bahan tutorial skenario 1 geriatri

17
PATOFISIOLOGI Jatuh Stabilitas badan ditentukan atau dibentuk oleh : a. Sistem sensorik Yang telibat dalam sistem sensorik adalah visus (penglihatan), pendengaran, fungsi vestibuler, dan proprioseptif. b. Sistem saraf pusat (SSP) SSP memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input sensorik. c. Kognitif Beberapa penelitian mengatakan dementia diasosiasikan dengan meningkatnya risiko jatuh. d. Muskuloskeletal Gangguan muskuloskletal menyebabkan gangguan gaya berjalan (gait). Gangguan gait terjadi akibat proses penuaan tersebut antara lain disebabkan oleh: - Kekakuan jaringan penghubung - Berkurangnya massa otoot - Perlambatan konduksi saraf - Penurunan visus / lapang pandang - Kerusakan proprioseptif Yang kesemuanya menyebabkan: - Penurunan range of motion (ROM) sendi - Penurunan kekuatan otot - Perpanjangan waktu reaksi - Kerusakan persepsi dalam - Peningkatan postural sway (goyangan badan) Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambatan gerak, langkah yang pendek, penurunan irama, dan pelebaran bantuan basal. Kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan lebih cenderung gampang goyah. Perlambatan reaksi mengakibatkan seorang lansia susah / terlambat mengantisipasi bila terjadi gangguan seperti terpeleset, tersandung, kejadian tiba-tiba sehingga memudahkan jatuh. Pada lansia terjadi perubahan pada sistem pembuluh darah. Hal ini dapat disebabkan karena pembentukan plak ateroma pada sistem karotis. Fungsi dari circulus wilisi terganggu akibat penyempitan pembuluh darah. Gangguan fungsi jantung pada lansia berakibat pada penurunan cerebral blood flow (CBF). Hal ini mengakibatkan gangguan sirkulasi serebral atau perubahan sirkulasi darah di otak. Arteri serebralis berkelok-kelok, apabila pada gerakan leher tertentu, arteri tersebut dapat tertekuk sehingga dapat berakibat insufisiensi sirkulasi didaerah batang otak, gangguan aliran darah ke otak bagian belakang dan cerebelum. Hal ini berdampak pada pusing dan hilangnya mekanisme reflek mempertahankan postur tubuh sehingga lansia tiba-tiba terjatuh (drop attack). Faktor intrinsik jatuh adalah kondisi fisik dan neuropsikiatrik, penurunan visus dan pendengaran, perubahan neuromuskuler, gaya berjalan dan reflek postural karena proses menua, sedang faktor ekstrinsiknya adalah obat-obatan yang diminum, alat-alat bantu berjalan, dan lingkungan yang tidak mendukukng (berbahaya).

description

bahan tutorial skenario 1 geriatri fk uns

Transcript of bahan tutorial skenario 1 geriatri

PATOFISIOLOGI JatuhStabilitas badan ditentukan atau dibentuk oleh :a. Sistem sensorikYang telibat dalam sistem sensorik adalah visus (penglihatan), pendengaran, fungsi vestibuler, dan proprioseptif. b. Sistem saraf pusat (SSP)SSP memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input sensorik. c. Kognitif Beberapa penelitian mengatakan dementia diasosiasikan dengan meningkatnya risiko jatuh.d. Muskuloskeletal Gangguan muskuloskletal menyebabkan gangguan gaya berjalan (gait). Gangguan gait terjadi akibat proses penuaan tersebut antara lain disebabkan oleh: Kekakuan jaringan penghubung Berkurangnya massa otoot Perlambatan konduksi saraf Penurunan visus / lapang pandang Kerusakan proprioseptifYang kesemuanya menyebabkan: Penurunan range of motion (ROM) sendi Penurunan kekuatan otot Perpanjangan waktu reaksi Kerusakan persepsi dalam Peningkatan postural sway (goyangan badan)Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambatan gerak, langkah yang pendek, penurunan irama, dan pelebaran bantuan basal. Kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan lebih cenderung gampang goyah. Perlambatan reaksi mengakibatkan seorang lansia susah / terlambat mengantisipasi bila terjadi gangguan seperti terpeleset, tersandung, kejadian tiba-tiba sehingga memudahkan jatuh.Pada lansia terjadi perubahan pada sistem pembuluh darah. Hal ini dapat disebabkan karena pembentukan plak ateroma pada sistem karotis. Fungsi dari circulus wilisi terganggu akibat penyempitan pembuluh darah. Gangguan fungsi jantung pada lansia berakibat pada penurunan cerebral blood flow (CBF). Hal ini mengakibatkan gangguan sirkulasi serebral atau perubahan sirkulasi darah di otak. Arteri serebralis berkelok-kelok, apabila pada gerakan leher tertentu, arteri tersebut dapat tertekuk sehingga dapat berakibat insufisiensi sirkulasi didaerah batang otak, gangguan aliran darah ke otak bagian belakang dan cerebelum. Hal ini berdampak pada pusing dan hilangnya mekanisme reflek mempertahankan postur tubuh sehingga lansia tiba-tiba terjatuh (drop attack).Faktor intrinsik jatuh adalah kondisi fisik dan neuropsikiatrik, penurunan visus dan pendengaran, perubahan neuromuskuler, gaya berjalan dan reflek postural karena proses menua, sedang faktor ekstrinsiknya adalah obat-obatan yang diminum, alat-alat bantu berjalan, dan lingkungan yang tidak mendukukng (berbahaya).Beberapa penyebab jatuh pada lansia adalah kecelakaan, nyeri kepala dan atau vertigo, hipotensi ortostatik, obat-obatan, proses penyakit kardiovaskuler dan neurologi, idiopatik dan sinkope (drop attack, penurunan darah ke otak secara tiba-tiba).Faktor Risiko JatuhFaktor risiko jatuh pada lansia terdiri dari faktor intrinsik (host dan aktivitas) dan faktor ekstrinsik (lingkungan dan obat-obatan):a) Faktor host (diri lansia)Faktor-faktor yang menyebabkan jatuh sangat kompleks dan tergantung kondisi lansia. Di antaranya ada disability, penyakit yang sedang diderita (vertigo dan dizzines sebesar 13 %, hipotensi ortostatik sebesar 3 %, syncope sebesar 0,3 %); perubahan-perubahan akibat proses penuaan (penurunan pendengaran, penurunan visus sebesar 2 %, penurunan status mental (bingung) sebesar 5 %, penurunan fungsi indera yang lain, lambatnya pergerakan, hidup sendiri (faktor gaya hidup), gangguan muskuloskeletal seperti kelemahan otot ekstremitas bawah, gangguan keseimbangan dan gaya berjalan sebesar 17 % serta serangan tiba-tiba sebesar 9 % (Shobha, 2005).Gangguan muskuloskeletal menyebabkan gangguan gaya berjalan dan keseimbangan. Hal ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis. Perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan gerak, langkah yang pendek, penurunan irama, dan pelebaran bantuan basal. Kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan cenderung mudah goyah. Keterlambatan mengantisipasi bila terpeleset, tersandung, dan kejadian tiba-tiba dikarenakan terjadi perpanjangan waktu reaksi sehingga memudahkan jatuhb) Faktor aktivitasLaki-laki dengan mobilitas tinggi, postur yang tidak stabil, mempunyai risiko jatuh sebesar 4,5 kali dibandingkan dengan yang tidak aktif atau aktif tetapi dengan postur yang stabil. Penelitian selama setahun terhadap 4.862 penderita yang dirawat di rumah sakit atau panti jompo, didapatkan penderita dengan risiko jatuh paling tinggi adalah penderita aktif, dengan sedikit gangguan keseimbangan (Probosuseno, 2006). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Barnedh (2006) terhadap 300 lansia di Puskesmas Tebet bahwa lansia dengan aktivitas rendah (tidak teratur berolahraga) berisiko 7,63 kali menderita gangguan keseimbangan dibandingkan lansia dengan aktivitas tinggi. Oleh karena itu, prinsip dari manajemen pada lansia dengan keluhan instabilitas dan jatuh antara lain melakukan terapi aktivitas berupa penguatan otot dan pengulangan latihan gaya berjalan serta alat-alat bantu untuk berjalan.c) Faktor LingkunganFaktor lingkungan terutama yang belum dikenal mempunyai risiko terhadap jatuh sebesar 31 % (Shobha, 2005). Faktor lingkungan terdiri dari penerangan yang kurang, benda-benda di lantai (seperti tersandung karpet), peralatan rumah yang tidak stabil, tangga tanpa pagar, tempat tidur atau tempat buang air yang terlalu rendah, lantai yang tidak rata, licin atau menurun serta alat bantu jalan yang tidak tepat.d) Faktor obat-obatanJumlah obat yang diminum merupakan faktor yang bermakna terhadap penderita. Empat obat atau lebih meningkatkan risiko jatuh. Jatuh akibat terapi obat dinamakan jatuh iatrogenik. Obat-obatan yang meningkatkan risiko jatuh di antaranya obat golongan sedatif dan hipnotik yang dapat mengganggu stabilitas postur tubuh, yang mengakibatkan efek samping menyerupai sindroma parkinson seperti diuretik/ anti hipertensi, antidepresan, antipsikotik, obat-obatan hipoglikemik dan alkohol. Obat-obatan lain yang menyebabkan hipotensi, hipoglikemi, mengganggu vestibular, neuropati hipotermi dan menyebabkan kebingungan seperti phenothiazine, barbiturat dan benzodiazepin kerja panjang juga meningkatkan risiko jatuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Robbins, et al. (1989, dalam Newton, 2003) bahwa lansia yang memiliki tiga faktor risiko seperti kelemahan otot paha, ketidakseimbangan, dan mendapat lebih dari empat pengobatan berisiko jatuh sebesar 100 % setiap tahunnya.

PENCEGAHAN JATUH1. Mengindentifikasi faktor risiko, penilaian keseimbangan dan gaya berjalan.2. Diberikan latihan fleksibilitas gerakan, latihan keseimbangan fisik dan koordinasi keseimbangan. Latihan keseimbangan berguna untuk meningkatkan fleksibilitas, menguatkan otot-otot tungkai dan meningkatkan respon keseimbangan bila tidak dikombinasi dengan intervensi lain hanya menurunkan risiko jatuh sebesar 11 %. Sedangkan strategi manajemen yang meliputi kombinasi latihan keseimbangan yang terstruktur, modifikasi lingkungan, penghentian atau pengurangan obat-obatan psikotropik serta perbaikan visus dapat menurunkan risiko jatuh sampai 25-39 % (Robbins, 1989 dalam Barnedh, 2006). Hal ini sesuai dengan pendapat Colon-Emeric (2002) yang menyatakan bahwa latihan fisik adalah salah satu bentuk intervensi tunggal yang dapat dilakukan pada lansia karena kekuatan kedua ekstremitas bawah dan keseimbangan dapat terlihat peningkatannya secara nyata dengan program latihan yang sederhana dan terukur.Penelitian lain oleh Barnett, et al. (2003, dalam Anonim, 2007) menyatakan bahwa program latihan fisik yang terdiri dari pemanasan diikuti dengan keseimbangan, koordinasi, dan latihan kekuatan otot serta pendinginan yang dilakukan 1 jam per minggu selama satu tahun dapat menurunkan angka kejadian jatuh sebesar 40 %. Menurut Skelton (2001) Aktivitas fisik mempunyai efek positif terhadap keseimbangan tubuh atau faktor risiko jatuh, yaitu meningkatkan keseimbangan, kemampuan fungsional, mobilitas, kekuatan dan tenaga, koordinasi dan gaya berjalan serta menurunkan depresi dan ketakutan terhadap jatuh. Hal ini menandakan bahwa aktivitas fisik pada lansia perlu dilakukan karena banyak keuntungan yang dapatdirasakan oleh lansia itu sendiri.3. Melakukan evaluasi bagaimana keseimbangan badannya dalam melakukan gerakan pindah tempat dan pindah posisi. Penilaian goyangan badan sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh, begitu pula dengan penilaian apakah kekuatan otot ekstremitas bawah cukup untuk berjalan tanpa bantuan, apakah lansia menapakkan kakinya dengan baik, tidak mudah goyah, dan mengangkat kaki dengan benar saat berjalan. Kesemuanya itu harus diperbaiki bila terdapat penurunan (Reuben, 1996; Tinetti, 1992; Van-der-Cammen, 1991 dalam Darmojo, 2004). Hal ini diperkuat oleh pendapat Brandt, et al. (1986, dalam Rogers, 2001) bahwa program latihan yang dibarengi dengan perbaikan input sensori sangat bermakna dalam meningkatkan keseimbangan tubuh.4. Anggota keluarga atau petugas panti dianjurkan agar mengunjungi/ menengok lansia secara rutin (karena selain kebutuhan fisik yang diperlukan, kebutuhan psikologis dan sosial juga sangat penting), mengamati kemampuan dan keseimbangan dalam berjalan, berjalan bersama, dan membantu stabilitas tubuh.5. Memperbaiki kondisi lingkungan yang dianggap tidak aman, misalnya dengan memindahkan benda berbahaya, peralatan rumah dibuat yang aman (stabil, ketinggian disesuaikan, dibuat pegangan pada meja dan tangga) serta lantai yang tidak licin dan penerangan yang cukup.

KONSEP DASAR PEMAKAIAN OBATAda tiga faktor yang menjadi acuan dasar dalam pembuatan atau peresepan obatDiagnosis dan patofisiologi penyakitKondisi organ tubuhFarmakologi klinik obat (Boedi, 2006)Setelah dokter mendiagnosis penyakit pasien, maka sebelum penentuan obat yang dibeikan perlu dipertimbangkan kondisi organ tubuh serta farmakologi dari obat yang akan diresepkan. Pada usia lanjut banyak hal-hal yang lainnya yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat, karena pada golongan lansia berbagai perubahan fisiologik pada organ dan sistema tubuh akan mempengaruhi tanggapan tubuh terhadap obat. Adapun prinsip umum penggunaan obat pada usia lanjut :1.Berikan obat hanya yang betul-betul diperlukan artinya hanya bila ada indikasi yang tepat. Bila diperlukan efek plasebo berikan plasebo yang sesungguhnya2.Pilihlah obat yang memberikan rasio manfaat yang paling menguntungkandan tidak berinteraksi dengan obat yang lain atau penyakit lainnya3.Mulai pengobatan dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa diberikan pada orang dewasa yang masih muda.4.Sesuaikan dosis obat berdasarkan dosis klinik pasien, dan bila perlu dengan memonitor kadar plasma pasien. Dosis penuNjang yang tepat umumnya lebih rendah.5.Berikan regimen dosis yang sederhana dan sediaan obat yang mudah ditelan untuk memelihara kepatuhan pasien6.Periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien, dan hentikan obat yang tidak diperlukan lagi(Manjoer, 2004)FARMAKOKINETIKPada usia lanjut perubahan terjadi pada saluran cerna yang diduga mengubah absorbsi obat, misalnya meningkatnya pH lambung, menurunnya aliran darah ke usus akibat penurunan curah jantung dan perubahan waktu pengosongan lambung dan gerak saluran cerna. Oleh karena itu, kecepatan dan tingkat absorbsi obat tidak berubah pada usia lanjut, kecuali pada beberapa obat seperti fenotain, barbiturat, dan prozasin (Bustami, 2001).Pada distribusi obat terdapat hubungan antara penyebaran obat dalam cairan tubuh dan ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan albumin, tetapi pada beberapa obat dengan protein lain seperti asam alfa 1 protein), dengan sel darah merah dan jaringan tubuh termasuk organ target. Pada usia lanjut terdapat penurunan yang berarti pada massa tubuh tanpa lemak dan cairan tubuh total, penambahan lemak tubuh dan penurunan albumin plasma. Penurunan albumin sedikit sekali terjadi pada lansia yang sehat dapat lebih menjadi berarti bila terjadi pada lansia yang sakit, bergizi buruk atau sangat lemah. Selain itu juga dapat menyebabkan meningkatnya fraksi obat bebas dan aktif pada beberapa obat dan kadang-kadang membuat efek obat lebih nyata tetapi eliminasi lebih cepat.Munculnya efek obat sangat ditentukan oleh kecapatan penyerapan dan cara penyebarannya. Durasi (lama berlangsungnya efek) lebih banyak dipengaruhi oleh kecepatan ekskresi obat terutama oleh penguraian di hati yang biasanya membuat obat menjadi lebih larut dalam air dan menjadi metabolit yang kurang aktif atau dengan ekskresimetabolitnya oleh ginjal. Sejumlah obat sangat mudah diekskresi oleh hati, antara lain melalui ambilan (uptake) oleh reseptor dihati dan melalui metabolisme sehingga bersihannya tergantung pada kecepatan pengiriman ke hati oleh darah. Pada usia lanjut, penurunan aliran darah ke hati dan juga kemungkinan pengurangan ekskresi obat yang tinggi terjadi pada labetolol, lidokain, dan propanolol.Efek usia pada ginjal berpengaruh besar pada ekskresi beberapa obat. Umumnya obat diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang sederhana dan kecepatan ekskresinya berkaitan dengan kecepatan filtrasi glomerolus (oleh karena itu berhubungan juga dengan bersihan kreatinin). Misalnya digoksin dan antibiotik golongan aminoglikosida. Pada usia lanjut, fungsi ginjal berkurang, begitu juga dengan aliran darah ke ginjal sehingga kecepatan filtrasi glomerolus berkurang sekitar 30 % dibandingkan pada orang yang lebih muda. Akan tetapi, kisarannya cukup lebar dan banyak lansia yang fungsi glomerolusnya tetap normal. Fungsi tubulus juga memburuk akibat bertambahnya usia dan obat semacam penicilin dan litium, yang secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal, mengalami penurunan faali glomerolus dan tubulus.INTERAKSI FARMAKOKINETIK1. Fungsi GinjalPerubahan paling berarti saat memasuki usia lanjut ialah berkurangnya fungsi ginjal dan menurunnya creatinine clearance, walaupun tidak terdapat penyakit ginjal atau kadar kreatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi obat sering berkurang, sehingga memperpanjang intensitas kerjanya. Obat yang mempunyai half-life panjang perlu diberi dalam dosis lebih kecil bila efek sampingnya berbahaya. Dua obat yang sering diberikan kepada lansia ialah glibenklamid dan digoksin. Glibenklamid, obat diabetes dengan masa kerja panjang (tergantung besarnya dosis) misalnya, perlu diberikan dengan dosis terbagi yang lebih kecil ketimbang dosis tunggal besar yang dianjurkan produsen. Digoksin juga mempunyai waktu-paruh panjang dan merupakan obat lansia yang menimbulkan efek samping terbanyak di Jerman karena dokter Jerman memakainya berlebihan, walaupun sekarang digoksin sudah digantikan dengan furosemid untuk mengobati payah jantung sebagai first-line drug (Darmansjah, 1994).Karena kreatinin tidak bisa dipakai sebagai kriteria fungsi ginjal, maka harus digunakan nilai creatinine-clearance untuk memperkirakan dosis obat yang renal-toxic, misalnya aminoglikoside seperti gentamisin. Penyakit akut seperti infark miokard dan pielonefritis akut juga sering menyebabkan penurunan fungsi ginjal dan ekskresi obat.Dosis yang lebih kecil diberikan bila terjadi penurunan fungsi ginjal, khususnya bila memberi obat yang mempunyai batas keamanan yang sempit. Alopurinol dan petidin, dua obat yang sering digunakan pada lansia dapat memproduksi metabolit aktif, sehingga kedua obat ini juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil pada lansia.2.Fungsi HatiHati memiliki kapasitas yang lebih besar daripada ginjal, sehingga penurunan fungsinya tidak begitu berpengaruh. Ini tentu terjadi hingga suatu batas. Batas ini lebih sulit ditentukan karena peninggian nilai ALT tidak seperti penurunan creatinine-clearance. ALT tidak mencerminkan fungsi tetapi lebih merupakan marker kerusakan sel hati dan karena kapasitas hati sangat besar, kerusakan sebagian sel dapat diambil alih oleh sel-sel hati yang sehat. ALT juga tidak bisa dipakai sebagai parameter kapan perlu membatasi obat tertentu. Hanya anjuran umum bisa diberlakukan bila ALT melebihi 2-3 kali nilai normal sebaiknya mengganti obat dengan yang tidak dimetabolisme oleh hati. Misalnya pemakaian methylprednisolon, prednison dimetabolisme menjadi prednisolon oleh hati. Hal ini tidak begitu perlu untuk dilakukan bila dosis prednison normal atau bila hati berfungsi normal. Kejenuhan metabolisme oleh hati bisa terjadi bila diperlukan bantuan hati untuk metabolisme dengan obat-obat tertentu.First-pass effect dan pengikatan obat oleh protein (protein-binding) berpengaruh penting secara farmakokinetik. Obat yang diberikan oral diserap oleh usus dan sebagian terbesar akan melalui Vena porta dan langsung masuk ke hati sebelum memasuki sirkulasi umum. Hati akan melakukan metabolisme obat yang disebut first-pass effect dan mekanisme ini dapat mengurangi kadar plasma hingga 30% atau lebih. Kadar yang kemudian ditemukan dalam plasma merupakan bioavailability suatu produk yang dinyatakan dalam prosentase dari dosis yang ditelan. Obat yang diberikan secara intra-vena tidak akan melalui hati dahulu tapi langsung masuk dalam sirkulasi umum. Karena itu untuk obat-obat tertentu yang mengalami first-pass effect dosis IV sering jauh lebih kecil daripada dosis oral.Protein-binding juga dapat menimbulkan efek samping serius. Obat yang diikat banyak oleh protein dapat digeser oleh obat lain yang berkompetisi untuk ikatan dengan protein seperti aspirin, sehingga kadar aktif obat pertama meninggi sekali dalam darah dan menimbulkan efek samping. Warfarin, misalnya, diikat oleh protein (albumin) sebanyak 99% dan hanya 1% merupakan bagian yang bebas dan aktif. Proses redistribusi menyebabkan 1% ini dipertahankan selama obat bekerja. Bila kemudian diberi aspirin yang 80-90% diikat oleh protein, aspirin menggeser ikatan warfarin kepada protein sehingga kadar warfarin-bebas naik mendadak, yang akhirnya menimbulkan efek samping perdarahan spontan. Aspirin sebagai antiplatelet juga akan menambah intensitas perdarahan. Hal ini juga dapat terjadi pada aspirin yang mempunyai waktu-paruh plasma hanya 15 menit. Sebagian besar mungkin tidak berpengaruh secara klinis, tetapi untuk obat yang batas keamanannya sempit dapat membahayakan penderita (Boestami, 2001)FARMAKODINAMIKFarmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Respon seluler pada lansia secara keseluruhan akan menurun. Penurunan ini sangat menonjol pada respon homeostatik yang berlangsung secara fisiologis. Pada umumnya obat-obat yang cara kerjanya merangsang proses biokimia selular, intensitas pengaruhnya akan menurun misalnya agonis untuk terapi asma bronkial diperlukan dosis yang lebih besar, padahal jika dosisnya besar maka efek sampingnya akan besar juga sehingga index terapi obat menurun. Sedangkan obat-obat yang kerjanya menghambat proses biokimia seluler, pengaruhnya akan terlihat bila mekanisme regulasi homeostatis melemah (Boedi, 2006)INTERAKSI FARMAKODINAMIKInterkasi farmakodinamik pada usia lanjut dapat menyebabkan respons reseptor obat dan target organ berubah, sehingga sensitivitas terhadap efek obat menjadi lain. Ini menyebabkan kadang dosis harus disesuaikan dan sering harus dikurangi. Misalnya opiod dan benzodiazepin menimbulkan efek yang sangat nyata terhadap susunan saraf pusat. Benzodiazepin dalam dosis normal dapat menimbulkan rasa ngantuk dan tidur berkepanjangan. Antihistamin sedatif seperti klorfeniramin (CTM) juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil (tablet 4 mg memang terlalu besar) pada lansia.Mekanisme terhadap baroreseptor biasanya kurang sempurna pada usia lanjut, sehingga obat antihipertensi seperti prazosin, suatu1 adrenergic blocker, dapat menimbulkan hipotensi ortostatik; antihipertensi lain, diuretik furosemide dan antidepresan trisiklik dapat juga menyebabkannya (Darmansjah, 1994)Penggunaan Obat pada Gangg. Ginjal Penurunan ekskresi obat aktif dan metabolit aktifnya melalui ginjal Penurunan kadar protein plasma Penurunan ikatan protein plasma Peningkatan sentivitas jaringan terhadap beberapa obat Penurunan efektivitas beberapa obatPenggunaan Obat pada Gangg. Ginjal Gunakan obat hanya jika secara jelas diindikasikan bagi penderita tersebut Pilih obat yang eliminasinya terutama melalui metabolisme hati, baik untuk obat aktifnya maupun metabolit aktifnya. Pilih obat dengan efek nefrotoksik minimal dan hindari obat yang berpotensi nefrotoksik. Waspada terhadap peningkatan kepekaan terhadap efek obat tertentu. Cek kesesuaian pengaturan dosis. Hindari pemakaian jangka panjang obat yang memiliki potensi toksikPenggunaan Obat pada Gangg. Hati Kapasitas cadangan hati besar Gangguan hati berat: Penurunan metabolisme obat di hati Penurunan sintesis protein plasma Peningkatan sensitivitas reseptor di otak terhadap obat depresan SSP dan diuretik Penurunan faktor pembekuan darahPenggunaan Obat pada Gangg. Hati Usahakan memilih obat yang eliminasinya melalui ekskresi ginjal. Hindari penggunaan obat depresan SSP, diuretik, obat yang menyebabkankonstipasi, antikoagulan oral, kontrasepsi oral, dan obat hepatotoksik. Gunakan dosis yang lebih rendah dari Biasanya

OBAT-OBAT YANG SERING DIRESEPKAN PADA USIA LANJUT DAN PERTIMBANGAN PEMAKAIAN1. OBAT-OBAT SISTEM SARAF PUSATSedativa-hipnotikaMengingat sering diresepkannya obat-obat golongan sedativa-hipnotika pada pasien usia lanjut, maka efek samping obat golongan ini yang diketahui maupun tidak diketahui oleh pasien relatif lebih sering terjadi. Pasien merasa tidak enak badan setelah bangun tidur (dapat terjadi sepanjang hari), sempoyongan, gelisah, kekakuan dalam bicara dan kebingungan beberapa waktu sesudah minum obat. Sebagai contoh, waktu paruh beberapa obat golongan benzodiazepin dan barbiturat meningkat sampai 1,5 kali. Namun lorazepam dan oksazepam mungkin kurang begitu terpengaruh oleh perubahan ini. Efek samping yang perlu diamati pada penggunaan obat sedativa-hipnotika antara lain adalah ataksia. Diazepam tablet, nitrazepam, flurazepam menyebabkan depresi susunan syaraf meningkat.Fungsi tubulus juga memburuk akibat bertambahnya usia dan obat semacam litium, yang secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal, mengalami penurunan faali glomerolus dan tubulus.AnalgetikaAnalgesik antipiretik antiinflamasi:Waspadai penggunaan asam mefenamat pada lansiaIbuprofen (lansia memerlukan dosis yang lebih rendah karena metabolisme tubuh mereka tidak lagi bekerja cepat sehingga mereka cenderung mempertahankan obat penghilang rasa sakit lebih lama dalam tubuh)2. OBAT-OBAT KARDIOVASKULERAntihipertensiPengobatan hipertensi pada usia lanjut sering menjadi masalah, tidak saja dalam hal pemilihan obat, penentuan dosis dan lamanya pemberian, tetapi juga menyangkut keterlibatan pasien secara terus menerus dalam proses terapi. Hal ini karena pengobatannya umumnya jangka panjang. Jika terapi non-obat dirasa masih memungkinkan, pembatasan masukan garam, latihan (exercise), dan penurunan berat badan, serta pencegahan terhadap faktor-faktor risiko hipertensi (misalnya merokok dan hiperkholesterolemia) perlu dianjurkan bagi pasien dengan hipertensi ringan. Namun jika yang dipilih adalah alternatif pengobatan, maka hendaknya dipertimbangkan pula hal-hal berikut: penyakit lain yang diderita (associated illness) obat-obat yang diberikan bersamaan (concurrent therapy) biaya obat (medication cost), dan ketaatan pasien (patient compliance).Pada usia lanjut, penurunan aliran darah ke hati dan juga kemungkinan pengurangan ekskresi obat yang tinggi terjadi pada labetolol, lidokain, dan propanolol. Antihipertensi (penghambat adrenergic) menyebabkanSinkope akibat hipotensi postural, insufisiensi koroner. Diuretik tiazid, furosemidmenyebabkan Hipotensi, hipokalemia, hipovolemia, hiperglikemia, hiperurikemia. Pilihan pertama yang dianjurkan adalah diuretika dengan dosis yang sekecil mungkin. Efek samping hipokalemia dapat diatasi dengan pemberian suplemen kalium atau pemberian diuretika potassium-sparing seperti triamteren dan amilorida. Kemungkinan terjadinya hipotensi postural dan dehidrasi hendaknya selalu diamati. Jika diuretika ternyata kurang efektif, pilihan selanjutnya adalah obat-obat antagonis beta-adrenoseptor (=beta bloker).Untuk penderita angina atau aritmia, beta blocker cukup bermanfaat sebagai obat tunggal, tetapi jangan diberikan pada pasien dengan kegagalan ginjal kongestif, bronkhospasmus, dan penyakit vaskuler perifer. Pengobatan dengan beta-1-selektif yang mempunyai waktu paruh pendek seperti metoprolol 50 mg 1-2x sehari juga cukup efektif bagi pasien yang tidak mempunyai kontraindikasi terhadap pemakaian beta-blocker. Dosis awal dan rumat hendaknya ditetapkan secara hati-hati atas dasar respons pasien secara individual.Vasodilator perifer seperti prazosin, hidralazin, verapamil dan nifedipin juga ditoleransi dengan baik pada usia lanjut, meskipun pengamatan yang seksama terhadap kemungkinan terjadinya hipotensi ortostatik perlu dilakukan. Meskipun beberapa peneliti akhir-akhir ini menganjurkan kalsium antagonis, seperti verapamil dan diltiazem untuk usia lanjut sebagai obat lini pertama. Tetapi mengingat harganya relatif mahal dengan frekuensi pemberian yang lebih sering, maka dikhawatirkan akan menurunkan ketaatan pasien. Prazosin, suatu 1 adrenergic blocker, dapat menimbulkan hipotensi ortostatik.Obat-obat antiaritmiaPengobatan antiaritmia pada usia lanjut akhir-akhir ini semakin sering dilakukan mengingat makin tingginya angka kejadian penyakit jantung koroner pada kelompok ini. Namun demikian obat-obat seperti disopiramida sangat tidak dianjurkan, mengingat efek antikholinergiknya yang antara lain berupa takhikardi, mulut kering, retensi urin, konstipasi, dan kebingungan. Pemberian kuinidin dan prokainamid hendaknya mempertimbangkan dosis dan frekuensi pemberian, karena terjadinya penurunan klirens dan pemanjangan waktu paruh.Glikosida jantungDigoksin merupakan obat yang diberikan pada penderita usia lanjut dengan kegagalan jantung atau aritmia jantung. Intoksikasi digoksin tidak jarang dijumpai pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, khususnya jika kepadapasien yang bersangkutan juga diberi diuretika. Gejala intoksikasi digoksin sangat beragam mulai anoreksia, kekaburan penglihatan, dan psikosis hingga gangguan irama jantung yang serius. Meskipun digoksin dapat memperbaiki kontraktilitas jantung dan memberi efek inotropik yang menguntungkan, tetapi kemanfaatannya untuk kegagalan jantung kronis tanpa disertai fibrilasi atrial masih diragukan. Oleh sebab itu, mengingat kemungkinan kecilnya manfaat klinik untuk usia lanjut dan efek samping digoksin sangat sering terjadi, maka pilihan alternatif terapi lainnya perlu dipetimbangkan lebih dahulu. Diuretika dan vasodilator perifer sebetulnya cukup efektif sebagian besar penderita.3. ANTIBIOTIKAPrinsip-prinsip dasar pemakaian antibiotika pada usia lanjut tidak berbeda dengan kelompok usia lainnya. Yang perlu diwaspadai adalah pemakaian antibiotika golongan aminoglikosida dan laktam, yang ekskresi utamanya melalui ginjal. Penurunan fungsi ginjal karena usia lanjut akan mempengaruhi eliminasi antibiotika tersebut, di mana waktu paruh obat menjadi lebih panjang (waktu paruh gentasimin, kanamisin, dan netilmisin dapat meningkat sampai dua kali lipat) dan memberi efek toksik pada ginjal (nefrotoksik), maupun organ lain (misalnya ototoksisitas).Kotrimoksazol dewasa tablet menyebabkan pasien berpotensi tinggi untuk kekurangan folat(lanjut usia).Streptomisin menyebabkan ototoksisitas.Fungsi tubulus juga memburuk akibat bertambahnya usia dan obat semacam penicilin yang secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal, mengalami penurunan faali glomerolus dan tubulus.4. OBAT-OBAT ANTIINFLAMASIObat-obat golongan antiinflamasi relatif lebih banyak diresepkan pada usia lanjut, terutama untuk keluhan-keluhan nyeri sendi (osteoaritris). Berbagai studi menunjukkan bahwa obat-obat antiinflamasi non-steroid (AINS), seperti misalnya indometasin dan fenilbutazon, akan mengalami perpanjangan waktu paruh jika diberikan pada usia lanjut, karena menurunnya kemampuan metabolisme hepatal. Karena meningkatnya kemungkinan terjadinya efek samping gastrointestinal seperti nausea, diare, nyeri abdominal dan perdarahan lambung (20% pemakai AINS usia lanjut mengalami efek samping tersebut), maka pemakaian obat-obat golongan ini hendaknya dengan pertimbangan yang seksama. Efek samping dapat dicegah misalnya dengan memberikan antasida secara bersamaan, tetapi perlu diingatbahwa antasida justru dapat mengurangi kemampuan absorpsi AINS. Anti inflamasi non steroid juga perlu diwaspadai penggunaannnya pada lanjut usia adalah Meloxicam, Natrium diklofenak, Piroxicam.Faktor risiko yang tidak bisa dirubah/dimodifikasi: Adanya riyawat diabetes melitus pada anggota keluarga, terutama ayah dan ibu, kakek dan nenek dan buyut. Usia, resiko untuk menderita prediabetes/diabetes meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Ras Afrika, Hispanik, Indian, Asia dan Pasifik, mempunyai resiko lebih tinggi dibanding dengan ras Kaukasia. Pada wanita: riwayat pernah menderita gestational diabetes.Faktor risiko yang bisa dirubah/dimodifikasi: Adanya kelebihan berat badan atau berat badan berlebih. Kurang aktifitas fisik dan olah raga. Diet tidak sehat, yaitu asupan energi yang tinggi dari makanan, kurang serat. Hipertensi (tekanan darah tinggi). Dislipidemia (kelainan profil lemak darah).

Polifarmasi pada lansia1. Perubahan pada lansia dalam hubungannya dengan obatPada golongan lansia berbagai perubahan fisiologik pada organ & sistema tubuh akan mempengaruhi tanggapan tubuh terhadap obat. Terjadi perubahan dalam hal farmakokinetik, farmakodinamik, dan hal khusus lain yang merubah perilaku obat dalam tubuh.2. Farmakokinetik Tabel 1. Perubahan farmakokinetik obat akibat proses menuaParameterPerubahan akibat proses menua

Absorbsi Penurunan: permukaan absorbsi, sirkulasi darah splanchnic, motilitas gastrointestinal. Peningkatan pH lambung.

Distribusi Penurunan: curah jantung, cairan badan total, massa otot badan, serum albumin. Peningkatan lemak badan. Peningkatan alfa-1 asam glikoprotein. Perubahan pengikatan terhadap protein.

MetabolismePenurunan: aliran darah hepar, massa hepar, aktivitas enzim, penginduksian enzim.

EkskresiPenurunan: aliran darah ginjal, filtrasi glomerulus, sekresi tubuler.

Sensitifitas jaringanPerubahan pada jumlah reseptor, afinitas reseptor, fungsi pembawa kedua, respon seluler dan nuklear.

Poin-poin yang harus diingat:a. Dengan pemberian dosis yang lazim Kadar Obat Plasma (KOP) akan lebih tinggi karena sistem eliminasi obat dalam hepar dan ginjal akan menurun. b. Dengan KOP yang sama dapat terjadi Fraksi Obat Bebas (FOB) lebih tinggi dari yang lazim karena kadar albumin pada lansia telah menurun terlebih-lebih waktu sakit atau karena pengangsuran tempat (silent reseptor) dari ikatan albumin oleh obat lain (polifarmasi).3. FarmakodinamikAdalah pengaruh obat terhadap tubuh. Obat menimbulkan rentetan reaksi biokimiawi dalam sel mulai dari reseptor sampai dengan efektor. Di dalam sel terjadi proses biokimiawi yang menghasilkan respon seluler. Respon seluler pada lansia secara keseluruhan menurun. Penurunan ini sangat menonjol pada mekanisme respon homeostatik yang berlangsung secara fisiologis dan penurunan tidak dapat diprediksi dengan ukuran-ukuran matematis seperti pada farmakokinetik.4. Efek Samping Obat (ESO) Kejadian pada lansia meningkat 2-3 kali lipat. Problem ini paling banyak menimpa sistem gastrointestinal dan sistem haemopoetik. Penelitian atau pengukuran fungsi hepar, ginjal, kadar obat dalam plasma darah terlebih-lebih dalam terapi polifarmasi sangat membantu dalam mengendalikan atau menurunkan angka kejadian ESO.5. Perubahan fisiologik dalam komposisi tubuha. Berat badan total: akan menurun pada usia lanjut akibat penurunan jumlah cairan intraseluler sesuai dengan meningkatnya usia. Keadaaan ini akan berakibat menurunnya distribusi obat yang sebagian terikat air (misalnya litium).b. Penurunan massa otot: yang secara umum terdapat pada usia lanjut akan menyebabkan distribusi obat yang sebagian besar terikat otot akan menurun, misalnya digoksin (konsentrasi obat bebas meningkat).c. Peningkatan kadar lemak tubuh: akan mengakibatkan peningkatan kadar obat yang larut lemak (misalnya diazepam), terutama pada wanita lansia.d. Penurunan kadar albumin: terutama pada penderita lansia yang sakit, menyebabkan penurunan ikatan obat dengan protein, dan meningkatnya proporsi obat bebas di sirkulasi (antara lain salisilat, tiroksin, warfarin dan obat AINS)e. Kekambuhan penyakit yang sebelumnya laten: beberapa obat dapat membuat kambuh berbagai penyakit yang sebelumnya tidak terlihat misalnya:1) Menurunnya stabilitas postural yang meningkatkan kemungkinan jatuh, antara lain akibat obat hipertensi, diuretika, hipnotika, sedativa dan vasodilator.2) Konstipasi: antidepresan, antikolinergik, garam besi.3) Hipotermia: fenotiasin, hipnotika, sedativa, dan antidepresan.6. Rasionalisasi obat pada usia lanjuta. Rejimen pengobatan: 1) periode pengobatan jangan dibuat terlalu lama; 2) jumlah/jenis obat harus dibuat seminimal mungkin; 3) obat harus diberikan atas diagnosis pasti; 4) harus diketahui dengan jelas efek obat, mekanisme kerja, dosis dan efek samping yang mungkin timbul; 5) apabila diperlukan pemberian polifarmasi, prioritaskan pemberian obat yang ditujukan untuk mengurangi gangguan fungsional; 6) pemberian obat harus dimulai dari dosis kecil, kemudian dititrasi setelah berapa hari (kecuali anti-infeksi harus dosis optimal; 7) frekuensi pemberian obat diupayakan sesedikit mungkin, kalau mungkin sekali sehari.b. Pengurangan dosis: dosis awal obat adalah kira-kira lebih sedikit dari separuh dosis yang diberikan pada usia muda.c. Peninjauan ulang: perlu dilaksanakan pada setiap kunjungan ulang atau bila terjadi episode penyakit akut.d. Kepatuhan penderita: harus diupayakan penjelasan pada penderita, pemilihan preparat dan wadah obat yang tepat, diberi label, bantuan mengingat, dan pengawasan minum obat oleh keluarga dan lain-lain. Setiap efek samping hendaknya harus diminta untuk dilaporkan.

Tata Laksana Umum untuk Komplikasi Kronik DMLansia merupakan populasi yang rentan terhadap terjadinya komplikasi kronik DM yang dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas. Oleh sebab itu, tata laksana komprehensif terhadap lansia penderita DM tidak dapat terlepas dari upaya untuk mencegah terjadinya komplikasi kronik DM.Kontrol Gula DarahDengan kontrol gula darah yang baik, risiko komplikasi makrovaskular dapat dikurangi. Kontrol gula darah ini tidak perlu terlalu ketat pada lansia mengingat risiko hipoglikemia pada lansia penderita DM. Target kontrol gula darah ditentukan oleh status kesehatan serta kemampuan fisik & mental. 12Kontrol Tekanan DarahKejadian hipertensi pada lansia penderita DM meningkat, prevalensi 40% pada usia 45 tahun meningkat menjadi 60% pada usia 75 tahun. Hipertensi merupakan salah satu faktor yang berperanan dalam terjadinya komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular pada DM. Studi UKPDS menunjukkan bahwa kontrol tekanan darah yang baik dengan antihipertensi manapun menurunkan risiko komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular.12Kontrol Lemak DarahDM dianggap sebagai faktor risiko yang setara dengan penyakit jantung koroner, sehingga dislipidemia pada DM harus dikelola secara agresif yaitu harus mencapai target kadar kolesterol LDL