Kaidah Kesahihan Hadis

22
I. KAIDAH KESAHIHAN SANAD Kaidah kesahihan hadits adalah semua syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu sanad hadits yang berkualitas sahih. Semua syarat dan kriteria kesahihan sanad tersebut, melingkupi seluruh bagian sanad terbagi, dimana terbagi menjadi kriteria atau syarat yang umum dinamai istilah sebagai kaidah mayor, sedang yang bersifat khusus atau rincian dari kaidah mayor diberi istilah sebagai kaidah minor. A. Unsur-unsur Kaidah Mayor Kesahihan Sanad Hadits Kajian utama daripada unsur minor adalah tentang hadits sahih, yang dimana ulama hadits dari kalangan Mutaqaddimin, yakni ulama hadits sampai abad III H, belum memberikan definisi yang jelas dan tepat. Ulama Mutaqaddimin hanya memberikan pernyataan-pernyataan: Tidak boleh menerima hadits, dari orang-orang yang tidak tsiqat. Tidak diterima periwayatan hadits dari orang yang tidak benar shalatnya, perilakunya dan keadaan dirinya. Tidak boleh diterima, periwayatan hadits dari orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang hadits. Tidak diterima, periwayatan hadits dari orang yang kesaksiannya ditolak. Imam asy-Syafi’i, Bukhari dan Muslim juga tidak membuat definisi yang jelas tentang hadits sahih, hanya saja Imam asy- Syafi’i memberikan persyaratan tentang hadits ahad yang dapat dijadikan hujjah, yaitu: 1. Diriwayatkan oleh periwayat yang Amalan keagamaannya dapat dipercaya. Terkenal jujur dalam menyampaikan berita. Memahami dengan baik yang hadits yang diriwayatkan. Mengetahui perubahan makna hadits apabila lafalnya berubah. Mampu menyampaikan hadits secara lafal, tidak menyampaikan hadits secara makna. Terpelihara hapalannya, apabila meriwayatkan secara hapalan dan terpelihara catatannya apabila meriwayatkan melalui kitabnya.

Transcript of Kaidah Kesahihan Hadis

Page 1: Kaidah Kesahihan Hadis

I. KAIDAH KESAHIHAN SANADKaidah kesahihan hadits adalah semua syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh

suatu sanad hadits yang berkualitas sahih. Semua syarat dan kriteria kesahihan sanad tersebut, melingkupi seluruh bagian sanad terbagi, dimana terbagi menjadi kriteria atau syarat yang umum dinamai istilah sebagai kaidah mayor, sedang yang bersifat khusus atau rincian dari kaidah mayor diberi istilah sebagai kaidah minor.A. Unsur-unsur Kaidah Mayor Kesahihan Sanad Hadits

Kajian utama daripada unsur minor adalah tentang hadits sahih, yang dimana ulama hadits dari kalangan Mutaqaddimin, yakni ulama hadits sampai abad III H, belum memberikan definisi yang jelas dan tepat. Ulama Mutaqaddimin hanya memberikan pernyataan-pernyataan:

Tidak boleh menerima hadits, dari orang-orang yang tidak tsiqat. Tidak diterima periwayatan hadits dari orang yang tidak benar shalatnya, perilakunya

dan keadaan dirinya. Tidak boleh diterima, periwayatan hadits dari orang yang tidak memiliki pengetahuan

tentang hadits. Tidak diterima, periwayatan hadits dari orang yang kesaksiannya ditolak.

Imam asy-Syafi’i, Bukhari dan Muslim juga tidak membuat definisi yang jelas tentang hadits sahih, hanya saja Imam asy-Syafi’i memberikan persyaratan tentang hadits ahad yang dapat dijadikan hujjah, yaitu:

1. Diriwayatkan oleh periwayat yang Amalan keagamaannya dapat dipercaya. Terkenal jujur dalam menyampaikan berita. Memahami dengan baik yang hadits yang diriwayatkan. Mengetahui perubahan makna hadits apabila lafalnya berubah. Mampu menyampaikan hadits secara lafal, tidak menyampaikan hadits secara makna. Terpelihara hapalannya, apabila meriwayatkan secara hapalan dan terpelihara

catatannya apabila meriwayatkan melalui kitabnya. Bunyi hadits tidak berbeda bila diriwayatkan oleh jalur lain. Terhindar dari tadlis (cacat).2. Jalur periwayatan bersambung samapi kepada Nabi, atau tidak sampai kepada Nabi.

Namun demikian kriteria diatas tersebut hanya mencakup kepada sanad hadits, cara periwayatan hadits dan persambungan hadits. Tetapi untuk wilayah matn hadits belum dibahas mendalam.

Definisi yang tepat dan menjadi rujukan sampai sekarang adalah definisi yang dikemukakan oleh Ibn ash-Shalah (w. 643 H = 1245 M), seorang ulama Mutaakhirin, yang memberikan definisi tentang hadits sahih sebagai berikut:

“Hadits sahih adalah hadits yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dhabith sampai akhir sanad, (di dalam hadits itu) tidak terdapat kejanggalan (syudzudz) dan cacat (‘illat).”

Sedangkan menurut an-Nawawi adalah:“(Hadits sahih adalah) hadits yang bersambung sanadnya, (diriwayatkan oleh orang-orang) yang adil dan dhabith, serta tidak terdapat (dalam hadits itu) kejanggalan (syudzudz) dan cacat (‘illat).”

Page 2: Kaidah Kesahihan Hadis

Perngertian tentang hadits sahih yang sepakati oleh mayoritas ulama hadits di atas telah mencakup sanad dan matn hadits. Adapun Kriteria yang menyatakan bahwa rangkaian periwayat dalam sanad harus bersambung dan seluruh periwayatnya harus adil dan dhabith adalah kriteria untuk kesahihan sanad, sedang keterhindaran dari syudzduz dan ‘illat, selain merupakan kriteria untuk kesahihan sanad, juga kriteria untuk kesahihan matn hadits. Oleh karena itu mayoritas ulama hadits pada umumnya menyatakan bahwa hadits yang sahih secara sanad belum tentu matnnya juga sahih, demikian pula sebaliknya, matn yang sahih belum tentu sanadnya juga sahih. Jadi, kesahihan hadits tidak hanya ditentukan oleh kesahihan sanad saja, melainkan juga ditentukan oleh kesahihan matnnya.

Dari definisi hadits sahih yang disepakati oleh mayoritas ulama hadits di atas dapat dinyatakan, unsur-unsur kaidah mayor kesahihan sanad hadits adalah:

1. Sanad besambung2. Seluruh periwayat bersifat adil.3. Seluruh periwayat bersifat dhabith.4. Terhindar dari syudzudz 5. Terhindar dari ‘illat.

B. Unsur-unsur Kaidah Minor Kesahihan Sanad HaditsYang dimaksud dengan kaidah minor kesahihan sanad hadits adalah rincian atau

penjelasan unsur-unsur yang termasuk kedalamnya, yaitu: sanad bersambung, periwayat bersifat adil, periwayat bersifat dhabih, terhindar dari kejanggalan (syudzudz), dan terhindar dari cacat (‘illat).

1. Sanad BersambungYang dimaksud dengan sanad bersambung adalah periwayat dalam sanad hadits

menerima hadits dari periwayat terdekat sebelumnya, hal itu berlangsung terus seperti itu sampai akhir sanad hadits itu.

Hadits yang sanadnya bersambung ada dua macam, yaitu:1. Hadits musnad

Pengertian tentang hadits musnad ini banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian pendapat menyatakan bahwa hadits musnad adalah hadits marfu’, baik sanadnya bersambung ataupun terputus. Pendapat lain dan inilah yang umumnya diikuti oleh ulama muhadditsin bahwa hadits musnad adalah hadits marfu’ yang sanadnya bersambung.

Dengan pengertian kedua ini, maka hadits mauquf dan hadits mursal (hadits yang gugur sanad terakhirnya), tidaklah termasuk hadits musnad.

2. Haditsc muttashil/maushulYang dimaksud dengan hadits muttashil/maushul adalah hadits yang sanadnya

bersambung, baik persambungan itu sampai kepada Nabi ataupun hanya sampai kepada sahabat.

Dengan demikian maka hadits muttashil atau hadits maushul ada yang marfu’ dan ada yang mauquf. Bahkan, Prof. Hasbi berpendapat, bahwa hadits muttashil dapat juga berupa hadits maqthu’. Pendapat Prof Hasbi ini tidak sama dengan pendapat al-Iraqi. Al-Iraqi dalam hal ini berpendapat bahwa khabar yang hanya sampai kepada tabi’in walaupun sanadnya bersambung tidaklah dapat dikatakan sebagi hadits muttashil, terkecuali bila tabi’in yang disandari oleh khabar itu adalah tabi’in yang banyak meriwayatkan hadits.

Page 3: Kaidah Kesahihan Hadis

Maka bila diperbandingkan pengertian hadits musnad dengan hadits muttashil dapatlah disimpulkan bahwa setiap hadits musnad pasti hadits muttashil dan tidak sebaliknya.

Untuk mengetahui bersambung atau tidak bersambungnya hadits (dalam arti musnad), para ulama biasanya menempuh penelitian sebagai berikut :

1. Mencatat semua periwayat dalam sanad yang diteliti.2. Mempelajari sejarah hidup semua periwayat, dengan cara :

Melalui kitab-kitab rijal al-hadits, misalnya kitab Tahdzib al-Tahdzib karya Ibn Hajar al-Asqalani dan kitab al-Kasyip karya Muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy.

Dengan maksud untuk meneliti :o Apakah setiap periwayat dalam sanad itu dikenal sebagai orang yang adil

dan dhabith, serta tidak melakukan penyembunyian cacat (tadlis).o Apakah ada hubungan antara periwayat, misalnya, sezaman pada masa

hidupnya, hubungan guru-murid dalam periwayatan. 3. Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara satu periwayat dengan periwayat lain dalam satu sanad, yaitu kata-kata haddasani, haddasana, akhbarana, ‘an, anna, atau kata-kata lainnya. 4. Semua periwayat dalam sanad itu benar-benar tsiqat. 5. Telah ada hubungan periwayatan antara periwayat secara sah menurut ketentuan tahammul wal ada’ al-hadits.

Dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa unsur-unsur kaidah minor sanad bersambung adalah: 1. muttasil dan 2. marfu’.

2. Periwayat Bersifat AdilKata adil memiliki lebih dari satu arti, baik dari segi bahasa maupun istilah. Berbagai

ulama telah membahas siapa orang yang dinyatakan bersifat adil. Dalam membahas tentang kriteria adil tersebut ulama berbeda pendapat. Disini akan akan digambarkan secara tabel perbedaan pendapat ulama-ulama tersebut.

Dengan demikian maka dapat dinyatakan, butir-butir syarat yang dapat ditetapkan sebagi unsur-unsur kaidah minor periwayat yang adil ialah: 1. beragama Islam, 2. mukalaf, 3. melaksanakan ketentuan agama, dan 4. memelihara muru’at.

Secara umum, ulama telah mengemukakan cara penetapan keadilan periwayat hadits. Yakni, berdasarkan :

1. Popularitas keutamaan periwayat hadits di kalangan ulama hadits, misalnya Malik bin Anas dan Sofyan al-Tsauri, dimana kedua periwayat hadits tersebut tidak lagi diragukan keadilannya.

2. Penilaian dari para kritikus periwayat hadits, panilaian ini menitikberatkan pada kekurangan dan kelebihan yang ada pada periwayat hadits.

3. Apabila kritikus periwayat hadits tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu, maka diterapkan kaidah al-jarh wa at-ta’dil.Sedangkan untuk para sahabat Nabi, hampir semua ulama menilai mereka bersifat

adil. Oleh sebab itu, dalam proses penilaian periwayat hadits, pribadi sahabat Nabi tidak dikritik oleh ulama hadits.3. Periwayat Bersifat Dhabith

Page 4: Kaidah Kesahihan Hadis

Pengertian dhabith menurut para ulama dalam istilah ilmu hadits itu berbeda-beda, ada yang mengatakan bahwa dhabith adalah orang yang kuat hapalannya tentang riwayat yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hapalannya itu kapan saja kehendaki, ada pula yang mengatakan bahwa dhabith adalah orang yang mendengarkan suatu pembicaraan dan dia benar-benar memahami pembicaraan tersebut kemudian dia menghapalnya dengan sungguh-sungguh dengan sempurna sehingga dia mampu menyampaikannya kepada orang lain dengan baik. Sebagian ulama lagi menyatakan bahwa dhabith adalah orang yang mendengarkan riwayat, dia memahami dengan pemahaman yang mendetail, hapal secara sempurna dan mampu menyampaikan riwayat tersebut.

Apabila berbagai pendapat ini digabungkan, maka yang disebut dhabit adalah:1. Mempunyai pemahaman yang baik tentang periwayatan hadits.2. Periwayat mempunyai hapalan yang baik tentang riwayat hadits yang telah

didengarnya.3. Periwayat mampu menyampaikan riwayat hadits yang dihapalnya, kapan saja

dikehendaki dan sampai manyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain.Cara-cara penetapan kedhabitan adalah:

1. Kedhabitan periwayat diketahui dengan adanya kesaksian ulama.2. Adanya kesesuaian dengan periwayat lain yang juga telah dikenal kedhabitannya. 3. Periwayat yang sesekali mengalami kekeliruan tetap disebut dhabith, tetapi bila sering

mengalami kekeliruannya tidak disebut dhabith lagi.Bentuk-bentuk atau macam-macam dhabit:

1. Istilah dhabith secara umum diperuntukkan bagi : Hapal hadits dengan sempurna. Hadits tersebut disampaikan kepada orang lain dengan baik.

2. Istilah tamm dhabith (dhabith plus) diperuntukkan bagi : Hapal hadits dengan sempurna hadits. Hadits tersebut disampaikan kepad orang lain dengan baik. Paham dengan baik hadits yang diterimanya tersebut.Ringkasan kaidah minor dari periwayat bersifat dhabith adalah : 1. hapal dengan baik

hadits yang diriwayatkannya, 2. mampu menyampaikan hadits tersebut kepada orang lain dengan baik, dan 3. terhindar dari syadz.4. Terhindar dari Syudzduz (kesyadzan)

Menurut Imam asy-Syafi’i suatu hadits dikatakan syudzduz bila hadits yang diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqat bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang juga bersifat tsiqat. Dari penjelasan Imam asy-syafi’i maka dapat dinyatakan, bahwa hadits yang syudzduz disebabkan oleh:

Hadits tersebut memiliki satu sanad, Para periwayatnya bersifat tsiqat, Matn dan atau sanad itu ada yang bertentangan.

Imam al-Hakim an-Nisaburi, menyatakan bahwa hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang bersifat tsiqat, tetapi tidak diriwayatkan oleh periwayat yang bersifat tsiqat lagi. Hadits dapat dikatakan syadz apabila:

Hadits tersebut diriwayatkan oleh seorang periwayat saja. Periwayat tersebut bersifat tsiqat.

Page 5: Kaidah Kesahihan Hadis

Sedangkan Abu Ya’la al-Khalili menyatakan bahwa hadits yang mengalami kesyudzduzan adalah hadits yang yang sanadnya hanya satu macam, baik periwayatnya bersifat tsiqat ataupun tidak bersifat tsiqat. Apabila periwayatnya tidak tsiqat, maka hadits itu ditolak sebagai hujjah, sedang bila periwayatnya tsiqat maka hadits itu dibiarkan, tidak diterima dan tidak ditolak.

Kesyadzan hadits dapat diketahui setelah melakukan penelitian sebagai berikut :1. Semua sanad yang mengandung matn hadits yang pokok masalahnya memiliki

kesamaan, dihimpun dan diperbandingkan.2. Para periwayat di seluruh sanad diteliti kualitasnya,3. Apabila ada seorang periwayat yang sanadnya menyalahi sanad-sanad yang mahfuzh,

maka sanad yang menyalahi disebut sanad syadz, sedang yang lainnya disebut sanad mahfuzh.Jadi dalam hal ini rincian kaidah minor dari sanad bersambung adalah: 1. muttashil, 2.

marfu’, 3. mahfuzh. 5. Terhindar dari ‘Illat

Kata ‘illat, jamaknya ‘ilal atau ‘illat, menurut etimologi adalah cacat, kesalahan baca, penyakit dan keburukan. Pengertian ‘illat menurut istilah terminologi ilmu hadits adalah sebab yang tersembunyi yang merusakkan kualitas hadits. Keberadaan ‘illat menyebabkan hadits yang pada lahirnya berkualitas sahih menjadi tidak sahih.

Untuk meneliti ‘illat yang yang termasuk dalam kaidah mayor diatas, tidak banyak ulama yang mampu menelitinya. Sebagian ulama menyatakan orang yang mampu meneliti ‘illat hadits hanyalah orang yang cerdas, memiliki hafalan hadits yang banyak, paham akan hadits yang dihafalnya, memiliki pengetahuan yang mendalam tentang kedhabitan periwayat dan ahli dibidang sanad dan matn hadits. Ada pula ulama yang berpendapat, bahwa acuan utama penelitian ‘illat hadits ialah hapalan, pemahaman dan pengetahuan yang luas tentang hadits. Semua pernyataan ulama ini memberikan petunjuk bahwa penelitian ‘illat hadits sangat sulit.

‘Illat hadits dapat terjadi di matn, di sanad, atau di matn dan sanad sekaligus. Akan tetapi yang banyak terjadi, ‘illat hadits terjadi si sanad.

Ulama hadits umumnya menyatakan ‘illat hadits kebanyakan berbentuk: Sanad yang tampak muttashil dan marfu’, ternyata muttashil tetapi mawquf, Sanad yang tampak muttashil dan marfu’, ternyata muttashil tetapi mursal, Terjadi pencampuran hadits dengan hadits yang lain, Adanya kesalahan penyebutan periwayat, karena kemiripan nama sedang kualitasnya

tidak sama-sama tsiqat. Dua bentuk ‘illat yang disebutkan pertama berupa sanad hadits yang terputus sedang

dua bentuk ‘illat yang disebutkan terakhir berupa periwayat tidak dhabith. Dengan demikian, unsur-unsur kaidah mayor yang pokok cukup hanya tiga macam

saja. Yaitu: 1. sanad bersambung, 2. periwayat bersifat dhabith, dan 3. periwayat bersifat dhabith atau tamm dhabith, sedang kaidah minornya sebagai berikut :

1. Untuk sanad bersambung: 1. muttashil (mawsul), 2. marfu’, 3. mahfuzh, dan 4. bukan mu’all (bukan hadits yang ber’illat).

2. Untuk periwayat bersifat adil: 1. beragama Islam, 2. mukalaf, 3. melaksanakan ketentuan agama, dan 4. memelihara muru’ah.

Page 6: Kaidah Kesahihan Hadis

3. Untuk periwayat bersifat dhabith atau tamm dhabith: 1. hapal dengan baik hadits yang diriwayatkannya, 2. mampu menyampaikan hadits yang dihapalnya kepada orang lain dengan baik, 3. terhindar dari syudzduz dan 4. terhindar dari ‘illat.

C. Argumen-argumen yang Mendasari Kaidah Kesahihan Sanad Hadits1. Sanad Bersambung

Sedikitnya ada empat argumen untuk unsur sanad bersambung ini, tetapi yang menjadi pokok penekanan dalam unsur sanad bersambung adalah tentang metode al-sama’. Hal ini menjadi penting karena metode ini merupakan metode yang paling tinggi kedudukannya, selain karena metode al-sama’ ini merupakan suatu metode yang paling banyak digunakan dalam menyampaikan suatu riwayat hadits. Ulama hadits sebetulnya tidak memberikan argumen yang pasti, tetapi kemungkinan argumen-argumen yang mendasarinya adalah:

A. Sejarah periwayatan hadits pada zaman Nabi dan zaman sahabat Nabi. Tradisi periwayatan hadits pada zaman Nabi dan zaman Sahabat Nabi, kebanyakan dengan cara al-sama’.

B. Argumen naqli. Sabda Nabi:“Kalian mendengar (hadits dari saya), kemudian dari kalian hadits itu didengat oleh orang lain dan dari orang lain hadits tersebut yang berasal dari kalian itu didengar oleh orang lain lagi”. Dari hadits diatas dapat dipahami bahwa cara periwayatan yang diakui keabsahannya adalah cara al-sama’. C. Argumen logika. Sebelum adanya penghimpunan hadits, meriwayatkan hadits biasanya dilakukan secara lisan. Dengan begitu tejadi siklus mata rantai yang menyambungkan antara para penghimpun hadits dengan Nabi, apabila mata rantai periwayatan terputus maka telah terjadi keterputusan sumber. Apabila sumber terputus maka hadits tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan keorsinalitasannya. Jadi, sanad bersambung merupakan salah satu unsur yang harus dipenuhi oleh suatu hadits yang berkualitas sahih.Ini berarti bahwa persambungan para periwayat yang terdapat dalam sanad harus

dipenuhi oleh sanad yang berkualitas sahih.2. Periwayat Bersifat Adil

Beragama IslamUlama berbeda pendapat tentang argumen unsur beragama Islam ini, mayoritas ulama memakai al-Quran surat al-Hujarat [49]: 6. Ayat tersebut memerintahkan agar berita yang dibawa oleh orang fasik diselidiki terlebih dahulu. Dengan demikian, ulama berpendapat bahwa orang fasik saja tidak diterima riwayat haditsnya apalagi orang kafir.

Berstatus MukalafUlama dalam argumen ini menggunakan dalil naqli, yaitu hadits Nabi yang menyatakan bahwa orang gila, orang lupa, dan anak-anak terlepas dari tanggung jawab. Ketetapan yang bersifat umum ini oleh para ulama diterapkan dalam periwayatan hadits, yaitu dimana orang yang belum atau tidak memiliki tanggung jawab tidak dapat dituntut apa yang diperbuat dan apa yang dikatakannya. Selain itu juga pihak yang tidak berakal, atau dalam status tidak berakal beritanya yang bersifat

Page 7: Kaidah Kesahihan Hadis

umum saja tidak dapat diterima apalagi beritanya tentang salah satu sumber ajaran agama.

Melaksanakan Ketentuan Agama.Argumen pokok yang mendasarinya adalah al-Quran suarat al-Hujarat [49]: 6 yang berbunyi:Apabila ayat tersebut dihubungkan dengan asbabun nuzulnya, maka kata fasik dalam

hal ini berarti orang yang berkata bohong. Sebagian lagi mengartikan dengan pendusta dan sebagian lagi mengartikan dengan orang yang dikenal berbuat dosa.

Memelihara Muru’ahSabda Nabi:“Bila anda tidak malu, perbuatlah apa yang anda mau”.Orang yang memelihara muruahnya tidak akan membuat berita bohong. Karena orang yang membuat berita bohong adalah orang yang melakukan perbuatan hina. Selain itu juga muruah merupakan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat. Seseorang yang tidak menjaga muruahnya berarti mengabaikan salah satu tata nilai yang berlaku dalam masyarakat.Jadi argumen-argumen yang mendasari unsur ini adalah dalil naqli, juga berupa dalil logika dan kejiwaan.

Seluruh Sahabat Nabi Dinilai Bersifat AdilArgumen yang mendasarinya adalah dalil naqli yang terdapat dalam surat al-Baqarah [2]: 143, Ali Imran [3]:110, al-Fath [48]: 18 dan 19, juga sabda-sabda Nabi yang menyatakan: [1].melarang memaki para sahabat beliau, [2].generasi yang paling baik adalah generasi Nabi, yaitu para sahabat Nabi.

3. Periwayat bersifat DhabithArgumen yang mendasarinya adalah sabda Nabi :Selain itu juga terdapat argumen secara logika, yaitu:

Sulit dipercaya dimana seorang periwayat menyampaikan sebuah riwayat hadits dengan menggunakan metode hapalan tetapi periwayat tersebut tidak hapal tentang riwayat hadits yang diriwayatkanya.

Sulit dipercaya dimana seorang periwayat menyampaikan sebuah riwayat hadits secara tulisan akan tetapi periwayat tersebut tidak memahami apa yang tertulis dalam catatan haditsnya.

Periwayat yang paham, hapal dan mampu menyampaikan hadits lebih dapat dipercaya daripada periwayat yang hanya hafal dan mampu meriwayatkan tetapi tidak memahami hadits yang diriwayatkannya.

4. Terhindar dari Syudzudz (keSyadzan)Argumen yang mendasarinya adalah argumen secara metodologis, maksudnya adalah:

Pada penelitian awal disebutkan bahwa hadits yang dinyatakan bersyudzudz adalah hadits yang berkualitas sahih.

Pada penelitian selanjutnya, sanad yang dinilai sahih tersebut dibandingkan dengan sanad yang lain, yang juga berkualitas sahih. Karena hadits yang dinyatakan syudzduz tersebut bertentangan dengan sanad yang berkualitas sahih maka sanad tersebut tidak dinilai sahih lagi.

Page 8: Kaidah Kesahihan Hadis

5. Terhindar dari ‘IllatUlama tidak mengemukakan argumen naqli sebagai dasar keberadaanya. Hadits yang

mengandung ‘illat pada mulanya terlihat sebagai hadits sahih, karena sanad hadits itu tampak bersambung dan para periwayatnya tampak bersifat tsiqat. Setelah dilakukan penelitian yang mendalam, barulah ‘illat sebuah hadits dapat diketahui. Jadi argumen yang mendasarinya sama dengan argumen yang mendasari unsur terhindar dari syudzudz yaitu argumen metodologis.II. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PENELITIAN SANAD HADITSI. Takhrijul Hadits.A. Pengertian dan Tujuan

Kata at-takhrij secara bahasa diartikan dengan: al-istimbat yang bermakna hal mengeluarkan, al-tadrib bermakna hal melatih atau hal pembiasaan, dan at-taujih yang bermakna hal memperhadapkan. Sedangkan menurut pengertian istilah setidaknya ada lima pengertian, yaitu:

1. Mengemukakan hadits kepada orang banyak dengan menyebutkan para periwayat dalam sanad yang telah menyampaikan hadits itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.

2. Ulama hadits mengemukakan berbagai hadits yang telah dikemukakan oleh para guru hadits, atau berbagai kitab, atau lainnya, dimana susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri, atau para gurunya, atau temannya, atau orang lain, dengan menerangkan siapa periwayatnya, apakah dari para penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.

3. Menunjukkan asal-usul hadits dan mengemukakaan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadits yang disusun oleh para mukharrijnya langsung.

4. Mengemukakan hadits berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya, yakni kitab-kitab hadits, yang didalamnya disertakan metode periwayatannya dan sanadnya masing-masing, serta diterangkan keadaan para periwayatnya dan kualitas haditsnya.

5. Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadits pada sumbernya yang asli, yakni kitab-kitab hadits, yang didalamnya dikemukakan hadits itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing; kemudian untuk kepentingan penelitian dijelaskan kualitas hadits yang bersangkutan.Sedangkan pengertian at-takhrij yang dimaksud dalam kegiatan penelitian hadits

adalah penelusuran atau pencarian hadits pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadits yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matn dan sanad hadits yang bersangkutan.B. Sebab-sebab Pentingnya Kegiatan Takhrijul hadits

Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadits yang akan diteliti. Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadits yang akan diteliti Untuk mengetahui ada atu tidak adanya syahid dan mutabi’ pada sanad yang diteliti

C. Metode takhrijul HaditsDengan dimuatnya hadits Nabi diberbagai kitab hadits yang jumlahnya banyak, maka

sampai saat ini belum ada sebuah kamus yang mampu memberi petunjuk untuk mencari hadits yang dimuat oleh seluruh kitab hadits yang ada. Kamus yang ada hanya terbatas untuk

Page 9: Kaidah Kesahihan Hadis

memberi petunjuk pencarian hadits yang termuat di sejumlah kitab hadits saja. Adapun metode yang dapat dipakai adalah:

1) Kitab atau buku yang bermanfaat bagi penelitian takhrij dan menjelaskan cara memahami penggunaannya. Usul at-Takhrij wa Dirasat al-Asanid susunan Dr. Mahmud at-Thahan. Cara Praktis Mencari Hadits susunan Dr. M. Syuhudi Ismail.

2) Macam-macam metode yang dapat dipakai Metode takhrijul hadits bil lafdz (penelitian hadits melalui lafal)

Hal ini dilakukan apabila matn hadits yang akan diteliti hanya diketahui sebagian saja.

Metode takhrijul hadits bil maudu’ (penelusuran hadits melalui topik masalah)Metode ini tidak terlalu menitikberatkan pada bunyi lafazd hadits, tetapi berdasrkan topik masalah tertentu, misalnya saja tentang pernikahan kontrak atau mut’ah.

II. Melakukan al-I’tibarA. Pengertian dan Kegunaanya

Kata al-i’tibar merupakan mashdar dari kata i’tabara, yang secara bahasa berarti peninjuan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat diketahui sesuatu yang sejenisnya. Adapun menurut istilah ilmu hadits adalah menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadits tertentu, yang dimana pada hadits itu dalam sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja, dengan menyertakan sanad-sanad yang lain akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dan sanad hadits yang dimaksud.

Sedangkan kegunaan al-i’tibar adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadits seluruhnya, dilihat dari ada atau tidak adanya pendukung berupa periwayat yang berstatus mutabi’ atau syahid. Untuk mempermudah proses al-I’tibar diperlukan pembuatan skema untuk seluruh sanad bagi hadits yang akan diteliti. Dalam pembuatan skema ada tiga hal penting yang perlu mendapat penelitian, yaitu:

Jalur seluruh sanad. Nama-nama seluru periwayat untuk seluruh sanad Metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat.

III. Meneliti Pribadi Periwayat dan Metode Periwayatannya1. Kaidah Kesahihan Sanad Sebagai Acuan

Yang menjadi perhatian utama dari kaidah kesahihan sanad adalah tentang pengertian dan unsur-unsur yang terkandung di dalam hadits sahih. Ulama seperti Imam asy-Syafi’i, Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan lain-lain hanya mampu memperjelas benih-benih kaidah kesahihan sanad tersebut, tetapi belum sampai membuat definisi yang jelas tentang hadits sahih.

Salah seorang ulama yang berhasil menyusun rumusan kaidah kesahihan hadits adalah Ibnu as-Shalah (w. 577 H/1245 M), yang menyatakan bahwa:

“Hadits sahih adalah hadits yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dhabith sampai akhir sanad, (di dalam hadits itu) tidak terdapat kejanggalan (syudzudz) dan cacat (‘illat).”

Sedangkan Imam an-Nawawi menyatakan rumusan yang lebih pendek yaitu:

Page 10: Kaidah Kesahihan Hadis

“(Hadits sahih adalah) hadits yang bersambung sanadnya, (diriwayatkan oleh orang-orang) yang adil dan dhabith, serta tidak terdapat (dalam hadits itu) kejanggalan (syudzudz) dan cacat (‘illat).”Berangkat dari definisi itu maka unsur-unsur kesahihan hadits adalah:

Sanad hadits yang bersangkutan harus bersambung mulai dari mukharrijnya sampai kepada Nabi.

Seluruh periwayat dalam hadits itu harus bersifat adil dan dhabit. Hadits itu – sanad dan matnnya – harus terhindar dari kejanggalan (syudzduz) dan

cacat (‘illat).Dari ketiga point diatas, maka diurai menjadi tujuh point. Yaitu, lima point

berhubungan dengan sanad dan dua point berhubungan dengan matn. Berikut adalah point-point yang dimaksud:

Yang berhubungan dengan sanad: 1.sanad bersambung, 2. periwayat bersifat adil, 3. periwayat bersifat dhabith, 4. terhindar dari kejanggalan (syudzduz), dan 5. terhindar dari cacat (‘illat).

Yang berhubungan dengan matn: 1 .terhindar dari kejanggalan (Syudzduz) dan 2. terhindar dari cacat (‘illat).

2. Segi-segi Pribadi Periwayat yang DitelitiUlama hadits sepakat bahwa ada dua hal yang harus diteliti pada diri pribadi periwayat

hadits sehingga dapat diketahui apakah riwayat haditsnya diterima atau ditolak. Adapun kedua hal itu adalah keadilan periwayat dan kedhabitan periwayat. a. Kualitas Pribadi Periwayat

Yang diteliti dalam hal ini adalah pribadi pereiwayat dari segi keadilannya. Kata adil menurut bahasa adalah pertengahan, lurus, atau condong kepada kebenaran. Sedangkan dalam pengertian secara istilah para ulama berbeda pendapat. Namun dari perbedaan pendapat para ulama tersebut dapat dihimpun nenjadi empat kriteria untuk sifat adil, yaitu: 1. beragama Islam, 2. mukalaf, 3. melaksanakan ketentuan aagama, dan 4. memelihara muru’ah.b. Kapasitas Intelektual Periwayat

Seorang periwayat harus mempunyai intelektualitas yang memenuhi kapasitas tertentu, sehinggan riwayat hadits yang disampaikannya memenuhi salah satu unsur hadits sahih.Yang dimana dalam hal ini lebih dikenal dengan istilah periwayat yang dhabith.

Dhabith secara bahasa adalah yang kokoh, yang kuat, yang tepat, dan “yang hapal secara sempurna. Sedangkan secara istilah, para ulama ahli hadits berbeda pendapat, tetapi perbedaan dapat dirangkum menjadi:

Periwayat yang dhabith adalah periwayat yang hapal dengan sempurna hadits yang diterimanya dan mampu menyampaikan dengan baik kepada orang lain.

Periwayat yang dhabith juga yang mampu memahami hadits yang diterimanya.Dengan demikian untuk point yang pertama diatas para ulama hadits menyebutnya

dengan istilah dhabith dalam arti umum, sedangkan untuk point yang kedua disebut dengan istilah tamm dhabith atau dhabith plus. Selain itu juga dikenal istilah khafifud dhabt, yaitui periwayat yang digolongkan kepada hasan.

Page 11: Kaidah Kesahihan Hadis

3. Al-Jarh wa at-Ta’dila. Pengertian

Menurut bahasa, kata al-jarh merupakan mashdar dari kata jaraha – yajrihu, yang berarti melukai. Sedangkan secara istilah adalah tampak jelasnya sifat pribadi periwayat yang tidak adil, atau yang buruk hafalannya dan kecermatannya, yang keadaan tersebut itu menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan oleh periwayat tersebut.

Adapun kata at-ta’dil merupakan mashdar dari kata ‘addala, yang secara bahasa bermakna mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki seseorang, sedangkan secara istilah adalah mengungkap sifat-sifat yang bersih yang ada pada diri periwayat, sehingga dengan demikian tampak jelas keadilan periwayat itu dan karenanya riwayat yang sampaikannya dapat diterima.b. Ulama Kritikus Hadits

Ulama yang ahli dalam bidang kritik periwayat hadits disebut dengan istilah al-jarih wal mu’addil, jumlahnya tidak banyak karena persyaratan yang harus dimilikinya juga tidak ringan, ulama telah mengemukakan syarat-syarat bagi seseorang yang dapat dinyatakan sebagai al-jarih wal mu’addil, yaitu:

Syarat-syarat yang berkenaan dengan sikap pribadi, yaitu: 1. bersifat adil – adil disini sesuai dengan istilah ilmu hadits –, 2. tidak bersikap fanatik terhadap aliran yang dianutnya, 3. tidak bersikap bermusuhan dengan periwayat yang dinilainya, termasuk terhadap periwayat yang berbeda aliran dengannya.

Syarat-syarat yang berkaitan dengan peenguasaan pengetahuan, daalam hal ini harus memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam terutama yang berkenaan dengan: 1. ajaran Islam, 2. bahasa Arab, 3. hadits dan ilmu hadits, 4. pribadi periwayat yang dikritiknya, 5. adat istiadat yang berlaku (al-urf), 6. sebab-sebab yang melatarbelakangi sifat-sifat utama dan tercela yang dimiliki periwayat.

c. Lafazd-lafazd al-Jarh wa at-Ta’dilUntuk lafazd-lafazd al-jarh wa at-ta’dil terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama

hadits. Dalam hal ini sebagian ulama ahli hadits ada yang membagi empat tingkat untuk al-jarh dan empat tingkat untuk at-ta’dil, ada pula yang membaginya lima peringkat untuk al-jarh dan lima peringkat untuk at-ta’dil, sebagian ulama hadits yang lain membaginya menjadi enam tingkat untuk al-jarh dan enam tingkat untuk at-ta’dil. Dengan terjadinya perbedaan pendapat ini menyebabkan pula adanya perbedaan peringkat lafazd-lafadz al-jarh wa at-ta’dil sehingga dibutuhkan penelitian, misalnya dengan menghubungkan penggunaan lafazd itu kepada ulama yang memakainya.d. Teori al-Jarh wa at-Ta’dil

Mungkin istilah teori ini kurang tepat. Istilah ini dipakai untuk memudahkan pemahaman tentang adanya kaidah yang diikuti oleh ulama ahli kritik hadits dalam melakukan kritik terhadap para periwayat hadits. Beberapa teori tentang al-jarh wa at-ta’dil, yaitu:

At-ta’dil didahulukan atas al-jarh Al-jarh didahulukan atas at-ta’dil. Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka

yang harus didahulukan adalah kritikan yang memuji, kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.

Page 12: Kaidah Kesahihan Hadis

Apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah orang yang tergolong dha’if, maka kritikannya terhadap orang yang tsiqat tidak diterima.

Al-jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat), dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya.

Al-jarh yang diungkapkan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawiaan tidak perlu diperhatikan.

4. Persambungan Sanad yang Ditelitia. Lambang-lambang Metode periwayatan

Sanad hadits selain memuat nama-nama periwayat, juga memuat lambang-lambang atau lafazd-lafazd yang memberi petunjuk tentang metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing riwayat yang bersangkutan. Dari lambang-lambang itu dapat diteliti tingkat akurasi metode periwayatan yang digunakan oleh periwayat yang termuat namanya dalam sanad.

Lambang-lambang atau lafazd-lafazd yang digunakan dalam periwayatan hadits, dalam hal ini untuk kegiatan tahammulul hadits, bentunya bermacam-macam, misalnya sami’tu, sami’na, haddasani, haddasana, ‘an, dan anna. Lambang-lambang tersebut dalam penggunaannya tidak semuanya disepakati. Lambang-lambang yang disepakati penggunaannya adalah sami’na, haddasani, nawalana, dan nawalani. Lambang-lambang yang tidak disepakati penggunaannya, misalnya sami’tu, haddasana, akhbarana, dan qala lana.

Khusus lambang-lambang yang berupa kata-kata (tepatnya harf) ‘an dan anna, ulama telah bnayak mempersoalkannya. Sebagian ulama menyatakan bahwa hadits mu’an’an yakni hadits yang sanadnya menggunakan lambang ‘an dan hadits mu’annan yakni hadits yang sanadnya menggunakan lambang anna memiliki sanad yang putus, sedangkan untuk hadits mu’an’an sebagian ulama menganggap sanadnya bersambung bila:

Dalam sanad hadits tersebut tidak terdapat tadlis (penyembunyian cacat). Para periwayat yang beriring dan diantarai oleh lambang ‘an atau anna telah bertemu. Periwayat yang menggunakan lambang-lambang itu adalah periwayat yang tsiqat.

b. Hubungan Periwayat dengan Metode PeriwayatannyaSecara mudah periwayat dibagi menjadi dua yaitu periwayat yang tsiqat dan yang

tidak tsiqat. Dalam menyampaikan riwayat, periwayat yang tsiqat memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan dapat dipercaya riwayatnya adapun bagi periwayat yang tidak tsiqat perlu diteliti dulu dimana letak ketidak tsiqatannya, apakah berkaitan dengan kualitas pribadinya atau dengan kapasitas intelektualnya. Dan yang pasti periwayat yang tidak tsiqat dari segi akurasinya berada dibawah periwayat yang tsiqat.

Dalam hubungannya dengan persambungan sanad adalah sangat menentukan. Misalnya, periwayat yang tidak tsiqat menerima riwayat dengan metode sami’na, maka informasi yang disampaikannya itu tetap tidak dapat dipercaya, meskipun metode sami’na diakui oleh ulama sebagai metode yang memiliki tingkat akurasi yang tinggi. Tapi bila yang meriwayatkannya adalah periwayat tsiqat dengan menggunakan metode sami’na maka informasinya dapat dipercaya. Selain itu juga ada periwayat yang dinilai tsiqat tetapi dengan syarat menggunakan lambang periwayatan haddasana atau sami’tu dan sanadnya bersambung, tanpa syarat itu maka dalam sanadnya terdapat tadlis (penyembunyian cacat), misalnya Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij atau Ibnu Juraij (w. 149/150 H).

Page 13: Kaidah Kesahihan Hadis

Dengan demikian maka hubungan antara periwayat dan metode periwayatan perlu juga diteliti. Karena tadlis masih mungkin terjadi pada sanad yang dikemukakan oleh periwayat yang tsiqat.5. Meneliti Syudzduz dan ‘Illat

Penelitian terhadap syudzuz dan ‘illat termasuk lebih sulit bila dibandingkan dengan keadaan para periwayat dan persambungan hadits secara umum.a. Meneliti Syudzudz

Uama mengakui bahwa meneliti syudzdudz tidaklah mudah, sebagian ulama menyatakan:

Penelitian tentang syudzudz dan ‘illat hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mendalam pengetahuan haditsnya dan telah terbiasa melakukan penelitian

Penelitian syudzudz lebih sulit daripada penelitian terhadap ‘illat.b. Meneliti ‘Illat

Perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa pengertian ‘illat dalam hal ini bukanlah ‘illat dalam arti umum, yakni cacat hadits yang oleh ulama dinyatakan mudah untuk diketahuinya. ‘Illat yang disebutkan oleh salah satu kaidah kesahihan sanad hadits ialah ‘illat yang untuk mengetahuinya diperlukan penelitian yang lebih cermat sebab hadits yang bersangkutan sanadnya tampak berkualitas sahih. Ulama kritik hadits mengakui bahwa meneliti ‘illat yang disinggung oleh salah satu unsur kesahihan sanad hadits sulit dilakukan. Sebagian ulama menyatakan:

Untuk meneliti ‘illat hadits, diperlukan intuisi (ilham). Yang mampu melakukan penelitian ‘illat hadits adalah orang yang cerdas, memiliki

hapalan hadits yang banyak, paham akan hadits yang dihapalnya, berpengetahuan yang mendalam tentang tingkat kedhabitan para periwayat hadits, serta ahli dibidang sanad dan matn hadits.

Yang dijadikan acuan utama untuk meneliti ‘illat hadits adalah hapalan, pemahaman, dan pengetahuan yang luas tentang hadits.Sedangkan langkah-langkah yang harus ditempuh adalah:

Semua sanad yang mengandung matn hadits yang pokok masalahnya, memiliki kesamaan, dihimpun dan diteliti, bila hadits tersebut memiliki muttabi’ dan syahid.

Para periwayat di seluruh sanad diteliti kualitasnya berdasarkan kritik yang dikemukakan oleh para ahli kritik hadits.Menurut para ulama ahli kritik hadits ‘illat hadits biasanya terdapat pada:

Sanad yang tampak muttashil dan marfu’, ternyata muttashil tetapi mawquf. Sanad yang tampak muttashil dan marfu’, ternyata muttashil tetapi mursal. Terjadi pencampuran hadits dengan hadits yang lain. Terjadi kesalahan penyebutan periwayat, karena kemiripan nama sedang kualitasnya

tidak sama-sama.6. Kitab-kitab yang diperlukan

Untuk meneliti sanad hadits diperlukan sejumlah kitab rijal hadits dan sebagian diantaranya saling melengkapi informasi yang diperlukan untuk kegiatan penelitian. Misalnya, al-Isti’ab fi Ma’rifati al-Ashab, susunan Ibnu abdil Barr, kitab ini membahas biografi singkat para sahabat, at-Tarikhul Kubra, susunan al-Bukhari, kitab ini membahas para periwayat hadits secara umum, Rijalu Shahihi Muslim, susunan Ahmad Ali bin al-

Page 14: Kaidah Kesahihan Hadis

Asfahani, kitab ini membahas para periwayat hadits untuk kitab hadits tertentu. Setidaknya lebih dari 40 kitab yang diperlukan untuk melakukan penelitian dan seluruh kitab tersebut termasuk lengkap dan ideal sekali untuk meneliti sanad hadits.