BAB V
-
Upload
nuralisasafitri -
Category
Documents
-
view
6 -
download
1
description
Transcript of BAB V
BAB V
PEMBAHASAN
5.1. Karakterisik Umum Informan
Deskripsi karakteristik informan dapat diketahui bahwa informan berusia
antara 25 tahun sampai 58 tahun. Berdasarkan pendidikan diketahui bahwa informan
dengan pendidikan Diploma III sebanyak 3 orang dan Strata II sebanyak 1 orang.
Masa kerja 2 informan sebagai bidan pelaksana sudah 3 tahun, bidan koordinator
sudah bekerja 15 tahun dan kepala puskesmas sebagai informan triangulasi sudah
bekerja selama 6 tahun. Seluruh informan yang melakukan pelayanan antenatal
memiliki pendidikan DIII kebidanan. Pendidikan merupakan faktor penting dalam
menentukan kemampuan seseorang. Pendidikan dan pengalaman kerja merupakan
langkah awal untuk melihat seseorang, pendidikan merupakan indicator yang
mencerminkan kemampuan seseorang untuk memyelesaikan pekerjaan,dengan latar
belakang pendidikan pula seseorang dianggap akan mampu menduduki suatu jabatan
tertentu (Hasibuan,2000). Selain itu pendidikan merupakan suatu pembinaan dalam
proses perkembangan manusia untuk berfikir dan cenderung berkembangnya
kemampuan dasar yang ada padanya. Menurut Nadler dalam Moekijat (1996)
pendidikan adalah proses pembelajaran yang mempersiapkan individu untuk
pekerjaan yang berbeda pada masa yang akan datang. Menurut Siagian (2000)
pendidikan dapat mempengaruhi kompetensi seseorang, karena makin tinggi
pendidikan seseorang makin besar keinginannya untuk memanfaatkan pengetahuan
dan keterampilannya dalam pelaksanaan tugasnya. Dalam hal lama kerja dapat
disimpulkan bahwa bahwa pengalaman yang dimiliki oleh informan dalam
melaksanakan tugas sebagai bidan dalam memberikan pelayanan sudah cukup
banyak. Menurut hasil penelitian Marfungah (2013) tentang Hubungan Antara Lama
Kerja Dengan Kinerja Bidan Dalam Pelayanan Antenatal Care (ANC) Di Wilayah
Surakarta didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara lama kerja dengan
kinerja bidan di wilayah Surakarta dengan p= 0,000.
5.2 Kompetensi Teknis Bidan dalam Pelaksanaan Pelayanan Antenatal
Seorang bidan harus memiliki kompetensi teknis yang meliputi pengetahuan,
keterampilan, kemampuan dan penampilan yang baik dalam melaksanakan kesehatan
(Zulvadi, 2010).
5.2.1. Pelatihan tentang pelayanan antenatal
Pelatihan adalah satu bentuk proses pendidikan, melalui pelatihan sasaran
belajar akan memperoleh pengalaman yang akhirnya akan menimbulkan perilaku
kepada mereka (Notoatmodjo, 1988). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Mariana
(2004) bahwa ada hubungan yang bermakna antara pelatihan yang diperoleh dengan
kualitas pelayanan antenatal yang diberikan. Hasil penelitian Wariyah (2001) di
Karawang juga menemukan adanya hubungan antara pelatihan dengan kepatuhan
bidan terhadap standar pelayanan antenatal.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa hanya 1 (satu) orang
informan yang mengikuti pelatihan dalam jangka waktu yang sudah lama yaitu tiga
tahun yang lalu. Kompetensi teknis menyangkut pengetahuan, keterampilan,
kemampuan pemberi layanan kesehatan. Tidak terpenuhinya kompetensi teknis dapat
mengakibatkan berbagai hal, mulai dari penyimpangan kecil terhadap standar layanan
kesehatan, sampai kepada kesalahan fatal yang dapat menurunkan mutu layanan
kesehatan dan membahayakan jiwa pasien. Pelatihan pelayanan antenatal bagi bidan
diharapkan akan mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam
memberikan pelayanan antenatal sehingga kompetensi bidan semakin terus baik
kedepannya. Hal ini didukung oleh Siagian (1998) dalam Elvira (2012) yang
menyatakan bahwa pelatihan adalah proses belajar dengan menggunakan teknik dan
metode tertentu yang secara konsepsional latihan yang dimaksud tersebut adalah
untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan seseorang atau sekelompok orang.
5.2.2. Pengetahuan Informan tentang Standar Pelayanan Antenatal
Melihat sejauh mana pengetahuan bidan tentang standar pelayanan antenatal,
dapat disimpulkan bahwa semua informan mengetahui tentang standar pelayanan
antentatal dan mereka juga memahami komponen - komponen pemeriksaan yang ada
di dalam standar pelayanan tersebut. Standar merupakan sarana penunjang yang
sangat penting sebagai salah satu alat yang efektif dan efisien guna menggerakan
kegiatan pelayaan dalam meningkakan mutu pelayanan (Wijono, 1996). Menurut Al-
assaf (2009), standar menyatakan apa yang kita harapkan terjadi dalam perjalanan
kita untuk mencapai layanan kesehatan yang bermutu tinggi. Azwar (1996) juga
sejalan, ia menyatakan bahwa suatu program dianggap baik, jika kualitas pelayanan
telah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Selain itu, hasil penelitian Mariana
(2004) mengatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan bidan
dan kualitas pelayanan antenatal yang diberikan. Hal ni juga dididukung dengan teori
yang dikemukakan oleh Bloom (1908) dalam Mariana (2004) bahwa salah satu
domain utama perilaku adalah pengetahuan sehingga dengan yang baik, besar
kemungkinan dapat mempengaruhi seseorang dalam bertindak atau berperilaku.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Emanuel Hamoko (2008) mengatakan ada
pengaruh pengetahuan terhadap kinerja klinis perawat dengan nilai ρ 0,004 (< 0,25).
5.3. Sarana dan Prasarana yang Menunjang Pelayanan Antenatal
5.3.1. Ketersediaan Sarana
Ketersediaan sarana yang cukup sangat mendukung dalam pelaksanaan pelayanan
antenatal. Lingkungan dan fasilitas serta alat merupakan faktor yang mendukung
dalam melaksanakan kegiatan atau tindakan dan keberhaslan program yang aan
dilaksankan.. Dari hasil wawancara kepada informan didapatkan bahwa sarana dan
prasarana dalam menunjang pelayanan antenatal sudah lengkap dan baik, hanya perlu
penambahan alat seperti tensimeter, timbangan berat badan, dan juga evaluasi alat
untuk pemeriksaan hemogloin. Selain dari hasi wawancara, hasil observasi juga
didapatkan bahwa sarana yang ada di Puskesmas dalam menunjang pelaksanaan
pelayanan kesehatan sudah lengkap, namun masih ada yang tidak berfungsi dengan
baik seperti tensimeter dan alat pemeriksa hemoglobin yang perlu dievaluasi. Hal ini
sejalan dengan yang diutarakan oleh informan. Tidak tersedianya peralatan atau
peralatan yang ada tidak digunakan dengan baik oleh Puskesmas akan mempengaruhi
mutu pelayanan kesehatan yang diberikan. Oleh karena itu, kondisi maupun fungsi
dari sarana fisik alat kesehatan tersebut harus dalam keadaan baik dan dapat
mendukung pelayanan kesehatan. (Depkes, 2009). Dalam hal ini, alat yang
dibutuhkan tidak hanya tersedia namun juga harus dapat mendukung pelayanan
kesehatan secara prima sehingga harus berfungsi dengan baik dan tersedia dalam
kuantitas yang memadai.
Alat yang menunjang pelayanan antenatal meliputi :
a. Tensimeter dan stetoskop adalah alat untuk mengukur tekanan darah pada ibu
hamil setiap pelayanan antenatal, dan stetoskop digunakan untuk mendengarkan
hasilnya.
b. Termometer
Termometer adalah alat untuk mengukur suhu badan ibu.
c. Doppler
Yaitu alat untuk mendengarkan denyut jantung janin. Alat ini selalu digunakan oleh
bidan dalam melakukan pelayanan antenatal.
d. Reflek hamer
Yaitu alat untuk melakukan patela reflek pada ibu hamil, alat ini digunakan oleh
bidan dalam melakukan pelayanan antenatal jika ada indikasi seperti preeclampsia.
e. Timbangan dan pengukur tinggi badan dewasa
Alat ini dipakai untuk menimbang berat badan ibu setiap kali datang untuk pelayanan
antenatal.
f. HB meter dan alat periksa urine
HB Meter adalah alat untuk memeriksa kadar hemoglobin dalam darah ibu dan alat
periksa urine untuk memeriksa kadar protein dan glukosa dalam urin. Alat dipakai
bidan bila ada indikasi.
5.3.2. Ketersediaan Prasarana
Prasarana merupakan faktor pendukung dalam melaksanakan kegiatan pelayanan
antenatal. Prasarana meliputi ruangan pemeriksaan ibu hamil yang memenuhi standar
kesehatan yaitu tersedia air bersih yang mengalir, pencahayaan dan ventilasi yang
cukup, serta mencukupi luasnya sehingga bidan yang memberikan pelayanan leluasa
dalam bekerja. Menurut hasil wawancara dan observasi, prasarana yang tersedia di
Puksesmas Makrayu dalam menunjang pelayanan antenatal sudah baik, informan
merasa nyaman dan tidak ada masalah dengan prasarana, selain itu dari enam kriteria
selama observasi, hampir seluruhnya sudah terpenuhi, satu yang tidak terpenuhi yaitu
tempat untuk melakukan konseling yang dapat menjaga kerahasiaan atau privasi
pasien. Mutu pelayanan kesehatan yang diberikan pasien walaupun merupakan nilai
subyektif, tetapi tetap ada dasar obyektif yang dilandasi oleh pengalaman masa lalu,
pendidikan, situasi psikis sewaktu pelayanan dan pengaruh lingkungan. Khususnya
mengenai penilaian kinerja pemberi jasa pelayanan kesehatan terdapat dua elemen
yang perlu diperhatikan yaitu teknis medis dan hubungan interpersonal. Hubungan
interpersonal ini berhubungan dengan pemberian informasi, empati, kejujuran,
ketulusan hati, kepekaan dan kepercayaan dengan memperhatikan privasi pasien
(Foster, 2002). Selain itu, tempat konseling yang menjaga privasi pasien dapat
memberikan kenyamanan bagi pasien. Menurut Leboeuf (2002) kenyamanan
merupakan faktor pendukung yang mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan.
5.4. Proses Pelaksanaan Pelayanan Antenatal
Pemeriksaan kehamilan menurut DepKes RI (2005) yaitu pelayanan kesehatan oleh
tenaga professional (dokter spesialis kebidanan, dokter umum, bidan, pembantu bidan
dan perawat bidan) untuk ibu selama kehamilannya. Dalam melakukan pemeriksaan
antenatal, bidan harus memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan. Kemenkes (2010) telah menetapkan bahwa komponen
pemeriksaan untuk pelayanan antenatal adalah timbang berat badan, ukur tekanan
darah, tentukan LILA, tentukan denyut jantung janin, tentukan presentasi janin,
tentukan tinggi fundus uteri, tablet tambah darah, pemberian imunisasi TT,
pemeriksaan laboraturium, tatalaksana, dan KIE. Dari hasil wawancara dan observasi
dapat disimpulkan bahwa seluruh informan sudah melakukan rangkaian komponen
pemeriksaan tersebut, namun masih ada yang perlu ditingkatkan yaitu anmnesis dan
pemberian KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) kepada ibu hamil. Menurut
hasil wawancara dengan informan, ketidak maksimalan anamnesis dan pemberian
KIE selama pelayanan adalah karena jumlah ibu hamil yang datang terlalu ramai
karena faktor pelayanan difokuskan pada satu hari sehubungan dengan pemberian
vaksin sehingga waktu pemeriksaan mejadi lebih singkat. Kepuasan pasien
merupakan salah satu unsur penilaian mutu pelayanan kesehatan. Menurut Taty
Rosyanawaty (2011), salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan pasien adalah
mutu informasi yang mereka peroleh sehingga dengan waktu pemeriksaan yang
singkat akan mempengaruhi mutu informasi tersebut. Berdasarkan hasil observasi
dalam komponen anamnesis didapatkan bahwa bidan di Puskesmas Makrayu
mendapatkan skor rata-rata 46,3% dari seluruh total anamnesis, artinya masih ada
setengah komponen pertanyaan yang belum ditanyakan dan dapat dilihat bahwa dari
pasien pertama sampai pasien terakhir, komponen pertanyaan yang ditanyakan
semakin lama semakin sedikit. Selain itu, berdasarkan hasil observasi dalam
pemberian materi KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) didapatkan skor 33,8%,
artinya masih banyak komponen pada KIE tidak disampaikan oleh bidan ke ibu
hamil. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara pada informan, hal ini dipengaruhi
oleh masalah manajemen waktu pelayanan. Waktu total pelayanan yang hanya satu
hari dan dengan pasien yang banyak membuat pelayanan menjadi tidak maksimal
sedangkan anamnesis dan pemberikan KIE adalah termasuk bagian dari komunikasi
interpersonal antara pemberi pelayanan kesehatan dan pasien yang merupakan salah
satu yang mempengaruhi kepuasan pasien, sedangkan keberhasilan yang diperoleh
suatu layanan ksehatan dalam meningkatkan mutu pelayanan sangat berhubungan erat
dengan kepuasan pasien. Menurut hasil penelitian Mirnawati (2014) didapatkan
adanya hubungan yang signifikan antara komunikasi interpersonal dengan kepuasan
pasien di RSUD AW Sjahrani Samarinda (p=0,000). Selain kepuasan pasien, luaran
yang sangat diharapkan adalah penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia
dan komunikasi interpersonal selama pelayanan antenatal memegang peranan penting
dalam hal tersebut. Salah satu keberhasilan pencegahan kematian ibu menurut
Kemenkes (2013) dalam buku Rencana Aksi Percepatan Penuruan Angka Kematian
Ibu di Indonesia adalah terletak pada ketepatan pengambilan keputusan pada saat
terjadinya komplikasi. Hal ini bisa terjadi apabila keluarga mempunyai pengetahuan
dasar yang baik tentang kehamilan dan persalinan sehingga mereka bisa menyusun
perencanaan persalinan dan kesiapan menghadapi komplikasi sedini mungkin. Di
bawah ini adalah tabel tentang Asesmen Kualitas Pelayanan Maternal tahun 2012 di
Indonesia.
Hasil Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa hanya sekitar 45% keluarga yang
mendapat penjelasan tanda bahaya kehamilan saat ANC (Gambar 5.1). Hal ini
diperkuat dengan hasil Asesmen Kualitas Pelayanan Maternal tahun 2012 yang
menunjukkan bahwa hanya 24% RS dan 45% Puskesmas yang melakukan konseling
dan edukasi sesuai standar pada saat pelayanan antenatal. Kedua hal ini menunjukkan
bahwa peran tenaga kesehatan untuk memberikan informasi dan advokasi kepada ibu
dan keluarga pada saat pelayanan masih lemah sehingga pengetahuan keluarga dan
masyarakat untuk membuat perencaaan persalinan juga rendah (Tabel 5.1).
Tabel 5.1 Data Kualitas Asuhan Antenatal di Indonesia
Asuhan Antenatal RS Puskesmas
Melengkapi riwayat medis 33,86% 48,52%
Melengkapi pemeriksaan fisik umum dan
obstetric
50,0% 59,38%
Melakukan konseling dan edukasi 24,17% 45,00%
Melakukan pemeriksaan penunjang rutin 39,38% 19,69%
Melakukan pemeriksaan penunjang bila
ada indikasi
49,00% 52,50%
Memberikan suplemen dan imunisasi 62,50% 73,13%
(Sumber: Asesmen kualitas pelayanan kesehatan maternal, Kemkes WHO-HOGSI, 2012)
Gambar 5.1. Proporsi Ibu Mendapat Penjelasan Tanda Bahaya Kehamilan 2010
(Sumber:Riskesdas 2010)