Balai Penelitian Agroklimat dan...

33

Transcript of Balai Penelitian Agroklimat dan...

Page 1: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan
Page 2: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan
Page 3: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

2

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Penanggung Jawab: Haris Syahbuddin Redaksi Teknis: Istiqlal Amien, Eleonora Runtunuwu

dan Budi Kartiwa Redaksi Pelaksana: Haryono dan Eko Prasetyo Penerbit: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi,

Jl, Tentara Pelajar 1A, Bogor 16111, Indo-nesia

Telepon +62-0251-8312760 Faksimil +62-0251-8323909

PRAKATA

Buletin ini memuat makalah yang berasal dari para peneliti Balitklimat. Makalah yang dimuat hasil dari penelitian primer ataupun riview yang berkaitan dengan sumberdaya iklim dan air namun tidak menguragi mutu dan keilmiahan tulisan. Maka-lah tersebut telah diseleksi dan dikoreksi oleh tim redaksi baik dari segi bahasa maupun bentuk penya-jiannya.

Untuk memperlancar penerbitan tahun-tahun berikutnya, buletin ini akan terbit secara berka-la. Pada setiap nomor, artikel yang dimuat tidak perlu terikat secara kronologis oleh penyajian makalah atau acara seminar, tetapi lebih ditentukan oleh ketanggapan penulis dan kelayakan ilmiah tulisan.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak peneliti, tim redaktur, aparat penunjang lainnya yang telah membantu memperlancar proses penerbitan. Semoga media ini bermanfaat bagi khalayak. Kritik dan saran dari pembaca selalu kami nantikan.

Redaksi

CARA MERUJUK YANG BENAR NASRULLAH . 2012. Peta Desain Sistem Panen Hujan dan Aliran Permukaan untuk Penanggulan-gan Banjir dan Kekeringan. hal 1-13. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. No. 9, 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor.

Tulisan yang dimuat adalah hasil penelitian primer maupun review yang berkaitan dengan sum-berdaya iklim dan air, dan belum pernah dipublikasikan pada media cetak mana pun. Tulisan hendaknya mengikuti Pedoman Bagi Penulis (lihat halaman sampul dalam). Redaksi berhak menyunting makalah tanpa mengubah isi dan makna tulisan atau menolak penerbitan suatu makalah.

Peta Desain Sistem Panen Hujan dan Aliran Permukaan untuk Penanggulan-gan Banjir dan Kekeringan. NASRUL-LAH …………………………...…………... Penentuan Potensi Sumberdaya Air Melalui Pendekatan Hidrokimia: Studi Kasus DAS Mikro Cakardipa, Ciliwung H u l u . N A N I H E R Y A N I , K A S D I SUBAYONO …………………………….. Analisis Neraca ketersediaan Air untuk mendukung Peningkatan Indeks Per-tanaman ( IP) d i Jawa Bara t . NURWINDAH PUJILESTARI, BUDI KARTIWA ………………………………. Mod e l Daw dy -O ' Donne ; un tuk Rekonstruksi Debit DAS yang tidak memiliki alat pengukur duga muka air (Studi Kasus di DAS Ciliwung). POPI REJEKININGRUM .................................. Perbaikan Sistem irigasi Pertanaman melaui pengelolaan Sumberdaya Air terpadu di Kabupaten Klaten, "Tinjauan Aspek Hidrologi". HENDRI SOSIAWAN, BUDI KARTIWA ………………………..

Dampak dan Antisipasi Perubahan Iklim Sek to r Per tan ian . ELEONORA RUNTUNUWU, HARIS SYAHBUDDIN ..

3

14

22

31

41

54

@ 2012, Balitklimat Bogor ISSN 0216-3934 Volume 9 Nomor 1, 2012

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

63

Boer. R. 2007b. Overview Isu Perubahan Iklim Global. Presentasi pada Rapat (Round Table Disscusion) Tim Pokja Anomali Iklim, Bogor, 22 Agustus 2007 . Badan Litbang Pertanian.

Doorenbos, J., and A.H. Kasam. 1979. Yield response to water. FAO Irrig. and Drain. Paper No. 33.

Faqih, A. 2004. Analisis korelasi debit air masuk musim kemarau pada waduk Seri DAS Citarum dengan perubahan suhu permukaan laut global. Jurnal Agromet XVIII(1) 1-13. Perhimpi, Bogor.

IPCC. 2007. Climate Change 2007: The Physical Science Basis. IPCC, Geneva, Switzer-land. Accessed at http://www.ipcc.ch.

IPCC, 2007. Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and C.E. Hanson, Eds., Cambridge University Press, Cambridge, UK.

Las.I. 2006. Pengelolaan Variabilitas Iklim untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Ditjen Tanaman Pangan (tidak dipubliksikan)

Las I. 2007. Pembingkaian Diskusi Panel dan Penelitian Konsorsium Perubahan Iklim. Presentasi pada Rapat (Round Table Disscusion) Tim Pokja Anomali Iklim, Bogor, 22 Agustus 2007 . Badan Litbang Pertanian.

Madden, R. A. and P. R. Julian. 1972. Description of global scale circulation cells in the Tropics with 40-50 day period. J. Atmos. Sci. 29:1109-1123.

Meiviana, A., D. R. Sulistiowati, M. H. Soejachmoen. 2004. Bumi Makin Panas. Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia. Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia dan Yayasan Pelangi Indonesia. Jakarta. 65 hal.

Runtunuwu E, dan H. Syahbuddin. 2007. Perubahan Pola Curah Hujan dan Dampaknya Terhadap Potensi Periode Masa Tanam. Jurnal Tanah dan Iklim N0 26: 1-12. ISSN 1410-7244.

Saji, N. H. B. N. Goswani, P. N. Vinayachandran, T. Yamagata. 1999. A dipole mode in the tropical Indian Ocean. Nature Magazine 401: 360-363.

Stern, S. N. 2007. Stern Review on the Economics of Climate Change. http://www.sternreview.org.uk Accessed March 2007. (44)

UCAR (University Consortium for Atmospheric Research). 1994. El Niño and Climate Pre-diction, Reports to the Nation on Our Changing Planet. NOAA, Washington D.C.

Page 4: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

62

dll.), (g) CDM ( Clean Development Mechanism), pembukaan lahan tanpa bakar & carbon trading melalui pengembangan teknologi budidaya. Strategi adaptasi

Strategi Adaptasi yaitu pengembangan berbagai upaya adaptasi terhadap dampak perubahan iklim terhadap sumberdaya infrastruktur, dan lain-lain melalui: (a) Diversifikasi Pertanian, (b) Integrasi & diversifikasi tanaman dan ternak, (c) Perakitan & Pengembangan inovasi teknologi adaptif, (d) Pemanfaatan Lahan Sub-Optimal, (e) Pengembangan Komunikasi, (f) Penyiapan Tool & Pedoman, misalnya Permentan NO.47/2006 (Pedum Budidaya Pertanian Pada Lahan Pegunungan), Atlas Kelender Tanam (2007-2009), (g) Penyesuaian & pengembangan infra-struktur pertanian (JITUT, JIDES, dll.).

PENUTUP

Perubahan iklim yang semakin diyakini tidak akan terelakkan memerlukan tindakan nyata secara bersama baik pada tingkat global, regional, maupun nasional. Karena itu Departemen Pertanian telah dengan menyusun strategi yang antisipasif baik adaptasi maupun mitigasi di sektor pertanian. Adaptasi merupakan tindakan penyesuaian perilaku dengan sistem untuk mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim. Upaya tersebut akan bermanfaat lebih efektif apabila laju perubahan iklim dapat dikekang untuk tidak melebihi kemampuan beradaptasi. Karena itu, harus diimbangi juga dengan mitigasi, yaitu upaya mengurangi sumber emisi maupun peningkatan rosot (sink) gas rumah kaca.

DAFTAR PUSTAKA

Amien, I., E. Susanti, dan E. Surmaini. 2005. Keragaman dan dinamika iklim di Indonesia. dalam I. Amien, E. Pasandaran dan H. Pawitan (eds.) Sistem Informasi Sumberdaya Iklim dan Air. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor.

Amien, I. 2005a. Meraih manfaat dari keragaman iklim. Makalah disampaikan pada IMPENSO (Impact of El Niňo Southern Oscillation-Indonesian-German Research Project) Stake-holder Workshop, Palu 19 Februari 2005.

Amien, I. P. Rejekiningrum, A. Pramudia and E. Susanti. 1996. Effects of interannual cli-mate variability and climate change on rice yield in Java, Indonesia. Water, Air and Soil Pollution 92: 29-39.

Amien, I. 1999. Land resources analysis for agricultural develop-ment. IARDJ. 19 (1&2): 1-12.

Amien, I., P. Rejekiningrum, B. Kartiwa and W. Estiningtyas. 1999. Simulated Rice Yields as Affected by Interannual Climate Variability and Possible Climate Change in Java. Climate Research 12: 145-152 (12)

Boer. R. 2007a. Fenomena Perubahan Iklim: Dampak dan Strategi Menghadapinya. Dipresentasikan pada Semina Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan, Bogor, 8 November 2007.

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

3

PETA DESAIN SISTEM PANEN HUJAN DAN ALIRAN PERMUKAAN UNTUK

PENANGGULANGAN BANJIR DAN KEKERINGAN DI DAS CITANDUY

Nasrullah

ABSTRAK Penelitian pada lahan rawa lebak (non pasang surut) seluas 200 ha telah

dilakukan di daerah Rawamuning – Kabupaten Tapin Rantau, Kalimantan Selatan. Masalah utama yang dijumpai pada lahan lebak di daerah ini khususnya, maupun lahan lebak pada umumnya adalah mengalami genangan tinggi/kebanjiran di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Penelitian meliputi hal-hal yang berkenaan dengan jenis, sifat serta karakteristik lahan lebak, terutama mengenai zonafikasi, tinggi genangan maksimum tahunan, fluktuasi dan lamanya periode genangan, serta pemanfaatannya untuk penentuan masa/pola tanam yang lebih tepat dan efisien. Kondisi genangan maksimum tahunan yang terjadi di lokasi penelitian cukup tinggi (+ 83 cm). Sementara kondisi kekeringan sangat kentara pada musim kemarau, terlihat adanya penurunan permukaan air tanah air tanah hingga (- 33 cm) dari permukaan tanah. Hasil pengamatan selama 2 tahun menunjukkan bahwa lahan lebak di lokasi penelitian dapat digolongkan ke dalam jenis lebak pematang/dangkal. Daerah ini mengalami periode genangan + 7 bulan (Nopember – Mei), dengan tingkat tinggi genangan >50 cm berlangsung selama + 3 bulan (Desember- Februari). Periode kering selama + 4 bulan (Juni – September), dan periode terkering bberlangsung selama + 1 bulan (Agustus). Keadaan rata-rata curah hujan bulanan/tahunan daerah ini memungkinkan lahan memiliki potensi tanam sepanjang tahun, asalkan dengan perencanaan yang teliti. Masa dan pola tanam yang dapat dikembangkan antara lain : (1) padi rintak – padi surung – bera atau palawija- padi surung – bera; (2) padi rintak – padi surung – padi air dalam atau palawija- padi surung- padi air dalam; (3) gogo rancah- padi surung – padi air dalam atau padi rintak – gogo rancah- bera. Sifat dan keadaan daerah ini mengalami genangan yang berlebihan (banjir) pada musim hujan, kekeringan pada musim kemarau. Pada saat banjir maupun kekeringan, lahan tak dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian. Petani sawah di daerah ini umumnya hanya dapat menanam padi satu kali dalam setahun. Namun demikian di beberapa areal persawahan di Sumatera Selatan, lebak memiliki sumbangan yang cukup besar terhadap pengadaan pangan khususnya beras di Sumatera Selatan (Arief dan Hamzah, 1980). Alternatif penggunaan lahan di saat genangan tinggi dan lama, dapat dimanfaatkan untuk usaha perikanan (ikan-ikan rawa), peternakan itik atau penanaman serat kenaf dan jute (Nasrullah et al., 1995).

Page 5: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

4

PENDAHULUAN

Lahan rawa merupakan sumber daya alam yang memiliki ekosistem yang marginal dan rapuh, karena itu dalam penegembangannya memerlukan perencanaan yang teliti, penerapan teknologi yang sesuai, dan pengelolaan yang tepat (Widjaja Adhi, 1995). Selain merupakan lahan marginal, lahan rawa juga memiliki berbagai kendala fisik, biologis, dan social ekonomi, sehingga pengembangannya memerlukan perencanaan dan penanganan yang cermat (Inu et al., 1993). Berdasarkan karaktristiknya lahan rawa dibedakan atas dua bagian, yaitu daerah rawa pasang surut dan rawa non pasang surut (lebak). Penelitian ini dikhususkan pada rawa non pasang surut, yaitu merupakan lahan/tanah rendah tidak berpayau berbentuk cekungan yang pada musim hujan seluruh areal di genangi air dan pada musim kemarau berangsur kering, bahkan kadang-kadang mengalami keadaan yang sangat kering, selama masa yang relative singkat (1-2 bulan). Masalah utama yang dijumpai pada lahan lebak di daerah ini khususnya, maupun lahan lebak pada umumnya adalah mengalami genangan tinggi/kebanjiran di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau (Taher et al., 1991). Kondisi tergenang yang cukup lama akan berpengaruh pada tingkat kesuburan fisik, kimia dan biologi tanah (Sudarsono, 1991). Akibatnya dalam satu tahun umumnya hanya satu kali panen dengan hasil baik, kadang-kadang kurang baik, bahkan tidak jarang mengalami kegagalan panen. Dataran rawa termasuk ke dalam kelompok fisiografi yang disebut sebagai lingkungan pengendapan baru (Buurman

and Balsem, 1990). Secara umum fisiografi utama yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah: 1) kelompok Aluvial (A), 2) kelompok marin (B), dan 3) kelompok kubah gambut (D). Direktorat Rawa (1984) mengelompokkan jenis rawa lebak ke dalam tiga jenis berdasarkan topografi, fluktuasi dan lamanya genangan, yaitu : (1) lebak dangkal/pematang, memiliki topografi cukup tinggi disbanding daerah sekitarnya serta mengalami jangka waktu tergenang < 3 bulan dengan tinggi genangan maksimum 50 cm pada musim hujan ; (2) lebak dalam, memiliki topografi rendah serta mengalami jangka waktu tergenang >6 bulan dengan tinggi genangan maksimum >100 cm; dan (3) lebak tengahan, sifat dan keberadaannya berada di antara lebak pematang dan lebak dalam (zone peralihan). Pengendalian air rawa lebak ditentukan oleh factor-faktor : ekstertal, yaitu suplai air dari bagian hulu dan areal lahan kering sekitarnya; dan factor internal, yaitu kondisi topografi rawa itu sendiri. Karakteristik ini selanjutnya menentukan tinggi, distribusi, fluktuasi dan lamanya genangan yang terjadi (Sandy dan Nad Darga, 1979).

Tulisan ini bertujuan untuk memberi gambaran tentang karakteristik genangan lahan lebak (periode genangan dan periode kekeringan), fluktuasi genangan (genangan maksimum) serta perencanaan masa/pola tanam yang dapat dikembangkan di lokasi penelitian, denganb memanfaatkan kondisi air optimum bagi usaha pertanian, khususnya untuk tanaman padi dan umumnya tanaman pangan.

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

61

STRATEGI SEKTOR PERTANIAN MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM

Dalam menghadapi perubaan iklim, strategi yang dapat ditempuh adalah mitigasi untuk mengekang perubahan iklim dengan mengurangi emisi GRK terutama di negara industri maju. Karena perubahan iklim sudah terjadi dan dampaknya akan lebih cepat terasa pada masyarakat miskin di negara berkembang dengan sumberdaya terbatas, perlu usaha adaptasi dengan meningkatkan daya tahan (resilience).

Masalah global seperti perubahan iklim tidak akan dapat diatasi secara unilateral tetapi harus melalui pendekatan ‘multilateralism’ dengan kerjasama antar negara. Kesadaran yang meluas tentang perubahan iklim dimulai pada tahun 1992 pada ‘Earth Summit’ di Rio de Janeiro, Brazil. Tetapi tindakan nyata baru dimulai pada ‘Conference of the Parties’ (COP) yang ke-3 di Kyoto, Jepang tahun 1997 disepakati Kyoto Protocol yang mewajibkan pengurangan emisi GRK di negara maju sampai tahun 2012. Dalam COP ke 11 di Montreal, Canada baru disadari pentingnya usaha adaptasi terutama bagi negara-negara berkembang yang diperkuat dengan penyusunan ‘Nairobi Work Plan for Adaptation’ dalam COP 12 di Nairobi,Kenya. Dalam COP 13 di Bali diusulkan Bali Road Map yang masih memerlukan kesepakan konkrit untuk program menanggulangi dampak perubahan iklim pasca 2012.Berkaitan dengan perubahan iklim Departemen Pertanian telah menyusun suatu strategi nasional yang dapat dipilah atas tiga strategi, yaitu (a) antisipasi, (b) mitigasi, dan (c) adaptasi pertanian.

Strategi antisipasi Strategi Antisipasi ditujukan untuk menyiapkan strategi mitigasi dan adaptasi

berdasarkan kajian dampak perubahan iklim, terhadap (a) sumberdaya pertanian, seperti pola curah hujan dan musim (aspek klimatologis), sistem hidrologi dan sumberdaya air (aspek hidrologis), keragaan dan penciutan luas lahan pertanian di sekitar pantai, dan lain-lain, (b) infrastruktur/sarana dan prasarana pertanian, terutama sistem irigasi, waduk, dan lain-lain, (c) sistem produksi pertanian, terutama sistem usahatani dan agribisnis, pola tanam, produktivitas, pergeseran jenis dan varietas dominan, produksi, dan (d) aspek sosial-ekonomis dan budaya.

Berdasarkan kajian dampak tersebut ditetapkan berbagai strategi yang harus ditempuh dalam upaya: (a) mengurangi laju perubahan iklim (mitigasi) melalui penyesuaian dan perbaikan aktivitas/praktek dan teknologi pertanian, dan (b) mengurangi dampak perubahan iklim terhadap sistem dan produksi pertanian melalui penyesuaian dan perbaikan infrastruktur (sarana dan prasarana) pertanian dan penyesuaian aktivitas dan teknologi pertanian (adaptasi). Strategi mitigasi

Meski menyumbang besar oksigen dari hutan dan areal pertaniannya, Indonesia juga melepas GRK, terutama dari sistem pertanian lahan sawah dan rawa, kebakaran hutan/lahan, emisi dari lahan gambut. Emisi GRK akan terus meningkat dengan semakin bertambahnya penduduk dan meningkatnya kegiatan ekonomi. Karena itu, Indonesia perlu ikut berupaya mengurangi (mitigasi) GRK, antara lain melalui (a) penurunan emisi RGK & pengembangan/penyediaan wadah (sink) GRK, (b) Perluasan areal pertanian dengan tidak membuka hutan (deforestrasi), (c) regulasi tata guna & tata ruang pertanian, (d) Pengembangan teknologi pemanfaatan limbah pertanian (pangan-perkebunan-ternak), (e) kompos/pupuk & sumber bio-energi, (f) Pengembangan inovasi teknologi budidaya rendah emisi, varietas, pengelolaan lahan (tanpa olah tanah) dan air (intermitten, sistem drainase,

Page 6: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

60

KETAHANAN PANGAN DAN FENOMENA PERUBAHAN IKLIM

Pertumbuhan penduduk di Indonesia menjadi permasalahan paling mendasar dalam kecukupan pangan. Jika pertumbuhan penduduk tidak terkontrol, Indonesia akan menghadapi masalah penyediaan pangan dan pemeliharaan gizi masyarakat. Berkaitan dengan produksi dalam negeri, impor pangan utama seperti beras terlihat sangat peka terhadap dinamika iklim (Gambar 7). Permasalahan pemenuhan kebutuhan pangan ini justru dapat menjadi peluang bagi Indonesia sebagai negara agraris dengan tersedianya komponen-komponen produksi seperti lahan, air, bahang dan sinar matahari sepanjang tahun.

Gambar 7. Perkembangan Produksi dan Impor Beras Sumberdaya air merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat berperan

di didalam pemenuhan kebutuhan pangan. Prediksi jumlah penduduk yang makin meningkat, menuntut produksi pangan yang makin tinggi, tetapi dengan semakin meningkatnya penduduk dan perkembangan ekonomi ketersediaan air semakin menurun yang sering mengorbankan pertanian (Gambar 8). Karena itu tuntutan inovasi teknologi diharapkan dapat meningkatkan produksi padi agar kebutuhan pangan dapat terpenuhi.

Gambar 8. Kecenderungan pertumbuhan penduduk, produksi padi, dan ketersediaan air

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

5

BAHAN DAN METODE

Dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini beberapa peralatan dan bahan yang digunakan, antara lain: teodolit, kompas, pita meteran, tambang plastik, penakar hujan, mistar/papan skala, piezometer, penggaris busur, milimeter blok, peta lokasi skala 1: 25.000 dan alat/bahan penunjang lainnya.

Zonasi rawa lebak

Penentuan jenis rawa lebak kedalam (lebak pematang, lebak dalan dan lebak tengahan) didasarkan pada tinggi rengahnya genangan (jeluk air), serta lamanya periode genangan berlangsung. Penelitian dan awal pengamatan dilakukan pada bulan Juni (awal musim kering/kemarau) sampai bulan Mei (akhir musim genangan atau musim hujan)-selama 2 tahun. Beda tinggi pada areal penelitian diketahui melalui pengukuran dengan teodolit di beberapa titik secara menyebar. Sementara kriteria jenis-jenis lebak ditentukan berdasarkan topografi, tinggi dan lamanya genangan, merujuk kepada ketentuan Direktorat Rawa (1984) sebagai berikut : a. Lebak pematang: genangan maksimum pada musim hujan 50 cm selama < 3 bulan. b. Lebak dalam: genangan maksimum pada musim hujan >100 cm selama 6 bulan. Lebak tengahan: genangan maksimum pada musim hujan berkisar antara 50 – 100 cm selama lebih kurang 3-6 bulan.

Penentuan fluktuasi dan karaktristik genangan

Keadaan tinggi rendahnya genangan di lahan penelitian, tinggi muka air di saluran sekunder dan debitnya

diketahui pengamatan/pengukuran dengan alat mistar/patok ukur sebanyak 14 buah, dan pada tiap-tiap patok dipasang alat piezometer untuk mengetahui keadaan tinggi muka air tanah (water table). Fluktuasi genangan atau muka air tanah diamati/diukur tiap 3 hari sekali. Selanjutnya dalam analisis datanya disajikan dalam bentuk sepuluh harian (dasarian). Karakteristik genangan adalah tingkah laku genangan air rawa lebak dari waktu ke waktu atau dari musim ke musim yang dimulai dari saat awal penggenangan, puncak penggenangan/luapan, awal pengeringan sampai puncak kekeringan. Keadaan ini dapat menyebabkan perubahan pada kondisi fisik, kimia dan biologi lahan rawa lebak. Pengaruhnya tergantung dari lamanya periode tersebut berlangsung dalam tiap-tiap musim atau beberapa musim.

Analisis pemanfaatan rawa lebak untuk pertanian

Penanfaatan lahan rawa lebak di lokasi penelitian adalah untuk kegiatan usaha pertanian dalam menentukan prencanaan masa/pola tanam yang sesuai dengan kondisi serta karakteristik genangannya. Cara yang ditempuh adalah dengan memperhitungkan periode-periode genangan tertentu yang sesuai dengan kebutuhan tanaman secara optimal, baik untuk tanaman padi, palawija ataupun penggunaan lain. Kondisi lokasi penelitian dapat dibagi kedalam empat periode berdasarkan fluktuasi genangannya, yaitu : awal penggenangan, puncak penggenangan, akhir penggenangan dan kekeringan. Dengan mempertimbangan karakteristik genangan, besarnya sumber masukan air serta curah hujan setempat, maka masa dan pola tanam dapat ditentukan lebih tepat dan efisien.

Page 7: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Zone genangan rawa lebak

Lokasi penelitian daerah Rawa muning, seluas + 200 ha, dalam setiap tahunnya mengalami rata-rata genangan setinggi 11 – 83 cm. Genangan terendah terjadi pada periode bulan Mei dan genangan tertinggi terjadi pada periode bulan Februari. Sementara permukaan air tanah terendah (terkering) terjadi pada periode bulan Agustus. Lamanya periode genangan + 7 bulan, dan periode kering + 5 bulan. Gejala awal kekeringan mulai terlihat pada bulan Juni – Oktober dengan tinggi muka air tanah mencapai 0 cm sampai – 23 cm di bawah permukaan tanah.Awal penggenangan dimulai dari bulan Nopember –Mei. Berdasarkan kriteria tinggi genangan maksimum dan lamanya periode genangan, lahan rawa lebak di lokasi penelitian dapat digolongkan ke dalam jenis lebak pematang, Hal ini dapat dilihat dari tinggi genangan maksimum yang mencapai 50 cm yang berlangsung selama < 3 bulan, dan tinggi genangan maksimum yang mencapai > 50 cm berlangsung < 6 bulan. Peta lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1.

Fluktuasi genangan

Fluktuasi genangan adalah keadaan tingkah laku naik-turun atau tinggi-rendahnya air genangan di lahan lebak dari waktu ke waktu atau dari musim ke musim. Keadaan fluktuasi genangan di lokasi penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Lahan tidak dalam keadaan tergenang dimulai sejak bulan Juni- September. Genangan di permukaan yang tercatat adalah 0 cm, sedangkan keadaan muka air di bawah permukaan tanah yang diamati dengan alat piezometer

menunjukkan penurunan rata-rata -5 cm sampai – 33 cm di bawah permukaan tanah. Ini terjadi berturut-turut mulai dari bulan Juli (-cm), Agustus (-33 cm). Selanjutnya pada bulan bulan September – Oktober keadaan muka air tanah mulai mengalami kenaikan rata-rata (-23 cm dan 1 cm).

2. Lahan mencapai genangan, rata-rata 1 cm mulai terjadi pada bulan Oktober. Akhir Oktober keadaan lahan mulai terlihat kelembabannya atau kebasahannya. Selanjutnya genangan mulai tampak menaik pada bulan Nopember, dengan rata-rata genangan mmencapai 30 cm. Meningkat terus hingga mencapai puncak genangan rata-rata setinggi 83 cm pada bulan Februari.

3. Setelah mmencapai puncak genagan setinggi 83 cm, penurunan genangan mulai terjadi pada bulan Maret (22 cm), April (18 cm), dan Mei (11 cm). Selanjutnya lahan mengalami periode tanpa genangan/kering (0 cm) pada bulan Juni.

4. Proses awal penggenangan terjadi pada bulan Nopember – Desember, dengan rata-rata genangan antara 30 cm – 59 cm. Fase dari puncak penggenangan terjadi pada bulan Januari – Februari, dengan rata-rata tinggi genangan mencapai 79 – 83 cm. Akhir fase penggenangan terjadi pada bulan Mmaret, April, dan Mei, dengan rata-rata tinggi genangan menunjukkan mulai menurun dari 22 cm, 18 cm, dan 11 cm. Selanjutnya mulai bulan Juni- September merupakan periode musim kering. Keadaan ini dilihat dari tinggi permukaan air tanah mencapai tingkat yang paling rendah (-33 cm). Fluktuasi genangan di lahan penelitian disajikan pada Gambar 1 sebagai berikut:

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

59

Gambar 5. Prediksi Arah Perubahan Pola Hujan Tipe Mooson di Wilayah Indonesia Bagian Utara dan Selatan (Sumber: Boer (2007b).

Perubahan iklim juga diperkirakan akan mengakibatkan meningkatnya kejadian iklim ekstrim meningkat. Las (2007) menyatakan peningkatan kejadian iklim ekstrim mengakibatkan kegagalan panen dan kerusakan tanaman yang mempengaruhi produktivitas, kerusakan sumberdaya lahan pertanian, meningkatnya frekuensi, luas dan intensitas banjir dan kekeringan, serta peningkatan kelembaban yang menyebabkan peningkatan intensitas gangguan OPT, lihat Gambar 6.

Gambar 6. Fluktuasi luas tanam padi yang dipengaruhi oleh anomali iklim. (Las, 2006).

Page 8: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

58

Gambar 3. Penyebaran lahan sawah di Indonesia Perubahan pola curah hujan dan intensitas iklim ekstrim

Perubahan iklim juga menyebabkan terjadinya perubahan jumlah hujan dan pola hujan yang mengakibatkan pergeseran awal musim dan periode masa tanam. Sebagai contoh, penurunan jumlah curah hujan di Tasikmalya periode 1879-2006 (Gambar 4), ternyata telah menurunkan potensi satu periode masa tanam padi (Runtunuwu dan Syahbuddin, 2007).

Gambar 4. Perubahan curah hujan di Tasikmalaya periode 1879-2006. (Sumber: Runtunuwu dan Syahbuddin, 2007)

Beberapa kajian umumnya memprediksi bahwa ada kecenderungan bagian utara akan semakin basah, sebaliknya bagian selatan makin rendah dengan periode makin pendek (Gambar 5). Jika hal tersebut benar, akan sangat mengganggu ketahanan pangan nasional, karena lebih dari 70% luas lahan sawah berada di bagian selatan. Las (2007) menyatakan bahwa dampak perubahan pola hujan mempengaruhi 3 hal yaitu: (1) Sumberdaya dan infrastruktur Pertanian, terutama perubahan sistem hidrologi dan sumberdaya air, kerusakan dan degradasi lahan, perubahan kapasitas irigasi; dan (2) Pertanaman (Sistim Usahatani), akibat pergeseran musim dan perubahan pola hujan yang mempengaruhi waktu dan musim tanam, pola tanam, kerusakan tanaman dan produktivitas, luas areal tanam dan areal panen, (3) dan perubahan habitat dan kerusakan keanekaragaman hayati.

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

7

Gambar 1. Kondisi Fluktuasi Genangan di Lahan Lebak

Genangan di Lokasi

-600-400-200

0200400600800

1000

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34

dasarian ke-

mili

met

er

Genangan

Karakteristik genangan

Fluktuasi dan pola distribusi genangan di lokaksi penelitian berdasarkan data pengamatan/pengukuran dari 14 buah mistar ukur dan 14 buah piezometer yang dipasang secara menyebar di seluruh areal penelitian, menunjukkan sifat dan karakteristik genangan sebagai berikut :

Periode bulan Juni, di seluruh lahan penelitian terlihat tidak adan genangan (0 cm), kecuali di sebagaian kecil lahan masih terlihat adanya sisa-sisa genangan setinggi (+ 1 cm) di atas permukaan tanah. Gejala ini menunjukkan bahwa pada bulan Juni merupakan awal dari periode musim kemarau/kering di daerah ini. Jumlah curah hujan bulanan tercatat 101 mm, menurun dibanding bulan-bulan sebelumnya. Terlihat tinggi muka air di saluran sekunder bagian inlet dan outlet masing-masing setinggi 150 cm.

Periode bulan Juli, seluruh lahan dalam keadaan tanpa genangan sama sekali. Tinggi permukaan air tanah hasil pengamatan mulai menunjukkan adanya penurunan sekitar (-4 cm) sampai (-6 cm) atau rata-rata penurunan muka air tanah berkisar (-5 cm) di bawah permukaan tanah. Jumlah curah hujan di bulan ini tercatat 67 mm, lebih rendah dibanding

bulan sebelumnya. Sementara tinggi muka air di saluran sekunder inlet 119 cm dan outlet 123 cm.

Periode Agustus, seluruh lahan tidak terdapat genangan, tinggi muka air tanah mengalami penurunan yang sangat tajam dari (-30 cm) sampai (-35 cm), atau mengalami rata-rata penurunan (-33 cm). Curah hujan pada bulan ini 30 mm, lebih rendah dibanding bulan sebelumnya. Namun tinggi muka air di saluran sekunder mengalami sedikit kenaikan dibanding bulan sebelumnya, yaitu inlet 122 cm dan outlet 126 cm. Penurunan muka air tanah di lahan kemungkinan disebabkan curah hujan yang sangat rendah, sementara kenaikan muka air di saluran sekunder kemungkinan disebabkan oleh proses drainase berlangsung, dimana air tanah di lahan turun dan mengalir ke bagian saluran, sehingga muka air air lahan menurun dan amuka air saluran menaik. outlet 126 cm. Penurunan muka air tanah di lahan kemungkinan disebabkan curah hujan yang sangat rendah, sementara kenaikan muka air di saluran sekunder kemungkinan disebabkan oleh proses drainase berlangsung, dimana air tanah di lahan turun dan mengalir ke bagian saluran, sehingga muka air air lahan menurun dan amuka air saluran menaik.

Page 9: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

8

Periode bulan September, seluruh lahan tanpa genangan dalam keadaan kering, namun tinggi muka air tanah mulai naik kembali berkisar antara (-20 cm) sampai (-26 cm). Jumlah curah hujan bulanan mencapai 50 mm, lebih tinggi dibanding bulan sebelumnya. Tinggi muka air saluran sekunder bagian inlet 117 cm dan di outlet 121 cm (turun dibanding bulan sebelumnya).

Periode bulan Oktober, tidak ada genangan, kenaikan muka air tanah mulai tampak semakin jelas hingga mencapai 0 cm – 1 cm di atas permukaan tanah. Artinya permukaan air tanah mulai menyamai permukaan tanah, bahkan di sebagian tempat sudah mulai mengalami genangan awal setinggi 1 cm. Curah hujan bulanan mencapai 107 mm. Tinggi muka air saluran sekunder menaik sampai 125 cm (inlet) dan 129 cm (outlet).

Periode bulan Nopember, seluruh lahan dalam keadaan tergenang setinggi 29 cm- 30 cm, atau rata-rata 30 cm. Curah hujan bulanan 161 mm. Tinggi muka air saluran sekunder menaik sampai 136 cm (inlet) dan 143 cm (outlet).

Periode bulan Desember, seluruh lahan dalam keadaan tergenang setinggi 50 cm- 67 cm, atau rata-rata 59 cm. Curah hujan bulanan 203 mm. Tinggi muka air saluran sekunder menaik sampai 147 cm (inlet) dan 156 cm (outlet). Ini menunjukkan bbahwa proses penambahan air, baik oleh curah hujan maupun oleh sumber air dari daerah bagian hulu atau sekitarnya akan memenuhi lahan penelitian terlebih dahulu, baru kemudian disusul oleh proses pengisian daerah-daerah sekitarnya, termasuk saluran-saluran.

Periode bulan Januari, genangan mengalami kenaikan setinggi 76 cm - 80 cm, atau rata-rata 78 cm. Curah hujan

bulanan 207 mm, mengalami kenaikan dibanding bulan sebelumnya. Tinggi muka air saluran sekunder menaik sampai 152 cm (inlet) dan 168 cm (outlet).

Periode bulan Februari, lahan mengalami genangan maksimum setinggi 80 cm - 85 cm, atau rata-rata 83 cm. Curah hujan bulanan 193 mm, lebih rendah dibanding bulan sebelumnya. Tinggi muka air saluran sekunder mencapai 153 cm (inlet) dan 169 cm (outlet). Keadaannya relatif sama dengan bulan sebelumnya.

Periode bulan Maret, genangan di lahan setinggi 20 cm – 24 cm, atau rata-rata 22 cm. Menunjukkan adanya penurunan dari posisi genangan maksimum yang terjadi bulan Februari. Curah hujan bulanan 211 mm, lebih tinggi dibanding bulan sebelumnya. Tinggi muka air saluran sekunder mengalami penurunan dari bulan sebelumnya, yaitu 149 cm (inlet) dan 148 cm (outlet).

Periode bulan April, genangan di lahan mengalami penurunan lagi sampai 16 cm - 20 cm atau rata-rata 18 cm. Curah hujan bulanan 164 mm, lebih rendah dibanding bulan sebelumnya. Tinggi muka air saluran sekunder lebih tinggi dari bulan sebelumnya, yaitu 150 cm (inlet) dan 152 cm (outlet).

Periode bulan Mei, genangan di lahan terus mengalami penurunan sampai titik terendah selama periode tergenang, yaitu 10 cm – 12 cm atau rata-rata 11 cm. Curah hujan bulanan 139 mm, mengalami penurunan dibanding bulan sebelumnya. Tinggi muka air saluran sekunder 150 cm (inlet) dan 152 cm (outlet), relatif sama dengan bulan sebelumnya. Dengan demikian bulan Mei merupakan akhir dari periode genangan, serta merupakan awal dari musim kering atau menunjukkan periode peralihan akan berakhirnya periode genangan/musim hujan.

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

57

akhir abad ini, sekiranya tidak ada tindakan pencegahan yang dilakukan bersama pada saat ini (Stern,2007).

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM PADA SEKTOR PERTANIAN

Perubahan iklim akhirnya akan memberikan dampak negatif pada sumberdaya air, pertanian, kehutanan, kesehatan dan rentannya berbagai prasarana umum serta kepunahan berbagai species (Amien et al., 1996, Amien et al., 1999). Perubahan iklim akan merugikan pertanian melalui: (a) peningkatan suhu yang menyebabkan percepatan pema-tangan dan peningkatan hama penyakit yang akhirnya akan menurunkan hasil; (b) perubahan pola hujan yang menyebabkan fluktuasi ketersediaan air yang tajam dan berpeluang meningkatkan hama penyakit; (c) peningkatan kejadian iklim ekstrim yang berimplikasi pada semakin seringnya banjir dan kekeringan; dan (d) peningkatan permukaan air laut yang akan menyebabkan kehilangan atau pergeseran lahan pertanian (Amien dan Runtunuwu, 2008).

Peningkatan suhu udara Boer (2007) menggambarkan

perubahan suhu udara di Jakarta periode 1880-2000 (Gambar 1). Rata-rata peningkatan suhu selama 100 tahun adalah 1.4°C di bulan Juli dan 1,04°C di bulan Januari.

Gambar 1. Tren Perubahan Suhu Jakarta Periode 1860-2000 (Boer, 2007a).

Pen ingka tan suhu akan meningkatkan transpirasi tanaman sehingga menurunkan produktivitas (Gambar 2), peningkatan konsumsi air, percepatan pematangan buah/biji yang menurunkan mutu has i l , dan perkembangan beberapa organisme pengganggu tanaman (OPT). Bahkan sinyalemen Dirjen IRRI (International Rice Research Instutute) menyatakan bahwa dengan peningkatan suhu udara rata-rata 10 C dapat menurunkan produktivitas beras dunia sekitar 5-10% (Times, 2005).

Gambar 2. Produktivitas Fotosintat dan

Suhu Udara (Dorenboos dan Kasam, 1979)

Kenaikan tinggi muka laut Meiviana et al. (2004) mencatat

bahwa selama periode tahun 1925-1989, muka air laut telah naik 4,38 mm/tahun di Jakarta, 9,27 mm/tahun di Semarang, dan 5,47 mm/tahun di Surabaya. Dampak naiknya muka air laut di sektor pertanian terutama adalah penciutan lahan pertanian di pesisir pantai (Jawa, Bali, Sumut, Lampung, NTB, dan Kalimantan), Gambar 3, kerusakan infrastruktur pertanian, dan peningkatan salinitas yang merusak tanaman (Las, 2007).

Page 10: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

56

perairan Indonesia bagian barat pada saat IODM positif tidak cukup banyak menghasilkan uap air. Uap air yang terbatas akan terbawa oleh angin yang bertiup kencang ke arah barat Samudra Hindia. Sebaliknya, suhu yang panas di Samudra Hindia di selatan Jawa dan Sumatera, atau IODM negatif, seperti tahun 2005 akan dapat meningkatkan hujan orografis di bagian barat Indonesia, sehingga pengaruh El Niño tidak akan terlalu besar.

El Niño terbesar pada abad ini 1962/63, 1971/72, 1982/83 dan 1997/98 diperparah oleh suhu muka laut di Samudra Hindia yang dingin di sebelah timur dan panas di bagian barat, yang disebut Indian IODM positif. Ini menyebabkan angin di bagian barat Indonesia bertiup ke barat membawa uap air menjauh kearah Maladewa dan Afrika. Curah hujan di Sumatera bagian timur dan Kalimantan bagian barat juga akan dipengaruhi oleh Borneo Vortex. Ketika angin dingin yang bertiup dari Siberia bertemu dengan massa panas yang dilepas Pulau Kalimantan membentuk siklun tropis yang bergerak ke barat. Badai ini sering mengakibatkan banjir di Semenanjung Malaysia dan Sumatera timur seperti yang dipicu oleh siklun Vamei tahun 2001. Tersedianya air, bahang (heat) dan sinar matahari memungkinkan kita menghasilkan produk pertanian sepanjang tahun (Amien, 2005a). Keragaman sumberdaya iklim dan air antar musim dan antar wilayah yang tinggi dapat dimanfaatkan untuk memproduksi komoditas yang juga beragam. Dengan kondisi curah hujan yang beragam, pewilayahan komoditas dapat dilakukan sehingga set iap daerah dapat menghasilkan komoditas yang berbeda ataupun komoditas yang sama dalam

waktu yang berbeda. Hasil pertanian yang spesifik dapat mensuplai wilayah lain yang akan mendorong terjadinya perdagangan antar wilayah. Perdagangan antar wilayah akhirnya dapat meningkatkan integrasi nasional.

Iklim bumi kini diyakini telah mengalami perubahan yang dipicu oleh meningkatnya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer yang meningkatkan suhu di permukaan bumi. Meningkatnya suhu ini menyebabkan mencairnya es di glacier dan di kutub yang menurunkan salinitas air dan memper lambat arus laut . Terganggunya arus laut ini telah mengacaukan iklim di berbagai wilayah terutama dirasakan di lintang yang lebih tinggi. Dari pengamatan selama 12 milenia yang diamati dari ‘ice core’ di Vostok di kutub selatan terlihat kadar CO2 tidak mengalami banyak perubahan sampai revolusi industri. Baru setelah revolusi industri terjadi peningkatan yang sangat tajam (IPCC, 2007). Peningkatan pemakaian bahan bakar fosil dengan semakin meningkatnya penduduk dan kegiatan ekonomi telah meningkatkan kadar CO2 dan gas-rumah-kaca lainnya seperti CH4, NO2 dan beberapa flourida (gas Kyoto) di atmosfer dari 280 ppm pada awal revolusi industri menjadi sekitar 379 ppm pada tahun 2005 (IPCC, 2007). Gas-gas ini menjadi lebih tinggi sejak 1960an apabila ditambahkan dengan Chloro-floro carbon (CFC) yang diperkirakan telah merusak lapisan ozone yang dapat menghalangi sinar ultra-violet. Peningkatan gas-kamar-kaca ini menyebabkan meningkatnya suhu pemukaan bumi dengan 0.56 sampai 0.920 C dari 1906 sampai 2005 yang telah semakin diyakini menyebabkan perubahan iklim. Suhu di permukaan bumi diperkirakan akan diperkirakan terus meningkat antara 1,8 sampai 4° C sampai akhir abad ini, sekiranya tidak ada tindakan pencegahan yang dilakukan bersama pada saat ini (Stern,2007).

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

9

Sumber/debit air

Air yang menggenangi lahan lebak di lokasi penelitian adalah berasal dari sumber air yang terdapat di bagian hulu areal, yaitu merupakan daerah tampung air atau tampung hujan dalam setiap tahun/musim. Sementara lokasi penelitian merupakan daerah mikro DAS-nya. Untuk mengetahui berapa besar masukan air yang masuk dan mengalir ke saluran sekunder (selain curah hujan), selanjutnya masuk ke hamparan areal penelitian, yang lama kelamaan menimbulkan genangan/banjir. Besarnya masukan air dari waktu ke waktu dapat diketahui dengan cara mengamati/mengukur bebitnya (melalui luas penampang saluran dan fluktuasi tinggi muka air di saluran sekunder). Alat pengukur tinggi muka air saluran dipasang di bagian inlet dan outletnya. Data pengamatan/pengukuran besarnya sumber air yang masuk, hasilnya dapat dikemukakan sebagai berikut:

Periode kering

Rata-rata debit air tertinggi di saluran inlet adalah 2,1808 m3/detik dan saluran outlet 2,166 m3/detik, terjadi pada bulan Juni, terutama pada dasarian II untuk inlet, dan dasarian II untuk outlet. Sementara debit air terendah adalah 1, 1337 m3/detik untuk inlet dan 1,1725 m3/detik untuk outlet, terjadi pada bulan September, terutama pada dasarian II baik di inlet maupun di outlet.

Periode tergenang

Rata-rata debit air tertinggi di saluran inlet adalah 2,8770 m3/detik dan saluran outlet 3,0548 m3/detik, terjadi pada bulan Desember, terutama pada dasarian III untuk inlet dan outlet. Sementara debit air terendah adalah 1, 4439 m3/detik untuk inlet dan 1,4342 m3/detik untuk outlet, terjadi pada bulan Maret, terutama pada

dasarian II baik di inlet maupun di outlet. Besarnya debit air saluran sekunder disajikan pada Gambar 2 dan Tabel.1.

Pemanfaatan genangan

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa lokasi penelitian mengalami genangan mulai bulan Nopember – Mei atau selama + 7 bulan, namun periode genangan terjadi pada bulan Desember –Februari atau selama + 3 bulan. Sementara periode kering terjadi mulai bulan Juni – September atau selama + 4 bulan, yang mana periode terkering berlangsung pada bulan Agustus. Selebihnya dari bulan Juni – Juli merupakan periode transisi antara sangat kering dan kering.

Keadaan lahan sedemikian rupa, menyebabkan para petani/penduduk setempat secara tradisional dan tanpa perencanaan periode musim tanam yang tepat, hanya dapat memanfaatkan lahan tersebut untuk bertanam padi hanya satu kali dalam semusim atau dalam setahun, yaitu pada bulan-bulan yang mana periode genangan mulai akan berakhir, sekitar bulan Maret – April- Mei-Juni (+ 4 bulan). Setelah itu lahan tidak dimanfaatkan lagi dan dibiarkan dalam keadaan bera.

Debit Dasarian Saluran Sekunder

-

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

3.50

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46

Dasarian ke-

m3/

detik inlet

outlet

Gambar 2. Debit air saluran sekunder dibagian inlet dan outlet.

Page 11: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

10

Curah hujan

Dari pengamatan curah hujan selama 2 tahun menunjukkan bahwa daerah/lokasi penelitian mmemiliki jumlah rata-rata curah hujan tahunan sebesar 1.633 mm. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus (30 mm) dan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Maret (211 mm). Berdasarkan tipe hujan Schmidt dan Ferguson (1951), daerah ini mempunyai bulan basah (BB = curah hujan >100 mm) selama 9 bulan dan bulan kering (BK = curah hujan <60 mm) selama 2 bulan berturut-turut. Maka daerah ini termasuk

ke dalam tipe hujan B, yaitu daerah dengan tingkat kebasahan tinggi (nilai Q = 22,22 %, yaitu rasio jumlah bulan kering berturut-turut dibagi dengan jumlah bulan basah berturut-turut dikali 100%). Sementara menurut zone agroklimat Oldeman (1975), daerah ini memiliki bulan basah (curah hujan >200mm) selama 3 bulan dan bulan kering (curah hujan < 100 mm) selama 3 bulan berturut-turut. Maka daerah ini termasuk ke dalam zone D2 (daerah dengan potensi masa tanam 9-10 bulan atau sepanjang tahun asal dengan perencanaan yang teliti). Data curah hujan disajikan pada Gambar 3 dan 4.

Tabel 1. Rata-rata debit bulanan dasarian saluran sekunder di lokasi penelitian Rawa Muning - Kalimantan Selatan.

Bulan

Dasarian ke-

Debit inlet outlet

m3/detik Juni I 2,0662 2,1090 II 2,2676 2,1804 III 2,2087 2,2091 Rata-rata 2,1808 2,1661 Juli I 1,6672 1,7848 II 1,7556 1,8259 III 1,7522 1,8228 Rata-rata 1,7250 1,8111 Agustus I 1,2486 1,7996 II 1,2517 1,7955 III 1,2198 1,7198 Rata-rata 1,2400 1,7716 September I 1,1226 1,1514 II 1,1644 1,2035 III 1,1143 1,1628 Rata-rata 1,1337 1,1725 Oktober I 1,3181 1,3271 II 1,3271 1,3357 III 1,3300 1,3813 Rata-rata 1,3250 1,3480 Nopember I 1,9604 1,9950 II 2,0155 2,0377 III 2,0713 2,1221 Rata-rata 2,0157 2,0516

Februari I 2,2087 2,3681 II 2,2971 2,5366 III 2,2530 2,5621 Rata-rata 2,2529 2,4889 Maret I 1,4147 1,4147 II 1,5017 1,4820 III 1,4155 1,4060 Rata-rata 1,4439 1,4342 April I 1,4200 1,4392 II 1,4584 1,4584 III 1,4392 1,4776 Rata-rata 1,4392 1,4584 Mei I 1,4392 1,4392 II 1,4776 1,4776 III 1,4584 1,4584 Rata-rata 1,4584 1,4584

Rata-rata 1,5596 1,7079 III 1,5800 1,7603

Januari I 1,5105 1,6558 II 1,5884 1,7077

III 2,9442 3,1023 Rata-rata 2,8770 3,0548

Desember I 2,8101 3,0093 II 2,8767 3,0529

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

55

Keberadaan gunung tinggi di banyak pulau, yang menerima bahang (heat) lebih cepat dan banyak di siang hari, juga menimbulkan angin laut. Angin laut yang membawa uap air akan menjadi hujan ketika terdorong naik di atas pegunungan, yang disebut sebagi hujan orografis. Karena itu, curah hujan di daerah pegunungan selalu lebih tinggi dibanding daerah pesisir. Sebagai negara kepulauan di tropis yang diapit dua benua dan dua samudera curah hujan di Indonesia memiliki keragaman antar musim (monsoon), antar tahun (Enso), dalam musim (MJO). Di bagian barat Indonesia curah hujan juga sangat dipengaruhi oleh suhu laut di Samudera Hindia (IODM) (Amien et al. 2005, Saji et al, 1999).

Wilayah sekitar khatulistiwa yang dipengaruhi oleh konvergensi antar tropis memiliki hujan yang tinggi, dengan dua puncak musim hujan. Semakin menjauh dari khatulistiwa semakin jelas pola hujan musiman yang disebut monsun, dimana pada wilayah dengan pertanian intensif, sering terjadi kekurangan air pada musim kemarau (Amien et al., 2005). Karena sebagian besar pertanian tanaman semusim terletak di wilayah yang dipengaruhi pola hujan monsun, pengaturan waktu dan pola tanam sangat mempengaruhi keberhasilan usaha pertanian.

KERAGAMAN DAN DINAMIKA IKLIM

INDONESIA

Akhir akhir ini, El Niño dan La Niña semakin sering terjadi, di mana terjadi kekurangan atau kelebihan air yang menyebabkan kekeringan atau banjir. Kini, semakin dipahami bahwa fenomena ini merupakan fenomena global yang dikendalikan oleh arus laut di Samudra

Pasifik. Biasanya arus ini bergerak ke Samudera Hindia meliwati Indonesia dan disebut Indonesian Through Flow yang diperkirakan sebesar 10 juta m3/detik, tetapi akan melambat atau membalik pada saat El Niño. Massa samudera yang bersuhu lebih tinggi dari sekitarnya (warm pool) apabila bergeser ke arah timur menyebabkan angin pasat melemah atau berbalik ke timur sehingga hujan menjauh dari Indonesia (UCAR, 1994).

Kerugian yang ditimbulkan akibat El Niño menjadi sedemikian besar, karena curah hujan yang sangat rendah dalam masa yang panjang telah memicu kekeringan dan kebakaran hutan. Semua berimplikasi buruk, tidak hanya pada sektor pertanian tetapi juga sektor transportasi dan kesehatan serta ekonomi secara keseluruhan.

Selain keragaman musiman, curah hujan di daerah tropis juga beragam di dalam musim, yang disebut Madden Julian Oscillation (MJO) (Madden and Julian, 1972). MJO dicirikan oleh pergeseran ke arah timur dari peningkatan atau penurunan curah hujan untuk wilayah yang luas, yang terjadi di atas Samudra Hindia sampai Samudra Pasifik. Perubahan curah hujan karena MJO terjadi dalam waktu 30 sampai 60 hari, dan hanya terjadi pada tahun tahun El Niño atau La Niña yang lemah. Pada musim penghujan bulan Januari 2001 hujan yang lebih tinggi dari rata-rata diamati di Medan, Banda Aceh dan Pekanbaru, tetapi hujan yang lebih rendah teramati di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Kalimantan. Sedangkan di Indonesia bagian timur lainnya diperkirakan disebabkan oleh MJO.

Ocean Dipole Mode (IODM) berpengaruh besar pada curah hujan di Indonesia, terutama di bagian barat (Faqih, 2004). Suhu yang dingin di

Page 12: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

54

DAMPAK DAN ANTISIPASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR PERTANIAN

Eleonora Runtunuwu dan Haris Syahbuddin

ABSTRAK

Sesuai dengan sifat iklim yang dinamis, perubahan iklim merupakan suatu kenyataan yang telah, sedang dan tetap akan terjadi. Adanya pemanasan global akibat berbagai aktivitas manusia mempercepat perubahan iklim yang terjadi secara alami. Perubahan iklim berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan dan aktivitas manusia. Walaupun sedkit ikut berkontribusi sebagai penyebab, sektor pertanian adalah paling rentan terhadap perubahan iklim, terutama ketahanan pangan. Dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan nasional terjadi secara runtut, mulai dari pengaruh terhadap sumberdaya lahan dan air, infrastruktur pertanian hingga sistem produksi melalui produktivitas, luas tanam dan panen. Di Indonesia pada umumnya tanaman pangan diusahakan oleh petani kecil, sehingga perubahan iklim juga akan meningkatkan kemiskinan. Oleh sebab itu, perlu upaya antisipasi yang konseptual dan terencana yang dituangkan strategi dan kebijakan, baik melalui upaya adaptasi maupun mitigasi. Departemen Pertanian telah menyiapkan beberapa strategi dan kebijakan serta rencana aksi untuk menghadapi perubahan iklim, termasuk indentifikasi dan pengembangan inovasi teknologi. Badan Litbang Pertanian juga telah dan sedang menyiapkan berbagai inovasi teknologi dan alat bantu seperti varietas unggul adaptif yang rendah emisi GRK, tahan salinitas, kekeringan/banjir, super genjah, dll, serta teknologi pembukaan lahan, pemupukan, pengelolaan tanah dan air yang efisien dan ramah lingkungan.

PENDAHULUAN

Sebagai negara yang terletak di daerah tropis, Indonesia beruntung dengan sangat jarangnya terjadi badai tropis yang dapat merusak tanaman mau-pun harta benda lainnya. Secara nisbi, sebagai negara kepulauan di antara dua benua dan dua samudra, Indonesia mem-iliki banyak sumber uap air yang akan menjadi awan pembawa hujan. Akibat suhu yang selalu panas, atmosfir kita sela-lu kaya uap air yang secara konveksi sela-lu bergerak ke atas dalam bentuk awan yang akhirnya membentuk hujan (Amien et al., 2005).

I k l im d i I ndones ia

dikendalikan oleh tiga sistem peredaran angin, yaitu angin pasat, angin meridional dan angin lokal atau angin orografis. Angin pasat atau angin zonal atau sering juga disebut sebagai sirkulasi Walker, dipicu oleh perbedaan penyerapan panas antara air di Samudra Pasifik dan benua Asia-Australia. Angin ini biasanya bertiup ke arah barat di level bawah. Sedangkan angin meridional atau sirkulasi Hadley, dipicu perbedaan suhu antara belahan bumi utara dan selatan akibat posisi bumi terhadap matahari. Pada saat musim panas di belahan bumi utara angin ini bertiup ke barat laut di selatan khatulistiwa dan karena rotasi bumi dibelokkan ke

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

11

Curah hujan daerah Raw a Muning

01020304050607080

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34

dasarian

mm Curah hujan daerah

Raw a Muning

Curah hujan derah Rawa Muning

0

50

100

150

200

250

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan ke

mm Series1

Gambar 3. Curah hujan Dasarian di Lokasi Penelitian

Gambar 4. Curah hujan Bulanan di Lokasi Penelitian

Hubungan curah hujan, dan genagan/kekeringan

Berdasarkan hasil analisis curah hujan, genangan, dan kekeringan, di lokasi penelitian dapat dibedakan menjadi tiga periode musim tanam, yaitu :

1. Periode tanam pada akhir musim hujan/awal musim kemarau sampai awal musim hujan/akhir musim kemarau (Juni- September). Dimulai pada saat kondisi curah hujan 101 mm (Juni) sampai 50 cm (September). Kondisi kekeringan mulai dari 0 cm (Juni) sampai – 33 cm (Agustus).

2. Periode tanam pada akhir musim kemarau/awal musim musim hujan sampai musim hujan (Oktober – Januari). Dimulai pada saat kondisi curah hujan 107 mm (Oktober) sampai 207 mm (Januari). Genangan setinggi 1 cm (Oktober) sampai 79 cm (Januari).

3. Periode tanam pada musim hujan sampai akhir musim hujan, dengan kondisi curah hujan 193 mm (Februari) sampai 139 mm (Mei). Genangan mencapai puncaknya 83 cm (Februari) sampai 11 cm (Mei). Keadaan curah hujan dan genangan disajikan pada Gambar 5 dan 6.

Curah hujan dan Genagan di Lokasi Penelitian

-600-400-200

0200400600800

1000

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34

Dasarian ke-

mili

met

er

Curah hujanGenangan

Keadaan Curah hujan dan Genagan di Lokasi Penelitian

-400

-200

0

200

400

600

800

1000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan ke-

mm Curah hujan

Genangan

Gambar 5. Curah hujan dan Genangan periode dasarian.

Gambar 6. Curah hujan dan genagan periode bulanan.

Page 13: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

12

Dengan demikian di lokasi ini penelitian ini dapat direncanakan dan dikembangkan beberapa alternatif masa/pola tanam sebagai apa yang digambarkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata curah hujan, genangan dan skema masa/pola tanam di lokasi.

Faktor Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei --------------------------------------------———--—------mm-----——----------------------------------------------------

CH 101 67 30 50 107 161 203 207 193 211 164 139 GN/MAT 0 -50 -330 -230 10 300 590 790 830 220 180 110

Masa/pola tanam 1 T Padi rintak P/T Padi surung P/T Bera P 2 Palawija Padi surung Bera 3 Padi rintak Padi surung Padi air dalam 4 Palawija Padi surung Padi air dalam 5 Gogo rancah Padi surung Padi air dalam 6 Padi rintak Gogo rancah Bera

Keterangan : CH = curah hujan; GN/MAT = genangan/muka air tanah; T = tanam; P = panen; Padi rintak = tanam pada akhir musim hujan/awal musim kemarau. Padi surung = tanam pada awal musim hujan/akhir musim kemarau.

KESIMPULAN

Berdasarkan tinggi genangannya, lahan rawa lebak di lokasi penelitian dapat digolongkan ke dalam jenis lahan lebak pematang yang mengalami musim-musim kering antara bulan Juni – September, dan mengalami bulan-bulan tergenang Oktober/Nopember – Mei. Periode sangat kering berlangsung pada bulan Agustus – September. Periode dengan curah hujan > 200 mm terjadi pada bulan-bulan basah antara Desember dan Januari, sementara periode dengan curah hujan <100 mm terjadi pada bulan-bulan antar Juli – Agustus – September. Menurut zone agroklimat (Oldeman, 1975) termasuk zone D2, memiliki potensi musim tanam sepanjang tahun asalkan dengan perencanaan yang teliti, artinya mempertimbangkan keadaan genangan musiman dan curah hujan di daerah setempat. Dari analisis kondisi genangan tahunan serta rata-rata curah hujannya, daerah ini dapat dibagi ke dalam tiga periode musim tanam dalam setiap tahunnya dengan perencanaan masa tanam dan pola tanam yang dapat dikembangkan sebagai berikut : 1. Padi rintak – padi surung – bera atau palawija – padi surung – bera. 2. Padi rintak – padi surung – padi air dalam atau palawija – padi surung – padi air

dalam. 3. Gogo rancah – padi surung – padi air dalam atau padi rintak – gogo rancah – bera.

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

53

Tabel 4. Rekapitulasi kecenderungan debit minimum pada bendung sungai dan bendung mata air di 50 daerah irigasi

KESIMPULAN

1. Analisis terhadap 6 stasiun hujan secara toposekuen, menunjukkan pola dan distribusi curah hujan di hulu, tengah dan hilir wilayah Timur Kabupaten Klaten tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.

2. Berdasarkan analisis neraca kebutuhan-ketersediaan air pada 50 daerah irigasi di wilayah Timur Kabupaten Klaten menunjukkan bahwa 8% D.I. di bagian hulu, 47 % di tengah dan 100 % di hilir, atau 42 % D.I. secara total, dalam kondisi tidak baik, yang berarti bahwa pasokan irigasi tidak mencukupi kebutuhan irigasi tanaman.

3. Pengamatan data debit harian dan aplikasi model hidrologi pada DAS Dengkeng, mengindikasikan penurunan produksi air sebesar 58-59 %, antara tahun 2002 dan 2005.

4. Terdapat kecenderungan penurunan atau peningkatan debit irigasi minimum pada bendung sungai dan mata air dari 50 D.I. selama periode 1998-2005.

DAFTAR PUSTAKA

Allen, R.G.. L.S. Pereira. D. Raes. and M. Smith. 1998. Crop evapotranspiration. Guidelines for computing crop water requirements. FAO Irrigation and drainage paper No.56. 301p.

Balitklimat. 2002. Software Crop Water Balance. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor.

Doorenbos. J. and A.H. Kassam. 1979. Yield Response to Water. FAO Irrigation and Drainage Paper no 33. 193p

Perrin, C., Michel, C., Andréassian, V., 2003. Improvement of a parsimonious model for streamflow simulation. Journal of Hydrology 279(1-4), 275-289.

Robert J. Kodoatie dalam www//belbuk.com. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (Edisi 2). Penerbit Andi. Jakarta. Indonesia

Sutawan, N. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Air untuk Pertanian Berkelanjutan --Masalah dan Saran Kebijaksanaan. Seminar ”Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Tanah dan Air yang Tersedia untuk Keberlanjutan Pembangunan, Khususnya Sektor Pertanian”.Universitas Udayana.

Page 14: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

52

Gambar 11. Analisis kecenderungan debit minimum bendung sungai dan bendung mata air, wilayah timur Kabupaten Klaten.

perhitungan rata-rata bergerak 7 tahun menggunakan seri data pengamatan 1994-2005, sedangkan untuk data debit mata air digunakan perhitungan rata-rata bergerak 4 tahun menggunakan seri data pengamatan 1998-2005. Teladan hasil analisis yang dilakukan terhadap Bendung Taman dan Bendung Kaligawe yang bersumber dari sungai serta Bendung Ponggok dan Bendung Kapilaler yang bersumber dari mata air, disajikan pada Gambar 11. Hasil analisis data debit minimum Bendung Taman selama periode 1994-2005, menunjukkan bahwa debit Sungai Pusur cenderung menurun, dengan presentasi penurunan sebesar 33.8%.

Sedangkan kecenderungan yang berbeda ditunjukkan oleh hasil analisis data debit Bendung Kaligawe, yang memanfaatkan Sungai Kaligawe untuk irigasi. Tercatat kecenderungan kenaikan debit minimum sebesar 11.4%. Kecenderungan penurunan debit minimum ditunjukan pula dari hasil analisis rata-rata bergerak 4 tahunan terhadap seri data debit Bendung Ponggok, periode 1998-2005. Debit minimum mata air Ponggok cenderung menurun sebesar 1.5%. Sedangkan hal yang berbeda ditunjukkan oleh hasil analisis data Bendung Kapilaler, yang menunjukkan kecenderungan kenaikan debit minimum sebesar 4.7%.

KECENDERUNGAN DEBIT MINIMUM S. PUSUR, BEND. TAMAN, DELANGGU BERDASARKAN ANALISIS RATA-RATA BERGERAK 7 TAHUN PERIODE 1994-2005

0

100

200

300

400

500

600

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Tahun

Deb

it M

inim

um (l

/s)

KECENDERUNGAN DEBIT MINIMUM S. KALIGAWE, BEND. KALIGAWE, PEDAN BERDASARKAN ANALISIS RATA-RATA BERGERAK 7 TAHUN PERIODE 1994-2005

0

50

100

150

200

250

300

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Tahun

Deb

it M

inim

um (l

/s)

KECENDERUNGAN DEBIT MINIMUM MATA AIR PONGGOKBERDASARKAN ANALISIS RATA-RATA BERGERAK 4 TAHUN PERIODE 1998-2005

810

815

820

825

830

835

840

845

850

855

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Tahun

Deb

it M

inim

um (l

/s)

KECENDERUNGAN DEBIT MINIMUM MATA AIR KAPILALERBERDASARKAN ANALISIS RATA-RATA BERGERAK 4 TAHUN PERIODE 1998-2005

0

50

100

150

200

250

300

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Tahun

Deb

it M

inim

um (l

/s)

Analisis yang dilakukan terhadap 50 bendung menunjukkan debit minimum beberapa sungai dan mata air cenderung turun dan beberapa yang lainnya cenderung naik. Rekapitulasi

kecenderungan debit minimum pada bendung sungai dan bendung mata air di 50 daerah irigasi di Kabupaten Klaten disajikan pada Tabel 4.

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

13

DAFTAR PUSTAKA

Arief, dan Z. Hamzah. 1980. Pertanian lebak di Sumatera Selatan. Bahan Seminar di Sukarami. 11p. (tidak dipublikasikan).

Buurman, P. And T. Balsem. 1990. Land Unit Clasification for the Reconnaisance Soil Sur-vey of Sumatra. Tech. Rep. No. 3. LREP. CSAR, Bogor

Direktorat Rawa. 1984. Kebijaksanaan Departemen Pekerjaan Umum Dalam Rangka Pengembangan Daerah Rawa. Diskusi Pola Pengembangan Pertanian Tanaman Pan-gan di Lahan non Pasang Surut/Lebak. Palembang, 30 Juli 2 Agustus 1984. (Tidak dipublikasikan).

Inu G. Ismail, Trip Alihamsyah, IPG. Widjaja-Adhi, Suwarno, Tati Herawati, Ridwan Thahir, D.E. Sianturi, Mahyuddin Syam, Soetjipto Ph., dan Z. Harahap. 1993. Sewindu Penelitian di Lahan Rawa (1985-1993). Kontribusi dan Prospek Pengembangan. Proyek Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa-SWAMPS II. Badan Litbang, Departemen Pertanian, Jakarta.

Nasrullah, E. Susanti, dan Gatot Irianto. 1995. Identifikasi dan karakterisasi genangan rawa lebak serta pemanfaatannya untuk penentukan masa tanam padi di daerah Ogan Kramasan II, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Hlm. 81-97 dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Buku. Buku IV. Bidang Konservasi Tanah dan Air, serta Agroklimat. Cisarua, Bogor, 26 – 28 September 1995. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Oldeman, L.R. 1975. The Climatic Map of Java. Contribution from The Centre Resesearch Institute of Agriculture. CRIA No. 17. Bogor.

Sandy, I.M. dan Nad Darga T. 19 79. Tidal Swamps Reclamation. BUku II. Hlm. 70 – 85 dalam Prosiding Simposium III Pengembangan Daerah Pasang Surut di Indonesia. Palembang, 5 – 9 Februari 1977. Direktorat Jenderal Pengairan Departemen PU-IPB.

Schmidt, F.H. and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall Types Base on Wet and Dry Period Rati-os for Indonesia with Western New Guinea. Verth. No. 42. Jawatan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.

Sudarsono. 1991. Penelitian tentang komponen agro-hara di proyek penelitian pertanian pasang surut dan rawa SWAMPS II. Hlm. 189-194 dalam Prosiding Seminar Penelitian Llahan Pasang Surut dan Rawa SWAMPS II. Palembang, 29-31 Oktober 1990.

Taher, A., N. Hasan., A. Yusuf dan Z. Zaini. 1991. Hasil penelitian komponen teknis usaha tani di Teluk Kiambang, Riau 1990.hlm. 47-59 dalam Prosiding Seminar Penelitian lahan Pasang Surut dan Rawa SWAMPS II. Palembang, 29-31 Oktober 1990.

Widjaja-Adhi, IP.G. 1995. Pengelolaan lahan rawa pasang surut dan lebak. Journal Litbang Pertanian V (1): 1-9.

Page 15: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

14

PENENTUAN POTENSI SUMBERDAYA AIR MELALUI PENDEKATAN HIDROKIMIA:

STUDI KASUS DAS MIKRO CAKARDIPA, CILIWUNG HULU

Nani Heryani dan Kasdi Subagyono

ABSTRAK

Memahami darimana asalnya air selama kejadian hujan merupakan salah satu tujuan dari ilmu hidrologi. Air disimpan pada berbagai tempat di dalam suatu daerah aliran sungai (DAS) dan memiliki karakteristik kimia berbeda. Kimia air sungai sangat tergantung kepada jalur aliran dimana air itu mengalir pada saat menuju sungai. Penelitian dilaksanakan di DAS Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu. Tujuan penelitian adalah menentukan potensi sumberdaya air atau sumber limpasan di daerah tangkapan air (DAS mikro) Cakardipa. Penentuan sumberdaya air dilakukan dengan menggunakan metode End Member Mixing Analysis (EMMA) dengan perunut hidrokimia. Kontribusi setiap sumber air selama proses limpasan yang diprediksi menggunakan EMMA kemudian dihitung menggunakan metode kesetimbangan massa untuk air dan total unsur kimianya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi sumberdaya air yang utama DAS mikro Cakardipa berasal dari air bumi (groundwater), air tanah (soil water) dan air hujan.

Kata kunci: sumber limpasan, end member mixing analyses, perunut hidrokimia

ABSTRACT Understanding where does water come when it rains is one of the objectives of the hydrologic sciences. Water is stored in various places in a catchment and has a different chemistry characteristics. River’s water chemistry is dependent upon the flow path where the water was flowing at the river. The research was conducted at Cakardipa micro watershed, Upper Ciliwung watershed. The objective of the research is to determine the potential source areas of runoff in Cakardipa micro watershed, Upper Ciliwung Watershed. Potential sources area were calculated using End Member Mixing Analysis (EMMA) using hydrochemistry tracers. Contribution of each source areas during the runoff process were predicted using EMMA, and then calculated by the mass balance for total water and its chemistry. Result of the research showed that source areas of Cakardipa micro watershed were groundwater, soil water, and rain water. Key words: source area, end member mixing analyses, hydrochemical tracer

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

51

Berdasarkan input data tahun 2002-2004 dan parameter model seperti yang disebutkan diatas, didapatkan koefisien

kemiripan antara hidrograf debit pengukuran dengan debit simulasi sebesar 40% (Gambar 9).

Gambar 9. Kalibrasi model debit harian Sungai Dengkeng periode 2002-2004 menggunakan Model GR4J.

Untuk mempelajari kecenderungan perubahan debit di tahun 2005, dilakukan analisis perbandingan antara data debit pengukuran selama periode 2005 dengan debit simulasi menggunakan input data hujan dan ETP tahun 2005 serta parameter yang dihasilkan dari kalibrasi model menggunakan data periode 2002-0004.

Perbandingan aliran sungai hasil

pengukuran tahun 2005 dengan aliran simulasi menunjukkan selisih perbedaan sebesar 289.5 mm. Hal ini berarti menunjukkan bahwa akibat adanya perubahan kondisi biofisik DAS Dengkeng selama periode 2002-2004, menyebabkan debit yang dihasilkan seharusnya sebesar 489.5 mm hanya dihasilkan aliran sebesar 200 mm atau setara penurunan debit sebesar 59.0%.

Gambar 10. Perbandingan debit pengukuran dan debit simulasi Sungai Dengkeng berdasarkan aplikasi Model GR4J.

KALIBRASI MODEL DEBIT HARIAN SUNGAI DENGKENGPERIODE 2002-2004

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

200

11/5/2001 5/24/2002 12/10/2002 6/28/2003 1/14/2004 8/1/2004 2/17/2005 9/5/2005

Tanggal

Deb

it (m

3 /s)

0

50

100

150

200

250

300

Curah H

ujan (mm

)

Debit Pengamatan

Debit Simulasi

Curah Hujan

Luas DAS = 307.4 km2Koef. Kemiripan = 40 %Parameter ModelX1 = 581.40 mmX2 = -14.35 mmX3 = 150.40 mmX4 = 1.15 hari

PERBANDINGAN ALIRAN SUNGAI DENGKENG PERIODE 2005

0

20

40

60

80

100

120

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

Bulan

Aliran

Sun

gai (mm)

PengukuranSimulasi

TOTAL ALIRAN TAHUNANPENGUKURAN = 200.0 mmSIMULASI = 489.5 mmSELISIH = 59 %

Pendekatan kedua untuk mempelajari kecenderungan (trend) potensi sumber daya air di Kabupaten Klaten dilakukan melalui analisis data debit 15 harian dari bendung sungai maupun bendung mata air, berdasarkan hasil pengamatan Sub

Dinas Pengairan, Dinas PU Kabupaten Klaten selama periode 1994-2005. Analisis yang dilakukan menggunakan perhitungan rata-rata bergerak (moving average) data debit minimum absolut yang tercatat setiap tahun. Untuk data debit sungai, digunakan

Page 16: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

50

Gambar 7. Debit harian Sungai Dengkeng pada pengamatan di Stasiun Paseban (Kecamatan Bayat) and Stasiun Jarum (Kecamatan Karang Dowo).

Berdasarkan analisis data curah hujan dan debit tahunan periode 2003-2005, diketahui antara tahun 2003 dengan 2005 telah terjadi penurunan debit tahunan Sungai Dengkeng sebesar 58.4% atau setara penurunan sebesar 280.7 mm.

Penurunan tersebut justru terjadi saat curah hujan tahunan meningkat dari 1657 mm pada tahun 2002 menjadi 2239 mm pada tahun 2005 atau peningkatan sebesar 35% setara curah hujan sebesar 582 mm (Gambar 8).

DEBIT HARIAN PENGUKURAN SUNGAI DENGKENG, KLATENPERIODE 2002-2005

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

200

1-Ja

n-02

2-Mar

-02

1-May

-02

30-J

un-0

2

29-A

ug-0

2

28-O

ct-0

2

27-D

ec-0

2

25-F

eb-0

3

26-A

pr-0

3

25-J

un-0

3

24-A

ug-0

3

23-O

ct-0

3

22-D

ec-0

3

20-F

eb-0

4

20-A

pr-0

4

19-J

un-0

4

18-A

ug-0

4

17-O

ct-0

4

16-D

ec-0

4

14-F

eb-0

5

15-A

pr-0

5

14-J

un-0

5

13-A

ug-0

5

12-O

ct-0

5

11-D

ec-0

5

Tanggal

Deb

it (m

3 /s)

0

50

100

150

200

250

300

Curah H

ujan (mm

)

Curah Hujan Stasiun Paseban (Luas DAS 307.4 km2) Stasiun Jarum (Luas DAS 579.8 km2)

CURAH HUJAN DAN DEBIT BULANAN SUNGAI DENGKENGPENGAMATAN DI STASIUN PASEBAN, KLATEN, PERIODE 2002 - 2005

0

50

100

150

200

250

300

350

400

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

Bulan

Deb

it (m

m)

0

100

200

300

400

500

600

700

800

900

1000

Curah H

ujan (mm

)

RR 2002RR 2003RR 2004RR 2005Q 2002Q 2003Q 2004Q 2005

Year RR (mm) Q (mm)2002 1657 480.72003 1455 323.92004 2139 326.42005 2239 200.0

Gambar 8. Curah hujan dan debit bulanan Sungai Dengkeng pada pengamatan di Stasiun Paseban, periode 2002-2005.

Untuk mempelajari lebih lanjut indikasi adanya penurunan debit tahunan, telah dilakukan aplikasi Model GR4J. Kalibrasi model dilakukan mengunakan data periode 2002-2004 curah hujan harian rata

-rata aritmetik yang dihitung dari stasiun hujan Deles, Kecamatan Kemalang dan stasiun Gayamprit, Kecamatan Kebon Arom; evapotranspirasi (ETP) harian dan debit harian dari stasiun Paseban.

Parameter yang didapatkan dari hasil kalibrasi adalah sebagai berikut : X1: Kapasitas Maximum Simpanan Produksi = 581.40 mm X2: Parameter Tukar Air = -14.35 mm X3: Kapasitas Maksimum Simpanan Alihan = 150.40 mm X4: Waktu dasar hidrograf satuan = 1.15 hari

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

15

digunakan untuk mengukur kandungan unsur-unsur kimia dalam air hujan untuk mempelajari proses runoff.

Evaluasi jumlah relatif air yang dapat disimpan dan mengalir melalui beberapa komponen yang berbeda dalam siklus hidrologi sangat diperlukan dalam melakukan perencanaan dan pengelolaan sumberdaya air yang tepat. Karakterisasi komponen siklus hidrologi dengan tepat merupakan hal yang penting, karena baik dari segi kualitas maupun kuantitas, air dianggap sebagai sumberdaya dan ekosistem yang berkelanjutan dalam seluruh skema pengelolaan air.

Transformasi hujan menjadi debit di titik pelepasan (outlet) suatu DAS merupakan sebuah proses yang sangat kompleks. Dengan demikian memahami sumber dan jalur aliran dari suatu aliran air sangat penting dalam pengendalian kuantitas dan kualitas air. Pemisahan hidrograf menjadi tiga komponen yang menggunakan end-member mixing analysis (EMMA) menunjukkan bahwa aliran bawah permukaan (subsurface stormflow) memberikan kontribusi lebih dari dua per tiganya dari aliran sungai (Liu et al. 2004a). Metode analisis campuran menggunakan EMMA adalah untuk memisahkan runoff secara geokimia menjadi beberapa komponen yang berkontribusi selama kejadian hujan. Hasil penelitian melalui teknik pemisahan aliran permukaan yang dapat mengkuantifikasi sumber aliran (source area) sangat penting dalam mendesain stuktur hidraulik, evaluasi model hujan-aliran permukaan, mempelajari proses pengendalian banjir, serta pendugaan dan pengurangan kontaminasi air.

PENDAHULUAN Air disimpan pada berbagai

tempat di dalam suatu daerah aliran sungai (DAS) dan memiliki karakteristik kimia berbeda. Kimia air sungai sangat tergantung kepada jalur aliran dimana air itu mengalir pada saat menuju sungai. Mengetahui jalur aliran yang dominan dan bagaimana air mengalami perubahan secara kimiawi selama kejadian hujan merupakan hal pent ing dalam memahamami proses limpasan terutama yang menyangkut aliran bawah permukaan. Mekanisme proses aliran bawah permukaan (subsurface stormflow) di wilayah hutan pada DAS bagian hulu telah menjadi perdebatan sejak tahun 1930-an (Bonell, 1998 dan McGlynn et al., 2002). Penelitian dengan menggunakan metode atau pendekatan tunggal dianggap memerlukan waktu lama, sehingga saat ini kombinas i pengamatan mela lu i pendekatan hidrometrik dan perunut (kimia atau isotop) merupakan metode standar untuk mengatasi perbedaan persepsi antara model dengan konsep-konsep formal tentang proses runoff (runoff generation) di wilayah hulu suatu DAS (McDonnell, 2003).

D u n n e t a l . ( 2 0 0 5 ) , mengemukakan bahwa satu hal umum yang diperlukan dalam pemodelan adalah memisahkan hidrograf menjadi beberapa bagian aliran untuk mengidentifikasi sumber (source) a l i ran /potens i sumberdaya air dan menduga laju transpor beberapa polutan. Data hidrokimia dapat dipergunakan untuk menduga proporsi runoff yang berasal dari aliran yang berbeda. Pemisahan/separasi hidrograf secara geokimia menggunakan perunut dilakukan untuk memisahkan runoff pada saat hujan. Pendekatan neraca massa (mass balance) biasanya

Page 17: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

16

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian lapang dilakukan pada

bulan Juni 2009 sampai Juni 2010 di DAS mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu. Analisis air dilakukan di laboratorium Balai Penelitian Tanah.

Bahan dan Alat Bahan yang dipergunakan dalam

penelitian ini yaitu peta rupabumi skala 1:25.000; peta geologi skala 1:100.000; peta geohidrologi skala 1:250.000; data kimia air; data sifat fisika, kimia, dan mineral tanah. Sedangkan peralatan yang digunakan yaitu: data tinggi muka air (debit); alat pengukur penetapan kedalaman air tanah; piezometer, tensiometer, suction sampler (pompa pengambil air tanah dan air bumi); botol untuk menyimpan sampel air; ring sampel; GPS (Global Positioning System); AWLR(Automatic Water Level Recorder); AWS (Automatic Weather Station); Current meter; bor tanah; dan seperangkat komputer; software Arc-View ver. 3.3.

Metodologi

Pemasangan Peralatan Pengamatan Hidrokimia

P e m a s a n g a n p e r a l a t a n dilakukan pada suatu transek yang ditetapkan sesuai dengan jalur aliran air di lahan berlereng (hillslope) masing-masing. sebanyak 5 titik pada lereng arah timur dan 4 titik pada lereng arah barat dari sungai di DAS mikro Cakardipa. Jaringan alat pengamatan hidrokimia seluruhnya berjumlah 68 buah, terdiri dari 25 tensiometer, 16 piezometer, dan 27 suction sampler yang dipasang pada berbagai kedalaman disajikan pada Tabel 1, dan secara vertikal disajikan pada Gambar 1.

Penentuan Sumber Air dengan Metode EMMA (End Member Mixing Analysis) EMMA digunakan untuk menghitung proporsi air sungai dari tiga komponen runoff. Pertimbangan untuk menggunakan pendekatan ini adalah bahwa seluruh komponen sumber air diasumsikan bercampur secara konservatif. Percampuran sifat kimia air secara konservatif terjadi karena komponen kimia air dari sumber air mengalir mengikuti pergerakan air. Kimia air sungai merupakan turunan dari kimia air masing-masing komponen sumber air yang mengalir ke sungai, dengan prinsip bahwa air dapat membawa unsur atau komponen kimia air dari masing-masing sumber air tersebut. End member menggambarkan karakteristik air yang teridentifikasi dari unit hidrologi atau geologi yang berbeda. End member yang berbeda biasanya memiliki pertanda isotop atau kimia yang berbeda. EMMA dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah digunakan oleh Hooper (2001) dan Christophersen dan Hooper (1992) serta Burns et al. (2001) sebagai berikut: (1) Menyusun data set air bumi

(groundwater), air tanah (soil water), air hujan, aliran permukaan, air saluran, dan air sungai yang diukur pada periode bulanan dan periode hujan di DAS mikro Cakardipa.

(2) Normalisasi data dengan cara mengurangi data konsentrasi unsur dengan rata-rata konsentrasi unsur dan dibagi dengan standar deviasi masing-masing unsur.

(3) Melakukan analisis statistik multivariate dengan menggunakan proyeksi ortogonal dari matrik nilai yang sudah dinormalkan ke dalam plot kimia air.

(4) Untuk menguji bahwa kimia air dari sumber air yang menuju sungai menyebar di dalam plot kimia air sungai, data kimia air sungai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

49

Kecenderungan Ketersediaan Sumber Daya Air Kecenderungan ketersediaan air dari sebuah sumber merepresentasikan kondisi yang terjadi pada daerah tangkapan air. Informasi kecenderungan ini, yang digambarkan oleh fluktuasi debit sesaat yang diamati selama periode tertentu, sangat diperlukan dalam perencanaan pengelolaan suatu kawasan daerah tangkapan air. Untuk mempelajari kecenderungan ketersediaan sumber daya air, dalam penelitian ini dilakukan melalui dua pendekatan: berdasarkan analisis debit sungai harian, dan berdasarkan analisis debit irigasi 15 harian. Pendekatan yang pertama hanya dapat dilakukan terhadap

Sungai Dengkeng. Sungai ini walaupun alirannnya tidak berada di dalam areal penelitian, menjadi pilihan karena memiliki data debit harian relatif lengkap serta dianggap dapat merepresentasikan kondisi kecenderungan sumberdaya air wilayah Klaten secara keseluruhan. Sedangkan analisis kedua dilakukan terhadap data debit irigasi 15 harian dari 50 bendung sungai dan mata air. Gambar 6 menyajikan DAS Dengkeng yang merepresentasikan lebih kurang 1/4 wilayah Klaten. Luas DAS pada titik pengamatan debit Stasiun Paseban, Kecamatan Bayat adalah 307.4 km2, sedangkan pada titik pengamatan Stasiun Jarum, Kecamatan Karang Dowo adalah 579.8 km2.

Gambar 6. DAS Dengkeng, Kabupaten Klaten.

Fluktuasi debit harian Sungai Dengkeng selama periode 2002-2005 ditunjukkan Gambar 7. Pada pengamatan di stasiun Paseban, debit maksimum mencapai 146.3 m3/dt, debit minimum 0 m3/dt, debit

rata-rata 4.7 m3/dt. Sedangkan pada pengamatan di stasiun Jarum, debit maksimum mencapai 155.0 m3/dt, debit minimum 0 m3/dt, debit rata-rata 8.7 m3/dt.

Page 18: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

48

Gambar 5 menyajikan distribusi secara spasial neraca kebutuhan dan pasokan irigasi pada 50 Daerah Irigasi di Kabupaten Klaten, yang mewakili zona hulu, tengah dan hilir. Berdasarkan hasil analisis diperoleh informasi bahwa 42 % daerah irigasi di wilayah timur Kabupaten Klaten, berada dalam kondisi tidak baik, yang berarti bahwa pasokan irigasi tidak memenuhi kebutuhan irigasi tanaman.

Berdasarkan toposekuen, ketersediaan air daerah hulu lebih baik dibandingkan di daerah tengah, terlebih di daerah hilir. Di daerah hulu hanya terdapat 8% daerah irigasi dalam kondisi tidak baik, sedangkan di daerah tengah terdapat 47% DI dengan kondisi tersebut dan di daerah hilir dari 5 DI yang dianalisis semuanya berada dalam kondisi tidak baik.

Tabel 3. Analisis tingkat defisit neraca kebutuhan dan pasokan irigasi

Keterangan VL : Sangat Rendah : Defisit Air < 15% L : Rendah : 15 % < Defisit Air < 25% M : Sedang : 25 % < Defisit Air < 40% H : Tinggi : Deficit > 40%

Gambar 5. Sebaran tingkat defisit neraca kebutuhan dan pasokan irigasi pada 50 Daerah Irigasi, wilayah timur Kabupaten Klaten

Berdasarkan analisis tingkat defisit menurut sumber air, di zona hulu terdapat 11 % bendung berasal dari sungai berada dalam kondisi tidak baik, di zona tengah terdapat 50%, sedangkan di zona hilir

semua bendung yang dianalisis, berada dalam kondisi tidak baik. Di zona tengah terdapat 40% bendung yang berasal dari mata air dalam kondisi pasokan tidak memenuhi kebutuhan irigasi tanaman.

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

17

diproyeksikan ke dalam mixing subspace (kimia air sungai). (4) Data kimia air yang diprediksi dengan EMMA dibandingkan dengan konsentrasi terukur

pada saat pengamatan selama hujan tertentu menggunakan regresi linear.

Keterangan: L1 – L9 adalah lokasi pemasangan alat

Kontribusi setiap sumber air selama proses limpasan yang diprediksi menggunakan EMMA kemudian dihitung menggunakan metode kesetimbangan massa untuk air dan total unsur sesuai dengan formula sebagai berikut (Hinton et al., 1994):

Kedalaman (cm)

L1 L2 L3 L4 L5 Alur sungai

L6 L7 L8 L9

Piezometer 25 v v 50 v v v

100 v v v 150 v v 200 v v v 250 300 400 v v v Tensiometer 25 v v 50 v v 100 v v v v 150 v v 200 v v v 250 v v v v 300 v 350 v 400 v v 550 650 900 v Suction 25 v v Sampler 50 v v v 100 v v v v 150 v v 200 v v 250 v v v v 300 v 350 v v v 400 v v 550 650 900 v

Tabel 1. Distribusi peralatan pengamatan hidrometrik dan hidrokimia

32122321

3222321 ccCCCCcc

ccCCCCccQQ TTT

31211312

3111312 ccCCCCcc

ccCCCCccQQ TTT

Kemudian, Q3 dihitung sebagai berikut: 12322123

1222123 ccCCCCcc

ccCCCCccQQ TTT

Page 19: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

18

Q adalah debit: c adalah konsentrasi unsur 1 dan C adalah konsentrasi unsur 2; serta 1, 2, 3, dan T berturut-turut adalah aliran masuk ke sungai dari sumber aliran 1, sumber aliran 2; sumber aliran 3, dan T adalah kombinasi total aliran keluar (total outflow).

Gambar 1. Skema Pemasangan Jaringan Pengamatan Air di Lereng sebelah Barat dan Timur DAS mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu

Keterangan: L1, L2, L8,L9 : terdiri dari tensiometer dan suction sampler L3, L4, L5, L6, L7 : terdiri dari tensiometer, piezometer, dan suction sampler

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan Sumber Aliran dan Jenis Perunut Analisis penentuan sumber aliran dan jenis perunutnya dilakukan terhadap episode

hujan tanggal 14 Pebruari 2010. Hasil analisis dengan metode EMMA menunjukkan bahwa aliran air yang terdapat di DAS mikro Cakardipa berasal dari air bumi, air tanah, dan air hujan dengan menggunakan perunut Ca2+ dan SO42-. Diagram campuran (mixing diagram) antara Ca2+ dan SO42- dengan ketiga sumber aliran disajikan pada Gambar 2. Analisis EMMA dapat dipergunakan dalam separasi hidrograf secara geokimia, yakni untuk memisahkan komponen runoff pada saat terjadi hujan. EMMA (mixing model) pada penelitian ini terdiri dari 3 komponen sumber air (three end member) dengan dua perunut konservatif. Mixing model dari perspektif geometrik memiliki karakteristik seperti berikut: 1) Untuk model dengan 2 perunut dan 3 komponen misalnya, mixing antara sub ruang ditentukan oleh 2 perunut, 2) Jika diplotkan, 3 komponen puncak dari segitiga dan seluruh contoh aliran harus terikat oleh segitiga, 3) Jika tidak terikat dengan baik, berarti perunut tidak konservatif (Gambar 2).

Pada Gambar 2 dapat dilihat, bahwa pada saat awal kejadian hujan (tanda panah no. 1) air sungai bergerak ke arah air hujan, dalam hal ini menunjukkan bahwa kimia air pada air sungai memiliki kemiripan dengan kimia air pada air hujan. Pada saat kurva hidrograf mulai meningkat sampai mencapai puncak hujan (tanda panah no. 2) air sungai bergerak ke arah air bumi, dalam hal ini menunjukkan bahwa kimia air pada air sungai memiliki kemiripan dengan kimia air pada air bumi. Selanjutnya pada saat kurva hidrograf menurun atau saat akhir kejadian hujan (tanda panah no. 3) air sungai bergerak ke arah air

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

47

Analisis Neraca Kebutuhan dan Pasokan Irigasi Data yang dinalisis adalah data periode 1998-2003, dilakukan pada 50 daerah irigasi meliputi 36 bendung sungai dan 14 bendung mata air) di 9 Kecamatan. Data masukan dalam analisis ini meliputi : luas DI, debit irigasi 15 harian, pola tanam tahunan (data PU dan Disperta Klaten), hujan serta ETP harian (stasiun BMG).

Pola tanam tahunan mencakup : Padi – Padi – Padi (Tengah, Hilir); Padi – Padi – Jagung (Hulu, Tengah, Hilir); Padi – Jagung – Jagung (Hulu, Tengah, Hilir); dan Jagung – Padi – Jagung (Hulu). Neraca kebutuhaan irigasi dengan pasokan dilakukan berdasarkan perbandingan kebutuhan air tanaman per daerah irigasi dengan debit pada pintu masuk saluran bendung. Teladan hasil

perhitungan disajikan pada Tabel 2 yang menunjukkan hasil analisis neraca kebutuhan dan pasokan irigasi pada daerah irigasi bendung Tempel (617 ha). Tabel analisis menampilkan komoditas dan fase pertumbuhan, kebutuhan irigasi neto (hanya untuk tanaman, tidak termasuk pengolahan tanah), kebutuhan irigasi total, ketersediaan irigasi, tingkat pemenuhan kebutuhan irigasi, surplus/defisit, drainage (interval 15 harian serta kondisi hujan. Berdasarkan informasi tingkat pemenuhan kebutuhan irigasi untuk setiap DI, selanjutnya dilakukan analisis tingkat defisit berdasarkan 4 kriteria (sangat rendah, rendah, sedang, tinggi) selama periode pengamatan tahun 1998-2003. Teladan hasil analisis tingkat defisit untuk dua daerah irigasi disajikan Tabel 3.

Tabel 2. Analisis neraca kebutuhan dan pasokan irigasi Bendung Tempel, Kec. Karangdowo

Nama Bendung : Tempel Luas Daerah Irigasi Padi I (Ha) : 617 haLuas Daerah Irigasi (Ha) : 617 ha Luas Daerah Irigasi Padi II (Ha) : 617 haRanting/Cabang Dinas Pengairan : Beji Luas Daerah Irigasi Jagung III (Ha) : 617 haNama Stasiun : Karang Dowo Tipe Kalender Tanam :Tahun : 1998 1999 Merata Sepanjang 1 Bulan

Kebutuhan Irigasi l/s

Pemenuhan Kebutuhan

Irigasi

Surplus/Defisit

617 ha (%) l/s mm Kondisi

Padi

IIPadi

IIPadi

II

1999

Mar 2

Feb 2

Mar 1

Jan 1

Padi

I

Nop 1

Normal

Jan 2

82.6

59.8

0.0

305

424

Feb 1206

Des 2

Padi

I

Nop 2

Des 1 57.4

12.9

0.0

322

Hujan

Basah

Kering

Normal

1998

Okt 192 Normal

Padi

I

Okt 2

107 Kering

49.1

Kebutuhan Irigasi Neto

(mm)

Kebutuhan Irigasi Total

(m3/ha)

Keterse-diaan

Irigasi l/s

Drainage (l/s)Ta

hun Komoditas dan Fase

Pertumbuhan Bulan

292 321 100% 29 0.1

71.6 551,956 426 402 94% -24 6.8

378,595

14.7

62.3

84.0

57.9

402 82%

442,786 342 738 100%

113,394 87

-89 10.5

461,421 356 402 100% 46 33.6

636,726 491

623 63.8

99,211 77 649 100%

396 67.9

572 40.2

513 80.0

0 0

0 0 513 100%

623 100%

515 100%

-194 28.7

428 39.2

-64 47.3480,873 371 307 83%

-17 57.2

647,964 500

446,336 344 327 95%

306 61%

Page 20: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

46

Ketersediaan air permukaan dan air tanah di Kabupaten Klaten sangat dipengaruhi oleh kondisi geologi serta posisinya yang berada pada lereng Gunung Merapi. Potensi ketersediaan air di Kabupaten Klaten melimpah. Hal ini direpresentasikan dengan terdapatnya 400 bendung irigasi, baik bendung yang

berasal dari sumber sungai maupun mata air. Untuk menggambarkan potensi ketersediaan air permukaan dan air tanah, telah dilakukan analisis data debit bendung irigasi 15 harian dari 36 bendung sungai dan 14 bendung mata air (Gambar 3).

Gambar 3. Peta lokasi bendung irigasi (36 bendung sungai dan 14 bendung mata air)

Gambar 4a dan 4b menunjukkan variasi bulanan (rata-rata periode 1998-2005) debit irigasi pada bendung Trate II (282 ha), yang mengambil sumber aliran permukaan Sungai Jumok, serta variasi bulanan debit Bendung Kapilaler (415 ha), yang memanfaatkan sumber mata air

Kapilaler. Debit Bendung Trate II bervariasi antara 68.9 l/s pada Bulan September hingga 219.6 l/s pada Bulan Mei, Sedangkan debit bendung Kapilaler bervariasi antara 258.6 l/s pada Bulan Oktober hingga 258.6 l/s pada Bulan Februari.

F LU K T U A S I B U L AN A N D E B IT IR IG AS I B E N D U N G T R AT E II,SU N G AI J U M O K, D AS W ON GG O , K LAT E N

0

50

1 00

1 50

2 00

2 50

Jan Feb A pr M a y J ul Sep O ct D ec F eb

Bu la n

Debi

t (l/s

)

F L U K T U AS I B U L A N AN D E B IT IR IG AS I B E N D U N G K A P IL AL E R ,M ATA A IR K AP ILA LER , K LA TEN

2 00

2 50

3 00

3 50

4 00

Jan Feb A pr M a y Jul S ep O c t D ec F eb

B u la n

Debi

t (l/s

)

Gambar 4. Fluktuasi bulanan bendung irigasi (a). Bedung sungai, (b). Bendung mata air Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011

Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

19

tanah, dalam hal ini menunjukkan bahwa kimia air pada air sungai memiliki kemiripan dengan kimia air pada air tanah.

Dari Gambar 2 dapat dijelaskan bahwa pada awal kejadian hujan atau pada saat baseflow sumber air di DAS mikro Cakardipa berasal dari air hujan. Pada saat mencapai debit puncak sumber airnya berasal dari air bumi, sedangkan pada saat kurva resesi sumber air berasal dari air tanah. Berdasarkan hasil EMMA menggunakan Ca dan SO4 ditemukan bahwa sumber aliran sungai adalah dari air bumi, air tanah, dan air hujan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Mulholland (1993) yang menunjukkan bahwa Ca2+ dan SO42- dapat digunakan sebagai perunut konservatif dalam end member mixing analyses untuk mencirikan jalur aliran air dominan di dalam DAS. Separasi Hidrograf Secara Geokimia

Sebagaimana disajikan pada Gambar 2 dimana sumber aliran (source area) yang utama dari DAS mikro Cakardipa yaitu airbumi (groundwater), air tanah, dan air hujan, maka kontribusi setiap sumber aliran terhadap aliran sungai dianalisis melalui separasi hidrograf menggunakan formula menurut Hinton et al (1994):

0,0

1,0

2,0

3,0

4,0

5,0

0,0 5,0 10,0 15,0 20,0 25,0 30,0 35,0

SO42-

(mg L

-1 )

Ca 2+ (mg L-1)

Airbumi (groundwater)Air hujanAir tanah

1

x: awal hujan : puncak hujan

+: akhir hujan

Gambar 2. Hasil mixing analisis antara Kalsium Ca2+ dengan SO42- pada episode hujan tanggal 14 Februari 2010

Q = debit; c = konsentrasi Ca; C = konsentrasi SO4; and AB, AT, CH, dan T masing-masing = airbumi, air tanah, curah hujan, dan aliran total.

Kontribusi setiap sumber aliran terhadap aliran sungai yang dianalisis dari separasi hidrograf menggunakan formula di atas, menunjukkan bahwa pada episode hujan (storm event) tanggal 14 Pebruari 2010, airbumi merupakan kontributor utama terhadap aliran sungai yaitu mencapai 47,3 %. Air bumi dilaporkan sebagai sumber limpasan (kontributor aliran) oleh beberapa peneliti yaitu (Tanaka 1992, McGlynn et al 1999, Gibson et al 2000, Burns et al 2001, Hangen et al 2001, Subagyono 2002). Menurut Weiler et al (2005), aliran bawah permukaan adalah

Page 21: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

20

pada saat debit puncak terutama pada hujan yang besar (Bazemore et al 1994, Tanaka dan Ono 1998). Pada penelitian ini air tanah berkontribusi sebesar 28,0 % dan curah hujan sebesar 24,7 %. Separasi masing-masing sumber aliran disajikan pada Gambar 3. Hasil analisis separasi hidrograf secara hidrometrik dan geokimia pada kejadian hujan 14 Februari 2010 tersebut disajikan pada Tabel 2. Dengan curah hujan sebesar 46,5 mm selama 8 jam 35 menit menghasilkan debit sebesar 2377 m3.

termasuk air tanah dan airbumi (soil water dan groundwater). Airbumi atau zone jenuh didefinisikan sebagai area di dalam profil tanah yang memiliki matrik potensial ≥ 0 kPa. Airbumi berada di bawah permukaan tanah di dalam ruang pori dan di dalam formasi batuan. Air tanah (soil water) atau zone tidak jenuh adalah area di dalam profil tanah yang memiliki matrik potensial < 0 kPa. Air tanah terdapat dalam lapisan tanah atau bebatuan di bawah permukaan tanah. Komponen air tanah sering mendominasi

Gambar 3. Separasi Hidrograf secara hidrometrik dan geokimia pada Kejadian Hujan 14 Pebruari 2010

Tabel 2. Hasil separasi hidrograf secara hidrometrik pada kejadian hujan 14 Pebruari 2010 di DAS mikro Cakardipa

KESIMPULAN

Berdasarkan separasi hidrograf secara geokimia dengan menggunakan perunut Ca2+ dan SO42- diketahui bahwa bahwa airbumi, air tanah, dan air hujan merupakan sumber utama aliran di DAS mikro Cakardipa, berturut-turut berkontribusi sebesar 47,3%, 28%, dan 24,7%. Sedangkan separasi hidrograf secara hidrometrik menunjukkan bahwa dengan curah hujan sebesar 46,5 mm selama 8 jam 35 menit menghasilkan debit sebesar 2377 m3.

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

45

CURAH HUJAN BULANAN KABUPATEN KLATENBERDASARKAN ANALISIS FREKUENSI, PELUANG HUJAN 50 %

0

60

120

180

240

300

360

420

480

540

600

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

Bulan

Cur

ah H

ujan

(mm

)

TulungPolanharjoDelangguW onosariJuwiringKarangdowo

Gambar 1. Curah hujan dan hari hujan bulanan berdasarkan analisis frekuensi peluang hujan 50%, pada 6 stasiun hujan di Kabupaten Klaten.

C U R A H H U J A N T A H U N A N K A B U P A T E N K L A T E N1 9 9 0 - 2 0 0 0

0

5 0 0

1 0 0 0

1 5 0 0

2 0 0 0

2 5 0 0

3 0 0 0

3 5 0 0

4 0 0 0

1 9 9 0 1 9 9 1 1 9 9 2 1 9 9 3 1 9 9 4 1 9 9 5 1 9 9 6 1 9 9 7 1 9 9 8 1 9 9 9 2 0 0 0T a h u n

Cur

ah H

ujan

(mm

)

T u l u n g

P o l a n h a r j o

D e l a n g g u

W o n o s a r i

J u w i r i n g

K a r a n g d o w o

T A H U N E L

N I N O

Gambar 2. Curah hujan tahunan wilayah timur Kabupaten Klaten. Tabel 1. Rekapitulasi curah hujan tahunan dan musiman peluang 50% pada zona hulu,

tengah dan hilir.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi Sumberdaya Air Kabupaten Klaten Ketersediaan sumberdaya air sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim, topografi, jenis tanah, tutupan lahan serta struktur geologi suatu daerah. Ketersediaan sumberdaya air dapat berasal dari curah hujan, air permukaan, serta air tanah. Untuk menggambarkan potensi ketersediaan curah hujan Kabupeten Klaten, telah dilakukan analisis curah hujan bulanan dari 6 stasiun hujan, yang berada pada bagian timur Kabupaten Klaten serta merepresentasikan kondisi curah hujan di zona hulu, tengah, dan hilir. Hasil analisis frekuensi pada peluang 50% menunjukkan bahwa curah hujan bulanan untuk 6 stasiun hujan mencakup Tulung, Polanharjo, Delanggu, Wonosari, Juwiring dan Karangdowo antara Nopember – April berjumlah antara 144 hingga 540 mm/bulan, sedangkan selama Mei – Oktober berjumlah antara 0 hingga 120 mm/bulan. Hari hujan selama Nopember - April berkisar antara 9 hingga 18 hari, antara Mei – Oktober 0 hingga 5 hari (Gambar 1a dan 1b). Sedangkan analisis curah hujan tahunan dan musiman peluang 50% menunjukkan bahwa topografi transek utara-selatan wilayah Klaten bagian timur tidak mempengaruhi perbedaan curah hujan yang signifikan antara hulu, tengah dan hilir (Tabel 1).

Page 22: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

44

secara terpadu dan menyeluruh. Menurut Robert J. Kodoatie dalam www//belbuk.com aspek terpadu mencerminkan keterikatan dengan berbagai aspek, berbagai pihak (stakeholders) dan berbagai disiplin ilmu. Menyeluruh mencerminkan cakupan yang luas (broad coverage), melintas batas antar sumber daya, antar lokasi, hulu dan hilir, antar kondisi, jenis tata guna lahan, antar banyak aspek dan antar multi disiplin, dan antar para-pihak.

METODOLOGI

Penelitian dilakukan antara bulan Agustus-Nopember 2006. Survei lapangan dilaksanakan di 9 Kecamatan di Kabupaten Klaten. Untuk mendapatkan gambaran potensi ketersediaan sumberdaya air dilakukan analisis neraca air dan analisi kecenderungan ketersediaan air dari beberapa data dan informasi meliputi :

(1) Data Hujan Bulanan 6 stasiun, 1989-2000(10-12 tahun), PU Klaten

(2) Data Debit Harian S. Dengkeng, Stasiun Paseban. 2002-2005, BPDAS Solo

(3) Data Debit Irigasi 15 harian, 36 Bendung, 14 Mata Air, 1998-2005, PU Klaten

(4) Peta Jaringan Sungai, 1:25.000, Bakosurtanal

(5) Peta Lokasi Bendung, 1:100.000, PU Klaten

(6) Peta Stasiun Hujan, 1:50.000, PU Klaten

(7) Peta Sumber Mata Air, 1:50.000, PU Klaten

Analisis Neraca Air antara Kebutuhan dan Ketersediaan Analisis neraca air kebutuhan tanaman dilakukan berdasarkan estimasi

kebutuhan air tanaman menurut Metode FAO (Allen, R.G.. L.S. Pereira. D. Raes. and M. Smith. 1998). Data input yang dianalisis merupakan data hujan dan iklim periode 1998-2003. Analisis ketersediaan irigasi dilakukan terhadap 50 Daerah Iriga-si (36 Bendung, 14 Mata Air) di 9 Keca-matan. Data masukan yang diperlukan dalam perhitungan analisis neraca kebu-tuhan dan pasokan irigasi : luas daerah irigasi (DI), debit irigasi 15 harian, pola tanam tahunan, hujan dan evapotranspira-si (ETP) harian. Untuk mengetahui kebu-tuhan air yang digunakan tanaman pada setiap fase pertumbuhannya dihitung ber-dasarkan indeks kecukupan air yang me-rupakan pencerminan dari rasio antara evapotranspirasi aktual tanaman dan eva-portranspirasi maksimal yang dilakukan tanaman (ETR/ETM) (Doorenbos. J. and A.H. Kassam. 1979).

Pola tanam tahunan yang mencakup lebih kurang 80% DI di Kabupaten Klaten meliputi:

Padi – Padi – Padi (Tengah, Hilir) Padi – Padi – Jagung (Hulu, Tengah, Hilir) Padi – Jagung – Jagung (Hulu, Tengah, Hilir) Jagung – Padi – Jagung (Hulu)

Analisis Kecenderungan Ketersediaan Air Analisis kecenderungan ketersediaan air dilakukan berdasarkan dua metode: Aplikasi model debit harian GR4J

(Perrin, C., Michel, C., Andréassian, V., 2003) berdasarkan input data hujan dan debit harian DAS Dengkeng, periode tahun 2002-2005.

Analisis rata-rata bergerak (Moving Average), dilakukan terhadap data debit 15 harian bendung sungai dan mata air, periode tahun 1998-2005.

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

21

DAFTAR PUSTAKA

Burns DA, McDonnell JJ, Hooper RP, Peters NE, Freer J, Kendall C, Beven KJ. 2001. Quantifying Contributions to Storm Runoff Through Eend-Member Mixing Analysis and Hydrologic Measurements at the Panola Mountain Research Watershed (Georgia, USA). Hydrological Processes 15 (10): 1903-1924.

Bonell M 1998. Progress in the understanding of runoff generation dynamics in forests. Journal of Hydrology. 150: 217–275.

Bazemore DE, Eshelman KN, dan Hollenbeck KJ. 1994. The role of soil water in stormflow generation in a forested headwater catchment: synthesis of natural tracer and hydrometric evidence. J. Hydrol. 162: 47-75.

Christophersen N, dan Hooper R P1992. Multivariate analysis of stream water chemical data: the use of principal components analysis for the end member mixing problem. Water Resour. Res., 28 (1), 99-107.

Dunn SM, JR Bacon, SI Vinogradoff, MC Graham, dan G Farmer 2005. Investigating the utility of simple hydrochemical sampling data for hydrological model calibration. Geophysical Research Abstracts, Vol. 7, 05406, 2005. European Geosciences Union 2005.

Gibson JJ, Price JS, Aravena R, Fitzgerald DF, dan Maloney D. 2000. Runoff generation in a hypermaritime bo-forest upland. Hydrol. Process 14:2711-2730.

Hangen E, M Lindenlaub, Ch Leibundgut, K von Wilpert 2001. Investigating Mechanisms of Stormflow Generation by Natural Tracers and Hydrometric Data: A Small Catchment Study in The Black Forest, Germany. Abstract. Hydrological Processes 15 (2): 183–199.

Hooper RP 2001. Applying the scientific method to small catchment studies: A review of the Panola Mountain experience. Hydrological Processes 15(10): 2039-2050.

Hinton MJ, Schiff SL, dan English MC 1994. Examining the contributions of glacial till water to storm runoff using two and three component hydrograph separation. Water Resour.Res.30: 983-993.

Liu, F., M. W. Williams, and N. Caine.2004. Source waters and flow paths in an Alpine catchment, Colorado Front Range. United States. Water Resour. Res., Vol. 40, W09401, doi:10.1029/2004WR003076.

McDonnell JJ 2003. Where does water go when it rains? Moving beyond variable source area concept of rainfall-runoff response. Hydrological Processes 17(9): 1869–1875.

McGlynn BL, McDonnell JJ, Brammer D 2002. A review of the evolving perceptual model of hillslope flowpaths at the Maimai catchment, New Zealand. Journal. of Hydrology. 257(1-4): 1–26.

Mulholland PJ 1993. Hydrometric and stream chemistry evidence of three storm flowpaths in Walker Branch Watershed. J. Hydrol. 151 (2-4): 291–316.

Subagyono K, Tanaka T, Y Hamada 2002. The importance of near surface riparian on storm runoff generation and stream chemistry in Kawakami forested headwater catchment (in English).

Tanaka T dan Ono T. 1998. Contribution of soil water and its flow path to stormflow Generation in a forested headwater catchment in Central Japan. In Kovar K, Tappeiner U, Peters NE, Craig RG(eds.). Hydrology, Water Resources and Ecology in Headwater. IAHS Publ.No 248:181-188.

Tanaka T. 1992. Storm runoff process in a small forested drainage basin. Environ. Geol. Water Sci. 19 (2) 179-191.

Weiler M, JJ McDonnell, I Tromp-Van Meerveld, dan T Uchida 2005. Subsurface Stormflow. Encyclopedia of Hydrological Sciences. Edited by M. G. Anderson. John Wiley & Sons, Ltd.

Page 23: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

22

ANALISIS NERACA KETERSEDIAAN AIR UNTUK MENDUKUNG

PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) DI JAWA BARAT

Nurwindah Pujilestari dan Budi Kartiwa

ABSTRAK

Jawa Barat memiliki lahan subur yang berasal dari endapan vulkanis serta banyak aliran sungai. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar tanahnya cocok digunakan untuk pertanian, sehingga Provinsi Jawa Barat ditetapkan sebagai lumbung pangan nasional. Luas lahan sawah di Jawa Barat adalah 975,489.01 Ha dengan jenis irigasi teknis 86%, semi teknis 12%, sederhana 0.5% dan tadah hujan 0.01%. Penentuan potensi ketersediaan dan kebutuhan air dilakukan berdasarkan skenario tiga kali tanam setahun untuk menentukan kebutuhan air lahan sawah. Berdasarkan scenario analisis neraca ketersediaan-kebutuhan air diketahui bahwa di Provinsi Jawa Barat terdapat 6 status defisit. Wilayah dengan status defisit terendah berkisar antara 9 – 16 tengah bulanan berada di lahan sawah irigasi sederhana dan semi teknis. Pada wilayah pantai utara Jawa Barat, status defisit berkisar antara 3 – 8 tengah bulanan. Wilayah yang status defisitnya terendah terdapat di sebagian kabupaten Bandung, Cianjur dan Sukabumi. Pada wilayah ini realisasi tanam dilakukan 3 kali. Sebaran status defisit air di Jawa Barat disajikan pada Peta Neraca Ketersediaan-Kebutuhan Lahan Sawah Provinsi Jawa Barat. Kata kunci : neraca ketersediaan air, indeks pertanaman, sawah, irigasi, defisit, Jawa Barat.

ABSTRACT

West Java has a fertile soil derived from volcanic sediments and many streams. This condition causes most of the land suitable for farming, so the West Java province designated as a national food. Vast rice fields in West Java is 975,489.01 hectares with the kind of technical irrigation 86%, 12% semi-technical, simple rain-fed 0.5% and 0.01%. Determination of the potential supply and demand for water is based on the scenario three times a year to determine the plant water requirements of paddy fields. Based on the scenario analysis balance the needs of water availability is known that in the province of West Java, there are 6 state deficit. The area with the lowest deficit status ranged from 9-16 center monthly irrigated land is in a simple and semi-technical. On the north coast of West Java, the status of the deficit ranged from 3-8 center monthly. Regional status lowest deficit found in most districts Bandung, Cianjur and Sukabumi. In this region the realization of planting done 3 times. Distribution of water deficit status in West Java are presented in Map Balance Availability-Requirement Wetland of West Java Province. Keywords: balance the availability of water, cropping index, fields, irrigation, deficit, West

Java.

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

43

PENDAHULUAN

Air merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam produksi pangan. Jika air tidak tersedia maka produksi pangan akan terhenti. Ini berarti bahwa sumberdaya air menjadi faktor kunci untuk keberlanjutan pertanian khususnya pertanian beririgasi. Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) secara sederhana diartikan disini sebagai upaya memelihara, memperpanjang, meningkatkan dan meneruskan kemampuan produktif dari sumberdaya pertanian untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan. Guna mewujudkan pertanian berkelanjutan, sumberdaya pertanian seperti air dan tanah yang tersedia perlu dimanfaatkan secara berdaya guna dan berhasil guna. Kebutuhan akan sumberdaya air dan tanah cenderung meningkat akibat pertambahan jumlah penduduk dan perubahan gaya hidup, sehingga kompetisi dalam pemanfaatannya juga semakin tajam baik antara sektor pertanian dengan sektor non-pertanian maupun antar pengguna dalam sektor pertanian itu sendiri (Sutawan, N, 2001). Alokasi dan distribusi air antar sektor dan antar wilayah semakin komplek dengan potensi konflik yang cenderung meningkat akibat kemampuan pasokan (supply) yang semakin menurun dengan tingkat ketidakpastian tinggi (high uncertainty) dan pengguna (agent) yang banyak dan semakin beragam. Di Indonesia, konflik alokasi air antar sektor dan antar wilayah ekskalasinya cenderung meningkat, bahkan dari tertutup menjadi konflik terbuka. Sebagai contoh, di Kabupaten Klaten, seperti di beberapa wilayah sentra produksi pangan di Indonesia, para petani seringkali menghadapi permasalahan kekurangan air di beberapa tempat dan

pada periode tertentu sehingga berakibat pada penurunan produksi pertanian. Buruknya sistem alokasi air telah menyebabkan terjadinya ketidakadilan dan pasokan yang tidak mencukupi. Hal ini terjadi akibat kondisi yang sangat kompleks dipicu kecenderungan ketersediaan sumber daya air yang makin terbatas dikarenakan jumlah pemakai yang makin bertambah, penggunaan air untuk peruntukan baru, dan kondisi saluran yang makin buruk. Di Klaten, permasalahan menurunnya ketersediaan air telah menyebabkan musim tanam ketiga tidak dapat dilaksanakan apabila tidak ada pemberian irigasi suplementer dari air tanah. Secara umum potensi ketersediaan air di Kabupaten Klaten relatif melimpah. Terdapat banyak sumber mata air dan sungai dengan debit yang mengalir sepanjang tahun. Untuk memanfaatkan potensi air yang melimpah tersebut, Pemda Kabupaten Klaten melalui sub Dinas Pengairan telah membangun lebih kurang 400 bendung irigasi, baik bendung yang berasal dari sumber sungai maupun mata air. Adanya kecenderungan kenaikan penggunaan air untuk kebutuhan pertanian dan domestik pada satu sisi dan adanya kecenderungan penurunan ketersediaan air akibat kerusakan lingkungan pada sisi lain, menyebabkan adanya potensi konflik kepentingan antara para pemangku kepentingan yang terkait dengan pemanfaatan air di Klaten. Mengingat bahwa masalah perselisihan antar para pemakai air di Kabupaten Klaten makin sering terjadi dan makin kompleks, CIRAD dan Balitklimat mengusulkan dan mengambil inisiatif untuk mengembangkan suatu pendekatan partisipatif ditujukan untuk seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) pada kesepakatan langkah menuju pengelolaan sumberdaya air di Klaten

Page 24: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

42

ABSTRACT

In developing countries such as Indonesia, competition, allocation, and distribution of water use for agriculture, industry and domestic uses have been significantly increased year by year, complicated and very easy to lead a conflict. The uncontrol of an increase of population and industrial sectors, while available water decreased are factors affecting those problems. This happened due to a very complex condition triggered trend of water resource availability is more limited due to a growing number of users, the use of water for the new water user, and channel conditions are getting worse. In the district of Klaten, decreasing water availability issues have caused the third growing season can not be implemented if there is no provision of supplementary irrigation from groundwater. Due to the increasing disputes between water users in Klaten become more frequent and more complex, CIRAD and Balitklimat propose and take the initiative to develop a participatory approach to all stakeholders (stakeholders) to manage water resources in an integrated and comprehensive Klaten. In connection with this diagnosis has been made and the variability of water resources by multidisciplinary team to identify potential water resources and water irrigation discharge, socio-economic survey, water management historical and cultural survey, and the development of water management model. This study is a review aspects of integrated water resources management hydrology. The method consist of the analysis of the water balance between the need and the availability and analysis of trends in water availability. Diagnosis of the condition of water availability in the Klaten watershed implemented by a combination of stakeholders perceptions, analysis and processing of secondary data from the Department of Agriculture and Irrigation Office of Klaten Regency, as well as rapid field observations to validate the consistency of data and information. The results showed that the pattern and distribution of rainfall in the upstream, midstream and downstream of easternpart of Klaten Regency have not a significant differences. Based on the analysis of the water balance of the 50 irrigated ara located in the easternpart of Klaten Regency showed that the irrigation area in the upstream (8 %), middle stream (47%) and downstream (100 %), or equall with 42% in hole area were bad condition, so that the supply of irrigation was not sufficient for crops. Observation of daily discharge data and hydrology models result of the Dengkeng watershed indicating a decrease of water production volume by 58-59% during the period of 2002 - 2005. Additionally, during the period of 1998-2005 there were an indication of tendency of a decrease or increase in minimum irrigation discharge at the dam rivers and springs water of the 50 irrigated area in Klaten Regency. Key words: intergrated water resources management, hidrology aspect

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

23

PENDAHULUAN

Air merupakan salah satu faktor pembatas dalam pengembangan pertanian lahan sawah terutama untuk lahan-lahan sawah tadah hujan. Air bagi tanaman merupakan faktor utama yang menentukan tingkat produktivitas, intensitas tanam dan luas tanam potensial lahan pertanian. Usahatani pada lahan sawah tadah hujan di Indonesia sebagian besar mempunyai indek pertanaman (IP) 100, artinya lahan sawah tersebut hanya dibudidayakan 1 kali dalam satu tahun. Dengan luas penyebaran mencapai 8,5 juta ha, sawah tadah hujan berpeluang menjadi sentra produksi beras nasional kedua setelah lahan sawah irigasi apabila dapat dioptimalkan pemanfaatannya dengan peningkatan indeks pertanaman. Di lain pihak lahan sawah irigasi yang terkonsentrasi di Pulau Jawa pada umumnya mempunyai IP 200 dan hanya di beberapa daerah irigasi teknis dengan IP 300.

Jawa Barat memiliki lahan subur yang berasal dari endapan vulkanis serta ban-yak aliran sungai. Hal ini menyebabkan sebagian besar dari luas tanahnya cocok digunakan untuk pertanian, sehingga Provinsi Jawa Barat ditetapkan sebagai sentra produksi beras dan lumbung pangan nasional. Luas lahan sawah di Jawa Barat adalah 975,489.01 Ha dengan jenis irigasi teknis 86%, semi teknis 12%, sederhana 0.5% dan tadah hujan 0.01%. Lahan sawah sebagian besar tersebar di sepanjang pantai utara Jawa Barat. Wilayah yang memiliki luas sawah terbesar dalam urutan 3 besar berturut-turut adalah Kabupaten Indramayu, Karawang dan Subang dengan luas sawah lebih dari 100.000 Ha. Luas sawah berdasarkan jenis irigasi Provinsi Jawa Barat selengkapnya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Luas sawah berdasarkan jenis irigasi di propinsi Jawa Barat Jenis Irigasi Luas Sawah (ha)

Sederhana 4,896.42 Semi teknis 126,095.64 Tadah hujan 148.34 Teknis 844,348.57

Pada umumnya musim tanam di Jawa Barat adalah 2 kali tanam untuk lahan sawah dengan irigasi teknis dan 1 kali tanam untuk lahan sawah semi teknis dan seder-hana. Lahan sawah dengan realisasi tanam 3 kali terdapat di sebagian wilayah Kabupat-en Bandung, Cianjur dan Sukabumi. Waktu tanam MT 1 dimulai pada Bulan Oktober sedangkan MT 2 dimulai pada Bulan Pebruari.

Ditinjau dari segi ketersediaan airnya, upaya peningkatan IP pada lahan sawah tadah hujan dan lahan beririgasi harus mengacu pada distribusi pola curah hujan tahunan setempat, serta ketersediaan air pada saluran irigasi dan dari sumber alternatif lainnya seperti air tanah. Berkaitan dengan hal tersebut, maka diperlukan langkah identifikasi dan analisis neraca ketersediaan kebutuhan air pada lahan sawah tadah hujan dan lahan sawah irigasi. Informasi yang dihasilkan selanjutnya dapat dimanfatkan untuk menganalisis dan mendeliniasi wilayah-wilayah pertanian yang memiliki peluang ditingkatkan indeks pertanamannya.

Page 25: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

24

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan selama periode Mei – Desember 2009, berlokasi di lahan pertanian tadah hujan dan lahan pertanian beririgasi di Pulau Jawa.

Bahan dan Alat Penelitian Bahan penelitian yang digunakan : Peta Rupa Bumi Indonesia sekala 1:25.000, Citra Satelit Landsat TM, peta lahan sawah, data pola tanam, data rencana dan realisasi tanam padi rendeng dan gadu, data hujan dan iklim, data debit saluran, data infrastruktur bendungan, saluran induk, dan lain lain. Alat penelitian yang digunakan : Perangkat lunak SIG, plotter, digitizer, komputer dan alat-alat tulis.

Metode Analisis Identifikasi Potensi Ketersediaan Air Permukaan dan Air Tanah Potensi air permukaan direpresentasikan oleh curah hujan, aliran sungai serta debit bendung irigasi. Potensi air permukaan dari curah hujan dianalisis berdasarkan data pengamatan stasiun hujan di Jawa Barat, sedangkan potensi air pemukaan dari sumber sungai dan bendung irigasi diidentifikasi dari data debit sungai yang terekam oleh stasiun pengukur debit serta data bendung irigasi. Untuk menggambarkan fluktuasi aliran pada sungai yang tidak memiliki data pengamatan debit, maka model hidrologi GR4J (Perrin, 2000) akan diaplikasikan untuk mensimulasi debit harian. Model ini juga digunakan untuk mensimulasi debit selama beberapa tahun sehingga debit maksimum dan minimum dapat ditetapkan berdasarkan analisis peluang menurut metode Weilbull. Ketersediaan air tanah dianalisis berdasarkan informasi sebaran cekungan air tanah di pulau Jawa yang telah

diidentifikasi oleh Pusat Lingkungan Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral.

Analisis Neraca Ketersediaan - Kebutuhan Air Lahan Sawah Analisis neraca ketersediaan-kebutuhan air lahan sawah dihitung berdasarkan neraca antara ketersediaan air dari bendung irigasi serta curah hujan dan kebutuhan irigasinya. Kebutuhan irigasi terdiri dari kebutuhan tanaman, kebutuhan air untuk pengolahan tanah dan kehilangan air karena perkolasi. Analisis kebutuhan tanaman dilakukan berdasarkan estimasi kebutuhan air tanaman menurut Metode FAO (Doorenbos. J. dan A.H. Kassam, 1979). Kebutuhan air tanaman dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut:

ETtan = Kc x ETo dimana : ETtan : evapotranspirasi tanaman ETo : evapotranspirasi referensi Kc : koefisien tanaman Untuk menghitung evapotranspirasi tanaman, dilakukan beberapa tahapan : mengidentifikasi tahap pertumbuhan

tanaman, menentukan lama setiap periode pertumbuhan dan memilih Kc yang sesuai dengan periode pertumbuhan.

Menghitung Kc pada pertengahan periode pertumbuhan berdasarkan kondisi ikl im harian dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

Kc mid (Tab) : nilai Kc pada pertengahan

per iode per tumbuhan berdasarkan tabel

u2 : rata-rata harian kecepatan angin selama pertengahan periode pertumbuhan tanaman (m/s)

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

41

PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR TERPADU DI KABUPATEN KLATEN

“TINJAUAN ASPEK HIDROLOGI”

Hendri Sosiawan dan Budi Kartiwa

ABSTRAK

Kompetisi, alokasi dan distribusi penggunaan air untuk keperluan pertanian, industri dan domestik di negara berkembang seperti Indonesia dari tahun ketahun semakin tajam, rumit dan penuh konflik. Kondisi ini diperburuk oleh laju pertumbuhan penduduk dan sektor industri yang semakin tidak terkendali, sementara ketersediaan air yang dapat dan layak digunakan semakin menurun. Hal ini terjadi akibat kondisi yang sangat kompleks dipicu kecenderungan ketersediaan sumber daya air yang makin terbatas dikarenakan jumlah pemakai yang makin bertambah, penggunaan air untuk peruntukan baru, dan kondisi saluran yang makin buruk. Di wilayah Kabupaten Klaten, permasalahan menurunnya ketersediaan air telah menyebabkan musim tanam ketiga tidak dapat dilaksanakan apabila tidak ada pemberian irigasi suplementer dari air tanah. Mengingat bahwa masalah perselisihan antar para pemakai air di Kabupaten Klaten makin sering terjadi dan makin kompleks, CIRAD dan Balitklimat mengusulkan dan mengambil inisiatif untuk mengembangkan suatu pendekatan partisipatif untuk seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) menuju pengelolaan sumberdaya air di Klaten secara terpadu dan menyeluruh. Berkaitan dengan hal tersebut telah dilakukan diagnosa keragaan sumberdaya air oleh tim multidisiplin untuk melakukan identifikasi potensi sumberdaya air, debit irigasi, survey sosial dan ekonomi pertanian, survey sejarah dan budaya pengelolaan air di Klaten, serta pengembangan model pengelolaan air. Penelitian ini merupakan tinjauan aspek hidrologi pengelolaan sumberdaya air terpadu di Kabupaten Klaten. Metode yang digunakan terdiri dari analisis neraca air antara kebutuhan dan ketersediaan dan analisis trend ketersediaan air. Diagnosa kondisi ketersediaan air di Derah Aliran Sungai (DAS) wilayah Kabupaten Klaten dilaksanakan berdasarkan kombinasi antara informasi persepsi para pemangku kepentingan, analisis dan pengolahan data skunder dari Dinas Pertanian dan Dinas Pengairan, serta observasi lapangan secara cepat untuk memvalidasi konsistensi data dan informasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola dan distribusi curah hujan di hulu, tengah dan hilir wilayah Timur Kabupaten Klaten tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Berdasarkan analisis neraca kebutuhan-ketersediaan air pada 50 daerah irigasi di wilayah Timur Kabupaten Klaten menunjukkan bahwa 8% daerah irigasi di bagian hulu, 47 % di bagian tengah dan 100 % di bagian hilir, atau 42 % daerah irigasi secara total dalam kondisi tidak baik, yang berarti bahwa pasokan irigasi tidak mencukupi kebutuhan irigasi tanaman. Pengamatan data debit harian dan aplikasi model hidrologi pada Daerah Aliran Sungai Dengkeng, mengindikasikan penurunan produksi air sebesar 58-59 %, antara tahun 2002 dan 2005. Terdapat kecenderungan penurunan atau peningkatan debit irigasi minimum pada bendung sungai dan mata air dari 50 daerah irigasi selama periode 1998-2005.

Kata Kunci: pengelolaan sumberdaya air terpadu, aspek hidrologi

Page 26: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

40

KESIMPULAN DAN SARAN 1. Model Dawdy-O’Donnel merupakan model yang sederhana yang sebenarnya sulit untuk

menggambarkan proses hidrologi, erosi, dan sedimentasi. Namun demikian aplikasi model ini memungkinkan untuk dapat merekonstruksi debit suatu DAS yang tidak memiliki alat pengukur duga muka air.

2. Hasil simulasi menunjukkan bahwa bentuk umum kurva debit simulasi DAS Ciliwung yang mempunyai luas DAS 172,6 km2 mempunyai karakteristik yang sama dengan kurva debit pengukuran. Selain itu debit puncak dan waktu responnya serupa.

3. Dari hasil simulasi juga diperoleh nilai akurasi model berdasarkan kriteria Nash dan Sut-cliffe (koefisien efisiensi) sebesar 0.7011. Hal ini menunjukkan bahwa parameter-parameter dalam model Dawdy-O’Donnel cukup layak digunakan untuk simulasi debit.

4. Karena model Dawdy-O’Donnel sangat sederhana, maka disarankan untuk menggunakan model terdistribusi yang dapat menggambarkan proses hidrologi secara lebih akurat dibandingkan dengan model sederhana sehingga dapat lebih meningkatkan akurasi simu-lasi debit.

DAFTAR PUSTAKA Beasley, D.B., and L.F.Huggins. 1980. ANSWERS (Areal Nonpoint Sources Wtaershed Envi-

ronment Response Simulation). User’s Manual.U.S. Environmental Protection Agency Region V. Agric.Expt. Stat. Purdue Univ. U.S. Dept Of Agric. Indianapolis. Indiana. 54p.

Candra, S.I. 2000. Pembangkitan Data Debit dengan Menggunakan Model Dawdy-O’Donnel (Studi Kasus di S. Cisangkuy-Kamasan). Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB. Bogor.

Dooge, J.I. 1973. Linear Theory of Hydrologic Systems. Technical Bulletin No. 1468. Agricul-tural Research Service, United States Department of Agriculture, Washington, D.C. 327p.

Guluda, D.R., 1996. Penggunaan model AGNPS untuk memprediksi aliran permukaan, sedi-men, dan hara N, P dan COD di daerah tangkapan Citere, sub DAS Citarik, Pan-galengan (tesis Magister). Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana.

Ilyas, M.A. 1996. Pengembangan Model Hidrologi dengan Sistem Parameter Terdistribusi pada DAS. Makalah Pertemuan Ilmiah Tahunan XIII HATHI, Medan.

Irianto, G. 1996. Keragaman spasial hujan dan pengaruhnya terhadap simulasi transfer hu-jan-aliran permukaan. Makalah Kongres MKTI III, Malang 4-6 Desember 1996. Masyarakat Konservasi Tanah Indonesia, Cabang Jawa Timur.

Lo, K.F.A. 1995. Erosion assessment of large watersheds in Taiwan. Journal of Soil and Wa-ter Conservation. 50 (2): 180-183.

Nash, J. E., Sutcliffe, J. V. 1970. River flow forecasting through conceptual models, 1, a dis-cussion of principles. J. Hydrol. 10 (1), 282-290.

Pawitan, H. 2002. Teknik Kalman Filter untuk prediksi dan sistem peringatan dini cuaca dan iklim. Makalah disajikan dalam Temu Ilmiah Prediksi Cuaca dan Iklim Nasional III. Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim-LAPAN, Bandung 31 Juli 2002.

World Meteorological Organization. 1986. WMO Region III/IV Training Seminar on Climate Data Management and User Services, 22-26 September 1986 in Barbadosa and 29 September-3 October 1986 in Panama. World Climate Data Programme-I. No.227 84p.

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

25

RHmin : rata-rata harian kelembaban relatif minimum

h : tinggi tanaman selama pertengahan periode pertumbuhan tanaman. (m)

Menentukan kurva koefisen tanaman yang dapat menentukan nilai Kc untuk setiap periode pertumbuhan.

Kebutuhan air untuk pengolahan dan penggenangan lahan dihitung berdasarkan rekomendasi PU sedangkan perkolasi ditetapkan berdasarkan survei lapang. Untuk menghitung kebutuhan irigasi lahan sawah dihitung dengan persamaan berikut (Allen et al, 1998) :

dimana, Ii : kebutuhan irigasi pada hari ke-i (mm) Dr,i : penurunan ketersediaan air pada zona perakaran pada hari ke-i (mm) Dr,i-1 : ketersediaan air pada zona perakaran pada hari ke-(i-1)

(mm) Pi : curah hujan pada hari ke-i (mm) ROi : aliran permukaan pada hari ke-i (mm) CRi : kenaikan kapilaritas dari muka air tanah (mm), ETc,i : evapotranspirasi tanaman pada hari ke-i (mm), DPi : perkolasi (mm)

Data masukan yang diperlukan dalam perhitungan analisis neraca ketersediaan kebutuhan air lahan sawah meliputi: peta dan luas daerah irigasi (DI), debit irigasi dari bendung irigasi

(harian atau 15 harian), pola tanam tahunan, data hujan dan evapotranspirasi (ETP)

harian.

Penyusunan Peta Neraca Ketersediaan Kebutuhan Air Lahan Sawah Peta Neraca Ketersediaan Kebu-tuhan Air Lahan Sawah disusun berdasar-kan hasil integrasi antara informasi spa-sial berupa Peta Sebaran Sawah Pulau Jawa skala 1:250.000 dan Peta Sebaran Air Tanah Pulau Jawa skala 1:500.000 dengan informasi tabular hasil Analisis Neraca Ketersediaan-Kebutuhan Air Lahan Sawah pada unit satuan Daerah Irigasi (D.I) atau poligon sawah. Peta se-baran sawah Pulau Jawa skala 1:250.000 diperoleh dari hasil analisis citra satelit Landsat TM tahun 2003 yang dilakukan oleh Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Sedangkan Peta Sebaran Air Tanah Pulau Jawa skala 1:500.000 diana-lisis oleh Pusat Lingkungan Geologi, Ba-dan Geologi, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. Peta Neraca Ketersediaan-Kebutuhan Air Lahan Sawah merepresen-tasikan potensi Ketersediaan air untuk pengembangan lahan sawah yang ditentu-kan oleh potensi ketersediaan air tanah serta jumlah defisit neraca ketersediaan-kebutuhan air tengah bulanan. Defisit neraca ketersediaan-kebutuhan air lahan sawah dihitung untuk setiap kondisi indeks pertanaman aktual berdasarkan skenario 3 kali musim tanam. Tabel 2 menunjukkan kriteria status ketersediaan air berdasar-kan potensi air tanah dan jumlah defisit neraca ketersediaan-kebutuhan air lahan sawah. Tabel 2. Kriteria status ketersediaan air

berdasarkan potensi air tanah dan jumlah defisit neraca keter-sediaan-kebutuhan air lahan

Page 27: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

26

Neraca ketersediaan-kebutuhan air lahan sawah dihitung berdasarkan analisis ketersediaan air dari curah hujan dan debit irigasi serta kebutuhan air tanaman padi untuk proses evapotranspirasi serta kebutuhan pengolahan tanah dan penggenangan. Neraca air dihitung berdasarkan interval tengah bulanan. Hasil dari analisisis neraca air lahan sawah kemudian disajikan dalam bentuk informasi jumlah defisit neraca ketersediaan-kebutuhan air tengah bulanan selama MT 2 dan MT 3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi Ketersediaan Air Pulau Jawa Ketersediaan sumberdaya air sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim, topografi, jenis tanah, tutupan lahan serta struktur geologi suatu daerah. Ketersediaan sumberdaya air dapat berasal dari curah hujan, air permukaan, serta air tanah. Curah Hujan

Berdasarkan curah hujan, Jawa Barat terbagi menjadi 8 pola tipe hujan dengan kisaran jumlah curah hujan per-tahun antara 1700 – 4000 mm. Wilayah pantura barat Jawa Barat didominasi pola hujan tipe II dengan jumlah curah hujan tahunan antara 1700 – 2000 mm. Pola II meliputi Kabupaten Indramayu (tipe II A), Bekasi, Kota Bekasi dan Subang (Tipe II B), Kota Bandung (tipe II C). Tipe curah hujan III dengan kisaran jumlah curah hujan tahunan antara 2000 – 3000 mm. Pola hujan tipe III A terdapat di Karawang dan Kota Banjar, tipe III B meliputi Bandung, Bogor, Ciamis, Cianjur, Kota Cimahi, Kota Depok dan Kota Sukabumi, tipe III C, meliputi Kabupaten Cirebon, Kuningan, Majalengka, Sumedang. Kabupaten Garut, Kota Tasikmalaya, Purwakarta, Sukabumi dan Tasikmalaya memiliki pola IV C dengan jumlah curah hujan tahunan rata-rata sebesar 3500 mm.

Kota Bogor memiliki pola hujan tipe IV C dengan jumlah curah hujan tahunan rata-rata sebesar 3800 mm. Air Permukaan Berdasarkan potensinya sumber daya airnya, Provinsi Jawa Barat terbagi menjadi 7 satuan wilayah sungai (SWS) yaitu Ciujung-Ciliman, Cisadane-Ciliwung, Cisadeg-Cikuningan, Citarum, Cimanuk, Ciwulan dan Citanduy. Wilayah-wilayah sungai tersebut dikelola oleh 5 Balai PSDA yang ada di Provinsi Jawa Barat dengan wilayah kerja seperti disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Balai Pengelolaan Sumber Daya

Air di Jawa Barat

Berdasarkan luas DAS, diketahui bahwa 3 urutan DAS terluas di Jawa Barat adalah DAS Citarum (6,080. 8 km2), DAS Cimanuk (3,531.2 km2), DAS Citanduy (2,615.2 km2). Ketiga DAS ini masuk ke dalam kategori DAS prioritas I yaitu DAS yang memiliki tingkat kerusakan tertinggi. Sebaran SWS dan sungai utama di Jawa Barat disajikan pada Gambar 1. Berdasarkan pola debit harian selama setahun diketahui bahwa peningkatan debit terjadi pada akhir Nopember, dan pada akhir bulan Mei terjadi penurunan. Periode Juni – Akhir Nopember debit sungai relatif konstan dengan volume baseflow antara 5 – 10 m3/detik. Debit maksimum terjadi pada tanggal 20 April 2006, sebesar 348 m3/detik sedangkan debit minimum terjadi pada tanggal 11 Oktober 2006 sebesar 4.79 m3/detik. Fluktuasi debit Sungai Citarum tahun 2006, disajikan pada Gambar 2.

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

39

Gambar 3 menunjukkan bahwa debit hasil simulasi menggunakan model Dawdy-O’Donnel hampir menyerupai pola debit hasil pengukuran, hal ini terlihat dari kurva hidro-graf yang hampir berimpit. Adapun hasil kalibrasi model menghasilkan parameter-parameter yang disajikan pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Nilai parameter-parameter model hasil kalibrasi

Dengan menggunakan parameter-parameter hasil kalibrasi, maka selanjutnya digunakan untuk menghitung debit aliran dengan masukan data hujan dan ETP.

Pembahasan DAS Ciliwung secara administrasi termasuk dalam wilayah Kabupaten Bogor dan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, dan berada pada ketinggian antara 0 – 3002 m dari permukaan laut. Luas DAS Ciliwung yang membentang dari Puncak sampai Jakarta adalah 172.600 ha terbagi menjadi sub DAS Ciliwung Hulu dan sub DAS Ciliwung Hilir. Secara geografis sub DAS Ciliwung Hulu berada pada 6002’ - 6055’ LS dan 106035’ - 107000’ BT. Hasil simulasi debit menunjukkan bahwa meskipun terjadi pergeseran bentuk kurva debit simulasi dibandingkan dengan kurva pengukuran tetapi pada umumnya hidro-graf yang dihasilkan mempunyai karakteristiknya sama, bentuk umum hidrografnya identik, debit puncak serta waktu responnya serupa. Dengan demikian model simulasi yang dipergunakan dapat dikatakan mampu memodelkan suatu sistem transfer air di dalam DAS dengan baik. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kurva naik (rising curve) debit simulasi mendahului kurva hasil pengukuran dengan pola yang serupa (Gambar 3). Dengan jumlah curah hujan 160 mm menunjukkan debit puncak sebesar 42,1 m3/detik dan 37,2 m3/detik masing-masing untuk debit simulasi dan debit pengukuran. Pem-bandingan debit simulasi dan pengukuran menurut Uji Nash dan Sutcliffe menunjukkan nilai 0,7011 (70,11%). Hal ini menunjukkan bahwa model Dawdy-O’Donnel dapat digunakan untuk mensimulasi debit. Model Dawdy-O’Donnel merupakan model persamaan matematik yang dikem-bangkan dengan menyusun parameter model dengan cara optimasi. Model ini dapat digunakan untuk mensimulasi kurva debit sebuah sungai dengan hanya memerlukan masukan data hujan harian dan evapotranspirasi potensial (ETP) harian. Dengan mengetahui model simulasi Dawdy-O’Donnel, kita dapat membuat prakiraan kurva debit dengan berbagai alternatif masukan data hujan harian dan ETP tanpa perlu mengukur debit secara langsung. Hal ini akan bermanfaat terutama untuk mengetahui debit di suatu sungai yang tidak memiliki peralatan pengukur duga muka air.

Page 28: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

38

Tabel 4. Data debit (m3/det) stasiun pengamat duga muka air Katulampa pada tahun 2002

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Aplikasi Model Dawdy-O’Donnel untuk Mensimulasi Debit Untuk mensimulasi debit, maka model Dawdy-O’Donnel harus divalidasi dengan membandingkan antara debit simulasi dengan debit pengukuran sebenarnya. Pada Gambar 3 disajikan perbandingan antara debit simulasi dan debit hasil pengukuran di DAS Ciliwung. Suatu model hidrologi yang handal setelah melalui tahap validasi memiliki koefisien Nash dan Sutcliffe mendekati 1. Selain mempunyai nilai mendekati satu, kehandalan model dapat dilihat dari grafik hidrograf hasil simulasi dan hasil pengukuran mempunyai pola yang sama atau hampir sama Nash dan Sutcliffe (1970). Pada validasi debit di DAS Ciliwung diperoleh koefisien Nash dan Sutcliffe (F) (koefisien efisiensi) sebesar 70,11% atau 0,7011 yang merupakan koefisien efisiensi model. Pada Tabel Lampiran 1 disajikan hasil analisis model Dawdy-O’Donnel, sedangkan hasil simulasi debit dapat dilihat pada Gambar 3.

SIMULASI DEBIT BERDASARKAN MODEL DOWDY - O'DONNELL

0

10

20

30

40

50

60

70

80

1-Jan-02

13-Jan

-02

25-Jan

-02

6-Fe

b-02

18-Feb

-02

2-Mar-02

14-M

ar-02

26-M

ar-02

7-Ap

r-02

19-Apr-02

1-May-02

13-M

ay-02

25-M

ay-02

6-Jun-02

18-Jun

-02

30-Jun

-02

12-Jul-02

24-Jul-02

5-Au

g-02

17-Aug

-02

29-Aug

-02

10-Sep

-02

22-Sep

-02

4-Oct-02

16-Oct-02

28-Oct-02

9-Nov-02

21-Nov-02

3-Dec-02

15-Dec-02

27-Dec-02

Waktu (hari)

Deb

it (m

3 /s)

0

50

100

150

200

250

300

Curah H

ujan (mm)

Curah Hujan (mm)Debit Pengukuran (m3/s)Debit Simulasi (m3/s)

Gambar 3. Kurva hidrograf hasil simulasi dan pengukuran debit DAS Ciliwung Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011

Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

27

Gambar 1. Sebaran SWS di Provinsi Jawa Barat (Sumber: Biro Irigasi dan Pengairan, Bappenas, 2006)

Gambar 2. Fluktuasi debit Sungai Citarum tahun 2006 Potensi Air Tanah

Sebaran wilayah air tanah tinggi dan sedang terdapat di wilayah pantai utara Jawa Barat meliputi Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu, Cirebon dan Kota Cirebon. Sebagian besar wilayah Kabupaten Bogor dan Sukabumi memiliki potensi air tanah langka. Daerah dengan potensi air tanah

rendah terdapat di sepanjang pantai selatan Jawa Barat meliputi Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis. Kabupaten dan Kota Bandung memiliki potensi air tanah yang tinggi, demikian pula wilayah utara Kabupaten Garut, Tasikmalaya dan Ciamis. Peta potensi air tanah Provinsi Jawa Barat disajikan pada Gambar 3

0

50

100

150

200

250

300

350

400

1-Jan 31-Jan 2-Mar 1-Apr 1-May 31-May 30-Jun 30-Jul 29-Aug 28-Sep 28-Oct 27-Nov 27-Dec

debit (

m3 /d

etik)

Sumber : Balitklimat dan PJT II, 2004 (dimodifikasi)

Gambar 3. Peta Potensi Air Tanah Provinsi Jawa Barat

Page 29: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

28

Kebutuhan Air Lahan Sawah Kebutuhan air untuk pertanian dihitung berdasarkan luas lahan yang

digunakan untuk budidaya pertanian. Kebutuhan air lahan sawah rata-rata setiap musim (m3/musim) dihitung berdasarkan kebutuhan air padi sawah dikalikan luas lahan sawah di setiap kabupaten. Kebutuhan air padi sawah mengacu kepada standar kebutuhan air tanaman padi sawah per musim (Departemen Pekerjaan Umum) yaitu sebesar 7867 m3/musim/ha pada MH. 8556 m3/musim/ha pada MK I. dan 8603 m3/musim/ha pada MK II.

Kebutuhan air lahan sawah di Jawa Barat bervariasi untuk setiap musimnya. Kebutuhan air terendah terjadi pada MT 1 yaitu sebesar 7,674,171,734.86 m3, sedangkan untuk MT 2 dan MT 3 kebutuhan air berturut-turut sebesar 8,346,283,635.88 m3 dan 8,392,131,617.52 m3. Kebutuhan air lahan sawah tertinggi terdapat di Kabupaten Indramayu, Karawang dan Subang, sementara itu kebutuhan air terendah terdapat di Kota Cimahi, Cirebon dan Depok. Rincian kebutuhan air permusim per kabupaten disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Luas sawah dan Kebutuhan airnya pada setiap musim tanam di setiap Kabupaten di Provinsi Jawa Barat

Neraca Ketersediaan-Kebutuhan Air Lahan Sawah Berdasarkan skenario analisis neraca ketersediaan-kebutuhan air dengan tiga

kali tanam setahun diketahui bahwa di Provinsi Jawa Barat terdapat 6 golongan defisit neraca ketersediaan-kebutuhan air. Wilayah dengan golongan status ketersediaan air terendah dengan defisit neraca air berkisar antara 9 – 16 tengah bulanan berada di lahan sawah irigasi sederhana dan semi teknis. Pada wilayah pantai utara Jawa Barat, status defisit neraca air berkisar antara 3 – 8 tengah bulanan. Wilayah yang memiliki status defisit neraca air terendah terdapat di sebagian kabupaten Bandung, Cianjur dan Suka-bumi. Pada wilayah ini realisasi tanam dilakukan 3 kali. Sebaran neraca ketersediaan-kebutuhan air lahan sawah di Jawa Barat disajikan pada Gambar 4.

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

37

Data Evapotranspirasi Potensial (ETP) Perhitungan ETP dilakukan dengan menggunakan rumus Penman-Monteith menggunakan masukan data iklim (radiasi matahari, suhu udara, kelembaban, kecepatan angin, dan tekanan udara. Data yang digunakan diperoleh dari data iklim stasiun Gunung Mas tahun 2002 (Tabel 3). Tabel 3. Data ETP (mm) stasiun iklim Gunung Mas pada tahun 2002

Data Debit Debit merupakan volume air yang mengalir melalui suatu irisan melintang dalam satuan waktu. Stasiun hidrometri berkaitan dengan stasiun dimana pengukuran air dil-akukan. Volume debit pada suatu irisan tertentu tersebut merupakan hasil perkalian ke-cepatan rata-rata aliran dan luas irisan melintang saluran. Data debit yang digunakan diperoleh dari Direktorat Sumber Daya Air Departemen Kimpraswil. Data debit diperoleh dengan menggunakan alat duga muka air otomatis (AWLR/Automatic Water Level Recorder) yang dapat merekam besarnya tinggi muka air yang dipasang di stasiun pengamat Katulampa (Tabel 4). Tabel 4. Data debit (m3/det) stasiun pengamat duga muka air Katulampa pada tahun 2002

Page 30: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

36 Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011

Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

29

Berdasarkan perhitungan neraca ketersediaan air diketahui bahwa untuk golon-gan 2, 4 dan 6 memiliki potensi peningkatan IP berturut-turut menjadi IP 200, IP 300 dan IP 400, sementara itu golongan 1, 3 dan 5 tidak dapat ditingkatkan IP nya. Wilayah yang berpotensi untuk ditingkatkan IPnya menjadi IP 400 seluas 14.029,91 Ha. adalah di seba-gian Kabupaten Sukabumi, Cianjur dan Bandung. Wilayah yang berpotensi untuk pening-katan IP 400 di Kabupaten Bandung dan Cianjur merupakan wilayah yang memiliki po-tensi air tanah yang tinggi, sementara itu di Kabupaten Sukabumi walaupun daerah terse-but memiliki potensi air tanah yang rendah, namun wilayah tersebut termasuk kedalam pola curah hujan IV C, dengan jumlah curah hujan 3500 mm pertahun dan merupakan sawah dengan jenis irigasi teknis. Luas sawah per golongan status ketersediaan air dan luas sawah per golongan status ketersediaan air di Provinsi Jawa Barat disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Luas sawah berdasarkan golongan defisit neraca ketersediaan-kebutuhan air lahan sawah di Provinsi Jawa Barat

Golongan Potensi Air Tanah Jumlah Defisit Neraca

Ketersediaan-Kebutuhan Air Tengah Bulanan

Luas Sawah (Ha)

1 Rendah 12-16 81,960.83 2 Tinggi 9-11 12,886.88 3 Rendah 5-8 566,928.53 4 Tinggi 3-4 282,726.71 5 Rendah 1-2 12,659.58 6 Tinggi 0 14,029.91

Gambar 4. Peta Neraca Ketersediaan-Kebutuhan Air Lahan Sawah Provinsi Jawa Barat

Page 31: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

30

KESIMPULAN

Berdasarkan skenario analisis neraca ketersediaan-kebutuhan air dan status defisit diketahui bahwa di Provinsi Jawa Barat total lahan sawah dengan potensi 2 kali tanam padi sawah dalam setahun mendominasi 58% wilayah. Selanjutnya lahan yang berpeluang untuk penanaman padi sawah 3 kali dalam setahun sebanyak 29%. Lahan kering di Jawa Barat pada umumnya hanya dapat ditanami padi di musim hujan sebanyak 1 kali. Wilayah yang berpotensi untuk ditingkatkan IPnya menjadi IP 400 seluas 14.029,91 Ha adalah di sebagian Kabupaten Sukabumi, Cianjur dan Bandung.

Hasil dari analisis neraca ketersediaan air ini dapat dijadikan pertimbangan untuk pengembangan lahan pertanian melalui peningkatan indeks pertanaman.

DAFTAR PUSTAKA

Allen. G Richard. Luis S. Pereira. Dirk Raes and Martin Smith. 1998. Crop Evapotranspiration Guidelines for computing crop water requirements. Irigation and Drainage Paper 56.FAO.Rome. 301 p.

Balitklimat dan PJT II. 2004. Penyusunan Decision Support System Untuk Produksi Air Berkelanjutan di SWS Citarum. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi dan Perum Jasa Tirta II.

Biro Pengairan dan Irigasi Bappenas. 2006. Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa.

Doorenbos. J. and A.H. Kassam. 1979. Yield Response to Water. FAO Irrigation and Drainage Paper no 33. 193p

Perrin, C. 2000. Vers une amelioration d’un modele global pluie-debit au travers d’une approche comparative. Doctorat Thesis, Institut national polytechnique de Grenoble, Grenoble, 291pp.

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

35

Dari setiap selang waktu (interval), volume di dalam tampungan R nilainya terletak antara 0 dan R* (parameter ke-1). Hujan P ditambahkan dengan R, dan dikurangi Er jika ada. Akumulasi infiltrasi F dihitung dengan persamaan Horton dengan parameter fo, fc, dan K yang merupakan tiga parameter dari model ini. Untuk selang waktu berikutnya, F potensial digunakan sebagai perhitungan selanjutnya. Kemudian Q1 terjadi apabila terdapat kelebihan volume tampungan R terdhadap ambang batas R* setelah dikurangi Er dan F. Tampungan saluran S diasumsikan sebagai tampungan linear yang mempunyai tampungan konstan, Ks (parameter ke-5). Pada interval permulaan, M terletak antara 0 dan M* (parameter ke-6). Apabila Er dapat memenuhi besarnya Ep dari tampungan R

maka Em = 0, tetapi jika tidak maka kekurangannya diambil dari tampungan M. Selanjutnya beberapa alternatif tergantung dari besarnya G terhadap G* (parameter ke-7), apabila pada permulaan selang waktu lebih besar dari G* dan M lebih besar dari M*, maka C = 0 apabila D ada, selain itu bersaran M disuplai oleh G dengan laju maksimum aliran kapiler Cmaks (parameter ke-8). Kemudian G diasumsikan sebagai tampungan linear yang mempunyai konstanta tampungan Kg (parameter ke-9). B kemudian menjadi fungsi dari volume G dari permulaan selang waktu, masukan G dan pengurangan C serta keluarnya Ks. Dari hasil neraca air, dengan sisa volume G akan dipergunakan untuk selang waktu berikutnya. Mekanisme operasi model Dawdy-O’Donnel disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram alir model Dawdy-O’Donnel

Kapasitas infiltrasi F merupakan integrasi dari persamaan tersebut di atas sehingga menjadi:

Evaluasi/validasi model Pengujian model Dawdy-O’Donnel dilakukan dengan membandingkan hidrograf hasil perhitungan (simulasi) dengan pengamatan/pengukuran sebenarnya, baik pola mau-pun besarnya.

Page 32: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

34

model sedemikian rupa mengikuti prinsip kontinuitas ysng selalu menjaga neraca air secara keseluruhan antara masukan dan keluaran serta perubahan dalam tampungan. Model tersebut dibangun dengan pendekatan Unit Hidrograf yang dihasilkan oleh satu kejadian hujan atau lebih. Masukan model Dawdy-O’Donnel terdiri dari hujan harian dan evapotranspirasi potensial (ETP).

Struktur Model Proses simulasi Dawdy-O’Donnel pada suatu DAS telah mengubah aliran pada permukaan tanah dan bawah tanah. Proses simulasi ini terurai dalam empat macam perbedaan tampungan yang satu dengan lain berkaitan dalam suatu sistem DAS. Adapun proses dari keempat tampungan tersebut adalah: 1. Tampungan permukaan (surface stor-

age); R Tampungan permukaan diperbesar oleh hujan P dan menjadi kering oleh evaporasi Er, infiltrasi Fm, dan apabila R melebihi suatu ambang batas ter-tentu R*, maka terjadi masukan aliran untuk saluran Q1.

2. Tampungan saluran (channel stor-age); S Tampungan saluran diperbesar oleh Q1 dan mengecil oleh limpasan per-mukaan (runoff) pada stasiun penga-mat duga muka air Qs, dan diarahkan perjalanannya (routing) dari Q1 masuk ke saluran hingga ke saluran keluar dari DAS yang diamati.

3. Tampungan kelembaban tanah (soil moisture storage); M Tampungan kelembaban tanah di-perbesar oleh infiltrasi Fm, naiknya air kapiler C, dan berkurang oleh tran-spirasi Em. Apabila M melewati ambang batas M*, maka terjadi

perkolasi D. 4. Tampungan air tanah (ground water

storage); G Tampungan air tanah diperbesar oleh perkolasi D, berkurang oleh air kapiler C dan aliran dasar pada stasiun pengamat duga muka air B. Jika G melebihi ambang batas G*, maka M disedot masuk ke tampungan G, se-dangkan C dan D sama dengan nol (tidak aktif bekerja) tetapi Em dan Fm diambil dari G.

Secara skematis proses dari keempat tampungan tadi disajikan pada Gambar 1 (Dooge, J.C.I, 1973).

Gambar 1. Skema model Dawdy-O’Donnel Keterangan: R = tampungan permukaan P = hujan S = tampungan saluran Er = evaporasi M = tampungan kelembaban tanah Em = transpirasi G = tampungan air tanah Fm = infiltrasi B = limpasan dari tampungan air tanah C = aliran kapiler G* = ambang batas dari G D = perkolasi Q1 = limpasan dari tampungan permukaan R* = ambang batas dari R Qs = limpasan dari tampungan saluran M* = ambang batas dari M

Parameter Model Input model Dawdy-O’Donnel ada-lah curah hujan dan evapotranspirasi, sedangkan keluarannya adalah aliran permukaan total (total runoff) meliputi surface runoff dan baseflow. Model ini menggunakan sembilan parameter yang mengontrol fungsi kerja model (Dooge, J.C.I, 1973). Skema dari model yang terdapat pada Gambar 1 dapat mempermudah dalam mengenali sembilan parameter tersebut.

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

31

MODEL DAWDY-O’DONNEL UNTUK REKONSTRUKSI DEBIT SUATU DAS YANG TID-AK MEMILIKI ALAT PENGUKUR DUGA MUKA AIR

(Studi Kasus di DAS Ciliwung)

Popi Rejekiningrum

ABSTRAK

Tulisan ini membahas tentang model simulasi debit Dawdy-O’Donnel terutama untuk mengetahui potensi ketersediaan air di suatu DAS (DAS Ciliwung) berdasarkan hubungan antara hujan dengan limpasan (rainfall-runoff relationship) menggunakan data hujan harian dan evapotranspirasi harian untuk membangkitkan data debit. Model Dawdy-O’Donnel merupakan model konsepsi dan deterministik menggunakan persamaan matematik yang dikembangkan dengan menyusun parameter model dengan cara optimasi. Model ini dapat digunakan untuk mensimulasi kurva debit suatu sungai dengan hanya memerlukan masukan data hujan harian dan evapotranspirasi potensial (ETP) harian. Dengan mengetahui model simulasi Dawdy-O’Donnel, maka dapat dibuat prakiraan kurva debit dengan berbagai alternatif masukan data hujan harian dan ETP tanpa perlu mengukur debit secara langsung. Hal ini akan bermanfaat terutama untuk mengetahui debit di suatu sungai yang tidak memiliki peralatan pengukur duga muka air. Dari hasil simulasi diperoleh bentuk umum kurva debit simulasi DAS Ciliwung dengan luas DAS 172,6 km2 yang mempunyai karakteristik sama dengan kurva debit pengukuran. Selain itu debit puncak dan waktu responnya serupa. Dari hasil simulasi juga diperoleh nilai akurasi model berdasarkan kriteria Nash dan Sutcliffe (koefisien efisiensi) sebesar 0.7011. Hal ini menunjukkan bahwa parameter-parameter dalam model Dawdy-O’Donnel cukup layak digunakan untuk mensimulasi debit.

PENDAHULUAN

Kebutuhan akan jenis dan kualitas data hidrologi (hujan dan debit) pada saat ini dan terlebih lagi di masa mendatang, akan semakin meningkat sejalan dengan tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan air. Kecenderungan ini terlihat dari pemanfaatan data hidrologi yang beragam/bervariasi, mulai dari prediksi debit sesaat, prediksi banjir sampai pada penetapan koefisien aliran permukaan untuk evaluasi kerusakan DAS (Irianto, 1996). Akan tetapi pengukuran debit di Indonesia menghadapi kendala jumlah dan kualitas data yang tersedia. Untuk mencapai mutu data yang memadai diperlukan suatu standar/kriteria tentang jumlah, distribusi serta spesifikasi alat yang dipasang agar data yang dihasilkan dapat mewakili keadaan yang sebenarnya. Kendala jumlah dan distribusi stasiun hujan dan debit dapat dikurangi, apabila duplikasi pemasangan alat oleh instansi yang berbeda dapat ditekan melalui peningkatan kordinasi antar instansi, baik tingkat pusat maupun daerah. Sehubungan dengan jumlah DAS yang sangat banyak di Indonesia, maka kebutuhan akan alat pengukur duga muka air semakin sulit untuk dipenuhi. Akibatnya hanya beberapa DAS dan Sub DAS tertentu (umumnya di Jawa) yang dilengkapi dengan alat pengukur duga muka air, sedangkan DAS lainnya (umumnya di luar Jawa) belum. Kondisi demikian akan mempersulit evaluasi kondisi DAS serta antisipasi risiko yang akan terjadi, karena evaluasi

Page 33: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologibalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020-01-31 · 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan

http:/

/balitk

limat.

litban

g.dep

tan.go

.id/

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 9 2012 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

32

sebagian besar DAS dilakukan secara kualitatif. Untuk itu diperlukan suatu mod-el simulasi yang dapat membangkitkan data debit di suatu DAS yang tidak mempunyai alat pengukur debit. Saat ini banyak sekali model ma-tematik dalam bentuk simulasi untuk keperluan analisis hidrologi. Simulasi mod-el hidrologi terdiri dari berbagai persamaan dan rumus yang terkait dengan proses hidrologi. Proses hidrologi tersebut mempunyai rumus dasar parameter fisik yang dapat diukur atau dihitung maupun ditentukan melalui suatu proses kalibrasi. Beberapa contoh model simulasi hidrologi disajikan pada Tabel 1 (Ilyas, 1990). Model simulasi hidrologi untuk DAS umumnya menggunakan model sederhana dan model parameter terdistribusi. Model sederhana mengubah hujan sebagai ma-sukan menjadi aliran permukaan sebagai keluaran dengan suatu konsep bahwa proses dari seluruh luas DAS yang terjadi, diasumsikan sebagai suatu titik ruang yang di dalamnya merupakan proses sua-tu kotak hitam (black box). Sedangkan model terdistribusi secara teoritis mengasumsikan bahwa DAS dibangun menjadi struktur oleh elemen-elemen ho-mogen yang luasnya cukup kecil yang setara dengan titik di dalam DAS (Beasley et al., 1980). Model-model hidrologi memer-lukan input data yang tersusun dalam sistem database yang memadai, sehingga mudah diakses apabila diperlukan. Model ANSWERS yang dikemukakan oleh Hug-gins and Monke (1977), Beasley et al. (1980) and Dillaha (1981) merupakan model yang mempelajari karakteristik DAS akibat perubahan penggunana lahan. Pada tahun 1978 laboratorium USDA-ARS (United State Department for Agriculture-Agricultural Research Service) mulai mengembangkan model CREAMS

(Chemical, Runoff, Erosion and Agricultur-al Management System). Keistimewaan utama model ini adalah simulasi terus menerus terhadap proses hidrologi, erosi dan pemindahan kimia dalam tahapan waktu harian, dengan menggunakan data iklim tanah dan kandungan bahan kimia. Keluaran model ini adalah untuk menganalisis kualitas aliran air permukaan pada lahan pertanian yang dikelola dalam berbagai sistem pengelolaan sumberdaya. Model ini kemudian melahirkan model-model lainnya seperti SWRRB (Simulation of Water Resources on Rural Basin) dan EPIC (Erosion-Productivity Impact Calcu-lator). SWWRB dikembangkan untuk men-simulasi tanggap hasil air dan sedimen terhadap penggunaan lahan, perlakuan dan sistem konservasi pada luasan skala dasar dengan kisaran dari bebrapa hektar hingga beberapa ratus km2. Sedangkan EPIC dikembangkan untuk memberikan suatu alat bantu dalam menghitung alter-natif sistem pengelolaan sumberdaya untuk memaksimalkan hasil tanaman sekaligus juga meminimalkan kerusakan sumberdaya tanah. EPIC disertai dengan pemograman linear model ekonomi, mem-berikan suatu metode kuantifikasi pengaruh iklim, penggunaan lahan, erosi tanah terhadap hasil tanaman pangan. EPIC pada dasarnya sama dengan model hidrologi CREAMS dan SWRRB hanya saja telah dilengkapi dengan model hasil tanaman pangan, erosi angin dan siklus hara (Nicks dalam WMO, 1986).

Teknik Kalman Filter merupakan model yang dipergunakan untuk prediksi dan sistem peringatan dini yang menyangkut banjir dan kekeringan dikemukakan oleh Wood an O’Connell (1985) merupakan pengembangan dari model prakiraan statistika-probabilitistik seperti auto-regressive (AR), ARMA dan ARIMA dengan menggunakan teknik re-

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 8 2011 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

33

dalam mengintegrasikan informasi/hasil pengamatan terbaru ke dalam model dan dalam pendugaan parameter model, se-hingga dapat dicapai sistem adaptif dengan efisiensi komputasi yang tinggi. Dengan metode ini dapat memprediksi cuaca sebagai peringatan dini sifat cuaca dan musim jangka pendek sampai menen-gah, dengan jangkauna waktu prakiraaan mulai dari beberapa jam, harian sampai bulanan, triwulanan dan musiman (Pawitan, 2002).

Dalam perkembangan selanjutnya telah banyak model-model hidrologi yang yang memiliki tingkat ketepatan (akurasi) yang lebih baik. IHACRES (Identification of unit Hydrographs and Component flows from Rainfalls, Evaporation and Stream-flow data) merupakan model yang dapat digunakan untuk analisis dampak peru-bahan lingkungan (seperti perubahan penggunaan lahan, iklim dll) terhadap karakteristik DAS. Output dari model ini antara lain model aliran permukaan dengan beberapa parameternya. Model ini dikembangkan berkat kerjasama Institut Hidrologi Wallingford Amerika dengan Universitas Nasional Australia di Canberra (Jakeman et al., 1990; Littlewood and Jakeman, 1994). Model-model lain seperti TOPMODEL (TOPography-based hydro-logical MODEL) yang diciptakan oleh Bev-en K, 1979, HMS model (H. Morel-Seytoux model), GR4j model (mod’ele du Genie Rural journalier ‘a 4 param’etres) dicip-takan oleh Michel (1983), Edijatno (1991), Nascimento (1995) dan Edijatno et al. (1999), GRHUM model (mod’eledu G’enierural avec simulation de l’humidite) yang diciptakan oleh Loumagne et al. (1996), merupakan model-model hidrologi yang pada umumnya banyak digunakan untuk mempelajari karakteristik DAS aki-bat pengaruh lingkungan/iklim, selayak-nya dikalibrasi di beberapa DAS yang ada

di Indonesia. Pendugaan sedimen sungai dapat dilakukan dengan menggunakan model terdistribusi AGNPS (Agricultural non Point Source Pollution). Model ini merupakan salah satu model terdistribusi yang dapat memprediksi erosi, puncak aliran per-mukaan (banjir) dan hasil sedimen yang baik (Guluda, 1996; Lo, 1995). Komponen dasar model AGNPS adalah hidrologi, erosi, transport sedimen dan hara. Mengelkamp et al. (1997) mengemukakan mengenai model SEWAB (Surface Energy and Water Balance) yang mempelajari proses-proses hidrologi yang mempengaruhi aliran permukaan dalam skala luas (ruang dan waktu). Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui potensi ketersediaan air di suatu DAS (DAS Ciliwung) berdasarkan hubungan antara hujan dengan limpasan (rainfall-runoff relationship) menggunakan data hujan harian untuk menentukan debit simulasi dengan model simulasi debit Dawdy-O’Donnel.

MODEL DAWDY-O’DONNEL Model Dawdy-O’Donnel dirancang oleh Badan U.S. Geological Survey di Menlo Park, California dan pertama kali dikenalkan pada tahun 1965. Model asli dari Dawdy-O’Donnel dibuat dengan menyusun parameter model dengan cara optimasi. Model Dawdy-O’Donnel merupakan gabungan antara konsepsi dan deterministik. Disebut konsepsi karena basisnya didasari dari beberapa konsep hidrologi, sedangkan sebagai deterministik karena masukan yang diketahui dan keluaran yang dihasilkan merupakan suatu unit berupa angka angka dalam bentuk data. Model Dawdy-O’Donnel mempunyai sifat yang dimiliki oleh karakteristik siklus hidrologi pada suatu