aksi sepanjang akson. Agar menjadi efektif, sebuah pesan harustidak hanya berjalan di sepanjang akson saja tetapi juga ditransfer ke sel saraflainnya. Di sinapsis antara dua neuron, impuls berpindah dari neuron presinaps ke neuron postsinaps (Martini, 2009).Sinapsis yang melepas Ach disebut sinapsis kolinergik. Neuromuscularjunction adalah salah satu contoh sinapsis kolinergik. Ach, neurotransmitter yang paling banyak menyebar, dilepas, di semua neuromuscular junction yang melibatkan juga serat otot, di banyak sinaps di CNS, di semua sinapsis antarneuron di PNS, dan di semua neuromuscular dan neuroglandular junction di sistem saraf autonomi di bagian parasimpatis (Martini, 2009). Di sinapsis kolinergik antara dua neuron, membrane presinapsis dan postsinapsis dipisahkan oleh celah sinapsis dengan lebar sekitar 20 nm. Sebagian besar Ach di knop sinapsis dibungkus di dalam vesikel, yang setiap vesikelmengandung ribuan molekul neurotransmitter. Satu knop sinapsis bisamengandung sekitar satu jutavesikel (Martini, 2009).Stimulusmerangsang pelepasanneurotransmitter di knop sinapsis dan gatedi sinapsis terbuka, ion natrium dan kalium keluar-masuk menjadi potensial aksi.Selanjutnya, potensial aksi merangsang pembukaan gate ion kalsium yang dilepaskan oleh retikulum endoplasma (Martini, 2009).Ion kalsium yang dilepas akan berikatan dengan troponin dan mengubahbentuknya, sehingga kompleks troponin-tropomiosin secara fisik bergeser kesamping, membuka tempat pengikatan jembatan silang aktin. Bagian aktin yang telah terpajan tersebut berikatan dengan jembatansilang miosin, yang sebelumnya telah mendapat energi dari penguraian ATP menjadi ADP + Pi + energy oleh ATPase miosin di jembatan silang. Pengikatan aktin dan miosin di jembatan silang menyebabkan jembatan silang menekuk, menghasilkan suatu gerakan mengayun kuat yang menarik filament tipis ke arah dalam. Pergeseran ke arah dalam dari semua filament tipis yang mengelilingi filament tebal memperpendeksarkomer sehingga terjadi kontraksi otot (Sherwood, 2001).Ach dilepas melalui difusi eksositosis melewati celah sinapsis menujureseptor Ach di membrane postsinaps. Semakin banyak jumlah Ach yang dilepasdari membran presinapsis, maka gate ion kalsium di membran postsinaps akanlebih banyak terbuka. Dan depolarisasi akan semakin lama (Martini, 2009).Efek di membran postsinaps bersifat sementara, karena di celah sinapsisdan membran postsinaps mengandung enzim asetilkolinesterase (AchE, atau kolinesterase). Sekitar setengah dari Ach yang dilepas dari membran presinapsdihancurkan sebelum mencapai reseptornya dimembran postsinaps. Molekul Ach yang sukses berikatan di reseptornya biasanya dihancurkan dalam waktu 20 milidetik setelah menempati reseptor. Hidrolisis oleh enzim AchE memecah Ach menjadi asam asetat dan kolin. Kolin diserap aktif oleh knop sinapsis dan digunakan untuk mensintesis lebih banyak Ach. Asam asetat didifusikan dari sinapsis dan bisa diabsorpsi atau dimetabolisme oleh membran postsinaps atau oleh sel danjaringan lain (Martini, 2009).Semua sistem saraf yang mempersarafi semua otot rangka dalam tubuh (neuron motorik) menggunakan neurotrasmiter yang sama yaitu ACh. ACh dapat secara tersendiri dikeluarkan dari neuron-neuron motorik yang secara spesifik berhubungan dengan otot. Semua otot rangka dapat secara bersama berkontraksi jika ACh masuk dalam darah karena semua otot rangka memiliki reseptor ACh yang identik (Sherwood, 2001).Inaktivasi ACh disebabkan oleh adanya enzim asetilkolinesterase yang terdapat pada membran motor end plate. Enzim ini mengontrol kontraksi otot dengan menghentikan aktvitas listrik di serat otot jika tidak ada sinyal. Kontraksi otot terjadi karena ACh berkontak dengan motor end plate sehingga aliran Na+ dan K+ tetap ada untuk menimbulkan energi potensial. Jika kerja ACh ini terus dibiarkan maka otot akan terus bekerja hingga kelelahan walaupun tidak ada potensial aksi lebih lanjut di neuron motorik (Sherwood, 2001). Asetilkolin berikatan dengan reseptornya dalam waktu yang sangat singkat sekitar sepersemiliar detik kemudian akan terlepas dan dengan mudah dapat berikatan lagi dengan reseptornya (Sherwood, 2001). Namun demikian, ACh ini dapat segera disingkirkan melalui dua cara. Sebagian besar asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase terutama untuk ACh yang terletak pada lapisan yang berbentuk busa di jaringan ikat halus di ruang sinaps antara terminal saraf presinaps dan membran otot pascasinaps. Sedangkan yang lainnya dalam jumlah yang kecil akan berdifusi keluar dari ruang sinaps sehingga tidak tersedia lagi untuk bekerja pada membran serabut otot (Guyton & Hall, 2008).Mekanisme pelepasan ACh, kerja enzim AChE, dan inaktivasi ACh dipengaruhi oleh beberapa zat kimia dan juga beberapa mekanisme. Zat kimia yang dapat mempengaruhi mekanisme tersebut misalnya adalah toksin Clostridium botulinum, kurare, dan beberapa macam organofospat seperti malation dan parathion. Pengaruh dari gangguan yang terjadi pada mekanisme kerja ACh-AChE dapat menyebabkan beberapa jenis penyakit seperti miastenia gravis, botulisme, dan alzheimer (Sherwood, 2001).Reseptor AsetilkolinReseptor asetilkolin, seperti reseptor neurotransmitter yang diaktivasi ligan yang lain, terdiri dari dua subtipe utama: reseptor muscarinic metatropic dan reseptor nikotinat ionotropic. Keduanya berbagi milik yang diaktifkan oleh neurotransmitter endogen asetilkolin (Ach), dan mereka diekspresikan oleh sel-sel neuron dan nonneuronal seluruh tubuh. Reseptor metatropic merupakan second messenger, G protein coupled seven transmembran. Mereka diaktifkan oleh muscarine, racun dari Amanita muscaria, dan diinhibisi oleh atropine, racun dari Atropa belladona. Kedua racun melintasi sawar darah-tak dengan buruk dan dan ditemukan terutama dari pengaruh mereka pada postgnaglionic fungsi sistem syaraf parasimpatik. Pengaktifan dari AchRs relatif lambat( milidetik sampai detik), dan tergantung pada kehadiran subtipe (M1-M5), mereka langsung mengubah homeostasis seluler fosfolipase C, inositol triphosphate, cAMP, dan kalsium bebas( Albuquerque, 2009). Salah satu penemuan yang berhubungan dengan asetilkolin adalah tentang reseptor 42 nicotinic acetylcholine (nAChRs). Neuronal nAChRs diberi nama berdasarkan komponen subunit mereka, misalnya 42, diperkirakan mempunyai motif pentameric fungsional, yang terbentuk dari berbagai subunit yang terdiri dari ion channel yang mirip dengan yang terdapat pada neuromuscular junction nAChR (Llyod, 2000). Reseptor 42 nicotinic acetylcholine (nAChRs) ini dapat memperkuat efek dari nikotin dan mempertahankan perilaku merokok.Varenicline, novel agonis parsial 42 nAChR, bermanfaat untuk penghentian kebiasaan merokok. Varenicline merupakan terapi berkhasiat untuk berhenti merokok.Dalam hal ini, Varenicline lebih mujarab daripada plasebo pada semua titik waktu dan lebih mujarab dari bupropion SR pada akhirnya 12 minggu pengobatan dan dalam 24 minggu.Selain itu, agonis parsial nAChR efektif untuk mengurangi rasa lapar dan kepuasan merokok. Hal ini dapat dikembangkan sebagai terapi baru untuk menghentikan kebiasaan merokok (Gonzales, 2006).

BAB IIIMETODE PRAKTIKUM

A. Alat dan BahanI. Alata. spuit 3 ccb. tourniketc. vacum med ungud. sentrifugatore. mikropipet (10 L-100 L)f. pipet ukur 5 mlg. kuveth. spektrofotometer

II. Bahana. Sampel darahb. EDTAc. Reagen I (buffer kolinesterase)d. Reagen II (substrat butirilkolinesterase)

B. Cara KerjaII Persiapan sampel (plasma) 2 cc sampel darahdisentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 4000 rpmdiambil plasma darah 20 L.

III Persiapan Reagen

+diambil 1 ml

Reagen I (buffer kolinesterase)Reagen II (substrat butiril kolinesterase)

4:1

III. Plasma darah 20 L + campuran reagen I dan II 1 ml kemudian diinkubasi di spektrofotometer selama 2 menit, diukur absorbansinya dengan panjang gelombang 405 ndan nilai faktor 13160.

IV. Hasil pembacaannya dikalikan 1000

C. Metode Praktikum

Menggunakan metode DGKC new

D. Nilai Normal

Laki-laki : 5100-11700 U/IPermpuan : 4000-12600 U/I

E. Rumus Perhitungan

Aktivitas AchE: x 100%

Interpretasi hasil:a. 75% - 100%: kondisi normalb. 50% - 75%: keracunan ringanc. 25% - 50%: keracunan sedangd. >25%: keracunan berat

BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASILNama Probandus: Sarah Safira Aulia RahmahUmur Probandus:18 tahunJenis Kelamin:PerempuanHasil Praktikum: -Aktivitas asetilkolinesterase : -

Berdasarkan pemeriksaan dari hasil pembacaan sperktrofotometer didapat data sebagai berikut:a. Pada 10 detik pertama: 2,731b. Pada 10 detik kedua: 0,00c. Pada 10 detik ketiga: -0,006d. Pada 10 detik keempat:0,006e. Pada 10 detik kelima: -0,010

Pada spektrofotometer menunjukkan angka: 32,515, dan hasil absorbansi AchE adalah: 32,515 x 1000 = 32.515 U/L.Hasil ini bukan merupakan data yang falid nilainya terlalu besar, tidak sesuai dengan batas normal. Telah diketahui bahwa nilai normal untuk permpuan adalah 4000-12.600 U/I.

Intrepetase hasil : X 100% =812,875 %Hasil untuk aktivitas enzim asetilkolinesterase ini berada diatas lebih dari 100%, yang berarti enzim asetilkolinesterase ini jumlahnya terlalu berlebihan.

B. PEMBAHASAN

Pada saat pelaksanaan praktikum keberhasilannya bisa dipengaruhi oleh ketelitian praktikan, kesterilan alat-alat, dan bahan yang bermutu bagus. Bahan yang digunakan seperti reagen I (buffer kolinestersae) dan Reagen II (substrat butiril kolinesterase) sudah rusak dan mendekati batas kadaluarsa, sehingga tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik, sehingga ketika direaksikan tidak dapat bereaksi dengan baik.Kelainan jumlah enzim asetilkolin esterase itu masih belum jelas penyebabnya karena ada dua kemungkinan karena reagennya itu rusak atau memang jumlah yang sebenarnya didalam tubuh individu itu terlalu banyak. Namun dari hipotesis sementara lebih menunjukkan kerusakan pada reagennya. Jika jumlah asetilkolinesterase yang ada didalam tubuh terlalu banyak bisa memberi dampak kejang-kejang pada individu itu karena enzim kolinesterase (asetilkolinesterase) mempunyai peranan yang penting dalamproses neuro muskuler dengan menghidrolisis Asetilkolin (Ach) menjadiasam asetat dan kolin.Kolin yang berfungsiuntukmenghantarkan impuls syaraf akan berkurang, jika terjadi suatupenumpukan asetilkolin, sehingga timbul berbagai kelainan-kelainantersebut. (Sherwood, 2001)Namun juga bisa didapati seorang individu dengan kadar asetilkolinesterase yang rendah seperti pada pasien hati, malnutrisi, penyakit kronik yang melemahkan dan infeksi akut, dan anemia. Banyak obat yang bisa menghasilkan penurunan sementara dalam aktivitas kolinesterase, tetapi alkil fluorofosfat secara irreversible menghambat enzim. Beberapa insektisida menekan aktivitas kolinesterase, dan tes untuk aktivitas enzim ini dapat bermanfaat dalam mendeteksi kontak berlebihan dengan agen tersebut. (Mayes, 2000)

C. Aplikasi Klinis1. BotulismeBotulisme adalah penyakit neurotoksik yang disebabkan oleh toksin botulinum yang dihasilkan oleh Clostridium botulinum. Toksin ini biasanya terdapat pada makanan busuk yang terkontaminasi oleh bakteri Clostridium botulinum tersebut. Toksin botulinum merupakan salah satu racun yang mematikan karena mengganggu transmisi neuromuskular. Toksin ini menghambat pengeluaran ACh dari terminal button sebagai respon dari terminal aksi di neuron motorik (Guyton & Hal, 2008; Sherwood, 2001). Toksin ini juga menghambat otot-otot untuk berespon terhadap impuls saraf. Kematian biasanya disebabkan karena gangguan pernapasan yang yang ditimbulkan oleh ketidakmampuan diafragma untuk berkontraksi (Sherwood, 2001). 2. Keracunan Organofosfat dan KarbamatOrganofosfat merupakan suatu zat kimia yang memodifikasi aktivitas taut neuromuscular. Zat ini menghambat AChE secara irreversibel. Inhibisi AChE akan membuat otot yang tereksitasi tetap dalam keadaan berkontraksi dikarenakan tidak adanya inaktivasi ACh sehingga tidak mampu melakukan repolarisasi ke keadaan istirahat. Kematian akibat zat ini ditimbulkan oleh ketidakmampuan diafragma untuk berelaksasi dan kemudian bekontraksi untuk menghirup udara segera (Sherwood, 2001). Organofosfat dan karbamat merupakan salah satu antiAChE, yauti inhibitor atau penghambat kerja enzim AChE. Contohnya seperti malation, parathion, paraoxon, dan diazinon. Waktu paruh penghambat asetilkolinesterase oleh organofosfat berkisar 2-3 hari. Gejala yang ditimbulkan pada keracunan organofosfat mulai timbul setelah 30 menit disertai oleh penurunan enzim AChE. Sedangkan keracunan oleh karbamat bersifat reversibel selama 30 menit. Gejala yang timbul akibat keracunan pestisida golongan karbamat dan organofospat adalah miosis, penglihatan kabur, kelemahan otot, diare, mual, banyak mengeluarkan air liur, berkeringat, edem paru, dan reaksi konvulsif (Munaf, 2003). Zat-zat toksik ini sering ditemukan pada pestisida dan gas-gas saraf yang digunakan dalam dunia militer pada saat perang (Sherwood, 2001).3. AlzheimerPenyakit Alzheimer merupakan gangguan neuropsikiatri yang irreversibel. Ciri Alzheimer antara lain hilangnya sel di daerah tertentu otak, misalnya korteks serebri dan hipokampus. Diduga akibat munculnya peptida amiloid (A ), unsur utama pembentuk plak pada penderita Alzheimer, yang menandakan terjadi peningkatan kadar aluminium. Peptida amioid ini berasal protein prekursor berukuran besar yang dinamakan Protein Prekursor Amiloid (APP), yang gennya terletak pada kromosom 21, didekat daerah yang terkena Down Sindrom. Itulah sebabnya, penderita Down Sindrom yang bertahan hingga berusia 50 tahun sering terkena Alzheimer.Alzheimer sering kali memperlihatkan penurunan nyata kadar asetilkolintransferase dan asetilkolin. Perubahan ini tampaknya terjadi sekunder karena kerusakan sel, bukan causa primer penyakit Alzheimer (Murray, 2003).4. Miastenia GravisPenyakit ini merupakan penyakit autoimun yaitu tubuh menghasilkan antibodi terhadap reseptor ACh pada motor and plate sehingga ACh tidak dapat berikatan menemukan dan berikatan dengan reseptornya. AChE merusak ACh sebelum berikatan dengan reseptornya pada post sinaps sehingga tidak terbentuk potensial end-plate (Sherwood, 2001).

BAB VKESIMPULAN

1. Asetilkolinesterase merupakan kolinesterase sejati yang berfungsi untuk menghidrolisis asetilkolin menjadi asam asetat dan kolin.2. Jumlah Asetilkolinesterase yang didapat dari praktikum berada dalam kondisi normal meskipun hasilnya memiliki range yang sangat besar dari batas normal. 3. Aplikasi klinis dari Asetilkolinesterase adalah:a. Botulismeb. Keracunan organofosfat dan karbamatc. Alzheimerd. Miastenia gravis

DAFTAR PUSTAKA

Albuquerque, Edson X, Edna F.R, Pereira, Manickavasagom Alkondon, Scott W.Rogers. 2009. Mammalian Nicotinic Acetylcholine Receptors: From Structure to Function, vol 89 January 2009. Downloaded from physrev.physiology.org on June 21, 2011.Gonzales, David, Stephen I Rennard, Mitchell Nides, dkk. 2006.Varenicline, an 42 Nicotinic Acetylcholine Receptor Partial Agonist, vs Sustained-Release Bupropion and Placebo for Smoking Cessation, Vol 296, No. 1 July 5, 2006. Downloaded from jama.ama-assn.org on June 21, 2011Guyton, A. C., & Hall, J. E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran . Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.Llyod, G. Kenneth, Michael Williams. 2000. Neuronal Nicotinic Acetylcholine Receptors as Novel Drug Targets, Vol. 292, No. 2. Downloaded from jpet.aspetjournals.org on June 21, 2011Mayes, Peter A., Granner, Daryl K., dkk. 2000. Harpers Review of Biochemistry. Jakarta : EGC. 69.Murray, K. Robert. 2003. Biokimia Harper.Edisi 25. Jakarta : EGC. Nuswantari, Dyah. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.