Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14...

48

Transcript of Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14...

Page 1: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai
Page 2: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Page 3: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

2

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Penanggung Jawab: Harmanto Redaksi Teknis: Kurmen Sudarman, Yeli Sarvina,

Nani Heryani dan Yulius Argo Baroto Redaksi Pelaksana: Eko Prasetyo dan Tuti Muliani Penerbit: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi,

Jl, Tentara Pelajar 1A, Bogor 16111, Jawa Barat, Indonesia

Telepon +62-0251-8312760 Faksimil +62-0251-8323909

PRAKATA

Buletin ini memuat makalah hasil penelitian primer ataupun review yang berkaitan dengan sumber daya iklim dan air. Makalah yang disajikan sudah melalui tahap seleksi dan telah dikoreksi Tim Redaksi, baik dari segi isi, bahasa, maupun penyajiannya. Pada edisi ini terdapat lima

makalah, yang disajikan dalam bahasa Indonesia.

Untuk memperlancar penerbitan tahun-tahun berikutnya, artikel yang dimuat tidak perlu terikat secara kronologis oleh penyajian makalah atau acara seminar, tetapi lebih ditentukan oleh

ketanggapan penulis dan kelayakan ilmiah tulisan.

Redaksi mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu memperlancar proses penerbitan. Semoga media ini bermanfaat bagi khalayak. Kritik dan saran dari pembaca selalu kami nantikan.

Redaksi

CARA MERUJUK YANG BENAR

Muchamad Wahyu Trinugroho dan Sawiyo. 2017. Rehabilitasi Sistem Drainase Rawa Siancap Desa Talang Benuang. hal 3-14. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Vol. 14. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor.

Tulisan yang dimuat adalah hasil penelitian primer maupun review yang berkaitan dengan sumber-daya iklim dan air, dan belum pernah dipublikasikan pada media cetak mana pun. Tulisan hendaknya mengikuti Pedoman Bagi Penulis (lihat halaman sampul dalam). Redaksi berhak menyunting makalah tanpa mengubah isi dan makna tulisan atau menolak penerbitan suatu makalah.

Rehabilitasi Sistem Drainase Rawa

Siancap Desa Talang Benuang.

MUCHAMAD WAHYU TRINUGROHO

dan SAWIYO ……………………………..

Efiensien Irigasi Melalui Implementasi

Irigasi Sprinkler Di Lahan Kering Pada

Tanaman Bawang Merah. SUMARNO ..

Proyeksi Curah Hujan Ekstrim dan Dam-

paknya Studi Kasus: Provinsi Banten.

YELI SARVINA …………………………..

Kalibrasi Sensor Kelembaban Udara Menggunakan Experimental Standard Deviation of Means. Tri Nandar Wihen-dar, Suciantini dan Anton Aprilyanto ..…. Peningkatan Ketahanan Air Untuk Men-ingkatkan IP Tanaman Pada Lahan Tadah Hujan dan Lahan Kering NONO SUTRISNO ……………….……………….

3

15

23

30

39

@ 2017, Balitklimat Bogor ISSN 0216-3934 Volume 14, 2017

Page 4: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

3

REHABILITASI SISTEM DRAINASE RAWA SIANCAP

DESA TALANG BENUANG

Muchamad Wahyu Trinugroho dan Sawiyo

ABSTRAK

Pengelolaan air pada lahan rawa sangat menantang, pada musim hujan terlalu banyak air sedangkan pada musim kemarau air berkurang. Dengan demikian, Diperlukan sistem drainase dengan kinerja memadai untuk menyalurkan air pada saat kelebihan. Desa Talang Benuang merupakan lahan rawa yang diandalkan penduduknya untuk budidaya pertanian terutama tanaman padi. Drainase yang tidak berjalan secara baik mempengaruhi pola tanam para petani. Kajian ini untuk mengidentifikasi masalah utama pada saluran drainase dan sekaligus mencari solusi yang tepat untuk memecahkan masalah tersebut. Dari hasil survey lapangan serta analisis peta rupa bumi maka saluran drainase . Rawa Siancap mempunyai saluran drainase yang sudah rusak sehingga perlu perbaikan sepanjang 476 m dan pembuatan saluran baru menghubungkan saluran yang telah ada ke S. Siabun (outelet) sepanjang 500 m yang pada ujung saluran dibuat pintu stoplock. Bentuk saluran yang optimum adalah trapesium dengan lebar atas 6 m, lebar bawah 4 m, diukur dari permukaan tanah saat ini 3 m. Tanggul dengan tinggi 2 m diperlukan dengan galian dengan ukuran lebar 4 m bawah dan 2 m di kanan kiri saluran.

Kata kunci : Rehabilitasi, drainase, lahan rawa

ABSTRACT

Water management in swamplands is very challenging, abundant freshwater in the rainy season while shortage water in the dry season. Adequate drainage system performance is required to manage water at the time of water excess. Talang Benuang Village swamp land is an agricultural rice crops cultivation for residents. Inadequate drainage system affects the change of cropping patterns. This study identifies the main problem with the drainage channel and finds the optimum solution to solve the problem. Based on the results, the Siancap Swampland has a damaged drainage channel that requires 476m of upgrades and a new drainage channeling an existing channel to a 500m long Siabun (outlet) station at the end of the channel is made a stoplock gate. The channel shape is a trapezoidal width over 6 m, width below 4 m, in measured from the ground surface at 3 m. The height 2 m of Embankment is required by land excavation is used to create a 2 m with a width of 4 m below and 2 m upper surface on the right side of the channel.

Keyword : Rehabilitation, drainage, swamp land

Page 5: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

4

PENDAHULUAN

Budidaya pertanian di lahan rawa meru-

pakan tantangan besar bagi bangsa Indo-

nesia. Karakteristik hidrologi yang begitu

dinamis membutuhkan pola manajemen

sumber daya air, tidak berlebih pada saat

musim hujan dan tidak kekurangan air

pada musim kering. Saluran drainase dan

pintu air menjadi kunci dalam pola penga-

turan air. Tipologi lahan di desa Binaan

adalah lahan rawa gambut pasang surut.

Lahan kering di dataran rendah dimanfaat-

kan sebagai lahan perkampungan,

pekarangan, tegalan, kebun kelapa sawit

dan kebun karet; Sedangkan lahan basah

berupa lahan pasang surut gambut diman-

faatkan untuk persawahan, sebagian

lainnya berupa kebun kelapa sawit. Lahan

basah pasang surut ini yang digunakan

untuk persawahan bernilai penting karena

berfungsi sebagai penyediaan pangan

(padi dan sayuran) yang sampai saat ini

belum dapat dimanfaatkan secara optimal

karena masalah genangan. yang terjadi

dengan durasi lebih 6 bulan dengan ket-

inggian relatif tinggi (> 50 cm), sehingga

hanya dapat dimanfaatkan untuk pesawa-

han 1 kali tanam dalam tiap tahun, dan

pada sebagian lain tidak dapat ditanami

karena ditumbuhi semak belukar. Untuk

mengatasi hal tersebut maka perlu dilaku-

kan rehabilitasi drainase yang rusak, dan

menambah saluran drainase yang diperlu-

kan. Untuk keperluan tersebut maka dila-

kukan identifikasi karakteristik lahan rawa

Siancap yang merupakan salah satu

bagian rawa kecil yang terdapat di desa

Talang Benuang. Rawa siancap meru-

pakan bagian kecil dari hamparan rawa

gambut pasang surut yang terdapat di

daerah Kabupaten Seluma. Dengan

adanya perbaikan dan pembangunan

sarana jaringan drainase ini diharapkan

dapat meningkatkan masa tanam dari 0-1

kali /tahun menjadi 2 kali /tahun. Selain itu

diharapkan dapat meningkatkan diversi-

kasi jenis tanaman sehingga dapat men-

ingkatkan produktivitas dan pendapatan

petani. Tujuan dari kegiatan ini adalah

Identifikasi jaringan drainase dan keadaan

topografi lahan rawa gambut pasang surut

sebagai dasar untuk desain perbaikan

sarana jaringan drainase di desa Talang

benuang, Kecamatan Air Periukan, Kabu-

paten Seluma, Provinsi Bengkulu.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat Penelitian

Kegiatan dilaksanakan di Rawa Siancap di

desa Talang Benuang, Kecamatan Air

Periukan, Kabupaten kegiatan disajikan

pada Gambar 1.Seluma, Provinsi Beng-

kulu. Lokasi kegiatan disajikan pada Gam-

bar 1.

Bahan-bahan yang digunakan

dalam penelitian ini terdiri dari data dan

peta-peta yang dikumpulkan sebelum dan

saat verifikasi lapangan.

Bahan-bahan dan alat terdiri atas:

1. Peta rupabumi Peta Rupa bumi

Indonesai skala 1 : 50.000,

Bakosurtanal, tahun 1984 Lembar

Page 6: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

5

2. Citra Citra satelit Landsat-7 Thematic

Mapper, gabungan band 543, dengan

resolusi 30 x 30 m2

3. Peta satuan lahan dan tanah kegiatan

Primatani Desa Talang Benuang Skala

1 : 50.000 (BBSDL, 2006)

4. GPS Geodetik.

Keadaan Lokasi

Lokasi Desa Talang Benuang, Kecamatan

Air Periukan ini dapat ditempuh melalui

jalan trans Sumatera + 49 km dari Kota

Bengkulu ke arah tenggara. Secara

geografis Desa Talang benuang teletak

diantara 30 57’ 36“- 40 00’ 00’ LS 1020 22’

12” – 1020 25’ 12” BT. Perbatasan Desa

Talang Benuang di sebelah utara

berbatasan dengan Desa Lubuk Saung

dan Paninjaan, Sebelah timur dengan Dea

Sukamaju dan Dermayu, Sebelah selatan

dengan Desa Dermayu dan Tawang Rejo

dan disebelah barat dengan Desa Tawang

Rejo dan Panijaan. Total luas Desa

Talang Benuang adalah 1.488,66 ha,

terdiri lahan kering seluas 608,80 ha atau

40,90 %, dan lahan basah berupa rawa

gambut seluas 1.364,40 ha atau (59,10%).

Dari total luas Rawa lebak di desa tersebut

terbagi 2 yaitu Rawa Siancap seluas

213,81 ha atau 14,36 % dan rawa besar

seluas 666,05 ha atau 44,74 %. Wilayah

Desa Talang Benuang dilintasi oleh jalan

utama trans Sumatera yang

menghubungkan Kota Bengkulu dengan

Kota Mana sampai ke Kota Krui,

Kabupaten Lampung Utara. Jarak antara

Kota Bengkulu dengan Ibukota Air

Periukan dapat ditempuh selama + 60

menit dengan kendaraan roda empat.

BENGKULU

Wilayah

Kabupaten

Seluma

Lokasi Kegiatan Wilayah

Desa Talang Benuang,

Kecamatan Air Periukan

PROVINSI BENGKULU

Gambar 1. Peta Situasi daerah kegiatan

Page 7: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

6

Metode Kerja

Penelitian ini dilaksanakan melalui

beberapa tahapan kegiatan, yaitu:

persiapan, penelitian lapangan,

pengolahan data, dan penyusunan

laporan.

Persiapan

Penyusunan peta dasar yang digunakan

adalah peta Rupa Bumi Indonesia digital

skala 1:50.000 (Bakosurtanal, 1999).

Persiapan sebelum operasional lapang

dengan melakukan pembuatan peta

rencana lapang.

Kegiatan lapangan

Identifikasi masalah dilakukan dengan

melakukan diskusi dan peninjauan lokasi

di Desa Talang Benuang. Pengamatan

topografi Rawa Siancap Dilakukan dengan

menggunakan GPS geodetik pada lokasi.

Penentuan titik dibuat dengan sistem grid

dikombinasikan dengan pemilihan lokasi

terpilih seperti batas rawa dengan daratan,

saluran, belokan, persimpangan jalan,

sungai, jembatan dsb., Pengamatan

fisiografi, tanah, dan penggunaan lahan

mengacu pada laporan identifikasi tanah

tahun 2006.

Pengolahan Data

Pengolahan data yang terekam dalam

GPS dilakukan dengan mentransfer data

ke sistem GIS sehingga dapat dioverlay

dengan peta dasar. Data titik terdiri dari

koordinat dan elevasi dijadikan dasar

untuk menentukan posisi jaringan

drainase, jalan, batas rawa dan lainnya

sehingga dapat ditarik garis maupun

poligon.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Iklim dan Hidrologi

Iklim

Berdasarkan data iklim yang berasal dari

Stasiun Rimbo Keduai yang merupakan

stasiun terdekat dengan daerah survei,

pada lokasi mempunyai curah hujan

tahunan rata-rata sebesar 2.626 mm

dengan curah hujan bulanan maksimum

354 mm yang terjadi pada bulan Oktober

dan curah hujan minimum 114 mm yang

terjadi pada bulan Juni. Sedangkan hari

hujan bulanan tertinggi selama 14 hari

terjadi pada bulan Januari dan terendah

4,6 hari terjadi pada bulan Juli. Sehingga

daerah survei tergolong daerah basah

(Tabel 1).

Kondisi faktor iklim yang lainnya

yakni suhu udara rata-rata berdasarkan

hasil pencatatan dari Stasiun Bandara

Padang Kemiling dengan periode

pengamatan selama 9 tahun tahun 1971

sampai 1979 menunjukkan 26,2oC,

dengan suhu minimum 26,3 oC yang

terjadi pada bulan Juli dan Pebruari, suhu

maksimum 27,1 oC yang terjadi pada bulan

Mei (Tabel 1). Kelembaban udara rata-rata

tahunan tergolong tinggi yaitu 80,3%

dengan rata-rata bulanan terendah 84,3%

dan tertinggi 86,4%. Lama penyinaran

matahari rata-rata tahunan sebesar 58,8%

dengan nilai rata-rata terendah bulanan

sebesar 53,3% dan tertinggi sebesar

Page 8: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

7

70,9%, masing-masing terjadi pada bulan

Nopember dan Juni. Kecepatan angin rata

-rata bulanan di sepanjang tahun lebih dari

4 knot dengan rata-rata tertinggi sebesar

4,4 knot terjadi pada bulan Pebruari dan

rata-rata terendah sebesar 3,6 knot pada

bulan April.

Menurut klasifikasi iklim Koppen

(Mohr, et al. 1972) daerah survei termasuk

iklim Afa, yaitu iklim tropis basah yang

dicirikan oleh curah hujan terkering >60

mm serta suhu udara rata-rata dari bulan

terpanas >22oC. Menurut Schmidt dan

Ferguson (1951) daerah survei termasuk

ke dalam tipe hujan A dengan nilai Q =

10,3%.

Berdasarkan zona agroklimat

(Oldeman, et.al., 1979) daerah survei

termasuk ke dalam zona agoklimat A dan

B1. Zona A yaitu daerah yang mempunyai

jumlah bulan basah berturut-turut terjadi

lebih dari 9 bulan dengan bulan kering

terjadi kurang dari 2 bulan. Sedangkan

zona B1 yaitu zona yang mempunyai

jumlah bulan basah berturut-turut terjadi

selama 7-9 bulan dengan bulan kering

terjadi kurang dari 2 bulan (Gambar 2).

Keadaan iklim seperti ini sangat

menguntungkan bagi usaha pertanian.

Tabel 1. Data iklim di Stasiun Iklim Rimbo Kedui

Data curah hujan dan evapotranspirasi

0

50

100

150

200

250

300

350

400

JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES(mm)

Curah hujan (mm)

Evapotranspirasi mm

Gambar 2. Data rata-rata bulanan curah hujan dan evapotranspirasi

Page 9: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

8

Berdasarkan Gambar 2 diketahui

bahwa curah hujan yang lebih kecil dari

jumlah evapotranspirasi terjadi selama 3

bulan yaitu bulan Juni, Juli dan Agustus.

Keadaan tersebut menyebabkan

terjadinya potensi genangan yang cukup

lama di daerah rawa Siancap

Hidrologi

Wilayah Kecamatan Air Periukan dilintasi

oleh beberapa sungai, yang terbesar

adalah Sungai Sindur yang bercabang

menjadi Sungai Tumbuan. Selain itu

beberapa sungai lain yang melintasi

wilayah survai antara lain : Sungai

Kungkai memotong bagian tengah sejajar

dengan Sungai Sindur, dan Sungai

Ngalam melintasi bagian selatan dan

Sungai Siabun yang terletak di bagian

utara melintasi desa Talang Benuang.

Sungai-sungai tersebut dibagian hilir pola

meander (berliku-liku). Hal ini

menunjukkan adanya perlambatan aliran

dan beberapa lokasi mengalami

pengendapan yang besar, bahkan terjadi

penggenangan berbaur dengan rawa-rawa

dengan persediaan air yang banyak dari

bagian hulu. Dengan curah hujan yang

relatif tinggi sepanjang tahun, maka

dibagian hilir sangat berpotensi untuk

menimbulkan genangan hampir sepanjang

tahun terutama pada daerah yang jaringan

drainasenya belum tersedia atau

mengalami kerusakan. Pada wilayah

perkebunan kelapa sawit PT Agri Andalas

saluran drainase cukup baik dengan

pemeliharaan secara berkala. Sedangkan

di wilayah sekitar Desa Talang Benuang

masih terjadi penggenangan sebagai rawa

lebak. Sehingga untuk memanfaatkan

lahan ini dengan baik harus dilakukan

pembuatan jaringan drainase yang

memadai. Jaringan drainase alam untuk

pembuangan pada lahan rawa di desa

Talang Benuang ini adalah S. Siabun,

sehingga perlu dilakukan pembuatan

saluran drainase dari lahan ke sungai

Siabun. Dengan mengacu daerah

perkebunan kelapa sawit PT Agri Andalas,

maka genangan yang terjadi di Rawa

Siancap di desa Talang Benuang akan

dapat diatasi dengan pembuatan dan

pemeliharaan saluran drainase yang

benar.

Landform dan Bentuk Wilayah

Berdasarkan pedoman klasifikasi landform

menurut Marsoedi et. al. (1997) grup

landform di desa Talang Benuang

dibedakan menjadi 4 grup yakni Aluvial,

Marin, Struktural, dan Grup Lain-lain yang

disajikan pada Tabel 4 dan uraiannya

berikut ini.

a. Landform aluvial

Landform aluvial yang ada di daerah

penelitian termasuk dalam grup dataran

banjir sungai meander dan rawa belakang

sungai dengan bentuk wilayah datar, lereng

0-3%. Landform ini terbentuk karena

pengendapan sungai terdiri dari kerikil,

pasir, debu, dan liat. Penyebaran utamanya

di sepanjang jalur aliran sungai Siabun yang

membentuk hamparan dataran banjir di

kanan kiri sungai.

Page 10: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

9

b. Grup Marin

Grup Marin terbentuk oleh aktivitas marin

(laut) yang berupa pengendapan maupun

pengikisan. Di Desa Talang Benuang grup

ini berupa rawa belakang yang sebagian

berupa rawa lebak yang tergenang dan

bergambut.

c. Grup Tektonik/Struktural

Grup tektonik/ struktural merupakan

landform yang terbentuk dari batuan

sedimen yang telah mengalami proses

tektonisme yaitu proses pengangkatan,

pelipatan, patahan, dan pengikisan/ erosi. Di

Desa Talang Benuang didominasi oleh

proses pengangkatan sehingga membentuk

grup tektonik yang merupakan teras

angkatan, relief agak datar sampai

berombak, lereng antara 1 hingga 8

d. Grup pemukiman dan tubuh air.

Pemukiman umumnya menempati daerah

dataran tektonik dan tubuh air terdapat di

sungai Siabun

Penggunaan Lahan

Berdasarkan hasil analisis citra landsat

tahun 2003 dan pengamatan di lapangan

di Desa Talang Benuang saat ini terdiri

atas terbagai macam penggunaan lahan

sebagai berikut:

a. Sawah

Sawah yang ada di Desa Talang Benuang

adalah merupakan sawah rawa lebak yang

dapat ditanami hanya sekali dalam

setahun. Setelah itu biasanya lahan hanya

dibiarkan bera karena sebagian besar

lahan mengalami genangan dalam dan

permanen, sedangkan tanahnya termasuk

tanah bergambut atau tanah gambut.

Penyebarannya terdapat di bagian lahan

basah merupakan rawa lebak di wilayah

Rawa Siancap dan Rawa Besar.

b. Kebun karet

Kebun karet yang ada di Desa Talang

Benuang terdiri atas dua pola yaitu pola

kebun karet rakyat yang diusahakan

secara tradisional dan Perkebunan Swasta

yaitu PIR Karet PTPN. Perkebunan karet

rakyat mempunyai pola/ penanaman yang

tidak teratur dan keadaan kebun yang

kurang terawat.

c. Kebun kelapa sawit

Kebun kelapa sawit yang di Desa Talang

Benuang pola perkebunan rakyat yang

diusahakan oleh masyarakat, letaknya

terpencar-pencar dan sebagian besar

kondisinya kurang baik. Penyebarannya

terdapat di lahan kering maupun lahan

basah yang sebagian telah di buat saluran

drainase yang kadang-kadang kurang

memadai dan masih tergenang di saat

musim penghujan.

d. Pemukiman

Pemukiman di desa Talang Benuang

merupakan pola transmigrasi dengan

bentuk dan pola yang telah disusun

sedemikian rupa sehingga teratur.

Pemukiman menempati derah lahan

kering dengan bentuk wilayah agak datar

sampai berombak.

Tanah

Tanah di desa Talang dapat dibedakan ke

dalam 3 ordo tanah sebagai berikut:

Histosols

Page 11: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

10

Histosols adalah tanah gambut, terbentuk

dari hasil pengendapan bahan organik,

berasal dari daun-daunan, batang kayu

dan akar pepohonan, dan berkembang

dalam kondisi basah atau jenuh air. Tanah

ini dicirikan oleh kandungan C (Carbon)

organik atau bahan organik yang tinggi.

Ketebalan lapisan gambut bervariasi

antara 60 cm sampai lebih dari 2 meter.

Tingkat dekomposisi (kematangan)

gambut umumnya agak mentah (hemik)

dan sebagian yang sudah mengalami

penu runan ( subs idens i ) ak iba t

pengelolaan, termasuk sudah matang

(saprik) tetapi umumnya dangkal.

Penyebarannya dijumpai pada fisiografi

rawa lebak. Pada tingkat Great group

tanah ini diklasifikasikan sebagai

Hap losap r is t s . Hap losapr i s t s -

Penyebarannya dijumpai pada wilayah

yang relatif luas pada fisiografi rawa

belakang pantai yang termasuk rawa

lebak. Kondisi drainase lebih baik dari

pada tanah Haplohemists, ketebalan

gambut kurang dari satu meter dan sudah

mengalami subsidensi tinggi. Pada tingkat

sub group tanah ini diklasifikasikan

sebagai Terric Haplosaprists atau disebut

juga tanah Organosol Saprik.

Inceptisols

Inceptisols adalah tanah dengan tingkat

perkembangan lemah yang dicirikan oleh

adanya horison pencir i kambik

(berkembang). Penyebarannya dijumpai

pada lahan basah yang berdrainase

terhambat berkembang dari bahan

aluvium, dicirikan oleh sifat hidromorfik

(adanya pengaruh air) yang ditunjukkan

oleh warna tanah kelabu dengan atau

tanpa karatan yang menunjukkan adanya

proses basah dan kering secara

bergantian. Tanah ini diklasifikasikan pada

tingkat grup sebagai Endoaquepts dan

pada tingkat sub grup tanah yang lebih

basah termasuk dalam Typic Endoaquepts

atau disebut tanah Gleisol Distrik,

sedangkan tanah yang bagian atasnya

kadang-kadang mengalami keadaan

kering termasuk dalam Aeric Endoaquepts

atau disebut juga tanah Gleisol Aerik.

Ultisols

Ultisols adalah tanah yang mengalami

tingkat perkembangan cukup sampai kuat

yang dicirikan oleh adanya horizon argilik

(pelindian liat ke lapisan bawah) dan

kejenuhan basa <40%. Penyebarannya

dijumpai pada fisiografi teras angkatan.

Tanah umumnya berdrainase baik dengan

rezim kelembaban tanah Udik. Pada

tingkat Great Group tanah ini termasuk ke

dalam Hapludults. Kedalaman tanah

dalam, reaksi tanah masam, dan drainase

baik. Pada t ingkat sub group

diklasifikasikan sebagai Typic Hapludults

atau disebut juga tanah Podsolik Haplik.

Lahan Rawa

Berdasarkan hasil analisis landsat dan

pengamatan di lapang dengan

menggunakan GPS Geodetik, wilayah

Desa Talang Benuang terdiri dari dataran

tektonik dan rawa lebak. Luas desa Talang

Benuang kurang lebih 1.488,66 ha terdiri

Page 12: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

11

Gambar 3. Peta Lahan Rawa Desa Talang Benuang, Kec. Air Periukan

Benuang kurang lebih 1.488,66 ha terdiri

dari lahan kering seluas 638,8 ha atau

42,91% dan lahan rawa lebak seluas

849,86 ha atau 57,09%. Rawa Siancap

merupakan bagian kecil dari rawa yang

terdapat di Desa Talang Benuang seluas

183,8 ha atau 12,34% dan rawa lainnya

yaitu rawa besar seluas 666,06 ha atau

44,74% dari total luas desa Talang

benuang. Lahan rawa tersebut merupakan

kesatuan dari rawa pasang surut dan rawa

lebak yang di kabupaten Seluma.

Topografi Rawa Siancap

merupakan cekungan memanjang, bentuk

wilayah datar agak cekung, ketinggian

antara 13-18 m dpl. Posisi Rawa Siancap

terdapat di sebelah barat desa dengan

ukuran rawa yang terdapat di desa Talang

Benuang, memanjang dari arah Tenggara

ke Barat Daya sampai ke S. Siabun di

desa Bukit Paminjaan dengan pajang +

4.100 m dengan lebar + 554 m. Bentuk

rawa agak cekung dengan beda tinggi

antara tepi rawa dan bagian tengah rawa

berkisar antara 50-100 cm.

Tanahnya berkembang dari bahan

induk endapan organik, dengan ketebalan

sedang sampai dalam, tingkat

kematangan gambut termasuk matang

(saprik), tidak mempunyai lapisan pirit

sampai kedalaman 100 cm dari

permukaan tanah. Dalam tingkat Subgrup

tanahnya termasuk Typic Haplosaprists.

Posisi rawa Siancap dalam desa Talang

Benuang dapat dilihat pada Gambar 3.

Page 13: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

12

Peta rekomendasi rehabilitasi jaringan

drainase

Jaringan drainase di lahan rawa Siancap

telah dibuat oleh direktorat transmigrasi

pada saat penyiapan lahan untuk

pemukiman transmigrasi umum. Namun

karena kurang terawat dan terjadinya

proses subsidens tanah gambut saat

saluran tersebut ini mengalami kerusakan

yang parah sehingga fungsi untuk

mendrainase sudah tidak berjalan sebagai

mana mestinya. Selain saluran tersebut

masyarakat telah membuat saluran

drainase dari mulai jalan Kampung yang

didiami masyarakat Bali sampai ke Sungai

Siabun dengan ukuran kecil lebar 50 cm

dengan kedalaman kurang lebih 50 cm,

posisinya terdapat dipinggir rawa sebelah

barat di perbatasan antara lahan gambut

dan lahan kering, sehingga kurang efektif.

Berdasarkan hasil pengukuran elevasi

rawa Siancap dapat diketahui posisi dan

keadaan jaringan drainase yang sudah

ada, kerusakannya maupun pembangunan

jaringan drainase yang baru sebagaimana

disajikan pada Gambar 4.

Keterangan

Gambar 4. Peta posisi saluran di Rawa Siancap

Page 14: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

13

Berdasarkan Gambar 3 diketahui

bahwa di Rawa Siancap terdapat 2 buah

saluran drainase yaitu yang sebelah timur

dibuat oleh Dep. Transmigrasi dan yang

sebelah barat saluran drainase kecil dibuat

masyarakat petani pemilik lahan. Saluran

drainase yang dibuat oleh Dep.

Transmigrasi dilengkapi dengan pintu

pengatur yang terdapat di ujung sebelah

utara yang posisinya sudah di luar desa

Talang Benuang. Saluran ini diukur dari

jalan penghubung kampung sampai ke

pintu mempunyai panjang 733 m. Saluran

ini perlu perbaikan secara keseluruhan,

dan yang menjadi prioritas karena rusak

adalah sepanjang 476 m dari TB 15

sampai TB 36 dan dari TB 15 ke TB 31

(Pintu yang ada saat ini) sepanjang 200 m.

Pembuatan Saluran baru sepanjang 544

m dimulai dari TPB 36 melalui TB 32

sampai ke Sungai Siabun (TB 25).

Ukuran saluran diharapkan cukup

besar berbentuk trapesium lebar atas 6 m,

lebar bawah 4 m, dalam diukur dari

permukaan tanah saat ini 3 m. Galian di

pergunakan untuk membuat tanggul

dengan tinggi 2 m dengan ukuran lebar 4

m bawah dan 2 m permukaan atasnya di

kanan kiri saluran.

Untuk mengatur ketinggian air di

saluran maka perlu dibuat pintu Stoplock

di ujung saluran di tepi sungai Siabun (TB

25). Ukuran pintu disesuaikan dengan

lebar saluran. Keberadaan pintu yang

dapat dibuka tutup ini berfungsi antara

lain:

1. Menutup pada saat menghindari

luapan Sungai Siabun

2. Membuka untuk membuang air dari

rawa Siancap ke Sungai Siabun.

KESIMPULAN

1. Desa Talang Benuang mempunyai luas kurang lebih 1.488,66 ha terdiri dari lahan

kering seluas 638,8 ha atau 42,91% dan lahan rawa lebak seluas 849,86 ha atau

57,09%. Lahan rawa terbagi 2 bagian yaitu Rawa siancap seluas 183,8 ha atau 12,34%

dan rawa besar seluas 666,06 ha atau 44,74% dari total luas desa.

2. Topografi Rawa Siancap merupakan cekungan memanjang dari arah Tenggara ke Barat

Daya sampai ke S. Siabun di desa Bukit Paminjaan dengan pajang + 4.100 m dengan

lebar + 554 m. Bentuk rawa agak cekung dengan beda tinggi antara tepi rawa dan

bagian tengah rawa berkisar antara 50-100 cm.

3. Rawa Siancap mempunyai saluran drainase yang sudah rusak sehingga perlu

perbaikan sepanjang 476 m dan pembuatan saluran baru menghubungkan saluran yang

telah ada ke S. Siabun (outelet) sepanjang 500 m yang pada ujung saluran dibuat pintu

stoplock.

Page 15: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

14

4. Bentuk saluran adalah trapesium lebar atas 6 m, lebar bawah 4 m, dalam diukur dari

permukaan tanah saat ini 3 m. Galian di pergunakan untuk membuat tanggul dengan

tinggi 2 m dengan ukuran lebar 4 m bawah dan 2 m permukaan atasnya di kanan kiri

saluran.

PUSTAKA

Bakosurtanal, 1984 Peta Rupa Bumi Bakosurtanal. Bakosurtanal.

Marsoedi, Ds., Widagdo, J. Dai, N. Suharta, Darul SWP, S. Hardjowigeno, J. Hof, dan E.R.

Jordens.1997. Pedoman klasifikasi landform. LT 5 Versi 3.0. Proyek LREP II, CSAR,

Bogor. Mitchell,

Mohrr, C.C.J.,F.A Van Barren, and J.V Schuylenborg, 1972. Tropical Soils. A Comperhesive

Study of Their Genesis. Muoton. The Hague, Netherlands.

Oldeman, et.al., 1979. An Agroclimate Map of Sumatra. CRlA Bogor. Contr No.17

Schmidt, F.H., and Fergusson, J.H.A. 1951. Rainfall Type and Dry Period Rations for

Indonesia and Western New Guinea. Verh. Djawatan Mety dan Geofisik. Jakarta.

Page 16: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

15

EFIENSIEN IRIGASI MELALUI IMPLEMENTASI IRIGASI SPRINKLER DI

LAHAN KERING PADA TANAMAN BAWANG MERAH

Sumarno

ABSTRAK

Perkembangan pertanian lahan kering pada kenyataannya banyak menghadapi kendala

antara lain kekurangan air pada saat kemarau dan keadaan tanah yang peka terhadap

erosi. Rendahnya produktivitas lahan kering selain disebabkan oleh kesuburan tanah yang

rendah juga disebabkan rendahnya indeks pertanaman karena kebutuhan air untuk

tanaman tidak tersedia sepanjang tahun. Salah satu upaya untuk meningkatkan

produktivitas lahan adalah dengan memanfaatkan potensi sumberdaya air yang ada melalui

teknologi tepat guna seperti penggunaan mulsa dan sistem irigasi sprinkler. Irigasi spinkler

penggunaannya mudah, efisien, dan dapat digunakan dalam waktu yang lama. Penelitian

ini bertujuan untuk mengimplementasikan teknologi hemat air melalui irigasi sprinkler pada

tanaman bawang merah. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa teknik irigasi

sprinkler untuk tanaman bawang merah berhasil diimplementasikan. Pengamatan

pertumbuhan tanaman bawang merah yang dilakukan adalah tinggi tanaman, bobot umbi

dan produksi bawang. Pada perlakuan irigasi dan mulsa pertumbuhan tanaman bawang

relatif lebih baik dibandingkan irigasi dengan pola petani. Adapun perlakuan kombinasi

irigasi dan mulsa relatif lebih baik dibandingkan irigasi tanpa mulsa.

Kata Kunci: Irigasi, sprinkler, lahan kering, dan bawang merah

PENDAHULUAN

Pembangunan pertanian lahan kering banyak menghadapi kendala antara lain kekurangan

air pada saat kemarau dan keadaan tanah yang peka terhadap erosi. Rendahnya

produktivitas lahan kering selain disebabkan oleh kesuburan tanah yang rendah juga

disebabkan rendahnya indeks pertanaman karena kebutuhan air untuk tanaman tidak

tersedia sepanjang tahun (Haryati et al., 1995). Pengelolaan lahan kering perlu dilakukan

dengan teknologi tepat guna. Pengembangan teknologi tepat guna yang memanfaatkan

sumber alam merupakan upaya yang harus dilakukan.

Kebutuhan air untuk tanaman adalah banyaknya air yang diperlukan oleh tanaman

dalam lahan yang diairi, pertanian lahan kering membutuhkan air dalam jumlah yang besar,

baik air permukaan (sungai atau danau) maupun air tanah.

Page 17: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

16

Banyak cara telah dilakukan untuk

mengangkat air dari sumbernya ke lahan

pertanian. Teknik irigasi pada tanaman

melalui jaringan pipa dengan sistem irigasi

sprinkler, merupakan salah satu pilihan

yang bisa digunakan dan bisa

menghemat pemakaian air untuk

tanaman. Dengan sistem ini, mengelolaan

lahan kering menjadi lebih produktif.

Irigasi sprinkler adalah suatu sistem

pemberian air yang dipancarkan melalui

nozzle dengan menggunakan tekanan

tertentu dan digerakkan oleh pompa atau

listrik (Afandi, 2013). Irigasi ini bisa

digunakan di lahan dengan keadaan

topografi tidak teratur dan lahan mudah

tererosi. Sistem irigasi sprinkler ini juga

sudah banyak digunakan untuk tanaman-

tanaman hortikultura bernilai tinggi seperti

bawang merah (Allium cepa var

ascalonicum L).

Tanaman bawang merah tidak

menyukai banyak air yang tergenang,

tetapi kekurangan air tanaman akan tidak

berkembang. Tanaman bawang merah

dapat tumbuh dengan baik di dataran

rendah maupun dataran tinggi hingga

sekitar 1000 m di atas permukaan laut

(dpl). Produksi terbaik umumnya diperoleh

di dataran rendah yang didukung oleh

iklim yang baik (suhu udara berkisar 25 –

32 OC). Jenis tanah yang baik adalah

lempung berpasir atau lempung berdebu,

pH tanah 5,5 – 6,5, dan drainase serta

aerasi tanah baik (Azzamy. 2017) Jika

kondisi tanah kurang baik dilakukan

pemupukan dengan pupuk organik.

Tanaman bawang merah akan tumbuh

dengan baik kalau kebutuhan air

tercukupi, tetapi tidak tahan dengan air

yang menggenang. Gembor biasanya

banyak digunakan petani untuk menyiram

tanaman bawang merah secara

konvensional. Namun sistim konvensional

ini sangat boros air dan memerlukan

waktu dan tenaga yang banyak.

Tujuan percobaan untuk

mengimplementasikan teknologi hemat air

dengan irigasi sprinkler pada beberapa

fase irigasi.

BAHAN DAN METODA

Tempat dan waktu pecobaan

Percobaan dilaksanakan di dusun

Kedungmiri, Desa Sriharjo, Kec. Imogiri,

kab. Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pada bulan Mei sampai bulan Juli 2017.

Bahan dan alat percobaan

Bahan yang digunakan adalah umbi

bawang merah, pupuk Urea, SP36, KCL,

Pupuk kandang, jerami padi, bambu dan

pestisida. Alat yang digunakan terdiri dari

pompa air, pipa PVC, sprinkler head, ball

valve, SDL, SDD, vlosox, elbow, tee,

water meter dan timbangan.

Perlakuan percobaan

Perlakuan disusun dalam rancangan petak

terpisah diulang lima kali, dengan petak

utama dosis irigasi (rendah, sedang dan

tinggi) dan anak petak pemberian mulsa

jerami. Dosis irigasi petak utama terdiri

dari 3 level, yaitu 100% (R1), 85% (R2)

dan 70 % (R3), dengan anak petak terdiri

Page 18: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

17

dari 2 level yaitu dengan mulsa (M1) dan

tanpa mulsa jerami (M0).

Luas petak 121 m2 terbagi dalam

8 bedengan (11 x 11 m) dengan jarak

tanam bawang merah 20 x 20 cm.

Perlakuan yang diuji adalah sebagai

berikut:

R1 Mo dosis Irigasi 100 % (rendah) tanpa mulsa jerami

R1 M1 dosis irigasi 100 % (rendah) dengan mulsa jerami 5 ton/ ha

R2 Mo dosis Irigasi 85 % (sedang) tanpa mulsa jerami

R2 M1 dosis irigasi 85 % (sedang) dengan mulsa jerami 5 ton/ ha

R3 Mo dosis Irigasi 70 % (tinggi) tanpa mulsa jerami

R3 M1 dosis irigasi 70 % (tinggi) dengan mulsa jerami 5 ton/ ha

R0 M0 dosis irigasi pola petani tanpa mulsa

R0 M1 dosis irigasi pola petani dengan mulsa jerami 5 ton/ ha

Peubah percobaan

Peubah yang diamati pada percobaan

adalah:

1. Tinggi tanaman diamati dengan cara

mengukur pangkal sampai bagian

tanaman tertinggi dilakukan pada

umur 10 dan 30 dan pada saat panen

umur 60 hari setelah tanam (HST)

2. Jumlah umbi dihitung per rumpun

pada setiap sample pengamatan

3. Bobot panen ubinan ditimbang dari

hasil panen ubinan seluas 6,25 m2

( 2,5 x 2,5 m)

Kinerja jaringan irigasi sprinkler

Kinerja sistem irigasi sprinkler meliputi

debit sprinkler yang keluar melalui nozzle,

pompa berfungsi sebagai sumber tekanan

penggerak air dari sumber (Sungai)

menggunakan pompa submersieble yang

dipasang didalam sumur bor dengan

kedalaman sekitar 30 m, air disalurkan

melalui pipa utama dan water meter

dengan tujuan untuk mengontrol volume

air yang keluar pada setiap fase irigasi. Air

kemudian dialirkan ke lahan/plot yang

sudah ditanami bawang merah. Skema

aliran irigasi sprinkler seperti disajikan

pada Gambar 1.

Jaringan pipa utama, pipa lateral

dan pipa tegak harus mampu menahan

tekanan dari pompa yang akan

disemburkan sprinkler melalui nozzle.

Supaya mudah dalam pengolahan tanah

di musim hujan, pipa utama dan leteral

dipasang permanen didalam tanah

dengan kedalaman antara 75 – 100 cm.

Gambar 1. Jaringan irigasi sprinkler

Page 19: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

18

Irigasi tanaman bawang merah

Irigasi tanaman dilakukan sesuai masa

pertumbuhan tanaman bawang merah

dengan durasi waktu berbeda sesuai

tahap irigasi 100 %, 85 % dan 70 %.

Untuk masa inisiasi dan vegetasi

dilakukan setiap hari sampai umur satu

bulan. Penyiraman dilakukan dua hari

sekali pada masa pembentukan umbi

sampai umur tanaman bawang merah

berumur 51 hari. Pada saat terjadi hujan

penyiraman, dilakukan dengan tujuan

untuk membersihkan daun bawang merah

dari percikan tanah dan embun tepung

yang menempel akibat hujan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kebutuhan air bawang merah

Hasil analisis fisika tanah diperoleh

evapotranspirasi (Eto) berkisar 3,1 mm/

hari - 3,3 mm/hari (Tabel 1). Koefisien

tanaman mempunyai kisaran antara 0,5 -

1,2 pada setiap fase tumbuh berbeda.

Nilai evapotranspirasi (Eto) tanaman

bawang tergantung pada tingkat

pertumbuhan tanaman dan nilai Koefisien

tanaman (kc). Pada masa inisiasi sebesar

0,7, fase vegetatif sebesar 0,9 dan fase

pembentukan umbi dan pematangan umbi

nilai kc meningkat menjadi 1,2.

Nilai evapotranspirasi tanaman

(Etc) tanaman bawang terus meningkat

dari fase pertumbuhan vegetatif sampai

pada tahap pembentukan umbi. Hal ini

menunjukkan bahwa kebutuhan air untuk

pertumbuhan tanaman terus meningkat,

sejalan dengan fase pertumbuhan

tanaman. Dari Tabel 1 terlihat bahwa air

tanah tersedia 14,7 %, kapasitas lapang

sebesar 35,4 dan titik layu permanen 23,7.

Berdasarkan data hasil analisis tersebut

dapat dipergunakan untuk menghitung

interval irigasi dan dosis irigasi,

selanjutnya dirancang durasi pemberian

air perhari untuk tahap fase irigasi 100 %,

85 % dan 70 %.

Tabel 1. Hasil analisis fisika tanah untuk menghitung kebutuhan irigasi bawang merah. Tanggal Tanam 10 Mei 2017

Page 20: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

19

Tabel 2. Hasil analisa fisika tanah untuk menghitung interval dan kebutuhan irigasi.

Analisis kebutuhan irigasi tanaman

bawang merah yang dilakukan di Dusun

Kedungmiri, Desa Sriharjo, Kecamatan

Imogiri, Kabupaten Bantul, menggunakan

acuan FAO (Doorenbos and Pruitt, 1977)

menghasilkan data input air tersedia

tertera pada Tabel 2. Adapun perhitungan

dosis irigasi dan rata-rata interval irigasi

untuk pertanaman bawang merah

disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Perhitungan dosis irigasi dan rata – rata interval irigasi untuk tanaman bawang merah di Imogiri, Bantul.

Pengaruh pemberian irigasi dan mulsa

terhadap pertumbuhan bawang merah

Dari hasil pengamatan tinggi tanaman

(Gambar 2) pada umur 10 HST

pertumbuhan tanaman bawang merah

belum menunjukkan pengaruh yang

signifikan, semuanya seragam hampir

tidak nampak perbedaan yang mencolok.

Hanya terlihat perbedaan sekitar 1.09 cm

dari yang tertinggi 17,40 cm untuk

perlakuan pola petani dengan mulsa

(R0M1) dan terendah 16,13 cm dari

perlakuan irigasi 70 % tanpa mulsa

(R3M0). Tingkat pertumbuhan yang

hampir seragam itu diduga dari pengaruh

tersedianya unsur hara yang cukup

ditanah. Rendahnya perbedaan tinggi

tanaman dari taraf irigasi 70 %, 85% dan

100 % terhadap pertumbuhan bawang

merah, menunjukan belum ada nya

pengaruh perbedaan taraf irigasi 70 %,

85, dan 100 % dan mulsa dari kebutuhan

air tanaman bawang merah.

Page 21: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

20

Gambar 2. Grafik rata-rata tinggi tanaman bawang merah

Pengamatan tinggi tanaman yang

kedua pada umur 30 HST, sudah mulai

menunjukan adanya pengaruh perlakuan

irgasi dan mulsa jerami. Data pengamatan

tinggi tanaman untuk perlakuan irigasi 70

%, 85%, 100 % dan irigasi pola petani

dikombinasikan dengan mulsa jerami

menunjukan ada pengaruh, untuk

perlakuan R1M0 dengan R1M1, dengan

perbedaan 3,31 cm. Perlakuan R1M1

lebih tinggi dibandingkan R1M0 dan

R2M0 dan perlakuan R3M0 dengan R3M1

hanya 1,53 cm. Pengamatan

pertumbuhan tanaman yang terakhir

dilakukan pada saat panen menunjukkan

adanya pengaruh irigasi dan mulsa,

secara umum dapat dilihat bahwa

pemberian mulsa jerami berpengaruh

terhadap tinggi tanaman pada saat

tanaman berumur 30 sampai 60 HST.

Tanaman bawang merah dengan

perlakuan mulsa jerami tersaji pada

Gambar 3.

Gambar 3. Tanaman bawang merah perlakuan irigasi 100% dan mulsa jerami

Page 22: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

21

Pengaruh pemberian irigasi dan

mulsa terhadap hasil bawang merah

Rata – rata jumlah umbi per rumpun dari

perbedaan taraf irigasi dan mulsa 70 %,

85% dan 100 % dapat dilihat di Tabel 5.

Jumlah umbi bawang merah terbanyak

diperoleh pada perlakuan R3 M1 (10,19

umbi), dan terendah 8,41 umbi perlakuan

(R1M0) perbedaan berkisar 1,78. Jumlah

umbi yang dihasilkan merupakan salah

harapan petani, karena dengan banyaknya

umbi akan berpengaruh terhadap bobot,

tetapi jumlah umbi yang banyak belum

tentu menentukan produksi yang optimal,

tetapi secara keseluruhan produksi

meningkat pada perlakuan irigasi dan

mulsa

Gambar 4. Data rata-rata jumlah umbi dan produksi tanaman bawang merah

Panen bawang merah dilakukan

setelah berumur 60 hari, umbi bawang

merah sudah penuh terisi, umbi bawang

sudah terlihat di atas permukaan tanah,

daun sudah menguning dan pangkal daun

lemas. Pada Tabel 5 terlihat produksi

tertinggi 12,78 t/ha pada perlakuan R3M1

disusul 12,68 t/ha dengan perlakuan irigasi

70% tanpa mulsa (R3M0). Dari hasil

pengamatan ubinan dikonversi ke hektar

terlihat adanya pengaruh irigasi 100%

terhadap produksi dibanding irigasi 70%

yang hanya mencapai 10,72

perbedaannya cukup tinggi hingga

mencapai 2,06 ton.

Page 23: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

22

KESIMPULAN

1. Pengamatan pertumbuhan tanaman bawang merah melalui tinggi tanaman pada

perlakuan irigasi dan mulsa lebih tinggi dibandingkan irigasi dengan irigasi tanpa

mulsa. Perlakuan irigasi 70% dengan mulsa berpengaruh paling baik bila

dibandingkan dengan irigasi tanpa mulsa baik untuk pertumbuhan, tetapi tidak

berpengaruh dengan pola petani.

2. Pada pemberian irigasi 70 % dengan mulsa dapat meningkatkan jumlah umbi per

rumpun sebanyak 10,19 umbi dan produksi bawang merah 12,78 ton per ha.

DAFTAR PUSTAKA

Afandi M. 2013. Cara-cara Pemberian Air Irigasi. Blog Materi Irigasi Lengkap.

Azzamy. 2017. Panduan Teknis Budidaya Menanam Bawang Merah dari Umbi Dimusim

Hujan. Budidaya Holtikultura & Tanaman Pangan.

Haryati, U., & Haryono, A. A. (1995). Pengendalian erosi dan aliran permukaan serta produksi tanaman pangan dengan berbagai teknik konservasi pada tanah Typic Eutropept di Ungaran, Jawa Tengah. Pembrit Penelitian Tanah dan Pupuk, 13, 40

-50

Page 24: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

23

PROYEKSI CURAH HUJAN EKSTRIM DAN DAMPAKNYA STUDI KASUS: PROVINSI BANTEN

Yeli Sarvina

ABSTRAK

Perubahan iklim telah menjadi isu dunia dan merupakan tantangan utama dalam pemban-

gunan pertanian. Salah satu dampak dari perubahan iklim adalah peningkatan iklim ekstrim

dimana dampak buruknya terhadap sektor pertanian telah dirasakan. Untuk dapat mengantisa-

pasi dampak dari iklim ekstrim akibat perubahan iklim tersebut, diperlukan adanya informasi

tentang proyeksi iklim ekstrim ke depan. Global Circular Model (GCM) adalah perangkat yang

digunakan untuk mengetahui proyeksi iklim ke depan melalui teknik donwscaling dan dengan

berbagai skenario. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi proyeksi iklim ekstrim yaitu

curah hujan total dan curah hujan ekstrim 95 persentil untuk wilayah Banten yang merupakan

salah satu sentra pangan Indonesia. Model yang digunakan adalah GCM pada CMIP5 dan

downscaling dilakukan pada platform APCC Integrateed Model Solution (AIMS) dengan ske-

nario RCP 4,5 dan 8,5. Hasil analisis menunjukkan bahwa total curah hujan dan curah hujan

95 percentile di proyeksikan akan meningkat. Dampak yang diprakirakan akan terjadi adalah

peningkatan intensitas dan frekwensi banjir. Strategi adaptasi ke depan pada bidang perta-

nian yang dapat dlakukan adalah pengembangan varietas tahan banjir dan genangan, penye-

suian waktu tanam dan pengembangan sistem drainase yang efektif dan efesien.

Kata kunci: Perubahan iklim, iklim ekstrim, GCM, Skenario

PENDAHULUAN

Perubahan iklim merupakan salah satu tantangan pembangunan pertanian global termasuk

Indonesia. Sebagai negara benua maritim faktor iklim Indonesia dipengaruhi oleh banyak fak-

tor sehingga dampak perubahan iklim diprakirakan akan lebih signifikan dibandingkan negara-

negara lain. Salah satu dampak perubahan iklim adalah peningkatan iklim ekstrim. Iklim ek-

strim telah menimbulkan dampak yang sangat siginifikant pada penurunan produksi baik kuan-

titas maupun kualitasnya. Iklim ekstrim yang paling sering menyebabkan kerugian pada perta-

nian Indonesia adalah banjir dan kekeringan (Surmaini & Faqih 2016).

Page 25: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

24

Untuk mengantisipasi dampak perubahan

iklim pada sektor pertanian di masa yang

akan datang diperlukan informasi tentang

proyeksi iklim. Informasi ini dapat dijadikan

dasar pengambilan keputusan arah

pembangunan pertanian terutama pada

sub-sektor yang terkena dampak paling

besar seperti tanaman pangan

(Candradijaya, 2014, Surmaini et al.,

2010), hortukultura ( Direktorat Jenderal

Hortikultura 2014), dan tanaman

perkebunan ( Supriadi & Heryana 2011 ;

Supriadi 2014 ; Supriadi& Rokhmah 2014).

Pemodelan Iklim melalui Global

Circular Model (GCM) digunakan untuk

mengetahui proyeksi iklim kedepan

melalui berbagai skenario. Berbagai GCM

telah dikembangkan oleh lembaga

atmosfer dunia yang saat in tergabung

dalam Couple Model Intercomparison

Project phase 5 (CMIP5). Permasalahan

utama penggunaan GCM untuk kajian

dampak perubahan iklim adalah skalanya

yang kasar sedangkan dalam kajian

dampak diperlukan informasi skala lokal

dan detail. Untuk mengatasi permasalahan

skala ini maka perlu dilakukan

downscaling. (Fowlwe et al. 2007 and

Benestad et al. 2008)

Penelitian ini bertujuan untuk

mendowscaling GCM CMIP5 untuk

wilayah Banten dengan fokus untuk

mendapatkan proyeksi iklim ekstrim.

Banten merupakan salah satu provinsi

sentra pertanian Indonesia. Untuk

mengatasi dampak perubahan iklim maka

diperlukan informasi proyeksi iklim

terutama iklim ekstrim. Pada kajian kali ini

variable iklim ekstrim yang di analisis

adalah curah hujan karena variasi spasial

dan temporalnya yang sangat tinggi. Dua

indeks curah hujan ekstrim yang

digunakan adalah curah hujan total dan

curah hujang 95 percentile.

METODOLOGI

Wilayah Kajian

Wilayah kajian penelitian ini adalah

provinsi Banten. Data iklim yang

digunakan dalam penelitian ini diunduh

melalui data online BMKG (http://

dataonline.bmkg.go.id/home). Deskripsi

posisi stasiun ditampilkan pada tabel 1.

Sedangkan data GCM yang digunakan

a d a l a h d a t a C o u p l e M o d e l

Intercomparison Project phase 5 (CMIP5)

yang sudah disediakan oleh Asian Pacific

Climate Center (APCC) melalui http://

adss.apcc21.org/opendap/CMIP5DB/

contents.html.

Tabel 1. Informasi stasiun iklim

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan platform

APCC Integrated Model Solution (AIMS)

yang telah dikembangkan oleh APCC

(Eum, 2017). Secara umum tahapan

analisis perubahan iklim menggunakan

platform ini adalah:

1. Analisis data observasi/ pengamatan

Page 26: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

25

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui

pola data dan data kosong. Jika data

kosong lebih dari 30 %, maka tidak

dapat digunakan

2. Downscaling yaitu mendowscaling

data dari GCM untuk data lokal sesuai

dengan lokasi penelitian

3. Menentukan metode downscaling

terbaik. Ada dua metode downscaling

yang dikembangkan yaitu Simple

Quantile Mapping (SQM) dan Spatial

Disaggregation with Detrended

Quantile Mapping (SDDQM)

4. Pemilihan GCM terbaik. Pada tahap ini

akan dilakukan pengujian performa

G C M . G C M y a n g d a p a t

mempresentasikan data historical

paling baik dianggap sebagai GCM

terbaik

5. Downcaling dengan menggunakan

metode terbaik dan GCM terbaik pada

dua scenario RCP yaitu RCP 45 dan

85. Dalam penelitian ini periode data

histori adalah 1976-2005 sedangkan

periode proyeksi adalah 2010-2039

(near future) dan 2040-2069 (far

future)

6. Analisis iklim ekstrim. Indeks yang

digunakan dalam peneitian ini adalah

indeks yang dikembangkan oleh

Expert Team on Climate Change

Detection and Indices (ETCCDI)

(http://etccdi.pacificclimate.org/). Pada

kajian ini indeks iklim ekstrim yang

digunakan adalah curah hujan total

(PRCPTOT) dan hujan ekstrim

(R99pTOT)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Evaluasi Data Observasi

Evaluasi data observasi ditampilkan pada

Tabel 2 dimana data kosong (missing

value) terbesear dari tiga stasiun untuk

curah hujan sekitar 13 %, suhu maksimum

dan minimum 10%. Data ini dapat

digunakan dalam analisis perubahan iklim

selanjutnya karena memenuhi persyaratan

data kosong kecil dari 30 %.

Tabel 2. Evaluasi data observasi

Pola curah hujan, suhu maksimum

dan minimum bulanan disajikan pada

Gambar 1. Untuk curah hujan terlihat

ketiga stasiun mempunyai pola yang sama

yaitu memiliki tipe hujan monsoonal

dimana curah hujan bulanan Soekarno

Hatta lebih kecil dibandingkan Serang dan

Tanggerang. Untuk suhu udara baik

maksimum maupun minimum terlihat

bahwa suhu udara di Soekarno Hatta lebih

tinggi dibandingkan Serang dan

Tanggerang. Terlihat juga bahwa suhu

udara tertinggi terjadi sekitar Bula Mei.

Page 27: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

26

Gambar 1. Pola curah hujan

Metode Downscaling dan GCM Terbaik

Hasil evaluasi metode downscaling

disajikan dalam bentuk boxplot (Gamba2 ).

Metode yang terbaik adalah metode yang

nilai mediannya paling mirip dengan

observasi dan inter quartile range (IQR)

yang paling kecil. Untuk curah hujan total

metode SQM terlihat memiliki media

hampir sama dengan obsrvasi dan IQRnya

lebih kecil dibandingkan dengan metode

SDQDM sedangkan untuk nilai curah

hujan ekstrim R95ptot curah metode

SDQDM terlihat memiliki median hapir

sama denga observasi namun IQRnya

lebih besar. Berdasarkan analisis di atas

maka kedua metode diatas digunakan

dalam analisis proyeksi curah hujan total

dan curah hujan ekstrim.

Page 28: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

27

Gambar 3. Evaluasi GCMM

Gambar 2. Evaluasi Metode downscaling

Evaluasi terhadap performa GCM disajikan pada gambar 3. Dasi hasil analisis AIMS maka

GCM terbaik untuk wilayah ini adalah CSIRO-Mk3-6-, HadGEM2-AO, CanESM2 dan Bcc-

csm1-1.

Page 29: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

28

Proyeksi iklim ekstrim dan dampaknya.

Hasil proyeksi curah hujan ekstrim yaitu

curah hujan total dan curah hujan 95

percentile dengan metode SQM dan

SDQDM serta scenario RCP 45 dan 85

disajikan pada Gambar 4. Terlihat bahwa

proyeksi curah hujan total baik pada near

maupun far future meningkat dibandingkan

data historical. Namun peningkatannya

lebih besar pada near future dibandingkan

dengan far future. Peningkatan curah

hujan total diwilayah ini mengindikasikan

bahwa wilayah ini semakin basah.

Beberapa implikasi penting dari proyeksi

ini adalah frekwensi dan intensitas banjir

meningkat sehingga perlu diperhatikan

sistem drainase pada budidaya pertanian

serta penyesuian waktu tanam.

Curah hujan ekstrim 95 percentile

juga diproyeksikan meningkat baik pada

near maupun far future. Berbeda dengan

curah hujan total yang pada far future

turun dibandingkan dengan near future,

curah hujan ekstrim ini terus meningkat

pada far future. Ini mengindikasikan

bahwa curah hujan ekstrim tinggi akan

semakin sering terjadi dengan intensitas

yang semakin meningkat pula.

Gambar 4. Pola curah hujan

KESIMPULAN

Curah hujan total dan curah hujan ekstrim tinggi di wilayah Banten bagian utara ini

diproyeksikan meningkat. Dampak dari peningkatan curah hujan ekstrim dan curah hujan

total ini adalah peningkatan frekwensi dan intesitas banjir. Sehingga upaya-upaya untuk

penanggulangan banjir di masa yang akan di daerah ini perlu menjadi perhatian. Dalam

bidang pertanian beberapa strategi adaptasi yang dapat dilakukan adalah pengembangan

varitas baru yang tahan banjir dan genangan serta penyesuian waktu tanam.

Page 30: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

29

DAFTAR PUSTAKA

Chandradijaya, A., Syaukat, Y., Syaufina, L., dan Faqih, A. 2014. Pemanfaatna Model Proyeksi Iklim dan Simulasi Tanaman dalam Penguatan Adaptasi Sistem Pertanian Padi Terhadap Penurunan Produktivitas Akibat Perubahan iklim : Studi Kasus di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Jurnal Informatika Pertanian, Vol 23 (2) : 159-168

Direktorat Perlindungan Hortikultura . 2014. Sekola Lapang Iklim Hortikultura Antisipasi Terhadap Perubahan Iklim. http://ditlin.hortikultura.pertanian.go.id/index.php?o p t i o n = c o m _ c o n t e n t & v i e w = a r t i c l e & i d = 4 1 : s e k o l a h - l a p a n g - i k l i m -hortikultura&catid=19:berita-terbaru [ 30 Oktober 2017)

Eum, H. 2017. Climate Change Practice. Materi Pelatihan pada 2017 APCC Training Program. User-oriented Statistical Downscaling of Climate Information in Agriculture and Water Resources. http://www.apcc21.org/ic/tpView.do?lang=en&bbsId=BBSMSTR_000000000005&nttId=5184&pageIndex=1&recordCountPerPage=10&searchCnd=&cate1=&searchBgnDe2=&searchEndDe2=&searchWrd= [ diunduh 30 Oktober 2017]

Fowler, H.J., Kilsby,C.G., & Stunnel,J. 2007. Modelling the impacts of projected future climate change on water resources in north west England. Hydrol.Earth Syst. Sci., 11(3): 1115-1126

Supriadi, H dan Heryana, N. 2011. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Produksi Jambu Mete dan Upaya Penanggulangannya. Buletin RISTRI Vol. 2 : 175-186

Supriadi, H., dan Rokhmah, D.N. 2014. Teknologi Adaptasi untuk Mengatasai Perubahan Iklim pada tanaman Teh. SIRINOV Vol 2 : 147-156

Surmaini , E dan Faqih, A. 2016. Kejadian Iklim Ekstrem dan Dampaknya Terhadap Pertanian Tanaman Pangan di Indonesia.Jurnal Sumber Daya Lahan Vol 10. No2 : 115–128.

Surmaini, E., Runtunuwi, E. dan Las, I. 2010. Upaya Sektor Pertanian dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Jurnal Litbang Pertanian, 30 (1) : 1-7

Page 31: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

30

KALIBRASI SENSOR KELEMBABAN UDARA MENGGUNAKAN

EXPERIMENTAL STANDARD DEVIATION OF MEANS

Tri Nandar Wihendar, Suciantini dan Anton Aprilyanto

ABSTRAK

Dalam meningkatkan produksi tanaman pertanian stasiun cuaca sangat diperlukan ke-

beradaannya.Oleh karena itudiperlukan usaha-usaha untuk meningkatkan mutu data

rekam yang teramati di stasiun iklim melalui kalibrasi rutin.Kalibrasi sangat diperlukan

untuk peningkatan presisi dan akurasi data.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji

perhitungan kalibrasi sensor kelembaban udara dari stasiun cuaca.Metode perhitungan

Experimental Standard Deviation of Meanyangdigunakan untuk menghitung kalibrasi

sensor kelembaban udara (RH) yang efisien adalah dengan menggunakan senyawa

garam NaCl, dengan batasan nilai standar RH 75,4%, faktor koreksi yang berkisar 0-0,5

dan ketidakpastian bentangan yang berkisar antara 0-0,5. Hasil kajian pada alat sensor

kelembaban udara menunjukkan bahwa nilai RH adalah 75,0%, faktor koreksi 0,5 dan

ketidakpastian bentangan 0,2. Hasil pengkajian ini menunjukkan bahwa penggunaan

metoda Experimental Standard Deviation of Mean dengan garam NaCl dapat diperguna-

kan untuk kalibrasi secara efektif dan efisien.

Kata Kunci: kalibrasi, akurasi data, kelembaban udara, NaCl

ABSTRACT

Routine calibrations of RH sensor are required for improving quality of data records at

climate station. Calibration is necessary to increase the precision and accuracy of the

data. Experimental Standard Deviation of Means method was used for standard calcula-

tion of humidity sensor (RH) using NaCl with the value of RH of 75,4%, correction stan-

dard factor range from 0-0.5, uncertainty factor range from 0-0.5.Results of assessment

on the humidity sensor instrument in this study showed that the average of RH was 75%,

correction factor means of 0.5 and uncertainty factor of 0.2. Results of the study shows

that applying Experimental Standard Deviation of Mean and NaCl could be used for cali-

bration effectively.

Keywords: calibrations,accurate,relative humididty, data quality, NaCl

Page 32: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

31

PENDAHULUAN

Stasiun cuaca manual dan otomatis

digunakan sehari-hari untuk meteorology

dan pemantauan lingkungan. Dalam

meningkatkan analisis interaksi tanaman

pertanian dengan lingkungan menuju

pertanian yang lebih baik, keberadaan

stasiun cuaca di lingkungan sentra

produksi tanaman pertanian sangat

diperlukan. Parameter cuaca utama yang

diukur adalah kecepatan angin, arah

angin, suhu udara, kelembaban udara,

tekanan udara, curah hujan, dan radiasi

matahari.

Logger data mengumpulkan dan

menyimpan data hasil pengukuran sensor.

Untuk transfer data Automatic Weather

Stations (AWS) memiliki beberapa solusi,

termasuk GSM/GPRS, atau data yang

dapat ditampilkan pada sebuah situs web.

Pada kebanyakan aplikasi meteorologi

dan industri telah mengembangkan

stasiun cuaca yang memenuhi standar

persyaratan aplikasi ini. Semua stasiun

cuaca dirancang sesuai dengan pedoman

Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).

Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian sejak tahun

1975 telah membangun sejumlah stasiun

klimatologi kelas A (manual) di beberapa

lokasi sentra produksi. Hingga kini

terdapat 24 stasiun manual yang masih

aktif digunakan sebagai stasiun observasi

iklim. Sejak tahun 1999 kapasitas

observasi iklim ditingkatkan dengan

memasang 74 buah Automatic Weather

Stations (AWS) dan 23 automatic water

level recorder (AWLR) yang tersebar di 7

propinsi yaitu Lampung, Jawa Barat, Jawa

Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara

Timur, Kalimantan Timur dan Sulawesi

Tenggara. Sampai dengan tahun 2012

(Tabel 1), telah dilakukan relokasi dan

pemasangan AWS baru bekerjasama

dengan Balai Pengkajian dan Penerapan

teknologi Pertanian (BPTP) di seluruh

Indonesia, Balitbang Pertanian (2013).

Tabel 1. Sebaran stasiun iklim di BPTP

Salah satu media bentuk

peningkatan kualitas data hasil

pengamatan stasiun cuaca melalui

peningkatan sebaran (coverage

observation) dengan tetap menjaga

keberlanjutan dan akurasi (kualitas)

dilakukan pengamatan terhadap unsur

iklim dalam skala ruang dan waktu.Salah

satu faktor penting lainnya dalam menjaga

kontinuitas dan kualitas data rekam iklim

adalah pembinaan jejaring iklim.Hal

tersebut dapat dilakukan baik melalui

pembinaan sumberdaya (pengamat iklim)

maupun pengelolaan terhadap peralatan

Page 33: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

32

iklim itu sendiri.Usaha untuk peningkatan

mutu juga dilakukan baik melalui

komunikasi yang dilakukan secara terus

menerus untuk menyamakan persepsi

terhadap arti penting stasiun iklim dan

data iklim, maupun melalui kegiatan

perawatan, kalibrasi dan perbaikan

peralatan iklim.

Dengan demikian data yang

diperoleh dapat digunakan secara optimal

dalam mengantisipasi penyimpangan

(anomali) iklim, seperti melalui prakiraan

dan prediksi iklim. Sebuah proses

pemeliharaan dan perawatan yang efektif

membutuhkan tiga tingkatan yang

berbeda, yaitu:

1. Pemeliharaan perlindungan

(protective maintenance), adalah

strategi pemeliharaan alat berdasarkan

pada penggantian item pada interval

yang tetap, terlepas dari kondisi pada

saat itu. Perlindungan atau

pemeliharaan preventif, harus

dibedakan dari perbaikan atau

pemeliharaan dan proses

pelaksanaannya terjadwal.

2. Pemeliharaan korektif (corrective

maintenance), adalah setiap kegiatan

pemeliharaan yang diperlukan untuk

memperbaiki kegagalan yang telah

terjadi atau sedang dalam proses.

Kegiatan ini terdiri dari perbaikan,

restorasi atau penggantian komponen.

3. Kalibrasi (calibration), adalah proses

penentuan parameter kinerja sebuah

instrumen atau sistem dengan

membandingkannya dengan standar

pengukuran. Penyesuaian dapat

menjadi bagian dari kalibrasi.

Melakukan kalibrasi berarti menjamin

bahwa suatu perangkat atau sistem

akan menghasilkan hasil yang

memenuhi kriteria yang ditetapkan

dengan tingkat keyakinan tertentu.

Dua konsep penting yang terkait

dengan pengukuran kalibrasi adalah

presisi dan akurasi. Presisi (precision)

merujuk pada perubahan dilihat minimum

dalam parameter yang diukur, sedangkan

akurasi (accuracy) mengacu pada jumlah

sebenarnya kesalahan yang ada dalam

sebuah kalibrasi.

Perhitungan kalibrasi

menggunakan metode Experimental

Standard Deviation of Mean (ESDM)

dengan membandingkan data yang

dihasilkan sensor dengan nilai standar.

Sebagai pembanding yang mempunyai

nilai standar dapat digunakan

Psychrometer atau salinitas dengan

larutan garam NaCl dengan nilai Relative

Humidity (RH) sebesar 75,4% dan butiran

garam masih terlihat. Berdasarkan

referensi dari pabrikan bahwa larutan

garam dengan butiran garam masih

terlihat mempunyai nilai kelembaban (RH)

NaCl 75,4%, MgCl 32,8%, LiCl 11,1%,

K2SO4 97,3% dan Mg (NO3) 53,0% pada

suhu 20oC.

Dari uraian sebelumnya dapat

diduga bahwa kalibrasi peralatan iklim

memegang peranan penting dalam

Page 34: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

33

menjaga kualitas data yang relevan sesuai

dengan presisinya.Sehingga data yang

dihasilkan dapat digunakan sebagai data

yang dapat dianalisis yang menghasilkan

ouput yang handal dan dapat dipercaya

serta dipertanggungjawabkan.

Merujuk dari permasalahan diatas,

maka studi ini dimaksudkan untuk

melakukan kajian perhitungandengan

mengetahui ketepatan operator atau

petugas dalam melakukan kalibrasi

sensor. Hal ini dilakukan dengan

menggunakan hasil perhitungan metode

ESDM sebagai metode kalibrasi sensor

kelembaban udara (RH) yang praktis dan

efisien dilakukan di laboratorium maupun

dilapangan.

METODE PENELITIAN

Kajian kalibrasi dan perbaikan alat sensor

kelembaban udara (RH) dilaksanakan

pada tahun 2009, di laboratorium

AGROHIDROMET Balai Penelitian

Agroklimat dan Hidrologi, Bogor.Jenis

sensor RH yang akan dikalibrasi

mempunyai spesifikasi variabel kapasitor

HUMICOR dengan filter penutup, rentang

ukur 0-100% dengan faktor koreksi

(akurasi) antara 0,1-0,5 dan ketidakpastian

bentangan (resolusi) antara 0-5, F1 awal:

15265, A.Point: 416, U:1 CE 191,

No.219.2 U. Data logger yang digunakan

untuk menghubungkan sensor dan

merekam data hasil output sensor RH

bertipe Enerco 407 buatan Cimel

Electronique Perancis dengan durasi data

setiap jam selama 20 jam. Sedangkan nilai

RH yang digunakan sebagai nilai RH

standar adalah larutan NaCl (nilai RH

75,4%) dengan butiran NaCl masih

terlihat.

Dalam melakukan pengukuran dan

perhitungan kalibrasi sensor RH terdiri dari

tiga tahap; 1) tahap persiapan; 2) tahap

pengukuran/pengambilan data; dan 3)

tahap evaluasi dengan metode

pembandingan Experimental Standard

Deviation of Means (ESDM) serta

memperhatikan tahapan pengukuran

kalibrasi sebagai berikut:

Tahap Persiapan. Dilakukan

dengan menyiapkan sensor RH yang akan

dikalibrasi dan menempatkan sensor RH

diatas larutan dalam wadah sehingga tidak

terkena air dari larutan NaCl. Peralatan

lainnya adalah Datta logger sebagai alat

perekam data, kertas dan pulpen untuk

mencatat, larutan NaCl dengan butiran

masih terlihat ditempatkan dalam tempat

yang terisolasi dapat berupa kotak plastik

atau kotak kaca seperti tertera pada

Gambar 1.

Gambar 1. Sensor kelembaban udara, tempat kali-brasi sensor RH berisi larutan NaCl dan Data Logger sebagai perekam data

Page 35: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

34

Tahap Pengukuran. Pada tahap

ini dilakukan pengukuran dan pencatatan

hasil pengukuran sensor RH sebelum dan

setelah pengukuran kalibrasi

menggunakan data logger dengan lama

durasi perekaman data setiap jam selama

20 jam sebelum dan setelah perhitungan

kalibrasi dilakukan. Hasil pengukuran

yang direkam data logger kemudian

dicatat serta dibuat tabel.

Tahap Evaluasi. Pada tahap ini

dilakukan perhitungan, evaluasi dan

membandingkan hasil pengukuran sensor

RH dengan nilai kalibrasi yang dianggap

standar (NaCl nilai RH 75,4%).

Perhitungan kalibrasi sensor RH melalui

perhitungan nilai rerata ( ), perhitungan

nilai standar deviasi (S),derajat kebebasan

(Degree of Freedom) v = n-1 dan

perhitungan ketidakpastian baku atau

ESDM (Experimental Standard Deviasi of

Means) dengan persamaan:

Perhitungan ketidakpastian baku (standard

uncertainty) tipe A (U) adalah nilai ESDM,

yaitu U = ESDM. Berikutnya dengan

asumsi mempunyai distribusi normal,

maka perhitungan ketidakpastian

bentangan dari sensor RH yang dikalibrasi

dapat diperoleh dengan faktor cakupan

k=2. Dengan demikian ketidakpastian

bentangan adalah U = 2 x ESDM.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil kegiatan pengukuran dan pencatatan

data dari data logger yang didapatkan

tertera pada Tabel 2. Hasil perhitungan

rerata sensor kelembaban udara (RH)

dengan NaCl (Tabel 2) menunjukkan

bahwa, hasil pembacaan sensor RH yang

dibandingkan dengan NaCl sebagai nilai

standar menghasilkan nilai rerata 85,5

sebelum dilakukan kalibrasi perbaikan

sensor RH tersebut.

Tabel 2. Data hasil pengukuran sensor Kelembaban udara (RH, %) dengan NaCl sebelum kalibrasi

X

Page 36: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

35

Hasil perhitungan faktor koreksi

(Tabel 3) menunjukkan bahwa, hasil rerata

faktor koreksi mempunya nilai -10,1

sedangkan nilai analisis perhitungan

ketidakpastian bentangan mempunyai nilai

0,4 yang disajikan pada Tabel 3. Pada

Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil ini

masih termasuk dalam rentang nilai

standar, tetapi nilai koreksi tidak sesuai

standar yang dianjurkan.Rentang nilai

rerata keluaran sensor RH sebelum

dilakukan kalibrasi dengan pembanding

NaCl nilai 75,4% sangat besar jaraknya

(Gambar 2) dan nilai rerata 85,5%. Hasil

ini sebagai indikator bahwa sensor RH

tersebut perlu dilakukan pemeriksaan

fisik.Apabila ternyata tidak ada kerusakan

fisik pada sensor RH tersebut, maka

sensor dilanjutkan untuk dikalibrasi agar

dapat digunakan.

Tabel 3. Hasil perhitungan kalibrasi sensor

kelembaban udara (RH) dengan

NaCl.

Berdasarkan pemeriksaan fisik

dan hasil analisis faktor koreksi dan

ketidakpastian bentangan, sensor tersebut

dapat dilanjutkan dengan melakukan

kalibrasi agar nilai ouput dari sensor

kembali menjadi relevan dan akurat. Nilai

yang memenuhi standar berkisar antara

0,1-0,5 untuk faktor koreksi, 0-0,5 untuk

ketidakpastian bentangan dan nilai rerata

ouput sensor sama atau mendekati nilai

standar kalibrasinya.

Hasil sebelum dilakukan kalibrasi

dan nilai standar yang ditunjukkan pada

Gambar 2 memperlihatkan bahwa nilai

jarak antara titik standar nilai kalibrasi

(NaCl) sangat lebar.Diperkirakan kondisi

nilai kalibrasi sensor RH dari pabrikan

telah bergeser. Pergeseran nilai tersebut

dapat disebabkan oleh umur dari sensor

tersebut yang melebihi masa waktu

kalibrasi, atau cekaman iklim yang

mempengaruhi bahan dasar dari sensor

tersebut. Kedua kondisi ini dapat

mempengaruhi nilai kalibrasi atau dapat

mengakibatkan kerusakan fisik sensor.

Gambar 2. Sensor kelembaban udara (RH) dengan NaClnilai 75,4% sebagai pembanding sebelum dilakukan perbaikan melalui kalibrasi

Page 37: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

36

Hasil perhitungan rerata

pengukuran setelah dilakukan kalibrasi

tertera pada Tabel 3, yang menunjukkan

bahwa, rerata sensor RH bernilai 75% dan

faktor koreksi 0,5. Nilai rerata pada

rentang tersebut menunjukkan bahwa

kondisi sensor tersebut masih baik karena

nilai ouput dari sensor RH mendekati nilai

kalibrasi standar NaCl, setelah

pengukuran dan perhitungan sederhana

rerata dari ouput sensor RH diketahui.

Apabila indikasi dari nilai rerata telah

didapatkan akan menunjukkan bahwa

sensor tidak rusak secara fisik maka

dilanjutkan dengan perhitungan analisis

dengan metode ESDM. Pada dasarnya

setiap sensor RH mempunyai nilai

parameter kalibrasi yang diberikan oleh

pabrikan sebagai nilai akurasi dan

koefisien bentangan dalam spesifikasinya.

Tabel 4. Data hasil pengukuran sensor Kelembaban udara (RH, %) dengan NaCl setelah kalibrasi.

Nilai dari pabrikan tersebut dapat menjadi

acuan nilai koreksi bagi nilai kalibrasi

sensor tersebut, sehingga nilai rentang

data pengukuran hasil kalibrasi masih

dalam spesifikasi dan relevan. Analisis

perhitungan dengan menggunakan

metode Experimental Standard Deviation

of Mean (ESDM)terhadap sensor RH,

pada tahap evaluasi menunjukkan nilai

RH yang mengarah pada nilai kalibrasi

standar. Nilai-nilai output dari sensor RH

dengan durasi perekaman data setiap jam

selama 20 jam. Tabel 4 menunjukkan

bahwa perubahan yang signifikan dengan

kumpulan data mengarah ke normal pada

nilai standar NaCl. Nilai hasil kalibrasi

dengan metode ESDM dimasukkan

kedalam parameter data logger sesuai

spesifikasi teknis yang diberikan oleh

pabrikan.

Page 38: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

37

Hasil analisis yang diberikan dari

perhitungan ESDM setelah dilakukan

kalibrasi menunjukkan bahwa nilai rerata

sensor RH 75%, koreksi 0,5 dan

ketidakpastian bentangan 0,2 (Tabel 2).

Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai

tersebut termasuk rentang nilai yang dapat

diterima baik oleh spesifikasi pabrik

maupun kaidah-kaidah kalibrasi yang

dihasilkan. Pada Gambar 3 dapat dilihat

bahwa setelah diberikan perlakuan

kalibrasi terhadap sensor RH, garis nilai

ouput sensor terdistribusi mendekati dan

mengikuti nilai standarnya. NaCl dalam

wadah yang terisolasi dapat menyerap

udara yang berair didalamnya, sehingga

udara tersebut dapat mencapai nilai RH

tetap NaCl (75,4%). Hal ini menunjukkan

bahwa, larutan garam jenuh dapat

digunakan untuk mengkarakterisasi sensor

kelembaban.

Hasil perhitungan dengan metode

ESDM dengan nilai standard kalibrasi

NaCl (nilai RH 75,4%) menunjukkan

Gambar 3. Sensor kelem-baban udara (RH) dengan N a C l n i l a i 75,4% sebagai pemband ing setelah dilaku-kan perbaikan melalui kali-brasi

dapat digunakan secara efektif dan efisien.

Analisis kalibrasi dengan

menggunakan metode ESDM juga

memperhatikan nilai rerata ouput sensor

yang dikalibrasi tidak melebihi atau kurang

terhadap nilai standar, faktor koreksi dan

koefisien bentangan yang diberikan oleh

pabrikan.Kalibrasi garam NaCl terbukti

lebih dapat diandalkan efektif dan efisien

daripada RH generator. Pergeseran nilai

sensor RH yang merespon NaCl sebagai

standar kalibrasi dapat menjamin

keandalan prosedur pengukuran.

KESIMPULAN

Hasil kajian kalibrasi alat sensor RH

(kelembaban udara) menggunakan

perhitungan ESDM dengan pembanding

NaCl sebagai standar memperoleh nilai

RH 75,0%, faktor koreksi 0,5 dan koefisien

bentangan 0,2. Hasil ini sesuai dengan

standar kalibrasi menggunakan garam

NaCl. Dengan demikian penggunaan

garam NaCl dapat digunakan secara

efektif dan efisien.

Page 39: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

38

DAFTAR PUSTAKA

Balitbang Pertanian. 2013. Petunjuk Teknis Pengelolaan Stasiun Iklim. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 34 hal.

Tjasjono, B. 1995.Klimatologi Umum.Bandung: Penerbit ITB Bandung. Puslittanak-Badan Litbang Pertanian. 1997. Pengembangan Sistem Jaringan Stasiun dan

Data-Base Iklim Badan Litbang Pertanian dalam Menunjang Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor: Departemen Pertanian.

Rojali, Ah.MG. 1997.Alat-alat Meteorologi (Jilid A).Bahan kuliah Taruna Akademi Meteorologi dan Geofisika.Balai Pendidikan dan Latihan Meteorologi dan Geofisika.Badan Pendidikan dan Latihan.Jakarta: Departemen Perhubungan.

Kolka, R.K and A. T. Wolf. 1998. Estimating Actual Evapotranspiration for Forested Sites: Modifications to the Thornthwaite Model. Research Note SRS6. Forest Service.Asheville:USDA.

Lembaga Pusat Penelitian Pertanian. 1976. Laporan Kemajuan, Seri Fisiologi No.1. Bogor: Departemen Pertanian

Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi.2008.Optimasi Sebaran dan Pengembangan Jaringan Stasiun Iklim dan Hidrologi yang dikelola oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.Laporan Akhir, Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor: Departemen Pertanian.

Thornthwaite, C.W and J.R. Mather. 1957. Instructions and Table for Computing Potential Evapotranspiration and Water Balance. Centerton, New Jersey: Publishingof Climatology. vol. X No. 3.Drexel Institute of Technology.

Syahbuddin, H., I. Las, E. Runtunuwu, K. Sari, E. Surmaini, dan K. Subagyono. 2007. Optimasi sebaran dan pemanfaatan jaringan stasiun iklim dan hidrologi mendukung perencanaan pertanian. Laporan akhir, Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, BBSDLP, Badan Litbang Pertanian. Bogor: Departemen Pertanian

Syahbuddin, H., M.D. Yamanaka, and E. Runtunuwu. 2004. Impact of Climate Change to Dry Land Water Budget in Indonesia: Observation during 1980-2002 and Simulation for 2010-2039. Asia Oceania and Geosciences Society (AOGS)-1st Annual Meeting, on July 20-24, 2004, Singapore: Abstract proceeding.

Willmott, C.J., C.M. Rowe, and Y. Mintz. 1985. Climatology of the Terrestrial Seasonal Water Cycle. Journal of Climatology. 5: 589-606.

Universitas Indonesia.2007. Dasar-dasar Pengukuran dan Kesalahan Pengukuran. Jakarta: P2M Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik.

Hutagalung, S.S. 2007. Materi Pelatihan Kalibrasi Departemen Pertanian. Bogor: LIPI Cimel Informations. 2006. CIRAD-France. Komite Akreditasi Nasional.2003. Pedoman Evaluasi dan Pelaporan Ketidakpastian

Pengukuran. Jakarta: KAN. DP.01.23. Relative humidity above saturated salt solutions at various temperatures. 2012.(http://

www.robertharrison.org/icarus/wordpress/hardware/relative-humidity-above-saturated-salt-solutions-at-various-temperatures/, diakses tanggal 12 April 2012, Kamis jam: 09.01.WIB).

How hard could that be? Practical Humidity Calibration Experiences. 2012. (http://www.veriteq.com/humidity/calibration.htm, diakses tanggal 12 April 2012, Kamis jam: 09.05.WIB)

Page 40: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

39

PENINGKATAN KETAHANAN AIR UNTUK MENINGKATKAN IP TANAMAN PADA LAHAN TADAH HUJAN DAN LAHAN KERING

Nono Sutrisno

Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam

kerangka negara kesatuan, tertuang dalam Nawacita. Semua potensi daerah harus diu-

payakan optimal agar dapat meningkatkan keunggulan masing-masing daerah. Khususnya

dalam upaya optimalisasi sumber daya lahan dan air dalam mencapi swasembada pan-

gan,bahkan diharapkan mencapai surplus agar berdampak secara nasional. Namun

demikian, Indonesia menghadapi tantangan dan permasalahan dalam ketahanan air. Per-

tumbuhan ekonomi dan urbanisasi mengakibatkan permintaan air yang lebih besar, baik

dari sektor domestik, industri maupun pertanian. Di daerah perkotaan, tingkat kesediaan air

tanah telah memasuki ambang kritis karena eksploitasi berlebih, di lain pihak beberapa DAS

penting menunjukkan tingkat erosi dan polusi yang tinggi. Terjadinya kelangkaan air (water

scarcity) terutama di musim kemarau, semakin terasa akibat kompetisi pemanfaatan untuk

berbagai kebutuhan hidup yang semakin meningkat. Perubahan iklim juga telah menyebab-

kan masalah ketidak tentuan ketersediaan air untuk produksi pertanian. Secara keseluruhan

permasalahan tersebut akan berdampak negatif terhadap peningkatan produksi pertanian

khususnya produksi bahan pangan.

Menurut Hasan (2012), pengelolaan sumber daya air semakin lama semakin kom-

pleks, pada awal tahun 1970-an pengelolaan sumber daya air masih memperhitungkan

aspek teknis, ekonomi dan pertanian. Namun pada tahun 1990-an pengelolaan sumber

daya air mulai menambahkan aspek kelembagan, dan pada tahun 2000-an mulai memper-

timbangkan aspek lingkungan, sampai isu perubahan iklim. Dalam mengelola air untuk

mendukung peningkata indeks pertanaman, diperhitungkan aspek water foot print, selain

itu, dalam pengelolaan infrastruktur sumber daya air juga memperhitungkan aspek water

security. Untuk mencapai water security, diperlukan adanya investasi skala nasional dalam

pengembangan SDA, baik untuk infrastruktur maupun kelembagaan. Dimana konsep dari

ketahanan air adalah lebih luas daripada ketersediaan air, upaya mendapat air, keamanan

dari daya rusak dan penyediaan air yang berkelanjutan. Prinsip dari ketahanan air adalah

dikaitkan dengan empat hal yakni aksesibilitas, berkelanjutan, keamanan dan ketersediaan

potensi air.

Page 41: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

40

Ketahanan air pengertiannya lebih

luas daripada ketersediaan air. Ketahanan

air merupakan upaya mendapatkan air,

kemampuan masyarakat untuk menjaga

keberlanjutan dalam pemenuhan

kebutuhan air, baik dalam jumlah yang

mencukupi serta mutu yang dapat diterima

serta keamanan dari daya rusak.

Ketahanan air adalah ketersediaan air

secara kuantitas dan kualitas untuk

kesehatan, kehidupan, ekosistem dan

produksi, serta tingkat risiko terkait air

yang dapat diterima oleh manusia,

lingkungan, dan ekonomi (Grey dan

Sadoff, 2007 dalam Radhika et al, 2017).

Menurut Khan (2014 dalam Radhika et al,

2017) ketahanan air adalah kemampuan

masyarakat (penduduk) untuk menjaga

akses pada jumlah air yang mencukupi

dan kualitas air yang dapat diterima untuk

keberlanjutan kesehatan manusia dan

ekosistem pada suatu daerah tangkapan,

dan menjamin perlindungan kehidupan

dan harta benda terhadap bencana terkait

air yaitu banjir, tanah longsor, penurunan

tanah, dan kekeringan. Definisi ketahanan

air yang memberikan pengertian sangat

komprehensif disampaikan oleh UN-Water

(2013) dalam Radhika et al, (2017),

ketahanan air (water security) adalah (1)

kemampuan masyarakat untuk menjaga

keberlanjutan dalam pemenuhan

kebutuhan air, baik dalam jumlah yang

mencukupi serta mutu yang dapat

diterima; (2) Pemenuhan kebutuhan air

tersebut dimaksudkan untuk: (a) menjaga

keberlanjutan kehidupan, kesejahteraan

umat manusia, dan perkembangan sosial-

ekonomi; (b) menjamin perlindungan atas

pencemaran air dan bencana terkait air;

(c) melestarikan ekosistem dalam suasana

damai dan kondisi politik yang stabil.

Menurut Alam (2017), ketahanan

air Indonesia masih sangat rendah

dibandingkan dengan negara lain.

Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan

Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR),

ketahanan air atau daya tampung air yang

dimiliki Indonesia saat ini hanya mencapai

63 meter kubik per kapita per tahun.

Idealnya memiliki daya tamping 1.600

meter kubik per kapita per tahun. Untuk

meningkatkan daya tampung air,

pemerintah akan membangun 65

bendungan baru yang tersebar di

beberapa wilayah. Adanya peningkatan

daya tamping air yang dilakukan akan

meningkatkan ketahanan air nasional, bisa

mencapai 150 meter kubik per kapita per

tahun. Selain itu, adanya bendungan akan

membangkitkan energi ramah lingkungan.

Berdasarkan hasil pengkajian

Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Asia-

Pacific Water Forum (APWF) tahun 2013,

Indonesia dan 37 negara-negara di Asia-

Pasifik sedang mengalami ketahanan air

yang cukup memprihatinkan (a serious

lack of water security), tanpa tindakan

segera memperbaiki manajemen

sumberdaya air, akan menyebabkan

Indonesia dan banyak di antara negara-

negara tersebut yang dalam waktu dekat

Page 42: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

41

akan mengalami krisis air (Soim,

2013). Pada dasarnya Indonesia

merupakan negara dengan potensi

sumber air tawar diatas rata-rata global,

tetapi tidak luput dari masalah ketahanan

air nasional (national water security) dan

tentu akan sangat mempengaruhi upaya

pembangunan untuk mewujudkan

kesejahteraan masyarakat. Ditambahkan

oleh IWMI, (2015) dalam PPI Delft (2017),

Indonesia masih menempati peringkat 14

dari 28 negara Asia Pasifik dalam hal

Water Security Index, skor 5.82 dari 10

(Low Level) dalam hal Ketahanan Energi

(DEN, 2014 dalam PPI Delft, 2017), dan

peringkat 74 dari 109 negara dalam hal

Ketahanan Pangan (GFSI, 2015 dalam

PPI Delft, 2017). Hal ini membuktikan

bahwa Indonesia masih perlu banyak

berbenah menuju terciptanya ketahanan

Air, Enegi dan Pangan yang berkeadilan

Di sisi lain,sampai saat ini,

produktivitas sawah tadah hujan dan lahan

kering masih rendah, antara lain karena

air tidak tersedia sesuai dengan

kebutuhan tanaman. Air untuk kebutuhan

tanaman hanya mengandalkan curah

hujan tidak sesuai dengan target yang

ingin dicapai. Akan lebih tidak menentu

lagi dengan adanya perubahan iklim yang

menyebabkan semakin seringnya terjadi

iklim ekstrim yang berakibat terjadinya

banjir dan kekeringan. Tidak tersedianya

air sepanjang tahun pada kawasan sawah

tadah hujan dan lahan kering

menyebabkan lahan tadah hujan dan

lahan kering rendah produktivitasnya.

Padahal Peranan sawah tadah

hujan dan lahan kering sebagai penghasil

bahan pangan hususnya beras sangat

besar baik pada skala nasional maupun

global. Sawah tadah hujan dan lahan

kering sebagai penghasil bahan pangan

sangat strategis baik pada skala nasional

maupun global.Tiga puluh persen tanaman

yang dikonsumsi di berbagai sudut dunia

berasal dari lahan kering dan lahan

sawah tadah hujan. Dalam system global,

lahan kering menempati hampir 72 % dan

terletak di negara berkembang, dari porsi

tersebut, sekitar 90% menjadi andalan

kehidupan di daerah pedesaan (Smith et

al., 2009 dalam Sutrisno et al., 2012).

Ditambahkan oleh Kasryno et al, (2012),

sekitar 40% lahan pertanian dunia adalah

lahan kering, dengn distribusi sebagai

berikut: terluas berada di Asia sebesar

34,4%, ke dua terluas di Afrika sebesar

24,15% dan di Amerika sebesar 24,03%.

Lahan kering tersebut merupakan sumber

daya yang dimiliki oleh pemerintah secara

nasional, regional, maupun pemerintah

lokal, dan kelompok masyarakat atau

individu (Meinzen-Dick, 2009).

Pada saat ini, luas lahan sawah

tadah hujan dan lahan kering yang

berpotensi dapat ditingkatkan IP nya

sangat luas.Menurut Syahbuddin (2016),

luas sawah tadah hujan dan lahan kering

yang potensial untuk ditingkatkan indeks

pertanamannya, yang posisinya tidak jauh

dari sumber air permukaan (sungai,

Page 43: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

42

embung dan longstorege) atau yang

ketersediaan air tanahnya dangkal adalah

seluas 4,1 juta ha. Artinya, indeks

pertanaman pada lahan sawah tadah

hujan dan lahan kering seluas 4,1 juta ha

dapat ditingkatkan menjadi 200 atau

bahkan menjadi 300.

Kendala utama dalam

pengembangan lahan tadah hujan dan

lahan kering adalah jaminan ketersediaan

air yang tidak pasti dan terbatas. Oleh

karena itu, sawah tadah hujan hanya

ditanam 1 kali (IP 100) dalam setahun.

Demikian juga tentunya untuk lahan kering

yang ditanami tanaman pangan hanya 1

kali dalam setahun kecuali tanaman

tahunan/pohon. Untuk meningkatkan

indeks pertanaman padi pada sawah

tadah hujan dan tanaman pangan pada

lahan kering, diperlukan adanya tambahan

air untuk irigasi yang dapat menambah air

irigasi sesuai dengan kebutuhan tanaman.

Artinya peningkatan tampungan air atau

peningkatan ketahanan air untuk irigasi

pada musim kemarau.

Menurut Amron, (2010),

peningkatan ketahanan air yang dilakukan

oleh Kementerian PUPRyaitu membangun

infrastruktur di bidang sumber daya air

yakni bendungan, waduk, jaringan irigasi

dan sistem pengendali banjir.

Ditambahkan oleh Kirmanto (2012),

bahwa dalam rangka membangun ketahan

air nasional yang lebih kuat diperlukan

Program dan Pelaksanaan pengelolaan

sumberdaya air (SDA) yang disusun

berdasarkan Rencana Pengelolaan SDA,

dan sampai saat ini telah terbangun waduk

dengan total tampungan sebesar 14 miliar

m3 dan sedang dibangun waduk baru

dengan tambahan tampungan sebesar 5,6

miliar m3. Tambahan tampungan tersebut,

antara lain Waduk Jatigede dengan

kapasitas tampung 979,5 juta m3 yang

telah beroperasi penuh pada saat ini.

Waduk Jatibarang dengan kapasitas

tampung 20,4 juta m3 yang telah selesai

pada tahun 2014 dan Waduk Karian

dengan Volume tampungan sebesar

314,70 juta m³, yang direncanakan selesai

tahun 2019. Dani, (2017) menambahkan,

peningkatan ketahanan air lainnya dapat

dilakukan dengan melakukan

pembenahan pengelolaan danau. Sampai

saat ini, di seluruh Indonesia terdapat 840

danau dengan tipologi yang bervariasi dan

total luas seluruh danau mencapai 7.130

kilometer persegi. Tetapi dari 840 danau

yang ada, pemerintah saat ini baru

memprioritaskan pembenahan

pengelolaan 15 danau. Danau yang

diprioritaskan untuk dilakukan

pembenahan yaitu Danau Rawa Pening di

Jawa Tengah, Rawa Danau di Banten,

Danau Batur di Bali, Danau Toba di

Sumatera Utara, Danau Kerinci di Jambi,

Danau Maninjau di Sumatera Barat,

Danau Poso di Sulawesi Tengah, Danau

Cascade Mahakam-Semayang, Danau

Melintang dan Danau Tondano di

Sulawesi Utara, Danau Tempe dan Danau

Matano di Sulawesi Selatan, Danau

Page 44: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

43

Limboto di Gorontalo, Danau Sentarum di

Kalimantan Barat, Danau Jempang di

Kalimantan Timur, dan Danau Sentani di

Papua. Kebijakan melakukan

pembenahan danau lainnya diperlukan

untuk meningkatkan ketahanan air agar

produksi pertanian menjadi lebih

meningkat lagi.

Untuk melihat kondisi ketahanan

air suatu wilayah sungai, disampaikan

hasil penelitian Radhika et al, (2017) yang

menganalisis ketahanan air wilayah sungai

(WS) Ciliwung-Cisadane, bahwa

ketahanan air WS Cilwung-Cisadane perlu

ditingkatkan agar produksi pertanian

meningkat. Hasil analisis menunjukkan

bahwa WS Ciliwung-Cisadane mempunyai

indeks ketahanan air irigasi pada tingkat

level 2 dengan prosentase antara 60% -

70% dan predikatnya Engaged berarti

buruk. Kesimpulan ini merupakan hasil

resultante dari: Indeks Pemakaian Air

(IPA) irigasi WS Ciliwung-Cisadane dari

debit andalan 80% sudah mencapai angka

44% , dan IPA irigasi dari debit kapasitas

terpasang sebesar 85%. Debit kapasitas

terpasang sudah 53% dari debit andalan

80%, dengan indeks ketersediaan air

perkapita sebesar 150 m3/orang/tahun.

Produksi irigasi perkapita sebesar 0,06

ton/orang/tahun dan untuk produktivitas air

irigasi dari debit andalan 80% sebesar

0,23 kg/m3 dan dari debit kapasitas

terpasang sebesar 0,44 kg/m3 (Radhika et

al, 2017). Perbaikan kebijakan yang harus

dilakukan untuk WS Ciliwung-Cisadane

adalah meningkatkan predikat indeks

ketahanan air irigasi dari predikat Engaged

yang berarti buruk, level 2 menjadi

predikat Capable yang berarti sedang,level

3, dan bahkan kalau memungkinkan

ditingkatkan lebih tinggi lagi predikatnya

menjadi Effective, level 4 yang berarti baik.

Upaya peningkatan IP tanaman

pada lahan sawah tadah hujan melalui

peningkatan ketahanan air, dilakukan

dengan menerapkan pengelolaan air

irigasi melalui implementasi teknologi

irigasi pompa air sungai Way Seputih di

Kabupaten Lampung Tengah. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa

peningkatan ketahanan air melalui irigasi

pompa air sungai dapat menigkatkkan IP

tanaman padi sawah tadah hujan dari IP

100 menjadi 200. Dalam implementasinya,

pengelolaan air yang diterapkan adalah

teknologi pemanfaatan air dari Way

Seputih menggunakan pompa irigasi guna

mengangkat air dari sungai dan

mengalirkannya ke lahan yang berada

didekat sisi sungai yang memiliki

ketinggian kurang dari 10 m (Gambar 1).

Spesifikasi pompa ditetapkan memiliki

kapasitas debit antara 15 - 20 l/dt dan

head total 20 m. Target lahan terairi

mencapai luas ± 9 ha. Air dari pompa

didistribusikan ke lahan melalui saluran

terbuka terbuat dari bahan terpal/HDPE

setebal 3 mm yang dibuat membentuk

trapesium. Saluran dilengkapi pintu bagi

dari beton semen.

Page 45: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

44

Dimensi saluran terbuka didesain

dengan mempertimbangkan elevasi lokasi

sumber air dan lokasi lahan target irigasi,

jarak antara titik pengambilan air/sumber

air dan titik outlet air di lahan target irigasi,

kontur lahan antara lokasi sumber air

dengan lokasi target irigasi, debit sumber

air saat musim hujan dan musim kemarau,

luas target irigasi serta kebutuhan volume

irigasi. Untuk memperoleh data dan

infromasi yang dibutuhkan, maka

dilakukan surveI identifikasi lokasi sumber

air dan lokasi target irigasi, serta

identifikasi potensi debit.Desain demfarm

irigasi pada lahan sawah di Desa Bumi

Udik, Kec. Anak Tuha, Kabupaten

Lampung Tengah, Prov. Lampung,

disajikan pada Gambar 2. Debit Way

Seputih hasil pengamatan

dengan current meter pada

kondisi baseflow sebesar 3,061

m3/detik, artinya, air yang

t e r s e d i a t e r s e b u t d a p a t

dimanfaatkan untuk irigasi seluas

lebih dari 2000 ha.

Gambar 1. Irigasi memanfaatkan air Sungai Way Seputih dengan pompa di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung

Gambar 2. Hasil pemetaan lokasi demfarm seluas ± 10 ha dan desain irigasi di Desa Bumi Udik, Kec. Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah, Prov. Lampung

Page 46: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

45

Keragaan tanaman menjelang

panen terlihat kurang baik, karena

terserang neckblast, dapat dilihat pada

Gambar 3. Selanjutnya, terjadi serangan

hama burung menyebabkan hasil panen

semakin menurun. Banyaknya serangan

hama yang terjadi karena padi ditanam

pada saat musim kemarau, petani lain

tidak tanam, sehingga hama burung

banyak menyerang ke lokasi demfarm.

Gambar 3. Keragaan tanaman padi sawah menjelang panen di Desa Bumi Udik, Kecama-tan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah

Hasil panen MK II menunjukkan

hasil yang kurang memuaskan karena

banyak serangan hama hususnya

serangan burung pada saat mau panen.

Pengamatan panen dilakukan ubinan

dengan ukuran: 4 m x 2,5 m atau luas

ubinan 10 m2. Hasil pengamatan panen

ubinan pada lahan 3 petani kooperator

disajikan pada Tabel 1. Hasil gabah kering

panen (GKP) tertinggi adalah di lahan

petani kooperator/Sunadi yakni sebesar

5,19 t/ha GKP disusul dengan hasil di

lahan Senen sebesar 2,74 t/ha GKP dan

yang terkecil adalah di lahan Kento yakni

sebesar 1,10 t/ha GKP (Tabel 1).

Tabel 1. Hasil Panen Ubinan Padi IP100 Desa Bumi Udik, Kec. Anak Tuha

Page 47: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

46

DAFTAR PUSTAKA

Alam. N.N. 2017. Ketahanan Air Indonesia Dinilai Masih Rendah. https://kumparan.com/

angga-sukmawijaya/ketahanan-air-indonesia-dinilai-masih-rendah.

Amron. M. 2010. Ketahanan Air dan Berbagai Tantangan Perubahan Iklim. http://

www1.pu.go.id/uploads/berita/ppw220710sda.htm.

Asian Development Bank (ADB) dan Asia-Pacific Water Forum (APWF). 2013. Asian Water Development Outlook 2013. Measuring Water Security in Asia and the Pacific. https://reliefweb.int/sites/reliefweb.int/files/resources/asian-water-development-

outlook-2013.pdf

Dani. 2017. Wujudkan Ketahanan Air, Pengelolaan 15 Danau Jadi Prioritas Nasional. https://economy.okezone.com/read/2017/05/15/320/1690995/wujudkan-ketahanan-

air-pengelolaan-15-danau-jadi-prioritas-nasional.

Hasan. M. 2012. Ketahanan Air dan Pangan. http://sda.pu.go.id/index.php/berita-sda/datin-

sda/item/85-ketahanan-air-dan-pangan.

Kasryno. F, Haryono. S. 2012. Pertanian Lahan Kering sebagai Solusi untuk Mewujudkan Kemandirian Pangan Msa Depan. Buku: prospek Pertanian Lahan Kering dalam Mendukung Ketahanan Pangan. Ed. A. Dariah, B. Kartiwa, N. Sutrisno, K. Suradis-astra, M. Sarwani, Haryono. S, E. Pasandaran. Badan Penelitian dan Pengemban-

gan Pertanian.

Kirmanto. D. 2012. Menteri PU Dorong Perguruan Tinggi Sikapi Ketahanan Air. http://sda.pu.go.id/index.php/berita-sda/pu-net/item/161-menteri-pu-dorong-pt-sikapi-

masalah-ketahanan-air.

PPI Delft. 2017. Pembangunan Ketahanan Air, Energi dan Pangan (AEP) Nasional Berbasis Lokal dengan Pendekatan ‘Nexus’ & Model Sistem Dinamik. http://ppibelanda.org/kopi-delft-pembangunan-ketahanan-air-energi-dan-pangan-aep-nasional-berbasis-

lokal-dengan-pendekatan-nexus-model-sistem-dinamik/.

Meinzen-Dick, R. & Mwangi, E. 2009 Cutting theweb of interests: pitfalls of formalizing prop-

erty rights.Land Use Pol. 26, 36–43. (doi:10.1016/j.landusepol.2007.06.003).

Rhadika. Nk; Firmnansyah. R; Hatmoko. W. 2017. Konsep Indikator Ketahanan Air Irigasi. Puslitbang Sumberdaya Air. Kementerian PUPR. INACID. ICID. CIID ttps://

www.researchgate.net/publication/315486393.

Sutrisno. N; A. Dariah; E. Pasandaran. 2012. Memperkuat Kemampuan Pertanian Lahan Kering dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Buku: Propek Pertanian Lahan Kering Dalam Mendukung Ketahanan Pangan. Editor: A. Dariah; B. Kartiwa; N. Sutrisno; K. Suradisastra; M. Sarwani; Haryono.S; E. Pasandaran. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian.

Syahbuddin. H. 2016. Identifikasi Lokasi dan Pemanfaatan Air Permukaan untuk Menganti-sipasi Iklim Ekstrim dan Meningkatkan Intensitas Pertanaman. Laporan Ahir Tahun

2016. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Page 48: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

47

UCAPAN TERIMA KASIH (apabila dianggap perlu), berisi penghargaan singkat kepada pihak-pihak yang telah berjasa selama penelitian (3-5 kalimat ringkas).

PUSTAKA disusun menurut abjad dan diberi nomor urut. Secara umum, setiap pustaka hendaknya terdiri atas nama penulis, tahun, judul, halaman, dan penerbit. Pustaka seyogyanya dipilih yang masih mempunyai kaitan dengan topik penelitian dan ditulis sebagai berikut: Untuk Artikel di dalam buku: Nama(-nama) penulis, tahun penerbitan, judul artikel, halaman, nama penyunting, judul publikasi atau buku, nama dan tempat penerbit. Contoh:

Ginting, Z., K. Romimohtarto, S. Hadi , dan S. Saimima. 2004 Prediksi perkembangan iklim di Indonesia Tahun 2004, hal. 135-185. Dalam H. Djojodihardjo et al. (red.). Strategi Antisipasi Dampak Perubahan Iklim, Bogor, 21-23 Maret 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor.

Untuk Terbitan Berkala: Nama(-nama) penulis, tahun penerbitan, judul artikel, nama terbitan (disingkat, apabila dianjurkan), volume dan nomor, dan nomor halaman. Contoh:

Yates, A. W., Jr., J. R. Boyle, and D. R. Duran. 2004. Improving water use efficiency in the rainfed farming systems. J. Agric. Science. 72(4): 519-522.

Untuk buku: Nama(-nama) penulis, tahun penerbitan, judul buku, edisi dan tahun revisi, nama dan tempat penerbit, dan jumlah halaman. Contoh:

Su, J. 2004. Forecasting and time series analysis, vol I. Edwards, Ann Arbor, Michigan, 345pp.

PERSIAPAN TULISAN. Persiapan Tulisan. Naskah diketik dua spasi pada kertas ukuran A4 , satu muka, tipe huruf baku ukuran 12 cpi dan tidak lebih dari 15 halaman (termasuk tabel, gambar, dan pustaka). Badan naskah dicetak dengan ketentuan batas pinggir kertas 3cm atas, bawah, dan kanan, dan 4 cm dari kiri.

Tabel ‘masuk’ ke dalam teks, tidak dikumpulkan di bagian akhir makalah sebagaimana halnya lampiran. Judul tabel terletak di atas tabel yang bersangkutan dan hendaknya berupa satu kalimat yang singkat dan jelas (termasuk keterangan tempat dan waktu). Judul gambar terletak di bawah gambar yang bersangkutan Angka desimal ditandai dengan koma (bahasa Indonesia) atau titik (bahasa Inggeris). Besaran ditulis menurut Standar Internasional, bukan besaran lokal (e.g., kuintal, are) dan mengikuti kaidah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (misalnya: g, l, kg, bukan gr. Ltr, atau Kg). Catatan kaki pada tabel ditandai dengan huruf atau angkadengan posisi agak naik (superscript). Gambar & Grafis hendaknya dibuat dengan piranti lunak komputer berikut ini: Microsoft Excel dan Corel Draw. Foto hendaknya kontras, tajam, dan jelas.

Penyerahan File Penulis yang makalahnya akan segera diterbitkan agar

menyerahkan file teks dan gambar (format seperti tertera sebelumnya) file

diserahkan ke bagian Jasa Penelitian Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi jl.

Tentara Pelajar No. 1 A Cimanggu Bogor 16111.