BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN...

29
115 BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN PEMIKIRAN HUKUM ISLAM A. Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Menurut Syāh Walî Allāh Kedatangan Islam merupakan sebuah revolusi sejarah kehidupan manusia yang selama berabad-abad turut berperan secara signifikan. Peran yang disignifikan ini tercermin pada pengaruh Islam yang cukup besar pada perubahan berbagai segi kehidupan manusia, bukan hanya dalam teologi, namun juga dalam sosial 53 dan ekonomi. 54 Kedudukan Al-Qur‟an dan Sunnah dalam konteks way of life bagi Muslim, merupakan sumber utama pengetahuan, sumber pokok yurisprudensi hukum (maādir al-ahkām) dalam Islam. Seluruh aktifitas kehidupan umat Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. Secara praktis, ungkapan-ungkapan pesan yang terkadung al-Qur‟an digeneralisasikan kepada prinsip-prinsip moral dalam berbagai aktifitas 53 Telah menjadi pemahaman umum bahwa fenomena sosial sangatlah kompleks dan tidak ada satu analisispun, betapapun lengkapnya, yang dapat menjelaskan seluruh faktor yang terlibat di dalamnya. Dalam konteks ini, Islam telah menjadi arus utama perubahan sejak Nabi Muhammad diutus dengan membawa Risalah Islam, dengan perkembangan yang mengalami pasang surut, dalam kurun waktu terakhir (dimulai awal 1970-an) telah terjadi fenomena sosial yaitu kebangkitan Islam (renaissance of Islam) yang bertujuan untuk membawa Islam menjadi pemimpin peradaban (Engineer, 2000: 136-7). 54 Kebangkitan Islam yang tengah berlangsung dalam kurun waktu dekade terakhir, terutama di negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim telah menciptakan kebutuhan akan sebuah gambaran integraf dan jelas yang ditawarkan oleh Islam untuk mewujudkan kebahagiaan di dunia. Umat Islam meyakini bahwa Islam telah memiliki konsep untuk mewujudkan kebahagiaan dunia melalui jalur ekonomi. Peristiwa runtuhnya sosialisme dan perekonomian yang terjadi di bekas Negara-negara Uni Soviet dan Eropa Timur menimbulkan pertanyaan “apakah hal ini merupakan kemenangan telak bagi sistem perekonomian Barat yang Kapit alistik dan Liberal”. Namun demikian, pada akhirnya doktrin ekonomi Barat pun tidak mampu bertahan lama yang dibuktikan dengan banyaknya krisis ekonomi yang terjadi di Negara-negara yang menerapkan sistem ekonomi tersebut. Maka, lagi-lagi Islam diharapkan menjadi sintesis dari seluruh doktrin ekonomi yang nyatanya tidak mampu mewujudkan keadilan dan kebahagiaan umat manusia. Asumsi ini di dasarkan pada sebuah analisis sederhana terhadap sejarah Nabi saw dan para Sahabatnya yang dianggap telah menerapkan doktrin ekonomi ala Islam (Chapra, 2006: xv).

Transcript of BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN...

Page 1: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

115

BAB IV

IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN PEMIKIRAN

HUKUM ISLAM

A. Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Menurut Syāh Walî Allāh

Kedatangan Islam merupakan sebuah revolusi sejarah kehidupan

manusia yang selama berabad-abad turut berperan secara signifikan. Peran

yang disignifikan ini tercermin pada pengaruh Islam yang cukup besar pada

perubahan berbagai segi kehidupan manusia, bukan hanya dalam teologi,

namun juga dalam sosial53

dan ekonomi.54

Kedudukan Al-Qur‟an dan Sunnah dalam konteks way of life bagi

Muslim, merupakan sumber utama pengetahuan, sumber pokok yurisprudensi

hukum (maṣādir al-ahkām) dalam Islam. Seluruh aktifitas kehidupan umat

Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut.

Secara praktis, ungkapan-ungkapan pesan yang terkadung al-Qur‟an

digeneralisasikan kepada prinsip-prinsip moral dalam berbagai aktifitas

53

Telah menjadi pemahaman umum bahwa fenomena sosial sangatlah kompleks dan tidak

ada satu analisispun, betapapun lengkapnya, yang dapat menjelaskan seluruh faktor yang terlibat

di dalamnya. Dalam konteks ini, Islam telah menjadi arus utama perubahan sejak Nabi

Muhammad diutus dengan membawa Risalah Islam, dengan perkembangan yang mengalami

pasang surut, dalam kurun waktu terakhir (dimulai awal 1970-an) telah terjadi fenomena sosial

yaitu kebangkitan Islam (renaissance of Islam) yang bertujuan untuk membawa Islam menjadi

pemimpin peradaban (Engineer, 2000: 136-7). 54

Kebangkitan Islam yang tengah berlangsung dalam kurun waktu dekade terakhir,

terutama di negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim telah menciptakan kebutuhan akan

sebuah gambaran integraf dan jelas yang ditawarkan oleh Islam untuk mewujudkan kebahagiaan di

dunia. Umat Islam meyakini bahwa Islam telah memiliki konsep untuk mewujudkan kebahagiaan

dunia melalui jalur ekonomi. Peristiwa runtuhnya sosialisme dan perekonomian yang terjadi di

bekas Negara-negara Uni Soviet dan Eropa Timur menimbulkan pertanyaan “apakah hal ini

merupakan kemenangan telak bagi sistem perekonomian Barat yang Kapitalistik dan Liberal”.

Namun demikian, pada akhirnya doktrin ekonomi Barat pun tidak mampu bertahan lama yang

dibuktikan dengan banyaknya krisis ekonomi yang terjadi di Negara-negara yang menerapkan

sistem ekonomi tersebut. Maka, lagi-lagi Islam diharapkan menjadi sintesis dari seluruh doktrin

ekonomi yang nyatanya tidak mampu mewujudkan keadilan dan kebahagiaan umat manusia.

Asumsi ini di dasarkan pada sebuah analisis sederhana terhadap sejarah Nabi saw dan para

Sahabatnya yang dianggap telah menerapkan doktrin ekonomi ala Islam (Chapra, 2006: xv).

Page 2: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

116

dengan cara mengaitkan ungkapan-ungkapan spesifik al-Qur‟an beserta latar

belakang dinamika sosiokultural dan politik dengan mempertimbangkan

ratio-legis („illat hukum) yang dinyatakan dalam ungkapan-ungkapan al-

Qur‟an. Atas dasar ini, maka Islam adalah agama dan cara hidup berdasarkan

syariat Allah yang terkandung dalam kitab Al-Quran dan Sunnah Rasulullah

SAW. Setiap orang yang mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib

membentuk seluruh hidup dan kehidupannya berdasarkan syariat yang

termaktub dalam Al-Quran dan As-Sunnah.

Pengejawantahan syari‟at Islam atas dua sumber utama dan pertama

syari‟at Islam, maka perlu dipahami bahwa hakekat al-Qur‟an sebagai

”firman Allah” (kalam Tuhan) bersandarkan pada aspek keyakinan dan

karenanya menjadi dasar keimanan seseorang dan sumber acuan dalam

melakukan berbagai aktifitas. Legislasi al-Qur‟an pada dasarnya merupakan

pernyataan-pernyataan al-Qur‟an yang bermuatan hukum, namun sekaligus

juga merupakan kitab-kitab prinsip dan seruan-seruan moral dalam berbagai

aktifitas dan bukan dimaksudkan sekadar legislasi semata. Sebagai kebijakan-

kebijakan moral al-Qur‟an mengangkat kedudukan “masyarakat kelas dua”:

wanita, anak-anak yatim, fakir-miskin, dan budak menuju terwujudnya

kondisi keadilan sosial dan persamaan esensial derajat manusia.

Dalam legislasi al-Qur‟an terkandung prinsip umum dan legal

spesifik. Prinsip umum merupakan makna dan argumentasi di balik

ketentuan legal-spesifik, terkadang dinyatakan secara eksplisit mengiringi

ungkapan-ungkapan legal spesifik. Legislasi zakat dalam hal ini bertujuan

Page 3: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

117

untuk menciptakan keadilan sosial bidang ekonomi. Prinsip-prinsip umum

ini secara praksis dijabarkan ke dalam aturan legal spesifik. Formula legal

spesifik dimaksudkan sebagai solusi alternatif yang sarat dengan muatan

nilai-nilai ilahiyyah transendental terhadap berbagai permasalahan aktual

yang makin kompleks. Dengan demikian, ordonansi ilahiyyah tersebut

mengandung aturan hukum spesifik dan sumber nilai serta muatan mora yang

prinsipil.

Legislasi al-Qur‟an (maupun hadits) yang mengandung prinsip umum

dan legal spesifik inilah yang sesungguhnya menjadi diskursus mengenai

hukum Islam yaitu bagaimana membawa pesan-pesan yang terkandung dalam

teks-teks syari‟at tersebut (sebagai sumber hukum Islam) ke dalam konteks

perkembangan jaman. Jawaban yang tepat untuk permasalahan di atas tidak

lain kecuali dilakukan Ijtihad. Sikap Syāh Walî Allāh sangat tegas mengenai

Ijtihad ini. Maka tidak heran, jika buku karya Jalaluddîn as-Suyūṭî (849H-

911H) yang berjudul “ar-roddu „alā man akhlada ilā al-arḍî wa jahila anna

al Ijtihāda fî kulli „aṣrin farḍun” menjadi salah satu pegangan baginya untuk

menggalakkan Ijtihad55

dan sangat menentang taqlid. Taqlid telah

menyebabkan perdebatan dan perselisihan untuk membenarkan pendapat

golongan. Kondisi inilah yang dikhawatirkan oleh Syāh Walî Allāh

(2005:262) sebagaimana pernyataannya:

55

Dalam bab pertama buku tersebut berisi tentang pendapat-pendapat para ulama bahwa

Ijtihad harus ada dalam setiap masa (as-Suyūṭî, tt: 2).

Page 4: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

118

“Bahaya dari perdebatan, perselisihan dan kerumitan ini mendekati

bahaya yang dirasakan pada krisis pertama (umat Islam)56

ketika

orang-orang berselisih mengenai kekuasaan. Sebagaimana krisis di

masa lalu telah menghasilkan pemimpin yang zalim dan

memunculkan berbagai peristiwa yang kejam dan tolol, maka

perselisihan yang terjadi kemudian pun mengakibatkan kebodohan,

penyusupan, keraguan, dan praduga yang sulit dilepaskan dari umat.

Setelah mereka, muncul generasi yang sepenuhnya bergantung pada

taqlid¸tanpa membedakan antara yang benar dan yang salah, tidak

mempertimbangkan argument yang digunakan dalam pengambilan

hukum (istinbāṭ).

Syāh Walî Allāh menekankan pentingnya ijtihad, tanpa ijtihad adalah

mustahil dapat menemukan pengetahuan baru dalam memahami Al-Qur`an,

Sunnah dan berhasil dalam Syariah. Ijtihad merupakan upaya untuk

melakukan Pembaruan pemikiran hukum Islam. Karena itu, Shah Waliullah

memperkenalkan sebuah cara baru yang dinamis dalam memahami al-Qur`an.

Hal itu guna membuat investigasi interpretif atas ayat-ayat Al-Qur`an dengan

cara yang independen dari segala bentuk penafsiran dan yang secara natural

menekankan penggunaan rasio pada kebesaran Allah yang termanifestasi

dalam ayat-ayat Al-Qur`an yang sedang dikaji.57

Ilmu-ilmu Al-Qur`an, yaitu,

ilmu perintah (hukum-hukum), ilmu perbedaan (science of disputation)

dengan kalangan polytheist, ilmu pertolongan Tuhan, ilmu tentang kejadian-

kejadian khusus yang ditentukan Allah, dan ilmu Akhirat, yang hendaknya

dikaji secara keseluruhan untuk memahami totalitas Al-Qur`an dalam usaha

56

Kondisi perpecahan umat Islam sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Syāh Walî Allāh

adalah peristiwa tahkim (arbitrase) yang menyebabkan umat Islam terpecah dalam beberapa

golongan. 57

Hujjatullah al-Bāligah yang merupakan magnum opus Syāh Walî Allāh mengupas

rasionaitas suatu ketetapan (hukum) syari‟at. Syāh Walî Allāh (2005: 575) menyatakan bahwa

setiap hukum yang terdapat dalam nash pasti disertai adanya „illah (alas an rasional). Maka, untuk

mengetahui alasan suatu hukum, rukun dan syarat maka yang paling jelas adalah dengan melihat

petunjuk nash

Berkaitan dengan tafsir al-Qur‟an, di antara karya Syāh Walî Allāh tentang ilmu tafsir yaitu

al-Fauz al-Kabîr fî Uṣūl at-Tafsîr Syāh Walî Allāh.

Page 5: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

119

memahami signifikansi Al-Qur`an dalam kehidupan. Dengan demikian,

sebagaimana Imam Ghazali, Syāh Walî Allāh adalah seorang sufi yang

percaya atas kapasitas individual untuk self-annihilation (penghapusan diri)

dalam rangka menuju pencapaian tertinggi dalam kehidupan seperti

diperintahkan oleh syariah. Syāh Walî Allāh juga percaya bahwa karena

pengetahuan manusia pasti tidak akan sempurna, adalah tidak mungkin untuk

mencapai keseimbangan sempurna dalam suatu sistem. Oleh karena itu, dia

mendukung pencarian menuju kesempurnaan (excellence) dengan kesadaran

untuk selalu memperbaiki dan mengembangkan pengetahuan.

Sebagai seorang intelektual dan sufi , iapun concern di bidang hukum

Islam. Shāh Waliyullāh (2005:225-7) menyebutkan bahwa apa yang datang

dari syāri‟ (pembuat hukum) – termasuk hadis Nabi -- mengandung dua jenis

ilmu, yakni maṣālih (kemaslahatan) dan syarā‟i (hukum agama). Dua hal ini

mempunyai kedudukan dan derajat yang berbeda-beda. Pertama, ilmu

tentang kemaslahatan dan kerusakan (al-Maṣālih wa al-Mafāsid), yakni

sesuatu yang dijelaskan dengan upaya pembersihan jiwa dengan melakukan

berbagai aktifitas kebaikan dan menghindarkan akhlak yang tercela. Karena

itu, urusan-urusan yang berkenaan dengan tentang pengaturan rumah tangga,

pemenuhan kebutuhan hidup, urusan pengaturan kota tidak pernah ditetapkan

dengan ukuran dan standart tertentu. Misalnya Nabi memuji keberanian dan

kepandaian seseorang. Beliau tidak menjelaskan definisi kepandaian dan

keberanian seseorang sehingga bisa disebut pandai. Kedua, ilmu tentang

syariat, hukuman-hukuman (hudud), dan kewajiban-kewajiban (farāiḍ), yakni

Page 6: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

120

segala sesuatu yang telah dijelaskan oleh syari‟at dengan cara menunjukkan

kuantitas, sehingga semua hal tersebut bersesuaian dengan sumber –pengada,

serta menetapkan tanda-tanda yang mengacu pada kemaslahatan segala

sesuatu dan mendasarkan hukum pada kemaslahatan itu, kemudian

menetapkannya kepada umat. Aktifitas berupa kebaikan-kebaikan yang

mengandung maslahat tersebut ditentukan rukun-rukun, syarat-syarat dan tata

cara pelaksanaannya yang tepat.

Pembaruan pemikiran hukum Islam melalui ijtihad diupayakan guna

memperoleh kemaslahatan bagi umat sebagaimana tujuan syari‟at. Logika

kemaslahatan dalam konteks ini didasarkan pada tiga prinsip dasar

kewajiban-kewajiban syari‟at:

1. Syari‟at hanya membebankan yang mudah untuk dilakukan. Maka,

mempermudah suatu ketetapan dapat dilakukan dengan beberapa cara:

a. Tidak membuat sesuatu yang menyulitkan masyarakat menjadi rukun

atau syarat suatu ibadah.

b. Beberapa bagian dari perbuatan ibadah harus dijadikan kebiasaan yang

akan membuat umat bangga, sehingga ketika mereka mengerjakannya,

mereka akan mengerjakannya dengan sukarela.

c. Menjadikan beberapa bentuk ibadah sebagai kebiasaan yang mereka

sukai sesuai dengan watak mereka.

d. Membebaskan umat dari segala sesuatu yang memberatkan mereka dan

yang biasanya tidak disukai.

Page 7: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

121

e. Membiasakan dan memelihara berbagai perbuatan yang dituntut oleh

sebagian besar manusia serta menghindarkan segala sesuatu yang

menyebabkan keresahan jiwa.

f. Menyebarkan ilmu, memberikan nasehat, serta dakwah amar ma‟rūf

nahî munkar harus menjadi kebiasaan umat agar diri mereka dipenuhi

nilai-nilai kebajikan.

g. Sesuatu yang sulit hanya akan disyari‟atkan kepada umat secara

bertahap. (Syāh Walî Allāh, 2005:197-8)

2. Keyakinan bahwa meninggalkan atau mengabaikan suatu perbuatan sama

dengan mengabaikan Allah, sedangkan mereka sebenarnya merasa puas

dengan perbuatan tersebut karena hal itu telah disampaikan oleh Nabi dan

disepakati oleh salaf as-shōlih, maka lebih bijaksana agar perbuatan

tersebut ditetapkan untuk diri sendiri. Contoh perbuatan ini adalah

mengenai sholat tahajjud, Nabi pernah bersabda mengenai bangun malam

untuk mengerjakan tahajud pada malam-malam Ramadhan “Aku taku

bahwa (amalan ) ini akan menjadi kewajiban atas dirimu”.

3. Sesuatu tidak boleh ditetapkan sebagai kewajiban agama kecuali jika telah

benar-benar ditegaskan dan ditentukan oleh otoritas agama, serta ketetapan

tersebut tidak samar bagi umat (Syāh Walî Allāh, 2005:173-4).

Atas dasar ketiga prinsip di atas, maka seharusnya pemahaman teks-

teks syari‟at bukan monopoli sepihak. Tidak perlu terjadi perbedaan

pendapat, taqlid dan perselisihan yang berujung pada kehancuran umat Islam.

Pengambilan hukum atas nash yang dilakukan oleh ahli hukum, seharusnya

Page 8: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

122

menghasilkan suatu ketetapan yang mengandung kemaslahatan bagi

kehidupan umat. Bukan sebaliknya, menimbulkan taqlid bagi para

pengikutnya meskipun hal ini bukan kehendak para ahli hukum melainkan

pemahaman agama yang sempit para pengikutnya.

Pembaruan pemikiran hukum Islam yang dikehendaki oleh Syāh Walî

Allāh bukanlah pembaruan yang radikal. Hal ini tercermin pada sikapnya

yang sangat menghargai perbedaan pendapat. Ia mengetahui secara jelas

penyebab terjadinya perbedaan pendapat, sehingga ia mampu mengambil

sikap yang tepat. Kemampuannya mengetahui penyebab perbedaan ini

sebagaimana diakuinya dalam pendahuluan buku al-inṣāf fî bayani asbāb al-

ikhtilāf, ia menyatakan:

“Pada suatu ketika, Allah meletakkan timbangan di dalam hatiku

sehingga aku bisa mengetahui sebab-sebab setiap perselisihan yang

terjadi di sekitar persoalan agama yang di bawa oleh Nabi Muhammad

dan aku bisa mengetahui mana yang benar menurut Allah dan Rasul-

Nya. Allah membuatku sanggup menerangkannya dengan keterangan

yang tidak ada lagi keserupaan dan kesulitan.

Saya pernah ditanya tentang sebab terjadinya perselisihan para sahabat

dan generasi sesudahnya, utamanya tentang hukum fiqih. Maka,

dengan senang hati aku memerangkan beberapa hal yang aku ketahui

pada waktu itu sesuai dengan kesempatan dan wawasan para penanya”

(Syāh Walî Allāh, 1986: 14).

Syāh Walî Allāh merupakan salah satu tokoh pembaharu, namun

demikian ia tidak radikal sebagaimana sikap Muhammad Ibn „Abd Wahāb.58

Pada saat yang sama, di Arab Saudi sedang terjadi perubahan fundamental.

Muhammad Bin Abd Wahāb (Gerakan Wahabi) melakukan proses

58

Pada saat yang sama di Arab Saudi juga terjadi gerakan Pembaruan yang di motori oleh

Muhammad Ibn „Abd al Wahāb (1115 - 1206 H/1701 - 1793 M).

Page 9: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

123

Pembaruan di Saudi Arabia. Gerakan Wahabi ini memperoleh dukungan

politik dari keluarga Ibn Su‟ūd yang berupaya membangun kerajaan di Saudi

Arabia. Menurut sejarawan, bahwa keberhasilan gerakan Pembaruan di Saudi

Arabia sangat ditentukan oleh kolaborasi antara dua kepentingan tersebut,

kepentingan agama dan politik. Gerakan Wahabi adalah gerakan puritanisasi

yaitu pemurnian kembali ajaran Islam dari unsur-unsur bid‟ah artinya lebih

mengarah pada aspek ubudiyah dan konsep keyakinan. Ibnu Taimiyah yang

sangat terkenal karena program menghidupkan kembali ajaran salaf (muhyî

atsār as-salaf) dengan hanya mengakui apa yang telah dikembangkan oleh

Rasul dan para shahabat, telah memberi semangat dan inspirasi bagi gerakan

Wahabi untuk mengembangkan sisi kehudipan yang hanya didasarkan pada

kedua otoritas tersebut.Walaupun kehadirannya sangat dibutuhkan untuk

mengembalikan semangat tauhid, akan tetapi dalam rentang sejarah

perkembangannya, terdapat berbagai perlawanan baik yang dilakukan secara

individual dan kolegial maupun yang dilakukan oleh beberapa kerajaan yang

khawatir terancam eksistensinya.59

59

Inti dari gerakan Wahabi adalah sebagai berikut :1) Melakukan usaha pemurnian ajaran

Islam dengan kembali kepada sumber aslinya yaitu AlQur‟an dan Al Hadits, 2) Membersihkan

tauhid dari noda syirik, 3) Membersihkan ibadah dari segala bentuk bid‟ah 4) Memberantas segala

bentuk formalisme atau simbolitas tanpa amal perbuatan dalam agama dengan menekankan hidup

sederhana.

Karakteristik yang menonjol dari gerakan Wahabi antara lain:1) Sebagai gerakan teologis

artinya sasaran Pembaruan adalah pemurnian cara pengamalan umat Islam dan sekaligus ajaran

Islam, dengan hanya bersandar pada konsep kepercayaan dan peribadatan yang berasal dari Al

Qur‟an dan Al Hadits, 2) Sebagai gerakan Literalis dan Tekstualis artinya gerakan yang hanya

mengakui otoritas teks Al Qur‟an dan Al Hadits dengan menekankan pentingnya formalitas dalam

pengamalan agama dan bukan hanya diamalkan dalam bentuk batiniyah sebagaimana yang

dilakukan oleh para sufis dan pengamal mistisisme. Dengan demikian gerakan ini adalah gerakan

kontra dari sufisme dan mistisisme, 3) Sebagai gerakan anti Intelektual dan Filsafat artinya

gerakan yang mengedepankan rasionalisme dalam beragama, terutama dalam menafsirkan Al

Qur‟an dan Al Hadits. Gerakan ini hanya mematuhi kebenaran Al Qur‟an dan Al Hadits dan bukan

kebenaran rasional atau Filsafat, hal tersebut untuk menjaga kemurnian Islam, 4) Sebagai gerakan

Page 10: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

124

Kondisi sosial yang dihadapi Syāh Walî Allāh turut membentuk

sikapnya yang relatif moderat dalam gerakan Pembaruan. Pada saat yang

sama Syāh Walî Allāh dihadapkan pada situasi politik yang tidak menentu,

sehingga yang menjadi fokus utama adalah penguatan internal sumber daya

manusia umat Islam dalam menghadapi kekacauan sosial tersebut.

Pembaruan pemikiran Syāh Walî Allāh dapat dipetakan sebagai

berikut:

1. Bidang Syari‟ah (Hukum Islam)

Menurut Syāh Walî Allāh, pintu ijtihad tetap terus terbuka, karena

dibutuhkan untuk melakukan interpretasi terhadap al-Qur‟an, lebih dari itu

karena dunia terus mengalami perkembangan dan perubahan, maka

diperlukan kemampuan intelektual (ijtihad) untuk menggali hukum-hukum

tersebut. Terhadap hadits, satu-satunya cara untuk menerima riwayat

adalah dengan menelitinya dari kitab-kitab hadis secara langsung, sebab

tidak ada riwayat yang dipercaya kecuali riwayat tersebut telah dituliskan

dalam kitab-kitab hadis yang ada. 60

Di samping itu, menentang prilaku

anti kejumudan dan kemandegan berfikir dengan mengatakan bahwa pintu ijtihad masih terbuka,

dalam rangka melahirkan tradisi dan kebebasan berfikir dikalangan umat Islam (Ihsan dalam

http://ml.scribd.com/doc/ di akses tanggal 19-06-2012) 60

Syāh Walî Allāh (2005: 229-233) membagi tingkatan kitab-kitab hadis menjadi empat;

pertama, al-Muwatthā‟ Mālik (w. 179 H.), shahīh Bukhārī (w. 256 H.), dan shahīh Muslim (w.

261 H.). Kedua, kitab-kitab hadis yang berada di bawah tiga kitab tersebut, yang diketahui

pengarangnya dapat dipercaya, adil, hafalannya kuat, dan mumpuni dalam bidang ilmu hadis,

seperti Sunan Abī Dāwud (w. 275 H.), Jāmi‟ al-Turmudzī (w. 279 H.), Sunan al-Nasāī (w. 303

H.), Sunan Ibnu Mājah (w. 273 H.), dan Musnad Ahmad bin Hanbal (w. 241 H.). Ketiga, kitab-

kitab musnad, jāmī‟, dan muṣannaf yang didalamnya terdapat hadis sahih, hasan, dhaif, ma‟rūf,

gharīb, shād, munkar, khata‟, ṣawab, ṡabit, dan maqlūb. Kitab yang termasuk kategori ini

misalnya Musnad Abī Ya‟lā (w. 1034 H.), Muṣannaf Abd al-Razāq (w. 827 H.), Muṣannaf Abū

Bakar bin Abī Syaibah (w. 235 H.), Musnad al-Ṭayālīsī (w. 818 H.), kitab al-Baihaqī (w. 458 H.),

al-Ṭahawī (w. 321 H.), dan al-Ṭabrānī (w. 360 H.). Keempat, Kitab-kitab yang disusun untuk

menghimpun hadis-hadis yang tidak termuat dalam kitab tingkatan pertama dan kedua, dan hadis-

hadis yang terdapat dalam kitab-kitab jāmī‟ dan Musnad yang kurang populer atau hadis-hadis

Page 11: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

125

ulama tradisional yang mempertahankan status quo terhadap ajaran dan

tidak mau melakukan perubahan.

Formulasi pembaruan pemikiran di bidang syari‟ah ini, Syāh Walî

Allāh menggunakan akhirat sebagai inti penjelasan atas hubungan antara

eksistensi duniawi dan Akhirat. Artinya, bahwa ijtihad yang dilakukan,

tetap harus memperhatikan tujuan akhir kehidupan yaitu realitas akhirat.

Syāh Walî Allāh mengkombinasikan esensi Syariah, pengertiannya,

perkembangan dan interpretasinya pada isu-isu dan berbagai problema

kehidupan. Syariah bagi Syāh Walî Allāh dilihat sebagai sebuah desakan

alami kemanusiaan yang harus terjadi dalam sejarah sebagai berasal dari

kehendak Allah karena Allah hendak melindungi makhluknya, manusia

dan yang lain, baik dalam kehidupan ini dan dari hukuman neraka yang

tidak terbatas. Melalui Syariah, Allah juga akan membalas tindakan

individual di dunia dengan pahala yang tidak terbatas di akhirat dan

dengan demikian proses perkembangan masyarakat Islam adalah memberi

penjelasan dari Realitas Akhirat.61

2. Bidang Mistisisme Islam (Sufi)

Pandangan Syāh Walî Allāh mengenai mistisisme Islam (Tasawuf)

telah memberi warna dan corak yang baru dalam dunia tasawuf. Pada

yang berupa tradisi sahabat, tabi‟in, atau dongeng israiliyat dan lain sebagainya. Misalnya al-

Dhu‟afā‟ Ibnu Hibbān (w. 354 H.), al-Kāmil Ibnu „Ādī (w. 976 H.) dan lain-lain. 61

Balasan yang ditetapkan untuk setiap ketentuan syari‟at berasal dari empat aspek yaitu; 1)

tuntutan alamiah, 2) berasal dari konsekuensi jasmaniah yang disebabkan oleh kecondongan nafsu

dalam melakukan perbuatan baik atau buruk (Dewan Malaikat Tertinggi), 3) tuntutan syariat ilahi

yang telah ditetapkan bagi umat manusia, 4) tujuan Allah mengutus Nabi SAW kepada umat

manusia sebagai rahmat bagi manusia dan agar mereka dekat kepada kebaikan (Syāh Walî Allāh,

2005: 103-7)

Page 12: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

126

masanya, tradisi sufisme berkembang begitu luas dengan berbagai macam

aliran dan ajaran, dari yang ekstrim hingga yang moderat. Syāh Walî Allāh

(2002:2) mengatakan bahwa setiap mistikus telah menafsirkan hakikat

sesuai dengan kapasistasnya dan bahwa tepatnya perbedaan mendasar

dalam kapasitas inilah yang menyebabkan perbedaan-perbedaan dalam

penafsiran mereka.

Setelah era para sahabat Nabi dan pengikut mereka, muncullah

orang-orang yang meleburkan diri dalam mistisisme dan menunjukkan

ketekunan ektsrem berupa kepatuhan yang sangat hati-hati terhadap

sesuatu yang berkaitan dengan aib diri. Mereka berpendapat bahwa satu-

satunya penghalang manusia adalah keakuan, kebiasaan dan adatnya

sendiri. Oleh karena itu, upaya yang bersungguh-sungguh untuk meredam

gejolak nafsu dan keakuan egresif. Upaya ini diwujudkan dalam aktifitas

sehari-hari yang menjauhkan diri dari pemenuhan kebutuhan seksual,

makanan lezat, pakaian indah, menjalani kehidupan yang keras dan sulit,

dan mengabaikan kenyamanan-kenyamanan. Meskipun demikian, mereka

tetap memenuhi kebutuhan hidup secara minimal. Mereka memasrahkan

diri ke dalam introspeksi dengan semangat yang sama dan menyukai

pengembaraan. Menyibukkan pikiran dengan hal-hal yang melupakan

pada kemegahan, martabat, ketenaran dan hasrat kekuasaan atau kekayaan.

Kesemuanya itu bermuara pada penyucian diri dari hal-hal yang bersifat

duniawi. Dalam terminologi sufi, penyucian keakuan, kalbu dan akal

dikenal dengan “sulûk” (jalan), sedangkan penyucian ruh dan rahasia

Page 13: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

127

dikenal dengan “haqȋqat” (pengetahuan yang dalam) (Syāh Walî Allāh,

2002:71-3). Perbedaan dalam menafsirkan “sulûk” dan “haqȋqat” inilah

yang menyebabkan perbedaan aliran sufi.

Syāh Walî Allāh mengambil jalan tengah dalam menafsirkan

berbagai entitas yang ada dalam ajaran sufi. Ia menjelaskan beberapa

entitas yang selama ini bersinggungan dengan sufisme, seperti hati (kalbu)

yang merupakan entitas pembawa sifat-sifat mental seperti marah dan rasa

malu. Akal merupakan energi perspektif (pemahaman) yang

membayangkan dan membenarkan sehingga kalbu dan keakuan mungkin

mengikuti kepemimpinannya dan sebuah fungsi koordinasi mungkin

muncul dalam kondisi kemampuan perspektif ini yang kepadanya kalbu

dan keakuan memberikan dukungannya. Ruh didefinisikan sebagai kalbu

setelah ia melepaskan dorongan-dorongan dasariah, ketika aktifitas dengan

ruh malaikan dan jiwa rasional menjadi dominan (2002: 76-8).

Syāh Walî Allāh juga mengungkapkan perbedaan antara jalannya

para sufi dengan jalannya para rasul. ia berpandangan bahwasanya ada dua

jalan untuk mencapai suatu kebahagiaan, pertama adalah jalan philosof

berketuhanan serta jalannya para sufi yang mendamba Tuhan yang ia sebut

dengan ṭariqat al-walayah, sedang yang kedua adalah jalannya para rasul

yang disebut dengan ṭarikat an-nubuwat, dalam jalan yang kedua manusia

terpaut erat dengan tuntutan syariat, ihsan mereka adalah shalat, puasa,

zakat. Tafakur dalam tarekat yang kedua ini nyaris terpinggirkan, bagi

Syāh Walî Allāh, rasul tidak mempunyai pendapat atau keterangan yang

Page 14: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

128

baik dalam hal ini. lain halnya dengan tarekat an-nubuwah dan walayat

yang banyak berisi tentang ajaran serta konsep-konsep. Baginya ṭarikat

an-nubuwat hanya merupakan simbolisasi saja dari ṭariqat al-walayah

untuk mencapai Tuhan.

3. Bidang Siyasah (Politik)

Syāh Walî Allāh percaya pada revolusi terhadap penguasa yang

zalim dan korup demi mencapai perdamaian dan keadilan yang berpuncak

pada kekuasaan syariah dalam tatanan Islam internasional yang akan

datang. Oleh karena itu, ia selalu menganjurkan jihad pada kaum muslim

untuk membentuk tatanan tersebut, tetapi juga mengeritik keras pada para

penguasa muslim yang korup, sekte-sekte dan kelompok-kelompok dalam

masyarakat. Semangat mengobarkan jihad ini dilatarbekangi oleh kondisi

sosial politik yang carut matur pada zamannya.

Dalam konteks bentuk negara, ia lebih cenderung mendukung

berdirinya sistem kekhilafahan. Syāh Walî Allāh membuat perbedaan

antara khalifah dalam pengertian khusus dan khalifah dalam pengertian

umum. Khalifah khusus hanya dipegang oleh Nabi Muhammad dan dua

khalifah pertama yang (menurutnya) ditunjuk oleh Muhammad.

Sedangkan semua khalifah selain itu, semata-mata merupakan muslim

yang baik, dipilih oleh rakyat dan mereka harus bermusyawarah dengan

orang lain. Program mereka adalah menegakkan agama dengan cara

menghidupkan disiplin agama, melaksanakan jihad, bertanggung jawab

atas pelaksanaan keadilan dan lain-lain. Khalifah yang semacam itu harus

Page 15: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

129

dipatuhi, kecuali jika mereka bertentangan dengan atau menolak Islam

maka umat wajib menggunakan kekuatan untuk melawan mereka (Black,

2006: 453-56). Teori kekhalifahan ini berusaha memadukan pendekatan

sufistik dan ahli fikih dengan cara memilah kekhalifaha spiritual (batin)

yang mengurusi perintah-perintah agama dan kekhalifahan politis (ḍāhir)

yang bertugas untuk meningkatkan pelaksanaan ajaran agama.

4. Bidang Sosial Ekonomi

Seiring perkembangan zaman, kebutuhan manusia semakin banyak

dan setiap orang berusaha mencari keunggulan. Kebutuhan-kebutuhan itu

juga meliputi berbagai hal yang sifatnya estetis dan emosional, sehingga

setiap orang tidak akan mampu memenuhinya sendirian. Sebagai sebuah

ilustrasi, ada sebagian orang yang mendapatkan makanan secara

berlebihan akan tetapi mereka tidak mendapatkan air, sementara di lain

pihak ada yang mendapatkan air secara berlebihan namun tidak

mempunyai makanan. Jadi, masing-masing menginginkan apa yang

dimiliki orang lain, sehingga terjadilah transaksi tukar-menukar. Dalam

aplikasi syari‟ah, pemenuhan kebutuhan ekonomi merupakan kebutuhan

dasar. Dalam perkembangan selanjutnya, dinamika kehidupan masyarakat

yang semakin komplek, berkembang pula mata pencaharian agar masing-

masing individu dapat memenuhi tuntutan kebutuhan hidupnya. Di

samping itu, adanya tuntutan kemudahan dalam melakukan transaksi,

maka terciptalah suatu alat pertukaran.

Page 16: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

130

Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang semakin berkembang

dapat diaplikasikan di bawah model aplikasi syariah yang didasarkan pada

asumsi dan karakteristik model kebutuhan-kebutuhan dasar yang dinamis.

Dinamika pemenuhan kebutuhan dasar ini melahirkan pasar, institusi,

teknologi, produksi, harga, utilisasi sumber daya dan distribusi, semuanya

membawa implikasi dan ditentukan di bawah perspektif perkembangan

sosial ekonomi. Implikasi perkembangan sosio-ekonomi menuntut adanya

hubungan yang kondusif antara pasar (pelaku ekonomi) dan negara

(pemerintahan), maka dalam hal ini negara (pemerintahan) harus mampu

mendukung pemberdayaan setiap sumberdaya yang ada dan tidak

membebani para pelaku ekonomi dengan pungutan-pungutan yang

memberatkan. Syāh Walî Allāh (2005: 187) menyatakan:

“Hal lain yang merusak dan menyebabkan kemunduran kota adalah

penarikan pajak yang terlalu memberatkan petani, pedagang dan

kalangan profesional, sehingga membuat orang yang patuh menjadi

jatuh dan hancur dan orang yang cukup kuat akan menolak pajak

itu dan membangkan kepada penguasa”

Pernyataan Syāh Walî Allāh di atas menunjukkan bahwa pembangunan

suatu negara tidak bisa lepas dari peras setiap warga negaranya. Oleh

karena itu, negara harus melindungi setiap individu untuk melakukan

aktifitas ekonomi. Negara juga berhak memungut pajak atas setiap usaha

mereka namun dengan jumlah yang rasional.

Meskipun setiap orang memiliki tuntutan ekonomi, namun setiap

usahanya janganlah sampai memalingkan mereka dari kepedulian sosial,

sehingga mereka mampu membantu siapapun yang membutuhkan. Setiap

Page 17: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

131

orang juga harus memperhatikan kondisi lingkungan masing-masing.

(Syāh Walî Allāh, 2005:187). Hal ini berarti bahwa kehidupan sosial dan

kesejahteraan masyarakat suatu masyarakat menjadi tanggung jawab

bersama. Peran negara adalah menjamin dan melindungi setiap warganya

untuk melakukan aktifitas sosial dan aktifitas ekonomi mereka.

Setelah memahami konsep Pembaruan Syāh Walî Allāh, maka dapat

dikatakan bahwa dia memiliki corak seoarang ulama moderat-konservatif. Ia

berusaha mengikuti pola dan alur berpikir sebagian besar kaum muslim

bahwa pembaruan dalam hukum Islam adalah suatu keniscayaan dan

menyadari bahwa ada sebagian ajaran Islam yang kurang cocok dengan

konteks dunia modern. Namun demikian, ia lebih memilih memahami ulang

dengan melakukan sedikit modifikasi yang hati-hati dan lamban terhadap

ajaran Islam.

B. Ijtihad dan Relevansinya Dalam Pembaruan Pemikiran Hukum Islam

Hukum Islam sebagai suatu pranata sosial memiliki dua fungsi,

pertama sebagai kontrol sosial dan kedua sebagai nilai baru dalam proses

perubahan sosial. Jika yang pertama Hukum Islam ditempatkan sebagai blue

print atau cetak biru Tuhan yang selain sebagai control social juga sekaligus

sebagai social engineering (rekayasa sosial) terhadap keberadaan suatu

komunitas masyarakat. Sementara yang kedua Hukum Islam merupakan

produk sejarah yang dalam batas-batas tertentu diletakkan sebagai justifikasi

terhadap tuntutan perubahan sosial budaya dan politik. Oleh karena itu dalam

konteks ini, Hukum Islam dituntut akomodatif terhadap persoalan umat tanpa

Page 18: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

132

kehilangan prinsip-prinsip dasarnya. Karena itu apabila para pemikir tidak

memiliki kesanggupan atau keberanian untuk mereformasi dan

mengantisipasi setiap persoalan yang muncul dalam masyarakat dan mencari

penyelesaian hukumnya, maka Hukum Islam akan kehilangan aktualisasinya

(Rofiq, 2001: 98-99).

Salah satu pemikiran Syāh Walî Allāh menyatakan bahwa pintu

ijtihad tetap terus terbuka, karena dibutuhkan untuk melakukan interpretasi

terhadap al-Qur‟an, lebih dari itu karena dunia terus mengalami

perkembangan dan perubahan, maka diperlukan kemampuan intelektual

(ijtihad) untuk menggali hukum-hukum tersebut. Semangat pembaruan ini

sejalan dengan tujuan utama syari‟at yaitu mewujudkan kemaslahatan umat

manusia, selama upaya pembaruan dilakukan dengan memperhatikan

ketentuan-ketentuan yang disepakati oleh ulama. Maksudnya bahwa ijtihad

sebagai upaya untuk menginterpretasi teks syar‟i62

harus memenuhi

persyaratan yang ditetapkan dan disepakati oleh ulama.

Mengikuti salah satu dari empat madzhab (Mālik, Ḥanafî, Ahmad Ibn

Ḥanbal, al-Syafi‟i) yang keberadaanya tersebar luas di berbagai negara

diperbolehkan. Namun demikian, jangan sampai berhenti dan puas pada

penggunaan buku-buku yang berisi pengetahuan hukum Islam masing-masing

madzhab tersebut. Akan tetapi, semangat untuk selalu melakukan penelitian

dan koreksi terhadap hasil rumusan hukum madzhab-madzhab tersebut harus

62

Interpretasi yang hanya berlaku terhadap ayat Tuhan yang tidak qoth‟i penunjukannya

terhadap hukum dan diturunkan dalam bentuk tidak terurai. Tentang sunnah interpretasi akan

berlaku terhadap sunnah yang autensitasnya diragukan . Begitu pula terhadap sunnah yang sudah

diakui autensitasnya tetapi penunjukannya terhadap hukum belum tegas.

Page 19: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

133

terus dilakukan. Puas dengan buku-buku dan rumusan fiqih empat madzab

tersebut tanpa ada kerja keras untuk melakukan aktifitas ijtihad merupakan

salah satu bentuk taqlîd. Syāh Walî Allāh (2005: 263) mengutip pendapat Ibn

Hazm mengenai larangan taqlîd secara total terhadap ke empat madzhab

tersebut.

”karena itu harus diketahui bahwa barang siapa mengikuti pendapat-

pendapat Abū Ḥanîfah, Mālik, al- Syafi‟î, atau Ahmad Ibn Ḥanbal secara total dan tidak mengesampingkan pendapat pengikut mereka,

atau pendapat seseorang yang mendukungnya dan tidak bersandar

kepada al-Qur‟an dan sunah kecuali untuk mendukung pendapat orang

tertentu, maka bisa dipastikan bahwa ia telah menentang kesepakatan

seluruh umat Islam dari awal sampai akhir.

Di samping itu, semua fuqoha itu pun melarang taqlîd selain kepada

para pendahulu yang saleh. Karenanya, barang siapa yang ber taqlîd

kepada para fuqoha ini, berarti ia melanggar larangan para fuqoha itu

sendiri”

Kutipan di atas merupakan landasan diperlukannya ijtihad bagi para ahli fiqih

agar tidak jumūd dan hanya berpegang pada hasil kodifikasi istinbāṭ hukum

para pengikut imam madzhab saja.

Ijtihad hanya dapat dilakukan pada lapangan atau medan tertentu.

Oleh karena itu, tidak setiap hasil ijtihad dapat dijadikan sumbangan dalam

Pembaruan hukum Islam dan mendapatkan legitimasi dari para pakar hukum

Islam kecuali apabila memperhatikan dua hal pokok tersebut di atas yaitu,

Pertama, pelaku pembaruan hukum Islam adalah orang yang memenuhi

kualitas sebagai mujtahid. Kedua, pembaruan itu dilakukan di tempat-tempat

ijtihad yang dibenarkan oleh syara‟ (Abdul Manan, 2000:162).

Pemaparan diatas menunjukkan bahwa ijtihad memiliki peranan yang

sangat besar dalam pembaruan pemikiran hukum Islam. Pembaruan hukum

Page 20: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

134

Islam tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa ada mujtahid yang memenuhi

syarat untuk melaksanakannya. Padahal, ijtihad hanya dapat dilakukan oleh

seorang mujtahid (dengan berbagai tingkatannya). Kebenaran hukum hasil

ijtihad sangat ditentukan dalam proses ijtihad itu sendiri. Jika proses ijtihad

dalam Pembaruan hukum Islam dapat dilaksanakan secara benar, maka

hukum-hukum yang dihasilkan dari proses ijtihad akan benar pula, begitu

pula sebaliknya.

1. Pembaruan pemikiran hukum Islam di Indonesia (upaya mencari

relevansi dengan pemikiran Syāh Walî Allāh)

Pembagian periodisasi sejarah Islam di Indonesia terdapat beberapa

varian. Ada yang membaginya menjadi 7 periode, adapula yang

membaginya menjadi 8 periode.63

Periodisasi ini cukup penting karena

berhubungan dengan pola pembaruan pemikiran hukum Islam di

Indonesia.

Mengenai sejarah berlakunya hukum Islam di Indonesia, dapat

dilihat dari dua periode yaitu periode penerimaan hukum Islam

sepenuhnya dan periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat. Pada

periode pertama yaitu penerimaan hukum Islam sepenuhnya atau yang

disebut dengan teori reception in complexu, hukum Islam diberlakukan

sepenuhnya bagi orang Islam. Sejak adanya kerajaan-kerajaan Islam di

Indonesia, pemerintah kolonial memberlakukan hukum Islam bagi umat

63

Hamka membagi periode sejarah perkembangan Islam di Indonesia menjadi 7 sedangkan

Taufiq Abdillah membaginya menjadi 8 periode yaitu penyebaran Islam hingga berdirinya

kerajaan Islam, kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, Islam melawan ekspansi barat, pergerakan

kebangsaan dan politik kemerdekaan, perang asia timur raya, revolusi dan perang kemerdekaan,

perdebatan ideology dan kemelut politik, masa demokrasi liberal hingga demokrasi terpimpin, kea

rah ketetapan baru masa orde baru (Anshori dkk, 2008: 87.)

Page 21: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

135

Islam, khususnya perkawinan dan hukum waris yang kemudian disebut

dengan hukum kekeluargaan. Adapun penerimaan hukum Islam oleh adat,

hukum Islam baru berlaku jika dikehendari atau diterima oleh adat (al-

Munawwar, 2004: 11-2). Sejalan dengan perkembangan sosial di

Indonesia, maka hukum Islam pun berkembang. Hal ini tidak terlepas dari

munculnya tokoh-tokoh agama yang memiliki pengaruh dan peran besar

dalam bidang agama serta politik pemerintahan Indonesia. Berkaitan

dengan perkembangan pemikiran hukum Islam ini, beberapa peneliti

seperti Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahap membagi

periodisasi pemikiran hukum Islam menjadi dua periode, yaitu sebelum

dan pasca kemerdekaan. Pemikir di bidang hukum Islam sebelum

kemerdekaan seperti KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy‟ari.

Sedangkan pemikir hukum Islam pasca kemerdekaan seperti Hasby

Asshidiqie, Hazairin, Munawir Sadjali, Masdar F. Mas‟udi, KH. Ali Yafie

dan KH. Sahal Mahfudz.64

Sejak awal kedatangannya, Islam telah memberi pengaruh yang

sangat signifikan bagi kehidupan rakyat Indonesia. Melalui ajaran hukum,

Islam terus berkembang ke berbagai penjuru Nusantara. Indikasi ini

merupakan bukti bahwa Islam dan perangkat hukumnya telah menjadi

faktor dominan dan pedoman kehidupan penduduk Indonesia, khususnya

kaum muslim. Beberapa kerajaan yang dikemudian berafiliasi maupun

64

Masing-masing pemikir tersebut memiliki gagasan progresif. Hasby Asshidiqie,

memiliki gagasan fiqh Indonesia, Hazairin melontarkan gagasan madzhab hukum nasional,

Munawir Sadjali memiliki gagasan revitaliasai Hukum Islam, Masdar F. Mas‟udi terkenal dengan

gagasan Agama Keadilan-nya, KH. Ali Yafie dan KH. Sahal Mahfudz terkenal dengan gagasan

fiqih sosial (ibid, 88).

Page 22: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

136

berubah menjadi kerajaan Islam seperti kerajaan Samudra Pasai, kerajaan

Demak, dan kerajaan Mataran dan lain-lainnya, merupakan bukti bahwa

hukum Islam telah membumi di Nusantara.65

Wacana hukum Islam Indonesia (fiqih) hingga abad ke 17 dan 18

masih bercorak Syafi‟iyah. Hal ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu: 1)

proses Islamisasi di Indonesia sejak abad 12 dan 13 merupakan saat-saat di

mana perkembangan hukum Islam berada dalam masa krisis dengan

penutupan pintu ijtihad sebagai titik rendahnya, walaupun pada fase

berikutnya banyak tokoh yang menggunggat hal tersebut. Para ahli tidak

lagi berani berfikir bebas dan kreatif, tapi lebih disibukkan oleh berbagai

aktifitas pemikiran untuk mendukung madzhabnya masing-masing. 2)

secara kebetulan para “aktivis” yang melancarkan proses Islamisasi di

Indonesia, sebagaimana disinyalir oleh para sejarahwan adalah mereka

yang bermadzhab Syafi‟î walaupun pada perkembangan berikutnya tidak

semua umat Islam Indonesia menyandarkan perilaku keagamaannya pada

kerangka pemikiran fiqih Imam Syafi‟î, terutama pada awal abad 20 ketika

gerakan pembaruan menemukan momentumnya (Rumadi, 1999: 72-3).

Perubahan dinamika sosial dan politik yang terjadi pada abad ke 20

sangat progresif. Penduduk mayoritas di Indonesia (muslim) menghendaki

penerapan hukum Islam menjadi hukum positif (hukum nasional).

Pembangunan hukum nasional tidak bisa lepas dari pemikiran hukum

Islam. Namun demikian, untuk mewujudkan satu hukum nasional bagi

65

Penjelasan mengenai nama-nama kerajaan-kerajaan tersebut dapat dibaca dalam

Muhammad Syamsu AS. dalam bukunya “Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan

Sekitarnya¸Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1999.

Page 23: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

137

bangsa yang terdiri dari suku bangsa, kebudayaan dan agama yang

berbeda-beda, ditambah dengan peninggalan hukum bangsa penjajah,

bukanlah hal yang mudah. Hal ini disebabkan, karena hukum yang

ditetapkan berlaku bagi semua warga negara dengan tidak memandang

latar belakangnya. Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia, di

dalamnya mengandung hukum yang mengatur hubungan manusia dengan

manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Karenanya, dalam

pembangunan hukum nasional, hukum Islam merupakan unsur yang harus

diperhatikan.

Berdasarkan kondisi yang demikian, memunculkan suatu

pertanyaan yaitu hukum Islam bagaimanakah yang relevan dengan konteks

ke Indonesiaan?

Dalam konteks inilah, pembaruan pemikiran hukum Islam melalui

jalan ijtihad dilakukan. Beberapa pemikir hukum Islam pasca

kemerdekaan menawarkan gagasan-gagasan yang cukup progresif agar

hukum Islam relevan dengan konteks ke Indonesiaan. Pertama, Hasby as-

Shiddiqy yang memperkenalkan “Fiqih Indonesia”. Ia mendefinisikan

“Fiqh Indonesia” sebagai fiqih yang diaplikasikan sejalan dengan karakter

bangsa Indonesia. Menurutnya, bahwa untuk menuju fiqih Islam yang

berwawasan keindonesian, ada tiga bentuk ijtihad yang perlu dilakukan,

yaitu: 1) ijtihad dengan mengklasifikasikan hukum-hukum produk ulama

madzhab masa lalu; 2) ijtihad dengan mengklasifikasikan hukum-hukum

yang semata-mata didasarkan pada adat kebiasaan dan suasana masyarakat

Page 24: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

138

di mana hukum itu berkembang; 3) ijtihad dengan mencari hukum-hukum

terhadap masalah kontemporer yang timbul sebagai akibat dari kemajuan

ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, Hazairin yang memperkenalkan

“madzhab Nasional (Indonesia)”. Tujuan madzhab ini dibangun semata-

mata sebagai upaya pembaruan madzhab Syafi‟î agar sesuai dengan

kondisi lokal masyarakat Indonesia (Ahmad, 2002: 99).66

Ketiga, “Fiqih Sosial” merupakan sebuah gagasan ijtihad yang

diperkenalkan oleh KH. Sahal Mahfudz. Gagasan “Fiqih Sosial” KH.

Sahal Mahfudz dilatarbelakangi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat

Kajen, Pati yang miskin, tidak memiliki pekarangan untuk bercocok

tanam, semua penuh rumah dan tidak ada akses ke birokrasi. Dalam

kondisi semacam ini, entrepreneurship (kewirausahaan) adalah solusi

cerdas dan efektif untuk mengangkat tingkat perekonomian warga Kajen

supaya lebih maju dan sejahtera. Ada banyak faktor untuk mewujudkan

hal ini, tidak hanya dana, namun juga harus ada team work yang solid dan

profesional, berpengalaman memotivasi, memetakan, merancang program

dan menajamen yang tepat. Selain itu perlu pencerahan pemikiran dan

wawasan, keterbukaan sikap dan kematangan bertindak. Dalam upaya

untuk mewujudkan hal itu, KH. Sahal Mahfudz di hadapkan pada kendala

teoligis yang sudah inhern dan terinternalisasi dalam kesadaran bawah

66

Hasil pemikirannya dapat dilihat dalam UU No. 7/ 1989 tentang Peradilan Agam dan

Kompilasi Hukum Islam. Ada tiga pokok pemikirannya yang terakomodasi dalam UU No. 7/ 1989

tentang Peradilan Agama, yaitu: 1) membuat wewenang pengadilan agama seragam di seluruh

Indonesia; 2) menyejajarkan seluruh pengadilan agama dalam satu sistem kesatuan yang semuanya

mempunyai wewenang sama atas perkara perkawinan, kewarisan dan wakaf; 3) menghapus

perlunya pengukukan pengadilan negeri atas keputusan yang dihasilkan pengadilan agama

(Ahmad, 2002: 100).

Page 25: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

139

sadar masyarakat muslim pedesaan. Dalam menghadapi realitas faktual ini,

tidak ada pilihan lain bagi KH. Sahal kecuali melakukan pembaruan

teologis yang mempunyai landasan kuat pada tradisi (Asmani, 2007: 44-7).

Beberapa produk pemikiran dalam kerangk “Fiqih Sosial” KH.

Sahal Mahfudz, antara lain;

a. Ahl as-Sunnah wa al-jamā‟ah harus dikembangkan supaya tidak

sempit.

b. Pengembangan wawasan diperlukan karena sangat mempengaruhi

perubahan sikap dan perilaku yang dapat menumbuhkan kemauan,

kepekaan dan ketrampilan melihat masalah.

c. Kesadaran pluralisme. Pelaksanaan keadilan dan kesejahteraan

merupakan keharusan bagi suatu pemerintah yang tidak perlu berlabel

Islam. Sebab, realitas bangsa menunjukkan adanya pluralitas dari

berbagai macam etnis dan agama.

d. Pengentasan kemiskinan.

e. Penanganan zakat harus menjadi senjata ampuh untuk mengentaskan

kemiskinan.

f. Manajemen dakwah harus mampu merubah sikap, perilaku, mental,

kondisi riil ekonomi, pendidikan dan budayanya.67

Kalau penjelasan di atas merupakan contoh menifestasi pembaruan

pemikiran hukum Islam yang dilakukan oleh individu oleh ulama-ulama di

Indonesia, maka terdapat pula pembaruan pemikiran yang dilakukan oleh

67

Tipologi pemikirannya (ijtihad) oleh Mujamil Qomar termasuk ketegori eklektik yaitu

suatu pemikiran yang berusaha memilih semua yang dianggap terbaik tidak peduli dari aliran

manapun, filsafat manapun dan terori apapun (Asmani, 2007: 82-4)

Page 26: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

140

organisasi-organisasi keagamaan, seperti Majlis Ulama Indonesia yang

merupakan organisasi keagaaman di bidang fatwa yang didirikan oleh

pemerintah, Majlis Tarjih Muhammadiyah sebuah lembaga fatwa milik

Muhammadiyah, Bahtsul Masa‟il sebagai lembaga fatwa milik Nahdlatul

Ulama, metode ijtihad Persatuan Islam, metode Ijtihad Majlit Tafsir al-

Qur‟an dan sebagainya.

Berbagai upaya pembaruan hukum Islam baik yang dilakukan oleh

individu maupun kelompok, relevan dengan semangat pemikiran

pembaruan Syāh Walî Allāh.

2. Beberapa contoh pembaruan pemikiran hukum Islam di Indonesia

Sebagai upaya untuk mengakomodasi kehendak umat Islam agar

hak-hak agamanya diakui dalam hukum nasional, ada beberapa produk

hukum nasional yang merupakan hasil ijtihad para ulama, seperti

Kompilasi Hukum Islam, Perbankan Syari‟ah, Undang-Undang Zakat.

Dalam bidang ekonomi, model ekonomi Islam, yang pertama

dirumuskan sebagai bentuk penolakan terhadap bunga bank ialah

perbankan Islam sebagai alternatif perbankan tanpa bunga.68

Perbankan

syari‟ah merupakan salah satu doktrin ekonomi Islam sebagai hasil ijtihad

atas sumber-sumber naqlî. Perkembangan bank syari‟ah di Indonesia tidak

terlepas dari situasi politik yang melingkupi kehadirannya dan masalah

yuridis berkenaan dengan persentuhan antara hukum syari‟ah dengan

68

Perbankan tanpa bunga sebagai lembaga intermediasi mulai diakui dalam Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan sebagai diperkuat dengan Undang-Undang

Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari‟ah.

Page 27: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

141

hukum nasional dan hukum barat yang mau tidak mau bank syari‟ah harus

menyesuaikan dengan kondisi ini.

Zakat dalam konteks perekonomian negara memikili peran besar

untuk mengentaskan kemiskinan. Jika dikelola dengan baik, maka zakat

dapat berdaya guna dan berhasil guna dalam rangka mewujudkan

masyarakat yang sejahtera. Mengenai zakat, perbedaan pendapat terjadi

dalam hal peran negara untuk memungut. Perbedaan pendapat ini dapat

dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1) negara wajib memaksa warganya

untuk membayar zakat; 2) kewajiban zakat adalah kewajiban individu

seorang muslim, maka negara tidak wajib memaksa warga negaranya

untuk membayar zakat.69

Dalam konteks ke-indonesia-an, terlihat sebuah

ijtihad para ahli fiqih yaitu dengan adanya Undang-Undang Zakat Nomor

38 Tahun 1999 yang merupakan pengakuan bahwa negara dapat

memungut zakat dari warganya (khususnya umat Islam) untuk membayar

zakat. Melalui lembaga zakat yang didirikan oleh pemerintah maupun

swasta, umat Islam dapat menyalurkan zakat, infaq dan sodaqoh mereka.

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tersebut mengatur tentang

pengelolaan zakat (infaq dan sodaqoh) tersebut.

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 sesungguhnya

dilatarbelakangi oleh kondisi carut marut perekonomian bangsa. Dalam hal

ini zakat (dan pajak) memiliki peran strategis untuk pembangunan dan

pemenuhan kebutuhan masyarakat yang adil dan merata. Namun demikian,

69

Mengenai pengelola zakat ini, penulis pernah melakukan penelitian dengan judul “Zakat

Sebaga Sarana Pemberdayaan Ekonomi Umat Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qardlawî Dalam

Konteks Ke-Indonesia-an”, Skripsi tidak diterbitkan,Yogyakarta: Fakultas Syari‟ah, 2002.

Page 28: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

142

umat Islam masih enggan untuk membayarkan zakat mereka. Maka,

dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 diharapkan dapat

menggiatkan umat Islam dalam membayar zakat. Di samping itu, dalam

perkembangan selanjutnya, berdasarkan hasil ijtihad para ahli fiqih,

terdapat bentuk-bentuk baru mengenai sesuatu yang wajib dikeluarkan

zakatnya, seperti zakat profesi.

Selanjutnya yaitu mengenai Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Kompilasi hukum Islam yang terdiri dari tiga buku dan 229 pasal

merupakan manifestasi ijtihad pembaruan hukum Islam dalam konteks ke-

indonesia-an. Dalam penjelasan KHI (Tim penyusun, 41) poin 3 dan 4

disebutkan:

“ 3. Hukum materiil yang selama ini berlaku di lingkungan Peradilan

Agama adalah Hukum Islam yang pada garis besarnya meliputi

bidang-bidang hukum Perkawinan, hukum Kewarisan dan

hukum Perwakafan. Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan

Agama tanggal 18 Pebruari 1958 Nomor B/I/735 hukum

Materiil dijadikan pedoman dalam bidang-bidang hukum

tersebut di atas adalah bersumber pada 13 kitab yang

kesemuanya bermadzhab Syafi‟î.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977

tentang Perwakafan Tanah Milik, maka kebutuhan hukum

masyarakat semakin berkembang sehingga kitab-kitab tersebut

dirasakan perlu pula untuk diperluas baik dengan menambahkan

kitab-kitab dari madzhab yang lain, memperluas penafsiran

terhadap ketentuan di dalamnya, membandingkan dengan

Yurisprudensi Peradilan Agama, fatwa para ulama maupun

perbandingan di negara-negara lain.”

Kedua poin di atas menunjukan adanya determinasi bahwa ijtihad

merupakan sebuah keniscayaan seiring dengan berkembangnya kondisi

sosial masyarakat. Terutama pada contoh yang ketiga yaitu kompilasi

Page 29: BAB IV IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN …eprints.walisongo.ac.id/6757/5/085112006_Bab4.pdf · Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. ... terutama

143

hukum Islam, metode ijtihadnya sangat relevan dengan gagasan ijtihad

Syāh Walî Allāh. Terlihat dalam penjelasan yang berbunyi:

“maka kebutuhan hukum masyarakat semakin berkembang

sehingga kitab-kitab tersebut dirasakan perlu pula untuk diperluas

baik dengan menambahkan kitab-kitab dari madzhab yang lain,

memperluas penafsiran terhadap ketentuan di dalamnya,

membandingkan dengan Yurisprudensi Peradilan Agama, fatwa

para ulama maupun perbandingan di negara-negara lain.”

Penjelasan di atas jika dikaitkan dengan manhaj ijtihad Syāh Walî Allāh,

maka tampak adanya rekonsiliasi madzhab.

Selain contoh-contoh di atas, masih banyak permasalah faktual

yang diperlukan adanya ijtihad, seperti hukum reality show yang

mempublikasikan kehidupan pribadi seseorang, euthanasia, hukum

melakukan kekerasan atas nama agama, ijtihad penyamaan metode hisab-

rukyat antara organisasi sosial keagamaan dan sebagainya.