B.indonesia Tentang Esai Dan Kritik 1

9
Bentuk Esai Membumikan Visi Keadilan Sosial Agama Oleh Ahmad Fuad Fanani Banyak orang yang berpandangan bahwa agama itu tidak perlu didiskusikan dan diwacanakan, tetapi lebih pas dan tepat untuk diamalkan. Tidak heran bahwa diskusi agama sering sepi dari peminat karena dianggap tidak menarik dan mengubah keadaan, dan belum tentu mendatangkan pahala. Jika kita kaji, kemunculan ekstrimisme keagamaan dan fanatisme yang mengarah kepada tindakan kekerasan, serta mengancam perdamaian dan demokrasi, adalah salah satu implikasi dari agama yang tidak pernah didiskusikan dan tidak menjadi wacana publik. Sebab, pemahaman keagamaan yang diterima masyarakat menjadi statis, monolitik, mengarah kepada klaim kebenaran, dan tidak muncul berbagai alternatif penafsiran. Padahal sebagaimana ilmu-ilmu lainnya, pengetahuan tentang agama juga mengalami evolusi agar dia tidak menjadi beku dan ketinggalan zaman. Pada dasarnya semua agama mengajarkan keadilan, keluhuran, dan larangan berbuat kejahatan. Namun, jurang antara agama, idealisme agama, dan pemeluknya yang gagal memahami pesan dasar agamanya memang terjadi di banyak agama. Tidak heran jika agama seringkali menjadi tertuduh atas berbagai konflik sosial, politik, dan kemanusiaan yang terjadi. Di samping itu, ada satu hal yang menjadi unsur utama dan pertama, dalam kehidupan dan keberagamaan kita, namun jarang sekali dihayati dan diimplementasikan, yaitu keadilan sosial yang sesungguhnya menjadi inti dari ajaran semua agama. Keadilan sosial ini memang dengan mudah kita temukan dalam kitab-kitab suci semua agama. Namun, dalam kehidupan nyata ajaran tentang keadilan sosial ini jarang dibumikan dalam praktik kehidupan. Bahkan, dalam sistem pemerintahan dan model kekuasaan di hampir semua agama pun jarang sekali yang menjadikan keadilan sosial sebagai ruh perjuangan dan dasar gerak dalam menjalankan kekuasaan. Para agamawan pun, meski banyak juga yang fasih dan gemar menyuarakan keadilan sosial

description

adsads

Transcript of B.indonesia Tentang Esai Dan Kritik 1

Page 1: B.indonesia Tentang Esai Dan Kritik 1

Bentuk Esai

Membumikan Visi Keadilan Sosial Agama

Oleh Ahmad Fuad Fanani

Banyak orang yang berpandangan bahwa agama itu tidak perlu didiskusikan dan diwacanakan, tetapi lebih pas dan tepat untuk diamalkan. Tidak heran bahwa diskusi agama sering sepi dari peminat karena dianggap tidak menarik dan mengubah keadaan, dan belum tentu mendatangkan pahala.Jika kita kaji, kemunculan ekstrimisme keagamaan dan fanatisme yang mengarah kepada tindakan kekerasan, serta mengancam perdamaian dan demokrasi, adalah salah satu implikasi dari agama yang tidak pernah didiskusikan dan tidak menjadi wacana publik. Sebab, pemahaman keagamaan yang diterima masyarakat menjadi statis, monolitik, mengarah kepada klaim kebenaran, dan tidak muncul berbagai alternatif penafsiran. Padahal sebagaimana ilmu-ilmu lainnya, pengetahuan tentang agama juga mengalami evolusi agar dia tidak menjadi beku dan ketinggalan zaman.Pada dasarnya semua agama mengajarkan keadilan, keluhuran, dan larangan berbuat kejahatan. Namun, jurang antara agama, idealisme agama, dan pemeluknya yang gagal memahami pesan dasar agamanya memang terjadi di banyak agama. Tidak heran jika agama seringkali menjadi tertuduh atas berbagai konflik sosial, politik, dan kemanusiaan yang terjadi.Di samping itu, ada satu hal yang menjadi unsur utama dan pertama, dalam kehidupan dan keberagamaan kita, namun jarang sekali dihayati dan diimplementasikan, yaitu keadilan sosial yang sesungguhnya menjadi inti dari ajaran semua agama. Keadilan sosial ini memang dengan mudah kita temukan dalam kitab-kitab suci semua agama. Namun, dalam kehidupan nyata ajaran tentang keadilan sosial ini jarang dibumikan dalam praktik kehidupan. Bahkan, dalam sistem pemerintahan dan model kekuasaan di hampir semua agama pun jarang sekali yang menjadikan keadilan sosial sebagai ruh perjuangan dan dasar gerak dalam menjalankan kekuasaan. Para agamawan pun, meski banyak juga yang fasih dan gemar menyuarakan keadilan sosial sebagai wirid harian dan tema utama ceramahnya, masih banyak yang belum bisa mentransformasikan soal itu dalam kehidupan sehari-hari guna membentuk moralitas publik yang menjunjung tegaknya kesejahteraan rakyat kecil dan prinsip keadilan.Hal lain yang menyebabkan agama dan kaum agamawan gagal menjawab tantangan kemanusiaan dan peradaban adalah kita tidak membaca dan belajar dari sejarah. Akibat dari tidak membaca sejarah maka, usaha dalam membina dan membangun bangsa ini bisa gagal. Dalam soal lautan kemiskinan yang terbentang luas selama berabad-abad, hingga kini belum banyak para agamawan yang berpikir untuk mencari jalan keluarnya. Pembangunan yang tidak mengacu pada prinsip keadilan sosialpun masih banyak dipertahankan dan menjadi proyek kesayangan para pejabat.Dan di atas itu semua, masalah kepemimpinan bangsa ini masih memprihatinkan, yang diurus hanya kekuasaan, dan politik masih banyak dijadikan sebagai profesi dan mata pencaharian para politisi. Rahim bangsa ini masih kikir melahirkan pemimpin yang kreatif. Meski keadaan begitu parah dan memprihatinkan, agama melarang kita berputus asa dan larut dalam kesedihan. Maka kita harus berbuat sebaik-baiknya, seserius-

Page 2: B.indonesia Tentang Esai Dan Kritik 1

seriusnya, dan semaksimalnya.Pada keadaan seperti itu, semestinya para agamawan berfungsi dan berdiri paling depan dalam menggelorakan semangat keadilan sosial dalam melindungi kaum miskin , membela rakyat kecil, dan memprotes pemerintah yang korup dan mengejar kepentingan politiknya sendiri. Agama harus mampu menjawab persoalan nyata yang dihadapi rakyat, misalnya mengapa masih banyak yang tidak bisa makan dan tidak bisa sekolah? Maka, jangan sampai para agamawan justru menjadi pelegitimasi rezim dan pemberi stempel terhadap kebijakan yang dikeluarkan orang kaya, negara, dan kelompok masyarakat yang merugikan rakyat kecil.Para agamawan harus siap dan rela jika menjadi tidak populer, tidak berlimpah materi, jauh dari kekuasaan, serta kuat menahan diri terhadap segala godaan yang kerap datang merayu dan menggoyahkan iman. Perselingkuhan antara politisi, pengusaha, dan agamawan akan membuat masyarakat awam skeptis dan sinis terhadap peran luhur agama. Agamawan justru harus berani mengingatkan penguasa dan pengusaha yang batil.Farish Noor dalam artikelnya menyatakan, kemenangan sebuah agama dan agamawan bukanlah terletak pada bagaimana menampilkan agama yang murni dan yang lainnya dianggap salah, namun justru pada komitmennya untuk menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan sosial, prularisme, dan hak-hak kaum minoritas dan kesetaraan jender.Oleh karenanya, persoalan agama dan keadilan sosial jangan hanya dijadikan wacana saja, tetapi harus dibumikan dalam kehidupan nyata. Agama dan kaum agamawan harus betul-betul mendukung suasana yang kondusif bagi tegaknya keadilan sosial. Kolusi penguasa-pengusaha yang merugikan kehidupan rakyat jelata harus tak jemu dikecam oleh pemuka agama.Jangan sampai ada tokoh agama dan pengikutnya merasa paling peduli dan teguh menegakkan keadilan sosial serta menentang kezaliman, padahal mereka sendiri berbuat zalim dengan tidak menghargai pemeluk agama lain dan gemar menghakimi keyakinan orang lain. Agama harus betul-betul peduli pada orang yang menderita dan tegas pemihakannya terhadap nasib orang-orang yang papa dan yang termarjinalkan.

Page 3: B.indonesia Tentang Esai Dan Kritik 1

Bentuk kritik

Cerita Pendek, Keberjamakan, Reruntuhan Menara Gading

Oleh: Satmoko Budi Santoso

CERPEN Indonesia telah meruntuhkan "sakralitasnya", anjlok dari menara gading yang dibangunnya beberapa warsa silam: cerpen hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang berada di seputaran kerja kreatif kesusastraan itu sendiri.

Tentu, asumsi ini sangat bisa dibuktikan karena dalam era kekinian, cerpen Indonesia telah merasionalisasi dirinya sendiri, masuk ke segala segmen, semua kelas sosial. Beragam tema dengan keberjamakan eksplorasi teknik penceritaan dan pencapaian bahasa-bahasa yang metaforis telah diterima publik, tak hanya lingkungan kaum sastrais, namun juga pasar ABG dan komunitas selebriti. Karena itu, yang perlu dicatat kemudian adalah bagaimana timbal-balik pluralitas publik yang menerima keberlimpahan eksperimentasi cerpen-cerpen Indonesia?

Penyair Binhad Nurrohmat dalam eseinya yang bertajuk Cerita Pendek Indonesia, Gajah di Pelupuk Mata (Kompas, 25/5) dengan begitu santun telah mempertanyakan kerja kritikus sastra dalam meresepsi fluktuasi cerpen Indonesia. Dalam amatan Binhad Nurrohmat, tak ada kritik sastra yang substansial, yang komprehensif menelaah cerpen Indonesia agar tumbuh dalam keingar-bingaran yang sehat. Kenyataannya memanglah begitu. Ketika dengan segala kerendahan hati cerpen Indonesia turun dari menara gadingnya, ternyata justru diimbangi dengan mampatnya kerja kritikus sastra.

Tentu saja, tulisan ini hanya sekadar memberi catatan pendek sebagai tambahan pemetaan sosialisasi dan capaian estetik cerpen Indonesia. Yang di masa depan, jika kritik sastra benar-benar mandek, kemungkinan besar akan tumbuh secara mandiri, merayakan keberjamakan dalam telikung minimnya respons progresif di luar dirinya sekalipun tetap menolak "dipagut dan dipiting" sebagai hasil kerja yang bersifat onanis.

SESUNGGUHNYA, dalam konteks pasar buku sastra, cerpen Indonesia tak pernah menafikan peringatan Lucien Goldmann, pemikir strukturalisme kesusastraan, perihal hubungan simbiose mutualistik antara kesusastraan dan masyarakat. Kesaling-tergantungan antara kesusastraan dan masyarakat sungguh telah terjembatani, tinggal masyarakat sendiri yang selanjutnya memilih capaian estetik cerpen tertentu, sesuai dengan kebutuhan yang bersifat reflektif, sekadar bacaan kala senggang, atau memang mau dan sudi memahami serta melacak konsepsi estetikanya.

Dalam konteks masyarakat pembaca sastra (awam) yang mencari capaian reflektif, misalnya, sudah ada cerpen-cerpen realis, yang berhasil mengaduk-aduk kompleksitas psikologis tokoh-tokohnya sehingga relevan sebagai cermin hidup kekinian, dalam kerangka modern. Cerpen-cerpen Jujur Prananto dalam antologi Parmin, Harris Effendi Thahar dalam Si Padang, Hamsad Rangkuti dalam Sampah Bulan Desember, Gus tf Sakai dalam Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta, Korrie Layun Rampan dalam Acuh

Page 4: B.indonesia Tentang Esai Dan Kritik 1

tak Acuh maupun Seno Gumira Ajidarma dalam Dunia Sukab, telah mengegaliterkan cerita sehingga dekat dan bernilai the inner of soul interaksi kehidupan sehari-hari. Bermacam ironi maupun sarkasme hidup terejawantahkan dalam substansi cerita yang jika betul-betul diresepsi merupakan wilayah konflik "kita-kita juga".

Belum lagi jika pembaca sastra mulai berpikir capaian estetik. Mencari capaian dalam perhitungan strategi literer teknik penceritaan, maka jangan kaget jika menemui cerpen-cerpen the mind game Puthut EA dalam Dua Tangisan pada Satu Malam, yang begitu impresif, begitu "dingin" cara bertuturnya, menjadikannya sanggup mengemas pandangan-pandangan filsafati untuk merangsek masuk dunia populis. Indra Tranggono dalam Iblis Ngambek dan Iman Budhi Santosa dalam Kalimantang yang memperkaya problem kelas dalam subkultur warna lokal Jawa, Bre Redana dalam Sarabande yang mempersepsikan sublimitas warna lokal Bali dalam angle tokoh-tokoh yang kosmopolit, Yanusa Nugroho dalam Segulung Cerita Tua yang memperkaya khazanah perspektif mistik, Hudan Hidayat dalam Orang Sakit yang mengedepankan literasi kontemplatif, atau Djenar Maesa Ayu yang merambah dekonstruksi wilayah tabu seksual sebagai propaganda perlawanan budaya patriarki lewat Mereka Memanggil Saya Seekor Monyet.

Sementara, cerpen-cerpen yang mungkin dibuat sebagai bacaan kala senggang, tak berambisi mendesakkan capaian reflektif, estetik apalagi ideologis, kecuali justru bernilai potretan sekilas peristiwa, yang sangat personal dan temporal, berkehendak hanya bercerita, tak ada desakan pemahaman antropologis dan lebih pada tawaran nilai abstraksi dunia populis sehingga terendus dalam lipatan saku celana pangsa ABG dan kaum selebritis, dapat dibaca Selingkuh itu Indah karya Agus Noor, Sebuah Pertanyaan untuk Cinta dan Sepotong Senja untuk Pacarku karya Seno Gumira Ajidarma dan Sepuluh Kisah Cinta yang Mencurigakan yang merupakan antologi komunal karya cerpenis-cerpenis muda terbitan Akademi Kebudayaan Yogyakarta.

Tentu saja, pemetaan estetika semacam ini menjadi varian cukup penting karena tak bisa ditolak sebagai risiko posmodernisme yang menyumpah-serapahi keserba-tunggalan dan memangku keberjamakan. Cerpen Indonesia telah sanggup merayakan eksistensinya, menembus lini tanpa batas, tak perlu juru bicara, dan telah melakukan bargaining terhadap publiknya sendiri. Karenanya, yang perlu diingat, tak ada anasir the invisible hand dalam kemeriahan pasar buku sastra karena sekalipun tak ada kritikus yang menjembatani karya sastra, cerpen Indonesia sudah berjalan sendiri, "mencuci otak" pembacanya. Pastilah, hal semacam ini jauh lebih berharga dibandingkan dengan kemeriahan sosialisasi cerpen Indonesia beberapa warsa silam yang penuh konsep, jargon, dan juru bicara. Kini, berbagai konsep, jargon, dan petuah juru bicara telah hablur dalam cerita, pembaca-pembaca anonim yang bukan bervarian the invisible hand justru membutuhkan dan menikmatinya, sedikit-banyak tentulah merasakan jaminan atas ruang kenyamanan katarsis secara apa pun. Bisa jadi, dalam banyak hal ada kedirian pembaca yang merasuk dalam cerita sehingga substansi cerita menjadi ditunggu-tunggu.

BOLEH jadi saya telah menggeneralisasi secara serampangan terhadap capaian estetik cerpen Indonesia sehingga kalau Binhad Nurrohmat masih menanti dengan setia datangnya "ratu adil" kritikus cerpen Indonesia dan berharap dari lembaga-lembaga sastra

Page 5: B.indonesia Tentang Esai Dan Kritik 1

yang berkompeten, kiranya, untuk saya, sekalian saja dipastikan bahwa tak ada kritikus cerpen yang akan lahir lagi. Kritikus dengan tuntutan kriteria kesanggupan mengoperasikan berbagai teori sastra untuk mendudukkan sebuah cerpen menjadi mafhum dikaji dari berbagai perspektif tak usah ditunggu. Karena, kita tahu, tak ada acuan kritik cerpen yang ideal dalam khazanah kesusastraan Indonesia selain kritik impresif dan bernilai permukaan, lebih banyak mengupas sinopsis dan sekadar konflik psikologisnya, seperti yang terjumpai dalam banyak kritik kata pengantar, kata penutup, maupun yang berkembang sebagai esai sastra di koran-koran. Rupa-rupanya, faktor keterbatasan ruang selalu menjadi alasan utama, justru untuk memberhentikan kerja kritik yang siapa pun menyadarinya akan sangat fungsional bagi pengembangan kerja estetik para cerpenis di kemudian hari. Setidaknya, tumbuh sentakan ingatan yang bisa dibangun atas kerja kritikus yang membuat cerpenis tertantang mencari inovasi baru, yang lebih membuka peluang pencapaian otentisitas.

Begitulah. Kini, disadari atau tidak, para pembaca sastra berada dalam ambang batas kesemrawutan cerpen yang langsung berbicara dengan pembacanya, tak perlu diantar-antar. Dalam banyak hal, situasi semacam ini bukankah malah menguntungkan karena terhindar dari muatan klaim jika memang masih ada kritikus? Bukankah kerap kita baca, kritik cerpen malah bernilai ambisi legitimatif sehingga menambah keruh politisasi sastra yang di Indonesia pun sudah semakin julik permainannya?

Sampai di sini, saya teringat pada tulisan Richard Oh dalam majalah Mata Baca Edisi Mei 2003 dengan judul yang provokatif "Melawan Kutukan 3.000 Eksemplar Buku", namun substansi yang dibicarakan sangatlah rasional. Dalam era terkini, demikian Richard Oh berasumsi, situasi sosiologis tempat hidup masyarakat sangat merindukan keberagaman cerita sebagai risiko menetralisir kesumpekan. Konsekuensinya, penerbit buku harus pandai-pandai membidik pasar agar buku-buku sastra yang diterbitkan sesuai dengan situasi psikologis publik yang membutuhkannya.

Secara sederhana dapatlah dipahami: pembaca buku Indonesia membutuhkan alternatif bacaan yang segar, namun juga mencerdaskan. Dalam konteks inilah peluang sosialisasi sastra menjadi besar untuk meruntuhkan hegemoni menara gading "sakralitasnya" tersebut. Tak bisa dimungkiri, pembaca buku Indonesia yang suntuk dan sumpek dengan buku-buku politik karena tak pernah sinkron antara teori dan kenyataan, dengan contoh anarkisme politik di Indonesia, misalnya, pasti akan lari ke buku lain yang lebih bersifat "membebaskan", "mencerahkan", tidak membikin beban berupa kerutan kening. Begitu pula dengan para pembaca buku-buku ilmu sosial.

Karenanya, di sinilah letak sinergi paling logis antara para cerpenis dan penerbit buku, lewat tangan redaktur sastra media massa, yang "seeksperimentatif" apa pun dalam mengakomodir cerpen, tetaplah mempunyai standar estetika. Bolehlah disepakati sebagai salah satu penentu masa depan "peradaban estetik" cerpen Indonesia, tangan redakturlah yang kini mengemban tanggung jawab cukup besar karena kritikus telah mati. Dengan sendirinya karena pengarang akan selalu hidup dan konteks zaman yang kini menerimanya bisa dikatakan sudah lama mengharap, maka perlu diperbanyak cerita-cerita yang memperhitungkan segala aspek, terutama yang bermuatan historisisme karena

Page 6: B.indonesia Tentang Esai Dan Kritik 1

kalangan masyarakat pun membutuhkannya sebagai alternatif "kebenaran" yang sulit dijumpai dalam teks-teks lain di luar karya sastra. Perlu diingat kembali, dalam konteks ini, antologi cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma sangatlah menyumbang, di samping buku lain seperti Sandiwara Hang Tuah karya Taufik Ikram Jamil.

Dalam kaitan semua, hal itu pula, risiko keberjamakan yang sepantasnya dirayakan tak perlu melahirkan hero baru. Sebagaimana analogi dalam dunia industri. Siapa pun sah menulis cerpen karena yang baru tren dan laku adalah fiksi, adalah cerpen. Sebagaimana dalam lingkungan petani, maka menjadi lumrah jika siapa pun yang sanggup menanam dan memelihara lombok, ya, tanamlah dan peliharalah lombok tersebut. Eghm, kini, momentum cerpen Indonesia untuk unjuk gigi, mengarnavalkan dirinya sudah tiba karena tuntutan situasi. Bolehlah dalam forum ilmiah seperti pada Kongres Cerpen Indonesia III di Lampung pada awal Juli mendatang lahir banyak kritikus, asal dengan catatan: bukan yang kagetan. Namun, bukankah keterlanjuran kesoliteran lebih bernilai abadi karena teramat jujur, teramat mulia? Di luar tetek-bengek persoalan itu, sebagai konsekuensi seleksi alam kita tinggal menunggu waktu, apakah cerpen-cerpen Indonesia akan menjadi pualam, melabu, ataukah malah bertalu, meraih zaman keemasannya.

Hiduplah para cerpenis dalam keberjamakan eksperimentasi karnaval estetika!